chaetoceros calcitrans (kel 6)

Upload: mikhwan30

Post on 19-Jul-2015

1.355 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

chaetoceros

Chaetoceros calcitrans Chaetoceros termasuk dalam kelompok diatomae (Bacillariophyceae) yang mempunyai banyak species yang dimungkinkan untuk pakan larva udang. Jenis yang sering digunakan adalah Chaetoceros calcitrans yang mempunyai karakteristik toleransi yang tinggi terhadap temperatur. Bila kulturnya dilakukan pada temperatur 40C, tidak terdapat pigmentasi, sedangkan pada temperatur 20 -30C pertumbuhan terjadi secara normal, sedangkan temperatur yang optimal adalah 25 -

chaetoceros30C. Salinitas minimal yaitu 6 permil akan tetapi yang optimal adalah 17 - 25 permil. Formulasi pupuk untuk Chaetoceros sp : Jenis nutrien................................................ Konsentrasi (mg/liter) NH4 NO3 ............................................79,2 NH2 PO4 .............................................10,0 Na2 Si O3 ........................................... 15,0 Fe Cl3 ................................................ 1,3 EDTA ................................................ 10,0 Trace Metal Medium : - Na NO3 ................................................ 150 mg - Na H2 PO4 2H2 O .............................. 10 mg - Na2 SiO3 ................................................ 10 mg - Mikronutrien .........................................1 ml - Air laut ................................................ 1 liter Mikronutrien : 7,3 gram Na2 EDTA, 6 gram Fe C136H2O, 12 mg Na2Mo O42H2O, 44 mg Zn SO47H2O, 360 mg Mn Cl24H2O, 20 mg CoCl26H2O, 2 mg CuSO4 5H2O. Seluruhnya dilarutkan dalam air suling (destilled water) 1 liter

KONSENTRASI NITRAT YANG BERBEDA PADA MEDIA KULTUR TERHADAP PERTUMBUHAN Chaetoceros sp. Zulkifli (E 271 05 013) Pembimbing : 1. Ir. Hj. Eka Rosyida, M.App.Sc 2. Ir. Novalina Serdiati, M.Si Abstrak Chaetoceros sp. merupakan jenis pakan alami yang banyak digunakan di unit-unit pembenihan, khususnya pembenihan udang penaeid. Pertumbuhan dari Chaetoceros sp. sangat dipengaruhi oleh nutrisi atau unsur hara pada media kultur, salah satu unsur hara tersebut ialah unsur Nitrogen dalam bentuk senyawa nitrat (NaNO3). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi nitrat yang terbaik untuk pertumbuhan Chaetoceros sp. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan dengan penambahan nitrat 125 ppm (Perlakuan F) memberikan pertumbuhan terbaik Chaetoceros sp. (3.584.000 sel/ml). Hasil ini berbeda sangat nyata dengan perlakuan tanpa penambahan nitrat dan penambahan nitrat 25 ppm, tetapi tidak berbeda dengan perlakuan penambahan nitrat 50 ppm, 75 ppm dan 100 ppm. Kata kunci : Chaetoceros sp., Konsentrasi nitrat, Pertumbuhan

chaetoceros

1. Pendahuluan Pengembangan usaha budidaya ikan dan non ikan akhir-akhir ini semakin giat dilaksanakan baik itu secara ekstensif, semiintensif maupun intensif. Usaha pengembangan budidaya, tentunya tidak terlepas dari kegiatan pembenihan yang selama ini menjadi faktor pembatas dalam pengembangan usaha budidaya di Indonesia. Faktor ketersediaan benih baik dari segi jumlah, kualitas maupun kesinambungan merupakan penyebabnya. Selain ketiga faktor tersebut diatas, ketersediaan pakan baik pakan alami maupun pakan buatan juga merupakan salah satu faktor yang menjadi kendala mengapa selama ini usaha budidaya khususnya kegiatan pembenihan tidak berjalan secara optimal. Pakan alami merupakan unsur terpenting dalam menunjang pertumbuhan dan kelangsungan hidup organisme yang dibudidaya khususnya pada fase larva atau benih. Pakan alami disini mencakup fitoplankton dan zooplankton yang berperan sebagai sumber karbohidrat, lemak, protein dengan susunan asam amino yang lengkap serta mineral yang berperan dalam pertumbuhan larva atau benih ikan (http://www.dszoo.com/forum/archive/index.php?t-114.html. diakses tanggal 3 Juni 2009). Lebih lanjut dijelaskan bahwa fitoplankton sangat berperan dalam keberhasilan pemeliharaan larva pada unit pembenihan, karena pada umumnya stadia awal pemeliharaan larva baik ikan maupun non ikan menggunakan pakan dari jenis fitoplankton. Dewasa ini telah berhasil dikultur beberapa spesies fitoplankton yang digunakan sebagai pakan larva diantaranya Chlorella sp., Skeletonema costatum, Chaetoceros sp., tetraselmis chuii, Isochrysis galbana dan Dinaliella salina. Salah satu jenis fitoplankton yang umumnya dibudidayakan sebagai pakan alami terutama untuk larva udang penaeid adalah Chaetoceros sp. (Yunus, 1992). Chaetoceros sp. banyak digunakan sebagai pakan alami pada unit-unit pembenihan karena disamping memiliki kandungan protein yang cukup tinggi, pada kondisi lingkungan yang cocok kepadatan dari pakan alami ini cepat meningkat. Kandungan nutrisi dari Chaetoceros sp. yaitu protein 35%, lemak 6,9%, karbohidrat 6,6% dan kadar abu 28% (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Menurut Cahyaningsih (2006), pertumbuhan Chaetoceros sp. sangat dipengaruhi oleh nutrisi yang ada dilingkungan tempat hidupnya, oleh karena itu media kulturnya perlu diberi pupuk untuk menunjang ketersediaan unsur hara baik makro maupun mikro. Salah satu unsur hara makro (nutrient utama) yang sangat menunjang pertumbuhan Chaetoceros sp. adalah ketersediaan unsur nitrogen (N). Pada umumnya nitrogen yang dibutuhkan untuk media kultur yaitu dalam bentuk senyawa nitrat. Nitrogen merupakan komponen utama protein sel yang merupakan kebutuhan dasar kehidupan organisme khususnya diatom (Takdir, 1990). Lebih lanjut ditambahkan bahwa, penggunaan nitrogen dalam media kultur Chaetoceros sp. sangat penting untuk mendapatkan nilai produktivitas kultur yang tinggi serta kualitas biomassa yang baik. Namun yang menjadi masalah akhir-akhir ini adalah sulitnya memproduksi Chaetoceros sp. dalam jumlah besar karena ketidakstabilan produksi yang disebabkan oleh kualitas Chaetoceros sp. yang tidak sama untuk setiap periode kultur.

