diabetes tipe i terjemahan

Upload: yuriskamayda

Post on 15-Oct-2015

62 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

semoga berguna

TRANSCRIPT

  • DIABETES TIPE I: ETIOLOGI, IMUNOLOGI, DAN STRATEGI TERAPI

    I. PENDAHULUAN

    Diabetes mellitus baik tipe 1 maupun tipe 2 (T1D, T2D) memiliki kesamaan

    yang level glukosa darah yang tinggi (hiperglikemia) yang dapat menyebabkan

    komplikasi kesehatan yang serius antara lain ketoacidosis, gagal ginjal, penyakit

    jantung, stroke, dan kebutaan. Pasien seringkali terdiagnosis dengan diabetes

    yang datang ke dokter karena ada gejala-gejala klinis seperti sering haus, sering

    kencing, dan sering lapar. Gejala-gejala tersebut disebabkan oleh kondisi

    hiperglikemia yang sebenarnya disebabkan oleh kurangnya fungsionalitas insulin

    dalam tubuh. Pada T2D, yang seringkali terkait obesitas dan usia tua, seringkali

    kurangnya fungsionalitas insulin tersebut disebabkan oleh resistensi insulin di

    mana sel otot atau sel adiposa tidak berespon secara adekuat terhadap insulin

    dalam level normal yang diproduksi oleh sel beta yang intak. Lain halnya dengan

    T1D, yang biasanya dimulai saat usia

  • genetik spesifik juga harus ada pada seseorang untuk menyebabkan diabetes.

    Meski demikian, tingkat konkordansi kejadian T1D di antara kembar monozigotik

    hanya 50%, sedangkan di antara kembar dizigotik hanya ~10%. Dengan follow

    up yang lebih panjang didapatkan bahwa mayoritas pasien kembar identik yang

    menderita T1D mengekspresikan autoantibodi anti-islet yang berkembang

    menjadi diabetes, namun auto-antibodi anti-islet pada saudara kembarnya baru

    muncul 30 tahun setelah saudaranya menderita diabetes. Sehingga tampaknya

    kerentanan genetic ini bertahan selama hidup, dan pencegahan untuk

    berkembang menjadi diabetes biasanya didahului oleh masa prodromal yang

    panjang dari ekspresi auto-antibodi anti-islet selama bertahun-tahun. Namun

    demikian, meskipun tingkat konkordansi untuk kembar monozigotik lebih tinggi

    dari yang sebelumnya diperkirakan, namun masih dibawah nilai universal, dan

    terhadap perbedaan kuat dalam waktu terjadinya T1D. Hal ini menunjukkan

    bahwa komponen lingkungan berperan penting dalam perkembangan T1D.

    Sejak awal 1920an, diabetes telah diterapi dengan penggantian insulin,

    yang pada kasus ideal, hanya akan memperpendek usia ~10 tahun. Hal ini

    memberikan batas keamanan yang tinggi untuk intervensi berbasis imunitas

    apapun. Bahkan lebih dari itu, teknologi terbaru (monitor glukosa darah kontinyu,

    insulin lepas lambat, etc) dapat menurunkan kemungkinan episode hipoglikemik

    yang mengancam jiwa akibat over dosis insulin. Sehingga, intervensi berbasis

    imunologis idealnya harus efektif, berlangsung lama, dan memiliki efek samping

    minimal untuk mengganti terapi substitusi insulin dengan sebuah kesembuhan.

    Saat ini, meskipun masih banyak tantangan dalam bidang imunoterapi T1D,

    namun telah banyak progress bagus yang dihasilkan.

    Dalam tinjauan ini, kami menyediakan tinjauan komprehensif mengenai

    etiologi dan imunologi T1D dan akan mendiskusikan strategi biologis preventif

    ataupun terapeutik yang telah diteliti atau saat ini telah dilaksanakan.

    II. GENETIKA DIABETES TIPE I

    Tinjauan komprehensif mengenai data genetic pada tikus dan manusia

    tidak dibahas dalam artikel ini. Namun kami akan memfokuskan tentang

    bagaimana berbagai kerentanan genetic dan pencetus lingkungan dapat sesuai

    dengan model mekanistik etiologi T1D.

  • A. Bentuk-bentuk Monogenik yang Jarang

    Diabetes autoimun jarang disebabkan oleh defek mutasi pada sebuah gen

    tunggal. Bentuk-bentuk monogenic ini biasanya disertai oleh kondisi autoimun

    lain akibat gangguan pada pathway regulasi umum. Satu contohnya dapat dilihat

    pada sindroma IPEX (immune dysregulation, polyendocrinopathy, enteropathy,

    X-linked), di mana mutasi pada faktor transkripsi Foxp3 menyebabkan terjadinya

    disfungsi regulasi sel T (Tregs) dan terjadinya autoimun multiorgan. Sekitar 80%

    anak yang terkena akan mengalami diabetes autoimun dan secara umum akan

    meninggal dengan cepat akibat kondisi autoimunitas menyeluruh. Contoh lain

    bisa dilihat pada autoimmune polyendocrinopathy syndrome type 1 (APS-1 atau

    APECED untuk autoimmune polyendocrinopathy candidiasis ectodermal

    dystrophy). Mutasi pada faktor transkripsi AIRE (regulator autoimun)

    menyebabkan kondisi autoimun yang berat, dan ~20% dari kasus berkembang

    menjadi T1D. Defisiensi AIRE akan menghambat ekspresi molekul perifer,

    contohnya insulin di thymus. Penurunan ekspresi ini memungkinkan sel T

    autoreaktif untuk lolos ke perifer, karena penurunan ekspresi ini mengganggu

    proses delesi thymus. Bentuk-bentuk monogenik yang langka ini

    merepresentasikan sejumlah kecil kasus T1D, namun menggarisbawahi dua

    karakteristik utama terkait etiologi T1D. Pertama, observasi bahwa beberapa

    kondisi autoimun yang telah diketahui dengan baik berkembang secara paralel

    sehingga dapat digarisbawahi adanya mekanisme toleransi umum yang

    mencegah munculnya penyakit ini pada individu-individu sehat. Kedua, meskipun

    genetik dan lingkungan mungkin berinteraksi dalam sebuah spektrum yang

    kontinyu pada sebagian besar pasien dengan penyakit autoimun, namun

    penyebab monogenik pada IPEX dan APS-1 mengilustrasikan bahwa konstitusi

    genetik dapat lebih dominan pada kasus tertentu yang ekstrim.

    B. Gen HLA

    Penelitian-penelitian awal mengindikasikan bahwa regio HLA pada

    kromosom 6p21 (umumnya disebut IDDM1, untuk lokus insulin dependent

    diabetes mellitus) merupakan lokus dengan kerentanan kritis untuk banyak

    penyakit autoimun pada manusia, termasuk T1D. Temuan-temuan awal tersebut

    telah merevolusi pengertian kita tentang etiologi T1D ke dalam dua cara,

    sebagaimana dinyatakan oleh Nerup et al, dalam kesimpulannya pada tahun

    1974: (1) T1D merupakan sebuah entitas penyakit yang berbeda, sesuai hasil

  • dan bukti histopatologis; dan (2) sebuah respon imun seluler aberant, yang

    mungkin dipicu oleh infeksi virus, dapat mengawali onset tersebut. Sejumlah

    lokus rentan yang baru kemudian ditemukan sejak penelitian tersebut, namun

    tidak ada satupun yang memiliki keterkaitan kuat seperti pada regio HLA.

    Tampaknya tidak mungkin ditemukan loci baru lagi yang memiliki resiko dramatis

    perkembangan T1D selain HLA. Pada penelitian genetik, odds ratio secara

    statistik digunakan untuk mengkalkulasi apakah sebuah single nucleotide

    polymorphisme (SNP) terkait dengan penyakit. Sebuah odds ratio yang bernilai 1

    menandakan bahwa kejadian ini sama antara kelompok pasien dan kelompok

    kontrol. Odds ratio dari alel yang merupakan faktor predisposisi penyakit yang

    kompleks, biasanya bernilai sedang, antara 1.2-1.3, dan bahkan regio HLA

    hanya memiliki nilai prediktif (predictive value) sebesar 6.8. Hal ini menunjukkan

    bahwa predisposisi genetik memang merupakan sebuah faktor dominan dalam

    perkembangan T1D, dan masih banyak SNP lain yang masih harus ditemukan.

    Setelah beberapa dekade sejak ditemukannya hubungan HLA, gen klas II masih

    merupakan kontributor genetik yang paling kuat. Beberapa gen HLA klas II

    sangat penting sehingga alel-alel dari gen tersebut ditemukan dapat menentukan

    kerentanan genetik secara hirarkis mulai dari gen proteksi hingga gen beresiko

    tinggi. Haplotipe DRB1*1501-DQA*0102-DQB1*0602, ditemukan ~20% populasi,

    namun hanya 1% dari pasien, yang memberikan proteksi dominan terhadap T1D.

    Di sisi lain dari spektrum kerentanan genetis ada individu dengan haplotipe

    DR3/4-DQ8 heterozigot (DR3 adalah DRB1*03-DQB1*0201, DR4 adalah

    DRB1*04-DQB1*0302, DQ8 adalah DQA1*0301-DQB1*0302). Penting untuk

    dicatat bahwa hanya 30-50% pasien dengan T1D yang memiliki genotip DR3/4-

    DQ2/8. Sebuah studi di Denver, Colorado, menemukan haplotipe resiko tinggi

    tersebut pada 2.4% naonatus dan lebih dari 20% anak yang menderita T1D, dan

    adanya haplotipe ini menandai kemungkinan resiko sebesar 55% terjadinya

    diabetes saat usia 12 tahun. Saudara kandung dengan DR3/4-DQ2/8 dengan

    HLA identik diabetik memiliki resiko hingga 80% untuk terjadinya auto-antibodi

    anti-islet persisten dan 60% kemungkinan terjadinya diabetes pada usia 15

    tahun.

    Ditemukan juga sebuah hubungan yang konsisten, meskipun kurang

    terlihat, untuk alel-alel klas I. Sebuah penelitian terbaru oleh Nejentsev et al

    menemukan bahwa, setelah dilakukan penghitungan mengenai pengaruh

    dominan gen klas II, sebagian besar sisa-sisa asosiasi pada regio HLA dapat

  • dikaitkan dengan gen-gen HLA-B dan HLA-A. Yang paling penting yakni

    keberadaan alel HLA-B*39 ditemukan dapat menjadi faktor resiko yang signifikan

    dan terkait dengan makin mudanya usia saat diagnosis T1D ditegakkan. Selain

    itu, HLA-A*02 semakin menambah resiko individu yang memiliki haplotiple klas II

    DR3/4-DQ8 yang beresiko tinggi. HLA-A*0201 merupakan salah satu alel klas I

    yang paling banyak dijumpai, dengan frekuensi >60% pada pasien T1D.

    Terdapat makin banyak bukti mengenai keberadaan dan fungsi HLA-A*02 yang

    terbatas pada sel T-CD8 yang bereaksi terhadap antigen sel beta seperti insulin,

    glutamate decarboxylase (GAD), dan IAPP pada pasien T1D dan pasien yang

    menjalani transplant islet. Tikus NOD transgenik telah dibuat untuk

    mengekspresikan molekul HLA-A*02 manusia, dan makin cepatnya onset

    diabetes pada tikus tersebut membuktikan adanya bukti fungsional keterlibatan

    alel klas I ini.

    C. Gen Insulin

    Predisposisi genetik lain dari T1D berasal dari lokus IDDM2 pada

    kromosom 11 yang mengandung regio gen insulin. Sebuah regio polimorfik yang

    terletak pada 5 gen insulin pertama kali dilaporkan terkait dengan T1D pada

    tahun 1984 pada ras Kaukasoid. Setelah ditetapkan sebagai autoantigen primer

    pada T1D, tidak mengherankan bahwa mutasi pada regio insulin dapat

    berkontribusi terhadap kerentanan individu terhadap diabetes. Pemetaan rinci

    menunjukkan bahwa kerentanan terletak pada polimorfisme variable number of

    tandem repeat (VNTR) di regio promoter gen insulin. Besarnya resko sangat

    berkorelasi dengan jumlah dari pengulangan tandem tersebut. VNTR tipe I

    (dengan pengulangan pendek) pada individu homozigot memiliki kategori resiko

    yang paling tinggi dan VNTR tipe III (pengulangan panjang) dapat melindungi

    individu carrier terhadap T1D. Hipotesis utama yang diajukan adalah bahwa

    VNTR tersebut meregulasi level ekspresi insulin pada thymus dengan

    mempengaruhi ikatan AIRE dengan regio promoternya. Pentingnya ekspresi

    insulin oleh sel epithel medulla thymus yang dilakukan oleh AIRE (mTECs) baru-

    baru ini ditemukan melalui sebuah observasi delesi insulin spesifik mTEC akan

    menyebabkan diabetes pada hewan. Konsekuensinya, pada VNTR tipe I

    ditemukan transkripsi insulin dan prekursor insulin di thymus yang lebih rendah

    sehingga menyebabkan penurunan toleransi insulin dan perkembangan T1D.

