referat pneumotoraks e.c tb
TRANSCRIPT
REFERAT
PNEUMOTORAKS ET CAUSA TUBERKULOSIS
Oleh:Billy Tjoanatan (0210145)
Pembimbing:dr. Andre Suhendra, Sp.P
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAMSUBBAGIAN PULMONOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
RUMAH SAKIT IMMANUEL
1
BANDUNG2012
2
BAB I
PENDAHULUAN
Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga
pleura. Pada keadaan normal rongga pleura tidak berisi udara, supaya paru-paru
leluasa mengembang terhadap rongga dada. Pnumotoraks dapat terjadi spontan
atau traumatik. Pneumotoraks spontan dibagi menjadi primer dan sekunder.
Primer jika penyebab tidak diketahui, sedangkan sekunder jika terdapat latar
belakang penyakit paru sebelumnya. Pneumotoraks traumatik dibagi dua yaitu
yang iatrogenik dan bukan iatrogenik.
Insidensi pneumotoraks sulit diketahui karena episodenya banyak dan
tidak diketahui. Perbandingan pria dan wanita 5:1. Pneumotoraks spontan primer
sering dijumpai pada individu sehat, tanpa riwayat paru sebelumnya., dan lebih
sering pada pria dengan usia dekade 3 dan 4. Salah satu penelitian menyebutkan
sekitar 81% kasus pneumotoraks spontan primer berusia kurang dari 45 tahun.
Pada referat ini akan dibahas terutama tentang pneumotoraks spontan
sekunder yang terjadi pada pasien tuberkulosis.
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronis yang disebabkan
oleh Mycobacteria. Pada manusia kebanyakan yang menginfeksi adalah
Mycobacterium tuberculosis. Biasanya tuberkulosis menyerang paru, namun
dapat juga menyerang Central Nervus System, sistem limfatikus, sistem urinaria,
sistem pencernaan, tulang, sendi dan lainnya.
Karena penyakit TB bersifat kronis dan resistensi kuman terhadap obat
cukup tinggi, maka tidak jarang menimbulkan komplikasi. Salah satu komplikasi
yang bisa ditimbulkan adalah pneumotoraks. Di mana pnumotoraks yang terjadi
adalah pneumotoraks spontan sekunder.
Seaton dkk. Melaporkan bahwa pasien tuberkulosis aktif mengalami
komplikasi pneumotoraks sekitar 1,4% dan jika terdapat kavitas paru, komplikasi
meningkat lebih dari 90%.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan
oleh Mycobacteria. Pada manusia kebanyakan yang menginfeksi adalah
Mycobacterium tuberculosis. Selain itu terdapat juga Mycobacterium bovis,
Mycobacterium africanum, Mycobacterium canetti, dan Mycobacterium microti.
Biasanya tuberkulosis menyerang paru, namun dapat juga menyerang Central
Nervus System, sistem limfatikus, sistem urinaria, sistem pencernaan, tulang,
sendi dan lainnya.
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang
pleomorfik gram positif, berukuran 0,4 – 3 μ, mempunyai sifat tahan asam, dapat
hidup selama berminggu-minggu dalam keadaan kering, serta lambat
bermultiplikasi (setiap 15 sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan salah satu jenis
bakteri yang bersifat intracellular pathogen pada hewan dan manusia.
Selain Mycobacterium tuberculosis, spesies lainnya yang juga dapat
menimbulkan tuberkulosis adalah Mycobacterium bovis, Mycobacterium
africanum, dan Mycobacterium microti (en.wikipedia.org,
www.microbiologybytes.com).
4
2.2 Patogenesis
Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah
perkotaan mempermudah proses penularan dan berperan sekali dalam peningkatan
jumlah kasus TB
Penularan TB biasanya melalui udara, yaitu dengan inhalasi droplet
nukleus yang mengandung basil TB. Hanya droplet nukleus ukuran 1-5 mikron
yang dapat melewati atau menembus sistem mukosilier saluran napas sehingga
dapat mencapai dan bersarang di bronkiolus maupun alveolus.
Gambar 2. Tuberkulosis menyebar lewat udara
Di bronkiolus dan alveolus inilah basil tuberkulosis berkembang biak dan
menyebar melalui saluran limfe dan aliran darah tanpa perlawanan yang berarti
dari pejamu karena belum ada kekebalan awal. Di dalam alveolus makrofag akan
memfagositosis sebagian basil tuberkulosis tetapi belum mampu membunuhnya.
