crs asma kikk
DESCRIPTION
lkollTRANSCRIPT
CASE REPORT SESSION
ASMA BRONKIALE
DISUSUN OLEH :
Emmie Idyawatie 1301-1208-2161
Yohanes Ferdinand 1301-1208-0184
Mohd Faezal 1301-1208-2197
Preceptor :
Bachti Alisjahbana dr., SpPD-KPTI
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung
2008
I. Keterangan Umum
Nama : Ny. Tuti
Kelamin : Perempuan
Umur : 55 tahun
Alamat : Karasah, Tegalega
Status Perkawinan : Sudah menikah
Agama : Islam
Suku Bangsa : Sunda
Tgl. Masuk RS : 27 November 2008
Tgl. Pemeriksaan : 29 November 2008
II. Keluhan Utama
Sesak
III. Anamnesis Khusus
Sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, penderita merasakan sesak nafas.
Sesak nafas disertai dengan bunyi mengi dan yang terjadi terus menerus.Sesak
dirasakan bertambah dengan aktivitas dan berkurang bila penderita istirahat. Keluhan
demam, nyeri dada dan bengkak-bengkak pada tubuh disangkal penderita. Penderita
turut menyangkal tidur memerlukan banyak bantal. Penderita mengobati keluhannya
dengan menggunakan obat Asmasolon. Keluhan dirasakan berkurang setelah
mengambil obat. Atas keluhannya penderita dirujuk ke RSHS. Penderita mengaku
menderita batuk hilang timbul dengan dahak berwarna putih.
Penderita diketahui menderita asma sejak 10 tahun yang lalu. Penderita tidak
kontrol teratur dan hanya membeli obat dari apotek setiap kali terjadi serangan.
Keluhan sesak dirasakan timbul jika penderita kelelahan dan apabila terkena debu.
Serangan sesak dirasakan penderita 3 kali/minggu, dan timbul terutama pada malam
menjelang dini hari. Riwayat sering bersin-bersin, hidung berair apabila terkena debu
diakui penderita. Riwayat gatal-gatal kulit disangkal penderita. Penderita mengakui
memiliki alergi makanan (udang dan ikan). Riwayat keluhan serupa pada keluarga
disangkal. Riwayat keluarga dengan gatal kulit dan bersin-bersin disangkal. Penderita
tidak merokok dan tidak ada yang merokok di lingkungan sekitar penderita. Penderita
tinggal di daerah . Riwayat kontak dengan penderita batuk-batuk lama diakui yaitu
suami penderita dikatakan menderita paru-paru basah dan telah menjalani pengobatan
selama 1 tahun, pengobatan selesai pada tahun 1997. Riwayat menderita penyakit
darah tinggi dan kencing manis disangkal penderita. Riwayat alergi obat .
STATUS PRESEN
I. Kesan Umum
a. Keadaan Umum
Kesan sakit : Kompos mentis, sakit sedang
Tinggi badan : cm
Berat badan : kg
Gizi : Baik
Lain-lain : Tidak ada
b.Keadaan sirkulasi
Tekanan darah: 120/80 mmHg
Nadi : 88x/menit
-tipe : Equal
-isi : Cukup
-irama : Regular
Suhu : 36.70 C
c. Keadaan pernafasan
Frekuensi : 24 x/menit
Corak pernafasan : Thorakoabdominal
Inpirasi: ekspirasi
II. Pemeriksaan Khusus
a. Kepala
1. Tengkorak : Tidak ada kelainan
2. Muka : Simetris
3. Mata
Letak : Simetris
Palpebra : Tidak ada edema
Kornea : Jernih
Pupil : Isokor
Skera : Tidak ikterik
Konjungtiva : Tidak Anemis
Pergerakan : Kiri normal , kanan normal
Reaksi cahaya : Kiri normal , kanan normal
Refleks kornea : Kiri normal , kanan normal
4. Telinga : Tidak ada deformitas
5. Hidung
Pernafasan cuping hidung : Tidak ada
Perioral cyanosis : -
6. Bibir
Sianosis : Tidak ada
Kering : -
7. Gigi dan gusi : Tidak ada kelainan
8. Lidah :
Pergerakan : Normal
Permukaan : Bersih, tidak atrofi
Tremor : Tidak ada
Lain-lain : Tidak ada
9. Rongga mulut : Tidak ada kelainan
10. Rongga leher :
Pharing : Tidak hiperemis
Tonsil : T1-T1 tenang tidak hiperemis
11. Kelenjar parotis : Tidak membesar
b. Leher
-Inspeksi : Kelenjar tiroid : Tidak ada nodul
Pembesaran vena : Tidak ada
Pulsasi vena : JVP 5+2 cm H2O
Refluks hepato jugular : Tidak ada
-Palpasi : Kaku kuduk : Tidak ada
Kelenjar tiroid : Tidak membesar
Kelenjar getah bening : Tidak teraba membesar
-Lain-lain : Bruit : Tidak ada
c. Ketiak : KGB aksila tidak teraba membesar
d. Pemeriksaan Thorax
1. Thorax depan :
Inspeksi :
Bentuk Umum : Simetris
Sela iga : Tidak melebar
Pergerakan : Simetris
Skeletal : Tidak ada deformitas
Kulit : Tidak ada kelainan
Iktus cordis : Tidak terlihat
Tumor : Tidak ada
Pembesaran vena : Tidak ada
Palpasi :
Kulit : Nyeri tidak ada
Muskulatur : Tidak ada kelainan
Vokal fremitus : Kiri = kanan
Mammae : Tidak ada kelainan
Iktus cordis :
-lokalisasi : Linea midclavicularis sinistra ICS V
-intensitas : Tidak kuat angkat
-pelebaran : Tidak ada
-irama : Regular
-thrill : Tidak ada