    Sebaliknya, sel T reaktif insulin seringkali secara efisien dieliminasi melalui

  • seleksi negatif di thymus pada individu dengan varian alel VNTR tipe III yang

    protektif.

    D. PTPN22

    Perangkat gen yang rentan T1D yang relatif baru ditemukan adalah

    PTPN22, yang mengkode lymphoid protein tyrosine phosphatase (LYP). Varian

    alel ini juga memediasi beberapa penyakit autoimun lainnya, yang menunjukkan

    keterlibatan axis sinyal yang krusial. Dan memang, protein LYP merupakan

    regulator negatif yang penting dari sinyal reseptor sel T melalui defosforilasi

    golongan kinase Src yakni Lck dan Fyn, ITAMs dari kompleks TCR/CD3, serta

    ZAP-70, Vav, valosin containing protein, dan molekul sinyal kunci lainnya.

    Penjelasan mekanismenya masih kontradiktif. Mutasi loss-of-function (hilang

    fungsi) dapat menyebabkan penurunan ambang batas aktivasi sel T autoreaktif di

    perifer. Sebaliknya, mutasi gain-of-function yang mensupresi sinyal TCR selama

    perkembangan thymus dapat menyebabkan sel T autoreaktif lolos dari seleksi

    negatif.

    E. IL2RA

    Variasi alel pada regio gen interleukin (IL)-2 receptor- juga berperan

    dalam faktor resiko genetik yang menyebabkan T1D. Rantai alfa dari kompleks

    reseptor IL-2 (IL2R, CD25) merupakan molekul penting yang diekspresikan

    pada sel T saat terjadi aktivasi dan pada Tregs alami saat kondisi normal. Tregs

    bergantung pada Il-2 selama pertumbuhan dan kehidupan sel. Adanya subunit

    IL2R akan meningkatkan afinitas reseptor IL-2 secara signifikan. Pada penyakit

    multiple sclerosis (MS) dan kondisi autoimun lainnya, ditemukan peningkatan

    level IL2R terlarut (sIL2R) dalam darah. Karena peran IL-2 pada fungsi Treg

    yang tidak tergantikan dan potensi dari sIL2R untuk menetralisir IL-2, maka

    dapat diduga bahwa varian beresiko dari alel IL2RA dapat mengganggu

    fungsionalitas Treg melalui upregulasi sIL2R. Namun, baru-baru ini ditemukan

    bahwa kerentanan genotip IL2RA pada T1D terkait dengan rendahnya level

    sIL2R. Selain itu, pada sel mononuklear darah perifer yang distimulasi secara in

    vitro dari individu dengan T1D, ditemukan bahwa sel-sel tersebut memproduksi

    lebih sedikit sIL2R daripada sel dari individu kontrol. Hal ini mungkin

    mengindikasikan adanya defek subset seluler yang merupakan sumber dari

    IL2R. Alternatif penjelasan lainnya adalah bahwa, bahkan pada frekuensi Tregs

  • yang normal pada T1D, polimorfisme IL2R dapat berperan dalam defek

    fungsional kompartemen Tregs. Kesimpulannya, meskipun tampaknya

    variabilitas genetik dari gen IL2RA terkait dengan beberapa penyakit autoimun

    termasuk T1D, namun mekanisme dan jangkauan sejauh mana level IL2RA

    dapat memediasi kondisi-kondisi tersebut sangat jauh berbeda.

    F. CTLA-4

    Alel beresiko untuk terjadinya T1D lain yang telah dikonfirmasi terletak

    pada gen yang mengkode cytotoxic T lymphocyte-associated protein 4 (CTLA-4)

    pada regio IDDM12. CTLA-4 merupakan sebuah molekul vital untuk regulasi

    negatif yang sesuai dalam respon imun, sebagaimana dibuktikan dari munculnya

    kondisi gangguan limfoproliferatif berat bila gen ini dihilangkan pada tikus.

    Sebagaimana regio lain, keterkaitan resiko dari varian alel regio CTLA-4 tidak

    eksklusif hanya dengan T1D, namun juga pada beberapa gangguan autoimun

    lainnya, di antaranya multiple sclerosis, systemic lupus erythematosus (SLE),

    dan rheumatoid arthritis. SNP juga telah ditemukan pada regio promoter dan

    pada exon-1 CTLA-4 manusia. Polimorfisme A49G merupakan satu-satunya

    polimorfisme yang merubah sekuens asam amino primer pada CTLA-4. Pada

    penelitian in vitro terhadap A49G-CTLA-4 menunjukkan bahwa bentuk mutan dari

    CTLA-4 secara acak diproses di dalam retikulum endoplasma yang

    menyebabkan penurunan ekspresi di permukaan. Namun bagaimana tepatnya

    polimorfisme ini mempengaruhi fungsi CTLA-4 masih belum jelas. Selain efek

    terhadap proses dan perjalanan intrasel, mutasi ini mungkin juga berpengaruh

    terhadap oligomerisasi dan retensi permukaan. Namun demikian, hipotesis

    utama yang diajukan pada manusia adalah bahwa varian alel akan menurunkan

    level mRNA pada varian splice CTLA-4 terlarut.

    G. Penelitian Keterkaitan Genome dan Polimorfisme Langka pada Gen IFIH1

    Kemajuan penelitian genome-wide association (GWA) telah memungkinkan

    analisis silang tingkat tinggi terhadap SNP di seluruh genome manusia, pada hal-

    hal yang sebelumnya tidak dapat dicapai, pada ribuan orang yang tidak

    berkaitan, dan pada sebuah pola yang tidak didasarkan pada hipotesis. Hasil-

    hasil yang dipublikasikan dari berbagai penelitian GWA dan meta-analisis yang

    dilakukan terhadap penelitian-penelitian tersebut mengkonfirmasikan adanya

    asosiasi dari gen-gen yang telah didiskusikan sebelumnya dan berhasil

  • mengidentifikasi sejumlah besar lokus baru yang beresiko. Penelitian GWA

    paling baru yang berfokus pada T1D menemukan bahwa terdapat lebih dari 40

    lokus yang beresiko menyebabkan T1D, termasuk regio yang baru diidentifikasi

    yang berfungsi mengkode molekul imunoregulasi seperti IL-10. Dapat

    disimpulkan dari penelitian komprehensif tersebut bahwa penyakit autoimun

    memang memiliki banyak kesamaan faktor resiko genetik, sehingga

    menunjukkan pathway yang sama. Tambahan terhadap pernyataan tersebut

    yakni penemuan paling baru berupa SNP beresiko pada gen kandidat fungsional

    TYK2, yang berimplikasi terhadap sinyal interferon (IFN)-, IL-6, IL-10, dan IL-12.

    Hubungan ini sebelumnya ditemukan pada kondisi MS, ankylosing spondylitis,

    SLE, dan penyakit thyroid autoimun. Kami tidak akan merangkum semua gen

    yang beresiko dan berspekulasi mengenai implikasi etiologisnya terhadap T1D.

    Namun kami akan menggarisbawahi polimorfisme terkait T1D pada regio IFIH1,

    karena polimorfisme ini terkait dengan dengan konstitusi genetik dan faktor

    lingkungan pencetus.

    Interferon induced helicase-1 (IFIH1) mengkode sebuah helicase yang

    diinduksi oleh IFN yang berkontribusi terhadap pengenalan dsRNA dari

    picornavirus. Karena itu, IFIH1 berfungsi sebagai sensor sitoplasma terhadap

    infeksi virus. Sebagaimana akan kami jelaskan selanjutnya, bahwa salah satu

    virus terkait T1D yang paling dominan adalah coxsackievirus B (CVB), sebuah

    enterovirus yang masuk dalam famili picornavirus. Studi pada tikus

    mengkonfirmasi bahwa IFIH1 dan molekul adaptornya yakni MAVS, sangat

    penting dalam proses respon interferon tipe 1 terhadap CVB, khususnya pada

    fase akhir. Sehingga, defek genetik pada IFIH1 dapat berpotensi mengganggu

    deteksi dan pembersihan virus sehingga menyebabkan respon imun

    diabetogenik yang abnormal. Sebuah penelitian independen mengkonfirmasi

    adanya polimorfisme terkait T1D pada gen IFIH1 dan menunjukkan bahwa level

    ekspres gen pada PBMC lebih tinggi daripada individu dengan genotip yang

    rentan. Hipotesis yang mungkin adalah bahwa pada individu-individu tersebut

    dengan level IFIH1 yang lebih tinggi, infeksi virus mungkin terutama dikenali

    melalui pathway IFIH1, yang menyebabkan eksaserbasi imunitas antivirus dan

    produksi interferon tipe I. Sesuai dengan hipotesis tersebut, telah berhasil

    diidentifikasi adanya varian protektif IFIH1 pada T1D yang sangat langka. Satu

    dari varian protektif tersebut adalah mutasi non-sense yang menyebabkan

    percabangan protein, sedangkan dua varian lain mungkin terkait dengan

  • gangguan pemecahan normal transkripsi IFIH1. Prediksi awal adalah bahwa

    varian-varian tersebut menurunkan fungsi protein IFIH1, sehingga menurunkan

    resiko T1D, sebagaimana dikonfirmasi melalui penelitian.

    H. Paralelisme antara Genetika Manusia dan Genetika NOD Tikus

    Mayoritas data mekanis mengenai patogenesis dan intervensi potensial

    T1D berasal dari penelitian pada tikus. Sehingga, penting untuk memahami

    predisposisi genetik dari model-model tikus yang sering digunakan, yakni tikus

    NOD. Sama dengan terminologi lokus IDDM pada manusia, regio genetik yang

    mengontrol perkembangan ke arah T1D pada NOD juga merupakan lokus insulin

    dependent diabetes (Idd). Salah satu pendekatan dalam melakukan analisis

    fungsional rinci terhadap lokus beresiko adalah dengan membuat tikus kongenik,

    di mana lokus dengan kerentanan penyakit yang spesifik digant dengan gen

    protektif dari strain yang tidak beresiko diabetes. Penelitian-penelitian ini

    mengkonfirmasi bahwa, sebagaimana pada manusia, gen major histocompatibiliy

    complex (MHC) class II (Idd1) secara khusus berperan sebagai gen dominant

    yang berkontribusi terhadap predisposisi penyakit pada tikus NOD. Selain itu,

    lebih dari 20 regio Idd non-MHC telah ditemukan dapat memediasi resiko

    penyakit. Kami akan memfokuskan beberapa lokus rentan yang sama antara

    manusia dan tikus.

    Lokus resiko pertama yang menunjukkan korespondensi antara manusia

    dengan tikus adalah Ctla4 (Idd5.1). Manusia mengekspresikan dua variant splice

    utama yang mengkode CTLA-4 dalam bentuk terikat membran ataupun dalam

    bentuk bebas (terlarut dalam darah). Tikus mengekspresikan sebuah varian yang

    tidak memiliki domain ikatan B7, yang disebut ligand-independenti CTLA-4 (li-

    CTLA-4). Efek proteksi genetik pada strain tikus kongenik Idd5.1 diketahui

    dimediasi oleh level ekspresi isoform liCTLA-4 yang lebih tinggi, yang

    memodulasi negatif respon sel T. Hal ini mengkonfirmasi konsep bahwa

    polimorfisme mempengaruhi level isoform CTLA-4 yang berkontribusi terhadap

    kerentanan T1D.

    Kerentanan genetik pada manusia dan tikus juga sama-sama didapatkan

    pada variasi pathway sinyal IL-2. Namun, bila kerentanan pada manusia terkait

    dengan regio gen IL2RA, varian pada NOD terletak pada gen IL-2 (pada Idd3).

