diabetes melitus tipe ii
DESCRIPTION
dm tipe IITRANSCRIPT
Diabetes Melitus Tipe II
Agung Haryanto
102010207 (B5)
Pendahuluan
Infeksi saluran kemih adalah infeksi yang terjadi di sepanjang jalan saluran kemih, termasuk
ginjal itu sendiri akibat proliferasi suatu mikroorganisme. Untuk menyatakan adanya infeksi
saluran kemih harus ditemukan bakteri di dalam urin. Suatu infeksi dapat dikatakan jika
terdapat 100.000 atau lebih bakteri/ml urin. ISK dapat mengenai semua orang, mulai bayi
baru lahir sampai dengan orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan. ISK lebih sering
dtemukan pada bayi atau anak kecil dibandingkan dengan dewasa. Pada bayi sampai umur
tiga bulan, ISK lebih sering pada laki-laki daripada perempuan, tetapi selanjutnya lebih sering
pada perempuan daripada laki-laki.
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna No. 6, Jakarta Barat 11510, No telp: (021) 56942061, Fax: (021) 5631731
E-mail: [email protected]
1
I. Pembahasan
A. Anamnesis
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Diabetes Melitus
Didalam Ilmu Kedokteran, wawancara terhadap pasien disebut anamnesis. Anamnesis
dapat langsung dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis) atau terhadap
keluarganya atau pengantarnya (alo-anamnesis) bila keadaan pasien tidak
memungkinkan untuk diwawancarai. Anamnesis yang baik umumnya terdiri dari
identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat
penyakit dalam keluarga, riwayat pribadi.
Pertanyaan umum
1. Menanyakan keluhan utama pasien;
2. Menanyakan banyak makan, minum dan banyak kencing;
3. Menanyakan adanya keluarga yang terkena Diabetes Melitus;
4. Menanyakan apakah pernah dirawat dengan penurunan kesadaran karena lupa
makan setelah minum obat;
5. Menanyakan apakah pernah dirawat dengan penurunan kesadaran karena diare
berlebihan;
6. Menanyakan apakah pernah dirawat dengan penurunan kesadaran karena suatu
keadaan stress (infeksi,mci);
7. Menanyakan apakah adanya buram, katarak, buta, retinopati, glaucoma;
8. Menanyakan apakah ada kesemutan, sakit maag dan impotensi;
9. Menanyakan adanya bengkak pada kaki, urin yang berkurang dan lemas;
10. Menanyakan ada riwayat sakit jantung (Nyeri dada kiri);
11. Menanyakan adanya hipertensi;
12. Menanyakan adanya luka yang sukar sembuh, jaringan parut pada kulit dan
luka yang bau;
13. Menanyakan apakah ada batuk lebih dari 3 minggu.
B. Pemeriksaan
1. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum dan kesadaran, tanda-tanda vital: Suhu, Tekanan Darah, Nadi,
Frekuensi Pernapasan. Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang sangat penting untuk
memperkuat temuan-temuan dalam anamnesis. Teknik pemeriksaan fisis meliputi
2
pemeriksaan visual atau pemeriksaan pandang (Inspeksi), pemeriksaan raba (Palpasi),
pemeriksaan ketok (Perkusi) dan Pemeriksaan mendengar dengan menggunakan
stetoskop (Auskultasi).
Pemeriksaan Fisik (Kaki Diabetik)
Inspeksi
Warna kulit dan kondisi kulit (kering, normal, lembab);
Atrofi/hipotrofi;
Lesi kulit (infiltrate, ulkus, abses, gangren);
Gerakan yang terbatas dan kontraktur.
Palpasi
Pemeriksaan suhu raba;
Pemeriksaan pulsasi a. dorsalis pedis dan a. tibialis posterior;
Pemeriksaan sensibilitas dengan monofilament.1,2,3
2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Walaupun oleh masyarakat umum DM sering disebut sebagai penyakit kencing manis
atau kencing gula, namun diagnosis DM harus ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah dan tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan
adanya glukosuria saja.
Manfaat Pemeriksaan Laboratorium
Dalam pengelolaan DM, pemeriksaan laboratorium dapat berfungsi sebagai
pemeriksaan penyaring (screening), menegakkan diagnosis, pementauan hasil
pengobatan dan pengendalian DM. Dalam usaha menegakkan diagnosis DM secara
dini perlu dilakukan pemeriksaan penyaring dan berdasarkan hasil pemeriksaan
penyaring yang diperoleh barulah ditentukan apakah perlu dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut dengan pemeriksaan diagnostik.
Pemeriksaan Penyaring DM
Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak
mempunyai gejala DM tetapi mempunyai resiko DM. Bila hasil pemeriksaan
penyaring positif maka perlu dilakukan serangkaian uji diagnostik untuk memastikan
diagnostik definitif. Pemeriksaan penyaring dilakukan pada kelompok dengan salah
satu risiko DM yaitu:
3
Usia > 45 tahun;
Berat badan > 110% BB ideal atau Indeks Massa Tubuh (IMT) 23 kg/m2;
Hipertensi (Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg);
Riwayat DM dalam garis keturunan;
Riwayat abortus beulang, melahirkan bayi cacat atau BB lahir bayi > 4000
gram;
Kadar kolesterol HDL ≤ 35 mg/dL dan atau kadar trigliserida ≥ 250 mg/dL.
Bagi kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan penyaring negatif,
pemeriksaan perlu dilakukan setiap tahun. Bagi mereka yang berusia di atas 45 tahun
tanpa faktor risiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 (tiga) tahun.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakan sebagai pemeriksaan penyaring
adalah kadar glukosa darah sewaktu dan kadar glukosa darah puasa. Penilaian hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai pemeriksaan penyaring
DM tercantum pada Tabel-1.
