danita kelainan degeneratif tulang
DESCRIPTION
degeneratif tulangTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Kelainan degeneratif adalah istilah yang secara medis menerangkan adanya suatu
kemunduran proses fungsi sel, dari keadaan normal yang sekarang ke keadaan yang lebih buruk
diiringi dengan bertambahnya usia.
Proses menua didefinisikan sebagai proses yang mengubah seorang dewasa sehat menjadi
seorang yang rentan dengan berkurangnya sebagian besar cadangan sistem fisiologis dan
meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit secara eksponensial.
Kelainan degeneratif tulang adalah kelainan yang timbul akibat dari proses degenerasi sel
tulang, berhubungan dengan penyakit rematik. Batasan tentang penyakit rematik yang bersifat
‘inflamatoir” dengan yang ‘degeneratif” sukar dibedakan, karena reaksi inflamasi juga kadang-
kadang ditimbulkan pada jaringan lunak oleh yang degeneratif.
Proses degenerasi bukanlah sesuatu yang terjadi hanya pada orang yang berusia lanjut,
melainkan suatu hal yang normal yang berlangsung sejak maturitas dan berakhir dengan kematian.
Namun, demikian kelainan degeneratif lebih terlihat pada orang di atas usia 40 tahun.
Kelainan degeneratif pada kasus bedah orthopedic meliputi osteoarthritis, frozen shoulder,
plantar fasciitis, epicondylitis lateral, de quervian syndrome dan trigger finger. Oleh karena itu,
penyakit tersebut akan diterangkan pada bab selanjutnya.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi Tulang dan Sendi
1.1. Anatomi Tulang
Dalam tubuh manusia mempunyai 206 tulang. Struktur tulang dewasa terdiri dari 30%
bahan organik dan 70 % endapan mineral. Sel-sel tulang yang menghasilkan matriks organik
dikenal sebagai osteoblas. Komponen organik utama matriks tulang terdiri dari 90% serat
kolagen tipe 1, yang terutama mengandung protein. Komponen organik lain adalah
glikosaminoglikan sulfat dan asam hialuronat yang membentuk agregat proteoglikan besar.
Sedangkan, komponen inorganik yaitu terdapat endapan mineral yang terutama terdiri dari
kalsium dan fosfat, sedikit natrium, kalium karbonat dan ion magnesium. Kalsium, fosfat, fan
mineral lainnnya akan membentuk kristal hidrosiapatit, yang selanjutnya berikatann dengan serat
kolagen kasar menyebabkan tulang menjadi keras, tahan lama dan kuat. Adanya bahan organik
menyebabkan tulang memiliki kekuatan tensif (resistensi terhadap tarikan yang meregangkan).
Sedangkan, endapan mineral menyebabkan tulang memiliki kekuatan kompresi (menahan
tekanan).
Tulang diklasifikan menjadi lima kelompok:
a. Tulang panjang (Femur, Humerus)
Terdiri dari batang tebal panjang yang disebut diafisis dan dua ujung yang disebut epifisis. Di
sebelah proksimal dari epifisis terdapat metafisis. Di antara epifisis dan metafisis terdapat
daerah tulang rawan yang tumbuh, yang disebut lempeng epifisis atau lempeng pertumbuhan.
Tulang panjang tumbuh karena akumulasi tulang rawan di lempeng epifisis. Tulang rawan
digantikan oleh sel-sel tulang yang dihasilkan oleh osteoblas, dan tulang memanjang. Batang
dibentuk oleh jaringan tulang yang padat. Epifisis dibentuk dari spongi bone (cancellous atau
trabecular). Pada akhir usia remaja tulang rawan habis, lempeng epifisis berfusi, dan tulang
berhenti tumbuh. Hormon pertumbuhan, estrogen, dan testosteron merangsang pertumbuhan
tulang panjang. Estrogen, bersama dengan testosteron, merangsang fusi lempeng epifisis.
Batang suatu tulang panjang memiliki rongga yang disebut kanalis medularis. Kanalis
medularis berisi sumsum tulang.
2
Gambar 1. Struktur Tulang Panjang
b. Tulang pendek
Tulang pergelangan tangan (carpal) dan pergelangan kaki (tarsal) bentuknya tidak teratur dan
inti dari cancellous (spongy) dengan suatu lapisan luar dari tulang yang padat.
c. Tulang pipih
Contohnya pada tulang tengkorang dan iga terdiri atas dua lapisan tulang padat dengan
lapisan luar adalah tulang cancellous.
d. Tulang yang tidak beraturan/ireguler
Terdapat pada tulang vertebrata, osikel telinga sama seperti dengan tulang pendek, yaitu
tulang cancellous yang ditutupi lapisan tulang padat yang tipis.
e. Tulang sesamoid
Merupakan tulang kecil, yang terletak di sekitar tulang yang berdekatan dengan persediaan
dan didukung oleh tendon dan jaringan fasial, misalnya patella.
Tulang Rawan
Tulang rawan terdiri atas sel dan matriks ekstraselular, yang tersusun dari serat jaringan ikat
dan substantia fundamentalis. Berbeda dari jaringan ikat, tulang rawan bersifat nonvaskular dan
menerima makanan dengan difusi melalui matriks ekstraseluler. Tulang rawan terdiri dari sel
yang disebut kondrosit dan kondroblas yang menyintesis matriks ekstraselular.
Klasifikasi tulang rawan berdasarkan jenis serat jaringan ikat di dalam matriks ekstraselular:
a. Tulang rawan hialin
Tulang rawan merupakan struktur yang kuat dan penyangga yang fleksibel dan mengandung
serabut kolagen tipe II. Pada embrio, tulang rawan hialin berfungsi sebagai model kerangka
bagi kebanyakan tulang. Tulang rawan hialin terdapat pada permukaan sendi, ujung iga,
hidung, laring, trakea, serta bronki.
b. Tulang rawan elastik
3
Pada tulang rawan elastik serupa dengan tulang rawan hialin, namun memiliki lebih banyak
serat elastik bercabang di dalam matriksnya. Tulang rawan ini bersifat sangat lentur dan
terdapat di telinga luar, dinding tuba auditorius, epiglotis dan laring.
c. Fibrokartilago
Ditandai oleh adanya berkas-berkas serat kolagen kasar yang padat dan tidak teratut dalam
jumlah besar. Fibrokartilago terdiri atas lapisan matriks tulang rawan diselingi lapisan serat
kolagen tipe 1. Distribusi fibrokartilago ditemukan pada diskus intervertebralis, simfisis
pubis dan sendi tertentu.
Proses Pembentukan Tulang (Osifikasi)
Pertumbuhan tulang dimulai di dalam embrio melalui dua proses: osifikasi endokondral dan
osifikasi intramembranosa.
Osifikasi endokondral
Sebagian besar tulang di tubuh berkembang melalui proses osifikasi endokondral, yaitu
proses pembentkan tulang yang didahului oleh suatu model tulang rawan hialin sementara.
Seiring dengan pertembuhan, kondrosit membelah, membesar (hipertrofi), matur dan model
tulang rawan mulai mengalami klasifikasi. Difusi nutrien dan gas melalui matriks berkurang
seiring dengan proses kalsifikasi tulang rawan. Aibatnya kondrosit mati, dan matriks mengalami
fragmentasi dan kalsifikasi berfungsi sebagai kerangka struktural untuk pengendapan material
tulang.
Segera setelah terjadi pengendapan suatu lapisan material tulang di sekitar tulang rawan
yang terkalsifikasi, sel-sel perikondrialis melakukan osteogenik, dan terbentuk suatu kerah
periosteal (periosteal collar of bone) tipis di sekeliling bagian tengah batang tulang. Jaringan ikat
eksternal ini disebut periosteum. Sel-sel mesenkim dari lapisan dalam periosteum berdiferensiasi
menjadi sel osteoprogenitor, dan pembuluh darah dari periosteum menginvasi model tulang
rawan yang telah kalsifikasi dan degenerasi. Sel osteoprogenitor berproliferasi dan
berdiferensiasi menjadi osteoblas, yang menyekresi matriks osteoid. Osteoblas kemudian
dikelilingi oleh tulang dalam lakuna mirip lubang dan sekarang disebut osteosit. Osteosit
membentuk suatu hubungan antarsel yang kompleks melalui saluran-saluran halus di tulang
disebut kanalikuli. Saluran ini akhirnya membuka ke saluran yang mengandung pembuluh darah.
Sel osteoprogenitor juga berasal dari permukaan dalam tulang disebut endosteum. Endosteum
melapisi semua rongga dalam tulang dan terdiri dari satu lapisan sel osteoprogenitor.
Jaringan mesenkim, osteoblas dan pembuluh darah membentuk pusat osifikasi primer di
tulang yang sedang tumbuh yang bermula di diafisis atau batang tulang panjang, diikuti oleh
pusat osifikasi sekunder di epifisis. Di semua tulang panjang yang sedang tumbuh, tulang rawan
di diafisis dan epifisis diganti oleh tulang, kecuali di daerah lempeng epifisis. Pertumbuhan di
4
daerah ini berlanjut dan berfungsi untuk memanjangkan tulang sampai pertumbuhan tulang
berhenti.
Osifikasi Intramembranosa
Pada osifikasi intramembranosa, pertumbuhan tulang tidak didahului oleh model tulang
rawan, tetapi dari mesenkim jaringan ikat. Sebagian sel mesenkim berdiferensiasi secara
langsung menjadi osteoblas yang menghasilkan matriks osteoid, yang cepat megalami kalsifikasi.
Banyak pusat osifikasi yang terbentuk, beranastomosis dan menghasilkan anyaman tulang
spongiosa yang terdiri dari batang, lempeng dan trabekula. Osteoblas di lakuna dikelilingi oleh
tulang dan menjadi osteosit. Osteosit membentuk hubungan antarsel melalui kanalikuli.
Mandibula, maksila, klavikula dan hampir seluruh tulang pipih tengkorak dibentuk melalui
osifikasi intramembranosa.
Gambar 2. Proses osifikasi endokondral
5
Gambar 3. Osifikasi endokondral secara miksoskopis
Jenis-jenis sel tulang:
Sel osteoprogenitor terletak di periosteum, endosteum, osteon dan kanalis perforans.
Osteoblas berada di permukaan tulang dan menyintesis matriks osteoid.
Osteosit adalah osteoblas matur, bercabang terletak di lakuna. Osteosit
mempertahankan kadar kalsium dan fosfat dalam tulang dan darah.
Osteoklas adalah sel multinukleus yang berperan dalam resorpsi, remodeling, dan
perbaikan tulang. Osteoklas turunan sel makrofag dan ditemukan di cekungan-
cekungan yang terkikis akibat proses enzimatik (lakuna howship).
1.1. Fisiologi Tulang
Keseimbangan antara aktivitas osteoblas dan osteoklas menyebabkan tulang terus menerus
diperbarui atau mengalami remodeling. Pada anak dan remaja, aktivitas osteoblas melebihi
aktivitas osteoklas, sehingga kerangka menjadi lebih panjang dan menebal. Aktivitas osteoblas
juga melebihi aktivitas osteoklas pada tulang yang pulih dari fraktur. Pada orang dewasa muda,
aktivitas osteoblas dan osteoklas biasanya setara, sehingga jumlah total massa tulang
konstan. Pada usia pertengahan, aktivitas osteoklas melebihi aktivitas osteoblas dan kepadatan
tulang mulai berkurang. Aktivitas osteoklas juga meningkat pada tulang-tulang yang mengalami
imobilisasi. Pada usia dekade ketujuh atau kedelapan, dominansi aktivitas osteoklas dapat
6
menyebabkan tulang menjadi rapuh sehingga mudah patah. Aktivitas osteoblas dan osteoklas
dikontrol oleh beberapa faktor fisik dan hormon.
Faktor-faktor yang mengontrol aktivitas osteoblas dirangsang oleh olah raga dan stres beban
akibat arus listrik yang terbentuk sewaktu stres mengenai tulang. Fraktur tulang secara drastis
merangsang aktivitas osteoblas, tetapi mekanisme pastinya belum jelas. Estrogen, testosteron,
dan hormon perturnbuhan adalah promotor kuat bagi aktivitas osteoblas dan pertumbuhan tulang.
Pertumbuhan tulang dipercepat semasa pubertas akibat melonjaknya kadar hormon-hormon
tersebut.Estrogen dan testosteron akhirnya menyebabkan tulang-tulang panjang berhenti tumbuh
dengan merangsang penutupan lempeng epifisis (ujung pertumbuhan tulang). Sewaktu kadar
estrogen turun pada masa menopause, aktivitas osteoblas berkurang. Defisiensi hormon
pertumbuhan juga mengganggu pertumbuhan tulang.
Vitamin D dalam jumlah kecil merangsang kalsifikasi tulang secara langsung
dengan bekerja pada osteoblas dan secara tidak langsung dengan merangsang penyerapan
kalsium di usus. Hal ini meningkatkan konsentrasi kalsium darah, yang mendorong kalsifikasi
tulang. Namun, vitamin D dalam jumlah besar meningkatkan kadar kalsium serum dengan
meningkatkan penguraian tulang. Dengan demikian, vitamin D dalam jumlah besar tanpa
diimbangi kalsium yang adekuat dalam makanan akan menyebabkan absorpsi tulang.
Adapun faktor-faktor yang mengontrol aktivitas osteoklas terutama dikontrol oleh hormon
paratiroid.Hormon paratiroid dilepaskan oleh kelenjar paratiroid yang terletak tepat di belakang
kelenjar tiroid. Pelepasan hormon paratiroid meningkat sebagai respons terhadap penurunan
kadar kalsium serum. Hormon paratiroid meningkatkan aktivitas osteoklas dan
merangsang pemecahan tulanguntuk membebaskan kalsium ke dalam darah. Peningkatan
kalsium serum bekerja secara umpan balik negatif untuk menurunkan pengeluaran hormon
paratiroid lebih lanjut. Estrogen tampaknya mengurangi efek hormon paratiroid pada osteoklas.
