diabetes melitus tipe ii

36
Diabetes Melitus Tipe II Agung Haryanto 102010207 (B5) Pendahuluan Infeksi saluran kemih adalah infeksi yang terjadi di sepanjang jalan saluran kemih, termasuk ginjal itu sendiri akibat proliferasi suatu mikroorganisme. Untuk menyatakan adanya infeksi saluran kemih harus ditemukan bakteri di dalam urin. Suatu infeksi dapat dikatakan jika terdapat 100.000 atau lebih bakteri/ml urin. ISK dapat mengenai semua orang, mulai bayi baru lahir sampai dengan orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan. ISK lebih sering dtemukan pada bayi atau anak kecil dibandingkan dengan dewasa. Pada bayi sampai umur tiga bulan, ISK lebih sering pada laki-laki daripada perempuan, 1

Upload: albert-chandra

Post on 29-Dec-2015

97 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

dm tipe II

TRANSCRIPT

Page 1: Diabetes Melitus Tipe II

Diabetes Melitus Tipe II

Agung Haryanto

102010207 (B5)

Pendahuluan

Infeksi saluran kemih adalah infeksi yang terjadi di sepanjang jalan saluran kemih, termasuk

ginjal itu sendiri akibat proliferasi suatu mikroorganisme. Untuk menyatakan adanya infeksi

saluran kemih harus ditemukan bakteri di dalam urin. Suatu infeksi dapat dikatakan jika

terdapat 100.000 atau lebih bakteri/ml urin. ISK dapat mengenai semua orang, mulai bayi

baru lahir sampai dengan orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan.  ISK lebih sering

dtemukan pada bayi atau anak kecil dibandingkan dengan dewasa.  Pada bayi sampai umur

tiga bulan, ISK lebih sering pada laki-laki daripada perempuan, tetapi selanjutnya lebih sering

pada perempuan daripada laki-laki.

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Terusan Arjuna No. 6, Jakarta Barat 11510, No telp: (021) 56942061, Fax: (021) 5631731

E-mail: [email protected]

1

Page 2: Diabetes Melitus Tipe II

I. Pembahasan

A. Anamnesis

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Diabetes Melitus

Didalam Ilmu Kedokteran, wawancara terhadap pasien disebut anamnesis. Anamnesis

dapat langsung dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis) atau terhadap

keluarganya atau pengantarnya (alo-anamnesis) bila keadaan pasien tidak

memungkinkan untuk diwawancarai. Anamnesis yang baik umumnya terdiri dari

identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat

penyakit dalam keluarga, riwayat pribadi.

Pertanyaan umum

1. Menanyakan keluhan utama pasien;

2. Menanyakan banyak makan, minum dan banyak kencing;

3. Menanyakan adanya keluarga yang terkena Diabetes Melitus;

4. Menanyakan apakah pernah dirawat dengan penurunan kesadaran karena lupa

makan setelah minum obat;

5. Menanyakan apakah pernah dirawat dengan penurunan kesadaran karena diare

berlebihan;

6. Menanyakan apakah pernah dirawat dengan penurunan kesadaran karena suatu

keadaan stress (infeksi,mci);

7. Menanyakan apakah adanya buram, katarak, buta, retinopati, glaucoma;

8. Menanyakan apakah ada kesemutan, sakit maag dan impotensi;

9. Menanyakan adanya bengkak pada kaki, urin yang berkurang dan lemas;

10. Menanyakan ada riwayat sakit jantung (Nyeri dada kiri);

11. Menanyakan adanya hipertensi;

12. Menanyakan adanya luka yang sukar sembuh, jaringan parut pada kulit dan

luka yang bau;

13. Menanyakan apakah ada batuk lebih dari 3 minggu.

B. Pemeriksaan

1. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum dan kesadaran, tanda-tanda vital: Suhu, Tekanan Darah, Nadi,

Frekuensi Pernapasan. Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang sangat penting untuk

memperkuat temuan-temuan dalam anamnesis. Teknik pemeriksaan fisis meliputi

2

Page 3: Diabetes Melitus Tipe II

pemeriksaan visual atau pemeriksaan pandang (Inspeksi), pemeriksaan raba (Palpasi),

pemeriksaan ketok (Perkusi) dan Pemeriksaan mendengar dengan menggunakan

stetoskop (Auskultasi).

Pemeriksaan Fisik (Kaki Diabetik)

Inspeksi

Warna kulit dan kondisi kulit (kering, normal, lembab);

Atrofi/hipotrofi;

Lesi kulit (infiltrate, ulkus, abses, gangren);

Gerakan yang terbatas dan kontraktur.

Palpasi

Pemeriksaan suhu raba;

Pemeriksaan pulsasi a. dorsalis pedis dan a. tibialis posterior;

Pemeriksaan sensibilitas dengan monofilament.1,2,3

2. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

Walaupun oleh masyarakat umum DM sering disebut sebagai penyakit kencing manis

atau kencing gula, namun diagnosis DM harus ditegakkan berdasarkan hasil

pemeriksaan kadar glukosa darah dan tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan

adanya glukosuria saja.

Manfaat Pemeriksaan Laboratorium

Dalam pengelolaan DM, pemeriksaan laboratorium dapat berfungsi sebagai

pemeriksaan penyaring (screening), menegakkan diagnosis, pementauan hasil

pengobatan dan pengendalian DM. Dalam usaha menegakkan diagnosis DM secara

dini perlu dilakukan pemeriksaan penyaring dan berdasarkan hasil pemeriksaan

penyaring yang diperoleh barulah ditentukan apakah perlu dilakukan pemeriksaan

lebih lanjut dengan pemeriksaan diagnostik.

Pemeriksaan Penyaring DM

Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak

mempunyai gejala DM tetapi mempunyai resiko DM. Bila hasil pemeriksaan

penyaring positif maka perlu dilakukan serangkaian uji diagnostik untuk memastikan

diagnostik definitif. Pemeriksaan penyaring dilakukan pada kelompok dengan salah

satu risiko DM yaitu:

3

Page 4: Diabetes Melitus Tipe II

Usia > 45 tahun;

Berat badan > 110% BB ideal atau Indeks Massa Tubuh (IMT) 23 kg/m2;

Hipertensi (Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg);

Riwayat DM dalam garis keturunan;

Riwayat abortus beulang, melahirkan bayi cacat atau BB lahir bayi > 4000

gram;

Kadar kolesterol HDL ≤ 35 mg/dL dan atau kadar trigliserida ≥ 250 mg/dL.