Tabel-1. Penilaian Hasil Pemeriksaan Penyaring DM
Kadar Glukosa Darah
(Plasma Vena)
Bukan DM Belum Pasti DM DM
Glukosa Darah Sewaktu <110 mg/dL 110 - 199 mg/dL ≥200 mg/dL
Glukosa Darah Puasa <110 mg/dL 110 - 125 mg/dL ≥126 mg/dL
Bahan Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
Bahan pemeriksaan yang dianjurkan untuk menentukan kadar glukosa darah adalah
plasma darah vena dengan metoda pemeriksaan cara enzimatik. Pada kondisi tertentu
di mana sulit mendapat darah vena, dapat juga dipakai darah utuh (whole blood) vena
atau kapiler dengan memperhatikan angka kriteria diagnosis yang berbeda sesuai
dengan pembakuan oleh WHO.
Selain plasma vena, pada kondisi tertentu bila sulit mendapatkan darah vena, dapat
juga dipakai darah kapiler. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah dengan
menggunakan sampel darah vena mungkin akan berbeda dengan hasil pemeriksaan
dengan menggunakan sampel darah kapiler. Hal ini disebabkan karena kadar glukosa
darah kapiler lebih tinggi 7-10% daripada kadar glukosa darah vena. Pada keadaan
puasa, perbedaan kadar glukosa darah vena dan arteri hanya 2-3 mg/dL, dan setelah
4
makan perbedaan ini dapat mencapai 20-30 mg/dL. Kadar glukosa darah arteri dapat
dianggap tidak berbeda dengan kadar glukosa darah kapiler.
Kadar glukosa darah utuh (whole blood) dipengaruhi oleh nilai hematokrit dan jarak
waktu melakukan pemeriksaan setelah pengambilan sampel darah. Kadar glukosa
darah utuh dengan hematokrit yang tinggi akan lebih tinggi sedangkan kadar glukosa
darah utuh dengan hematokrit yang rendah menjadi lebih rendah. Hal ini disebabkan
kandungan air dalam sel darah merah sebanyak 73% sedangkan kandungan air dalam
plasma sebanyak 93%.
Kadar glukosa darah utuh berkurang sesuai dengan berjalannya waktu karena glukosa
akan digunakan untuk metabolisme sel-sel darah (eritrosit, leukosit, trombosit) dan
juga kuman. Kecepatan berkurangnya kadar glukosa darah utuh pada suhu kamar
adalah 7 mg/dL/jam sedangkan pada suhu 4ºC sebanyak 2 mg/dL/jam. Oleh karena
itu, bila pemeriksaan terpaksa ditunda dan tidak segera dilakukan maka darah utuh
harus diberikan pengawet NaF sebanyak 2 mg/mL. Dengan penambahan NaF,
pemeriksaan dapat ditunda sampai 48 jam.
Pemeriksaan Diagnostik
Diagnostik klinis DM biasanya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa
poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya. Keluhan lain penderita adalah rasa lemah, kesemutan, gatal, mata kabur
dan disfungsi ereksi pada pria, pruritus vulvae pada wanita. pemeriksaan diagnostik
dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/tanda DM.
Bila terdapat keluhan khas dan pemeriksaan glukosa darah sewaaktu ≥ 200 mg/dL
atau kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL, maka diagnosis DM dapat ditegakkan.
Bila tidak ada keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah yang baru satu
kali saja abnormal belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Pada keadaan
ini perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan mendapatkan sekali lagi nilai
abnormal pada hari yang lain, baik kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL dan atau
kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL.
Pada penderita tanpa keluhan khas DM, bila hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
dalam batas peralihan yaitu kadar glukosa darah puasa antara 110-125 mg/dL atau
kadar glukosa darah sewaktu antara 110-199 mg/dL, harus dilakukan TTGO untuk
memastikan diagnosis DM. Penilaian hasil pemeriksaan kadar glukosa darah jam ke-2
TTGO pada penderita tanpa keluhan khas DM yang hasil pemeriksaan kadar glukosa
darah puasa antara 110-125 mg/dL tercantum pada Tabel-2.
5
Tabel-2.
Hasil Pemeriksaan TTGO Tanpa Keluhan Khas DM dan Kadar Glukosa Darah
Puasa 110-125 mg/dL.
Kadar Glukosa Darah Puasa (mg/dL) Penilaian
< 140 Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT)
140-199 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT)
≥ 200 Diabetes Melitus
Penilaian hasil pemeriksaan kadar glukosa darah jam ke-2 TTGO pada penderita
tanpa keluhan khas DM yang hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu antara
110-199 mg/dL tercantum pada Tabel-3.
Tabel-3.
Hasil Pemeriksaan TTGO Tanpa Keluhan Khas DM dan Kadar Glukosa Darah
Sewaktu 110-199 mg/dL.
Kadar Glukosa Darah Sewaktu
(mg/dL)
Penilaian
< 140 Normal
140-199 Toleransi Glukosa Terganggu
≥ 200 Diabetes Melitus
Cara Penatalaksanaan TTGO (WHO, 1999)
Tiga hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup);
Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan;
Puasa paling sedikit 8 jam, mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum air
putih diperbolehkan;
Diperiksa kadar glukosa darah puasa;
Diberikan 75 gram glukosa (orang dewasa) atau 1,75 gram/KgBB (anak-
anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum habis dalam waktu 5 menit;
Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa;
Selama proses pemeriksaan pasien yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok.4
6
C. Diagnosis
1. Diagnosis Banding
Beberapa klasifikasi diabetes melitus telah dikenalkan, berdasarkan metode presentasi
klinis, umur awitan, dan riwayat penyakit. Suatu klasifikasi yang diperkenalkan oleh
American Diabetes Association (ADA) berdasarkan pengetahuan muktahir mengenai
pathogenesis sindrom diabetes dan gangguan toleransi glukosa.
1). DM tipe I
Diabetes tipe 1 dulu dikenal sebagai tipe juvenile-onset dan tipe dependent
insulin; namun kedua tipe ini dapat muncul pada sembarang usia. Insidens diabetes
tipe 1 sebanyak 30.000 kasus baru setiap tahunnya dan dapat dibagi dalam dua
subtipe: (a) autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel beta; dan
(b) idiopatik, tanpa bukti adanya autoimundan tidak diketahui sumbernya. Subtipe
ini lebih sering timbul pada etnik keturunan Afrika-Amerika dan Asia.
