dinas kesehatan provinsi sulawesi selatan · 2018-07-23 · masyarakat (perkesmas) indikator...

87
RENCANA KERJA TAHUN 2018 DINAS KESEHATAN PROVINSI SULAWESI SELATAN

Upload: others

Post on 05-Jun-2020

18 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

RENCANA KERJA

TAHUN 2018

DINAS KESEHATAN

PROVINSI SULAWESI SELATAN

D A F T A R I S I

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ………………..………………………. 1

1.2. Landasan Hukum………………………………………… 1

BAB II EVALUASI PELAKSANAAN RENJA TAHUN LALU

2.1. Analisis Capaian Renstra dan Renja.....................…. 3

BAB III TUJUAN DAN SASARAN

3.1. Tujuan ……………………………………………………………… 87

3.2. Sasaran …………………………………………………………….. 87

BAB IV PROGRAM DAN KEGIATAN

4.1. Program ……………………………………………………………… 93

4.2. Kegiatan ……………………………………………………………… 93

BAB IV PENUTUP

4.1. Kaidah Pelaksanaan ………………………………............ 94

4.2. Penutup ……………………………………………………………. 95

LAMPIRAN

Matriks Rencana Kerja Tahun 2018

BAB I

PENDAHULUAN

Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan

Nasional dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara,

Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah

mengamanatkan bahwa Pemerintah Daerah menyusun Rencana Kerja Pemerintah

Daerah (RKPD) dan setiap SKPD menyusun Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah

(Renja-SKPD) yang merupakan dokumen Perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah

Periode 1 (satu) tahun.

Renja SKPD Dinas Kesehatan disusun berdasarkan pedoman yang ditetapkan dalam

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 serta mengacu pada Rencana

Strategis (Renstra) SKPD dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) serta RKP Bidang

Kesehatan.

Renja SKPD ini memuat kebijakan, program dan kegiatan pembangunan baik yang

dilaksanakan langsung oleh SKPD yang bersangkutan maupun yang ditempuh dengan

mendorong partisipasi masyarakat.

Renja SKPD ini akan menjadi acuan Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan dalam

melaksanakan tugas dan fungsinya dalam rangka mewujudkan Visi, Misi yang tertuang

dalam Rencana Strategis Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013 - 2018.

Landasan Hukum penyusunan Renja SKPD :

a. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan

Nasional;

b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;

c. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;

d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;

e. Peraturan Presiden Republik Indonesia No.5 Tahun 2010 Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Nasional 2010-2014;

f. Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan

antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota;

g. Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 2007 tentang Struktur Organisasi Perangkat

Daerah;

h. Instruksi Presiden No.7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah;

i. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.02.02/Menkes/52/2015 tentang Rencana

Srategis Kementerian Kesehatan RI Tahun 2015-2019;

j. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman

Pengelolaan Keuangan Daerah;

k. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 tahun 2007 tentang Perubahan atas

Peraturan Menteri Dalam Negeri No.13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan

Keuangan Daerah;

l. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 10 Tahun 2008 tentang

Pembentukan Organisasi Dinas Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan;

m. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 9 Tahun 2015 tentang Peubahan

Atas Perda Nomor 10 Tahun 2013 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Daerah (RPJMD) Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013-2018;

BAB II

EVALUASI PELAKSANAAN RENJA TAHUN LALU

Pada Tahun 2016, Rencana Kerja Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan terdiri dari 11

Program dan 142 Kegiatan dengan gambaran umum hasil evaluasi sebagai berikut :

1. Program Pelayanan Administrasi Perkantoran

Program ini terdiri dari 8 (delapan) kegiatan dengan indikator kinerja program adalah

meningkatnya mutu administrasi perkantoran dan telah mencapai realisasi kinerja sebesar

100%

2. Program Peningkatan Kapasitas dan Kinerja SKPD

Program ini terdiri dari 14 (empat belas) kegiatan dengan indikator kinerja program

adalah meningkatnya kinerja Dinas Kesehatan dan telah mencapai realisasi kinerja sebesar

100%

3. Program Pengembangan Sistem Perencanaan dan Sistem Evaluasi Kinerja SKPD

Program ini terdiri dari 10 (sepuluh) kegiatan dengan indikator program adalah

terkoordinasinya dan tersinkronisasinya perencanaan dan evaluasi pembangunan

kesehatan yang terdiri dari dua indikator kinerja yaitu :

- Jumlah dokumen perencanaan, Sistem Informasi Kesehatan (SIK), Laporan evaluasi

kinerja dan anggaran.

Pada indikator kinerja ini, telah ditargetkan akan dibuat sebanyak 12 Dokumen dan

hingga akhir 2016 realisasi kinerja telah mencapai sebesar 100% atau telah diselesaikan

sebanyak 12 Dokumen yang terdiri dari Dokumen Perencanaan dan anggaran, Sistem

Informasi Kesehatan serta laporan evaluasi dan kinerja anggaran.

- Persentase ketersediaan profil kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota

Berdasarkan indikator kinerja ini, seluruh Kabupaten/Kota diharapkan menyusun Profil

Kesehatan secara berkala setiap tahunnya. Pada tahun 2016, realisasi kinerja telah

mencapai sebesar 100%, hal ini berarti bahwa sebanyak 24 Kabupaten/Kota masing-

masing telah menyusun dan memiliki Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2016.

4. Program Pengadaan Obat, Pengawasan obat, Makanan dan Pengembangan Obat Asli

Indonesia

Program ini terdiri dari 5 (lima) kegiatan dengan indikator program adalah meningkatnya

cakupan ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan dalam mendukung upaya

kesehatan dengan indikator kinerja sebagai berikut :

- Persentase ketersediaan obat generik

Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 85% dan hingga triwulan IV realisasinya telah

mencapai sebesar 85%

- Persentase pengawasan obat dan makanan yang layak, bermutu dan aman

dikonsumsi

Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 50% dan hingga triwulan IV realisasinya telah

mencapai sebesar 35%

- Persentase kualitas pelayanan kefarmasian pada sarana pelayanan obat tradisional

Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 50% dan hingga triwulan IV realisasinya telah

mencapai sebesar 50%

- Persentase kualitas pelayanan kefarmasian dalam pengembangan Obat Asli Indonesia

Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 65% dan hingga triwulan IV realisasinya hanya

mencapai sebesar 50%

5. Program Peningkatan Upaya Kesehatan Masyarakat

Program ini terdiri dari 25 (dua puluh lima) kegiatan dengan indikator program adalah

meningkatnya cakupan upaya kesehatan masyarakat yang terjangkau dan bermutu pada

pelayanan kesehatan dasar, pengembangan dan penunjang yang terdiri dari indikator

kinerja sebagai berikut :

- Umur Harapan Hidup (UHH)

Umur Harapan Hidup ditargetkan sebesar 72,10 tahun dan hingga triwulan IV

realisasinya telah mencapai sebesar 69,80 tahun.

- Cakupan kunjungan Puskesmas

Cakupan kunjungan Puskesmas ditargetkan sebesar 40,42% dan hingga triwulan IV

realisasinya telah mencapai sebesar 39,59%

- Persentase Puskesmas yang mengembangkan Program Kesehatan Indera

Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 52,5% dan hingga triwulan IV realisasinya

telah mencapai sebesar 61,5%

- Persentase Puskesmas yang mengembangkan Program Kesehatan Olahraga

Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 40% dan hingga triwulan IV realisasinya telah

mencapai sebesar 39,2%

- Persentase Puskesmas yang mengembangkan Program Kesehatan Jiwa

Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 42% dan hingga triwulan IV realisasinya telah

mencapai sebesar 55%

- Persentase Puskesmas yang mengembangkan Program Kesehatan Gigi Mulut

Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 41,14% dan hingga triwulan IV realisasinya

telah mencapai sebesar 45%

- Persentase Puskesmas yang mengembangkan Program Kesehatan Kerja

Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 32% dan hingga triwulan IV realisasinya telah

mencapai sebesar 60%

- Persentase Puskesmas yang mengembangkan Program Perawatan Kesehatan

Masyarakat (Perkesmas)

Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 33,14% dan hingga triwulan IV realisasinya

telah mencapai sebesar 81,11%

- Persentase Puskesmas yang mengembangkan Program Kesehatan Tradisional,

Alternatif dan Komplementer

Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 50% dan hingga triwulan IV realisasinya telah

mencapai sebesar 44%

6. Program Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat

Program ini terdiri dari 5 (lima) kegiatan dengan indikator kinerja program adalah

meningkatnya cakupan pelayanan Promosi Kesehatan dan upaya-upaya kesehatan

bersumberdaya masyarakat yang terdiri dari indikator kinerja sebagai berikut :

- Cakupan PHBS Rumah Tangga

Cakupan PHBS rumah tangga ditargetkan sebesar 60% dan hingga triwulan IV

realisasinya telah mencapai sebesar 56,26%

- Cakupan Desa Siaga Aktif

Cakupan indikator ini ditargetkan sebesar 98% dan hingga triwulan IV realisasinya

telah mencapai sebesar 97,11%

7. Program Perbaikan Gizi Masyarakat

Program Perbaikan Gizi Masyarakat terdiri dari 5 (lima) kegiatan dengan indikator

program adalah meningkatnya kesadaran keluarga dan surveilans gizi serta

penanggulangannya yang terdiri dari indikator kinerja sebagai berikut :

- Prevalensi Balita Gizi Buruk

Prevalensi balita gizi buruk ditargetkan sebesar 5,0% dan hingga triwulan IV

realisasinya telah mencapai sebesar 5,0%

- Prevalensi Balita Gizi Kurang

Prevalensi balita gizi kurang ditargetkan sebesar 18,1% dan hingga triwulan IV

realisasinya telah mencapai sebesar 20,2%

- Prevalensi Balita Stunting

Prevalensi balita stunting ditargetkan sebesar 33,86% dan hingga triwulan IV

realisasinya telah mencapai sebesar 35,7%

- Cakupan Balita Gizi Buruk yang memperoleh perawatan

Cakupan balita gizi buruk memperoleh perawatan ditargetkan sebesar 100% dan

hingga triwulan IV realisasinya telah mencapai sebesar 100%

- Cakupan Penimbangan Balita (D/S)

Cakupan penimbangan balita ditargetkan sebesar 87% dan hingga triwulan IV

realisasinya sebesar 81,0%

- Cakupan ASI Eksklusif

Cakupan ASI Eksklusif ditargetkan sebesar 83% dan hingga triwulan IV realisasinya

sebesar 68%

- Cakupan Pendistribusian Vitamin A pada Balita

Cakupan pendistribusian vitamin A pada balita ditargetkan sebesar 90% dan hingga

triwulan IV realisasinya sebesar 84,8%

- Cakupan Ibu Hamil yang mengkonsumsi Tablet Fe 90 Tablet

Cakupan ibu hamil yang mengkonsumsi tablet Fe 90 Tablet ditargetkan sebesar 87%

dan hingga triwulan IV realisasinya telah mencapai sebesar 87%

- Cakupan Konsumsi Garam Beryodium

Cakupan konsumsi garam beryodium ditargetkan sebesar 92% dan hingga triwulan IV

realisasinya telah mencapai sebesar 89,2%

- Cakupan Kabupaten/Kota yang melaksanakan Surveilance Gizi

Cakupan kabupaten/kota yang melaksanakan surveilance gizi ditargetkan sebesar

100% dan hingga triwulan IV realisasinya telah mencapai sebesar 100%

8. Program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Program ini terdiri dari 37 (tiga puluh tujuh) kegiatan dengan indikator program adalah

menurunnya jumlah/angka kesakitan dan kematian akibat penyakit yang terdiri dari

indikator kinerja sebagai berikut :

- Cakupan Desa/Kelurahan UCI (Universal Child Immunization)

Untuk cakupan triwulanan indikator ini yang diukur adalah Persentase Imunisasi Dasar

Lengkap (IDL) dan ditargetkan sebesar 95% dan hingga triwulan IV realisasinya telah

mencapai sebesar 94,26%

- Angka Penemuan/Kejadian Malaria per 1.000 Penduduk (API)

Angka penemuan/kejadian malaria per 1.000 penduduk (API) ditargetkan sebesar <1 /

1.000 penduduk dan hingga triwulan IV realisasinya sebesar 0,12/1.000 penduduk

- Angka Kejadian Tuberculosis/100.000 Penduduk (CNR)

Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 186/100.000 penduduk dan hingga triwulan IV

realisasinya telah mencapai sebesar 155/100.000 penduduk

- Cakupan Desa/Kelurahan mengalami KLB yang dilakukan penyelidikan Epidemiologi <

24 jam

Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 100% dan hingga triwulan IV realisasinya telah

mencapai 100%

- Cakupan Kualitas Air Minum

Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 83,5% dan hingga triwulan IV realisasinya

telah mencapai sebesar 82,07%

- Cakupan Akses Sanitasi Dasar

Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 67% dan hingga triwulan IV realisasinya telah

mencapai sebesar 82,57%

9. Program Standarisasi Pelayanan Kesehatan

Program ini terdiri dari 15 (lima belas) kegiatan dengan indikator program adalah

meningkatnya upaya-upaya kesehatan secara optimal dan sesuai standar baik sarana,

tenaga dan peralatan melalui pemantapan kebijakan dan manajemen kesehatan yang

terdiri dari indikator kinerja sebagai berikut :

- Jumlah RS yang terakreditasi Internasional

Jumlah RS yang terakreditasi Internasional telah tercapai sebanyak 1 RS, tidak

ditargetkan pada tahun 2016 dan ditargetkan kembali sebanyak 1 RS pada tahun 2017

- Jumlah RS yang terakreditasi Nasional

Jumlah RS yang terakreditasi nasional ditargetkan sebanyak 5 RS dan hingga triwulan

IV realisasinya telah mencapai 31 RS

- Jumlah regulasi yang dihasilkan

Indikator kinerja ini ditargetkan sebanyak 1 (satu) Regulasi dan hingga triwulan IV

realisasinya sebanyak 1 (satu) Regulasi

- % RS Pemerintah yang telah mempunyai registrasi

Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 100% (32 RS) dan hingga triwulan IV

realisasinya telah mencapai sebesar 100% (32 RS)

- % RS Swasta yang telah mempunyai registrasi

Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 80% (40 RS) dan hingga triwulan IV

realisasinya telah mencapai sebesar 95,74% (45 RS)

- % RS Pemerintah yang telah melaksanakan penetapan kelas

Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 100% (32 RS) dan hingga triwulan IV

realisasinya telah mencapai sebesar 100% (32 RS)

- % RS Swasta yang telah melaksanakan penetapan kelas

Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 70% (40 RS) dan hingga triwulan IV

realisasinya telah mencapai sebesar 89,36% (42 RS)

- % RS Non Rujukan menjadi Kelas C

Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 100% (26 RS) dan hingga triwulan IV

realisasinya telah mencapai sebesar 88,46% (23 RS)

- % RS Pusat Rujukan sebagai Kelas B

Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 100% (6 RS) dan hingga triwulan IV

realisasinya telah mencapai sebesar 100% (6 RS)

- % RS Pemerintah yang memiliki izin operasional RS

Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 80% (26 RS) dan hingga triwulan IV

realisasinya telah mencapai sebesar 100% (32 RS)

- % RS Swasta yang memiliki izin operasional RS

Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 70% (35 RS) dan hingga triwulan IV

realisasinya telah mencapai sebesar 100% (45 RS)

- % RS sebagai Wahana Internship

Indikator kinerja ini ditargetkan sebanyak 21 RS dan hingga triwulan IV realisasinya

telah mencapai sebanyak 23 RS

- Jumlah Puskesmas yang telah melaksanakan Akreditasi Pelayanan

Jumlah Puskesmas yang telah melaksanakan akreditasi pelayanan ditargetkan

sebanyak 6 Puskesmas dan hingga triwulan IV telah direalisasikan sebanyak 135

Puskesmas

- Cakupan Gawat Darurat Level 1 yang harus diberikan Sarana Kesehatan (RS) di

Kabupaten/Kota

Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 100% dan hingga triwulan IV realisasinya telah

mencapai sebesar 100%

- Rasio Dokter Umum per 100.000 Penduduk

Rasio Dokter Umum ditargetkan sebesar 19/100.000 penduduk dan hingga triwulan IV

realisasinya sebesar 17/100.000 penduduk

- Rasio Dokter Spesialis per 100.000 Penduduk

Rasio Dokter Spesialis ditargetkan sebesar 11/100.000 penduduk dan hingga triwulan

IV realisasinya telah mencapai sebesar 16/100.000 penduduk

- Rasio Dokter Gigi per 100.000 Penduduk

Rasio Dokter Gigi ditargetkan sebesar 14/100.000 penduduk dan hingga triwulan IV

realisasinya sebesar 8/100.000 penduduk

- Rasio Apoteker per 100.000 Penduduk

Rasio Apoteker ditargetkan sebesar 13/100.000 penduduk dan hingga triwulan IV

realisasinya telah mencapai sebesar 11/100.000 penduduk

- Rasio Bidan per 100.000 Penduduk

Rasio Bidan ditargetkan sebesar 54/100.000 penduduk dan hingga triwulan IV

realisasinya telah mencapai sebesar 59/100.000 penduduk

- Rasio Perawat per 100.000 Penduduk

Rasio Perawat ditargetkan sebesar 97/100.000 penduduk dan hingga triwulan IV

realisasinya telah mencapai sebesar 136/100.000 penduduk

- Rasio Ahli Gizi per 100.000 Penduduk

Rasio Ahli Gizi ditargetkan sebesar 14/100.000 penduduk dan hingga triwulan IV

realisasinya telah mencapai sebesar 14/100.000 penduduk

- Rasio Ahli Sanitasi per 100.000 Penduduk

Rasio Ahli Sanitasi ditargetkan sebesar 15/100.000 penduduk dan hingga triwulan IV

realisasinya telah mencapai sebesar 15/100.000 penduduk

- Rasio Ahli Kesmas per 100.000 Penduduk

Rasio Ahli Kesmas ditargetkan sebesar 23/100.000 penduduk dan hingga triwulan IV

realisasinya telah mencapai sebesar 23/100.000 penduduk

10. Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat

Program ini terdiri dari 10 (sepuluh) kegiatan dengan indikator program adalah

terjaminnya penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan dan akses penduduk terhadap

layanan kesehatan secara marata dan bermutu yang terdiri dari indikator kinerja sebagai

berikut :

- Cakupan kepesertaan Jamkesda menuju Universal Coverage

Cakupan kepesertaan Jamkesda ditargetkan sebesar 100% dan hingga triwulan IV

realisasinya telah mencapai 100%

- Cakupan kepesertaan kemitraan Asuransi Kesehatan menuju Universal Coverage

Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 60% dan hingga triwulan IV realisasinya telah

mencapai sebesar 69,68%

- Cakupan pelayanan kesehatan dasar masyarakat miskin

Cakupan pelayanan kesehatan dasar masyarakat miskin ditargetkan sebesar 100% dan

hingga triwulan IV realisasinya telah mencapai 100%

- Cakupan pelayanan kesehatan rujukan pasien masyarakat miskin

Cakupan pelayanan kesehatan rujukan pasien masyarakat miskin ditargetkan sebesar

100% dan hingga triwulan IV realisasinya telah mencapai 100%

11. Program Peningkatan Pelayanan Kesehatan Ibu, Anak, Balita dan Lansia

Program ini terdiri dari 8 (delapan) kegiatan dengan indikator program adalah

meningkatnya cakupan pelayanan kesehatan Ibu, Anak, Balita dan Lansia yang terdiri dari

indikator kinerja sebagai berikut :

- Jumlah Kasus Kematian Bayi

Jumlah kematian bayi ditargetkan sebanyak 1.021 kasus dan hingga triwulan IV terjadi

sebanyak 1.183 kasus kematian bayi

- Jumlah Kasus Kematian Ibu

Jumlah kematian ibu ditargetkan sebanyak 105 kasus dan hingga triwulan IV terjadi

sebanyak 156 kasus kematian ibu

- Cakupan Kunjungan Ibu Hamil K4

Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 94% dan hingga triwulan IV realisasinya telah

mencapai sebesar 89,25%

- Cakupan Komplikasi Kebidanan yang Ditangani

Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 73% dan hingga triwulan IV realisasinya telah

mencapai sebesar 76,48%

- Cakupan Pertolongan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan yang Memiliki Kompetensi

Kebidanan

Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan ditargetkan sebesar 97% dan

hingga triwulan IV realisasinya telah mencapai sebesar 92,90%

- Cakupan Pelayanan Nifas

Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 95% dan hingga triwulan IV realisasinya telah

mencapai 91,32%

- Cakupan Neonatus dengan Komplikasi yang Ditangani

Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 97% dan hingga triwulan IV realisasinya

sebesar 60,66%

- Cakupan Kunjungan Bayi

Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 98% dan hingga triwulan IV realisasinya telah

mencapai sebesar 98,08%

- Cakupan Pelayanan Anak Balita

Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 85% dan hingga triwulan IV realisasinya telah

mencapai sebesar 69,09%

- Cakupan Peserta KB Aktif

Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 67% dan hingga triwulan IV realisasinya telah

mencapai sebesar 72,39%

- Cakupan Penjaringan Kesehatan Siswa SD dan Setingkat

Indikator kinerja ini ditargetkan sebesar 97% dan hingga triwulan IV realisasinya

sebesar 87,50%

Secara lebih detail, Matriks Evaluasi Rencana Kerja Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan

hingga Triwulan IV Tahun 2016 dapat dilihat pada matriks terlampir.

Di bawah ini akan diuraikan capaian 9 sasaran yang tertuang dalam Rencana Strategis Dinas

Kesehatan sebagai berikut :

‘’ Menurunnya Jumlah/Angka Kesakitan dan Kematian Akibat Penyakit

dan Meningkatnya Umur Harapan Hidup’’

Sasaran ini diukur melalui 11 (sebelas) indikator kinerja dan mendapatkan angka

capaian kinerja sasaran sebesar 104,10%. Hasil pengukuran capian kinerja sasaran

Menurunnya Jumlah/angka Kesakitan dan Kematian Akibat Penyakit dan Meningkatnya

Umur Harapan Hidup disajikan dalam tabel berikut ini :

Tabel 1.

Capaian Kinerja Sasaran 1

No. Indikator Kinerja Target Realisasi Capaian

(%)

1. Umur Harapan Hidup

(UHH) 72,10 tahun 69,80 tahun 96,81%

2. Cakupan Kunjungan

Puskesmas 40,42% 39,59% 97,95%

3. Prevalensi Penduduk

usia >15 tahun dengan

tekanan darah tinggi

19,84% 20,8% 95,38%

4. Prevalensi Obesitas

18,6% 10,10% 134,65%

5. Prevalensi perokok anak

dan remaja 6,3% 2,86% 220,28%

6. Angka

Penemuan/Kejadian < 1/1.000 0,12/1.000 100%

Malaria per 1.000

Penduduk (API)

Penduduk Penduduk

No. Indikator Kinerja Target Realisasi Capaian

(%)

7. Angka Kejadian

Tuberkulosis per 100.000

Penduduk (Case

Notification Rate)

186/100.000

Penduduk

155/100.000

Penduduk 83,33%

8. Cakupan

Desa/Kelurahan yang

mencapai Universal

Child Imunitation (UCI)

95 % 94,26% 99,92%

9. Cakupan

Desa/Kelurahan

mengalami KLB yang

dilakukan penyelidikan

epidemiologi < 24 jam

100 % 100 % 100%

10. Cakupan Pengawasan

Kualitas Air Minum 83,5% 82,07% 98,29%

11. Cakupan Akses Sanitasi

Dasar 67% 82,57% 124,24%

Rata-rata Capaian 104,10%

Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa dari 11 indikator kinerja terdapat 5 (lima)

indikator kinerja yang telah mencapai dan melebihi target yang ditetapkan yaitu :

1). Prevalensi Obesitas,

2). Prevalensi perokok anak dan remaja,

3). Angka Penemuan/Kejadian Malaria per 1.000 Penduduk (API),

4). Cakupan Cakupan Desa/Kelurahan mengalami KLB yang dilakukan penyelidikan

epidemiologi < 24 jam

5). Cakupan Akses Sanitasi Dasar.

Selanjutnya terdapat 5 (lima) indikator lainnya walaupun belum mencapai target

namun dapat dikategorikan baik karena besaran capaian hampir mencapai target

(± 95% dari target), yaitu :

1). Umur Harapan Hidup (UHH),

2). Cakupan Kunjungan Puskesmas

3). Prevalensi Penduduk usia >15 tahun dengan tekanan darah tinggi

4). Cakupan Desa/Kelurahan yang mencapai Universal Child Imunitation (UCI)

5). Cakupan Pengawasan Kualitas Air Minum

Sedangkan 1 (satu) indikator lainnya, yaitu Angka Kejadian Tuberkulosis per

100.000 Penduduk (Case Notification Rate) capaian kinerja masih di bawah 90%, hal ini

menunjukkan masih diperlukannya peningkatan upaya-upaya penemuan kasus

Tuberkulosis agar penderita dapat segera diobati dan disembuhkan sehingga dapat

diminimalisir penularan kasus TB khususnya di Sulawesi Selatan.