Efek lain Hormon paratiroid adalah meningkatkan kalsium serum dengan menurunkan sekresi
kalsium oleh ginjal. Hormon paratiroid meningkatkan ekskresi ion fosfat oleh ginjal sehingga
menurunkan kadar fosfat darah. Pengaktifan vitamin D di ginjal bergantung pada hormon
paratiroid. Sedangkan kalsitonin adalah suatu hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar tiroid
sebagai respons terhadap peningkatan kadar kalsium serum. Kalsitonin memiliki sedikit efek
menghambat aktivitas dan pernbentukan osteoklas. Efek -efek ini meningkatkan kalsifikasi
tulang sehingga menurunkan kadar kalsium serum.
Fungsi tulang pada tubuh manusia:
Sebagai kerangka tubuh manusia
Perlekatan bagi otot dan organ
Melindungi organ-organ di dalam tubuh
Sebagai pembentukan sel darah (hemopoiesis)
Sebagai tempat penyimpanan kalsium, fosfat dan mineral lainnya.
7
1.1. Anatomi Sendi
Sendi merupakan perhubungan antar tulang sehingga tulang dapat digerakkan. Secara
fungsional sendi dapat dibagi atas luas geraknya yaitu:
a. Synarthrosis : sendi yang tidak bergerak sama sekali
Articulatio fibrosa yaitu hubungan antar tulang dengan fibrous seperti pada sutura
tengkorak.
b. Ampiarthrosis: sendi yang bergeraknya sedikit
Articulatio cartilaginea yaitu hubungan antar tulang disatukan oleh tulang rawan
cartilago hyalin atau fibro cartilago seperti pada art.sacroiliaca.
c. Diarthrosis: sendi yang bergerak bebas atau luas.
Articulatio synovialis mempunyai karakteristik terdapat ruangan spesifik yang
memungkinkan gerakan menjadi lebih bebas. Pada ruang ini terdapat cairan
“Synovialis” yang berfungsi sebagai pelumas, yang dihasillkan oleh lapisan dalam
pembungkus sendi (Capsule joint) yang disebut membrana synovialis. Ujung-ujung
tulang yang ditutupi tulang rawan dan di perkuat dibagian luarnya oleh kapsula sendi
dan ligamentum. Kapsula sendi ada dua lapisan, yaitu:
1. Bagian luar disebut stratum (membrana) fibrosum.
2. Bagian dalam disebut stratum (membrana) synovialis.
Klasifikasi sendi berdasarkan bentuk permukaan sendi:
a. Sendi peluru atau art. Globaidea (ball dan socket). Sendi ini memberikan gerakan
yang terbesar. Kepala sendi yang agak bulat dari tulang panjang masuk ke dalam
rongga yang sesuai berbentuk cekung memungkinkan gerakan fleksi, ekstensi,
abduksi, adduksi, rotasi, dan gerak panduan atau sirkumduksi. Jenis sendi ini
digolongkan ke dalam sendi bersumbu tiga. Contoh sendi ini adalah art humeri dan
art coxae.
b. Sendi bujur telur atau art. Ellipsoidea (ellipsoid). Sendi ini merupakan modifikasi
dari sendi peluru. Gerakan sedikit terbatas dan tergolong ke dalam sendi bersumbu
dua. Meskipun dapat fleksi, ekstensi, abduksi dan adduksi, namun tidak rotasi.
Sebagai contoh sendi-sendi metacarpophalangea dan jari-cari tangan (art.
radiocarpal)
c. Sendi geser (gliding, atrhrodial, plane). Permukaan-permukaan sendi berbentuk tak
beraturan, biasanya datar atau sedikit lengkung. Satu-satunya gerakan yang dapat
dilakukan adalah menggeser, karenanya disebut nonaxial. Contoh-contoh terdapat
dalam tulang – tulang tarsal dan carpal, dan juga processus articularis dari
verterbrae.
8
d. Sendi putar atau art. Trocoidea (trocoid). Gerakan pada sendi jenis ini terjadi di
dalam bidang transversal dengan longitudinal. Contoh-contoh dari sendi ini ialah
art.radioulna dan art. Atlanto epistrophica pada rotasi kepala.
e. Sendi pelana atau art. Sellaris (sellar). Sendi ini berbentuk seperti pelana. Sendi
bersumbu dua yang dapat bergerak fleksi, ekstensi, abduksi, dan adduksi, seperti
pada art. Carpometacarpal dari ibu jari.
f. Sendi engsel atau art. Throchlearis (ginglysum/hing). Gerakan pada sendi ini ada di
dalam bidang sagital dengan sumbu transversal. Fleksi dan ekstensi terjadi pada siku
(art.cubiti), pergelangan kaki (art. talocrurales) dan sendi interphalangea.
Gambar 4. Jenis-jenis sendi
9
2. Kelainan Degeneratif Sistem Muskuloskletal
2.1. Osteoarthritis
2.1.1.Definisi Osteoartritis
Osteoartritis berasal dari bahasa Yunani yaitu osteo yang berarti tulang, arthro yang
berarti sendi, dan itis yang berarti inflamasi meskipun sebenarnya penderita osteoartritis
tidak mengalami inflamasi atau hanya mengalami inflamasi ringan. Osteoartitis (OA)
merupakan penyakit sendi degeneratif yang bersifat kronik, dimana keseluruhan struktur dari
sendi mengalami perubahan patologis. Ditandai dengan kerusakan tulang rawan (kartilago)
hyalin sendi, meningkatnya ketebalan serta sklerosis dari lempeng tulang, pertumbuhan
osteofit pada tepian sendi, meregangnya kapsula sendi, timbulnya peradangan, dan
melemahnya otot – otot yang menghubungkan sendi.Epidemiologi Osteoartritis
Insidensi dan prevalensi Osteoarthritis (OA) bervariasi pada masing-masing negara,
tetapi data pada berbagai negara menunjukkan, bahwa arthritis jenis ini adalah yang
paling banyak ditemui, terutama pada kelompok usia dewasa dan usia lanjut. Prevalensinya
meningkat sesuai pertambahan usia. Data radiografi menunjukkan bahwa OA terjadi pada
sebagian besar usia lebih dari 65 tahun, dan pada hampir setiap orang pada usia 75 tahun. OA
ditandai dengan nyeri dan kaku pada sendi, serta adanya keterbatasan gerakan.
Menurut organisasi kesehatan dunia (World Health Organization), prevalensi
penderita osteoartritis di dunia pada tahun 2004 mencapai 151,4 juta jiwa dan 27,4 juta jiwa
berada di Asia Tenggara. Prevalensi dan tingkat keparahan OA berbeda-beda antara rentang
usia dewasa dan usia lanjut. Sebagai gambaran, 20% pasien dibawah 45 tahun mengalami OA
tangan dan hanya 8,5% terjadi pada usia 75-79 tahun. Sebaliknya, OA lutut terjadi <0.1%
pada kelompok usia 25-34 tahun, tetapi terjadi 10-20% pada kelompok 65-74 tahun. Di
Indonesia prevalensi OA lutut yang tampak secara radiologis mencapai 15,5% pada pria dan
12,7% pada wanita yang berumur antara 40-60 tahun. Penelitian di Bandung pada pasien yang
berobat ke klinik reumatologi RSHS pada tahun 2007 dan 2010, didapatkan OA merupakan
74,48% dari keseluruhan kasus (1297) reumatik pada tahun 2007. Enam puluh sembilan
persen diantaranya adalah wanita dan kebanyakan merupakan OA lutut (87%).
Perempuan di Amerika ternyata lebih sering terkena OA; perempuan tua mempunyai
kemungkinan terkena OA lutut dan tangan dua kali lipat daripada laki-laki. OA lutut
menyerang perempuan kulit hitam dua kali lipat dibanding kulit putih. OA panggul lebih
sering menyerang Kaukasia dibanding ras China, East Indian, dan Indian.
1.1.1.Etiologi Osteoartritis
10
Berdasarkan penyebabnya, OA dibedakan menjadi dua yaitu OA primer dan OA
sekunder. OA primer, atau dapat disebut OA idiopatik, tidak memiliki penyebab yang pasti
(tidak diketahui ) dan tidak disebabkan oleh penyakit sistemik maupun proses perubahan
lokal pada sendi. OA sekunder, berbeda dengan OA primer, merupakan OA yang disebabkan
oleh inflamasi, kelainan sistem endokrin, metabolik, pertumbuhan, faktor keturunan
(herediter), dan immobilisasi yang terlalu lama.
Penyebab osteoartritis dipengaruhi oleh beberapa faktor predisposis yaitu:
a. Usia
Proses penuaan dianggap sebagai penyebab peningkatan kelemahan di sekitar
sendi, penurunan kelenturan sendi, kalsifikasi tulang rawan dan menurunkan
fungsi kondrosit, yang semuanya mendukung terjadinya OA. Studi mengenai
kelenturan pada OA telah menemukan bahwa terjadi penurunan kelenturan pada
pasien usia tua dengan OA lutut.
b. Jenis kelamin
Prevalensi OA pada laki-laki sebelum usia 50 tahun lebih tinggi dibandingkan
perempuan, tetapi setelah usia lebih dari 50 tahun prevalensi perempuan lebih
tinggi menderita OA dibandingkan laki-laki. Perbedaan tersebut menjadi
semakin berkurang setelah menginjak usia 80 tahun. Hal tersebut diperkirakan
karena pada masa usia 50 – 80 tahun wanita mengalami pengurangan hormon
estrogen yang signifikan.
c. Ras/Etnis
Prevalensi OA lutut pada penderita di negara Eropa dan Amerika tidak berbeda,
sedangkan suatu penelitian membuktikan bahwa ras Afrika – Amerika memiliki
risiko menderita OA lutut 2 kali lebih besar dibandingkan ras Kaukasia.
Penduduk Asia juga memiliki risiko menderita OA lutut lebih tinggi
dibandingkan Kaukasia.
d. Genetik
Faktor genetik diduga juga berperan pada kejadian OA lutut, hal tersebut
berhubungan dengan abnormalitas kode genetikuntuk sintesis kolagen yang
bersifat diturunkan.
e. Gaya Hidup
Banyak penelitian telah membuktikan bahwa ada hubungan positif antara
merokok dengan OA lutut. Hubungan antara merokok dengan hilangnya tulang
rawan pada OA lutut yaitu merokok dapat merusak sel dan menghambat
proliferasi sel tulang rawan sendi, meningkatkan tekanan oksidan yang
mempengaruhi hilangnya tulang rawan dan meningkatkan kandungan karbon
11
monoksida dalam darah sehingga menyebabkan jaringan kekurangan oksigen
dan dapat menghambat pembentukan tulang rawan.
f. Metabolik
Obesitas merupakan faktor risiko terkuat yang dapat dimodifikasi. Selama
berjalan, setengah berat badan bertumpu pada sendi lutut. Peningkatan berat
badan akan melipatgandakan beban sendi lutut saat berjalan. Studi di Chingford
menunjukkan bahwa untuk setiap peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT)
sebesar 2 unit (kira-kira 5 kg berat badan), rasio odds untuk menderita OA lutut
secara radiografik meningkat sebesar 1,36 poin. Penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa semakin berat tubuh akan meningkatkan risiko menderita
OA lutut.
g. Riwayat trauma lutut
Trauma lutut yang akut termasuk robekan pada ligamentum krusiatum dan
meniskus merupakan faktor risiko timbulnya OA lutut. Studi Framingham
menemukan bahwa orang dengan riwayat trauma lutut memiliki risiko 5 – 6 kali
lipat lebih tinggi untuk menderita OA lutut.
1.1.2.Patogenesis Osteoartritis
Osteoartritis merupakan gangguan keseimbangan dari metabolisme kartilago dengan
kerusakan struktur yang penyebabnya masih belum jelas diketahui ( Soeroso, 2006 ).
Kerusakan tersebut diawali oleh kegagalan mekanisme perlindungan sendi serta diikuti oleh
beberapa mekanisme lain sehingga pada akhirnya menimbulkan cedera.
Mekanisme pertahanan sendi diperankan oleh pelindung sendi yaitu apsula dan ligamen
sendi, otot-otot, saraf sensori aferen dan tulang di dasarnya. Kapsula dan ligamen-ligamen
sendi memberikan batasan pada rentang gerak (Range of motion) sendi.
Cairan sendi (sinovial) mengurangi gesekan antar kartilago pada permukaan sendi
sehingga mencegah terjadinya keletihan kartilago akibat gesekan. Protein yang disebut
dengan lubricin merupakan protein pada cairan sendi yang berfungsi sebagai pelumas. Protein
ini akan berhenti disekresikan apabila terjadi cedera dan peradangan pada sendi.
Ligamen, bersama dengan kulit dan tendon, mengandung suatu mekanoreseptor yang
tersebar di sepanjang rentang gerak sendi. Umpan balikyang dikirimkannya memungkinkan
otot dan tendon mampu untuk memberikan tegangan yang cukup pada titik-titik tertentu
ketika sendi bergerak.
Otot-otot dan tendon yang menghubungkan sendi adalah inti dari pelindung sendi.
Kontraksi otot yang terjadi ketika pergerakan sendi memberikan tenaga dan akselerasi yang
cukup pada anggota gerak untuk menyelesaikan tugasnya. Kontraksi otot tersebut turut
meringankan stres yang terjadi pada sendi dengan cara melakukan deselerasi sebelum terjadi
12
tumbukan (impact). Tumbukan yang diterima akan didistribusikan ke seluruh permukaan
sendi sehingga meringankan dampak yang diterima. Tulang di balik kartilago memiliki fungsi
untuk menyerap goncangan yang diterima.