Perkusi
Paru-paru : Kanan : Sonor
Kiri : Sonor
Batas paru hepar : ICS V
Peranjakan : 2 cm
Cor : Batas kanan : Linea sternalis
dekstra
Batas kiri : Linea midclavicularis
Sinistra ICS V
Batas atas : ICS III
Auskultasi
Paru-paru : Suara pernafasan : Vesikular
Vokal resonans : Kiri = kanan
Suara tambahan : Ronkhi -/+,
Wheezing +/+
Cor : Bunyi jantung : S1,S2normal,
S3,S4 tidak ada
Murmur : Tidak ada
2. Thorax belakang :
Inspeksi
Bentuk : Simetris
Pergerakan : Simetris
Skelet : Tidak ada deformitas
Palpasi
Vokal fremitus : Kiri = kanan
Auskultasi
Paru-paru : suara pernafasan : Vesikular
vokal resonans : Kiri = kanan
suara tambahan : Ronkhi -/-, wheezing +/+
e. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi
Bentuk : Datar
Kulit : Tidak ada kelainan
Pergerakan waktu nafas : Normal
Lain-lain : Tidak ada
Palpasi
Dinding perut : Lembut
Nyeri tekan : Tidak ada
Nyeri lokal : Tidak ada
Hepar
Pembesaran : Tidak ada
Nyeri tekan : (-)
Lien
Pembesaran : Tidak ada
Nyeri tekan : Tidak dapat dinilai
Ruang traube : Tidak terisi
Lain-lain : -
Ginjal
Pembesaran : Tidak ada
Nyeri tekan : Tidak dapat dinilai
Nyeri ketok CVA kiri : Tidak ada ; kanan : tidak ada
Lain-lain : -
Perkusi
Asites : batas kiri : Tidak ada
batas kanan : Tidak ada
batas bawah : Tidak ada
Pekak pindah : Tidak ada
Auskultasi :
Bising Usus : (+) normal
Bruit : Tidak ada
g. Kaki dan tangan
Inspeksi :
Bentuk : Simetris
Kulit : Tidak ada kelainan
Pergerakan : Kaku
Clubbing finger : Tidak ada
Edema : -
Palpasi
Kulit : Nyeri tidak ada
Lain-lain : -
Capillary refill <2”
Sendi
Inspeksi : Kelainan bentuk : Tidak ada
Tanda radang : Tidak ada
Pergerakan : tidak ada kelainan
III. Diagnosis Banding
Asthma Bronkiale
PPOK
Gagal jantung kongestif
III. Diagnosis Klinis:
Asthma Bronkiale
IV. Usulan Pemeriksaan:
o Lung function:
Spirometry – FEV dan PEF
o Darah rutin: Diff.count, IgE
o EKG
o Thoraks Foto
V. Penatalaksanaan:
- Umum
o O2 4L/m
o Infuse D5%
o Diet biasa
- Khusus
o Nebu dengan combivent + NaCl
o Dexamthason 3x10 g IV
o Ranitidin 2x50g IV
o Glyceril Guialacolat
VI. Prognosis
- Quo ad vitam: ad bonam
- Quo ad functionam: dubia ad bonam
PEMBAHASAN
Penderita didiagnosa sebagai penderita asthma bronchiale uncontrolled dalam
serangan sedang (moderate persistent) atas dasar :
Anamnesis
Penderita datang dengan keluhan utama sesak nafas.
Sesak nafas disertai dengan bunyi mengi dan dirasakan berat sehingga
penderita tidak dapat melakukan aktivitas dan sulit untuk berbicara.
Sesak dirasakan bertambah dengan aktivitas dan berkurang bila penderita
duduk.
Penderita diketahui menderita asma sejak 10 tahun yang lalu. Penderita
berobat ke puskesmas hanya bila sesak kambuh (tidak rutin). Penderita diberi
obat Melco dan Alupent.
Keluhan sesak dirasakan penderita timbul jika penderita kelelahan dan terkena
debu.
Dalam seminggu terakhir, serangan sesak dirasakan penderita setiap hari,
sampai mengganggu aktivitas dan waktu tidur (terbangun saat malam hari).
Riwayat bersin-bersin dan hidung berair juga diakui pasien.
Penderita mengakui memiliki alergi makanan (udang dan ikan).
Riwayat keluhan serupa pada keluarga diakui disangkal.
Pemeriksaan Fisik
Wheezing (+)
Beberapa diagnosa banding dapat disingkirkan atas dasar :
PPOK
Penderita tidak merokok dan tidak ada yang merokok di lingkungan sekitar
penderita.
Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan hipersonor dan pada inspeksi tidak
ditemukan bentuk dada khas PPOK (barrel chest).
Gagal jantung kongestif
Penderita tidak mengeluh bengkak-bengkak pada badan dan nyeri dada
Penderita tidak mengeluh harus memakai banyak bantal
Usulan pemeriksaan yang diajukan, yaitu :
Laboratorium darah rutin
Untuk melihat terdapat peningkatan eosinofil dan IgG jika ada Asthma
Bronkiale
Spirometri
Untuk mengetahui derajat keparahan obstruksi jalan nafas
EKG
Tidak ada kelainan jika tiada kelainan jantung
Thoraks foto
Untuk melihat pembesaran jantung dan TB aktif
ASMA
DEFINISI
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran nafas yang menyebabkan
peningkatan hiperresponsif jalan nafas yang menimbulkan gejala episodik berulang
berupa mengi, sesak nafas, dada terasa berat dan batuk – batuk terutama pada malam /
dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan nafas yang luas dan
seringkali bersifat reversibel dengan / tanpa pengobatan.
