ckd stage v e.c ht kronic

45
KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa, Karena atas rahmat dan ridhonyalah, penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus ini dengan baik dan sesuai dengan waktunya. Presentasi kasus ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik Ilmu penyakit dalam di RSUD Arjawinangun. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Hami Zulkifli Abbas Sp.PD. MH.Kes, Dr. Sianne A. Wahyudi Sp.PD dan dr. Sunhadi selaku pembimbing dalam penyusunan presentasi kasus ini, serta berbagai pihak yang telah membantu penulis sehingga tugas presentasi kasus ini dapat diselesaikan dengan baik Semoga presentasi kasus ini dapat menambah wawasan kita dalam dunia kesehatan, khususnya pada topik Penyakit Ginjal Kronik. Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, karena itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun. Arjawinangun, 22 agustus 2010 Penulis IHSAN PANJI SANTIKO DAFTAR ISI 1

Upload: hakenfia

Post on 03-Jul-2015

6.368 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ckd stage v e.c ht kronic

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa, Karena atas rahmat dan ridhonyalah,

penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus ini dengan baik dan sesuai dengan waktunya. Presentasi

kasus ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik Ilmu penyakit dalam di

RSUD Arjawinangun.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Hami Zulkifli Abbas

Sp.PD. MH.Kes, Dr. Sianne A. Wahyudi Sp.PD dan dr. Sunhadi selaku pembimbing dalam penyusunan

presentasi kasus ini, serta berbagai pihak yang telah membantu penulis sehingga tugas presentasi kasus

ini dapat diselesaikan dengan baik

Semoga presentasi kasus ini dapat menambah wawasan kita dalam dunia kesehatan, khususnya

pada topik Penyakit Ginjal Kronik. Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, karena itu

penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun.

Arjawinangun, 22 agustus 2010

Penulis

IHSAN PANJI SANTIKO

DAFTAR ISI

1

Page 2: Ckd stage v e.c ht kronic

KATA PENGANTAR……………………... 1

DAFTAR ISI……………………………….. 2

BAB I ………………………………………. 3

➢ Identifikasi Kasus

BAB II ……………………………………… 18

➢ Pembahasan

DAFTAR PUSTAKA ……………………… 48

BAB I

IDENTIFIKASI KASUS

Identitas Pasien

Nama : Tuan S

2

Page 3: Ckd stage v e.c ht kronic

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 17 tahun

Alamat : Ds. Panguragan

Pendidikan : SMP

Pekerjaan : Pelajar

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum Menikah

Tgl. Masuk RS : 25 agustus 2010

Tgl. Keluar RS : 30 agustus 2010

II. Anamnesis

Keluhan Utama:

Kejang-kejang

Keluhan Tambahan:

Demam, Sesak napas, Mual, muntah, sakit perut, kepala pusing, susah tidur, lemas

Riwayat Penyakit Sekarang:

Os datang dari UGD BRSUD Arjawinangun untuk dirawat di bangsal penyakit dalam dengan

keluhan demam sejak tiga hari yang lalu. Demam menggigil dengan suhu naik turun.

Dibangsal penyakit dalam os kejang-kejang sampai 3x. Ketika kejang os keluar air liur dari

mulutnya dan lidahnya tergigit, Tangan dan kaki os gemetaran dan kejang. Os kemudian

diberi antikejang dan kejang menghilang.

3

Page 4: Ckd stage v e.c ht kronic

Setelah keadaan membaik, os dianamnesis dan os mengeluh sesak napas sejak

satu bulan yang lalu. Sesak napas bertambah berat jika melakukan aktivitas dan menjadi

ringan jika beristirahat. Sebelum demam os beraktivitas sekolah seperti biasa. Os merasa

perutnya mual dan os muntah-muntah sejak satu hari yang lalu, muntah-muntah terutama

timbul setelah makan. Keosluhan ini disertai sakit perut yang hilang timbul. Os juga

mengeluhkan badannya terasa lemas dan kepalanya terasa sangat pusing seakan-akan

sekelilingnya berputar. Os mengeluh susah tidur semenjak sakit. Os bisa buang air kecil tapi

mengaku BAK jarang, dalam sehari hanya 2-3 kali dan BAK-nya sedikit, kurang dari

setengah gelas aqua setiap kali BAK. Keluhan ini dirasakan selama ± 3 bulan. BAB lancar.

Os belum pernah memiliki riwayat cuci darah sebelumnya.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Riwayat

• penyakit jantung tidak diketahui

• penyakit paru tidak diketahui

• penyakit ginjal tidak diketahui

• penyakit liver tidak diketahui

• penyakit DM tidak diketahui

• penyakit alergi tidak diketahui

• penyakit hipertensi tidak diketahui

Riwayat Penyakit Keluarga:

Keluarga tidak ada yang sakit seperti ini

Riwayat penyakit keluarga tidak diketahui

III. Status Praesen

4

Page 5: Ckd stage v e.c ht kronic

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Composmentis

Tensi : 220/120 mmHg

Nadi : 120 x/menit

Suhu : 39,80C

Pernafasan : 24 x/menit

Tinggi Badan : 165 cm

Berat Badan : 58 kg

Status gizi:

BMI = BBTB2 = 571,652 = 21,3 = gizi cukup

IV. PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Kulit: pucat, petekia (--), bruise (--),

Kepala :

Rambut tidak mudah tercabut

Mata: Palpebra edema -/-; Konjungtiva anemis +/+; Sklera ikterik -/-; Refleks pupil +/+,

isokor

Telinga: tidak tampak kelainan

Hidung: tidak tampak kelainan

Mulut: tidak tampak kelainan

Leher :

Trakea berada di tengah

Tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid

Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening (KGB)

Toraks :

I : Bentuk dada normal dan simetris, tidak terlihat massa dan benjolan

P : Kedua hemitoraks teraba simetris, tidak teraba massa atau benjolan, tidak teraba krepitasi

Paru-Paru:

5

Page 6: Ckd stage v e.c ht kronic

I : Dinding dada datar, dalam keadaan statis kedua hemitoraks terlihat simetris, dalam

keadaan dinamis gerakan pernapasan kedua hemitoraks terlihat simetris

P : Fremitus taktil dan vokal simetris

P : Sonor seluruh lapang paru

A : VBS menurun, Ronkhi +/+, wheezing --/--

Jantung:

I : Iktus kordis tidak terlihat

P : Iktus kordis tidak teraba

P : Batas paru kanan-hati pada SIC 6 linea midclavicula dextra

Batas paru kanan-jantung pada SIC 5 linea parasternalis dextra

Batas paru kiri-jantung dua jari kearah lateral dari SIC 5 linea midclavicula sinistra

Batas atas jantung pada SIC 3 linea parasternalis sinistra

A : BJ 1 dan 2 takikardi, murmur (–), gallop (–)

Abdomen:

I : Permukaan sedikit cembung, simetris. tidak terlihat kelainan kulit, massa atau benjolan,

venektasi, dan caput medusae

P : dinding abdomen teraba lunak, tidak ada nyeri tekan, tidak ada distensi abdomen, Hepar dan

lien tidak teraba, ballotement (−), Vesika Urinaria tidak teraba, Undulasi (−)

P : perkusi timpani diempat regio abdomen, tidak ada nyeri ketuk, daerah redup hepar dalam

batas normal, pekak limpa (-), shifting dullness (+)

A : Bising usus (+) normal reguler

Genitalia : Tidak ada kelainan

Ekstremitas : Akral pucat, edema (-/-)

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. LABORATORIUM

PEMERIKSAAN DARAH RUTIN (25-08-2010 16:54 WIB )

JENIS NILAI SATUAN KISARAN NORMALSel darah putih 12,3 103/μl 4.0 – 10.0Limfosit 2,8 103/μl 1- 5Monosit 3,9 103/μl 0,1 – 10

6

Page 7: Ckd stage v e.c ht kronic

Granulosit 5,6 103/μl 2 – 8Limfosit % 23,1 % 25 – 50Monosit % 31,4 % 2 – 10 Granulosit % 45,5 % 50 – 80Sel darah merah 1,89 106/μl 4 – 6,2Hemoglobin 5,5 g/dl 11 – 17Hematokrit 17,5 % 33 – 55MCV 92,6 µm3 80 – 100MCH 29,1 Pg 26 – 34MCHC 31,4 g/dl 31.0 – 35.5RDW 12,9 % 10 – 16Trombosit 334 103/μl 150 – 400MPV 6,4 µm3 7.0 – 11.0PCT 0,214 % 0.200 – 0.500PDW 13 % 10 – 18.0