Kartilago berfungsi sebagai pelindung sendi. Kartilago dilumasi oleh cairan sendi
sehingga mampu menghilangkan gesekan antar tulang yang terjadi ketika bergerak. Kekakuan
kartilago yang dapat dimampatkan berfungsi sebagai penyerap tumbukan yang diterima sendi.
Perubahan pada sendi sebelum timbulnya OA dapat terlihat pada kartilago sehingga penting
untuk mengetahui lebih lanjut tentang kartilago.
Terdapat dua jenis makromolekul utama pada kartilago, yaitu Kolagen tipe dua dan
Aggrekan. Kolagen tipe dua terjalin dengan ketat, membatasi molekul – molekul aggrekan di
antara jalinan -jalinan kolagen. Aggrekan adalah molekul proteoglikan yang berikatan dengan
asam hialuronat dan memberikan kepadatan pada kartilago.
Kondrosit, sel yang terdapat di jaringan avaskular, mensintesis seluruh elemen yang
terdapat pada matriks kartilago. Kondrosit menghasilkan enzim pemecah matriks, sitokin
{Interleukin-1 (IL-1), Tumor Necrosis Factor (TNF)}, dan faktor pertumbuhan. Umpan balik
yang diberikan enzim tersebut akan merangsang kondrosit untuk melakukan sintesis dan
membentuk molekul-molekul matriks yang baru. Pembentukan dan pemecahan ini dijaga
keseimbangannya oleh sitokin faktor pertumbuhan, dan faktor lingkungan.
Kondrosit mensintesis metaloproteinase matriks (MPM) untuk memecah kolagen tipe
dua dan aggrekan. MPM memiliki tempat kerja di matriks yang dikelilingi oleh kondrosit.
Namun, pada fase awal OA, aktivitas serta efek dari MPM menyebar hingga ke bagian
permukaan (superficial) dari kartilago.
Stimulasi dari sitokin terhadap cedera matriks adalah menstimulasi pergantian matriks,
namun stimulasi IL-1 yang berlebih memicu proses degradasi matriks. TNF menginduksi
kondrosit untuk mensintesis prostaglandin (PG), oksida nitrit (NO), dan protein lainnya yang
memiliki efek terhadap sintesis dan degradasi matriks. TNF yang berlebihan mempercepat
proses pembentukan tersebut. NO yang dihasilkan akan menghambat sintesis aggrekan dan
meningkatkan proses pemecahan protein pada jaringan. Hal ini berlangsung pada proses awal
timbulnya OA.
Kartilago memiliki metabolisme yang lamban, dengan pergantian matriks yang lambat
dan keseimbangan yang teratur antara sintesis dengan degradasi. Namun, pada fase awal
perkembangan OA kartilago sendi memiliki metabolisme yang sangat aktif.
Pada proses timbulnya OA, kondrosit yang terstimulasi akan melepaskan aggrekan dan
kolagen tipe dua yang tidak adekuat ke kartilago dan cairan sendi. Aggrekan pada kartilago
akan sering habis serta jalinan-jalinan kolagen akan mudah mengendur. Kegagalan dari
mekanisme pertahanan oleh komponen pertahanan sendi akan meningkatkan kemungkinan
timbulnya OA pada sendi.
13
1.1.3.Manifestasi klinis Osteoartritis
Pada umumnya, gambaran klinis osteoartritis berupa nyeri sendi, terutama bila sendi
bergerak atau menanggung beban, yang akan berkurang bila penderita beristirahat. Nyeri
dapat timbul akibat beberapa hal, termasuk dari periostenum yang tidak terlindungi lagi,
mikrofaktur subkondral, iritasi ujung-ujung saraf di dalam sinovium oleh osteofit, spasme otot
periartikular, penurunan aliran darah di dalam tulang dan peningkatan tekanan intraoseus dan
sinovitis yang diikuti pelepasan prostaglandin, leukotrien dan berbagai sitokin.
Selain nyeri, dapat pula terjadi kekakuan sendi setelah sendi tidak digerakkan beberapa
lama (gel phenomenon), tetapi kekakuan ini akan hilang setelah sendi digerakkan. Jika terjadi
kekakuan padapagi hari, biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit (tidak lebih dari
30 menit).
Gambaran lainnya adalah keterbatasan dalam bergerak, nyeri tekan lokal, pembesaran
tulang di sekitar sendi, efusi sendi dan krepitasi. Keterbatasan gerak biasanya berhubungan
denganpembentukan osteofit, permukaan sendi yang tidak rata akibat kehilangan rawan sendi
yang berat atau spasme dan kontraktur otot periartikular. Nyeri pada pergerakan dapat timbul
akibat iritasi kapsul sendi, periostitis dan spasme otot periartikular.
14
Beberapa penderita mengeluh nyeri dan kaku pada udara dingin dan atau pada waktu
hujan. Hal ini mungkin berhubungan dengan perubahan tekanan intra artikular sesuai dengan
perubahan tekanan atmosfir. Beberapa gejala spesifik yang dapat timbul antara lain adalah
keluhan instabilitas pada penderita OA lutut pada waktu naik turun tangga, nyeri pada daerah
lipat paha yang menjalar ke paha depan pada penderita OA koksa atau gangguan
menggunakan tangan pada penderita OA tangan.
Klasifikasi osteoartritis menurut Kellgren dan Lawrence untuk osteoartritis genu:
Grade 0 : tidak ada gambaran osteoartritis pada radiologi
Grade 1 : penyempitan ruang antar sendi belum terlalu banyak, osteofit
mungkin belum terlihat
Grade 2 : penyempitan ruang antar sendi dan osteofit sudah ada
Grade 3 : multiple osteofit, penyempitan ruang antar sendi, dan mungkin
sudah terjadi perubahan deformitas tulang
Grade 4 : osteofit yang luas, penyempitan ruang antar sendi, sklerosis berat,
dan terjadi deformitas tulang.
1.1.4.Diagnosis Osteoartritis
Diagnosis osteoartritis lutut berdasarkan kriteria klasifikasi The American College of
Rheumatology :
Klinis dan laboratorium Klinis dan radiologis Klinis
Nyeri lutut ditambah
minimal 5 dari 9 kea-
daan dibawah ini :
- Umur > 50 thn
- Kaku < 30 mnt
- Krepitasi
- Nyeri tekan tulang
- Pembesaran tulang
- Perabaan tidak panas
- LED < 40 mm/mnt
- RF < 1/40
- SFà sesuai OA
- Sensitivitas 95%
- Spesifisitas 75
Nyeri lutut ditambah
minimal 1 dari 3 kea-
daan dibawah ini :
- Umur > 50 tahun
- Krepitasi
- Osteofit
- Ssensitivitas 91%
- Spesifisitas 80%
Nyeri lutut ditambah
M-inimal 3 dari 6 kea
naan dibawah ini :
- Umur > 50 tahun
- Kaku < 30 menit
- Krepitasi
- Nyeri tekan tulang
- Pembesaran tulang
- Teraba tidak panas
- Sensitivitas 95%
- Spesifisitas 69
1.1.5.Tatalaksana Osteoartritis
15
Tujuan dari penatalaksanaan pasien yang mengalami OA adalah untuk edukasi pasien,
pengendalian rasa sakit, memperbaiki fungsi sendi yang terserang dan menghambat penyakit
supaya tidak menjadi lebih parah. Penatalaksanaan OA terdiri dari terapi non obat (edukasi,
penurunan berat badan, terapi fisik dan terapi kerja), terapi obat, terapi lokal dan tindakan
bedah.
Non farmakologi:
Terapi non obat terdiri dari edukasi, penurunan berat badan, terapi fisik dan terapi
kerja. Pada edukasi, yang penting adalah meyakinkan pasien untuk dapat mandiri, tidak
selalu tergantung pada orang lain. Walaupun OA tidak dapat disembuhkan, tetapi kualitas
hidup pasien dapat ditingkatkan. Terapi fisik dan terapi kerja bertujuan agar penderita dapat
melakukan aktivitas optimal dan tidak tergantung pada orang lain. Terapi ini terdiri dari
pendinginan, pemanasan dan latihan penggunaan alat bantu. Dalam terapi fisik dan terapi
kerja dianjurkan latihan yang bersifat penguatan otot, memperluas lingkup gerak sendi dan
latihan aerobik. Latihan tidak hanya dilakukan pada pasien yang tidak menjalani tindakan
bedah, tetapi juga dilakukan pada pasien yang akan dan sudah menjalani tindakan bedah,
sehingga pasien dapat segera mandiri setelah pembedahan dan mengurangi komplikasi akibat
pembedahan.
Farmakologi
Nonsteroid Antiinflamtory Drugs (NSAIDs/OAINS)
Kelompok obat yang banyak digunakan untuk menghilangkan nyeri penderita OA
adalah obat anti inflamasi non steroid (OAINS). OAINS bekerja dengan cara menghambat
jalur siklooksigenase (COX) pada kaskade inflamasi. Terdapat 2 macam enzim COX, yaitu
COX-1 (bersifat fisiologik, terdapat pada lambung, ginjal dan trombosit) dan COX-2
(berperan pada proses inflamasi). OAINS tradisional bekerja dengan cara menghambat
COX-1 dan COX-2, sehingga dapat mengakibatkan perdarahan lambung, gangguan fungsi
ginjal, retensi cairan dan hiperkalemia. OAINS yang bersifat inhibitor COX-2 selektif akan
memberikan efek gastrointestinal yang lebih kecil dibandingkan penggunaan OAINS yang
tradisional.
Glukosamin dan Chondrotin Sulfate
Glukosamin dan chondrotin sulfat digunakan secara luas sebagai tatalaksana
osteoartritis meskipun mekanismenya tidak diketahui secara pasti. Beberapa penelitian
menyatakan bahwa penggunaan obat ini dapat menghilangkan rasa sakit dengan efek
toksisitas yang kecil.
Injeksi Intraartikular
Pada dasarnya ada dua indikasi suntikan intraartikular yakni penanganan simtomatik
dengan steroid dan viskosuplementasi dengan hyaluronan untuk modifikasi perjalanan
penyakit. Injeksi intraartikular bukan merupakan pilihan utama dalam penangan osteoartritis.
16
a.Steroid (triamsinolone hexacetonide dan methylprednisolone)
Hanya diberikan jika ada satu atau dua sendi yang mengalami nyeri dan inflamaso yang
kurang responsif terhadap NSAIDs, tidak dapat mentolerir NSAIDs atau ada komorbiditas
yang merupakan kontraindikasi terhadap pemberian NSAIDs. Sebagian besar literatur tidak
menganjurkan dilakukan penyuntikan lebih dari sekali dalam kurun waktu 3 bulan. dosis
untuk sendi besar sperti lutut 40 – 50 mg/injeksi, sedangkan untuk sendi – sendi kecil
digunakan dosis 10 mg.
b. Hyaluronan
Penyuntikan dengan hyaluronan diberikan berturut – turut 5 sampai 6 kali dengan
interval satu minggu sebanyak 2 – 2,5 ml hyaluronan. Teknik penyuntikan harus aseptik dan
tepat, jika tidaka akan timbul penyulit seperti artritis aseptik, nekrosis jaringan dan abses
steril.
Operatif
Indikasi dilakukan tindakan operatif bila:
a. Deformitas menimbulkan gangguan mobilisasi
b. Nyeri yang tidak dapat teratasi dengan penanganan medikamentosa dan
rehabilitatif
Terdapat dua tipe terapi pembedahan:
a. Realignment osteotomi
Permukaan sendi direposisikan dengan cara memotong tulang dan merubah
sudut dari weight bearing. Tujuannya adalah membuat kartilago sendi yang
sehat menopang sebagian besar berat tubuh. Dapat pula dikombinasikan
dengan ligamen atau meniscus repair.
b. Arthroplasty
Artroplasti adalah prosedur rekonstruksi sendi sehingga pergerakannya lebih
baik. Artroplasti eksisional adalah tindakan eksisi tulang untuk dibentuk
menjadi sendi palsu baru, contohnya eksisi kaput femur lalu ruang sendi diisi
dengan massa jaringan lunak seperti otot gluteus. Protesis juga dapat digunakan
untuk mengganti sebagian atau seluruh sendi, contohny pada total knee
replacement arthroplasty. Bila kerusakan hanya pada satu kompartemen saja
dilakukan hemiartriplasti, tetapi bila seluruh kompartemen rusak dilakukan
artroplasti total.
1.1.6.Komplikasi Osteoartritis
Pada dasarnya penyulit yang timbul tergantung dari sendi mana yang mengalami OA
serta kelainan, lokasi dan arah kelainan tersebut. Penyulit tersebut bisa diakibatkan berbagai
17
patologi. Beberapa diantaranya adalah efusi sinovial, osteofit dan degenerasi jaringan sekitar
sendi.Kerusakan sendi pada OA dapat mengakibatkan malalignment dan subluksasi.
Penyempitan celah sendi asimetris mengakibatkan varus atau valgus. Ankilosis jarang
terjadi pada OA, dapat mengenai sendi sakro-iliaka dan simfisis. Fragmentasi permukaan
sendi yang terjadi berupa debris pada kavum sinovial atau osteochondral bodies yang tetap
melekat pada permukan sendi asalnya. Pada sendi lutut, efusi sinovial dapat menyebabkan
timbulnya kista Baker pada fosa poplitea.
1.1. Bahu Beku (Frozen Shoulder)
1.1.1.Definisi Frozen Shoulder
Frozen shoulder, atau adhesive capsulitis adalah suatu kelainan di mana terjadi
inflamasi pada kapsul sendi bahu, yaitu jaringan ikat disekitar sendi glenohumeral, sehingga
sendi tersebut menjadi kaku dan terjadi keterbatasan gerak dan nyeri yang kronis.
1.1.2.Anatomi dan Fisiologi
Sendi pada bahu terdiri dari tiga tulang yaitu tulang klavikula, skapula, dan humerus.