Diabetes Melitus tipe 1 Diabetes Melitus tipe 2
Sel beta pankreas dapat hasilkan sedikit
insulin atau sama sekali tidak
menghasilkan insulin (insulinopenia)
Sel beta pankreas dapat menghasilkan insulin
secara normal tetapi reseptor insulin tidak
responsive
Umumnya terjadi sebelum usia 30 tahun,
yaitu anak-anak dan remaja
Bisa terjadi pada dewasa setelah usia 30
tahun
Para ilmuwan percaya bahwa faktor
lingkungan (berupa infeksi virus atau
faktor gizi pada masa kanak atau dewasa
awal) menyebabkan sistem autoantibodi
yang menghancurkan sel beta, penghasil
insulin di pankreas. Untuk terjadinya hal
ini diperlukan kecenderungan genetik.
Faktor resikonya adalah obesitas dimana
sekitar 80-90% penderita mengalami
obesitas dan juga keturunan dari orang
tuanya yang menderita DM tipe 2.
90% sel penghasil insulin (sel beta) Adanya kelainan pada reseptor-reseptor pada
7
mengalami kerusakan permanen. Terjadi
kekurangan insulin yang berat dan
penderita harus mendapatkan suntikan
insulin secara teratur
membrane sel yang menjadi tidak responsive
terhadap insulin akibatnya terjadi
penggabungan abnormal antara kompleks
reseptor insulin dengan sistem transport gula
darah yang pada akhirnya menimbulkan
kerusakan pada sel beta sehingga
menurunkan jumlah insulin (defisiensi
relative)
Tabel 5. Perbedaan DM tipe 1 dan DM tipe 2. 5,6
4). DM tipe lain
a. Kelainan genetic dalam sel beta seperti yang dikenali pada MODY. Diabetes
subtype ini memiliki prevalensi familial yang tinggi dan bermanifestasi
sebelum usia 14 tahun. Pasien sering kali obesitas dan resisten terhadap
insulin. Kelainan genetic telah dikenali dengan baik dalam empat bentuk
mutasi dan fenotif yang berbeda.
- Kromososm 12, HNF-α (dahulu MODY 3)
- Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)
- Kromosom 20, HNF-α (dahulu MODY 1)
- Kromosom 13, insulin promoter factor (IPF dahulu MODY 4)
- Kromosom 17, HNF-1β (dahulu MODY 5)
- Kromosom 2, Neuro D1 (dahulu MODY 6) DNA Mitokondria, lainnya
b. Defek genetik kerja insulin: menyebabkan sindrom resistensi insulin berat dan
akantosis negrikans.
c. Penyakit eksokrin pancreas (Pankreatitis atau tumor)
d. Endokrinopati (Akromegali, Sindroma Cushing, Feokromositoma,
Hipertiroidisme)
e. Oleh karena obat atau zat kimia (as.nikotinat, glukokortikoid, tiazid, interferon
alfa, pentamidin, dilantin, vacor)
f. Infeksi (rubella kongenital, CMV)
g. Sindroma genetik lain (Sindroma down, Klinifelter, dan Turner).7
8
2. Diagnosis Kerja
Diabetes Melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetic dan klinis
termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Jika telah
berkembang penuh secara klinis, maka diabetes mellitus ditandai dengan hiperglikemia
puasa dan postprandial, aterosklerotik dan penyakit vascular mikroangiopati, dan
neuropati. Manifestasi klinis hiperglikemia biasanya sudah bertahun-tahun mendahului
hilangnya mendahului timbulnya kelainan klinis dan penyakit vaskularnya. Pasien
dengan kelainan toleransi glukosa ringan (gangguan glukosa puasa dan gangguan
toleransi glukosa) dapat tetap beresiko mengalami komplikasi metabolic diabetes.
B. Etiologi
Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes melitus bermacam-macam.
Meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda akhirnya akan mengarah pada
insufisiensi insulin, tetapi determinan genetic biasanya memegang peranan penting pada
mayoritas penderita diabetes melitus.
Pada pasien-pasien dengan diabetes melitus tipe 2, penyakitnya mempunyai pola
familial yang kuat. Indeks untuk diabetes tipe 2 pada kembar monozigot hampir 100%.
Risiko berkembangnya diabetes tipe 2 pada saudara kandung mendekati 40% dan 33%
untuk anak cucunya. Transmisi genetic adalah paling kuat dan contoh terbaik terdapat
dalam diabetes awitan dewasa muda (MODY), yaitu subtipe penyakit diabetes yang
diturunkan dengan pola autosomal dominan. Jika orang tua menderita diabetes tipe 2,
rasio diabetes dan nondiabetes pada anak adalah 1:1, dan sekitar 90% pasti membawa
(carrier) diabetes tipe 2. Diabetes tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta
kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja
insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel
tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselular yang menyebabkan mobilisasi pembawa
GLUT 4 glukosa dan meningkatkan transpor glukosa menembus membrane sel. Pada
pasien-pasien dengan diabetes tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan
reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor pada
membran sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat ketidaknormalan reseptor
insulin intrinsik. Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor
insulin dengan sistem transpor glukosa. Ketidaknormalan postreseptor dapat
9
mengganggu kerja insulin. Pada akhirnya, timbul kegagalan sel beta dengan menurunnya
jumlah insulin yang beredar dan tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia.
Sekitar 80% pasien diabetes tipe 2 mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan
dengan resistensi insulin, maka kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi glukosa
yang menyebabkan diabetes tipe 2. Pengurangan berat badan seringkali dikaitkan dengan
perbaikan dalam sensitivitas insulin dan pemulihan toleransi glukosa.
C. Epidemiologi
Tingkat prevalensi diabetes melitus adalah tinggi. Diduga terdapat sekitar 16 juta
kasus diabetes di Amerika Serikat dan setiap tahunnya didiagnosis 600.000 kasus baru.
