ii kajian kepustakaan 2.1 daging -...
TRANSCRIPT
7
II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1 Daging
Daging adalah bagian otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak dan
lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging segar dingin,
atau daging beku (Badan Standardisasi Nasional, 2008). Daging didefinisikan
sebagai urat daging (otot) yang melekat pada kerangka, kecuali urat daging bagian
bibir, hidung, dan telinga, yang berasal dari hewan yang sehat sewaktu dipotong.
Daging merupakan bagian tubuh yang berasal dari ternak mamalia (sapi, domba,
dll) yang dalam keadaan sehat dan cukup umur untuk dipotong, tetapi hanya
terbatas pada bagian otot yang berserat, yaitu yang berasal dari otot rangka atau
lidah, diafragma, jatung dan esofagus, tidak termasuk bibir, moncong, telinga,
dengan atau tanpa lemak yang menyertainya, serta bagian-bagian dari tulang, urat,
syaraf, dan pembuluh- pembuluh darah (Tien, dkk., 2011).
Daging sapi memiliki karakteristik warna daging merah pucat, berserabut
halus dengan sedikit lemak, konsistensi liat serta bau dan rasa aromatis (Balai Besar
Pengkajian Pengembangan Teknologi Pertanian, 2008).
Daging sapi merupakan salah satu bahan pangan asal ternak yang
mengandung nutrisi berupa air, protein, lemak, mineral, dan sedikit karbohidrat
sehingga dengan kandungan tersebut menjadikan medium yang baik untuk
pertumbuhan bakteri dan menjadikan mudah mengalami kerusakan (Nurwantoro
dkk., 2012).
Komposisi kimia berbagai macam jenis daging dapat dilihat pada Tabel 1.
8
Tabel 1. Komposisi Kimia Daging
No Komposisi Macam Daging
Sapi Domba Babi
..........%.........
1 Air 66,0 66,3 42,0
2 Protein 18,8 17,1 11,9
3 Lemak 14,0 14,8 45,0
......mg/gram.....
4 Ca 11,0 10,0 7,0
5 P 170,0 19,0 117,0
6 Besi 2,8 2,6 1,8
7 Vitamin A 30 - -
8 Vitamin B 0,08 0,15 0,58
Sumber : Tien, dkk., (2011)
2.2 Mutu Mikrobiologis
Penyediaan daging harus didahului dengan penyembelihan secara normatif
yang berasal dari sapi, kerbau, kambing, domba, babi, unggas dan hewan hewan
lainnya (Bintoro, 2008). Daging yang dapat dikonsumsi umumnya berasal dari
ternak yang sehat, saat penyembelihan dan pemasaran diawasi oleh petugas Rumah
Potong Hewan (RPH) serta terbebas dari pencemaran bakteri (Usmiati, 2010).
Daging (khususnya daging sapi) di Indonesia umumnya diproduksi oleh
RPH, dan kemungkinan mempunyai potensi untuk tercemar bakteri, sesaat setelah
dipotong, dipasarkan, bahkan sampai di konsumen. Daging yang tercemar bakteri
mudah mengalami kerusakan, karena mengandung nutrien yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan bakteri (Gustiani, 2009). Berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan
oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) persyaratan mikrobiologis (bakteri)
dalam daging sapi yang beredar di Indonesia adalah 106 CFU/g, bakteri coliform
102 CFU/g, bakteri Staphylococcus aureus 102 CFU/g, bakteri Salmonella sp.,
negatif per 25 g dan bakteri Escherichia coli 10 CFU/g (BSN, 2008). Apabila
9
kandungan bakteri dalam daging melebihi standar yang telah ditentukan, maka
daging tersebut dianggap tidak layak sebagai bahan pangan, karena kemungkinan
menjadi mudah rusak. Kemungkinan pula dapat menimbulkan penyakit, apabila
daging yang mengandung bakteri patogen diolah kurang sempurna dan selanjutnya
dikonsumsi.
2.3 Kerusakan Daging oleh Mikroorganisme
Awal kontaminasi pada daging berasal dari mikroorganisme yang
memasuki peredaran darah pada saat penyembelihan, jika alat-alat yang
dipergunakan untuk pengeluaran darah tidak steril, karena darah masih bersirkulasi
selama beberapa saat setelah penyembelihan dan mikroorganisme dapat beredar ke
seluruh daging (Soeparno, 2005).
Kebusukan terjadi apabila populasi mikroorganisme mencapai 107
cfu/gram, apabila mencapai 108 cfu/gram maka terjadi perubahan bau dan
pembentukan lendir (Buckle, dkk., 2009). Pembusukan adalah dekomposisi protein
secara anaerobik yang menghasilkan senyawa-senyawa yang berbau busuk seperti
H2S, merkaptan, indol, skatol, ammonia dan amin. Pembusukan biasanya
disebabkan oleh spesies Clostridium atau bakteri anaero-fakultatif (biasanya
dengan nama spesies putefaciens, purtrificum, putida) seperti Psedomonas sp,
Alcaligenes sp dan Proteus sp (Denny, dkk., 2009).