Terdapar dua sendi yang sangat berperan pada pergerakan bahu yaitu sendi akromiklavikular
dan glenohumeral. Sendi glenohumeral lah yang berbentuk “ball-and-socket” yang
memungkinkan untuk terjadi ROM yang luas. Struktur-struktur yang membentuk bahu
disebut juga sebgai rotator cuff. Tulang-tulang pada bahu disatukan oleh otot, tendon, dan
ligament. Tendon dan ligament membantu member kekuatan dan stabilitas lebih. Otot-otot
yang menjadi bagian dari rotator cuff adalah m. supraspinatus, m. infraspinatus, m. teres
minor, dan m. subscapularis.
Otot-otot pada rotator cuff sangat penting pada pergerakan bahu dan menjaga stabilitas
sendi glenohumeral. Otot ini bermulai dari scapula dan menyambung ke humerus membuat
seperti cuff atau manset pada sendi bahu. Manset ini menjaga caput humeri di dalam fossa
glenoid yang dangkal.
Otot-otot pada rotator cuff menjada “ball” dalam “socket” pada sendi glenohumeral dan
memberikan mobilitas dan kekuatan pada sendi shoulder. Terdapat dua bursa untuk memberi
bantalan dan melingungi dari akromion dan memungkinkan gerakan sendi yang lancar.
Saat terjadi abduksi lengan, rotator cuff memampatkan sendi glenohumeral, sebuah
istilah yang dikenal sebagai kompresi cekung (concavity compression), untuk
memungkinkan otot deltoid yang besar untuk terus mengangkat lengan. Dengan kata lain,
rotator cuff, caput humerus akan naik sampai sebagian keluar dari fosa glenoid, mengurangi
efisiensi dari otot deltoid.
1.1.3.Epidemiologi Frozen Shoulder
18
Nyeri pada bahu merupakan penyebab kelainan muskuloskletal tersering ketiga setelah
nyeri punggung bawah dan nyeri leher. Prevalensi dari frozen shoulder pada populasi umum
dilaporkan sekitar 2%, dengan prevalensi 11% pada penderita diabetes.
Frozen shoulder dapat mengenai kedua bahu, baik secara bersamaan atau berurutan,
pada sebanyak 16% pasien. Frekuensi frozen shoulder bilateral lebih sering pada pasien
dengan diabetres dari pada yang tidak. Pda 14% pasien, saat frozen shoulder masih terjadi
pada suatu bahu, bahu kontralateral juga terpengaruh. Frozen shoulder kontralateral biasanya
terjadi dalam waktu 5 tahun onset penyakit. Suatu relapse frozen shoulder pada bahu yang
sama jarang terjadi. Frozen shoulder sering terjadi pada pasien denga hipertiroid dan
hipertriglikemi.
1.1.4.Etiologi Frozen Shoulder
Frozen shoulder dapat terjadi akibat suatu proses idiopatic atau akibat kondisi mendara
yang menyebabkan sendi tidak digunakan. Idiopatic frozen shoulder sering terjadi pada
dekade ke empat atau ke enam.
Rotator cuff tendinopati, bursitis subacromial akut, patah tulang sekitar collum dan
caput humeri, stroke paralitic adalah factor predisposisi yang sering menyebabkan terjadinya
frozen shoulder. Penyebab tersering adalah rotator cuff tendinopati dengan sekitan 10% dari
pasien degan kelainan ini akan mengalamai frozen shoulder. Pasien dengan diabetes mellitus
dan pasien yang tidak menjadalani fisioterapi juga memiliki resiko tinggi. Penggunaan sling
terlalu lama juga dapat menyebabkan frozen shoulder.
Frozen shoulder dapat terjadi setelah imobilisasi yang lama akibat trauma atau operasi
pada sendi tersebut. Biasanya hanya satu bahu yang terkena, akan tetapi pada sepertiga kasus
pergerkana yang terbatas dapat terjadi pada kedua lengan.
1.1.5.Patofisiologi Frozen Shoulder
Patofisiologi frozen shoulder masih belum jelas, tetapi beberapa penulis menyatakan
bahwa dasar terjadinya kelainan adalah imobilisasi yang lama. Setiap nyeri yang timbul pada
bahu dapat merupakan awal kekakuan sendi bahu. Hal ini sering timbul bila sendi tidak
digunakan terutama pada pasien yang apatis dan pasif atau dengan nilai ambang nyeri yang
rendah, di mana tidak tahan dengan nyeri yang ringan akan membidai lengannya pada posisi
tergantung. Lengan yang imobil akan menyebabkan stasis vena dan kongesti sekunder dan
bersama-sama dengan vasospastik, anoksia akan menimbulkan reaksi timbunan protein,
edema, eksudasi, dan akhirnya reaksi fibrosis. Fibrosis akan menyebabkan adhesi antara
lapisan bursa subdeltoid, adhesi ekstraartikuler dan intraartikuler, kontraktur tendon
subskapularis dan bisep, perlekatan kapsul sendi.
19
Penyebab frozen shoulder mungkin melibatkan proses inflamasi. Kapsul yang berada
di sekitar sendi bahu menebal dan berkontraksi. Hal ini membuat ruangan untuk tulang
humerus bergerak lebih kecil, sehingga saat bergerak terjadi nyeri.
Penemuan makroskopik dari patofisiologi dari frozen shoulder adalah fibrosis yang
padat dari ligament dan kapsul glenohumeral. Secara histologik ditemukan prolifrasi aktif
fibroblast dan fibroblas tersebut berubah menjadi miofibroblas sehingga menyebabkan
matriks yang padat dari kolagen yang berantakan yang menyebabkan kontraktur kapsular.
Berkurangnya cairan synovial pada sendi bahu juga berkontribusi terhadap terjadinya frozen
shoulder.
Pendapat lain mengatakan inflamasi pada sendi menyebabkan thrombine dan
fibrinogen membentuk protein yang disebut fibrin. Protein tersebut menyebabkan penjedalan
dalam darah dan membentuk suatu substansi yang melekat pada sendi. Perlekatan pada sekitar
sendi inilah yang menyebabkan perlekatan satu sama lain sehingga menghambat full ROM.
Kapsulitis adhesiva pada bahu inilah yang disebut frozen shoulder.
Terdapat pula pendapat yang menyatakan adanya proses perrubahan vakuler pada
frozen shoulder.
1.1.6.Manifestasi Klinis Frozen Shoulder
Manifestasi klinis dari frozen shoulder memiliki cirri khas yaitu terbagi dalam tiga fase,
nyeri, kaku, dan perbaikan. Proses alamiah dari fase-fase ini biasanya berjalan selama 1
hingga 3 tahun.
Fase pertama sering disebut juga sebagai painful atau freezing stage, fase ini diawalin
dengan rasa nyeri pada bahu. Pasien akan mengeluhkan nyeri saat tidur dengan posisi miring
dan akan membatasi gerak untuk menghindari nyeri. Pasien akan sering mengeluhkan nyeri
pada daerah deltoid. Sering kali pasien tidak akan meminta bantuan medis pada fase ini,
karena dianggap nyeri akan hilang dengan sendirinya. Mereka dapat mencoba mengurangi
nyeri dewngan analgesic. Tidak ada trauma sebelumnya, akan tetapi pasien akan ingat
pertama kali dia tidak bisa melakukan kegiatan tertentu akibat nyeri yang membatasi
pergerakan. Fase ini dapat berlangsung selama 2 sampai 9 bulan.
Fase kedua ini disebut stiff atau frozen fase. Pada fase ini pergerakan bahu menjadi
sangat terbatas, dan pasien akan menyadari bahwa sangat sulit untuk melalukan kegiatan
sehari-hari, terutama yang memerlukan terjadinya rotasi interna dan externa serta mengangkat
lengan seperti pada saat keramas atau mengambil sesuatu yang tinggi. Saat in pasien biasanya
mempunyai keluahans spesifik seperti tidak bisa menggaruk punggung, atau memasang BH,
atau mengambil sesuatu dari rak yang tinggi. Fase ini berlangsung selama 3 bulan hingga 1
tahun.
20
Fase terakhir adalah fase resolusi atau thawing fase. Pada fase ini pasien mulai bisa
menggerakan kembali sendi bahu. Setelah 1-3 tahun kemampuan untuk melakukan aktivitas
akan membaik, tapi pemulihan sempurna jarang terjadi.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan hilangnya gerak pada segala arah baik secara gerak
aktif maupun pasif. Pada pemeriksaan fisik, fleksi atau elevasi mungkin kurang dari 90
derajat, abduksi kurang dari 45 derajat, dan rotasi internal dan eksternal dapat berkurang
sampai 20 derajat atau kurang. Terdapat pula restriksi pada rotasi eksternal.
Tes Appley scratch merupakan tes tercepat untuk mengeveluasi lingkup gerak sendi
aktif. Pasien diminta menggaruk daerah angulus medialis skapula dengan tangan sisi kontra
lateral melewati belakang kepala. Pada frozen shoulder pasien tidak dapat melakukan gerakan
ini. Nyeri akan bertambah pada penekanan dari tendon yang membentuk muskulotendineus
rotator cuff. Bila gangguan berkelanjutan akan terlihat bahu yang terkena reliefnya mendatar,
bahkan kempis, karena atrofi otot deltoid, supraspinatus dan otot rotator cuff lainnya.
1.1.7.Faktor Resiko Frozen Shoulder
Frozen shoulder lebih sering terjadi pada wanita. Frozen shoulder sering terjadi pada
orang yang pernah mengalami trauma atau operasi pada sendi bahu. Orang dengan diabetes,
penyakit jantung, penyakit paru, hipertiroid, dan hipertriglisemi cenderung berisiko untuk
mengalami frozen shoulder.
1.1.8.Diagnosis Frozen Shoulder
Pada prinsipnya diagnosa frozen shoulder ditegakan berdasarkan manifestasi klinis.
Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan radiologis hanya dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan penyakit lain. Pemeriksaan lab kadang dilakukan karena sering pada penderita
fronzen shoulder merupakan penderita diabetes yang tidak diketahui.
1.1.9.Tatalaksana Frozen Shoulder
Penatalaksanaan dari frozen shoulder berfokus pada mengembalikan pergerakan sendi
dan mengurangi nyeri pada bahu. Biasanya pengobatan diawali dengan pemberian NSAID
dan pemberian panas pada lokasi nyeri, dilanjutkan dengan latihan-latihan gerakan. Pada
beberpa kasus dilakukan TENS untuk mengurangi nyeri.
Langkah selanjutnya biasanya melibatkan satu atau serangkaian suntikan steroid
(sampai enam) seperti Methylprednisolone. Pengobatan ini dapat perlu dilakukan dalam
beberapa bulan. Injeksi biasanya diberikan dengan bantuan radiologis, bisa dengan
fluoroskopi, USG, atau CT. Bantuan radiologis digunakan untuk memastikan jarum masuk
dengan tepat pada sendi bahu. Kortison injeksikan pada sendi untuk menekan inflamasi yang
terjadi pada kondisi ini. Kapsul bahu juga dapat diregangkan dengan salin normal, kadang
21
hingga terjadi rupture pada kapsul untuk mengurangi nyeri dan hilangnya gerak karena
kontraksi. Tindakan ini disebut hidrodilatasi, akan tetapi terdapat beberapa penelitian yang
meragukan kegunaan terapi tersebut.
Apabila terapi-terapi ini tidak berhasil seorang dokter dapat merekomendasikan
manipulasi dari bahu dibawah anestesi umum untuk melepaskan perlengketan. Opersai
dilakukan pada kasus yang cukup parah dan sudah lama terjadi. Biasanya operasi yang
dilakukan berupa arthroskopi.
Mungkin diperlukan juga fisioterapi dan latihan gerak. Fisioterapi dapat berupa pijatan
atau pemeberian panas.
1.1. Plantar Fasciitis
1.1.10. Definisi Plantar Fasciitis
Plantar Fasciitis (Policeman’s Heel) adalah nyeri tumit disebabkan oleh peradangan
dari Plantar Fascia , yaitu suatu jaringan disepanjang bagian bawah kaki yang
menghubungkan tulang tumit dengan ibu jari kaki kita. Berdasarkan kualifikasi penyakit
rematik menurut American Rematism Association, Plantar Fasciitis termasuk golongan
rematism non artikular, dimana akibat keluhan ini dapat mengganggu mobilitas dan aktifitas
kehidupan sehari-hari penderitanya.
1.1.11. Faktor Resiko Plantar Fasciitis
a. Aktivitas fisik yang berlebihan dan pada pekerjaan yang memerlukan banyak
berdiri atau berjalan .
b. Sepatu yang tidak Ergonomis. Sepatu yang solnya tipis, longgar atau tidak ada
dukungan untuk lengkung kaki atau tidak ada kemampuan untuk menyerap
hentakan akan menyebabkan resiko terkena Plantar Fasciitis semakin tinggi.
Jika sering memakai sepatu dengan tumit tinggi (high heels) maka tendon
Achilles yakni tendon yang melekat pada tumit kita dapat berkontraksi/tegang dan
memendek, menyebabkan strain pada jaringan di sekitar tumit yang juga akan
menyebabkan resiko terkena Plantar Fasciitis semakin tinggi.
c. Arthritis. Beberapa tipe Arthritis dapat menyebabkan peradangan pada tendon
dari telapak kaki, yang dapat menyebabkan Plantar Fasciitis.
d. Diabetes . Meskipun tidak diketahui mekanismenya, akan tetapi Plantar Fasciitis
terjadi lebih sering pada orang dengan diabetes.
e. Berat badan berlebihan. Berjalan-jalan dengan berat badan yang berlebihan
dapat menyebabkan kerusakan jaringan lemak di bawah tulang tumit dan
menyebabkan nyeri tumit. Orang-orang yang naik berat badannya dengan
cepat dapat menderita Plantar Fasciitis, walaupun tidak selalu.