PEMERIKSAAN KADAR GLUKOSA DARAH SEWAKTU (25-08-2010 16:54 WIB)

Pemeriksaan Hasil Nilai normal Satuan Klinik

Glukosa Sewaktu 229 70-150 mg/dl

PEMERIKSAAN DARAH RUTIN (26-08-2010 00:34 WIB )

JENIS NILAI SATUAN KISARAN NORMALSel darah putih 14,3 103/μl 4.0 – 10.0Limfosit 0,9 103/μl 1- 5Monosit 0,7 103/μl 0,1 – 10Granulosit 12,6 103/μl 2 – 8Limfosit % 6,4 % 25 – 50Monosit % 5,2 % 2 – 10 Granulosit % 88,4 % 50 – 80Sel darah merah 1,69 106/μl 4 – 6,2Hemoglobin 4,4 g/dl 11 – 17Hematokrit 15,7 % 33 – 55MCV 92,9 µm3 80 – 100MCH 29,1 Pg 26 – 34MCHC 31,4 g/dl 31.0 – 35.5RDW 12,9 % 10 – 16Trombosit 334 103/μl 150 – 400MPV 6,4 µm3 7.0 – 11.0PCT 0,214 % 0.200 – 0.500PDW 13 % 10 – 18.0

7

Page 8: Ckd stage v e.c ht kronic

PEMERIKSAAN HEMATOLOGI (26-08-2010 12:32 WIB)

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan Hematologi

Darah RutinLED 140 -15/-10 mm/jam

Golongan darahGolongan darah O

PEMERIKSAAN KIMIA KLINIK (26-08-2010 10:33 WIB)

NO Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal1. Glukosa

Glukosa sewaktu 60 mg/dl 70–502. Fungsi Ginjal

ureum 251,7 mg/dl 10 – 50Kreatinin 24,8 mg/dl 0,6–1,38Uric acid 19,12 mg/dl 3,34–7,0

3. Fungsi HatiProtein total 6,41 gr/dl 7,0–9,0

Albumin 3,76 gr/dl 3,5–5,0Globulin 2,7 gr/dl 1,5–3,0

SGOT 9 U/I 0–38SGPT 10 U/I 0–41

Alkali Fosfatase 79 U/I 0−2584. Lipid

Kolesterol Total 142 mg/dl (-220/resiko tinggi)

PEMERIKSAAN KADAR GLUKOSA DARAH SEWAKTU (26-08-2010 17:16 WIB)

Pemeriksaan Hasil Nilai normal Satuan Klinik

Glukosa Sewaktu 148 70-150 mg/dl

PEMERIKSAAN DARAH TEPI (27-08-2010 13:33 WIB)

Eritrosit : Hipokrom Mikrositer

• Target cell

• Burr cell

• AnulositLeukosit : Jumlah Meningkat

8

Page 9: Ckd stage v e.c ht kronic

• Stab Trombosit : Giant TrombositRetikulosit : 1,0%

PEMERIKSAAN URINE (27-08-2010 10:06 WIB)

NO PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL1 Urine Rutin

Warna Kuning Muda Kuning jernihPh 6,0 5,0 – 8,0Berat jenis 1.025 1.005 – 1.030Nitrit Negative –Protein (+) 3 NegatifGlukosa Negative –Keton Negative –Bilirubin Negative Negatif Urobilinogen Negative –

2 Sedimen Leukosit +1-2 –Eritrosit +2-3 –Epitel Negative –Kristal Negative –Silinder Negative –

PEMERIKSAAN KIMIA KLINIK (28-08-2010 11:24 WIB)

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan Kimia Klinik

Fungsi GinjalUreum 245,5 10-50 mg/dlKreatinin 27,53 0,6-1,38 mg/dl

PEMERIKSAAN KADAR GLUKOSA DARAH SEWAKTU (29-08-2010 17:16 WIB)

Pemeriksaan Hasil Nilai normal Satuan Klinik

Glukosa Sewaktu 148 70-150 mg/dl

B. EKG

1. Sinus Takikardi = 135 kali/menit2. First degree AV block

9

Page 10: Ckd stage v e.c ht kronic

3. Possible Inferior Miocard Infark4. Abnormal Right Axis Deviation

C. PEMERIKSAAN RADIOLOGI

ROENTGEN THORAK (28-08-2010)

Cor membesar ke lateral kanan dan kiri dengan apek tertanam dibawah diafragma, sinuses dan

diafragma normal.

Pulmo:

• Hili normal

• Corakan paru bertambah

• Kranialisasi (-)

• Tampak ground glass appearance pada kedua lapangan paru

Kesan:

Pembesaran jantung dengan susp. Edema paru interstitialis

USG ABDOMEN (28-08-2010)

Ginjal:

10

Page 11: Ckd stage v e.c ht kronic

ukuran mengecil, kontur kabur, parenkim kabur, intensitas gema relatif meningkat. Batas tekstur

parenkim dengan central echocompleks kabur, tidak tampak bayangan hiperechoic dengan

acuatic shadow. Sistem pelvokalises tidak melebar.

Vesika Urinaria:

Tidak terisi penuh, dinding tidak menebal, reguler, tidak tampak bayangan hiperechoic dengan

acuatic shadow/massa.

Tampak bayangan bebas gema sekitar kandung kemih, sekitar hepar dan limpa

Kesan :

• Proses kronis pada kedua parenkim ginjal

• Ascites

• Poliposis vesica velea

VI. RESUME:

Os, laki-laki berusia 17 tahun datang dengan keluhan demam(+) sejak tiga hari SMRS, kejang-

kejang (+), nausea(+), vomitus(+), abdominal pain (+), confusion (+), insomnia(+), fatique (+),

oliguria (+). Hasil pemeriksaan fisik: Kulit pucat(+), C.A(+/+), VBS menurun, ronki basah kasar

(+), BJ I II normal reguler, shifting dulness (+), BU (+), akral pucat(+). Hasil pemeriksaan

penunjang: darah rutin(Leukositosis(+), Eritropenia(+), Anemia(+), Trombosit normal); analisa

darah tepi(eritrosit hipokrom mikrositer, leukositosis , giant trombosit, jumlah retikulosit 1%);

urine rutin(protein (+)3); kimia klinik(ureum 251,7; kreatinin 24,8; uric acid 19,12; albumin

3,76; globulin 2,7; SGOT 9; SGPT 10; ALP 79; GDS 229 mg/dl); EKG (Sinus Takikardi = 135

kali/menit, First degree AV block, Possible Inferior Miocard Infark, Abnormal Right Axis

Deviation); roentgen thorax pa (Pembesaran jantung dengan susp. Edema paru interstitialis),

USG abdomen(Proses kronis pada kedua parenkim ginjal, Ascites Poliposis, vesica velea)

VII. DIAGNOSIS KERJA

Penyakit Ginjal Kronik grade V et causa Hipertensi Kronik

VIII. DIAGNOSIS BANDING

Gagal ginjal akut

11

Page 12: Ckd stage v e.c ht kronic

IX. Penatalaksanaan

I. Oksigen 2-4 liter

II. Pasang IV line

III. Diazepam 3 x 2 mg im

IV. Allopurinol 1 x 300 mg

V. ISDN 1 x 5 mg

VI. Antrain 3 x 1amp iv

VII.Amlodipin 1 x 10 mg

VIII.Kaptopril 2 x 25 mg

IX. Cefadroxil 2 x 500 gr

X. Diet protein 40/hari

XI. Transfusi PRC 7 labu

XII.Furosemide 2 x 40 mg

XIII.Spironolakton 1 x 100 mg

XIV.Ksr 2 x 1 tab

XV.Tonar 3 x 2 kaplet

XVI.Asam folat 3 x 1 tab

XVII.Metoclopramid 3 x 1 gr iv

X. FOLLOW UP

Tgl S O A P26-08-

2010

Lemas, kepala

pusing, mual,

demam

T: 170/110

mmHg; P:108

x/menit; R: 28

x/menit; S:

37,5˚C

CKD grade V

+ hipertensi

grade II

I. Oksigen 2-4 liter

II. Pasang IV line

III. Diazepam 3 x 2

mg im

IV. Allopurinol 1 x

300 mg

V. ISDN 1 x 5 mg

VI. Antrain 3 x 1amp

iv

12

Page 13: Ckd stage v e.c ht kronic

VII.Amlodipin 1 x 10

mg

VIII.Kaptopril 2 x 25

mg

IX. Cefadroxil 2 x

500 gr

X. Diet protein

40/hari

XI. Transfusi PRC 7

labu

XII.Furosemide 2 x 40

mg

XIII.Tonar 3 x 2

kaplet

XIV.Asam folat 3 x 1

tab

XV.Metoclopramid 3

x 1 gr iv

cek KGD 2 jam pp

periksa fungsi ginjal

(ureum, kreatinin, asam

urat)

