efektivitas self assessment system dalam pemungutan bphtb

Upload: iersad-a-umam

Post on 18-Jul-2015

702 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

1EFEKTIVITAS SELF ASSESSMENT SYSTEM DALAM PEMUNGUTAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) DI KABUPATEN SIDOARJO (Studi di Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Kabupaten Sidoarjo)Proposal PenelitianAHMAD IRSYADUL UMAM 084674050PRODI S1 ILMU ADMINISTRASI NEGARA JURUSAN PMPKN FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA 20122BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Krisis ekonomi dan sosial yang melanda Indonesia beberapa tahun lalu membawa perubahan besar pada pe

TRANSCRIPT

1

EFEKTIFITAS SELF ASSESSMENT SYSTEM DALAM PEMUNGUTAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) DI KABUPATEN SIDOARJO (Studi di Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Kabupaten Sidoarjo)

Proposal Penelitian

AHMAD IRSYADUL UMAM 084674050

PRODI S1 ILMU ADMINISTRASI NEGARA JURUSAN PMPKN FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA 2012

2

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Krisis ekonomi dan sosial yang melanda Indonesia beberapa tahun lalu membawa perubahan besar pada perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia. Di satu sisi krisis ekonomi dan sosial tersebut membawa dampak yang signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia, namun di sisi lain krisis tersebut juga telah membuka jalan bagi terselenggaranya reformasi di semua aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Reformasi tersebut bertujuan untuk menciptakan pemerintahan yang baik (Good Governance) dan mengembangkan model pembangunan yang adil dan merata agar terwujud suatu masyarakat yang madani. Reformasi di Indonesia membawa dampak yang signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satunya berkembang isu sentral yang menjadi wacana publik yaitu perlunya pembagian kekuasaan yang seimbang antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah guna meningkatkan kemandirian daerah untuk mengelola rumah tangganya sendiri. Wacana perlunya pembagian kekuasaan yang seimbang antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah merupakan sebuah wujud ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah pusat sebagai akibat dari anggapan bahwa intervensi yang dilakukan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dimasa lalu yang terlalu besar. Dampak intervensi pemerintah pusat yang terlalu besar ini

3

menimbulkan rendahnya kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di daerah (Mardiasmo, 2002). Besarnya intervensi dari pemerintah pusat tersebut menyebabkan pemerintah daerah tidak lagi memiliki inovasi dan inisiatif dalam memberikan pelayanan pada masyarakat, pemerintah daerah justru cenderung melaksanakan peraturan sebagai tujuan dan bukan alat untuk menciptakan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat. Besarnya intervensi yang diberikan oleh pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah tentunya mempunyai alasan, alasan adanya intervensi tersebut adalah untuk menjamin terlaksananya stabilitas nasional serta karena kualitas sumber daya manusia di daerah yang dirasa masih terlalu rendah. Oleh karena itu sentralisasi dianggap sebagai sebuah solusi untuk menciptakan persatuan dan kesatuan serta untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Pandangan ini pada awalnya memang benar, hal ini dibuktikan dengan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan stabilnya politik di Indonesia sepanjang tahun 70-an dan 80-an (Shah, et.al, 1994 dalam Mardiasmo, 2002). Namun sentralisasi seperti ini pada akhirnya justru mengakibatkan munculnya masalah baru yakni akuntabilitas pemerintah yang rendah, menghambat pembangunan infrastruktur sosial serta memperlambat pengembangan kelembagaan sosial dan ekonomi di daerah. Otonomi daerah merupakan hal yang sewajarnya diberikan di era globalisasi seperti saat ini karena permasalahan dalam kehidupan masyarakat akan menjadi semakin kompleks, akibatnya pemerintah pusat akan kesulitan

4

untuk mengendalikan persoalan tersebut. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Shah (dalam Mardiasmo, 2004) yaitu: Di era seperti ini, dimana globalization cascade sudah semakin meluas, pemerintah akan semakin kehilangan kendali pada banyak persoalan, seperti pada perdagangan internasional, informasi dan ide, serta transaksi keuangan. Dimasa depan, pemerintah sudah terlalu besar untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan kecil tetapi terlalu kecil untuk dapat menyelesaikan semua masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Untuk mengendalikan persoalan dalam kehidupan masyarakat yang semakin komplek, menjadi solusi untuk menyelesaikan krisis ekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat serta untuk menghadapi era globalisasi maka otonomi daerah dipilih sebagai sebuah strategi baru untuk mengatasi persoalanpersoalan tersebut. Desentralisasi merupakan salah satu pilihan yang dijalankan oleh pemerintah dalam kaitannya dengan penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia. Desentralisasi memberikan kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangan terutama dalam urusan keuangan.

