fiks makalah kel. 8 tata guna biologi

25
STUDI POTENSI HUTAN MANGROVE SEBAGAI EKOWISATA BERBASIS EDUKASI, KONSERVASI, DAN ESTETIKA DI INDONESIA MAKALAH TATA GUNA BIOLOGI Oleh: KELOMPOK 8 Irina Anindya M. 140410120013 Aufa Aulia Khana 14041012001! "irda La#ifa#ul Aulia 140410120033 N$%iyan#i &$leha 1404101200'! (yn#hia )i*a ). 1404101200+, - /A)T M N BIOLOGI "AKULTA& MAT MATIKA -AN ILMU / NG TAHUAN ALAM UNI )&ITA& /A- A- A)AN ATINANGO) 201'

Upload: noviyanti-soleha

Post on 06-Oct-2015

16 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Tatan Guna Biologi

TRANSCRIPT

STUDI POTENSI HUTAN MANGROVE SEBAGAI EKOWISATA BERBASIS EDUKASI, KONSERVASI, DAN ESTETIKA DI INDONESIAMAKALAH TATA GUNA BIOLOGIOleh:

KELOMPOK 8

Irina Anindya M. 140410120013

Aufa Aulia Khanza 140410120019Firda Latifatul Aulia 140410120033Noviyanti Soleha

140410120059

Cynthia Rizka R. 140410120078

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS PADJADJARAN

JATINANGOR

2015STUDI POTENSI HUTAN MANGROVE SEBAGAI EKOWISATA BERBASIS EDUKASI, KONSERVASI, DAN ESTETIKA DI INDONESIAOleh: Kelompok 8ABSTRAK

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia mencapai 25 % dari total luas hutan mangrove di seluruh dunia (18 juta hektar) yaitu seluas 4,5 juta hektar atau sebanyak 3,8 % dari total luas hutan di Indonesia secara keseluruhan. Hal tersebutlah yang mendorong kawasan mangrove untuk dimanfaatkan sebagai ekowisata. Ekowisata merupakan perjalanan wisata ke suatu lingkungan, baik alam yang alami maupun buatan serta budaya yang ada yang bersifat informatif dan partisipatif yang bertujuan untuk menjamin kelestarian alam dan sosial-budaya. Metode yang digunakan adalah studi literatur. Hutan mangrove dapat dijadikan ekowisata apabila memenuhi kriteria penilaian seperti ketebalan dan kerapatan pohon, jenis flora atau fauna mangrove, dan kisaran pasang surut. Diketahui area ekowisata hutan mangrove yang telah dikembangkan di Indonesia, di antaranya Wisata Anyar Mangrove (WAM) dan Ekowisata Mangrove Wonorejo, Wisata Mangrove Probolinggo, Taman Wisata Alam Angke Kapuk, Mangrove Forest Bali, dan lainnya. Produk-produk yang ditawarkan ekowisata hutan mangrove dapat beragam tergantung pada lokasi dan keadaan hutan mangrove yang akan dijadikan area ekowisata serta memiliki nilai edukasi, konservasi, dan estetika bagi wisatawan.(Kata Kunci: Hutan Mangrove, Ekowisata)DAFTAR ISIHalaman HALAMAN JUDUL

ABSTRAK ...........................................iDAFTAR ISI ........................ ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 11.1 Latar Belakang ..............................................................................1

1.2 Maksud dan Tujuan ......................................................................2BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 3

2.1 Ekowisata ..............................................................................3

2.2 Hutan Mangrove ...........................................................................52.3 Ekowisata Hutan Mangrove .......................................................... 7BAB III PEMBAHASAN ............................................................................103.1 Studi Potensi Hutan Mangrove sebagai Ekowisata ......................103.2 Beberapa Ekowisata Hutan Mangrove di Indonesia......................14BAB IV KESIMPULAN .............................................................................17DAFTAR PUSTAKA ..........................18LAMPIRAN BAB I

PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang

Pola hidup kembali ke alam (back to nature) telah mendorong masyarakat untuk melakukan perjalanan ke daerah-daerah alami, serta memiliki sejumlah besar potensi sumberdaya yang bernilai. Pola perjalanan ini telah mendorong berkembangnya paradigma baru dalam pariwisata berbasis alam atau dikenal dengan ekowisata yang merupakan bentuk pariwisata yang dikelola dengan pendekatan konservasi. Konsep ekowisata merupakan pariwisata yang memadukan antara kegiatan konservasi alam, pendidikan, rekreasi, dan kegiatan perekonomian masyarakat lokal.

