abortus obs wil

45
ABORTUS Definisi abortus (aborsi, abortion) adalah berakhimya kehamilan melalui eara apapun sebelum janin mampu bertahan hidup. Di Amerika Serikat, definisi ini terbatas pada terminasi kehamilan sebelum 20 minggu didasarkan pada tanggal hari pertama haid normal terakhir. Definisi lain yang sering digunakan adalah keluamya janin-neonatus yang beratnya kurang dari 500 g. ABORTUS SPONTAN Apabila abortus terjadi tanpa tindakan mekanis atau medis untuk mengosongkan uterus, maka abortus tersebut dinamai abortus spontan. Kata lain yang luas digunakan adalah keguguran (miscarriage). PATOLOGI. Abortus biasanya disertai oleh perdarahan ke dalam desidua basalis dan nekrosis di jaringan dekat tempat perdarahan. Ovum menjadi terlepas, dan hal ini memicu kontraksi uterus yang menyebabkan ekspulsi. Apabila kantung dibuka, biasanya dijumpai janin keeil yang mengalami maserasi dan dikelilingt. oleh eairan, atau mungkin tidak tampak janin di dalam kantung dan disebut blighted ovum. Mola karneosa atau darah adalah suatu ovum yang dikelilingi oleh kapsul bekuan darah. Kapsul memiliki ketebalan bervariasi, dengan vili korionik yang telah berdegenerasi tersebar di antaranya. Rongga keeil di dalam yang terisi eairan tampak menggepeng dan terdistorsi akibat dinding bekuan darah lama yang tebal. Pada abortus tahap lebih lanjut, terdapat beberap a kemungkinan hasil. Janin yang tertahan dapat mengalami maserasi. Tulang-tulang tengkorak kolaps dan abdomen kembung oleh eairan yang mengandung darah. Kulit melunak dan terkelupas in utero ~tau dengan sentuhan ringan, meninggalkan dermis. Organ-organ dalam mengalami degenerasi dan nekrosis. Cairan amnion mungkin terserap saat janin tertekan dan mengering untuk membentuk fetus kompresus. Kadang- kadang, janin akhimya menjadi sedemikian kering dan tertekan sehingga mirip dengan perkamen, yang disebut juga sebagai fetus papiraseus. PULlHNYA OVULASI. Ovulasi dapat kembali terjadi sedini 2 minggu pasea-abortus. Uihteenmaki dan Luukkainen (1978) mendeteksi

Upload: annisa-lenggogeni

Post on 12-Jan-2016

44 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

abortus

TRANSCRIPT

Page 1: Abortus Obs Wil

ABORTUS Definisi abortus (aborsi, abortion) adalah berakhimya kehamilan melalui eara apapun sebelum janin mampu bertahan hidup. Di Amerika Serikat, definisi ini terbatas pada terminasi kehamilan sebelum 20 minggu didasarkan pada tanggal hari pertama haid normal terakhir. Definisi lain yang sering digunakan adalah keluamya janin-neonatus yang beratnya kurang dari 500 g.

ABORTUS SPONTAN Apabila abortus terjadi tanpa tindakan mekanis atau medis untuk mengosongkan uterus, maka abortus tersebut dinamai abortus spontan. Kata lain yang luas digunakan adalah keguguran (miscarriage).

PATOLOGI. Abortus biasanya disertai oleh perdarahan ke dalam desidua basalis dan nekrosis di jaringan dekat tempat perdarahan. Ovum menjadi terlepas, dan hal ini memicu kontraksi uterus yang menyebabkan ekspulsi. Apabila kantung dibuka, biasanya dijumpai janin keeil yang mengalami maserasi dan dikelilingt. oleh eairan, atau mungkin tidak tampak janin di dalam kantung dan disebut blighted ovum.

Mola karneosa atau darah adalah suatu ovum yang dikelilingi oleh kapsul bekuan darah. Kapsul memiliki ketebalan bervariasi, dengan vili korionik yang telah berdegenerasi tersebar di antaranya. Rongga keeil di dalam yang terisi eairan tampak menggepeng dan terdistorsi akibat dinding bekuan darah lama yang tebal. Pada abortus tahap lebih lanjut, terdapat beberap a kemungkinan hasil. Janin yang tertahan dapat mengalami maserasi. Tulang-tulang tengkorak kolaps dan abdomen kembung oleh eairan yang mengandung darah. Kulit melunak dan terkelupas in utero ~tau dengan sentuhan ringan, meninggalkan dermis. Organ-organ dalam mengalami degenerasi dan nekrosis. Cairan amnion mungkin terserap saat janin tertekan dan mengering untuk membentuk fetus kompresus. Kadang-kadang, janin akhimya menjadi sedemikian kering dan tertekan sehingga mirip dengan perkamen, yang disebut juga sebagai fetus papiraseus.

PULlHNYA OVULASI. Ovulasi dapat kembali terjadi sedini 2 minggu pasea-abortus. Uihteenmaki dan Luukkainen (1978) mendeteksi lonjakan luteinizing hormone (LH) 16 sampai 22 hari setelah abortus pad a 15 dari 18 wanita yal\g diteliti. Selain itu, kadar progesteron plasma-yang merosot setelah abortus-meningkat segera setelah lonjakan LH. Perubahan-perubahan hormon ini berlangsung seiring dengan perubahan histologis pad a biopsi endometrium seperti yang diuraikan oleh Boyd dan Holmstrom (1972). Karena itu, kontrasepsi yang efektif perlu dimulai segera setelah abortus.

ETIOLOGI. Lebih dari 80 persen abortus terjadi pada 12 minggu pertama, dan setelah itu angka irii eepat menu run (Harlap dan Shiono, 1980). Kelainan kromosom merupakan penyebab pada, paling sedikit separuh dari kasus abortus dini ini, dan setelah itu insidensinya juga menu run (Gambar 33-1). Risiko abortus spontan meningkat seiring dengan paritas serta usia ibu dan ayah (Warburton dan Fraser, 1964; Wilson dkk., 1986). Frekuensi abortus yang seeara klinis terdeteksi meningkat dari 12 persen pada wanita berusia kurang dari 20 tahun menjadi 26 persen pada mereka yang usianya lebih dari 40 tahun. Efek meningkatnya usia ibu diperlihatkan di Gambar 33-2. Untuk usia ayah yang sama, peningkatannya adalah dari 12 sampai 20 persen.

Page 2: Abortus Obs Wil

Akhirnya, insidensi abortus meningkat apabila wanita yang bersangkutan hamil dalam 3 bulan setelah melahirkan bayi aterm (Harlap dan Shiono, 1980). Mekanisme pasti yang menyebabkan abortus tidak selalu jelas, tetapi pad a bulan-bulan awal kehamilan, ekspulsi ovum seeara spontan hampir selalu didahului oleh kematian mudigah atau janin. Karena itu, pertimbangan etiologis pada abortus dini antara lain meneakup pemastian kausa kern atian janin (apabila mungkin). Pad a bulan-bulan selanjutnya, janin sering belum meninggal in utero sebelum ekspulsi, dan penyebab ekspulsi tersebut perlu diteliti.

FAKTOR JANIN PERKEMBANGAN ZIGOT ABNORMAL. Temuan morfologis tersering pada abortus spontan dini adalah kelainan perkembangan zigot, mudigah, janin bentuk awal, atau kadang-kadang plasenta. Dalam suatu ana lis is terhadap 1000 abortus spontan, Hertig dan Sheldon (1943) menjumpai ovum patologis ("blighted") yang pada separuhnya mudigah mengalami degenerasi atau tidak ada sarna sekali. Ovum yang abnormal semacam itu dapat dilihat di Gambar 33-3. Poland dkk. (1981) menemukan disorganisasi morfologis pertumbuhan pada 40 persen abortus spontan sebelum minggu ke-20. Di antara mudigah yang panjang ubun-ubun ke bokongnya kurang dari 30 mm, frekuensi kelainan perkembangan morfologis adalah 70 persen. Dari mudigah-mudigah yang menjalani pemeriksaan biakan jaringan dan analisis kromosom, 60 persen memperlihatkan kelainan kromosom. Untuk janin dengan panjang ubun-ubun ke bokong 30 sampai 180 mm, frekuensi kelainan kromosom adalah 25 persen. ABORTUS ANEUPLOIDI. Kelainan kromosom sering dijumpai pad a mudigah dan janin awal yang mengalami abortus spontan, dan menyebabkan banyak atau sebagian besar abortus pada awal kehamilan. Sekitar 50 sampai 60 persen abortus spontan dini disertai dengan kelainan kromosom pada konseptus (Tabel 33-1). Jacobs dan Hassold (1980) melaporkan bahwa sekitar seperempat dari kelainan kromosom disebabkan oleh kesalahan gametogenesis ibu dan 5 persen oleh kesalahan ayah. Dalam suatu studi terhadap janin dan neonatus dengan trisomi 13, Robinson dkk. (1996) melaporkan bahwa pada 21 dari 23 kasus, kromosom tambahan berasal dari ibu. Trisomi autosom merupakan kelainan kromosom yang tersering dijumpai pad a abortus trimester pertama (Tabel 33-1). Seperti dibahas di Bab 36, trisomi dapat disebabkan oleh nondisjunction tersendiri, translokasi seimbang maternal atau paternal, atau inversi kromosom seimbang. Penataan ulang struktur kromosom secara seimbang dijumpai pada 2 sampai 3 persen pasangan dengan riwayat abortus rekuren (American College of Obstetricians and Gynecologists, 1995). Translokasi dapat ditemukan pada kedua orang tua. lnversi kromosom seimbang juga dapat dijumpai pad a pasangan dengan abortus rekuren. Trisomi untuk semua autosom kecuali kromosom nomor 1 pernah dijumpai pada abortus, tetapi yang tersering adalah autosom 13, 16, 18, 21, dan22. Monosomi X (45,X) adalah kelainan kromosom tersering berikutnya dan memungkinkan lahirnya bayi perempuan hidup (sind rom Turner). Triploidi sering dikaitkan dengan degenerasi hidropik pada plasenta. Mola hidatidosa parsial mungkin memperlihatkan perkembangan janin yang bersifat triploid atau trisomik untuk kromosom 16. Janin yang memperlihatkan kelainan-kelainan ini sering mengalami abortus dini, dan beberapa yang mampu bertahan hidup lebih lama mengalami malformasi berat. Usia ibu dan ayah yang lanjut tidak berkaitan dengan kelainan ini. Janin tetraploid jarang lahir hidup dan umumnya men gal ami abortus sangat dini. Kelainan struktural kromosom jarang menyebabkan abortus dan baru teridentifikasi setelah dikembangkannya teknik-teknik pemitaan (banding). Sebagian dari bayi ini lahir hidup dengan

Page 3: Abortus Obs Wil

translokasi seimbang dan mungkin normal. Monosomi autosom sangat jarang dijumpai dan tidak memungkinkan kehidupan. Polisomi kromosom seks (47,XXX atau 47,XXY) jarang dijumpai pada abortus tetapi relatif sering pad a bayi lahir hidup.

ABORTUS EUPLOID. Kajii dkk., (1980) melaporkan bahwa tiga perempat dari abortus aneuploid terjadi sebelum minggu ke-8, sedangkan abortus euploid memuncak pada usia gestasi sekitar 13 minggu. Stein dkk., (1980) membuktikan bahwa insidensi abortus euploid meningkat secara drastis setelah usia ibu 35 . tahun. Penyebab abortus euploid umumnya tidak diketahui, tetapi mungkin disebabkan oleh: 1) Kelainan genetik, misalnya mutasi tunggal atau faktor poligenik. 2) Berbagai faktor ibu. 3) Mungkin beberapa faktor ayah. Simpson (1980) mengamati bahwa sekitar 0,5 persen bayi lahir hidup memperlihatkan kelainan kromosom, sedangkan paling sedikit 2 persen dari bayi lahir hidup disertai dengan penyakit akibat mutasi gen tunggal atau penyakit dengan mekanisme pewarisan poligenik.

F AKTOR IBU. Berbagai penyakit medis, kondisi lingkungan, dan kelainan perkembangan diperkirakan berperan dalam abortus euploid. INFEKSI. Sejumlah penyakit kronik diperkirakan dapat menyebabkan abortus. Brucella abortus dan Campylobacter fetus merupakan kausa abortus pada sapi yang telah lama dikenal, tetapi keduanya bukan kausa signifikan pada manusia (Sauerwein dkk., 1993). Bukti bahwa Toxoplasma gondii menyebabkan abortus pada manusia kurang meyakinkan. Tidak terdapat bukti bahwa Listeria monocytogenes atau Chlamydia trachoma tis menyebabkan abortus pada manusia (Feist dkk., 1999; Osser dan Persson, 1996; Paukku dkk., 1999). Namun, herpes simpleks dilaporkan berkaitan dengan peningkatan insidensi abortus setelah tetjadi infeksi genital pada awal kehamilan. Temmerman dkk. (1992) melaporkan bahwa abortus spontan secara independen berkaitan dengan antibodi virus imunodefisiensi manusia 1 (HIV-l) dalam darah ibu, seroreaktivitas sifilis pada ibu, dan kolonisasi vagina ibu oleh streptokokus grup B. Bukti serologis yang mendukung peran Mycoplasma hominis dan Ureaplasma urealyticum da-lam abortus diajukan oleh Quinn dkk. (1983). Sebaliknya, Temmerman dkk. (1992) tidak mendapatkan keterkaitan antara mikoplasma genital dan abortus spontan. Yang menarik, Berg dkk. (1999) melaporkan bahwa terapi eritromisin pad a wanita dengan biakan cairan amnion positif untuk mikoplasma yang menjalani amniosentesis genetik, menyebabkan penurunan bermakna kematian janin midtrimester (11 versus 44 persen).

PENYAKIT DEBILITAS KRONIK. Pada awal kehamilan, penyakit kronik yang menyebabkan penyusutan tubuh, misalnya tuberkulosis atau karsinomatosis, jarang menyebabkan abortus. Hipertensi jarang menyebabkan abortus di bawah 20 minggu, tetapi dapat menyebabkan kematian janin dan pelahiran preterm. Celiac sprue (sindrom malabsorbsi) dilaporkan menyebabkan infertilitas wanita dan pria serta abortus rekuren (Sher dkk, 1994).