Bagi kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan penyaring negatif,

pemeriksaan perlu dilakukan setiap tahun. Bagi mereka yang berusia di atas 45 tahun

tanpa faktor risiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 (tiga) tahun.

Pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakan sebagai pemeriksaan penyaring

adalah kadar glukosa darah sewaktu dan kadar glukosa darah puasa. Penilaian hasil

pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai pemeriksaan penyaring

DM tercantum pada Tabel-1.

Tabel-1. Penilaian Hasil Pemeriksaan Penyaring DM

Kadar Glukosa Darah

(Plasma Vena)

Bukan DM Belum Pasti DM DM

Glukosa Darah Sewaktu <110 mg/dL 110 - 199 mg/dL ≥200 mg/dL

Glukosa Darah Puasa <110 mg/dL 110 - 125 mg/dL ≥126 mg/dL

Bahan Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah

Bahan pemeriksaan yang dianjurkan untuk menentukan kadar glukosa darah adalah

plasma darah vena dengan metoda pemeriksaan cara enzimatik. Pada kondisi tertentu

di mana sulit mendapat darah vena, dapat juga dipakai darah utuh (whole blood) vena

atau kapiler dengan memperhatikan angka kriteria diagnosis yang berbeda sesuai

dengan pembakuan oleh WHO.

Selain plasma vena, pada kondisi tertentu bila sulit mendapatkan darah vena, dapat

juga dipakai darah kapiler. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah dengan

menggunakan sampel darah vena mungkin akan berbeda dengan hasil pemeriksaan

dengan menggunakan sampel darah kapiler. Hal ini disebabkan karena kadar glukosa

darah kapiler lebih tinggi 7-10% daripada kadar glukosa darah vena. Pada keadaan

puasa, perbedaan kadar glukosa darah vena dan arteri hanya 2-3 mg/dL, dan setelah

4

Page 5: Diabetes Melitus Tipe II

makan perbedaan ini dapat mencapai 20-30 mg/dL. Kadar glukosa darah arteri dapat

dianggap tidak berbeda dengan kadar glukosa darah kapiler.

Kadar glukosa darah utuh (whole blood) dipengaruhi oleh nilai hematokrit dan jarak

waktu melakukan pemeriksaan setelah pengambilan sampel darah. Kadar glukosa

darah utuh dengan hematokrit yang tinggi akan lebih tinggi sedangkan kadar glukosa

darah utuh dengan hematokrit yang rendah menjadi lebih rendah. Hal ini disebabkan

kandungan air dalam sel darah merah sebanyak 73% sedangkan kandungan air dalam

plasma sebanyak 93%.

Kadar glukosa darah utuh berkurang sesuai dengan berjalannya waktu karena glukosa

akan digunakan untuk metabolisme sel-sel darah (eritrosit, leukosit, trombosit) dan

juga kuman. Kecepatan berkurangnya kadar glukosa darah utuh pada suhu kamar

adalah 7 mg/dL/jam sedangkan pada suhu 4ºC sebanyak 2 mg/dL/jam. Oleh karena

itu, bila pemeriksaan terpaksa ditunda dan tidak segera dilakukan maka darah utuh

harus diberikan pengawet NaF sebanyak 2 mg/mL. Dengan penambahan NaF,

pemeriksaan dapat ditunda sampai 48 jam.

Pemeriksaan Diagnostik

Diagnostik klinis DM biasanya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa

poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan

sebabnya. Keluhan lain penderita adalah rasa lemah, kesemutan, gatal, mata kabur

dan disfungsi ereksi pada pria, pruritus vulvae pada wanita. pemeriksaan diagnostik

dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/tanda DM.

Bila terdapat keluhan khas dan pemeriksaan glukosa darah sewaaktu ≥ 200 mg/dL

atau kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL, maka diagnosis DM dapat ditegakkan.

Bila tidak ada keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah yang baru satu

kali saja abnormal belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Pada keadaan

ini perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan mendapatkan sekali lagi nilai

abnormal pada hari yang lain, baik kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL dan atau

kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL.

Pada penderita tanpa keluhan khas DM, bila hasil pemeriksaan kadar glukosa darah

dalam batas peralihan yaitu kadar glukosa darah puasa antara 110-125 mg/dL atau

kadar glukosa darah sewaktu antara 110-199 mg/dL, harus dilakukan TTGO untuk

memastikan diagnosis DM. Penilaian hasil pemeriksaan kadar glukosa darah jam ke-2

TTGO pada penderita tanpa keluhan khas DM yang hasil pemeriksaan kadar glukosa

darah puasa antara 110-125 mg/dL tercantum pada Tabel-2.

5

Page 6: Diabetes Melitus Tipe II

Tabel-2.

Hasil Pemeriksaan TTGO Tanpa Keluhan Khas DM dan Kadar Glukosa Darah

Puasa 110-125 mg/dL.

Kadar Glukosa Darah Puasa (mg/dL) Penilaian

< 140 Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT)

140-199 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT)

≥ 200 Diabetes Melitus

Penilaian hasil pemeriksaan kadar glukosa darah jam ke-2 TTGO pada penderita

tanpa keluhan khas DM yang hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu antara

110-199 mg/dL tercantum pada Tabel-3.

Tabel-3.

Hasil Pemeriksaan TTGO Tanpa Keluhan Khas DM dan Kadar Glukosa Darah

Sewaktu 110-199 mg/dL.

Kadar Glukosa Darah Sewaktu

(mg/dL)

Penilaian

< 140 Normal

140-199 Toleransi Glukosa Terganggu

≥ 200 Diabetes Melitus

Cara Penatalaksanaan TTGO (WHO, 1999)

Tiga hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup);

Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan;

Puasa paling sedikit 8 jam, mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum air

putih diperbolehkan;

Diperiksa kadar glukosa darah puasa;

Diberikan 75 gram glukosa (orang dewasa) atau 1,75 gram/KgBB (anak-

anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum habis dalam waktu 5 menit;

Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa;

Selama proses pemeriksaan pasien yang diperiksa tetap istirahat dan tidak

merokok.4

6

Page 7: Diabetes Melitus Tipe II

C. Diagnosis

1. Diagnosis Banding

Beberapa klasifikasi diabetes melitus telah dikenalkan, berdasarkan metode presentasi

klinis, umur awitan, dan riwayat penyakit. Suatu klasifikasi yang diperkenalkan oleh

American Diabetes Association (ADA) berdasarkan pengetahuan muktahir mengenai

pathogenesis sindrom diabetes dan gangguan toleransi glukosa.