Sebagian basil TB dalam makrofag umumnya dapat tetap hidup dan berkembang
biak dan menyebar melalui saluran limfe regional maupun melalui aliran darah
sehingga dapat mencapai berbagai organ tubuh. Di dalam organ tersebut akan
terjadi transfer antigen ke limfosit.
Basil TB hampir selalu dapat bersarang di sumsum tulang, hepar dan limfe
tetapi tidak selalu dapat berkembang biak secara luas. Basil TB di lapangan atas
paru, ginjal, tulang, dan otak lebih mudah berkembang biak terutama sebelum
imunitas spesifik terbentuk.
5
Imunitas spesifik yang terbentuk biasanya cukup kuat untuk menghambat
perkembangbiakan basil TB lebih lanjut. Dengan demikian lesi TB akan sembuh
dan tidak ada tanda dan gejala klinis. Pada sebagian kasus imunitas spesifik yang
terbentuk tidak cukup kuat sehingga terjadi penyakit TB dalam 12 bulan setelah
infeksi dan pada sebagian penderita TB terjadi setelah lebih dari 12 bulan setelah
infeksi.
Kurang lebih 10% individu yang terkena infeksi TB akan menderita
penyakit TB dalam beberapa bulan atau beberapa tahun setelah infeksi.
Kemungkinan menjadi sakit TB lebih besar pada balita, pubertas dan akil balik.
Keadaan yang menyebabkan turunnya imunitas memperbesar kemungkinan sakit
TB, misalnya karena infeksi HIV dan pemakaian kortikosteroid atau obat
imunosupresif lainnya yang lama, demikian juga pada diabetes melitus.
Hipersensitivitas terhadap beberapa komponen basil TB dapat dilihat pada
uji kulit dengan tuberkulin yang biasanya terjadi 2-10 minggu setelah infeksi.
Dalam waktu 2-10 minggu ini juga terjadi cell-mediated immune response.
Setelah terjadi infeksi pertama, basil TB yang menyebar ke seluruh badan suatu
saat di kemudian hari dapat berkembang biak dan menyebabkan penyakit.
Penyakit TB dapat timbul dalam 12 bulan setelah infeksi, tapi dapat juga setelah 1
tahun atau lebih. Lesi TB paling sering terjadi di lapangan atas paru.
Tuberkulosis post primer dimulai dengan serangan dini, yang umumnya
terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun anterior. Sarang dini mula-
mula berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang pneumonik ini akan
mengikuti salah satu jalan berikut :
1. Direabsorbsi kembali dan sembuh dengan tidak meninggalkan cacat.
2. Sarang tadi mula-mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan
dengan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri, menjadi
lebih keras, terjadi perkapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran.
Sebaliknya dapat juga terjadi bahwa sarang tadi menjadi aktif kembali,
membentuk jaringan keju dan menimbulkan kavitas, bila jaringan keju
dibatukan keluar.
6
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa).
Kavitas mula-mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya akan menjadi
tebal (kavitas sklerotik). Yang kemudian akan terjadi :
- Mungkin belum kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru,
sarang ini akan mengikuti perjalanan seperti yang disebutkan di atas.
- Dapat memadati dan membungkus diri (encapsulated) dan disebut
tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi
mungkin juga aktif kembali mencair lagi dan menjadi kavitas lagi.
- Kavitas bisa juga menjadi bersih dan menyembuh dengan
membungkus diri dan akhirnya mengecil. Mungkin berakhir sebagai
kavitas yang terbungkus, dan menciut kelihatan seperti bintang
(stellate shaped).
- Sarang-sarang aktif, eksudatif.
- Sarang-sarang yang terletak antara aktif dan sembuh.
Gambar 3. Tuberkel
Apabila kavitas yang terbentuk ini pecah maka akan terjadi pneumotoraks
di mana udara dari dalam paru akan masuk ke dalam rongga pleura sehingga paru
menjadi kolaps.
7
Efusi pleura dapat terjadi setiap saat setelah infeksi primer. Efusi biasanya
terjadi karena tuberkuloprotein dari paru masuk ke rongga pleura sehingga terjadi
reaksi inflamasi dan terjadi pengumpulan cairan jernih di dalamnya.