PREVALENSI, MORBIDITAS, MORTALITAS DAN EPIDEMIOLOGI ASMA
Asma merupakan penyakit saluran pernafasan kronik yang menyerang semua
tingkat usia mulai dari anak-anak sampai dewasa. Prevalensi asma cenderung
meningkat pada hampir setiap sebagian besar negara. Jika pasien asma tidak
terkontrol dengan baik akan dapat mengakibatkan hal yang fatal.
Asma menjadi permasalahan di seluruh dunia dengan jumlah perkiraan
terdapat 300 juta pasien asma. Prevalensi asma berkisar antara 1-18% populasi
tergantung pada negaranya. Di Indonesia prevalensi asma berkisar 5-7%. Setiap tahun
diperkirakan terdapat 250.000 kasus kematian karena asma di seluruh dunia. Jumlah
kasus kematian karena asma ini tidak berhubungan dengan jumlah prevalensi.
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di
Indonesia, hal itu tergambar dari data survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di
berbagai propinsi Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 1986
menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan bersama-sama
dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan
emfisema sebagai penyebab kematian ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun
1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis
kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000.
Tahun 1993 di Surabaya dilakukan penelitian di lingkungan 37 puskesmas di
Jawa Timur dengan menggunakan kuesioner modifikasi ATS yaitu Proyek
Pneumobile Indonesia dan Respiratory symptoms questioner of Institute of
Respiratory Medicine, New South Wales, dan pemeriksaan arus puncak ekspirasi
(APE) menggunakan alat peak flow meter dan uji bronkodilator. Seluruh 6662
responden usia 13-70 tahun (rata-rata 35,6 tahun) mendapatkan prevalensi asma
sebesar 7,7% dengan rincian laki-laki 9,2% dan perempuan 6,6%.
FAKTOR RESIKO
Faktor yang mempengaruhi resiko terjadinya asma dibagi atas yang
menyebabkan berkembangnya asma (faktor pejamu) dan pencetus (faktor lingkungan)
A. Faktor Penjamu (Host)
- Genetik
Data terakhir menunjukkan banyak gen yang berperan pada patogenesis asma
seperti produksi IgE antibodi (atopi), dan hiperresponsif saluran nafas.
- Obesitas
Obesitas menambah faktor resiko untuk asma. Mediator seperti leptin
mempengaruhi fungsi saluran nafas dan menambah resiko untuk
berkembangnya asma.
- Jenis kelamin
Sebelum usia 14 tahun : anak laki-laki kurang lebih 2 kali lebih banyak
terserang asma dibandingkan anak wanita, tetapi pada orang dewasa
prevalensi asma lebih banyak pada wanita.
B. Faktor Lingkungan
- Alergen
Alergen bisa didapat di dalam rumah dan di luar rumah, contoh :
Dalam ruangan : Tungau, hewan berbulu (anjing, kucing, tikus), kecoa,
jamur, molds, ragi.
Luar ruangan : Serbuk sari, jamur, molds, ragi
- Infeksi
Infeksi saluran pernafasan terutama oleh virus merupakan penyebab terbanyak
timbulnya eksaserbasi pada penderita asma.
- Bahan di lingkungan kerja
- Rokok :
Perokok pasif
Perokok aktif
- Polusi udara luar/dalam ruangan
Terdapat kasus peningkatan kasus eksaserbasi asma. Sehubungan dengan
peningkatan kadar polusi udara, baik di dalam maupun di luar ruangan.
- Diet
Bayi yang diberi susu sapi atau kedelai mempunyai insidensi wheezing lebih
tinggi dibandingkan yang dengan air susu ibu.
MEKANISME ASMA
A. Patogenesis Asma
Patogenesis asma banyak dipelajari dari autopsi pada pasien yang
meninggal karena penyakit asma yang berat. Gambaran secara umum tidak
hanya oklusi pada saluran pernafasan karena plak mukus, tetapi didapatkan
juga sel-sel radang seperti neutrofil, eosinofil, dan limfosit. Selain hal itu di
atas terjadi juga hipertrofi dan hyperplasia otot polos.
Akhir-akhir ini proses inflamasi juga telah dikonfirmasi pada biopsi
bronkial yang berasal dari pasien dengan asma serangan ringan. Walaupun sel
neutrofil tidak ditemukan secara dominan pada kasus ini, eosinofil, sel mast
dan limfosit ditemukan bervariasi pada saluran trakeobronkial. Ditemukan
juga deposisi kolagen pada membran basalis dan jejas pada sel.
Proses siklus inflamasi pada asma dimulai dengan adanya sensitisasi
karena inhalasi alergen. Sel dendritik yang merupakan antigen precenting cells
(sel penyaji antigen) akan mengolah antigen yang masuk dan selanjutnya
bergerak ke regional nodus limf dimana antigen diperkenalkan ke tempat
limfosit Y dan B. Sel B diinduksi untuk memulai membentuk IgE oleh IL-4
dan IL-13 yang disekresi oleh sel T. IgE kemudian berikatan pada reseptor IgE
mast sel pada saluran nafas.