1). DM tipe I

Diabetes tipe 1 dulu dikenal sebagai tipe juvenile-onset dan tipe dependent

insulin; namun kedua tipe ini dapat muncul pada sembarang usia. Insidens diabetes

tipe 1 sebanyak 30.000 kasus baru setiap tahunnya dan dapat dibagi dalam dua

subtipe: (a) autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel beta; dan

(b) idiopatik, tanpa bukti adanya autoimundan tidak diketahui sumbernya. Subtipe

ini lebih sering timbul pada etnik keturunan Afrika-Amerika dan Asia.

Diabetes Melitus tipe 1 Diabetes Melitus tipe 2

Sel beta pankreas dapat hasilkan sedikit

insulin atau sama sekali tidak

menghasilkan insulin (insulinopenia)

Sel beta pankreas dapat menghasilkan insulin

secara normal tetapi reseptor insulin tidak

responsive

Umumnya terjadi sebelum usia 30 tahun,

yaitu anak-anak dan remaja

Bisa terjadi pada dewasa setelah usia 30

tahun

Para ilmuwan percaya bahwa faktor

lingkungan (berupa infeksi virus atau

faktor gizi pada masa kanak atau dewasa

awal) menyebabkan sistem autoantibodi

yang menghancurkan sel beta, penghasil

insulin di pankreas. Untuk terjadinya hal

ini diperlukan kecenderungan genetik.

Faktor resikonya adalah obesitas dimana

sekitar 80-90% penderita mengalami

obesitas dan juga keturunan dari orang

tuanya yang menderita DM tipe 2.

90% sel penghasil insulin (sel beta) Adanya kelainan pada reseptor-reseptor pada

7

Page 8: Diabetes Melitus Tipe II

mengalami kerusakan permanen. Terjadi

kekurangan insulin yang berat dan

penderita harus mendapatkan suntikan

insulin secara teratur

membrane sel yang menjadi tidak responsive

terhadap insulin akibatnya terjadi

penggabungan abnormal antara kompleks

reseptor insulin dengan sistem transport gula

darah yang pada akhirnya menimbulkan

kerusakan pada sel beta sehingga

menurunkan jumlah insulin (defisiensi

relative)

Tabel 5. Perbedaan DM tipe 1 dan DM tipe 2. 5,6

4). DM tipe lain

a. Kelainan genetic dalam sel beta seperti yang dikenali pada MODY. Diabetes

subtype ini memiliki prevalensi familial yang tinggi dan bermanifestasi

sebelum usia 14 tahun. Pasien sering kali obesitas dan resisten terhadap

insulin. Kelainan genetic telah dikenali dengan baik dalam empat bentuk

mutasi dan fenotif yang berbeda.

- Kromososm 12, HNF-α (dahulu MODY 3)

- Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)

- Kromosom 20, HNF-α (dahulu MODY 1)

- Kromosom 13, insulin promoter factor (IPF dahulu MODY 4)

- Kromosom 17, HNF-1β (dahulu MODY 5)

- Kromosom 2, Neuro D1 (dahulu MODY 6) DNA Mitokondria, lainnya

b. Defek genetik kerja insulin: menyebabkan sindrom resistensi insulin berat dan

akantosis negrikans.

c. Penyakit eksokrin pancreas (Pankreatitis atau tumor)

d. Endokrinopati (Akromegali, Sindroma Cushing, Feokromositoma,

Hipertiroidisme)

e. Oleh karena obat atau zat kimia (as.nikotinat, glukokortikoid, tiazid, interferon

alfa, pentamidin, dilantin, vacor)

f. Infeksi (rubella kongenital, CMV)

g. Sindroma genetik lain (Sindroma down, Klinifelter, dan Turner).7

8

Page 9: Diabetes Melitus Tipe II

2. Diagnosis Kerja

Diabetes Melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetic dan klinis

termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Jika telah

berkembang penuh secara klinis, maka diabetes mellitus ditandai dengan hiperglikemia

puasa dan postprandial, aterosklerotik dan penyakit vascular mikroangiopati, dan

neuropati. Manifestasi klinis hiperglikemia biasanya sudah bertahun-tahun mendahului

hilangnya mendahului timbulnya kelainan klinis dan penyakit vaskularnya. Pasien

dengan kelainan toleransi glukosa ringan (gangguan glukosa puasa dan gangguan

toleransi glukosa) dapat tetap beresiko mengalami komplikasi metabolic diabetes.

B. Etiologi

Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes melitus bermacam-macam.

Meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda akhirnya akan mengarah pada

insufisiensi insulin, tetapi determinan genetic biasanya memegang peranan penting pada

mayoritas penderita diabetes melitus.

Pada pasien-pasien dengan diabetes melitus tipe 2, penyakitnya mempunyai pola

familial yang kuat. Indeks untuk diabetes tipe 2 pada kembar monozigot hampir 100%.

Risiko berkembangnya diabetes tipe 2 pada saudara kandung mendekati 40% dan 33%

untuk anak cucunya. Transmisi genetic adalah paling kuat dan contoh terbaik terdapat

dalam diabetes awitan dewasa muda (MODY), yaitu subtipe penyakit diabetes yang

diturunkan dengan pola autosomal dominan. Jika orang tua menderita diabetes tipe 2,

rasio diabetes dan nondiabetes pada anak adalah 1:1, dan sekitar 90% pasti membawa

(carrier) diabetes tipe 2. Diabetes tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta

kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja

insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel

tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselular yang menyebabkan mobilisasi pembawa

GLUT 4 glukosa dan meningkatkan transpor glukosa menembus membrane sel. Pada

pasien-pasien dengan diabetes tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan

reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor pada

membran sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat ketidaknormalan reseptor

insulin intrinsik. Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor

insulin dengan sistem transpor glukosa. Ketidaknormalan postreseptor dapat

9

Page 10: Diabetes Melitus Tipe II

mengganggu kerja insulin. Pada akhirnya, timbul kegagalan sel beta dengan menurunnya

jumlah insulin yang beredar dan tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia.

