contoh kasus masalah

11
CONTOH KASUS ABSTRAK Latar Belakang: Simvastatin merupakan obat golongan statin yang paling banyak menimbulkan gangguan fungsi memori. Meningkatnya kasus dislipidemi menyebabkan peningkatan pengguna obat golongan statin khususnya simvastatin. Selain itu, simvastatin harus dikonsumsi seumur hidup untuk mengontrol kadar lipid darah. Sehingga diperlukan suatu penelitian untuk mengkaji apakah simvastatin berpengaruh terhadap fungsi memori jangka pendek. Metode: Penelitian eksperimental laboratorik dengan pre-post test control group design. Dengan tiga kali pengukuran selama pemberian obat. Sampel berupa 40 ekor tikus wistar yang dibagi secara acak menjadi tiga kelompok yaitu kelompok kontrol, kelompok simvastatin 20mg dan simvastatin 80mg. Ketiga kelompok diberi diet kuning telur intermitten selama tiga minggu agar hiperlipidemi. Pemberian perlakuan berlangsung selama 6 minggu. Pengukuran fungsi memori menggunakan morris water maze dengan menghitung jumlah kesalahan yang didapat. Pengukuran dilakukan sebanyak 4 kali, pertama setelah pemberian diet kuning telur dan tiga kali selama pemberian obat. Hasil: Rerata kesalahan pada tiap kelompok mengalami penurunan. Dengan kelompok kontrol paling banyak mengalami penurunan. Uji kruskal-wallis pada ketiga kelompok didapatkan p>0,05 dari fase pertama sampai keempat. Sedangkan pada uji friedman, p>0,05 pada kelompok kontrol maupun simvastatin 20mg dan simvastatin 80mg. Simpulan: Tidak ada perbedaan bermakna dalam nilai fungsi memori jangka pendek tikus wistar hiperlipidemi antara kelompok yang mendapat simvastatin dengan kontrol dalam 6 minggu pemberian. Kata kunci: simvastatin, memori jangka pendek PENGARUH PEMBERIAN SIMVASTATIN TERHADAP FUNGSI MEMORI JANGKA PENDEK TIKUS WISTAR HIPERLIPIDEMI

Upload: diskta-w-ronica

Post on 18-Jan-2016

18 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

mm

TRANSCRIPT

Page 1: CONTOH KASUS MASALAH

CONTOH KASUS

ABSTRAK Latar Belakang: Simvastatin merupakan obat golongan statin yang paling banyak menimbulkan gangguan fungsi memori. Meningkatnya kasus dislipidemi menyebabkan peningkatan pengguna obat golongan statin khususnya simvastatin. Selain itu, simvastatin harus dikonsumsi seumur hidup untuk mengontrol kadar lipid darah. Sehingga diperlukan suatu penelitian untuk mengkaji apakah simvastatin berpengaruh terhadap fungsi memori jangka pendek. Metode: Penelitian eksperimental laboratorik dengan pre-post test control group design. Dengan tiga kali pengukuran selama pemberian obat. Sampel berupa 40 ekor tikus wistar yang dibagi secara acak menjadi tiga kelompok yaitu kelompok kontrol, kelompok simvastatin 20mg dan simvastatin 80mg. Ketiga kelompok diberi diet kuning telur intermitten selama tiga minggu agar hiperlipidemi. Pemberian perlakuan berlangsung selama 6 minggu. Pengukuran fungsi memori menggunakan morris water maze dengan menghitung jumlah kesalahan yang didapat. Pengukuran dilakukan sebanyak 4 kali, pertama setelah pemberian diet kuning telur dan tiga kali selama pemberian obat. Hasil: Rerata kesalahan pada tiap kelompok mengalami penurunan. Dengan kelompok kontrol paling banyak mengalami penurunan. Uji kruskal-wallis pada ketiga kelompok didapatkan p>0,05 dari fase pertama sampai keempat. Sedangkan pada uji friedman, p>0,05 pada kelompok kontrol maupun simvastatin 20mg dan simvastatin 80mg. Simpulan: Tidak ada perbedaan bermakna dalam nilai fungsi memori jangka pendek tikus wistar hiperlipidemi antara kelompok yang mendapat simvastatin dengan kontrol dalam 6 minggu pemberian. Kata kunci: simvastatin, memori jangka pendek

PENGARUH PEMBERIAN SIMVASTATIN TERHADAP FUNGSI MEMORI JANGKA PENDEK TIKUS WISTAR HIPERLIPIDEMI

Page 2: CONTOH KASUS MASALAH

PENGARUH PEMBERIAN SIMVASTATIN TERHADAP FUNGSI MEMORI JANGKA PENDEK TIKUS WISTAR HIPERLIPIDEMI

LATAR BELAKANG

Jelaskan langkah-langkah memilih masalah dan pentingnya masalah tsb diangkat Backup masalah tsb dengan data kuantitatif

: Menurut survey World Health Organization (WHO) 2006, penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas tertinggi di Indonesia dan terkait dengan biaya yang cukup tinggi.