Pada saat paparan ulang, IgE yang berikatan dengan kompleks mast sel
dan alergen akan mengaktivasi sel. Aktivasi ini diikuti dengan dilepaskannya
histamin, leukotrien, dan sitokin yang merupakan media fisiologis untuk
mempertahankan proses inflamasi dan asma.
Di antara sitokin-sitokin yang, beberapa sitokin, terutama IL-4, IL-5,
granulocute macrophage – colony stimulating factor (GM-CSF) membawa
eosinofil ke paru-paru, merangsang mediator mediator seperti major basic
protein (MBP) yang dapat membuat jejas mukosa bronkus menginduksi
bronkospasme, dan mempertahankan keadaan inflamasi.
Mekanisme predisposisi pada individu tertentu untuk berkembang menjadi
asma tidak diketahui. Akhir-akhir ini terdapat bukti yang mendukung hipotesis
higiene. Teori ini mengemukakan bahwa paparan lingkungan pada masa awal-
awal kehidupan mengatur berkembangnya respons imun yang secara klinik
bermanifestasi alergi dan asma.
Sel-T Helper dapat dibagi menjadi sel Th-1, yang memproduksi IL-2
dan interferon gamma yang berperan pada cell-mediated immunity, dan sel Th-
2 yang memproduksi IL-4, IL-5, IL-10 dan IL-13. Hipotesis higiene
beranggapan bahwa bayi cenderung ke fenotipe Th-2 dan membutuhkan
paparan dini untuk berkembangnya Th-1 dan menyeimbangkan respon
terhadap paparan antigen yang akan datang. Paparan awal terhadap penyakit
campak (measles), hepatitis A, dan bahkan paparan sewaktu di dalam
kandungan mungkin menginduksi perubahan Th-2 menjadi Th-1, tetapi
besarnya perubahan ini dipengaruhi oleh faktor genetik. Sel Th-1 bersifat
protektif sedangkan Th-2 bersifat menimbulkan penyakit alergi, termasuk
asma.
Faktor herediter pada pasien asma sangat kompleks, dengan lebih dari
100 gen yang terlihat. Walaupun faktor atopi berperan banyak, tetapi tidak
semua pasien memperlihatkan.
B. Patofisiologi Asma
Secara klasik serangan asma akut dibagi menjadi fase awal dan fase
lanjut. Dalam waktu beberapa menit setelah paparan terhadap suatu pencetus
terjadi aktivasi reseptor pada sel mast yang menginduksi degranulasi dan
pelepasan histamine, leukotrien dan bronkokonstriktor yang lainnya.
Kontraksi otot polos dan edema mukosa menyebabkan obstruksi
saluran nafas yang bertanggung jawab terhadap gejala asma. Fase ini biasanya
pulih dalam waktu 1 jam.
Puncak gejala ke 2 dimulai setelah 1-6 jam setelah terpapar sampai 24
jam yang merupakan respon lambat (fase lanjut). Gejala yang muncul sering
lebih berat dan sel eosinofil yang paling bertanggung jawab, tetapi sel-sel yang
lain juga terlihat.
Bronkokonstriksi akut dan edema jalur nafas, diikuti oleh formasi plak
mukus, bertanggung jawab terhadap peningkatan resisten aliran udara. Terjadi
penyempitan hampir sebagiain besar saluran nafas, terutama bronkus kecil 2-5
mm. Kapasitas residu fungsional sering meningkat karena waktu ekspirasi
memanjang. Faktor ini meningkatkan kerja otot nafas selama serangan akut.
Penyempitan saluran nafas ternyata tidak merata di seluruh bagian paru. Ada
daerah-daerah yang kurang mendapat ventilasi, sehingga darah kapiler yang
melalui daerah tersebut mengalami hipoksemia. Berbeda dengan pasien
penyakit paru obstruksi kronik, pasien-pasien asma melakukan kompensasi
dengan cara hiperventilasi. Jadi walaupun hipoksemia ringan sampai sedang
sering ditemukan, sebagian besar pasien-pasien ini mengalami hipokapnia
selama serangan. Jika terjadi hiperkapnia merupakan tanda ancaman
“respiratory arrest”.
Selama perjalanan penyakitnya, penderita asma tetap mengalami
proses inflamasi pada saluran nafas walaupun pada pasien ini tidak ditemukan
gejala klinik atau asimptomatik. Proses inflamasi kronik tersebut
menyebabkan desposisi jaringan ikat dan penebalan membran basalis. Hal ini
berlanjut terus sehingga dapat terjadi obstruksi yang ireversibel.
A) Eksaserbasi Akut
Perburukan gejala asma yang terjadi karena paparan terhadap pencetus
seperti polusi udara, kegiatan fisik, cuaca tertentu (hujan). Perburukan yang
lebih lama biasanya terjadi karena adanya infeksi saluran nafas atau khususnya
rhinovirus dan respiratory syncytial virus (RSV) atau paparan alergen yang
meningkatkan proses inflamasi.
B) Nocturnal Asma
Mekanisme perburukan asma pada malam hari tidak sepenuhnya
diketahui tetapi mungkin dipengaruhi oleh ritme sirkadian hormon seperti
epinefrin dan kortisol. Terjadi peningkatan inflamasi pada malam hari yang
terjadi karena pengurangan anti inflamasi endogen.
C) Asma yang sulit ditangani
Sampai saat ini belum jelas diketahui mengapa beberapa pasien asma
sulit ditangani dan relatif tidak sensitif dengan pemberian steroid. Secara
umum dihubungkan dengan tingkat kepatuhan dan gangguan psikologi. Selain
itu mungkin faktor genetik berperan dalam hal ini.