Pembangunan bidang kesehatan di Indonesia saat ini mempunyai beban ganda

dimana meningkatnya kasus-kasus penyakit menular dibarengi juga dengan

meningkatnya penyakit degeneratif. Keadaan ini terjadi karena transisi pola penyakit

yang terjadi pada masyarakat, pergeseran pola hidup, peningkatan derajat sosial,

ekonomi masayarakat dan semakin luasnya jangkauan masyarakat. Sehingga untuk

mencapai sasaran ini pembangunan kesehatan khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan

tidak hanya fokus untuk menurunkan penanggulangan penyakit tetapi masalah

kesehatan secara keseluruhan baik Kejadian Luar Biasa (KLB), masalah kesehatan

lingkungan, peningkatan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) serta kegiatan-kegiatan

promotif yang diarahkan pada pencegahan terjadinya penyakit.

Hasil pengukuran indikator kinerja pada sasaran ini dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Umur Harapan Hidup (UHH)

Data BPS terakhir memperlihatkan Umur Harapan Hidup (UHH) di Provinsi

Sulawesi Selatan pada tahun 2015 mencapai angka 69,80 tahun walaupun belum

mencapai target yang ditetapkan (72,10 tahun) namun mengalami peningkatan bila

dibandingkan dengan tahun 2014 (69,60 tahun). Salah satu dampak pembangunan

kesehatan adalah meningkatnya umur harapan hidup. Meningkatnya umur harapan

hidup menunjukkan pula perbaikan kesehatan dan perbaikan ekonomi sosial

masyarakat.

Namun dengan meningkatnya umur harapan hidup, Pemerintah diharapkan

lebih waspada untuk mengantisipasi permasalahan kesehatan yang akan dihadapi

oleh kelompok lanjut usia. Pada tahun 2020 diprediksikan akan lebih banyak lanjut

usia dibandingkan balita. Oleh karena itu, program dan upaya penanganan masalah

lanjut usia kerapkali mengidap berbagai kelemahan dan gangguan kesehatan berupa

komplikasi penyakit.

Di Provinsi Sulawesi Selatan ada dua Kabupaten/Kota yang telah melebihi

capaian dan target UHH Provinsi, seperti Kabupaten Toraja Utara umur harapan hidup

di tahun 2015 telah mencapai 72,80 tahun dan Kabupaten Tana Toraja sebesar 72,41

tahun. Sedangkan 3 Kabupaten/Kota yang berada pada tiga peringkat UHH terendah

yaitu Kabupaten Jeneponto sebesar 65,49 tahun, Kabupaten Pangkep sebesar 65,67

tahun dan Kabupaten Bone sebesar 66,01 tahun. Hal ini menunjukkan masih

diperlukannya perhatian khusus pada upaya peningkatan kesehatan pada kelompok

lanjut usia sehingga dapat meningkatkan angka harapan hidup yang dapat

menunjukkan kualitas pembangunan kesehatan.

2. Cakupan Kunjungan Puskesmas

Cakupan kunjungan Puskesmas merupakan salah satu indikator untuk

mengukur tingkat pemanfaatan Puskesmas terhadap pelayanan kesehatan. Di Provinsi

Sulawesi Selatan cakupan kunjungan Puskesmas tahun 2016 mencapai 39,59%, angka

ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu sebesar

39,11% di tahun 2014 meningkat menjadi 39,24% di tahun 2015. Meningkatnya

cakupan kunjungan masyarakat ke Puskesmas bukan hanya pada kegiatan pelayanan

yang bersifat kuratif dimana masyarakat yang sakit datang ke Puskesmas untuk

berobat dan sembuh, namun lebih menuju ke arah pemberdayaan masyarakat yang

memanfaatkan Puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan baik kuratif maupun

promotif sesuai dengan fungsi Puskesmas berdasarkan Permenkes 75 tahun 2014.

3. Prevalensi Penduduk Usia >15 tahun dengan Tekanan Darah Tinggi

Sampai saat ini, Hipertensi masih merupakan tantangan besar di Indonesia.

Hipertensi merupakan kondisi yang sering ditemukan pada pelayanan kesehatan

primer. Data Riskesdas tahun 2013, menunjukkan prevalensi hipertensi di Indonesia

sebesar 25,8%. Pengentasan hipertensi sampai saat ini belum adekuat meskipun obat-

obatan yang efektif banyak tersedia.

Pada kasus Hipertensi bila tidak dilakukan deteksi dini dan mendapat

pengobatan yang memadai dapat menyebabkan berbagai gangguan bagi tubuh.

Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam jangka waktu lama (persisten)

dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal (Gagal Ginjal), Jantung (Penyakit Jantung

Koroner) dan otak (menyebabkan stroke).

Sampai dengan bulan Desember 2016, data menunjukkan prevalensi

penduduk usia >15 tahun dengan tekanan darah tinggi di Sulawesi Selatan sebesar

20,85%, diakui memang kondisi ini belum mencapai target (19,84%) namun capaian

ini menurun bila dibandingkan hasil Riskesdas tahun 2013 yaitu 28%. Penurunan ini

bisa terjadi karena berbagai macam faktor antara lain faktor alat pengukur tensi yang

berbeda ataupun masyarakat mulai sadar akan bahaya penyakit hipertensi. Melalui

program pendekatan keluarga sehat diharapkan dapat membantu menekan

prevalensi pada penyakit ini dan mengubah pola hidup masyarakat baik pola

konsumsi dan gaya hidup sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan.

4. Prevalensi Obesitas

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, memperlihatkan secara

nasional prevalensi gemuk pada anak usia 5-12 tahun masih tinggi, yakni, 18,8 persen,

terdiri atas gemuk 10,8 persen dan sangat gemuk (obesitas) 8,8 persen. Sedangkan

prevalensi gemuk pada remaja usia 13-15 tahun sebesar 10,8 persen, terdiri atas 8,3

persen gemuk dan 2,5 persen sangat gemuk (obesitas). Bila dibandingkan dengan

kondisi Prevalensi Obesitas di Sulawesi Selatan tahun 2016 yaitu sebesar 10,10% maka

capaian ini walaupun masih dibawah angka batas yang ditargetkan (18,6%) namun

perlu diwaspadai karena obesitas dan berat berlebih menyebabkan munculnya

berbagai penyakit kronis seperti diabetes, penyakit jantung bahkan berakhir dengan

gagal ginjal.

Menurut data WHO, lebih dari 1,4 miliar orang dewasa memiliki berat badan

berlebih dan 2,8 juta orang dewasa meninggal tiap tahun karena obesitas dan

Sumber Euromonitor Internasional menyebutkan, di Asia-Pasifik, obesitas meningkat

pesat dan sejumlah negara diprediksi memiliki tingkat pertumbuhan obesitas tercepat

dari tahun 2010 hingga 2020 yakni, Vietnam 225 persen, Hong Kong 178 persen, India

100 persen, Korea Selatan 80,7 persen, Selandia Baru 52 persen, dan Indonesia 50

persen.

Dalam melakukan upaya pencegahan dan pengendalian meningkatnya

prevalensi obesitas, beberapa upaya yang dilakukan antara lain :

1. Untuk masyarakat, berupa pemberian pemahaman kepada masyarakat tentang

obesitas dan dampaknya terhadap kesehatan, pemahaman tentang pola makan

sehat dengan gizi dan Pemahaman tentang aktifitas fisik dan latihan fisik serta

manfaatnya.

2. Untuk petugas kesehatan di Puskesmas dan RS melakukan pengendalian dengan

identifikasi obesitas, memberikan edukasi tentang obesitas dan konseling tentang

pola hidup sehat kepada pasien, mengidentifikasi dampak obesitas terhadap

penyakit-penyakit tidak menular, melakukan pengobatan dengan tindakan

tindakan operatif untuk obesitas yang sesuai dengan SOP Penatalaksanaan

obesitas.

3. Selain itu diperlukan upaya pencegahan melalui kerjasama antar lintas program

dan lintas sektor, organisasi profesi dan lembaga swadaya masyarakat lainnya.

Upaya-upaya pencegahan tersebut, antara lain Penyebarluasan informasi tentang

obesitas dan dampaknya terhadap kesehatan melalui media cetak maupun

elektronik, di sektor Pendidikan diharapkan sekolah untuk memberikan pendidikan

tentang pola hidup sehat serta memfasilitasi tersedianya makan sehat dan sarana

untuk melakukan aktifitas fisik ataupun olahraga, Pemerintah juga diharapkan

dapat menyediakan fasilitas umum yang bersih dan aman untuk pejalan kaki,

bersepeda, tempat bermain untuk anak, di sektor perekonomian masyarakat

diharapkan dapat tersedianya sayur dan buah yang terjangkau oleh masyarakat

untuk menunjang gizi seimbang.

5. Prevalensi Perokok Anak dan Remaja

Bahaya mengkonsumsi tembakau dan merokok terhadap kesehatan

merupakan sebuah kebenaran dan kenyataan yang harus diungkapkan secara

sungguh-sungguh kepada seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, masyarakat

benar-benar memahami, menyadari, mau dan mampu menghentikan kebiasaan

merokok dan menghindarkan diri dari bahaya akibat asap rokok. Selama ini,

masyarakat telah terbuai dengan propaganda dan iklan rokok yang aduhai. Padahal

itu tidak lebih dari sebuah kebohongan yang terus diulang-ulang, sehingga menjadi

diyakini dan terinternalisasi dalam diri.

Sesuai dengan target yang tertuang dalam Renstra, Kementerian Kesehatan

menargetkan prevalensi perokok usia di bawah 18 tahun menurun menjadi 6,4

persen pada 2016 dan 5,4 persen pada 2019. Namun, kenyataannya saat ini malah

meningkat secara signifikan. Prevalensi merokok di Indonesia saat ini sudah

mengkhawatirkan. Sepertiga masyarakat Indonesia saat ini adalah perokok. Bahkan

perokok usia di bawah 15 tahun di Indonesia saat ini termasuk terbesar di dunia

setelah China dan India. Perilaku merokok berkontribusi besar menjadi faktor

penyebab penyakit tidak menular dibanding faktor risiko yang lain. Seorang perokok

memiliki risiko dua hingga empat kali lebih besar terkena penyakit jantung koroner.

Tahun 2016, walaupun data prevalensi perokok anak dan remaja di Sulawesi Selatan

masih dibawah batas angka yang ditargetkan namun permasalahan merokok pada

saat ini bukanlan hal yang mudah untuk diatasi.

Sebagai upaya untuk mengendalikan dampak yang ditimbulkan akibat

merokok di Sulawesi Selatan dilakukan dengan Penegakan Kawasan Tanpa Rokok

(KTR) yang juga merupakan salah satu kegiatan yang mendukung dalam

menciptakan kualitas lingkungan yang sehat di Provinsi Sulawesi Selatan sesuai

dengan yang tertuang dalam Undang-Undang kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal

115 ayat 2. yaitu Pemerintah Daerah Wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di

wilayahnya. Kawasan Tanpa Rokok adalah ruangan atau area yang dinyatakan

dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual,

mengiklankan, dan atau mempromosikan produk tembakau. Penegakan KTR Provinsi

Sulawesi Selatan dipertegas melalui Peraturan Daerah Nomor I Tahun 2015 tentang

Kawasan Tanpa Rokok. Peraturan Daerah ini melindungi masyarakat Sulawesi Selatan

dari bahaya akibat paparan zat beracun asap rokok orang lain sebagai perokok

pasif. Adalah hak hidup manusia yang paling fundamental untuk menghirup udara

bersih jauh dari pencemaran asap rokok. Selain itu untuk mengurangi jumlah

perokok, salah satunya dengan membuka layanan konseling untuk berhenti merokok

di banyak layanan kesehatan.

6. Angka Penemuan/Kejadian Malaria per 1.000 Penduduk (API)

Di Provinsi Sulawesi Selatan, situasi malaria setiap tahunnya mengalami

penurunan. Pada tahun 2014, kasus klinis malaria sebanyak 31,452 dan dari klinis

tersebut yang diperiksa baik dengan RDT maupun mikroskopis sebanyak 31.362

(99,71%), dari hasil pemeriksaan diperoleh hasil bahwa yang positif malaria sebanyak

1.126 dan yang diobati dari yang positif 1.058 (93,96%). Tahun 2015, kasus klinis yang

ditemukan sebanyak 27.062, dari klinis tersebut yang diperiksa sediaan darahnya

sebanyak 26.940 (99,54%), dari hasil pemeriksaan tersebut diperoleh sebanyak 938

kasus positif malaria, yang diobati dengan ACT sebanyak 844 (89,97%). Sedangkan

tahun 2016 Tahun 2016, suspect malaria sebanyak 18.978 dan yang diperiksa sediaan

darahnya sebanyak 18.226 (96,04%), diperoleh hasil sebanyak 1.008 kasus positif (SPR

= 5,53%). yang diobati dengan Obat Anti Malaria (OAM) sebanyak 947 kasus yang

diobati atau 93,95% dari positif.

Dari data tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa terjadi penurunan kasus

positif setiap tahunnya, sedangkan untuk pengobatan yang belum 100% disebabkan

oleh beberapa hal diantaranya dokter yang pernah dilatih mutasi dan di RS

pengobatan sesuai standar belum maksimal, tetapi telah ditindaklanjuti dengan

pendistribusian buku pedoman tatalaksana yang dikeluarkan oleh Kemenkes RI

kepada Puskesmas dan RS.

Untuk tingkat endemisitas malaria, selama 3 (tiga) tahun berturut-turut Annuall

Parasite Incidence (API) di Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan penurunan yaitu

pada tahun 2014 yaitu 0,14 per 1000 penduduk, tahun 2015 sebesar 0,11 per 1000

penduduk dan tahun 2016 sebesar 0,12 per 1000 penduduk. Sesuai tingkat

endemisitas malaria maka Provinsi Sulawesi Selatan telah masuk pada tingkat

endemisitas rendah atau Low Case Incidence (LCI), hal ini sejalan dengan target

nasional yaitu menurunkan angka kesakitan malaria < 1 per 1.000 penduduk. 3 (tiga)

Kabupaten/Kota dengan tingkat endemisitas yang tertinggi pada tahun 2016 yaitu

Kabupaten Toraja Utara (0,58 per 1.000 penduduk), Kabupaten Enrekang (0,49 per

1.000 penduduk) dan Kota Palopo (0,36 per 1.000 penduduk) sedangkan yang

terendah adalah Kabupaten Gowa dengan API 0,02 per 1.000 penduduk. Tingginya

angka kesakitan penyakit malaria pada Kabupaten tersebut karena mobilitas

penduduk yang cukup tinggi dan masih memiliki daerah reseptif yang potensial untuk

menjadi tempat perindukan nyamuk yang dapat menjadi vector penular penyakit

malaria merupakan daerah yang sangat potensial untuk menjadi tempat

perkembangbiakan vektor penular penyakit Malaria serta sistem surveilans migrasi

yang belum berjalan dengan baik.

7. Angka Kejadian Tuberkulosis per 100.000 Penduduk (Case Notification Rate)

Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an WHO dan

IUATLD mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi

DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). Fokus utama DOTS adalah

penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe

menular. Strategi ini akan memutuskan rantai penularan TB dan dengan demikian

menurunkan insiden TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien

merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan penyakit.

Angka Case Notification Rate (CNR) yang dihitung berdasarkan jumlah seluruh

kasus TB yang ditemukan dan diobati dalam kurun waktu tahun 2011-2016

menunjukkan trend yang meningkat yaitu tahun 2011 sebanyak 139/100.000

penduduk, tahun 2012 sebanyak 153/100.000 penduduk, tahun 2013 mencapai

159/100.000 penduduk dan di tahun 2014 angka CNR turun menjadi 152/100.000

penduduk, tahun 2016 sebanyak 154/100.000 penduduk dan mencapai 155/100.000

penduduk di tahun 2016. Meningkatnya angka penemuan kasus TB (CNR) ini tidak

terlepas dari upaya untuk menjaring suspek sebanyak-banyaknya. Berdasarkan hasil

survey prevalensi tahun 2013 menunjukkan bahwa masih banyak kasus-kasus TB yang

belum terjaring dengan baik dan salah satu faktor penyebabnya adalah masih

rendahnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit tuberculosis dan stigma yang

masih belum hilang dimasyarakat. Selain itu sistem pelaporan kasus TB dari

Kabupaten/Kota ke tingkat Provinsi yang terus dioptimalkan didukung dengan

peningkatan jejaring lintas sektor dalam mengatasi permasalahan Kasus TB di

masyarakat.

8. Cakupan Desa/Kelurahan yang mencapai Universal Child Imunitation (UCI)

Imunisasi merupakan salah satu program pelayanan kesehatan yang bertujuan

untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian dari penyakit melalui

pemberian vaksin. Dengan tersedianya vaksin yang dapat mencegah penyakit

menular tertentu, maka tindakan pencegahan untuk berpindahnya penyakit dari satu

daerah ke daerah lain dapat dilakukan dalam kurun waktu singkat dan dengan hasil

yang efektif. Pemberian vaksin secara dini dan rutin pada bayi dan balita diketahui

mampu memunculkan kekebalan tubuh secara alamiah. Imunisasi dasar pada bayi

terdiri dari imunisasi DPT, BCG, Polio, Campak dan Hepatitis B.

Cakupan UCI di Provinsi Sulawesi Selatan selama empat tahun berturut-turut

(tahun 2013-2015) menunjukkan peningkatan, pada tahun 2013 sebesar 87,1%

meningkat menjadi 90,5% di tahun 2013, ditahun 2014 kembali meningkat menjadi

94,98% dan mencapai 95,28% pada tahun 2015. Namun data Sampai dengan bulan

Desember tahun 2016 menunjukkan Cakupan UCI di Provinsi Sulawesi Selatan

mengalami penurunan yaitu sebesar 94,26%, tercatat dari 3.027 Desa/Kelurahan di

Provinsi Sulawesi Selatan jumlah Desa/Kelurahan yang sudah mencapai UCI sebanyak

2.884 Desa/Kelurahan. Data ini bila dibandingkan dengan tahun 2015 mengalami

penurunan yaitu sebanyak 2.884 Desa/Kelurahan yang sudah mencapai UCI. Banyak

faktor yang mempengaruhi keberhasilan program imunisasi baik dari sisi input dan

proses dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian yang baik

didukung oleh ketersediaan SDM Kesehatan, dana, sarana dan prasarana yang cukup

dengan metode yang sesuai dan efektif.

9. Cakupan Desa/Kelurahan mengalamiKejadian Luar Biasa (KLB) yang dilakukan

Penyelidikan Epidemiologi <24 jam.

KLB penyakit menular, keracunan makanan, keracunan bahan berbahaya

lainnya masih menjadi masalah kesehatan masyarakat karena dapat menyebabkan

meningkatnya jumlah kasus kesakitan dan kematian. Kejadian-kejadian KLB perlu

dideteksi secara dini dan diikuti dengan tindakan yang cepat dan tepat, perlu

diidentifikasi ancaman KLB agar dapat dilakukan peningkatan kewaspadaan dan

kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan KLB/wabah.

Dalam rangka penanggulangan KLB, di tahun 2016 Dinas Kesehatan Provinsi

Sulawesi Selatan melaksanakan beberapa kegiatan antara lain

Penyelidikan/penanggulangan KLB penyakit menular, Monitoring dan pembinaan

kepada petugas surveilans di Kabupaten/Kota dan Pengembangan Provincial

Epidemiologi Surveylans Team (PEST) yang melibatkan lintas program/sektor terkait

yang diharapkan dapat mengidentifikasi awal dan dapat berkolaborasi untuk

menanggulangi permasalahan kesehatan dan pencegahan KLB. Tahun 2015 jumlah

KLB Penyakit yang terjadi di masyarakat sebanyak 113 kejadian dan tahun 2016

sebanyak 114 kejadian. Angka ini menurun dibandingkan dengan kondisi dua tahun

lalu (2014) yaitu 132 kejadian dan semua kejadian dapat ditanggulangi dan dilakukan

penyelidikan epidemiologi kurang dari 24 jam (100%).

10. Cakupan Pengawasan Kualitas Air Minum

Dari pelaporan Kabupaten/Kota diperoleh data Cakupan Pengawasan Kualitas

Air Minum di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2016 yaitu sebesar 82,07%, walaupun

belum mencapai target yang ditetapkan (83,5%) namun telah mengalami peningkatan

dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 80,95% di tahun 2015. Beberapa upaya telah

dilaksanakan untuk meningkatkan cakupan kualitas air minum antara lain,

Pemantauan Klinik Sanitasi, Bimbingan Teknis dan Monitoring Evaluasi Limbah Medis

serta Pembinaan Kesehatan Lingkungan Sekolah. Selain itu dilakukan Pembinaan dan

Pengawasan Kualitas Sarana Air Minum Masyarakat yang ditujukan untuk

meningkatkan pengetahuan para petugas di kabupaten/kota terhadap pengelolaan

kualitas air bersih dan pengawasan air layak konsumsi, yang nantinya diharapkan

dapat berperan menciptakan kader-kader kesehatan lingkungan yang dapat berperan

langsung dalam pengawasan dan peningkatan kualitas air minum masyarakat di

Provinsi Sulawesi Selatan secara umum.

11. Cakupan Akses Sanitasi Dasar

Persentase Cakupan Akses Sanitasi Dasar di Provinsi Sulawesi Selatan tahun

2016 yaitu sebesar 82,57% mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan tahun

2015 yaitu 69,44%. Peningkatan ini menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan

Pemerintah meningkatkan kinerja pembangunan kesehatan di bidang kesehatan

lingkungan cukup berarti. Upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas

lingkungan antara lain Pembinaan Kabupaten/Kota Sehat, Pelatihan Sanitasi Tempat

Pengelolaan Makanan (TPM), kemudian melalui kegiatan STBM (Sanitasi Total Berbasis

Masyarakat) yang menitikberatkan pemberdayaan masyarakat agar dapat mandiri

menghadapi masalah-masalah kesehatan lingkungan yang dihadapi. Data

menunjukkan sampai dengan bulan Desember tahun 2016, dari 3.024 Desa di Provinsi

Sulawesi Selatan sebanyak 580 Desa yang telah STOP BABS/ODF (Stop Buang Air

Besar Sembarangan/Open Deficiation Free). Salah satu kegiatan yang bersinergi yaitu

Program Kabupaten/Kota Sehat (KKS) dan Program Pamsimas (Penyediaan Air Minum

dan Sanitasi Berbasis Masyarakat) yang saat ini terlaksana pada 20 Kabupaten. Namun

capaian ini masih harus terus ditingkatkan sehingga dapat mencapai kondisi 100%

sesuai dengan target Universal Akses di tahun 2019 nanti.

Dalam mencapai sasaran Menurunnya Jumlah/angka Kesakitan dan Kematian

Akibat Penyakit dan Meningkatnya Umur Harapan Hidup, didukung oleh kebijakan

peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan dan Pengendalian Penyakit serta

Penyehatan Lingkungan melalui Program berikut :

1. Program Upaya Kesehatan Masyarakat

2. Program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pencapaian sasaran ini, antara lain :

1. Tersedianya sarana pelayanan kesehatan swasta yang bermitra dengan BPJS yang

diharapkan dapat mendukung terlaksananya pelaksanaan kesehatan secara merata

dan mampu menciptakan akses pelayanan khususnya di daerah terpencil, kepulauan

dan perbatasan.

2. Tingkat keaktifan kader Posyandu dan kader-kader UKBM (Upaya kesehatan berbasis

masyarakat) dalam menyampaikan pesan-pesan kesehatan kepada masyarakat.

3. Meningkatnya kualitas dan mutu tenaga kesehatan dengan peningkatan kapasitas

tenaga kesehatan melalui Pelatihan-pelatihan teknis dan perbaikan manajemen SDM.

4. Meningkatnya teknologi di bidang informasi berimbas kepada meningkatnya

pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang kesehatan dan Pola Hidup Bersih

dan Sehat (PHBS).

Namun dalam pelaksanaannya mencapai sasaran ini, tidak terlepas dari kendala

dan hambatan yang dihadapi antara lain :

1. Mobilitas tenaga kesehatan cukup tinggi (termasuk tenaga surveilans penyakit dan

sanitarian yang sangat tinggi dengan proses mutasi yang sering terjadi di Puskesmas

dan Kabupaten/kota) sehingga menyebabkan jumlah tenaga kesehatan tidak merata

secara proporsional.

2. Adanya tugas rangkap bagi petugas kesehatan sehingga tidak maksimal dalam

menjalankan profesinya dan masa kerja petugas yang terbatas.

3. Di sektor pengendalian penyakit TB menunjukkan masih rendahnya angka

kesembuhan pasien TB RO dan masih tingginya pasien putus berobat. Salah satu

penyebab utama adalah efek samping obat yang dirasakan oleh semua pasien TB

RO yang menjalani terapi khususnya pada awal pengobatan atau fase intensif,

ditambah lagi masa pengobatan yang cukup lama yang membutuhkan waktu hingga

2 tahun. Selain itu faktor sosial ekonomi pasien yang tidak mendukung karena rata-

rata pasien yang diobati berasal dari ekonomi lemah.