USG renal

Pemeriksaan Urine rutin

Anemia profile (ADT)

27-08-

2010

Lemas, kepala

pusing, demam

T: 170/100

mmHg; P:88

x/menit; R: 22

x/menit; S:

37˚C

CKD grade V

+ hipertensi

grade II

Terapi lama

dilanjutkan

13

Page 14: Ckd stage v e.c ht kronic

28-08-

2010

Lemas, kepala

pusing, demam

T: 170/90

mmHg; P:120

x/menit; R: 28

x/menit; S:

37,3˚C

CKD grade V

+ hipertensi

grade II

Terapi lama dilanjutkan

29-08-

2010

Lemas, kepala

pusing

T: 150/90

mmHg; P:96

x/menit; R: 20

x/menit; S:

36,8˚C

CKD grade V

+ hipertensi

grade II

Terapi lama lanjutkan

30-08-

2010

Lemas, kepala

pusing

T: 150/80

mmHg; P:96

x/menit; R: 22

x/menit; S:

36,8˚C

CKD grade V

+ hipertensi

grade II

I. Oksigen 2-4 liter

II. Pasang IV line

III. Allopurinol 1 x

300 mg

IV. Kaptopril 2 x 25

mg

V. Cefadroxil 2 x

500 gr

VI. Diet protein

40/hari

VII.Furosemide 2 x 40

mg

VIII.Spironolakton 1 x

100 mg

IX. Ksr 2 x 1 tab

X. Tonar 3 x 2 kaplet

14

Page 15: Ckd stage v e.c ht kronic

I. PROGNOSIS

Dubia ad malam

BAB II PEMBAHASAN

Analisis Kasus

Saya mendiagnosis pasien tersebut dengan gagal ginjal terminal karena ditemukan

kelainan seperti:

15

Page 16: Ckd stage v e.c ht kronic

1. Laju filtrasi ginjal menurun <5% →

( )

273,1//02,4

8,2472

5,5817140

mmenitlLFG

LFG

×−=

2. Hipertensi → 220 /120 mmHg

3. Uremia → 251,7 mg/dl

4. Peningkatan kreatinin → 24,8 mg/dl

5. Hiperurisemia → 19,12 mmol/L

6. Anemia → 5,5 g/dl

7. Terdapat nausea vomitus

8. Edema anasarka

9. Sesak napas

Ginjal pada pasien ini memiliki Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) 4,02% yang dapat

berarti kerusakan ginjal derajat V yaitu gagal ginjal terminal. Laju filtrasi yang berkurang

menyebabkan semua zat sisa yang tidak dibutuhkan tubuh dapat menumpuk di dalam tubuh

seperti ureum dan dapat menganggu keseimbangan elektrolit seperti adanya filtrasi dan

reabsorbsi ion-ion seperti natrium dan kalium. Karena adanya gangguan-gangguan tersebut maka

dapat menjelaskan adanya kelainan-kelainan yang terdapat pada pasien tersebut.

Hipertensi dalam kasus ini dapat disebabkan karena adanya gangguan dari

keseimbangan natrium yaitu resistensi natrium yang menyebabkan adanya pengikatan H2O di

dalam vaskular. Retensi natrium dan air dapat mengakibatkan beban sirkulasi berlebihan

sehingga dapat menyebabkan edema anasarka.

Pasien ini terdapat azotemia yaitu peningkatan ureum hingga 251,7 mg/dl dan

kreatinin 24, 8 mg/dl. Azotemia ini dapat terjadi karena dengan adanya gangguan ginjal dapat

menyebabkan gangguan ekskresi NH4+. Ureum dalam darah dapat bertindak sebagai racun jika

tidak dibuang. Ureum yang bertindak sebagai racun antara lain guanidin, fenol, amin, urat,

kreatinin dan asam hidroksi aromatik, beberapa senyawa ini dapat bertindak sebagai

penghambat enzim dan dapat menyebabkan asidosis metabolik karena NH4+ pada saat

diekskresikan membawa ion H+ tapi karena tertahan di dalam tubuh sehingga pH di dalam tubuh

16

Page 17: Ckd stage v e.c ht kronic

menjadi turun. Asidosis metabolik ini dapat menyebabkan gejala-gejala seperti yang dialami

pasien ini yaitu mual muntah rasa sesak napas pada pasien.

Karena dasarnya adalah adanya gangguan perfusi ginjal hal ini dapat menyebabkan

juga hiperurisemia seperti yang terjadi pada pasien ini, hiperurisemia terjadi karena adanya

gangguan ekskresi dari asam urat, biasanya 75% dari total asam urat diekskresi oleh ginjal.

Os mengalami anemia, penyebab utama anemia adalah berkurangnya pembentukan

sel-sel darah merah disebabkan defisiensi eritropoietin dari ginjal, dan uremik toksik dapat

menginaktifkan eritropoietin atau menekan respons sumsum tulang terhadap eritropoietin. Pada

gagal ginjal umur hidup eritrosit berkurang menjadi setengahnya disebabkan karena lingkungan

kimia plasma. Pada hitung jenis ditemukan burr cell yaitu eritrosit yang menciut hal ini dapat

mengindikasikan dehidrasi berat sehingga timbul mekanisme perpindahan cairan intrasel ke

ekstrasel untuk mngkompensasi dehidrasi tersebut.

Penanganan gagal ginjal terminal, apapun etiologi penyakitnya, memerlukan

pengobatan atau terapi pengganti (TP), seperti dialysis ataupun transplantasi ginjal. Pada

umumnya indikasi dialysis pada GGK adalah bila LFG <5 ml/menit, keadaan pasien yang hanya

mempunyai ciri ini tidak selalu sama, sehingga dialysis dianggap baru perlu dimulai bila

dijumpai salah satu tanda, yaitu keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata, K serum > 6

mEq/L, ureum darah > 200 mg/dl, pH darah < 7,1, anuria berkepanjangan (> 5 hari) dan fluid

overloaded. Pasien ini memiliki indikasi hemodialisa karena laju filtrasi ginjalnya adalah 4,02%

dan ureum darah 283,2 mg/dl.

1. PENYAKIT GINJAL KRONIK

Epidemiologi

Angka prevalensi dari CKD -secara umum didefinisi sebagai kerusakan dari fungsi ginjal yang

ireversibel- pada pokoknya lebih besar dari jumlah pasien dengan pasien gagal ginjal terminal,

saat ini lebih dari 300.000 di amerika. Terdapat spektrum penyakit berkaitan dengan penurunan

fungsi ginjal: gambaran klinik dan pilihan terapi sangat berbeda tergantung apakah penurunan

17

Page 18: Ckd stage v e.c ht kronic

LFG berderajat sedang(30-59 mL/min/1,73 m2), berat (15-29 mL/min/1,73 m2) atau mendekati

ginjal terminal (<15 mL/min/1,73 m2). Dialisis biasanya dibutuhkan untuk mengendalikan gejala

uremia dengan LFG <10 mL/min/1,73 m2.

Batasan

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam,

mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan

gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan

penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti

ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik

dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit

ginjal kronik.

Kriteria penyakit ginjal kronik, seperti yang tertulis pada tabel 1.Tabel 1 Kriteria Penyakit Ginjal Kronik1. kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau

fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi:

– Kelainan patologis

– Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah

atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3 bulan, dengan atau

tanpa kerusakan ginjal

Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih dari 60

ml/menit/1,73 m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.

Klasifikasi

Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat (stage)

penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas

dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:

LFG (ml/mnt/1,73 m2) 140-umurX berat badan72 X kratinin plasma (mg/dl) *) pada perempuan dikalikan 0,85

Klasifikasi tersebut tampak pada tabel 2.Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit

Derajat Penjelasan LFG (ml/menit/1,73m²)1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥90

18

Page 19: Ckd stage v e.c ht kronic

2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60-893 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30-594 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓berat 15-295 Gagal ginjal terminal < 15 atau dialisis

Klasifikasi atas dasar diagnosis, tampak pada tabel 3.Tabel 3. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Diagnosis EtiologiPenyakit Tipe Mayor (contoh)Penyakit ginjal

diabetes

Diabetes tipe 1 dan 2

Penyakit ginjal

non diabetes

Penyakit glomerular (penyakit otoimun, infeksi sistemik, obat,

neoplasia)

Penyakit vaskular (penyakit pembuluh darah besar, hipertensi,

mikroangiopati)

Penyakit tubulointestinal (pielonefritis kronik, batu, obstruksi,

keracunan obat)

Penyakit kistik (ginjal polikistik)Penyakit pada

trasplantasi

Rejeksi kronik

Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)

Penyakit rekuren (glomerular)

Transplant glomerrulopathy

Table 22–6. Major causes of chronic kidney disease.