Bagan 1. Mekanisme dasar kelainan asma
Faktor – faktor resiko lingkungan (penyebab)
DIAGNOSIS KLINIS
Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh dunia,
disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya
penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga penderita
tidak merasa perlu ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat
episodik, gejala berupa batuk, sesak nafas, mengi, rasa berat di dada, dan variabiliti
yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan
diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama
reversibiliti kelainan faal paru akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.
Riwayat penyakit/gejala :
1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
2. Gejala berupa batuk, sesak nafas, rasa berat di dada dan berdahak
3. Gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari
4. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
5. Respon terhadap pemberian bronkodilator
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :
Riwayat keluarga (atopi)
Riwayat alergi/atopi
Penyakit lain yang memberatkan
Perkembangan penyakit dan pengobatan
Inflamasi
Hiperresponsif jalan nafas Obstruksi jalan nafas
Pencetus
Gejala
Pemeriksaan Fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat
normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah mengi
pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun
pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan nafas. Pada
keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran nafas, edema, dan hipersekresi dapat
menyumbat saluran; maka sebagai kompensasi penderita bernafas pada volume paru
yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran nafas. Hal itu meningkatkan
kerja pernafasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak nafas, mengi, dan
hiperinflasi.
Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa.
Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang
sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar
bicara, takikardi, hiperinflasi, dan penggunaan otot bantu nafas.
Faal Paru
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai
asmanya, demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dispnea dan mengi;
sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru antara lain untuk
menyamakan persepsi dokter dan penderita, serta sebagai parameter yang objektif
untuk menilai berat asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai :
1. obstruksi jalan nafas
2. reversibiliti kelainan faal paru
3. variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperesponsif jalan nafas
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima
secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan arus
puncak ekspirasi (APE)
Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasitas vital
paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang
standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga
dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kerja sama penderita. Untuk
mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible
dan acceptable. Obstruksi jalan nafas diketahui dari nilai rasio VEP1/KVP < 75% atau
VEP1 < 80% nilai prediksi.
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
Obstruksi jalan nafas diketahui dari nilai rasio VEP1/KVP< 75% atau VEP<
80% nilai prediksi
Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 ≥ 15 % secara spontan , atau setelah
inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator) atau setelah pemberian
kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat membantu
diagnosis asma.
Menilai derajat berat asma
Arus Puncak Ekspirasi (APE)
Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan
yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter) yang
relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di
berbagai tingkat layanan kesehatan termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat
darurat. Alat PEF meter relatif mudah digunakan penderita di rumah sehari-hari untuk
memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa
membutuhkan tindakan yang koperatif dari penderita dan instruksi yang jelas.
Manfaat APE dalam diagnosis asma :
1. Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE ≥ 15% setelah inhalasi bronkodilator
(uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respon terapi
kortikosteroid (inhalasi/oral, 2 minggu)
2. Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE
harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai derajat
berat penyakit.
Nilai APE tidak selalu berkolerasi dengan parameter pengukuran faal paru lain, di
samping itu APE juga tidak selalu berkolerasi dengan derajat berat obstruksi. Oleh
karenanya pengukuran nilai APE sebaiknya dibandingkan dengan nilai terbaik
sebelumnya, bukan nilai prediksi normal; kecuali tidak diketahui nilai terbaik
penderita yang bersangkutan.
Cara pemeriksaan variabiliti APE harian :
Diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah dan malam hari untuk
mendapatkan nilai tertinggi. Rata-rata APE harian dapat diperoleh melalui 2 cara :
Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi atau perbedaan nilai
APE pagi hari sebelum bronkodilator dan nilai APE malam hari sebelumnya
sesudah bronkodilator. Perbedaan nilai pagi sebelum bronkodilator dan malam
sebelumnya sesudah bronkodilator menunjukkan persentase rata-rata nilai
APE harian. Nilai >20% dipertimbangkan sebagai asma.
Variabiliti harian = APE malam-APE pagi x 100%
½ (APE malam+APE pagi)
Metode lain untuk mendapatkan variabiliti APE adalah nilai terendah APE
pagi sebelum brokodilator selama pengamatan 2 minggu, dinyatakan dengan
persentase dari nilai terbaik (nilai tertinggi APE malam hari)
Pemeriksaan Lain untuk Diagnosis
Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita
dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus.
Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitivitas yang tinggi tetapi
spesifisitas yang rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan diagnosis asma
persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa penderita tersebut asma. Hasil
positif selalu terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergik, berbagai gangguan
dengan penyempitan saluran nafas seperti PPOK, bronkiektasis, dan fibrosis kistik.
Pengukuran Status Alergi
Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit
atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai kecil dalam
mendiagnosis asma, tetapi membantu mengidentifikasi faktor risiko/pencetus
sehingga dapat dilaksanakan kontrol lingkungan dalam penetalaksanaan.
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi, umumnya
dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat untuk
diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan positif atau negatif palsu. Sehingga
konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan hubungannya dengan gejala
harus selalu dilakukan. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit
tidak dapat dilakukan (misalnya pada dermatitis). Pemeriksaan kadar IgE total tidak
mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/atopi.
Diagnosis Banding Asma antara lain :
Dewasa :
PPOK
Bronkitis kronik
Gagal jantung kongestif
Batuk kronik akibat lain-lain
Obstruksi mekanis (misal tumor)
Emboli paru
Anak :
1. Benda asing di saluran nafas
2. Laringotrakeomalasia
3. Pembesaran kelenjar limfe
4. Tumor
5. Stenosis trakea
6. Bronkiolitis
KLASIFIKASI
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit, dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi
pengobatan dan perencanaan penetalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma
semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan berdasarkan
gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai (tabel 1).
Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan , dan pengobatan yang
berlangsung seringkali tidak adekuat. Dipahami pengobatan akan mengubah
gambaran klinis bahkan faal paru, oleh karena itu penilaian berat asma pada penderita
dalam pengobatan juga harus mempertimbangkan pengobatan itu sendiri. Tabel 2
menunjukkan begaimana melakukan penilaian berat asma pada penderita yang sudah
dalam pengobatan. Bila pengobatan yang sedang dijalani sesuai dengan gambaran
klinis yang ada, maka derajat berat asma naik satu tingkat.
Tabel 1. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis
(sebelum pengobatan)
Berat / ringannya asma
Gejala klinis Gejala asma malam hari
Fungsi paru
Asma intermiten
Kambuhan < 1 kali seminggu, eksaserbasi hanya sebentar, tidak ada gejala dan fungsi paru normal diantara kambuhan
≤ 2x sebulan APE ≥ 80% prediksi, variabilitas APE < 20%
Asma persisten ringan
Kambuhan ≥ 1 kali seminggu, tetapi < 1 kali/hari. eksaserbasi dapat mengganggu aktivitas dan tidur
> 2x sebulan
APE ≥ 80 % prediksi
Variabilitas APE < 20-30 %
Asma persisten sedang
Setiap hari sesak nafas / kambuh, eksaserbasi mengganggu aktivitas dan tidur
> 1x seminggu
APE 60 - 80 % prediksi
Variabilitas APE >30%
Asma persisten berat
Kambuhan sering, gejala sesak terus menerus, aktivitas fisik terbatas karena asma
sering
APE < 60 % prediksi
Variabilitas APE >30%
Tabel 2. Klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam pengobatanGejala dan faal paru dalam pengobatan
Tahap I intermiten Tahap II persisten ringan
Tahap III persisten sedang
Tahap I : intermitenGejala < 1x/mggSerangan singkatGejala malam < 2x/blnFaal paru normal diluar serangan
intermitan Persisten ringan Persisten sedang
Tahap II : Persisten ringanGejala 1x / mgg, tapi <1x / hrGejala malam >2x / bln, tapi < 1x / mggFaal paru normal diluar serangan
Persisten ringan Persisten sedang Persisten berat
Tahap III : persisten sedangGejala tiap hari
Persisten sedang Persisten berat Persisten berat
Serangan mempengaruhi aktivitas dan tidurGejala malam > 1x / mgg60%<VEP1<80% nilai prediksi60%<APE<80% nilai terbaik Tahap IV : Persisten beratGejala terus menerusSerangan seringGejala malam seringVEP1≤60%nilai prediksiAPE≤60% nilai terbaik
Persisten berat Persisten berat Persisten berat
Tabel 3. Kalsifikasi Tingkatan Asma yang Terkontrol
Karakteristik Terkontrol Terkontrol sebagian Tidak terkontrol
Gejala harian Tidak ada/
(≤ 2x/minggu)
> 2x/minggu 3 atau lebih gambaran
pada asma terkontrol
sebagian muncul kapan
saja
Pembatasan aktivitas Tidak ada Beberapa 3 atau lebih gambaran
pada asma terkontrol
sebagian muncul kapan
saja
Gejala Nokturnal Tidak ada Beberapa 3 atau lebih gambaran
pada asma terkontrol
sebagian muncul kapan
saja
Kebutuhan akan
pengobatan
Tidak ada/ (≤
2/minggu)
> 2 kali / minggu 3 atau lebih gambaran
pada asma terkontrol
sebagian muncul kapan
saja
Fungsi Paru
(APE/VEP1)
Normal <80 % nilai prediksi /
nilai terbaik (jika
diketahui)
3 atau lebih gambaran
pada asma terkontrol
sebagian muncul kapan
saja
Eksaserbasi Tidak ada ≥ 1/ tahun 1x di minggu kapan
saja
PENATALAKSANAN
Studi klinis telah menunjukkan bahwa asma dapat terkontrol secara efektif
dengan mengurangi proses inflamasi pada asma dan juga mengobati bronkokonstriksi
serta gejala-gejala lainnya. Intervensi awal untuk mencegah paparan terhadap faktor
pencetus dapat membantu mengontrol asma dan mengurangi penggunaan obat-obatan
asma.
Tujuan dari penatalaksanaan asma adalah untuk:
- mencapai dan mempertahankan kontrol dari gejala asma
- mempertahankan kemampuan aktivitas normal, termasuk dalam latihan
jasmani
- mempertahankan fungsi paru-paru sedekat mungkin dengan fungsi normalnya
- mencegah eksaserbasi asma
- menghindari efek samping yang diperoleh dari pengobatan asma
- mencegah kematian
Penatalaksanaan asma tergantung pada lima komponen berikut:
a. Kerjasama pasien-dokter
b. Mengidentifikasi dan mengurangi paparan terhadap faktor resiko
c. Penilaian, pengobatan, dan pemantauan gejala asma
d. Penanganan eksaserbasi asma
e. Pertimbangan khusus
A. Kerjasama pasien-dokter
Tujuan dari kerjasama ini adalah untuk menjadikan pasien asma
memperoleh pengetahuan, kepercayaan, dan kecakapan dalam
penatalaksanaan asma.