Kebusukan daging ditandai oleh adanya perubahan bau dan timbulnya
lendir yang biasanya terjadi jika jumlah mikroba mencapai jutaan atau ratusan juta
sel atau lebih per satuan luas permukaan daging. Hal ini disebabkan oleh
pertumbuhan bakteri pembusuk dengan tanda-tanda pembentukan lendir yang
disebabkan oleh pertumbuhan bakteri L. Vidiens, bakteri pembentuk lendir
10
berwarna hjau yaitu Enterococcus dan Bacillus thermospacta, perubahan warna
yang disebabkan oleh pigmen daging (mioglobin) menjadi metmioglobin yang
berwarna coklat, menjadi kuning atau hijau yang disebabkan oleh bakteri
pembentuk sufmyoglobin (Frazier dan Westhoff, 1998). Perubahan bau menjadi
busuk karena terjadi pemecahan protein dan terbentuknya senyawa-senyawa berbau
busuk seperti amonia, H2S dan senyawa lain, perubahan rasa menjadi asam dan
pahit karena pertubuhan bakteri pembentuk asam dan senyawa pahit, terjadi
ketengikan yang disebabkan pemecahan atau oksidasi lemak daging (Sri, 2010).
Fase-fase pertumbuhan mikroorganisme pada daging secara umum dapat
dibagi menjadi empat fase yaitu :
1. Fase Lambat (lag phase) : Pada awal inokulasi sel ke dalam media
nutrien segar biasanya pada suatu periode dimana tidak terjadi pembelahan
sel. Fase lambat ini dapat terjadi diantara antara beberapa menit sampai
beberapa jam tergantug spesies, umur dari sel inokulum dan lingkungannya.
Waktu pada fase lambat dibutuhkan untuk kegiatan metabolisme dalam
rangka persiapan dan penyusaian diri dengan kondisi pertumbuhan dalam
lingkungan yang baru.
2. Fase Log (log phase) : Setelah beradaptasi terhadap kondisi baru, sel-
sel ini akan tumbuh dan membelah diri secara eksponensial sampai jumlah
maksimum yang dapat dibantu oleh kondisi lingkungan yang dicapai.
3. Fase Tetap (stationary phase) : Populasi mikroorganisme jarang dapat tetap
tumbuh secara ekponensial dengan keceptan tinggi untuk suatu jangka
waktu yang lama. Sebab-sebanya akan menjadi jelas jika dipikirkan akibat
dari pertumbuhan secara eksponensial satu sel bakteri dengan waktu lipat
20 menit akan menghasilkan turunan sebesar 2,2 x 1023 g atau kira-kira
11
4.000 kali berat bumi. Pertumbuhan populasi mikroorganisme biasanya
dibatasi oleh habisnya bahan gizi yang tersedia atau penimbunan zat racun
sebagai hasil akhir metabolisme. Akibatnya kecepatan pertumbuhan
akhirnya terhenti. Pada titik ini dikatakan sebagai fase tetap. Komposisi
sel-sel pada fase ini berbeda dibandingkan dengan sel-sel saat fase
eksponensial dan umumnya lebih tahan terhadap perubahan-perubahan
kondisi fisik seperti panas, dingin dan radiasi maupun terhadap bahan-bahan
kimia.
4. Fase menurun (decline or death phase) : Sel-sel yang berada dalam fase
tetap akhirnya akan mati bila tidak dipindahkan kemedia segar lainnya.
Sebagaimana pertumbuhan, kematian sel juga secara eksponensial dan
karenanya dalam bentuk logaritmis, fase menurun atau kematian ini
merupakan penurunan secara garis lurus yang digambarkan oleh jumlah sel-
sel yang hidup terhadap waktu.
Adapun grafik fase-fase pertumbuhan mikroorganisme pada daging
ditunjukkan pada Ilustrasi 1.
Ilustrasi 1. Grafik Fase Pertumbuhan Mikroorganisme pada Daging
12
2.4 Total Bakteri
Total Plate Count (TPC) merupakan metode yang paling umum digunakan
untuk menghitung jumlah bakteri pada suatu sampel. Prinsip dari metode TPC
yaitu sampel diencerkan dengan larutan NaCL fisiologis, kemudian dibiakkan
dalam media padat berupa nutrien dalam bentuk agar dan harus diinkubasikan
selama 24 jam atau lebih (Buckle, dkk., 2009).
Prinsip dari metode hitung cawan adalah jika sel jasad renik yang masih
hidup ditumbuhkan pada medium agar, maka sel jasad renik tersebut berkembang
baik. Dalam metode hitung cawan, bahan pangan yang mengandung lebih dari 300
sel jasad renik per ml atau per gram atau per cm. Setelah diinkubasi akan terbentuk
koloni pada cawan tersebut dalam jumlah yang dapat dihitung, dimana jumlah yang
terbaik antara 25 samapi 250 koloni (Larry, dkk., 2001).
