sepsis kel. 6

51
MAKALAH PATOFISOLOGI SEPSIS Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Patofisiologi Disusun oleh : Kelompok 6 – Kelas A Eni Herdiani 260110120026 Tazyinul Qoriah Alfauziah 260110120027 Novia Eka Putri 260110120028 Riza Yuniar 260110120029 Sani Asmi Ramdani Lestari 260110120030 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PADJADJARAN

Upload: tazyinul-qoriah-alfauziah

Post on 29-Dec-2015

78 views

Category:

Documents


17 download

TRANSCRIPT

MAKALAH PATOFISOLOGI

SEPSISDisusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Patofisiologi

Disusun oleh :

Kelompok 6 – Kelas A

Eni Herdiani 260110120026

Tazyinul Qoriah Alfauziah 260110120027

Novia Eka Putri 260110120028

Riza Yuniar 260110120029

Sani Asmi Ramdani Lestari 260110120030

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

JATINANGOR

2014

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT. yang telah

memberikan nikmat-Nya pada penulis sehingga makalah ini dapat terselesaikan

tepat waktu. Makalah yang berjudul “SEPSIS” ini dibuat untuk memenuhi tugas

mata kuliah Patofisiologi. Selain itu, dengan disusunnya makalah ini dapat

membantu kami dalam menambah wawasan dalam bidang farmakologi sendiri.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Tak ada gading

yang tak retak. Makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,

penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dari pembaca.

Semoga dengan adanya makalah ini, kebutuhan pembaca untuk

mencari informasi dapat terpenuhi dan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu

pengetahuan.

Jatinangor, Maret 2014

Tim Penulis

2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2

DAFTAR ISI 3

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang 4

1.2 Tujuan 5

1.3 Rumusan Masalah 5

BAB II Pembahasan

2.1 Definisi dan Epidemiologi 6

2.2 Etiologi Sepsis 10

2.3 Prognosis 16

2.4 Patofisiologi 18

2.5 Tanda dan Gejala 21

2.6 Diagnosis 23

2.7 Terapi Pengobatan 23

BAB III Penutup 32

DAFTAR PUSTAKA 33

3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Terdapat beberapa hal yang menjadi pertanyaan mengenai keadaan

fisik pasien-pasien bedah dengan keadaan yang sakit parah. Pasien tersebut

menunjukkan pola gejala-gejala klinis takipnea, takikardi, demam, diaforesis

dan lekositosis yang biasanya berhubungan dengan infeksi lokal yang parah,

bakteriemia, diseminasi produk sel mikroba (endotoksin) atau kombinasi dari

keadaan tersebut. Pasien-pasien tersebut umumnya kita hubungkan dengan

suatu diagnosis “sepsis” atau “septikemia”. Istilah ini secara tradisional

memberikan pengertian suatu manifestasi klinis yang menggambarkan infeksi

invasif yang tidak terkendali yang akibatnya menjadi suatu manifestasi

sistemik penyakit tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa proses

infeksi yang terjadi mengalami perubahan dari lokal menjadi sistemik. Bukti-

bukti telah menunjukkan bahwa reaksi sistemik sepsis bukan merupakan

reaksi spesifik atas suatu jenis mikroba tetapi merupakan reaksi non-spesifik

host (pasien). Bakteri, jamur maupun virus dapat mendatangkan respon

sistemis yang sama pada host.

Reaksi inflamasi yang bersifat non-spesifik menjadi dasar atas semua

peristiwa ini. Dengan demikian setiap peristiwa yang dapat membangkitkan

reaksi inflamasi, walaupun secara lokal (seperti trauma tumpul, luka bakar)

bila terjadi secara hebat, dapat mengaktifkan reaksi sistemik yang

menunjukkan suatu kumpulan gejala klinis “sepsis”, tanpa ditemukannya

mikroba patogen sebagai penyebab. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

“sepsis” yang disebabkan infeksi mikroba dan aseptik “sepsis” yang

disebabkan stimulus lain memberikan gambaran klinis yang serupa yaitu suatu

respons sistemik host terhadap reaksi inflamasi sistemik.

