obs. febris e.c suspec dhf
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
Keadaan demam sejak zaman Hippocrates sudah diketahui sebagai
pertanda penyakit. Galileo pada abad pertengahan menciptakan alat pengukur
suhu dan Santorio di Padua melaksanakan aplikasi pertama penemuan alat ini di
lingkungan klinik. Tiga abad kemudian baru untuk pertama kali, Traube
memperlihatkan sebuah kurve suhu secara menyeluruh yang dibuat di sebuah
klinik di Leipzig. Penggunaan kurve suhu makin meluas setelah
dipublikasikannya pendapat Wunderlich pada tahun1868, dimana beliau
mengatakan bahwa dengan semakin banyak pengalamannya memakai dalam
memakai alat pengukur suhu ini semakin bertambah keyakinannya mengenai
manfaat pengukuran tersebut, khususnya untuk mendapatkan informasi yang
cukup akurat dan prediktif mengenai kondisi seorang pasien. Suhu pasien
biasanya diukur dengan thermometer air raksa dan tempat pengambilannya dapat
di aksila, oral atau rectum. Suhu tubuh normal berkisar antara 36,5⁰- 37,2⁰C. Suhu
subnormal di bawah 36⁰C. Dengan demam pada umumnya diartikan suhu tubuh
di atas 37,2⁰C. Hiperpireksia adalah suatu keadaan kenaikan suhu tubuh sampai
setinggi 41,2⁰C atau lebih, sedangkan hipotermia adalah keadaan suhu tubuh di
bawah 35⁰C. Biasanya terdapat perbedaan antara pengukuran suhu di aksila dan
oral maupun rectal. Dalam keadaan biasa perbedaan ini berkisar sekitar 0,5⁰C;
suhu rectal lebih tnggi daripada suhu oral.1
Dalam beberapa keadaan diperlukan pengukuran suhu yang lebih akurat
seperti pada pasien yang banyak berkeringat atau dengan frekuensi pernafasan
yang tinggi. Pada keadaan tersebut, lebih baik diukur suhu rectal karena
perbedaan yang mungkin didapatkan pada pengukuran suhu di berbagai tempat
dapat mencapai 2-3⁰C. Demam pada mamalia dapat memberi petunjuk bahwa
pada temperature 39⁰C, produksi antibody dan proliferasi sel limfosit-T
meningkat sampai 20 kali dibandingkan dengan keadaan pada temperature normal
(37⁰C). Dalam evolusi kehidupan, tubuh telah mengembangkan suatu system
1
2
pertahanan yang cukup ampuh terhadap infeksi dan peninggian suhu badan
memberikan suatu peluang kerja yang optimal untuk system pertahanan tubuh.
Demam terjadi karena penglepasan pirogen dari dalam leukosit yang sebelumnya
telah terangsang oleh pirogen eksogen yang dapat berasal dari mikroorganisme
atau merupakan suatu reaksi imunologik yang tidak berdasarkan suatu infeksi.
Dewasa ini diduga bahwa pirogen adalah suatu protein yang identik dengan
interleukin-1. Di dalam hipotalamus zat ini merangsang penglepasan asam
arakidonat serta mengakibatkan peningkatan sintesis prostaglandin E2 yang
langsung dapat menyebabkan suatu pireksia.1
Pengaruh pengaturan autonom akan mengakibatkan terjadinya
vasokonstriksi perifer sehingga pengeluaran panas menurun dan pasien merasa
demam. Suhu badan dapat bertambah tinggi lagi karena meningkatnya aktivitas
metabolisme yang juga mengakibatkan penambahan produksi panas dan karena
kurang adekuat penyalurannya ke permukaan maka rasa demam bertambah pada
seorang pasien.1
Beberapa tipe demam yang mungkin kita jumpai, antara lain1:
Demam septik: pada tipe demam septic, suhu badan berangsur naik ke
tingkat yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat di
atas normal pada pagi hari. sering disertai keluhan menggigil dan
berkeringat. Bila demam yang tinggi tersebut turun ke tingkat yang normal
dinamakan demam hektik.
Demam Remiten: Pada tipe demam remiten, suhu badan dapat turun setiap
hari tetapi tidak pernah mencapai suhu badan normal. Perbedaan suhu
yang mungkin tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar
perbedaan suhu yang dicatat pada demam septic.
Demam Intermiten: pada tipe demam intermiten , suhu badan turun ke
tingkat yang normal selama beberapa jam dalam satu hari. Bila demam
seperti ini terjadi setiap dua hari sekali disebut tersiana dan bila terjadi dua
hari bebas demam di antara dua serangan demam disebut kuartana.
2
3
Demam kontinyu: Pada tipe demam kontiyu variasi suhu sepanjang hari
tidak berbeda lebih dari satu derajat. Pada tingkat demam yang terus
menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia.
Demam Siklik: terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang
diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian
diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula.
Suatu tipe demam kadang-kadang dapat dihubungkan dengan suatu
penyakit tertentu, seperti misalnya tipe demam intermiten untuk malaria. Seorang
pasien dengan keluhan demam mungkin dapat dihubungkan segera dengan suatu
sebab yang jelas, seperti misalnya: abses, pneumonia, infeksi saluran kencing atau
malaria; tetapi kadang-kadang sama seklai tidak dapat dihubungkan dengan suatu
sebab yang jelas. Bila demam disertai keadaan seperti sakit otot, rasa lemas, tak
nafsu makan dan mungkin ada pilek, batuk dan tenggorok sakit, biasanya
digolongkan sebagai influenza atau common cold.1
Kausa demam selain infeksi juga dapat disebabkan oleh keadaan toksemia,
karena keganasan atau reaksi terhadap pemakaian obat. Juga gangguan pada pusat
regulasi suhu sentral dapat menyebabkan peninggian temperature seperti pada
heat stroke, perdarahan otak, koma atau gangguan sentral lainnya. Pada
perdarahan internal pada saat terjadinya reabsorpsi darah dapat pula menyebabkan
peningkatan temperature. Dalam praktek perlu sekali diketahui penyakit-penyakit
infeksi yang endemic di lingkungan tempat tinggal pasien, dan mengenai
kemungkinan infeksiimport dapat dinetralisasi dengan pertanyaan apakah pasien
baru pulang dari suatu perjalanan dari daerah mana dan tempat apa saja yang telah
dikunjunginya. Pada dasarnya untuk mencapai ketepatan diagnosis penyebab
demam diperlukan antara lain, ketelitian pengambilan riwayat penyakit pasien,
pelaksanaan pemeriksaan fisis yang seteliti mungkin, observasi perjalanan
penyakit dan evaluasi pemeriksaan laboratorium serta penunjang lainnya.1
Beberapa hal yang khusus perlu diperhatikan pada demam, adalah cara
timbul demam, lama demam, sifat harian demam, tinggi demam dan keluhan serta
3
4
gejala lain yang menyertai demam. Demam yang tiba-tiba tinggi lebih sering
disebabkan oleh penyakit virus.1
Dengan demikian demam merupakan keluhan yang memerlukan data dan
pemeriksaan lebih lanjut untuk menemukan penyebabnya sehingga pasien
mendapatkan penanganan yang tepat. Pada Kesempatan ini saya akan
memaparkan kasus demam yang menarik untuk dibahas, dikarenakan kasus ini
membutuhkan pemeriksaan, pemahaman dan analisa yang teliti.