Glomerulopathies

Primary glomerular diseases:

Focal and segmental glomerulosclerosis

Membranoproliferative glomerulonephritis

IgA nephropathy

Membranous nephropathy

Secondary glomerular diseases:

Diabetic nephropathy

Amyloidosis

Postinfectious glomerulonephritis

HIV-associated nephropathy

Collagen-vascular diseases

19

Page 20: Ckd stage v e.c ht kronic

Sickle cell nephropathy

HIV-associated membranoproliferative glomerulonephritis

Tubulointerstitial nephritis

Drug hypersensitivity

Heavy metals

Analgesic nephropathy

Reflux/chronic pyelonephritis

Idiopathic

Hereditary diseases

Polycystic kidney disease

Medullary cystic disease

Alport syndrome

Obstructive nephropathies

Prostatic disease

Nephrolithiasis

Retroperitoneal fibrosis/tumor

Congenital

Vascular diseases

Hypertensive nephrosclerosis

Renal artery stenosis

Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya,

tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa

ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving

nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin

dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan

tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya

diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya

diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak

aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut

memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut.

Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron , sebagian diperantarai oleh growth

20

Page 21: Ckd stage v e.c ht kronic

factor seperti transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan

terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi,

hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan

fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial.

Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal

(renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian

secara perlahan tetapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai

dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. sampai pada LFG sebesar 60%, pasien

masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan

kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti

nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG

dibawah 30% pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia,

peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah

dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi

saluran napas maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air

seperti hipovolemia atau hipervolemia. Gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium

dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan

pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis

atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.

Etiologi

Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara

21

Page 22: Ckd stage v e.c ht kronic

Gambaran klinis

Gambaran klinis pasien penyakit gagal ginjal kronik meliputi : a). Sesuai penyakit yang

mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemia, lupus

eritematous sistemik (LES) dan lain sebagainya. b). Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah,

letargi, anoreksia, mual, muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (overload), neuropati perifer,

pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma. c). Gejala komplikasinya antara

lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan

keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida).

Table 22–7. Symptoms and signs of uremia.

Organ System Symptoms Signs

General Fatigue, weakness Sallow-appearing, chronically ill

Skin Pruritus, easy bruisability Pallor, ecchymoses, excoriations, edema, xerosis

ENT Metallic taste in mouth, epistaxis Urinous breath

Eye Pale conjunctiva

Pulmonary Shortness of breath Rales, pleural effusion

Cardiovascular Dyspnea on exertion, retrosternal pain on inspiration (pericarditis)

Hypertension, cardiomegaly, friction rub

22

Page 23: Ckd stage v e.c ht kronic

Organ System Symptoms Signs

Gastrointestinal Anorexia, nausea, vomiting, hiccups

Genitourinary Nocturia, impotence Isosthenuria

Neuromuscular Restless legs, numbness and cramps in legs

Neurologic Generalized irritability and inability to concentrate, decreased libido

Stupor, asterixis, myoclonus, peripheral neuropathy

Table 1 Features suggestive of renal artery stenosisOnset of hypertension before the age of 30 years, especially without a family history (fibromuscular dysplasia)Sudden onset of significant hypertension after the age of 50 years (atheromatous RAS)Sudden worsening of previously stable hypertensionSevere or resistant hypertension (uncontrolled despite three or more drugs)Abdominal bruitEvidence of other vascular disease, e.g. absent pulses, bruitsSmoker‘Flash’ pulmonary oedemaAcute deterioration in renal function with ACEI or ARB therapyUnexplained renal impairment, especially with normal urine dipstix

Table 2 Clinical assessment in renal hypertension: features indicating the need for further investigation

Past or family history of renal diseaseSymptoms of renal dysfunction, e.g. nocturiaProteinuria or haematuriaProspect of future pregnanciesFeatures suggestive of renal artery stenosis as listed inTable 1

Table 3 Features on clinical examination suggesting renal hypertension

Bilateral palpable kidneys Polycystic kidney disease Tuberous sclerosis Von-Hippel–Lindau(hydronephrotic kidneys often not palpable)Systemic lupus erythematosisNerve deafness—Alport's syndromePartial lipodystrophy—mesangiocapillary glomerulonephritisAdenoma sebaceum—tuberous sclerosis

23

Page 24: Ckd stage v e.c ht kronic

Epigastric bruit—renal artery stenosisNeurofibromatosis—renal artery stenosis or phaeochromocytomaNote: Clinical clues are uncommon.

Gambaran Laboratoris

Gambaran laboratoris penyakit ginjal kronik meliputi : a). Sesuai penyakit yang

mendasarinya. b). Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan berupa kadar ureum dan kreatinin

serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcrouft-Gault. Kadar

kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal. c). Kelainan

biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper

atau hipokalemia, hiponatremia, hipo atau hiperkloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis

metabolik. d). Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast isostenuria.

Gambaran Radiologis

Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi : a). Foto polos abdomen, dapat

tampak batu radio-opak. b). Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras tidak bisa

melewati filter glomerulus, disamping ke khawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras

terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan. c). Pielografi antegrad atau retrograd

dilakukan sesuai dengan indikasi. d). Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal

yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,

kalsifikasi. e). Pemeriksaan pemindahan ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal

Biopsi dan pemeriksaan biopsi dan patologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran

ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan.

Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi,

prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal dikontraindikasikan

pada keadan dimana ukuran ginjal sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik,

hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefritik, gangguan pembekuan darah, gagal napas

dan obesitas.

24

Page 25: Ckd stage v e.c ht kronic

Table 4 Laboratory and radiological investigation to detect renal disease in hypertensivesObligatory in all hypertensivesUrinalysis Glomerulonephritis—blood and/or protein in most cases. May be red cells or casts on microscopy ‘Chronic pyelonephritis’ (reflux nephropathy)—may be blood/protein, may be normal. May be white cells on microscopy Polycystic disease: may be haematuria, perhaps frank, may be normal Renovascular disease: normal to nephrotic range proteinuriaPlasma creatinine—crude test of renal functionPlasma electrolytes—hypokalaemia without hypernatraemia clue to renovascular hypertensionGlucose, lipid levels to assess overall cardiovascular riskWhen indicatedRenal ultrasonography Obstruction Polycystic kidneys Scarring in reflux nephropathy Small kidneys in chronic renal failure Asymmetry in renal artery stenosisRenal duplex Doppler sonography Blood flow characteristics in renal vessels may suggest renal artery stenosisFurther imagingIVU—obstruction, stones, frank haematuriaDTPA renogram to further investigate renal artery stenosisDMSA scan to confirm renal scarring, especially in childrenMR angiogram/CT scan to confirm renal artery stenosisRenal angiography for definitive diagnosis of renal artery stenosis and intervention—angioplasty, stent

DIAGNOSIS BANDING

Langkah pertama dalam mendiagnosis banding CKD adalah menetapkan kekronikan penyakit,

dilakukan dengan menyingkirkan adanya komponen akut mayor. Dua cara yang paling sering

digunakan dalam menentukan kekronisan penyakit adalah riwayat penyakit dan USG renal, yang

digunakan untuk mengukur ukuran ginjal. Secara umum ginjal yang telah mengecil (<10-

11,5cm, tergantung pada ukuran tubuh) kemungkinan dipengaruhi oleh penyakit kronik.

Walaupun kespesifikannya sangat beralasan, pengurangan massa/ukuran ginjal hanya dianggap

sebagai marker yang sensitif untuk CKD. Terdapat beberapa kondisi umum yang relatif dimana

penyakit ginjal mungkin menjadi kronik, tanpa pengurangan ukuran ginjal. Nefropati diabetik,

nefropati terkait HIV, dan penyakit infiltratif seperti multipel mieloma dapat diasosiasikan

dengan ginjal yang berukuran besar meskipun merupakan penyakit kronis. Biopsi renal

25

Page 26: Ckd stage v e.c ht kronic

merupakan pemeriksaan yang lebih diandalkan dalam membuktikan kekronisan penyakit.;

predominan dari glomerulosclerosis atau fibrosis interstitial adalah bukti yang kuat dari penyakit

kronik. Hiperfosfatemia dan kelainan elektrolit lainnya bukan merupakan indikator yang dapat

diandalkan dalam membedakan penyakit akut dari penyakit kronik.