1 Faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan PJK antara lain:

hiperlipidemia, merokok, hipertensi, diabetes mellitus, obesitas, kurang aktivitas, tipe kepribadian, dan stress.

2

Hiperlipidemi adalah salah satu faktor resiko yang dapat diubah dan menentukan perkembangan serta progresivitas dari penyakit jantung koroner (PJK).

3 Sehingga identifikasi dan

intervensi pasien dengan hiperlipidemi berperan penting dalam pencegahan PJK. Intervensi yang sering dilakukan adalah dengan pemberian obat golongan statin, salah satunya simvastatin.

4

Penggunaan obat simvastatin mempunyai kecenderungan meningkat.4 Ini dikarenakan

meningkatnya jumlah pasien hiperlipidemi oleh karena pola hidup tidak sehat dan keunggulan simvastatin sebagai obat penurun kadar lemak darah.

2,5 Keunggulan simvastatin adalah pertama

simvastatin telah mempunyai sediaan generik di Indonesia, yang berarti obat lebih murah dan sudah teruji di masyarakat lebih dari 20 tahun. Kedua, Menurut penelitian pada buku penyakit jantung Braunwalds, simvastatin menurunkan 20% kadar total kolesterol dan penurunan resiko penyakit pembuluh darah sebanyak 24% dengan dosis 40mg/hari.

5

Simvastatin menurunkan lipid dengan cara menghambat 3-hydroxy-3-methylglutaryl koenzim A (HMG-CoA) reduktase. HMG-CoA reduktase melepaskan precursor kolesterol asam mevalonik dari koenzim A. Kompetitif inhibisi oleh simvastatin menimbulkan respon kompensasi selular seperti peningkatan enzim HMG-CoA reduktase dan reseptor Low Density Lipoprotein (LDL). Dikarenakan peningkatan HMG-CoA reduktase, sintesis kolesterol seluler hanya menurun sedikit, tetapi klirens kolesterol melalui mekanisme reseptor LDL meningkat secara signifikan.

6

Setiap obat pasti mempunyai efek samping. Efek samping dari simvastatin adalah peningkatan serum aminotransferase pada beberapa pasien dan peningkatan minor plasma keratin kinase.

7 Penurunan memori jangka pendek telah dilaporkan berkaitan dengan

penggunaan simvastatin, baik yang berderajat ringan sampai berat.8 Tetapi hal ini belum ada

penelitian lebih lanjut. Memori dibentuk Long Term Potentiation (LTP) di dalam hippocampus, dimana perubahan bentuk dari sinaps memastikan sinyal selanjutnya mengikuti neuron yang sama. Peneliti di Universitas California menemukan pCofilin dan f-Actin, dua unsur yang penting dalam pembentukan memori, dimana keduanya bekerja pada sinaps. Ada beberapa hipotesis yg menyatakan bahwa pembentukan kedua unsur tersebut terhambat karena penggunaan statin. Statin mengintervensi jalur mevalonat dengan menghambat HMG CoA reduktase. Sehingga pCofilin dan f-Actin yang dihasilkan dari jalur mevolanat pun ikut berkurang yang menyebabkan turunnya fungsi memori.

9

Oleh karena itu, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh penggunaan simvastatin terhadap fungsi memori jangka pendek. Dimana digunakan tikus wistar hiperlipidemi sebagai model dan Radial Arm Maze (RAM) sebagai tolak ukur fungsi memori jangka pendek. Dengan tikus wistar hiperlipidemi sebagai model bisa mengurangi dampak negatif yang mungkin terjadi akibat perlakuan sebelum dilakukan penelitian lebih lanjut pada manusia. Sedangkan pengukuran dengan RAM yang ditemukan oleh Olton & Samuelson dibuktikan dapat menjadi tolak ukur fungsi memori jangka pendek karena prosentase tikus benar pertama kali pada delapan lengan RAM adalah 88%. Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan mengetahui apakah pemakaian simvastatin dapat menimbulkan pengaruh terhadap fungsi memori jangka pendek, serta memberikan masukan informasi untuk penelitian lebih lanjut.

