obs. febris e.c suspec dhf

68
1 BAB I PENDAHULUAN Keadaan demam sejak zaman Hippocrates sudah diketahui sebagai pertanda penyakit. Galileo pada abad pertengahan menciptakan alat pengukur suhu dan Santorio di Padua melaksanakan aplikasi pertama penemuan alat ini di lingkungan klinik. Tiga abad kemudian baru untuk pertama kali, Traube memperlihatkan sebuah kurve suhu secara menyeluruh yang dibuat di sebuah klinik di Leipzig. Penggunaan kurve suhu makin meluas setelah dipublikasikannya pendapat Wunderlich pada tahun1868, dimana beliau mengatakan bahwa dengan semakin banyak pengalamannya memakai dalam memakai alat pengukur suhu ini semakin bertambah keyakinannya mengenai manfaat pengukuran tersebut, khususnya untuk mendapatkan informasi yang cukup akurat dan prediktif mengenai kondisi seorang pasien. Suhu pasien biasanya diukur dengan thermometer air raksa dan tempat pengambilannya dapat di aksila, oral atau rectum. Suhu tubuh normal berkisar antara 36,5⁰- 37,2⁰C. Suhu subnormal di bawah 36⁰C. Dengan demam pada umumnya diartikan suhu tubuh di atas 37,2⁰C. Hiperpireksia adalah suatu keadaan kenaikan suhu tubuh sampai setinggi 41,2⁰C atau lebih, sedangkan hipotermia adalah keadaan suhu tubuh di bawah 35⁰C. Biasanya terdapat perbedaan antara pengukuran 1

Upload: harlan-simarmut

Post on 20-Oct-2015

354 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

Keadaan demam sejak zaman Hippocrates sudah diketahui sebagai

pertanda penyakit. Galileo pada abad pertengahan menciptakan alat pengukur

suhu dan Santorio di Padua melaksanakan aplikasi pertama penemuan alat ini di

lingkungan klinik. Tiga abad kemudian baru untuk pertama kali, Traube

memperlihatkan sebuah kurve suhu secara menyeluruh yang dibuat di sebuah

klinik di Leipzig. Penggunaan kurve suhu makin meluas setelah

dipublikasikannya pendapat Wunderlich pada tahun1868, dimana beliau

mengatakan bahwa dengan semakin banyak pengalamannya memakai dalam

memakai alat pengukur suhu ini semakin bertambah keyakinannya mengenai

manfaat pengukuran tersebut, khususnya untuk mendapatkan informasi yang

cukup akurat dan prediktif mengenai kondisi seorang pasien. Suhu pasien

biasanya diukur dengan thermometer air raksa dan tempat pengambilannya dapat

di aksila, oral atau rectum. Suhu tubuh normal berkisar antara 36,5⁰- 37,2⁰C. Suhu

subnormal di bawah 36⁰C. Dengan demam pada umumnya diartikan suhu tubuh

di atas 37,2⁰C. Hiperpireksia adalah suatu keadaan kenaikan suhu tubuh sampai

setinggi 41,2⁰C atau lebih, sedangkan hipotermia adalah keadaan suhu tubuh di

bawah 35⁰C. Biasanya terdapat perbedaan antara pengukuran suhu di aksila dan

oral maupun rectal. Dalam keadaan biasa perbedaan ini berkisar sekitar 0,5⁰C;

suhu rectal lebih tnggi daripada suhu oral.1

Dalam beberapa keadaan diperlukan pengukuran suhu yang lebih akurat

seperti pada pasien yang banyak berkeringat atau dengan frekuensi pernafasan

yang tinggi. Pada keadaan tersebut, lebih baik diukur suhu rectal karena

perbedaan yang mungkin didapatkan pada pengukuran suhu di berbagai tempat

dapat mencapai 2-3⁰C. Demam pada mamalia dapat memberi petunjuk bahwa

pada temperature 39⁰C, produksi antibody dan proliferasi sel limfosit-T

meningkat sampai 20 kali dibandingkan dengan keadaan pada temperature normal

(37⁰C). Dalam evolusi kehidupan, tubuh telah mengembangkan suatu system

1

2

pertahanan yang cukup ampuh terhadap infeksi dan peninggian suhu badan

memberikan suatu peluang kerja yang optimal untuk system pertahanan tubuh.

Demam terjadi karena penglepasan pirogen dari dalam leukosit yang sebelumnya

telah terangsang oleh pirogen eksogen yang dapat berasal dari mikroorganisme

atau merupakan suatu reaksi imunologik yang tidak berdasarkan suatu infeksi.

Dewasa ini diduga bahwa pirogen adalah suatu protein yang identik dengan

interleukin-1. Di dalam hipotalamus zat ini merangsang penglepasan asam

arakidonat serta mengakibatkan peningkatan sintesis prostaglandin E2 yang

langsung dapat menyebabkan suatu pireksia.1

Pengaruh pengaturan autonom akan mengakibatkan terjadinya

vasokonstriksi perifer sehingga pengeluaran panas menurun dan pasien merasa

demam. Suhu badan dapat bertambah tinggi lagi karena meningkatnya aktivitas

metabolisme yang juga mengakibatkan penambahan produksi panas dan karena

kurang adekuat penyalurannya ke permukaan maka rasa demam bertambah pada

seorang pasien.1

Beberapa tipe demam yang mungkin kita jumpai, antara lain1:

Demam septik: pada tipe demam septic, suhu badan berangsur naik ke

tingkat yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat di

atas normal pada pagi hari. sering disertai keluhan menggigil dan

berkeringat. Bila demam yang tinggi tersebut turun ke tingkat yang normal

dinamakan demam hektik.

Demam Remiten: Pada tipe demam remiten, suhu badan dapat turun setiap

hari tetapi tidak pernah mencapai suhu badan normal. Perbedaan suhu

yang mungkin tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar

perbedaan suhu yang dicatat pada demam septic.

Demam Intermiten: pada tipe demam intermiten , suhu badan turun ke

tingkat yang normal selama beberapa jam dalam satu hari. Bila demam

seperti ini terjadi setiap dua hari sekali disebut tersiana dan bila terjadi dua

hari bebas demam di antara dua serangan demam disebut kuartana.

2

3

Demam kontinyu: Pada tipe demam kontiyu variasi suhu sepanjang hari

tidak berbeda lebih dari satu derajat. Pada tingkat demam yang terus

menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia.

Demam Siklik: terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang

diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian

diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula.