Ketika kekronisan penyakit telah ditetapkan, hasil dari pemeriksaan fisik, laboraturium

dan sedimen urin dapat digunakan untuk menentukan etiologi penyakit. Riwayat penyakit yang

detail akan dapat mengidentifikasikan kondisi komorbid seperti diabetes, HIV seropositif, atau

penyakit vaskular perifer. Riwayat penyakit keluarga sangat penting dalam pencarian adanya

penyakit ginjal polikistik dominan atau nefritis herediter (sindrome alport’s). riwayat pekerjaan

dapat mengungkap adanya paparan dengan toksin atau obat (termasuk analgetik atau obat

traditional cina).

Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan massa abdominal (contoh: ginjal polikistik),

pulsus deficit (contoh: penyakit vaskular perifer atherosklerotik), atau memar abdomen (contoh:

penyakit renovaskular). Riwayat pasien dan pemeriksaan dapat juga menghasilkan data yang

penting mengenai keparahan penyakit. Adanya jari yang memendek, dan atau nodul subkutan

dapat terlihat pada CKD lanjut dan hiperparatiroidism sekunder. Ekskoriasi (pruritus uremia),

pucat (anemia), massa otot yang mengecil dan fetor nitrogen adalah tanda dari CKD yang lanjut,

sebagaimana pericarditis, pleuritis dan asteriksis, komplikasi yang biasanya menjadi tanda harus

dimulainya dialisis.

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi:

• Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

• Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)

• Memperlambat perburukan (progression) fungsi ginjal

• Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular

• Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi

• Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal

Perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya, dapat

dilihat pada tabel 6.

26

Page 27: Ckd stage v e.c ht kronic

Table 5 Drug strategy in renal hypertensionACEIs: use whenever possible for cardiovascular protection and renoprotection Monitor renal function and potassium Use with care in significant renal artery stenosis; consider angioplasty/stent to allow ACEI use if renal function worsens Use with care in hypovolaemia, congestive cardiac failureARBs: in those intolerant of ACEIs Monitor renal function and potassium Use with care in significant renal artery stenosisThiazide diuretic: if plasma creatinine< 200 µmol/l OR to amplify response to loop diuretics at higher serum creatinine concentrationsLoop diuretic: if plasma creatinine> 200 µmol/l OR resistant hypertensionβ-Blockers: if coexisting angina, ischaemic heart disease, previous MI.Consider for cautious use in heart failureCalcium channel blocker: use long acting preparationα-Blocker: useful for prostatismMethyldopa: still useful in resistant cases or pregnancyMinoxidil: if all else fails (Note: fluid retention and hirsutism)Aspirin, statins: to reduce cardiovascular risk, according to local guidelines

Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan

LFG sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal

secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi

yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari

normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.

Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid

Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien penyakit

ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed factors) yang dapat

memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan

cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius,

obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.

Menghambat perburukan fungsi ginjal

Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus.

Skematik tentang patogenesis perburukan fungsi ginjal dapat dilihat pada gambar 1.

Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah:

27

Page 28: Ckd stage v e.c ht kronic

Pembatasan asupan protein. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤ 60

ml/mnt, sedangkan diatas nilai tersebut pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan.

Protein diberikan 0,6-0,8 gr/KgBB/hari, yang 0,35-0,50 gr di antaranya merupakan protein nilai

biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/KgBB/hari, dibutuhkan

pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan

kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein

tidak dapat disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang

terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion

hydrogen, pospat, sulfat dan ion unorganik lain juga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena

itu pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan

penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan

metabolik yang disebut uremia. Dengan demikian, pembatasan asupan protein akan

mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah asupan protein

berlebih (protein overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa

peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltration), yang

akan meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga

berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karen asupan protein dan fosfat selalu berasal dari

sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.

Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat

antihipertensi, disamping bermanfaat untuk memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat

penting untuk memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi

intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa, pengendalian

tekanan darah mempunyai peran yang sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein,

dalam memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Disamping itu sasaran

terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. Saat ini diketahui secara luas

bahwa proteinuria merupakan faktor risiko terjadinya pemburukan fungsi ginjal dengan kata lain

derajat proteinuria berkaitan dengan perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.

Beberapa obat antihipertenis terutama penghambat ensim konverting angiotensin (ACE

inhibitors) melalui beberapa studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan fungsi

ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.

Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular

28

Page 29: Ckd stage v e.c ht kronic

Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting karena 40-

45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal

yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah, pengendalian

diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia,

pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan

elektrolit. Semua ini terlihat dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal

kronik secara keseluruhan.

Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi

Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan

derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi. Beberapa diantara komplikasi tersebut akan

dibicarakan pada bagian ini, sedangkan sisanya dibicarakan pada bagian lain.

Anemia

Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit ginjal kronik

terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoietin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam

terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna,

hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat,

29

Page 30: Ckd stage v e.c ht kronic

penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi

terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin ≤ 10 g% atau hematokrit ≤ 30%, meliputi

evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum/serum iron, kapasitas ikat besi total/TIBC, feritin

serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain

sebagainya. Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, disamping penyebab

lain bila ditemukan. Pemberian eritropoitin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam

pemberian EPO ini status besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi

dalam mekanisme kerjanya. Pemberian transfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan

secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Transfusi darah

yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia

dan pemburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12

g/dl.

Osteodistrofi renal

Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi.

Patofisiologinya dapat dilihat pada gambar 2. Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan

dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol (1.25(OH2)D3).

Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat

dengan tujuan menghambat absorpsi fosfat di saluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien

dengan gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.

Mengatasi hiperfosfatemia

a. Pembatasana asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan

diet pada pasien penyakit ginjal kronik secara umum yaitu: tinggi kalori,

rendah protein dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung

dalam daging dan produk hewan seperti susu dan telor. Asupan fosfat

dibatasai 600-800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu keta tidak

dianjurkan, untuk menghindari terjadinya malnutrisi.

b. Pemberian pengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah

garam kalsium, aluminium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini

diberikan secara oral, untuk menghambat absorpsi fosfat yang berasal dari

makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat

30

Page 31: Ckd stage v e.c ht kronic

(CaCO3) dan calcium acetate. Tabel 9 memperlihatkan cara dan jenis

pengikat fosfat, efikasi dan efek sampingnya.

c. Pemberian bahan menyerupai kalsium. Akhir akhir ini dikembangkan sejenis

obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada kelenjar paratiroid, dengan

nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut juga calcium mimetic agent,

dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang sangat baik serta efek samping

yang minimal.

Pemberian Kalsitriol (1.25( OH 2) D3 )

Pemberian kalsitriol untuk mengatasi osteodistrofi renal banyak dilaporkan. Tetapi

pemakaiannya tidak begitu luas, karena dapat meningkatkan absorbsi fosfat dan kalsium di

saluran cerna sehingga dikhawatirkan mengakibatkan penumpukan garam calcium carbonate di

jaringan, yang disebut kalsifikasi metastatik. Di samping itu juga dapat mengakibatkan

penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid. Oleh karena itu, pemakaiannya dibatasi

pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kali

normal.

Pembatasan cairan dan elektrolit

Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik sangat perlu dilakukan. Hal ini

bertujuan untuk mencegah terjadinya edem dan komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke

dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar, baik melalui urin maupun insensible water

loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui insensible water loss antara 500-800

ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500-800 ml

ditambah jumlah urin.

Elektrolit ynag harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan kalium

dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu,

pemberian obat-obat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium (seperti buah

dan sayuran) dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/L. pembatasan natrium

dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang diberikan

disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema yang terjadi.

Terapi pengganti ginjal

31

Page 32: Ckd stage v e.c ht kronic

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang

dari 15 ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau

transplantasi ginjal.

2. HEMODIALISIS

Pada GGT, hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung

ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang terpisah. Darah pasien dipompa

dan dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput semipermeabel buatan (artifisial)

dengan kompartemen dialisat. Kompartemen dialisat dialiri cairan dialisis yang bebas pirogen,

berisi larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa

metabolisme nitrogen. Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan

32

Page 33: Ckd stage v e.c ht kronic

konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi yang tinggi ke arah konsentrasi yang

rendah sampai konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen (difusi). Pada proses dialisis,

air juga dapat berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen cairan dialisat dengan cara

menaikkan tekanan hidrostatik negatif pada kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air ini

disebut ultrafiltrasi.