chaetocerosSalah satu alternatif untuk mengatasi hal tersebut diatas yakni melalui upaya optimasi nutrisi pada media kultur Chaetoceros sp. dengan penambahan nitrat. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian tentang budidaya Chaetoceros sp. dengan konsentrasi nitrat yang berbeda pada media kulturnya perlu dilakukan sehingga diharapkan melalui penelitian ini produksi Chaetoceros sp. dapat meningkat dan menjamin ketersediaan pakan alami tersebut pada saat dibutuhkan. 2. Materi dan Metode Penelitian 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2009 sampai dengan Januari 2010. Penelitian bertempat di Balai Benih Ikan Pantai (BBIP), Kelurahan Kampal, Kecamatan Parigi Utara, Kabupaten Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah. 2.2 Materi Penelitian 2.2.1 Organisme Uji Organisme uji yang digunakan dalam penelitian adalah diatom jenis Chaetoceros sp. yang telah dibiakkan secara murni. Bibit tersebut diperoleh dari BBAP Takalar, Desa Bontoloe, Kecamatan Galesong Selatan, Provinsi Sulawesi Selatan. 2.2.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian adalah toples (wadah penelitian), selang dan kran aerasi, blower, lampu TL 20 watt, mikroskop, cover glass, haemocytometer, gelas ukur, pipet skala, pipet tetes, tissue, pH meter, termometer, refraktometer dan hand counter. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah air laut, air tawar, pupuk dengan komposisi : Natrium nitrat (NaNO3), Natrium hidro posfat (NaH2PO4), Natrium silikat (NaSiO3), Trace metal dan Vitamin. 2.3 Metode Penelitian Hal yang pertama dilakukan adalah menyiapkan wadah dan peralatan yang akan digunakan. Wadah yang digunakan berupa toples plastik berkapasitas 1 liter, wadah dan peralatan yang digunakan terlebih dahulu disucihamakan dengan menggunakan deterjen dan kaporit sebanyak 100 ppm. Selanjutnya wadah dan peralatan tersebut dinetralkan dengan natrium thiosulfat 50 ppm. Wadah yang telah disiapkan diisi dengan air laut steril, kemudian ke dalam wadah yang berisi air media ditambahkan pupuk dengan komposisi seperti pada Tabel 1. Untuk mempermudah pemakaiannya, terlebih dahulu dibuat stock pupuk cair kemudian masing-masing pupuk ditambahkan sebanyak 1 ml ke dalam air media. Hal ini sesuai dengan pendapat Sudjiharno (2002), pupuk yang digunakan pada skala laborotorium terbuat dari bahan kimia PA (pro analis) dengan dosis pemakaian 1 ml pupuk untuk 1 liter volume kultur. Setelah itu dilakukan penebaran bibit Chaetoceros sp. sebanyak 80 x 104 sel/ml untuk setiap wadah penelitian. Hal ini sesuai dengan pendapat Nukiyama (1976) dalam Muhaimin (2008) bahwa dalam kultur Chaetoceros sp. digunakan air laut sebanyak 80 90% dengan padat penebaran awal 10 x 104 80 x 104 sel/ml. Wadah tersebut kemudian diletakkan pada rak-rak kultur lalu diberi pencahayaan dengan lampu TL 20 watt sebanyak 2 buah untuk setiap perlakuan. Selama penelitian berlangsung wadah ditutup dan air

chaetocerosmedianya diberi aerasi terus menerus untuk menghindari pengendapan Chaetoceros sp. Volume bibit atau jumlah bibit yang yang dibutuhkan untuk penebaran dapat dihitung dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Miguel (1980) dalam Muhaimin (2008) :

V1N1 = V2N2 Dimana : V1 : Volume bibit yang diperlukan (ml) V2 : Volume kultur yang dibuat dalam gelas erlenmeyer (ml) N1 : Jumlah bibit per cc yang ditebar (sel/ml) N2 : Jumlah bibit yang dikehendaki (sel/ml). Tabel 1. Komposisi Pupuk untuk Kultur Chaetoceros sp. Skala Laboraturium No. Bahan Kimia Takaran 1. Natrium nitrat (NaNO3) Tanpa penambahan dan Penambahan sesuai perlakuan 2. Natrium hidro posfat (NaH2PO4) 10 ppm 3. Natrium silikat (NaSiO3) 5 ppm 4. Trace metal 1 ml 5. Vitamin. 1 ml Sumber : Laboratorium Pakan Alami BBAP Takalar

Komposisi dari trace metal solution dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini : Tabel 2. Komposisi Trace Metal Solution No. Bahan Kimia Takaran 1. CuSO4.5H2O 1,6 g 2. ZnSO4.7H2O 4,40 g 3. CoCl2.6H2O 2 g 4. (NH4)6.Mo7O24.4H2O 1,26 g 5. Aquades 100 ml Sumber : Laboratorium Pakan Alami BBAP Takalar 2.3.1 Perlakuan dan Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan dan masing-masing perlakuan 4 ulangan, sehingga banyaknya satuan percobaan adalah 24 unit. Adapun perlakuan yang dimaksud adalah sebagai berikut : Perlakuan A : Tanpa penambahan nitrat Perlakuan B : Penambahan nitrat dengan dosis 25 ppm Perlakuan C : Penambahan nitrat dengan dosis 50 ppm Perlakuan D : Penambahan nitrat dengan dosis 75 ppm

chaetocerosPerlakuan E : Penambahan nitrat dengan dosis 100 ppm Perlakuan F : Penambahan nitrat dengan dosis 125 ppm 2.3.2 Parameter yang Diamati Pertumbuhan fitoplankton dalam kultur dapat ditandai dengan bertambah banyaknya jumlah sel (kepadatan sel) (Takdir, 1990). Pertumbuhan Chaetoceros sp. pada penelitian ini akan diamati setiap 12 jam sekali selama 3 hari masa pemeliharaan yakni dengan mengambil air sampel sebanyak 1 ml/unit percobaan. Kepadatan sel Chaetoceros sp. dihitung dengan menggunakan haemocytometer. Mula-mula air sampel diambil dengan menggunakan pipet kemudian diteteskan diatas haemocytometer, selanjutnya kepadatan sel dihitung dibawah mikroskop dengan bantuan alat penghitung (hand counter). Kepadatan sel Chaetoceros sp. untuk setiap mililiter dihitung dengan menggunakan rumus menurut Mudjiman (2007 ) sebagai berikut : Sel/ml = N x 104 Dimana : N = jumlah rata-rata sel. Parameter kualitas air yang diamati dalam penelitian ini adalah suhu, pH dan salinitas. 2.3.3 Analisa Data Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan model matematik menurut Gaspersz (1991), yaitu sebagai berikut : Yij = + i + ij Dimana : Yij : Respon terhadap perlakuan ke-i pada ulangan ke-j : Nilai Tengah Umum Populasi i : Pengaruh Aditif Perlakuan ke-i ij : Galat Percobaan dari perlakuan ke- i pada ulangan ke- j i : Perlakuan (1,2,3,4,5,6) j : Ulangan (1,2,3,4) Untuk melihat pengaruh nyata dari perlakuan yang diberikan, maka dilanjutkan dengan uji BNJ (Beda Nyata Jujur). 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Pertumbuhan Sel Chaetoceros sp. Rata-rata tingkat kepadatan sel Chaetoceros sp. yang diberi nitrat dengan dosis yang berbeda selama periode penelitian, tersaji pada Gambar 1.