KELAINAN ENDOKRIN HIPOTIROIDISME. Tampaknya tidak terjadi peningkatan insidensi abortus yang disebabkan oleh hipotiroidisme klinis (Montoro dkk, 1981). Autoantibodi tiroid dilaporkan menyebabkan peningkatan insidensi abortus walaupun tidak terjadi hipotiroidisme yang nyata (Dayan dan Daniels, 1996; StagnaroGreen dkk, 1990). Sebaliknya, peneliti lain tidak mendapatkan

Page 4: Abortus Obs Wil

peningkatan insidensi antibodi antitiroid pada wanita yang mengalami abortus berulang apabila dibandingkan dengan kontrol normal (Esplin dkk, 1998; Pratt dkk, 1994). DIABETES MELITUS. Seperti yang baru-baru ini diulas oleh Greene (1999), abortus spontan dan malformasi kongenital mayor meningkat pada wanita dengan diabetes dependen-insulin. Risiko ini berkaitan dengan derajat kontrol metabolik pada trimester pertama. Dalam suatu studi prospektif, Mills dkk (1988) melaporkan bahwa pengendalian glukosa secara dini (dalam 21 hari setelah konsepsi) menghasilkan angka abortus spontan yang setara dengan angka pada kelompok kontrol nondiabetik Namun, kurangnya pengendalian glukosa menyebabkan peningkatan angka abortus yang mencolok Dalam sebuah penelitian dari Children's Hospital of Pittsburgh, Dorman dkk (1999) melaporkan angka abortus spontan yang secara bermakna lebih tinggi pad a wanita diabetik dibandingkan dengan pasangan nondiabetik dari pria dengan diabetes tipe I (27 versus 8 persen). Terjadi penurunan sementara angka abortus spontan pada para wanita diabetik ini dari 26 persen sebelum tahun 1969 menjadi 5,7 persen dari tahun 1980 sampai 1989. Para penulis ini mendalilkan bahwa penurunan ini mungkin disebabkan oleh perbaikan dalam penanganan medis, misalnya swapemantauan glukosa. DEFISIENSI PROGESTERON. Kurangnya sekresi progesteron oleh korpus luteum atau plasenta dilaporkan menyeb.abkan peningkatan insidensi abortus. Diperkirakan bahwa kadar abnormal satu atau lebih hormon dapat meramalkan terjadinya abortus. Sa- yangnya, penurunan kadar hormon-hormon ini biasanya lebih merupakan akibat daripada sebab (Salem dkk, 1984). Terdapat laporan-Iaporan kasus defek fase luteal, tetapi kasus ini jarang terjadi.

NUTRISI. Tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa defisiensi salah satu zat gizi atau defisiensi sedang semua nutrien merupakan kausa abortus yang penting. Mual dan muntah yang timbul agak sering pada awal kehamilan, dan semua penyakit yang dipicunya, jarang diikuti oleh abortus spontan.

PEMAKAIAN OBAT DAN FAKTOR LINGKUNGAN. Berbagai zat dilaporkan berperan, tetapi belum dipastikan, sebagai penyebab meningkatnya insidensi abortus. TEMBAKAU. Merokok dilaporkan menyebabkan peningkatan risiko abortus euploidi (Harlap dan Shiono, 1980). Bagi wanita yang merokok lebih dari 14 batang per hari, risiko tersebut sekitar dua kali lipat dibandingkan dengan kontrol normal (Kline dkk, 1980). Armstrong dkk (1992) menghitung bahwa risiko abortus meningkat secara linier 1,2 kali untuk setiap 10 batang rokok yang diisap per hari. ALKOHOL. Abortus spontan dan anomali janin dapat terjadi akibat sering--mengkonsumsi alkohol selama 8 minggu pertama kehamilan (Floyd dkk, 1999). Abortus spontan meningkat bahkan apabila alkohol dikonsumsi II dalam jumli3.h sedang". Kline dkk (1980) melaporkan bahwa angka abortus meningkat dua kali lip at pada wanita yang minum 2 kali setiap minggu, dan tiga kali pada wanita yang mengkonsumsi alkohol setiap hari dibandingkan dengan bukan peminum. Armstrong dkk, (1992) menghitung bahwa risiko abortus meningkat dengan rata~ rata 1,3 kali untuk setiap gelas per hari. Sebaliknya, Cavallo dkk (1995), dalam suatu studi prospektif terhadap 546 wanita, melaporkan bahwa konsumsi alkohol dalam kadar rendah selama kehamilan tidak menyebabkan peningkatan bermakna risiko abortus. Yang agak mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa dalam satu studi potong-lintang dari Centers for Disease Control and Prevention, Floyd dkk, (1999) mendapatkan bahwa separuh dari semua wan

Page 5: Abortus Obs Wil

ita hamil dalam studi meminum alkohol selama 3 bulan sebelum menyadari hamil dan 5 persen minum dalam jumlah sedang sampai banyak! KAFEIN. Konsumsi kopi dalam jumlah lebih dari empat cangkir per hari tampaknya sedikit meningkatkan risiko abortus (Armstrong dkk, 1992). Risiko tampaknya meningkat seiring dengan peningkatan jumlah. Dalam suatu studi oleh Klebanoff dkk., (1999), kadar paraxantin (suatu metabolit kafein) dalam darah ibu menyebabkan peningkatan dua kali lipat risiko abortus spontan hanya apabila kadar tersebut sangat tinggi. Para penulis ini menyimpulkan bahwa konsumsi kafein dalam jumlah sedang kecil kemungkinannya menyebabkan abortus spontan. RADIASI. Dalam dosis memadai, radiasi diketahui menyebabkan abortus. Seperti dibahas di Bab 42, dosis pasti pada manusia tidak diketahui. KONTRASEPSI. Tidak terdapat bukti yang mendukung bahwa kontrasepsi oral atau zat spermisida yang digunakan dalam krim dan jeli kontrasepsi menyebabkan peningkatan insidensi abortus. Namun, alat kontrasepsi dalam rahim berkaitan dengan peningkatan insidensi abortus septik setelah kegagalan kontrasepsi (Bab 58, hal. 1720). TOKSIN LINGKUNGAN. Pada sejumlah studi, angka abortus pada wanita yang terpajan tidak meningkat (Axelsson dan Rylander, 1~82). Rowland dkk. (1995) melaporkan peningkatan risiko abortus spontan pada para perawat gigi yang terpajan nitrogen oksida selama 3 jam atau lebih di kamar praktek tanpa alat pembersih, tetapi tidak pada kamar praktek yang menggunakan alat pembersih. Dal~m suatu metaanalisis, Boivin (1997) menyimpulkan bahwa, berdasarkan data dari era sebelum adanya alat pembersih, terdapat peningkatan risiko abortus spontan pada wanita yang terpajan gas-gas anestetik di tempat kerja. Pada sebagian besar kasus, tidak banyak informasi yang menunjukkan bahan tertentu di ling-kungan sebagai penyebab; namun, terdapat bukti bahwa arsen, timbal, formaldehida, benzena, dan etilen oksida dapat menyebabkan abortus (Barlow dan Sullivan, 1982). Sambungan monitor video dan pajanan medan elektromagnetiknya tidak mening- . katkan risiko abortus (Schnorr dkk., 1991). Gelombang pendek dan gelombang ultrasonik juga tidak meningkatkan risiko tersebut (Taskinen dkk., 1990).

FAKTOR. IMUNOLOGIS. Banyak perhatian ditujukan pada-sistem imun sebagai faktor penting dalam kematian janin berulang. Dua model patofisiologis utama yang berkembang adalah teori autoimun (imunitas terhadap tubuh sendiri) dan teori aloimun (imunitas terhadap orang lain). FAKTOR AUTOIMUN. Dari berbagai studi dipastikan bahwa sekitar 15 persen dari 1000 pasien lebih dengan kematian janin berulang memiliki faktor autoimunitas (Kutteh dan· Pasquarette, 1995). Antibodi yang paling signifikan memiliki spesifisitas terhadap fosfolipid bermuatan negatif dan paling sering terdeteksi dengan pemeriksaan untuk antikoagulan lupus (lupus anticoagulant, LAC) dan antibodi antikardiolipin (anticardiolipin antibody, ACA). Wanita dengan riwayat abortus dini dan kadar antibodi yang tinggi memiliki angka kekambuhan keguguran sebesar 70 persen (Dudley dan Branch, 1991). Dari kumpulan studi yang total melibatkan 1500 wanita dengan kematian janin berulang, diperoleh insidensi rata-rata 17 persen untuk antibodi antikardiolipin dan 7 persen untuk antikoagulan lupus. Sebaliknya, hanya 1 sampai 3 persen dari pasien obstetri normal yang diketahui memiliki salah satu dari kedua zat tersebut (Harris dan Spinnato, 1991; Lockwood dkk., 1989). Dalam suatu studi prospektif terhadap 860 wanita yang ditapis untuk antibodi antikardiolipin pada trimester pertama, Yasuda dkk. (1995) melaporkan 7 persen positif. Abortus spontan terjadi pada 25 persen dari kelompok antibodi positif

Page 6: Abortus Obs Wil

dibandingkan dengan 10 persen pada kelompok negatif. Namun, pada studi lain yang baru, Simpson dkk. (1998) tidak menemukan keterkaitan an tara kematian janin awal dan adanya antibodi antikardiolipin atau antikoagulan lupus. Walaupun terdapat kontroversi mengenai abortus dini, tercapai konsensus mengenai meningkatnya kematian janin mid trimester dan sindrom antibodi antifosfolipid (Blumenfeld dan Brenner, 1999; Cowchock, 1997; Simpson dkk., 1998). Antikoagulan lupus adalah suatu imlIDoglobulin (IgG, IgM, atau keduanya) yang mengganggu satu atau lebih dari beberapa uji koagulasi dependenfosfolipid in vitro. Istilah ini tidak tepat karena antibodi ini berkait~ dengan peningkatan insidensi serangan tromboemboli. Yang utama, antikoagulan lupus paling sering didiagnosis pada pasien yang tidak memenuhi kriteria diagnostik untuk lupus. Antibodi antifosfolipid adalah antibodi didapat yang ditujukan kepada suatu fosfolipid. Antibodiini dapat berupa isotop IgG, IgA, atau IgM. Mekanisme kematian janin pad a para wanita ini diperkirakan melibatkan trombosis dan infark plasenta. Salah satu mekanisme yang mungkin berperan adalah inhibisi pembebasan prostasiklin (Gambar 33-4). Produk sel endotel ini adalah suatu vasodilator kuat dan inhibitor agregasi trombosit. Di pihak lain, trombosis menghasilkan tromboksan A2, suatu vasokonstriktor dan agregator trombosit. Karena itu, antibodi-antibodi ini dapat menurunkan produksi prostasiklin, mempermudah timbulnya lingkungan yang didominasi oleh tromboksan yang kemudian menyebabkan trombosis. Selain itu, antibodi-antibodi tersebut terbukti menghambat aktivasi protem C. Para peneliti menyarankan berbagai pengobatan untuk sind rom antibodi antifosfolipid, termasuk dosis rendah aspirin, prednison, heparin, dan imunoglobulin intravena (Coulam, 1995). Terapi-terapi ini diperkirakan melawan kerja antibodi yang merugikan dengan mempengaruhi baik sistem imun maupun sistem koagulasi. Cowchock dkk (1992) melakukan suatu uji teracak yang membandingkan terapi prednison dengan heparin dosis rendah pada 20 wanita dengan antibodi dan kematian janin berulang. Angka kelahiran hidup setara (75 persen) untuk kedua kelompok Namun, para wanita yang mendapat glukokortikoid memperlihatkan peningkatan bermakna insidensi morbiditas ibu dan janin. Kutteh (1996) melaporkan 50 wanita dengan antibodi dan kematian janin berulang yang diterapi dengan heparin dan aspirin dosis rendah atau aspirin saja. Heparin dimulai dengan dosis 5000 unit secara subkutan dua kali sehari setelah uji kehamilan positif dan dititrasi sesuai waktu tromboplastin parsial (PTT) dan hitung trombosit. Walaupun 76 persen dari wanita yang mendapat heparin plus aspirin melahirkan bayi hidup, pada mereka yang mendapat aspirin saja angkanya hanya 44 persen. Penyulit ibu dan obstetrik pada kedua kelompok rendah. Data terakhir menunjukkan bahwa antibodi berikatan langsung dengan heparin in vitro dan berfungsi serupa pad a keadaan in vivo sehingga efek antibodi yang merugikan berkurang (Ermel dkk, 1995). Branch dkk (2000) melakukan suatu studi awal terkontrol plasebo tentang' imunoglobulin untuk mengobati sind rom antibodi antifosfolipid sewaktu kehamilan dan mendapatkan bahwa imunoglobulin intra vena tidak memperbaiki hasil akhir kehamilan lebih dari yang dicapai oleh pemberian heparin dan aspirin dosis rendah. FAKTOR ALOIMUN. Kematian janin berulang pada sejumlah wanita didiagnosis sebagai akibat faktorfaktor aloimun. Para wanita ini mendapat beragam terapi yang ditujukan untuk merangsang toleransi imun ibu terhadap janin. Diagnosis faktor aloimun berpusat pada beberapa pemeriksaan: 1) Perbandingan HLA ibu dan ayah.

Page 7: Abortus Obs Wil

2) Pemeriksaan serum ibu untuk mendeteksi keberadaan antibo'tii sitotoksik terhadap leukosit ayah.

3) Pemeriksaan serum ibu untuk mendeteksi faktor-faktor penyekat (blocking factors) pad a reaksi pencampuran limfosit (mixed lymphocyte reaction) ibu-ayah.