Sekitar 80% pasien diabetes tipe 2 mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan

dengan resistensi insulin, maka kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi glukosa

yang menyebabkan diabetes tipe 2. Pengurangan berat badan seringkali dikaitkan dengan

perbaikan dalam sensitivitas insulin dan pemulihan toleransi glukosa.

C. Epidemiologi

Tingkat prevalensi diabetes melitus adalah tinggi. Diduga terdapat sekitar 16 juta

kasus diabetes di Amerika Serikat dan setiap tahunnya didiagnosis 600.000 kasus baru.

Diabetes merupakan penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat dan merupakan

penyebab utama kebutaan pada orang dewasa akibat retinopai diabetic. Pada usia yang

sama, penderita diabetes paling sedikit 2,5 kali lebih sering terkena serangan jantung

dibandingkan dengan mereka yang tidak menderita diabetes.

Tujuh puluh lima persen penderita diabetes akhirnya meninggal karena penyakit

vascular. Serangan jantung, gagal ginjal, stroke dan gangrene adalah komplikasi yang

paling utama. Selain itu, kematian fetus intrauterine pada ibu-ibu yang menderita

diabetes tidak terkontrol juga meningkat.

Dampak ekonomi pada diabetes jelas terlihat berakibat pada biaya pengobatan

dan hilangnya pendapatan, selain konsekuensi financial karena banyaknya komplikasi

seperti kebutaan dan penyakit vaskular.

D. Patofisologis

TIap-tiap sel dalam tubuh memerlukan energy dalam menjalankan fungsinya.

Sumber energi utama tubuh adalah glukosa, gula yang sederhana dihasilkan dari

pencernaan makanan yang berisi karbohidrat. Glukosa dari pencernaan makanan

diedarkan dalam darah sebagai sumber energy untuk sel yang membutuhkannya.

Hormon insulin adalah suatu hormone yang diproduksi oleh sel dalam pancreas.

Hormon insulin berikatan dengan suatu reseptor di luar sel dan bertindak sebagai suatu

kunci untuk membuka pintu ke dalam sel sehingga glukosa dapat masuk. Sebagian dari

glukosa dapat dikonversi untuk sumber energi konsentrat seperti glikogen atau fatty

acids dan disimpan sebagai cadangan. Saat hormone insulin yang diproduksi tidak

mencukupi atau manakala pintu sel tidak mengenali kunci hormone insulin, glukosa akan

tetap berada di dalam darah dan tak dapat memasuki sel. Tubuh akan mencoba untuk

10

Page 11: Diabetes Melitus Tipe II

menurunkan kadar glukosa dalam darah, yang disebut hyperglycemia dengan menarik air

ke luar dari sel dan ke dalam bloodstream sebagai suatu usaha untuk menurunkan kadar

gula dan mengeluarkan melalui urin.

Bukan suatu hal biasa untuk orang dengan DM yang tidak terdiagnosa untuk

selalu merasa haus, minum air dalam jumlah besar, dan buang air kecil sering sebagai

usaha tubuh untuk menghindari kelebihan tersebut. Hal ini menyebabkan tingginya kadar

glukosa urin. Pada waktu yang sama tubuh berusaha untuk menghindari glukosa dari

darah, sek kekurangan glukosa dan mengirim isyarat kepada tubuh untuk makan lebih

banyak makanan, sehingga membuat pasien sangat lapar.

Untuk menyediakan energy bagi sel-sel yang merasa lapar, tubuh mencoba

mengonversi lemak dan protein menjadi glukosa. Penggunaan lemak dan protein untuk

energy menyebabkan terbentuknya keton dalam darah. Keton juga akan dikeluarkan

melalui urin. Saat keton terbentuk dalam darah, suatu keadaan yang disebut ketoasidosis

dapat terjadi, hal ini dapat mengancam jiwa jika terlambat ditangani karena dapat

mengarah pada koma dan kematian.

G. Manifestasi Klinik

Manifestasi klinis diabetes mellitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolic

defisiensi insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan

kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan

karbohidrat. Jika hiperglikeminya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka

timbul glukosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan dieresis osmotic yang

meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena

glukosa hilang bersama urine, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan

berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul

sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk.

DM tipe II

Sebaliknya, pasien dengan diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak

memperlihatkan gejala apapun dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan

darah di laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang

lebih berat, pasien tersebut mungkin menderita polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen.

11

Page 12: Diabetes Melitus Tipe II

Biasanya mereka tidak mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin

secara absolute namun hanya relatif.

Sejumlah insulin tetap dieksresi dan masih cukup untuk menghambat

ketoasidosis. Kalau hiperglikemia berat dan pasien tidak berespon terhadap terapi diet

atau terhadap obat-obat hipoglikemik oral, mungkin diperlukan terapi insulin untuk

menormalkan kadar glukosanya. Pasien ini biasanya memperlihatkan kehilangan

sensivitas perifer terhadap insulin. Kadar insulin pada pasien sendiri mungkin berkurang,

normal atau malahan tinggi, tetapi tetap tidak memadai untuk mempertahankan kadar

glukosa darah normal. Penderita juga resisten terhadap insulin eksogen.8

D. Penatalaksanaan

1. Penyuluhan

Mengenai DM, perencanaan makan, latihan kaki, pemantauan gula darah mandiri

2. Olahraga teratur

Joging, senam aerobic, senam disko, senam diabetes.

3. Diet (Manajemen Nutrisi)

Standart diet yang praktis

Standart Kalori Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat

(g)

I 900 50 30 100

II 1100 60 45 120

III 1300 60 50 150

IV 1500 65 60 180

V 1700 90 70 200

VI 1900 90 70 230

VII 2100 85 80 260

VIII 2300 90 85 300

IX 2500 95 85 340

12

Page 13: Diabetes Melitus Tipe II

- Untuk penderita BB ideal V - VI

- Untuk penderita obesitas I – IV

- Untuk penderita kursus VII - IX

Manajemen Nutrisi

Diet adalah dasar pengobatan diabetes. Nasihat diet yang baik sangat penting

untuk perawatan pasien diabetes. Perlu dilakukan anamnesis diet mengenai

kebiasaan dan pola makan. Rekomendasi diet meliputi:

Tahap 1

Tentukan kebutuhan energi total sehari seperti pada nondiabetes, kebutuhan

energi harus dihitung sesuai dengan usia, aktivitas, keadaan fisiologik dan

berdasarkan berat badan yang diharapkan.