Besar pori pada selaput akan menentukan besar molekul zat terlarut yang berpindah.

Molekul dengan berat molekul lebih besar akan berdifusi lebih lambat dibanding molekul dengan

berat molekul lebih rendah. Kecepatan perpindahan zat terlarut tersebut makin tinggi bila (1)

perbedaan konsentrasi di kedua kompartemen makin besar, (2) diberi tekanan hidrolik di

kompartemen darah dan (3) bila tekanan osmotik di kompartemen cairan dialisis lebih tinggi.

Cairan dialisis ini mengalir berlawanan arah dengan darah untuk meningkatkan efisiensi (gambar

2). Perpindahan zat terlarut pada awalnya berlangsung cepat tetapi kemudian melambat sampai

konsentrasinya sama di kedua kompartemen.

Terdapat 4 jenis membran dialiser yaitu: selulosa, selukosa yang diperkaya, selulo

sintetik, dan membran sintetik. Pada membran selulosa terjadi aktivasi komplemen oleh gugus

hidroksil bebas, karena itu penggunaan membran ini cenderung berkurang digantikan oleh

membran lain. Aktivasi sistem komplemen oleh membran lain tidak sehebat aktivasi oleh

membran selulosa.

Luas permukaan membran juga penting untuk proses pembersihan. Luas permukaan

membran yang tersedia adalah dari 0,8 m2 sampai 2,1 m2. Semakin tinggi luas permukaan

membran semakin efisien proses dialisis yang terjadi.

Selama proses dialisis pasien akan terpajan dengan cairan dialisat sebanyak 120-150 liter

setiap dialisis. Zat dengan berat molekul ringan yang terdapat dalam cairan dialisat akan dapat

dengan mudah berdifusi kedalam darah pasien selama dialisis. Karena itu kandungan solut cairan

dialisat harus dalam batas-batas yang dapat ditoleransi oleh tubuh. Cairan dialisat perlu

dimurnikan agar tidak terlalu banyak mengandung zat yang dapat membahayakan tubuh. Dengan

teknik reverse osmosis air akan melewati membran semi permeabel yang memiliki pori-pori

kecil sehingga dapat menahan molekul dengan berat molekul kecil seperti urea, natrium dan

klorida. Cairan dialisat tidak perlu steril karena membran dialisis dapat berperan sebagai

penyaring kuman dan endotoksin. Tetapi kuman harus dijaga agar kurang dari 200 koloni/ml

dengan melakukan desinfektan cairan dialisat. Kadar natrium dalam cairan dialisat berkisar

135/145 mEq/L. bila kadar natrium lebih rendah maka risiko untuk terjadinya gangguan

33

Page 34: Ckd stage v e.c ht kronic

hemodinamik selama hemodialisis akan bertambah. Sedangkan bila kadar natrium lebih tinggi

gangguan hemodinamik akan berkurang tetapi akan meningkatkan kadar natrium darah pasca

dialisis. Keadaan ini akan menimbulkan rasa haus dan pasien akan cenderung untuk minum lebih

banyak. Pada pasien dengan komplikasi hipotensi selama hemodialisis yang sulit ditanggulangi

maka untuk mengatasinya kadar natrium dalam cairan dialisat dibuat lebih tinggi.

Dialiser dapat didaur ulang (reuse) untuk tujuan mengurangi biaya hemodialisis.

Dilaporkan 80% pasien hemodialisis di amerika serikat dilakukan daur ulang sedangkan

dieropa sekitar 10%. Segera setelah selesai prosedur hemodialisis dialiser dicuci dengan cairan

dialisat yang banyak untuk menghilangkan bekuan darah yang terdapat dalam kapiler dialiser.

Dilakukan pengukuran volume dialiser untuk mengetahui apakah dialiser ini masih dapat dipakai

dan dilihat apakah terdapat cacat jasmaninya. Umumnya dipakai kembali bila volume dialiser

80%. Setelah itu dialiser disimpan dengan cairan antiseptik (formaldehid 4%). Sebelum

digunakan kembali dialiser ini dicuci kembali untuk membuang semua formaldehid.

Formaldehid yang tersisa dalam dialiser dapat memasuki tubuh selama proses dialisis dan hal ini

dapat menimbulkan gangguan pada pasien.

Terdapat dua jenis cairan dialisat yang sering digunakan yaitu cairan asetat dan

bikarbonat. Kerugian cairan asetat adalah bersifat asam sehingga dapat menimbulkan suasana

asam didalam darah yang akan bermaifestasi sebagai vasodilatasi. Vasodilatasi akibat cairan

asetat ini akan mengurangi kemampuan vasokontriksi pembuluh darah yang diperlukan tubuh

untuk memperbaiki gangguan hemodinamik yang terjadi selama hemodialisis. Keuntungan

cairan bikarbonat adalah dapat memberikan bikarbonat kedalam darah yang akan menetralkan

asidosis yang biasa terdapat pada pasien dengan gagal ginjal terminal dan juga tidak

menimbulkan vasodilatasi.

Pada proses dialisis terjadi aliran darah diluar tubuh. Pada keadaan ini akan terjadi

aktivasi sistem koagulasi darah dengan akibat timbulnya bekuan darah. Karena itu pada dialisis

diperlukan pemberian heparin selama dialisis berlangsung. Ada tiga teknik pemberian heparin

yaitu teknik heparin rutin, heparin minimal dan bebas heparin. Pada teknik heparin rutin, teknik

yang paling sering digunakan sehari-hari, heparin diberikan secara bolus diikuti dengan

continous infusion. Pada keadaan dimana risiko perdarahan sedang atau berat digunakan teknik

heparin minimal dan teknik bebas heparin. Contoh beberapa keadaan risiko perdarahan berat

misalnya pada pasien dengan perdarahan intraserebral, trombositopenia, koagulopati dan pasca

operasi dengan perdarahan.

34

Page 35: Ckd stage v e.c ht kronic

Jumlah dan tekanan darah yang mengalir ke dialiser, harus memadai sehingga perlu suatu

akses khusus. Akses khusus ini pada umumnya adalah vena lengan yang sudah dibuatkan fistula

dengan arteri radialis atau ulnaris. Terdapat shunt aliran darah arteri ke vena sehingga vena akan

membesar dan mengalami epitelisasi. Fistula seperti ini (fistula cimino) dapat bertahan bertahun-

tahun dan komplikasinya hampir tidak ada.

Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis

berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah hipotensi, kram otot, mual dan

muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil. Komplikasi yang

jarang terjadi misalnya sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung,

perdarahan intrakranial, kejang, hemodialisis, emboli udara, neutropenia, serta aktivasi

komplemen akibat dialisis dan hipoksemia.

Di indonesia hemodialisis dilakukan 2 kali seminggu dengan setiap hemodialisis

dilakukan selama 5 jam. Di sentra dialisis lain ada juga dialisis lain yang dilakukan 3 kali

seminggu dengan lama dialisis 4 jam.

Pasien hemodialisa harus mendapat asupan makanan yang cukup agar tetap dalam gizi

yang baik. Gizi kurang merupakan prediktor yang penting untuk terjadinya kematian pada pasien

hemodialisis. Asupan protein diharapkan 1-1,2 g/KgBB/hari dengan 50% terdiri atas protein

dengan nilai biologis tinggi. Asupan kalium diberikan 40-70 mEq/hari. Pembatasan kalium

sangat diperlukan. Karena itu makanan tinggi kalium seperti buah-buahan dan umbi-umbian

tidak dianjurkan dikonsumsi. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah air kencing

yang ada ditambah insensible water loss. Asupan natrium dibatasi 40-120 mEq/hari guna

mengendalikan tekanan darah dan edema. Asupan tinggi natrium akan menimbulkan rasa haus

yang selanjutnya mendorong pasien untuk minum. Bila asupan cairan berlebihan maka selama

periode diantara dialisis akan terjadi kenaikan berat badan yang besar.

Kecukupan dosis hemodialisis yang diberikan diukur dengan istilah adekuasi dialisis.

Terdapat korelasi yang kuat antara adekuasi dialisis dengan angka morbiditas dan mortalitas

pada pasien dialisa. Adekuasi dialisis diukur dengan menghitung urea reduction ratio (URR) dan

(KT/V). urea dihitung dengan mencari rasio hasil pengurangan kadar ureum predialisis dengan

35

Page 36: Ckd stage v e.c ht kronic

kadar ureum pasca dialisis dibagi kadar ureum pasca dialisis. Pada hemodialisis 2 kali seminggu

dialisis dianggap cukup bila URR-nya lebih dari 80%. Cara lain menghitung adekuasi dengan

menghitung KT/N. terdapat rumus Dougirdas untuk menghitung KT/N dengan memasukkan

nilai ureum pra dan pasca dialisis, berat badan pra dan pasca dialisis. Pada hemodialisis 3 kali

seminggu KT/N dianggap cukup bila lebih besar atau sama dengan 1,8.