Kata “sepsis” pertama kali digunakan oleh Hippocrates, lebih dari dua

milenium yang lalu, untuk menggambarkan proses penguraian jaringan

dengan hasil akhir penyakit, bau yang tidak sedap dan kematian. Sepsis

4

merupakan lawan dari “pepsis” yang berarti proses penguraian jaringan yang

memberikan kehidupan yang berhubungan dengan pencernaan makanan atau

fermentasi anggur untuk menghasilkan wine. Dengan berhasil

diidentifikasikannya mikroorganisme sebagai penyebab infeksi, kata sepsis

lalu mempunyai pengertian infeksi mikroba yang berat, sementara septikemia

mempunyai arti keberadaan atau invasi bakteri di dalam sirkulasi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi dan terminologi sepsis

2. Apa saja penyebab sepsis

3. Bagaimana patofisiologi sepsis

4. Apa tanda dan gejala sepsis

5. Cara diagnosis apa saja yang dapat dilakukan

6. Bagaimana terapi pengobatan sepsis

1.3 Tujuan

Tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk menambah wawasan mengenai

sepsis di bidang Patofisiologi.

5

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi dan Epidemiologi Sepsis

Sepsis adalah penyakit yang umum di perawatan intensif dimana

hampir 1/3 pasien yang masuk ICU adalah sepsis. Sepsis merupakan satu di

antara sepuluh penyebab kematian di Amerika Serikat. Angka kejadian sepsis

meningkat secara bermakna dalam dekade lalu. Telah dilaporkan angka

kejadian sepsis meningkat dari 82,7 menjadi 240,4 pasien per 100.000

populasi antara tahun 1979 – 2000 di Amerika Serikat dimana kejadian

Severe sepsis berkisar antara 51 dan 95 pasien per 100.000 populasi.

Dalam waktu yang bersamaan angka kematian sepsis turun dari 27,8%

menjadi 17,9%. Jenis kelamin, penyakit kronis, keadaan imunosupresi, infeksi

HIV dan keganasan merupakan faktor yang dapat meningkatkan risiko

terjadinya sepsis. Beberapa kondisi tertentu seperti gangguan organ secara

progresif, infeksi nosokomial dan umur yang lanjut juga berhubungan dengan

meningkatnya risiko kematian. Angka kematin syok septik berkurang dari

61,6% menjadi 53,1%. Turunnya angka kematian yang diamati selama dekade

ini dapat disebabkan karena adanya kemajuan dalam perawatan dan

menghindari komplikasi iatrogenik. Seperti contoh pengembangan protokol

early goal resuscitation tidak bertujuan untuk mencapai target supranormal

untuk curah jantung dan pengangkutan oksigen.

Sejak 2002 The Surviving Sepsis Campaign telah diperkenalkan

dengan tujuan awal meningkatkan kesadaran dokter tentang mortalitas Severe

sepsis dan memperbaiki hasil pengobatan. Hal ini dilanjutkan untuk

menghasilkan perubahan dalam standar pelayanan yang akhirnya dapat

menurunkan angka kematian secara bermakna.

Sepsis merupakan respon sistemik pejamu terhadap infeksi dimana

patogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi

aktivasi proses inflamasi. Berbagai definisi sepsis telah diajukan, namun

6

definisi yang saat ini digunakan di klinik adalah definisi yang ditetapkan

dalam consensus American College of Chest Physician dan Society of Critical

Care Medicine pada tahun 1992 yang mendefinisikan sepsis, sindroma respon

inflamasi sistemik (systemic inflammatory response syndrome / SIRS), sepsis

berat, dan syok/renjatan septik.

Infeksi merupakan suatu fenomena mikrobiologi yang ditandai dengan adanya

invasi terhadap jaringan normal/sehat/steril oleh mikroorganisme atau hasil

produk dari mikroorganisme tersebut (toksin).

Bakteriemia berarti terdapatnya bakteri dalam aliran darah, akibat suatu fokus

infeksi yang disertai dengan adanya bakteri yang terlepas / lolos ke dalam

sistem sirkulasi.

SIRS (Sistemic Inflamatory Response Syndrome) adalah respon inflamasi

sistemik yang dapat dicetuskan oleh berbagai insult klinis yang berat. Respon

ini ditandai dengan dua atau lebih dari gejala-gejala berikut :

demam (suhu tubuh > 38 oC) atau hipotermia (< 36 oC)

takhikardi (denyut nadi > 90 x/menit)

takhipneu (frekuensi respirasi > 20 x/menit) atau Pa CO2 <32 torr (< 4.3

kPa)

leukositosis (jumlah leukosit >12000/mm3 ) atau leukopenia (jumlah

leukosit < 4000/mm3) atau adanya bentuk leukosit yang immature > 10%.