Tahap 2

Tentukan komposisi diet seimbang. Umumnya terdiri dari 60%-65%

karbohidrat, 15%-20% protein dan 20%-25% lemak dengan lemak jenuh < 10%;

lemak tak jenuh ganda sampai 10%; sisanya lemak tak jenuh tunggal dan kolesterol

< 300 mg. Pada penderita diabetes dengan gangguan fungsi organ (misalnya dengan

nefropatia), komposisi diet, khususnya protein, harus disesuaikan dengan tingkat

gangguan organ tersebut.

Jenis karbohidrat perlu dipertimbangkan. Efek mono dan disakarida terhadap

gula darah, tergantung dari jumlah yang dikonsumsi dan sifat bahan makanan lain

yang dikonsumsi pada waktu yang sama. Sukrosa sepanjang tidak meningkatkan

kadar glukosa darah dapat diberikan. Rekomendasi yang diajukan saat ini untuk

karbohidrat kompleks pada pasien diabetes yaitu 20-25 g/1000 kkal.

Suplementasi vitamin dan mineral dapat dipertimbangkan bila penilaian diet

tidak adekuat. Pada pasien diabetes dengan infeksi, poliuria dan ketoasidosis,

suplementasi vitamin (C dan B kompleks) dan mineral (kromium dan seng) sangat

dianjurkan. Vitamin A perlu diberikan karena betakaroten sukar di konversi menjadi

vitamin A, dan vitamin E untuk melindungi terhadap angiopati.

13

Page 14: Diabetes Melitus Tipe II

Tahap 3

Menterjemahkan semua perhitungan zat gizi ke dalam bahan makanan dan

menentukan distribusinya dalam porsi makanan dan snack. Jadwal makanan

disesuaikan dengan jadwal pemberian insulin atau obat hipoglikemik.

Untuk nutrisi oral, sebaiknya diberikan dengan porsi kecil tapi sering dengan

catatan, satu porsi sebelum tidur malam.

Tahap 4

Evaluasi asupan makan dan kebiasaan makan.9

4. Obat-obatan dan Insulin

Obat antidiabetes oral

Sulfonilurea diindikasikan pada pasien (terutama pasien yang mendekati

berat badan idealnya) yang dietnya gagal untuk mengendalikan hipoglikemia, tetapi

pada sekitar 30% control tidak dapat dicapai dengan obat ini. Obat ini menstimulasi

pelepasan insulin dari pulau-pulau pancreas sehingga pasien harus mempunyai sel B

yang berfungsi parsial agar obat ini bisa berguna. Glipizid dan glikazid mempunyai

waktu paruh yang relative singkat dan biasanya diberkan pertama kali.

Glibenklamid mempunyai durasi kerja lebih panjang dan dapat diberikan

sekali sehari. Akan tetapi, terdapat lebih banyak kemungkinan hipoglikemia dan

gibenklamid sebaiknya dihindari pada pasien dengan risiko hipoglikemia (misalnya

orang lanjut usia). Pasien-pasien lanjut usia mungkin lebih aman diberi tolbutamid

yang mempunyai durasi kerja paling singkat.

Efek Samping

Terjadi gangguan gastrointestinal dan ruam, tetapi jarang. Hipoglikemia dan

koma hipoglikemik bisa diinduksi oleh obat kerja panjang, terutama pada pasien

lanjut usia. Sulfonilurea dikontraindikasikan pada hiperglikemia berat (terutama

ketotik), pembedahan dan penyakit mayor dimana seharusnya diberikan insulin.

Repaglinid adalah derivate benzamida dengan awitan cepat dan durasi kerja

singkat. Repaglinid dikonsumsi saat mulai makan untuk memberikan lonjakan

pelepasan insulin selama proses percernaan dengan penurunan risiko hipoglikemia

interprandial.

14

Page 15: Diabetes Melitus Tipe II

Biguanid. Metformin bekerja di perifer untuk meningkatkan ambilan glukosa

oleh mekanisme yang tidak diketahui. Metformin jarang menyebabkan hipoglikemi

karena obat ini tidak meningkatkan pelepasan insulin. Efek simpangnya meliputi

mual, muntah, diare dan sangat jarang menyebabkan asidosis laktat yang fatal.

Akarbose menghambat glikoside a usus, memperlampat pencernaan tepung

dan sukrosa.Akarbose dikonsumsi bersama dengan makanan dan menurukan

peningkatan glukosa darah postprandial. Efek samping utamanya adalah flatulensi.

Glitazon (tiazolidinedion). Obat baru ini meningkatkan sensivitas terhadap

insulin dengan terikat pada reseptor PPAR-γ nuclear dan dengan depresi,

meningkatkan transkripsi gen-gen tertentu yang sensitive insulin. Obat ini diberikan

dalam kombinasi dengan metformin atau sulfonylurea. Glitazon tidak mempunyai

keuntungan yang dapat dilihat diantara terapi-terapi yang lebih lama dan keamanan

penggunaan jangka panjangnya tidak diketahui.

Insulin

Sebagian besar pasien dabetes di Inggris saat ini diterapi dengan insulin

manusia. Insulin diberikan melalui suntikan subkutan dan kecepatan absorpsinya

dapat diperpanjang dengan memperbesar ukuran partikel (yaitu Kristal lebih lambat

daripada amorf) atau dengan membuat kompleks insulin dengan zink atau protamin.

Insulin kerja singkat. Insulin yang dapat larut (soluble insulin) adalah larutan

insulin sederhana. (Awitan 30 menit, aktivitas puncak 2-4 jam, menghilang dalam 8

jam). Insulin ini dapat diberikan intravena pada kegawatdaruratan hiperglikemia,

tetapi efeknya hanya berlangsung selama 30 menit dengan cara ini. Insulin lispro

dan insulin aspart adalah analog insulin yang mempunyai awitan lebih cepat dan

kerja yang lebih singkat daripada insulin yang dapat larut.

Insulin kerja menengah dan panjang. Insulin ini mempunyai durasi kerja

antara 16 sampai 35 jam. Semilente adalah suspense insulin zink amorf. Lente

adalah campuran insulin zink amorf (30%) dan insulin zink Kristal (70%). Insulin

ink Kristal memperpanjang durasi sediaan ini.