Pada umumnya indikasi dialisis pada GGK adalah bila laju filtrasi glomerulus (LFG

sudah kurang dari 5 mL/menit) yang didalam praktek dianggap demikian bila (TKK) <5

mL/menit. Keadaan pasien yang hanya mempunyai TKII <5 mL/menit tidak selalu sama,

sehingga dialisis dianggap baru perlu bila dijumpai salah satu dari hal tersebut dibawah:

• Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata

• K serum >6 mEq/L

• Ureum darah >200 mg/dL

• pH darah < 7,1

• anuria berkepanjangan (>5 hari)

• fluid overloaded

Hemodialisis di indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah

dilaksanakan dibanyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang

kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermeabel (hollow fibre kidney).

Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14

tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal.

Peritoneal Dialisis (PD)

Peritoneal Dialisis (beberapa orang menyebutnya sebagai 'cuci perut') merupakan proses

dialisis yang berlangsung di dalam rongga perut memanfaatkan ruang peritoneum. Cairan

dialisis/dialisat dimasukkan kedalam rongga perut melalui suatu kateter two way (disebut

Tenckhoff catheter) yang lembut, untuk kemudian didiamkan beberapa waktu (disebut dwell

time). Antara darah dengan cairan dialisis dibatasi oleh membran peritoneum yang berfungsi

sebagai media pertukaran zat. Ketika cairan dialisat berada di dalam rongga peritoneum maka

terjadi pertukaran zat-zat, yang berguna akan terserap kedalam darah dan yang tidak berguna

(produk limbah dan racun) serta kelebihan air akan terserap kedalam cairan dialisat melalui

proses ultrafiltrasi. Ketika klep kateter pengeluaran dibuka, maka cairan dialisis meninggalkan

36

Page 37: Ckd stage v e.c ht kronic

tubuh dengan membawa serta limbah (racun) ditambah ekstra cairan yang tadi diserap dari dalam

darah pasien.

Membran Peritoneum adalah suatu membran (selaput) semi-permeabel tipis yang

melapisi dinding perut bagian dalam serta melapisi juga organ-organ di dalam rongga perut.

Selaput peritoneum banyak mengandung pembuluh darah yang berasal dan mengalir kedalam

sistem sirkulasi sehingga difungsikan sebagai media ultrafiltrasi antara darah dan cairan dialisat.

Cairan dialisat yang tersedia memiliki konsentrasi yang beragam yang dapat dipilih tergantung

keperluan. Dokter akan memilihkan cairan dialisat dengan konsentrasi yang tepat bagi

pasiennya. Bila pasien masih mengalami kelebihan volume cairan di dalam sirkulasi darahnya,

maka digunakan cairan dengan konsentrasi yang lebih tinggi agar kelebihan cairan berpindah

kedalam cairan dialisat.

Indikasi pemakaian dialisis peritoneal

Dialisat peritoneal dapat digunakan pada pasien:

1. gagal ginjal akut (dialisat peritoneal akut)

2. gangguan keseimbangan cairan. Elektrolit atau asam basa

3. intoksikasi obat atau bahan lain

4. gagal ginjal kronik (dialisat peritoneal kronik)

5. keadaan klinis lain dimana DP telah terbukti manfaatnya

Kontraindikasi dialisis peritoneal :

1. Kontraindikasi Absolut : tidak ada

2. Kontraindikasi Relatif : keadaan-keadaan yang kemungkinan secara teknis akan mengalami

kesulitan atau memudahkan terjadinya komplikasi, seperti gemuk berlebihan, perlengketan

peritoneum, peritonitis lokal, operasi atau trauma abdomen yang baru saja terjadi, kelainan

intraabdomen yang belum diketahui sebabnya, luka bakar dinding abdomen yang cukup luas

terutama bila disertai infeksi atau perawatan yang tidak adekuat. Salah satu cara yang sering

digunakan untuk menilai efisiensi DP adalah dengan menentukan peritoneal clearance

dengan rumus:

Cp = U x VP

37

Page 38: Ckd stage v e.c ht kronic

Cp: peritoneal clearance

U: konsentrasi zat tersebut dalam cairan dialisat yang keluar dari kavum peritoneal (mg%)

P: konsentrasi zat tersebut dalam darah atau plasma (mg%)

V: volume cairan dialisat tiap menit

Faktor yang mempengaruhi klirens peritoneum adalah besar kecilnya molekul, kecepatan cairan

dialisat, equilibration-time (dwell time = lamanya cairan dialisat berada dalam kavum

peritoneum), suhu cairan dialisat, tekanan osmosis cairan dialisat, permeabilitas peritoneum dan

aliran darah dalam kapiler peritoneum.

Ilustrasi ruang peritonium

Peritoneal Dialisis harus dilakukan setiap hari dan cairan dialisat harus senantiasa berada

di rongga perut agar terjadi pembersihan darah secara adekuat. Ada 2 metode peritoneal dialisis

yaitu:

1. Continuous Ambulatory Peritoneal Dialisis (CAPD): peritoneal dialisis yang dilakukan

sementara pasien aktif melakukan aktifitas sehari-hari. CAPD dilakukan 3-6 kali perhari

dengan jumlah cairan dialisat sebanyak 2 liter setiap satu putaran, lamanya cairan dialisat

berada di dalam rongga peritonium 4-6 jam.

2. Continuous Cyclic Peritoneal Dialisis (CCPD) atau Peritoneal Dialisis otomatis. CCPD

dilakukan dengan memakai bantuan mesin sewaktu pasien sedang tidur. Mesin secara

38

Page 39: Ckd stage v e.c ht kronic

otomatis akan melakukan penukaran cairan dialisat sebanyak 4-8 kali pada malam hari

selama 8-12 jam ketika pasien sedang tidur.

Keuntungan menggunakan Peritoneal Dialisis:

• Pasien diajar mandiri dalam melakukan dialisis sehingga lebih percaya diri

• Waktu lebih bebas, dapat dilakukan di rumah/tempat kerja

• Proses dialisis lebih 'lembut', tidak terjadi lonjakan-lonjakan penurunan tekanan darah yang

drastis seperti pada hemodialisis sehingga lebih cocok bagi pasien dengan gangguan fungsi

jantung

• Tahan lama asalkan dilakukan dengan benar sesuai petunjuk dan dilakukan dengan higienis

Komplikasi PD dapat berupa komplikasi mekanis, komplikasi metabolik, dan komplikasi

radang :

a. Komplikasi mekanis

• Perforasi organ abdomen (usus, aorta, kandung kencing, atau hati)

• Perdarahan yang kadang-kadang dapat menyumbat kateter

• Gangguan drainase aliran cairan dialisat

• Bocornya cairan dialisat

• Perasaan tidak enak dan sakit dalam perut

b. Komplikasi metabolik

• Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa

• Gangguan metabolisme karbohidrat perlu diperhatikan terutama pada penyandang DM

berupa hiperglikemia tak terkendali dan kemungkinan dapat juga terjadi hipoglikemia

postdialisis

• Kehilangan protein yang terbuang lewat cairan dialisat

• Sindrom disekuilibrium. Terdiri dari kumpulan gejala berupa sakit kepala, muntah,

kejang, disorientasi, hipertensi, kenaikan tekanan cairan serebrospinal, koma, dan dapat

menyebabkan kematian pasien. Komplikasi ini dapat terjadi pada pasien dengan kadar

ureum tinggi, di mana koreksi kelainan biokimiawi terjadi terlalu cepat dan lebih sering

terjadi pada pasien dengan overhidrasi

39

Page 40: Ckd stage v e.c ht kronic

a. Komplikasi radang

• Infeksi pernapasan, biasanya berupa pneumonia, atau bronkitis purulenta

• Sepsis lebih sering terjadi pada pasien dengan infeksi fokal di luar peritoneum seperti

pneumonia atau pielonefritis

• Peritonitis

Prognosis

Angka kematian lebih tinggi pada pasien yang menjalani dialisis dibandingkan pada pasien kontrol dengan umur yang sama. Angka kematian setiap tahun adalah 21,2 setiap seratus pasien per tahun. Angka kelangsungan hidup yang diharapkan pada pasien grup usia 55-64 tahun adalah 22 tahun sementara pada pasien dengan gagal ginjal terminal angka kelangsungan hidup adalah 5 tahun. Penyebab utama kematian adalah disfungsi jantung (45%). Penyebab lainnya termasuk infeksi (14%), penyakit cerebrovaskular (6%), dan keganasan (4%). Diabetes, umur, albumin serum rendah, status sosial ekonomik rendah dan dialisis inadekuat adalah prediktor signifikan dalam angka kematian.