chaetoceros

Gambar 1. Rata-Rata Tingkat Kepadatan Sel Chaetoceros sp. pada Konsentrasi Nitrat yang Berbeda Selama Penelitian. Gambar 1 memperlihatkan adanya perbedaan rata-rata tingkat kepadatan sel Chaetoceros sp. pada masingmasing perlakuan, dimana kepadatan sel yang tertinggi diperoleh pada perlakuan F (penambahan nitrat dengan dosis 125 ppm) kemudian berturut-turut diikuti oleh perlakuan E (penambahan nitrat dengan dosis 100 ppm), perlakuan D (penambahan nitrat dengan dosis 75 ppm), perlakuan C (penambahan nitrat dengan dosis 50 ppm), perlakuan B (penambahan nitrat dengan dosis 25 ppm) dan tingkat kepadatan sel terendah diperoleh pada perlakuan A (tanpa penambahan nitrat). Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa pada konsentrasi nitrat yang berbeda pada media kultur berpengaruh sangat nyata terhadap tingkat kepadatan sel Chaetoceros sp.. Sedangkan berdasarkan hasil uji lanjut beda nyata jujur (BNJ) memperlihatkan bahwa perlakuan A dan B berbeda sangat nyata terhadap perlakuan F, E dan D. Perlakuan C dan D tidak berbeda nyata terhadap perlakuan F dan E, selanjutnya perlakuan A berbeda sangat nyata terhadap perlakuan C dan berbeda nyata dengan perlakuan B, kemudian perlakuan B berbeda nyata dengan perlakuan A. Berdasarkan data tersebut diatas dapat dilihat dengan jelas bahwa nitrat memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dalam hal ini kepadatan sel Chaetoceros sp. dari data tersebut juga memperlihatkan bahwa kepadatan sel Chaetoceros sp. meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi nitrat dimana kepadatan sel tertinggi diperoleh pada perlakuan F (nitrat 125 ppm) dengan 3.584.000 sel/ml dan yang terendah pada perlakuan A (tanpa penambahan nitrat) dengan kepadatan sel 1.278.000 sel/ml. Chaetoceros sp. membutuhkan nitrat untuk tumbuh dengan baik sebagaimana dikemukanan oleh Patrick (1977) dalam Haryati (1980) bahwa nitrat merupakan komponen utama pembentuk asam amino (penyusun protein) yang berguna untuk pertumbuhan. Konsentrasi nitrat yang berlebih selama penelitian tidak memberikan pengaruh negatif pada pertumbuhan fitoplankton, tetapi dengan berkurangnya konsentrasi nitrat dalam media kultur maka pertumbuhan selnya akan lebih lambat. Cahyaningsih dkk (2005) mendapatkan bahwa Chaetoceros sp. tumbuh dengan baik jika air media diberi pupuk dengan konsentrasi nitrat 40 50 ppm. Sementara hasil penelitian dari Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), mendapatkan untuk pertumbuhan terbaik kultur diatom skala laboraturium menggunakan pupuk dengan komposisi nitrat 80 100 ppm. Peningkatan pertumbuhan sel Chaetoceros sp. selama penelitian terjadi secara bertahap melalui beberapa fase pertumbuhan (Lampiran 4). Hal ini sesuai dengan pernyataan Cahyaningsih dkk (2005), fase pertumbuhan fitoplankton diawali dengan fase lag yaitu pertumbuhan belum nampak, kemudian fase eksponensial yaitu pertumbuhan mulai nampak sampai puncak, selanjutnya fase stasioner yaitu fase dimana pertumbuhan dan kematian berimbang dan terakhir adalah fase kematian. Penurunan populasi Chaetoceros sp. setelah mencapai puncak pertumbuhan, berhubungan dengan terjadinya penurunan kandungan nutrien atau unsur hara pada media kultur. Hal ini sesuai dengan

chaetocerospendapat Foog (1975) dalam Nurliati (1995) bahwa penurunan jumlah populasi mikroalga disebabkan oleh kompetisi dan kandungan nutrien pada media kultur yang semakin berkurang. 3.2 Kualitas Air Pengamatan parameter kualitas air selama penelitian tersaji pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Hasil Pengamatan Rata-Rata Parameter Kualitas Air Selama Penelitian Perlakuan Parameter kualitas Air Suhu (0C) Salinitas () pH A 28 25 7,9 B 27 26 7,9 C 28 25 7,8 D 29 26 7,9 E 28 27 8,0 F 28 26 8,0

Suhu perairan mempunyai peranan yang penting dalam ekosistem perairan, selain berpengaruh terhadap berat jenis, viskositas dan densitas air, suhu juga berpengaruh terhadap kelarutan gas gas dalam air serta mempengaruhi pertumbuhan maupun aktivitas mikroalga khususnya aktivitas enzim dan metabolisme sel (http://www.aslo.org/lo/toc/vol 20/ issue_1/0009.pdf diakses tanggal 4 Desember 2009). Tabel 3 memperlihatkan bahwa suhu yang tercatat selama penelitian berkisar dari 27 - 290C, kisaran ini masih berada pada kisaran suhu yang optimal untuk pertumbuhan Chaetoceros sp. Hal ini sesuai dengan pernyataan Cahyaningsih (2006), bahwa Chaetoceros sp. merupakan organisme yang memiliki kemampuan adaptasi terhadap suhu tinggi, namun tumbuh optimal pada kisaran suhu 25 - 300C. Salinitas memiliki peranan penting dalam pertumbuhan karena secara langsung berpengaruh pada tekanan osmose didalam sel fitoplankton sehingga fluktuasi salinitas menyebabkan aktivitas sel menjadi terganggu (Purnomo, 2004). Namun berbeda dengan fitoplankton pada umumnya, Chaetoceros sp. tergolong organisme yang memiliki toleransi kisaran salinitas yang sangat lebar (euryhaline) yaitu 6 - 50 tetapi tumbuh optimal pada kisaran 17 - 32 (Isnansetyo & Kurniastuty, 1995). Berdasarkan pernyataan tesebut, kisaran salinitas yang diperoleh selama penelitian masih berada pada kisaran yang optimal untuk tumbuh dan berkembangnya Chaetoceros sp. Seperti halnya suhu dan salinitas, pH juga merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan fitoplankton yakni apabila pH berada pada ambang batas normalnya maka kecepatan tumbuh dari fitoplankton akan menurun. pH secara langsung berhubungan dengan kelarutan CO2 dan mineral dalam media kultur (Angka dkk, 1976). Selama penelitian berlangsung fluktuasi pH tidak begitu signifikan, hal ini disebabkan karena adanya keseimbangan ion-ion yang terdapat dalam medium kultur Chaetoceros sp. akibat dari adanya proses aerasi selama periode kultur. Kisaran pH selama penelitian adalah 7,8 8,0 kisaran ini masih berada pada ambang batas normal karena sesuai dengan pendapat Pescod (1973) dalam Nurliati (1995) bahwa nilai pH yang

chaetocerosideal untuk pertumbuhan fitoplankton adalah 6,5 8,5. 4. Kesimpulan dan Saran 4.1 Kesimpulan 1. Pertumbuhan Chaetoceros sp. yang terbaik terdapat pada perlakuan F yaitu penambahan nitrat 125 ppm. 2. Konsentrasi nitrat yang berlebih selama penelitian tidak memberikan pengaruh negatif pada pertumbuhan fitoplankton, sebaliknya penurunan konsentrasi nitrat menyebabkan pertumbuhan sel menjadi lebih lambat. 3. Kisaran parameter kualitas air selama penelitian masih berada pada kisaran yang ideal untuk pertumbuhan Chaetoceros sp. 4.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian, maka perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan konsentrasi nitrat yang lebih besar dari 125 ppm, sehingga diperoleh konsentrasi optimum untuk pertumbuhan Chaetoceros sp. 5. Daftar Pustaka Angka, S. L., Sumantadinata, K., Harris, E., Darnas, Chaerudin, A., 1976. Kultur Laboratoris Diatomae Laut (Pengaruh Salinitas Dan Inoculums Terhadap Pertumbuhan Populasi Monocultur Skeletonema Costatum dan Nitzschia Closterium Pelagis dan Benthis Dari Laut Jawa). Proyek Pengembangan Perguruan Tinggi Institut Pertanian Bogor. Cahyaningsih, S., Achmad, N.,Sugeng, J.P., 2005. Kultur Murni Phytoplankton. Departemen kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Balai Budidaya Air Payau Situbondo. Cahyaningsih, S., 2006. Petunjuk Teknis Produksi Pakan Alami. Departemen kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Balai Budidaya Air Payau Situbondo. Gaspersz, 1991. Metode Rancangan Percobaan (Untuk Ilmu-Ilmu Pertanian, Ilmu-Ilmu Teknik dan Biologi). CV. Armico. Bandung. Haryati, 1980. Percobaan Penggunaan Beberapa Macam Komposisi Media Terhadap Pertumbuhan populasi monokultur Skeletonema costatum Greville. UNDIP-Press. Semarang. http://www.dszoo.com/forum/archive/index.php?t-114.html. diakses tanggal 3 Juni 2009 http://www.aslo.org/lo/toc/vol 20/ issue_1/0009.pdf diakses tanggal 4 Desember 2009 Isnansetyo, A & Kurniastuti, 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton Pakan Alami Untuk Pembenihan Organisme Laut. Kanisius. Yogyakarta. Mudjiman, A., 2007. Makanan Ikan Edisi Revisi. Penebar Swadaya, Jakarta. Muhaimin, M. I., 2008. Pengaruh Konsentrasi Posfat pada Formula Pupuk Conway terhadap Pertumbuhan Chaetoceros sp. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Muslim Indonesia, Makassar. Nurliati, A., 1995. Pengaruh Dosis Abu Sekam Padi Terhadap Pertumbuhan Chaetoceros sp. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Muslim Indonesia, Makassar. Sudjiharno, 2002. Budidaya Fitoplankton dan Zooplankton. Departemen kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Balai Budidaya Laut Lampung.

chaetocerosTakdir, 1990. Pengaruh Abu Sekam Padi Terhadap Pertumbuhan Chaetoceros sp.Jurnal Penelitian Budidaya Pantai, Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Maros. Yunus, 1992. Pengaruh Salinitas yang Berbeda terhadap Pertumbuhan Chaetoceros ceratosporum di Laboraturium. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai, Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Maros.