Pada dasarnya, pasangan yang dipastikan memiliki homologi tipe HLA yang signifikan, atau yang wanitanya diketahui memiliki antibodi antipaternal minimal, dianggap mengalami suatu gangguan aloimun. Validitas model ini masih diragukan. Sebagai contoh, pasangan yang memiliki HLA yang sarna jelas masih mungkin mengalami kehamilan normal (Ober dkk, 1983). Yang utama, penelitian-penelitian lain tidak menemukan adanya perbedaan dalam frekuensi kesamaan HLA pada pasangan dengan kematian janin berulang dengan mereka yang reproduksinya sukses (Bellingard, 1995; Houwert-de Jong, 1989; Sargent, 1988, dkk). Walaupun sebagian peneliti mendapatkan bahwa keberadaan antibodi limfositotoksik dan inhibitor mixed lymphocyte culture berkaitan dengan keberhasilan kehamilan, Coulam (1992) dengan meyakinkan memperlihatkan bahwa keduanya merupakan fungsi dari durasi dan jumlah kehamilan dan bukan penyebab kematian janin. Lebih lanjut, hasil-hasil dari ketiga pemeriksaan di atas terbukti tidak memiliki nilai prediktif dalam menilai hasil kehamilan berikutnya pada populasi. wanita dengan abortus rekuren (Cowchock dan Smith,1992). Meskipun berbagai hipotesis paling kuat tentang kausa aloimun pada kematian janin masih diliputi oleh ketidakpastian, sejumlah penelitian melaporkan hasil-hasil dari terapi yang ditujukan untuk memperbaiki lingkungan imun ibu. Sebagian besar wanita ini mendapat leukosit paternal atau imunoglobulin manusia yang telah disatukan. Fraser dkk. (1993) melakukan metaanalisis terhadap 19 penelitian kasus dan menyimpulkan bahwa imunoterapi tidak secara bermakna memperbaiki hasil kehamilan. Suatu studi pengamatan retrospektif dan metaanalisis sedunia mengenai terapi imunisasi leukosit alogenik untuk kematian janin berulang pada lebih dari 400 kasus, memperlihatkan sedikit perbaikan pada para wanita yang mendapat imunisasi (Coulam dkk., 1994). Biaya yang sangat besar dan kemungkinan morbiditas dari terapi imunisasi menjadi penyampaian infor~asi yang relevan seutuhnya dan persetujuan tindak medik (informed consent) hal penting (Bux dkk., 1992; Katz dkk., 1992). Beberapa dokter memberi infus imunoglobulin manusia yang disatukan sebagai alternatif imuno-terapi limfosit paternal. Suatu uji klinis terkontrolplasebo, double-blind, dan prospektif, yang menggunakan gama globulin intravena untuk mengobati wanita dengan kematian janin berulang, memperlihatkan bahwa wanita yang mendapat terapi ini mengalami perbaikan dibandingkan dengan mereka yang mendapat plasebo (Coulam, 1995). Dalam studi prospektif lain terhadap 47 wanita dengan riwayat tiga kali kematian janin atau lebih yang sebabnya tidak jelas, Stricker dkk. (2000) melaporkan bahwa imunoglobulin intravena (lVIG) dosis rendah bermanfaat untuk memperbaiki hasil kehamilan. Dari 24 wanita yang mendapat terapi IVIG dan kemudian hamil, 22 mengalami kehamilan aterm. Terdapat 11 wanita yang menolak terapi IVIG dan tujuh kemudian hamil, tetapi semuanya mengalami abortusspontan pada trimester pertama.

TROMBOFILIA HEREDITER. Terdapat banyak laporan mengenai keterkaitan abortus spontan dengan trombofilia herediter (Blumenfeld, 1999; Girling, 1998; Nelen, 1997; Ridker, 1998; Souza, 1999; Younis, 2000 dkk.). Seperti dibahas di Bab 49 (hal. 1489), penyulit kehamilan lainnya jugadilaporkan berkaitan dengan trombofilia ini (TabeI33-2). Dalam suatu penelitian terha~ap 78 wanita dengan dua

Page 8: Abortus Obs Wil

atau lebih abortus trimester pertama atau kedua, Younis dkk. (2000) melaporkan bahwa 38 persen, versus 8 persen kelompok kontrol, mengalami resistensi protein C aktif dan 19 persen, versus 6 persen kelompok kontrol mengalami mutasi faktor V Leiden. Nelen dkk. (2000) melaporkan bahwa peningkatan kadar homosistein serum juga merupakan faktor risiko. Blumenfeld dan Brenner (1999) baru-baru ini mengulas kematian janin akibat trombofilia. Terapi optimal bagi berbagai trombofilia selama kehamilan masih belum jelas, tetapi heparin (termasuk heparin berberat molekul rendah) tampaknya efektif untuk mengobati defisiensi antitrombin III serta defisiensi protein C dan S. Aspirin plus heparin tampaknya efektif untuk mengobati mutasi faktor V Leiden dan sindrom antifosfolipid (Blumenfeld dan Brenner, 1999).

GAMET YANG MENUA. Guerrero dan Rojas (1975) mendapatkan peningkatan insidensi abortus yang relatif terhadap kehamilan normal apabila inseminasi terjadi 4 hari sebelum atau 3 hari sesudah saat pergeseran suhu tubuh basal. Dengan demikian, mereka menyimpulkan bahwa penuaan garnet di dalam saluran genitalia wanita sebelum pembuahan meningkatkan kemungkinan abortus. Dickey dkk. (1992) melaporkan bahwa pasien infertil berusia lebih dari 35 tahun memperlihatkan peningkatan insidensi sindrom kantung amnion kecil dan abortus euploidi. Tidak diketahui apakah induksi ovulasi atau fertilisasi in vitro menyebabkan penuaan garnet sebelum implantasi. LAP AROTOMI. Tidak terdapat bukti bahwa pembedahan yang dilakukan pada kehamilan tahap awal dapat meningkatkan angka abortus (Bab 42, hal. 1276). Sebagai contoh, tumor ovarium dan mioma bertangkai umumnya diangkat tanpa mengganggu kehamilan. Peritonitis meningkatkan kemungkinan abortus. TRAUMA FISIK. Trauma yang tidak menyebabkan terhentinya kehamilan sering dilupakan. Yang diingat hanya kejadian tertentu yang tampaknya mengakibatkan abortus. Namun, sebagian besar abortus spontan terjadi beberapa waktu setelah kematian mudigah atau janin. CACA T UTERUS CACAT UTERUS DIDAPAT. Leiomioma uterus, bahkan yang besar dan multipel, biasanya tidak menyebabkan abortus. Apabila menyebabkan abortus, lokasi leiomioma tampaknya lebih penting daripada ukurannya (Bab 35, hal. 1032). Sinekie uterus (sindrom Asherman) disebabkan oleh destruksi endometrium luas akibat kuretas,e. Hal ini akhirnya menyebabkan amen ore dan abortus rekuren yang dipercaya disebabkan oleh kurang memadainya endometrium untuk menunjang implantasi. Diagnosis dapat ditegakkan dengan histerosalpingogram yang memperlihatkan defek pengisian multipel khas, tetapi diagnosis paling akurat dan langsung adalah dengan histeroskopi (Raziel dkk., 1994). Romer (1994) melaporkan bahwa insidensi perlekatan intrauterus yang didiagnosis dengan histeroskopi hampir setara setelah abortus inkompletus atau missed abortion pertama (20 persen), tetapi secara bermakna lebih tinggi pada wanita dengan abortus berulang (sekitar 50 persen). Terapi yang dianjurkan adalah lis is perlekatan melalui histeroskopi dan pemasangan. alat kontrasepsi dalam rahim untuk mencegah kekambuhan. Terapi estrogen dosis tinggi terus menerus hingga 60 sampai . 90 hari juga dianjurkan oleh sebagian dokter. March . dan Israel (1981) melaporkan bahwa abortus berkurang dari 80 menjadi 15 persen dengan terapi ini. DEFEK PERKEMBANGAN UTERUS. Cacat ini terjadi akibat kelainan pembentukan atau fusi duktus Miilleri; atau terjadi secara spontan atau diinduksi oleh pajanan dietilstilbestrol in utero (Bab 35). Beberapa tipe, misalnya uterus bilokularis, mungkin menyebabkan abortus. Porcu dkk. (2000) melaporkan hasil kehamilan pada 63 wanita dengan uterus bilokularis. Mereka semua menjalani reseksi histeroskopik septum karena kematian janin atau kelainan presentasi janin

Page 9: Abortus Obs Wil

berulang. Setelah tindakan ini, terjadi 26 kelahiran hidup aterm. Dalam suatu ulasan barubaru ini, Homer dkk. (2000) melaporkan bahwa septoplasti histeroskopik memperbaiki hasil kehamilan pada wanita dengan kematian janin berulang.

SERVIKS INKOMPETEN. Istilah serviks inkompeten diterapkan pada suatu entitas obstetrik tersendiri. Kelainan ini ditandai oleh pembukaan serviks tanpa nyeri pada trimester kedua, atau mungkin awal trimester ketiga, disertai prolaps dan menggembungnya selaput ketuban ke dalam vagina, diikuti oleh pecahnya selaput ketuban dan ekspulsi janin imatur. Apabila tidak diterapi secara efektif, rangkaian ini akan berulang pada setiap kehamilan. Pada wanita tidak hamil dilaporkan beragam metode untuk menegakkan diagnosis keadaan ini, biasanya dengan diju{Tlpainya os servikalis internum yang lebih membuka daripada normal. Metode-metode tersebut mencakup histerografi, teknik pull-through menggunakan balon kateter yang digembungkan, dan masuknya dilator serviks berukuran khusus ke os internum tanpa resistensi (Ansari dan Reynolds, 1987). Sewaktu hamil, telah dilakukan upaya-upaya untuk memperkirakan dilatasi serviks prematur dengan teknik-teknik ultrasonografi dengan tingkat keberhasilan sedang (Michaels dkk., 1989). lams dkk. (1995) melakukan suatu studi potong-lintang ten tang ukuran panjang serviks menggunakan ultrasonografi transvagina pada wanita dengan riwayat pelahiran pre term, pada mereka yang memiliki serviks inkompeten, dan kontrol normal yang melahirkan aterm. Usia gestasi pada pelahiran preterm pertama secara bermakna berkaitan dengan panjang serviks pada kehamilan yang dievaluasi setiap usia gestasi antara 20 dan 30 minggu. Andrews dkk. (2000), dalam suatu penelitian terhadap 53 wanita menggunakan evaluasi ultrasonografi sebelum minggu ke-20, melaporkan keterkaitan pendeknya serviks atau os servikalis internum berbentuk corong dengan kelahiran preterm spontan dini. Beberapa penulis melaporkan penggunaan penekanan transfundus sewaktu evaluasi ultrasonografi transvagina untuk membantu mendeteksi serviks inkompeten asimtomatik (Guzman dkk., 1997a, 1997b, 1998; Rocco dan Garrone, 1999). Kurup dan Goldkrand (1999), dalam suatu studi yang membandingkan pengikatan serviks (cerclage) elektif, darurat, atau mendesak, menyimpulkan bahwa ultrasonografi bermanfaat untuk mengidentifikasi wanita dengan perubahan samar pada serviks yang akan memperoleh manfaat dari pengikatan serviks mendesak. Ultrasonografi juga digunakan untuk membuktikan adanya peningkatan panjang serviks setelah pengikatan serviks profilaktik atau terapeutik (Althuisius dkk, 1999; Funai dkk, 1999). Penggunaan MRI dalam diagnosis serviks inkompeten baru-baru ini dilaporkan oleh Maldjian dkk., (1999). Hampir tidak ada keraguan bahwa ultrasonografi, terutama yang transvagina, merupakan penun-jang yang bermanfaat untuk mendiagnosis pemendekan serviks atau os intemum berbentuk corong dan untuk mendeteksi dini serviks inkompeten. Namun, diagnosis tetap sulit pada sebagian besar wanita dan masih didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan klinis.

ETIOLOGI. Walaupun penyebab serviks inkompeten belum jelas, riwayat trauma pada serviks-terutama sewaktu dilatasi dan kuretase, konisasi, kauterisasi, atau amputasi-tampaknya merupakan faktor pada banyak kasus. Pada kasus lain, yang berperan adalah kelainan perkembangan serviks, termasuk yang terjadi setelah pajanan dietilstilbestrol in utero (Bab 35, hal. 1023). TERAPI. Terapi serviks inkompeten adalah tindakan bedah, berupa penguatan serviks dengan jahitan purse-string. Perdarahan, kontraksi uterus, atau pecahnya selaput ketuban biasanya merupakan kontraindikasi untuk tindakan pembedahan.

Page 10: Abortus Obs Wil

EV ALUASI PRAOPERASI. Pengikatan serviks umumnya ditunda sampai setelah minggu ke-14 sehingga abortus dini akibat faktor lain sudah komplet. Belum dicapai kesepakatan mengenai usia gestasi maksimal yang masih memungkinkan dilakukannya prosedur ini. Semakin lanjut tahap kehamilan, semakin besar kemungkinannya tindakan bedah akan memicu persalinan preterm atau pecah ketuban. Karena itu, sebagian dokter lebih menganjurkan tirah baring daripada pengikatan serviks setelah pertengahan kehamilan. Kami biasanya tidak melakukan pengikatan serviks seh:,lah minggu ke-24 sampai 26. Aarts dkk. (1995) menyajikan suatu ulasan tentang pengikatan serviks trimester kedua akhir, yang dikenal sebagai pengikatan serviks darurat (emergency cerclage). Mereka menyimpulkan bahwa pengikatan gawat darurat ini mungkin bermanfaat bagi sebagian wanita, tetapi insidensi penyulitnya-terutama infeksi-tinggi. Menurut Schorr dan Morales (1996), menonjolnya selaput ketuban akan meningkatkan angka kegagalan secara bermakna. Caruso dkk. (2000) melaporkan pengalaman mereka melakukan pengikatan serviks darurat pada 23 wanita yang mengalami pembukaan serviks dan penonjolan selaput ketuban (usia gestasi 17 sampai 27 minggu). Terdapat 11 bayi lahir hidup dan mereka menyimpulkan bahwa keberhasilan tindakan tidak dapat diperkirakan. Dalam suatu ulasan 10 tahun terhadap 75 tindakan pengikatan serviks darurat, Chasen dan Silverman (1998) melaporkan bahwa 65 persen wanita melahirkan pada usia gestasi 28 minggu atau lebih, dan separuh melahirkan pada usia gestasi 37 minggu atau lebih. Hanya 44 persen dari mereka yang selaput ketubannya menonjol pada saat pengikatan mampu mencapai usia gestasi 28 minggu. Amnioreduksi pada saat pengikatan serviks darurat mungkin dapat memperpanjang masa kehamilan (Locatelli dkk, 1999). Sebelum serviks diikat, dilakukan sonografi untuk memastikan janin hidup dan untuk menying-kirkan anomali janin mayor. Serviks yang jelas mengalami infeksi harus diterapi, dan dianjurkan pemeriksaan biakan untuk gonorea, klamidia, dan streptokokus grup B. Selama paling sedikit seminggu sebelum dan setelah pembedahan, sebaiknya pasien tidak melakukan hubungan seks. Apabila terdapat keraguan dilakukannya pengikatan serviks, wanita yang bersangkutan perlu me-ngurangi aktivitas fisiko Larangan melakukan hubungan seks me~upakan hal penting, dan harus dilakukan pemeriksaan serviks yang teratur untuk menilai obliterasi dan pembukaan serviks. Surveilans ultrasonografi mingguan terhadap segmen bawah uterus antara usia gestasi 14 sampai 27 minggu mungkin berguna bagi sebagian wanita (Guzman dkk., 1998; Michaels dkk., 1989). Sayangnya, bahkan dengan tindakan-tindakan pencegahan terse but, obliterasi dan pembukaan serviks yang cepat masih mungkin terjadi (Witter, 1984). PROSE OUR PENGIKA T AN SERVIKS. Selama kehamilan terdapat tiga jenis pembedahan yang sering dilakukan. Yang pertama adalah prosedur sederhana yang dianjurkan oleh McDonald (1963) dan diilustrasikan di Gambar 33-5. Yang kedua adalah operasi Shirodkar (1955) yang lebih rumit. Yang ketiga adalah prosedur Shirodkar modifikasi yang diperlihatkan di Gambar 33-6. Pada tindakan McDonald dan Shirodkiu modifikasi, trauma dan perdarahan lebih jarang terjadi dibandingkan pada prosedur Shirodkar asli .. Pada banyak kasus, pengisian kandung kemih dengan 600 ml salin melalui sebuah kateter Foley dalam waktu lama dapat membantu mendorong janin dan selaput ketuban ke atas akibat menggembungnya segmen bawah. Beberapa dokter menganjurkan pemasangan sebuah kateter balon Foley 30 ml melalui serviks dan mengisi balon dengan salin untuk membelokkan kantung amnion ke arah kepala.