Wilayah pantai dan pesisir mempunyai sifat atau ciri yang unik, merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut; mengandung kekayaan sumberdaya alam yang beragam seperti ekosistem hutan mangrove. Ekosistem hutan mangrove memiliki fungsi yang sangat penting secara ekologi dan ekonomi, baik untuk masyarakat lokal, regional, nasional maupun global. Menurut Kusmana et al. (2003) dalam Fahriansyah dan Dessy (2012), ekosistem hutan mangrove yaitu suatu sistem yang terdiri atas berbagai organisme (seperti tumbuhan dan hewan), berinteraksi dengan faktor lingkungan dan dengan sesamanya dalam habitat mangrove.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia mencapai 25 % dari total luas hutan mangrove di seluruh dunia (18 juta hektar) yaitu seluas 4,5 juta hektar atau sebanyak 3,8 % dari total luas hutan di Indonesia secara keseluruhan. Sedikitnya luas hutan mangrove ini mengakibatkan perhatian Pemerintah Indonesia terhadap hutan mangrove sangat sedikit jika dibandingkan dengan hutan darat. Kondisi hutan mangrove juga mengalami kerusakan yang hampir sama dengan keadaan hutan-hutan lainnya di Indonesia (Mangrove Information Center, 2006 dalam Sudiarta, 2006).

Sektor pariwisata pesisir perlu mendapat perhatian dan dikembangkan untuk meningkatkan pendapatan daerah, termasuk mempertahankan keberadaan hutan mangrove dari pengikisan dan kepunahan. Pembangunan ekowisata berperan untuk konservasi sumberdaya alam dan membantu masyarakat lokal dalam memenuhi kesejahteraan hidup. Pembangunan ekowisata memberikan perubahan terhadap kualitas hidup, struktur sosio-ekonomi, dan organisasi sosial dalam masyarakat lokal. Menurut Pender dan Sharpley (2005) dalam Fahriansyah dan Dessy (2012), masyarakat lokal dapat memutuskan jika masyarakat ingin atau tidak ingin untuk terlibat dalam pembangunan pariwisata. Masyarakat lokal yang terlibat dalam pengelolaan ekowisata adalah dengan cara menyediakan berbagai fasilitas untuk wisatawan, meningkatkan jumlah wisatawan, dan mengendalikan dampak terhadap lingkungan hidup. Oleh sebab itu, penataan dan perencanaan yang baik sangat diperlukan untuk mengatasi keterbatasan sumberdaya alam hutan mangrove di perairan suatu pantai.1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari penyusunan makalah ini adalah untuk memberi informasi mengenai peranan biologi dalam bidang pariwisata, khususnya hutan mangrove. Sedangkan tujuan makalah ini adalah sebagai berikut: (1) untuk mengetahui potensi dan fasilitas pendukung di berbagai kawasan objek ekowisata hutan mangrove, (2) untuk mengetahui ekowisata hutan mangrove yang telah dikembangkan di Indonesia, dan (3) untuk mengetahui produk-produk ekowisata yang ditawarkan di objek ekowisata hutan mangrove.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA2.1Ekowisata

Ekowisata merupakan perjalanan wisata ke suatu lingkungan, baik alam yang alami maupun buatan serta budaya yang ada yang bersifat informatif dan partisipatif yang bertujuan untuk menjamin kelestarian alam dan sosial-budaya. Ekowisata menitikberatkan pada tiga hal utama yaitu keberlangsungan alam atau ekologi, memberikan manfaat ekonomi, dan secara psikologi dapat diterima dalam kehidupan sosial masyarakat. Jadi, kegiatan ekowisata secara langsung memberi akses kepada semua orang untuk melihat, mengetahui, dan menikmati pengalaman alam, intelektual dan budaya masyarakat lokal (Khan, 2003 dalam Sudiarta, 2006). Ekowisata memberikan kesempatan bagi para wisatawan untuk menikmati keindahan alam dan budaya untuk mempelajari lebih jauh tentang pantingnya berbagai ragam mahluk hidup yang ada di dalamnya dan budaya lokal yang berkembang di kawasan tersebut. Kegiatan ekowisata dapat meningkatkan pendapatan untuk pelestarian alam yang dijadikan sebagai obyek wisata ekowisata dan menghasilkan keuntungan ekonomi bagi kehidupan masyarakat setempat.Kesuksesan pengembangan ekowisata sangat ditentukan oleh peran dari masing-masing pelaku ekowisata yaitu industri pariwisata, wisatawan, masyarakat lokal, pemerintah dan instansi non-pemerintah, dan akademisi. Pembangunan ekowisata yang berkelanjutan dapat berhasil apabila karakter atau peran yang dimiliki oleh masing-masing pelaku ekowisata dimainkan sesuai dengan perannya, bekerjasama secara holistik di antara para stakeholders, memperdalam pengertian dan kesadaran terhadap pelestarian alam, dan menjamin keberlanjutan kegiatan ekowisata tersebut. Dalam mendukung kesuksesan pengembangan ekowisata maka para pelaku ekowisata harus mempunyai peran dan karakter tersendiri yaitu (France, 1997 dalam Sudiarta, 2006):

1. industri pariwisata yang mengoperasikan ekowisata merupakan industri pariwisata yang peduli terhadap pentingnya pelestarian alam dan keberlanjutan pariwisata dan mempromosikan serta menjual program wisata yang berhubungan dengan flora, fauna, dan alam;

2. wisatawannya merupakan wisatawan yang peduli terhadap lingkungan;

3. masyarakat lokal dilibatkan dalam perencanaan, penerapan dan pengawasan pembangunan, dan pengevaluasian pembangunan;

4. pemerintah berperan dalam pembuatan peraturan-peraturan yang mengatur tentang pembangunan fasilitas ekowisata agar tidak terjadi eksploitasi terhadap lingkungan yang berlebihan;

5. akademisi bertugas untuk mengkaji tentang pengertian ekowisata dan mengadakan penelitian untuk menguji apakah prinsip-prinsip yang dituangkan dalam pengertian ekowisata sudah diterapkan dalam prakteknya.