    Konsisten dengan peran yang tidak tergantikan dari sinyal IL-2 untuk mencegah

    T1D, beberapa laporan menyebutkan adanya korelasi antara Idd3 dengan

  • penurunan level IL-2 yang menyebabkan gangguan induksi toleransi dan

    fungsionalitas Tregs. Bila dilihat secara umum, derajat kesamaan antara kedua

    spesies ini menandakan pentingnya peran pathway IL-2 dalam menjaga toleransi

    insulin. Meskipun terjadi gangguan pada berbagai bagian kaskade sinyal IL-2,

    outcome-nya dapat sama yakni gangguan homeostasis sel T dan ekspansi

    subset sel T diabetogenik.

    Beberapa observasi menunjukkan bahwa ortolog PTPN22 pada tikus akni

    Ptpn8, mempengaruhi penyakit pada NOD, namun hubungan ini masih harus

    dikonfirmasi. Hingga saat ini, belum ada lokus Idd yang diketahui meregulasi

    ekspresi insulin thymus seperti yang sudah ditemukan pada manusia. Namun

    demikian, konsep level insulin thymus sebagai regulator penting selama seleksi

    negatif telah dikonfirmasi pada penelitian terhadap tikus NOD dengan berbagai

    derajat defisiensi gen pengatur dosis insulin. Terlepas dari perbedaan evolusi

    dari kedua spesies ini, beberapa keterbatasan juga disebabkan oleh translasi

    data genetik dari model NOD ke manusia. Contohnya, tikus NOD mengalami

    insulitis yang lebih berat daripada yang ditemukan pada islet manusia (Gambar

    3). Selain itu, translasi intervensi imunomodulasi pada model tikus terhadap

    pasien T1D juga tidak dapat dilakukan secara langsung.

    III. FAKTOR PENCETUS

    Saat ini telah diketahui bahwa manifestasi klinis dari T1D merefleksikan

    konsekuensi dari sebuah proses autoimun berkepanjangan di baliknya.

    Contohnya, auto-antibodi terhadap antigen islet dapat dideteksi sebelum muncul

    onset klinis T1D. Hal ini menunjukkan bahwa ada sebuah sekuens yang memulai

    kejadian sebelum hiperglikemia selama setidaknya beberapa bulan, namun

    mungkin juga bisa beberapa tahun. Jarak yang lebar antara inisiasi dan deteksi

    kejadian diabetogenik yang sedang berjalan, memberikan suatu masalah besar

    dalam pencarian pemicu lingkungan yang menyebabkan proses inisiasi. Selain

    itu, juga terdapat kemungkinan bahwa faktor pemicu bersifat hit and run

    sehingga tidak meninggalkan jejak molekuler. Alternatif lain, mungkin diperlukan

    pemicu dari lingkungan yang tidak hanya satu untuk dapat memicu autoimunitas,

    dan masing-masing pasien mengalami kombinasi faktor pemicu yang berbeda-

    beda. Setelah mendiskusikan kontribusi genetik utama terhadap kerentanan

    T1D, selanjutnya kita akan mendiskusikan data epidemiologis yang

  • mengindikasikan bahwa makin meningkatnya insiden T1D berkaitan dengan

    perubahan lingkungan.

    A. Infeksi Virus

    Sebuah pencarian di database PubMed menggunakan kata kunci virus

    dan diabetes tipe 1 menghasilkan 1.355 judul tulisan, yang menggambarkan

    betapa besarnya usaha untuk memahami peran infeksi virus dalam T1D. Tanggal

    tertua dari publikasi adalah tahun 1926 berupa dokumen variasi musiman onset

    diabetes dan dikaitkan dengan beberapa infeksi virus. Meskipun sudah dilakukan

    berbagai usaha tersebut, masih belum ada bukti langsung untuk strain virus

    tertentu yang menjadi penyebab T1D.

    1. Enterovirus

    Sejumlah besar data menyatakan bahwa enterovirus, atau lebih spesifiknya

    coxsackievirus sebagai kandidat virus utama yang dapat mencetuskan T1D.

    Penelitian pertama menunjukkan adanya hubungan antara infeksi coxsackievirus

    dengan T1D berdasarkan temuan tingginya titer antibodi netralisasi pada serum

    pasien dengan onset baru dibandingkan kelompok kontrol. Data-data ini

    selanjutnya dikonfirmasi menggunakan teknologi PCR. Beberapa penelitian juga

    memeriksa antibodi terhadap virus lain secara paralel, namun coxsackievirus

    selalu menjadi yang paling banyak ditemukan. Kemungkinan adanya hubungan

    kausatif ini kemudian diteliti lebih lanjut dengan berbagai tingkat kesuksesan baik

    pada studi manusia maupun studi hewan. Pada tahun 1971, terjadi kejadian

    menarik yakni sebuah studi yang dilakukan terhadap insiden diabetes setelah

    epidemia infeksi coxsackievirus B4 (CVB4) pada pulau Pribilof yang terisolasi.

    Lima tahun setelah epidemi, insiden diabetes pada individu yang terinfeksi CVB4

    dibandingkan dengan individu yang tidak terinfeksi CVB4 ditemukan tidak

    berbeda, sehingga disimpulkan tidak ada hubungan antara infeksi CVB4 dengan

    onset T1D. Dengan pengetahuan kita saat ini mengenai kontribusi genetik, maka

    bisa dinyatakan bahwa infeksi virus saja tidak dapat menyebabkan T1D pada

    latar belakang genetik apapun. Yoon et al, dalam penelitian selanjutnya

    memberikan dukungan lebih banyak untuk keterlibatan CVB4 dengan

    mendemonstrasikan bahwa virus tersebut dapat mengnfeksi sel beta dan

    menyebabkan insulitis serta diabetes pada strain tikus yang rentan. Selain itu,

    penelitian ini juga berhasil mengisolasi strain CVB4 dari anak dengan T1D onset

    baru. Data fungsional menunjukkan adanya penguatan respons sel T terhadap

  • protein CVB4 pada anak dengan T1D setelah munculnya onset penyakit

    tersebut. Di antara sel-sel yang reaktif CVB4 tersebut, fenotip efektor/memori

    lebih mendominasi di saat-saat mendekati diagnosis. Terakhir, penelitian yang

    dilakukan pada populasi Finlandia menunjukkan adanya hubungan antara infeksi

    enterovirus dan perkembangan diabetes pada sebuah penelitian prospektif.

    Meskipun infeksi enterovirus tampaknya tidak merepresentasikan penyebab

    eksklusif untuk makin tingginya insiden T1D di Finlandia, namun mungkin infeksi

    ini merupakan kontributor yang penting.

    Pada penelitian besar tahun 1987, Foulis et al, melaporkan adanya

    sejumlah besar HLA klas I dan IFN- pada islet anak dengan diabetes onset

    baru, sehingga memicu ketertarikan akan peran virus pada T1D. Dapat diterima

    bahwa infeksi terhadap sel beta dapat meng-up-regulasi baik HLA klas I maupun

    IFN- sehingga meninggalkan sebuah tanda virus molekuler. Hal ini juga dapat

    menjelaskan mengapa respon imun mengarah secara spesifik terhadap islet.

    Namun sayangnya, pada sebuah penelitian follow up mengenai protein virus

    pada sel beta gagal untuk mendeteksi adanya komponen virus di sel beta,

    namun penelitian ini pada akhirnya juga merevisi kesimpulannya setelah

    dilakukan re-analisis dari metode cohort yang dilakukan menggunakan

    metodologi yang lebih optimal. Bukti adanya enterovirus ditemukan pada islet

    pada 44 dari 72 pasien dengan diabetes onset baru dibandingkan dengan 3 dari

    50 kontrol, yang menunjukkan indikasi hubungan kausatif paling dekat saat ini.

    Namun demikian, islet pada 10 dari 25 pasien diabetes tipe 2 juga menunjukkan

    adanya jejak enterovirus, sehingga muncul perhatian terhadap reagen yang

    digunakan. Meski begitu, Dotta et al, baru-baru ini mereplikasi deteksi

    imunohistokimia protein enterovirus dan mengkonfirmasi hasilnya dengan

    sequencing. Sampel pankreas unik seperti yang didapatkan oleh Foulis et al,

    saat ini jarang tersedia karena perkembangan manajemen klinis T1D yang

    sangat signifikan. Sehingga, replikasi hasil bergantung pada pendanaan seperti

    Juvenile Diabetes Research Fund yang mendanai Network for Pancreatic Organ

    Donors (nPOD) yang bertujuan mengumpulkan jaringan yang relevan dengan

    penelitian T1D dari seluruh negara.

    Meski adanya partikel enterovirus di islet pancreas menunjukkan bahwa

    T1D merupakan konsekuensi dari infeksi virus selektif terhadap sel beta, namun

    data-data yang ada juga memberikan kemungkinan mekanisme alternatif.

    Kesamaan sequence yang ekstrim antara protein 2C dari coxsackievirus dan

  • GAD, auto-antigen mayor pada T1D, menyebabkan diajukannya postulasi

    mimikri virus dalam etiologi T1D. Hasil-hasil penelitian selanjutnya ada yang

    mendukung ataupun menentang mekanisme tersebut, dan beberapa penelitian

    menyatakan pentingnya kontribusi HLA-DR3 dalam kerentanan terhadap mimikri

    virus. Meskipun terdapat kesamaan sequence antara GAD dan hsp60, namun

    hubungan antara autoimunitas dengan hsp60 dan T1D tidak dapat diteliti ulang.

    Waktu terjadinya infeksi enterovirus terkait dengan onset T1D masih

    merupakan sebuah isu kontroversial. Selain adanya jejak-jejak infeksi pada

    individu dengan T1D onset baru, infeksi enterovirus juga ditemukan sebelum

    onset pada anak pre-diabetes dengan auto-antibodi positif. Infeksi enterovirus

    selama kehamilan juga diidentifikasi sebagai faktor resiko T1D. Secara umum,

    data-data ini menunjukkan bahwa infeksi virus dapat memicu respon imun. Meski

    demikian, data dari tikus NOD menunjukkan bahwa diperlukan adanya kondisi

    insulitis agar infeksi coxsackievirus dapat menginduksi diabetes. Bila diterapkan

    pada manusia, individu dengan kerentanan genetik mungkin telah mengalami

    insulitis subklinis selama bertahun-tahun hingga terjadi infeksi virus yang memicu

    percepatan destruksi sel beta dan hiperglikemia. Observasi menarik lainnya

    mengenai kondisi ini adalah bahwa baru-baru ini enterovirus ditemukan pada

    sampel biopsi usus 75% kasus T1D bila dibandingkan kelompok kontrol yang

    hanya 10%. Hal ini mungkin merefleksikan infeksi enterovirus yang persisten

    pada mukosa usus yang berfungsi sebagai reservoir virus yang tidak terdeteksi di

    mana reservoir ini dapat meluas ke area pankreas dan menyebabkan insulitis.

    CVB menginduksi up-regulasi kemokin CXCL10 pada sel beta pankreas

    baru-baru ini diketahui sebagai salah satu konsekuensi awal dari infeksi.

    Hiperekspresi dan adanya infeksi virus, keduanya ditemukan bersamaan pada

    T1D fulminant (berat), sebuah varian T1D yang sangat agresif yang ditemukan

    di populasi Jepang. Studi pada hewan telah menemukan peran penting dari

    CXCL10 pada rekrutmen sel T autoreaktif yang mengekspresikan CXCR3 pada

    kondisi infeksi virus.

    Secara kumulatif, data yang tersedia menunjukkan keterlibatan CVB pada

    setidaknya satu subset kasus T1D dan memberikan peringatan untuk

    pencegahan infeksi pada individu yang rentan. Namun demikian, yang lebih

    merumitkan situasi adalah ditemukannya efek proteksi dari CVB terhadap T1D

    pada kondisi eksperimental tertentu, yang mendukung hipotesis higien.

    Kelompok kami juga telah menunjukkan bahwa proteksi ini secara mekanis diatur

  • melalui dua pathway yang berbeda, termasuk penguatan Treg fungsional dan up-

    regulasi reseptor ko-inhibisi PD-L1 pada sel limfoid. Data-data ini memberikan

    titik terang pada ambiguitas peran infeksi virus dalam konteks autoimunitas.

    2. Virus lain

    Infeksi virus lain juga dikaitkan dengan T1D, namun hubungan kausatifnya

    masih belum terbukti.

    Hubungan potensial antara T1D dengan rotavirus, penyebab utama

    gastroenteritis pada anak, didasarkan pada kemungkinan mimikri molekul.