Page 11: Abortus Obs Wil

Teknik McDonald dan Shirodkar modifikasi memiliki angka keberhasilan mencapai 85 sampai 90 persen (Caspi dkk, 1990; Kuhn dan Pepperell, 1977). Oleh karenanya, tampaknya tidak perlu dilakukan prosedur Shirodkar asli yang lebih rumit. Prosedur Shirodkar modifikasi sering dicadangkan apabila tindakan McDonald sebelumnya gagal dan apabila terdapat kelainan struktural serviks. Angka keberhasilan lebih tinggi apabila pembukaan serviks masih minimal dan tidak ~rjadi prolaps selaput ketuban. Pengikatan serviks transabdominal yang dilakukan setinggi ismus uteri dianjurkan pada beberapa keadaan, terutama pada kasus defek anatomis serviks atau kegagalan pengikatan serviks transvagina (Cammarano dkk, 1995; Gibb dan Salaria, 1995; Herron dan Parer, 1988). Tindakan ini memerlukan laparotomi untuk memasangjahitan dan laparotomi lain untuk mengangkatnya, melahirkan janin, atau keduanya. Kemungkinan trauma dan penyulit lain pada awal dan sesudah prosedur ini jauh lebih besar dibandingkan dengan tindakan per vaginam. Turnquest dkk (1999) baru-baru ini melaporkan penyelamatan janin pada 9 dari 11 wanita dengan cerclage abdomen ini. PENYULIT. Charles dan Edward (1981) mendapatkan bahwa penyulit, terutama infeksi, jauh lebih jarang terjadi apabila pengikatan serviks dilakukan pada minggu ke-18. Apabila dilakukan jauh setelah usia gestasi 20 minggu, terjadi peningkatan insidensi pecah ketuban, korioamnionitis, dan infeksi intrauterus. Apabila terjadi infeksi klinis, benang harus dipotong dan dilakukan induksi persalinan. Tidak terdapat bukti bahwa antibiotik profilaksis mencegah infeksi, atau bahwa zat progestasional atau obat ~-mimetik bermanfaat sebagai ajuvan (Thomason dkk, 1982). Apabila tindakan gagal dan timbul tanda-tanda abortus iminens atau pelahiran, jahitan perlu segera dibuka; jika tidak, dapat menimbulkan sekuele yang serius. Kontraksi uterus yang kuat dengan jahitan masih terpasang dapat menyebabkan ruptur uterus atau serviks. Oleh sebagian, pecahnya selaput ketuban sewaktu pemasangan benang atau dalam 48 jam pertama pembedahan dianggap sebagai indikasi untuk mengangkat jahitan. Kuhn dan Pepperell (1977) melaporkan bahwa apabila selaput ketuban pecah tanpa persalinan, kemungkinan terjadinya infeksi ibu atau janin yang serius meningkat bermakna apabila jahitan dibiarkan in situ dan pelahiran ditunda. Namun, pilihan penanganan tetap berkisar pada observasi, pengangkatan ikatan disertai observasi, sampai pengangkatan ikatan dan induksi persalinan (Barth, 1995). Belum cukup data yang dapat dijadikan dasar untuk memberikan rekomendasi pasti, dan cara penanganan optimal terhadap para pasien ini masih diperdebatkan (O'Connor dkk., 1999). Setelah tindakan Shirodkar, jahitan tidak perlu diangkat apabila tetap ditutupi oleh mukosa, dan seksio sesarea dilakukan menjelang aterm. Sebaliknya, jahitan Shirodkar dapat diangkat dan pasien boleh melahirkan per vaginam.,

FAKTOR AYAH. Tidak banyak yang diketahui tentang faktor ayah dalam terjadinya abortus spontan. Yang jelas, translokasi kromosom pada sperma dapat menyebabkan abortus. Kulcsar dkk. (1991) menemukan adenovirus atau virus herpes simp leks pada hampir 40 persen sampel semen yang diperoleh dari pria steril. Virus terdeteksi dalam bentuk laten pada 60 persen sel, dan virus yang sarna dijumpai pada abortus.

KATEGORI DAN TERAPI ABORTUS SPONTAN. Aspek klinis abortus spontan sebaiknya dibagi menjadi lima subkelompok: abortus iminens, inevitable (tidak terhindarkan), inkomplet, missed, dan rekuren.

Page 12: Abortus Obs Wil

ABORTUS IMINENS. Diagnosis abortus iminens (threatened abortion) dipikirkan apabila terjadi perdarahan atau rabas (discharge) per vaginam pad a paruh pertama kehamilan. Hal ini sangat sering dijumpai, dan satu dari empat atau lima wanita mengalami bercak (spotting) atau perdarahan per vaginam yang lebih banyak pada awal gestasi. Mereka yang mengalami perdarahan pada awal kehamilan, sekitar separuhnya akan keguguran. Perdarahan pada abortus iminens umumnya sedikit, tetapi dapat menetap selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Sayangnya, akan terjadi peningkatan risiko hasil kehamilan yang suboptimal dalam bentuk pelahiran preterm, berat lahir rendah, dan kematian perinatal (Batzofin dkk., 1984; Funderburk dkk., 1980). Yang utama, risiko malformasi janin tampaknya tidak meningkat. Perdarahan sedikit pada sekitar waktu perkiraan haid mungkin merupakan hal fisiologis. Lesi serviks cenderung mengalami perdarahan pada awal kehamilan, terutama setelah melakukan hubungan seks. Polip yang terdapat di os serviks eksterna serta reaksi desidua di serviks cenderung mengalami perdarahan pada awal gestasi. Poin klinis yang penting adalah bahwa perdarahan yang disebabkan oleh keadaan-keadaan yang jinak ini tidak disertai nyeri perut bawah atau nyeri punggung bawah yang menetap. Karena sebagian besar dokter menganggap setiap perdarahan pada awal kehamilan merupakan tanda abortus iminens, setiap pengobatan untuk apa yang disebut sebagai abortus iminens memiliki kemungkinan keberhasilan yang sangat besar. Sebagian besar wanita yang benar-benar mengalami . abortus iminens akhirnya akan keguguran tak peduli apapun yang dilakukan. Namun, apabila perdarahan disebabkan oleh salah satu dari kausakausa tak terkait yang telah disebutkan di atas, perdarahan tersebut kemungkinan besar akan berhenti, apapun terapinya. Apabila masih terdapat alat kontrasepsi dalam rahim dan "benang" terlihat, alat tersebut harus di-keluarkan atas alasan-alasan yang disebut di Bab 58 (hal. 1721). Yang pertama kali muncul biasanya adalah perdarahan, dan beberapa jam sampai beberapa hari kemudian terjadi nyeri kram perut. Nyeri abortus mungkin terasa di anterior dan jelas bersifat ritmis; nyeri dapat berupa ny~ri punggung bawah yang menetap disertai perasaan tertekan di panggul; atau rasa tidak nyaman atau nyeri tumpul di garis tengah suprapubis. Apapun bentuk nyerinya, prognosis keberlanjutan kehamilan apabila terjadi perdarahan yang disertai nyeri adalah buruk. Peningkatan angka kematian perinatal dijumpai pada wanita yang kehamilannya mengalami penyulit abortus iminens pada awal gestasi. Setiap pasien harus diperiksa karena selalu ada kemungkinan bahwa serviks sudah membuka dan abortus tidak lagi dapat dihindari, atau terdapat penyulit serius, misalnya kehamilan di luar rahim atau kista ovarium terpuntir yang tidak diketahui. Pasien dapat bertirah baring di rumah disertai pemberian analgesia untuk mengatasi nyeri, Apabila perdarahan menetap, ia perlu diperiksa kembali dan hematokritnya diperiksa. Apabila perdarahannya cukup besar sehingga terjadi anemia atau hipovolemia, umumnya diindikasikan evakuasi kehamilan. Wanita dengan abortus iminens selama ini diterapi dengan progesteron intramuskular atau dengan berbagai zat progestasional sintetik per oral atau secara intramuskular. Sayangnya, bukti efektivitasnya tidak ada. "Keberhasilan" yang diperoleh dari obatobat ini sering hanya terjadi pada missed abortion. Kadang-kadang terjadi perdarahan ringan selama beberapa minggu. Dalam hal ini perlu dipu-tuskan apakah kehamilan dapat dilanjutkan. Sonografi vagina, pemeriksaan kuantitatif serial kadar gonadotropin korionik (hCG) serum, dan kadar progesteron serum, yang diperiksa tersendiri atau dalam berbagai kombinasi, terbukti bermanfaat untuk memastikan apakah terdapat janin hidup intrauterus. Fossum dkk. (1988) melaporkan bahwa kantung janin biasanya

Page 13: Abortus Obs Wil

dapat dilihat dengan sonografi vagina antara 33 sampai 35 hari sejak hari pertama haid terakhir (Tabel 33-3). Hal ini disertai dengan kadar gonadotropin korionik sekitar 1000 mlU/ml. Oleh karena itu, apabila kantung gestasi terlihat dan hCG serum kurang dari 1000 mlU/ml, kedl kemungkinannya gestasi dapat dipertahankan. Namun, apabila timbul keraguan, perlu dilakukan pengukuran kadar gonadotropin serial. AI-Sebai dkk. (1995) melaporkan bahwa pengukuran progesteron satu kali memiliki sensitivitas dan spesifisitas 88 persen dalam memperkirakan janin intrauterus hidup versus mati atau kehamilan tuba. Stovall dkk. (1992) IlJ.elaporkan bahwa hanya sekitar 1 persen kehamilan abnormal (abortus inkomplet spontan dan kehamilan ektopik) yang kadar progesteron serurnnya 25 ng/ml atau lebih. Kadar progesteron serum yang kurang dari 5 ng/ ml berkaitan dengan konseptus yang telah meninggal, tetapi hal ini tidak dapat menentukan apakah lokasi kehamilan intra atau ekstrauterus. Hahlin dkk. (1990) melaporkan bahwa tidak ada kehamilan intrauterus hidup yang kadar progesteronnya kurang dari 10 ng/ ml; dan 88 persen dari kehamilan ektopik dan 83 persen dari abortus spontan memiliki kadar yang lebih rendah. Oleh karena itu, apabila kantung janin tampak jelas, kadar gonadbtropin kurang dari 1000 mIU / ml, dan kadar proges teron serum kurang TABEL 33-3. Nilai Sementara untuk Usia Gestasi, Kadar ~-hCG Serum, dan Temuan Ultrasonografi Vagina pada Kehamilan Normal

dari 5 ng/ml, hampir pasti menandakan bahwa tidak terdapat kehamilan intrauterus. Dibuktikannya cincin gestasional yang jelas dan berbatas tegas dengan echo di tengah dari mudigah secara sonografis menandakan bahwa produk konsepsi cukup sehat (Tabel 33-3). Kantung gestasi tanpa echo sentral dari mudigah atau janin merupakan isyarat kuat, tetapi belum membuktikan, bahwa konseptus meninggal. Apabila abortus tidak terhindarkan, rata-rata diameter kantung gestasi sering lebih kecil daripada ukuran untuk usia gestasinya. Semua kehamilan intrauterus hidup dapat. dilihat dengan ultrasonografi transvagina pada hari ke-41 gestasi (Lipscomb dkk., 2000). Selain itu, pada sekitar 45 hari setelah haid terakhir dan sesudahnya, gerakan jantung janin seharusnya terlihat dengan ultrasonografi real-time. Emerson dkk., (1992) serta Pellerito dkk., (1992) melaporkan hasil-hasil yang sangat baik dengan teknik pencitraan color and pulsed Doppler flow per vaginam daiam mengidentifikasi gestasi intrauterus hid up. Setelah konseptus me:ninggal, uterus harus dikosongkan. Semua jaringan yang keluar harus diperiksa untuk menentukan apakah abortusnya telah lengkap. Kecuali apabila janin dan plasenta dapat diidentifikasi secara pasti, mungkin diperlukan kuretase. Ultrasonografi abdomen atau probe vagina dapat membantu kita dalam proses pengambilan keputusan ini. Apabila di dalam rongga uterus terdapat jaringan dalam jumlah signifikan, sebagian besar dokter menganjurkan kuretase. Kehamilan ektopik harus selalu' dipertimbangkan dalam diagnosis banding abortus iminens. Hal ini terutama apabila kantung gestasi atau janin tidak teridentifikasi. Po tong beku terhadap hasil kuretase dapat membantu diagnosi,s. Wanita dengan abortus iminens yang D-negatif mungkin perlu mendapat imunoglobulin anti-D (Bab 39, hal. 1194). Von Stein dkk. (1992) melaporkan bahwa 10 persen lebih dari para wanita tersebut mengalami perdarahan fetomatemal yang signifikan. ABORTUS T1DAK TERHINDARKAN. Abortus yang tidak terhindarkan (inevitable) ditandai oleh pecah ketuban yang nyata disertai pembukaan serviks. Pada keadaan ini, abortus hampir pasti terjadi. Walaupun jarang, mungkin saja terjadi pengeluaran cairan yang banyak dari uterus pada paruh pertama kehamilan tanpa disertai konsekuensi serius. Cairan mungkin terkumpul

Page 14: Abortus Obs Wil

sebelumnya di antara amnion dan korion. Namun, biasanya segera terjadi kontraksi uterus, yang mengakibatkan ekspulsi konseptus, atau terjadi infeksi. sangat kecil. Apabila pada kehamilan dini terjadi pengeluaran cairan mend adak-yang mengisyaratkan pecahnya selaput ketuban-sebelum timbul nyeri atau perdarahan, wanita yang bersangkutan dirawat tirah baring dan diamati untuk melihat kebocoran cairan lebih lanjut, perdarahan, nyeri kram, atau demam. Apabila setelah 48 jam tidak terjadi lagi pengeluaran cairan amnion, tidak timbul nyeri atau perdarahan, dan tidak ada demam, ia dapat bangun dan melanjutkan aktivitas sehari-hari, kecuali segala bentuk penetrasi vagina. Namun, apabila pergeluaran banyak cairan disertai atau diikuti oleh perdarahan dan nyeri, atau apabila timbul demam, abortus harus dianggap tidak dapat dihindari dan uterus dikosongkan.