Adapun rumus perhitungan mikroorganisme adalah sebagai berikut :
N = ∑ 𝐶
[(1 𝑥 𝑛1)+(0,1 𝑥 𝑛2)+(𝑑)]
Keterangan : N = Jumlah koloni per ml atau g prduk ∑ C = Jumlah total koloni pada semua plate (25 -250) n1 = Jumlah plate yang dapat dihitung pada pengecaran pertama n2 = Jumlah plate yang dapat dihitung pada penenceran kedua d = Pengenceran pertama yang dihitung pada pengenceran kedua (25-250)
2.5 Awal Kebusukan
Awal kebusukan adalah batas kemampuan dari suatu bahan sampai
menunjukkan terjadinya perubahan kearah kebusukan (Soewarno, 1990). Menurut
Lawrie (2003) , proses pengawetan dapat dilakukan dengan 3 metode yaitu sebagai
berikut :
1. Pengawetan secara fisik
13
Meliputi pelayuan (penirisan darah selama 24 jam setelah ternak
disembelih), pemerasan (seperti pasteurisasi dan sterilisasi untuk membunuh
mikroorganisme) dan pendingin (penyimpanan disuhu dingin 4-10oC) pada
refrigerator dan < 0oC pada frezeer).
2. Pengawetan dengan bahan kimia
Pengawetan yang melibatkan bahan kimia. Pengawetan kimia dibedakan
menjadi 2 yaitu :
1) Pengawetan dengan bahan aktif alamiah antara lain menggunakan
rempah-rempah, metabolit sekunder bakteri dan lainnya yang memiliki
daya antibakteri.
2) Pengawetan dengan bahan kimia seperti sodium tripolyphospat, sodium
nitrit, natrium nitrat. Jumlah pemakaian bahan pengawet kimia
pemakaiannya dibatasi karena jika dikonsumsi dalam jumlah banyak
akan mengganggu kesehatan konsumen. Beberapa bahan pengawet
yang lazim digunakan dalam jumlah yang diizinkan adalah nitrit, asam
sorbet, antibiotic tertentu termasuk tetrasiklin. Kemudian gula, sulfur,
dioksida, asam propionate, asam bezoat dan Cu karbonat.
3) Pengawetan Alami
Penggunaan pengawet dalam pangan harus tepat, baik jenis maupun
dosisnya. Suatu bahan pengawet mungkin efektif untuk mengawetkan
pangan tertentu, tetapi tidak efektif untuk mengawetkan pangan lainnya
karena pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda sehingga mikroba
perusak yang akan dihambat pertumbuhannya juga berbeda (Cahyadi,
2008).
14
Menurut Widyaningsih & Murtini (2006), Secara garis besar zat
pengawet dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
a. Generally Recognized as Safe (GRAS) yang umumnya bersifat alami,
sehingga aman dan tidak berefek racun sama sekali.
b. Acceptable Daily Intake (ADI), yang selalu ditetapkan batas penggunaan
hariannya (daily intake) guna melindungi kesehatan konsumen.
c. Zat pengawet yang memang tidak layak dikonsumsi karena bukan untuk
makanan alias berbahaya seperti boraks dan formalin.
Bahan pengawet alami merupakan jenis pengawet yang memiliki
kemampuan untuk mengawetkan makanan. Bahan pengawet alami realtif
aman dibandingkan bahan pengawet sintesis yang bersifat karsinogenik.
Bahan pengawet alami ini hampir terdapat pada semua tumbuh-tumbuhan
dan buah-buahan tersebar di seluruh tanah air. Secara tradisional
masyarakat telah menggunakan bahan-bahan tumbuhan untuk
mengawetkan bahan pangan. Bahan pengawet alami yang sering digunakan
adalah rempah-rempah. Bahan alam telah dikenal mengandung berbagai
jenis senyawa antimikroba yang memegang peranan penting dalam sistem
pertahanan alami atau kompetisi pada semua jenis organisme, baik dari
mikroorganisme sampai serangga, binatang, dan tanaman (Dwi, 2016).
Efek penghambatan senyawa antimikroba dari rempah-rempah tidak
hanya dapat menghambat pertumbuhan bakeri, tetapi dapat menghambat
pertumbuhan khamir seperti cadind albican dan Sacharomyses cerevicae.
Komponen antimikroba yang terdapat pada cengkeh, minyak kayu manis,
minyak bawang putih dan bawang merah dapat menghambat spesies kapang
diantaranya adalah Aspergillus flavus. A. Parasiticus dan A. Ochraceus.
15
Kapang adalah mikroorganisme penyebab kerusakan bahan pangan
terutaman biji-bijian dan produk tepung-tepungan dengan kadar air rendah
(Sutrisno, 2009).
2.6 Perendaman Daging
Perendaman merupakan salah satu penanganan daging yang menggunakan
bahan tambahan makanan sebelum diolah lebih lanjut. Efek positif perendaman
pada tekstur daging adalah kesan jus yang meningkat dan resiko kehilangan air
selama pemasakan lebih sedikit. Proses perendaman daging dapat dilakukan saat
persiapan daging sebelum pengolahan. Perendaman pada dasarnya proses
meresapnya cairan ke dalam daging sampai batas keseimbangannya. Lama proses
perendaman tergantung jenis pelarut, bahan dasarnya dan jenis potongan (Sumual,
dkk., 2014).