Diabetes merupakan penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat dan merupakan
penyebab utama kebutaan pada orang dewasa akibat retinopai diabetic. Pada usia yang
sama, penderita diabetes paling sedikit 2,5 kali lebih sering terkena serangan jantung
dibandingkan dengan mereka yang tidak menderita diabetes.
Tujuh puluh lima persen penderita diabetes akhirnya meninggal karena penyakit
vascular. Serangan jantung, gagal ginjal, stroke dan gangrene adalah komplikasi yang
paling utama. Selain itu, kematian fetus intrauterine pada ibu-ibu yang menderita
diabetes tidak terkontrol juga meningkat.
Dampak ekonomi pada diabetes jelas terlihat berakibat pada biaya pengobatan
dan hilangnya pendapatan, selain konsekuensi financial karena banyaknya komplikasi
seperti kebutaan dan penyakit vaskular.
D. Patofisologis
TIap-tiap sel dalam tubuh memerlukan energy dalam menjalankan fungsinya.
Sumber energi utama tubuh adalah glukosa, gula yang sederhana dihasilkan dari
pencernaan makanan yang berisi karbohidrat. Glukosa dari pencernaan makanan
diedarkan dalam darah sebagai sumber energy untuk sel yang membutuhkannya.
Hormon insulin adalah suatu hormone yang diproduksi oleh sel dalam pancreas.
Hormon insulin berikatan dengan suatu reseptor di luar sel dan bertindak sebagai suatu
kunci untuk membuka pintu ke dalam sel sehingga glukosa dapat masuk. Sebagian dari
glukosa dapat dikonversi untuk sumber energi konsentrat seperti glikogen atau fatty
acids dan disimpan sebagai cadangan. Saat hormone insulin yang diproduksi tidak
mencukupi atau manakala pintu sel tidak mengenali kunci hormone insulin, glukosa akan
tetap berada di dalam darah dan tak dapat memasuki sel. Tubuh akan mencoba untuk
10
menurunkan kadar glukosa dalam darah, yang disebut hyperglycemia dengan menarik air
ke luar dari sel dan ke dalam bloodstream sebagai suatu usaha untuk menurunkan kadar
gula dan mengeluarkan melalui urin.
Bukan suatu hal biasa untuk orang dengan DM yang tidak terdiagnosa untuk
selalu merasa haus, minum air dalam jumlah besar, dan buang air kecil sering sebagai
usaha tubuh untuk menghindari kelebihan tersebut. Hal ini menyebabkan tingginya kadar
glukosa urin. Pada waktu yang sama tubuh berusaha untuk menghindari glukosa dari
darah, sek kekurangan glukosa dan mengirim isyarat kepada tubuh untuk makan lebih
banyak makanan, sehingga membuat pasien sangat lapar.
Untuk menyediakan energy bagi sel-sel yang merasa lapar, tubuh mencoba
mengonversi lemak dan protein menjadi glukosa. Penggunaan lemak dan protein untuk
energy menyebabkan terbentuknya keton dalam darah. Keton juga akan dikeluarkan
melalui urin. Saat keton terbentuk dalam darah, suatu keadaan yang disebut ketoasidosis
dapat terjadi, hal ini dapat mengancam jiwa jika terlambat ditangani karena dapat
mengarah pada koma dan kematian.
G. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis diabetes mellitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolic
defisiensi insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan
kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan
karbohidrat. Jika hiperglikeminya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka
timbul glukosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan dieresis osmotic yang
meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena
glukosa hilang bersama urine, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan
berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul
sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk.
DM tipe II
Sebaliknya, pasien dengan diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak
memperlihatkan gejala apapun dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan
darah di laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang
lebih berat, pasien tersebut mungkin menderita polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen.
11
Biasanya mereka tidak mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin
secara absolute namun hanya relatif.
Sejumlah insulin tetap dieksresi dan masih cukup untuk menghambat
ketoasidosis. Kalau hiperglikemia berat dan pasien tidak berespon terhadap terapi diet
atau terhadap obat-obat hipoglikemik oral, mungkin diperlukan terapi insulin untuk
menormalkan kadar glukosanya. Pasien ini biasanya memperlihatkan kehilangan
sensivitas perifer terhadap insulin. Kadar insulin pada pasien sendiri mungkin berkurang,
normal atau malahan tinggi, tetapi tetap tidak memadai untuk mempertahankan kadar
glukosa darah normal. Penderita juga resisten terhadap insulin eksogen.8
D. Penatalaksanaan
1. Penyuluhan
Mengenai DM, perencanaan makan, latihan kaki, pemantauan gula darah mandiri
2. Olahraga teratur
Joging, senam aerobic, senam disko, senam diabetes.
3. Diet (Manajemen Nutrisi)
Standart diet yang praktis
Standart Kalori Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat
(g)
I 900 50 30 100
II 1100 60 45 120
III 1300 60 50 150
IV 1500 65 60 180
V 1700 90 70 200
VI 1900 90 70 230
VII 2100 85 80 260
VIII 2300 90 85 300
IX 2500 95 85 340
12
- Untuk penderita BB ideal V - VI
- Untuk penderita obesitas I – IV
- Untuk penderita kursus VII - IX
Manajemen Nutrisi
Diet adalah dasar pengobatan diabetes. Nasihat diet yang baik sangat penting
untuk perawatan pasien diabetes. Perlu dilakukan anamnesis diet mengenai
kebiasaan dan pola makan. Rekomendasi diet meliputi:
Tahap 1
Tentukan kebutuhan energi total sehari seperti pada nondiabetes, kebutuhan
energi harus dihitung sesuai dengan usia, aktivitas, keadaan fisiologik dan
berdasarkan berat badan yang diharapkan.
Tahap 2
Tentukan komposisi diet seimbang. Umumnya terdiri dari 60%-65%
karbohidrat, 15%-20% protein dan 20%-25% lemak dengan lemak jenuh < 10%;
lemak tak jenuh ganda sampai 10%; sisanya lemak tak jenuh tunggal dan kolesterol
< 300 mg. Pada penderita diabetes dengan gangguan fungsi organ (misalnya dengan
nefropatia), komposisi diet, khususnya protein, harus disesuaikan dengan tingkat
gangguan organ tersebut.