ABORTUS INKOMPLET. Pada abortus yang terjadi sebelum usia gestasi 10 minggu, janin dan plasenta biasanya keluar bersama-sama, tetapi setelah waktu ini keluar secara terpisah. Apabila plasenta-seluruhnya atau sebagian-tertahan di uterus, cepat atau lambat akan terjadi perdarahan yang merupakan tanda utama abortus inkomplet. Pada abortus yang lebih lanjut, perdarahan kadang-kadang sedemikian masif sehingga menyebabkan hipovolemia berat. Pada kasus abortus inkomplet; biasanya tidak perlu melakukan dilatasi serviks sebelum kuretase. Pad a banyak kasus, jaringan plasenta yang tertinggal sekedar menempel di kanalis servikalis dan dapat dikeluarkan dari os eksterna yang terpapar dengan forseps cine in atau ovum. Kuretase isap, seperti akan dibahas, efektif untuk mengosongkan uterus. Wanita dengan tahap kehamilan lebih lanjut, atau yang mengalami perdarahan besar, harus dirawat inap dan jaringan yang tertinggal segera dikeluarkan. Perdarahan akibat abortus inkomplet kadang-kadang parah tetapi jarang mematikan. Demam bukan merupakan kontraindikasi kuretase setelah terapi antibiotik yang sesuai dimulai (hal. 975). Nielsen dan Hahlin (1995) melakukan suatu studi acak yang membandingkan penanganan me-nunggu dengan kuretase untuk abortus spontan pada usia gestasi kurang dari 13 minggu. Resolusi kehamilan spontan terjadi dalam 3 hari pada 80 persen wanita yang diterapi secara konservatif, walaupun perdarahan per vaginam secara rata-rata berlangsung satu hari lebih lama. Penyulit pada kedua kelompok setara.

MISSED ABORTION. Hal ini didefinisikan sebagai retensi produk konsepsi yang telah meninggal in utero selama beberapa minggu. Alasan penentuan periode waktu yang pasti masih belum jelas, dan hal tersebut tidak memiliki manfaat klinis. Pad a kasus yang tipikal, kehamilan awal berlangsung normal, dengan amenorea, mual dan muntah, perubahan payudara, dan pertumbuhan uterus. Setelah janin . meninggal, mung kin terjadi perdarahan per vaginam atau gejala lain yang mengisyaratkan abortus iminens, mungkin juga tidak. Untuk suatu waktu; uterus tampaknya tidak mengalami perubahan ukuran, tetapi perubahan-perubahan pada payudara biasanya kembali ke semula. Wanita yang bersangkutan kemungkinan besar mengalami penurunan berat beberapa kilogram. Setelah itu, menjadi jelas bahwa uterus bukan saja tidak bertambah besar tetapi malah mengecil. Banyak wanita yang tidak memperlihatkan gejala selama periode ini kecuali amenorea menetap. Apabila missed abortion tersebut berakhir secara spontan, dan sebagian besar memang demikian, proses ekspulsi sarna seperti abortus yang lain. Apabila konseptus tertahan beberapa minggu setelah kematiannya, konseptus tersebut akan menjadi kantung kisut yang mengandung janin yang mengalami maserasi (Gambar 33-7). Egarter dkk.,

Page 15: Abortus Obs Wil

(1995) melaporkan bahwa supositoria vagina gemeprost (prostaglandin E1) efektif untuk terminasi missed abortion trimester pertama pada 77 persen wanita. Kadang-kadang, setelah retensi janin mati berkepanjangan, terjadi gangguan pembekuan darah yang serius. Hal ini lebih mungkin terjadi apabila gestasi telah mencapai trimester kedua sebelum janin meninggal. Wanita yang bersangkutan mungkin mengalami perdarahan dari hi dung atau gusi yang cukup mengganggu dan terutama dari tempat-temp at trauma ringan. Patogenesis dan terapi gangguan koagulasi dan perdarahan pada kasus retensi janin mati berkepanjangan dibahas di Bab 25 (hal. 731). Penyebab mengapa sebagian abortus tidak berakhir setelah janin meninggal belum jelas. Pema-kaian senyawa-senyawa progestasional poten untuk mengatasi abortus iminens mungkin ikut berperan. Smith dkk. (1978) mengamati bahwa 73 persen wanita dengan abortus iminens yang mendapat terapi hormonal tetap mengalami abortus, tetapi terjadi rata-rata 20 hari kemudian. Pada mereka yang tidak mendapat terapi hormon, 67 persen mengalami abortus dalam waktu rata-rata 5 hari.

ABORTUS REKUREN. Keadaan ini didefinisikan menurut berbagai kriteria jumlah dan urutan, tetapi definisi yang mungkin paling luas diterima adalah

abortus spontan berturut-turut selama tiga kali atau lebih. Pada sebagian besar kasus, abortus spontan berulang kemungkinan adalah fenomena kebetulan. Dengan menganggap bahwa risiko independen terjadinya keguguran adalah 15 persen, maka keguguran kedua dapat dihitung terjadi pad a 2,3 persen wanita dan yang ketiga pad a 0,34 persen wanita. Dalam suatu studi terhadap dokter wanita, kejadian satu, dua, dan tiga kali keguguran masing-masing dilaporkan sebesar 10,4, 2,3, dan 0,34 persen (Alberman, 1988). Sekitar 1 sampai 2 persen wanita usia subur akan mengalami abortus spontan berurutan tiga kali atau lebih, dan hampir 5 persen akan mengalami abortus rekuren dua kali atau lebih (Blumenfeld dan Brenner, 1999). Secara epidemiologis, terdapat keseragaman dalam proporsi abortus rekuren dengan anomali kromosom. Namun, walaupun demikian terjadi kesenjangan signifikan apabila dibandingkan dengan prevalensi relatif kategori lain. Terdapat beberapa alas an yang dapat menjelaskan hal ini: Pertama, perbedaan dalam definisi menyebabkan pembandingan langsung antara berbagai penelitian diragukan. Sebagai contoh, sebagian penulis menyertakan wanita dengan hanya dua abortus ke dalam analisis mereka. Kedua, metode-metode yang digunakan untuk menggolongkan pasien dalam kategori-kategori diagnosis berbeda. Yang memperumit masalah ini adalah banyak diagnosis yang dibahas masih diperdebatkan, baik mengenai kriteria yang digunakan maupun kontribusi diagnosis dalam menyebabkan abortus. Ketiga, intensitas evaluasi yang diterapkan sebelum menggolongkan seorang wanita sebagai "tidak diketahui sebabnya" bervariasi di antara berbagai penelitian. Secara umum, sebagian besar penelitian menjumpai bahwa wanita dengan tiga kali atau lebih keguguran lebih besar kemungkinannya mempunyai anomali kromosom, gangguan endokrin, atau perubahan sistem imun (Tabe133-4).

PROGNOSIS. Selain pada kasus antibodi antifosfolipid dan serviks inkompeten, "angka kesembuhan" setelah tiga kali abortus berturut-turut berkisar antara 70 dan 85 persen, apapun terapinya. Yaitu, angka kematian janin akan lebih tinggi, tetapi tidak jauh lebih tinggi, dibandingkan dengan kehamilan secara umum. Bahkan, Warburton dan Fraser (1964) mela-porkan bahwa kemungkinan abortus rekuren adalah 25 sampai 30 persen berapapun jumlah

Page 16: Abortus Obs Wil

abortus sebelumnya. Poland dkk., (1977) mencatat bahwa apabila seorang wanita pemah melahirkan bayi hid up, risiko untuk setiap abortus rekuren adalah sekitar 30 persen. Namun, apabila wanita belum pemah melahirkan bayi hidup dan pemah mengalami paling sedikit satu kali abortus spontan, risiko abortus adalah 46 persen. Wanita dengan abortus spontan tiga kali at au lebih berisiko lebih besar mengalami pelahiran pre term, plasenta previa, presentasi bokong, dan malformasi janin pada kehamilan berikutnya (Thom dkk., 1992).

ABORTUS TERINDUKSI Abortus terinduksi adalah terminasi kehamilan secara medis atau bedah sebelum janin mampu hidup (viabel). Pada tahun 1996, total 1.221.585 abortus legal dilaporkan ke Centers for Disease Control and Prevention (1999). Sekitar 20 persen dari para wanita ini berusia 19 tahun atau kurang, dan sebagian besar berumur kurang dari 25 tahun, berkulit putih, dan belum menikah (Centers for Disease Control and Prevention, 2000). Sekitar 88 persen abortus dilakukan sebelum usia gestasi 13 minggu, 55 persen sebelum minggu ke-8, dan 16 persen pada usia 6 minggu atau kurang.

ASPEK HUKUM. Sebelum keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat pada tahun 1973, hanya abortus terapeutik yang dapat dilakukan secara legal di sebagian besar negara bagian. Oefinisi legal paling umum tentang abortus terapeutik sampai pada saat itu adalah terminasi kehamilan sebelum janin mampu hidup dengan tujuan menyelamatkan nyawa ibu. Beberapa negara bagian memperluas hukum mereka menjadi "untuk. mencegah cedera tubuh yang serius atau permanen pada ibu" atau "mempertahankan kehidupan atau kesehatan ibu". Beberapa negara bagian mengizinkan abortus apa- . bila kehamilan kemungkinan besar melahirkan bayi dengan malformasi berat. Hukum abortus ketat yang berlaku hingga tahun 1973 sebenarnya belum lama diundangkan. Abortus sebelum adanya gerakan janin pertama kali (quickening), yang umumnya terjadi pada usia gestasi antara 16 sampai 20 minggu, sah atau ditoleransi secara luas di Amerika Serikat dan Inggris sampai tahun 1803. Pada tahun tersebut, sebagai bagian dari restrukturisasi umum hukum pidana Inggris, diberlakukan undang-undang yang menyebabkan abortus sebelum adanya gerakan janin ilegal. Pelarangan terhadap abortus yang secara tradisional dilakukan oleh Gereja Katolik Roma belum mendapat pembenaran oleh hukum universal (ekskomunikasi) sampai tahun 1869 (Pilpel dan Norwich, 1969). Pada tahun 1821 Connecticut menerapkan hukum abortus pertama di Amerika Serikat. Kemu-dian, di seluruh Amerika Serikat, abortus menjadi ilegal kecuali untuk menyelamatkan nyawa ibu. Karena abortus terapeutik untuk menyelamatkan nyawa ibu jarang diperlukan atau dapat didefinisikan, sebagian besar operasi abortus yang sebelumnya dilakukan di negllra ini tidak dapat dibenarkan secara hukum tertulis. Borgmann dan Jones (2000) telah mengulas masalah-masalah legal dalam abortus secara mendalam. INDIKASI. Beberapa indikasi untuk abortus terapeutik dibahas bersama penyakit yang umumnya menyebabkan tindakan terse but perlu dilakukan. Indikasi-indikasi yang telah terbukti adalah penyakit jantung persisten dengan riwayat dekompensatio kordis dan penyakit vaskular hipertensif tahap lanjut. Yang lain adalah karsinoma serviks invasif. American College of Obstetricians and Gynecologists (1987) menetapkan petunjuk untuk abortus terap~utik: Apabila berlanjutnya kehamilan dapat menganearn nyawa wanita yang bersangkutan atau

mengganggu kesehatan secara serius. Oalam menentukan apakah memang terdapat risiko

Page 17: Abortus Obs Wil

kesehatan, perlu dipertimbangkan lingkungan keseluruhan pasien, yang sebenarnya atau yang dapat diperkirakan.

Apabila kehamilan terjadi akibat perkosaan atau incest. Oalam hal ini, pada evaluasi wanita yang bersangkutan perlu diterapkan kriteria medis yang sarna.

Apabila berlanjutnya kehamilan kemungkinan besar menyebabkan lahirnya bayi dengan retar-dasi mental atau deformitas fisik berat. Masalah seperti infeksi HIV -1 pada ibu kurang jelas dan menimbulkan masalah (Araneta dkk., 1992) .

ABORTUS ELEKTIF (VOLUNTER). Abortus elektif atau volunter adalah interupsi kehamilan sebelum janin mampu hid up atas permintaan wanita yang bersangkutan, tetapi bukan atas alasan penyakit janin atau gangguan kesehatan ibu. Sebagian besar abortus yang dilakukan saat ini termasuk dalam kategori ini; bahkan, terjadi sekitar satu abortus elektif untuk setiap tiga kelahiran hidup di Amerika Serikat. LEGALITAS. Baru sejak 25 tahun yang lalu abortus elektif kembali dilegalkan di Amerika Serikat. Oalam sejarah abortus terdapat beberapa keputusan Mahkamah Agung yang perlu diketahui. ROE VERSUS WADE. Legalitas abortus elektif ditetapkan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat pada tahun 1973 dalam keputusannya tentang Roe v Wade. Keputusan ini mendefinisikan seberapa jauh negara bagian dapat mengatur abortus: (a) Untuk tahap sebelum sekitar akhir trimester pertama, keputusan abortus dan pelaksanaannya harus didasarkan pada pertimbangan medis dari dokter yang merawat. (b) Untuk tahap sesudah sekitar akhir trimester pertama, Negara, dalam upaya melindungi kesehatan ibu dapat, apabila ingin, mengatur prosedur abortus dengan cara-cara yang terkait dengan kese-hatan ibu secara layak. (c) Untuk tahap sesudah viabilitas, Negara, dalam rangka melindungi potensi kehidupan manusia dapat, apabila ingin, mengatur dan bahkan melarang, abortus kecuali apabila diperlukan, ber-dasarkan pertimbangan medis yang sesuai, untuk menyelamatkan nyawa atau kesehatan ibu.

WEBSTER VERSUS LAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI. Sejak keputusan Roe v Wade, telah dibuat banyak peraturan berbeda, baik dalam skala negara bagian maupun nasional, dan sebagian telah diterapkan, untuk mengatur atau bahkan membatalkan ketiga ketetapan tersebut. Semua upaya tersebut gagal sampai Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan kasus Webster v Layanan Kesehatan Reproduksi pada tahun 1989 sehingga negara bagian dapat membuat batasan-pembatas yang mengintervensi penyediaan layanan abortus pad a hal-hal seperti periode menunggu, persyaratan persetujuan tindak medis spesifik, pemberitahuan kepada orang tua/pasangan, dan persyaratan rumah sakit. Berdasarkan keputusan ini, banyak diajukan gugatan untuk membatasi akses dan pilihan wanita ke layanan abortus.