    Kesamaan tersebut pada awalnya ditemukan antara epitop sel T pada GAD dan

    IA-2 serta pada protein virus. Sebuah penelitian lanjutan di Australia menemukan

    adanya hubungan antara infeksi rotavirus dan auto-antibodi islet pada anak

    dengan resiko, namun sejumlah kelompok penelitian pada Finlandia gagal untuk

    mengkonfirmasi hubungan ini. Kelompok penelitian di Finlandia ini kemudian juga

    tidak berhasil menemukan hubungan antara respon sel T yang spesifik terhadap

    rotavirus dengan adanya auto-antibodi terkait T1D. Sehingga, status saat ini

    mengenai infeksi rotavirus sebagai etiologi T1D masih belum dapat dikonfirmasi.

    Senada dengan hal itu, banyak laporan awal mengenai peran potensial virus-

    virus lain pada T1D, seperti cytomegalovirus, parvovirus, dan encephalo-

    myocarditis virus, yang juga masih harus dikonfirmasi lagi pada populasi pasien

    yang besar.

    Yang secara konseptual menarik adalah adanya hubungan antara infeksi

    rubella kongenital dan onset diabetes setelah lahir, sebuah topik yang baru-baru

    ini diangkat oleh Gale. Sindroma rubella kongenital terdiri atas sejumlah

    gangguan baik fisik ataupun perilaku dan ditandai dengan penyakit multisistem.

    Menariknya, progres menjadi diabetes dihubungkan dengan tingginya frekuensi

    halotipe HLA-A1-B8-(DR3-DQ2) yang rentan terhadap T1D, namun bukti

    langsung terhadap autoimunitas yang spesifik terhadap islet masih sangat

    jarang. Sebuah mekanisme alternatif bahwa virus akan mengganggu

    perkembangan massa sel beta saat ini lebih dipilih. Sebagai konsekuensi dari

    karakteristik atipikal ini, beberapa konsensus guideline klinis memasukkan

    diabetes rubella kongenital dalam sebuah kategori terpisah yakni diabetes tipe

    spesifik lain. Namun argumen paling penting dari pernyataan bahwa infeksi

    rubella tidak bertanggung jawab terhadap peningkatan insiden T1D secara global

    adalah karena virus ini telah dieliminasi dari negara-negara maju sejak

  • diperkenalkannya vaksin pada tahun 1969. Pernyataan tersebut juga

    mengeksklusi infeksi mumps meskipun terdapat laporan terbaru pada kasus T1D

    fulminant.

    Karena vaksinasi tidak menurunkan insiden T1D, dipertanyakan apakah

    program vaksinasi di seluruh dunia terkait dengan peningkatan insiden. Memang,

    pemberian imunisasi secara umum pada anak dan makin meningkatnya T1D di

    negara maju tampaknya terjadi bersamaan. Meski demikian, beberapa penelitian

    besar menemukan tidak adanya bukti hubungan kausatif antara imunisasi pada

    anak dengan T1D, sehingga dilihat dari rasio resiko-manfaat tetap dianjurkan

    untuk memberikan imunisasi sebagai usaha proteksi terhadai infeksi.

    B. Bakteri

    Komposisi bakteri di usus telah diketahui sebagai sebuah variabel penting

    dalam perkembangan T1D. Bukti langsung didapatkan pada hewan pengerat,

    karena diabetes semakin berat dalam kondisi spesifik bebas patogen atau

    dengan pemberian antibiotik. Namun pada penelitian lain, pemberian antibiotik

    justru dapat mencegah diabetes. Mungkin terjadi kondisi autoimunitas saat

    keseimbangan mikroba yang rumit di usus terganggu. Selain itu, dinding usus

    tidak tampak memiliki kapasitas yang sama dalam membentuk sebuah barrier

    yang koheren yang memisahkan bakteri lumen dengan sistem imun pada model

    T1D bila dibandingkan dengan kontrol. Hal tersebut diistilahkan dengan fenotip

    leaky gut (usus bocor) yang diduga dapat meningkatkan eksposure antigen

    bakteri terhadap sistem imun. Di usus pasien dengan T1D, juga telah ditemukan

    aktivasi imun subklinis dan bukti adanya gangguan subset Treg. Kami telah

    menyebutkan adanya enterovirus di spesimen usus, yang mungkin menjadi salah

    satu pemicu fenotip inflamasi di usus tersebut. Sebaliknya, pemberian probiotik

    yang spesifik mungkin dapat mencegah autoimunitas terhadap islet pada kondisi

    tertentu dan penelitian klinis saat ini masih berlangsung untuk memvalidasi

    hipotesis tersebut. Secara kolektif, tampaknya antibiotik dan probiotik dapat

    mempengaruhi perkembangan T1D dengan mengubah keseimbangan mikroba

    usus bisa ke arah tolerogenik ataupun non tolerogenik, tergantung dari konstitusi

    mikroflora usus saat pemberian antibiotik dan probiotik tersebut.

    Sebuah penelitian oleh Wen et al memberikan titik terang terhadap

    beberapa mekanisme yang mengatur keseimbangan rumit di level usus tersebut.

    Tikus NOD yang tidak memiliki komponen sinyal TLR yang penting yakni MyD88

  • justru terproteksi dari diabetes. Selain itu, pemberian sel T CD4+ yang

    mengekspresikan reseptor TCR diabetogenik BDC2.5, gagal untuk memperluas

    limfonodi pankreas (LN) dari MyD88-/- pada tikus NOD. Dipostulasikan bahwa

    pengenalan abnormal terhadap beberapa bakteri usus tertentu mungkin terjadi

    pada perkembangan diabetes pada model NOD reguler, di mana pathway ini

    tidak terjadi pada varian MyD88. Pemberian antibiotik spektrum luas terhadap

    tikus NOD MyD88-/- meningkatkan kembali kemungkinan terjadinya diabetes,

    dan tikus MyD88-/- yang bebas bakteri juga menunjukkan resiko T1D bila

    dibandingkan dengan tikus NOD MyD88-/- yang tumbuh di lingkungan SPF

    rumah. Temuan yang terakhir ini mengindikasikan bahwa setidaknya beberapa

    anggota komunitas mikroba di usus mungkin dapat memberikan proteksi

    terhadap diabetes secara independen dari MyD88. Meskipun gambaran mekanis

    ini jauh dari sempurna, hasil-hasil ini memberikan bukti prinsip peran penting

    homeostasis imunitas usus dalam mencegah T1D.

    Faktor resiko bakterial yang baru-baru ini ditemukan adalah Mycobacterium

    avium subspesies paratuberkulosis (MAP), yang merupakan penyebab

    paratuberkulosis pada hewan pemamah biak. Penting dicatat bahwa bakteri ini

    juga terdapat pada susu dari sapi yang terinfeksi dan dapat melewati

    pasteurisasi. Respon humoral yang secara klinis signifikan terhadap antigen

    MAP dan lisis seluruh sel, didapatkan pada pasien dengan T1D. Selain itu,

    keberadaan antigen MAP juga ditemukan pada pasien T1D melalui kultur dari

    isolat darah. Selanjutnya dilaporkan bahwa polimorfisme dalam gen SLC11A1

    terkait dengan adanya DNA MAP pada pasien T1D. Karena MAP bertahan dalam

    makrofag dan diproses oleh sel dendritik, disimpulkan bahwa bentuk mutan dari

    SLC11A1 dapat mengubah prosesing atau presentasi antigen MAP sehingga

    menyebabkan respon diabetogenik. Kami mencatat bahwa semua studi yang

    menjadi referensi dari topik ini berasal dari kelompok yang sama yang

    mendokumentasikan hubungan dalam populasi Sardinia yang terisolasi. Masih

    harus dilihat lebih jauh apakah temuan ini akan dikonfirmasi melalui penelitian

    lain dengan pasien yang berbeda.

    Kesimpulannya, sebagaimana virus, terdapat banyak bukti tidak langsung

    yang mengharuskan kita fokus terhadap bakteri sebagai agen potensial pemicu

    T1D.

    C. Pencetus Lingkungan Lainnya

  • Kami telah menemukan kemungkinan kerentanan dari homeostasis

    imunitas usus pada T1D, yang menandakan peran potensial dari flora bakterial.

    Jelas terdapat banyak substansi lain yang mungkin mengganggu respon

    fisiologis di lokasi sistem imun mukosa, beberapa di antaranya diduga

    merupakan faktor kausatif pada T1D.

    1. Susu Sapi

    Susu sapi, dan terutama komponen albumin di dalamnya, diduga memicu

    autoimunitas terhadap islet, karena ditemukan adanya reaktivitas silang antara

    antibodi serum terhadap albumin dan ICA-1 (p69), sebuah protein permukaan sel

    beta. Beberapa penelitian menunjukkan pemberian susu sapi di usia awal

    kehidupan menjadi faktor predisposisi diabetes yang berkebalikan dengan durasi

    pemberian ASI dalam waktu lama selama bayi. Ide baru mengenai pemberian

    susu sapi sebagai kontributor T1D segera mendapat tentangan dari penelitian-

    penelitian yang tidak menemukan adanya relevansi kausatif. Sejak saat itu, topik

    ini selalu menjadi kontroversi, karena bahkan pada tikus NOD dan strain BB

    ditemukan hasil yang saling bertentangan. Hasil yang mendukung adanya

    hubungan kausatif dilaporkan dari populasi pasien di Finlandia. Penelitian TRIGR

    (Trial to Reduce IDDM in the Genetically at Risk) secara khusus mencatat dan

    meneliti hal tersebut. TRIGR akan memeriksa apakah formula bayi terhidrolisis

    dapat menurunkan resiko T1D dibandingkan dengan formula berbasis susu sapi

    pada anak dengan kondisi genetik yang beresiko. Data-data awal menunjukkan

    bahwa formula terhidrolisis memberikan beberapa proteksi dan bahwa antibodi

    maternal dapat memberikan proteksi bayi yang mendapatkan ASI terhadap

    enterovirus. Penelitian di Finlandia lainnya juga menemukan bahwa polimorfisme

    PTPN22 dapat mempengaruhi autoimunitas terhadap islet hanya bila anak

    terekspose terhadap susu sapi selama masa awal kehidupan, yang memicu

    dikeluarkannya berbagai penjelasan terkait banyaknya temuan yang kontradiktif.

    Hingga saat ini, pernyataan-pernyataan yang mendukung peran patogenik dari

    protein susu sapi pada T1D masih sedikit. Harrison dan Honeyman memberikan

    suatu sudut pandang menarik yakni bahwa peningkatan imunitas terhadap

    protein susu sapi, mungkin merefleksikan gangguan umum dalam imunitas

    mukosa, dan bukan merupakan faktor resiko yang unik.

    2. Protein gandum

  • Meskipun tidak sebesar susu sapi, protein gandum, atau lebih spesifiknya

    gluten, saat ini makin banyak diperhatikan. Sebuah diet bebas susu, berbasis

    gandum menghasilkan frekuensi diabetes yang lebih tinggi pada tikus BB dan

    NOD, dan pada tikus NOD diet ini menginduksi bias sitokin Th1-type di usus.

    Pada pasien T1D, peningkatan reaktivitas sel T darah perifer terhadap gluten

    gandum lebih sering ditemukan dibandingkan dengan kelompok kontrol.

    Selanjutnya juga dilaporkan bahwa waktu eksposure awal terhadap cereal pada

    bayi juga mempengaruhi onset autoimunitas terhadap islet pada anak dengan

    resiko. Pola ini menghilang pada celiac disease (CD), sebuah penyakit autoimun

    yang diinduksi oleh pemberian gluten pada individu dengan resiko genetik.

    Tumpang tindih antara kedua penyakit tersebut telah lama diketahu, dan

    prevalensi CD yang tidak terdiagnosis di antara pasien T1D dan keluarganya

    ternyata lebih tinggi dari dugaan. Namun tidak seperti pasien CD, belum ada

    bukti kuat untuk mengasumsikan bahwa gluten menyebabkan inisiasi

    autoimunitas pada T1D. Analog dengan protein susu sapi, reaktivitas imun

    terhadap protein gandum pada T1D dapat menjadi konsekuensi umum dari

    respon mukosa acak, dan bukan pemicu spesifik autoimunitas terhadap islet.