Diposkan oleh QfLy Andis di 09:49 Label: chaetoceros sp, media kultur,nitrat 1 komentarMinggu, 22 November 2009

Pengaruh Konsentrasi Nitrat yang Berbeda Pada media Kultur Terhadap Pertumbuhan Chaetoceros sp.I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan usaha budidaya ikan dan non ikan akhir-akhir ini semakin giat dilaksanakan baik itu secara ekstensif, semiintensif maupun intensif. Usaha pengembangan budidaya, tentunya tidak terlepas dari kegiatan pembenihan yang selama ini menjadi faktor pembatas dalam pengembangan usaha budidaya di Indonesia. Faktor ketersediaan benih baik dari segi jumlah, kualitas maupun kesinambungan merupakan penyebabnya. Selain ketiga faktor tersebut diatas, ketersediaan pakan baik pakan alami maupun pakan buatan juga merupakan salah satu faktor yang menjadi kendala mengapa selama ini usaha budidaya khususnya kegiatan pembenihan tidak berjalan secara optimal. Pakan alami merupakan unsur terpenting dalam menunjang pertumbuhan dan kelangsungan hidup organisme yang dibudidaya khususnya pada fase larva atau benih. Pakan alami disini mencakup fitoplankton dan zooplankton yang berperan sebagai sumber karbohidrat, lemak, protein dengan susunan asam amino yang lengkap serta mineral yang berperan dalam pertumbuhan larva atau benih ikan (http://www.dszoo.com/forum/archive/index.php?t-114.html. diakses tanggal 3 Juni 2009). Lebih lanjut dijelaskan bahwa fitoplankton sangat berperan dalam keberhasilan pemeliharaan larva pada unit pembenihan, karena pada umumnya stadia awal pemeliharaan larva baik ikan maupun non ikan menggunakan pakan dari jenis fitoplankton. Dewasa ini telah berhasil dikultur beberapa spesies fitoplankton yang digunakan sebagai pakan larva diantaranya Chlorella sp., Skeletonema costatum, Chaetoceros sp., tetraselmis chuii, Isochrysis galbana dan Dinaliella salina. Salah satu jenis fitoplankton yang umumnya dibudidayakan sebagai pakan alami terutama untuk larva udang penaeid adalah Chaetoceros sp. (Yunus, 1992). Chaetoceros sp. banyak digunakan sebagai pakan alami pada unit-unit pembenihan karena disamping memiliki kandungan protein yang cukup tinggi, pada kondisi lingkungan yang cocok kepadatan dari pakan alami ini cepat meningkat. Kandungan nutrisi dari Chaetoceros sp. yaitu protein 35%, lemak 6,9%, karbohidrat 6,6% dan kadar abu 28%

chaetoceros(Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Menurut Cahyaningsih (2006), Pertumbuhan Chaetoceros sp. sangat dipengaruhi oleh nutrisi yang ada dilingkungan tempat hidupnya, oleh karena itu media kulturnya perlu diberi pupuk untuk menunjang ketersediaan unsur hara baik makro maupun mikro. Salah satu unsur hara makro (nutrient utama) yang sangat menunjang pertumbuhan Chaetoceros sp. adalah ketersediaan unsur nitrogen (N). nitrogen yang umumnya dibutuhkan untuk media kultur yaitu dalam bentuk senyawa nitrat. Nitrogen (N) merupakan komponen utama protein sel yang merupakan kebutuhan dasar kehidupan organisme khususnya diatom (Takdir, 1990). Lebih lanjut ditambahkan bahwa, penggunaan nitrogen dalam media kultur Chaetoceros sp. sangat penting untuk mendapatkan nilai produktivitas kultur yang tinggi serta kualitas biomassa yang baik. Namun yang menjadi masalah akhir-akhir ini adalah sulitnya memproduksi Chaetoceros sp. dalam jumlah besar karena ketidakstabilan produksi yang disebabkan oleh kualitas Chaetoceros sp. yang tidak sama untuk setiap periode kultur. Salah satu alternatif untuk mengatasi hal tersebut diatas yakni melalui upaya optimasi nutrisi pada media kultur Chaetoceros sp. salah satunya dengan penambahan nitrat. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian tentang budidaya Chaetoceros sp. dengan konsentrasi nitrat yang berbeda pada media kulturnya perlu dilakukan sehingga diharapkan melalui penelitian ini produksi Chaetoceros sp. dapat meningkat dan menjamin ketersediaan pakan alami tersebut pada saat dibutuhkan.

1.2 Tujuan dan Kegunaan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui konsentrasi nitrat yang optimum untuk pertumbuhan Chaetoceros sp. Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai bahan informasi awal tentang konsentrasi nitrat pada media kultur yang memberikan pertumbuhan optimal untuk pengembangan budidaya Chaetoceros sp. sebagai pakan alami.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Chaetoceros sp. Bougis (1979) dalam Sudjiharno (2002) mengklasifikasikan Chaetoceros sp. (Gambar 1.) sebagai berikut : Divisi : Bacillariophyta Classis : Bacillariophyceae Ordo : Centrales Sub Ordo : Biddulphiinae Famili : Chaetoceraceae Genus : Chaetoceros Species : Chaetoceros sp.

chaetoceros

Gambar 1. Chaetoceros sp. Sumber : http://www.fishexp.pref.hokkaido.jp/shidousyo/fishery/j_kaki/pic06_b.jpg diakses tanggal 6 November 2009.

Diatom merupakan organisme/ganggang bersel tunggal yang tergolong dalam divisi Bacillariophyta, ganggang jenis ini memiliki dua ordo yakni centrales dan pennales. Kedua ordo ini dapat dibedakan berdasarkan bentuk fisik tubuh dan habitanya. Diatom dari ordo centrales memiliki ciri bentuk tubuh silinder dan hidup di air laut sedangkan ordo pennales memiliki bentuk tubuh lonjong dan hidup di air tawar. Chaetoceros sp. merupakan diatom dari ordo centrales (Bachtiar, 2003). Chaetoceros sp. ada yang memiliki bentuk tubuh bulat dengan ukuran tubuh yang sangat kecil yakni berkisar antara 4 6 mikron dan ada yang berbentuk segi empat dengan ukuran 8-12 x 7-18 mikron. Sama seperti diatom pada umumnya, Chaetoceros sp. memiliki dinding sel yang dibentuk dari silika (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Lebih lanjut ditambahkan oleh Sumeru dan Anna (2005), bahwa pada setiap sel Chaetoceros sp. dipenuhi oleh cytoplasma. Menurut stransky (1970) dalam Haryati (1980) dan Sujiharno (2002), diatom memiliki beberapa pigmen warna yakni chlorophyl a, chlorophyl c, karoten diatomin dan fukosantin. Pigmen chlorophyl memiliki peran sebagai katalisator dalam proses fotosintesis sedangkan adanya pigmen karoten dan diatomin menyebabkan dinding sel dari Chaetoceros sp. berwarna cokelat keemasan. Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) bahwa Chaetoceros sp. merupakan diatom yang bersifat eurythermal dan euryhaline. Daerah penyebarannya meliputi muara sungai, pantai dan laut pada daerah tropis dan subtropis. Diatom ini dapat hidup pada kisaran suhu yang tinggi, pada suhu air 400C fitoplankton ini masih dapat bertahan hidup namun tidak berkembang. Pertumbuhan optimumnya memerlukan suhu pada kisaran antara 25 - 300C. salinitas optimal untuk pertumbuhan optimal dari Chaetoceros sp. adalah 17 - 25 . Selanjutnya dikemukakan bahwa seperti halnya fitoplankton pada umumnya, pertumbuhan dari Chaetoceros sp. ini juga dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Intensitas cahaya yang optimum untuk pertumbuhannya ialah berkisar antara 500 10.000 lux, dan pertumbuhannya akan menurun jika intensitas cahaya melebihi 10.000 lux.