TB milier dapat terjadi pada masa dini, tetapi dapat juga terjadi setelah
beberapa waktu kemudian akibat erosi fokus di dinding pembuluh darah. TB
milier dapat mengenai banyak organ misalnya selaput otak, sehingga terjadi
meningitis TB, dapat juga mengenai tulang, ginjal dan organ lain.
Pada individu normal, respons imunologik terhadap infeksi tuberkulosis
cukup memberi perlindungan terhadap infeksi tambahan berikutnya. Risiko
terjadinya reinfeksi tergantung pada intensitas terpaparnya dan sistem imun
individu yang bersangkutan.
Pada pasien dengan infeksi HIV terjadi penekanan pada imun respons.
Jadi kalau terkena TB sering terjadi TB yang berat dan sering gambaran klinik TB
dengan HIV berbeda dengan TB biasa.
2.3 Klasifikasi Tuberkulosis
2.3.1 Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)
1. Tuberkulosis paru BTA (+) :
a. sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak hasilnya BTA(+)
b. satu spesimen dahak BTA(+) dan radiologis menunjukkan
gambaran tuberkulosis aktif
c. satu spesimen dahak BTA (+) dan biakan (+)
2. Tuberkulosis paru BTA (-)
a. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA (-),
gambaran klinis dan kelainan radiologis menunjukkan
tuberkulosis aktif
b. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA (-) dan
biakan M. Tuberculosis (+)
8
2.3.2 Berdasarkan tipe pasien
a. Kasus baru
Pasien belum pernah mendapat pengobatan OAT atau pernah
mendapat OAT kurang dari 1 bulan.
b. Kasus relaps
Pasien sebelumnya sudah mendapat pengobatan tuberkulosis
kemudian dinyatakan sembuh, kemudian kembali berobat karena BTA
(+) atau biakan (+)
c. Kasus drop out
Pasien menjalani pengobatan ≥ 1 bulan dan tidak mengambil obat
dalam 2 bulan berturut-turut sebelum pengobatan selesai.
d. Kasus gagal pengobatan
Pasien BTA (+) yang masih (+) atau kembali menjadi (+) lagi pada
akhir bulan ke-5 atau pada akhir pengobatan.
e. Kasus kronik
Pasien dengan BTA (+) setelai selesai pengobatan ulang dengan
pengobatan kategori 2 dan dengan pengawasan yang baik
f. Kasus Bekas TB
- Hasil pemeriksaan BTA (-), biakan (-), gambaran radiologis TB
tidak aktif atau foto serial menunjukan gambaran menetap.
Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.
- Pada kasus dengan gambaran radiologis meragukan atau telah
mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang
tidak ada perubahan gambaran radiologis.
9
2.3.3 Berdasarkan Patogenesis
2.4 Gejala-gejala Tuberkulosis
Keluhan yang dirasakan oleh pasien tuberkulosis dapat bermacam-macam.
Bahkan tidak jarang, pasien TB paru tidak mengeluhkan apapun.
Keluhan yang banyak dijumpai:
a. Demam
Biasanya demam subfebris yang menyerupai demam influenza. Tapi
kadang-kadang demam dapat mencapai suhu 40-41 0C. Demam dapat
hilang timbul. Keadaan ini dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien
dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.
b. Batuk, batuk berdarah
Gejala ini sering ditemukan. Batuk terjadi karena iritasi bronkus.
Batuk diperlukan untuk membuang produk-produk radang. Karena
terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, maka munculnya
10
batuk maupun sifat batuk bisa bermacam-macam. Batuk umumnya
lebih dari 3 minggu.
Keadaan lanjut adalah berupa batuk berdarah. Hal itu disebabkan
karena adanya pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk
berdarah terjadi pada kavitas, maupun ulkus dinding bronkus.
c. Berkeringat malam, nafsu makan menurun, kehilangan berat badan
dan mudah menjadi lelah.
2.5 Pneumotoraks
Pneumotoraks adalah adanya udara dalam rongga pleura.
Pneumotoraks diklasifikasikan menjadi :
1. Pneumotoraks spontan
a. Pneumotoraks spontan primer
Umumnya disebabkan oleh pecahnya suatu bleb subpleura yang
biasanya terdapat di daerah apeks paru. Factor resiko utama adalah
merokok. Pada beberapa kasus faktor herediter juga memegang
peranan, umumnya penderita berpostur tinggi dan kurus.
b. Pneumothoraks spontan sekunder
Terjadi sebagai komplikasi penyakit paru dasarnya (underlying
lung disease). Beberapa penyakit yang sering menjadi penyebab
pneumothoraks antara lain PPOK tipe emfisema dan tuberkulosis
paru.