    3. Vitamin D

    Beberapa komponen diet mungkin dapat meningkatkan kemungkinan T1D,

    namun pengetahuan-pengetahuan saat ini justru mengarah pada efek protektif

    vitamin D terhadap T1D. Vitamin D tidak hanya didapatkan dari nutrisi, namun

    juga disintesis di kulit saat terekspose matahari. T1D memiliki onset musiman,

    dan mandi sinar matahari selama beberapa jam setiap bulan memiliki korelasi

    terbalik dengan insiden T1D. Vitamin D secara efektif menghambat diferensiasi

    sel dendritik dan aktivasi imun. Level metabolit vitamin D ditemukan lebih rendah

    pada plasma pasien dengan T1D saat-saat mendekati onset, dan peningkatan

    intake vitamin D dapat menurunkan insiden T1D pada tikus dan manusia.

    Pencarian polimorfisme genetik dalam reseptor vitamin D (VDR)

    mendapatkan hasil yang bertentangan terhadap korelasi vitamin D dengan T1D

    pada sebagian besar penelitian, dan sebuah meta analisis terbaru menyimpulkan

    bahwa tidak terdapat bukti adanya hubungan tersebut. Penelitian-penelitian baru-

    baru ini mengkonfirmasi bahwa tidak terdapat hubungan antara polimorfisme

    VDR dengan autoimunitas sel beta, namun penelitian-penelitian teresebut

    berhasil mengidentifikasi polimorfisme terkait T1D pada gen yang mengkode

  • enzim yang terlibat dalam metabolisme vitamin D. Menariknya, ditemukan

    interaksi antara VDR dan alel HLA yang dimediasi oleh elemen responsif vitamin

    D yang ada di regio promoter alel HLA-DRB180301. Dapat diduga bahwa

    kurangnya asupan vitamin D pada awal masa kanak-kanak dapat berkontribusi

    terhadap perkembangan T1D akibat rendahnya ekspresi DRB1*0301 di thymus.

    Singkatnya, vitamin D dapat dianggap sebagai sebuah faktor lingkungan yang

    penting dalam menjaga toleransi imun terhadap diri sendiri dan mencegah

    autoimunitas. Penting untuk dicatat, penggunaan metabolit vitamin D untuk terapi

    pada manusia, masih terhambat oleh efeknya terhadap kalsium dan metabolisme

    tulang. Sehingga, saat ini telah didesain analog struktural yang memberikan efek

    imunomodulator yang lebih dominan. Terapi aktif T1D dengan analog vitamin D

    masih merupakan suatu hal yang menjanjikan di masa depan, dan individu yang

    beresiko seharusnya juga berusaha menghindari defisiensi vitamin D.

    Sejumlah besar komposisi diet dan pemicu lingkungan juga diketahui dapat

    mempengaruhi perkembangan diabetes pada model hewan, dan beberapa di

    antaranya adalah asam lemak omega 3, namun bukti pada manusia masih

    terbatas.

    IV. TIMELINE PATOGENESIS DIABETES TIPE I

    Beberapa model timeline telah diajukan untuk memberikan gambaran

    outcome dari interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Gambar 1

    memberikan tinjauan visual mengenai beberapa hipotesis yang dominan yang

    diajukan selama bertahun-tahun. Hipotesis penurunan sel beta linier yang

    dipostulasikan oleh Eisenbarth pada tahun 1986, masih merupakan model utama

    yang dijadikan referensi untuk T1D. Berdasarkan model ini (Gambar 1A), individu

    yang memiliki kerentanan genetik yang pada waktu tertentu terekspose agen

    lingkungan tertentu yang dapat memicu autoimunitas terhadap islet akan

    mengalami penurunan massa sel beta dalam pola linier, mengalami peningkatan

    produksi autoantibodi, hiperglikemia, dan hilangnya C-peptide. Meski hipotesis ini

    memberikan penjelasan lengkap mengenai sequence kejadian yang terjadi

    selama perjalanan T1D, namun hipotesis ini tidak mengintegrasikan faktor-faktor

    yang berkontribusi terhadap variabilitas axis waktu selama fase pre-diabetes.

    Beberapa peneliti menyatakan bahwa progres penyakit T1D bukan merupakan

    proses yang linier, namun lebih merupakan proses dengan variasi kecepatan

    sesuai masing-masing pasien. Pada bab sebelumnya, kami telah mendiskusikan

  • efek dari polimorfisme genetik spesifik terhadap kerentanan terjadinya T1D.

    Tampaknya bisa diterima bahwa bila spektrum polimorfisme genetik sangat

    ekstrim (contoh: IPEX dan APS-1, serta mungkin juga haplotipe HLA) maka

    hanya dibutuhkan pemicu yang rendah dari lingkungan untuk menimbulkan

    penyakit, dan pasien akan kehilangan massa sel beta dalam pola linier apapun

    pemicunya (Gambar 1Bi). Di sisi lain, bila mutasi yang terjadi tidak terlalu berat,

    maka tidak akan berkembang menjadi T1D bila tidak ada pemicu (Gambar 1Bii),

    atau membutuhkan pemicu lingkungan yang berat (contoh: IFIH1 dan infeksi

    virus) untuk pada akhirnya menyebabkan hiperglikemia (Gambar 1B, iii dan iv).

    Kelompok kami, mengambil kesimpulan yang sama dengan Bonifacio et al, yakni

    mengajukan sebuah versi yang lebih mendetail dari model non-linier yang

    menggambarkan T1D sebagai sebuah penyakit yang kambuh-kambuhan

    (Gambar 1C). Secara spesifik, kami menyatakan bahwa ketidakseimbangan

    antara sel T efektor autoreaktif dan Tregs dapat terjadi seiring waktu dan pada

    akhirnya dapat menyebabkan penurunan massa sel beta. Saat keseimbangan

    bergeser ke arah autoimunitas terhadap islet, maka efek ini untuk sementara

    akan dilawan oleh respon proliferatif dari sel beta, sehingga menghasilkan suatu

    fase penurunan kebutuhan insulin pengganti yang disebut honeymoon phase

    (Gambar 2). Untuk menyesuaikan peran agen infeksi ke dalam model T1D

    sementara ini, kami memperkenalkan hipotesis fertile field. Fertile field (Gambar

    1D) dideskripsikan sebagai sebuah jendela waktu saat terjadi infeksi virus, yang

    dapat bervariasi sesuai tipe infeksi, lokasi anatomis , dan durasi respon inflamasi

    akibat virus. Fertile field ini akan memicu ekspansi sel T autoreaktif melalui

    mekanisme mimikri molekuler atau aktivasi bertahap dan mungkin akan

    mengakibatkan autoimunitas total serta T1D.

  • Gambar 1. Timeline untuk diabetes tipe 1. A: model penurunan massa sel beta

    secara linier, sebagaimana diajukan oleh Eisenbarth. Dalam hal predisposisi

    genetic, pemicu lingkungan akan menginduksi autoimunitas terhadap islet dan

    kematian sel beta sehingga menyebabkan kondisi pre-diabetik dan selanjutnya

    terjadi onset klinis. B: Telah diakui secara luas bahwa jangka waktu antara

    inisiasi autoimunitas dan onset klinis sangat bervariasi. Chatenoud dan

    Bluestone mengajukan beberapa scenario terkadi variabilitas tersebut. Interaksi

    antara faktor genetic dan faktor lingkungan seperti infeksi virus sangat mungkin

    akan menyebabkan fluktuasi massa sel beta sebelum muncul onset. C: kami

    telah mengajukan konsep T1D sebagai suatu penyakit kambuh-kambuhan,

    bergantung dari disrupsi dan pengembalian keseimbangan yang siklis antara sel

    T efektor dan Tregs dan mungkin dapat menghambat proliferasi sel beta. Model

    ini juga memberikan suatu alasan mekanis untuk perjalanan klinis T1D yang

    bervariasi. D: Hipotesis fertile field mempostulasikan adanya jangka waktu

    setelah infeksi virus di mana seorang individu dengan resiko dapat mengalami

    autoimunitas. Infeksi oleh virus tertentu akan menciptakan suatu fertile field untuk

    sementara waktu. Eksposure awal terhadap virus (contoh: melalui presentasi

    APC, sel purple) akan menciptakan suatu respon antivirus normal (sel T hijau),

    kemudian pembentukan sel T autoreaktif (sel T merah) dapat terjadi melalui

  • reaktivitas silang dengan antigen virus (mimikri molekul) ataupun melalui

    pengenalan langsung terhadap autoantigen (aktivasi bystander). Aktivasi

    bystander diduga dimediasi oleh APC yang memproses dan mempresentasikan

    self-antigen, dengan potensi untuk menimbulkan suatu sel T autoreaktif hanya

    bila terdapat sinyal bahaya dari virus.

    Gambar 2. Bagaimana T1D bisa muncul. Gambar ini merepresentasikan massa

    atau fungsi sel beta (garis oranye) serta perbedaan fase imunologis (kolom

    dengan alphabet di atasnya) yang terjadi pada lokasi anatomis yang relevan

    (baris dengan angka di sebelah kanannya). Kejadian spesifik akan dikaitkan

    melalui koordinat alfa-numerik dalam penjelasan sebagai berikut. Saat garis

    oranye dari fungsi sel beta menurun hingga zona merah, individu tersebut dapat

    didiagnosis secara klinis dengan T1D. Sebuah seri kejadian yang kompleks

    sudah mendahului proses tersebut dan sebagian besar tidak terdeteksi. Pada

    awalnya, terjadi sebuah kelainan sehingga menimbulkan kerentanan genetic (a1)

    yang berinteraksi dengan sebuah pemicu dari lingkungan (a2) sehingga

    kemudian terjadi dua hal yang menyebabkan individu tersebut mengalami

    diabetes. Di pancreas, sel beta akan meng-up-regulasi IFN- (b3) dan

    selanjutnya MHC klas I (c3). Hal ini akan membuat sel beta mudah diserang oleh

    sel T CD8 autoreaktif yang spesifik terhadap antigen dalam pancreas.

  • Konsekuensinya, antigen sel beta yang terlepas akan diambil oleh sel APC di

    sekitarnya (c3) dan ditransfer ke limfonodi yang mendrainase pancreas (c2).

    Sedangkan di perifer (c1), pemicu dari lingkungan akan menyebabkan

    pergeseran metabolomik sehingga menciptakan suatu lingkungan pro inflamasi

    yang meningkatkan respon sel T efektor lebih dari fungsi Tregs. Antigen sel beta

    yang dipresentasikan dalam kondisi inflamasi tersebut dan dengan bantuan CD4

    (c2) akan menginisiasi konversi sel B menjadi sel plasma (d2) dan produksi

    autoantibodi insulin (serokonversi) (d1). Selain itu, sel T CD8 juga akan

    terstimulasi untuk berproliferasi (d2) dan bermigrasi ke pancreas (d3). Stress

    kedua yang diinduksi oleh kematian sel beta (d3), yang melibatkan perforin, IFN-

    , dan TNF-, akan menyebabkan beberapa sel beta menghentikan produksi

    insulin (pseudoatrofi). Kematian ini juga menyebabkan pelepasan antigen sel

    beta yang baru yang akan diambil oleh APC, termasuk sel B yang bermigrasi

    (d3), dan pada akhirnya akan dibuang ke limfonodi pancreas (d3-d2). Ini

    menciptakan suatu spesifisitas baru untuk CD4 (e2) dan CD8 (e1) dalam sebuah

    proses yang disebut penyebaran epitope. Kematian sel beta yang terjadi

    selanjutnya akan lebih berat dan biasanya menyebabkan penurunan hebat fungsi

    dan massa sel beta (e3). Menariknya, inflamasi autoimun juga dapat

    menstimulasi beberapa proliferasi sel beta (f3), sehingga massa sel beta untuk

    sementara waktu dapat dikembalikan. Selain itu, terkadang Tregs dapat

    meningkat dan menurunkan respon sel T efektor (f3). Fluktuasi antara respon

    autoreaktif yang destruktif dan penurunan respon oleh regulasi imun dan

    proliferasi sel beta mungkin akan menciptakan suatu siklus sembuh-kambuh

    yang non-stop terhadap massa sel beta (garis oranye). Pada akhirnya hal

    tersebut akan dimenangkan oleh respon autoreaktif, dan T1D akan terdiagnosis

    pada 10-30% massa sel beta yang tersisa. Remisi yang terjadi setelah diagnosis

    klinis diabetes ditegakkan diistilahkan dengan fase honeymoon (f3), sebuah

    tahap temporer di mana terjadi produksi insulin yang relative cukup.