KELUARGA BERENCANA SOUTHEASTERN PENNSYLVANIA VERSUS ROBERT P. CASEY. Pada tahun 1992, Mahkamah Agung Amerika Serikat mempertimbangkan apakah suatu negara bagian dapat meminta persetujuan tindak medis dari wanita yang bersangkutan sebelum abortus, periode menunggu 24 jam, persetujuan pasangan, persetujuan orang tua pada kasus wanita di bawah umur, dan penjelasan dokter mengenai janin dan teknik abortus yang akan dilakukan. Oalam suatu keputusan 5 lawan 4, mahkamah menguatkan hak negara bagian untuk

Page 18: Abortus Obs Wil

meminta semua hal di atas kecuali persetujuan pasangan. Mahkamah juga· mempertimbangkan kembali dan menegaskan keputusan Roe v Wade dengan pemungutan suara 5 lawan 4.

STENBERG VERSUS CARHART. Mahkamah Agung Amerika Serikat pada tahun 2000 mempertimbangkan apakah negara bagian Nebraska, yang diwakili oleh Jaksa Agung Don Stenberg, dapat mencegah tindakan apa yang disebut sebagai "abortus lahir parsial" (partial birth abortion) berdasarkan hukum negara bagian, dan khususnya tindakan yang dilakukan oleh dr. Leroy Carhart. Mahkamah, dalam keputusan 5 law an 4, meruntuhkan hukum Nebraska. Mahkamah memutuskan bahwa hukum Nebraska terlalu luas, dan bahwa pelarangan tersebut dapat membahayakan abortus yang melibatkan tindakan bedah yang sering dilakukan. Mahkamah juga mencatat bahwa hukum Nebraska "akan menyebabkan sebagian wanita mengalami risiko yang tidak perlu" karena tidak mencantumkan pengecualian kesehatan.

HILL VERSUS COLORADO. Dalam suatu keputusan 6 lawan 4 pada tahun 2000 ini, Mahkamah Agung Amerika Serikat menguatkan undang-undang Colorado tahun 1993 yang digunakan untuk mengatur perilaku terkait-berbicara dalam jarak 100 kaki dari pintu masuk suatu fasilitas perawatan kesehatan. Bagian spesifik dari undang-undang yang digugat oleh Leila J. Hill dan yang lain adalah yang membahas ten tang ketetapan yang melarang tindakan "mendekati dengan sengaja" dalam jarak 8 kaki dari orang lain tanpa persetujuan orang tersebut "dengan tujuan memberikan selebaran atau edaran, memperlihatkan tanda, atau melakukan protes oral, pend idikan, atau penyuluhan kepada orang tersebut ... "

Hukum Colorado diterapkan untuk mencegah gangguan terhadap fungsi normal fasilitas kese-hatan oleh protes yang dilakukan atas alasan apapun. Keputusan Mahkamah Agung untuk menguatkan hukum Colorado tidak mencegah protes terhadap fasilitas abortus, tetapi jelas akan mengurangi kemungkinan konfrontasi antara pasien dan pengunjuk rasa. Mahkamah mencatat bahwa hukum Colorado menjamin "hak untuk tidak diganggu" dan tidak melanggar Amandemen Pertama karena isi hukumnya "netral".

PENYULUHAN SEBELUM ABORTUS ELEKTIF. Hanya terdapat tiga pilihan untuk wanita yang mempertimbangkan unh.fk menjalani abortus. Pilihan tersebut adalah melanjutkan kehamilan dengan risiko dan tanggung-jawabnya; melanjutkan kehamilan dengan risikonya dan menyiapkan adopsi; atau memilih abortus dengan risikonya. Bagaimanapun, penyuluh yang memiliki pengetahuan memadai dan kepedulian merupakan ha) yang sangat penting. Sebagai contoh, wanita yang menunda keputusan abortus ke usia gestasi lebih tua terbukti mem-perlihatkan gangguan lebih besar dalam rasa percaya diri seperti diisyaratkan oleh timbulnya konflik gender / seksual serta berkurangnya orientasi pencapaian dan berjuang (Cancelmo dkk., 1992).

TEKNIK ABORSI. Abortus dapat dilakukan baik secara medis maupun bedah. Dalam suatu uji klinis teracak ten tang efektivitas dan akseptabilitas teknik-teknik ini, Creinin (2000) melaporkan bahwa abortus medis tampaknya sedikit lebih murah dibandingkan dengan cara-cara bedah. Paul dkk (1999) menyajikan ringkasan terinci untuk masingmasing metode di Tabe133-5. Sebelum suatu abortus elektif dilaksanakan, apabila dijumpai vaginosis bakterialis, wanita yang bersangkutan perlu diterapi dengan metronidazol untuk mengurangi angka infeksi pascaoperasi (Larsson dkk 1992). Pemberian krim klindamisin 2 persen ke vagina selama 3 hari menurunkan

Page 19: Abortus Obs Wil

infeksi panggul pascaabortus empat kali lip at dibandingkan dengan plasebo (Larsson dkk, 2000). Setelah menjalani abortus, wanita D-negatif dianjurkan mendapat imunoglobulin anti-D karena sekitar 5 persen wanita D-negatif akan tersensitisasi setelah abortus (Bab 39, hal. 1194). Goldstein dkk, (1994) menekankan manfaat pe'meriksaan ultrasonografi dan pemeriksaan jaringan segera pada 674 wanita yang menjalani abortus trimester pertama elektif. Setiap wanita dipindai dalam keadaan kandung kemih kosong dengan teknik transabdominal. Apabila tidak dijumpai kantung gestasi, dilakukan sonografi endovagina. Semua spesimen menjalani pemeriksaan makroskopik modifikasi dengan perbesaran 33 kali dan jaringan dikirim untuk analisis histopatologi. Sonogram transabdominal memperlihatkan jaringan gestasi uterus pada 612 wanita (91 persen) dan 595 dari jumlah tersebut berusia kurang dari 12 minggu. Terdapat 17 wanita (2,5 persen) yang usia kehamilannya 13 minggu atau lebih. Pada 62 wanita (9 persen) yang tidak memperlihatkan kantung gestasi pada pemeriksaantransabdominal, ultrasonografi endovaginal memperlihatkan 34 kehamilan uterus dan dua kehamilan ektopik yang belum pecah. Oari wanita sisanya, dijumpai vilus korionik (17) dan desidua tanpa vilus (4) pada pemeriksaan jaringan. Oari empat yang terakhir, dua memperlihatkan peningkatan kadar hCG serum dan didiagnosis mengalami kehamilan ektopik, dan dua dengan kadar yang terus menurun ditangani secara menunggu.

TEKNIK BEDAH UNTUK ABORSI, Kehamilan dapat dikeluarkan secara bedah melalui serviks yang telah dibuka atau melalui abdomen dengan histerotomi atau histerektomi.

DILATASI DAN KURETASE. Abortus bedah dilakukan mula-mula dengan mendilatasi serviksdan kemudian mengosongkan uterus dengan mengerok isi uterus (kuretase tajam) secara mekanis, melakukan aspirasi vakum (kuretase isap), atau keduanya. Teknik untuk vakum manual dini baru-baru ini diulas oleh MacIsaac dan Jones (2000). Kemungkinan terjadinya penyulit-termasuk perforasi uterus, laserasi serviks, perdarahan, pengeluaran janin dan plasenta yang tidak lengkap, dan infeksi-meningkat setelah trimester pertama. Atas alas an ini, kuretase atau aspirasi vakum seyogyanya dilakukan sebelum minggu ke-14. Untuk usia gestasi di atas 16 minggu, dilakukan dilatasi dan evakuasi (O&E). Tindakan ini berupa dilatasi serviks lebar diikuti oleh destruksi dan evakuasi mekanis bagian-bagian janin. Setelah janin seluruhnya dikeluarkan, digunakan kuret vakum berlubang besar untuk mengeluarkan plasenta dan jaringan yang tersisa. Oilatasi dan ekstraksi (O&X) serupa dengan O&E, kecuali bahwa pada O&X bagian janin pertama kali diekstraksi melalui serviks yang telah membuka untuk mempermudah tindakan. Tanpa adanya penyakit sistemik pada ibu, kehamilan biasanya diakhiri dengan kuretase atau eva-kuasij ekstraksi tanpa rawat inap. Apabila abortus tidak dilakukan di lingkup rumah sakit, perlu tersedia fasilitas dan kemampuan untuk resusitasi jantung paru yang efektif dan akses segera ke rumah sakit.

DILATOR HIGROSKOPIK. Trauma akibat dilatasi mekanik dapat dikurangi dengan menggunakan suatu alat yang secara perlahan membuka serviks. Alat ini menarik air dari jaringan serviks dan juga digunakan untuk pematangan serviks prainduksi (Bab 20, hal. 520). Batang laminaria sering digunakan untuk membantu membuka serviks (Gambar 33-8). Alat ini dibuat dari tangkai Laminaria digitata atau Laminaria japonica, suatu ganggang laut coklat. Tangkai dipotong, dikupas, dibentuk, dikeringkan, disterilisasikan, dan dikemas sesuai ukuran (kedl, diameter 3 sampai 5 mm; sedang, 6 sampai 8 mm; dan besar 8 sampai 10 mm). Laminaria

Page 20: Abortus Obs Wil

yang higroskopis kuat diperkirakan bekerja dengan cara menarik air dari kompleks proteoglikan, sehingga kompleks ini mengalami penguraian dan menyebabkan serviks melunak dan membuka. Dilator higroskopik sinte{ik juga pemah digunakan. Lamicel adalah suatu spons polimer polivinil alkohol yang diberi magnesium sulfat anhidrose (Nicolaides dkk., 1983). Stomes dan Rasmussen (1991) melaporkan bahwa walaupun batang lamicel dan pesarium gemeprost efektif untuk dilatasi serviks sebagai persiapan untuk abortus trimester pertam a, dilatasi lebih lanjut secara bermakna lebih mudah pada pemakaian gemeprost. Dilapan terbuat dari polimer hidrogel, dan walaupun pemah digunakan, alat ini sekarang tidak lagi tersedia di Amerika Serikat. Alat ini diklaim mampu lebih cepat membuka serviks daripada dilator yang terbuat dari gang gang laut tradisional (Blumenthal, 1988; Chvapil dkk., 1982). Patsner (1996) mendapatkan bahwa insersi Dilapan pada hari yang sama berhasil menyiapkan serviks untuk dilatasi dan evakuasi pada abortus trimester kedua. Hem (1994) membandingkan Dilapan dengan lamina ria pada 1001 wanita sebagai dilator satu malam. Walaupun keduanya sarna efektif sebagai dilator, wanita yang mendapat Dilapan dua kali lebih kecil kemungkinannya mengalami masalah dalam dilatasi serviks atau masalah akibat kurangnya dilatasi atau disintegrasi alat daripada wanita yang menggunakan preparat ganggang laut. Dilema menarik muncul apabila wanita yang telah dipasangi dilator osmotik semalam sebagai persiapan untuk abortus elektif kemudian mengubah keinginannya. Di an tara tujuh kehamilan trimester pertama dan 14 trimester kedua yang mengalami keadaan ini, dilator dikeluarkan dan 14 mengalami kehamilan aterm, dua mengalami pelahiran pre term, dan satu mengalami abortus spontan 2 minggu kemudian (Schneider dkk., 1991). Tidak ada yang mengalami morbiditas infeksi, termasuk tiga wanita yang biakan serviksnya positif untuk klamidia dan tidak mendapat pengobatan. TEKNIK PEMASANGAN. Serviks yang telah dibersihkan dipegang di sebelah depan dengan sebuah tenakulum. Kanalis servikalis secara hati-hati disonde tanpa memecahkan selaput ketuban, untuk mengetahui panjangnya. Laminaria yang ukurannya sesuai kemudian dimasukkan sehingga ujungnya berada tepat di os intemum dengan menggunakan forseps tampon uterus atau forseps kapsul radium (Gambar 33-8). Kemudian, biasanya setelah 4 sampai 6 jam, laminaria akan membengkak sehingga terjadi dilatasi serviks yang memadai sehingga dapat dilakukan dilatasi mekanik dan kuretase. Laminaria dapat menyebabkan kram.

PROSTAGLANDIN. Selain menggunakan dilator higroskopik agar serviks melunak, dapat digunakan pesarium (supositoria) prostaglandin yang dimasukkan ke dalam vagina sampai ke serviks sekitar 3 jam sebelum upaya dilatasi dilakukan. Chen dan Edler (1983) melaporkan hasil yang baik dari penggunaan 1 mg prostaglflndin E1 metil ester. Beberapa produk prostaglandin yang lebih baru pernah digunakan untuk menginduksi persalinan atau untuk mendatarkan serviks sebelum induksi persalinan. Banyak produk serupa yang juga pernah digunakan untuk menyiapkan serviks sebelum dilatasi mekanik atau induksi aborsi. Berbagai prostaglandin ini juga dibahas di Bab 20 (hal. 517).

TEKNIK DILA TASI DAN KURETASE. Bibir serviks anterior dijepit dengan tenakulum bergerigi. Anestetik lokal misalnya lidokain 1 atau 2 persen sebanyak 5 ml disuntikkan seeara bilateral ke dalam serviks. Cara lain, digunakan blok paraservikal. Uterus disonde dengan hati-hati untuk mengidentifikasi status os internum dan untuk memas-tikan ukuran dan posisi uterus. Serviks diperlebar lebih lanjut dengan dilator Hegar atau Pratt sampai kuret isap aspirator vakum dengan ukuran diameter yang memadai dapat dimasukkan.