2.2 Reproduksi Chaetoceros sp. bereproduksi secara aseksual yakni dengan pembelahan sel dan seksual dengan pembentukan auxospora. Silikat memiliki peranan penting dalam proses reproduksi fitoplankton ini sebagai bahan pembentuk cangkang. Pembelahan sel pada diatom ini sama seperti pembelahan sel diatom pada

chaetocerosumumnya, dimana satu sel induk yang membelah akan menghasilkan dua sel anak. Satu sel anak mendapatkan tutup kotak (epiteka) akan berkembang menyerupai ukuran sel induknya, sedangkan sel anak yang mendapatkan dasar kotak (hipoteka) akan tumbuh lebih kecil dari sel induk. Pembelahan sel ini akan terus berlanjut sampai ukuran sel semakin kecil (Djarijah, 2006). Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), pembelahan sel Chaetoceros sp. yang dilakukan secara terus menerus akan menyebabkan ukuran sel menjadi semakin kecil, dan sampai batas ukuran tertentu, pembelahan sel ini akan berhenti sebentar dan berganti menjadi reproduksi secara seksual melalui pembentukan auxospora dimana isi sel (sel anak) akan keluar dari cangkang dan akan tumbuh membesar hingga ukurannya sama dengan ukuran sel induk semula dan kemudian sel ini akan melakukan reproduksi secara aseksual kembali yakni melalui pembelahan sel.

2.3 Pertumbuhan Menurut Effendie (1997), bahwa pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor baik itu faktor yang berasal dari individu itu sendiri maupun berasal dari faktor luar atau faktor lingkungan. Faktor dalam umumnya adalah yang sulit dikontrol seperti keturunan, sex, umur, parasit dan penyakit, sedangkan faktor luar meliputi makanan dan lingkungan perairan. Cahyaningsih, dkk (2005), menyatakan bahwa selama masa inkubasi fitoplankton mengalami proses pertumbuhan yang di bagi menjadi 4 fase (Gambar 2.) yaitu :

Gambar 2. Grafik Pertumbuhan Fitoplankton Ket : 1. Fase Adaptasi 2. Fase Logaritmik/eksponensial 3. Fase Stasioner 4. Fase Kematian

Fase Adaptasi Disebut juga lag fase yakni pada fase ini sel melakukan adaptasi terhadap lingkungannya dan mulai melakukan metabolisme namun belum terjadi pertambahan sel. Fase Logaritmik/eksponensial Fase ini merupakan fase dimana pertumbuhan fitoplankton terjadi dengan cepat sehingga terjadi pertambahan jumlah sel yang sangat signifikan. Fase Stasioner

chaetocerosFase stasioner atau yang sering disebut fase pertumbuhan tetap ialah fase dimana laju reproduksi seimbang dengan laju kematian. Fase ini merupakan puncak pertumbuhan populasi fitoplankton. Fase Kematian Fase kematian ialah fase dimana laju pertumbuhan lebih kecil dari pada laju kematian, karena disebabkan oleh penurunan kemampuan metabolisme dari fitoplankton.

2.4 Kultur Chaetoceros sp. 2.4.1 Media Kultur Pertumbuhan fitoplankton sangat tergantung pada nutrisi atau unsur hara baik makro maupun mikro yang terkandung dalam media kultur. Unsur hara makro meliputi nitrat, posfat dan silikat sebagai dasar nutrient utama, unsur hara mikro berupa treace element yang meliputi besi, molybdenum, copper, zinc dan cobalt. Vitamin B1, B12 dan biotin juga merupakan mikro nutrient yang dibutuhkan (Cahyaningsih, 2006). Media kultur Chaetoceros sp. berupa air laut yang telah steril dengan salinitas 25 30. Sterilisasi air laut dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain dengan perebusan, sinar ultra violet (UV), ozonisasi dan chlorinisasi (Sudjiharno,2002). Selanjutnya dikemukanan bahwa air laut yang telah steril kemudian diberi pupuk. Chaetoceros sp. membutuhkan bahan organik dalam media hidupnya untuk tumbuh dan berkembang biak, oleh karena itu dalam media kulturnya perlu diperkaya dengan beberapa unsur hara. Unsur hara yang dibutuhkan adalah Nitrat (NO3), Posfat (PO4), Kalium (K) dan Silikat (SiO3) (Miguel, 1980 dalam Muhaimin, 2008). Menurut Cahyaningsih dkk (2005), Chaetoceros sp. Akan tumbuh dan berkembang biak jika air media hidupnya dipupuk dan mendapat cahaya yang cukup. Pupuk yang digunakan adalah 40 50 ppm KNO3(kalium nitrat), 20 25 ppm NaH2PO4 (natrium hidro phosfat), 10 15 ppm Na2SiO3(Silikat), 1 5 ppm FeCl3(besi klorida) dan 1 5 ppm EDTA. Kultur diatom skala laboraturium dapat menggunakan pupuk dengan komposisi KNO3 80 100 ppm, NaH2PO4 10 15 ppm, Na2SiO3 10 15 ppm, FeCl3 5 10 ppm dan EDTA 5 10 ppm. Sedangkan untuk kultur semi missal digunakan pupuk Urea 60 g/ton, NaH2PO4 8 g/ton, Na2SiO3 6 g/ton, FeCl3 1 g/ton dan EDTA 5 g/ton (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Menurut Sudjiharno (2002), pupuk yang digunakan pada kultur fitoplankton skala laboraturium terbuat dari bahan kimia PA (pro analis) dengan dosis pemakaian 1 ml pupuk untuk 1 lt volume kultur. Untuk mempermudah pemakaiannya, pupuk terlebih dahulu dibuat stok pupuk cair. Sehubungan dengan hal tersebut Helyar (1997) dalam Muhaimin (2008) menyatakan bahwa pupuk cair mudah menyatu dengan media kultur dan kepekatannya dapat diatur sesuai dengan yang dibutuhkan.