Suatu tipe demam kadang-kadang dapat dihubungkan dengan suatu

penyakit tertentu, seperti misalnya tipe demam intermiten untuk malaria. Seorang

pasien dengan keluhan demam mungkin dapat dihubungkan segera dengan suatu

sebab yang jelas, seperti misalnya: abses, pneumonia, infeksi saluran kencing atau

malaria; tetapi kadang-kadang sama seklai tidak dapat dihubungkan dengan suatu

sebab yang jelas. Bila demam disertai keadaan seperti sakit otot, rasa lemas, tak

nafsu makan dan mungkin ada pilek, batuk dan tenggorok sakit, biasanya

digolongkan sebagai influenza atau common cold.1

Kausa demam selain infeksi juga dapat disebabkan oleh keadaan toksemia,

karena keganasan atau reaksi terhadap pemakaian obat. Juga gangguan pada pusat

regulasi suhu sentral dapat menyebabkan peninggian temperature seperti pada

heat stroke, perdarahan otak, koma atau gangguan sentral lainnya. Pada

perdarahan internal pada saat terjadinya reabsorpsi darah dapat pula menyebabkan

peningkatan temperature. Dalam praktek perlu sekali diketahui penyakit-penyakit

infeksi yang endemic di lingkungan tempat tinggal pasien, dan mengenai

kemungkinan infeksiimport dapat dinetralisasi dengan pertanyaan apakah pasien

baru pulang dari suatu perjalanan dari daerah mana dan tempat apa saja yang telah

dikunjunginya. Pada dasarnya untuk mencapai ketepatan diagnosis penyebab

demam diperlukan antara lain, ketelitian pengambilan riwayat penyakit pasien,

pelaksanaan pemeriksaan fisis yang seteliti mungkin, observasi perjalanan

penyakit dan evaluasi pemeriksaan laboratorium serta penunjang lainnya.1

Beberapa hal yang khusus perlu diperhatikan pada demam, adalah cara

timbul demam, lama demam, sifat harian demam, tinggi demam dan keluhan serta

3

4

gejala lain yang menyertai demam. Demam yang tiba-tiba tinggi lebih sering

disebabkan oleh penyakit virus.1

Dengan demikian demam merupakan keluhan yang memerlukan data dan

pemeriksaan lebih lanjut untuk menemukan penyebabnya sehingga pasien

mendapatkan penanganan yang tepat. Pada Kesempatan ini saya akan

memaparkan kasus demam yang menarik untuk dibahas, dikarenakan kasus ini

membutuhkan pemeriksaan, pemahaman dan analisa yang teliti.

4

5

BAB II

STATUS PASIEN

2.1 Status Pasien

2.1.1. Identitas

Nama : Nn. NR

Umur : 12 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Muaro Jambi

Pekerjaan : Pelajar

Status : belum menikah

Tgl. MRS : 28-4-2013

2.1.2. Anamnesis

Keluhan Utama:

Demam sejak 6 hari sebelum masuk Rumah Sakit.

Riwayat Perjalanan Penyakit:

Demam bersifat naik turun, kadang demam turun pada malam hari dan

naik lagi pada pagi hari, begitu juga sebaliknya. menggigil (-),

keringat berlebih pada malam hari (-), mual (+), sakit kepala (-), nyeri

otot (-), nafsu makan menurun. Os juga mengeluh batuk berdahak

sejak 6 hari yang lalu yang semakin memburuk sejak 2 hari yang lalu,

dahak berwarna putih, muntah karena batuk (+), sesak (-), nyeri dada

(-), nyeri sendi (-), nyeri otot (-). Os juga mengeluh nyeri saat menelan

sejak dua hari yang lalu. Riwayat minum obat sebelumnya (-).

Awalnya Os pada hari senin yang kebetulan lagi libur ikut ayahnya

yang seorang guru ke sekolah untuk melihat perlombaan perayaan hari

kartini, sepulang dari sana Os pergi les bahasa Inggris yang jaraknya

18 KM dari rumah Os. Sepulang dari les Os merasa kecapekan lalu

malamnya mulai demam. Os mulai tidak nafsu makan, makan hanya

sesendok dua sendok sehingga badannya semakin lemas, sedangkan

5

6

demamnya masih terus ada. Di sekitar rumah Os banyak juga yang

demam.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Maag (+)

Riwayat Penyakit Keluarga:

Ayah Os pernah dirawat karena Diabetes Mellitus

Riwayat Sosial, Ekonomi, Kebiasaan:

Os hidup dari keluarga yang mampu. Ayah Os adalah guru SD, Ibu Os

adalah Ibu Rumah Tangga. Os mempunyai kebiasaan malas makan.

2.1.3. Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Composmentis

Vital Sign :

TD : 90/70 mmHg

Nadi

Frekuensi : 96x/menit

Irama : reguler

Isi : cukup

Tegangan : kuat

RR :

Frekuensi : 20x/menit

Irama : reguler

Jenis : abdomino- thorakal

Suhu : 37,3 °C

6

7

Keadaan Gizi

- TB : -

- BB : 35 Kg

- IMT : -

Kulit:

- Warna : sawo matang

- Efloresensi : (-)

- Jaringan parut : (-)

- Pertumbuhan rambut : dbn

- Pembuluh darah : dbn

- Suhu : 37,3⁰C

- Turgor : dbn

- Ikterus : (-)

- Edema : (-)

Kelenjar:

- Submandibula : dbn

- leher : dbn

- subclavikula : dbn

- axial : dbn

- Inguinal : dbn

Kepala: dbn

Mata:

- Exoftalmus/enophtal : (-)

- Palpebra : dbn

- Conjungtiva : Konjungtiva anemis (-/-)

- Sclera : ikterik (-/-)

7

8

- Kornea : Jernih

- Pupil : Isokhor

- Lensa : Jernih

- Visus : 6/60

- Gerakan : dbn

- Lap. Pandang : dbn

Telinga

- Tophi : (-)

- Lubang : dbn

- Cairan : (-)

- Nyeri tekan : (-)

- selaput : dbn

- Pendengaran : dbn

Hidung:

- Bagian luar :dbn

- Septum : dbn

- Ingus : (-)

- Selaput lendir : dbn

- Sumbatan : (-)

- perdarahan : (-)

Mulut:

- Bibir : kering

- Gigi Geligi : bersih, dbn

- Gusi : dbn

- Lidah : kotor berwarna putih

- Selaput Lendir : dbn

- Pharynx : hiperemis

8

9

Leher

- Kel. Getah bening : tidak ada pembesaran

- Kel. Gondok : dbn

- Tekanan vena jugularis: 5-2 mmHg

- Kaku Kuduk : (-)

- Tumor : (-)

Dada:

- Bentuk : simetris

- Spider neavi : (-)

Paru-paru anterior:

Dekstra Sinistra

Inspeksi Simetris, tdk ada kelainan Simetris, tidak ada kelainan

Palpasi Fremitus normal Fremitus normal

Perkusi Sonor Sonor

Auskultasi Vesikuler normal, wheezing (-),

ronkhi (-)

Vesikuler normal, wheezing (-),

ronkhi (-)

Paru-paru posterior:

Dekstra Sinistra

Inspeksi Simetris, tidak ada

kelainan

Simetris, tidak ada

kelainan

Palpasi Fremitus normal Fremitus normal

Perkusi Sonor Sonor

Auskultasi Vesikuler normal,

wheezing (-), ronkhi (-)

Vesikuler normal,

wheezing (-), ronkhi (-)

9

10

Jantung

Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat adanya pulsasi

Palpasi : ictus cordis terasa pulsasi, thrill (-), lift (-), Heaving (-)

Perkusi : batas jantung dalam batas normal

Auskultasi: bunyi jantung S1-S2, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : simetris, tidak ada kelainan

Auskultasi : Bising usus (+)

Palpasi :

- Hati : tidak ada nyeri, tidak ada pembesaran

- Limpa : tidak ada nyeri, tidak ada pembesaran

- Ginjal : tidak ada nyeri dan tidak ada pembesaran

Perkusi : timpani

Genitalia : tidak diperiksa

Ekstremitas

- Superior : tidak ada kelainan, akral hangat kekuatan (5/5)

- Inferior : tidak ada kelainan, akral hangat kekuatan (5/5)

2.1.3. Pemeriksaan Laboratorium

(28-4-2013)