22
f. Kehamilan. Berat badan yang bertambah dan pembengkakan yang dialami pada
saat hamil dapat menyebabkan ligamen (jaringan pengikat) pada tubuh termasuk di
kaki – untuk mengendur. Ini dapat menyebabkan permasalahan mekanikal dan
peradangan.
g. Kelainan anatomis kaki seperti telapak kaki leper/ceper (tanpa lengkung),
atau sebaliknya, lengkungan berlebihan. Orang-orang dengan kaki datar
mempunyai penyerapan kejutan yang kurang, yang mana hal ini meningkatkan
peregangan dan tegangan pada plantar fascia. Orang-orang dengan lengkung kaki
yang tinggi mempunyai jaringan plantar yang lebih ketat, yang juga
menyebabkan penyerapan kejutan yang kurang.
h. Pertambahan usia. Saat lengkungan mulai berkurang secara alamiah. Nyeri
tumit cenderung lebih umum dijumpai oleh karena penuaan menyebabkan
lengkung kaki mulai mendatar, menimbulkan stress pada plantar fascia.
1.1.12. Manifestasi Klinis Plantar Fasciitis
Keluhan utama pada kasus ini adalah nyeri pada tumit. Plantar Fasciitis menyebabkan
nyeri seperti ditusuk atau rasa terbakar yang terutama dirasakan waktu berdiri pada pagi hari,
sewaktu penderita mulai menapakkan kaki beberapa langkah pertama, hal ini disebabkan
karena fascia mengencang (berkontraksi) sepanjang malam. Segera setelah kita berjalan-jalan
beberapa saat, nyeri yang disebabkan oleh Plantar Fasciitis ini biasanya berkurang,
tetapi mungkin akan terasa nyeri kembali setelah berdiri beberapa lama atau setelah bangun
dari posisi duduk.
Dalam keadaan normal, Plantar Fascia kita bekerja seperti sebuah serabut-serabut
penyerap kejutan (shock-absorbing bowstring), menyangga lengkung dalam kaki kita. Tetapi,
jika tegangan pada serabut-serabut tersebut terlalu besar, maka dapat terjadi beberapa
robekan kecil di serabut-serabut tersebut. Bila ini terjadi berulang-ulang maka fascia akan
menjadi teriritasi atau meradang.
1.1.13. Diagnosis Plantar Fasciitis
Pemeriksaa diawali dengan menanyakan mengenai keluhan yang di derita dan
mencari titik-titik nyeri/kaku di kaki pasien. Ini dapat membantu untuk menyingkirkan
penyebab-penyebab lain nyeri tumit kaki, seperti Tendinitis, Arthritis, iritasi saraf atau
adanya suatu kista ataupun Kalkaneus Spur (Heel Spur) yang pada beberapa dekade terakhir
sering dianggap menjadi penyebab utama nyeri pada tumit kaki. Heel spur merupakan
penonjolan tulang pada plantar kaki/telapak kaki pada tulang kalkaneus, bentuknya seperti
jalu ayam.
23
Nyeri tumit kaki dapat di hilangkan tanpa melakukan operasi pengangkatan Spur
tersebut. Pembedahan untuk membuang Spur sangat jarang dilakukan. Selain melakukan
pemeriksaan fisik, disarankan juga untuk melakukan pemeriksaan penunjang yaitu
pemeriksaan Rontgen atau MRI untuk menyakinkan bahwa pasien tidak mengalami
fraktur tekanan (Stress Fracture) ataupun Arthritis.
1.1.14. Tatalaksana Plantar Fasciitis
Non Operatif
a. Kompres es batu yang dibungkus dengan kain di daerah nyeri atau bekukan
sebotol air dan urutkan di atas daerah yang nyeri selama 20 sampai 30 menit, 3
atau 4 kali sehari atau setelah melaksanakan aktivitas.
b. Obat-obatan golongan NSAID.
c. Kurangi Aktifitas olah raga. Alihkan aktivitas olah raga dengan pembebanan
pada kaki hingga nyeri mereda. Untuk mempertahankan kondisi atlet sebaiknya
dianjurkan melakukan bentuk-bentuk latihan alternatif, seperti aktivitas
berenang ataupun bersepeda.
d. Latihan peregangan berkala. Lakukan peregangan pada saat bangun tidur.
Sebelum anda turun dari tempat tidur di pagi hari, regangkan otot-otot betis,
lengkung kaki dan tendon Achilles dengan cara menyentuh ujung kaki anda
dan secara perlahan-lahan melipat kaki anda. Jenis peregangan yang sering
dilakukan untuk Plantar Fasciitis adalah dengan melakukan Calf stretch dan
Plantar fascia stretch.
Calf Stretch Plantar Fascia – Spesific Stretching
24
e. Ortosis. Koreksi sepatu atau sandal membantu mengurangi rasa nyeri pada
tumit sewaktu menapak atau berjalan. Penyangga lengkungan kaki (Arch
Support), yang bisa dipakai/diletakkan dalam sepatu, ataupun bidai yang
digunakan pada malam hari yang disebut Night Splint, karena di gunakan saat
tidur malam hari.
f. Ultrasound Diathermy (US). Untuk mengurangi nyeri pada Plantaris Fasciitis
terapi Non Invasif yang sering digunakan adalah dengan modalitas
Ultrasound Diathermy (US). US adalah diatermi berdasarkan konversi
energi suara frekensi tinggi , dengan daya tembus paling dalam (3-5 cm)
diantara diatermi lainnya, gelombang suara ini selain memberikan efek
panas/termal, juga ada efek non termal/mekanik yaitu Micromassage. Terapi
ultrasound digunakan untuk kasus plantar fasciitis karena efek panas dan
efek mekanik pada gelombang ultrasound menyebabkan peningkatan
sirkulasi darah ke jaringan setempat. Radang pada plantar fascia ini terjadi
karena adanya trauma atau strain, sehingga terjadi perubahan pembuluh darah
dan perubahan sel leukosit. Pengaruh panas ultrasound juga dapat digunakan
untuk mengurangi nyeri pada plantar fasciitis karena gelombang pulsed
yang rendah intensitasnya dapat memberikan efek sedative dan analgesik
pada ujung-ujung saraf sensorik. US efektif dalam mempercepat proses
pembuangan infiltrat hasil inflamasi dan mengurangi perlengketan yang terjadi.
Tindakan Operatif
Jenis Operasi yang biasa dilakukan untuk mengatasi plantar fasciitis adalah dengan
melakukan Gastrocnemius recession atau plantar fascia release. Komplikasi lainnya adalah
terjadinya kerusakan pada syaraf dan terjadinya infeksi.
1.1.15. Pencegahan Plantar Fasciitis
a. Menjaga berat badan sehat ideal. Ini akan meminimalkan beban pada Plantar
Fascia.
b. Memilih sepatu yang Ergonomis. Hindari sepatu dengan tumit yang terlalu
rendah.
25
c. Mulailah aktivitas olahraga secara perlahan. Pemanasan sebelum memulai
aktivitas atletik atau olahraga apapun, dan mulailah suatu program latihan
baru secara bertahap, bertingkat dan berlanjut.
d. Lakukan peregangan pada saat bangun tidur. Sebelum anda turun dari tempat
tidur di pagi hari, regangkan otot-otot betis, lengkung kaki dan tendon Achilles
dengan cara menyentuh ujung kaki anda dan secara perlahan-lahan melipat
kaki anda. Ini dapat menolong untuk membalikkan kekencangan dari
Plantar Fascia yang terjadi sepanjang malam.
1.2. Epicondylitis Lateral (Tennis Elbow)
1.2.1. Definisi Epicondylitis Lateral
Tennis elbow merupakan salah satu jenis overuse syndrome dan kondisi ini timbul
sebagai akibat dari extensi pergelangan tangan yang berlebihan. Nyeri siku dapat berupa
sebagai tennis elbow (lateral epicondylitis) ketika terjadi cedera pada tendon bagian luar.
Gambar. Group otot yang termasuk adalah otot ektensor pergelangan tangan, terutama
otot ektensor carpi radialis brevis yang menimbulkan gejala pada tennis elbow ini.
Gambar. Robekan ligament
1.2.2. Epidemiologi Epicondylitis Lateral
Insidensi tennis elbow bervariasi mulai dari 1% hingga 3% dari populasi umum dan
kelainan ini dapat ditemukan pada 50% pemain tenis. Meskipun begitu, jumlah pemain tenis
yang terkena penyakit ini hanya sekitar 5% dari jumlah semua pasien tennis elbow. Oleh
26
karena itu penggunaan istilah tennis elbow sebenarnya kurang tepat, sebab mayoritas
penderitanya justru bukan pemain tenis.
Jumlah pasien tennis elbow para pria dan wanita sama banyaknya. Kelainan ini sering
ditemukan pada orang-orang berkulit putih, pada tangan yang dominan, dan insidensinya
meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dengan populasi puncak pada usia 30 hingga 50
tahun, serta usia rata-rata penderitanya adalah 42 tahun.
1.2.3. Patofisiologi Epicondylitis Lateral
Selain akibat cedera stres repetitif, tennis elbow juga dapat terjadi karena trauma
langsung. Kondisi ini sering ditemukan pada para pemain tenis, terutama pada mereka yang
tidak profesional, dan belum memiliki teknik bermain tenis yang baik. Epikondilitis lateral
terjadi karena kontraksi repetitif pada otot-otot extensor lengan bawah, terutama pada origo
extensor carpi radialis brevis (ECRB), yang mengakibatkan robekan mikro lalu degenerasi
tendon, perbaikan yang imatur,hingga menimbulkan tendinosis.
Gambar. Gerakan backhand pada tenis yang menimbulkan tarikan pada epikondilus
lateral.
Selain gaya mekanik yang mengakibatkan stres varus berlebihan pada ECRB, posisi
anatomi tendon ECRB yang langsung berhimpitan dengan aspek lateral capitellum
menyebabkan tendon tersebut mudah mengalami abrasi berulang selama proses extensi
elbow. Hipovaskularitas permukaan bawah tendon juga berkontribusi dalam proses
degenerasi dan tendinosis.
27
Gambar: A. Gambaran histologis tendinosis angiofibroplastic ( angiofibroblastic
tendinosis) pada tennis elbow, terjadi disorganisasi kolagen normal akibat invasi fibroblast.
B. Tendon normal.
Pada pemeriksaan umum, tendon yang mengalami tennis elbow akan berwarna abu-abu
dan rapuh. Awalnya, banyak yang menduga bahwa epikondilitis terjadi karena adanya proses
inflamasi yang melibatkan bursa humeral radial, synovium, dan ligamentum annular. Pada
tahun 1979, Nirschl dan Pettrone menemukan adanya disorganisasi arsitektur kolagen normal
akibat invasi fibroblast yang berhubungan erat dengan respon reparatif vaskuler yang imatur,
yang disebut juga dengan istilah “hiperplasia angiofibroplastik”. Proses itu kemudian dikenal
dengan nama “tendinosis angiofibroplastik” karena tidak ada satu pun sel radang yang
teridentifikasi. Karena inflamasi bukanlah faktor yang signifikan dalam epikondilitis, maka
istilah tendinosis merupakan istilah yang paling tepat untuk menggambarkan tennis Elbow.
1.2.4. Manifestasi Epicondylitis Lateral
Onset gejala biasanya timbul dalam 24-72 jam setelah melakukan aktivitas extensi
pergelangan tangan secara berulang-ulang. Manifestasi gejala terlambat timbul karena adanya
robekan mikroskopik pada tendon.
Pasien mengeluhkan nyeri pada lateral elbow yang akan semakin memburuk ketika
pasien beraktivitas dan membaik setelah pasien beristirahat. Pasien juga merasakan kondisi
yang mengganggu saat melakukan aktivitas tertentu seperti ketika pasien melakukan pukulan
backhand tenis atau menggunakan obeng secara berlebihan.
Nyeri biasanya bersifat tajam, intermiten, dan menjalar ke bawah melalui aspek
posterior lengan bawah. Terkadang, pasien dapat menentukan lokasi nyerinya di sekitar 1,5
28
cm dari distal origo ECRB. Nyeri yang dialami oleh pasien bervariasi, mulai dari yang paling
ringan (seperti rasa mengganggu ketika melakukan aktivitas berat seperti bermain tennis atau
menggunakan alat tangan secara berulang-ulang), atau nyeri berat yang terpicu oleh aktivitas
sederhana seperti hendak mengambil dan memegang gelas kopi. Secara umum, pasien tennis
elbow akan mengeluhkan penurunan kekuatan ketika melakukan gerakan menggenggam,
supinasi, dan extensi pergelangan tangan.
Sekitar sepertiga kasus tennis elbow berhubungan dengan aktivitas hidup sehari-hari.
Sehingga menanyakan riwayat pekerjaan dan aktivitas sehari-hari merupakan salah satu hal
yang penting dalam menegakkan diagnosis. Selain tennis, aktivitas lain juga dapat
menimbulkan tennis elbow.
1.2.5. Diagnosis Epicondylitis Lateral
Dari anamnesis, dapat diketahui bahwa pasien tennis elbow datang ke dokter karena
keluhan utama nyeri di daerah lateral elbow, yang menjalar ke regio extensor. Pada umumnya
mereka berusia antara 20-50 tahun, dan mayoritas berusia di atas 30 tahun. Pasien sering kali
melaporkan bahwa onset timbulnya nyeri sulit diketahui, namun hal itu berhubungan erat
dengan riwayat penggunaan tangan secara berlebihan (pada tangan dominan) tanpa adanya
trauma spesifik.