2.4.2 Cara Kultur Menurut Sudjiharno (2002), kultur fitoplankton memerlukan kondisi lingkungan yang terkendali, olehnya itu

chaetocerosperlu dilengkapi dengan AC (Air Conditioner) agar suhu ruangan selalu terkendali dan ruangan terisolasi dari lingkungan luar yang dapat menyebabkan kontaminasi. Lebih lanjut ditambahkan bahwa dalam kultur skala laboraturium, kesterilan alat, bahan dan air media yang akan digunakan sangat dibutuhkan sehingga bebas dari kontaminasi organisme lain seperti jenis fitoplankton lainnya, zooplankton, protozoa dan bakteri yang bisa menjadi kompetitor dan predator bagi fitoplankton yang dikultur. Kultur Chaetoceros sp. skala laboraturium dilakukan dengan beberapa tahapan yakni tahap isolasi, kultur di media agar dan kultur di media cair. Kultur Chaetoceros sp. di media cair dilakukan secara bertahap atau dilakukan dengan kultur bertingkat dimulai dari kultur dalam tabung reaksi volume 10 ml (test tube) sampai kultur pada wadah yang lebih besar mulai dari 100 ml 5 liter (isnansetyo dan kurniastuty, 1995). Selanjutnya dikemukanan bahwa sebelum dilakukan penebaran bibit/inokulum, air media yang telah disterilkan perlu dipupuk terlebih dahulu. Menurut Gusrina (2008), penebaran bibit fitoplankton harus dilakukan secara tepat, dimana bibit yang akan ditebar ke dalam media harus yang sudah dewasa. Volume bibit atau jumlah bibit yang yang dibutuhkan untuk penebaran dapat dihitung dengan rumus : V1N1= V2N2 Dimana : V1 : Volume bibit yang diperlukan (ml) V2 : Volume kultur yang dibuat dalam gelas erlemeyer (ml) N1 : Jumlah bibit per cc yang ditebar (sel/ml) N2 : Jumlah bibit yang dikehendaki (sel/ml). 2.5 Kualitas Air 2.5.1 Suhu Suhu merupakan salah satu faktor fisik yang sangat menentukan tingkat kulaitas air suatu perairan khususnya media budidaya. Suhu secara tidak langsung merupakan faktor pembatas bagi organisme yang dibudidayakan. Baik suhu tinggi maupun suhu rendah mempengaruhi pertumbuhan dari organisme yang dibudidaya (Lesmana, 2005). Lebih lanjut ditambahkan bahwa suhu lingkungan sangat mempengruhi metabolisme organisme, konsumsi oksigen dan fisiologi tubuh akan mengalami kerusakan bahkan menyebabkan kematian. Suhu memberikan peranan penting dalam kultur fitoplankton, karena sangat mempengaruhi aktifitas enzim dalam metabolisme sel (Graffith, 1983 dalam Nurliati, 1995). Selanjutnya dikemukakan bahwa semua spesies Chaetoceros sp. Toleran terhadap suhu tinggi. Menurut Cahyaningsih, dkk (2005), Chaetoceros sp. toleran terhadap suhu tinggi. Pada suhu 400C spesies ini dapat hidup tetapi tidak dapat berkembang. Chaetoceros sp. Tumbuh normal pada kisaran suhu 20 300C dan tumbuh optimum pada kisaran suhu 25 - 300C. 2.5.2 Salinitas Salinitas merupakan salah satu faktor pembatas pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton. Perubahan

chaetocerossalinitas secara langsung menyebabkan perubahan tekanan osmose di dalam sel fitoplankton sehingga aktifitas sel menjadi terganggu. Fluktuasi salinitas juga dapat mempengaruhi pH sitoplasma sel dan menurunkan kegiatan enzim (Sudjiharno, 2002). Menurut Isnansetyo dan kurniastuty (1995), Chaetoceros sp. tergolong spesies yang euryhaline. Toleransi salinitasnya sangat lebar yakni 6 50, Chaetoceros sp. salinitas optimal untuk pertumbuhan optimal dari Chaetoceros sp. adalah 17 - 25 . 2.5.3 pH Menurut Kordi (2004) pH air mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan jasad renik. Perairan asam akan kurang produktif pada pH rendah (keasaman tinggi) karena kandungan oksigen terlarut (DO) akan berkurang dan akibatnya konsumsi oksigen menurun, aktifitas pernapasan naik dan selera makan organisme akuatik akan berkurang. Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu faktor yang berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan dan produksi diatom. Pada saat peningkatan pH melewati titik ambang maksimum maka kecepatan tumbuh diatom akan menurun (Angka dkk, 1976 dalam Nurliati, 1995). Selanjutnya ditambahkan oleh Pescod (1973) dalam Nurliati (1995) bahwa pH yang ideal untuk pertumbuhan diatom adalah 6,5 8,5.

2.6 Hipotesis Penambahan dosis nitrat yang berbeda pada media kultur memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan Chaetoceros sp.

III. MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian rencananya akan dilaksanakan pada bulan November sampai dengan Desember 2009. Penelitian bertempat di Balai Benih Ikan Pantai (BBIP), Kelurahan Kampal, Kecamatan Parigi Utara, Kabupaten Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah.

3.2 Materi Penelitian 3.2.1 Organisme Uji Organisme uji yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah diatom jenis Chaetoceros sp. 3.2.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah toples (wadah penelitian), selang dan kran aerasi, blower, lampu TL 20 watt, mikroskop, cover glass, haemocytometer, gelas ukur, pipet skala, pipet tetes, tissue, pH meter, termometer, refraktometer. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Bibit Chaetoceros sp., air laut, air tawar, pupuk dengan komposisi : Nitrat dan Posfat (NP), Silikat, Treace metal dan Vitamin.

chaetoceros3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Perlakuan Perlakuan yang akan dicobakan selama penelitian adalah : Perlakuan A : Tanpa penambahan nitrat Perlakuan B : Penambahan nitrat dengan dosis 25 ppm Perlakuan C : Penambahan nitrat dengan dosis 50 ppm Perlakuan D : Penambahan nitrat dengan dosis 75 ppm Perlakuan E : Penambahan nitrat dengan dosis 100 ppm

3.3.2 Cara Kerja

Hal yang pertama dilakukan adalah menyiapkan wadah dan peralatan yang akan digunakan. Wadah yang digunakan berupa toples plastik berkapasitas 1 liter, wadah dan peralatan yang akan digunkan terlebih dahulu disucihamakan dengan menggunakan deterjen dan kaporit sebanyak 100 ppm. Selanjutnya wadah dan peralatan tersebut dinetralkan dengan natrium thiosulfat 50 ppm. Wadah yang telah disiapkan diisi dengan air laut steril sebanyak 900 ml. Kemudian ke dalam wadah yang berisi air media ditambahkan pupuk dengan komposisi : Nitrat posfat (NP), silikat, treace metal dan vitamin. Masing-masing pupuk ditambahkan sebanyak 1 ml ke dalam air media. Setelah itu dilakukan penebaran bibit Chaetoceros sp. sebanyak 80 x 104 sel/ml untuk setiap wadah penelitian. Hal ini sesuai dengan pendapat Nukiyama (1976) dalam Muhaimin (2008) bahwa dalam kultur Chaetoceros sp. digunakan air laut sebanyak 80 90% dengan padat penebaran awal 100.000 800.000 sel/ml. Wadah tersebut kemudian diletakkan pada rak-rak kultur lalu diberi pencahayaan dengan lampu TL 20 watt sebanyak 2 buah untuk setiap perlakuan. Selama penelitian berlangsung wadah ditutup dan air medianya diberi aerasi terus menerus untuk menghindari pengendapan Chaetoceros sp. dan juga untuk menyuplai CO2.

3.3.3 Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) menggunakan 5 perlakuan dengan masing-masing 4 ulangan, sehingga banyaknya satuan percobaan adalah 20 unit.

3.4 Parametar yang Diamati 3.4.1 Kepadatan Chaetoceros sp. Pertumbuhan fitoplankton dalam kultur dapat ditandai dengan bertambah banyaknya jumlah sel (kepadatan sel) (Takdir, 1990). Pertumbuhan populasi Chaetoceros sp. pada penelitian ini dilakukan setiap 12 jam sekali dengan mengambil air sampel sebanyak 1 ml/unit percobaan. Untuk menghitung kepadatan sel Chaetoceros sp. digunakan haemocytometer. Mula-mula air sampel

chaetocerosdiambil dengan menggunakan pipet kemudian ditetskan diatas haemocytometer, selanjutnya kepadatan sel dihitung dibawah mikroskop dengan bantuan alat penghitung (hand counter). Kepadatan sel populasi Chaetoceros sp. Untuk setiap ml nya dihitung dengan menggunakan rumus menurut Mudjiman (2007 ).