WBC : 3.9 x 10³/uL Lym : 27,4% , 1,0 x 10³ mm³

RBC : 5,43 x 106/uL Mon : 7.1 % , 0.2 x 10³ mm³

HGB : 13,8 g/dL Granulosit: 65,5% , 2,7 x 10³ mm³

HCT : 44,2%

PLT : 122 x 10³/uL

MCV : 81 fl

MCHC : 31,2 L g/dL

10

11

MCH : 25,4 L pg

GDS : 89 mg/dL

DDR : (-)

Uji tourniquet: (-)

2.1.4. Diagnosis

- Febris et causa suspek Demam Dengue dengan infeksi sekunder

Faringitis

- Febris et causa tifoid

- Febris et causa influenza

- Febris et causa bronkhitis

2.1.5. Terapi yang diberikan

- Infus Ringer Laktat : Dekstrose 5% = 1 : 1, 20 tetes/menit

- Cefriaxon 2x1 gram (skin test terlebih dahulu)

- Ranitidin 2 x 1 amp

- Paracetamol 3x1

- Antasida 3x C1 (a.c)

11

12

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Virus Dengue

Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan

virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses)

yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan

mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: DEN-1, DEN2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah

satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan,

sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga

tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain

tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3

atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan

di berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang

dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat

serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan

serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi

klinik yang berat.2

3.2 Cara Penularan

Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus

dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan

kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes

albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga

menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk

Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia

yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur

berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum

dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus

dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya (transovanan

12

13

transmission), namun perannya dalam penularan virus tidak penting. Sekali virus

dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan

dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus

memerlukan waktu masa tunas 4-6 hari (intrinsic incubation period) sebelum

menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat

terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2

hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.2

3.3 Epidemiologi

Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke-18, seperti yang

dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu

infeksi virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit

demam lima hari (vijfdaagse koorts) kadang-kadang disebut juga sebagai demam

sendi (knokkel koorts). Disebut demikian karena demam yang terjadi menghilang

dalam lima hari, disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala.

Pada masa itu infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit

ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun 1952 infeksi

virus dengue menimbulkan penyakit dengan manifestasi klinis berat, yaitu DBD

yang ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian ini menyebar ke negara lain

seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Pada tahun 1968 penyakit

DBD dilaporkan di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian yang sangat

tinggi.2

Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus

DBD sangat kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2)

Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali, (3) Tidak adanya kontrol

vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan (4) Peningkatan sarana

transportasi.2

Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor

antara lain status imunitas pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus

dengue, keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis setempat.

13

14

3.4 Patogenesis

Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel

hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel

manusia sebagai pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan

protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya

tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya

tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat

menimbulkan kematian.3

Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom Syok Dengue) masih merupakan

masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD

adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau

hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung

bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus

dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita

DBD/Berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus

lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi

yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama

makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh

tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag.

Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent enhancement (ADE), suatu

proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel

mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi

mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas

pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.3

Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary

heterologous infection dapat dilihat pada Gambar 1 yang dirumuskan oleh

Suvatte, tahun 1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang

berlainan pada seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi

dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit

dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu,

replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan

14

15

akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan

terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang

selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan

C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding

pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang

ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang

sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma

ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar

natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok

yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia,

yang dapat berakhir fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting guna

mencegah kematian.3

Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus

binatang lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus

mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk.

Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan

peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai

potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain virus mempunyai

kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar. Kedua hipotesis tersebut

didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris. 3

Secondary heterologous dengue infection

15

16

Replikasi virus Anamnestic antibody

response

Kompleks virus-antibody

Aktivasi komplemen Komplemen

Anafilatoksin (C3a, C5a) Histamin

dalam urin ↑

Permeabilitas kapiler ↑ Ht ↑

> 30% pada Perembesan plasma Natrium ↓kasus syok 24-48 jam

Hipovolemia Cairan dalam rongga

serosa Syok

Anoksia Asidosis

Meninggal

bagan 1. Patogenesis terjadinya syok pada DBD[3]

Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-

antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi

trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel

pembuluh darah (gambar 2). Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan

pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks

antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP

(adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan

menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system)

sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan

pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif

(KID = koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP

(fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan. 3

Secondary heterologous dengue infection

Replikasi virus Anamnestic antibody

16

17

Kompleks virus antibody

Agregasi trombosit Aktivasi koagulasi Aktivasi komplemen

Penghancuran Pengeluaran Aktivasi faktor Hageman trombosit oleh RES platelet faktor III

Anafilatoksin

Trombositopenia Koagulopati Sistem kinin konsumtif

Gangguan Kinin Peningkatan

fungsi trombosit penurunan faktor permeabilitas pembekuan Kapiler

FDP meningkat

Perdarahan massif

Syok

bagan 2. Patogenesis Perdarahan pada DBD[3]

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,

sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik.

Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman

sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas

kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada

DBD diakibatkan oleh trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat

KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler.

Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.2

Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue

Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya

tahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan

demikian infeksi virus dengue dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-

17

18

macam, mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik

(undifferentiated febrile illness), Demam Dengue, atau bentuk yang lebih berat

yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Sindrom Syok Dengue (SSD).2

Bagan 3

Spectrum Klinis Infeksi Virus Dengue3

Infeksi virus dengue

Asimptomatik Simptomatik

Demam tidak spesifik Demam dengue

Perdarahan (-) Perdarahan (+) Syok (-) Syok (+)

(SSD)

Demam Dengue

Gejala klasik dari demam dengue ialah gejala demam tinggi mendadak,

kadang-kadang bifasik (saddle back fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang bola

mata, nyeri otot, tulang, atau sendi, mual, muntah, dan timbulnya ruam. Ruam

berbentuk makulopapular yang bisa timbul pada awal penyakit (1-2 hari)

kemudian menghilang tanpa bekas dan selanjutnya timbul ruam merah halus pada

hari ke-6 atau ke-7 terutama di daerah kaki, telapak kaki dan tangan. Selain itu,

dapat juga ditemukan petekia. Hasil pemeriksaan darah menunjukkan leukopeni

kadang-kadang dijumpai trombositopeni. Masa penyembuhan dapat disertai rasa

lesu yang berkepanjangan, terutama pada dewasa. Pada keadaan wabah telah

dilaporkan adanya demam dengue yang disertai dengan perdarahan seperti :

epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna, hematuri, dan menoragi.