4. Kurangnya partisipasi masyarakat dalam upaya kesehatan lingkungan.

5. Menjamurnya warung-warung makanan siap saji khususnya di daerah Perkotaan

yang dapat merubah pola konsumsi masyarakat sehingga mempertinggi resiko

terhadap penyakit hasil manifestasi obesitas dan tekanan darah tinggi.

6. Perubahan gaya hidup pada kelompok remaja sehingga kebiasaan merokok seperti

menjadi suatu kebanggaan untuk dilakukan.

Upaya pemecahan yang dapat dilakukan terhadap masalah tersebut di atas antara lain:

1. Pendayagunaan tenaga kesehatan secara profesional dan proporsional serta

advokasi ke Pemerintah Kabupaten/Kota tenaga kesehatan yang telah dilatih

difungsikan secara maksimal.

2. Perlu adanya regulasi yang mengatur tentang penempatan tenaga strategis dan

fungsional terlatih terutama pada daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan.

3. Peningkatan homecare untuk pengawasan minum obat secara rutin kepada

penderita TB dan memberikan semangat kepada pasien untuk mempertebal

kepercayaan diri terhadap kesembuhan.

4. Meningkatkan penyuluhan kepada mayarakat tentang pemantauan dan

pengawasan kesehatan lingkungan khususnya sarana air bersih dan sanitasi dasar

masyarakat serta meningkatkan sarana dan prasarana sanitasi dasar di fasilitas

pelayanan kesehatan baik di tingkat dasar maupun lanjutan, meningkatkan

koordinasi dan kerjasama lintas sektor dalam rangka pemberdayaan masyarakat di

bidang kesehatan lingkungan.

5. Mengalakkan promosi kesehatan melalui berbagai media mengenai pola konsumsi

dan gaya hidup sehat.

‘’ Meningkatnya Status Gizi Masyarakat’’

Sasaran ini diukur melalui 11 (sebelas) indikator kinerja dan mendapatkan angka

capaian kinerja sasaran sebesar 95,68%. Hasil pengukuran capian kinerja sasaran

Meningkatnya Status Gizi Masyarakat disajikan dalam tabel berikut ini :

Tabel 2.

Capaian Kinerja Sasaran 2

No Indikator Kinerja Target Realisasi Capaian

1. Prevalensi Balita Gizi Buruk 5,0% 5,0% 100%

2. Prevalensi Balita Gizi Kurang 18,1% 20,2% 89,6%

3. Prevalensi Balita Stunting 34,55% 35,7% 96,8%

4. Cakupan Pemberian Makanan

Pendamping ASI (MP ASI)

pada anak usia 6-24 bulan

keluarga miskin

45% 100% 100%

5. Cakupan Balita gizi buruk

mendapat perawatan 100 % 100 % 100%

6. Cakupan D/S Posyandu 87% 81% 93,10%

7. Cakupan ASI Eksklusif 83% 68% 81,93%

8. Cakupan Pendistribusian

Vitamin A pada Balita 87% 84,8% 97,47%

9. Cakupan Ibu hamil yang

mengkonsumsi tablet Fe 90

tablet

90% 87% 96,67%

10. Cakupan Konsumsi Garam

Beryodium 92% 89,2% 96,96%

11. Cakupan Kabupaten/Kota yang

melaksanakan Surveilans Gizi 100% 100% 100%

Rata-rata Capaian 95,68%

Dari tabel tersebut di atas terlihat bahwa dari 11 indikator kinerja terdapat 4

(empat) indikator kinerja yang telah mencapai target yang ditetapkan yaitu :

1. Prevalensi Balita Gizi Buruk

2. Cakupan Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) pada anak usia 6-24 bulan

keluarga miskin

3. Cakupan Balita gizi buruk mendapat perawatan

4. Cakupan Kabupaten/Kota yang melaksanakan Surveilans Gizi

Selanjutnya terdapat 5 (lima) indikator lainnya walaupun belum mencapai target

namun dapat dikategorikan baik karena besaran capaian hampir mencapai target

(± 95% dari target), yaitu :

1. Prevalensi Balita Stunting

2. Cakupan D/S Posyandu

3. Cakupan Pendistribusian Vitamin A pada Balita

4. Cakupan Ibu hamil yang mengkonsumsi tablet Fe 90 tablet

5. Cakupan Konsumsi Garam Beryodium

Sedangkan 2 (dua) Indikator lainnya yang capaian kinerja masih di bawah 90%, yaitu :

1. Prevalensi Balita Gizi Kurang

2. Cakupan ASI Eksklusif

Hasil pengukuran 2 indikator kinerja di atas menjadi perhatian lebih bagi Dinas

Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan untuk lebih meningkatkan kinerja dan upaya-upaya

peningkatan status gizi masyarakat, karena status gizi masyarakat tidak hanya berperan

dalam program penurunan prevalensi balita pendek, namun juga terkait erat dengan

tiga program lainnya, mengingat status gizi berkaitan dengan kesehatan fisik maupun

kognitif, mempengaruhi tinggi rendahnya risiko terhadap penyakit tidak menular dan

berpengaruh sejak awal kehidupan hingga masa usia lanjut.

Hasil pengukuran indikator kinerja pada sasaran ini dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Prevalensi Balita Gizi Buruk

Sebagai sebuah gejala sosial, gizi buruk bukanlah suatu gejala yang berdiri

sendiri. Gizi buruk memiliki relasi yang sangat erat dengan gejala sosial yang lainnya

termasuk sindrom kemiskinan dan masalah ketahanan pangan di tingkat rumah

tangga. Gizi buruk juga tak bisa dilepaskan dari aspek yang menyangkut pengetahuan

dan perilaku yang kurang mendukung pola hidup sehat.

Kriteria Gizi buruk yang menjadi sasaran indikator kinerja program gizi

masyarakat yaitu status gizi diukur berdasarkan indeks berat badan menurut panjang

badan (BB/PB) atau Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) dengan nilai z-score

≤3 SD dan atau terdapat tanda klinis gizi buruk. Dan selanjutnya seluruh gizi buruk

dengan kriteria tersebut diatas harus dilakukan perawatan.

Prevalensi Balita Gizi Buruk di Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2016,

berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) yang dilakukan di Kabupaten/Kota

Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 5,0% dan telah mencapai angka yang ditargetkan

(5,2%). Angka ini mengalami Penurunan bila dibandingkan dengan hasil PSG tahun

2015 yaitu sebesar 5,1% dan tahun 2014 sebesar 5,6%. Sedangkan penyebaran kasus

gizi buruk di 24 Kabupaten/Kota Provinsi Sulawesi Selatan dari bulan januari sampai

desember tahun 2016 dengan jumlah kumulatif 156 Kasus, dimana 5 Kabupaten

dengan Kasus Gizi Buruk tertinggi adalah Wajo (34 Kasus), Toraja Utara (15 Kasus),

Bone (14 Kasus), Luwu (13 Kasus),Makassar (10 Kasus). Sedangkan Kabupaten/Kota

yang tidak menemukan kasus gizi buruk diwilayahnya adalah Kabupaten Bantaeng

dan Kabupaten Luwu Utara.

2. Prevalensi Balita Gizi Kurang

Indikator status gizi ini berdasarkan indeks BB/U yang memberikan informasi

mengenai indikasi masalah gizi secara umum. Indikator ini tidak memberikan indikasi

tentang masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun akut karena berat badan

berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan. Indikator BB/U yang rendah dapat

disebabkan karena pendek (masalah gizi kronis) atau sedang menderita diare atau

penyakit infeksi lain (masalah gizi akut). Masalah kesehatan masyarakat dianggap

serius bila prevalensi gizi buruk-kurang antara 20,0-29,0 persen, dan dianggap

prevalensi sangat tinggi bila ≥ 30 persen (WHO, 2010)

Secara Nasional, Prevalensi berat-kurang berdasarkan hasil Riset Kesehatan

Daerah (Riskesdas) tahun 2013 adalah 19,6 persen, terdiri dari 5,7 persen gizi buruk

dan 13,9 persen gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka prevalensi nasional

tahun 2007 (18,4 %) dan tahun 2010 (17,9 %) terlihat meningkat. Untuk Provinsi

Sulawesi Selatan data Gizi Buruk+Gizi kurang (Underweight) Berdasarkan hasil

Riskesdas adalah 17,6% (2007) meningkat menjadi 25% (2010) dan kembali mengalami

peningkatan menjadi >25% (2013).

Di tahun 2016, berdasakan hasil PSG di Kabupaten/Kota se-Sulawesi Selatan

Prevalensi Balita Gizi Kurang sebesar 20,2%. Meskipun capaian kinerja ini belum

mencapai target yang ditetapkan (18,1%) dan angka ini juga meningkat dari tahun

2015 yaitu sebesar 17,1 %. Sehingga masih perlu ditingkatkan upaya-upaya yang lebih

optimal dalam meningkatkan status gizi masyarakat khususnya pada kelompok balita.

3. Prevalensi Balita Stunting

Kecenderungan Prevalensi Balita Pendek (Stunting) Provinsi Sulawesi Selatan

mengalami peningkatan dari tahun 2007 (29,1%) meningkat tahun 2010 (36,8%) dan

kembali mengalami peningkatan di tahun 2013 menjadi 40,9% dan masih dipakai

untuk menilai Prevalensi Balita Stunting pada tahun 2014 dan belum mencapai target

yang ditetapkan (34,5%). Angka ini juga menunjukkan bahwa posisi Sulawesi Selatan

di tahun 2014 masih belum mencapai target MDGs yaitu 32%. Hasil PSG di Provinsi

Sulawesi Selatan tahun 2015 menunjukkan Prevalensi Balita Stunting sebesar 34,1%,

kondisi meningkat pada tahun 2016 yaitu menjadi 35,7% dan belum mencapai target

(34,55%). Hasil Rekapitulasi Kabupaten/Kota diketahui bahwa ada 5 Kabupaten/Kota

dengan persentase anak sangat pendek dan pendek yaitu Kabupaten Jeneponto

48%, Kabupaten Enrekang 46%, Kabupaten Tana Toraja 41%, Kabupaten Bantaeng

41% dan Kabupaten Pinrang 41%.

Indikator status gizi ini berdasarkan indeks TB/U memberikan informasi

mengenai indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang

berlangsung lama. Misalnya : kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, dan pola

asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang

mengakibatkan anak menjadi pendek.

4. Cakupan Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP ASI) pada anak usia 6-24 bulan

keluarga miskin

MP-ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung gizi diberikan

kepada bayi/anak untuk memenuhi kebutuhan gizinya. MP-ASI diberikan mulai usia 4

bulan sampai 24 bulan. Semakin meningkat usia bayi/anak, kebutuhan akan zat gizi

semakin bertambah karena tumbuh kembang, sedangkan ASI yang dihasilkan kurang

memenuhi kebutuhan gizi. MP-ASI merupakan makanan peralihan dari ASI ke

makanan keluarga.

Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik

bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan pencernaan bayi/anak.

Pemberian MP-ASI yang cukup dalam hal kualitas dan kuantitas penting untuk

pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan anak yang bertambah pesat pada

periode ini.

Tahun 2016, dilakukan pemberian makanan tambahan kepada anak usia 6-24

bulan sebanyak 13.820 Balita dari keluarga miskin dengan cakupan 100% yang

dilakukan di 24 Kabupaten/Kota. Pemberian makanan pendamping ASI pada keluarga

miskin dimaksudkan untuk membantu kecukupan gizi Balita yang tidak dapat

diperoleh dari Air Susu Ibunya maupun dari makanan/pangan yang tersedia dalam

keluarga tersebut dikarenakan faktor ekonomi. Selain itu perlu ditingkatkan kerjasama

lintas sector khususnya dalam penyediaan lapangan kerja dan suplai pangan kepada

keluarga miskin untuk menopang status gizi mereka.

5. Cakupan Balita gizi buruk mendapat perawatan

Keadaan gizi merupakan salah satu penyebab dasar kematian bayi dan anak.

Gizi buruk seringkali disertai penyakit seperti TB, ISPA, diare dan lain-lain. Risiko

kematian anak gizi buruk 17 kali lipat dibandingkan dengan anak normal. Oleh karena

itu setiap anak gizi buruk harus dirawat sesuai standar.

Cakupan balita kasus gizi buruk yang memperoleh perawatan di 24

Kabupaten/Kota provinsi Sulawesi selatan adalah 100% seluruh kasus Gizi Buruk yang

ditemukan langsung memeperoleh perawatan baik kasus gizi buruk ataupun rawat

jalan ataupun rawat inap. Dengan demikian telah memenuhi target Indikator ini yaitu

100% balita gizi buruk memperoleh perawatan.

Jumlah kumulatif Kasus gizi buruk sepanjang tahun 2016 yang dideteksi baik

dengan atau tanpa gejala klinis dengan kriteria Indikator BB/TB <-3 SD di Provinsi

Sulawesi selatan adalah 159 kasus dan semuanya telah mendapat perawatan sesuai

standar. Angka ini mengalami penurunan dibanding tahun 2015 sebanyak 173 kasus,

tahun 2014 sebanyak 229 kasus dan tahun 2013 yang mencapai 255 Kasus.

Dari rekapitulasi pelaporan Kabupaten/Kota se-Sulawesi Selatan, Kabupaten

dengan jumlah kasus gizi buruk tertinggi adalah Kabupaten Wajo sebanyak 34 kasus,

disusul oleh Kabupaten Toraja sebanyak 15 kasus dan Kabupaten Bone sebanyak 14

kasus.

Sedangkan Kabupaten yang berhasil menekan jumlah kasus gizi buruknya

yaitu Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Sidrap sebanyak 0

kasus.

Untuk Penatalaksanaan Kasus Gizi Buruk secara umum di 24 Kabupaten/kota

Provinsi Sulawesi Selatan, Kasus gizi buruk yang ditemukan dilakukan perawatan

yang meliputi :

1. Pelayanan Medis, keperawatan dan konseling gizi sesuai dengan penyakit

penyerta/penyulit.

2. Pemberian formula dan makanan sesuai fase (4 fase stabilisasi, transisi, rehabilitasi

dan tindak lanjut)

6. Cakupan D/S Posyandu

Cakupan penimbangan balita di Posyandu (D/S) merupakan indikator yang

berkaitan dengan cakupan pelayanan gizi pada balita. Karena Peningkatan jumlah

balita yang ditimbang di posyandu (D/S) akan mendorong meningkatnya cakupan

program lainnya seperti cakupan Vitamin A, Imunisasi dan menurunnya prevalensi gizi

kurang. Kriteria D/S dalam laporan indikator kinerja gizi masyarakat adalah jumlah

bayi dan anak usia 0-23 bulan dan anak usia 24-59 bulan yang ditimbang diposyandu

dan dibandingkan dengan jumlah seluruh anak bayi dan anak usia 0-23 bulan dan

anak usia 24-59 bulan dari posyandu yang melapor.

Dari rekapitulasi pelaporan Kabupaten/Kota didapat persentase balita yang

ditimbang berat badannya (D/S) di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2016 sebesar 81%,

walaupun belum mencapai target (80%) namun mengalami peningkatan bila

dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu 77% (tahun 2014) dan dapat

dikategorikan cukup baik. Terdapat 6 Kabupaten/Kota yang belum memenuhi target

Indikator kinerja Program Gizi Masyarakat 76% yaitu Kabupaten Selayar, Bulukumba,

Bone, Luwu dan Kabupaten Tana Toraja. Sedangkan Kabupaten yang telah memenuhi

target adalah 19 Kabupaten/Kota. Kabupaten Bone adalah Kabupaten yang paling

rendah capaian D/S nya yaitu 49,6% sedangkan Kabupaten paling tinggi capaian D/S

adalah Kabupaten Soppeng (90,5%).

7. Cakupan ASI Eksklusif

WHO/UNICEF dalam “Global strategy for child feeding” merekomendasikan 4

hal penting yang sangat berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak yaitu

: pertama, Memberikan air susu ibu segera dalam waktu 30 menit setelah dilahirkan,

kedua, memberikan hanya air susu (ASI ) saja atau pemberian ASI secara ekslusif sejak

lahir sampai bayi berusia 6 bulan, ketiga memberikan makanan pendamping ASI (MP-

ASI) sejak bayi berusia 6 bulan sampai 24 bulan atau lebih, Keempat yaitu meneruskan

pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan atau lebih. (Depkes, 2006)

Upaya peningkatan cakupan pemberian Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif dilakukan

dengan berbagai strategi, mulai dari penyusunan kerangka regulasi, peningkatan

kapasitas petugas dan promosi ASI Eksklusif. Pada tahun 2010 PemerintahProvinsi

Sulawesi Selatan menerbitkan PERDA No.6 Tentang ASI Eksklusif kemudian pada

tahun 2011 diterbitkan PERGUB No.68 Tentang ASI Eksklusif dan tahun 2012

diterbitkan pula Peraturan Pemerintah tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif (PP

No 33 tahun 2012). Dalam PERDA, PERGUB maupun PP tersebut diatur tugas dan

tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah daerah dalam pengembangan program

ASI, diantaranya menetapkan kebijakan nasional dan daerah, melaksanakan advokasi

dan sosialisasi serta melakukan pengawasan terkait program pemberian ASI Eksklusif.

Sedangkan pada tahun 2015 kegiatan yang dilaksanakan Pengawasan penegakan

tersebut dan Penguatan jejaring dan mitra LS/LP dalam implementasi PERDA dan

PERGUB tentang ASI Eksklusif.

Data Riskesdas menunjukkan 5 Kabupaten Kota tertinggi dengan persentase

pelaksanaan IMD < 1 Jam Proporsi Inisiasi Menyusui Dini (IMD) yaitu Kabupaten Sinjai,

Bantaeng, Takalar, Sidrap, Maros. Untuk angka IMD Provinsi Sulawesi Selatan <1 jam

yaitu 44,9%, data ini lebih tinggi dibandingkan data Nasional yaitu 34,5%. Hal ini

menunjukkan kecenderungan masyarakat Sulawesi selatan dalam melaksanakan IMD

< 1 Jam setelah kelahiran. Inisiasi Menyusui Dini diketahui akan mendorong capaian

ASI Eksklusif.

Pada tahun 2016, untuk kriteria bayi 0-6 bulan mendapat ASI eksklusif yang

diberi ASI saja tanpa makanan lain atau cairan lain berdasarkan recall 24 jam, dari

pelaporan Kabupaten/Kota sebesar 68% dan belum mencapai angka yang

ditargetkan (83%) dan mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yaitu 71,50% di

tahun 2015, 68,45% di tahun 2014 dan 75% di tahun 2013.

Rata-rata prevalensi capaian ASI Eksklusif di 24 Kabupaten/Kota Provinsi

Sulawesi Selatan sebear 42%. Kabupaten yang paling tinggi capaian targetnya adalah

kabupaten Soppeng 81,9% dan yang paling rendah adalah kota Pare-Pare 48%.

8. Cakupan Pendistribusian Vitamin A pada Balita

Vitamin A merupakan salah satu zat gizi penting, berfungsi untuk penglihatan,

pertumbuhan dan dan meningkatkan daya tahan tubuh. Secara nasional masalah

kekurangan vitamin A pada balita secara klinis sudah tidak merupakan masalah

kesehatan masyarakat namun untuk pendistribusian kapsul vitamin A tetap

merupakan program utama guna pengentasan masalah gizi mikro. Program

pemberian kapsul vitamin A dilaksanakan sebanyak 2 kali setahun yaitu bulan februari

dan agustus dengan spesifikasi vitamin A berwarna biru 100.000IU diperuntukkan bagi

bayi usia 6-11 bulan dan vitamin A berwarna merah 200.000 IU bagi balita usia 12-59

bulan.

Dari Rekapitulasi pelaporan Kabupaten/Kota diperoleh data Cakupan

Pendistribusian Vitamin A pada Balita pada tahun 2016 sebesar 85%, belum mencapai

target yang ditetapkan (87%). Angka ini menurun bila dibandingkan dengan tahun

sebelumnya yaitu sebesar 88% di tahun 2015. Penurunan capaian ini menunjukkan

bahwa masih diperlukan peningkatan usaha pemerintah dalam pendistribusian

vitamin A dan peningkatan akses transportasi terhadap daerah-daerah DTPK

diharapkan lebih terbuka. Pelaporan menunjukkan rata-rata persentase cakupan

pemberian Vitamin A di Kabupaten/Kota telah mencapai di atas 80%, Kabupaten

yang capaiannya masih di bawah 80% yaitu Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Luwu,

Kabupaten Sinjai dan Kabupaten Gowa. Kabupaten Gowa adalah Kabupaten dengan

capaian paling Rendah yaitu 57,1 %. Dan Kota Pare-Pare adalah yang tertinggi

capaiannya yaitu 96,4%.

9. Cakupan Ibu hamil yang mengkonsumsi tablet Fe 90 tablet

Kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada

pertumbuhan, baik sel tubuh maupun sel otak. Kekurangan kadar Hb dalam darah

dapat menimbulkan gejala lesu, lemah, letih, lelah dan cepat lupa. Akibatnya dapat

menurunkan prestasi belajar, olah raga dan produktifitas kerja. Selain itu anemia gizi

besi akan menurunkan daya tahan tubuh dan mengakibatkan mudah terkena infeksi.

Upaya pencegahan dan penanggulangan anemia diprioritaskan pada kelompok

rawan gizi yaitu Ibu Hamil dan memperoleh 90 tablet Fe selama kehamilan.

Hingga tahun 2016, rekapitulasi data Kabupaten/Kota menunjukkan cakupan

Ibu hamil yang mengkonsumsi tablet Fe 90 tablet sebesar 87% dan belum mencapai

target Penetapan Kinerja Dinas Kesehatan untuk tahun 2016 (90%). Dari data 24

Kabupaten/Kota Provinsi Sulawesi selatan terdapat 9 Kabupaten/Kota yang belum

mencapai target cakupan Ibu hamil yang mengkonsumsi tablet Fe 90 tablet yaitu

Kabupaten, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Maros dan

Kabupaten Pangkep. Kabupaten dengan capaian paling Rendah yaitu Kabupaten

Sidrap sebesar 65,7% dan Kabupaten dengan capaian paling tinggi yaitu Kabupaten

Wajo dan Kabupaten Gowa sebesar 98,1%.

10. Cakupan Konsumsi Garam Beryodium

Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) di Indonesia merupakan salah

satu masalah kesehatan masyarakat yang serius mengingat dampaknya sangat besar

terhadap kelangsungan hidup dan kualitas sumber daya manusia. Untuk

menanggulangi GAKY, penambahan yodium pada semua garam konsumsi telah

disepakati sebagai cara yang aman, efektif dan berkesinambungan untuk mencapai

konsumsi yodium yang optimal bagi semua rumah tangga dan masyarakat.

Salah satu indikator yang harus dicapai dalam pencapaian kinerja program gizi

masyarakat adalah cakupan konsumsi garam tingkat rumah tangga yang dilakukan

selama 2 kali setahun yaitu pada bulan februari dan agustus. Kriteria rumah tangga

yang mengkonsumsi garam beryodium adalah Rumah tangga dengan hasil pengujian

garam menggunakan iodine test menunjukkan warna ungu pucat dan ungu pekat.

Hal ini menjelaskan kandungan yodium 30-80 part per million.

Kecenderungan konsumsi garam beryodium Tingkat Rumah Tangga untuk

Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2016 berdasarkan pelaporan 24 Kabupaten/Kota yaitu

sebesar 99% dan telah melampaui angka yang ditargetkan (90%). Kondisi ini juga

meningkat bila dibandingkan dengan capaian tahun lalu yaitu sebesar 99%

di tahun 2015.

11. Cakupan Kabupaten/Kota yang melaksanakan Surveilans Gizi

Surveilans gizi adalah kegiatan analisis secara sistematis dan terus menerus

terhadap masalah gizi buruk dan indikator pembinaan gizi masyarakat agar dapat

melakukan tindakan penanggulangan secara efektif, efisien dan tepat waktu melalui

proses pengumpulan data, pengolahan, penyebaran informasi kepada penyelenggara

program kesehatan dan tindak lanjut sebagai respon terhadap perkembangan

informasi.

Di Provinsi Sulawesi selatan sampai dengan tahun 2016, 24 Kabupaten/Kota

telah melaksanakan kegiatan surveilans gizi sesuai target indikator kinerja Gizi

masyarakat yaitu 100% Kabupaten/Kota melaksanakan kegiatan surveilans gizi.

Dalam mencapai sasaran meningkatnya status gizi masyarakat, didukung oleh

Program Perbaikan Gizi Masyarakat melalui kegiatan Fasilitasi dan Bimbingan Teknis

Petugas terkait pembinaan masyarakat menuju 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK),

Bimbingan teknis Pendampingan Surveilans Gizi dan On The Job Training KMS baru

pada 427 Puskesmas, Peningkatan Kapasitas Kader dalam Pemanfaatan Pangan Lokal

untuk mengatasi Gizi Kurang, Pengawasan Penegakan PERDA dan PERGUB ASI dan

Penguatan Jejaring dan Mitra LS/LP dalam Implementasi PERDA/PERGUB ASI.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pencapaian sasaran ini, antara lain :

1. Ketersediaan alat pengukur status gizi (Antropometri), sehingga dengan cepat dapat

dilakukan penilaian terhadap status gizi masyarakat.