Pengembangan obyek ekowisata harus selalu berpedoman pada prinsip-prinsip ekowisata dan pariwisata berkelanjutan agar tercapai tujuan pengembangan ekowisata yakni ekowisata yang berkelanjutan (sutainable ecotourism). Menurut Wood (2002) dalam Sudiarta (2006), prinsip-prinsip dasar pengembangan ekowisata adalah sebagai berikut :

1. meminimalisasi dampak-dampak negatif terhadap alam dan budaya yang dapat merusak destinasi ekowisata;

2. mendidik wisatawan terhadap pentingnya pelestarian (conservation) alam dan budaya;

3. mengutamakan pada kepentingan bisnis yang peduli lingkungan yang bekerjasama dengan pihak berwenang dan masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan lokal dan mendapatkan keuntungan untuk konservasi;

4. menghasilkan pendapatan yang dipergunakan untuk pelestarian dan pengelolaan lingkungan dan daerah-daerah yang dilindungi;

5. mengutamakan kebutuhan zonasi pariwisata daerah dan perencanaan penanganan wisatawan yang didesain untuk wilayah atau daerah yang masih alami yang dijadikan sebagai destinasi ekowisata;

6. mengutamakan kepentingan untuk studi yang berkaitan dengan sosial-budaya dan lingkungan, begitu juga pemantauan jangka panjang terhadap obyek ekowisata untuk mengkaji dan mengevaluasi kegiatannya serta meminimalisasi dampak-dampak negatif;

7. memaksimalkan keuntungan ekonomi untuk negara yang bersangkutan, bisnis dan masyarakat lokal, khususnya masyarakat yang tinggal berdekatan dengan destinasi ekowisata;

8. menjamin bahwa pembangunan ekowisata tidak mengakibatkan perubahan lingkungan dan sosial-budaya yang berlebihan sebagaimana ditentukan oleh para ahli dan peneliti;

9. membangun infrastruktur yang harus ramah lingkungan dan menyatu dengan budaya masyarakat setempat, tidak menggunakan bahan bakar yang terbuat dari fosil, dan tidak menggangu ekosistem flora dan fauna.

WTO (2002) dalam Sudiarta (2006), memberikan batasan mengenai pengembangan obyek dan daya tarik ekowisata sebagai berikut :

1. semua jenis pariwisata yang berbasiskan alam yang mana tujuan utama dari wisatawan adalah untuk mengamati dan memberikan apresiasi terhadap alam, tradisi, dan budaya yang ada di kawasan tersebut;

2. mengandung unsur pendidikan dan enterpretasi;

3. dikelola oleh pelaku pariwisata lokal dan pangsa pasarnya adalah kelompok-kelompok kecil;

4. meminimalisasi dampak negatif terhadap lingkungan alam dan kehidupan sosial budaya;

5. membantu pelestarian atau konservasi alam;

6. memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat lokal, organisasi terkait, dan pihak berwenang;

7. memberikan lapangan pekerjaan dan pendapatan alternatif kepada masyarakat lokal;

8. meningkatkan kesadaran terhadap pelestarian aset-aset alam dan budaya bagi para wisatwan dan masyarakat lokal.

2.2Hutan Mangrove

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Ekosistem mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta, dan daerah pantai yang terlindung (Bengen, 2001 dalam Muahaerin, 2008).

Santoso (2006) dalam Muahaerin (2008), menyatakan bahwa ruang lingkup mangrove secara keseluruhan meliputi ekosistem mangrove yang terdiri atas:

1. satu atau lebih spesies pohon dan semak belukar yang hidupnya terbatas di habitat mangrove (exclusive mangrove).

2. spesies tumbuhan yang hidupnya di habitat mangrove, namun juga dapat hidup di habitat non-mangrove (non-exclusive mangrove).

3. biota yang berasosiasi dengan mangrove (biota darat dan laut, lumut kerak, cendawan, ganggang, bakteri dan lain-lain) baik yang hidupnya menetap, sementara, sekali-sekali, biasa ditemukan, kebetulan maupun khusus hidup di habitat mangrove.

4. proses-proses dalam mempertahankan ekosistem ini, baik yang berada di daerah bervegetasi maupun di luarnya.

5. daratan terbuka atau hamparan lumpur yang berada antara batas hutan sebenarnya dengan laut.

6. masyarakat yang hidupnya bertempat tinggal dan tergantung pada mangrove.

Menurut Wibisono (2005) dalam Muahaerin (2008), secara ekologis ekosistem mangrove mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir, di antaranya:

1. sebagai tempat peralihan dan penghubung antara lingkungan darat dan lingkungan laut.