Rumusan masalah

: Simvastatin merupakan obat golongan statin yang paling banyak menimbulkan gangguan fungsi memori. Meningkatnya kasus dislipidemi menyebabkan peningkatan pengguna obat golongan statin khususnya simvastatin. Selain itu, simvastatin harus dikonsumsi seumur hidup untuk mengontrol kadar lipid darah. Sehingga diperlukan suatu penelitian untuk mengkaji apakah simvastatin berpengaruh terhadap fungsi memori jangka pendek.

TUJUAN : untuk mengetahui pengaruh dari pemberian simvastatin terhadap fungsi memori jangka pendek tikus wistar hiperlipidemi

MANFAAT :

Aspek Teoritis :

Aspek Praktikal :

Page 3: CONTOH KASUS MASALAH

ABSTRAK Latar Belakang:Diagnosis pneumonitis radiasi didasarkan pada gejala klinis dan pemeriksaan x foto toraks. Pneumonitis radiasi akan timbul 6-12 minggu setelah terapi radiasi lengkap dan pemberian kemoterapi akan meningkatkan faktor risiko pneumonitis radiasi. Penelitian ini bertujuan mencari insidens pneumonitis radiasi pada penderita karsinoma payudara. Metode:Penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan subjek penderita karsinoma payudara stadium II-III yang telah menyelesaikan terapi kemoradiasi di RSUP Dr. Kariadi pada periode 1 Januari 2007 sampai dengan 31 maret 2009 yang bisa dihubungi lewat telepon atau datang kontrol. Radioterapi diberikan dengan dosis 50 Gy dan booster 10 Gy pada dinding dada. Data insidens pneumonitis dianalisis secara deskriptif analitik. Hasil:Rerata umur subjek 48,7 tahun. Insidens pneumonitis radiasi sebanyak 40,6%. Sebagian besar (69%) gambaran pnemonitis termasuk dalam kategori ringan. Sebanyak 31,3% menggunakan regimen CAF, 55,6% menggunakan CAF-xeloda, 20,0% menggunakan CEF. Xeloda dan CEF-xeloda masing-masing ditemukan 1 dari 1 subyek (100%). Tidak ada perbedaan bermakna proporsi kejadian pneumonitis radiasi berdasarkan kelompok umur (p =0,09) dan kelompok stadium (p = 0,15). Sebagian besar pasien yang bersedia datang untuk dilakukan pemeriksaan x foto toraks PA adalah yang merasa ada kelainan pada paru-parunya, sedangkan yang merasa tidak ada kelainan pada paru-parunya tidak bersedia untuk diperiksa. Hal ini yang menyebabkan adanya selection bias pada subyek penelitian ini sehingga insiden pneumonitis radiasi cenderung tinggi. Kesimpulan:Insiden pneumonitis radiasi pada penderita karsinoma payudara stadium II-III yang mendapat terapi kemoradiasi di RSUD Dr. Kariadi cenderung tinggi yakni 40,6%, dengan derajat pneumonitis radiasi mild yang terbanyak Kata kunci : Insiden pneumonitis radiasi, karsinoma payudara

INSIDENS PNEUMONITIS RADIASI PADA PENDERITA KARSINOMA PAYUDARA YANG MENDAPAT TERAPI KEMORADIASI DI RSUP

Dr.KARIADI

Page 4: CONTOH KASUS MASALAH

INSIDENS PNEUMONITIS RADIASI PADA PENDERITA KARSINOMA PAYUDARA YANG MENDAPAT TERAPI KEMORADIASI DI RSUP Dr.KARIADI

LATAR BELAKANG

Jelaskan langkah-langkah memilih masalah dan pentingnya masalah tsb diangkat Backup masalah tsb dengan data kuantitatif

: Karsinoma payudara (KPD) merupakan keganasan yang sering dijumpai pada wanita dan menduduki peringkat kedua setelah karsinoma serviks uteri. Insiden KPD di dunia relatif tinggi, dilaporkan kejadian KPD adalah 20% dari seluruh keganasan. Angka kejadian di Indonesia berdasarkan pemeriksaan patologi kejadian KPD sejak tahun 1988 sampai dengan 1991 bekisar 17 sampai 19% dan insiden terbanyak di usia 40 sampai 49 tahun. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa 70% penderita KPD ditemukan pada stadium lanjut.