Isofan insulin (NPH) adalah kompleks protamin dan insulin. Campuran ini

sedemikian rupa sehingga tidak terdapat tempat ikatan bebas yang tersisa pada

protamin. Setelah suntikan, enzim proteolitik mendegradasi protamin dan insulin

diabsorpsi. Durasi NPH sama dengan durasi lente (sekitar 20 jam).

15

Page 16: Diabetes Melitus Tipe II

Campuran tetap bifasik mengndung beberapa berbagai proporsi insulin yang

dapat larut dan isofan insulin (misalnya 30% dapat larut dan 70% isofan).

Komponen yang dapat larut memberikan awitan cepat dan isofan insulin

memperpanjang kerja obat.

Ultralente adalah suspense dan insulin zink Kristal yang kelarutannya buruk

dengan durasi sampai dengan 35 jam. Durasi panjang dari ultralente dapat

menyebabkan akumulasi urin dan hipoglikemia yang berbahaya.

Insulin glargin larut pada pH asam, namun membentuk presipitat pada pH

jaringan yang lebih netral. Isulin glargin memiliki aktivitas “peakless (tanpa

puncak)” yang panjang (1-12 jam) dan diberikan sekali sehari.

Efek samping

Hipoglikemia yang disebabkan oleh overdosis insulin atau asupan kalori

yang tidak adekuat merupakan komplikasi terapi insulin yang paling sering dan

paling serius. Pada keadaan hipoglikemia berat, koma dan kematian akan terjadi bila

pasien tidak diterapi dengan glukosa (secara intravena bila tidak sadar)

Antibodi insulin. Semua insulin adalah imunogenik untuk beberapa hal

(terutama bovin), tetapi resistensi imunologis terhadap insulin jarang terjadi.

Lipohipertrofi sering terjadi dengan semua sediaan insulin, tetapi reaksi

alergi lokal pada tempat suntikan ini sangat jarang terjadi.

Regimen Insulin

Sebagian besar pasien diabetes tipe I menggunakan regimen yang mencakup

insulin kerja singkat dicampur dengan insulin kerja menengah yang disuntikan

subkutan dua kali sehari, sebelum makan pagi dan sebelum makan sore. Regimen

kontrol intensif yang lebih banyak dibutuhkan dibuat untuk menghasilkan

normoglikemia dengan tujuan mengurangi komplikasi diabetes (kiri, berasir). Salah

satu regimen adalah suntikan insulin kerja menengah, untuk memberikan kadar

insulin dasar, dan insulin yang dapat larut tiga kali sehari sebelum makan.10

16

Page 17: Diabetes Melitus Tipe II

E. Komplikasi

Komplikasi Akut DM

1). Ketoasidosis diabetik

Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik yang

ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh

defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut

diabetes melitus (DM) yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat

diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai

menyebabkan syok. Pada pasien KAD dijumpai pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul),

berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir kering), kadang-kadang

disertai hipovolemia sampai syok.

Bau aseton dari hawa napas tidak terlalu mudah tercium. Gambaran klinis KAD sebagai

berikut keluhan poliuri dan polidipsi sering kali mendahului KAD serta didapatkan

riwayat berhenti menyuntik insulin, demam, atau infeksi. Muntah-muntah merupakan

gejala yang sering dijumpai terutama pada KAD anak. Dapat pula dijumpai nyeri perut

yang menonjol dan hal itu berhubungan dengan gastroparesis-dilatasi lambung. Derajat

kesadaran pasien dapat dijumpai mulai kompos mentis, delirium, atau depresi sampai

dengan koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab penurunan

kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alkohol). Infeksi merupakan

faktor pencetus yang paling sering,

2). Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik

Keto asidosis diabetik (KAD) dan koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik (HHNK)

merupakan komplikasi akut/ emergensi Diebetes Melitus (DM). Sindrom HHNK ditandai

oleh hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama

adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan seringkali disertai gangguan neurologis

dengan atau tanpa adanya ketosis. Perjalanan klinis HHNK biasanya berlangsung dalam

jangka waktu tertentu (beberapa hari sampai beberapa minggu), dengan gejala khas

meningkatnya rasa haus disertai poliuri, polidipsi dan penurunan berat badan. Koma

hanya ditemukan kurang dari 10% kasus. HHNK biasanya terjadi pada orang tua dengan

DM, yang mempunyai penyakit penyerta yang mengakibatkan menurunnya asupan

makanan. Keluhan pasien HHNK ialah: rasa lemah, gangguan penglihatan, atau kaki

kejang.

17

Page 18: Diabetes Melitus Tipe II

Dapat pula ditemukan keluhan mual dan muntah, namun lebih jarang jika dibandingkan

dengan KAD. Kadang, pasien datang dengan disertai keluhan saraf seperti letargi,

disorientasi, hemiparesis, kejang atau koma. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-

tanda dehidrasi berat seperti turgor yang buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung,

perabaan ekstremitas yang dingin dan denyut nadi yang cepat dan lemah. Dapat pula

ditemukan peningkatan suhu tubuh yang tak terlalu tinggi.

Akibat gastroparesis dapat pula dijumpai distensi abdomen, yang membaik setelah

rehidrasi adekuat. Perubahan pada status mental dapat berkisar dari disorientasi sampai

koma. Derajat gangguan neurologis yang timbul berhubungan secara langsung dengan

osmolaritas efektif serum. Koma terjadi saat osmolaritas serum mencapai lebih dari 350

mOsm per kg (350 mmol per kg). Kejang ditemukan pada 25% pasien, dan dapat berupa

kejang umum, lokal, maupun mioklonik. Dapat juga teijadi hemiparesis yang bersifat

reversibel dengan koreksi defisit cairan.