Jenis karbohidrat perlu dipertimbangkan. Efek mono dan disakarida terhadap
gula darah, tergantung dari jumlah yang dikonsumsi dan sifat bahan makanan lain
yang dikonsumsi pada waktu yang sama. Sukrosa sepanjang tidak meningkatkan
kadar glukosa darah dapat diberikan. Rekomendasi yang diajukan saat ini untuk
karbohidrat kompleks pada pasien diabetes yaitu 20-25 g/1000 kkal.
Suplementasi vitamin dan mineral dapat dipertimbangkan bila penilaian diet
tidak adekuat. Pada pasien diabetes dengan infeksi, poliuria dan ketoasidosis,
suplementasi vitamin (C dan B kompleks) dan mineral (kromium dan seng) sangat
dianjurkan. Vitamin A perlu diberikan karena betakaroten sukar di konversi menjadi
vitamin A, dan vitamin E untuk melindungi terhadap angiopati.
13
Tahap 3
Menterjemahkan semua perhitungan zat gizi ke dalam bahan makanan dan
menentukan distribusinya dalam porsi makanan dan snack. Jadwal makanan
disesuaikan dengan jadwal pemberian insulin atau obat hipoglikemik.
Untuk nutrisi oral, sebaiknya diberikan dengan porsi kecil tapi sering dengan
catatan, satu porsi sebelum tidur malam.
Tahap 4
Evaluasi asupan makan dan kebiasaan makan.9
4. Obat-obatan dan Insulin
Obat antidiabetes oral
Sulfonilurea diindikasikan pada pasien (terutama pasien yang mendekati
berat badan idealnya) yang dietnya gagal untuk mengendalikan hipoglikemia, tetapi
pada sekitar 30% control tidak dapat dicapai dengan obat ini. Obat ini menstimulasi
pelepasan insulin dari pulau-pulau pancreas sehingga pasien harus mempunyai sel B
yang berfungsi parsial agar obat ini bisa berguna. Glipizid dan glikazid mempunyai
waktu paruh yang relative singkat dan biasanya diberkan pertama kali.
Glibenklamid mempunyai durasi kerja lebih panjang dan dapat diberikan
sekali sehari. Akan tetapi, terdapat lebih banyak kemungkinan hipoglikemia dan
gibenklamid sebaiknya dihindari pada pasien dengan risiko hipoglikemia (misalnya
orang lanjut usia). Pasien-pasien lanjut usia mungkin lebih aman diberi tolbutamid
yang mempunyai durasi kerja paling singkat.
Efek Samping
Terjadi gangguan gastrointestinal dan ruam, tetapi jarang. Hipoglikemia dan
koma hipoglikemik bisa diinduksi oleh obat kerja panjang, terutama pada pasien
lanjut usia. Sulfonilurea dikontraindikasikan pada hiperglikemia berat (terutama
ketotik), pembedahan dan penyakit mayor dimana seharusnya diberikan insulin.
Repaglinid adalah derivate benzamida dengan awitan cepat dan durasi kerja
singkat. Repaglinid dikonsumsi saat mulai makan untuk memberikan lonjakan
pelepasan insulin selama proses percernaan dengan penurunan risiko hipoglikemia
interprandial.
14
Biguanid. Metformin bekerja di perifer untuk meningkatkan ambilan glukosa
oleh mekanisme yang tidak diketahui. Metformin jarang menyebabkan hipoglikemi
karena obat ini tidak meningkatkan pelepasan insulin. Efek simpangnya meliputi
mual, muntah, diare dan sangat jarang menyebabkan asidosis laktat yang fatal.
Akarbose menghambat glikoside a usus, memperlampat pencernaan tepung
dan sukrosa.Akarbose dikonsumsi bersama dengan makanan dan menurukan
peningkatan glukosa darah postprandial. Efek samping utamanya adalah flatulensi.
Glitazon (tiazolidinedion). Obat baru ini meningkatkan sensivitas terhadap
insulin dengan terikat pada reseptor PPAR-γ nuclear dan dengan depresi,
meningkatkan transkripsi gen-gen tertentu yang sensitive insulin. Obat ini diberikan
dalam kombinasi dengan metformin atau sulfonylurea. Glitazon tidak mempunyai
keuntungan yang dapat dilihat diantara terapi-terapi yang lebih lama dan keamanan
penggunaan jangka panjangnya tidak diketahui.
Insulin
Sebagian besar pasien dabetes di Inggris saat ini diterapi dengan insulin
manusia. Insulin diberikan melalui suntikan subkutan dan kecepatan absorpsinya
dapat diperpanjang dengan memperbesar ukuran partikel (yaitu Kristal lebih lambat
daripada amorf) atau dengan membuat kompleks insulin dengan zink atau protamin.
Insulin kerja singkat. Insulin yang dapat larut (soluble insulin) adalah larutan
insulin sederhana. (Awitan 30 menit, aktivitas puncak 2-4 jam, menghilang dalam 8
jam). Insulin ini dapat diberikan intravena pada kegawatdaruratan hiperglikemia,
tetapi efeknya hanya berlangsung selama 30 menit dengan cara ini. Insulin lispro
dan insulin aspart adalah analog insulin yang mempunyai awitan lebih cepat dan
kerja yang lebih singkat daripada insulin yang dapat larut.
Insulin kerja menengah dan panjang. Insulin ini mempunyai durasi kerja
antara 16 sampai 35 jam. Semilente adalah suspense insulin zink amorf. Lente
adalah campuran insulin zink amorf (30%) dan insulin zink Kristal (70%). Insulin
ink Kristal memperpanjang durasi sediaan ini.
Isofan insulin (NPH) adalah kompleks protamin dan insulin. Campuran ini
sedemikian rupa sehingga tidak terdapat tempat ikatan bebas yang tersisa pada
protamin. Setelah suntikan, enzim proteolitik mendegradasi protamin dan insulin
diabsorpsi. Durasi NPH sama dengan durasi lente (sekitar 20 jam).