Page 21: Abortus Obs Wil

Seperti diperlihatkan di Gambar 33-9, jari keempat dan kelima tang an yang memasukkan dilator harus diletakkan di perineum dan bokong sewaktu dilator didorong melewati os internum. Hal ini merupakan pengamanan tambahan agar tidak terjadi perforasi uterus. Kemudian digunakan kuretase isap untuk mengaspirasi produk kehamilan. Aspirator vakum digerakkan di atas permukaan seeara sistema tis agar seluruh rongga uterus tereakup. Apabila hal ini telah dilakukan dan tidak ada lagi jaringan yang terhisap, dilakukan kuretase tajam dengan hati-hati apabila diperkirakan masih terdapat potongan janin atau plasenta. Kuret tajam lebih efektif, dan bahaya yang ditimbulkannya seharusnya tidak lebih besar daripada yang ditimbulkan oleh instrumen tumpul. Perforasi uterus jarang terjadi pada saat kuret digerakkan ke bawah, tetapi dapat terjadi saat memasukkan setiap instrumen ke dalam uterus. Seperti diperlihatkan di Gambar 33-10, manipulasi harus dilakukan hanya dengan ibu jari dan telunjuk. Pada kasus-kasus yang telah melewati usia gestasi 16 minggu, janin diekstraksi, biasanya dalam potongan-potongan, dengan menggunakan forseps Sopher atau yang serupa dan instrumen destruktif lainnya. Abortus tahap lanjut ini tidak menyenangkan bagi dokter dan paramedis dan lebih berbahaya bagi wanita yang bersangkutan. Risiko perforasi dan laserasi uterus meningkat akibat janin yang lebih besar dan uterus yang lebih tipis. Perlu ditekankan kembali bahwa morbiditas, segera atau belakangan, dapat dijaga minimal apabila: 1) Serviks telah eukup membuka tanpa trauma sebelum mengupayakan pengeluaran janin dan

jaringan gestasi. 2) Pengeluaran hasil konsepsi dilakukan tanpa menyebabkan perforasi uterus. 3. Semua jaringan kehamilan dikeluarkan.

PERFORASI UTERUS. Perforasi uterus seeara tidak sengaja dapat terjadi saat sondase uterus, dilatasi, atau kuretase. Insidensi perforasi uterus akibat abortus elektifbervariasi. Dua penentu penting terjadinya penyulit ini adalah keterampilan dokter dan posisi uterus; kemungkinan perforasi meningkat apabila uterus terletak retrofleksi. Perforasi uterus yang tidak disengaja ini mudah dikenali, karena instrumen masuk lebih jaNh tanpa tahanan yang seharusnya. Observasi saja mung kin memadai apabila perforasi uterusnya kecil, seperti yang ditimbulkan oleh sonde uterus atau dilator keeil. Kerusakan intraabdomen yang sangat besar dapat ditimbulkan oleh instrumen yang melewati suatu defek uterus dan masuk ke dalam rongga peritoneum. Hal ini terutama berlaku untuk kuret isap dan tajam. Dalam hal ini, tindakan yang paling aman dilakukan adalah laparotomi untuk memeriksa isi abdomen, terutama usus. Cedera usus yang tidak terdeteksi menyebabkan peritonitis berat dan sepsis (Kambiss dkk., 2000). Kami juga pernah merawat seorang wanita yang dirujuk ke kami setelah sebagian besar ureter kanannya dikeluarkan dalam upaya abortus menggunakan kuret isap! Kasuskasus serupa pernah dilaporkan oleh penulis lain (Keegan dan Forkowitz, 1982). Sejumlah wanita mungkin mengalami serviks inkompeten atau sinekie uterus setelah dilatasi dan kuretase. Kemungkinan terjadinya penyulit-penyulit ini harus dijelaskan kepada mereka yang menginginkan abortus. Seeara umum, risiko keduanya kecil. Sayangnya, abortus pada tahap kehamilan lebih lanjut dengan kuretase dapat memieu koagulasi intravaskular difus mendadak yang berat dan dapat mematikan.

ASPIRASI HAID. Aspirasi rongga endometrium menggunakan sebuah kanula Karman 5 atau 6 mm £leksibel dan tabung suntik, dalam 1 sampai 3 minggu setelah keterlambatan haid disebut

Page 22: Abortus Obs Wil

juga sebagai ekstraksi haid, induksi haid, haid ins tan, abortus traumatik, dan mini-abortus. Masalah-masalah yang dapat timbul meliputi wanita yang bersangkutan tidak sedang hamil, zigot yang berimplantasi lolos tidak terkuret, kegagalan mendeteksi kehamilan ektopik, dan, walaupun jarang, perforasi uterus. Uji kehamilan yang positif akan menghilangkan prosedur sia-sia pada wanita tidak hamil yang terlambat haid karena sebab-sebab lain. MacIsaac dan Jones (2000) menganjurkan teknik berikut untuk mengidentifikasi plasenta dalam aspirat. Pertama, isi tabung suntik diletakkan ke dalam sebuah wadah plastik bening dan diperiksa dengan cahaya dari belakang. Gunakan air keran untuk mencuci jaringan yang diletakkan di sebuah ayakan. Jaringan direndam dalam air jemih. Plasenta secara makroskopis adalah jaringan yang lunak, berbulu halus, dan berjonjot. Pemeriksaan dipermudah dengan lensa pembesar atau kulposkop. Apabila ada keraguan apakah jaringan tersebut plasenta atau desidua, pemeriksaan mikroskopik terhadap sepotong kecil jaringan di bawah kaca penutup dan kontras terang akan dapat membedakannya. Vilus plasenta akan tampak jelas.

LAPAROTOMI. Pada beberapa kasus, histerotomi atau histerektomi abdomen untuk abortus lebih disukai daripada kuretase atau induksi medis. Apabila terdapat penyakit yang cukup signifikan pada uterus, histerektomi mungkin merupakan terapi yang ideal. Apabila akan dilakukan sterilisasi, mungkin diindikasikan histerotomi disertai ligasi tuba atau histerektomi. Kadang-kadang harus dilakukan histerotomi atau histerektomi karena induksi medis pada kehamilan trimester kedua gaga!.

INDUKSI ABORTUS SECARA MEDIS. Sepanjang sejarah, banyak bahan alami pernah dicoba sebagai abortifasien oleh wanita yang berupaya keras untuk tidak hamil. Umumnya yang terjadi bukan abortus tetapi penyakit sistemik serius atau bahkan kematian. Bahkan saat ini, hanya terdapat sedikit obat abortifasien yang efektif dan aman. OKSITOSIN. Pemberian oksitosin dosis tinggi dalam sedikit cairan intravena dapat menginduksi abortus pada kehamilan trimester kedua. Salah satu regimen yang kami buktikan efektif adalah campuran 10 ampul oksitosin 1 ml (10 IV Iml) ke dalam 1000 ml larutan Ringer laktat. Larutan ini mengandung 100 mU oksitosin per ml. Infus intravena dimulai dengan kecepatan 0,5 ml/mnt (50 mU/mnt). Kecepatan infus ditambah setiap 15 sampai 30 menit sampai maksimum 2 ml/mnt (200 mU/mnt). Apabila pada kecepatan infus ini belum terjadi kontraksi yang efektif, konsentrasi oksitosin di dalam cairan infus ditingkatkan. Sebaiknya larutan yang telah diinfuskan dibuang sebagian dan disisakan 500 ml, yang mengandung konsentrasi 100 mU oksitosin per ml. Ke dalam 500 ml ini ditambahkan lima ampul oksitosin. Larutan yang terbentuk sekarang me-ngandung oksitosin 200 mU Iml, dan kecepatan infus dikurangi menjadi 1 ml/mnt (200 mU/mnt). Kecepatan infus kembali ditingkatkan secara berta- hap sampai mencapai 2 ml/mnt (400 mU/mnt) dan kecepatan ini dibiarkan selama 4 atau 5 jam, atau sampai janin dikeluarkan. Regimen-regimen serupa juga dilaporkan sang at efektif oleh Winkler (1991) dan Owen (1992) dkk. Oalam suatu perbandingan retrospektif antara supositoria vagina prostaglandin Ez (PGEz) dan oksitosin dosis tinggi, Winkler dkk. (1991) melaporkan angka keberhasilan masing-masing 93 persen dan 91 persen. Rata-rata durasi persalinan adalah 13,1 jam pada pemberian PGE z dan 8,2 jam pada pemberian oksitosin. Rata-rata dosis PGEz adalah 65 mg dan oksitosin 200 unit. Efek samping terbatas pada kelompok PGEz, berupa mual (46 persen), muntah (37 persen), demam (64 persen), dan diare (20 persen).

Page 23: Abortus Obs Wil

Oalam uji klinis teracak selanjutnya, Owen dkk. (1992) menyimpulkan bahwa oksitosin pekat merupakan alternatif yang memuaskan untuk prostaglandin Ez bagi abortus midtrimester. Kelompok peneliti yang sarna juga membandingkan oksitosin pekat plus prostaglandin dosis rendah, dengan supositoria vagina prostaglandin Ez untuk terminasi trimester kedua (Owen dan Hauth, 1996). Wanita dalam kelompok khusus prostaglandin mendapat supositoria vagina PGEz 20 mg setiap 4 jam, dan mereka yang berada dalam kelompok terapi kombinasi mendapat supositoria PGEz 10 mg setiap 6 jam. Angka keberhasilan adalah 81 versus 89 persen, tetapi efek samping secara bermakna lebih tinggi pada kelompok yang hanya mendapat supositoria vagina PGEz. Oalam uji klinis yang lebih baru, kelompok Alabama membandingkan misoprostol vagina (200 Ilg per vaginam setiap 12 jam) dengan regimen oksitosin pekat plus supositoria PGEz 10 mg setiap 6 jam (Owen dan Hauth, 1990). Mereka menyimpulkan bahwa tablet vagina misoprostol dalam dosis ini tidak memuaskan untuk terminasi kehamilan trimester kedua. Pada penggunaan oksitosin pekat, frekuensi dan intensitas kontraksi uterus harus diperhatikan dengan cermat, karena setiap peningkatan kecepatan infus akan sangat meningkatkan jumlah oksitosin yang disalurkan. Apabila induksi awal tidak berhasil, induksi serial setiap hari selama 2 sampai 3 hari hampir selalu berhasil. Kemungkinan berhasilnya induksi dengan oksitosin dosis tinggi sangat diperbesar oleh pemakaian dilator higroskopik seperti batang laminaria yang dimasukkan malam sebelumnya. LARUTAN HIPEROSMOTIK INTRAAMNION. Agar terjadi abortus pada trimester kedua, dapat dilakukan penyuntikan 20 sampai 25 persen salin atau urea 30

INDUKSI ABORTUS SECARA MEDIS. Sepanjang sejarah, banyak bahan alami pernah dicoba sebagai abortifasien oleh wanita yang berupaya keras untuk tidak hamil. Umumnya yang terjadi bukan abortus tetapi penyakit sistemik serius atau bahkan kematian. Bahkan saat ini, hanya terdapat sedikit obat abortifasien yang efektif dan aman. OKSITOSIN. Pemberian oksitosin dosis tinggi dalam sedikit cairan intravena dapat menginduksi abortus pada kehamilan trimester kedua. Salah satu regimen yang kami buktikan efektif adalah campuran 10 ampul oksitosin 1 ml (10 IU Iml) ke dalam 1000 ml larutan Ringer laktat. Larutan ini mengandung 100 mU oksitosin per ml. Infus intravena dimulai dengan kecepatan 0,5 ml/mnt (50 mU Imnt). Kecepatan infus ditambah setiap 15 sampai 30 menit sampai maksimum 2 ml/mnt (200 mU/mnt). Apabila pada kecepatan infus ini belum terjadi kontraksi yang efektif, konsentrasi oksitosin di dalam cairan infus ditingkatkan. Sebaiknya larutan yang telah diinfuskan dibuang sebagian dan disisakan 500 ml, yangmengandung konsentrasi 100 mU oksitosin per ml. Ke dalam 500 ml ini ditambahkan lima ampul oksitosin. Larutan yang terbentuk sekarang me-ngandung oksitosin 200 mU/ml, dan kecepatan infus dikurangi menjadi 1 ml/mnt (200 mU/mnt). Kecepatan infus kembali ditingkatkan secara berta- hap sampai mencapai 2 ml/mnt (400 mU/mnt) dan kecepatan ini dibiarkan selama 4 atau 5 jam, atau sampai janin dikeluarkan. Regimen-regimen serupa juga dilaporkan sangat efektif oleh Winkler (1991) dan Owen (1992) dkk. Oalam suatu perbandingan retrospektif antara supositoria vagina prostaglandin Ez (PGEz) dan oksitosin dosis tinggi, Winkler dkk. (1991) melaporkan angka keberhasilan masing-masing 93 persen dan 91 persen. Rata-rata durasi persalinan adalah 13,1 jam pada pemberian PGE z dan 8,2 jam pada pemberian oksitosin. Rata-rata dosis PGEz adalah 65 mg dan oksitosin 200 unit. Efek samping terbatas pada kelompok PGE2, berupa mual (46 persen), muntah (37 persen), demam (64 persen), dan diare (20 persen).

Page 24: Abortus Obs Wil

Oalam uji klinis teracak selanjutnya, Owen dkk. (1992) menyimpulkan bahwa oksitosin pekat merupakan alternatif yang memuaskan untuk prostaglandin E2 bagi abortus midtrimester. Kelompok peneliti yang sarna juga membandingkan oksitosin pekat plus prostaglandin dosis rendah, dengan supositoria vagina prostaglandin Ez untuk terminasi trimester kedua (Owen dan Hauth, 1996). Wanita dalam kelompok khusus prostaglandin mendapat supositoria vagina PGEz

20 mg setiap 4 jam, dan mereka yang berada dalam kelompok terapi kombinasi mendapat supositoria PGEz 10 mg setiap 6 jam. Angka keberhasilan adalah 81 versus 89 persen, tetapi efek samping secara bermakna lebih tinggi pada kelompok yang hanya mendapat supositoria vagina PGEz. Oalam uji klinis yang lebih baru, kelompok Alabama membandingkan misoprostol vagina (200 Ilg per vaginam setiap 12 jam) dengan regimen oksitosin pekat plus supositoria PGEz 10 mg setiap 6 jam (Owen dan Hauth, 1990). Mereka menyimpulkan bahwa tablet vagina misoprostol dalam dosis ini tidak memuaskan untuk terminasi kehamilan trimester kedua. Pada penggunaan oksitosin pekat, frekuensi dan intensitas kontraksi uterus harus diperhatikan dengan cermat, karena setiap peningkatan kecepatan infus akan sangat meningkatkan jumlah oksitosin yang disalurkan. Apabila induksi awal tidak berhasil, induksi serial setiap hari selama 2 sampai 3 hari hampir selalu berhasil. Kemungkinan berhasilnya induksi dengan oksitosin dosis tinggi sangat diperbesar oleh pemakaian dilator higroskopik seperti batang lamina ria yang dimasukkan malam sebelumnya. LARUTAN HIPEROSMOTIK INTRAAMNION. Agar terjadi abortus pada trimester kedua, dapat dilakukan penyuntikan 20 sampai 25 persen salin atau urea 30 sampai 40 persen ke dalam kantung amnion untuk merangsang kontraksi uterus dan pembukaan serviks. Cara ini jarang digunakan di Amerika Serikat, dan menurut American College of Obstetricians and Gy-necologists (1987), cara ini telah digantikan oleh dilatasi dan evakuasi. Manfaat dari teknik dilatasi atau evakuasi antara lain adala,h kecepatan, biaya lebih rendah, dan lebih jarang menyebabkan nyeri dan trauma emosi. Dalam suatu studi dari Thailand, di antara 125 kehamilan yang menjalani terminasi mid trimester menggunakan salin hipertonik, rata-rata waktu dari induksi sampai pelahiran adalah 31,7 jam (Herabutya dan O-Prasertsawat, 1994). Retensi plasenta terjadi pada 63 persen dan pireksia pada 39 persen. Dalam suatu penelitian dari India, Allahbadia (1992) melaporkan angka keberhasilan 96 persen untuk kehamilan yang usianya berkisar dari 14 sampai 20 minggu apabila digunakan 200 ml salin 20 persen. Angka ini cukup baik apabila dibandingkan dengan angka keberhasilan PGF2a intramuskular yang 90 persen dan penetesan larutan povidon-iodin 5 persen ekstraamnion dalam salin n~rrnal yang 100 persen. Salin hipertonik dapat menimbulkan penyulit serius, termasuk kematian Qasnosz dkk., 1993). Penyulit lain mencakup: 1) Krisis hiperosmolar akibat masuknya salin hipertonik ke dalam sirkulasi ibu. 2) Gagal jantung. 3) Syok septik. 4) Peritonitis. 5) Perdarahan. 6) Koagulasi intravaskular diseminata. 7) Intoksikasi air.