Sel/ml = N x 104 Dimana : N = jumlah rata-rata sel. 3.4.3 Pengukuran Kualitas Air Parameter kualitas air yang diamati dalam penelitian ini adalah Suhu, pH dan salinitas. Parameter kualitas air, alat yang digunakan, dan waktu pengamatan tercantum pada Tabel 2. berikut : Tabel 2. Parameter Kualitas Air yang Diukur , Alat/Metode yang Digunakan, dan Waktu Pengamatan Selama Penelitian Parameter Alat/Metode Waktu Pengamatan Keterangan Suhu (0C) pH

Salinitas Termometer pH meter/kertas lakmus

Refraktometer Setiap Hari Setiap Hari

Setiap Hari Pagi dan sore Pagi dan sore

Pagi dan sore

3.5 Analisa Data Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan model matematik menurut Gaspersz (1991), yaitu sebagai berikut : Yij = + i + ij Dimana : Yij : Respon terhadap perlakuan ke-i pada ulangan ke-j : Nilai Tengah Umum Populasi i : Pengaruh Aditif Perlakuan ke-i ij : Galat Percobaan dari perlakuan ke- i pada ulangan ke- j dengan asumsi ij ~ NI (=0; 2)

chaetocerosi : Perlakuan (1,2,3, 4) j : Ulangan (1,2,3,4) Jika terdapat pengaruh nyata dari perlakuan yang diberikan, maka akan dilanjutkan dengan uji BNJ (Beda Nyata Jujur).

DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar, Y., 2003. Menghasilkan Pakan Alami Untuk Ikan Hias. Agromedia Pustaka, Jakarta.

Cahyaningsih, S., Achmad, N.,Sugeng, J.P., 2005. Kultur Murni Phytoplankton. Departemen kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Balai Budidaya Air Payau Situbondo.

Cahyaningsih, S., 2006. Petunjuk Teknis Produksi Pakan Alami. Departemen kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Balai Budidaya Air Payau Situbondo.

Djarijah, A.S., 1995. Pakan Ikan Alami. Kanisius, Yogyakarta.

Effendie, M. I., 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta. Gaspersz, 1991. Metode Rancangan Percobaan (Untuk Ilmu-Ilmu Pertanian, Ilmu-Ilmu Teknik dan Biologi). CV. Armico. Bandung.

Gusrina, 2008. Budidaya Ikan Jilid II. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.

Haryati, 1980. Percobaan Penggunaan Beberapa Macam Komposisi Media Terhadap Pertumbuhan populasi monokultur Skeletonema costatum Greville. UNDIP-Press. Semarang.

http://www.dszoo.com/forum/archive/index.php?t-114.html. diakses tanggal 3 Juni 2009

http://www.fishexp.pref.hokkaido.jp/shidousyo/fishery/j_kaki/pic06_b.jpg diakses tanggal 6 November 2009.

Isnansetyo, A & Kurniastuti, 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton Pakan Alami Untuk Pembenihan Organisme Laut. Kanisius. Yogyakarta.

Khairuman dan Amri, K., 2005. Membuat Pakan Ikan Konsumsi. Argomedia Pustaka, Jakarta.

chaetoceros

Kordi, G. H., 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Rineka Cipta, Jakarta.

Lesmana, D. S., 2005. Kualitas Air Untuk Ikan Hias Air Tawar. Penebar Swadaya, Jakarta.

Mudjiman, A., 2007. Makanan Ikan Edisi Revisi. Penebar Swadaya, Jakarta.

Muhaimin, M. I., 2008. Pengaruh Konsentrasi Posfat pada Formula Pupuk Conway terhadap Pertumbuhan Chaetoceros sp. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Muslim Indonesia, Makassar.

Nurliati, A., 1995. Pengaruh Dosis Abu Sekam Padi Terhadap Pertumbuhan Chaetoceros sp. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Muslim Indonesia, Makassar.

Sudjiharno, 2002. Budidaya Fitoplankton dan Zooplankton. Departemen kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Balai Budidaya Laut Lampung.

Sumeru, S.U. dan Anna, S., 1992. Pakan Udang Windu (Penaeus monodon). Kanisius, Yogyakarta.

Takdir, 1990. Pengaruh Abu Sekam Padi Terhadap Pertumbuhan Chaetoceros sp. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai, Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Maros.

Yunus, 1992. Pengaruh Salinitas yang Berbeda terhadap Pertumbuhan Chaetoceros ceratosporum di Laboraturium. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai, Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Maros. Diposkan oleh QfLy Andis di 21:16 Label: chaetoceros sp, nitrat,pertumbuhan 0 komentarSenin, 09 November 2009

AlkalinitasI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagian besar dari permukaan bumi kita tertutup oleh air, air yang ada di permukaan bumi kita ini memiliki kegunaan masing-masing. Baik itu untuk konsumsi maupun untuk budidaya. Baik itu untuk konsumsi maupun untuk budidaya, air mesti memenuhi syarat-syarat tertentu yang dinamakan tingkat kualitas air. Kualitas air merupakan aspek yang sangat penting untuk diperhatikan dan dijaga agar dapat dimanfaatkan dengan baik, oleh kita maupun oleh generasi kita kedepan. Khusunya untuk usaha budidaya, kualitas air suatu perairan sangatlah menentukan keberhasilan budidaya

chaetocerositu sendiri. Karena hal ini secara langsung berhubungan dengan organisme yang dibudidaya. Salah satu parameter kualitas air yang sangat berperan dalam usaha budidaya itu sendiri yakni alkalinitas. Alkalinitas merupakan kuantitas anion dalam perairan yang dapat menetralkan kation hydrogen sehingga tingkat keasaman suatu perairan dapat dinetralisir (Effendi, 2007). Alkalinitas selain berhubungan dengan pH air tentunya sangat berpengaruh pada tingkat produktivitas perairan. Berdasarkan kenyataan tersebut diatas serta mengingat bahwa saat ini kulitas air merupakan salah satu masalah yang sangat krusial baik itu dikalangan masyarakat pada umumnya maupun masyarakat perikanan pada khususnya, maka penting kiranya bagi kita untuk mempelajari tentang kualitas itu sendiri agar pengaruh yang ditimbulkan akibat penurunan tingkat kualitas itu sendiri dapat diminimalisir. 2.1 Tujuan dan Kegunaan Tujuan dari praktikum kali ini adalah untuk mengetahui jumlah kation dan anion yang terkadung dalam air sampel melalui titrasi H2SO4 dengan indikator PP dan MO. Sedangkan kegunaan dari praktikum kali ini adalah agar mahasiswa dapat mengetahui cara mengukur kadar kartion dan anion (alkalinitas) yang terkandung dalam air sampel.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Effendi (2003), alkalinitas merupakan kapasitas penyangga (buffer capacity) terhadap pH perairan yang terdiri atas anion-anion seperti anion bikarbonat (HCO3-), karbonat (CO32-) dan hidroksida (OH-). Borat (H2BO3-), silikat (HSiO3-), fosfat (HPO42- dan H2PO4-) sulfide (HS-) dan amonia (NH3) dalam perairan yang dapat menetralkan kation hydrogen. Namun pembentuk alkalnitas yang utama adalah bikarbonat, karbonat dan hidroksida. Pada suatu perairan yang terdapat bikarbonat memiliki nilai alkalinitas total yang tinggi berperan sebagai penyangga (buffer capacity) perairan terhadap perubahan pH yang dratis. Peristiwa yang menjadikan perairan dengan nilai alkalinitas total tinggi tidak mengalami perubahan pH secara dratis, yakni apa bila basa kuat ditambahkan ke dalam perairan, maka baa tersebut akan bereaksi dengan asam karbonat membentuk garam bikarbonat dan akhirnya menjadi karbonat. Jika asam ditambahkan ke dalam perairan maka asam tersebut akan digunakan untuk mengonversi karbonat menjadi bikarbonat dan bikarbonat menjadi asam karbonat (Cole, 1988 dalam Effendi, 2003). Alkalinitas merupakan total konsentrasi basa-basa dalam air yang secara langsung berhubungan dengan keasaman air yakni sebagai buffer capacity. Besarnya nilai alkalinitas merupakan daya sanggah perairan itu serta dapat pula digunakan untuk menduga kesuburan perairan tersebut (Lesmana, 2005). Menurut Mintardjo (1984), ikan tumbuh pada kisaran alkalinitas yang lebar tetapi nilai 120 400 mg/l adalah optimal. Pada alkalinitas sangat rendah, air kehilangan kemampuan menyangga perubahan keasaman dan pH dapat berfluktuasi sangat cepat dan lebar sehingga dapat mengangu kehidupan ikan budidaya. Ikan sangat sensitive pada kondisi kadar alkalinitas yang rendah.