1,2,3,4

Dasar pengobatan KPD terdiri atas pembedahan, radioterapi, hormonal, imunoterapi dan kemoterapi. Pengobatan biasanya tidak bentuk tunggal tapi kombinasi. Target volume tehnik eksternal radiasi KPD stadium II dan III pada payudara, dinding dada dan nodul limfatisi regional (lokoregional). Hal ini bisa menyebabkan efek samping pada paru-paru. Salah satu komplikasi yang paling mendapat perhatian adalah pneumonitis radiasi. Pneumonifis radiasi akan timbul 6 sampai 12 minggu setelah terapi radiasi lengkap, dan pemberian kemoterapi akan meningkatkan faktor risiko pneumonitis radiasi.

5,6,7,8,9,10

Sementara penelitian yang dilakukan oleh Kahan Z dan kawan-kawan (2006) di Hungaria pada penelitian prospektif menunjukkan insiden pneumonitis radiasi berkisar antara 4,5-63% dan pada penelitian retrospektif berkisar antara 0.9-30%.

11 Penelitian Kuan Yu T dan kawan - kawan

(2004) di Texas menggunakan regimen cyclophosphamide, adriamycin, dengan 5-FU (CAF) berkisar antara 4,5-5,0%.

12 Sedangkan penelitian Dang TC dan kawan-kawan (2004) di New York

menggunakan regimen cyclophosphamide, epirubicin, dan 5-FU (CEF) sebanyak 9%13

dan yang menggunakan regimen xeloda belum ditemukan insiden secara pasti. Kemoterapi pada KPD yang sering digunakan di RSUP Dr. Kariadi adalah regimen CAF, CEF dan xeloda. Diagnosis pneumonitis radiasi biasanya didasarkan pada gejala klinis dan pemeriksaan x-foto toraks. Beberapa penelitian telah menganalisa kapan terjadinya pneumonitis radiasi fase awal berdasarkan x-foto toraks yakni dalam kurun waktu 1-6 bulan (lebih sering dalam 3 bulan) dan fase lanjut menjadi fibrosis.

10 Pneumonitis radiasi sulit didiagnosis secara klinis.

14 Hal ini

disebabkan karena sebagian besar penderita tidak menunjukkan gejala, padahal sudah ada perubahan pada x-foto toraks.

15,16 Perubahan pada x-foto toraks ditandai dengan adanya

peningkatan opasitas pada area yang terkena radiasi.17

Teknik radiasi proyeksi tangensial merupakan standar yang digunakan untuk mencegah terjadinya rekurensi dan dapat menghindarkan jaringan paru terkena dosis eksternal radiasi yang tinggi.

18,19 Radioterapi diberikan dengan target dinding dada, kelenjar supraklavikula dan

aksilla. Tidak diberikan blok paru pada lapangan supraklavikula karena pada lapangan supraklavikula daerah paru yang terkena minimal. Pada TPS (Treatment Planning System) untuk lapangan tangensial dikerjakan, sehingga jaringan paru yang terkena radiasi minimal, tidak melebihi batas toleransi. Beberapa faktor yang meningkatkan risiko pneumonitis radiasi adalah volume paru yang terkena radiasi, dosis radiasi, time-dose factor/fraksinasi, penggunaan kemoterapi, penyakit-penyakit yang mendasari dan pemberian kortikosteroid.

20 Teori

mekanisme terjadinya pneumonitis radiasi diduga disebabkan karena denaturasi protein intraseluler, perubahan DNA dan proses inflamasi.

21

Karena masih bervariasinya angka insiden pneumonitis radiasi dari beberapa peneliti di luar negeri dan belum ada data akurat di RSUP Dr. Kariadi maka pada penelitian ini akan menganalisa insiden pneumonitis radiasi pada penderita KPD yang diberikan terapi kemoradiasi. Terapi eksternal radiasi yang diberikan adalah 50 Gy dengan fraksinasi 200 cgy x 5 dan booster 10 - 15 Gy yang menggunakan pesawat Cobalt 60

Rumusan masalah

: Diagnosis pneumonitis radiasi didasarkan pada gejala klinis dan pemeriksaan x foto toraks. Pneumonitis radiasi akan timbul 6-12 minggu setelah terapi radiasi lengkap dan pemberian kemoterapi akan meningkatkan faktor risiko pneumonitis radiasi. Penelitian ini bertujuan mencari insidens pneumonitis radiasi pada penderita karsinoma payudara.