Bahan perendaman yang digunakan merupakan larutan berbumbu yang
berfungsi sebagai perendam daging, biasanya digunakan untuk meningkatkan cita
rasa, kesan jus dan keempukan daging setelah dimasak. Bahan perendam daging
bermacam-macam, yaitu gula, garam dapur (NaCl), garam sorbat, garam fosfat dan
garam benzoat, yang bermanfaat untuk meningkatkan keamanan pangan dan masa
simpan daging. Bahan perendaman yang lainnya adalah asam (vinegar, wine, jus
lemon), minyak makan (zaitun, almond) dan bumbu. Perendaman daging pada
awalnya berfungsi sebagai bumbu, tetapi pada perkembangan lebih lanjut juga
berfungsi untuk menurunkan kandungan bakteri dalam daging (Nurwantoro, dkk.,
2012). Disamping itu perendaman berfungsi untuk memperoleh tingkat keempukan
daging yang maksimum dan cita rasa yang sesuai. Pengaruh tersebut berbeda
16
diantara otot, serta diantara ternak dan terutama berhubungan dengan jumlah lemak
daging serta kekuatan jaringan ikat (Endah, dkk., 2012).
Prinsip perendaman daging adalah perendaman dalam bahan perendam
(larutan atau saus) yang mengandung bahan tertentu sehingga secara perlahan-lahan
terjadi transpor pasif dari bahan perendam ke dalam daging secara osmosis.
Awalnya perendaman daging bermanfaat untuk memperbaiki citarasa dan
keempukan daging setelah pengolahan daging. Bahan-bahan perendaman yang
dapat digunakan untuk memperbaiki citarasa dan keempukan daging adalah bahan
perasa, seperti garam dapur (NaCl), kecap (saus kedelai), asam-asam organik (asam
asetat/cuka, lemon), enzim (papain, bromelin, fisin dan zingibain).
Perendaman daging dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki citarasa,
memperbaiki sifat fisik daging dan diharapkan pula dapat dimanfaatkan sebagai
bahan pengawet untuk memperpanjang masa simpan. Berbagai hasil penelitian
perendaman daging ternyata juga bermanfaat untuk meningkatkan keamanan
pangan dan nilai tambah. Hal ini disebabkan bahan perendaman umumnya juga
bersifat antibakteri, sehingga diharapkan dapat memenuhi persyaratan sesuai SNI
terutama dilihat dari sisi mikrobiologis (Nurwantoro, dkk., 2012).
Menurut Carrol, dkk., (2007) peningkatan citarasa dan keempukan daging
akibat proses perendaman disebabkan oleh meningkatnya daya ikat air daging.
Perkembangan lebih lanjut, ternyata perendaman daging juga bermanfaat untuk
memperpanjang masa simpan daging. Hal ini disebabkan bahan-bahan perendaman
umumnya bersifat antibakteri. Manfaat perendaman adalah: (a) meningkatkan
kualitas sensori daging (citarasa, keempukan, kesan jus) (b) memperbaiki sifat fisik
daging (meningkatkan daya ikat air); dan (c) memperpanjang masa simpan.
17
2.7 Jahe
Jahe merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang semu
berasal dari Asia Pasifik yang tersebar dari India sampai Cina. Oleh karena itu
kedua bangsa ini disebut-sebut sebagai bangsa yang pertama kali memanfaatkan
jahe terutama sebagai bahan minuman, bumbu masak dan obat-obatan tradisional.
Jahe termasuk dalam suku temu-temuan (Zingiberaceae), satu famili
dengan temu-temuan lainnya seperti temu lawak (Curcuma xanthorrizha), temu
hitam (Curcuma aeruginosa), kunyit (Curcuma domestica), kencur (Kaempferia
galanga), lengkuas (Languas galanga) dan lain-lain. Nama daerah jahe antara lain
halia (Aceh), beeuing (Gayo), bahing (Batak Karo), sipodeh (Minangkabau), jahi
(Lampung), jahe (Sunda), jae (Jawa dan Bali), jhai (Madura), melito (Gorontalo),
geraka (Ternate). Berdasarkan morfologinya (ukuran, bentuk, dan warna rimpang),
di Indonesia dikenal tiga jenis jahe, yaitu jahe gajah, jahe emprit, dan jahe merah
atau dikenal jahe sunti (Kemal, 2000).
Secara botanis tanaman jahe dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Zingiber
Spesies : Zingiber officinale Roscoe
Komposisi kimia jahe sangat mempengaruhi tingkat aroma dan pedasnya
jahe tersebut. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi komposisi kimia jahe
18
antara lain jenis, kondisi tanah, umur panen, cara budidaya, penanganan pasca
panen, cara pengolahan dan ekosistem tempat tanaman ditanam. Jahe pada
umumnya mengandung minyak atsiri 0,25-3,3 %. Minyak atsiri ini menimbulkan
aroma khas jahe dan terdiri atas beberapa jenis minyak menimbulkan aroma khas
dan jahe dan terdiri atas beberapa jenis minyak zingiberene, curcumene, philandren
dan sebagainya (Tien, dkk., 2011).