PEMERIKSAAN FISIK
INSPEKSI
Pada inspeksi, sulit untuk menegakkan diagnosis tennis elbow karena biasanya tidak
ditemukan adanya hematoma maupun edema pada lateral elbow. Namun pada pasien tennis
elbow yang sudah kronik, dapat ditemukan atrofi otot-otot extensor. Meskipun tidak mungkin
menegakkan diagnosis tennis elbow hanya dengan inspeksi, kita tidak boleh mengabaikan
pemeriksaan ini sebab jika kita menemukan adanya eritema, pembengkakan atau pun lesi lain
pada elbow, maka hal tersebut justru akan menyingkirkan diagnosis tennis elbow.
PALPASI
Dari palpasi, ada beberapa jenis pemeriksaan provokatif yang dapat dilakukan antara
lain:
1. Penekanan pada lateral elbow
Nyeri maksimal dapat timbul ketika dilakukan penekanan pada daerah sekitar 1-2 cm
dari distal origo ECRB di epikondilus lateral. Apabila tanda ini tidak ditemukan, maka kita
dapat menyingkirkan diagnosis tennis elbow.
29
Gambar. Tes penekanan pada lateral elbow
2. Tes Maudsley
Pasien diminta untuk melakukan extensi jari ketiga (jari tengah) tangan lalu pemeriksa
menahan extensi tersebut sambil mempalpasi epikondilus lateral. Hal itu akan menimbulkan
ketegangan pada otot extensor digitorum dan tendon. Hasil positif terjadi apabila pasien
merasakan nyeri pada epikondilus lateral. Bila positif, berarti pasien menderita tennis elbow.
Gambar. Tes Maudsley.
3. Tes Mill
Pemeriksa meminta pasien agar memflexikan elbow dan pergelangan tangan, sambil
memperhatikan tiap nyeri yang timbul pada epikondilus lateral. Hasil positif bila pasien
merasakan nyeri pada epikondilus lateral.
30
Gambar. Tes Mill.
4. Tes Cozen
Pemeriksa menstabilisasi elbow dengan cara meletakkan ibu jari pada epikondilus
lateral. Lalu pasien diminta untuk mengepalkan tangan sambil mempronasikan lengan bawah
secara radial lalu pasien mengextensikan pergelangan tangan sambil melawan tahanan yang
diberikan oleh pemeriksa. Atau pemeriksa dapat memflexikan dan mengextensikan lengan
bawah pasien secara pasif. Semua tindakan itu akan menimbulkan nyeri apabila pasien
menderita tennis elbow.
5. Tes Mengangkat Kursi (Chair Test)
Pasien diminta untuk mengangkat sebuah kursi dengan bahu di-adduksi, kemudian
elbow diextensi, dan pergelangan tangan dipronasi. Tindakan seperti itu akan mempresipitasi
nyeri Jika pasien merasakan nyeri pada epikondilus lateral, berarti chair test positif dan itu
salah satu indikasi yang menunjukkan bahwa pasien mengalami tennis elbow.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan radiologis biasanya dijadikan alat diagnostik cadangan untuk kasus-kasus
yang telah refrakter terhadap terapi non-bedah, untuk mengeksklusi abnormalitas lain, dan
untuk memeriksa luasnya kerusakan tendon. Secara umum, pemeriksaan radiologis yang
dapat dilakukan adalah X-ray, CT-scan, MRI, dan USG.(1,3,4)
1. X-Ray
Pemeriksaan X-ray biasanya dilakukan dengan tujuan untuk mengeksklusi abnormalitas
lain. Gambaran yang dapat ditemukan dari pemeriksaan X-ray pada tennis elbow adalah
deposisi kalsium (kalsifikasi) pada daerah yang berdekatan dengan epikondilus lateral.
2. USG
Sensitivitas USG untuk mendiagnosis tennis elbow adalah 72-88%, sedangkan
spesifisitasnya adalah 36-62,5%, namun ada juga penelitian yang melaporkan bahwa
spesifisitasnya mencapai 67-100%, terutama untuk pasien-pasien yang simptomatik. Dari
31
pemeriksaan USG, diagnosis tennis elbow dapat ditegakkan apabila pada tendon extensor
communis ditemukan salah satu gambaran berikut ini:
- Robekan linear intrasubtansi
- Penebalan tendon
- Kalsifikasi intratendinosus
- Iregularitas tulang pada yang berdekatan
- Fokal hipoekoik regional
- Enthesophytes pada insersi tendon
- Cairan peritendinosus
Gambar. USG longitudinal pada tendon extensor communis pasien tennis elbow, tanda
panah menunjukkan fokus hipoekoik linear yang sesuai dengan robekan intrasubstansi.
Gambar. USG longitudinal pada tendon extensor communis pasien tennis elbow, tanda
panah yang atas menunjukkan tendon yang mengalami kalsifikasi, sedangkan tanda panah
yang bawah menunjukkan iregularitas tulang yang dekat dengan tendon extensor communis.
32
Gambar. USG longitudinal pada tendon extensor communis pasien tennis elbow, tanda
bintang menunjukkan tendon yang terlepas dari tulang yang disertai dengan cairan
peritendinosus, sedangkan tanda panah menunjukkan enterofit pada tulang.
1.2.6. Diagnosa Banding Epicondylitis Lateral
Sindrom radial tunnel
Penyakit ini ditandai oleh adanya nyeri dan kelemahan pada sisi lateral siku
setelah pasien melakukan aktivitas berupa extensi siku atau rotasi lengan
bawah secara berlebihan. Gejalanya sangat mirip dengan epikondilitis lateral,
hanya saja area nyeri pada sindrom radial tunnel adalah sekitar empat jari ke
arah distal epikondilus lateral. Untuk benar-benar menyingkirkan diagnosis,
kita dapat melakukan pemeriksaan elektromiografi.
Bursitis olekranon
Pada bursitis olekranon, biasanya gejala diawali oleh adanya riwayat trauma,
perdarahan, sepsis atau riwayat rematik. Pada pemeriksaan fisis, kita dapat
menemukan adanya efusi sendi siku dan eritema pada kulit siku, pada
epikondilitis lateral kita tidak akan menemukan adanya tanda-tanda eritema.
Pada bursitis olekranon, nyeri dapat timbul ketika dilakukan penekanan pada
olekranon sedangkan pada epikondilitis lateral, nyeri timbul saat dilakukan
penekanan pada epikondilus lateral.
Epikondilitis medial (golfer elbow)
Pasien epikondilitis medial biasanya memiliki riwayat aktivitas sering
melakukan gerakan flexi seperti bermain golf. Nyeri siku yang timbul pada
epikondilitis medial dipresipitasi oleh gerakan flexi dan supinasi, berbeda
dengan tennis elbow yang justru dipicu oleh gerakan extensi dan pronasi.
1.2.7.Tatalaksana Epicondylitis Lateral
33
Terapi Fase Akut
Untuk tennis elbow fase akut, maka kita harus memberlakukan regimen R.I.C.E seperti
halnya cedera jaringan lunak lainnya.
Hal tersebut melibatkan prosedur:
- Rest (istirahat)
- Ice (es)
- Compression (kompres)
- Elevation (elevasi)
Gambar Prosedur RICE untuk epikondilitis lateral.
Bila terapi tersebut tidak berhasil, maka kita dapat melanjutkannya dengan:
Terapi Konservatif
Terapi konservatif yang dapat diberikan pada pasien tennis elbow antara lain:
1. NSAID (Non-steroidal anti-inflammatory drugs)
NSAID dapat digunakan sebagai analgesia untuk pasien tennis elbow. Ada banyak
pilihan NSAID yang dapat digunakan yakni diclofenac, naproxen, ibuprofen, dan inhibitor
siklooksigenase. Obat-obatan tersebut dapat digunakan secara topikal maupun sistemik.
Meskipun memiliki banyak golongan, namun secara umum, profil khasiat NSAID hampir
sama.
NSAID dapat menghambat inflamasi dengan cara menghambat sintesis prostaglandin.
Meskipun tennis elbow bukanlah suatu proses inflamasi, namun berbagai penelitian telah
membuktikan bahwa penggunaan NSAID dapat mengurangi gejala tennis elbow. Namun
penggunaan NSAID dalam jangka panjang tidak dianjurkan karena adanya efek samping pada
traktus gastrointestinal dan ginjal.
2. Kortikosteroid
Jenis kortikosteroid yang digunakan untuk terapi tennis elbow sebaiknya yang memiliki
efek anti-inflamasi yang kuat seperti triamcinolone dan betamethasone. Dan pemberiannya
harus dilakukan secara intra-artrikuler untuk mengurangi efek sistemik.
34
Gambar. Injeksi kortikosteroid pada epikondilus lateral.
Triamcinolone dan betametahsone dapat menurunkan inflamasi dengan cara menekan
migrasi leukosit polimorfonuklear dan memperbaiki permeabilitas kapiler. Banyak dokter
yang lebih suka menggunakan betamethasone karena agen ini tidak mengalami kristalisasi
ketika dicampurkan dengan sediaan anestetik yang bebas paraben.
Terapi ini terkadang juga dikombinasikan dengan anestetik lokal; salah satu kombinasi
yang sering digunakan adalah 0,5 cc Xylocaine 2% dan 0,5 cc methylprednisolone.
3. Vasodilator
Vasodilator dapat diberikan pada pasien tennis elbow karena agen ini dapat
menstimulasi sintesis kolagen dan membantu proses penyembuhan. Selain itu vasodilator
dapat mengurangi gejala nyeri. Vasodilator yang dianjurkan adalah nitrogliserin transdermal.
Obat ini dapat menyebabkan relaksasi otot pembuluh darah dengan cara menstimulasi
produksi guanosine monofosfat intraseluler.
4. Botulinum
Botulinum telah terbukti dapat menurunkan gejala nyeri dengan cara memblokade
pelepasan asetilkolin, sehingga menimbulkan denervasi kimiawi pada sistem saraf simpatetik
dan perifer. Namun penggunaan botulinum harus dilakukan secara hati-hati karena efek
sampingnya dapat menimbulkan kelumpuhan pada otot-otot pernapasan.
Terapi Fisik
Banyak ahli yang menyarankan terapi fisik untuk pasien-pasien tennis elbow dengan
cara memberikan stressing pada insersi ECRB melalui latihan gerakan eksentrik dan
konsentrik. Diharapkan dengan terapi ini maka akan terbentuk jaringan kolagen yang padat
pada area insersi ECRB, sehingga rasa nyeri akan tereliminasi.
Terapi fisik seperti ini murah dan cukup efektif dalam mengatasi gejala tennis elbow.
Namun sebelum melakukan gerakan-gerakan seperti itu, kita harus memberikan memberikan
35
konseling pada pasien mengenai adanya efek eksarsebasi nyeri ketika sedang melakukan
latihan.
Penggunaan Ortosis atau Bebat Counterforce (Counterforce bracing)
Penggunaan bebat counterforce dilakukan untuk mengurangi gaya tension (tegangan)
pada tendon extensor pergelangan tangan, dan ortotik jenis ini lebih unggul dalam mengatasi
tennis elbow jika dibandingkan dengan bebat biasa. Bebat ini harus diletakan kira-kira 10 cm
di arah distal sendi elbow. Penggunaan bebat counterforce selama tiga minggu pada
epikondilitis lateral, dapat menurunkan nyeri dan meningkatkan kekuatan genggaman. Namun
beberapa ahli menganggap bahwa terapi ini tidak memberikan manfaat sama sekali dalam
mengatasi tennis elbow. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa terapi ini masih kurang
superior jika dibandingkan dengan terapi NSAID topikal dan injeksi kortikosteroid.
Terapi Pembedahan
Jika semua terapi konservatif gagal dalam mengatasi tennis elbow, maka kita harus
melakukan pemeriksaan radiologis guna menyingkirkan kemungkinan adanya kelainan lain
yang menyertai tennis elbow dan mempertimbangkan terapi pembedahan.
Ada dua jenis pembedahan untuk mengatasi tennis elbow, yakni operasi terbuka dan
operasi dengan bantuan arthroskopi.
Operasi Terbuka
Operasi terbuka merupakan jenis pendekatan yang paling sering digunakan untuk
mengatasi tennis elbow. Ada beberapa teknik operasi terbuka yang dapat dilakukan untuk
mengatasi tennis elbow yakni:
- teknik ablasi origo extensor communis,
- teknik melepaskan aponeurosis extensor dari epikondilus lateral (Hohmann),
- reseksi ligamentum orbikularis (Bosworth),
- denervasi sendi radiohumeral (Kaplan)
- prosedur Nirschl
Prosedur Nirschl
Prosedur Nirschl yang dimodifikasi merupakan salah satu metode yang paling sering
digunakan. Teknik ini memang tidak bisa mengeksplorasi sendi radiohumeral, namun
perdarahan pada teknik ini lebih minimal, prosedurnya lebih singkat, dan biayanya lebih
murah.
36
Gambar. Foto intraoperatif prosedur Nirschl. Tanda panah menunjukkan adanya
robekan pada origo ECRB. Diskolorisasi abu-abu keputihan pada tendon mengindikasikan
adanya degenerasi.
Prinsip utama prosedur Nirschl adalah memperpanjang origo muskulofascial pada
pergelangan tangan dan extensor jari tangan. Prosedur ini diawali dengan memisahkan
extensor digitorum brevis dan extensor carpi radialis untuk memudahkan akses ke ECRB.
Bagian ECRB yang mengalami degenerasi dan sisi extensor digitorum brevis yang ada di
dekatnya dieksisi. ECRB yang telah dipotong tidak perlu disambung kembali karena struktur
ini didukung oleh perlekatan fascia yang ada di dekatnya sehingga bisa mencegah retraksi
distal. Lalu kita membuat lubang di epikondilus, dan semua traksi spur disingkirkan.
Kemudian extensor carpi radialis longus dan extensor digitorum communis diperbaiki, setelah
itu luka ditutup.
Rehabilitasi
Setelah menjalani pembedahan, terutama operasi terbuka, tangan yang dioperasi harus
diimobilisasi dengan menggunakan bebat. Setelah 1 minggu, bebat dan jahitan dapat
dilepaskan.