Demam Dengue (DD) yang disertai dengan perdarahan harus dibedakan dengan

Demam Berdarah Dengue (DBD). Pada penderita Demam Dengue tidak dijumpai

18

19

kebocoran plasma sedangkan pada penderita DBD dijumpai kebocoran plasma

yang dibuktikan dengan adanya hemokonsentrasi, pleural efusi dan asites.2

Demam Berdarah Dengue (DBD)

Perubahan patofisiologis pada DBD adalah kelainan hemostasis dan

perembesan plasma. Kedua kelainan tersebut dapat diketahui dengan adanya

trombositopenia dan peningkatan hematokrit. 3

Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7

hari, disertai dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala,

nyeri otot, tulang, sendi, mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa penderita

mengeluh nyeri menelan dengan faring hiperemis ditemukan pada pemeriksaan,

namun jarang ditemukan batuk pilek. Biasanya ditemukan juga nyeri perut

dirasakan di epigastrium dan dibawah tulang iga. Demam tinggi dapat

menimbulkan kejang demam terutama pada bayi. 3

Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple

Leede) positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena

atau pada bekas pengambilan darah. Kebanyakan kasus, petekia halus ditemukan

tersebar di daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum mole, yang biasanya

ditemukan pada fase awal dari demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih

jarang ditemukan, perdarahan saluran cerna ringan dapat ditemukan pada fase

demam. Hati biasanya membesar dengan variasi dari just palpable sampai 2-4 cm

di bawah arcus costae kanan. Sekalipun pembesaran hati tidak berhubungan

dengan berat ringannya penyakit namun pembesaran hati lebih sering ditemukan

pada penderita dengan syok. 3

Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini

terjadi penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan

sirkulasi yang bervariasi dalam berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan

sirkulasi ringan perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat

penderita dapat mengalami syok. 3

Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua

hal dibawah ini dipenuhi: 3

Demam atau riwayat demam akut, antara 2 – 7 hari, biasanya bifasik

19

20

Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:

o Uji bendung positif

o Petekie, ekimosis, atau purpura

o Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi)

o Hematemesis atau melena

Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)

Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma)

sebagai berikut:

o Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan

umur dan jenis kelamin

o Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,

dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya

o Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau

hipoproteinemi.

Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat:

Derajat I Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi

perdarahan adalah uji tourniquet.

Derajat II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau

perdarahan lain.

Derajat III Didapatkan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lambat,

tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,

sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak tampak

gelisah.

Derajat IV Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan

darah tidak terukur.3

Laboratorium

20

21

Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu

ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit <100.000/µl biasa ditemukan

pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan

perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran

plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit. Penurunan nilai trombosit yang

disertai atau segera disusul dengan peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk

DBD, kedua hal tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok

terjadi. Perlu diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian

cairan atau oleh perdarahan. Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau

leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan pada saat

sebelum suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa

ditemukan. Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada

pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III.

PTT dan PT memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD. Fungsi

trombosit juga terganggu. Asidosis metabolik dan peningkatan BUN ditemukan

pada syok berat. Pada pemeriksaan radiologis bisa ditemukan efusi pleura,

terutama sebelah kanan. Berat-ringannya efusi pleura berhubungan dengan berat-

ringannya penyakit. Pada pasien yang mengalami syok, efusi pleura dapat

ditemukan bilateral. 2

Sindrom Syok Dengue (SSD)

Syok biasa terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke-

3 sampai hari sakit ke-7. Pasien mula-mula terlihat letargi atau gelisah kemudian

jatuh ke dalam syok yang ditandai dengan kulit dingin-lembab, sianosis sekitar

mulut, nadi cepat-lemah, tekanan nadi <20 mmHg dan hipotensi. Kebanyakan

pasien masih tetap sadar sekalipun sudah mendekati stadium akhir. Dengan

diagnosis dini dan penggantian cairan adekuat, syok biasanya teratasi dengan

segera, namun bila terlambat diketahui atau pengobatan tidak adekuat, syok dapat

menjadi syok berat dengan berbagai penyulitnya seperti asidosis metabolik,

21

22

perdarahan hebat saluran cerna, sehingga memperburuk prognosis. Pada masa

penyembuhan yang biasanya terjadi dalam 2-3 hari, kadang-kadang ditemukan

sinus bradikardi atau aritmia, dan timbul ruam pada kulit. Tanda prognostik baik

apabila pengeluaran urin cukup dan kembalinya nafsu makan. 2

Penyulit SSD: penyulit lain dari SSD adalah infeksi (pneumonia, sepsis,

flebitis) dan terlalu banyak cairan (over hidrasi), manifestasi klinik infeksi virus

yang tidak lazim seperti ensefalopati dan gagal hati. 2

Definisi kasus DD/DBD

A. Secara Laboratoris

1. Presumtif Positif (Kemungkinan Demam Dengue): Apabila ditemukan

demam akut disertai dua atau lebih manifestasi klinis berikut: nyeri kepala,

nyeri belakang mata, mialgia, artralgia, ruam, manifestasi perdarahan,

leukopenia, uji HI ≥1.280 dan atau IgM anti dengue positif, atau pasien

berasal dari daerah yang pada saat yang sama ditemukan kasus confirmed

dengue infection.

2. Confirmed DBD (Pasti DBD): Kasus dengan konfirmasi laboratorium

sebagai berikut deteksi antigen dengue, peningkatan titer antibodi >4 kali

pada pasangan serum akut dan serum konvalesens, dan atau isolasi virus.

B. Secara Klinis

1. Kasus DBD

1. Demam akut 2-7 hari, bersifat bifasik.

2. Manifestasi perdarahan yang biasanya berupa:

• Uji tourniquet positif

• Petekia, ekimosis, atau purpura

• Perdarahan mukosa, saluran cerna, dan tempat bekas suntikan

• Hematemesis atau melena

3. Trombositopenia <100.00/µl.

4. Kebocoran plasma yang ditandai dengan:

22

23

• Peningkatan nilai hematrokrit ≥20 % dari nilai baku sesuai umur

dan jenis kelamin.

• Penurunan nilai hematokrit ≥20 % setelah pemberian cairan yang

adekuat.

• Nilai Ht normal diasumsikan sesuai nilai setelah pemberian cairan.

• Efusi pleura, asites, hipoproteinemia.

2. SSD

Definisi kasus DBD ditambah gangguan sirkulasi yang ditandai dengan :

• Nadi cepat, lemah, tekanan nadi <20 mmHg, perfusi perifer

menurun.

• Hipotensi, kulit dingin-lembab, dan anak tampak gelisah.2

Diagnosis Serologis

Dikenal 5 jenis uji serologi yang biasa dipakai untuk menentukan adanya

infeksi virus dengue, yaitu: 3

1. Uji hemaglutinasi inhibisi (Haemagglutination Inhibition test : HI test)

Merupakan uji serologis yang dianjurkan dan paling sering dipakai sebagai

gold standard. Hal-hal yang perlu diperhatikan:

a. Uji ini sensitif tapi tidak spesifik, tidak dapat menunjukkan tipe virus yang

menginfeksi.

b. Antibodi HI bertahan di dalam tubuh sampai >48 tahun, maka baik untuk

studi sero-epidemiologi.

c. Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen 4x dari titer serum akut

atau titer tinggi (>1280) baik pada serum akut atau konvalesen dianggap

sebagai presumptif positif, atau diduga keras positif infeksi dengue yang

baru terjadi (recent dengue infection).

2. Uji komplemen fiksasi (Complement Fixation test : CF test)

Jarang dipergunakan secara rutin, oleh karena selain rumitnya prosedur

pemeriksaan, juga memerlukan tenaga pemeriksa yang berpengalaman.

Antibodi komplemen fiksasi hanya bertahan sekitar 2-3 tahun saja.

23

24

3. Uji neutralisasi (Neutralization test : NT test)

Merupakan uji serologis yang paling spesifik dan sensitif untuk virus dengue.

Biasanya memakai cara yang disebut Plaque Reduction Neutralization Test

(PRNT) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Saat

antibodi nneutralisasi dapat dideteksi dalam serum hampir bersamaan dengan

HI antibodi tetapi lebih cepat dari antibodi komplemen fiksasi dan bertahan

lama (4-8 tahun). Uji ini juga rumit dan memerlukan waktu cukup lama

sehingga tidak dipakai secara rutin.