Pemanenan jahe tergantung pada produk akhir yang diinginkan walaupun
umumnya jahe dipanen setelah umur 8-12 bulan. Untuk konsumsi segar sebagai
bumbu dipanen pada umur 8 bulan, sedang untuk keperluan bibit dipanen umur 10
bulan atau lebih. Sementara untuk keperluan asinan jahe, jahe awet dipanen muda
berumur 3-4 bulan. Berdasarkan bentuk, warna dan aroma rimpang serta komposisi
kimianya dikenal tiga jenis jahe, yaitu jahe putih besar (gajah), jahe putih kecil (jahe
emprit) dan jahe merah (Balai Besar Pengkajian Pengembangan Teknologi
Pertanian, 2008).
Jahe mengandung gingerol dan shogaol yang menimbulkan rasa pedas.
Gingerol dan shagaol banyak terdapat dalam oleoresin jahe. Oleoresin jahe
mengandung sekitar 6-8%, protein 9%, karbohidrat 50 lebih, vitamin khususnya
niasin dan vitamin A beberapa jenis mineral dan asam amino. Lemak pada jahe
terdiri atas asam phosphatidat, lesitin dan asam lemak bebas. Jahe segar juga
mengandung enzim protease sekitar 2,26% (Tien, dkk., 2011).
Jahe putih besar mempunyai rimpang besar berbuku, berwarna putih
kekuningan dengan diameter 8-8,5 cm, aroma kurang tajam, tinggi dan panjang
rimpang 6-11,3 cm dan 15- 32 cm. Warna daun hijau muda, batang hijau muda
dengan kadar minyak atsiri 0,8-2,8% (Balai Besar Pengkajian Pengembangan
19
Teknologi Pertanian, 2008). Jenis jahe ini bisa dikonsumsi baik saat berumur muda
maupun berumur tua, baik sebagai jahe segar maupun jahe olahan (Ali, 2012).
Jahe putih kecil (jahe emprit) mempunyai rimpang kecil berlapis-lapis,
aroma tajam, berwarna putih kekuningan dengan diameter 3-4 cm, tinggi dan
panjang rimpang 6-11 cm dan 6-32 cm. Warna daun hijau muda, batang hijau muda
dengan kadar minyak atsiri 1,5-3,5% (Balai Besar Pengkajian Pengembangan
Teknologi Pertanian, 2008). Jahe ini selalu dipanen setelah berumur tua.
Kandungan minyak atsirinya lebih besar dari pada jahe gajah, sehingga rasanya
lebih pedas, disamping seratnya tinggi. Jahe ini cocok untuk ramuan obat-obatan,
atau untuk diekstrak oleoresin dan minyak atsirinya (Ali, 2012).
Jahe merah mempunyai rimpang kecil berlapis-lapis, aroma sangat tajam,
berwarna jingga muda sampai merah dengan diameter 4-4,5 cm, tinggi dan panjang
rimpang 5-11 cm dan 12-13 cm. Warna daun hijau muda, batang hijau kemerahan
dengan kadar minyak atsiri 2,8-3,9% (Balai Besar Pengkajian Pengembangan
Teknologi Pertanian, 2008). Jahe merah selalu dipanen setelah tua, dan juga
memiliki kandungan minyak atsiri yang lebih tinggi , sehingga cocok untuk ramuan
obat-obatan (Ali, 2012).
2.8 Minyak Atsiri
Kawasan nusantara pernah dikenal sebagai kepulauan rempah-rempah
karena banyaknya tumbuhan atsiri yang berasal dan dibudidayakan di indonesia.
Salah satu tumbuhan atsiri yang terkenal adalah jahe (Zingiber officinale). Herba
perennial ini merupakan anggota Familia Zingiberaceae paling bermanfaat di
daerah tropis. Rimpang jahe yang aromatis dan pedas dimanfaatkan sebagai
rempah-rempah, bumbu masakan, dan sumber obat. Jahe digunakan secara luas di
20
India dan Cina sejak sebelum tarikh masehi, dan diperdagangkan hingga kawasan
Mediterania sejak abad pertama. Jahe sampai di Amerika tidak lama setelah
penemuan benua itu. Penyebaran dan penggunaan jahe di Indonesia sangat luas,
terbukti dari banyaknya masakan etnik dan banyaknya nama daerah untuk
menyebut jahe (Ahmad, 2002).
Minyak menguap (senyawa volatil) sering disebut minyak atsiri dimana
senyawa tersebut merupakan komponen pemberi bau yang khas. Minyak atsiri
adalah bahan kimia aromatis yang dihasilkan oleh tanaman, bersifat mudah
menguap pada suhu kamar tanpa mengalami dekomposisi dan diperoleh melalui
penyulingan uap, pengepresan maupun ekstraksi menggunakan pelarut (Ketaren,
1985).
Menurut Ahmad, (2002) Minyak atsiri sangat penting sebagai sumber rasa
dan obat. Minyak atsiri digunakan untuk memberi rasa dan aroma makanan,
minuman, parfum dan kosmetik. Sifat toksik alami minyak atsiri berguna dalam
pengobatan. Sekitar 60% penduduk dunia menggunakan tumbuhan untuk
pengobatan dan minyak atsiri telah lama dikenal sebagai sumber terapi yang
penting, misalnya sebagai senyawa anti bakteri dan anti kanker. Minyak atsiri jahe
berbentuk cairan kental berwarna kehijauan sampai kuning dan berbau harum khas
jahe. Komponen utama minyak atsiri jahe yang menyebabkan bau harum adalah
zingiberen dan zingiberol. Kandungan minyak atsiri pada jahe berkisar antara 1
hingga 3 persen tergantung dari karakteristik jahe yang diekstrak.