2. Pneumothoraks Traumatika
Terjadi sebagai akibat trauma, baik trauma tumpul maupun trauma tajam
di dinding dada.
3. Pneumothoraks iatrogenik
Terjadi sebagai akibat tindakan medis yang dilakukan, misalnya akibat
punksi pleura, biopsy pleura, trans thoracal biopsy, dll
11
Pneumotoraks dibagi menjadi tension dan non tension pneumotoraks.
Tension pneumotoraks merupakan kondisi bahaya dimana terjadi akumulasi dari
udara di ruangan pleura ketika setiap bernafas. Peningkatan tekanan intratorakal
menghasilkan pergeseran yang masif dari mediastinum ke arah paru yang sehat
dan menekan ke pembuluh darah. Sebaliknya nontension pneumothoraks tidak
begitu berbahaya karena tidak ada penumpukan udara dan penekanan organ dalam
paru.
Paru terdapat dalam rongga dada, dengan rongga yang sempit. Udara
masuk ke dalam rongga paru melewati diafragma. Rongga paru antara dinding
dada dengan paru, jika udara masuk ke dalam rongga ini, mau itu dari dalam paru
(closed pneumothorax) ataupun dari luar rongga dada (open pneumothorax) akan
terjadi kolaps dari paru yang menyebabkan orang tersebut menjadi tidak bisa
bernafas, walaupun dengan saluran pernafasan yang terbuka. Jika jaringan
membentuk saluran satu arah yang dapat membuat udara masuk ke dalam rongga
dada namun tidak bisa kabur, maka tekanan yang terlalu tinggi terbentuk setiap
kali bernafas, hal ini diketahui sebagai tension pneumotoraks. Hal ini dapat
menyebabkan kolaps dari system pernafasan, kedua kondisi tersebut memerlukan
tindakan yang cepat karena mengancam jiwa.
Pneumotoraks biasanya dimanifestasikan dengan nafas yang pendek-
pendek yang timbul tiba-tiba, batuk berdahak, sianosis dan rasa sakit pada dada,
pundak dan tangan. Pada penetrasi luka di dada akan terdengar suara udara
melewati lubang pungtur yang berarti mengindikasikan pneumotoraks . jika tidak
dilakukan tindakan maka akan terjadi hipoksia yang kemudian akan berujung
pada kehilangan kesadaran dan koma. Selain itu terjadi pendorongan mediastinum
ke arah paru yang sehat yang dapat berakibat juga penekanan pada vena cava
superior dan inferior yang berakibat pada berkurangnya cardiac preload dan
menurunnya cardiac output.
Pada kasus yang berat, pneumothoraks dapat berujung kematian dalam
hitungan waktu yang cepat. Pneumotoraks dapat juga terjadi pada suatu prosedur
kesehatan seperti pemasangan kateter intravena, pada vena subclavia atau vena
jugularis.
12
2.6 Patogenesis
Pleura secara anatomis merupakan satu lapis sel mesothelial, ditunjang
oleh jaringan ikat, pembuluh darah dan kapiler serta saluran limfatikus. Rongga
pleura dibatasi oleh dua lapisan tipis mesothelial, terdiri dari pleura parietalis
yang melapisi otot-otot, dinding dada, tulang dan kartilago, diafragma dan
mediastinum. Dan pleura viseralis yang melapisi paru, dan menyusup ke semua
fisura. Rongga pleura yang normal terisi cairan (10-20 mL) dan berfungsi sebagai
pelumas di antara kedua lapisan pleura.
2.6.1 Pneumotoraks Spontan Primer
Pneumotoraks spontan primer terjadi karena robeknya suatu kantong udara
dekat pleura viseralis. Penelitian secara patologis membuktikan bahwa pasien
pneumotoraks spontan yang parunya direseksi tampak adanya satu atau dua ruang
berisi udara dalam bentuk bulla yang dibatasi pleura fibrotik yang menebal,
sebagian oleh jaringan fibrosa paru sendiri sebagian lagi oleh jaringan paru
emphiematous.
Proses terbentuknya bulla belum diketahui, banyak pendapat menyatakan
terjadinya kerusakan bagian apeks paru berhubungan dengan iskemia atau
peningkatan distensi pada alveoli di daerah apeks patu akibat tekanan pleura yang
lebih negatif.