Desentralisasi dilakukan dengan harapan daerah akan memiliki kemampuan untuk membiayai pembangunan daerahnya sendiri sehingga dapat menjawab tuntutan pemerataan pembangunan secara lebih efektif. Penerapan desentralisasi sebagai wujud dari otonomi daerah tak lantas berjalan dengan lancar tanpa masalah. Permasalahan muncul terutama dalam pembagian keuangan antara pusat dan daerah dimana dalam mengatur dan

5

mengurus urusan rumah tangganya pasti membutuhkan dukungan dana. Untuk pembiayaan tersebut pemerintah daerah dituntut untuk memiliki kemandirian secara finansial, karena subsidi dari pemerintah pusat yang selama ini menjadi sumber utama APBD mulai berkurang kontribusinya, akibatnya untuk menanggulangi masalah tersebut pemerintah daerah harus bisa

mengoptimalkan pendapatan dari daerahnya sendiri. Dalam pelaksanaan desentralisasi, masalah pendapatan daerah tidak bisa diabaikan karena hal tersebut merupakan indikator penting untuk mengetahui kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Karena tanpa biaya yang cukup maka pemerintah daerah tidak bisa mengurus urusan rumah tangganya dengan maksimal dan berdampak pada pelaksanaan pembangunan daerah. Oleh karena itu peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) merupakan suatu kewajiban agar pemerintah daerah tidak lagi bergantung terhadap pendanaan yang diperoleh dari pemerintah pusat. Untuk mengoptimalkan PAD terdapat beberapa pos yang harus ditingkatkan antara lain pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Salah satu sumber PAD adalah dari sektor pajak daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UndangUndang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah yang dinamakan pajak daerah yaitu:

6

Pajak daerah, yang selanjutnya disebut pajak, adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan. Pajak daerah dibagi menjadi dua kelompok yaitu pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota. Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, jenis pajak daerah meliputi: Jenis Pajak provinsi terdiri atas: a. Pajak Kendaraan Bermotor; b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; d. Pajak Air Permukaan; dan e. Pajak Rokok. Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas: a. Pajak Hotel; b. Pajak Restoran; c. Pajak Hiburan; d. Pajak Reklame; e. Pajak Penerangan Jalan; f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; g. Pajak Parkir; h. Pajak Air Tanah; i. Pajak Sarang Burung Walet; j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Pajak memiliki peran penting bagi pemerintah. Menurut Munawir (1998) peran pertama pajak adalah sebagai sumber pendapatan (budgetary function) untuk membiayai pengeluaran pemerintah, seperti membiayai administrasi pemerintah, penyediaan infrastruktur, penyediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan dan dalam penyediaan barang-barang publik lain yang tidak dapat disediakan oleh swasta. Kedua, pajak berperan sebagai alat pengatur (regulatory function) untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan

7

pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, misalnya kebijakan tarif pajak yang mahal untuk barang-barang mewah dengan tujuan untuk menekan budaya konsumtif dimasyarakat. Salah satu jenis pajak yang sangat potensial bagi penerimaan pendapatan asli daerah adalah pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan perolehan hak atas tanah dan bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya atau dimilikinya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang perseorangan pribadi atau badan. Tanah sangat berguna untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup manusia sebagai tempat tinggal dan lahan usaha, disamping itu tanah juga banyak memberikan manfaat ekonomis bagi pemiliknya dan merupakan salah satu alat investasi yang sangat menguntungkan. Oleh karena itu adalah wajar apabila bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan diwajibkan menyerahkan sebagian nilai ekonominya kepada negara melalui pembayaran pajak, dalam hal ini pajak yang dimaksud adalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Sebelum adanya the first tax reform pada tahun 1984, pemungutan pajak di Indonesia masih dilakukan dengan berdasarkan perundangan yang masih merupakan sisa warisan pemerintahan Belanda. Pemungutan pajak masih dilakukan dengan metode Official Assessment System yakni

8

pemungutan pajak dimana segala sesuatunya dilakukan oleh aparatur perpajakan. Kewenangan menentukan besarnya pajak yang terutang berada dipihak fiskus (pemungut pajak). Dalam sistem ini, wajib pajak bersifat pasif dan hanya menunggu pihak fiscus kapan akan memeriksa dan menentukan besarnya pajak terutang yang harus dibayarkan. Dengan keadaan seperti ini membuat wajib pajak harus mempunyai waktu yang cukup luang untuk bertemu dengan aparatur pajak. Selain itu, administrasi perpajakan yang dianggap terlalu berbelit-belit membuat wajib pajak merasa semakin terbebani dan menambah besar pengeluaran mereka. Penerapan Official Assessment System juga mengakibatkan pengetahuan wajib pajak terhadap kewajiban mereka menjadi sangat minim, karena aktivitas perpajakan yang cenderung dilakukan oleh aparatur perpajakan. Keadaan seperti ini terus berlanjut sehingga menimbulkan kejenuhan bagi wajib pajak sehingga muncul keengganan dan berusaha menghindari pembayaran pajak. Sebagai akibatnya akan menurunkan pendapatan terutama dari sektor pajak. Tax reform yang dilakukan pada tahun 1984 membawa perubahan besar pada sistem pemungutan pajak di Indonesia. Pelaksanaan tax reform ini diawali dengan di keluarkannya Undang-undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dengan undang-undang ini, sistem pemungutan pajak yang sebelumnya menggunakan official assessment system diganti dengan self assessment system. Dalam self assessment system, wajib pajak diharapkan lebih aktif dalam melaksanakan kewajibannya.