3). Hipoglikemik iatrogenic

Hipoglikemia pada pasien diabetes tipe 1 (DMT 1) dan diabetes tipe 2 (DMT 2)

merupakan faktor penghambat utama dalam mencapai sasaran kendali glukosa darah

normal atau mendekati normal. Tidak ada definisi kendali glukosa darah yang baik dan

lengkap tanpa menyebutkan bebas dari hipoglikemia. Risiko hipoglikemia timbul akibat

ketidaksempurnaan terapi saat ini, di mana kadar insulin di antara dua makan dan pada

malam hari meningkat secara tidak proporsional dan kemampuan fisiologis tubuh gagal

melindungi batas penurunan glukosa darah yang aman. Faktor paling utama yang

menyebabkan hipoglikemia sangat penting dalam pengelolaan diabetes adalah

ketergantungan jaringan saraf pada asupan glukosa yang berkelanjutan. Hipoglikemia

akut menunjukkan gejala dan Triad Whipple merupakan panduan klasifikasi klinis

hipoglikemia yang bermanfaat. Triad tersebut meliputi: a), keluhan yang menunjukkan

adanya kadar glukosa darah plasma yang rendah, b), kadar glukosa darah yang rendah (<3

mmol/L hipoglikemia pada diabetes), dan c), hilangnya secara cepat keluhan-keluhan

sesudah kelainan biokimiawi dikorekasi. Akan tetapi pasien diabetes (dan insulinoma)

dapat kehilangan kemampuannya untuk menunjukkan atau mendeteksi keluhan dini

hipoglikemia. Dengan menambah kriteria klinis pada pasien diabetes yang mendapat

terapi, hipoglikemia akut dibagi menjadi hipoglikemia ringan, sedang dan berat.

18

Page 19: Diabetes Melitus Tipe II

4. Asidosis laktat

Asidosis laktat adalah suatu keadaan asidosis metabolik dengan peningkatan asam laktat

dan nilai anion gap. Pada pasiensakit berat, nilai asam laktat masih dianggap normal

sampai < 2 mmol/L. Batasan peningkatan konsentrasi asam laktat yang digunakan

bervariasi diantara masing-masing peneliti antara 1,3-9,0 mmol/L sedangkan nilai pH

bervariasi antara 7,37 - 7,20 namun kriteria manapun yang digunakan ternyata tetap

didapatkan hubungan bermakna antara semakin tingginya konsentrasi asam laktat dalam

darah dengan angka mortalitas pada pasien yang dirawat di rumah sakit.

Komplikasi Kronik DM

Retinopati diabetik

Berbagai kelainan akibat DM dapat terjadi pada retina, mulai dari retinopati diabetic non-

proliferatif sampai perdarahan retina dan lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan kebutaan.1

Retinopati diabetik nonproliperatif merupakan bentuk yang paling ringan dan sering tidak

memperlihatkan gejala. Stadium ini sulit dideteksi hanya dengan pemeriksaan

oftalmoskopi langsung maupun tidak langsung. Cara yang paling baik ialah dengan

menggunakan foto fundus dan FFA (Fundal Fluorescein Angiography). Mikroaneurisma

yang terjadi pada kapiler retina merupakan tanda paling awal yang dapat dilihat pada

RDNP (retinopati diabetic nonproliperatif). Kelainan morfologi lain ialah penebalan

membrane basalis , perdarahan ringan, eksudat keras yang tampak sebagai bercak

berwarna kuning dan eksudat lunak yang tampak sebagai cotton wool spot. Retinopati

diabetik nonproliperatif berat sering disebut juga sebagai retinopati diabetic iskemik,

obstruktif atau preproliperatif. Gambaran yang dapat ditemukan yaitu bentuk kapiler yang

berkelok tidak teratur akibat dilatasi yang tidak beraturan dan cotton wool spot, yaitu

daerah retina dengan gambaran bercak berwarna putih pucat dimana kapiler mengalami

sumbatan. Retinopati diabetik proliperatif ditandai dengan pembentukan pembuluh darah

baru. Pembuluh darah baru tersebut berbahaya karena bertumbuh secara abnormal keluar

dari retina dan meluas sampai ke vitreus, menyebabkan perdarahan disana dan dapat

menimbulkan kebutaan. Apabila perdarahan terus berulang, dapat terjadi jaringan fibrosis

atau sikatriks pada retina. Makulopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling

sering pada retinopati diabetik. Makulopati diabetik dapat dibedakan dalam beberapa

bentuk yaitu makulopati iskemik (akibat penyumbatan yang luas dari kapiler di daerah

sentral retina), makulopati eksudatif (karena kebocoran setempat suhingga terbentuk

eksudat keras seperti pada RDPN) dan edema macula (akibat kebocoran yang difus).2

19

Page 20: Diabetes Melitus Tipe II

Nefropati diabetik

Kelainan yang terjadi pada ginjal penyandang DM dimulai dengan adanya

mikroalbuminuria, dan kemudian berkembang menjadi proteinuria secara klinis, berlanjut

dengan penurunan fungsi laju filtrasi glomerular dan berakhir dengan keadaan gagal

ginjal yang memerlukan pengelolaan dan pengobatan substitusi. Ditemukannya

miroalbuminuria mendorong dan mengharuskan agar dilakukan pengelolaan DM yang

lebih intensif termasuk pengelolaan berbagai faktor resiko lain untuk terjadinya

komplikasi kronik DM seperti tekanan darah, lipid dan kegemukan serta merokok.

Penyandang DM dengan laju filtrasi glomerulus atau bersihan kretinin < 30 mL/menit

seyognyanya sudah dirujuk ke ahli penyakit ginjal untuk menjajagi kemungkinan dan

untuk persiapan terapi pengganti bagi kelainan ginjalnya, baik nantinya berupa dialisis

maupun transplantasi ginjal.1

Neuropati diabetik

Neuropati diabetik (ND) merupakan salah satu komplikasi kronis paling sering

ditemukan pada diabetes melitus (DM). risiko yang dihadapi pasien DM dengan ND

antara lain ialah infeksi berulang, ulkus yang tidak sembuh-sembuh dan amputasi

jari/kaki. Polineuropati sensori-motor simetris diatak atau distal symmetrical

sensorymotor polyneuropathy (DPN) merupakan jenis kelainan ND yang paling sering

terjadi. DPN ditandai degan berkurangnya fungsi sensorik secara progresif dan fungsi

motorik (lebih jarang) yang berlangsung pada bagian diatal yang berkembang kea rah

proksimal. Diagnosis neuropati perifer diabetik dalam praktek sehari-hari, sangat

bergantung pada ketelitian pengambilan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Bentuk lain

ND yang juga sering sitemukan ialah neuropati otonom (parasimpatis dan simpatis) atau

diabetic autonomic neuropathy (DAN). Uji komponen parasimpatis DAN dilakukan

dengan tes respons denyut jantung terhadap maneuver valsava, variasi denytu jantung