4. IgM Elisa (Mac. Elisa)

Pada tahun terakhir ini merupakan uji serologis yang banyak dipakai. Mac

Elisa adalah singkatan dari IgM captured Elisa, dimana akan mengetahui

kandungan IgM dalam serum pasien. Hal-hal yang perlu diperhatikan:

a. Pada hari 4-5 infeksi virus dengue, akan timbul IgM yang kemudian

diikuti dengan timbulnya IgG.

b. Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, akan secara cepat dapat

ditentukan diagnosis yang tepat.

c. Ada kalanya hasil uji terhadap IgM masih negatif, dalam hal ini perlu

diulang.

d. Apabila hari sakit ke-6 IgM masih negatif, maka dilaporkan sebagai

negatif.

e. Perlu dijelaskan disini bahwa IgM dapat bertahan dalam darah sampai 2-3

bulan setelah adanya infeksi. Untuk memperjelaskan hasil uji IgM dapat

pula dilakukan uji terhadap IgG. Mengingat alasan tersebut di atas maka

uji IgM tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya uji diagnostik untuk

pengelolaan kasus.

f. Uji Mac Elisa mempunyai sensitivitas sedikit di bawah uji HI, dengan

kelebihan uji Mac Elisa hanya memerlukan satu serum akut saja dengan

spesivisitas yang sama dengan uji HI.

5. IgG Elisa

24

25

Sebanding dengan uji HI, tapi lebih spesifik. Terdapat beberapa merek dagang

untuk uji infeksi dengue seperti IgM/IgG Dengue Blot, Dengue Rapid

IgM/IgG, IgM Elisa, IgG Elisa.2

Penatalaksanaan

Pengobatan DBD bersifat suportif. Tatalaksana didasarkan atas adanya

perubahan fisiologi berupa perembesan plasma dan perdarahan. Perembesan

plasma dapat mengakibatkan syok, anoksia, dan kematian. Deteksi dini terhadap

adanya perembesan plasma dan penggantian cairan yang adekuat akan mencegah

terjadinya syok, Perembesan plasma biasanya terjadi pada saat peralihan dari fase

demam (fase febris) ke fase penurunan suhu (fase afebris) yang biasanya terjadi

pada hari ketiga sampai kelima. Oleh karena itu pada periode kritis tersebut

diperlukan peningkatan kewaspadaan. Adanya perembesan plasma dan

perdarahan dapat diwaspadai dengan pengawasan klinis dan pemantauan kadar

hematokrit dan jumlah trombosit. Pemilihan jenis cairan dan jumlah yang akan

diberikan merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Pemberian cairan plasma,

pengganti plasma, tranfusi darah, dan obat-obat lain dilakukan atas indikasi yang

tepat. 2

Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang

perawatan biasa. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan

perawatan intensif. Untuk dapat merawat pasien DBD dengan baik, diperlukan

dokter dan perawat yang terampil, sarana laboratorium yang memadai, cairan

kristaloid dan koloid, serta bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan.

Diagnosis dini dan memberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat tanda

syok, merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak

lain, perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk

keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak

tertolong. Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/SSD terletak pada ketrampilan

para dokter untuk dapat mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase

penurunan suhu (fase kritis, fase syok) dengan baik. 2

25

26

1. Demam Dengue

Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam

pasien dianjurkan:

• Tirah baring, selama masih demam.

• Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.

• Untuk menurunkan suhu menjadi <39°C, dianjurkan pemberian parasetamol.

Asetosal/salisilat tidak dianjurkan (kontraindikasi) oleh karena dapat

meyebabkan gastritis, perdarahan, atau asidosis.

• Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop, susu,

disamping air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari.

• Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase konvalesen.

Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda

penyembuhan. Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi terhadap

komplikasi yang dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan

oleh karena kemungkinan kita sulit membedakan antara DD dan DBD pada fase

demam. Perbedaan akan tampak jelas saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi

penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi

(syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa disertai gejala syok.

Oleh karena itu, orang tua atau pasien dinasehati bila terasa nyeri perut hebat,

buang air besar hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta mukosa seperti

mimisan, perdarahan gusi, apalagi bila disertai berkeringat dingin, hal tersebut

merupakan tanda kegawatan, sehingga harus segera dibawa segera ke rumah sakit.

Penerangan untuk orang tua tertera pada Lampiran 1. Pada pasien yang tidak

mengalami komplikasi setelah suhu turun 2-3 hari, tidak perlu lagi diobservasi.

Tatalaksana DD tertera pada Bagan 2 (Tatalaksana tersangka DBD). 2

2. Demam Berdarah Dengue

Ketentuan Umum

Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD dan penyakit lain

adalah adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan

26

27

plasma dan gangguan hemostasis. Gambaran klinis DBD/SSD sangat khas yaitu

demam tinggi mendadak, diastesis hemoragik, hepatomegali, dan kegagalan

sirkulasi. Maka keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi

secara dini fase kritis yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang

merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi

klinis disertai pemantauan perembesan plasma dan gangguan hemostasis.

Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma,

yang dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit. Fase kritis pada

umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit. Penurunan jumlah trombosit

sampai <100.000/µl atau kurang dari 1-2 trombosit/lpb (rata-rata dihitung pada 10

lpb) terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan sebelum terjadi penurunan suhu.

Peningkatan hematokrit 20% atau lebih mencermikan perembesan plasma dan

merupakan indikasi untuk pemberian cairan. Larutan garam isotonik atau ringer

laktat sebagai cairan awal pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai

dengan berat ringan penyakit. Perhatian khusus pada kasus dengan peningkatan

hematokrit yang terus menerus dan penurunan jumlah trombosit <50.000/µl.

Secara umum pasien DBD derajat I dan II dapat dirawat di Puskesmas, rumah

sakit kelas D, C dan pada ruang rawat sehari di rumah sakit kelas B dan A. 5

Fase Demam

Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD,

bersifat simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah

dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum,

muntah atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu

diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa

antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam pada DBD. Parasetamol

direkomendasikan untuk pemberian atau dapat disederhanakan seperti tertera pada

Tabel 1. 5

Tabel 1

27

28

Dosis Parasetamol Menurut Kelompok Umur

Umur (tahun) Parasetamol (tiap kali pemberian)dosis (mg) Tablet (1 tab = 500 mg)

<1 60 1/81-3 60-125 1/8-1/44-6 125-250 1/4-1/27-12 250-500 1/2-1>12 500-1000 1-2

Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam

tinggi, anoreksia dan muntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air

teh manis, sirup, susu, serta larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50

ml/kgBB dalam 4-6 jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak

diberikan cairan rumatan 80-100 ml/kg BB dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang

masih minum asi, tetap harus diberikan disamping larutan oralit. Bila terjadi

kejang demam, disamping antipiretik diberikan antikonvulsif selama demam. 5

Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi.

Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke

3-5 fase demam. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan

laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu

menggambarkan derajat kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan

intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan

tekanan darah dan tekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali

sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan

hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai

alternatif walaupun tidak terlalu sensitif. 2

Untuk Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat

dipertimbangkan dengan menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x

kadar Hb.2

Penggantian Volume Plasma

Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase

penurunan suhu (fase a-febris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya

adalah penggantian volume plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian

28

29

cairan harus diberikan dengan bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal

dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering

(setiap 30-60 menit). Tetesan dalam 24-28 jam berikutnya harus selalu

disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit, dan jumlah volume urin.

Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal mungkin mencukupi

kebocoran plasma. Secara umum volume yang dibutuhkan adalah jumlah cairan

rumatan ditambah 5-8%.2

Cairan intravena diperlukan, apabila (1) terus menerus muntah, tidak mau

minum, demam tinggi sehingga tidak rnungkin diberikan minum per oral,

ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok. (2) Nilai

hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang

diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit, dianjurkan

cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan

natrium bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB intravena bolus perlahan-lahan. 2

Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis

cairan yang diberikan harus sama dengan plasma. Volume dan komposisi cairan

yang diperlukan sesuai cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang,

yaitu cairan rumatan + defisit 6% (5 sampai 8%), seperti tertera pada tabel 2

dibawah ini. 2

Tabel 2

Kebutuhan Cairan pada Dehidrasi Sedang (defisit cairan 5-8%)

Berat Badan Waktu Masuk RS(kg)

Jumlah cairanml/kg berat badan per hari

<7 2207-11 165

29

30

12-18 132>18 88

Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur

dan berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma, yang sesuai dengan

derajat hemokonsentrasi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan

berat badan ideal untuk anak umur yang sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat

diperhitungan dari tabel 3 berikut. 2

Tabel 3

Kebutuhan Cairan Rumatan

Berat Badan (kg) Jumlah cairan (ml)10 100 per kg BB

10-20 1000 + 50 x kg (di atas 10 kg)>20 1500 + 20 x kg (di atas 20 kg)

Misalnya untuk berat badan 40 kg, maka cairan rumatan adalah

1500+(20x20) =1900 ml. Jumlah cairan rumatan diperhitungkan 24 jam. Oleh

karena perembesan plasma tidak konstan (perembesan plasma terjadi lebih cepat

pada saat suhu turun), maka volume cairan pengganti harus disesuaikan dengan

kecepatan dan kehilangan plasma, yang dapat diketahui dari pemantauan kadar

hematokrit. Penggantian volume yang berlebihan dan terus menerus setelah

plasma terhenti perlu mendapat perhatian. Perembesan plasma berhenti ketika

memasuki fase penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular

kembali ke dalam intravaskuler. Apabila pada saat itu cairan tidak dikurangi, akan

menyebabkan edema paru dan distres pernafasan2

Pasien harus dirawat dan segera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok

yaitu gelisah, letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dan nadi

lemah, tekanan nadi menyempit (20mmHg atau kurang) atau hipotensi, dan

peningkatan mendadak dari kadar hematokrit atau kadar hematokrit meningkat

terus menerus walaupun telah diberi cairan intravena.2

Jenis Cairan (rekomendasi WHO)

30

31

Kristaloid

• Larutan ringer laktat (RL)

• Larutan ringer asetat (RA)

• Larutan garam faali (GF)

• Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL)

• Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA)

• Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF)

(Catatan: Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak boleh

larutan yang mengandung dekstran)

Koloid

• Dekstran 40

• Plasma

• Albumin

3. Sindrom Syok Dengue

Syok merupakan Keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah

pengobatan yang utama yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume

plasma. Pasien anak akan cepat mengalami syek dan sembuh kembali bila diobati

segera dalam 48 jam. Pada penderita SSD dengan tensi tak terukur dan tekanan

nadi <20 mm Hg segera berikan cairan kristaloid sebanyak 20 ml/kg BB/jam

seiama 30 menit, bila syok teratasi turunkan menjadi 10 ml/kgBB.2

Penggantian Volume Plasma Segera

Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat >20 ml/kg BB.

Tetesan diberikan secepat mungkin maksimal 30 menit. Pada anak dengan berat

badan lebih, diberi cairan sesuai berat BB ideal dan umur 10 mm/kg BB/jam, bila

tidak ada perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah cairan koloid. Apabila

syok belum dapat teratasi setelah 60 menit beri cairan kristaloid dengan tetesan 10

31

32

ml/kg BB/jam bila tidak ada perbaikan stop pemberian kristaloid dan beri cairan

koloid (dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg BB/jam. Pada umumnya pemberian

koloid tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal pemberian koloid 1500 ml/hari,

sebaiknya tidak diberikan pada saat perdarahan. Setelah pemberian cairan

resusitasi kristaloid dan koloid syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit

turun, diduga sudah terjadi perdarahan; maka dianjurkan pemberian transfusi

darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap > tinggi, maka berikan darah dalam

volume kecil (10 ml/kgBB/jam) dapat diulang sampai 30 ml/kgBB/24 jam.

Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infus dikurangi bertahap sesuai keadaan

klinis dan kadar hematokrit.2,6

Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian Volume Plasma

Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah

membaik dan kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi

10 ml/kg BB/jam dan kemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma

yang terjadi selama 24-48 jam. Pemasangan CVP yang ada kadangkala pada

pasien SSD berat, saat ini tidak dianjurkan lagi. 2,4,5

Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun,

dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin/ml/kg BB/jam atau lebih

merupakan indikasi bahwa keadaaan sirkulasi membaik. Pada umumnya, cairan

tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam syok teratasi. Apabila cairan tetap

diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat terjadi reabsorpsi plasma dari

ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit setelah pemberian

cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia dengan akibat edema

paru dan gagal jantung. Penurunan hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini

jangan dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi.

Nadi yang kuat, tekanan darah normal, diuresis cukup, tanda vital baik,

merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi.2,7

Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit

Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/SSD,

maka analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD

32

33

berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga

tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks. 2,8,9

Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya

dan dilakukan koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan

sebagai akibat KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan.2

Pemberian Oksigen

Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua pasien

syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus

diingat pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker

oksigen.2

Transfusi Darah

Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap

pasien syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock).

Pemberian transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang

nyata. Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal

haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit (misalnya

dari 50% menjadi 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan

yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar

dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena cukup mengandung plasma, sel

darah merah dan faktor pembesar trombosit. Plasma segar dan atau suspensi

trombosit berguna untuk pasien dengan KID dan perdarahan masif. KID biasanya

terjadi pada syok berat dan menyebabkan perdarahan masif sehingga dapat

menimbulkan kematian. Pemeriksaan hematologi seperti waktu tromboplastin

parsial, waktu protombin, dan fibrinogen degradation products harus diperiksa

pada pasien syok untuk mendeteksi terjadinya dan berat ringannya KID.

Pemeriksaan hematologis tersebut juga menentukan prognosis.2,9

Monitoring

33

34

Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara

teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada

monitoring adalah:

• Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit

atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi.

• Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan klinis

pasien stabil.

• Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan,

jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah

mencukupi.

• Jumlah dan frekuensi diuresis.

Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian volume

intravaskuler telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum

cukup 1 ml/kg/BB, sedang jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat

dengan tanda overload antara lain edema, pernapasan meningkat, maka

selanjutnya furosemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan jumlah diuresis,

kadar ureum dan kreatinin tetap harus dilakukan. Tetapi, apabila diuresis tetap

belum mencukupi, pada umumnya syok belum dapat terkoreksi dengan baik,

maka pemberian dopamin perlu dipertimbangkan. 2

Mengingat pada saat awal pasien datang, kita belum selalu dapat

menentukan diagnosis DD/DBD dengan tepat, maka sebagai pedoman tatalaksana

awal dapat dibagi dalam 3 bagian, yaitu:3

1. Tatalaksana kasus tersangka DBD, termasuk kasus DD, DBD derajat I dan

DBD derajat II tanpa peningkatan kadar hematokrit. (Bagan 2 dan 3)

2. Tatalaksana kasus DBD, termasuk kasus DBD derajat II dengan peningkatan

kadar hematokrit. (Bagan 4)

3. Tatalaksana kasus sindrom syok dengue, termasuk DBD derajat III dan IV.

(Bagan 5)

34

35

Bagan 4. Tatalaksana kasus tersangka DBD[2]

Tersangka DBD

Demam tinggi, mendadakterus menerus <7 haritidak disertai infeksi saluran nafas bagian atas,

35

Tersangka DBD

36

badan lemah/lesu

Ada kedaruratan Tidak ada kedaruratan

Tanda syok Periksa uji torniquetMuntah terus menerusKejang Uji torniquet (+) Uji torniquet (-)Kesadaran menurun (Rumple Leede) (Rumple Leede)Muntah darahBerak darah

Jumlah trombosit Jumlah trombosit Rawat Jalan <100.000/µl >100.000/µl Parasetamol

Kontrol tiap hariTatalaksana sampai demam hilangdisesuaikan,(Lihat bagan 3,4,5)

Rawat Inap (lihat bagan 3)

Rawat Jalan Nilai tanda klinis &

Minum banyak 1,5 liter/hari jumlah trombosit, Ht

Parasetamol bila masih demam

Kontrol tiap hari hari sakit ke-3 sampai demam turun periksa Hb, Ht, trombosit tiap kali

Perhatian untuk orang tua Pesan bila timbul tanda syok: gelisah, lemah, kaki/tangan dingin, sakit perut, BAB hitam, BAK kurang

Lab : Hb & Ht naik Trombosit turun

Segera bawa ke rumah sakit

Bagan 5. Tatalaksana kasus DBD derajat I dan II

36

37

tanpa peningkatan hematokrit[2]

DBD derajat I atau II tanpa peningkatan hematokrit

Gejala klinis:Demam 2-7 hariUji torniquet (+) atauperdarahan spontanLaboratorium: Hematokrit tidak meningkatTrombositopenia (ringan)

Pasien masih dapat minum Pasien tidak dapat minumBeri minum banyak 1-2 liter/hari Pasien muntah terus menerusAtau 1 sendok makan tiap 5 menitJenis minuman; air putih, teh manis,Sirup, jus buah, susu, oralitBila suhu >39oC beri parasetamol Pasang infus NaCl 0,9%:Bila kejang beri obat antikonvulsi dekstrosa 5% (1:3)Sesuai berat badan tetesan rumatan sesuai berat badan

Periksa Ht, Hb tiap 6 jam, trombosit

Tiap 6-12 jam

Monitor gejala klinis dan laboratoriumPerhatikan tanda syokPalpasi hati setiap hariUkur diuresis setiap hari Ht naik dan atau trombosit turunAwasi perdarahanPeriksa Ht, Hb tiap 6-12 jam

Infus ganti RLPerbaikan klinis dan laboratoris (tetesan disesuaikan, lihat Bagan 4)

Pulang (Kriteria memulangkan pasien)• Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik• Nafsu makan membaik• Secara klinis tampak perbaikan• Hematokrit stabil• Tiga hari setelah syok teratasi• Jumlah trombosit >50.000/µl• Tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)

37

DBD derajat I atau II tanpa peningkatan hematokrit

38

Bagan 6. Tatalaksana kasus DBD derajat II dengan peningkatan

hematokrit >20%[2]

DBD derajat I atau II dengan peningkatan hematokrit >20%

38

DBD derajat I atau II dengan peningkatan hematokrit >20%

39

Cairan awal RL/RA/NaCl 0,9% atau RLD5/NaCl 0,9%

+D5 6-7 ml/kgBB/jam

Monitor tanda vital/Nilai Ht & Trombosit tiap 6 jam

Perbaikan Tidak ada perbaikanTidak gelisah GelisahNadi kuat Distress

pernafasanTek.darah stabil Frek.nadi naikDiuresis cukup Tanda vital memburuk Ht tetap tinggi/naik(12 ml/kgBB/jam) Ht meningkat Tek.nadi <20

mmHgHt turun Diuresis </tidak

ada(2x pemeriksaan)

Tetesan dikurangi Tetesan dinaikkan10-15 ml/kgBB/jam

Perbaikan5 ml/kgBB/jam Evaluasi 12-24 jam

Tanda vital tidak stabil

PerbaikanSesuaikan tetesan

Distress pernafasan Ht turun 3 ml/kgBB/jam Ht naik

Tek.nadi < 20 mmHgIVFD stop setelah 24-48 jamApabila tanda vital/Ht stabil danKoloid Transfusi darah segardiuresis cukup 20-30 ml/kgBB 10 ml/kgBB

Indikasi Transfusi pd Anak

- Syok yang belum teratasi

Perbaikan - Perdarahan masif

Bagan 7. Tatalaksana kasus DBD derajat III dan IV(Sindrom Syok Dengue/SSD) [2]

DBD derajat III & IV

1. Oksigenasi (berikan O2 2-4 liter/menit

39

DBD derajat III & IV

40

2. Penggantian volume plasma segera (cairan kristaloid isotonis)Ringer laktat/NaCl 0,9%20ml/kgBB secepatnya (bolus dalam 30 menit)

Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi ?Pantau tanda vital tiap 10 menitCatat balance cairan selama pemberian cairan intravena

Syok teratasi Syok tidak teratasi

Kesadaran membaik Kesadaran menurunNadi teraba kuat Nadi lembut/tidak terabaTekanan nadi >20 mmHg Tekanan nadi <20 mmHgTidak sesak nafas/sianosis Distress pernafasan/sianosisEkstrimitas hangat Kulit dingin dan lembabDiuresis cukup 1 ml/kgBB/jam Ekstrimitas dingin

Periksa kadar gula darah

Cairan dan tetesan disesuaikan 1. Lanjutkan cairan10 ml/kgBB/jam 15-20 ml/kgBB/jam

Evaluasi ketatTanda vital 2. Tambahkan koloid/plasmaTanda perdarahan Dekstran/FFPDiuresis Pantau Hb, Ht, Trombosit 3. Koreksi asidosis

Evaluasi 1 jam

Stabil dalam 24 jamTetesan 5 ml/kgBB/jam Syok belum teratasiHt stabil dalam 2x Syok teratasiPemeriksaan Ht turun Ht tetap

tinggi/naik

Tetesan 3 ml/kgBB/jam Transfusi darah segar10 ml/kgBB Koloid 20

ml/kgBBdapat diulang sesuai

Infus stop tidak melebihi 48 jam kebutuhansetelah syok teratasi

BAB IV

PEMBAHASAN

40

41

Seorang pasien datang dengan keluhan demam sejak 6 hari sebelum masuk

RS. Demam bersifat naik turun, kadang demam turun pada malam hari dan naik

lagi pada pagi hari, begitu juga sebaliknya. menggigil (-), keringat berlebih pada

malam hari (-), mual (+), sakit kepala (-), nyeri otot (-), gusi berdarah (-), nafsu

makan menurun. Os juga mengeluh batuk berdahak sejak 6 hari yang lalu yang

semakin memburuk sejak 2 hari yang lalu, dahak berwarna putih, muntah karena

batuk (+), sesak (-), nyeri dada (-), nyeri sendi (-), nyeri otot (-). Os juga

mengeluh nyeri saat menelan sejak dua hari yang lalu. Riwayat minum obat

sebelumnya (-). BAK tidak ada keluhan, BAB tidak ada keluhan. Awalnya Os

pada hari senin yang kebetulan lagi libur ikut ayahnya yang seorang guru ke

sekolah untuk melihat perlombaan perayaan hari kartini, sepulang dari sana Os

pergi les bahasa Inggris yang jaraknya 18 KM dari rumah Os. Sepulang dari les

Os merasa kecapekan lalu malamnya mulai demam. Os mulai tidak nafsu makan,

makan hanya sesendok dua sendok sehingga badannya semakin lemas, sedangkan

demamnya masih terus ada. Di sekitar rumah Os banyak juga yang demam.