2. Dukungan Dana dan Bantuan Makanan Tambahan (MP-ASI) dari Pusat untuk ibu

hamil KEK (Kurang Energi Kronis) dan Balita Miskin.

3. Adanya tenaga terlatih deperti konselor ASI, walaupun dirasa masih terbatas namun

dapat mendukung kinerja Tim Tata Laksana Penanganan Kasus Gizi Buruk.

4. Dukungan Pemda Kabupaten/Kota dalam menindaklanjuti Perda No. 6 Tahun 2010

dan Pergub No. 68 Tahun 2011 tentang ASI melalui Penegakan Perda ASI di masing-

masing Kabupaten/Kota.

5. Sistem Pelaporan Gizi (Surveilans Berbasis Web) yang secara on line setiap saat

sehingga dapat dengan cepat diketahui permasalahan-masalahan di sektor gizi

masyarakat.

Secara umum beberapa permasalahan yang timbul terkait Peningkatan Status Gizi

Masyarakat, antara lain :

1. Kurangnya kordinasi kerjasama lintas sektor dalam hal penanggulangan gizi buruk.

2. Kesenjangan dalam hal pendapatan keluarga yang dampaknya berimbas pada

penyediaan pangan di tingkat rumah tangga.

3. Dengan terbukanya akses pelayanan kesehatan dengan adanya kesehatan gratis

menjadi salah satu penyebab ditemukannya kasus-kasus baru.

4. Dari sisi penyediaan anggaran keberpihakan anggaran APBD terhadap program gizi

di tingkat Kabupaten/Kota dalam kurun waktu terakhir sangat rendah. Hal ini

disebabkan adanya harapan akan mendapatkan anggaran bersumber dari APBN

sedangkan kebijakan dari Kementerian Kesehatan bersumber APBN hanyalah bersifat

suplemen bagi APBD.

Upaya pemecahan yang dapat dilakukan terhadap masalah tersebut di atas antara lain:

1. Peningkatan dan penguatan kerjasama lintas sektor serta kemitraan lintas program,

organisasi profesi dan lembaga swadaya masyarakat dalam pengentasan

permasalahan gizi.

2. Pemberian kesempatan melalui dukungan dana dalam pembukaan lapangan kerja

swadaya bagi masyarakat khususnya masyarakat miskin dan tidak mampu.

3. Penguatan jejaring sistem pencatatan dan pelaporan serta umpan balik hasil kegiatan

surveilans gizi mulai dari Tingkat Puskesmas hingga Dinas Kesehatan Provinsi

sehingga dapat dihasilkan data yang akurat secara cepat dan tepat.

4. Advokasi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk lebih fokus dalam pengalokasian

anggaran di sektor gizi masyarakat.

‘’ Meningkatnya Cakupan Pelayanan Kesehatan’’

Sasaran ini diukur melalui 12 (dua belas) indikator kinerja dan mendapatkan angka

capaian kinerja sasaran sebesar 93,20%. Hasil pengukuran capian kinerja sasaran

Meningkatnya Cakupan Pelayanan Kesehatan disajikan dalam tabel berikut ini :

Tabel 5.

Capaian Kinerja Sasaran 3

No. Indikator Kinerja Target Realisasi Capaian

1. Jumlah Kasus Kematian

Bayi 1.021 kasus 1.183 kasus 86,31%

2. Jumlah Kasus Kematian

Ibu 105 kasus 156 kasus 67,31%

3. Cakupan Kunjungan Ibu

Hamil K4 93% 89,25% 95,97%

4. Cakupan Komplikasi

Kebidanan yang

ditangani

69% 76,48% 110,84%

5. Cakupan Pertolongan

Persalinan Oleh Tenaga

Kesehatan yang Memiliki

Kompetensi Kebidanan

95% 92,90% 97,79%

6. Cakupan Pelayanan

Nifas

91% 91,32% 100,35%

7. Cakupan Neonatus

dengan Komplikasi yang

ditangani

95% 60,66% 63,85%

8. Cakupan Kunjungan

Bayi 96% 98,08% 102,17%

9. Cakupan Pelayanan

Anak Balita 75% 69,09% 92,12%

No. Indikator Kinerja Target Realisasi Capaian

10. Cakupan Peserta KB

Aktif 67% 72,39% 108,04%

11. Cakupan Penjaringan

Kesehatan Siswa SD

Setingkat

97% 87,5% 90,21%

12. Persentase Kelompok

Lansia Aktif 88% 91% 103,41%

Rata-rata Capaian 93,20%

Berdasarkan hasil pengukuran indikator kinerja pada sasaran ini, terdapat 5 (lima)

indikator yang sudah mencapai bahkan melebihi target yang telah ditetapkan dalam

Rencana Kerja Tahun 2016, yaitu :

1) Cakupan Komplikasi Kebidanan yang ditangani

2) Cakupan Pelayanan Nifas

3) Cakupan Kunjungan Bayi

4) Cakupan Peserta KB Aktif

5) Persentase Kelompok Lansia Aktif

Selain itu ada 3 (tiga) indikator kinerja pada sasaran ini yang perlu mendapat

perhatian khusus karena belum mencapai target yang ditetapkan yaitu :

1) Jumlah Kasus Kematian Ibu

2) Jumlah Kasus Kematian Bayi

3) Cakupan Neonatus dengan Komplikasi yang ditangani

Indikator tersebut di atas belum mencapai target Provinsi dan target Nasional

diakibatkan oleh adanya beberapa hambatan/masalah dari sisi input dan proses. Dari sisi

input hambatan yang terjadi berasal dari masalah ketenagaan, pembiayaan, manajemen

perencanaan, sarana dan prasarana.

Hasil pengukuran indikator kinerja pada sasaran ini dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Jumlah Kasus Kematian Bayi

Meningkatnya Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan permasalahan di sektor

kesehatan khususnya di Sulawesi Selatan menjadi tanggungjawab bersama untuk

dicegah. Bayi merupakan investasi SDM untuk masa yang akan datang. Kualitas

kehidupan bayi secara tidak langsung akan menjadi estimasi kualitas kehidupan

bangsa di masa yang akan datang. Selain itu AKB selain merupakan indikator yang

mengukur derajat kesehatan juga sebagai indikator yang menilai tingkat kesejahteraan

suatu bangsa.

Diakui dari tahun 2013 hingga akhir tahun 2016 jumlah kasus kematian bayi di

Provinsi Sulawesi Selatan mengalami peningkatan yaitu sebanyak 1.041 kasus di tahun

2013, meningkat menjadi 1.113 kasus pada tahun 2014, meningkat menjadi 1.167 kasus

di tahun 2015 kemudian kembali meningkat menjadi 1.183 kasus di tahun 2016.

Tingginya jumlah kasus kematian bayi ini disebabkan banyaknya permasalahan yang

dihadapi baik dari sisi input awal perencanaan, implementasi maupun evaluasi. Selain

itu penyelarasan konsep kebijakan di bagian top dan bottom agar dapat seirama

dalam pelaksanaan sesuai dengan rencana. Hal ini menjadi perhatian khusus bagi

Pemerintahterutama dalam peningkatan kegiatan yang bersifat Preventif dan Promotif

yang bertujuan Pemberdayaan masyarakat dalam menekan jumlah kasus kematian

bayi.

2. Jumlah Kasus Kematian Ibu

Defenisi Kematian ibu, menurut ICD 10 didefenisikan sebagai “Kematian

seorang wanita yang terjadi saat hamil atau dalam 42 hari setelah akhir kehamilannya,

tanpa melihat usia dan letak kehamilannya, yang diakibatkan oleh sebab apapun yang

terkait dengan atau diperburuk oleh kehamilannya atau penanganannya, tetapi bukan

disebabkan oleh insiden dan kecelakaan”. Defenisi tersebut membedakan dua

kategori kemtian ibu. Pertama adalah kematian ibu yang disebabkan oleh penyebab

langsung obstetry yaitu kematian yang diakibatkan langsung oleh kehamilan dan

persalinannya. Kedua adalah kematian yang disebabkan oleh penyebab tidak

langsung yaitu kematian yang terjadi pada ibu hamil yang disebabkan oleh penyakit

dan bukan oleh kehamilan atau persalinannya.

Tahun 2016 Rekapitulasi Data Kabupaten/Kota menunjukkan jumlah kasus

kematian ibu di Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 156 kasus. Kondisi ini belum

mencapai angka yang ditargetkan yaitu 105 kasus dan mengalami peningkatan

sebanyak 11 kasus dari tahun sebelumnya (tahun 2015 = 149 kasus). Adapun daerah

yang memberikan kontribusi jumlah kasus kematian ibu terbesar di tahun 2016 adalah

Kabupaten Gowa sebanyak 18 kasus, Kabupaten Bone sebanyak 12 kasus dan

Kabupaten Luwu Utara sebanyak 11 kasus. Sedangkan Kabupaten dengan jumlah

kasus kematian Ibu paling sedikit yaitu Kabupaten Bantaeng sebanyak 1 kasus.

Rata-rata penyebab kematian ibu di Sulawesi Selatan terjadi karena keluarga

terlambat mengenali tanda bahaya dan mengambil keputusan, petugas kesehatan

penolong persalinan terlambat merujuk dan ibu bersalin sehingga menyebabkan

keterlambatan dalam penanganan yang adekuat didiukung keterbatasan sarana dan

prasarana di fasilitas kesehatan dan SDM yang berkompetensi di bidangnya. Selain itu

keterlambatan deteksi dini faktor resiko dan rendahnya kualitas ANC.

3. Cakupan Kunjungan Ibu Hamil K4

Cakupan kunjungan ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan antenatal

sesuai dengan standar, paling sedikit empat kali dengan distribusi waktu 1 kali pada

trimester ke-1, 1 kali pada trimester ke-2 dan 2 kali pada trimester ke-3 di Provinsi

Sulawesi Selatan untuk tahun 2016 adalah 89,25%. dan menghampiri angka yang

ditargetkan (93%) dan mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tahun

sebelumnya (tahun 2015 = 91,72%). Walaupun peningkatan cakupan ini tidak terlalu

besar namum Peningkatan persentase ini menunjukkan perbaikan derajat kesehatan

bagi ibu hamil karena meningkatnya kesadaran ibu hamil untuk memeriksakan

kandungannya secara rutin ke fasilitas pelayanan kesehatan.

Kabupaten yang mencapai cakupan K4 tertinggi adalah Kota Makassar

(96,87%) sedangkan Kabupaten dengan K4 terendah adalah Kabupaten Enrekang

yaitu (68,95%) dan Kesenjangan antara K1 dan K4 masih ada sebesar 21,51%. Hal ini

masih menandakan bahwa belum semua ibu hamil yang datang kontak pertama (K1)

dengan petugas kesehatan datang kembali untuk memeriksakan kehamilannya

secara rutin sesuai standar sampai dengan trimester III. Berdasarkan hal tersebut perlu

penelusuran dan intervensi lebih lanjut.

Drop Out tersebut dapat disebabkan karena ibu yang kontak pertama (K1)

dengan tenaga kesehatan dengan kehamilan sudah berumur lebih dari 3 bulan.

Sehingga diperlukan intervensi peningkatan pendataan ibu hamil yang lebih intensif.

4. Cakupan Komplikasi Kebidanan yang ditangani

Indikator kinerja ini mengukur kemampuan manajemen program Kesehatan

Ibu dan anak dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan secara profesional

kepada ibu hamil, bersalin dan nifas dengan komplikasi. Dari data yang diperolah

cakupan ibu hamil dengan komplikasi kebidanan yang ditangani secara defenitif

sesuai dengan standar oleh tenaga kesehatan berkompeten pada tingkat pelayanan

dasar dan rujukan untuk tahun 2016 di Provinsi Sulawesi Selatan adalah 76,48%, telah

mencapai target yang ditetapkan (69%) namun mengalami penurunan capaian

dibandingkan dengan tahun 2015 (79,21%). Hal ini menunjukkan masih perlunya

ditingkatkan upaya yang mendukung peningkatan kualitas Pelayanan Kesehatan Ibu

yang sesuai standar di Sulawesi Selatan khususnya dalam penyediaan sarana

prasarana dan peningkatan kapasitas tenaga kesehatan sesuai kompetensinya.

Kabupaten yang mencapai cakupan tertinggi adalah Kabupaten Luwu Utara

yang telah mencapai 116,99%, disusul oleh Kabupaten Sinjai 94,95% dan Kabupaten

Bulukumba 88,52%. Sedangkan Kabupaten dengan Penanganan komplikasi terendah

adalah Kabupaten Maros sebesar 53,87%. Penyebab belum optimalnya penanganan

komplikasi pada beberapa Kabupaten/Kota antara lain disebabkan karena mobilitas

tenaga kesehatan cukup tinggi (termasuk mobilisasi petugas/bidan yang sudah

terlatih sesuai dengan kompetensinya) dan sistem pencatatan pelaporan yang belum

berjalan dengan baik.

5. Cakupan Pertolongan Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan yang Memiliki Kompetensi

Kebidanan (PN)

Indikator ini dapat diperkirakan proporsi persalinan yang ditangani oleh tenaga

kesehatan dan ini menggambarkan kemampuan manajemen program KIA dalam

pertolongan persalinan sesuai standar. Data 24 Kabupaten/Kota memperlihatkan

cakupan kunjungan ibu bersalin yang memperoleh pertolongan persalinan oleh

tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan untuk tahun 2016 di Provinsi

Sulawesi Selatan adalah 92,90% dan belum mencapai target yang ditetapkan (93%).

Angka ini mengalami penurunan bila dibandingkan dengan cakupan tahun 2015 yaitu

sebesar 94,02%.

Kabupaten yang mencapai cakupan PN tertinggi adalah Kabupaten bantaeng

100,12% disusul oleh Kabupaten Toraja Utara sebesar 95,50% dan Kota Makassar

sebesar 95,15%, sedangkan Kabupaten dengan capaian PN terendah adalah

Jeneponto yaitu 86,65 % dan Kabupaten Selayar sebesar 86,66%.

6. Cakupan Pelayanan Nifas (Kf)

Indikator ini mengukur cakupan pelayanan nifas secara lengkap yang

memenuhi standar pelayanan dan menepati waktu yang ditetapkan serta untuk

menjaring KB Pasca Persalinan. Untuk tahun 2016 cakupan pelayanan kepada ibu

pada masa 6 jam sampai dengan 42 hari pasca persalinan sesuai standar paling

sedikit 3 kali dengan distribusi waktu 6 jam – 3 hari (Kf 1), 4 – 28 hari (Kf 2) dan 29-42

hari setelah bersalin (Kf 3) di Provinsi Sulawesi Selatan adalah 91,32%. Angka ini telah

mencapai target yang ditetapkan (91%). Persentase capaian Kabupaten/Kota untuk

Cakupan Kf ini telah menunjukkan rata-rata angka capaian berada di atas 80%, hanya

Kabupaten Jeneponto yang capaiannya di bawah 80% yaitu sebesar 78,44%.

Kabupaten yang mencapai cakupan Kf tertinggi adalah Kabupaten Toraja Utara

sebesar 96,01% disusul oleh Kabupaten Wajo sebesar 95,03% dan Kabupaten Gowa

sebesar 94,25%.

7. Cakupan Neonatus dengan Komplikasi yang ditangani

Cakupan penanganan Neonatal yang mengalami Komplikasi sebagai indikator

kompetensi petugas dalam menangani bayi baru lahir yang bermasalah baik di

rumah, sarana pelayanan kesehatan dasar maupun sarana pelayanan kesehatan

rujukan. Pelayanan sesuai standar antara lain sesuai standar Manajemen Terpadu Bayi

Muda (MTBM). Manajemen Asfiksia Bayi Baru Lahir, Manajemen Bayi Berat Lahir

Rendah atau pelayanan sesuai standar pelayanan lainnya. Dalam melaksanakan

pelayanan neonatus selain pemeriksaan kesehatan juga dilakukan konseling

perawatan bayi kepada ibu. Hasil capaian Cakupan Neonatus dengan Komplikasi yang

ditangani di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2016 sebesar 60.66%, angka ini belum

mencapai target yang ditetapkan (95%) dan mengalami penurunan drastis bila

dibandingkan dengan capaian tahun sebelumnya yaitu sebesar 88,74% di tahun 2015.

Hal ini menunjukkan bahwa masih perlunya upaya peningkatan kualitas tenaga

kesehatan khususnya bidan Desa dalam penanganan komplikasi pada ibu dan

neonatal.

8. Cakupan Kunjungan Bayi

Cakupan pelayanan kesehatan bayi merupakan pelayanan kesehatan yang

diberikan sesuai dengan standar pelayanan kesehatan bayi kurang dari 1 (satu) tahun

setelah masa neonatus. Pemeriksaan kesehatan bayi meliputi pemberian imunisasi

dasar (BCG, DPT/HBI-3, polio 1-4 dan campak), stimulasi deteksi intervensi dini

tumbuh kembang (SDIDTK) bayi pemberian vitamin A pada bayi dan penyuluhan

perawatan kesehatan bayi serta penyuluhan ASI Eksklusif, MP ASI dan lain-lain. Selain

itu pemeriksaan kesehatan bayi juga dilakukan melalui konseling tentang perawatan

bayi kepada ibu dan penyuluhan perawatan neonates di rumah menggunakan buka

KIA.

Hasil capaian cakupan kunjungan bayi pada sarana pelayanan kesehatan di

Kabupaten/kota se-Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2016 sebesar 98,08% dan telah

melebihi angka yang ditargetkan (95%) bahkan telah mencapai angka yang

ditargetkan di akhir periode Renstra Dinas Kesehatan yaitu sebesar 96%. Bila

dibandingkan dengan tahun sebelumnya mengalami peningkatan sebesar 2,88%

(tahun 2015 = 98,11%).

9. Cakupan Pelayanan Anak Balita

Pelayanan kesehatan anak balita adalah pelayanan kesehatan anak balita

sesuai standar yang diberikan oleh tenaga kesehatan pada anak usia 12-59 bulan

dalam upaya Meningkatkan kualitas hidup anak balita diantaranya adalah melakukan

pemantauan pertumbuhan dan perkembangan dan stimulasi tumbuh kembang pada

anak dengan menggunakan instrumen SDIDTK, pembinaan posyandu, pembinaan

anak prasekolah (PAUD) dan konseling keluarga pada kelas ibu balita dengan

memanfaatkan buku KIA, perawatan anak balita dengan pemberian ASI sampai 2

tahun, makanan gizi seimbang dan vitamin A.

Hasil capaian cakupan pelayanan kesehatan anak Balita Kabupaten/kota di

Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2015 sebesar 69,09%, dan belum mencapai target

yang ditetapkan (75%), mengalami penurunan persentase dari tahun sebelumnya

(2015) yaitu sebesar 76,51%.

10. Cakupan Peserta KB Aktif

Indikator ini menunjukkan jumlah peserta KB baru dan lama yang masih aktif

memakai alokon terus-menerus hingga saat ini untuk menunda, menjarangkan

kehamilan atau yang mengakhiri kesuburan. Cakupan dari peserta KB yang baru dan

lama yang masih aktif menggunakan alat dan obat kontrasepsi (alakon) dibandingkan

dengan jumlah pasangan usia subur untuk tahun 2016 di Provinsi Sulawesi Selatan

adalah 72,39%, telah mencapai target yang ditetapkan (67%) dan meningkat dari

capaian tahun 2015 (71,38%). Kabupaten yang mencapai Cakupan Keluarga

Berencana tertinggi adalah Kabupaten Sinjai sebesar 79,52% sedangkan Kabupaten

terendah adalah Kabupaten Enrekang 46,69%.

11. Cakupan Penjaringan Kesehatan Siswa SD Setingkat

Penjaringan Kesehatan siswa SD setingkat adalah pemeriksaan kesehatan

terhadap siswa baru kelas 1 SD atau Madrasah Ibtidayah (MI) yang meliputi

pengukuran tinggi badan, berat badan, pemeriksaaan ketajaman mata, ketajaman

pendengaran, kesehatan gigi, kelainan mental emosional dan kebugaran jasmani.

Pelaksanaan penjaringan kesehatan dikoordinir oleh Puskesmas bersama dengan guru

sekolah dan kader kesehatan. Setiap Puskesmas mempunyai tugas melakukan

penjaringan kesehatan siswa SD/MI di wilayah kerjanya dan dilakukan satu kali pada

setiap awal tahun ajaran baru sekolah.

Tahun 2016 ditargetkan 97% siswa SD dan setingkat mendapatkan pemantauan

kesehatan melalui penjaringan kesehatan siswa SD dan setingkat diharapkan dapat

menjaring anak yang sakit dan melakukan tindakan intervensi secara dini, sehingga

anak yang sakit menjadi sembuh dan anak yang sehat tidak tertular menjadi sakit.

Data terakhir menunjukkan Cakupan Penjaringan Kesehatan Siswa SD Setingkat

Kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2016 sebesar 87,5% diaki belum

mencapai target namun persentase ini meningkat bila dibandingkan dengan tahun

2015 yaitu sebesar 86,74%.

12. Persentase Kelompok Lansia Aktif

Untuk memperbaiki kualitas sumber daya manusia lanjut usia perlu mengetahui

kondisi lanjut usia di masa lalu dan masa sekarang sehingga orang lanjut usia dapat

diarahkan menuju kondisi kemandirian. Sehubungan dengan kepentingan tersebut

perlu diketahui kondisi lanjut usia yang menyangkut kondisi kesehatan, kondisi

ekonomi, dan kondisi sosial. Dengan mengetahui kondisi-kondisi itu, maka keluarga,

pemerintah, masyarakat atau lembaga sosial lainnya dapat memberikan perlakuan

sesuai dengan masalah yang menyebabkan orang lanjut usia tergantung pada orang

lain. Jika lanjut usia dapat mengatasi persoalan hidupnya maka mereka dapat ikut

serta mengisi pembangunan salah satunya yaitu tidak tergantung pada orang lain.

Dengan demikian angka ratio ketergantungan akan menurun, sehingga beban

Pemerintah akan berkurang.

Pada tahun 2016 dilakukan peningkatan manjemen pembinaan kesehatan lanjut

usia dengan memberikan informasi terbaru pada pengelola program lansia di

Kabupaten/Kota berdasarkan hasil pertemuan pengelola program lansia di tingkat

pusat dan memberikan saran/masukan pada pengelola program lansia di

Kabupaten/Kota dalam melaksanakan pembinaan kepada kelompok lansia. Kegiatan

yang dilaksanakan di tingkat Posyandu antara lain penyuluhan gizi dan konseling usia

lanjut dilakukan untuk meningkatkan dan memperbaiki status gizi yang dilaksanakan

secara terpadu pada waktu pemeriksaan secara berkala ditempat pelayanan. Sampai

dengan bulan Desember tahun 2016 jumlah kelompok lansia yang ada di Provinsi

Sulawesi Selatan sebanyak 4.821 kelompok dan yang jumlah kelompok yang aktif

sebanyak 4.387 kelompok (91%), persentase ini meningkat bila dibandingkan dengan

tahun sebelumnya (2015) sejumlah 4.297 kelompok lansia yang aktif (89,14%).

Dalam rangka mencapai sasaran Meningkatnya Cakupan Pelayanan Kesehatan

didukung oleh Program Peningkatan Pelayanan Kesehatan Ibu, Anak, Balita dan Lanjut

Usia melalui kegiatan antara lain Peningkatan Kapasitas Petugas dalam Pelayanan

Kesehatan Ibu dan Reproduksi yang sesuai standar, Pertemuan Pemantapan Pelayanan KB

Metode Jangka Panjang serta Sistem Pencatatan, Pertemuan Pokja AKI/AKB untuk

penguatan sistem Pelayanan Ibu dan reproduksi dalam Rangka Akselerasi Penurunan AKI

dan AKB, Lomba Lansia Sehat Tingkat Provinsi Sulawesi Selatan, Lomba Posyandu Lansia,

Lomba balita Sehat Indonesia (LBSI) dan Pertemuan Pemanfaatan buku KIA untuk Bidan

Praktek Swasta dan Rumah Sakit

Faktor-faktor yang mendukung pencapaian sasaran ini, adalah :

1. Program Suami Siaga dan RW Siaga dalam rangka peningkatan cakupan persalinan

tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan.

2. Efektifitas Rumah Tunggu kelahiran dalam upaya mendekatkan akses ke fasilitas

layanan kesehatan.

3. Penggerakan masyarakat dan LS/LP mendukung program KIA.

Dalam pelaksanaan upaya Peningkatan Pelayanan Kesehatan Ibu, Anak, Balita dan

Lansia, tentu saja ditemukan beberapa kendala sehingga terjadi penurunan capaian kinerja

dalam pencapaian sasaran ini, antara lain :

1. Keterlambatan pengambilan keputusan oleh keluarga dalam mengatasi permasalahan

kesehatan khususnya dalam bidang KIA, seperti terlambat ke Fasilitas Pelayanan

Kesehatan dan terlambat dalam mengenali tanda bahaya kehamilan dan persalinan

yang beresiko sehingga terlambat dalam mendapatkan pertolongan dan tindakan

kesehatan.