15
Campuran tetap bifasik mengndung beberapa berbagai proporsi insulin yang
dapat larut dan isofan insulin (misalnya 30% dapat larut dan 70% isofan).
Komponen yang dapat larut memberikan awitan cepat dan isofan insulin
memperpanjang kerja obat.
Ultralente adalah suspense dan insulin zink Kristal yang kelarutannya buruk
dengan durasi sampai dengan 35 jam. Durasi panjang dari ultralente dapat
menyebabkan akumulasi urin dan hipoglikemia yang berbahaya.
Insulin glargin larut pada pH asam, namun membentuk presipitat pada pH
jaringan yang lebih netral. Isulin glargin memiliki aktivitas “peakless (tanpa
puncak)” yang panjang (1-12 jam) dan diberikan sekali sehari.
Efek samping
Hipoglikemia yang disebabkan oleh overdosis insulin atau asupan kalori
yang tidak adekuat merupakan komplikasi terapi insulin yang paling sering dan
paling serius. Pada keadaan hipoglikemia berat, koma dan kematian akan terjadi bila
pasien tidak diterapi dengan glukosa (secara intravena bila tidak sadar)
Antibodi insulin. Semua insulin adalah imunogenik untuk beberapa hal
(terutama bovin), tetapi resistensi imunologis terhadap insulin jarang terjadi.
Lipohipertrofi sering terjadi dengan semua sediaan insulin, tetapi reaksi
alergi lokal pada tempat suntikan ini sangat jarang terjadi.
Regimen Insulin
Sebagian besar pasien diabetes tipe I menggunakan regimen yang mencakup
insulin kerja singkat dicampur dengan insulin kerja menengah yang disuntikan
subkutan dua kali sehari, sebelum makan pagi dan sebelum makan sore. Regimen
kontrol intensif yang lebih banyak dibutuhkan dibuat untuk menghasilkan
normoglikemia dengan tujuan mengurangi komplikasi diabetes (kiri, berasir). Salah
satu regimen adalah suntikan insulin kerja menengah, untuk memberikan kadar
insulin dasar, dan insulin yang dapat larut tiga kali sehari sebelum makan.10
16
E. Komplikasi
Komplikasi Akut DM
1). Ketoasidosis diabetik
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik yang
ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh
defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut
diabetes melitus (DM) yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat
diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai
menyebabkan syok. Pada pasien KAD dijumpai pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul),
berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir kering), kadang-kadang
disertai hipovolemia sampai syok.
Bau aseton dari hawa napas tidak terlalu mudah tercium. Gambaran klinis KAD sebagai
berikut keluhan poliuri dan polidipsi sering kali mendahului KAD serta didapatkan
riwayat berhenti menyuntik insulin, demam, atau infeksi. Muntah-muntah merupakan
gejala yang sering dijumpai terutama pada KAD anak. Dapat pula dijumpai nyeri perut
yang menonjol dan hal itu berhubungan dengan gastroparesis-dilatasi lambung. Derajat
kesadaran pasien dapat dijumpai mulai kompos mentis, delirium, atau depresi sampai
dengan koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab penurunan
kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alkohol). Infeksi merupakan
faktor pencetus yang paling sering,
2). Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik
Keto asidosis diabetik (KAD) dan koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik (HHNK)
merupakan komplikasi akut/ emergensi Diebetes Melitus (DM). Sindrom HHNK ditandai
oleh hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama
adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan seringkali disertai gangguan neurologis
dengan atau tanpa adanya ketosis. Perjalanan klinis HHNK biasanya berlangsung dalam
jangka waktu tertentu (beberapa hari sampai beberapa minggu), dengan gejala khas
meningkatnya rasa haus disertai poliuri, polidipsi dan penurunan berat badan. Koma
hanya ditemukan kurang dari 10% kasus. HHNK biasanya terjadi pada orang tua dengan
DM, yang mempunyai penyakit penyerta yang mengakibatkan menurunnya asupan
makanan. Keluhan pasien HHNK ialah: rasa lemah, gangguan penglihatan, atau kaki
kejang.
17
Dapat pula ditemukan keluhan mual dan muntah, namun lebih jarang jika dibandingkan
dengan KAD. Kadang, pasien datang dengan disertai keluhan saraf seperti letargi,
disorientasi, hemiparesis, kejang atau koma. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-
tanda dehidrasi berat seperti turgor yang buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung,
perabaan ekstremitas yang dingin dan denyut nadi yang cepat dan lemah. Dapat pula
ditemukan peningkatan suhu tubuh yang tak terlalu tinggi.
Akibat gastroparesis dapat pula dijumpai distensi abdomen, yang membaik setelah
rehidrasi adekuat. Perubahan pada status mental dapat berkisar dari disorientasi sampai
koma. Derajat gangguan neurologis yang timbul berhubungan secara langsung dengan
osmolaritas efektif serum. Koma terjadi saat osmolaritas serum mencapai lebih dari 350
mOsm per kg (350 mmol per kg). Kejang ditemukan pada 25% pasien, dan dapat berupa
kejang umum, lokal, maupun mioklonik. Dapat juga teijadi hemiparesis yang bersifat
reversibel dengan koreksi defisit cairan.
3). Hipoglikemik iatrogenic
Hipoglikemia pada pasien diabetes tipe 1 (DMT 1) dan diabetes tipe 2 (DMT 2)
merupakan faktor penghambat utama dalam mencapai sasaran kendali glukosa darah
normal atau mendekati normal. Tidak ada definisi kendali glukosa darah yang baik dan
lengkap tanpa menyebutkan bebas dari hipoglikemia. Risiko hipoglikemia timbul akibat
ketidaksempurnaan terapi saat ini, di mana kadar insulin di antara dua makan dan pada
malam hari meningkat secara tidak proporsional dan kemampuan fisiologis tubuh gagal
melindungi batas penurunan glukosa darah yang aman. Faktor paling utama yang
menyebabkan hipoglikemia sangat penting dalam pengelolaan diabetes adalah
ketergantungan jaringan saraf pada asupan glukosa yang berkelanjutan. Hipoglikemia
akut menunjukkan gejala dan Triad Whipple merupakan panduan klasifikasi klinis
hipoglikemia yang bermanfaat. Triad tersebut meliputi: a), keluhan yang menunjukkan
adanya kadar glukosa darah plasma yang rendah, b), kadar glukosa darah yang rendah (<3
mmol/L hipoglikemia pada diabetes), dan c), hilangnya secara cepat keluhan-keluhan
sesudah kelainan biokimiawi dikorekasi. Akan tetapi pasien diabetes (dan insulinoma)
dapat kehilangan kemampuannya untuk menunjukkan atau mendeteksi keluhan dini
hipoglikemia. Dengan menambah kriteria klinis pada pasien diabetes yang mendapat
terapi, hipoglikemia akut dibagi menjadi hipoglikemia ringan, sedang dan berat.