2. sebagai penahan erosi pantai karena hempasan ombak dan angin serta sebagai pembentuk daratan baru.

3. merupakan tempat ideal untuk berpijah (spawning ground) dari berbagai jenis larva udang dan ikan.4. sebagai cadangan sumber alam (bahan mentah) untuk dapat diolah menjadi komoditi perdagangan yang bisa menambah kesejahteraan penduduk setempat.

Manfaat sosial ekonomis ekosistem mangrove bagi masyarakat sekitarnya adalah sebagai sumber mata pencaharian dan produksi berbagai jenis hasil hutan dan turunannya, antara lain kayu bakar, arang, bahan bangunan, obat-obatan, minuman, peralatan rumah tangga, bahan baku tekstil dan kulit, madu, lilin, dan tempat rekreasi (Hamilton dan Snedaker, 1994; Dahuri, 1996 dalam Muahaerin, 2008).Data sementara tingkat kerusakan hutan mangrove pada 15 provinsi di Indonesia menunjukan bahwa: luas hutan mangrove yang tidak rusak (2.432.418 ha) yang terdapat pada kawasan hutan (2.268.033 ha) dan yang berada diluar kawasan hutan (623.136 ha). Sedangkan luas hutan mangrove yang rusak (5.901.975 ha) yang terdapat dalam kawasan hutan (1.712.462 ha) dan yang berada di luar kawasan hutan (4.189.512 ha) (Ditjen RLPS Dephutbun, 1999; Santoso, 2006 dalam Muahaerin, 2008).

2.3Ekowisata Hutan Mangrove

Letak Indonesia yang berada di daerah tropis sangat kaya dengan beranekaragam flora, fauna, dan biodiversitas lainnya. Kekayaan alam yang berlimpah ini dapat dijadikan sebagai obyek dan daya tarik wisata khususnya ekowisata. Menurut Sudarto (1999) dalam Sudiarta (2006), secara umum kekayaan alam yang dapat dijadikan obyek dan daya tarik ekowisata adalah hutan hujan tropis, hutan mangrove, hutan sagu, pegunungan es, dan fauna langka seperti gajah, komodo, orang utan, harimau, badak, burung cendrawasih, jalak putih, dan lain-lain (Sudiarta, 2006).

Ekowisata yang merupakan salah satu usaha yang memprioritaskan berbagai produk-produk pariwisata berdasarkan sumberdaya alam, pengelolaan ekowisata untuk meminimalkan dampak terhadap lingkungan hidup, pendidikan yang berasaskan lingkungan hidup, sumbangan kepada upaya konservasi dan meningkatkan kesejahteraan untuk masyarakat lokal (World Tourism Organization, 2002 dalam Fahriansyah dan Yoswaty, 2012). Wisata ekologis merupakan suatu bentuk pemanfaatan sumberdaya alam yang mengandalkan jasa alam untuk kepuasan manusia (Yulianda, 2007 dalam Fahriansyah dan Yoswaty, 2012). Ekowisata pesisir dan laut tidak hanya menjual tujuan atau objek, tetapi juga menjual filosofi dan rasa sehingga tidak akan mengenal kejenuhan pasar pariwisata (Tuwo, 2011 dalam Fahriansyah dan Yoswaty, 2012). Pembangunan ekowisata berkelanjutan bertujuan untuk menyediakan kualitas pengalaman wisatawan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat lokal (Fennell, 2008 dalam Fahriansyah dan Yoswaty, 2012).

Pada tahun 1992 dibentuk Pusat Informasi Mangrove (Mangrove Information Center). Mangrove Information Center (MIC) merupakan proyek kerjasama antara Pemerintah Indonesia melalui Proyek Pengembangan Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari dan Pemerintah Jepang melalui Lembaga Kerjasama Internasional Pemerintah Jepang melalui Japan International Corporation Agency (JICA) (Sudiarta, 2006)..

Proyek ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengekplorasi teknik-teknik reboisasi yang bisa dilakukan untuk pemulihan (recovery) kondisi hutan mangrove yang sudah mengalami kerusakan. Teknik yang ditemukan adalah tentang bagaimana cara persemaian bibit dan penanaman mangrove. Tingginya biaya operasional proyek yang dilaksanakan di Mangrove Information Center (MIC) mengakibatkan terjadinya kekhawatiran terhadap kurangnya dana proyek dan pemeliharaan dan pelatihan hutan mangrove di Kawasan Taman Hutan Raya Ngurah Rai khususnya di Kawasan Mangrove Information Center (MIC) melahirkan ide dan terobosan baru yang diharapkan bisa membantu menutupi kekurangan dana tersebut. Ide cemerlang tersebut selanjutnya diimplementasikan dengan pengembangan obyek ekowisata di Kawasan Mangrove Information Center (MIC) (Sudiarta, 2006).

Mangrove Information Center (MIC) memiliki berbagai potensi untuk mengembangkan obyek ekowisata antara lain sumber daya manusia yang handal dan berkompetensi dalam bidang botani yang mampu menginterpretasikan alam dengan pengunjung, sumber daya alam flora dan fauna yang indah dan menarik, dan infrastuktur yang memadai untuk mengembangkan obyek ekowisata (Sudiarta, 2006).