(interval PR) selama napas dalam (denyut jantung maksimum-minimum). Uji komponen

simpatis DAN dilakukan dengan respons tekanan darah terhadap berdiri (penurunan

sistolik), respons tekanan darah terhadap genggaman (peningkatan diastolik).3

Penyakit Jantung Koroner

Penyebab kematian dan kesakitan utama pada pasien DM (baik DM tipe 1 maupun DM

tipe 2) adalah Penyakit Jantung Koroner, yang merupakan salah satu penyulit

20

Page 21: Diabetes Melitus Tipe II

makrovaskular pada diabetes melitus. Penyulit makrovaskular ini bermanifestasi sebagai

aterosklerosis dini yang dapat mengenai organ-organ vital (jantung dan otak. Penyebab

aterosklerosis pada pasien DM tipe 2 bersifat multifaktorial, melibatkan interaksi

kompleks dari berbagai keadaan seperti hiperglikemia, hiperlipidemia, stress oksidatif,

penuaan dini, hiperinsulinemia dan/atau hiperproinsulinemia serta perubahan-perubahan

dalam proses koagulasi dan fibrinolisis. Pada pasien DM, risiko payah jantung meningkat

4 sampai 8 kali. Peningkatan risiko ini tidak hanya disebabkan karena penyakit jantung

iskemik. Dalam beberapa tahun terakhir ini diketahui bahwa pasien DM dapat pula

mempengaruhi otot jantung secara independen. Selain melalui keterlibatan aterosklerosis

dini arteri koroner yang menyebabkan penyakit jantung iskemik juga dapat terjadi

perubahan-perubahan berupa fibrosis interstitial, pembentukan kolagen dan hipertrofi sel-

sel otot jantung. Pada tingkat selular terjadi gangguan pengeluaran kalsium dari

sitoplasma, perubahan struktur troponin T dan peningkatan aktivitas piruvat kinase.

Perubahan-perubahan ini akan menyebabkan gangguan kontraksi dan relaksasi otot

jantung dan peningkatan tekanan end-diastolik sehingga dapat menimbulkan

kardiomiopati restriktif.11

F. Pencegahan

Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan pada diabetes ada tiga jenis atau tahap

yaitu:

Pencegahan primer : semua aktivitas yang ditujukan untuk pencegah timbulnya

hiperglikemia pada individu yang beresiko untuk jadi diabetes

atau pada populasi umum.

Pencegahan sekunder : menemukan pengidap DM sedini mungkin, misalnya dengan

tes penyaringan terutama pada populasi resiko tinggi. Dengan

demikian pasien diabetes yang sebelumnya tidak terdiagnosis

dapat terjaring, hingga dengan demikian dapat dilakukan

upaya untuk mencegah komplikasi atau kalaupun sudah ada

komplikasi masih reversibel.

Pencegahan tersier : semua upaya untuk mencegah komplikasi atau kecacatan

akibat komplikasi itu. Usaha ini meliputi :

- mencegah timbulnya komplikasi

21

Page 22: Diabetes Melitus Tipe II

- mencegah progresi dari pada komplikasi itu supaya tidak

menjadi kegagalan organ

- mencegah kecacatan tubuh

G. Prognosis

Prognosis pada DM tipe 2 ini umumnya tergantung dari diagnosa dini atau diagnosa yang

terlambat, dan juga dipengaruhi dari penanganan yang baik dan upaya preventif. Jika

pada penderita DM kadar gula darah terkontrol dengan baik dan terjaga kestabilannya

atau jika pasien patuh dalam aturan pengobatan dan perencanaan diet yang telah

ditetapkan dokter prognosa umumnya akan baik. Sekitar 60% pasien DM tipe II yang

mendapat insulin dapat bertahan hidup seperti orang normal. Sisanya dapat mengalami

kebutaan, gagal ginjal kronik, dan kemungkinan untuk meninggal lebih cepat. Pasien

dengan komplikasi umumnya prognosa menjadi lebih buruk.12

II. Penutup

Kesimpulan

Dari data anamnesis, pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang Tn.A menderita DM

tipe 2. Diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat akan membantu pasien terhindar dari

komplikasi.

22

Page 23: Diabetes Melitus Tipe II

Daftar Pustaka

1. Supartondo, Bambang Setiyohadi. Anamnesis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

Jilid I, Edisi V. Internal Publishing. Jakarta; 2009: hal. 25.

2. Setiyohadi Bambang, Imam Subekti. Pemeriksaan Fisis Umum. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Jilid I, Edisi V. Internal Publishing. Jakarta; 2009: hal. 29.

3. Kurnia Nah Yasavati, Santoso Mardi, dkk. Buku Panduan Keterampilan Medik

(Skills Lab) V. Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana. Jakarta;

2011: hal. 38.

4. Halim S.L., Iskandar Ign., Harny Edward, Richard Kosasih, Herawati Sudiono.

Patologi Klinik Kimia Klinik. Edisi I. Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran

Ukrida. Jakarta; 2011: hal. 52-59.

5. Ajjan R. The pancreas. Endocrinology and Diabetes. UK : Wiley Blackwell; 2009.

p.46-59.

6. Schteingart DE. Pankreas : Metabolisme glukosa dan diabetes melitus. Dalam:

Price SA, Wilson LM, penyunting. Patofisiologi konsep klinis proses-proses

penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta : EGC; 2005. h.1259-71.

7. Gallagher MP, Oberfield SE. Diabetes Mellitus and hyperglycemia.

Comprehensive pediatrics hospital medicine UK : Mosby Elsevier; 2007.p.579-82.

8. Gustaviani R. Diagnosis dan klasifikasi diabetes mellitus. Dalam: Price SA,

Wilson LM, editor. Patofisiologi. Volume 2. Edisi ke-6. Jakarta: EGC,

2006.h.1857-9

9. Barker M Helen. Diabetes melitus. Nutrition and dietetics for health care. Edisi

ke-10. USA : Chrunchill Livingstone.2006.h. 254-260.

10. Neal MJ. At a glance farmakologi medis. Edisi ke-5. Jakarta : Erlangga.2006.h.

78-9

11. Corwin EJ. Patofisiologi. Jakarta: EGC. 2000.h. 239-77

12. Santoso M. Standar pelayanan medis penyakit dalam. Jakarta: Yayasan Diabetes

Indonesia. 2004.h.29-38.

23