4
5
BAB II
STATUS PASIEN
2.1 Status Pasien
2.1.1. Identitas
Nama : Nn. NR
Umur : 12 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Muaro Jambi
Pekerjaan : Pelajar
Status : belum menikah
Tgl. MRS : 28-4-2013
2.1.2. Anamnesis
Keluhan Utama:
Demam sejak 6 hari sebelum masuk Rumah Sakit.
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Demam bersifat naik turun, kadang demam turun pada malam hari dan
naik lagi pada pagi hari, begitu juga sebaliknya. menggigil (-),
keringat berlebih pada malam hari (-), mual (+), sakit kepala (-), nyeri
otot (-), nafsu makan menurun. Os juga mengeluh batuk berdahak
sejak 6 hari yang lalu yang semakin memburuk sejak 2 hari yang lalu,
dahak berwarna putih, muntah karena batuk (+), sesak (-), nyeri dada
(-), nyeri sendi (-), nyeri otot (-). Os juga mengeluh nyeri saat menelan
sejak dua hari yang lalu. Riwayat minum obat sebelumnya (-).
Awalnya Os pada hari senin yang kebetulan lagi libur ikut ayahnya
yang seorang guru ke sekolah untuk melihat perlombaan perayaan hari
kartini, sepulang dari sana Os pergi les bahasa Inggris yang jaraknya
18 KM dari rumah Os. Sepulang dari les Os merasa kecapekan lalu
malamnya mulai demam. Os mulai tidak nafsu makan, makan hanya
sesendok dua sendok sehingga badannya semakin lemas, sedangkan
5
6
demamnya masih terus ada. Di sekitar rumah Os banyak juga yang
demam.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Maag (+)
Riwayat Penyakit Keluarga:
Ayah Os pernah dirawat karena Diabetes Mellitus
Riwayat Sosial, Ekonomi, Kebiasaan:
Os hidup dari keluarga yang mampu. Ayah Os adalah guru SD, Ibu Os
adalah Ibu Rumah Tangga. Os mempunyai kebiasaan malas makan.
2.1.3. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Vital Sign :
TD : 90/70 mmHg
Nadi
Frekuensi : 96x/menit
Irama : reguler
Isi : cukup
Tegangan : kuat
RR :
Frekuensi : 20x/menit
Irama : reguler
Jenis : abdomino- thorakal
Suhu : 37,3 °C
6
7
Keadaan Gizi
- TB : -
- BB : 35 Kg
- IMT : -
Kulit:
- Warna : sawo matang
- Efloresensi : (-)
- Jaringan parut : (-)
- Pertumbuhan rambut : dbn
- Pembuluh darah : dbn
- Suhu : 37,3⁰C
- Turgor : dbn
- Ikterus : (-)
- Edema : (-)
Kelenjar:
- Submandibula : dbn
- leher : dbn
- subclavikula : dbn
- axial : dbn
- Inguinal : dbn
Kepala: dbn
Mata:
- Exoftalmus/enophtal : (-)
- Palpebra : dbn
- Conjungtiva : Konjungtiva anemis (-/-)
- Sclera : ikterik (-/-)
7
8
- Kornea : Jernih
- Pupil : Isokhor
- Lensa : Jernih
- Visus : 6/60
- Gerakan : dbn
- Lap. Pandang : dbn
Telinga
- Tophi : (-)
- Lubang : dbn
- Cairan : (-)
- Nyeri tekan : (-)
- selaput : dbn
- Pendengaran : dbn
Hidung:
- Bagian luar :dbn
- Septum : dbn
- Ingus : (-)
- Selaput lendir : dbn
- Sumbatan : (-)
- perdarahan : (-)
Mulut:
- Bibir : kering
- Gigi Geligi : bersih, dbn
- Gusi : dbn
- Lidah : kotor berwarna putih
- Selaput Lendir : dbn
- Pharynx : hiperemis
8
9
Leher
- Kel. Getah bening : tidak ada pembesaran
- Kel. Gondok : dbn
- Tekanan vena jugularis: 5-2 mmHg
- Kaku Kuduk : (-)
- Tumor : (-)
Dada:
- Bentuk : simetris
- Spider neavi : (-)
Paru-paru anterior:
Dekstra Sinistra
Inspeksi Simetris, tdk ada kelainan Simetris, tidak ada kelainan
Palpasi Fremitus normal Fremitus normal
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi Vesikuler normal, wheezing (-),
ronkhi (-)
Vesikuler normal, wheezing (-),
ronkhi (-)
Paru-paru posterior:
Dekstra Sinistra
Inspeksi Simetris, tidak ada
kelainan
Simetris, tidak ada
kelainan
Palpasi Fremitus normal Fremitus normal
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi Vesikuler normal,
wheezing (-), ronkhi (-)
Vesikuler normal,
wheezing (-), ronkhi (-)
9
10
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat adanya pulsasi
Palpasi : ictus cordis terasa pulsasi, thrill (-), lift (-), Heaving (-)
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi: bunyi jantung S1-S2, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : simetris, tidak ada kelainan
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi :
- Hati : tidak ada nyeri, tidak ada pembesaran
- Limpa : tidak ada nyeri, tidak ada pembesaran
- Ginjal : tidak ada nyeri dan tidak ada pembesaran
Perkusi : timpani
Genitalia : tidak diperiksa
Ekstremitas
- Superior : tidak ada kelainan, akral hangat kekuatan (5/5)
- Inferior : tidak ada kelainan, akral hangat kekuatan (5/5)
2.1.3. Pemeriksaan Laboratorium
(28-4-2013)
WBC : 3.9 x 10³/uL Lym : 27,4% , 1,0 x 10³ mm³
RBC : 5,43 x 106/uL Mon : 7.1 % , 0.2 x 10³ mm³
HGB : 13,8 g/dL Granulosit: 65,5% , 2,7 x 10³ mm³
HCT : 44,2%
PLT : 122 x 10³/uL
MCV : 81 fl
MCHC : 31,2 L g/dL
10
11
MCH : 25,4 L pg
GDS : 89 mg/dL
DDR : (-)
Uji tourniquet: (-)
2.1.4. Diagnosis
- Febris et causa suspek Demam Dengue dengan infeksi sekunder
Faringitis
- Febris et causa tifoid
- Febris et causa influenza
- Febris et causa bronkhitis
2.1.5. Terapi yang diberikan
- Infus Ringer Laktat : Dekstrose 5% = 1 : 1, 20 tetes/menit
- Cefriaxon 2x1 gram (skin test terlebih dahulu)
- Ranitidin 2 x 1 amp
- Paracetamol 3x1
- Antasida 3x C1 (a.c)
11
12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Virus Dengue
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan
virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses)
yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan
mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: DEN-1, DEN2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah
satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan,
sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga
tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain
tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3
atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan
di berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang
dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat
serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan
serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi
klinik yang berat.2
3.2 Cara Penularan
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus
dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan
kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes
albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga
menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk
Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia
yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur
berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum
dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus
dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya (transovanan
12
13
transmission), namun perannya dalam penularan virus tidak penting. Sekali virus
dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan
dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus
memerlukan waktu masa tunas 4-6 hari (intrinsic incubation period) sebelum
menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat
terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2
hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.2
3.3 Epidemiologi
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke-18, seperti yang
dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu
infeksi virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit
demam lima hari (vijfdaagse koorts) kadang-kadang disebut juga sebagai demam
sendi (knokkel koorts). Disebut demikian karena demam yang terjadi menghilang
dalam lima hari, disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala.