B. Mengidentifikasi dan mengurangi paparan terhadap faktor resiko
Pencegahan Asma
Pencegahan timbulnya asma dapat dengan cara mencegah sensitisasi
oleh alergen (faktor risiko) atau mencegah terjadinya perkembangan penyakit
asma pada orang yang telah tersensitisasi. Telah diketahui bahwa sensitisasi
alergi dapat timbul sejak masa prenatal, tetapi belum ada data mengenai dosis
dan waktu paparan dari alergen yang akan menimbulkan sensitisasi prenatal
ini, dan belum ada cara yang tepat untuk mencegah hal ini.
Pencegahan Gejala dan Eksaserbasi Asma
Eksaserbasi asma dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang disebut
sebagai pencetus (trigger). Pencetus dapat berupa alergen, infeksi virus,
polutan, dan obat. Mengurangi paparan pasien terhadap faktor-faktor tersebut
akan meningkatkan kontrol terhadap asma dan mengurangi kebutuhan akan
penggunaan obat asma. Pemberian obat yang tepat untuk mengontrol asma
adalah berperan penting, karena pasien akan menjadi kurang sensitif terhadap
faktor pencetus apabila gejala asmanya berada dalam kontrol yang baik.
C. Penilaian, pengobatan, dan monitor gejala asma
Penilaian, pengobatan, dan pemantauan gejala asma digunakan untuk
penatalaksanaan jangka panjang pada penderita asma.
Penilaian Kontrol Asma
Penilaian untuk kontrol pasien asma dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4. Tingkat Kontrol Dari Asma
Karakteristik Terkontrol Terkontrol Sebagian Tidak Terkontrol
Gejala harian - ( 2x/minggu) 2x/minggu Tiga atau lebih
karakteristik dari
tingkat terkontrol
sebagian dapat
(+)/minggu
Keterbatasan dalam
aktivitas fisik
- (+)
Gejala malam hari - (+)
Penggunaan reliever - ( 2x/minggu) 2x/minggu
Fungsi paru (APE atau
VEP1)
Normal < 80% prediksi/nilai
terbaik
Eksaserbasi - 1x/tahun 1x
Pengobatan Untuk Mengontrol Asma
Tingkat kontrol asma dari seorang pasien dan pengobatan yang didapat
sebelumnya menentukan pemilihan obat untuk mengontrol asma. Jika asma
tidak terkontrol dengan regimen pengobatan sebelumnya, maka pengobatan
ditingkatkan sampai asma terkontrol. Jika kontrol asma dapat dipertahankan
selama paling sedikit 3 bulan, maka pengobatan dapat diturunkan untuk
mencapai dosis serendah mungkin dalam mengontrol asma.
Monitor dan Mempertahankan Kontrol Asma
Ketika kontrol asma telah tercapai, monitoring lebih lanjut diperlukan
untuk mempertahankan kontrol dan meminimalisir biaya serta
memaksimalkan keamanan dari pengobatan. Pengobatan harus disesuaikan
secara berkala, sesuai dengan tingkat kontrol asma pasien.
D. Penanganan eksaserbasi asma
Bagan 2. Penatalaksanaan Serangan Asma di Rumah Sakit
Dinilai setelah satu jamPemeriksaan fisik, APE, saturasi O2, dan pemeriksaan lain yang diperlukan
Pengobatan awalOksigen untuk mencapai saturasi O2 ≥ 90 %Inhalasi agonis β2 kerja, kontinu selama satu jamGlukokortikosteroid sistemik jika tidak ada respon, atau pasien sedang dalam penggunaan glukokortikosteroid sistemik, atau serangan asma beratPenggunaan sedatif merupakan kontraindikasi pada keadaan eksaserbasi
Respon baik setelah 1-2 jam:- respon (+) dalam 60
menit setelah pengobatan terakhir
- pemeriksaan fisik: normal, tidak ada distres
- APE >70%- Saturasi O2 >90%
Respon inkomplit dalam 1-2 jam:
- faktor risiko- pemeriksaan fisik:
gejala ringan – sedang- APE <60%- Saturasi O2 tidak
membaik
Respon buruk dalam 1-2 jam:- Faktor risiko- Pemeriksaan fisik:
gejala berat, mengantuk, gelisah
- APE <30%- PCO2 > 45 mmHg- P O2 <60 mmHg
Penilaian awalAnamnesis dan pemeriksaan fisik (auskultasi, penggunaan otot bantu nafas, denyut jantung, frekuensi nafas), APE atau VEP,
saturasi O2, AGD
Perbaikan Tidak perbaikan
Dirawat di ICUBila tidak perbaikan
dalam 6-12 jamPulangAPE>60%
prediksi/terbaik.Pengobat
Kriteria episode sedang:- APE 60-80% prediksi/nilai terbaik- Pemeriksaan fisik: gejala serangan asma
sedang, penggunaan otot nafas bantu- Pengobatan:
a. oksigenb. beta-2 agonis hirup dan antikolinergik hirup setiap 60 menitc. glukokortikosteroid oralLanjutkan pengobatan sampai 1-3 jam
Kriteria episode berat:- Riwayat faktor risiko pencetus asma- APE <60% prediksi/nilai terbaik- Pemeriksaan fisik: gejala serangan
asma berat, retraksi otot dinding dada- Tidak ada perbaikan setelah
pengobatan awal
Dinilai setelah 1-2 jam
E. Pertimbangan khusus
Pertimbangan khusus dibutuhkan untuk penanganan asma pada: kehamilan;
pembedahan; rinitis, sinusitis, dan polip nasal; asma karena pekerjaan; infeksi saluran
respiratorik; refluks esofageal; asma terinduksi aspirin; dan anafilaksis.