Jika bebat telah dilepaskan, maka kita harus segera memulai latihan fisik dengan
melakukan gerakan peregangan siku dan mengembalikan flexibilitas siku. Latihan penguatan
siku dapat dimulai dalam 2 bulan setelah pembedahan. Sedangkan untuk latihan atletik yang
jauh lebih berat, biasanya akan dimulai dalam 4 hingga 6,minggu setelah operasi.
37
Alur tatalaksana Tennis Elbow
American Family Physician (AFP) merekomendasikan suatu alur penatalaksanaan untuk
mengatasi tennis elbow. Bila anamnesis dan pemeriksaan fisis sudah konsisten dengan diagnosis
epikondilitis lateral, maka pendekatan terapi yang pertama kali dianjurkan adalah pengendalian
inflamasi dengan memberikan NSAID topikal atau oral, modifikasi gaya hidup, koreksi biomekanik
dan implementasi latihan fisik. Untuk melakukan hal tersebut, kita dapat mempertimbangkan
penggunaan bebat counterforce.
1.3. Tenovaginitis Stenosans (De Quervain Syndrome)
1.1.1. Definisi De Quervain Syndrome
De Quervain’s syndrome merupakan penyakit dengan nyeri pada daerah prosesus
stiloideus akibat inflamasi kronik pembungkus tendon otot abduktor polisis longus dan
ekstensor polisis brevis setinggi radius distal dan jepitan pada kedua tendon tersebut. De
Quervain’s syndrome atau tenosinovitis stenosans ini merupakan tendovaginitis kronik yang
disertai penyempitan sarung tendon. Sering juga ditemukan penebalan tendon.
38
1.1.2. Etiologi De Quervain Syndrome
Trauma minor yang berulang-ulang umumnya memberikan kontribusi terhadap
perkembangan penyakit de Quervain’s syndrome. Aktivitas-aktivitas yang mungkin
menyebabkan trauma ulangan pada pergelangan tangan termasuk faktor pekerjaan, sekretaris,
olahraga golf, atau permainan olahraga yang menggunakan raket.
Faktor-faktor lain yang mungkin dapat memberikan kontribusi terjadinya de
Quervain’s syndrome antara lain : penyebab yang pasti tidak diketahui, tetapi inflamasi
tendon yang terjadi berhubungan dengan gesekan yang berlebihan / berkepanjangan antara
tendon dan pembungkusnya, terjadi misalnya pada wanita yang pekerjaannya memeras kain.
De Quervain’s syndrome adalah stenosis pada tendon sheath kompartemen dorsal
pertama pergelangan tangan. Kompartemen ini terdiri dari tendon otot abduktor polisis
longus dan otot ekstensor polisis brevis.
1.1.3. Patofisologi De Quervain Syndrome
Pada trauma minor yang bersifat repetitif atau penggunaan berlebih pada jari-jari
tangan (overuse) menyebabkan malfungsi dari tendon sheath. Tendon sheath yang
memproduksi cairan sinovial mulai menurun produksi dan kualitas cairannya.Akibatnya,
pada penggunaan jari-jari selanjutnya terjadi pergesekan otot dengan tendon sheath karena
cairan sinovial yang berkurang tadi berfungsi sebagai lubrikasi. Sehingga terjadi proliferasi
jaringan ikat fibrosa yang tampak sebagai inflamasi dari tendon sheath. Proliferasi ini
menyebabkan pergerakan tendon menjadi terbatas karena jaringan ikat ini memenuhi hampir
seluruh tendon sheath. Terjadilah stenosis atau penyempitan pada tendon sheath tersebut
dan hal ini akan mempengaruhi pergerakan dari kedua otot tadi. Pada kasus-kasus lanjut akan
terjadi perlengketan tendon dengan tendon sheath.
Pergesekan otot-otot ini merangsang nervus yang ada pada kedua otot tadi sehingga
terjadi perangsangan nyeri pada ibu jari bila digerakkan yang sering merupakan keluhan
utama pada penderita penyakit ini. Pembungkus fibrosa dari tendon abduktor polisis longus
dan ekstensor polisis brevis menebal dan melewati puncak dari prosesus stiloideus radius.
1.1.4. Manifestasi De Quervain Syndrome
39
Gejala yang timbul berupa nyeri bila menggunakan tangan dan menggerakkan kedua
otot tersebut yaitu bila menggerakkan ibu jari, khususnya tendon otot abduktor polisis longus
dan otot ekstensor polisis brevis.
1.1.5. Diagnosis De Quervain Syndrome
Pada pemeriksaan fisik, terdapat nyeri tekan pada daerah prosesus stiloideus radius,
kadang-kadang dapat dilihat atau dapat teraba nodul akibat penebalan pembungkus fibrosa
pada sedikit proksimal prosesus stiloideus radius, serta rasa nyeri pada adduksi pasif dari
pergelangan tangan dan ibu jari. Bila tangan dan seluruh jari-jari dilakukan deviasi ulnar,
penderita merasa nyeri oleh karena jepitan kedua tendo di atas dan disebut uji Finkelstein
positif.
Tanda-tanda klasik yang ditemukan pada de Quervain’s syndrome adalah tes
Finkelstein positif. Cara melakukannya adalah dengan menyuruh pasien untuk mengepalkan
tanganya dimana ibu jari diletakkan di bagian dalam dari jari-jari lainnya. Pemeriksa
kemudian melakukan deviasi ulnar pasif pada pergelangan tangan si pasien yang dicurigai
di mana dapat menimbulkan keluhan utama berupa nyeri pergelangan tangan daerah
dorsolateral.
Lakukan tes Finskelstein secara bilateral untuk membandingkan dengan bagian yang
tidak terkena. Hati-hati memeriksa ”the first carpometacarpal (CMC) joint” sebab bagian ini
dapat menyebabkan tes Finskelstein positif palsu. Selain dengan tes Finkelstein harus
diperhatikan pula sensorik dari ibu jari, refleks otot-otot, dan epikondilitis lateral pada tennis
elbow untuk melihat sensasi nyeri apakah primer atau merupakan referred pain.
Pemeriksaan laboratorium tidak ada yang spesifik untuk menunjang diagnosis penyakit
ini. Kadang dilakukan pemeriksaan serum untuk melihat adanya faktor rheumatoid untuk
mengetahui penyebab penyakit ini, tetapi hal ini juga tidak spesifik karena beberapa penyakit
lain juga menghasilkan faktor rheumatoid di dalam darahnya.
Pemeriksaan radiologik secara umum juga tidak ada yang secara spesifik menunjang
untuk mendiagnosis penyakit ini. Akan tetapi, penemuan terbaru dalam delapan orang pasien
yang dilakukan ultrasonografi dengan transduser 13 MHz resolusi tinggi diambil potongan
aksial dan koronal didapatkan adanya penebalan dan edema pada tendon sheath. Pada
40
pemeriksaan dengan MRI terlihat adanya penebalan pada tendon sheath tendon otot ekstensor
polisis brevis dan otot abduktor polisis longus. Pemeriksaan radiologis lainnya hanya dipakai
untuk kasus-kasus trauma akut atau diduga nyeri oleh karena fraktur atau osteonekrosis.
1.1.6. Tatalaksana De Quervain Syndrome
Penatalaksanaan yang dilakukan adalah dengan terapi konservatif dan intervensi bedah.
Pada terapi konservatif kasus-kasus dini, sebaiknya penderita menghindari pekerjaan yang
menggunakan jari-jari mereka. Hal ini dapat membantu penderita dengan
mengistirahatkan (immobilisasi) kompartemen dorsal pertama pada ibu jari (polluks) agar
edema lebih lanjut dapat dicegah. Idealnya, immobilisasi ini dilakukan sekitar 4-6 minggu.
Kompres dingin pada daerah edema dapat membantu menurunkan edema (cryotherapy). Jika
gejala terus berlanjut dapat diberikan obat-obat anti inflamasi baik oral maupun injeksi.
Beberapa obat oral dan injeksi yang diberikan sebagai berikut :
Nonsteroid anti-inflammatory drugs
Ibuprofen yang merupakan drug of choice untuk pasien dengan nyeri
sedang. Bekerja sebagai penghambat reaksi inflamasi dan nyeri dengan
jalan menghambat sintesa prostaglandin. Dosis dewasa 200 - 800 mg,
sedangkan dosis untuk anak-anak usia 6-12 tahun 5-10 mg/kgBB/hari.
Untuk anak > 12 tahun sama dengan dewasa. Adapun kontra indikasi
pemberian obat ini adalah adanya riwayat hipersensitif, ulkus peptikum,
perdarahan gastrointestinal atau perforasi, insufisiensi ginjal, atau resiko
tinggi terjadinya perdarahan. Interaksi obat dengan aspirin dapat
meningkatkan efek samping dari obat ini, kombinasi dengan probenesid
dapat meningkatkan konsentrasi obat di dalam darah. Pada pasien - pasien
dengan hipertensi, dapat diberikan kombinasi antara obat ini dengan obat
antihipertensi. Obat ini tidak aman diberikan untuk wanita hamil terutama
kehamilan pada trimester ketiga (berpotensi untuk menyebabkan menutupnya
duktus arteriosus).
Kortikosteroid
Digunakan sebagai anti inflamasi karena dapat mensupresi migrasi dari
sel-sel polimorfonuklear dan mencegah peningkatan permeabilitas kapiler.
Pada orang dewasa dapat diberikan dosis 20-40 mg metilprednisolon atau
dapat juga diberikan hidrokortison yang dicampur dengan sedikit obat anestesi
lokal misalnya lidokain. Campuran obat ini disuntikkan pada tendon
sheath dari kompartemen dorsal pertama yang terkena.
41
1.4. Trigger Finger
1.4.1. Definisi Trigger Finger
Trigger finger atau tenosynovitis stenosing juga dikenal dengan nama jari yang macet.
Dimana pasien bercerita tentang jarinya yang macet. Setelah mengepal jari-jari yang sehat
dapat diluruskan dengan mudah, tetapi jari yang macet itu tetap berada dalam keadaan fleksi
di sendi interphalangeal proksimal.
Trigger finger adalah gangguan umum yang sering terjadi dan ditandai dimana jari
yang dibengkokkan tibe-tiba tidak dapat diluruskan kembali serta berhubungan dengan
disfungsi dan nyeri yang disebabkan penebalan setempat pada suatu tendo fleksor, dalam
kombinasi dengan adanya penebalan di dalam selubung tendon pada tempat yang sama.
Trigger Finger
1.1.1. Etiologi Trigger Finger
Penyebab potensial trigger finger telah dapat dijelaskan, tetapi etiologi tetap idiopatik,
artinya penyebabnya tidak diketahui. Kemungkinan disebabkan oleh trauma lokal dengan
stres dan gaya degeneratif. Ada yang menghubungkan penyebab trigger finger karena
penggunaan fleksi tangan yang terus-menerus dan pada tiap individu sering dengan penyebab
multifaktor. Oleh karena itu sering disebut dengan tenosinovitis stenosing (stenosans
tenovaginitis khusus pada jari). Stenosing berarti penyempitan terowongan atau tabung seperti
struktur (selubung tendon). Tenosynovitis berarti radang tendon.
Pasien dengan riwayat penyakit collagen vascullar seperti rheumatoid artritis, diabetes
mellitus, arthitis psoriatis, amyloidosis, hipotiroid, sarkoidosis, dan pigmented vilonodular
synovitis memiliki faktor resiko lebih besar terkena trigger finger dibandingkan orang yang
yang tidak memiliki riwayat tersebut.
Mekanisme terjadinya keadaan ini adalah adanya aktifitas-aktifitas fisik yang berat dan
berulang-ulang pada orang yang mempunyai kecenderungan pengumpulan cairan di sekitar
tendon dan sendinya seperti pasien diabetes mellitus dan rheumatoid artritis. Pengumpulan
cairan disekitar tendon ini menyebabkan terjadinya penebalan nodule tendon (biasanya pada
42
tendon m.flexor digitorum profundus) sehingga tendon yang bengkak ini bisa mengganggu
gerakan normal pada tendon. Adanya pembengkakan ini mudah sekali tendon terjepit
sehingga jari susah untuk difleksikan (macet) atau terkunci pada posisinya dan mengakibatkan
jari terasa sakit dan mengeluarkan suara “klik” apabila usaha lebih keras diberikan.
Kejadian trigger finger kongenital umumnya disebabkan oleh adanya nodul pada
tendon fleksor polisis longus. Sementara pada orang dewasa, beberapa kasus yang
terjadi mungkin berhubungan dengan trauma berulang. Lebih dari satu penyebab potensial
telah dijelaskan, tetapi etiologi tetap diopatik, artinya penyebabnya tidak diketahui. Keadaan
ini sering disebut dengan tenosinovitis stenosing (stenosans tenovaginitis khusus pada
jari), tapi hal ini mungkin keliru, karena radang bukan fitur dominan pada keadaan ini
1.1.2. Patofisiologi Trigger Finger
Tendon adalah jaringan ikat yang menghubungkan otot ke tulang. Setiap otot memiliki
dua tendon, yang masing-masing melekat pada tulang. Pertemuan tulang bersama dengan otot
membentuk sendi. Ketika otot berkontraksi, tendon akan menarik tulang, sehingga terjadi
gerakan sendi. Tendon pada jari-jari melewati ligamen, yang bertindak sebagai katrol.