    V. FAKTOR IMUNOLOGI DALAM DIABETES TIPE I

    Beberapa kejadian imunologis tanpa gejala terjadi selama sebelum muncul

    gejala klinis diabetes tipe1. Beberapa yang paling penting yakni produksi

    autoantibodi, aktivasi limfosit self-reactive, di mana limfosit ini kemudian

    menginfiltrasi pankreas sehingga menghancurkan sel beta yang memproduksi

  • insulin di islet Langerhans. Kerusakan spesifik yang persisten ini mungkin terjadi

    tanpa diketahui selama bertahun-tahun, dan gejala klinis utama hanya akan

    tampak setelah mayoritas sel beta rusak atau mengalami disfungsi, sehingga

    individu tersebut akan bergantung pada pemberian insulin dari luar (gambar 2).

    Sehingga, saat ini diprioritaskan pencarian biomarker yang dapat menandai

    respon autoimun yang sedang terjadi. Kami akan menggarisbawahi beberapa

    kejadian imunologis yang penting di sini. Informasi tambahan mengenai interaksi

    silang antar sel imun pada T1D akan dibahas di lain bab.

    A. Perubahan Metabolik: Keterkaitan Kausatif dengan Faktor Imunitas?

    Sejauh ini, serokonversi menjadi autoantibodi positif merupakan tanda

    utama yang dapat dideteksi dari respon autoimun yang sedang berjalan. Namun

    Oresic et al, baru-baru ini menyatakan bahwa disregulasi metabolik terjadi lebih

    dulu sebelum muncul autoimunitas pada T1D. Peningkatan konsentrasi

    lysophosphatidylcholine (lysoPC) di serum, mendahului munculnya auto-antibodi

    islet. Pada sampel yang diambil dari penelitian cohort Finnish DIPP, perubahan

    karakteristik metabolit serum hanya ditemukan pada anak-anak yang pada

    nantinya menderita T1D. Perubahan ini mencakup penurunan suksinat, PC,

    fosfolipid, dan ketoleusin dalam serum, serta peningkatan asam glutamat dalam

    serum. Produk sampingan lipid yang reaktif tersebut memiliki kapasitas untuk

    mengaktivasi molekul pro-inflamasi, yang berfungsi sebagai pendukung alami

    sistem imun. Namun masih belum diketahui apakah kejadian metabolik tersebut

    dapat memicu periode autoimun, atau hanya karena lebih mudah dideteksi.

    Namun, temuan ini memberikan kesempatan untuk menegakkan diagnosis dini.

    B. Sel B Memproduksi Auto-antibodi Anti-Islet yang Berkaitan dengan

    Diabetes

    Autoantibodi utama pada T1D bersifat reaktif terhadap empat autoantigen

    islet (islet cell autoantibodies atau ICA): insulinoma-associated antigen-2 (I-A2,

    ICA512), insulin (mikro IAA atau mIAA), glutamic acid decarboxylase 65

    (GAD65), dan zinc transporter 8 (ZnT8). Adanya autoantibodi dini

    menggambarkan peran dari sel B plasma dalam memproduksi antibodi di awal

    proses imunologis. Memang, sel B dengan jelas berkontribusi terhadap

    patogenesis T1D pada manusia. Pada model NOD, sel B menginfiltrasi pankreas

    selama tahap awal insulitis, dan ablasi sel B baik secara genetik ataupun

  • dimediasi oleh antibodi pada tikus NOD, dapat memberikan efek proteksi.

    Bagaimana, kapan, dan di mana sel B berkontribusi terhadap onset diabetes

    masih diperdebatkan dan didiskusikan dengan detail di lain topik. Singkatnya,

    karena autoantibodi yang diproduksi oleh sel B merefleksikan sebuah

    pendahuluan kondisi autoimunitas, sel B sangat mungkin berpartisipasi aktif

    dalam respon imun karena kapasitasnya untuk mempresentasikan antigen ke sel

    T CD4 dan CD8 diabetogenik.

    C. Sel T yang Spesifik terhadap Islet di Perifer

    Definisi tekstual dari T1D dapat berupa sebuah penyakit autoimun di mana

    sel T CD4+ dan sel T CD8+ menginfiltrasi islet of Langerhans, sehingga

    menyebabkan destruksi pada sel beta. Memang, sel T dianggap sebagai

    eksekutor terakhir destruksi sel beta. Hal ini dibuktikan melalui presipitasi

    ataupun prevensi dari diabetes melalui transfer atau eliminasi sel T CD4 atau sel

    T CD8. Perusakan sel beta oleh sel T CD8 merupakan mekanisme mayor

    destruksi sel beta. Sel-sel T CD8 yang ditemukan pada lesi insulitik tikus NOD

    dan manusia (Gambar 3), dapat merusak sel-sel beta melalui aktivasi MHC klas I

    yang diekspresikan pada sel beta. Dan memang, defisiensi MHC klas I akibat

    kurangnya mikroglobulin beta-2, ataupun defisiensi MHC-I spesifik sel beta,

    sudah cukup untuk menghentikan perkembangan diabetes dan mencegah

    destruksi sel beta pada NOD. Secara mekanis, destruksi sel beta dapat

    melibatkan pelepasan granula sitolitik oleh sel T CD8 yang mengandung perforin

    dan granzyme, atau melalui interaksi Fas dan Fas ligand. Sel T CD4

    kemungkinan besar membantu sel T CD8 dan sel B dengan menyediakan

    sitokin, seperti IL-21, dan sebuah positive feedback loop melalui interaksi CD40L-

    CD40 terhadap sel APC, yang pada akhirnya meningkatkan respon autoreaktif

    sel T CD8. Keberadaan sel T CD4 pada lesi insulitik menunjukkan adanya peran

    sel tersebut dan kapasitasnya dalam inflamasi.

    Pertanyaan-pertanyaan mengenai epitop sel T autoreaktif telah terpusat di

    sekitar empat macam protein yang juga merupakan target utama auto-antibodi:

    proinsulin (PI), GAD65, I-A2, dan ZnT8. Sejauh ini, masih belum dapat ditentukan

    secara sistematis kapan autoantibodi dan sel T autoreaktif muncul di perifer bila

    dikaitkan satu sama lain. Sebuah sumber menarik dalam topik ini dapat dilihat

    pada tinjauan yang dilakukan oleh Di Lorenzo et al yang membuat sejumlah

    besar portofolio mengenai epitop-epitop yang teridentifikasi hingga saat ini. Yang

  • penting diketahui adalah, bahwa secara umum epitop utama dari sel T CD4+

    yang diketahui, berasal dari GAD65, I-A2, dan PI baik pada manusia maupun

    tikus. Selain itu, ada pula sedikit kontribusi dari heat shock protein (HSP)-60 dan

    islet specific glucose-6-phosphatase catalytic subunit-related protein (IGRP),

    sebagaimana HSP70 pada manusia. Di sisi lain, epitop CD8 autoreaktif manusia

    terutama berasal dari preproinsulin signal peptida, dan sebagian kecil berasal

    dari IA2, human islet amyloid polypeptide (IAPP) precursor protein, IGRP, cation

    efflux transporter ZnT8 (Slc30A8), dan GAD65. Di tikus, epitop CD8 terutama

    berasal dari IGRP dan GAD65/67, dan ~30% berasal dari PI serta 10% dari

    dystrophia myotonica kinase (DMK). Menariknya, epitop peptida CD8

    diidentifikasi dari human preproinsulin signal peptide melalui elusi dari molekul

    HLA-A2. Hal ini mengarahkan pada konsep bahwa sel beta secara langsung

    berkontribusi terhadap kehancuran dirinya sendiri, karena sel beta akan semakin

    banyak menjadi target penghancuran saat distimulasi untuk menghasilkan lebih

    banyak insulin. Secara umum, data-data memberikan bukti kuat bahwa

    autoreaktifitas sel T CD8 terkait dengan destruksi sel beta pada T1D di manusia.

    Gambar 3. Derajat infiltrasi pancreas pada pasien T1D terbatas bila

    dibandingkan dengan infiltrasi pada tikus NOD di saat-saat onset diabetes.

    Infiltrasi di dalam atau di sekitar islet Langerhans di pancreas terdiri atas sel T

    CD8, sel T CD4, juga sel B, makrofag, dan sedikit sel dendritic. Dalam hal tipe-

    tipe sel infiltrate tersebut, sudah dibuktikan melalui irisan pancreas pada manusia

    maupun tikus NOD. Namun derajat inflamasi pancreas dan islet, yang dilihat dari

    jumlah sel-sel infiltrate, jauh lebih sedikit pada manusia dibandingkan dengan

    tikus NOD. A: derajat khas infiltrasi pada T1D onset baru di pancreas manusia.

  • Pewarnaan irisan pancreas untuk insulin (hijau) dan sel T CD8 (merah)

    mengindikasikan bahwa hanya sedikit sel T CD8 yang dapat dilihat di sekitar

    islet. Derajat infiltrasi yang sama rendahnya juga terlihat dari jumlah sel T CD4

    dan sel B di irisan pancreas pasien T1D (tidak ditunjukkan). Informasi lebih lanjut

    dapat dilihat pada Referensi 99. B: inflamasi khas saat-saat onset diabetes pada

    tikus NOD betina. Pewarnaan untuk insulin (biru) dan CD8 (coklat-merah)

    menunjukkan infiltrasi berat sel T CD8 di islet. Tipe dan derajat infiltrasi sel T

    CD4 di saat-saat onset tersebut biasanya juga sama beratnya.

    D. Faktor Imunologis di Pankreas Manusia

    Baru-baru ini kami mengkaji status terbaru pengetahuan kami terhadap

    histopatologi T1D. Kami menyimpulkan bahwa pengertian dasar kami mengenai

    apa yang terjadi di pankreas adalah berdasarkan observasi di masa lalu, hingga

    tahun 1960an.

    Pada tahun 1965, Willy Gepts pertama kali mengidentifikasi infiltrasi

    limfositik pada islet pankreas. Sejak saat itu, hal tersebut menjadi karakteristik

    utama T1D yang disebut insulitis. Pada sebuah laporan kasus tahun 1985,

    Bottazzo et al, menunjukkan upregulasi molekul MHC klas I yang dramatis dan

    menunjukkan sel T CD8+ sebagai subset yang dominan di sekitar islet.

    Observasi ini dikonfirmasi melalui sebuah pengumpulan sampel dalam jumlah

    besar oleh Foulis et al. Beberapa pandangan utama di kemudian hari didasarkan

    pada analisis lanjutan dari spesimen tersebut. Salah satu penelitian utama

    menunjukkan bahwa upregulasi MHC klas I merupakan karakteristik umum

    dalam islet diabetik di saat-saat mulai muncul onset. Patut dicatat bahwa

    sejumlah besar IFN- ditemukan secara eksklusif di sel beta. Hal ini menambah

    ketertarikan akan kemungkinan adanya etiologi virus, karena IFN- biasanya

    muncul sebagai respon seluler terhadap infeksi virus. Secara umum, temuan-

    temuan ini menyusun ide bahwa T1D merupakan sebuah penyakit autoimun

    dengan banyak tahap (Gambar 2).

    Telah diakui secara luas bahwa proses autoimun sangat bervariasi, baik

    antar pasien ataupun dalam satu pasien seiring waktu. Foulis et al

    mengestimasikan bahwa jumlah limfosit yang terkait dengan inflamasi islet

    adalah ~85%. Sekitar 23% islet yang masih memproduksi insulin mengandung

  • limfosit, dan hanya 1% islet yang defisien insulin yang mengandung islet. Pada

    penelitian di Jepang, dengan menggunakan biopsi, tidak ditemukan atau hanya

    sedikit (2-62 sel MN di 3-33% islet) tanda insulitis. Penelitian dari Jepang ini

    kurang akurat dalam hal pengambilan sampel, karena hanya mengambil area

    pankreas yang terbatas.

    Willcox et al, baru-baru ini memeriksa kembali berbagai temuan lama

    dengan menggunakan reagen-reagen modern terhadap sampel yang

    dikumpulkan oleh Foulis et al. Sel-sel T CD8+ dkonfirmasi merupakan sebuah

    komponen seluler dari lesi insulin. Juga, jumlah puncak CD8 terkait dengan

    derajat kerusakan dan kehilangan sel beta dari islet yang mengalami

    pseudoatrophy (contoh: defisien insulin). Sel B ditemukan juga dengan pola yang

    sama. Di sisi lain, makrofag hanya terdapat dalam jumlah sedang selama proses

    penyakit. Menariknya, Tregs terdeteksi dalam islet hanya pada satu pasien. Hal

    ini menunjukkan bahwa teritori asli dari Tregs adalah pada limfonodi pancreas

    atau limpa. Alternatif lain adalah bahwa ketiadaan Tregs ini merupakan alasan

    mengapa dapat terjadi insulitis.