Pada masa itu infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit
ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun 1952 infeksi
virus dengue menimbulkan penyakit dengan manifestasi klinis berat, yaitu DBD
yang ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian ini menyebar ke negara lain
seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Pada tahun 1968 penyakit
DBD dilaporkan di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian yang sangat
tinggi.2
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus
DBD sangat kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2)
Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali, (3) Tidak adanya kontrol
vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan (4) Peningkatan sarana
transportasi.2
Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor
antara lain status imunitas pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus
dengue, keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis setempat.
13
14
3.4 Patogenesis
Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel
hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel
manusia sebagai pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan
protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya
tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya
tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat
menimbulkan kematian.3
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom Syok Dengue) masih merupakan
masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD
adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau
hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung
bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus
dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita
DBD/Berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus
lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi
yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama
makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh
tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag.
Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent enhancement (ADE), suatu
proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel
mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi
mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.3
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary
heterologous infection dapat dilihat pada Gambar 1 yang dirumuskan oleh
Suvatte, tahun 1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang
berlainan pada seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi
dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit
dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu,
replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan
14
15
akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan
terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang
selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan
C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang
ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang
sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma
ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar
natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok
yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia,
yang dapat berakhir fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting guna
mencegah kematian.3
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus
binatang lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus
mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk.
Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan
peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai
potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain virus mempunyai
kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar. Kedua hipotesis tersebut
didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris. 3
Secondary heterologous dengue infection
15
16
Replikasi virus Anamnestic antibody
response
Kompleks virus-antibody
Aktivasi komplemen Komplemen
Anafilatoksin (C3a, C5a) Histamin
dalam urin ↑
Permeabilitas kapiler ↑ Ht ↑
> 30% pada Perembesan plasma Natrium ↓kasus syok 24-48 jam
Hipovolemia Cairan dalam rongga
serosa Syok
Anoksia Asidosis
Meninggal
bagan 1. Patogenesis terjadinya syok pada DBD[3]
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-
antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi
trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel
pembuluh darah (gambar 2). Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan
pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks
antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP
(adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan
menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system)
sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan
pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif
(KID = koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP
(fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan. 3
Secondary heterologous dengue infection
Replikasi virus Anamnestic antibody
16
17
Kompleks virus antibody
Agregasi trombosit Aktivasi koagulasi Aktivasi komplemen
Penghancuran Pengeluaran Aktivasi faktor Hageman trombosit oleh RES platelet faktor III
Anafilatoksin
Trombositopenia Koagulopati Sistem kinin konsumtif
Gangguan Kinin Peningkatan
fungsi trombosit penurunan faktor permeabilitas pembekuan Kapiler
FDP meningkat
Perdarahan massif
Syok
bagan 2. Patogenesis Perdarahan pada DBD[3]
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,
sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik.
Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman
sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas
kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada
DBD diakibatkan oleh trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat
KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler.
Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.2
Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue
Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya
tahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan
demikian infeksi virus dengue dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-
17
18
macam, mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik
(undifferentiated febrile illness), Demam Dengue, atau bentuk yang lebih berat
yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Sindrom Syok Dengue (SSD).2
Bagan 3
Spectrum Klinis Infeksi Virus Dengue3
Infeksi virus dengue
Asimptomatik Simptomatik
Demam tidak spesifik Demam dengue
Perdarahan (-) Perdarahan (+) Syok (-) Syok (+)
(SSD)
Demam Dengue
Gejala klasik dari demam dengue ialah gejala demam tinggi mendadak,
kadang-kadang bifasik (saddle back fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang bola
mata, nyeri otot, tulang, atau sendi, mual, muntah, dan timbulnya ruam. Ruam
berbentuk makulopapular yang bisa timbul pada awal penyakit (1-2 hari)
kemudian menghilang tanpa bekas dan selanjutnya timbul ruam merah halus pada
hari ke-6 atau ke-7 terutama di daerah kaki, telapak kaki dan tangan. Selain itu,
dapat juga ditemukan petekia. Hasil pemeriksaan darah menunjukkan leukopeni
kadang-kadang dijumpai trombositopeni. Masa penyembuhan dapat disertai rasa
lesu yang berkepanjangan, terutama pada dewasa. Pada keadaan wabah telah
dilaporkan adanya demam dengue yang disertai dengan perdarahan seperti :
epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna, hematuri, dan menoragi.
Demam Dengue (DD) yang disertai dengan perdarahan harus dibedakan dengan
Demam Berdarah Dengue (DBD). Pada penderita Demam Dengue tidak dijumpai
18
19
kebocoran plasma sedangkan pada penderita DBD dijumpai kebocoran plasma
yang dibuktikan dengan adanya hemokonsentrasi, pleural efusi dan asites.2
Demam Berdarah Dengue (DBD)
Perubahan patofisiologis pada DBD adalah kelainan hemostasis dan
perembesan plasma. Kedua kelainan tersebut dapat diketahui dengan adanya
trombositopenia dan peningkatan hematokrit. 3
Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7
hari, disertai dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala,
nyeri otot, tulang, sendi, mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa penderita
mengeluh nyeri menelan dengan faring hiperemis ditemukan pada pemeriksaan,
namun jarang ditemukan batuk pilek. Biasanya ditemukan juga nyeri perut
dirasakan di epigastrium dan dibawah tulang iga. Demam tinggi dapat
menimbulkan kejang demam terutama pada bayi. 3
Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple
Leede) positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena
atau pada bekas pengambilan darah. Kebanyakan kasus, petekia halus ditemukan
tersebar di daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum mole, yang biasanya
ditemukan pada fase awal dari demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih
jarang ditemukan, perdarahan saluran cerna ringan dapat ditemukan pada fase
demam. Hati biasanya membesar dengan variasi dari just palpable sampai 2-4 cm
di bawah arcus costae kanan. Sekalipun pembesaran hati tidak berhubungan
dengan berat ringannya penyakit namun pembesaran hati lebih sering ditemukan
pada penderita dengan syok. 3
Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini
terjadi penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan
sirkulasi yang bervariasi dalam berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan
sirkulasi ringan perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat
penderita dapat mengalami syok. 3
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua
hal dibawah ini dipenuhi: 3
Demam atau riwayat demam akut, antara 2 – 7 hari, biasanya bifasik
19
20
Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
o Uji bendung positif
o Petekie, ekimosis, atau purpura
o Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi)
o Hematemesis atau melena
Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)
Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma)
sebagai berikut:
o Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan
umur dan jenis kelamin
o Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya
o Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau
hipoproteinemi.
Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat:
Derajat I Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji tourniquet.
Derajat II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau
perdarahan lain.
Derajat III Didapatkan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lambat,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,
sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak tampak
gelisah.
Derajat IV Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan
darah tidak terukur.3
Laboratorium
20
21
Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu
ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit <100.000/µl biasa ditemukan
pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan
perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran
plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit. Penurunan nilai trombosit yang
disertai atau segera disusul dengan peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk
DBD, kedua hal tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok
terjadi. Perlu diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian
cairan atau oleh perdarahan. Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau
leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan pada saat
sebelum suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa
ditemukan. Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada
pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III.
PTT dan PT memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD. Fungsi
trombosit juga terganggu. Asidosis metabolik dan peningkatan BUN ditemukan
pada syok berat. Pada pemeriksaan radiologis bisa ditemukan efusi pleura,
terutama sebelah kanan. Berat-ringannya efusi pleura berhubungan dengan berat-
ringannya penyakit. Pada pasien yang mengalami syok, efusi pleura dapat
ditemukan bilateral. 2
Sindrom Syok Dengue (SSD)
Syok biasa terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke-
3 sampai hari sakit ke-7. Pasien mula-mula terlihat letargi atau gelisah kemudian
jatuh ke dalam syok yang ditandai dengan kulit dingin-lembab, sianosis sekitar
mulut, nadi cepat-lemah, tekanan nadi <20 mmHg dan hipotensi. Kebanyakan
pasien masih tetap sadar sekalipun sudah mendekati stadium akhir. Dengan
diagnosis dini dan penggantian cairan adekuat, syok biasanya teratasi dengan
segera, namun bila terlambat diketahui atau pengobatan tidak adekuat, syok dapat
menjadi syok berat dengan berbagai penyulitnya seperti asidosis metabolik,
21
22
perdarahan hebat saluran cerna, sehingga memperburuk prognosis. Pada masa
penyembuhan yang biasanya terjadi dalam 2-3 hari, kadang-kadang ditemukan
sinus bradikardi atau aritmia, dan timbul ruam pada kulit. Tanda prognostik baik
apabila pengeluaran urin cukup dan kembalinya nafsu makan. 2
Penyulit SSD: penyulit lain dari SSD adalah infeksi (pneumonia, sepsis,
flebitis) dan terlalu banyak cairan (over hidrasi), manifestasi klinik infeksi virus
yang tidak lazim seperti ensefalopati dan gagal hati. 2
Definisi kasus DD/DBD
A. Secara Laboratoris
1. Presumtif Positif (Kemungkinan Demam Dengue): Apabila ditemukan
demam akut disertai dua atau lebih manifestasi klinis berikut: nyeri kepala,
nyeri belakang mata, mialgia, artralgia, ruam, manifestasi perdarahan,
leukopenia, uji HI ≥1.280 dan atau IgM anti dengue positif, atau pasien
berasal dari daerah yang pada saat yang sama ditemukan kasus confirmed
dengue infection.
2. Confirmed DBD (Pasti DBD): Kasus dengan konfirmasi laboratorium
sebagai berikut deteksi antigen dengue, peningkatan titer antibodi >4 kali
pada pasangan serum akut dan serum konvalesens, dan atau isolasi virus.
B. Secara Klinis
1. Kasus DBD
1. Demam akut 2-7 hari, bersifat bifasik.
2. Manifestasi perdarahan yang biasanya berupa:
• Uji tourniquet positif
• Petekia, ekimosis, atau purpura
• Perdarahan mukosa, saluran cerna, dan tempat bekas suntikan
• Hematemesis atau melena
3. Trombositopenia <100.00/µl.
4. Kebocoran plasma yang ditandai dengan:
22
23
• Peningkatan nilai hematrokrit ≥20 % dari nilai baku sesuai umur
dan jenis kelamin.
• Penurunan nilai hematokrit ≥20 % setelah pemberian cairan yang
adekuat.
• Nilai Ht normal diasumsikan sesuai nilai setelah pemberian cairan.
• Efusi pleura, asites, hipoproteinemia.
2. SSD
Definisi kasus DBD ditambah gangguan sirkulasi yang ditandai dengan :
• Nadi cepat, lemah, tekanan nadi <20 mmHg, perfusi perifer
menurun.
• Hipotensi, kulit dingin-lembab, dan anak tampak gelisah.2
Diagnosis Serologis
Dikenal 5 jenis uji serologi yang biasa dipakai untuk menentukan adanya
infeksi virus dengue, yaitu: 3
1. Uji hemaglutinasi inhibisi (Haemagglutination Inhibition test : HI test)
Merupakan uji serologis yang dianjurkan dan paling sering dipakai sebagai
gold standard. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
a. Uji ini sensitif tapi tidak spesifik, tidak dapat menunjukkan tipe virus yang
menginfeksi.
b. Antibodi HI bertahan di dalam tubuh sampai >48 tahun, maka baik untuk
studi sero-epidemiologi.
c. Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen 4x dari titer serum akut
atau titer tinggi (>1280) baik pada serum akut atau konvalesen dianggap
sebagai presumptif positif, atau diduga keras positif infeksi dengue yang
baru terjadi (recent dengue infection).
2. Uji komplemen fiksasi (Complement Fixation test : CF test)
Jarang dipergunakan secara rutin, oleh karena selain rumitnya prosedur
pemeriksaan, juga memerlukan tenaga pemeriksa yang berpengalaman.
Antibodi komplemen fiksasi hanya bertahan sekitar 2-3 tahun saja.
23
24
3. Uji neutralisasi (Neutralization test : NT test)
Merupakan uji serologis yang paling spesifik dan sensitif untuk virus dengue.
Biasanya memakai cara yang disebut Plaque Reduction Neutralization Test
(PRNT) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Saat
antibodi nneutralisasi dapat dideteksi dalam serum hampir bersamaan dengan
HI antibodi tetapi lebih cepat dari antibodi komplemen fiksasi dan bertahan
lama (4-8 tahun). Uji ini juga rumit dan memerlukan waktu cukup lama
sehingga tidak dipakai secara rutin.
4. IgM Elisa (Mac. Elisa)
Pada tahun terakhir ini merupakan uji serologis yang banyak dipakai. Mac
Elisa adalah singkatan dari IgM captured Elisa, dimana akan mengetahui
kandungan IgM dalam serum pasien. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
a. Pada hari 4-5 infeksi virus dengue, akan timbul IgM yang kemudian
diikuti dengan timbulnya IgG.
b. Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, akan secara cepat dapat
ditentukan diagnosis yang tepat.
c. Ada kalanya hasil uji terhadap IgM masih negatif, dalam hal ini perlu
diulang.
d. Apabila hari sakit ke-6 IgM masih negatif, maka dilaporkan sebagai
negatif.
e. Perlu dijelaskan disini bahwa IgM dapat bertahan dalam darah sampai 2-3
bulan setelah adanya infeksi. Untuk memperjelaskan hasil uji IgM dapat
pula dilakukan uji terhadap IgG. Mengingat alasan tersebut di atas maka
uji IgM tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya uji diagnostik untuk
pengelolaan kasus.
f. Uji Mac Elisa mempunyai sensitivitas sedikit di bawah uji HI, dengan
kelebihan uji Mac Elisa hanya memerlukan satu serum akut saja dengan
spesivisitas yang sama dengan uji HI.