Pada trigger finger terjadi peradangan dan hipertrofi dari selubung tendon yang
semakin membatasi gerak fleksi dari tendon. Selubung ini biasanya membentuk sistem katrol
yang terdiri dari serangkaian sistem yang berfungsi untuk memaksimal kekuatan fleksi dari
tendon dan efisiensi gerak di metakarpal. Nodul mungkin saja dapat membesar pada tendon,
yang menyebabkan tendon terjebak di tepi proksimal katrol ketika pasien mencoba untuk
meluruskan jari, sehingga menyebabkan kesulitan untuk bergerak. Ketika upaya lebih kuat
dibuat untuk meluruskan jari, dengan menggunakan kekuatan lebih dari ekstensor jari atau
dengan menggunakan kekuatan eksternal (dengan mengerahkan kekuatan pada jari dengan
tangan lain), jari macet yang terkunci tadi terbuka dengan menimbulkan rasa sakit yang
signifikan pada telapak distal hingga ke dalam aspek proksimal digit. Hal yang kurang umum
terjadi antara lain nodul tadi bergerak pada distal katrol, mengakibatkan kesulitan pasien
meregangkan jari.
Sebuah nodul dapat meradang dan membatasi tendon dari bagian bawah jalur yang
melewati katrol. Jika nodul terdapat pada distal katrol, maka jari dapat macet dalam posisi
yang lurus. Sebaliknya, jika benjolan terdapat pada proksimal dari katrol, maka jari pasien
dapat macet dalam posisi tertekuk.
1.1.3. Manifestasi Klinis Trigger Finger
Diagnosa dibuat secara eksklusif dengan anamnesa yang menyeluruh dan pemeriksaan
fisik. Trigger finger dapat mengenai lebih dari satu jari pada satu waktu, meskipun biasanya
43
lebih sering terjadi pada ibu jari, tengah, atau jari manis. Trigger finger biasanya lebih
menonjol di pagi hari, atau saat memegang obyek dengan kuat.
Gejala ini muncul biasanya dimulai tanpa adanya cidera. Gejala-gejala ini termasuk
adanya benjolan kecil, nyeri di telapak tangan, pembengkakan, rasa tidak nyaman di jari dan
sendi. Kekakuan akan bertambah jika pasien tidak melakukan aktifitas, misalnya saat anda
bangun pagi dan kadang kekakuan akan berkurang saat melakukan aktifitas. Kadang-kadang
jika tendon terasa bebas bisa bergerak tegak akan dirasakan sendi seperti terjadi "dislokasi"
atau pergeseran sendi.Pada Kasus kasus yang berat jari tidak dapat diluruskan bahkan dengan
bantuan. Pasien dengan diabetes biasanya akan terkena lebih parah
Pada tingkat sendi palmaris distal, nodul bisa teraba lembut, biasanya di atas sendi
metakarpofalangealis (MCP). Jari yang terkena bisa macet dalam posisi menekuk (lihat
gambar di bawah) atau (kurang biasa) posisi diperpanjang. Ketika pasien berusaha untuk
memindahkan angka lebih kuat melampaui pembatasan, angka mungkin cepat atau memicu
melampaui pembatasan.
Trigger finger dapat sangat menyakitkan bagi pasien. Dalam kasus yang parah, pasien
tidak mampu untuk menggerakkan jari yang melampaui rentang gerak. Pada ibu jari yang
macet, pada palpasi yang lembut dapat ditemukan nodul pada aspek palmar sendi MCP
pertama dari sendi palmaris distal.
1.1.4. Diagnosis Trigger Finger
Secara umum penegakan diagnosis pada Trigger Finger cukup dengan pemeriksaan
fisik saja, tidak ada tes laboratorium yang diperlukan dalam diagnosis jari macet. Jika ada
kecurigaan tentang kondisi, adanya diagnosis yang terkait, seperti diabetes, rheumatoid
arthritis, atau penyakit lain pada jaringan ikat, antara lain, hemoglobin glikosilasi (HgbA1c),
gula darah puasa, atau faktor rheumatoid harus diperiksa. Secara umum, tidak ada pencitraan
yang diperlukan dalam kasus jari macet. Tidak ada tes lebih lanjut yang biasanya diperlukan.
Pemeriksaan Fisik
ROM ( Range of Motion) adalah jumlah maksimum gerakan yang mungkin dilakukan
sendi pada salah satu dari tiga potongan tubuh, yaitu sagital, transversal, dan frontal. Potongan
sagital adalah garis yang melewati tubuh dari depan ke belakang, membagi tubuh menjadi
bagian kiri dan kanan. Potongan frontal melewati tubuh dari sisi ke sisi dan membagi tubuh
menjadi bagian depan ke belakang. Potongan transversal adalah garis horizontal yang
membagi tubuh menjadi bagian atas dan bawah.
1. Finkelstein Test
Test dilakukan unutk mendeteksi adanya dequevein atau Hoffman disease atau dikenal
juga dengan nama styloditis radial. Pada kondisi ini terjadi peradangan pada tendo EPB dan
APL yang berada dalam satu selubung tendon. Finkelstein dengan cara pasien mengepalkan
44
tangannya, dimana ibu jari diliputi oleh jari-jari lainnya selanjutnya pemeriksa
menggerakkan wrist pasien kearah ulnar deviasi (Abduksi Ulnar). Positif jika timbul nyeri
yang hebat pada kedua tendo otot tersebut tepatnya pada procesus styloideus radial. Yang
memberikan indikasi adanya tenosynovitis pada ibu jari.
2. Test Phalen
Apabila terdapat penyempiatan pada terowongan carpal dipergelangan tangan bagian
volar yang dilintasi cabang nervus madinus, maka penekukan di wrist joint akan
menimbulkan rasa nyeri atau parestisia dikawasan n. Medianus. Pemeriksaan ini dilakukan
dengan cara palmar fleksi kedua wrist, lalu saling tekankan kedua dorsum manus satu
dengan lainnya sekuat-kuatnya. Tangan yang merasakan nyeri atau kesemutan memberi
indikasi bahwa terowongan karpal tersebut menyempit. Selain cara tersebut diatas tes
phalen dapat pula dilakukan dengan cara pergelangan tangan dipertahankan selama kira-kira
setengah menit dalam posisi palmar fleksi penuh, Jika posisi ini dierahankan cukup lama,
pada setiap orang akan timbuk rasa kesemutan, akan tetapi pada sindrom terowongan carpal
rasa kesemutan akan timbul dalam waktu yang sangat singkat, pasti dalam waktu 30 detik,
terkadang parestesia baru timbul saat pergelangan tangan digerakkan kembali dari posisi
palmar fleksi maksimal.
3. Tes Tinel Terowongan Carpal
Tes ini dilkukan dengan cara melakukan pengetokan/penekanan pada ligamentum
volare pergelangan tangan atau pada n. medianus akan menimbulkan nyeri kejut didalam
tangan serta arestesia dikawasan n. medianus apabila terowongan karpal menyempit seperti
halnya dengan sindrom carpal tunnel , meskipun didalam praktek tes ini tidak selalu positif.
4. Tes Elastisitas (Gangguan pengkerutan kulit)
Rendam area yang mengalami sensasi dengan air suam-suam kuku selama 30 menit
lalu keluarkan dari dalam air, selanjutnya lipat kulitnya, jika kulit tidak dapat dilipat indikasi
gangguan pengkerutan.
5. Circle Formation
Pemeriksaan ini bertujuan untuk memeriksa fungsi n. medians. Caranya posisi ibu jari
kejari telunjuk sehingga membentuk huruf O, jika tidak dapat dilakukan gerakan tersebut
indikasi kelemahan pada otot Interossei anterior, FDP dan FPL.
6. Froment’s Sign
45
Dalam hal ini pasien mencoba untuk memegang selembar kertas diantara ibu jari dan
jari telunjuk, ketika pemeriksa mencoba untuk menarik kertas tersebut keluar phalangs
terminal ibu jari fleksi, hal ini disebabkan karena paralysisi dari otot adductor pollicis yang
memberi indikasi tes positif. Tes ini member indikasi paralysis nervus ulnaris.
7. Allen Test
Pasien diminta untuk membuka dan menutup tangan beberapa kali secepat mungkin.
Ibu jari dan jari tangan pemeriksa diletakkan diatas arteri radial dan arteri ulnar, selanjutnya
pasien diminta untuk membuka tangan sementara penekanan diatas arteri tetap dilakukan.
Satu arteri yang ditest dibebaskan untuk melihat aliran darahnya. Demikian pula dengam
aretri lainnya. Kedua tangan diperiksa dan bandingkan . test ini untuk mengetahuti paten
dari arteri radial dan arteri ulnaris dan untuk mengetahui pembuluh darah arteri yang
banyak mensuplai tangan.
1.1.5. Tatalaksana Trigger Finger
a. Terapi Farmakologi
Pengobatan NSAID
Berikan pengobatan non steroid seperti aspirin, ibuprofen, naprosyn, atau ketoprofen.
Injeksi Korstikosteroid
Injeksi kortikosteroid untuk pengobatan trigger finger telah dilakukan sejak 1953.
Tindakan Ini harus dicoba sebelum intervensi bedah karena sangat efektif (hingga 93%),
terutama pada pasien non-diabetes dengan onset baru-baru ini terkena gejala dan satu digit
dengan nodul teraba. Hal ini diyakini bahwa injeksi kortikosteroid kurang berhasil pada
pasien dengan penyakit lama (durasi > 6 bulan), diabetes mellitus, dan keterlibatan beberapa
digit karena tidak mampu untuk membalikkan perubahan metaplasia chondroid yang terjadi
pada katrol A1. Injeksi diberikan secara langsung ke dalam selubung tendon, Namun, laporan
menunjukkan bahwa injeksi extra synovial mungkin efektif, sambil mengurangi risiko tendon
rupture (pecah). Pecah Tendon adalah komplikasi yang sangat jarang, hanya satu kasus yang
dilaporkan. Komplikasi lain termasuk atrofi kulit, nekrosis lemak, hipopigmentasi kulit
sementara elevasi glukosa serum pada penderita diabetes, dan infeksi. Jika gejala tidak hilang
setelah injeksi pertama, atau muncul kembali setelah itu, suntikan kedua biasanya lebih
mungkin untuk berhasil sebagai tindakan awal.
b. Terapi nonfarmakologi
Kompreskan es selama lima sampai lima belas menit pada daerah yang
bengkak dan nyeri.
46
Hindari aktifitas yang mengakibatkan tendon mudah teriritasi, seperti latihan
jari yang berulang-ulang.
Splinting
Tujuan splinting adalah untuk mencegah gesekan yang disebabkan oleh pergerakan
tendon fleksor melalui katrol A1 yang sakit sampai hilangnya peradangan. Secara umum
splinting merupakan pilihan pengobatan yang tepat pada pasien yang menolak atau ingin
menghindari injeksi kortikosteroid. Sebuah studi pekerja manual dengan interfalangealis
distal (DIP) di splint dalam ekstensi penuh selama 6 minggu menunjukkan pengurangan
gejala pada lebih dari 50% pasien.
Dalam studi lain, splint sendi MCP di 15 derajat fleksi (meninggalkan sendi PIP dan
DIP bebas) yang ditampilkan untuk memberikan resolusi gejala di 65% dari pasien pada
1tahun tindak lanjut. Untuk pasien yang paling terganggu oleh gejala mengunci di pagi hari,
splinting sendi PIP pada malam hari dapat menjadi efektif. splinting menghasilkan tingkat
keberhasilan yang lebih rendah pada pasien dengan gejala trigger finger yang berat atau lama.
Gambar. Teknik Splint
Pembedahan
Tindakan pembedahan dinilai sangat efektif pada trigger finger. Indikasi untuk
perawatan bedah umumnya karena kegagalan perawatan konservatif untuk mengatasi rasa
sakit dan gejala. Waktu operasi agak kontroversial dengan data yang menunjukkan
pertimbangan bedah setelah kegagalan baik tunggal maupun beberapa suntikan kortikosteroid.
Tindakan pembedahan ini pertama kali diperkenalkan oleh Lorthioir pada tahun
1958. Fungsi operasi biasanya bertujuan melonggarkan jalan bagi tendon yaitu dengan cara
membuka selubungnya. Dalam penyembuhannya, kedua ujung selubung yang digunting akan
menyatu lagi, tetapi akan memberikan ruang yang lebih longgar, sehingga tendon akan bisa
bebas keluar masuk. Dalam prosedur ini, sendi MCP adalah hyperextensi dengan telapak ke
atas, sehingga membentang keluar katrol A1 dan pergeseran struktur neurovaskular bagian
punggung. Setelah klorida dan etil disemprotkan lidokain disuntikkan untuk manajemen
nyeri, jarum dimasukkan melalui kulit dan ke katrol A1. Tingkat keberhasilan telah
dilaporkan lebih dari 90% dengan prosedur ini, namun penggunaan teknik ini berisiko cedera
saraf atau arteri.
47
Fisioterapi
Fisioterapi membantu menghilangkan masalah-masalah bengkak, nyeri, dan kekakuan
gerak pada bagian-bagian tangan yang lain, dimana tidak bisa dihilangkan dengan tindakan
operasi.
DAFTAR PUSTAKA
Akhtar S, Bradley MJ, Quinton DN, Burke FD. Management and referral for trigger finger / thumb.
BMJ. 2005 Jul 2;331:30-3
De Jong: Sjamsuhidajat R. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC.
Eroschenko V P. 2010. Atlas Histologi diFiore. Jakarta: EGC
Felson D.T., Osteoarthritis New Insights. Part 1 : The Disease and Its Risk Factors. Ann Intern Med,
2000; 133 : 637 – 639.
Felson D.,T. Osteoarthritis of the Knee. New England Journal of Medicine. 2006. 354 :8. p: 841 –
846.
48
Price S A., Wilson L M. 2010. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6. Jakarta :
EGC
Sherwood L. 2011. Fisiologi Manusia Edisi 6. Jakarta: EGC.
Snell Richard S. 2010. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6.Jakarta: EGC.
Walz DM, Newman JS, Konin GP, Ross G. Epicondylitis: Patho-genesis, Imaging, and Treatment.
RSNA. 2010 February; 30(1): p. 167-184.
49