BAB III

PEMBAHASAN3.1Studi Potensi Hutan Mangrove sebagai Ekowisata

Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah pasang surut atau tepi laut. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Umumnya mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas (pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan anaerob. Dalam dua dekade ini keberadaan ekosistem mangrove mengalami penurunan kualitas secara drastis. Saat ini mangrove yang tersisa hanyalah berupa komunitas-komunitas mangrove yang ada di sekitar muara-muara sungai dengan ketebalan 10-100 meter, didominasi oleh Avicennia Marina, Rhizophora Mucronata, Sonneratia Caseolaris yang semuanya memiliki manfaat sendiri. Misalkan pohon Avicennia memiliki kemampuan dalam mengakumulasi (menyerap dan menyimpan dalam organ daun, akar, dan batang) logam berat pencemar sehingga keberadaan mangrove dapat berperan untuk menyaring dan mereduksi tingkat pencemaran diperairan laut, dan manfaat ekonomis seperti hasil kayu serta bermanfaat sebagai pelindung bagi lingkungan ekosistem daratan dan lautan (Wijayanti, 2007). Mangrove merupakan karakteristik dari bentuk tanaman pantai, estuari atau muara sungai, dan delta di tempat yang terlindung daerah tropis dan sub tropis. Dengan demikian maka mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan dan pada kondisi yang sesuai mangrove akan membentuk hutan yang ekstensif dan produktif. Karena hidupnya di dekat pantai, mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Istilah bakau itu sendiri dalam bahasa Indonesia merupakan nama dari salah satu spesies penyusun hutan mangrove yaitu Rhizophora sp. sehingga dalam percaturan bidang keilmuan untuk tidak membuat bias antara bakau dan mangrove maka hutan mangrove sudah ditetapkan merupakan istilah baku untuk menyebutkan hutan yang memiliki karakteristik hidup di daerah pantai.

Mangrove adalah individu jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Hutan mangrove sering disebut hutan bakau atau hutan payau. Dinamakan hutan bakau karena sebagian besar vegetasinya didominasi oleh jenis bakau, dan disebut hutan payau karena hutannya tumbuh di atas tanah yang selalu tergenang oleh air payau. Arti mangrove dalam ekologi tumbuhan digunakan untuk semak dan pohon yang tumbuh di daerah intertidal dan subtidal dangkal di rawa pasang tropika dan subtropika. Tumbuhan ini selalu hijau dan terdiri dari bermacam-macam campuran apa yang mempunyai nilai ekonomis baik untuk kepentingan rumah tangga (rumah, perabot) dan industri (pakan ternak, kertas, arang). Kusmana et al. (2003) menyatakan bahwa ekosistem hutan mangrove yaitu suatu sistem yang terdiri atas berbagai organisme (seperti tumbuhan dan hewan), berinteraksi dengan faktor lingkungan dan dengan sesamanya dalam habitat mangrove. Sumberdaya ekosistem mangrove mempunyai beberapa peranan, baik secara fisik, kimia maupun biologi, sangat menunjang untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan sebagai penyangga keseimbangan ekosistem di wilayah pesisir. Ekosistem mangrove berperan sebagai pelindung dan penahan pantai, penghasil bahan organik, habitat fauna mangrove, pengolah bahan-bahan limbah hasil pencemaran industri dan kapal-kapal di lautan, sumber bahan baku industri dan obat-obatan, kawasan pariwisata, pendidikan, penelitian dan konservasi (Saparinto, 2007). Kegiatan ekowisata secara langsung memberi akses kepada semua orang untuk melihat, mengetahui, dan menikmati pengalaman alam, intelektual dan budaya masyarakat lokal (Khan, 2003). Luas hutan mangrove di Indonesia pada tahun 1999 mencapai 8,60 juta hektar dan yang telah mengalami kerusakan sekitar 5,30 juta hektar. Kerusakan tersebut antara lain disebabkan oleh konversi mangrove menjadi kawasan pertambakan, pemukiman, dan industri, padahal mangrove berfungsi sangat strategis dalam menciptakan ekosistem pantai yang layak untuk kehidupan organisme akuatik. Keseimbangan ekologi lingkungan perairan pantai akan tetap terjaga apabila keberadaan mangrove dipertahankan karena mangrove dapat berfungsi sebagai biofilter, agen pengikat dan perangkap polusi. Mangrove juga merupakan tempat hidup berbagai jenis gastropoda, kepiting pemakan detritus, dan bivalvia pemakan plankton sehingga akan memperkuat fungsi mangrove sebagai biofilter alami (Mulyadi dkk., 2010).

Perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan diakibatkan karena pertambahan penduduk yang semakin cepat dan luas kawasan yang terbangun. Hutan mangrove di beberapa kawasan, salah satunya Sungai Wain Balikpapan dengan cepat menjadi semakin menipis dan berakibat pada menurunnya kualitas lingkungan kawasan tersebut (Mulyadi dkk., 2010).