5. IgG Elisa
24
25
Sebanding dengan uji HI, tapi lebih spesifik. Terdapat beberapa merek dagang
untuk uji infeksi dengue seperti IgM/IgG Dengue Blot, Dengue Rapid
IgM/IgG, IgM Elisa, IgG Elisa.2
Penatalaksanaan
Pengobatan DBD bersifat suportif. Tatalaksana didasarkan atas adanya
perubahan fisiologi berupa perembesan plasma dan perdarahan. Perembesan
plasma dapat mengakibatkan syok, anoksia, dan kematian. Deteksi dini terhadap
adanya perembesan plasma dan penggantian cairan yang adekuat akan mencegah
terjadinya syok, Perembesan plasma biasanya terjadi pada saat peralihan dari fase
demam (fase febris) ke fase penurunan suhu (fase afebris) yang biasanya terjadi
pada hari ketiga sampai kelima. Oleh karena itu pada periode kritis tersebut
diperlukan peningkatan kewaspadaan. Adanya perembesan plasma dan
perdarahan dapat diwaspadai dengan pengawasan klinis dan pemantauan kadar
hematokrit dan jumlah trombosit. Pemilihan jenis cairan dan jumlah yang akan
diberikan merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Pemberian cairan plasma,
pengganti plasma, tranfusi darah, dan obat-obat lain dilakukan atas indikasi yang
tepat. 2
Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang
perawatan biasa. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan
perawatan intensif. Untuk dapat merawat pasien DBD dengan baik, diperlukan
dokter dan perawat yang terampil, sarana laboratorium yang memadai, cairan
kristaloid dan koloid, serta bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan.
Diagnosis dini dan memberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat tanda
syok, merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak
lain, perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk
keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak
tertolong. Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/SSD terletak pada ketrampilan
para dokter untuk dapat mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase
penurunan suhu (fase kritis, fase syok) dengan baik. 2
25
26
1. Demam Dengue
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam
pasien dianjurkan:
• Tirah baring, selama masih demam.
• Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.
• Untuk menurunkan suhu menjadi <39°C, dianjurkan pemberian parasetamol.
Asetosal/salisilat tidak dianjurkan (kontraindikasi) oleh karena dapat
meyebabkan gastritis, perdarahan, atau asidosis.
• Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop, susu,
disamping air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari.
• Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase konvalesen.
Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda
penyembuhan. Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi terhadap
komplikasi yang dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan
oleh karena kemungkinan kita sulit membedakan antara DD dan DBD pada fase
demam. Perbedaan akan tampak jelas saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi
penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi
(syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa disertai gejala syok.
Oleh karena itu, orang tua atau pasien dinasehati bila terasa nyeri perut hebat,
buang air besar hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta mukosa seperti
mimisan, perdarahan gusi, apalagi bila disertai berkeringat dingin, hal tersebut
merupakan tanda kegawatan, sehingga harus segera dibawa segera ke rumah sakit.
Penerangan untuk orang tua tertera pada Lampiran 1. Pada pasien yang tidak
mengalami komplikasi setelah suhu turun 2-3 hari, tidak perlu lagi diobservasi.
Tatalaksana DD tertera pada Bagan 2 (Tatalaksana tersangka DBD). 2
2. Demam Berdarah Dengue
Ketentuan Umum
Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD dan penyakit lain
adalah adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan
26
27
plasma dan gangguan hemostasis. Gambaran klinis DBD/SSD sangat khas yaitu
demam tinggi mendadak, diastesis hemoragik, hepatomegali, dan kegagalan
sirkulasi. Maka keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi
secara dini fase kritis yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang
merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi
klinis disertai pemantauan perembesan plasma dan gangguan hemostasis.
Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma,
yang dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit. Fase kritis pada
umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit. Penurunan jumlah trombosit
sampai <100.000/µl atau kurang dari 1-2 trombosit/lpb (rata-rata dihitung pada 10
lpb) terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan sebelum terjadi penurunan suhu.
Peningkatan hematokrit 20% atau lebih mencermikan perembesan plasma dan
merupakan indikasi untuk pemberian cairan. Larutan garam isotonik atau ringer
laktat sebagai cairan awal pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai
dengan berat ringan penyakit. Perhatian khusus pada kasus dengan peningkatan
hematokrit yang terus menerus dan penurunan jumlah trombosit <50.000/µl.
Secara umum pasien DBD derajat I dan II dapat dirawat di Puskesmas, rumah
sakit kelas D, C dan pada ruang rawat sehari di rumah sakit kelas B dan A. 5
Fase Demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD,
bersifat simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah
dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum,
muntah atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu
diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa
antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam pada DBD. Parasetamol
direkomendasikan untuk pemberian atau dapat disederhanakan seperti tertera pada
Tabel 1. 5
Tabel 1
27
28
Dosis Parasetamol Menurut Kelompok Umur
Umur (tahun) Parasetamol (tiap kali pemberian)dosis (mg) Tablet (1 tab = 500 mg)
<1 60 1/81-3 60-125 1/8-1/44-6 125-250 1/4-1/27-12 250-500 1/2-1>12 500-1000 1-2
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam
tinggi, anoreksia dan muntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air
teh manis, sirup, susu, serta larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50
ml/kgBB dalam 4-6 jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak
diberikan cairan rumatan 80-100 ml/kg BB dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang
masih minum asi, tetap harus diberikan disamping larutan oralit. Bila terjadi
kejang demam, disamping antipiretik diberikan antikonvulsif selama demam. 5
Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi.
Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke
3-5 fase demam. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan
laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu
menggambarkan derajat kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan
intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan
tekanan darah dan tekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali
sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan
hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai
alternatif walaupun tidak terlalu sensitif. 2
Untuk Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat
dipertimbangkan dengan menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x
kadar Hb.2
Penggantian Volume Plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase
penurunan suhu (fase a-febris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya
adalah penggantian volume plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian
28
29
cairan harus diberikan dengan bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal
dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering
(setiap 30-60 menit). Tetesan dalam 24-28 jam berikutnya harus selalu
disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit, dan jumlah volume urin.
Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal mungkin mencukupi
kebocoran plasma. Secara umum volume yang dibutuhkan adalah jumlah cairan
rumatan ditambah 5-8%.2
Cairan intravena diperlukan, apabila (1) terus menerus muntah, tidak mau
minum, demam tinggi sehingga tidak rnungkin diberikan minum per oral,
ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok. (2) Nilai
hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang
diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit, dianjurkan
cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan
natrium bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB intravena bolus perlahan-lahan. 2
Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis
cairan yang diberikan harus sama dengan plasma. Volume dan komposisi cairan
yang diperlukan sesuai cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang,
yaitu cairan rumatan + defisit 6% (5 sampai 8%), seperti tertera pada tabel 2
dibawah ini. 2
Tabel 2
Kebutuhan Cairan pada Dehidrasi Sedang (defisit cairan 5-8%)
Berat Badan Waktu Masuk RS(kg)
Jumlah cairanml/kg berat badan per hari
<7 2207-11 165
29
30
12-18 132>18 88
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur
dan berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma, yang sesuai dengan
derajat hemokonsentrasi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan
berat badan ideal untuk anak umur yang sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat
diperhitungan dari tabel 3 berikut. 2
Tabel 3
Kebutuhan Cairan Rumatan
Berat Badan (kg) Jumlah cairan (ml)10 100 per kg BB
10-20 1000 + 50 x kg (di atas 10 kg)>20 1500 + 20 x kg (di atas 20 kg)
Misalnya untuk berat badan 40 kg, maka cairan rumatan adalah
1500+(20x20) =1900 ml. Jumlah cairan rumatan diperhitungkan 24 jam. Oleh
karena perembesan plasma tidak konstan (perembesan plasma terjadi lebih cepat
pada saat suhu turun), maka volume cairan pengganti harus disesuaikan dengan
kecepatan dan kehilangan plasma, yang dapat diketahui dari pemantauan kadar
hematokrit. Penggantian volume yang berlebihan dan terus menerus setelah
plasma terhenti perlu mendapat perhatian. Perembesan plasma berhenti ketika
memasuki fase penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular
kembali ke dalam intravaskuler. Apabila pada saat itu cairan tidak dikurangi, akan
menyebabkan edema paru dan distres pernafasan2
Pasien harus dirawat dan segera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok
yaitu gelisah, letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dan nadi
lemah, tekanan nadi menyempit (20mmHg atau kurang) atau hipotensi, dan
peningkatan mendadak dari kadar hematokrit atau kadar hematokrit meningkat
terus menerus walaupun telah diberi cairan intravena.2
Jenis Cairan (rekomendasi WHO)
30
31
Kristaloid
• Larutan ringer laktat (RL)
• Larutan ringer asetat (RA)
• Larutan garam faali (GF)
• Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL)
• Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA)
• Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF)
(Catatan: Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak boleh
larutan yang mengandung dekstran)
Koloid
• Dekstran 40
• Plasma
• Albumin
3. Sindrom Syok Dengue
Syok merupakan Keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah
pengobatan yang utama yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume
plasma. Pasien anak akan cepat mengalami syek dan sembuh kembali bila diobati
segera dalam 48 jam. Pada penderita SSD dengan tensi tak terukur dan tekanan
nadi <20 mm Hg segera berikan cairan kristaloid sebanyak 20 ml/kg BB/jam
seiama 30 menit, bila syok teratasi turunkan menjadi 10 ml/kgBB.2
Penggantian Volume Plasma Segera
Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat >20 ml/kg BB.
Tetesan diberikan secepat mungkin maksimal 30 menit. Pada anak dengan berat
badan lebih, diberi cairan sesuai berat BB ideal dan umur 10 mm/kg BB/jam, bila
tidak ada perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah cairan koloid. Apabila
syok belum dapat teratasi setelah 60 menit beri cairan kristaloid dengan tetesan 10
31
32
ml/kg BB/jam bila tidak ada perbaikan stop pemberian kristaloid dan beri cairan
koloid (dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg BB/jam. Pada umumnya pemberian
koloid tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal pemberian koloid 1500 ml/hari,
sebaiknya tidak diberikan pada saat perdarahan. Setelah pemberian cairan
resusitasi kristaloid dan koloid syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit
turun, diduga sudah terjadi perdarahan; maka dianjurkan pemberian transfusi
darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap > tinggi, maka berikan darah dalam
volume kecil (10 ml/kgBB/jam) dapat diulang sampai 30 ml/kgBB/24 jam.
Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infus dikurangi bertahap sesuai keadaan
klinis dan kadar hematokrit.2,6
Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian Volume Plasma
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah
membaik dan kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi
10 ml/kg BB/jam dan kemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma
yang terjadi selama 24-48 jam. Pemasangan CVP yang ada kadangkala pada
pasien SSD berat, saat ini tidak dianjurkan lagi. 2,4,5
Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun,
dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin/ml/kg BB/jam atau lebih
merupakan indikasi bahwa keadaaan sirkulasi membaik. Pada umumnya, cairan
tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam syok teratasi. Apabila cairan tetap
diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat terjadi reabsorpsi plasma dari
ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit setelah pemberian
cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia dengan akibat edema
paru dan gagal jantung. Penurunan hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini
jangan dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi.
Nadi yang kuat, tekanan darah normal, diuresis cukup, tanda vital baik,
merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi.2,7
Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit
Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/SSD,
maka analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD
32
33
berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga
tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks. 2,8,9
Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya
dan dilakukan koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan
sebagai akibat KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan.2
Pemberian Oksigen
Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua pasien
syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus
diingat pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker
oksigen.2
Transfusi Darah
Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap
pasien syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock).
Pemberian transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang
nyata. Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal
haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit (misalnya
dari 50% menjadi 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan
yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar
dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena cukup mengandung plasma, sel
darah merah dan faktor pembesar trombosit. Plasma segar dan atau suspensi
trombosit berguna untuk pasien dengan KID dan perdarahan masif. KID biasanya
terjadi pada syok berat dan menyebabkan perdarahan masif sehingga dapat
menimbulkan kematian. Pemeriksaan hematologi seperti waktu tromboplastin
parsial, waktu protombin, dan fibrinogen degradation products harus diperiksa
pada pasien syok untuk mendeteksi terjadinya dan berat ringannya KID.
Pemeriksaan hematologis tersebut juga menentukan prognosis.2,9
Monitoring
33
34
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara
teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada
monitoring adalah:
• Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit
atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi.
• Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan klinis
pasien stabil.
• Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan,
jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah
mencukupi.
• Jumlah dan frekuensi diuresis.
Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian volume
intravaskuler telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum
cukup 1 ml/kg/BB, sedang jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat
dengan tanda overload antara lain edema, pernapasan meningkat, maka
selanjutnya furosemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan jumlah diuresis,
kadar ureum dan kreatinin tetap harus dilakukan. Tetapi, apabila diuresis tetap
belum mencukupi, pada umumnya syok belum dapat terkoreksi dengan baik,
maka pemberian dopamin perlu dipertimbangkan. 2
Mengingat pada saat awal pasien datang, kita belum selalu dapat
menentukan diagnosis DD/DBD dengan tepat, maka sebagai pedoman tatalaksana
awal dapat dibagi dalam 3 bagian, yaitu:3
1. Tatalaksana kasus tersangka DBD, termasuk kasus DD, DBD derajat I dan
DBD derajat II tanpa peningkatan kadar hematokrit. (Bagan 2 dan 3)
2. Tatalaksana kasus DBD, termasuk kasus DBD derajat II dengan peningkatan
kadar hematokrit. (Bagan 4)