Menurut Dwi, dkk.,(2015) komponen utama minyak jahe terdiri dari
seskuiterpen, monoterpen, dan monoterpen teroksidasi. Seskuiterpen pada jahe
terdiri dari seskuiterpen hidrokarbon dan seskuiterpen alkohol. Seskuiterpen
hidrokarbon terdiri dari a-zingiberen, b-zingiberen, kurkumen, b-bisabolen,
21
belemen,b-parnesen, d-salinen, b-seskuiphelandren, dan seskuitujen. Seskuiterpen
alkohol terdiri dari zingiberol (cis-b-endesmol dan trans-bendesmol), nerediol, cis-
b-seskuiphelandrol, trans-b-seskuiphelandrol, cissabinen, dan zingiberenol.
Monoterpen hidrokarbon pada minyak jahe terdiri dari d-camphen, 4-3-karen, p-
simen, kurkumen, d-limonen, mirsen, d-bphelandren, a-pinen, b-pinen dan sabinen,
sedangkan monoterpen teroksidasi pada jahe terdiri dari d-borneol, bornil asetat,
1,8-sineol, sitral, sistronelil asetat, gereniol, dan linalol. komponen utama minyak
atsiri jahe yang menyebabkan bau harum adalah zingiberen dan zingeberol.
Zingiberen merupakan seskuiterpen hidrokarbon, sedangkan zingiberol merupakan
seskuiterpen alkohol.
Menurut Ketaren (1985) contoh rumus bangun kimia dari beberapa
komponen-komponen yang terkandung di dalam minyak atsiri diantaranya ialah
zingiberen, zingirol, shogaol dan zingiberol digambarkan pada Ilustrasi 2.
Zingiberen (C15H24)
Zingirol (C15H26O4)
22
Shogaol
Zingiberol (C15H26O)
Ilustrasi 2. Rumus Bangun Kimia Zingiberen (C15H24), Zingirol (C15H26O4),
Shogaol, dan Zingiberol (C15H26O)
2.9 Oleoresin Jahe
Oleoresin berasal dari kata “oleo” yang berarti minyak dan “resin” yang
berarti damar yang merupakan campuran minyak atsiri sebagai pembawa aroma
dan sejenis pembawa rasa. Oleoresin berbentuk padat atau semi padat dan biasanya
lengket. Dalam dunia perdagangan, oleoresin dikenal sebagai ginggerin. Oleoresin
merupakan suatu gugusan kimia yang cukup komplek susunan kimianya. Oleoresin
berupa minyak berwarna coklat tua sampai hitam dan mengandung kadar minyak
atsiri 15 sampai 35 persen. Oleoresin jahe mengandung komponen gingerol,
shogaol, zingerone, resin dan minyak atsiri (Alyssa dan Lestari, 2013).
23
Oleoresin merupakan ekstrak yang tidak menguap yang memberikan rasa
khas pada rempah-rempah. Oleoresin merupakan ekstrak yang tidak menguap yang
memberikan rasa khas pada rempah-rempah. Oleoresin mengandung resin-resin
yang terlarut, minyak atsiri, pigmen, asam lemak tak menguap. Goldman (1949)
menambahkan minyak atsiri dalam oleoresin mempunyai aroma dan bau yang
lemah tetapi lebih dalam (tahan lama) dan menyebar.
Goldman (1949) menjelaskan selain mengandung resin dan minyak atsiri,
oleoresin mengandung bahan lain seperti senyawa aromatik, zat warna serta
vitamin. Jika dibandingkan dengan minyak atsiri hasil destilasi, minyak atsiri dalam
oleoresin mempunyai aroma dan bau yang lebih lemah tetapi tahan lama dan
menyebar. Pada penyulingan, sebagian besar minyak atsiri yang dihasilkan
merupakan konstituen bertitik didih rendah, sedangkan dalam ekstraksi oleoresin
konstituen bertitik didih tinggi juga akan terlarutkan.
Menurut Rusli (1989) bentuk oleoresin jahe berupa cairan pekat berwarna
coklat tua dan mengandung minyak atsiri 15-35 persen. Menurut Prasetyo dan
Mulyono (1987) oleoresin mempunyai keunggulan dalam pemakaiannya dari
bentuk-bentuk olahan lainnya, antara lain:
a. Bahan dapat distandarisasikan dengan tepat, terutama rasa, aroma, dan
warna sehingga kualitas produk akhirnya terkontrol.
b. Bahan lebih homogen dan lebih mudah ditangani.
c. Bahan bebas dari pencemaran serta mudah menguap dicampur merata ke
dalam bahan makanan dan minuman. Oleoresin jahe mengandung
komponen-komponen pemberi rasa pedas yaitu gingerol sebagai bahan
utama, shogaol dan zingeron dalam jumlah sedikit.