2. Masih adanya pengaruh budaya/mitos pada masyarakat terhadap keehatan ibu hamil

dan bayi sehingga berpengaruh pada asupan makanan, status gizi ibu hamil dan bayi.

3. Penatalaksanaan komplikasi obstetri dan neonatal belum terlaksana optimal baik dalam

penanganan maupun pencatatan dan pelaporan.

4. Mobilisasi jumlah sasaran ibu hamil sehingga menyebabkan Drop Out dari

pemantauan petugas dan Adanya migrasi ibu hamil dari luar wilayah dengan riwayat

kasus kehamilan resiko tinggi.

5. Distribusi tenaga kesehatan khususnya bidan tidak proporsional terhadap jumlah

sasaran ibu hamil, Bayi dan Balita.

6. Peran aktif lintas sektor masih terbatas dan terbatasnya jangkauan pelayanan terutama

pada daerah-daerah terpencil dan kepulauan (DTPK) serta belum optimalnya

pembinaan tumbuh kembang anak dan kesehatan remaja.

Strategi Pemecahan Masalah yang dihadapi :

1. Peningkatan sosialisasi dan frekwensi penyuluhan penanganan deteksi dini resiko

kehamilan dan persalinan serta permasalahan di bidang KIA lainnya dengan

memberdayakan kader-kader Posyandu serta meningkatkan keaktifan program suami

siaga dan RW siaga dengan lebih mengarahkan pada program pendekatan keluarga.

2. Sinergitas program perbaikan gizi khususnya pada kelompok ibu hamil dan bayi/balita,

serta pemberian pemahaman melalui pendekatan kedaerahan terhadap mitos dan

pola konsumsi masyarakat yang masih terpengaruh budaya.

3. Peningakatan kapasitas petugas melalui pelatihan-pelatihan penanganan komplikasi

obstetri dan neonatal khususnya bagi tenaga Puskesmas PONED.

4. Peningkatan Sweeping Ibu Hamil dan Bayi/Balita khususnya yang beresiko tinggi.

5. Advokasi Pemda Kabupaten/Kota untuk menerbitkan regulasi yang mengatur tentang

penempatan tenaga strategis dan fungsional terlatih terutama pada daerah DTPK.

6. Pemberdayaan keluarga dan masyarakat, melibatkan peran serta Lintas Sektor terkait

melalui forum-forum wilayah setempat.

‘’ Meningkatnya Sarana dan Prasarana Kesehatan

yang Berbasis Masyarakat’’

Sasaran ini diukur melalui 2 (Dua) indikator kinerja dan mendapatkan angka

capaian kinerja sasaran sebesar 96,43%. Hasil pengukuran capian kinerja sasaran

Meningkatnya Sarana dan Prasarana Kesehatan yang Berbasis Masyarakat disajikan

dalam tabel berikut ini :

Tabel 6.

Capaian Kinerja Sasaran 4

No. Indikator Kinerja Target Realisasi Capaian

1.

Cakupan PHBS Rumah

Tangga

60% 56,26% 93,77%

2.

Cakupan Desa Siaga Aktif

b. Pratama

c. Madya

d. Purnama

e. Mandiri

98%

20%

31%

34%

15%

97,11%

45,59%

27,07%

22,71%

4,3%

99,09%

43,87%

114,52%

66,79%

28,67%

Rata-rata Capaian 96,43%

Pencapaian indikator kinerja sasaran ini, diuraikan sebagai berikut :

1. Cakupan PHBS Rumah Tangga

Indikator pertama Cakupan PHBS Rumah Tangga belum mencapai target

yang ditetapkan. Dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir angka ini mengalami

peningkatan pencapaian. Pada tahun 2014 cakupan PHBS Rumah Tangga sebesar

53,56%, meningkat menjadi 54,57% di tahun 2015 dan kembali meningkat menjadi

56,26% di tahun 2106.

Pola hidup sehat merupakan perwujudan paradigma sehat yang berkaitan

dengan perilaku perorangan, keluarga, kelompok, dan masyarakat yang berorientasi

sehat dengan meningkatkan, memelihara, dan melindungi kualitas kesehatan baik

fisik, mental, spiritual maupun sosial. Pembinaan PHBS di rumah tangga dilakukan

untuk mewujudkan rumah tangga sehat. Rumah Tangga Sehat adalah rumah tangga

yang memenuhi 7 indikator PHBS dan 3 indikator gaya hidup sehat sebagai berikut :

1. Persalinan oleh tenaga kesehatan

2. Pemberian ASI Eksklusif

3. Penimbangan Balita

4. Cuci tangan sebelum makan

5. Menggunakan air bersih

6. Menggunakan jamban sehat

7. Bebas Jentik

Sedangkan 3 indikator gaya hidup sehat, yaitu :

8. Tidak merokok dalam rumah

9. Melakukan aktivitas fisik/olahraga setiap hari

10. Makan buah dan sayur setiap hari

Kegiatan pembinaan rumah tangga ber-PHBS dan pengembangan desa siaga aktif

merupakan upaya untuk memberikan kesempatan dan Meningkatkan kemampuan

masyarakat khususnya masyarakat miskin agar mau dan mampu mengadopsi inovasi di

bidang kesehatan demi tercapainya peningkatan produktivitas, memperbaiki mutu hidup

dan tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

Selain itu penerapan PHBS di fasilitas pelayanan kesehatan merupakan upaya untuk

memberdayakan pasien, masyarakat pengunjung dan petugas agar tahu, mau dan

mampu untuk mempraktikkan PHBS dan berperan aktif dalam mewujudkan fasilitas

pelayanan kesehatan yang sehat dan mencegah penularan penyakit di fasilitas pelayanan

kesehatan. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan guna efektivitas PHBS di fasilitas

pelayanan kesehatan, antara lain :

- Penyediaan Antiseptik untuk mencuci tangan pakai sabun (hand rub/hand

wash/hand sanitizer) di lorong-lorong fasilitas Pelayanan Kesehatan.

- Penyediaan/Penggunaan air bersih

- Penggunaan jamban sehat

- Peringatan membuang sampah pada tempatnya

- Larangan untuk tidak merokok

- Larangan untuk tidak meludah sembarangan

- Pemberantasan jentik nyamuk yang dilakukan secara rutin

2. Cakupan Desa Siaga Aktif

Desa dan Kelurahan Siaga Aktif adalah bentuk pengembangan dari desa siaga

yang telah dimulai sejak tahun 2006. Dengan terbentuknya desa siaga aktif, penduduk

dapat mengakses dengan mudah pelayanan kesehatan dasar melalui Pos Kesehatan

Desa (Poskesdes) atau sarana kesehatan yang ada di wilayahnya. Selain itu juga memiliki

Upaya Kesehatan Bersumber Masyarakat (UKBM) yang melaksanakan upaya surveilans

berbasis masyarakat, penanggulangan bencana dan kegawatdaruratan kesehatan, serta

penyehatan lingkungan.

Meskipun kondisi saat ini Desa Siaga Aktif di Sulawesi Selatan telah di atas 90%

namun Akselerasi Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif yang selama ini

berlangsung harus terus dipertahankan. Akselerasi itu dilaksanakan dengan

menyelenggarakan Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif. Dalam tatanan

otonomi daerah, pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif merupakan salah satu

urusan wajib Pemerintah Kabupaten dan PemerintahKota, yang kemudian diserahkan

pelaksanaannya ke desa dan kelurahan. Namun demikian, suksesnya pembangunan

desa dan kelurahan juga tidak terlepas dari peran Pemerintah, PemerintahProvinsi, dan

pihak-pihak lain seperti organisasi kemasyarakatan (ormas), dunia usaha, serta

pemangku kepentingan lain.

Pada tahun 2016, Persentase Cakupan Desa Siaga Aktif di Provinsi Sulawesi Selatan

mencapai angka 97,11%, meningkat bila dibandingkan dengan persentase tahun 2015

yaitu sebesar 94,05%. Walaupun kondisi ini belum mencapai angka yang ditargetkan,

namun diharapkan sampai dengan akhir periode Renstra nanti jumlah Desa Siaga Aktif

di Sulawesi Selatan akan terus meningkat. Sampai dengan bulan Desember tahun 2016,

tercatat sebanyak 2.920 Desa Siaga Aktif dari 3.007 Desa di Provinsi Sulawesi Selatan.

Pencapaian Sasaran ini didukung oleh kebijakan Peningkatan Promosi Kesehatan,

Pemberdayaan masyarakat dan kerjasama dengan swasta serta kemitraan lintas sektor

melalui Program Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pencapaian sasaran adalah :

1. Kebijakan pembangunan kesehatan yang lebih ditekankan pada upaya promotif dan

preventif sehingga pelaksanaan program/kegiatan lebih diarahkan pada kegiatan

promosi dan pencegahan terhadap masalah-masalah kesehatan.

2. Adanya kelompok-kelompok UKBM (Upaya Kesehatan bersumber Masyarakat) yang

melaksanakan upaya surveilans berbasis masyarakat (pemantauan penyakit, KIA, Gizi,

Lingkungan dan Perilaku), serta kewaspadaan terhadap bencana dan

kegawatdaruratan.

Beberapa masalah yang ditemui dalam pencapaian sasaran ini :

1. Masih adanya pengaruh budaya/mitos pada masyarakat kelompok tertentu yang

dianggap tabu, sehingga berpengaruh pada optimalisasi pencapaian sasaran ini.

2. Beban ganda penyakit pada masyarakat, dimana meningkatnya angka kejadian

penyakit menular dan infeksi juga disertai dengan meningkatnya angka kejadian

penyakit tidak menular, akibat pola hidup masyarakat yang tidak sehat serta adanya

gaya hidup kekinian khususnya pada kelompok remaja.

3. Mobilisasi tenaga promosi kesehatan terlatih dan penumpukan tenaga pada

Puskesmas perkotaan sehingga pelaksanaan kegiatan promosi kesehatan dirasakan

kurang maksimal.

Strategi Pemecahan Masalah yang dihadapi :

1. Pemberdayaan masyarakat, melalui pendekatan kedaerahan yang dilakukan secara

perlahan-lahan untuk menghilangkan pengaruh tabu terhadap pola konsumsi dan

hidup sehat. Selain itu dengan meningkatkan kemampuan dan kemandirian semua

komponen masyarakat dan membangun hubungan kemitraan dengan pemangku

adat dan dukun khususnya pada daerah DTPK.

2. Peningkatan frekwensi promosi kesehatan secara langsung dan melalui media-media

promosi baik media cetak maupun elektronik, dengan menitikberatkan sasaran pada

kelompok-kelompok beresiko.

3. Upaya advokasi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota agar menerbitkan regulasi yang

mengatur penempatan tenaga strategis secara proporsional sesuai dengan

kompetensi.

‘’ Meningkatnya Kemitraan Lintas Sektor’’

Sasaran ini diukur melalui 1 (Satu) indikator kinerja dan mendapatkan angka

capaian kinerja sasaran sebesar 100%. Hasil pengukuran capian kinerja sasaran

Meningkatnya Kemitraan Lintas Sektor disajikan dalam tabel berikut ini :

Tabel 9.

Capaian Kinerja Sasaran 5

Indikator Kinerja Target Realisasi Capaian

Jumlah Kemitraan Lintas

Sektor

6 Lintas

Sektor

> 6 Lintas

Sektor >100%

Rata-rata Capaian 100%

Keterlibatan lintas sektor dalam rangka gerakan pemberdayaan masyarakat

sangat diharapkan agar dapat meningkatkan kemandirian masyarakat sehingga dapat

berperilaku hidup bersih dan sehat sehingga waspada dan tanggap terhadap masalah-

masalah kesehatan yang dihadapi. Selain menjalin kemitraan lintas sektor Dinas

Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan juga senantiasa melakukan advokasi terkait

pembangunan kesehatan di jajaran pemerintahan di Provinsi dan Kabupaten/Kota

maupun di tatanan masyarakat, agar diperoleh dukungan baik secara lisan, tertulis serta

dukungan anggaran dalam menyelesaikan permasalahan kesehatan yang dihadapi dan

peningkatan kualitas pembangunan kesehatan di Sulawesi Selatan.

Dari tabel pengukuran kinerja di atas terlihat bahwa capaian kinerja untuk

indikator jumlah kemitraan lintas sektor tahun 2016 telah melampaui target yang

ditetapkan (>100%).

Pada tahun 2016 beberapa pelaksanaan program/kegiatan di Dinas Kesehatan

Provinsi Sulawesi Selatan melibatkan beberapa lintas sektor yaitu :

1. Program Promosi dan Pemberdayaan Masyarakat, melibatkan PKK

Provinsi/Kabupaten, Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) Desa dan Kelurahan

dan Instansi Pendidikan (Sekolah Dasar). Pelaksanaan program ini melalui kegiatan

Kegiatan Pengembangan UKBM Generasi Muda dan PSM berupa Lomba Desa

Siaga Tingkat Provinsi, Promosi Dampak Rokok Terhadap Kesehatan dan

Pengembangan SBH dan UKBM Lainnya.

2. Pogram Perbaikan Gizi Masyarakat, bermitra dengan Inspektorat Daerah Prov.

Sulsel, BPKD, BBPOM, Deperindag, YKLI, PKK, Badan Pemberdayaan Masyarakat

(BPM), Lembaga Perlindungan Anak dan Organisasi Profesi seperti Persagi, IBI dan

IDAI. Pelaksanaan program ini melalui kegiatan Pengawasan penegakan PERDA No.

6 Tahun 2010 dan Pergub No.68 tahun 2011 dan kegiatan Penguatan jejaring dan

mitra LS/LP dalam implementasi PERDA dan PERGUB tentang ASI Eksklusif

3. Program Peningkatan Pengembangan Sistem Perencanaan dan Sistem Evaluasi

Kinerja SKPD, terkait dengan penyusunan Rencana Kerja melaksanakan kegiatan

Forum SKPD yang melibatkan SKPD/Lintas Sektor terkait seperti Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah (Bappeda), Departemen Agama (DEPAG), Dinas Pertanian,

Dinas Ketahanan Pangan, BKKBN, PKK, Badan Pemberdayaan Perempuan dan lintas

sektor terkait lainnya.

4. Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) , melalui kegiatan

Sosialisasi dan Advokasi PEMDA dalam rangka integrasi kesehatan gratis ke dalam

JKN/BPJS dan kegiatan Pertemuan Kemitraan Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan

Masyarakat. Pelaksanaan kegiatan tersebut melibatkan SKPD/Lintas Sektor terkait

seperti Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Sosial, Badan Pengelola Keuangan Daerah

(BPKD), Media Cetak, Media Elektronik dan lintas sektor terkait lainnya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pencapaian sasaran adalah :

1. Adanya Kelompok-kelompok Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) dan

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang secara sukarela mendukung pelaksanaan

kegiatan pembangunan kesehatan.

2. Kemajuan Teknologi di bidang informasi dalam mempermudah penyampaian pesan-

pesan kesehatan yang memperbanyak dan memperuat jejaring/mitra dalam

implementasi program/kegiatan pembangunan kesehatan.

Hambatan/Masalah yang dihadapi dalam mencapai sasaran ini, antara lain :

- Belum semua sektor menyadari pentingnya program/kegiatan yang dilaksanakan

untuk tujuan bersama dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat sehingga

beban tanggungjawab dirasa hanya pada SKPD teknis yang bersangkutan langsung.

- Kesibukan masing-masing sektor pada pelaksanaan kegiatan yang tertuang dalam

dokumen anggaran masing-masing sehingga pencapaian sasaran kurang maksimal.

- Tidak terjalinnya pertemuan rutin, dimana terkadang lintas sektor/program hanya

bertemu pada saat ada pertemuan formal.

- Pergantian personil di masing-masing instansi/sektor yang terlibat dalam suatu

kelompok kerja pada kegiatan kesehatan sehingga perlu adaptasi dan sosialisasi ulang

pemahaman pelaksanaaan program.

- Faktor geografis, sehingga akses dalam pemberian pelayanan dan pelaksanaan

kegiatan pembangunan kesehatan tidak optimal.

Strategi Pemecahan Masalah :

- Perlunya kesepakatan yang diperkuat dengan regulasi mengenai tugas dan fungsi

masing-masing lintas sektor terkait dalam pelaksanaan program/kegiatan.

- Distribusi tenaga kesehatan dan sektoral terkait secara merata dan proporsional

khususnya pada daerah terpencil, pedalaman dan kepulauan (DTPK) yang diperkuat

dengan regulasi terkait mutasi dan mobilisasi pegawai.

‘’ Meningkatnya Sarana Pelayanan yang Berkualitas’’

Sasaran ini diukur melalui 17 (tujuh belas) indikator kinerja dan mendapatkan angka

capaian kinerja sasaran sebesar 101,76%. Hasil pengukuran capaian kinerja sasaran

Meningkatnya Kemitraan Lintas Sektor disajikan dalam tabel berikut ini :

Tabel 10.

Capaian Kinerja Sasaran 6

No. Indikator Kinerja Target Realisasi Capaian

1. Jumlah RS yang

Terakreditasi Internasional

Tidak

ditargetkan

untuk tahun

ini

1 RS -

2. Jumlah RS yang

Terakreditasi Nasional 5 RS 31 RS 160%

3. Jumlah Regulasi yang

Dihasilkan 1 Dokumen 1 Dokumen

>100%

4. Persentase RS Pemerintah

yang Telah Mempunyai

Registrasi

100% (32 RS)

100%

(32 RS)

100%

5. Persentase RS Swasta

yang Telah Mempunyai

Registrasi

80% (40 RS)

95,74%

(45 RS)

119,67%

6. Persentase RS Pemerintah

yang Telah Melaksanakan

Penetapan Klas

100%

100%

100%

7. Persentase RS Swasta

yang Telah Melaksanakan

Penetapan Klas

80% (40 RS)

89,36%

(42 RS)

111,7%

No. Indikator Kinerja Target Realisasi Capaian

8. Persentase RS Non

Rujukan Pusat minimal

Klas C

100% (26 RS)

88,46%

(23 RS)

88,46%

9. Persentase RS Pusat

Rujukan Sebagai Klas B 100% (6 RS) 100% (6 RS) 100%

10. Persentase RS Pemerintah

yang Memiliki Izin

Operasional Rumah Sakit

80% (26 RS)

100%

(32 RS)

125%

11. Persentase RS Swasta

yang Memiliki Izin

Operasional Rumah Sakit

70% (35 RS)

100%

(45 RS)

142,86%

12. Persentase RS yang

Melaksanakan SPGDT

(Sistem Penanganan

Gawat Darurat Terpadu)

23% (20 RS)

31,63%

(31 RS)

155%

13. Persentase RS

Prov/Kabupaten/Kota

yang telah menjadi BLU

83% (27 RS)

78,12%

(25 RS)

95,59%

14. Persentase RS yang

Melakukan Pelaporan

SIRS On Line

80% (70 RS)

>100%

(88 RS)

125%

15. Jumlah Puskesmas yang

Telah Melaksanakan

Akreditasi Pelayanan

6 PKM 135 PKM 100%

16. Cakupan Pelayanan

Gawat Darurat Level 1

yang Harus diberikan

Sarana Kesehatan (RS) di

Kabupaten/Kota

100% 100% 100%

17. Persentase RS sebagai

Wahana Internship 100% (21 RS) 109,5% (23 RS) 109,52%

Rata-rata Capaian 101,76%

Berdasarkan hasil pengukuran kinerja dari 17 indikator pada sasaran ini, 15

indikator kinerja telah mencapai bahkan melebihi target yang ditetapkan. Sedangkan 2

indikator kinerja lainnya yang belum mencapai target yaitu :

1. Persentase RS Prov/Kabupaten/Kota yang telah menjadi BLU belum mencapai 100%

target (95,59%) namun telah dikategorikan baik karena capaiaannya telah di atas 95%.

2. Persentase RS Non Rujukan Pusat minimal Klas C, capaian kinerja belum mencapai

angka yang ditargetkan (88,46%).

Pencapaian indikator kinerja sasaran ini, diuraikan sebagai berikut :

1. Jumlah RS yang Terakreditasi Internasional

Akreditasi Rumah Sakit adalah suatu proses dimana suatu lembaga independen

baik dari dalam atau pun luar negeri, biasanya non pemerintah, melakukan assesment

terhadap Rumah Sakit berdasarkan standar akreditasi yang berlaku. Rumah Sakit yang

telah terakreditasi akan mendapatkan pengakuan dari Pemerintah karena telah

memenuhi standar pelayanan dan manajemen yang ditetapkan.

Untuk menentukan apakah suatu Rumah Sakit telah terakterditasi Internasional

haruslah memenuhi standar akreditasi internasional JCI (Joint Commission

International). JCI merupakan standard yang dibuat agar pelayanan kesehatan Rumah

Sakit berfokus kepada pasien dan diterapkan sesuai dengan budaya setempat untuk

peningkatan mutu pelayanan secara berkesinambungan. Standar disini dimaksudkan

sebagai suatu tingkat kualitas pelayanan kesehatan dan keselamatan pasien yang

diharapkan.

Pencapaian Standar JCI Rumah Sakit tersebut diharapkan dimulai dari input

yaitu berupa sumber daya yang ada di Rumah Sakit meliputi staff yang kompeten dan

fasilitas yang memadai. Dengan adanya input yang baik diharapkan mampu

menciptakan proses layanan yang baik pula. Pada proses pelayanan berupa kegiatan

pelayanan Rumah Sakit dilakukan sesuai SOP(standard operational procedure) dan

Guidelines. Adanya SDM, fasilitas dan proses yang baik maka hasil atau output

dimungkinkan baik. Output tersebut harus selalu dipantau dan diukur dengan

indicator-indikator capaian layanan.

Sejak tahun 2014, RS. Dr. Wahidin Sudiro Husodo adalah satu-satunya Rumah

Sakit di Provinsi Sulawesi Selatan yang telah memenuhi standar JCI dan ditetapkan

sebagai Rumah Sakit terakreditasi Internasional. Pada tahun 2016 ini tidak ditargetkan

untuk indikator Rumah Sakit terakreditasi Internasional, namun telah dilaksanakan

studi kelayakan untuk persiapan RS Internasional di 3 (tiga) Lokus di Provinsi Sulawesi

Selatan yaitu Kota Pare-pare, Palopo dan Bantaeng. Hasil Studi Kelayakan telah

dilaporakan kepada Pemerintah dan menunggu tindak lanjut pelaksanaan

pengembangan program tersebut. Selain itu juga dilaksanakan kegiatan Workshop

Akreditasi RS menuju Akreditasi Internasional, kegiatan ini dimaksudkan agar RS yang

telah memiliki Akreditasi Nasional dapat memahami dan menyiapkan diri dalam

pengelolaan RS menuju tingkat Akreditasi Internasional.

2. Jumlah RS yang Terakreditasi Nasional

KARS (Komisi Akreditasi Rumah Sakit) merupakan lembaga resmi yang ditunjuk

dan berwenang untuk melakukan survei verivikasi dan survei akreditasi di tingkat

Nasional, untuk selanjutnya memutuskan predikat Akreditasi yang tepat untuk suatu

Rumah Sakit. Sebagai lembaga independen pelaksana akreditasi Rumah Sakit yang

bersifat fungsional dan nonstruktural, KARS bertanggung jawab kepada Menteri

Kesehatan RI. Standar penetapan Akreditasi Rumah Sakit yang digunankan

berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian

Kesehatan RI Nomor HK.02.04/I/2790/11 tentang Standar Akreditasi RS.

Pada tahun 2015 sebanyak 8 RS berstatus akreditasi Nasional, jumlah ini

mengalami peningkatan hingga akhir tahun 2016, tercatat sebanyak 31 RS di Provinsi

Sulawesi Selatan yang telah mendapat predikat terakreditasi Nasional dari KARS,

terdiri atas 17 RS Pemerintah yaitu 9 RS terakreditasi tingkat Perdana, 2 RS

terakreditasi tingkat Dasar, 2 RS terakreditasi tingkat Utama dan 4 RS terakreditasi

tingkat Paripurna. Untuk RS Swasta sebanyak 14 RS, terdiri dari 9 RS terakreditasi

tingkat Perdana, 1 RS terakreditasi tingkat Dasar, 1 RS terakreditasi tingkat Utama dan

3 RS terakreditasi tingkat Paripurna. Kegiatan yang mendukung tercapainya indikator

sasaran ini yaitu Peningkatan Kapasitas Tenaga Front Office RS yang diharapkan

dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dapat memberikan informasi awal

mengenai gambaran pelayanan yang diberikan di RS tersebut sesuai dengan

harapan pasien.