Dari anamnesis di atas keluhan yang disampaikan oleh pasien tidak khas.

Namun keluhan demam sejak 6 hari sebelum masuk RS, nafsu makan menurun,

mual, batuk berdahak sejak enam hari yang lalu, nyeri menelan sejak 2 hari yang

lalu, dan factor kecapekan maka untuk sementara saya memikirkan kearah infeksi

saluran nafas yang dicetuskan akibat daya tahan tubuh yang lemah (factor

kecapekan dan pengaruh cuaca). Saya berpikir demam tidak membaik karena daya

tahan tubuh os masih belum cukup baik karena selama 6 hari tersebut os mengaku

hanya makan sesendok dua sendok.

Dari pemeriksaan tanda vital pasien, didapatkan Tekanan darah awal saat

Pasien baru masuk RS adalah 110/80 mmHg, suhu 38,6⁰C, Nadi 96x/menit,dan

RR 21x/menit. Keesokan harinya (Follow up pagi) Tekanan darah Pasien menjadi

90/70 mmHg, Nadi 96x/menit, RR 20x/menit, dan suhu 37,3⁰C, kondisi ini

dicurigai akan terjadinya renjatan syok. Namun Tekanan darah segera membaik

sore harinya menjadi 110/80 mmHg.

Setelah dilakukan pemeriksaan fisik ternyata didapatkan bahwa

Konjungtiva tidak anemis, tonsil T2-T2, Faring hiperemis, lidah tampak kotor

41

42

berwarna keputihan, tidak ada pembesaran Kelenjar Getah Bening, maka saya

mulai memasukkan kemungkinan penyakit lain, antara lain infeksi saluran nafas

bawah dengan Tonsilofaringitis akut. Untuk infeksi saluran nafas bawah bisa saja

disebabkan oleh bronkhitis. Untuk memastikannya diperlukan pemeriksaan

rontgen thorak. Kemungkinan lainnya adalah penyakit tifoid karena lidah tampak

kotor berwarna putih. Untuk memastikannya perlu dilakukan tes widal.

Dari hasil pemeriksaan labor yang dilakukan pada tanggal 28-4-2013

didapatkan trombosit 122x 103L/mm3 , telah terjadi trombositopenia yang

mengarah pada infeksi virus dengue. Hemolobin dan Hematokrit masih dalam

batas normal, yang berarti belum terjadi kebocoran plasma. Dilakukan

pemeriksaan Rumple leed dan hasilnya negative. Untuk sel darah putihnya sendiri

3,9 103 /mm3 masih dalam batas normal, menyingkirkan infeksi yang disebabkan

oleh bakteri. Pemeriksaan DDR (-) menandakan malaria negative. GDS 89 mg/dl

menandakan os hipoglikemia.

Berdasarkan anamnesis, tanda vital, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang tersebut, ternyata masih dibutuhkan beberapa pemeriksaan lagi guna

menyingkirkan diagnose banding. Di antaranya adalah tes widal, rontgen thorak,

serologi, dan urin rutin. Namun diagnosa saya pada kasus ini berdasarkan data

yang sudah ada adalah Febris et Causa Suspek Demam Dengue. Kasus ini

memerlukan observasi lebih lanjut dengan terus memantau tanda-tanda vitalnya

dan cek darah lengkap lagi.

BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

- Dengan demam pada umumnya diartikan suhu tubuh di atas 37,2⁰C.

42

43

- Demam terjadi karena penglepasan pirogen dari dalam leukosit yang

sebelumnya telah terangsang oleh pirogen eksogen yang dapat berasal dari

mikroorganisme atau merupakan suatu reaksi imunologik yang tidak

berdasarkan suatu infeksi.

- Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor

antara lain status imunitas pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi

virus dengue, keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis

setempat.

- Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya

tahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus.

Dengan demikian infeksi virus dengue dapat menyebabkan keadaan yang

bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan

yang tidak spesifik (undifferentiated febrile illness), Demam Dengue, atau

bentuk yang lebih berat yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD) dan

Sindrom Syok Dengue (SSD)

- Gejala klasik dari demam dengue ialah gejala demam tinggi mendadak,

kadang-kadang bifasik (saddle back fever), nyeri kepala berat, nyeri

belakang bola mata, nyeri otot, tulang, atau sendi, mual, muntah, dan

timbulnya ruam.

- Hasil pemeriksaan darah menunjukkan leukopeni kadang-kadang dijumpai

trombositopeni.

- Pada penderita Demam Dengue tidak dijumpai kebocoran plasma

sedangkan pada penderita DBD dijumpai kebocoran plasma yang

dibuktikan dengan adanya hemokonsentrasi, pleural efusi dan asites.

- Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat.

- Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda

penyembuhan. Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi

terhadap komplikasi yang dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu turun.

-

43

44

DAFTAR PUSTAKA

1) Nelwan,R. Demam: Tipe dan Pendekatan.dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam. Jilid III. Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit

Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, Juni 2006.

Hal. 1697-9

44

45

2) Hadinegoro S.R.H, Soegijanto S, dkk. Tatalaksana Demam Berdarah

Dengue di Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan

Lingkungan.. Edisi 3. Jakarta. 2004.

3) Suhendro dkk. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam. Jilid III. Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit

Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, Juni 2006.

Hal. 1731-5.

4) Sungkar S. Demam Berdarah Dengue. Pendidikan Kedokteran

Berkelanjutan Ikatan Dokter Indonesia. Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter

Indonesia. Jakarta, Agustus 2002.

5) Asih Y. S.Kp. Demam Berdarah Dengue, Diagnosis, Pengobatan,

Pencegahan, dan Pengendalian. World Health Organization. Edisi 2.

Jakarta. 1998.

6) Gubler D.J. Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. PubMed Central

Journal List. Terdapat di:

http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=1508601.

Diakses pada: 2009, Desember 29.

7) Gubler DJ, Clark GG. Dengue/Dengue Hemorrhagic Fever: The

Emergence of a Global Health Problem. National Center for Infectious

Diseases

Centers for Disease Control and Prevention

Fort Collins, Colorado, and San Juan, Puerto Rico, USA. 1996. Terdapat

di: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8903160. Diakses pada: 2009,

Desember 29.

8) Fernandes MDF. Dengue/Dengue Hemorrhagic Fever. Infectious disease.

Terdapat di: http://www.medstudents.com.br/dip/dip1.htm. Diakses pada:

2009, Desember 29.

9) World Health Organization. Dengue and dengue haemorrhagic fever.

Terdapat di: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/htm.

Diakses pada: 2009, Desember 29.

45

46

46