24
Menurut Ahmad (2002), kandungan oleoresin dalam jahe segar 0,4 sampai
3,1 persen, tergantung umur panen dan tumbuhnya. Semakin tua umur umbi akar
jahe besar kandungan oleoresinnya. Di dalam oleoresin terdapat persenyawan kimia
gingerol 1,1 sampai 2,2 persen yang memberikan rasa pedas dan zingiberol sekitar
0,04 persen.
Komposisi oleoresin yang dihasilkan tergantung dari jenis bahan dan
pelarut yang dipergunakan, demikian juga banyaknya komponen yang dapat
terekstrak. Ekstraksi dengan pelarut non polar akan menghasilkan oleoresin
dengan kandungan lemak yang tinggi, sedangkan ekstraksi dengan menggunakan
pelarut polar seperti etanol dan aseton akan menghasilkan oleoresin dengan
kandungan lemak yang rendah. Jahe yang mengalami pengolahan lebih lanjut akan
mengalami proses perubahan kimia seperti halnya gingerol dapat berubah menjadi
shagaol atau zingeron yang hasilnya memberikan rasa kurang pedas
(Purseglove, dkk., 1981).
Pengertian oleoresin dengan minyak atsiri kadang membuat rancu,
walaupun kedua produk tersebut berbeda. Minyak atsiri dihasilkan dengan
penyulingan dan hanya mengandung senyawa-senyawa yang mudah menguap
(volatile oil), yang dicirikan dengan aroma yang khas pada saat proses
penyulingan, berwarna kehijau-hijauan sampai kekuning-kuningan, namun
pada umumnya berwarna kuning muda yang merupakan cairan yang agak kental,
bau yang khas dan tahan lama, stabil dalam alkali lemah, tetapi tidak stabil dalam
asam dan basa pekat, larut dalam benzyl benzoate, diethyl phtalat dan minyak
mineral dengan segala perbandingan, tetapi sedikit larut dalam alkohol, namun
tidak larut dalam propylene glikol. Sedangkan oleoresin dihasilkan melalui
proses ekstraksi yang menggunakan pelarut, yang dicirikan dengan produk yang
25
dihasilkan selain mengandung minyak atsiri, juga terdapat resin yang dapat
menentukan rasa khas rempah tersebut. Oleoresin biasanya berbentuk pasta
pada suhu ruangan dan pada suhu yang lebih tinggi berbentuk minyak kental.
Oleoresin jahe memiliki cairan berwarna coklat gelap, dan mempunyai kandungan
minyak atsiri berkisar 15-35%, dan senyawa pembentuk rasa yaitu gingerol,
shogaol, zingeron, bersifat agak kental dengan aroma dan rasa jahe (Rosevicka,
dkk., 2007).
Menurut Choirul (2010) penggunaan rempah dalam bentuk oleoresin
memiliki beberapa keuntungan, antara lain: mempunyai nilai Ekonomi lebih
tinggi dan mudah pendistribusiannya dibandingkan jahe segar. Pengolahan jahe
menjadi oleoresin diharapkan mampu menjawab kebutuhan industri pangan yang
semakin meningkat, dimana keseragaman produk dan kontinuitas proses
pengolahan lebih terjamin dengan penggunaan oleoresin sebagai
pemberiflavour. lebih bersifat sebagai antimikroba, lebih higenis, mengandung
antioksidan alami, bebas dari enzim, memiliki umur simpan yang lebih panjang,
penyimpanan lebih hemat, lebih ringan dalam pengangkutan dan terhindar dari
bahaya jamur seperti pada rempah. Selain itu, Yuliani dkk (1991) menambahkan
bahwa penggunaan oleoresin jahe sama dengan aslinya dan hasilnya 28 kali lebih
kuat dari jahe aslinya.
Oleoresin mempunyai beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan
minyak atsiri hasil destilasi, terutama pada proses pengolahan makanan. Pada
proses tersebut umumnya dibutuhkan pemanasan, sedangkan minyak atsiri adalah
minyak yang mudah menguap karena terdiri atas campuran komponen yang mudah
menguap dengan komposisi dan titik didih yang berbeda. dan hilang bila
26
dilakukan pemanasan pada suhu tinggi dan waktu yang lama (Fitriana, dkk.,
2010).
Oleoresin termasuk minyak yang tak menguap dan merupakan
komponen pemberi rasa pedas dan pahit, walaupun minyak atsirinya telah
menguap. Komponen-komponen pemberi rasa pedas yaitu gingerol sebgai
komponen utama serta shagaol dan zingeron dalam jumlah sedikit (Sri dan
Supardan, 2013). Salah satu senyawa yang tidak mudah menguap adalah
resin, yaitu polimer yang terbentuk di alam, juga dapat terbentuk selama proses
pengolahan (ekstraksi) minyak yang mempergunakan tekanan dan suhu yang
tinggi serta dalam penyimpanan (Ketaren, 1985).
2.10 Penilaian Organoleptik
Penilaian dengan indera disebut juga penilaian aksestabilitas. Penilaian
dengan indera banyak digunakan untuk menilau mutu komoditi hasil pertanian dan
makanan. Pelaksanaan suatu penilaian organoletik diperlukan panelis. Dalam
penilaian mutu atau analisis sifat-sifat sensorik suatu komoditi panel bertindak
sebagai instrument atau alat. Alat ini terdiri dari orang atau kelompok orang
yang disebut panel yang bertugas menilai sifat atau mutu benda berdasarkan
kesan subjektif. Orang yang menjadi anggota panel disebut panelis
(Soewarno, 1990).