3. Tatalaksana kasus sindrom syok dengue, termasuk DBD derajat III dan IV.
(Bagan 5)
34
35
Bagan 4. Tatalaksana kasus tersangka DBD[2]
Tersangka DBD
Demam tinggi, mendadakterus menerus <7 haritidak disertai infeksi saluran nafas bagian atas,
35
Tersangka DBD
36
badan lemah/lesu
Ada kedaruratan Tidak ada kedaruratan
Tanda syok Periksa uji torniquetMuntah terus menerusKejang Uji torniquet (+) Uji torniquet (-)Kesadaran menurun (Rumple Leede) (Rumple Leede)Muntah darahBerak darah
Jumlah trombosit Jumlah trombosit Rawat Jalan <100.000/µl >100.000/µl Parasetamol
Kontrol tiap hariTatalaksana sampai demam hilangdisesuaikan,(Lihat bagan 3,4,5)
Rawat Inap (lihat bagan 3)
Rawat Jalan Nilai tanda klinis &
Minum banyak 1,5 liter/hari jumlah trombosit, Ht
Parasetamol bila masih demam
Kontrol tiap hari hari sakit ke-3 sampai demam turun periksa Hb, Ht, trombosit tiap kali
Perhatian untuk orang tua Pesan bila timbul tanda syok: gelisah, lemah, kaki/tangan dingin, sakit perut, BAB hitam, BAK kurang
Lab : Hb & Ht naik Trombosit turun
Segera bawa ke rumah sakit
Bagan 5. Tatalaksana kasus DBD derajat I dan II
36
37
tanpa peningkatan hematokrit[2]
DBD derajat I atau II tanpa peningkatan hematokrit
Gejala klinis:Demam 2-7 hariUji torniquet (+) atauperdarahan spontanLaboratorium: Hematokrit tidak meningkatTrombositopenia (ringan)
Pasien masih dapat minum Pasien tidak dapat minumBeri minum banyak 1-2 liter/hari Pasien muntah terus menerusAtau 1 sendok makan tiap 5 menitJenis minuman; air putih, teh manis,Sirup, jus buah, susu, oralitBila suhu >39oC beri parasetamol Pasang infus NaCl 0,9%:Bila kejang beri obat antikonvulsi dekstrosa 5% (1:3)Sesuai berat badan tetesan rumatan sesuai berat badan
Periksa Ht, Hb tiap 6 jam, trombosit
Tiap 6-12 jam
Monitor gejala klinis dan laboratoriumPerhatikan tanda syokPalpasi hati setiap hariUkur diuresis setiap hari Ht naik dan atau trombosit turunAwasi perdarahanPeriksa Ht, Hb tiap 6-12 jam
Infus ganti RLPerbaikan klinis dan laboratoris (tetesan disesuaikan, lihat Bagan 4)
Pulang (Kriteria memulangkan pasien)• Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik• Nafsu makan membaik• Secara klinis tampak perbaikan• Hematokrit stabil• Tiga hari setelah syok teratasi• Jumlah trombosit >50.000/µl• Tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)
37
DBD derajat I atau II tanpa peningkatan hematokrit
38
Bagan 6. Tatalaksana kasus DBD derajat II dengan peningkatan
hematokrit >20%[2]
DBD derajat I atau II dengan peningkatan hematokrit >20%
38
DBD derajat I atau II dengan peningkatan hematokrit >20%
39
Cairan awal RL/RA/NaCl 0,9% atau RLD5/NaCl 0,9%
+D5 6-7 ml/kgBB/jam
Monitor tanda vital/Nilai Ht & Trombosit tiap 6 jam
Perbaikan Tidak ada perbaikanTidak gelisah GelisahNadi kuat Distress
pernafasanTek.darah stabil Frek.nadi naikDiuresis cukup Tanda vital memburuk Ht tetap tinggi/naik(12 ml/kgBB/jam) Ht meningkat Tek.nadi <20
mmHgHt turun Diuresis </tidak
ada(2x pemeriksaan)
Tetesan dikurangi Tetesan dinaikkan10-15 ml/kgBB/jam
Perbaikan5 ml/kgBB/jam Evaluasi 12-24 jam
Tanda vital tidak stabil
PerbaikanSesuaikan tetesan
Distress pernafasan Ht turun 3 ml/kgBB/jam Ht naik
Tek.nadi < 20 mmHgIVFD stop setelah 24-48 jamApabila tanda vital/Ht stabil danKoloid Transfusi darah segardiuresis cukup 20-30 ml/kgBB 10 ml/kgBB
Indikasi Transfusi pd Anak
- Syok yang belum teratasi
Perbaikan - Perdarahan masif
Bagan 7. Tatalaksana kasus DBD derajat III dan IV(Sindrom Syok Dengue/SSD) [2]
DBD derajat III & IV
1. Oksigenasi (berikan O2 2-4 liter/menit
39
DBD derajat III & IV
40
2. Penggantian volume plasma segera (cairan kristaloid isotonis)Ringer laktat/NaCl 0,9%20ml/kgBB secepatnya (bolus dalam 30 menit)
Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi ?Pantau tanda vital tiap 10 menitCatat balance cairan selama pemberian cairan intravena
Syok teratasi Syok tidak teratasi
Kesadaran membaik Kesadaran menurunNadi teraba kuat Nadi lembut/tidak terabaTekanan nadi >20 mmHg Tekanan nadi <20 mmHgTidak sesak nafas/sianosis Distress pernafasan/sianosisEkstrimitas hangat Kulit dingin dan lembabDiuresis cukup 1 ml/kgBB/jam Ekstrimitas dingin
Periksa kadar gula darah
Cairan dan tetesan disesuaikan 1. Lanjutkan cairan10 ml/kgBB/jam 15-20 ml/kgBB/jam
Evaluasi ketatTanda vital 2. Tambahkan koloid/plasmaTanda perdarahan Dekstran/FFPDiuresis Pantau Hb, Ht, Trombosit 3. Koreksi asidosis
Evaluasi 1 jam
Stabil dalam 24 jamTetesan 5 ml/kgBB/jam Syok belum teratasiHt stabil dalam 2x Syok teratasiPemeriksaan Ht turun Ht tetap
tinggi/naik
Tetesan 3 ml/kgBB/jam Transfusi darah segar10 ml/kgBB Koloid 20
ml/kgBBdapat diulang sesuai
Infus stop tidak melebihi 48 jam kebutuhansetelah syok teratasi
BAB IV
PEMBAHASAN
40
41
Seorang pasien datang dengan keluhan demam sejak 6 hari sebelum masuk
RS. Demam bersifat naik turun, kadang demam turun pada malam hari dan naik
lagi pada pagi hari, begitu juga sebaliknya. menggigil (-), keringat berlebih pada
malam hari (-), mual (+), sakit kepala (-), nyeri otot (-), gusi berdarah (-), nafsu
makan menurun. Os juga mengeluh batuk berdahak sejak 6 hari yang lalu yang
semakin memburuk sejak 2 hari yang lalu, dahak berwarna putih, muntah karena
batuk (+), sesak (-), nyeri dada (-), nyeri sendi (-), nyeri otot (-). Os juga
mengeluh nyeri saat menelan sejak dua hari yang lalu. Riwayat minum obat
sebelumnya (-). BAK tidak ada keluhan, BAB tidak ada keluhan. Awalnya Os
pada hari senin yang kebetulan lagi libur ikut ayahnya yang seorang guru ke
sekolah untuk melihat perlombaan perayaan hari kartini, sepulang dari sana Os
pergi les bahasa Inggris yang jaraknya 18 KM dari rumah Os. Sepulang dari les
Os merasa kecapekan lalu malamnya mulai demam. Os mulai tidak nafsu makan,
makan hanya sesendok dua sendok sehingga badannya semakin lemas, sedangkan
demamnya masih terus ada. Di sekitar rumah Os banyak juga yang demam.