    Konsekuensi logis dari autoimunitas terhadap sel beta adalah tentunya

    induksi apoptosis. Meski begitu, penelitian histologi cross-sectional menunjukkan

    hanya sedikit terjadi apoptosis sel beta. Rentang estimasi mulai dari nol, 0.2 sel

    beta per islet, hingga 6% dari keseluruhan sel beta. Rendahnya tingkat apoptosis

    sel beta secara keseluruhan pada setiap waktu, merefleksikan alasan utama

    lambatnya perjalanan penyakit T1D. Peran potensial dari survivin, sebuah

    molekul yang terlibat dalam proteksi terhadap apoptosis, baru-baru ini ditemukan

    dalam model hewan dan pasien T1D.

    Sel beta memiliki kapasitas besar untuk beregenerasi melalui proliferasi,

    yang kemungkinan merupakan respon terhadap inflamasi akibat imunitas,

    setidaknya hal ini terjadi pada tikus NOD. Beberapa bukti pada manusia,

    menggunakan marker proliferasi Ki-67, mengindikasikan tidak ada, terbatas, atau

    ekstensif proliferasi sel beta pada berbagai tahap penyakit. Salah satu

    penjelasan yang mungkin mengenai perbedaan antar spesies tersebut mungkin

    karena kurangnya kondisi inflamasi pada manusia. Karakterisasi T1D pada

    pankreas melalui pemeriksaan imunohistokimia telah dilakukan pada sampel dari

    individu-individu dengan onset baru. Data-data dari tahap awal penyakit pada

    pasien predibetes akan sangat berharga. Karena adanya insulitis dan status

    autoantibodi di saat-saat munculnya onset sangat berkaitan, maka skrining

  • serum terhadap individu yang sehat dapat dilakukan untuk mengidentifikasi

    abnormalitas imunologis awal di sekitar islet pasien pre-diabetes dengan

    autoantibodi yang positif. Hanya satu penelitian yang secara sistematis

    memeriksa donor sehat dengan autoantibodi yang positif. Penelitian ini

    menunjukkan sangat rendahnya insiden insulitis yakni hanya 2 pada 62 kasus,

    pada

  • disfungsi untuk memperbaiki diri. Kami telah meneliti fase remisi ini dari

    perspektif imunologis. Pada sebuah penelitian cohort terhadap pasien, kami

    memfokuskan terhadap respon sitokin dari sel T terhadap antigen di darah

    perifer. Menariknya, kami menemukan level FoxP3 yang lebih rendah pada sel

    CD4+, sel CD25+, Tregs, dan rendahnya jumlah sel yang memproduksi IL-10

    pada pasien remisi bila dibandingkan pasien dengan onset baru. Pada sebuah

    peelitian cross sectional prospektif yang terbatas, kami menemukan bahwa

    ekspresi FoxP3 yang lebih tinggi saat diagnosis, menjadi prediksi kontrol glikemik

    yang lebih buruk, namun tingginya jumlah sel yang memproduksi IL-10 terkait

    dengan kontrol glukosa yang lebih baik di masa depan. Selain itu, penelitian lain

    melaporkan rendahnya level IFN- pada pasien remisi. Secara umum, data-data

    tersebut menunjukkan bahwa mungkin terdapat komponen imunologis yang

    mendasari fase honeymoon, yang menyebabkan imunomodulasi spesifik

    terhadap antigen sehingga mengakibatkan autoimunitas segera setelah

    diagnosis. Terakhir, masih harus dilihat kembali apakah temuan di sirkulasi

    perifer ini terkait dengan kejadian-kejadian imunologis lokal di pankreas.

    Pertanyaan ini khususnya sulit untuk dijawab karena sulitnya akses ke sampel

    pasien.

    F. NOD Tikus: Sebuah Gambaran yang Sangat Berbeda

    Fase honeymoon tidak terjadi pada tikus NOD. Hal ini mengindikasikan

    perjalanan penyakit yang lebih akut pada tikus NOD. Karenanya,

    memperbandingkan histopatologi khas dari pasien T1D dengan tikus NOD onset

    baru, seperti melihat pada dua penyakit yang berbeda (Gambar 3).

    Progress diabetes pada tikus NOD betina ditandai dengan peri-insulitis non

    destruktif, yang pada awalnya mengandung sel dendritik dan makrofag,

    kemudian diikuti oleh sel B. Fase ini selanjutnya mengalami transgresi menjadi

    sebuah destruksi sempurna terhadap sel beta yang dimediasi oleh sel T pada

    usia 4-6 bulan. Level inflamasi pada akhirnya menjadi sangat ekstensif bahkan

    terjadi infiltrasi hingga struktur limfoid tersier lokal. Karakteristik ini jauh lebih

    agresif dibandingkan proses imunitas pada manusia yang samar dan kronis.

    Parameter lain yang berbeda pada NOD termasuk kemampuan potensial sel

    beta untuk berproliferasi dalam kondisi inflamasi dan besarnya massa sel beta

    non fungsional saat onset penyakit. Masih belum diketahui apakah hal ini terjadi

    pada T1D manusia. Secara keseluruhan, perbedaan ini mungkin menjelaskan

  • mengapa banyak strategi pencegahan dan terapi yang sukses pada model NOD,

    yang tidak dapat diterapkan di klinis.

    VI. IDENTIFIKASI INDIVIDU PRE-DIABETES

    Secara klinis, pre-T1D merupakan periode destruksi sel beta yang sedang

    berjalan di mana masih terdapat cukup banyak massa sel beta yang fungsional

    untuk menjaga homeostasis glukosa. Para klinisi dan peneliti setuju bahwa

    serangan diabetogenik yang samar di tahap sangat awal destruksi sel beta

    merupakan waktu yang paling tepat untuk memulai terapi T1D. Hal ini karena

    mungkin sekali untuk menjaga terapi dalam dosis yang rendah sehingga hanya

    sedikit memberikan efek samping. Secara diagnostik, penentuan destruksi sel

    beta yang sedang berjalan sangat sulit, namun individu dengan resiko tinggi

    dapat diperiksa melalui seperangkat pemeriksaan (Tabel 1).

    A. Skrining Genetik

    Di atas kami telah mendiskusikan komponen genetik dari T1D. Kerentanan

    genetik dari T1D ditentukan oleh gen yang terkait dengan fungsi imun dengan

    pengecualian terhadap gen insulin. Komponen kerentanan genetik pada T1D

    memungkinkan beberapa strategi pencegahan primer terhadap anggota keluarga

    pasien dengan T1D, namun diketahui tidak ada pewarisan total dari penyakit ini.

    Meski begitu, resiko terjadinya T1D tetap 10-15 kali lebih besar dibandingkan

    dengan orang tanpa riwayat keluarga. Meskipun ~70% individu dengan T1D

    membawa genotip beresiko pada lokus HLA, hanya 3-7% carrier resiko genetik

    tersebut yang mengalami diabetes.

    Sehingga, fokus lebih diberikan terhadap keluarga dari individu dengan

    diabetes, khususnya saudara kembar, dan juga genotip yang terkait dengan

    resiko tinggi T1D, contohnya genotip heterozigot DR3/4-DQ2/8.

    B. Auto-antibodi Anti-Islet terkait Diabetes

    Diduga jumlah autoantibodi, bukan spesifisitas autoantibodi, yang lebih

    prediktif dalam proses perjalanan diabetes. Pada penelitian BABYDIAB hampir

    tidak ada anak yang hanya mengekspresikan satu jenis antibodi yang mengalami

    diabetes. Di sisi lain, hampir semua individu yang mengekspresikan berbagai

    antibodi terkait diabetes akan ber-progress menuju diabetes dalam follow up

    jangka panjang. Dalam penelitian cohort lainnya, dikonfirmasi bahwa ekspresi

  • dari dua atau lebih antibodi terkait dengan resiko yang sangat tinggi untuk

    diabetes tipe I, dan jarang bersifat sementara. Meski demikian, autoantibodi

    dapat berfluktuasi atau bahkan menghilang sama sekali. Sebuah contoh dapat

    ditemukan pada penelitian American Diabetes Autoimmunity Study in the Young

    (DAISY), yang mengarah pada usia anak karena dilakukan follow up mulai lahir.

    Sekitar 95% anak pre-diabetes mengekspresikan autoantibodi anti-insulin namun

    saat onset, hanya 50% yang tetap mengekspresikan autoantibodi anti insulin.

    Sama dengan yang terjadi pada tikus NOD, autoantibodi anti insulin dapat

    bersifat sementara selama proses menuju diabetes. Sehingga, spesifisitas ganda

    dari autoantibodi-autoantibodi yang ada juga harus diperiksa. Skrining untuk

    autoantibodi terhadap ICA512, insulin, dan GAD65 dapat dilakukan oleh dokter

    layanan primer, namun untuk ZnT8 tidak tersedia atau hanya dapat dilakukan

    pada fase penelitian. Informasi lainnya dapat dicari di sumber lain.

    Tabel 1 Metode Skrining Saat Ini dan Masa Depan untuk Diagnosis T1D

    Skrining Kriteria Pertimbangan

    Genetic Hubungan dengan individu diabetic

    (biasanya saudara derajat pertama)

    atau teridentifikasi memiliki genotip

    HLA resiko tinggi (DR3/4-DQ2/8)

    Hanya 30-50% pasien T1D

    yang memiliki genotip HLA

    DR3/4-DQ2/8

    Hanya 50-80% kembar

    monozigot yang menderita

    diabetes

    Serologis Autoantibodi serum terkait dengan sel

    beta islet (ICA): I-A2, IAA atau mIAA,

    GAD65, ZnT8

    Adanya autoantibodi dapat

    berfluktuasi

    Metabolik Produksi insulin fase pertama (oleh C-

    peptida) cukup rendah sehingga

    menghasilkan resiko diabetes >50%

    dalam 5 tahun kedepan dan/atau IFG

    atau IGT

    Defek pada control glukosa

    mungkin sudah terlalu

    terlambat untuk dilakukan

    terapi pencegahan yang

    efektif

    Sel T Immunoblot seluler, Elispot, dan

    tetramers

    Masih belum ada standarisasi

    dan reprodusibiliti antar pusat

    pemeriksaan

    Metabolomik Peningkatan konsentrasi lysoPCs di

    serum

    Validasi spesifisitas, akses,

    hingga spektrometri massa

    Massa sel beta PET menggunakan IC2 Ab yang Validasi spesifisitas

  • dilabel

    C. Pemeriksaan Sel-T yang Spesifik terhadap Islet

    Meskipun sel T berkontribusi kuat terhadap patogenesis penyakit,

    keberadaan sel T yang autoreaktif tidak selalu rutin diperiksa. Penjelasan untuk

    hal ini adalah masih kurangnya pemahaman mengenai epitop dan kurangnya

    pemeriksaan yang cukup kuat untuk mendeteksi sel T dengan afinitas rendah

    atau frekuensi rendah. Juga masih belum pasti apakah sirkulasi darah perifer

    dapat merefleksikan kutub sel T yang tepat (sama seperti di pankreas).

    Contohnya, sel T autoreaktif mungkin secara selektif tersekuestrasi di islet atau

    limfonodi paralimfatik, yang menyebabkan sulitnya deteksi melalui sirkulasi darah

    perifer. Selain itu, lingkungan mikro di pankreaas mungkin juga dapat merubah

    respon dari sel T. Data-data terbaru memang menunjukkan bahwa pemeriksaan

    seluler yang dilakukan di darah perifer memberikan akurasi yang tinggi.

    Pemeriksaan sel T dapat membedakan respon dari pasien T1D dengan subyek

    sehat, namun reprodusibilitas dari pemeriksaan tersebut tampaknya terbatas,

    khususnya untuk respon CD4. Namun jika dikombinasikan dengan pemeriksaan

    autoantibodi, pemeriksaan akan mencapai tingkat sensitivitas sebesar 75%

    dengan spesifisitas sebesar 100% dalam membedakan pasien diabetes dengan

    kontrol. Penjelasan yang mungkin untuk hal ini adalah mungkin respon sel T

    terhadap epitop individu berfluktuasi seiring waktu, sedangkan autoreaktifitas

    tetap bertahan pada pasien diabetik.

    Pemeriksaan sel T akan lebih sensitif di masa depan, dan data longitudinal

    sistemik pada respon sel T yang spesifik epitop juga akan tersedia. Hal tersebut

    akan dapat memfasilitasi usaha-usaha untuk menentukan jumlah dan/atau fungsi

    sel T autoreaktif dan marker imun lainnya dalam kondisi-kondisi berikut ini.