Pecahnya alveoli berhubungan dengan obstruksi check-valve pada saluran
nafas kecil sehingga timbul distensi tuang udara bagian distalnya.
2.6.2 Pneumotoraks Spontan Sekunder
Pneumotoraks Spontan Sekunder terjadi karena pecahnya bulla viseralis
dan sering berhubungan dengan penyakit paru yang mendahului.
Patogenesis pneumotoraks Spontan Sekunder multifaktorial, umumnya
terjadi akibat komplikasi PPOK, tuberkulosis, asma, penyakit paru infiltratif lain
(pneumonia supuratif, pneumocystis Carinii).
13
Pneumotoraks spontan Sekunder umumnya lebih berat daripada
pneumotoraks spontan primer, karena pada pneumotoraks spontan sekunder
terdapat penyakit paru yang sebelumnya mendahuluinya.
2.7 Diagnosis
Anamnesis :
Sesak nafas (didapatkan pada 80-100% kasus)
Nyeri dada ( didapatkan pada 75-90% kasus)
Batuk-batuk (didapatkan pada 25-35% kasus)
Pemerikasaan fisik :
Pada pneumotoraks yang kecil, biasanya hanya menimbulkan takikardia ringan
dan gejala yang tidak khas. Pada pneumotoraks yang besar, biasanya didapatkan
takikardia berat, hipotensi serta:
Inspeksi : dinding dada yang terkena tertinggal pada pergerakan, pergeseran
mediastinum atau trakea
Palpasi : taktil fremitus menurun
Perkusi : bisa normal atau meningkat (hipersonor)
Auskultasi : VBS menurun, Vocal resonan menurun sampai menghilang
Pemeriksaan penunjang :
Analisis gas darah arteri memberikan gambaran hipoksemia meskipun
pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan.
Pada pemeriksaan foto toraks bisa didapatkan daerah hiperlusen, corkan
vaskular paru menghilang, dengan garis paru pada sisi medial
Hilangnya suara pernafasan dalam stetoskop dapat mengindikasikan
bahwa paru tidak memenuhi rongga dada. Tanda ini disertai oleh hipersonor pada
pemeriksaan perkusi di dinding dada menambah dugaan pneumotoraks.
Pemeriksaan koin test dapat positif. Jika tanda-tanda pneumotoraks meragukan
maka dilakukan foto rontgen, namun pada hipoksia berat atau ada tanda-tanda
14
tension pneumotoraks maka penanganan terhadap pneumotoraks tersebut
dilakukan pertama kali. Pada posisi supine rongent akan didapatkan deep sulcus
sign, yang dikarakteristikan sebagai sudut rendah lateral dari costophrenicus pada
sisi yang terinfeksi. Tempat di mana rusuk dan diafragma bertemu terlihat lebih
rendah pada rontgen dengan deep sulcus sign memberikan diagnostik
pneumotoraks.
2.8 Diagnosis Banding
- Miokardium infark akut:
nafas yang pendek dan sakit dada, namun sakit dada pada MI biasanya
spesifik seperti di hancurkan, sentral dan menyebar ke daerah rahang, tangan
kiri atau perut. Namun pasien dengan MI bisa juga superinfeksi dengan
penyakit paru.
- Emphysema :
kehilangan fungsi jaringan paru dan digantikan dengan rongga berudara yang
juga menyebabkan nafas yang pendek-pendek, berkurangnya asupan udara
dan meningkatnya resonansi pada pemeriksaa. Emphysema merupakan
penyakit kronik, bedanya emphysema difus sedangkan pneumothorax local,
anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto rontgen harus dilakukan dan dinilai
teliti sehingga dapat didapatkan hasil yang akurat.
2.9 Penatalaksanaan
Setelah diagnosis yang tepat ditegakan maka observasi yang cermat perlu
dilaksanakan. Bila pasien sesak nafas sekali maka dilakukan pemasangan WSD
(water sealed drainage). Pada pasien yang gawat sekali maka pemasangan WSD
harus segera dilakukan dengan menusukan jarum ke rongga pleura yang berfungsi
sebagai penyelamat.