18
4. Asidosis laktat
Asidosis laktat adalah suatu keadaan asidosis metabolik dengan peningkatan asam laktat
dan nilai anion gap. Pada pasiensakit berat, nilai asam laktat masih dianggap normal
sampai < 2 mmol/L. Batasan peningkatan konsentrasi asam laktat yang digunakan
bervariasi diantara masing-masing peneliti antara 1,3-9,0 mmol/L sedangkan nilai pH
bervariasi antara 7,37 - 7,20 namun kriteria manapun yang digunakan ternyata tetap
didapatkan hubungan bermakna antara semakin tingginya konsentrasi asam laktat dalam
darah dengan angka mortalitas pada pasien yang dirawat di rumah sakit.
Komplikasi Kronik DM
Retinopati diabetik
Berbagai kelainan akibat DM dapat terjadi pada retina, mulai dari retinopati diabetic non-
proliferatif sampai perdarahan retina dan lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan kebutaan.1
Retinopati diabetik nonproliperatif merupakan bentuk yang paling ringan dan sering tidak
memperlihatkan gejala. Stadium ini sulit dideteksi hanya dengan pemeriksaan
oftalmoskopi langsung maupun tidak langsung. Cara yang paling baik ialah dengan
menggunakan foto fundus dan FFA (Fundal Fluorescein Angiography). Mikroaneurisma
yang terjadi pada kapiler retina merupakan tanda paling awal yang dapat dilihat pada
RDNP (retinopati diabetic nonproliperatif). Kelainan morfologi lain ialah penebalan
membrane basalis , perdarahan ringan, eksudat keras yang tampak sebagai bercak
berwarna kuning dan eksudat lunak yang tampak sebagai cotton wool spot. Retinopati
diabetik nonproliperatif berat sering disebut juga sebagai retinopati diabetic iskemik,
obstruktif atau preproliperatif. Gambaran yang dapat ditemukan yaitu bentuk kapiler yang
berkelok tidak teratur akibat dilatasi yang tidak beraturan dan cotton wool spot, yaitu
daerah retina dengan gambaran bercak berwarna putih pucat dimana kapiler mengalami
sumbatan. Retinopati diabetik proliperatif ditandai dengan pembentukan pembuluh darah
baru. Pembuluh darah baru tersebut berbahaya karena bertumbuh secara abnormal keluar
dari retina dan meluas sampai ke vitreus, menyebabkan perdarahan disana dan dapat
menimbulkan kebutaan. Apabila perdarahan terus berulang, dapat terjadi jaringan fibrosis
atau sikatriks pada retina. Makulopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling
sering pada retinopati diabetik. Makulopati diabetik dapat dibedakan dalam beberapa
bentuk yaitu makulopati iskemik (akibat penyumbatan yang luas dari kapiler di daerah
sentral retina), makulopati eksudatif (karena kebocoran setempat suhingga terbentuk
eksudat keras seperti pada RDPN) dan edema macula (akibat kebocoran yang difus).2
19
Nefropati diabetik
Kelainan yang terjadi pada ginjal penyandang DM dimulai dengan adanya
mikroalbuminuria, dan kemudian berkembang menjadi proteinuria secara klinis, berlanjut
dengan penurunan fungsi laju filtrasi glomerular dan berakhir dengan keadaan gagal
ginjal yang memerlukan pengelolaan dan pengobatan substitusi. Ditemukannya
miroalbuminuria mendorong dan mengharuskan agar dilakukan pengelolaan DM yang
lebih intensif termasuk pengelolaan berbagai faktor resiko lain untuk terjadinya
komplikasi kronik DM seperti tekanan darah, lipid dan kegemukan serta merokok.