Permasalahan utama adalah pengaruh dan tekanan habitat mangrove bersumber dari keinginan manusia untuk mengonversi areal hutan mangrove menjadi areal pengembangan perumahan, industri dan perdagangan, kegiatan-kegiatan komersial maupun pergudangan. Dalam situasi seperti ini habitat dasar dan fungsinya menjadi hilang dan kehilangan ini disertai dengan hilangnya ruang terbuka hijau yang jauh lebih besar dari nilai penggantinya (Mulyadi dkk., 2010).Mengingat beberapa fungsi dan manfaat penting kawasan mangrove, perlu diterapkan atau digalakKan prinsipsave it(lindungi),study it(pelajari), danuse it(manfaatkan). Semua itu tentu memerlukan koordinasi antarastakeholdersdan masyarakat di sekitar kawasan tersebut maupun para pencita lingkungan, terutama kalangan akademisi. Untuk itu, diperlukan faktor-faktor pendukung agar pemanfaatan kawasan mangrove berjalan sesuai dengan tujuan pengelolaan mangrove yang lestari yaitu teknologi, diversifikasi pemanfaatan upayasustainable,dan pengelolaan terpadu (Anonim, 2014).Mangrove dapat dijadikan area pariwisata apabila (Drumm, 2002): 1. memberikan nilai ekonomi dalam kegiatan ekosistem di dalam lingkungan yang dijadikan sebagai obyek wisata;

2. menghasilkan keuntungan secara langsung untuk pelestarian lingkungan;3. memberikan keuntungan secara langsung dan tidak langsung bagi para stakeholders;4. membangun konstituensi untuk konservasi secara lokal, nasional dan internasional;5. mempromosikan penggunaan sumber daya alam yang berkelanjutan;6. mengurangi ancaman terhadap kenekaragaman hayati yang ada di obyek wisata tersebut.

Mangrove sangat berpotensi sebagai tempat berpariwisata di pinggir pantai. Mangrove dapat dijadikan sarana edukatif dan sarana pariwisata melalui fungsinya selain menahan ombak namun juga dapat menjadi habitat para hewan perairan. Mangrove berpotensi menjadi sarana ekowisata dimana pada wisata ini bertujuan untuk melestarikan mangrove itu sendiri yang berupa konservasi lingkungan juga terdapat manfaat secara ekonomi. Salah satu pemanfaatan mangrove sebagai sarana pariwisata:

1. Sumber informasi yang dimaksud adalah informasi mengenai hutan mangrove, bagaimana membudidayakan hutan mangrove, cara penyemaian mangrove agar anak-anak maupun masyarakat luar dapat berinteraksi langsung bagaimana cara pembibitan dan bagaimana perawatannya, manfaat-manfaat apa saja yang dapat didapatkan dari mangrove

2. Dapat dibangun berupa kolam sentuh yang berada di pohon mangrove yang dapat didesain sesuai areanya agar masyarakat pengunjung dapat mengetahui habitat asli fauna yang menempati mangrove

3. Dapat melihat burung-burung pantai yang singgah di mangrove karena burung-burung pantai akan berbeda dengan burung-burung darat. Burung-burungnya merupakan burung lepas dan memiliki karakteristik burung laut yang alami yang memiliki keterikatan dengan ekologi hutan mangrove. Artinya, walaupun burung-burung tersebut tidak dikurung namun burung-burung tersebut akan terus berada di dalam hutan mangrove.

4. Sebagai sarana memancing karena terdapat berbagai macam ikan, kepiting dan hewan air lainnya.Pembangunan ekowisata di kawasan hutan mangrove dapat dikaji dari aspek ekologi hutan mangrove. Hal ini disebabkan hutan mangrove merupakan objek yang utama dalam kegiatan ekowisata. Yulianda (2007) menyatakan bahwa beberapa kriteria penilaian dapat dijadikan pedoman dalam ekowisata seperti ketebalan dan kerapatan pohon, jenis flora atau fauna mangrove dan kisaran pasang surut.Pembangunan ekowisata berperanan untuk konservasi sumberdaya alam (hutan mangrove) dan membantu masyarakat lokal dalam memenuhi kesejahteraan hidup. Pembangunan ekowisata memberikan perubahan terhadap kualitas hidup, struktur sosio-ekonomi, dan organisasi sosial dalam masyarakat lokal. 3.2Beberapa Ekowisata Hutan Mangrove yang Ada di Indonesia

Di Indonesia sendiri sudah banyak ekowisata hutan mangrove yang tersebar di beberapa kota besar, di antaranya:

1. Wisata Anyar Mangrove (WAM), Surabaya

Objek wisata yang masih tergolong baru ini berada di daerah Gunung Anyar, sekitar 2 km arah timur kampus UPN Veteran. Itu sebabnya, kawasan wisata ini juga sering disebut Mangrove Gunung Anyar. Tempat ini bisa menjadi obyek wisata alam, wahana pendidikan lingkungan, serta menjadi alternatif wisata bahari alami di Surabaya (Panduan Wisata Surabaya, 2015).