Berdasarkan patogenesis asma, strategi pengobatan yang diberikan dapat
ditinjau dari berbagai pendekatan, seperti:
1. Mencegah ikatan alergen-IgE
Mencegah ikatan alergen dengan cara menghindari alergen atau dengan
hiposensitisasi.
2. Mencegah pelepasan mediator
Antara lain dengan pemberian natrium kromolin, agonis beta 2, maupun
teofilin.
Dirawat di RS:- oksigen- beta-2 agonis hirup
antikolinergik- glukokortikosteroid
sistemik- Mg i.v- Monitor APE, saturasi
O2, denyut nadi
Dirawat di ICU:- oksigen- beta-2 agonis +
antikolinergik- glukokortikosteroid
i.v- pertimbangkan beta-
2 agonis i.v- pertimbangkan
teofilin i.v- intubasi dan
ventilasi mekanik
Penilaian ulang
Respon buruk:- masuk ICU
Respon inkomplit dalam 6-12 jam:- pertimbangkan untuk masuk ICU bila tak ada perbaikan dalam 6-12 jam
Ada perbaikan
Perbaikan: Kriteria pulang:- APE > 60% prediksi/nilai terbaik- Pengobatan oral/inhalasiPengobatan di rumah:
- lanjutkan beta-2 agonis hirup- pertimbangkan, glukokortikosteroid oral- pertimbangkan kombinasi tambahan: inhaler- edukasi pasien
3. Melebarkan saluran nafas dengan bronkodilator
- Simpatomimetik: obat pilihan untuk serangan asma akut adalah agonis
beta 2, dapat diberikan secara inhalasi atau nebulizer. Epinefrin
subkutan diberikan pada serangan asma berat, dianjurkan hanya untuk
anak atau dewasa muda.
- Aminofilin: digunakan pada serangan asma akut
- Kortikosteroid: bukan golongan bronkodilator, tetapi secara tidak
langsung dapat melebarkan saluran nafas. Dipakai pada serangan asma
akut atau terapi pemeliharaan.
- Antikolinergik
4. Mengurangi respon dengan jalan meredam inflamasi saluran nafas
Dapat diberikan natrium kromolin atau dengan kortikosteroid baik per oral,
parenteral atau inhalasi.
Berdasarkan fungsinya, obat asma dibagi menjadi:
a. Pencegah (controller)
Adalah obat yang dipakai setiap hari dalam jangka panjang untuk menjaga
agar gejala asma tetap terkendali melalui efek anti inflamasi obat. Termasuk golongan
ini antara lain Glukokortikoid inhalasi dan sistemik, leukotriene modifiers, beta 2
agonis inhalasi kerja panjang dikombinasikan dengan Glukokortikoid, teofilin lepas
lambat, kromon, dan anti IgE. Glukokortikoid inhalasi adalah pengobatan pencegah
yang paling efektif saat ini.
b. Penghilang gejala (reliever)
Adalah obat yang dipakai sesuai kebutuhan, yaitu untuk mengurangi
bronkokonstriksi dan menghilangkan gejala-gejala asma dengan segera. Termasuk
golongan ini adalah beta 2 agonis inhalasi kerja cepat, antikolinergik inhalasi, teofilin
kerja cepat, dan beta 2 agonis oral kerja cepat.
Pengobatan Farmakologis Berdasakan Anak Tangga
Derajat Klinis Sebelum
Pengobatan
Nilai VEP1 Obat Pencegah Harian
Asma
Intermiten
- gejala intermiten 1x
seminggu
>80% (var:
<20%)
Tidak diperlukan
Bila timbul serangan dapat digunakan
- serangan singkat (jam-
hari)
- serangan malam
2x/bulan
agonis beta 2 hirup, bila serangan berat
timbul, ditambahkan pemberian
glukokortikoid sistemik.
Asma Persisten
Ringan
- gejala >2x seminggu
(<1x per hari)
- serangan mengganggu
aktivitas & tidur
- serangan malam
>2x/bulan
80%
(var: 20-30%)
Glukokortikoid hirup dosis rendah
Alternatif: teofilin lepas lambat,
kromolin, anti-leukotrien, nedokromil
Asma Persisten
Sedang
-gejala (+) setiap hari
-serangan mengganggu
aktivitas & tidur
-serangan malam
>1x/minggu
> 60%-< 80%
(var: >30%)
Glukokortikoid dosis rendah-sedang
hirup dan agonis beta-2 hirup kerja
panjang.
Alternatif: anti-leukotrien atau teofilin
Asma Persisten
Berat
-gejala terus menerus,
sering mendapat
serangan
-aktivitas fisik terbatas
karena gejala asma
-serangan malam sering
60%
(var: > 30%)
Glukokortikoid hirup dosis tinggi dan
beta-2 agonis hirup kerja panjang, dan
jika perlu ditambahkan glukokortikoid
tablet atau sirup kerja panjang (2
mg/kgBB/hari, maks. 60 mg/hari).
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangunnegoro, Hadiarto, et al. ASMA Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan di Indonesia. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 2004.
2. Global Initiative For Asthma. Global Strategy For Asthma Management And
Prevention. MRC Vision Inc. 2006.
3. Kasper, D. L., et al. Harrison's Principles of Internal Medicine: Asthma. 16th
Edition. McGraw-Hill Professional. 2004
4. Sundaru, H., Sukamto. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Asma Bronkial. Jilid
I. Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta.
2006.