Bagi pasien yang membutuhkan dialisis untuk mempertahankan hidupnya namun memilih untuk tidak melakukan dialisis, kematian bisa terjadi dalam hitungan hari sampai minggu. Secara umum terjadi uremia dan pasien kehilangan kesadaran menjelang kematian. Aritmia bisa terjadi sebagai akibat dari ketidakseimbangan elektrolit. Hipervolemia dan dispnea dapat ditatalaksana dengan restriksi cairan dan opioid.

Sementara pada pasien yang menjalani transplantasi ginjal, pasien bisa kembali hidup normal seperti biasa meskipun harus menjalani medikasi dengan regimen imunosupresif.

Transplantasi Ginjal

Transplantasi ginjal telah menjadi terapi pengganti utama pada pasien gagal ginjal tahap

akhir hampir di seluruh dunia. Manfaat transplantasi ginjal sudah jelas terbukti lebih baik

dibandingkan dengan dialisis terutama dalam hal perbaikan kualitas hidup. Salah satu

diantaranya adalah tercapainya tingkat kesegaran jasmani yang lebih baik. Misalnya seorang

perempuan muda yang menerima ginjal transplant bisa hamil dan melahirkan bayi yang sehat.

Manfaat transplantasi ginjal paling jelas terlihat pada pasien usia muda dan pasien diabetes

melitus. Sebagai contoh, pasien dialisis nondiabetik yang berumur 20-39 tahun mempunyai

harapan hidup 20 tahun lagi, tetapi jika dilakukan transplantasi ginjal harapan hidupnya menjadi

40

Page 41: Ckd stage v e.c ht kronic

31 tahun lagi. Pasien dialisis yang diabetik pada kelompok yang sama mempunyai harapan hidup

8 tahun lagi, tetapi jika dilakukan transplantasi ginjal harapan hidupnya menjadi 25 tahun lagi.

Keuntungan transplantasi ginjal dibandingkan dengan hemodialisis kronik.

Transplantasi Ginjal HD kronikProsedur Biasanya satu kali Seumur hidup

Kualitas hidup

(jika berhasil)

Baik sekali Cukup baik

Ketergantungan pada

fasilitas medik

minimal besar

Jika gagal Dapat HD kembali atau

transplantasi lagi

meninggal

Angka kematian pertahun 4-8 % 20-25 %

Cangkok ginjal adalah mencangkokkan ginjal sehat yang berasal dari manusia lain

(donor) ke tubuh pasien gagal ginjal terminal melalui suatu tindakan bedah (operasi). Biasanya

ginjal cangkokan ditempelkan (dicangkokkan) di sebelah bawah pada pembuluh darah yang

sama dari ginjal lama yang sudah 'tidak' berfungsi sedangkan ginjal lama dibiarkan ditempatnya.

Kenyataan bahwa manusia dapat hidup dengan satu ginjal membuat cangkok ginjal

begitu populer sebagai upaya terakhir bagi penyembuhan gagal ginjal terminal, selain itu

membuat para calon pendonor ginjal bersedia 'menyumbangkan' satu ginjalnya bagi orang lain

yang memerlukan.

Transplantasi ginjal dapat memanfaatkan ginjal donor hidup yang sehat atau ginjal donor

jenazah, juga ginjal xenogenik. Sebagian besar negara di Asia sudah memanfaatkan donor

41

Page 42: Ckd stage v e.c ht kronic

jenazah, sedangkan Indonesia belum memanfaatkan donor jenazah. Proses evaluasi calon donor

hidup :

(1) Penjaringan Donor

• Edukasi resipien tentang donasi donor hidup dan jenazah

• Anamnesis riwayat keluarga dan penjaringan calon donor

• Konfirmasi kesamaan golongan darah ABO donor-resipien

• Pemeriksaan tissue typing dan cross match

• Pilih donor yang paling sesuai

• Edukasi calon donor tentang proses evaluasi dan donasi

(2) Evaluasi Donor

• Anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap

• Pemeriksaan laboratorium (darah lengkap, kimia darah, HbsAg, anti-HCV, CMV,

VDRL, HIV, tes toleransi glukosa jika ada riwayat diabetes dalam keluarga, hemostasis,

tes kehamilan, urinalisis kultur urin, tes klirens kreatinin, ekskresi protein dalam urin 24

jam)

• Foto thoraks, EKG, tes treadmill (usia > 50 tahun), pielografi intravena

• Evaluasi psikiatrik

42

Page 43: Ckd stage v e.c ht kronic

• Arteriografi

ginjal

• Tes cross

match

sebelum

transplantasi

Walaupun

cangkok ginjal

merupakan terapi terbaik bagi pasien Gagal Ginjal Kronik Stadium Terminal, namun bukan

perkara mudah bagi pasien untuk memasuki fase ini disebabkan banyaknya kendala yang

menghadang. Kendala yang sering dialami pasien yang ingin atau telah melakukan cangkok

ginjal antara lain:

• Ketersediaan donor ginjal. Jumlah donor di Indonesia masih sangat kecil, hanya 15 donor

ginjal per tahunnya, dibandingkan dengan terjadinya 2.000 kasus baru penyakit ginjal

kronik stadium akhir per tahunnya.

• Tingginya biaya operasi cangkok ginjal. Dana yang diperlukan untuk persiapan transplantasi

ginjal di RS dalam negeri berkisar dari 28,5 juta hingga 35 juta rupiah. Total biaya

transplantasi di dalam negeri sekitar 80 juta hingga 250 juta rupiah. Sedangkan bila

dilakukan di luar negeri akan menghabiskan biaya sekitar 100 juta hingga 570 juta rupiah.

• Kecocokan donor dengan resipien. Bila donor sudah tersedia atau bersedia, belum tentu akan

cocok bila ginjalnya dicangkokkan ke tubuh resipien. Donor dan resipien perlu menjalani

serangkaian pemeriksaan untuk memperkirakan kecocokan dan tingkat keberhasilan operasi

cangkok ginjal yang akan dilaksanakan.

• Terjadinya penolakan (rejection) setelah operasi cangkok ginjal. Rejection merupakan

masalah terbesar bagi pasien pasca operasi cangkok ginjal.

43

Kriteria Ekslusi Calon Donor HidupUmur < 18 tahun atau > 65 tahun

Hipertensi (> 140/90 atau perlu obat darah tinggi)

Diabetes (Tes toleransi glukosa atau HbA1c abnormal)

Proteinuria (> 250 mg/24 jam)

Riwayat batu ginjal

LFG abnormal (< 80 ml/menit)

Hematuria mikroskopik

Kelainan urologik ginjal donor

Masalah medik yang bermakna (PPOK, keganasan)

Obesitas (30% di atas BB ideal)

Riwayat trombosis atau tromboembolisme

Kontraindikasi psikiatrik

Page 44: Ckd stage v e.c ht kronic

DAFTAR PUSTAKA

1. Tessy Sp.PD, Prof. DR. Dr. Agus, dkk. GINJAL HIPERTENSI: BUKU AJAR ILMU PENYAKIT DALAM. Jakarta: pusat penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. Hal 570-590.

2. L.Kasper MD, Dennis dkk. HARRISON’S MANUAL OF MEDICINE. India: Mc Graw

Hill. 2005. Hal 707-708

3. J.McPhee MD, Steven dkk. KIDNEY DISEASE: CURRENT MEDICAL DIAGNOSIS

AND TREATMENT. United States of America: Mc Graw Hill. 2009. CHAPTER 22

4. L. Brown, Alison; Wilkinson, Robert. RENAL HYPERTENSION:OXFORD TEXTBOOK OF CLINICAL NEPHROLOGY VOL 1. Oxford University Press. 2005. CHAPTER 9

44

Page 45: Ckd stage v e.c ht kronic

5. Goldsmith, David. CHRONIC KIDNEY DISEASE-PREVENTION OF PROGRESSION AND OF CARDIOVASCULAR COMPLICATIONS:ABC OF KIDNEY DISEASE. Blackwell Publishing Ltd. 2007. CHAPTER 3

45