WAM Surabaya diresmikan pada tanggal 1 Januari 2010 oleh Walikota Surabaya waktu itu yakni Bambang D. H. Objek wisata ini mempunya nilai eksotis, di antaranya karena menggunakan perahu nelayan yang asli untuk menuju area mangrove. Begitu masuk ke area ini, pengunjung dapat melihat hutan mangrove, laut, serta flora fauna yang menarik (Panduan Wisata Surabaya, 2015).

2. Ekowisata Mangrove Wonorejo, SurabayaKawasan yang berada di lahan seluas 871 hektar ini, menyuguhkan lanskap yang mengagumkan. Ada banyak obyek yang bisa dinikmati sebagai sajian wisata. Kawasan ini pun makin ditata dan dijadikan salah satu tempat referensi bagi wisatawan nusantara maupun mancanegara. Hutan Mangrove Wonorejo, Rungkut, di Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya), kini memiliki banyak yang nyaman dinikmati. Ada kolam pancing, fasilitas umum, sentra kuliner, dan kapal wisata (Jawa Timuran, 2013).Wisata ini dikembangkan sedemikian rupa untuk memanfaatkan waduk sehingga bisa mengendalikan banjir. Keberadaan hutan mangrove ini pun menjadi habitat bagi berbagai jenis burung termasuk burung migran dan burung yang dilindungi seperti Bubut Jawa, Raja Udang, Kuntul, dan lain sebagainya. Pengunjung juga dimanjakan dengan keindahan pemandangan panorama pantai dan eksotisnya flora dan fauna yang dapat dilihat secara langsung di joglo yang berada di tengah pantai (Jawa Timuran, 2013).3. Wisata Mangrove Probolinggo, Jawa Timur

Di Kota Probolinggo, terdapat wisata kawasan hutan mangrove (mangroveforest) merupakan kawasan konservasi, dan sudah menjadi kawasan hutan lindung yang dipenuhi pohon bakau ini mulai dikembangkan untuk digunakan sebagai objek wisata alternatif yang menarik bagi wisatawan dengan nuansa yang berbeda. Kawasan wisata ini terdapat di Kelurahan Mangunharjo, Kecamatan Mayangan, yang menyajikan pemandangan hutan mangrove dan pesisir pantai yang indah dan sejuk tak jauh dengan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) serta Pelabuhan Tanjung Tembaga. Bahkan Pemkot Probolinggo telah memasukkan program wisata ini dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPMJD) tahun 2006 2009 (Jawa Timuran, 2013).

4. Taman Wisata Alam Angke Kapuk, JakartaTaman Wisata Alam Angke Kapuk merupakan salah satu contoh hutan mangrove yang telah dikembangkan dan dimanfaatkan menjadi kawasan ekowisata. Berlokasi di Kapuk Muara, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Taman Wisata Alam Angke Kapuk ini memiliki luas 99,82 ha. Kawasan ini didominasi lahan basah (danau) dengan vegetasi utama mangrove. Kawasan ini dulunya tambak dan telah direhabilitasi tanaman mangrove seluas 40% (Zamroni, 2014).

Menurut Zamroni (2014), mangrove yang ditanam di Taman Wisata Alam Angke Kapuk, antara lain bakau besar (Rhizophora mucronata Lam.), bakau merah/ slindur (Rhizophora stylosa), tancang (Bruguiera gymnorrhiza), serta api-api/ sia-sia (Avicennia alba). Jika dilihat dari spesiesnya, ada lebih dari sepuluh spesies.5. Mangrove Forest Bali, Bali

Obyek Wisata Hutan Mangrove Bali ini merupakan obyek wisata yang alami yang terletak di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai di pinggiran Denpasar, berbatasan langsung dengan Kabupaten Badung. Kawasan hutan mangrove terluas di Bali ini berlokasi hanya beberapa ratus meter dari Simpang Dewa Ruci, Kuta, pusat kemacetan terparah di Bali saat ini (Almarogi, 2014).Luas hutan bakau sekitar 1300 hektar, merupakan hasil kerjasama pemerintah dengan Japan International Cooperation Agency. Kawasan wisata ini sangat bagus untuk anak-anak sekolah, untuk bisa mengenal lingkungan lebih dekat, sering juga dijadikan sebagai tempat penelitian. Di beberapa titik disediakan tempat khusus untuk menikmati keindahan hutan dan menghirup udara segar yang jauh dari polusi. Bahkan di tengah hutan disediakan tower untuk bisa melihat seluruh kawasan hutan (Almarogi, 2014).BAB IV