Penyandang DM dengan laju filtrasi glomerulus atau bersihan kretinin < 30 mL/menit
seyognyanya sudah dirujuk ke ahli penyakit ginjal untuk menjajagi kemungkinan dan
untuk persiapan terapi pengganti bagi kelainan ginjalnya, baik nantinya berupa dialisis
maupun transplantasi ginjal.1
Neuropati diabetik
Neuropati diabetik (ND) merupakan salah satu komplikasi kronis paling sering
ditemukan pada diabetes melitus (DM). risiko yang dihadapi pasien DM dengan ND
antara lain ialah infeksi berulang, ulkus yang tidak sembuh-sembuh dan amputasi
jari/kaki. Polineuropati sensori-motor simetris diatak atau distal symmetrical
sensorymotor polyneuropathy (DPN) merupakan jenis kelainan ND yang paling sering
terjadi. DPN ditandai degan berkurangnya fungsi sensorik secara progresif dan fungsi
motorik (lebih jarang) yang berlangsung pada bagian diatal yang berkembang kea rah
proksimal. Diagnosis neuropati perifer diabetik dalam praktek sehari-hari, sangat
bergantung pada ketelitian pengambilan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Bentuk lain
ND yang juga sering sitemukan ialah neuropati otonom (parasimpatis dan simpatis) atau
diabetic autonomic neuropathy (DAN). Uji komponen parasimpatis DAN dilakukan
dengan tes respons denyut jantung terhadap maneuver valsava, variasi denytu jantung
(interval PR) selama napas dalam (denyut jantung maksimum-minimum). Uji komponen
simpatis DAN dilakukan dengan respons tekanan darah terhadap berdiri (penurunan
sistolik), respons tekanan darah terhadap genggaman (peningkatan diastolik).3
Penyakit Jantung Koroner
Penyebab kematian dan kesakitan utama pada pasien DM (baik DM tipe 1 maupun DM
tipe 2) adalah Penyakit Jantung Koroner, yang merupakan salah satu penyulit
20
makrovaskular pada diabetes melitus. Penyulit makrovaskular ini bermanifestasi sebagai
aterosklerosis dini yang dapat mengenai organ-organ vital (jantung dan otak. Penyebab
aterosklerosis pada pasien DM tipe 2 bersifat multifaktorial, melibatkan interaksi
kompleks dari berbagai keadaan seperti hiperglikemia, hiperlipidemia, stress oksidatif,
penuaan dini, hiperinsulinemia dan/atau hiperproinsulinemia serta perubahan-perubahan
dalam proses koagulasi dan fibrinolisis. Pada pasien DM, risiko payah jantung meningkat
4 sampai 8 kali. Peningkatan risiko ini tidak hanya disebabkan karena penyakit jantung
iskemik. Dalam beberapa tahun terakhir ini diketahui bahwa pasien DM dapat pula
mempengaruhi otot jantung secara independen. Selain melalui keterlibatan aterosklerosis
dini arteri koroner yang menyebabkan penyakit jantung iskemik juga dapat terjadi
perubahan-perubahan berupa fibrosis interstitial, pembentukan kolagen dan hipertrofi sel-
sel otot jantung. Pada tingkat selular terjadi gangguan pengeluaran kalsium dari
sitoplasma, perubahan struktur troponin T dan peningkatan aktivitas piruvat kinase.
Perubahan-perubahan ini akan menyebabkan gangguan kontraksi dan relaksasi otot
jantung dan peningkatan tekanan end-diastolik sehingga dapat menimbulkan
kardiomiopati restriktif.11
F. Pencegahan
Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan pada diabetes ada tiga jenis atau tahap
yaitu:
Pencegahan primer : semua aktivitas yang ditujukan untuk pencegah timbulnya
hiperglikemia pada individu yang beresiko untuk jadi diabetes
atau pada populasi umum.
Pencegahan sekunder : menemukan pengidap DM sedini mungkin, misalnya dengan
tes penyaringan terutama pada populasi resiko tinggi. Dengan
demikian pasien diabetes yang sebelumnya tidak terdiagnosis
dapat terjaring, hingga dengan demikian dapat dilakukan
upaya untuk mencegah komplikasi atau kalaupun sudah ada
komplikasi masih reversibel.
Pencegahan tersier : semua upaya untuk mencegah komplikasi atau kecacatan
akibat komplikasi itu. Usaha ini meliputi :
- mencegah timbulnya komplikasi
21
- mencegah progresi dari pada komplikasi itu supaya tidak
menjadi kegagalan organ
- mencegah kecacatan tubuh
G. Prognosis
Prognosis pada DM tipe 2 ini umumnya tergantung dari diagnosa dini atau diagnosa yang
terlambat, dan juga dipengaruhi dari penanganan yang baik dan upaya preventif. Jika
pada penderita DM kadar gula darah terkontrol dengan baik dan terjaga kestabilannya
atau jika pasien patuh dalam aturan pengobatan dan perencanaan diet yang telah
ditetapkan dokter prognosa umumnya akan baik. Sekitar 60% pasien DM tipe II yang
mendapat insulin dapat bertahan hidup seperti orang normal. Sisanya dapat mengalami
kebutaan, gagal ginjal kronik, dan kemungkinan untuk meninggal lebih cepat. Pasien
dengan komplikasi umumnya prognosa menjadi lebih buruk.12
II. Penutup
Kesimpulan
Dari data anamnesis, pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang Tn.A menderita DM
tipe 2. Diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat akan membantu pasien terhindar dari
komplikasi.
22
Daftar Pustaka
1. Supartondo, Bambang Setiyohadi. Anamnesis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I, Edisi V. Internal Publishing. Jakarta; 2009: hal. 25.
2. Setiyohadi Bambang, Imam Subekti. Pemeriksaan Fisis Umum. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I, Edisi V. Internal Publishing. Jakarta; 2009: hal. 29.
3. Kurnia Nah Yasavati, Santoso Mardi, dkk. Buku Panduan Keterampilan Medik
(Skills Lab) V. Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana. Jakarta;
2011: hal. 38.
4. Halim S.L., Iskandar Ign., Harny Edward, Richard Kosasih, Herawati Sudiono.
Patologi Klinik Kimia Klinik. Edisi I. Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran
Ukrida. Jakarta; 2011: hal. 52-59.
5. Ajjan R. The pancreas. Endocrinology and Diabetes. UK : Wiley Blackwell; 2009.
p.46-59.
6. Schteingart DE. Pankreas : Metabolisme glukosa dan diabetes melitus. Dalam:
Price SA, Wilson LM, penyunting. Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta : EGC; 2005. h.1259-71.
7. Gallagher MP, Oberfield SE. Diabetes Mellitus and hyperglycemia.
Comprehensive pediatrics hospital medicine UK : Mosby Elsevier; 2007.p.579-82.
8. Gustaviani R. Diagnosis dan klasifikasi diabetes mellitus. Dalam: Price SA,
Wilson LM, editor. Patofisiologi. Volume 2. Edisi ke-6. Jakarta: EGC,
2006.h.1857-9
9. Barker M Helen. Diabetes melitus. Nutrition and dietetics for health care. Edisi
ke-10. USA : Chrunchill Livingstone.2006.h. 254-260.
10. Neal MJ. At a glance farmakologi medis. Edisi ke-5. Jakarta : Erlangga.2006.h.
78-9
11. Corwin EJ. Patofisiologi. Jakarta: EGC. 2000.h. 239-77
12. Santoso M. Standar pelayanan medis penyakit dalam. Jakarta: Yayasan Diabetes
Indonesia. 2004.h.29-38.
23