Tujuan dari penatalaksanaan pneumotoraks adalah mengeluarkan udara
dari rongga toraks dan mencegah pneumotoraks yang berulang. Pada simple
pneumothorax minimal (<15% hemithorax) biasanya dilakukan pengobatan
konservatif, karena akan sembuh sendiri dengan sendirinya, tidak perlu invasive
15
kemudian penderita harus istirahat di tempat tidur selama beberapa hari dan
observasi keluhan sesak dan tanda-tanda vital. Kemudian berikan oksigen 2-4 L
dan obati penyakit dasar yang menyebabkan pneumotoraks. Untuk memeriksanya
apakah ada perbaikan atau tidak maka dilakukan foto rontgen berulang kemudian
dibandingkan antara yang lama dan baru. Pneumotoraks yang terlalu kecil
membutuhkan thoracostomy tabung dan terlalu besar untuk tidak dilakukan
tindakan maka dilakukan aspirasi dengan kateter kecil.
Pada tensional pneumotoraks atau simple pneumothorax > 15%
hemithoraks dengan dispnea berat, gangguan respirasi, hipoksia arteri yang nyata
(PO2 <55 mmHg), kolaps total total pada satu paru, pembesaran pneumothorax
bilateral, harus segera dilakukan pemasangan pipa torakostomi (chest tube).
Teknik pengeluaran (drainage) udara keluar dari rongga pleura dapat dilakukan
dengan :
- Simple aspirasi
- Pemasangan WSD (water sealed drainage)
16
Panduan pengobatan TB
Kasus paru BTA + , kasus BTA -,
lesi luas kasus berat, tiba di luar paru 2RHZE/4RH 2RHZE/4R3H3
Kambuh, gagal Sesuai uji 2RHZES/1RHZE
5R3H3E3
TB paru pengobatan berulang Sesuai lamanya
pengobatan
sebelumy. Lama
berhenti obat dan
keadaan klinis
bakteriologis &
radiologis saat ini
2RHZES/1RHZE
5R3H3E3
TB paru BTA - 2RHZ/4RH 2RHZ/4R3H3
kronik Sesuai uji resistensi H seumur hidup
MDR TB Sesuai uji resistensi
+ quinolon
H seumur hidup
Pendekatan DOTS
DOTS adalah strategi yang telah direkomendasi oleh WHO dalam
pelaksanaan program penanggulangan TB. Penanggulangan dengan strategi
DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi. Sesuai dengan
rekomendasi WHO, maka strategi DOTS terdiri atas 5 komponen, yaitu sebagai
berikut.
- komitmen politis dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana.
- Diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
17
- Pengobatan dengan panduan OTA jangka pendek dengan pengawasan
langsung oleh pengawas menelan obat (PMO)
- Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin
- Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan
dan evaluasi program penganggulangan TBC
Sumber penularan dan case finding
Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan
melakukan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan dilakukan dengan cara
pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal). Pelacakan
tersebut dilakukan dengan cara anamnestik, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, yaitu uji tuberkulin.
Aspek sosial ekonomi
Pengobatan tuberkulosis tidak terlepas dari masalah sosio ekonomi, karena
pengobatan TB memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu
yang cukup lama, maka memerlukan biaya yang cukup besar. Edukasi ditujukan
kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui tentang tuberkulosis. Pasien TB
anak tidak perlu diisolasi.
18
BAB III
KESIMPULAN
Pneumotoraks merupakan suatu kondisi paru yang mengancam jiwa,
pneumotoraks dapat disebabkan oleh berbagai sebab. Salah satunya akibat
penyakit tuberkulosa.
Gejala pneumotoraks akibat tuberkulosa tidak berbeda dengan gejala
pneumotoraks karena penyebab lainnya. Gejala yang muncul tergantung dari
seberapa luas pneumotoraks yang terjadi.
Penatalaksanaannya pun tidak jauh berbeda. Apabila pasien datang dengan
pneumotoraks et causa tuberculosa maka dilakukan tindakan untuk
menyelamakan jiwa yaitu menangani pneumotoraks terlebih dahulu baru
kemudian tuberkulosanya diobati.
19
DAFTAR PUSTAKA
FK UI. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV, Jilid II. Jakarta: 2006, Hal 988-
1000, 1063-1068
Loddenkemper, R dan Frank, W, 2003, Pleural Disease in Respiratory Medicine,
3rd Edition, Vol. 2, Hal 1184-1937
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Jakarta: 2006, Hal 8-32
WHO Guidelines for The Management of Drug-Resistant Tuberculosis, 2nd
Edition. Geneva: 1997
http://en.wikipedia.org/wiki/Tuberculosis
http://www.mayoclinic.com/health/pneumothorax
20