Menurut Soewarno (1990) terdapat 6 macam panelis yang biasa digunakan
dalam penilaian organoleptik yaitu sebagai berikut :
1. Panel pencicip perorangan
Pencicip perorangan juga disebut pencicip tradisional. Pencicip
perorangan ini memiliki kepekaan yang sangat tinggi, jauh melebihi
27
kepekaan rata-rata manusia. Tingkat kepekaan ini diperoleh selain dari
pembawaan lahir, juga dari pengalaman dan latihan yang lama.
Kemampuan pencicip perorangan, terbatas pada komoditas
tertentu.
2. Panel pencicip terbatas
Biasanya panel ini diambil dari personal laboratorium yang sudah
mempunyai pengalaman luas akan komoditas tertentu. Panel pencicip
terbatas digunakan untuk menghindari ketergantungan pada pencicip
perorangan. Panel yang digunakan sebagai panel pencicip terbatas
biasanya 3-5 orang.
3. Panel terlatih
Anggota panel terlatih lebih besar daripada panel tercicip terbatas, yaitu
antara 15-25 orang. Tingkat kepekaan tidak perlu setinggi panel
pencicip terbatas, sedang tugas penilaian dan tanggungjawabnya juga
tidak sebsar panel pencicip terbatas. Anggota panel perlu diseleksi
terlebih dahulu untuk kemudian dilatih. Panel terlatih ini juga
berfungsi sebagai alat analisis dan pengujian yang
dilakukan biasanya terbatas pada kemampuan membedakan.
4. Panel tak terlatih
Panel tak terlatih umumnya yntuk menguji kesukaan. Anggota panel
terlatih tidak tetap. Anggota panel biasanya diambil dari sekelompok
tamu yang sedang berkunjung. Bentuk pengujian yang dilakukan lebih
sederhana, pengujian yang dilakukan berupa pilihan dan menentukan
mana yang paling disukai.
28
5. Panel agak terlatih
Panelis dalam kategori ini mengetahui sifat-sifat sensorik dari contoh
yang dinilai karena mendapat penjelasan atau sekedar latihan.
Termasuk dalam kategori panel agak terlatih adalah sekelompok
mahasiswa atau staf peneliti yang dijadikan panelis secara
musiman atau hanya kadang-kadang. Panelis pada panel agak
teratih dipilih berdasarkan kepekaan dan keandalan penilaian.
Jumlah panel agak terlatih berkisar anatara 15-25 orang.
6. Panel konsumen
Panel ini memiliki jumlah anggota yang besar yaitu dari 30-1000
orang. Pengujian mengenai uji kesukaan dapat digunakan untuk
menentukan apakah suatu jenis makanan dapat diterima oleh
masyarakat.
Warna
Mioglobin merupakan pigmen utama daging dan konsentrasinya
akan mempengarhi intensitas warna merah daging. Munculnya warna merah
pada daging disebabkan oleh adanya ikat oksigen pada atom besi (Fe2+) pada
struktur molekul mioglobin. Perbedaan warna daging disebabkan oleh
adanya H202 dan enzim yang dihasilkan mikroorganisme. Warna daging sangat
bergantung pada keberadaan pigmen mioglobin dan hemoglobin. Perubahan
warna terjadi karena jumlah pigmen tersebut berkurang atau mengalami perubahan
bentuk kimia (Varnam dan Sutherland, 1995).
29
Rasa
Rasa merupakan salah satu f aktor yang menjadi pertimbangan
konsumen dalam memilih jenis makanan. Berbagai jenis daging ternak, masing-
masing mempunyai perbedaan rasa dan sifat yang khas. Rasa pada produk daging
dipengaruhi oleh jumlah air yang dapat dipertahankan untuk tetap berada di dalam
daging setelah dimasak dan produksi saliva pada saat pengunyahan (Heti, 2008).
Respon terhadap rasa terjadi dalam sel-sel pada lidah, langit-langit lunak
dan puncak kerongkongan (Lawrie, 2003). Area yang berbeda dari lidah
mempunyai respon terhadap 4 sensasi utama yaitu, pahit, manis, asam, dan asin.
Rasa dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu, senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan
interasksi dengan komponen yang lain (Winarno, 2002).
Aroma
Aroma daging adalah sensasi yang kompleks dan saling terkait dengan bau,
rasa, tekstur, temperatur dan pH. Faktor-faktor yang mempengaruhi aroma daging
adalah umur ternak, tipe pakan, spesies, jenis kelamin, lemak, bangsa, lama waktu
dan kondisi penyimpanan daging setelah pemotongan (Heti, 2008).
Aroma daging berkembang selama pemasakan. Aroma daging masak
dipengaruhi oleh umur ternak, tipe pakan, spesies, jenis kelamin, lemak, bangsa,
lama dan waktu dan kondisi penyimpanan daging setelah pemotongan, serta jenis,
lama dan temperatur pemasakan (Soeparno, 2005).