TUJUAN : Menganalisa insiden pneumonitis radiasi pada penderita KPD yang diberikan terapi kemoradiasi

MANFAAT :

Aspek Teoritis :

Aspek Praktikal :

Page 5: CONTOH KASUS MASALAH

KARAKTERISTIK DOMINAN DERAJAT KEPARAHAN PENDERITA

INFEKSI VIRUS DENGUE DI LIMA RUMAH SAKIT PROPINSI JABAR

TAHUN 2010

Page 6: CONTOH KASUS MASALAH

KARAKTERISTIK DOMINAN DERAJAT KEPARAHAN PENDERITA INFEKSI VIRUS DENGUE DI LIMA RUMAH SAKIT PROPINSI

JABAR TAHUN 2010

LATAR BELAKANG

Jelaskan langkah-langkah memilih masalah dan pentingnya masalah tsb diangkat Backup masalah tsb dengan data kuantitatif

:

Rumusan

masalah :

MANFAAT :

Aspek Teoritis :

Aspek Praktikal :

Page 7: CONTOH KASUS MASALAH

ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MASYARAKAT MEMBELI

OBAT GENERIK DI PURWOKERTO TAHUN 2010

Page 8: CONTOH KASUS MASALAH

ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MASYARAKAT MEMBELI OBAT GENERIK DI PURWOKERTO TAHUN 2010

LATAR BELAKANG

Jelaskan langkah-langkah memilih masalah dan pentingnya masalah tsb diangkat Backup masalah tsb dengan data kuantitatif

:

Rumusan

masalah :

TUJUAN

MANFAAT :

Aspek Teoritis :

Aspek Praktikal :

Page 9: CONTOH KASUS MASALAH

Abstrak Latar Belakang. Latar belakang dilakukannya penelitian ini karena dengan Antenatal Care (ANC) yang baik, akan memberikan sumbangan dalam pembentukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Kecamatan Gunung Sugih Kabupaten Lampung Tengah merupakan Kecamatan yang rendah dalam hal cakupan Ibu hamil termasuk frekuensi kunjungannya. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang hubungan antara faktor Predisposisi yang terkelompok dalam Socio Demographic dan Socio Psychologic, faktor Pemungkin (Enabling factor) dan faktor Penguat (Reinforcing factor)terhadap derajat pemanfaatan Pelayanan Antenatal di wilayah Kecamatan Gunung Sugih Kabupaten Lampung Tengah. Metode. Pada peneltian ini akan dilihat hubungan beberapa variabel yang menyangkut faktor Predisposisi seperti Umur, Pendidikan responden dan Suami, Pekerjaan responden dan suami, Jumlah anak, Jarak kehamilan, Pengetahuan dan Sikap responden serta persepsi responden tentang kehamilannya, faktor Pemungkin seperti; Ketersediaan fasilitas, Jarak tempat tinggal dengan Puskesmas, Biaya transportasi dan pengobatan, Pengahasilan Keluarga dan adanya faktor resiko dan yang menyangkut faktor Penguat yaitu Perilaku Petugas Kesehatan dan Dukungan Keluarga/lingkungan. Penelitian ini dilakukan di Kec. Gunung Sugih Lampung Tengah dengan responden Ibu-ibu hamil trimester III sebanyak 140 sampel. Analisa dilakukan dengan analisa univariat untuk melihat distribusi frekuensi populasi penelitian, analisa bivariat untuk melihat hubungan variabel babas dengan variabel terikatnya menggunakan tabel silang dan uji Khai kuadrat. Sedangkan analisa multivariat dengan menggunakan tabel silang dua variabel terhadap variabel terikat, juga menggunakan uji Logistik regresi. Hasil. Dari penelitian ini dihasilkan beberapa variabel yang mempunyai hubungan dengan derajat pemanfaatan pelayanan antenatal responden seperti umur, pendidikan responden, jumlah anak, jarak anak, pengetahuan responden tentang kesehatan kehamilan, sikap responden jarak tempat tinggal responden dengan Puskesmas, social support dan lain-.lain. Responden yang berumur 30 thn ke bawah cenderung memeriksakan kehamilannya secara baik. Faktor ini erat kaitannya dengan jumlah anak yang dimiliki reponden dan jarak kehamilannya. Responden yang mempunyai anak kurang dari tiga orang pemeriksaan kehamilan dengan kategori baik lebih besar (58,9%) dari responden dengan jumlah anak tiga orang atau lebih. Sedangkan sebaliknya pada responden yang mempunyai anak tiga orang atau lebih, pemeriksaan kehamilan dengan kategori jelek lebih besar tiga kali (35,6%) dari pada responden dengan jumlah anak kurang dari tiga orang (11,6%). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa responden dengan jumlah anak lebih sedikit cenderung akan lebih baik dalam pemeriksaan kehamilannya dari pada responden dengan jumlah anak yang lebih banyak.58% dari 93 responden yang berumur 30 thn ke bawah dan mempunyai anak kurang dari 3 orang memeriksakan kehamilannya dengan baik lebih besar dari responden yang mempunyai anak 3 orang atau lebih. Dari responden yang berumur di atas 30 thn dan memiliki anak kurang dari 3 orang, 100% (dari 2 responden) memeriksakan kehamilannya dengan baik (tabel 53). Sedangkan pada tabel 54, responden yang jarak kehamilannya lebih dari 3 thn pemeriksaan kehamilannya secara baik cenderung tinggi (49% dan 50%) pada masing-masing kelompok umur. Kesimpulan. Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah bahwa responden yang memiliki pengetahuan yang baik tentang kesehatan ibu hamil dengan jarak kehamilan yang jarang serta dekatnya lokasi pusat pelayanan antenatal dan dengan mendapat dorongan dari keluarganya terutama suami responden maka pemanfaatan pelayanan antenatalnya cenderung baik.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Derajat Pemanfaatan Pelayanan Antenatal di Kec. Gunung Sugih Kab. Lampung Tengah