chaetocerosKesadahan karbonat (KH) sering disebut juga disebut alkalinitas yaitu suatu kemampuan air untuk mengikat kemasaman (ion-ion yang mampu mengikat H+). Oleh Dalam hubungannya dengan kemampuan air mengikat kemasaman, alkalinitas berperan sebagai agen pem-buffer-an yang berfungsi untuk menjaga kestabilan pH. Untuk menaikkan kesadahan karbonat dapat dilakukan dengan menambahkan natrium bikarbonat (soda kue), atau kalsium karbonat. Penambahan kalsium karbonat akan menaikan sekaligus baik KH (Kesadahan karbonat) (Anonim, 2007). Menurut Kordi (2000), pada proses pembentukan garam mineral dalam perairan sangat ditentukan oleh tingkat alkalis perairan tersebut. Agar pembentukan garam mineral bejalan dengan baik, perairan harus cukup alkalis karena air yang alkalis dapat menyebabkan perombakan bahan-bahan organik menjadi mineral berlangsung dengan cepat. Menurut Sastrawijaya (2000), besarnya pH berkisar dari 0 (sangat masam) sampai dengan 14 (sangat basa/alkalis). Nilai pH yang kurang dari 7 menunjukkan lingkugan yang masam sedangkan nilai diatas 7 menunjukkan lingkungan yang basa (alkali). Sedangkan ph 7 disebut netral. Fluktuasi pH air sangat ditentukan oleh alkalinitas air tersebut. Apabila alkalinitasnya tinggi, maka air tersebut akan mudah mengembalikan pH nya kenilai semul

III. METODE PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat Praktikum kualitas air tentang alkalinitas ini dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 28 Maret 2007, yang dimulai dari pukul 14.00 WITA sampai dengan selesai. Praktikum ini bertempat di Laboratorium Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu.

3.2 Alat dan Bahan Bahan yang digunakan dalam praktikum ini, yaitu indikator phenolphthalein (PP), indikator methyl orange (MO) dan H2SO4 0,1 N. Sedangkan alat yang digunakan yaitu Labu Erlenmeyer, labu semprot, gelas ukur dan pipet tetes dan buret.

3.3 Prosedur Kerja Pada percobaan tentang alkalinitas yang pertama kali dilakukan yaitu air sample di ambil sebanyak 100 ml dan dimasukkan kelabu Erlenmeyer kemudian ditetesi dengan larutan larutan indikator PP sebanyak 5 tetes. Setelah itu larutan dititrasi dengan H2SO4 sampai warna pinknya hilang (P), setelah itu ditambahkan 5 tetes larutan indikator methyl orange (MO) dan kemudian ditetesi lagi dengan H2SO4 sampai berwarna orange. H2SO4 (B) yang terpakai dicatat.

3.4 Analisa Data

chaetoceros

3.4.1 Sampel 1

PP Alkalinity

Ket : P = Volume Peniter (ml) N = Normalitas Peniter (H2SO4 0,02 N) V = Volume air sample (ml) Total Alkalinity

Ket :

M,P,B = Volume Peniter (ml) N = Normalitas Peniter (H2SO4 0,02 N) V = Volume air sample 3.4.2 Sampel 2

PP Alkalinity

Ket : P = Volume Peniter (ml) N = Normalitas Peniter (H2SO4 0,02 N) V = Volume air sample (ml) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Berdasarkan kegiatan praktikum yang telah dilakukan maka, diperoleh hasil sebagai berikut : No. Volume Sampel Volume Peniter PP Alkalinitas Total Alkalinitas 1.

chaetoceros100 ml 24,5 ml 28 mg/l CaCO3 245 mg/l CaCO3 2. 50 ml 12,25 ml 12 mg/l CaCO3 245 mg/l CaCO3 Rata - rata 18,375 ml 20 mg/l CaCO3 245 mg/l CaCO3

4.2 Pembahasan Akalinitas merupakan kemampuan anion-anion dalam perairan untuk mengikat atau menetralisir kation hydrogen, sehingga pH atau keasaman perairan dapat dikontrol atau dinetralisir (Lesmana, 2005). Alkalinitas suatu perairan ditentukan oleh keberadaan ion karbonat, bikarbonat, suatu perairan. Alkalinitas dalam suatu perairan berasal dari karbondioksida dan air yang dapat melarutkan sedimen batuan karbonat menjadi bikarbonat (Effendi, 2007), karbondioksida diperairan bereaksi dengan basa yang terdapat pada batuan dan tanah membentuk bikarbonat . Berikut ini contoh reaksi pelarutan batuan karbonat. CaCO3 + CO2 + H2O Ca+2 + 2HCO3Reaksi diatas merupakan reaksi pelarutan kalsium karbonat menjadi kalsium dan bikarbonat. Pada praktikum yang kami lakukan didapatkan total alkalinitas sebesar 245 mg/l CaCO3 hal ini menunjukkan bahwa perairan tersebut memiliki tingkat keasamaan yang cukup stabil. Hal ini sesuai dengan pendapat Mintardjo (1984), bahwa air yang memiliki kiasaran nilai alkalinitas antara 120 400 mg/l optimal untuk dijadikan media budidaya. Alkalinitas dalam suatu perairan merupakan system penyangga (buffer) agar perubahan pH tidak terlalu besar sehingga tidak menggangu bagi organisme perairan terutama bagi organisme budidaya. Dalam usaha budidaya, pada saat pertumbuhan algae pesat, pH air akan meningkat yang diiringi dengan penurunan kadar karbondioksida karena pertumbuhan algae ini secara langsung memanfaatkan karbondioksida untuk melakukan proses fotosintesis. Pada kondisi dimana kadar karbondioksida perairan menurun akibat aerasi secara kontinu, algae menggunakan bikarbonat dan karbonat sebagai sumber karbon. Sehingga disini peran alkalinitas sebagai penyangga perubahan pH sangat berperan.

chaetocerosV. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil praktikum yang dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : a) Alkalinitas berasal dari karbondioksida dan air melalui pelapukan batuan karbonat menjadi bikarbonat. b) Nilai alkalinitas suatu perairan yang baik untuk kehidupan organisme perairan berkisar antara 120 400 mg/l. Nilai alkalinitas yang diperoleh pada saat praktikum sebesar 245 mg/l hal ini menunjukkan bahwa air sampel ini cocok untuk dijadikan media budidaya.

5.2 Saran Sebagai praktikan saya menyarankan agar kiranya praktikum ini lebih khususnya praktikum tentang alkalinitas dapat diterapkan dilapangan mengingat alkalinitas ini merupakan salah satu parameter yang sangat menunjang bagi keberlangsungan usaha budidaya. Diposkan oleh QfLy Andis di 01:27 Label: Alkalinitas 0 komentar Beranda

Langgan: Entri (Atom)