3. Jumlah Regulasi yang dihasilkan

Kemajuan teknologi informasi dewasa ini telah membuat setiap orang dapat

dengan mudak mengakses jalur online untuk memperoleh informasi dan referensi

apapun sesuai dengan kebutuhannya. Namun di sisi lain, tidak setiap orang mampu

mengakses informasi tersebut dengan mudah, khususnya bagi tenaga-tenaga

kesehatan yang bertugas pada daerah DTPK, sehingga untuk memudahkan Rumah

Sakit memperoleh informasi tentang Norma, Standar, Peraturan dan Kebijakan (NSPK)

Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan menerbitkan dokumen regulasi dengan

harapan menjadi acuan bagi Rumah Sakit dalam membenahi, mengelola dan

menyiapkan diri untuk menghadapi perkembangan standarisasi standar yang

ditetapkan karena masyarakat menghendaki pelayanan kesehatan yang aman dan

bermutu serta dapat menjawab kebutuhan mereka terlebih terkait manajemen resiko

dan keselamatan pasien harus menjadi prioritas utama dalam pemberian pelayanan.

Beberapa Dokumen Regulasi yang dihasilkan selama periode Renstra Dinas

Kesehatan Provinsi Sulawesi terkait standarisasi pelayanan kesehatan di Rumah Sakit,

antara lain :

- Tahun 2014 dihasilkan 1 dokumen regulasi tentang Pedoman Penyelenggaraan

Anesthesi Rumah Sakit.

- Tahun 2015 dihasilkan 2 dokumen regulasi yaitu Petunjuk Teknis Klasifikasi dan

Perizinan Rumah Sakit dan Pedoman Penyelenggaraan ICU di Rumah Sakit.

- Tahun 2016 dihasilkan 1 dokumen regulasi yaitu Petunjuk Teknis SPGDT (Sistem

Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu)

4. Persentase RS Pemerintah yang telah mempunyai Registrasi

Setiap Rumah Sakit baik milik Pemerintah maupun Swasta wajib melakukan

registrasi pada Kementerian Kesehatan RI yang berupa pencatatan dasar untuk

mendpatkan Nomor Identitas Rumah Sakit yang berlaku secara Nasional. Registrasi

tersebut dilakukan secara online pada situs resmi Direktorat Jenderal Bina Upaya

Kesehatan. Registrasi Rumah Sakit diarahkan untuk peningkatan akses, keterjangkauan

dan kualitas pelayanan kesehatan yang aman di Rumah Sakit melalui pembangunan

sarana dan prasarana Rumah Sakit di daerah sesuai dengan standar. Sejak tahun

2013 sampai dengan sekarang, sudah 100% RS milik Pemerintah di Sulawesi Selatan

yang telah melakukan registrasi pada Kementerian Kesehatan yaitu tercatat sampai

dengan bulan Desember 2016, sebanyak 32 RS telah teregistrasi.

5. Persentase RS Swasta yang telah mempunyai Registrasi

Selain Rumah Sakit milik Pemerintah, Rumah Sakit Swasta juga mempunyai

kewajiban untuk melakukan Registrasi pada Kementerian Kesehatan RI. Registrasi

Rumah Sakit merupakan pencatatan resmi terhadap seluruh institusi pelayanan

kesehatan baik pemerintah maupun swasta untuk mengetahui status dan

keberadaannya. Pada tahun 2016 sebanyak 45 RS Swasta yang telah mempunyai

Registrasi pada Kementerian Kesehatan RI. Jumlah ini meningkat bila dibandingkan

dengan kondisi tahun sebelumnya yaitu sebanyak 39 RS pada tahun 2015 dan telah

melebihi jumlah yang ditargetkan (40 RS).

6. Persentase RS Pemerintah yang telah melaksanakan penetapan klas

Kebijakan pemerintah dalam penetapan kelas dan registrasi Rumah Sakit RS

diarahkan untuk peningkatan akses, keterjangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan

yang aman di RS melalui pembangunan sarana dan prasarana RS di daerah sesuai

dengan standar. Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 56 Tahun 2014 Tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, bahwa untuk

meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit, perlu dilakukan penyempurnaan sistem

perizinan dan klasifikasi Rumah Sakit sebagaimana diamanatkan oleh Undang-

Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Pelaksanaan pelayanan ini

dilakukan melalui mekanisme satu pintu yang disebut dengan pusat pelayanan

terpadu. Pelaksanaan pelayanan terpadu penetapan kelas dan registrasi Rumah Sakit

merupakan upaya Kementerian Kesehatan memperpendek birokrasi pelayanan yang

panjang dan kurang efisien.

Pengajuan Usulan penetapan kelas RS ditujukan kepada Menkes c.q Dirjen Bina

Pelayanan Medik untuk dilakukan scoring oleh Tim Penilai Penetapan Kelas RS dengan

melampirkan :

- Surat usulan penetapan kelas RS dari pemilik RS kepada Menkes RI

- Rekomendasi Dinkes Propinsi

- Profil dan data RS

- Isian Instrument Self Assessment

Capaian Kinerja untuk indikator ini memperlihatkan sebesar 100% atau

sebanyak 32 RS milik Pemerintah di Sulawesi Selatan (26 RS Kabupaten/Kota dan 6 RS

Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan).

7. Persentase RS Swasta yang telah melaksanakan penetapan klas

Seluruh RS baik RS Pemerintah maupun swasta yang belum ditetapkan

Klasifikasinya segera mengajukan Penetapan Kelas RS. Kriteria dan tatacara klasifikasi

Rumah Sakit umum ini berlaku untuk RSU milik Depkes, Pemda, termasuk TNI/POLRI,

BUMN, dan RS swasta. Direktur dan Pemilik RS serta pihak yang terkait

bertanggungjawab atas pemenuhan kriteria dan tatacara yang ditempuh dengan

diterbitkannya keputusan Penetapan Kelas RS.

Di tahun 2016, sebanyak 42 RS (89,36%) Rumah Sakit Swasta telah

melaksanakan Penetapan Kelas, walaupun belum 100% namun jumlah ini sudah

melebihi target yang ditetapkan yaitu sebanyak 40 RS (80%) dan bila dibandingkan

dengan tahun sebelumnya, jumlah ini bertambah 3 RS yaitu sebanyak 37 RS di tahun

2015. Sedangkan itu untuk 2 RS Pendidikan, 2 RS milik Pemerintah Pusat (Vertikal) dan

7 RS milik TNI/Polri juga telah melaksanakan Penetapan Kelas.

8. Persentase RS Non Rujukan menjadi Kelas C

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang

Rumah Sakit, yang dimaksud dengan Rumah Sakit Umum Kelas C adalah Rumah Sakit

Umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4

(empat) spesialis dasar dan 4 (empat) spesialis penunjang medik. Jenis pelayanan

spesialis yang harus dipenuhi yaitu pelayanan penyakit dalam, pelayanan bedah,

pelayanan kesehatan anak, serta pelayanan kebidanan dan kandungan.

Rumah Sakit kelas C ini adalah Rumah Sakit yang didirikan di Kota atau

kabupaten-kapupaten sebagai faskes tingkat 2 yang menampung rujukan dari fasilitas

pemberi pelayanan kesehatan tingkat 1 (Puskesmas/Poliklinik atau dokter pribadi).

Sampai dengan Desember tahun 2016 tercatat sebanyak 23 RS Pemerintah

merupakan Rumah Sakit Kelas C.

9. Persentase RS Pusat Rujukan sebagai Kelas B

Sistem Rujukan adalah penataan sistem rujukan dengan membagi wilayah

provinsi kedalam beberapa regional, dimana setiap regional mempunyai satu Rumah

Sakit yang mengakomodir beberapa Rumah Sakit dari Kabupaten/Kota sekitarnya.

Adanya Perubahan/Kenaikan Kelas RS secara langsung menunjukkan adanya

peningkatan kualitas dan mutu layanan yang diberikan RS yang bersangkutan, ini

berarti pelayanan yang diberikan meningkat satu tahap lebih baik dari

sebelumnya.Peningkatan Kelas RS ini juga tidak terlepas dari komitmen Pemerintah

Kabupaten/Kota tersebut untuk membenahi permasalahan Rumah Sakit, dari

infrastruktur maupun kualitas dan kuantitas SDM Kesehatan di daerah tersebut

khususnya untuk pemenuhan tenaga medis terutama dokter spesialis maupun

penambahan fasilitas secara berkelanjutan.

Data pencapaian kinerja indikator ini memperlihatkan peningkatan jumlah RS

Pusat Rujukan sebagai Kelas B dimana sebanyak 4 RS di tahun 2014, meningkat

menjadi 6 RS (100%) di tahun 2015 hingga sekarang. Enam RS tersebut mewakili 6

Regionalisasi Rujukan di Provinsi Sulawesi Selatan, sebagai berikut :

1. Region Timur : Rumah Sakit Sawerigading Kota Palopo

Sebagai pusat rujukan dari RS Andi Djemma KabupatenLuwu Utara, RS I Lagaligo

Kabupaten Luwu Timur, RS Batara Guru Belopa Kabupaten Luwu dan RS

Lakipadada Kabupaten Tana Toraja.

2. Region Utara : Rumah Sakit Andi Makkasau Kota Pare-Pare

Sebagai pusat rujukan dari RS Lasinrang Kabupaten Pinrang, RS Nene Mallomo

dan RS Arifin Nu’mang Kabupaten Sidrap dan RS Masserempulu Kabupaten

Enrekang.

3. Region Tenggara : Rumah Sakit Tenriwaru Kaupaten Bone

Sebagai pusat rujukan dari RSUD Kabupaten Wajo dan RS Ajappangnge

Kabupaten Soppeng.

4. Region Selatan : Rumah Sakit Andi Sulthan Daeng Radja Kabupaten Bulukumba

Sebagai pusat rujukan dari RS Kabupaten Sinjai, RS Prof. Dr. H.M Anwar Makkatutu

Kabupaten Bantaeng dan RS Kabupaten Selayar.

5. Region Gerbang Utara : Rumah Sakit Daya Makassar

Sebagai pusat rujukan dari RS Kabupaten Pangkep, RS Kabupaten Barru, RS

Salewangang Kabupaten Maros dan penduduk yang berdomisili disisi utara Kota

Makassar.

6. Region Gerbang Selatan : Rumah Sakit Labuang Baji Makassar

Sebagai pusat rujukan dari RS Lanto Dg. Pasewang Kabupaten Jeneponto, RS H.

Padjonga Daeng Ngalle Kabupaten Takalar, RS Syekh Yusuf Kabupaten Gowa dan

masyarakat yang berdomisili di sebelah Selatan Kota Makassar.

10. Persentase RS Pemerintah yang Memiliki Izin Operasional Rumah Sakit

Izin Operasional Rumah Sakit merupakan izin yang diberikan kepada pengelola

Rumah Sakit untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Izin Operasional berlaku

untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi

persyaratan. Perpanjangan izin operasional tersebut dilakukan dengan mengajukan

permohonan perpanjangan selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sebelum habis masa

berlakunya izin operasional.

Data menunjukkan, sampai dengan bulan Desember tahun 2016 jumlah Rumah

Sakit Pemerintah yang memiliki izin operasional Rumah Sakit sebanyak 100% (32 RS),

Jumlah ini meningkat bila dibandingkan dengan tahun 2015 yaitu sebanyak 27 RS dan

telah melebihi jumlah yang ditargetkan (26 RS). Kegiatan yang dilaksanakan untuk

mendukung tercapainya indikator ini yaitu Pemantauan dan Pembinaan Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota dalam melaksanakan Pemberian Izin RS Pemerintah.

11. Persentase RS Swasta yang Memiliki Izin Operasional Rumah Sakit

Jumlah Rumah Sakit swasta yang memiliki izin operasional Rumah Sakit tahun

2016 sebanyak 45 RS, telah melebihi jumlah yang ditargetkan (35 RS) dan meningkat

dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu sebanyak 37 RS di tahun 2015 dan 27

RS di tahun 2014.

Setiap Rumah Sakit yang telah mendapatkan izin operasional harus diregistrasi,

diakreditasi dan melaksanakan kewajiban pelaporan Rumah Sakit ke Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi dan Kementerian Kesehatan RI sesuai

dengan peraturan yang berlaku. Registrasi, akreditasi dan pelaporan merupakan

persyaratan untuk perpanjangan dan perubahan kelas.

12. Persentase RS yang Melaksanakan SPGDT (Sistem Penanganan Gawat Darurat

Terpadu)

Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) adalah suau

mekanisme pelayanan korban/pasien gawat darurat yang terintegrasi dan berbasis

Call Center dengan kode akses 119 dengan melibatkan masyarakat. Call Center 119

merupakan satu kesatuan suatu desain sistem dan teknologi menggunakan konsep

pusat panggilan terintegrasi yang meripakan layanan berbasis jaringan komunikasi

khusus bidang kesehatan.

Dengan adanya Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2013 tentang Program

Dekade Aksi Keselamatan Jalan, dimana Kementerian Kesehatan dalam Pilar V RPJMN

yaitu penanganan pra dan pasca kecelakaan dengan SPDGT, semakin memperkuat

pentingya keberadaan Pusat Pelayanan Keselamatan Terpadu/Public Safety Center

yang selanjutnya disebut PSC di setiap Kabupaten/Kota. PSC berdasarkan Permenkes

Nomor 19 Tahun 2016 tentang Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu

adalah Pusat pelayanan yang menjamin kebutuhan masyarakat dalam hal-hal yang

berhubungan dengan kegawatdaruratan yang berada di Kabupaten/Kota yang

merupakan ujung tombak pelayanan untuk mendapatkan respon cepat.

Sampai dengan akhir tahun 2016, jumlah Rumah Sakit yang melaksanakan

SPDGT sebanyak 31 RS, telah melebihi jumlah yang ditargetkan (20 RS) dan meningkat

dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu sebanyak 24 RS di tahun 2015 dan 10

RS di tahun 2014. Kegiatan yang dilaksanakan untuk mendukung tercapainya indikator

sasaran ini yaitu Penyusunan Petunjuk Teknis SPDGT yang menjadi referensi dan

acuan bagi Rumah Sakit untuk membenahi, mengelola dan menyiapkan diri untuk

menjadi bagian dari sistem SPDGT. Selain itu dilaksanakan kegiatan Monitoring dan

Evaluasi SPDGT di Pusat Rujukan Region (6 Region) untuk mengetahui sejauh mana

pelaksanaan SPDGT di Rumah Sakit Rujukan tersebut.

13. Persentase RS Prov/Kabupaten/Kota yang telah menjadi BLU

Undang-undang mengamanahkan agar mengimplementasikan model

pengelolaaan keuangan BLU (Badan Layanan Umum) pada setiap Rumah Sakit

Pemerintah (Publik). Tahun 2016 ini dilakukan kegiatan Pelatihan Penyusunan Sistem

Remunerasi di Rumah Sakit dan Bimbingan teknis kepada pengelola BLU Rumah Sakit

dalam implementasi pengelolaan RBA dan manajemen pengelolaan keuangan (BLU)

di Rumah Sakit yang sesuai dengan peraturan dan standar yang berlaku.

Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan terus melakukan pembinaan dan

koordinasi baik kepada RS Provinsi maupun RS di Kabupaten/Kota dalam rangka

mendorong Rumah Sakit menerapkan sistem BLU pada manajemen pengelolaan

keuangannya. Sampai dengan bulan Desember tahun 2016 tercatat sudah 78,12%

(25 RS) dari 32 RS milik Pemerintah yang telah mempunyai SK Penetapan menjadi

BLU. Jumlah ini meningkat bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu 21 RS

(tahun 2015) dan 17 RS di tahun 2014.

14. Persentase RS yang Melakukan Pelaporan SIRS On Line

Akurasi data dan ketepatan pelaporan dari RS Kabupaten/Kota ke tingkat

Provinsi dan selanjutnya ke Tingkat Pusat juga merupakan hal penting dalam

pengukuran kinerja pelaksanaan pembangunan kesehatan di Sulawesi Selatan. Oleh

karena itu Kementerian Kesehatan membuat software pencatatan dan pelaporan RS

melalui Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) on line untuk mempermudah dalam

penyampaian ketepatan pelaporan dan informasi kesehatan di RS Provinsi dan

Kabupaten/Kota. Data terakhir pada tahun 2016 menunjukkan 100% yaitu sebanyak 88

RS di Sulawesi Selatan telah melakukan pelaporan SIRS On Line, angka ini juga

melampau jumlah yang ditargetkan (70 RS) dan mengalami peningkatan jumlah yang

cukup berarti pula yaitu bertambah sebanyak 33 RS dari 42 RS (48,28%) di tahun

2015.

15. Jumlah Puskesmas yang Telah Melaksanakan Akreditasi Pelayanan

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 tahun 2014 Pasal 39 ayat

(1) juga mewajibkan Puskesmas untuk diakreditasi secara berkala paling sedikit tiga

tahun sekali, demikian juga akreditasi merupakan salah satu persyaratan krudensial

sebagai fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama yang bekerjasama dengan

BPJS, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013

tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional Pasal 6 ayat (2).

Secara bertahap ditargetkan sampai dengan tahun 2019 semua Puskesmas di

Sulawesi Selatan dapat terakreditasi. Tahun 2016 Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi

Selatan menargetkan sebanyak 6 Puskesmas yang melaksanakan akreditasi pelayanan

dan capaian kinerja yang diperoleh sangat memuaskan. Data menunjukkan dari 151

Puskesmas yang masuk dalam roadmap survey akreditasi, sebanyak 135 Puskesmas

telah melaksanakan akreditasi pelayanan dan sangat meningkat bila dibandingkan

dengan tahun sebelumnya (2015) yaitu hanya sebanyak 7 Puskesmas.

16. Cakupan Pelayanan Gawat Darurat Level 1 yang Harus diberikan Sarana Kesehatan

(RS) di Kabupaten/Kota

Salah satu indikator kinerja yang menunjukkan kualitas pemberian pelayanan

kesehatan di Rumah Sakit diukur melalui Cakupan Penanganan Pelayanan Gawat

Darurat Level 1 yang Harus diberikan Sarana Kesehatan (RS) di Kabupaten/Kota. Di

tahun 2015 Persentase cakupan indikator ini telah mencapai target (100%) begitupun

capaian pada tahun-tahun sebelumnya telah mencapai 100% (tahun 2014 dan 2013).

Kegiatan yang dilaksanakan di tahun 2016 untuk mendukung pencapaian indikator ini

yaitu Worksop PONEK (Penanganan Obstektik Neonatal Emergency Komprehensif).

Dalam hal pemberian pelayanan kegawatdaruratan, pemberian pelayanan

kesehatan tidak terlepas dari keselamatan pasien dan keluarga namun tetap

memperhatikan hak petugas. Selain itu hak asasi manusia dan responsive gender juga

dipakai dalam standar pemberian pelayanan kesehatan sehingga semua pasien

mendapatkan pelayanan dan informasi yang sebaik-baiknya sesuai dengan kebutuhan

dan kondisi pasien, tanpa memandang golongan sosial, ekonomi, pendidikan, jenis

kelamin, ras maupun suku.

17. Persentase RS sebagai Wahana Internship

Dalam rangka mendukung peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang

berkualitas di RS baik Pemerintah dan Swasta, Pemerintah Sulawesi Selatan sebagai

unsur Komite Internsip Dokter Indonesia (KIDI) turut berperan dalam penempatan

tenaga dokter Internship di beberapa RS di Provinsi Sulawesi Selatan. Dinas Kesehatan

Provinsi berperan dalam pemilihan wahana, pembinaan dan pengawasan

pelaksanaan internship di Sulawesi Selatan. Pemilihan wahana didasarkan pada

berbagai kriteria, di antaranya klasifikasi Rumah Sakit dan keberadaan dokter

pendamping internsip. Internsip berlangsung selama satu tahun dengan rincian

delapan bulan di Rumah Sakit dan empat bulan di Puskesmas. Di tahun 2016 tercatat

sebanyak 23 RS yang berfungsi sebagai wahana internship di Provinsi Sulawesi

Selatan, jumlah ini meningkat bila dibandingkan dengan jumlah tahun sebelumnya

(2015) yaitu sebanyak 21 RS.

Para dokter peserta insternship ini ini diharapkan dapat membantu

mengoptimalkan pelayanan terutama di wahana yang kekurangan tenaga dokter

fungsional. Pertukaran ilmu dan pengalaman dari dokter internsip dengan para dokter

dan tenaga medis lainnya tentu akan berdampak positif bagi pelayanan kesehatan di

wilayah tersebut. Internsip secara langsung atau tidak langsung juga dapat

meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan membantu meningkatkan kepuasan

masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Di daerah yang belum memiliki pelayanan

gawat darurat 24 jam, dengan adanya dokter internsip pelayanan tersebut dapat

berjalan tanpa jeda. Para dokter internsip, khususnya di daerah yang masih

kekurangan dokter dapat berperan sebagai role model untuk seluruh anggota

masyarakat.

Pencapaian Sasaran ini didukung oleh kebijakan Standarisasi Pelayanan Kesehatan

melalui Program Standarisasi Kesehatan.

Realisasi dana yang digunakan untuk mencapai sasaran tersebut sebessar

Rp 1.390.271.400,- dari anggaran sebesar Rp 1.426.255.740 (97,48%). Realisasi output

rata-rata kegiatan pendukung program sebesar 100%. Realisasi keuangan sebesar

97,48% bila dibandingkan dengan persentase rata-rata capaian kinerja sasaran sebesar

101,76%. Maka dapat diketahui bahwa terdapat efisiensi penggunaan sumber daya dalam

mencapai sasaran tersebut.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pencapaian sasaran adalah :

- Adanya regulasi yang mendukung pelaksanaan standarisasi pelayanan kesehatan baik

di tingkat Puskesmas dan Rumah Sakit.

- Dukungan Pemerintah Pusat dan Provinsi/Kabupaten/Kota baik berupa anggaran dan

Perda Kabupaten/Kota untuk pelaksanaan standarisasi pelayanan kesehatan.

- Kerjasama lintas sektor dalam hal ini BPJS dalam hal pengelolaan pembiayaan JKN,

KARS sebagai lembaga penilai Akreditasi Rumah Sakit standar nasional dan JCI untuk

penilaian akreditasi standar internasional.

- Tersedianya forum komunikasi sebagai wahana untuk berdiskusi dan koordinasi

pelaksanaan pendampingingan dan survey akreditasi.

Hambatan/Masalah :

1. Tim Pendamping akreditasi di Kabupaten/Kota terbatas baik dari kuantitas dan

kompetensinya, disebabkan adanya mutasi dan kurangnya pemahaman terhadap

akreditasi.

2. Masih ada daerah yang belum sepenuhnya mendukung pelaksanaan akreditasi

sehingga belum dianggarkan dalam pendanaan APBD daerah yang bersangkutan dan

lambatnya pencairan anggaran untuk akreditasi sehingga memperlambat

pelaksanaan akreditasi.

3. Kurangnya komitmen dan konsistensi SDM Kesehatan (terutama ego sektoral tenaga

ahli) terhadap tanggungjawab kinerja dan peningkatan mutu pelayanan yang harus

diberikan.

4. Adanya dampak eksternal pada masyarakat berupa pandangan “Stigma Negatif”

terhadap RS milik Pemerintah, adanya kasus-kasus tuntutan pada suatu RS tentang

anggapan terhadap mutu pelayanan hingga dugaan malpraktik yang memperbesar

pandangan negatif tersebut sehingga kurangnya kepercayaan masyarakat untuk

memanfaatkan pelayanan kesehatan di fasilitas tersebut.

5. Sumber Daya beberapa RS di Kabupaten/Kota belum memadai baik sarana,

prasarana dan SDM Kesehatan karena tidak meratanya distribusi tenaga spesialistik

sehingga untuk kasus-kasus yang seharusnya bisa ditangani di tingkat Rujukan

pertama belum bisa berjalan optimal sehingga terjadi penumpukan pasien pada RS

Pusat Rujukan, didukung belum optimalnya manajemen pengelolaan SOP sehingga

menyebabkan peningkatan kelas yang ditargetkan belum tercapai.

Strategi Pemecahan Masalah :

1. Menambah tim pendamping akreditasi

2. Perlunya ketegasan regulasi yang mengatur kewajiban SDMK terhadap

tanggungjawab kinerja dan peningkatan mutu pelayanan yang harus diberikan. Pada

tahun 2016 telah dikeluarkan Surat Edaran Gubernur Sulawesi Selatan tentang Jam

Kerja PNS di Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan jumlah fasilitas pelayanan

di daerah tersebut dan melakukan bimbingan teknis akreditasi sebagai langkah untuk

meningkatkan kompetensi pendamping.

3. Advokasi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota terhadap pentingnya pelaksanaan

akreditasi untuk mutu pemberian pelayanan kesehatan di daerahnya.

4. Perbaikan manajemen pengelolaan Rumah Sakit utamanya peningkatan mutu

pelayanan dan strategi pemasaran untuk membangun kepercayaan masyarakat untuk

memanfaatkan fasilitas pelayanan.

5. Peningkatan dan advokasi kepada Pemerintah Daerah untuk penyediaan Sumber

Daya beberapa RS di Kabupaten/Kota, utamanya dalam penempatan tenaga

fungsional strategis/spesialistik.