Dari anamnesis di atas keluhan yang disampaikan oleh pasien tidak khas.
Namun keluhan demam sejak 6 hari sebelum masuk RS, nafsu makan menurun,
mual, batuk berdahak sejak enam hari yang lalu, nyeri menelan sejak 2 hari yang
lalu, dan factor kecapekan maka untuk sementara saya memikirkan kearah infeksi
saluran nafas yang dicetuskan akibat daya tahan tubuh yang lemah (factor
kecapekan dan pengaruh cuaca). Saya berpikir demam tidak membaik karena daya
tahan tubuh os masih belum cukup baik karena selama 6 hari tersebut os mengaku
hanya makan sesendok dua sendok.
Dari pemeriksaan tanda vital pasien, didapatkan Tekanan darah awal saat
Pasien baru masuk RS adalah 110/80 mmHg, suhu 38,6⁰C, Nadi 96x/menit,dan
RR 21x/menit. Keesokan harinya (Follow up pagi) Tekanan darah Pasien menjadi
90/70 mmHg, Nadi 96x/menit, RR 20x/menit, dan suhu 37,3⁰C, kondisi ini
dicurigai akan terjadinya renjatan syok. Namun Tekanan darah segera membaik
sore harinya menjadi 110/80 mmHg.
Setelah dilakukan pemeriksaan fisik ternyata didapatkan bahwa
Konjungtiva tidak anemis, tonsil T2-T2, Faring hiperemis, lidah tampak kotor
41
42
berwarna keputihan, tidak ada pembesaran Kelenjar Getah Bening, maka saya
mulai memasukkan kemungkinan penyakit lain, antara lain infeksi saluran nafas
bawah dengan Tonsilofaringitis akut. Untuk infeksi saluran nafas bawah bisa saja
disebabkan oleh bronkhitis. Untuk memastikannya diperlukan pemeriksaan
rontgen thorak. Kemungkinan lainnya adalah penyakit tifoid karena lidah tampak
kotor berwarna putih. Untuk memastikannya perlu dilakukan tes widal.
Dari hasil pemeriksaan labor yang dilakukan pada tanggal 28-4-2013
didapatkan trombosit 122x 103L/mm3 , telah terjadi trombositopenia yang
mengarah pada infeksi virus dengue. Hemolobin dan Hematokrit masih dalam
batas normal, yang berarti belum terjadi kebocoran plasma. Dilakukan
pemeriksaan Rumple leed dan hasilnya negative. Untuk sel darah putihnya sendiri
3,9 103 /mm3 masih dalam batas normal, menyingkirkan infeksi yang disebabkan
oleh bakteri. Pemeriksaan DDR (-) menandakan malaria negative. GDS 89 mg/dl
menandakan os hipoglikemia.
Berdasarkan anamnesis, tanda vital, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang tersebut, ternyata masih dibutuhkan beberapa pemeriksaan lagi guna
menyingkirkan diagnose banding. Di antaranya adalah tes widal, rontgen thorak,
serologi, dan urin rutin. Namun diagnosa saya pada kasus ini berdasarkan data
yang sudah ada adalah Febris et Causa Suspek Demam Dengue. Kasus ini
memerlukan observasi lebih lanjut dengan terus memantau tanda-tanda vitalnya
dan cek darah lengkap lagi.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
- Dengan demam pada umumnya diartikan suhu tubuh di atas 37,2⁰C.
42
43
- Demam terjadi karena penglepasan pirogen dari dalam leukosit yang
sebelumnya telah terangsang oleh pirogen eksogen yang dapat berasal dari
mikroorganisme atau merupakan suatu reaksi imunologik yang tidak
berdasarkan suatu infeksi.
- Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor
antara lain status imunitas pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi
virus dengue, keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis
setempat.
- Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya
tahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus.
Dengan demikian infeksi virus dengue dapat menyebabkan keadaan yang
bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan
yang tidak spesifik (undifferentiated febrile illness), Demam Dengue, atau
bentuk yang lebih berat yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD) dan
Sindrom Syok Dengue (SSD)
- Gejala klasik dari demam dengue ialah gejala demam tinggi mendadak,
kadang-kadang bifasik (saddle back fever), nyeri kepala berat, nyeri
belakang bola mata, nyeri otot, tulang, atau sendi, mual, muntah, dan
timbulnya ruam.
- Hasil pemeriksaan darah menunjukkan leukopeni kadang-kadang dijumpai
trombositopeni.
- Pada penderita Demam Dengue tidak dijumpai kebocoran plasma
sedangkan pada penderita DBD dijumpai kebocoran plasma yang
dibuktikan dengan adanya hemokonsentrasi, pleural efusi dan asites.
- Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat.
- Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda
penyembuhan. Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi
terhadap komplikasi yang dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu turun.
-
43
44
DAFTAR PUSTAKA
1) Nelwan,R. Demam: Tipe dan Pendekatan.dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, Juni 2006.
Hal. 1697-9
44
45
2) Hadinegoro S.R.H, Soegijanto S, dkk. Tatalaksana Demam Berdarah
Dengue di Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan.. Edisi 3. Jakarta. 2004.
3) Suhendro dkk. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, Juni 2006.
Hal. 1731-5.
4) Sungkar S. Demam Berdarah Dengue. Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan Ikatan Dokter Indonesia. Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter
Indonesia. Jakarta, Agustus 2002.
5) Asih Y. S.Kp. Demam Berdarah Dengue, Diagnosis, Pengobatan,
Pencegahan, dan Pengendalian. World Health Organization. Edisi 2.
Jakarta. 1998.
6) Gubler D.J. Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. PubMed Central
Journal List. Terdapat di:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=1508601.
Diakses pada: 2009, Desember 29.
7) Gubler DJ, Clark GG. Dengue/Dengue Hemorrhagic Fever: The
Emergence of a Global Health Problem. National Center for Infectious
Diseases
Centers for Disease Control and Prevention
Fort Collins, Colorado, and San Juan, Puerto Rico, USA. 1996. Terdapat
di: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8903160. Diakses pada: 2009,
Desember 29.
8) Fernandes MDF. Dengue/Dengue Hemorrhagic Fever. Infectious disease.
Terdapat di: http://www.medstudents.com.br/dip/dip1.htm. Diakses pada:
2009, Desember 29.
9) World Health Organization. Dengue and dengue haemorrhagic fever.
Terdapat di: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/htm.
Diakses pada: 2009, Desember 29.
45