KESIMPULANBerdasarkan penjelasan yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Hutan mangrove dapat dijadikan ekowisata apabila memenuhi beberapa syarat, kriteria penilaian dapat dijadikan pedoman dalam ekowisata seperti ketebalan dan kerapatan pohon, jenis flora atau fauna mangrove, dan kisaran pasang surut. Selain itu juga harus memberik nilai ekonomi dalam kegiatan ekosistem di lingkungan obyek wisata; menghasilkan keuntungan secara langsung untuk pelestarian lingkungan dan tidak langsung bagi para stakeholders; membangun konstituensi untuk konservasi secara lokal, nasional dan internasional; mempromosikan penggunaan sumber daya alam yang berkelanjutan; dan mengurangi ancaman terhadap kenekaragaman hayati yang ada di obyek wisata tersebut.2. Area ekowisata hutan mangrove yang telah dikembangkan di Indonesia, di antaranya Wisata Anyar Mangrove (WAM) dan Ekowisata Mangrove Wonorejo di Surabaya, Wisata Mangrove Probolinggo di Jawa Timur, Taman Wisata Alam Angke Kapuk di Jakarta, Mangrove Forest Bali di Bali, dan lainnya.3. Produk-produk ekowisata yang ditawarkan oleh hutan mangrove dapat beragam tergantung pada lokasi dan keadaan hutan mangrove yang akan dijadikan area ekowisata, seperti wisata perahu, penginapan dan restoran di atas air, jembatan kayu, outbond, penanaman pohon mangrove langsung pada habitatnya, camping ground, pemancingan, penjualan suvenis khas mangrove seperti baju batik mangrove, dan sebagainya. Produk-produk ekowisata hutan mangrove juga harus memiliki nilai edukasi, konservasi, dan estetika bagi wisatawan.DAFTAR PUSTAKAAlamrogi, Sumarna. 2014. Obyek Wisata Hutan Mangrove di Bali. http://www.indowisata.co.id/2014/12/obyek-wisata-hutan-mangrove-di-bali.html. Diakses Tanggal 27 Februari 2015 Pukul 09.58 WIB.Anonim. 2014. Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove. http://hutan mangrove jakarta.com/2014/02/04/fungsi-dan-manfaat-hutan-mangrove-3/. Diakses tanggal 25 Februari 2015 Pukul 23.01 WIB.Drumm, Andy and Alan Moore. 2002. Ecotourism Development. An Introduction to Ecotourism Planning. The Nature Conservancy. Arlington, Virginia, USA.Fahriansyah dan Dessy, Yoswaty. 2012. Pembangunan Ekowisata di Kecamatan Tanjung Balai Asahan, Sumatera Utara : Faktor Ekologis Hutan Mangrove. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 4 (2) : 346-359.

Jawa Timuran. 2013. Ekowisata Mangrove Wonorejo Surabaya. https://jawa timuran1.wordpress.com/2013/12/12/1430/. Diakses Tanggal 27 Februari 2015 Pukul 09.23 WIB.

Jawa Timuran, 2013. Wisata Manrove Kota Probolinggo. https://jawatimuran 1. wordpress.com/2013/06/16/wisata-mangrove-kota-probolinggo/. Diakses Tanggal 27 Februari 2015 Pukul 09.45 WIB.Khan, Maryam. 2003. Ecoserv. Howard University. USA.Kusmana, C., S. Wilarso, I. Hilwan, P. Pamoengkas, C. Wibowo, T. Tiryana, A. Triswanto, Yunasfi, dan Hamzah. 2003. Teknik rehabilitasi mangrove. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.Muhaerin, Muri. 2008. Kajian Sumberdaya Ekosistem Mangrove untuk Pengelolaan Ekowisata di Estuari Perancak, Jembrana, Bali. Skripsi Dep. Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK IPB. Bogor.Mulyadi, Edi., Okik Hendriyanto, dan Nur Fitriani. 2010. Konservasi Hutan Mangrove Sebagai Ekowisata. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan. Vol 1.

Panduan Wisata Surabaya. 2015. Wisata Anyar Mangrove Alternatif Wisata Bahari Alami di Surabaya. http://surabaya.panduanwisata.id/wisata-alam/wisata-anyar-mangrove-alternatif-wisata-bahari-alami-di-surabaya/. Diakses Tanggal 27 Februari 2015 Pukul 09.10 WIB.Pender, L. and R. Sharpley. 2005. The Management of Tourism. SAGE Publications Ltd. London.Saparinto, C. 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove. Dahara Prize. Semarang. 236 hal.Sudiarta, Made. 2006. Ekowisata Hutan Mangrove : Wahana Pelestarian Alam dan Pendidikan Lingkungan. Jurnal Manajemen Pariwisata Vol. 5 No 12.Wijayanti, T. 2007. Konservasi Hutan Mangrove sebagai Wisata Pendidikan. Universitas Pembangunan Nasional Veteran. Surabaya.

Yulianda, F. 2007. Ekowisata bahari sebagai alternatif pemanfaatan sumberdaya pesisir berbasis konservasi. Makalah Sains Departemen MSP. IPB. Bogor.Zamroni, Muhammad. 2014. Hutan Mangrove di Taman Wisata Alam Angke Kapuk.http://matriphe.com/2014/09/15/hutan-mangrove-di-taman-wisata-alam-angke-kapuk. Diakses Tanggal 26 Februari 2015 Pukul 00.02 WIB.

LAMPIRAN1. Wisata Anyar Mangrove, Surabaya

2. Ekowisata Mangrove Wonorejo, Surabaya

3. Wisata Mangrove Probolinggo, Jawa Timur

4. Taman Wisata Alam Angke Kapuk, Jakarta 5. Mangrove Forest Bali, Bali 3