‘’ Meningkatnya Ketersediaan

Sumber Daya Manusia Kesehatan (SDMK) yang Proporsional’’

Sasaran ini diukur melalui 9 (Sembilan) indikator kinerja dan mendapatkan angka

capaian kinerja sasaran sebesar 102,94%. Hasil pengukuran capian kinerja sasaran

Meningkatnya Kemitraan Lintas Sektor disajikan dalam tabel berikut ini :

Tabel 11.

Capaian Kinerja Sasaran 7

No.

Indikator Kinerja

Target

Realisasi

Capaian

1. Rasio Dokter Umum per

100.000 penduduk

19/100.000

penduduk

17/100.000

penduduk 89,75%

2. Rasio Dokter Spesialis

per 100.000 penduduk

11/100.000

penduduk

16/100.000

penduduk 145,45%

3. Rasio Dokter Gigi per

100.000 penduduk

14/100.000

penduduk

8/100.000

penduduk 57,14%

4. Rasio Apoteker per

100.000 penduduk

13/100.000

penduduk

11/100.000

penduduk 84,61%

5. Rasio Perawat per

100.000 penduduk

97/100.000

penduduk

136/100.000

penduduk 140,21%

6. Rasio Bidan per 100.000

penduduk

54/100.000

penduduk

59/100.000

penduduk 109,26%

No.

Indikator Kinerja

Target

Realisasi

Capaian

7. Rasio Ahli Gizi per

100.000 penduduk

14/100.000

penduduk

14/100.000

penduduk 100%

8. Rasio Ahli Sanitasi per

100.000 penduduk

15/100.000

penduduk

15/100.000

penduduk 100%

9.

Rasio Ahli Kesehatan

Masyarakat per 100.000

penduduk

23/100.000

penduduk

23/100.000

penduduk 100%

Rata-rata Capaian 102,94%

Berdasarkan tabel hasil pengukuran kinerja sasaran ini, dari 9 (sembilan) indikator

kinerja di atas terdapat 6 (enam) indikator kinerja yang telah mencapai dan melebihi

target yaitu :

1) Rasio Dokter Spesialis per 100.000 penduduk

2) Rasio Perawat per 100.000 penduduk

3) Rasio Bidan per 100.000 penduduk

4) Rasio Ahli Gizi per 100.000 penduduk

5) Rasio Ahli Sanitasi per 100.000 penduduk

6) Rasio Ahli Kesehatan Masyarakat per 100.000 penduduk

Sedangkan 3 (tiga) indikator rasio ketenagaan lainnya yang belum mencapai

target yaitu :

1) Rasio Dokter Umum per 100.000 penduduk

2) Rasio Dokter Gigi per 100.000 penduduk

3) Rasio Apoteker per 100.000 penduduk

Diharapkan di kondisi akhir Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah

(RPJMD) Provinsi Sulawesi Selatan telah mencukupi dan memenuhi angka yang

ditargetkan karena Pengembangan sumber daya manusia merupakan salah satu fokus

prioritas pembangunan kesehatan dalam kurun waktu 2013 – 2018. Hal ini antara lain

disebabkan karena Penetapan pengembangan sumber daya manusia masih

menghadapi masalah tenaga kesehatan, baik jumlah, kualitas maupun distribusinya.

Dari pendataan tenaga kesehatan di tahun 2016, ketersediaan tenaga kesehatan di

Provinsi Sulawesi Selatan diperoleh data jumlah Dokter Umum sebanyak 809 orang,

Dokter Spesialis sebanyak 392 orang, Dokter Gigi sebanyak 499 orang, Perawat sebanyak

7.128 orang, Bidan sebanyak 4.236 orang, Tenaga Farmasi, Apoteker dan Asisten

Apoteker sebanyak 938 orang, Tenaga Kesehatan Masyarakat sebanyak 1.166 orang,

tenaga Kesehatan Lingkungan sebanyak 683 orang, tenaga Gizi sebanyak 753 orang,

tenaga keterapian fisik sebanyak 137 orang dan tenaga keteknisan medis sebanyak 748.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pencapaian sasaran adalah :

- Dukungan Pemerintah Pusat dan Provinsi/Kabupaten/Kota baik berupa anggaran dan

Regulasi dalam peningkatan kapasitas tenaga kesehatan.

- Kerjasama lintas sektor dalam hal ini Perguruan Tinggi dalam penyediaan tenaga-

tenaga kontrak spesialistik dan internship.

Hambatan/Masalah:

1. Pengelola Program SDMK kabupaten/Kota belum mampu menyusun dokumen

perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan diwilayah kerja masing-masing.

2. Kurangnya Jumlah dan jenis tenaga teknis kesehatan terbatas terhadap standar

minimal tenaga kesehatan per unit kerja per penduduk yang dilayani.

3. Kecenderungan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam peningkatan status dan perluasan

sarana kesehatan tanpa mempertimbangkan faktor ketersediaan tenaga kesehatan.

4. Belum meratanya penyebaran tenaga kesehatan fungsional strategis khususnya pada

daerah-daerah terpencil dan kepulauan (DTPK).

5. Akurasi dan koordinasi data antara pengelola data di dinas Kesehatan Provinsi,

Kabupaten/Kota dan RS Pemerintah/Swasta masih kurang.

Strategi Pemecahan Masalah :

Tahun 2016 untuk mengatasi permasalahan di bidang ketenagaan, beberapa

langkah yang diambil Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan sesuai dengan Strategi

yang diambil Kementerian Kesehatan RI untuk mewujudkan Visi, mengemban Misi dan

guna mencapai tujuan pengembangan tenaga kesehatan dalam tahun 2025, maka

ditempuh strategi sebagai berikut :

1. Penguatan regulasi pengembangan dan pemberdayaan tenaga kesehatan.

Penguatan regulasi untuk mendukung pengembangan dan pemberdayaan

tenaga kesehatan melalui percepatan pelaksanaannya, peningkatan kerjasama lintas

sektor dan peningkatan pengelolaannya secara berjenjang di pusat dan daerah.

Tahun 2016, kegiatan yang dilaksanakan antara lain Pertemuan Pengelola

Program Sumber Daya Kesehatan (SDK) dan Pertemuan Evaluasi Program SDK dalam

rangka Pemenuhan Rasio Tenaga Kesehatan Terhadap Jumlah Penduduk.

2. Peningkatan Perencanaan Kebutuhan Tenaga Kesehatan.

Kebutuhan tenaga kesehatan guna mendukung pembangunan kesehatan harus

disusun secara menyeluruh, baik untuk fasilitas kesehatan milik pemerintah secara

lintas sektor termasuk pemerintah daerah dan swasta, serta mengantisipasi keadaan

darurat kesehatan dan pasar bebas di era globalisasi. Di samping itu kebutuhan

tenaga kesehatan guna mendukung manajemen kesehatan (administrator dan

regulator), pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan, penelitian dan

pengembangan kesehatan, serta pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan,

perlu pula disusun kebutuhannya. Pengelolaan perencanaan, sumber daya

pendukung dan pengembangan perencanaan penting untuk ditingkatkan.

Kegiatan yang dilaksanakan yaitu Pendataan Tenaga Kesehatan di

Kabupaten/Kota, Pendataan Tenaga Kesehatan Asing di Kabupaten/Kota, Pertemuan

Perencanaan Kebutuhan Tenaga Kesehatan berdasarkan Rasio Terhadap Jumlah

Penduduk.

3. Peningkatan dan Pengembangan Pengadaan/Pendidikan Tenaga Kesehatan.

Pengadaan/pendidikan tenaga kesehatan ditingkatkan dan dikembangkan guna

memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan dalam pelayanan kesehatan, manajemen

kesehatan, pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan, penelitian dan

pengembangan kesehatan, serta pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan.

Peningkatan dan pengembangan pengadaan/pendidikan tenaga kesehatan, dilakukan

melalui penambahan jumlah institusi pendidikan tenaga kesehatan tertentu sesuai

kebutuhannya, akreditasi institusi pendidikan tenaga kesehatan, serta sertifikasi tenaga

pengajar, termasuk peningkatan sarana dan fasilitas belajar mengajar.

Pendidikan tenaga kesehatan perlu ditingkatkan dan disusun secara terarah dan

menyeluruh dalam kerangka mewujudkan keterkaitan yang harmonis, efektif dan

efisien antara sistem kesehatan dan sistem pendidikan.

4. Peningkatan Pendayagunaan Tenaga Kesehatan.

Pendayagunaan tenaga kesehatan meliputi penyebaran tenaga kesehatan yang

merata dan berkeadilan, pemanfaatan tenaga kesehatan, dan pengembangan tenaga

kesehatan termasuk peningkatan karirnya. Peningkatan pendayagunaan tenaga

kesehatan diupayakan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan kesehatan di

semua lini dari daerah sampai pusat secara lintas sektor, termasuk swasta, serta

memenuhi kebutuhan pasar dalam menghadapi pasar bebas di era globalisasi.

Pengembangan tenaga kesehatan termasuk peningkatan karirnya dilakukan

melalui peningkatan motivasi tenaga kesehatan untuk mengembangkan diri, dan

mempermudah tenaga kesehatan memperoleh akses terhadap pendidikan dan

pelatihan yang berkelanjutan. Peningkatan pelatihan tenaga kesehatan dilakukan

melalui pengembangan standar pelatihan tenaga kesehatan guna memenuhi standar

kompetensi yang diharapkan oleh pelayanan kesehatan kepada seluruh penduduk

Indonesia. Peningkatan pelatihan tenaga kesehatan, juga dilakukan melalui akreditasi

institusi pelatihan tenaga kesehatan, serta sertifikasi tenaga pelatih.

5. Pembinaan dan Pengawasan Mutu Tenaga Kesehatan.

Pembinaan dan pengawasan mutu tenaga kesehatan dilakukan melalui

peningkatan komitmen dan koordinasi semua pemangku kepentingan dalam

pengembangan tenaga kesehatan serta legislasi yang meliputi antara lain sertifikasi

melalui uji kompetensi, registrasi, perizinan (licensing), dan hak-hak tenaga kesehatan.

Hak-hak tenaga kesehatan tersebut antara lain meliputi kesejahteraan dan

kesempatan yang seluas-luasnya dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan

karirnya. Kegiatan yang dilaksanakan di tahun 2016 yaitu Pertemuan dalam rangka

Pembinaan dan pengawasan Tenaga Kesehatan.

6. Penguatan Sumber Daya Pengembangan Tenaga Kesehatan

Penguatan sumber daya dalam mendukung pengembangan dan

pemberdayaan tenaga kesehatan dilakukan melalui peningkatan kapasitas SDM

Kesehatan, penguatan sistem informasi tenaga kesehatan, serta peningkatan

pembiayaan dan fasilitas pendukung lainnya. Tahun 2016 dilakukan strategi ini

didukung oleh pelaksanaan kegiatan Pertemuan Evaluasi Pemenuhan Tenaga

Kesehatan di Rumah Sakit dan Puskesmas.

‘’ Meningkatnya Ketersediaan Obat

dan Perbekalan Kesehatan’’

Sasaran ini diukur melalui 4 (Empat) indikator kinerja dan mendapatkan angka

capaian kinerja sasaran sebesar 86,73%. Hasil pengukuran capian kinerja sasaran

Meningkatnya Kemitraan Lintas Sektor disajikan dalam tabel berikut ini :

Tabel 12.

Capaian Kinerja Sasaran 8

No. Indikator Kinerja Target Realisasi Capaian

1. Persentase Ketersediaan

Obat Generik 85% 85% 100%

2. Persentase Pengawasan Obat

dan Makanan yang layak,

bermutu dan aman

dikonsumsi masyarakat

50% 35% 70%

3. Persentase Kualitas

Pelayanan Kefarmasian pada

sarana pelayanan obat

tradisional

50% 50% 100%

4. Persentase Kualitas

Kefarmasian dalam

Pengembangan Obat Asli

Indonesia

65% 50% 76,92%

Rata-rata Capaian 86,73%

Berdasarkan tabel hasil pengukuran kinerja sasaran ini, dari 4 (empat) indikator

kinerja di atas terdapat 2 (Dua) indikator kinerja yang telah mencapai dan melibihi target

baru yaitu : Persentase Ketersediaan Obat Generik dan Persentase Kualitas Pelayanan

Kefarmasian pada sarana pelayanan obat tradisional. Sedangkan dua indikator lainnya

yaitu Persentase Pengawasan Obat dan Makanan yang layak, bermutu dan aman

dikonsumsi masyarakat dan Persentase Kualitas Kefarmasian dalam Pengembangan

Obat Asli Indonesia belum mencapai target yang ditentukan dalam Renstra.

Pencapaian indikator kinerja sasaran ini, diuraikan sebagai berikut :

1. Persentase Ketersediaan Obat Generik

Data pengukuran kinerja sasaran ini menunjukkan bahwa persentase

Ketersediaan Obat di Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota telah mencapai angka yang

ditargetkan (85%) dan meningkat bila dibandingkan dengan capaian tahun lalu (tahun

2015 = 80%). Adanya data ketersediaan obat di Kabupaten/Kota akan mempermudah

Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan khususnya Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi

Selatan dalam penyusunan prioritas bantuan maupun intervensi program di masa

yang akan datang terkait penyediaan obat esensial bagi masyarakat melalui

pengadaan obat Buffer Stock Provinsi sebagai penyanggah dari obat pelayanan

kesehatan dasar yang dimiliki oleh seluruh Kabupaten/kota. Ketersediaan obat buffer

stock tersebut diperuntukkan sebagai :

1. Obat penyanggah bagi kekosongan obat dari 24 Kabupaten/kota (dalam hal ini

Kabupaten/kota yang anggaran obatnya di bawah 500 juta rupiah), khususnya

pelayanan kesehatan dasar (Puskesmas).

2. Suplay obat pada saat terjadinya keadaan bencana baik dalam skala Provinsi

maupun skala regional timur.

3. Suplay obat dalam keadaan Kejadian Luar Biasa (KLB) dalam skala Provinsi.

Dalam memacu pencapaian indikator ini, Dinas Kesehatan Provinsi melakukan

beberapa kegiatan seperti Harmonisasi Integrasi Pengelola Obat dan Pengelola

Program Kesehatan termasuk vaksin dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas

dalam pengelolaan obat secara bersama serta untuk penguatan Kebijakan Satu Pintu

dalam manajemen tata kelola obat, kegiatan Pelatihan Penyusunan Rencana

Kebutuhan Obat (RKO) antara pengelola obat dan penanggungjawab program serta

pelaksanaan kegiatan Monitoring Ketersediaan Obat di sarana pengelolaan obat di

Kabupaten/Kota.

2. Persentase Pengawasan Obat dan Makanan yang layak, bermutu dan aman

dikonsumsi masyarakat

Persentase Pengawasan Obat dan Makanan yang layak, bermutu dan aman

dikonsumsi masyarakat pada tahun sebesar 35% dan belum mencapai angka yang

ditargetkan (50%). Tahun 2016, beberapa kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai

target kinerja indikator ini antara lain Pembinaan dan pengawasan pangan di

Kabupaten/Kota khususnya bagi produsen makanan yang ditujukan agar makanan

yang diproduksi memenuhi standar mutu keamanan bagi kesehatan, kegiatan

Monitoring dan Evaluasi MJAS (Makanan Jajanan Anak Sekolah) yang bertujuan

meningkatkan kapasitas petugas terhadap kualitas jajanan yang layak konsumsi untuk

anak sekolah. Kualitas jajanan yang kurang baik merupakan masalah serius yang akan

mengganggu asupan gizi anak yang secara tidak langsung berkaitan dengan

pembangunan sumber daya manusia. Pangan jajanan berkontribusi terhadap

pemenuhan kebutuhan energi sebesar 31,1% dan protein sebesar 27,4%. Hasil

penelitian menunjukkan 78% anak sekolah mengkonsumsi jajanan di lingkungan

sekolah, baik di kantin maupun di luar area sekolah. Dengan demikian masalah

jajanan anak sekolah menjadi perhatian penting mengingat menyangkut kualitas

sumber daya manusia di masa depan, sehingga dibutuhkan koordinasi lintas sektor

terkait terutama di lingkungan pendidikan dan orang tua sendiri yang berperan

langsung.

3. Persentase Kualitas Pelayanan Kefarmasian pada sarana pelayanan obat tradisional

Dari hasil monitoring dan evaluasi terhadap kualitas pelayanan kefarmasian

pada sarana pelayanan obat tradisional dan pengembangan obat asli indonesia dapat

dinilai capaian indikator Persentase Kualitas Pelayanan Kefarmasian pada Sarana

Pelayanan Obat Tradisional sebesar 35% dan belum mencapai angka yang

ditargetkan. Hal ini menjadi tantangan bagi petugas pengelola program obat

tradisional dan obat asli untuk meningkatkan pemantauan dan pembinaan kepada

sarana pelayanan obat tradisional sarana produksi dan distribusi obat tradisional

sehingga dapat mencapai angka yang ditargetkan dalam rangka mendukung upaya

pelayanan kesehatan dan pemberdayaan masyarakat terhadap obat tradisional dan

obat asli Indonesia.

4. Persentase Kualitas Kefarmasian dalam Pengembangan Obat Asli Indonesia

Persentase Kualitas Kefarmasian dalam Pengembangan Obat Asli Indonesia

sebesar 50% (belum mencapai target atau sebesar 76,92% dari target yang

ditetapkan). Program Pengembangan Obat Asli juga merupakan salah satu upaya

pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan. Pada tahun 2016 dilakukan kegiatan

Pembinaan Sarana Industri Kecil Obat Tradisional. Kegiatan ini dimaksudkan agar

pengelola Kabupaten/Kota dalam melakukan pembinaan terhadap sarana produksi

obat tradisional telah sesuai dengan Petunjuk Teknis yang ditetapkan oleh

Kementerian Kesehatan. Pembinaan terhadap sarana produksi obat tradisional

dilakukan dalam rangka mendukung pengembangan usaha di bidang obat tradisional

agar mampu memenuhi persyaratan teknis baik dari cara pembuatan sekaligus

melindungi masyarakat dari peredaran obat tradisional yang tidak memenuhi

persyaratan keamanan, manfaat dan mutu. Sampai dengan bulan Desember tahun

2016 tercatat sebanyak 18 sarana Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT) masih

melakukan aktivitas sebagai sarana produksi dan distribusi obat tradisional.

Pencapaian Sasaran ini didukung oleh kebijakan Peningkatan Sumber Daya

Kesehatan melalui Program Pengadaan Obat, Pengawasan Obat, Makanan dan

Pengembangan Obat Asli Indonesia.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pencapaian sasaran adalah :

- Dukungan pemerintah pusat dengan tetap menyediakan bantuan dana stimulan

melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang kesehatan baik di Provinsi maupun di

Kabupaten/Kota, berupa pembiayaan penyediaan obat, perbaikan sarana prasana,

peningkatan kualitas sarana distribusi – penyimpanan obat/ vaksin dan penunjang

lainnya.

- Adanya aplikasi pelaporan berbasis elektronik yang diharapkan dengan efektif dan

cepat diperoleh data keefektifan koordinasi data distribusi dan ketersediaan obat baik

di Provinsi dan Kabupaten/Kota. Selain itu adanya sistem Informasi Pelaporan

Narkotika dan Psikotropika (SIPNAP) yang valid dan real – time, sehingga dapat

mempermudah dalam proses pengambilan keputusan dan penentu kebijakan,

memudahkan dalam memonitor kemungkinan adanya penyimpangan/kebocoran ke

jalur ilegal serta untuk memudahkan dalam melakukan analisa dan penyusunan

laporan.

Hambatan/Masalah:

1. Ketersediaan obat berdasarkan 20 obat indikator yang tersedia di Puskesmas hanya

mencapai 50 % dengan item yang paling banyak tersedia di Puskesmas, : Amoxisilin

Tab 500 mg, Paracetamol 500 mg (cepat habis) dan Fitomenadion tablet, Furosemide

tablet 40 mg, garam oralit, Glibenclamida tablet (tinggal = tidak terpakai) kemudian

item yang tidak tersedia dan selalu kosong MgSO4 injeksi, vaksin BCG, vaksin DPT-HB

serta vaksin TT. Ketersediaan di tingkat Kabupaten/ Kota bervariasi disebabkan karena

jadwal penganggaran obat yang tidak bersamaan antara satu kabupaten dengan

kabupaten lainnya.

2. Implementasi e–monev katalog obat dan e– logistik pada Instalasi Farmasi baik di

Provinsi maupun Kabupaten/ Kota masih sangat rendah dengan alasan yang utama

pada kaitan sistem yang masih perlu penyempurnaan serta SDM pengelola pelaporan

masih kurang.

3. Persentase Instalasi Farmasi baik Provinsi maupun Kabupaten/ Kota yang melakukan

manajemen pengelolaan obat dan vaksin sesuai standar masih sangat rendah

walaupun secara umum seluruh Instalasi Farmasi Provinsi dan Kabupaten/ kota sudah

menerapkan Manajemen Pengelolaan secara baik (Perencanaan, pengadaan,

penyimpanan, pendistribusian, pencatatan/ pelaporan) tetapi indikator penilaian yang

di gunakan belum bisa terpenuhi secara keseluruhan seperti indikator jumlah tenaga

apabila jumlah tenaga di IFK kurang dari 5 orang maka nilainya negatif sementara

hampir semua IFK Kabupaten/ Kota stafnya tidak sampai 5 kecuali Kabupaten

Bulukumba dan Luwu Timur.

4. Rendahnya kualitas Makanan Jajanan Anak Sekolah (MJAS) sehingga mengancam

kesehatan anak yang mengkonsumsinya, disebabkan karena keinginan produsen

mencari keuntungan yang lebih besar.

5. Masih rendahnya pengetahuan Produsen Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga

(PKRT) terhadap produk yang memenuhi persyaratan kesehatan.

Upaya pemecahan yang dapat dilakukan terhadap masalah tersebut di atas antara lain:

1. Harmonisasi Integrasi Pengelola obat dan pengelola program kesehatan termasuk

vaksin dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas dalam pengelolaan obat secara

bersama serta untuk penguatan one gate policy dalam manajemen tata kelola obat,

melakukan pelatihan penyusunan rencana kebutuhan (RKO) antara pengelola obat

dan penanggung jawab program dan tentunya untuk melihat kondisi riil di

Kabupaten/Kota dilakukan monitoring ketersediaan Obat di sarana pengelolaan obat

di Kabupaten/ Kota.

2. Implementasi pelaksanaan e – monev dan e logistik obat Dinas Kesehatan Provinsi

melakukan pertemuan untuk memberikan pemahaman terkait pelaporan melalui e –

logistik dan penyusunan Rencana Kebutuhan Obat melalui e – monev.

3. Perbaikan sistem pelayanan perizinan terutama perizinan Pedagang Besar Farmasi,

Industri obat tradisional (IOT), Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT), usaha di bidang

kosmetik serta pembinaan terhadap pelaku usaha makanan minuman dan pembinaan

terhadap pelaku usaha makanan jajanan anak sekolah (MJAS), melalui dana

bersumber APBN dan APBD.

4. Penertiban produk yang tidak memenuhi syarat dengan melakukan sampling

terhadap produk yang beredar selanjutnya dilakukan pengujian sampel untuk menilai

pemenuhan syarat uji sterilitas dan kesehatan serta layak pakai. Selain itu melakukan

evaluasi penilaian, safety quality dan Eficacy terutama pada nomor ijin edar dan

dilaksanakan layanan publik yang transparan, akuntabel, melakukan evaluasi/

penilaian untuk SAS.

5. Mewujudkan kemandirian alat kesehatan PKRT dengan melakukan bimbingan dan

pendampingan terhadap produk inovasi, melakukan pembinaan industri alkes dan

PKRT agar mampu memproduksi alkes dan PKRT yang berdaya saing serta melakukan

advokasi terhadap kesadaran penggunaan produk dalam negeri.

6. Pemberdayaan masyarakat dengan melakukan sosialisasi dan edukasi kepada

masyarakat terhadap penggunaan alkes dan PKRT yang benar, konsumsi terhadap

Makanan Jajanan Anak Sekolah (MJAS) serta meningkatkan pengawasan terhadap

MJAS di sekolah-sekolah dan produk alkes pada PKRT.

‘’ Meningkatnya Pembiayaan Bidang Kesehatan’’

Sasaran ini diukur melalui 4 (empat) indikator kinerja dan mendapatkan angka

capaian kinerja sasaran sebesar 104,03%. Hasil pengukuran capian kinerja sasaran

Meningkatnya Kemitraan Lintas Sektor disajikan dalam tabel berikut ini :

Tabel 13.

Capaian Kinerja Sasaran 9

No. Indikator Kinerja Target Realisasi Capaian

1. Cakupan Kepesertaan Jamkesda

menuju Universal Coverage 100% 100% 100%

2. Cakupan Kepesertaan Kemitraan

Asuransi Kesehatan menuju

Universal Coverage

60% 69,68% 116,13%

3. Cakupan Pelayanan Kesehatan

Dasar Masyarakat Miskin 100% 100% 100%

4. Cakupan Pelayanan Kesehatan

Rujukan Pasien Masyarakat

Miskin

100% 100% 100%

Rata-rata Capaian 104,03%

Dari hasil pengukuran kinerja indikator sasaran ini, pada tabel di atas nampak

bahwa semua indikator yang menjadi tolok ukur keberhasilan program tersebut telah

mencapai bahkan melebihi target yang ditetapkan dalam Rencana Kerja (Renja) Tahun

2016 dan diharapkan tidak mengalami penurunan capaian di akhor periode Renstra

tahun 2018 nanti. Tercapainya sasaran ini menunjukkan besarnya perhatian Pemerintah

dalam upaya memberikan penjaminan kesehatan bagi masyarakat di Sulawesi Selatan.