UREA HIPEROSMOTIK. Urea 30 sampai 40 persen yang dilarutkan dalam larutan dekstrosa 5 persen, disuntikkan ke dalam kantung amnion, diikuti oleh oksitosin intravena dengan

Page 25: Abortus Obs Wil

kecepatan sekitar 400 mU /mnt. Urea plus oksitosin adalah abortifasien yang sarna efektifnya seperti salin hipertonik, tetapi lebih kecil kemungkinannya untuk menimbulkan toksisitas. Urea plus prostaglandin F2a yang disuntikkan ke dalam kantung amnion juga sarna efektifnya.

PROSTAGLANDIN. Karena kekurangan metode-metode medis lain dalam menginduksi abortus, prostaglandin dan beragam analognya digunakan secara luas untuk mengakhiri kehamilan, terutama pada trimester kedua. Senyawa-senyawa yang sering digunakan adalah prostaglandin E2, prostaglandin F2a, dan analog tertentu khususnya 15-metil prostaglandin F2a

metil ester, PGE1-metil ester (gemeprost), dan misoprostol. Mekanisme kerja prostaglandin dibahas secara lebih rinei di Bab 20 (hal. 517). TEKNIK. Prostaglandin dapat bekerja secara efektif pada serviks dan uterus apabila: 1) Dimasukkan ke vagina sebagai supositoria atau pesarium tepat di dekat serviks. 2) Diberikan sebagai gel melalui sebuah kateter ke dalam kanalis servikalis dan bagian paling

bawah uterus secara ekstraovular. 3) Disuntikkan intramuskular. 4) Disuntikkan ke dalam kantung amnion melalui amniosentesis. 5. Diminum per oral. Berbagai regimen pengobatan diringkaskan di Tabel 33-6. Christin-Maitre dkk. (2000) menyajikan perkembangan terbaru ten tang terminasi kehamilan secara medis. Mereka mengulas berbagai studi mengenai efektivitas dan efek samping prostaglandin dan metotreksat yang digunakan secara tersendiri atau dalam berbagai kombinasi. Mereka juga mengupas efektivitasdan efek samping mifepriston yang dipakai bersama suatu prostaglandin. Kahn dkk. (2000) menyajikan suatu metaanalisis tentang abortus medis dengan mifepriston dan misoprostol, mifepriston dengan prostaglandin lain, dan metotreksat dengan misoprosrel. Mereka menyimpulkan bahwa regimen-regimen ini memiliki angka keberhasilan yang tinggi untuk gestasi dini. Pemberian parenteral mengurangi secara bermakna-tetapi tidak menghilangkan-efek sistemik yang tidak menyenangkan, terutama di saluran cerna, yang menyertai pemberian per oral. Sering diperlukan pemberian prostaglandin berulang dan pemasangan dilator higroskopik secara bersamaan. Efektivitas berbagai regimen terapi berkisar dari 86 hingga 95 persen. Interval sejak induksi sampai melahirkan berkisar dari 4 jam sampai lebih dari 48 jam. Dalam sebuah penelitian terhadap 932 terminasi trimester kedua dengan gemeprost, median interval dari induksi sampai abortus adalah 18 jam pada nulipara dan 15 jam pad a wanita para (Thong dkk.,1992). Pada kehamilan trimester pertama dan kedua awal, supositoria vagina prostaglandin yang di-masukkan sampai serviks juga digunakan dalam dosis yang lebih rendah untuk mematangkan atau melunakkan serta membuka serviks sebelum kuretase atau sebagai ajuvan pada terminasi dengan mifepriston (Healy dan Evans, 1994). Keamanan induksi abortus pad a kehamilan tahap lanjut wanita dengan riwayat seksio sesarea dilaporkan oleh Boulot dkk, (1993). Pada rata-rata usia gestasi hampir 24 minggu, evakuasi per vaginam dicapai pada 20 dari 23 wanita. Pada tiga kasus yang gagal dilakukan histerotomi dan dijumpai satu kasus ruptur uterus yang berhasil diperbaiki. Chapman dkk. (1996) melaporkan angka ruptur uteri sebesar 3,8 persen pada 79 wanita yang menjalani terminasi dengan induksi pada rata-rata usia kehamilan 21 minggu.

MIFEPRISTON (RU 486). Antiprogesteron oral ini telah digunakan untuk menimbulkan abortus pada gestasi dini, baik tersendiri atau dikombinasikan dengan prostaglandin oral (Baird dkk, 1992; el-Refaey dkk, 1995; Newhall dan Winikoff, 2000; World Health Organization Task

Page 26: Abortus Obs Wil

Force, 1994). Efektivitas obat ini sebagai abortifasien didasarkan pad a afinitas reseptornya yang tinggi terhadap tempat pengikatan progesteron (Healy dkk, 1983). RU 486 dosis tunggal 600 mg yang diberikan sebelum gestasi 6 minggu menyebabkan abortus pada 85 persen kasus. Pada kehamilan trimester pertama yang tidak tumbuh, mifepriston dosis tung gal 600 mg memicu eks-pulsi pada 82 persen wanita (Lelaidier dkk, 1993). Ulmann dkk (1992) melaporkan hasil-hasil penelitian m'ereka terhadap lebih dari 16.000 wanita yang mendapat RU 486 setelah analog prostaglandin untuk terminasi medis. Angka keberhasilan keseluruhan adalah 95 persen, tanpa perbedaan mengenai sifat atau dosis prostaglandin yang digunakan. Me. dian durasi perdarahan adalah 8 hari dan pada 90 persen wanita durasinya 12 hari atau kurang. Perdarahan yang mengharuskan dilakukannya aspirasi vakum atau kuret terjadi pada 0,8 persen kasus. Transfusi diperlukan pada 1 dari 1000 wanita. Seperti dibicarakan di Bab 58 (hal. 1731), RU 486 juga sangat efektif untuk kontrasepsi pascakoitus darurat apabila diberikan dalam 72 jam (Glasier dkk, 1993). Setelah 72 jam, obat ini semakin kurang efektif. Penambahan berbagai prostaglandin oral, per vaginam, atau suntikan ke regimen ini menghasilkan angka abortus sebesar 95 persen atau lebih. Efek samping RU 486 adalah mual, muntah, dan kram pencernaan. ~isiko utama yang terkait adalah perdarahan akibat ekspulsi kehamilan parsial dan akibat perdarahan intraabdomen dari kehamilan ektopik dini yang tidak diperkirakan sebelumnya. Durasi perdarahan per vaginam adalah sekitar 2 minggu setelah RU 486 saja dan sekitar 1 sampai 2 minggu setelah RU 486 plus prostaglandin.

EPOSTAN. Inhibitor hidroksisteroid-3~ dehidrogenase ini menghambat sintesis progesteron endogen. Apabila diberikan dalam 4 minggu setelah hari pertama haid terakhir, obat ini akan memicu abortus pada sekitar 85 persen wanita (Crooij dkk, 1988). Respons klinis mungkin berkaitan dengan kadar progesteron endogen dalam darah. Mual adalah efek samping yang tersering, dan apabila abortusnya tidak komplet terdapat risiko perdarahan. Antiprogestin yang lain, misalnya ZK 98.734, sedang dalam penelitian dan tampaknya menjanjikan untuk abortus dini (Swahn dkk, 1994).

KONSEKUENSI ABORTUS ELEKTIF MORTALITAS lau. Induksi abortus yang legal merupakan tindakan bedah yang relatif aman, terutama apabila dilakukan dalam 2 bulan pertama kehamilan. Risiko kematian akibat abortus yang dilakukan pada 2 bulan pertama adalah sekitar 0,6 per 100.000 tindakan (Berg dkk., 1996; Centers for Disease Control, 1986; Grimes, 1994). Risiko relatif meninggal akibat abortus meningkat sekitar dua kali lipat untuk setiap penundaan 2 minggu setelah gestasi 8 minggu. Atrash dkk. (1988) melaporkan bahwa proporsi kematian terkait abortus yang disebabkan oleh anestesia umum telah meningkat dari 8 persen pada tahun 1975 menjadi 29 persen pada tahun 1985. Hal ini mungkin meneerminkan penurunan kematian absolut akibat penyulit nonanestetik. LeBolt dkk. (1982) memperkirakan bahwa selama tahun 1970-an, risiko keseluruhan meninggal akibat abortus legal adalah 15 persen dari risiko akibat melahirkan. Memang, pada tahun 1987 dilaporkan enam kematian ibu dari 1,3 juta abortus legal (Grimes, 1994). Dalam ulasannya baru-baru ini, de Swiet (2000) menekankan bahwa di Inggris sebelum Undang-undang Abortus tahun 1968,40 persen kematian ibu disebabkan oleh abortus ilegal. Pada tahun 1994 sampai 1996, hanya 4 persen kematian yang berkaitan dengan abortus, dan tidak ada yang ilegal.

Page 27: Abortus Obs Wil

DAMPAK PADA KEHAMILAN'SELANJUTNYA. Hogue (1986), dalam suatu ulasan ilmiah tentang dampak abortus elektif pada hasil kehamilan berikutnya, meringkaskan data dari 200 publikasi lebih. Ia menekankan bahwa harus dilakukan pertimbangan mengenai metode untuk menginduksi abortus, dan bahwa wanita yang dipilih sebagai kontrol haruslah nulipara karena wanita para mengalami penurunan risiko penyulit pada kehamilan berikutnya. Kesuburan tidak terpengaruh oleh abortus elektif. Salah satu pengecualian yang mungkin terjadi adalah adanya risiko kecil infeksi panggul. Aspirasi vakum tidak menyebabkan peningkatan insidensi abortus spontan mid trimes ter, pelahiran pre term, atau bayi berat lahir rendah pada kehamilan berikutnya. Namun, dilatasi dan kuretase pada primigravida menyebabkan peningkatan risiko kehamilan ektopik, abortus mid trimester, dan berat lahir rendah pada kehamilan berikutnya. Insidensi kehamilan ektopik tidak meningkat pada kehamilan berikutnya apabila terminasi perta-ma dilakukan dengan aspirasi vakum. Pengeeualiannya adalah wanita yang mengalami infeksi klamidia atau infeksi paseaabortus. Abortus elektif berulang tidak meningkatkan insidensi pelahiran preterm dan bayi berat lahir rendah (Mandelson dkk., 1992). Plasenta previa dilaporkan meningkat setelah abortus elektif (Barrett dkk., 1981). Hogue (1986) mengabaikan penelitian ini karena tidak adanya kontrol untuk usia ibu. Abortus terinduksi pada mid trimester tampaknya tidak banyak menimbulkan risiko bagi keha-milan berikutnya apabila digunakan teknik injeksi. Belum eukup banyak data yang prosedumya spesifik untuk mengambil kesimpulan yang sahih tentang risiko pada kehamilan berikutnya setelah suatu abortus midtrimester.

ABORTUS SEPTIK. Penyulit serius pada abortus umumnya terjadi akibat abortus kriminalis. Perdarahan hebat, sepsis, syok bakterial, dan gagal ginjal akut pemah terjadi pada abortus legal tetapi dengan frekuensi yang jauh lebih keeil. Hasil biasanya adalah metritis, tetapi dapat juga terjadi parametritis, peritonitis, endokarditis, dan septikemia (Vartian dan Septimus, 1991). Dari 300 abortus septik di Parkland Hospital, biakan darah positif pada seperempatnya. Hampir dua pertiga adalah bakteria anaerob sedangkan koliform juga sering dijumpai. Organisme lain yang dilaporkan menjadi penyebab abortus septik antara lain adalah Haeinophilus influenzae, Campylobaeter jejuni, dan streptokokus grup A (Denton dan Clarke, 1992; Dotters dan Katz, 1991; Pinhas-Hamiel dkk., 1991). Terapi infeksi antara lain adalah evakuasi segera produk konsepsi disertai antimikroba spektrum luas seeara intravena. Apabila timbul sepsis dan syok, perlu diberikan terapi suportif seperti dibahas di Bab 43 (hal. 1303). Abortus septik juga pemah dilaporkan menyebabkan koagulopati intravaskular diseminata (Bab 25: hal. 728).

REFERENSI Aarts JM, Brons JT, Bruinse HW: Emergency cerclage: A review. Obstet Gyne~ol Surv 50:459, 1995 Alberman E: The epidemiology of repeated abortion. In Beard RW, Sharp F (eds): Early Pregnancy Loss: Mechanisms and Treatment. London, RCOG, 1988, P 9 Allahbadia G: Comparative study of mid trimester termination of pregnancy using hypertonic saline, ethacridine lactate, prostaglandin analogue, and iodine-saline. J Indian Med Assoc 90:237, 1992 AI-Sebai MA, Kingsland CR, Diver M, Hipkin L, McFadyen IR: The role of a single progesterone measurement in the diagnosis of early pregnancy failure and the prognosis of fetal viability. Br J Obstet Grnaecol 102:364,1995

Page 28: Abortus Obs Wil

Althuisius SM, Dekker GA, van Geijn HP, Hummel P: The effect of therapeutic McDonald cerclage on cervical length as assessed by transvaginal ultrasonography. Am J Obstet GynecoI180:366, 1999 American College of Obstetricians and Gynecologists: Early pregnancy loss. Technical Bulletin No. 212, September, 1995