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Derajat Pemanfaatan Pelayanan Antenatal di Kecamatan Gunung Sugih Kabupaten

Lampung Tengah

LATAR BELAKANG

Jelaskan langkah-langkah memilih masalah dan pentingnya masalah tsb diangkat Backup masalah tsb dengan data kuantitatif

:

Rumusan masalah

:

TUJUAN

MANFAAT :

Aspek Teoritis :

Aspek Praktikal :

Page 10: CONTOH KASUS MASALAH

Abstrak Latar Belakang. Dengan makin bertambahnya jumlah lanjut usia di Indonesia, maka pelayanan kesehatan, termasuk kesehatan mental bagi kelompok usia tersebut merupakan hal yang perlu mendapat perhatian. Untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan mental yang adekuat, maka, diperlukan data prevalensi gangguan mental lanjut usia yang ada di masyarakat. Saat ini di Indonesia belum ada data prevalensi gangguan mental pada lanjut usia. Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui prevalensi gangguan mental lanjut usia di Kelurahan Manggarai, Kecamatan Tenet, Jakarta Selatan. Metode. Besar sample 144 subyek penelitian, berusia 60 tabun dan lebih. Pengambilan sampel dengan menggunakan cara cluster random sampling. Instrumen yang digunakan adalah Composite International Diagnostic Interview (CIDI) versi 1.1. Hasil. Dari hasil penelitian diperoleh; prevalensi gangguan mental lanjut usia di kelurahan Manggarai sebesar 25%. Tidak ada perbedaan bermakna antara jumlah lanjut usia wanita dan lanjut usia Aria yang mengalaxni gangguan mental Sindrom otak organik merupakan gangguan yang paling banyak terdeteksi dad penelitian ini yakni 11,7 %. Semua gangguan akibat deficit kognitif antara lain Depresi, Delirium, Dimensia, Sindroma Pasca Kontusio serebri dan retardasi mental dapat masuk dalam sindroma otak organik- Gangguan mental lainnya yaitu Depresi 6,2 % dan Gangguan camas 4,7 %, juga merupakan gangguan yang berada pads urutan kedua dan ketiga setelah sindroma otak organik. Prevalensi gangguan mental pada lanjut usia yang ditemukan pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh Jarvik LF dalam Comprehensive textbook of Psychiatry bahwa 15 - 25 % dad lanjut usia mengalami gangguan mental instrumen yang digunakan pada penelitian ini tidak dapat mendeteksi gangguan Demensia yang banyak dijumpai pada lanjut usia. Oleh karena itu diperlukan perangkat yang dapat mendeteksi secara spesifik gangguan. mental pada lanjut usia