Pencapaian indikator kinerja sasaran ini, diuraikan sebagai berikut :

1. Cakupan Kepesertaan Jamkesda menuju Universal Coverage

Untuk mewujudkan komitmen global sebagaimana amanat resolusi WHO ke-58

di Jenewa yang menginginkan setiap negara mengembangkan Universal Health

Coverage (UHC) dan kelanjutan implementasi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011

tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) khususnya BPJS Kesehatan yang

sudah dimulai sejak 1 Januari 2014, yang selanjutnya disebut sebagai Program Jaminan

Kesehatan Nasional (JKN), saat ini Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan sedang

memantapkan penjaminan kesehatan bagi seluruh masyarakat sebagai bagian dari

pengembangan jaminan kesehatan secara menyeluruh (Universal Coverage)

khususnya kepada masyarakat miskin dan tidak mampu. Hal tersebut telah

diterjemahkan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dengan mengintegrasikan

Program Pelayanan Kesehatan Gratis ke dalam JKN.

Untuk menjamin akses penduduk Sulawesi Selatan terhadap pelayanan

kesehatan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Dasar 1945, maka sejak

tahun 2008 Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan terus berupaya mengatasi

hambatan dan kendala dalam memperoleh pelayanan kesehatan melalui kebijakan

Program Pelayanan Kesehatan Gratis. Namun, sejak dicanangkannya Program

Jaminan Kesehatan Nasional/Kartu Indonesia Sehat (JKN/KIS) oleh Pemerintah Pusat

pada tanggal 1 Januari 2014, Program Kesehatan Gratis di Provinsi Sulawesi Selatan

secara bertahap diintegrasikan dalam Program JKN yang efektif berlaku mulai 1

Januari 2016. Sampai dengan bulan Desember tercatat dari 1.735.571 jiwa peserta

kesehatan gratis yang telah berintegrasi sebanyak 1.511.572 jiwa. Data menunjukkan

bahwa setelah diverifikasi oleh Badan Penyelenggara Program JKN dalam hal ini BPJS

bahwa sebanyak 223.999 jiwa tidak memenuhi kriteria untuk diintegrasikan menjadi

peserta JKN/KIS, antara lain masih ada masyarakat miskin dan tidak mampu yang

belum belum mempunyai Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang merupakan

persyaratan utama dalam integrasi dengan JKN. Sehingga masih diperlukan kerjasama

lintas sektor terkait dalam hal ini.

Pelayanan kesehatan gratis/jamkesda yang diintegrasikan ke dalam program

JKN mencakup semua pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan jaringannya serta

pelayanan kesehatan rujukan di kelas III Rumah Sakit/Balai Kesehatan milik Pemerintah

dan Swasta (Pusat dan Daerah). Selanjutnya mekanisme pelayanan kesehatan harus

mengikuti regulasi dalam program JKN dan aturan yang berlaku dari badan

pengelola program JKN dalam hal ini BPJS Kesehatan. Program ini merupakan

perimbangan (sharing) pembiayaan antara Pemerintah Provinsi (40%) dengan

Pemerintah Kabupaten/Kota (60%) dengan ketentuan pesertanya adalah masyarakat

miskin dan tidak mampu yang terdaftar dalam program ini dan telah ditetapkan

dengan surat Keputusan masing-masing Bupati/Walikota se-Provinsi Sulawesi Selatan.

Pada tahun 2016 ini, jumlah anggaran yang tersedia untuk pelaksanaan

program integrasi dengan JKN sebanyak Rp 479.017.596.000,-, yang berupa dana

sharing dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak Rp 191.607.038.400,-

(40%) dan Pemerintah Kabupaten/Kota sebesar Rp 287.410.557.600,- (60%) yang

dialokasikan untuk pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan pelayanan tingkat

lanjutan di Rumah Sakit Kabupaten/Kota dan RS Provinsi. Alokasi ini mengalami

peningkatan bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2015) yaitu sebesar Rp

251.601.915.836,-. Dari rekapitulasi laporan Kabupaten/Kota diperoleh data kunjungan

pemanfaatan pelayanan program JKN sampai dengan bulan Desember tahun 2016 di

fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama sebanyak 4.552.216 kunjungan dan

sebanyak 2.162.185 kunjungan di fasilitas pelayanan tingkat lanjut.

Beberapa kegiatan yang dilaksanakan untuk mendukung pencapaian

terlaksananya integrasi ini antara lain Sosialisasi dan Advokasi Pemda Kabupaten/Kota

dalam rangka Integrasi Kesehatan Gratis ke dalam Program JKN/BPJS, Pertemuan

Pemutakhiran Data Kepesertaan Program Kesehatan Gratis ke JKN, Pertemuan

Sosialisasi Perubahan Ranperda Kesehatan Gratis ke Program JKN dan Pertemuan

Kemitraan Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Masyarakat. Pelaksanaan kegiatan ini

dimaksudkan untuk memperkuat dukungan Pemerintah Kabupaten/Kota dan lintas

sektor terkait dalam pelaksanaan integrasi Jamkesda ke dalam JKN.

2. Cakupan Kepesertaan Kemitraan Asuransi Kesehatan menuju Universal Coverage

Arah pencapaian kepesertaan semesta (Universal Coverage) Jaminan Kesehatan

pada akhir periode Renstra Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan (tahun 2018)

ditargetkan sebesar 80% masyarakat Sulawesi Selatan telah mendapatkan jaminan

kesehatan. Sedangkan dalam RPJMN ditargetkan 100% penduduk Indonesia masuk

dalam Universal Coverage. Hasil pengukuran capaian kinerja Cakupan Kepesertaan

Kemitraan Asuransi Kesehatan menuju Universal Coverage baru mencapai sebesar

69,68% meningkat bila dibandingkan tahun 2015 (56,7%). Meskipun telah melebihi

target yang ditetapkan namun masih diperlukan upaya keras untuk mencapai target

dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Provinsi Sulawesi Selatan di tahun

2018 nanti.

Program Jaminan Kesehatan Masyarakat memberikan perlindungan sosial di

bidang kesehatan untuk menjamin masyarakat miskin dan tidak mampu yang

iurannya dibayar oleh Pemerintah agar kebutuhan dasar kesehatannya yang layak

dapat terpenuhi. Pelaksanaan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat

di Provinsi Sulawesi Selatan tidak terlepas dari terselenggaranya pelayanan kesehatan

yang terkendali biaya dan mutunya yang dilaksanakan secara terkoordinasi dan

terpadu dari berbagai pihak terkait pusat dan daerah. Penjaminan kesehatan

masyarakat oleh Pemerintah pusat dan daerah terutama pada masyarakat miskin,

memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi pembangunan kesehatan di

Provinsi Sulawesi Selatan.

3. Cakupan Pelayanan Kesehatan Dasar Masyarakat Miskin

Pemerintah Pusat melalui Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan

Masyarakat Miskin sejak tahun 2008 yang merupakan peralihan program Asuransi

Miskin (ASKESKIN) dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan melalui Program Jaminan

Kesehatan Gratis yang keduanya sekarang telah berintegrasi menjadi Program

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah berupaya untuk menghadapi permasalahan

kesehatan bagi masyarakat miskin dengan penjaminan/pembebasan biaya pelayanan

kesehatan sesuai dengan Petunjuk Teknis yang berlaku. Selain itu untuk meningkatkan

akses dan mutu pelayanan kesehatan masyarakat miskin didukung dengan

penganggaran kegiatan-kegiatan operasional untuk meningkatkan penyediaan serta

efektivitas berbagai pelayanan kesehatan masyarakat yang bersifat non personal

seperti penyuluhan kesehatan, regulasi pelayanan kesehatan dan penyediaan obat,

keamanan dan kesehatan makanan, pengawasan terhadap kesehatan dan kebersihan

lingkungan pemukiman dan realokasi berbagai sumber daya yang tersedia dengan

memprioritaskan daerah miskin dan masyarakat tidak mampu.

Penjaminan pelayanan kesehatan masyarakat miskin meliputi pelayanan

kesehatan dasar di Puskesmas/Fasilitas Pelayanan Primer dan jaringannya serta

pelayanan kesehatan rujukan pada Rumah Sakit Tingkat Pertama maupun Regional,

yang mekanisme pembiayaan dikelola oleh BPJ. Pelayanan Dasar yang diberikan

meliputi berupa kegiatan pelayanan kesehatan di dalam gedung maupun kegiatan

pelayanan kesehatan di luar gedung, antara lain pelayanan gawat darurat, konsultasi

dan pemeriksaan dokter umum dan gigi, pemberian obat, pemeriksaaan

Laboratorium sederhana, Pelayanan KIA, pelayanan rawat inap pada Puskesmas

Perawatan dan Puskesmas Keliling. Cakupan pelayanan kesehatan dasar masyarakat

miskin sejak tahun 2013 hingga sekarang telah mencapai kondisi 100%.

4. Cakupan Pelayanan Kesehatan Rujukan Pasien Masyarakat Miskin

Kondisi capaian kinerja untuk pelayanan kesehatan rujukan pasien masyarakat

miskin pada tahun 2016 juga mencapai angka 100%. Pelayanan rujukan ini, antara lain

meliputi Konsultasi medis, pemeriksaan fisik dan penyuluhan kesehatan oleh dokter

spesialis/umum, Rehabilitasi medis, Penunjang diagnostic seperti pemeriksaan

laboratorium klinik, radiologi dan elektromedik, Tindakan medis kecil dan sedang,

Operasi sedang dan besar, Pemeriksaan dan pengobatan gigi tingkat lanjutan,

Pelayanan KB seperti pelayanan pasca persalinan/ keguguran, Pemeriksaan kehamilan

dengan risiko tinggi dan penyulit, Pemberian obat yang mengacu pada Formularium

Rumah Sakit, Pelayanan darah dan Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RITL) pada ruang

perawatan kelas III.

Kemiskinan dan penyakit hubungannya sangat erat, tidak akan pernah putus

kecuali dilakukan intervensi pada salah satu atau kedua sisi, yakni pada kemiskinannya

atau penyakitnya. Kemiskinan mempengaruhi kesehatan sehingga orang miskin

menjadi rentan terhadap berbagai macam penyakit Sebaliknya kesehatan

mempengaruhi kemiskinan.

Masyarakat yang sehat akan menekan tingkat kemiskinan karena orang yang

sehat mempunyai kondisi antara lain Produktivitas kerja tinggi, biaya pengeluaran

untuk keperluan berobat tertanggulangi, masyarakat dapat berinvestasi dan

menabung, meningkatnya mutu pendidikan, angka fertilitas (kelahiran) dan mortalitas

(kematian) rendah dan berujung pada terjaminnya stabilitas ekonomi.

Pencapaian Sasaran ini didukung oleh kebijakan Peningkatan Sumber Daya

Kesehatan melalui Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pencapaian sasaran adalah :

1. Adanya kebijakan yang mengatur sistem Jaminan Kesehatan Daerah khususnya

integrasi Jamkesda ke JKN/KIS, yaitu Peraturan Presiden RI Nomor 74 Tahun 2014

tentang Peta Jalan Integrasi Jamkesda ke dalam JKN.

2. Komitmen bersama Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam menyiapkan

Dana Sharing untuk Pembiayaan Pelaksanaan Program Integrasi Jamkesda ke JKN

yang tertuang dalam Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 13 Tahun 2008

tentang Pedoman Pelaksanaan Program Pelayanan Kesehatan Gratis di Provinsi

Sulawesi Selatan Tahun 2008 Nomor 15)

3. Dukungan Anggaran dari Pemerintah Pusat berupa alokasi Pembiayaan untuk peserta

PBI Jamkesmas dan operasional pengelolaan program JKN.

Beberapa Permasalahan yang dihadapi dalam Pencapaian Sasaran ini, antara lain ::

1. Kerjasama Lintas Sektor khususnya Dinas Sosial dan Dinas Kependudukan belum

optimal terkait validasi data kepesertaan baik penetapan kuota dan persyaratan yang

harus dipenuhi utamanya identitas dan NIK peserta. Selain itu Pendistribusian Kartu

Indonesia Sehat (KIS) belum terdistribusi maksimal ke peserta.

2. Penerapan rujukan belum berjalan optimal dimana beberapa kasus yang seharusnya

dapat ditangani pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama yang Non

Spesialistik, namun tetap dirujuk ke Rumah Sakit.

3. Belum ada aturan terkait mekanisme pembayaran klaim ke BPJS dengan pola sharing

40 % dan 60 % yang baku sehingga proses pembayaran terkesan lambat sampai saat

ini.

4. Mekanisme Pengusulan Peserta dari Kabupaten/Kota ke BPJS belum berjalan optimal

sehingga terjadi bias data yang menyebabkan selisih pembiayaan.

Solusi yang dapat diberikan terhadap permasalahan tersebut di atas :

1. Optimalisasi koordinasi lintas sektor dalam penentuan data base kepesertaan yang

valid dan sesuai dengan persyaratan yang berlaku serta dalam hal pendistribusian KIS.

2. Penguatan Regulasi terhadap pemberi pelayanan di fasilitas Pelayanan Kesehatan

Primer dalam hal penanganan penyakit-penyakit non spesialistik.

3. Perlunya Regulasi yang mengatur mekanisme pembayaran klaim ke BPJS dengan pola

sharing 40 % dan 60 % sehingga proses pembayaran dapat berjalan sesuai yang

diharapkan.

Perlunya kesepahaman lintas sektor terkait dalam hal penetapan mekanisme

pengusulan peserta yang akan diintegrasikan ke dalam JKN.

BAB III

TUJUAN DAN SASARAN

A. TUJUAN

Penyusunan Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja - SKPD) Dinas

Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 adalah dalam rangka merumuskan

kebijakan, program dan kegiatan yang akan dilaksanakan pada tahun 2018 sebagai

rangkaian untuk pencapaian Visi Dinas Kesehatan yaitu “Sulawesi Selatan Sebagai Pilar

Utama dan Simpul Jejaring Pembangunan Kesehatan Nasional” dengan tujuan sebagai

berikut:

1. Sebagai pedoman/acuan pelaksanaan Pembangunan Kesehatan Dinas Kesehatan

Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018.

2. Tersedianya bahan untuk evaluasi kinerja Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi

Selatan Tahun 2018

3. Memudahkan pemangku kebijakan (stakeholder) dan instansi terkait berperan aktif

untuk mencapai tujuan dan sasaran

4. Merupakan komitmen bersama dalam melaksanakan program–program yang

telah direncanakan.

B. SASARAN

Sasaran pembangunan bidang kesehatan tahun 2018 ditetapkan berdasarkan hasil

evaluasi tahun sebelumnya dan berpedoman pada Rencana Strategis Dinas Kesehatan

Provinsi Sulawesi Selatan. Adapun sasaran pokok yang akan dicapai sampai akhir tahun

2018 adalah sebagai berikut :

1. Menurunnya jumlah/Angka Kesakitan Akibat Penyakit dan Meningkatnya Umur

Harapan Hidup

Indikator Kinerja Target

Umur Harapan Hidup (UHH) 73,10 tahun

Jumlah Kematian Bayi 1.011 kasus

Jumlah Kematian Ibu 103 kasus

Prevalensi Penduduk Usia > 15 Tahun

dengan Tekanan Darah Tinggi 19,04 %

Indikator Kinerja Target

Mempertahankan Prevalensi Obesitas 13,6 %

Menurunkan Prevalensi Perokok Anak

dan Remaja 5,7 %

Angka Penemuan/Kejadian Malaria per

1.000 Penduduk (API) <1/1.000 Penduduk

Angka Kejadian Tuberculosis/100.000

Penduduk (Case Notification Rate) 205/100.000 Penduduk

2. Meningkatnya Status Gizi Masyarakat

Indikator Kinerja Target

Prevalensi Balita Gizi Kurang 17,5 %

Prevalensi Balita Gizi Buruk 4,0 %

Prevalensi Balita Gizi Stunting 33,18 %

3. Meningkatnya Cakupan Pelayanan Kesehatan

Indikator Kinerja Target

Cakupan Kunjungan Ibu Hamil (K4)

94 %

Cakupan Komplikasi Kebidanan yang

ditangani

73 %

Cakupan Pertolongan Persalinan oleh

Tenaga Kesehatan yang memiliki

Kompetensi Kebidanan

97 %

Cakupoan Pelayanan Nifas 95 %

Cakupan Neonatus dengan Komplikasi

yang ditangani

97 %

Cakupan Kunjungan Bayi 98 %

Cakupan Desa/Kelurahan Universal

Child Immunization (UCI)

95 %

Cakupan Pelayanan Anak Balita

85 %

Indikator Kinerja Target

Cakupan Pemberian Makanan

Pendampingan ASI pada Anak Usia 6-

24 Bulan Keluarga Miskin

65 %

Cakupan Balita Gizi Buruk Mendapat

Perawatan

100 %

Cakupan Penimbangan Balita (D/S) 93 %

Cakupan ASI Eksklusif 87 %

Cakupan Pendistribusian Vitamin A

pada Balita

93 %

Cakupan Fe pada Ibu Hamil yang

menkomsumsi tablet Fe 90 tablet

93 %

Cakupan Konsumsi Garam Beryodium 94 %

Cakupan Kabupaten/Kota yang

melaksanakan Surveilans Gizi

100 %

Cakupan Kunjungan Puskesmas 47,73 %

Cakupan Penemuan dan Penanganan

Penyakit Menular

90 %

Cakupan Desa/Kelurahan mengalami

KLB yang dilakukan Penyelidikan

Epidemiologi <24 jam

100 %

Cakupan Kualitas Air Minum 86 %

Cakupan Akses Sanitasi Dasar 70 %

Cakupan Pelayanan Kesehatan Dasar

Masyarakat Miskin

100 %

Cakupan Pelayanan Kesehatan Rujukan

Pasien Masyarakat Miskin

100 %

Cakupan Pelayanan Gawat Darurat

Laevel 1 yang harus diberikan Sarana

Kesehatan (RS) di Kabupaten/Kota

100 %

4. Meningkatnya Sarana dan Prasarana Kesehatan yang Berbasis Masyarakat

Indikator Kinerja Target

Persentase Rumah Tangga ber Prilaku

Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) 65%

Persentase Desa Siaga Aktif 100%

5. Meningkatnya Kemitraan Lintas Sektor/Swasta

Indikator Kinerja Target

Jumlah Kemitraan Lintas Sektor/Swasta 8 LS

6. Meningkatnya Sarana Pelayanan Kesehatan yang Berkualitas

Indikator Kinerja Target

Jumlah Rumah Sakit yang Terakreditasi

Internasional 2 Rumah Sakit

Jumlah Rumah Sakit yang Terakreditasi

Nasional (versi 2012) 5 Rumah Sakit

Jumlah Regulasi yang dihasilkan 1 Regulasi

Persentase Rumah Sakit Pemerintah

yang telah mempunyai Registrasi 100 %

Persentase Rumah Sakit Swasta yang

telah mempunyai Registrasi 100% (49 RS)

Persentase Rumah Sakit Pemerintah

yang telah melaksanakan Penetapan

Kelas

100 %

Persentase Rumah Sakit Swasta yang

telah melaksanakan Penetapan Kelas 100% (49 RS)

Persentase Rumah Sakit Non Pusat

Rujukan Sebagai Rumah Sakit Kelas C

100 %

Persentase Rumah Sakit Pusat Rujukan

Sebagai Rumah Sakit Kelas B

100 %

Indikator Kinerja Target

Persentase Rumah Sakit Pemerintah

yang telah memiliki Izin Rumah Sakit 100% (32 RS)

Persentase Rumah Sakit Swasta yang

telah memiliki Izin Rumah Sakit 90% (45 RS)

% Rumah Sakit sebagai Wahana

Internship 100% (21 RS)

Jumlah Puskesmas yang Terakreditasi 10 Puskesmas

7. Meningkatnya Ketersediaan Obat dan Perbekalan Kesehatan

Indikator Kinerja Target

% Ketersediaan Obat Generik 95 %

% Pengawasan Obat dan Makanan

yang layak, bermutu dan aman

dikonsumsi

60 %

% Kualitas Pelayanan Kefarmasian pada

Sarana Pelayanan Obat Tradisional 100 %

% Kualitas Kefarmasian dalam

pengembangan Obat Asli Indonesia 80 %

8. Meningkatnya Ketersediaan SDM Kesehatan yang Proporsional

Indikator Kinerja Target

Rasio Dokter Umum per 100.000

Penduduk 22/100.000 Penduduk

Rasio Dokter Spesialis per 100.000

Penduduk 13/100.000 Penduduk

Rasio Dokter Gigi per 100.000 Penduduk

17/100.000 Penduduk

Rasio Apoteker per 100.000 Penduduk

17/100.000 Penduduk

Rasio Perawat per 100.000 Penduduk

100/100.000 Penduduk

Indikator Kinerja Target

Rasio Bidan per 100.000 Penduduk 58/100.000 Penduduk

Rasio Ahli Gizi per 100.000 Penduduk 18/100.000 Penduduk

Rasio Ahli Sanitasi per 100.000

Penduduk 17/100.000 Penduduk

Rasio Kesmas per 100.000 Penduduk 25/100.000 Penduduk

9. Meningkatnya Pembiayaan Kesehatan Bidang Kesehatan

Indikator Kinerja Target

Cakupan Kepesertaan Jamkesda Menuju

Universal Coverage 100 %

Cakupan Kepesertaan Kemitraan

Asuransi Kesehatan Menuju Universal

Coverage

80 %

BAB IV

PROGRAM DAN KEGIATAN

Program yang merupakan penjabaran kebijakan, tujuan dan sasaran yang tertera dalam

Rencana Srategis Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan adalah sebagai berikut :

1. Program Pengadaan Obat, Pengawasan obat, Makanan dan Pengembangan Obat

Asli Indonesia

2. Program Peningkatan Upaya Kesehatan Masyarakat

3. Program Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat

4. Program Perbaikan Gizi Masyarakat

5. Program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

6. Program Standarisasi Pelayanan Kesehatan

7. Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat

8. Program Peningkatan Pelayanan Kesehatan Ibu, Anak, Balita dan Lansia

Selain Program Prioritas, terdapat juga Program Penunjang sebagai berikut :

1. Program Pelayanan Administrasi Perkantoran

2. Program Peningkatan Kapasitas dan Kinerja SKPD

3. Program Pengembangan Sistem Perencanaan dan Sistem Evaluasi Kinerja SKPD

Rincian Program dan Kegiatan yang memuat a). Indikator Kinerja, b). Kelompok Sasaran, c).

Lokasi Kegiatan, d). Kebutuhan Dana Indikatif dan e). Sumber Dana dapat dilihat pada

matriks terlampir.

BAB V

PENUTUP

Kaidah Pelaksanaan

a. Pola Penyelenggaraan

Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD) Dinas Kesehatan

Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ini, memuat sasaran program dan kegiatan

yang akan dicapai selama satu tahun dan menjadi acuan bagi setiap bidang dalam

pelaksanaan tugas dan fungsi Dinas Kesehatan. Pelaksanaan Program Kerja ini

dikendalikan oleh Kepala Dinas Kesehatan.

b. Monitoring dan Evaluasi

Monitoring dan Evaluasi Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja

SKPD) Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan akan dilaksanakan secara berkala

melalui monitoring dan evaluasi, secara tidak langsung berupa laporan pelaksanaan

tertulis, monitoring dan evaluasi secara langsung melalui rapat pertemuan yang

akan dilaksanakan setiap triwulan.

Substansi dari monitoring dan evaluasi tidak terlepas dengan pengukuran kinerja

Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan sesuai dengan indikator kinerja yang telah

dirumuskan.

Penutup

Rencana Kerja Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan (Renja SKPD) Tahun

2018 memuat Program dan Kegiatan yang akan menjadi acuan bagi seluruh bidang

lingkup Dinas kesehatan dalam menyusun Rencana Kerja Anggaran (RKA-SKPD) yang

pada akhirnya menjadi pedoman pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing.

Namun demikian, keberhasilan pencapaian sasaran juga dipengaruhi oleh pagu

alokasi anggaran yang diberikan.

Rencana kerja ini harus dijalankan secara bertanggung jawab, yang dilandasi

dengan komitmen dan dedikasi tinggi yang pada akhirnya akan mendukung

tercapainya visi dan misi yang telah ditetapkan dalam Rencana Strategis (Renstra)

Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013-2018.

Makassar, April 2017

KEPALA DINAS KESEHATAN

PROVINSI SULAWESI SEALATAN,

Dr.dr.H.RACHMAT LATIEF, SpPD, KPTI, M.Kes, FINASIM

Pangkat : Pembina Utama

NIP : 19590204 198511 2 002