    1. Skrining Pencegahan

    Terdapat kebutuhan mendesak akan sebuah biomarker terkait dengan

    proses awal dan perjalanan penyakit T1D. Skrining terhadap spesifisitas sel T

    menunjukkan bahwa jumlah, kapasitas fungsional, dan spesifisitas dari

    reaktivitas autoimun dapat mengekspose aktivitas penyakit. (1) Jumlah

    menunjukkan apakah dan seberapa ekstensifkah sel T autoreaktif yang telah

    terlibat. (2) Kapasitas fungsional merupakan sebuah parameter yang

  • membandingkan pro-inflamasi versus sitokin imunoregulasi. Contohnya, individu

    yang memiliki HLA-DR4 yang mengandung sel T CD4+ reaktif terhadap islet dan

    memproduksi IL-10, dapat menderita T1D 7 tahun lebih akhir daripada individu

    yang tidak memiliki gen dan leukosit tersebut. (3) Spesifisitas mengindikasikan

    apakah dan seberapa banyak autoantigen islet untuk CD4 maupun CD8 yang

    telah menjadi target, serta apakah sudah muncul epitop sekunder (setelah

    penyebaran epitop). Hasil skrining karakterisasi sel T ini akan memungkinkan kita

    untuk menyusun strategi yang mengarah langsung pada respon imun. Antigen

    yang optimal untuk induksi Tregs juga dapat dipilih, atau juga dapat dilakukan

    pendekatan yang lebih sistemik. Dalam hal ini, beberapa terapi dapat mencegah

    diabetes bila diberikan di awal proses autoimun, namun dapat memperberat

    respon imun bila diberikan saat sudah ada sel T CD8 autoreaktif di perifer.

    2. Transplantasi

    Transplantasi islet dan terapi penggantian sel beta memberikan

    kesempatah khusus untuk memonitor kemungkinan destruksi islet ulang akibat

    autoimun dalam waktu yang relatif singkat. Pemantauan terhadap respon sel T

    sebelum dan sesudah transplantasi menunjukkan bahwa respon imun terhadap

    allograft islet terkait dengan hilangnya fungsi sel beta. Pemantauan sel T ini juga

    dapat dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang terlibat dalam proses

    tersebut serta membedakan efikasi dari berbagai protokol supresi imun yang

    berbeda. Memang, perlu untuk secara ketat memonitor respon sel T dalam

    penelitian transplantasi islet. Contohnya, sel T autoreaktif dapat berekspansi

    secara homeostasis setelah diberikan regimen imunosupresan yang digunakan

    dalam transplantasi islet, di mana hal ini menjelaskan mengapa independendi

    insulin tidak dapat dipertahankan secara permanen dalam protokol Edmonton.

    3. Marker primer dan Marker follow up untuk Hasil-hasil Penelitian

    Kami mengusulkan bahwa efikasi imunologis dan keamanan dari

    pemberian intervensi imunologis untuk dimonitor melalui penelitian perubahan

    autoreaktifitas sel T. Pemeriksaan-pemeriksaan yang saat ini tersedia sudah

    memungkinkan untuk dilakukannya pengukuran yang sensitif, spesifik, dan

    reprodusibel terhadap hilangnya atau tidak berfungsinya islet akibat sel T

    autoreaktif, ataupun keberadaan populasi sel Tregs. T-cell ELISPOT analysis

    (ISL8Spot) menunjukkan bahwa pergeseran, baik frekuensi maupun imuno-

  • dominansi dari respon sel T CD8+, terjadi lebih cepat daripada perubahan titer

    autoantibodi pada T1D di manusia. Baru-baru ini, teknologi tetramer HLA-A2

    digunakan untuk melihat peningkatan sel T CD8+ reaktif GAD65 dan sel T CD8+

    reaktif InsB-peptide pada terapi anti-CD3 terhadap pasien T1D. Pemeriksaan-

    pemeriksaan tersebut mungkin juga dapat membantu mengidentifikasi pasien

    yang akan mengalami fase honeymoon.

    Kesimpulannya, kombinasi pemeriksaan autoantibodi dan autoreaktivitas

    dari sel T dengan beberapa biomarker, akan dapat memberikan gambaran yang

    lebih lengkap mengenai aktivitas penyakit. Sebuah evaluasi yang lebih baik

    terhadap respon pasien akan lebih meningkatkan outcome dan keamanan dari

    pasien.

    D. Skrining Metabolomik

    Pencegahan yang paling efektif terhadap T1D membutuhkan deteksi

    terhadap kejadian yang paling awal dalam penyakit tersebut. Autoimunitas

    mungkin merupakan mekanisme efektor yang paling dominan dalam T1D, namun

    mungkin bukan penyebab primernya. Sebuah laporan menarik baru-baru ini

    diberikan oleh Oresic et al, yang menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi

    serum lysophosphatidylcholine mendahului keberadaan autoantibodi islet, dan

    pasti mendahului proses autoimunitas, pada T1D. Bila hasil ini dapat divalidasi

    oleh penelitian cohort lain, seperti penelitian BABYDIAB di Jerman, DAISY di US,

    dan PANDA, serta penelitian internasional TEDDY, maka skrining metabolomik

    seharusnya ditambahkan dalam panel skrining untuk dapat dengan efektif

    mengidentifikasi individu pre-diabetes untuk dilakukan terapi preventif.

    E. Pemeriksaan Massa Sel

    Jumlah sel beta dari islet yang ada saat lahir sebagian besar berasal dari

    diferensiasi dan proliferasi sel progenitor pankreas, dalam sebuah proses yang

    disebut neogenesis. Setelah lahir, hanya sejumlah kecil sel beta yang masih

    mampu berekspansi. Hal ini mungkin sudah cukup untuk mengkompensasi

    kebutuhan insulin, namun mungkin tidak untuk regenerasi setelah terjadi injury

    jaringan yang ekstensif. Data-data dari sampel patologi mengindikasikan bahwa

    hanya 10-30% massa sel beta yang tersisa pada pasien T1D jangka panjang.

    Masih belum jelas seberapa banyak massa sel beta yang tersisa saat terjadi

    onset diabetes. Defisit massa sel beta memerlukan pemeriksaan massa sel beta

  • in vivo, namun masih belum ada pemeriksaan yang dapat melakukannya dengan

    akurat dan sensitif dengan cara non-invasif atau invasif minimal.

    Imaging sel beta non invasif menggunakan peralatan diagnostik modern

    dapat memberikan sensitivitas yang tinggi baik pada manusia maupun tikus,

    namun tetap ada beberapa masalah. Pertama, resolusi sel tunggal masih belum

    dapat dicapai untuk memungkinkan diferensiasi antara islet yang tersebar, sel

    beta tunggal, ataupun jaringan sekitarnya. Kedua, teknik imaging saat ini

    didasarkan pada marker molekul yang spesifik. Saat ini, antibodi IgM monoclonal

    IC2, yang secara spesifik berikatan dengan permukaan sel beta, mungkin

    menjadi satu-satunya marker yang tersedia untuk imaging non invasif dan

    kuantifikasi sel beta. Kandidat lainnya, seperti antibodi terhadap ZnT8 atau ligand

    terhadap vesicular monoamine transporter type 2 (VMAT-2), yang disebut

    dihydrotetrabenazine (DTBZ) dan digunakan dalam penelitian klinis

    (NCT00771576), masih belum spesifik.

    Pengetahuan mengenai jumlah massa sel beta dapat membantu

    pengambilan keputusan mengenai tipe terapi dan follow up selama terapi.

    Contohnya, obat yang dapat menstimulasi proliferasi sel beta dapat dipilih bila

    masih banyak massa sel beta yang tersisa, sedangkan bila massa sel beta

    hanya tinggal sedikit, maka lebih baik dilakukan transplantasi islet, obat trans-

    differensiasi, atau terapi stem cell. Teknologi ini mungkin juga dapat membantu

    menjawab pertanyaan dasar: Berapa fraksi minimal massa sel beta yang

    diperlukan untuk mempertahankan homeostasis glukosa? Terakhir, deteksi dini

    terhadap hilangnya massa sel beta setelah dilakukan transplantasi islet mungkin

    juga dapat membantu untuk mengatur terapi imunomodulasi sesuai waktu dan

    dengan strategi yang lebih fokus.

    VII. PENELITIAN PENCEGAHAN

    Keberhasilan suatu pencegahan bergantung pada (1) Prediksi/identifikasi

    yang tepat terhadap individu beresiko dan (2) Intervensi yang sangat aman

    sehingga tidak membahayakan individu-individu tersebut yang belum mengalami

    T1D. Pemahaman mengenai penyebab primer T1D mungkin tidak krusial,

    bahkan pada tahap pencegahan. Statemen ini didasarkan pada fakta bahwa

    modulasi imun tampaknya dapat bekerja pada berbagai model T1D dan berbagai

    tahapan penyakit yang berbeda. Namun demikian, banyak penelitian mengenai

    pencegahan yang didasarkan pada data dari model tikus NOD yang telah

  • membantu meningkatkan pemahaman kita mengenai patofisiologi penyakit.

    Sebuah analisis komprehensif oleh Shoda et al, menunjukkan bahwa beberapa

    pernyataan populer mengenai intervensi terhadap NOD masih belum

    terkonfirmasi yakni semua terapi tidak mencegah penyakit, dosis dan waktu

    pemberian terapi sangat mempengaruhi efikasi, dan beberapa terapi telah

    berhasil pada tikus dengan diabet. Sehingga, berita baiknya adalah bahwa

    beberapa strategi preventif tampaknya memiliki kesempatan untuk dapat

    menyembuhkan penyakit, bahkan pada saat destruksi sel beta mencapai tahap

    lanjut. Contoh dari terapi yang sukses pada tikus NOD adalah ATG, anti-CD3,

    hsp, dan vaksin DNA pro-insulin. Idealnya, keseimbangan antara efikasi terapi

    dan tahap penyakit harus sudah diketahui sebelum dicobakan pada manusia.

    Masalah utama pada penelitian mengenai pencegahan ini adalah bahwa

    diperlukan waktu bertahun-tahun sebelum dapat diambil kesimpulan.

    Sebagaimana dilihat dalam tabel 2, penelitian pencegahan terbagi dalam dua

    kelas utama. Kategori pertama terutama mencakup suplemen nutrisi non-antigen

    spesifik: vitamin D3 (NCT00141986), susu sapi terhidrolisasi (TRIGR;

    NCT00179777), dan docosahexaenoic acid (DHA; NCT00333554). Pendekatan

    pencegahan dengan non-antigen spesifik lainnya tidak memiliki atau hanya

    sedikit memberikan efek yakni dengan menggunakan ketotifen, cyclosporine,

    nicotinamide, atau kombinasi ketiganya. Contohnya, cyclosporine dapat

    memperlambat onset T1D, namun tidak mencegah T1D. Kategori penelitian

    pencegahan yang kedua bertujuan untuk menginduksi tolerasi oral yang spesifik

    terhadap antigen. Selama proses perjalanan penyakit pada model hewan dan

    manusia, autoimunitas sel T secara progresif menyebar di intra dan inter-

    molekuler di antara autoantigen sel beta seperti insulin, GAD65, HSP, dan IGRP.

    Meski begitu, pendekatan spesifik antigen hanya menggunakan satu jenis

    antigen (Tabel 2) untuk mentolerir terhadap banyak jenis autoreaktivitas. Ide

    utama yang diharapkan dari pendekatan ini adalah untuk menginduksi supresi

    antigen di sekitarnya melalui Tregs. Tregs yang diinduksi melawan satu

    autoantigen akan berproliferasi saat menemui autoantigen lainnya di limfonodi

    pankreas dan mungkin juga di islet. Tregs tersebut juga akan mensekresikan

    sitokin yang dapat menurunkan fungsi imun atau memodulasi APC. Sehingga

    secara keseluruhan akan terbentuk suatu imunosupresi spesifik antigen lokal dan

    terjadi penurunan serangan autoimun. Namun, penerapannya pada T1D manusia

    masih sulit karena belum ada biomarker fungsional yang dapat mengindikasikan

  • apakah jumlah tepat, rute, serta antigen yang digunakan telah mencapai supresi.

    Contohnya, saat Diabetes Prevention Trial-1 (DPT-1) gagal mendemonstrasikan

    manfaat dari terapi insulin oral atau subkutan untuk mencegah T1D, analisis

    subkelompok post ho