Prevalensi gangguan mental sesuai the composite international diagnostic interview (CIDI) 1.1 pada lanjut usia di Kelurahan

Manggarai, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan

Prevalensi gangguan mental sesuai the composite international diagnostic interview (CIDI) 1.1 pada lanjut usia di

Kelurahan Manggarai, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan

LATAR BELAKANG

Jelaskan langkah-langkah memilih masalah dan pentingnya masalah tsb diangkat Backup masalah tsb dengan data kuantitatif

:

Rumusan masalah

:

TUJUAN

MANFAAT :

Aspek Teoritis :

Aspek Praktikal :

Page 11: CONTOH KASUS MASALAH

Abstrak Latar Belakang. Fenomena "ferning'', yaitu gambaran mirip daun pakis yang dibentuk oleh garam-garam khususnya NaCl, bila saliva atau lendir serviks dikeringanginkan, akan muncul jika terdapat hormon estrogen. Fenomena ini akan menghilang jika estrogen berada dalam kadar yang amat rendah, atau akibat pengaruh keberadaan hormon progesteron pada fase luteal siklus haid. Konsentrasi kedua hormon tersebut dalam saliva berkorelasi amat erat dengan konsentrasinya dalam darah. Fenomena ini mudah diamati dan cukup dapat diandalkan untuk memperkirakan ovulasi. "Ferning" saliva dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal termasuk aktivitas menggosok gigi, namun sampai saat ini belum ada penelitian yang dilakukan untuk mengetahui kapan pengambilan saliva yang paling baik guna memperoleh hasil yang memuaskan. Penelitian untuk menjelaskan pengaruh menggosok gigi terhadap fenomena "Ferning" amat penting untuk mendapatkan hasil terbaik dalam memantau face fertil siklus haid. Tujuan penelitian ini adalah menilai kemunculan "ferning" saliva pagi hari sebelum dan sesudah menggosok gigi, dengan hipotesis bahwa "ferning" muncul pada saliva sebelum dan sesudah menggosok gigi. Metode. Penelitian ini menggunakan metode observasi pada satu kelompok wanita dengan siklus haid normal yang diambil sampel salivanya dua kali berturut-turut pada pagi hari sebelum menggosok gigi dan satu jam kemudian sesudah menggosok gigi sebelum makan apapun, pada hari ke-7, 8, 9, 13, 14, 15, dan 22 siklus haid antara pk.05.00 - 08.00. Gelas saji yang telah berisi cairan saliva yang telah dikeringanginkan dibawa ke laboratorium untuk diperiksa di bawah mikroskop, dibuat sajian fotomikrograf dan dicetak untuk dinilai. Penilaian hasil foto dilakukan secara buta. Kode pada foto dibuat oleh pembimbing. Selanjutnya foto dinilai dengan memberi tanda positif (+) pada foto yang memiliki "ferning", dan tanda negatif (-) pada foto tanpa "ferning". Uji statistik yang digunakan adalah uji statistik nonparametrik McNemar dengan batas kemaknaan 95%. Hasil dan Kesimpulan: Fenomena "ferning" saliva pagi hari sebelum dan sesudah menggosok gigi muncul hanya pada hari ke-7 dan 8 siklus, sesuai dengan uji statistik nonparametrik McNemar (p = 0,4265). Dari segi kliinis berdasarkan uji sensitivitas dan spesifisitas, keberadaan "ferning" saliva sebelum dan sesudah menggosok gigi dapat dimanfaatkan untuk memantau kesuburan siklus, khususnya bagi pasangan yang menghindari kehamilan. Berdasarkan persentase hilangnya "ferning" sesudah menggosok gigi yang cukup tinggi pada fase periovulasi, pemanfaatan "ferning" saliva untuk memantau kesuburan siklus sebaiknya diambil dari sampel saliva sebelum menggosok gigi

"Ferning" Saliva Pagi Hari Sebelum dan Sesudah Menggosok Gigi

"Ferning" Saliva Pagi Hari Sebelum dan Sesudah Menggosok Gigi

LATAR BELAKANG

Jelaskan langkah-langkah memilih masalah dan pentingnya masalah tsb diangkat Backup masalah tsb dengan data kuantitatif

:

Rumusan masalah

:

TUJUAN

MANFAAT :

Aspek Teoritis :

Aspek Praktikal :