9

Pemungutan pajak didasarkan aktifitas yang harus dilakukan oleh wajib pajak yaitu: 1. Menghitung sendiri besarnya pendapatan/kekayaan/laba; 2. Menghitung sendiri besarnya pajak pendapatan/kekayaan yang terutang dan menyetornya ke kas negara Wajib pajak tidak hanya menjadi objek pajak tetapi justru menjadi subjek yang harus aktif berpartisipasi dalam sistem perpajakan. Perubahan sistem ini dimaksudkan untuk lebih memberdayakan wajib pajak serta agar wajib pajak tidak mempunyai perasaan bahwa pajak merupakan sesuatu yang dipaksakan melainkan sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam memelihara dan melanjutkan pembangunan. Kabupaten Sidoarjo merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Timur. Letak Kabupaten Sidoarjo cukup strategis karena tidak jauh dari kota Surabaya sebagai Ibukota Provinsi Jawa Timur yang juga merupakan pusat perekonomian. Salah satu penerimaan yang cukup menonjol di Kabupaten Sidoarjo yaitu dari sektor pajak daerah salah satunya yakni dari penerimaan BPHTB. Aparatur perpajakan Kabupaten Sidoarjo dalam hal ini Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPPKA) saat ini sudah menerapkan self assessment system dalam pemungutan BPHTB. Pelaksanaan self assessment system dalam pemungutan BPHTB di DPPKA Kabupaten Sidoarjo tentu tidak akan terlepas dari adanya kendala. Kendala dalam pelaksanaan self assessment system lebih disebabkan karena

10

masih banyak wajib pajak dari golongan menengah dan kecil yang belum mengerti Self Assessment System karena terbiasa menerima ketetapan pajak. Tingkat pendidikan khusus dibidang perpajakan yang masih sangat kurang atau sangat terbatas membuat wajib pajak merasa kesulitan dalam menerapkan self assessment system terutama dalam menghitung jumlah pajak terutang. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dalam penelitian ini difokuskan untuk meneliti dan mengkaji lebih dalam terkait permasalahan tersebut, khususnya tentang EFEKTIFITAS SELF ASSESSMENT SYSTEM DALAM PEMUNGUTAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) DI KABUPATEN SIDOARJO B. Rumusan Masalah Dalam pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah tentunya memerlukan pembiayaan, oleh karena itu pemerintah daerah harus bisa mengoptimalkan pendapatan asli daerahnya (PAD). Salah satu potensi untuk meningkatkan PAD adalah dari sektor penerimaan BPHTB, oleh karena itu diperlukan upaya-upaya dari pemerintah untuk meningkatkan penerimaan BPHTB, salah satunya dengan memberdayakan wajib pajak melalui penerapan self assessment system dimana wajib pajak dimungkinkan untuk menghitung sendiri beban pajak mereka. Namun pelaksanaan self assessment system ini bukan tanpa kendala, kendala terjadi terutama karena kurang mampuan wajib pajak yang disebabkan pengetahuan mereka tentang perpajakan masih sangat kurang.

11

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, rumusan masalah yang dapat dibuat yaitu: 1. Bagaimana pelaksanaan self assessment system dalam pemungutan BPHTB di kantor DPPKA Kabupaten Sidoarjo? 2. Bagaimana efektivitas self assessment system dalam pemungutan BPHTB di kantor DPPKA Kabupaten Sidoarjo? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pelaksanaan self assessment system dalam pemungutan BPHTB di kantor DPPKA Kabupaten Sidoarjo. 2. Untuk mengetahui efektivitas self assessment system dalam

pemungutan BPHTB di kantor DPPKA Kabupaten Sidoarjo. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Penelitian Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang administrasi keuangan daerah dan perpajakan.

12

2. Manfaat Penelitian Secara Praktis a. Bagi Peneliti, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan dan wawasan peneliti tentang pelaksanaa Self assessment system. b. Bagi Lembaga Universitas Negeri Surabaya, hasil penelitian ini dapat menambah perbendaharaan referensi dalam perpustakaan bagi

perkembangan ilmiah di Program Studi S1 Administrasi Negara. c. Bagi Pembuat Kebijakan, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan dalam membuat kebijakan terutama untuk meningkatkan kinerja pemungutan BPHTB sebagai salah satu sumber pendapatan.