Sepsis adalah suatu SIRS yang disertai oleh suatu proses infeksi.

Sepsis Berat (Severe Sepsis) adalah bentuk sepsis yang disertai disfungsi

organ, hipoperfusi jaringan (dapat disertai ataupun tidak disertai keadaan

asidosis laktat, oliguria, gangguan status mental/kesadaran) atau hipotensi.

Syok Septik diartikan sebagai sepsis yang disertai dengan hipotensi dan

tanda-tanda perfusi jaringan yang tidak adekuat walaupun telah dilakukan

resusitasi cairan (asidosis laktat, oliguria, gangguan status mental/kesadaran).

Hipotensi adalah suatu keadaan yang ditandai dengan tekanan darah sistolik <

90 mmHg atau adanya penurunan > 40 mmHg dari tekanan darah dasarnya.

7

MODS (Multiple Organ Dysfunction Syndrome) adalah keadaan perubahan

fungsi organ dengan ditandai keadaan homeostasis tidak dapat dipertahankan

tanpa adanya intervensi terapi.

MOSF (Multiple Organ System Failure) adalah keadaan terganggunya sistem

organ sistemik pada keadaan akut walaupun telah dilakukan tindakan

stabilisasi homeostasis.

Tabel 1. Definisi Sepsis, SIRS, MODS

8

Berikut adalah diagram mengenai hubungan sepsis, infeksi, SIRS dan

penyakit infeksi lainnya (Sumber: ACCP/SCCM Consensus Conference):

Gambar 1. Hubungan antara SIRS, sepsis dan infeksi

Sepsis adalah penyakit yang berkontribusi pada lebih dari 200.000

kematian pertahun di Amerika Serikat. Insidensi sepsis, sepsis berat dan syok

septik meningkat selama 20 tahun terakhir, dan jumlah kasus >700.000 per

tahun (3 per 1000 penduduk). Sekitar dua pertiga kasus terjadi pada pasien

dengan penyakit terdahulu. Kejadian sepsis dan angka kematian meningkat

pada penderita usia lanjut dan sudah adanya komorbiditas sebelumnya.

Meningkatnya insiden sepsis berat di Amerika Serikat disebabkan oleh usia

penduduk, meningkatnya pasien usia lanjut menyebabkan meningkatnya

pasien dengan penyakit kronis, dan juga akibat berkembangnya sepsis pada

pasien AIDS. Meluasnya penggunaan obat antimikroba, obat imunosupresif,

pemakaian kateter jangka panjang dan ventilasi mekanik juga berperan.

Infeksi bakteri invasif adalah penyebab kematian yang paling sering di seluruh

9

dunia, terutama pada kalangan anak-anak. Setiap tahunnya sekitar 750.000

kasus sepsis berlanjut menjadi sepsis berat atau syok septik di Amerika

Serikat. Sepsis dapat menyebabkan kematian akibat miokard akut infark, syok

septik dan komplikasi sepsis yang paling umum terjadi meruoakan penyebab

kematian di unit perawatan intensif noncoronary. Terjadinya syok septik akan

meningkat jika dokter melakukan tindakan operasi yang lebih agresif,

organisme yang ada semakin resisten, dan penurunan daya tahan tubuh akibat

penyakit dan penggunaan obat imunosuppresan. Distrubusi sepsis

proporsional atau sebanding menurut jenis kelamin. Studi terbaru

menunjukkan bahwa Amerika Afrika memiliki insiden yang lebih tinggi dari

sepsis berat dibandingkan kulit putih (6 banding 3,6 per 1000 penduduk) dan

angka kematian yang tinggi di UPI (32.1%).

2.2 Etiologi Sepsis

Penyebab bakteriemia yang paling sering (70% sampai 80%) pada

pasien obstetrik adalah terjadinya endometritis setelah persalinan dengan

seksio sesaria; jadi tak mengherankan, mayoritas sepsis (80%) pada pasien

obstetrik terjadi pada periode postpartum.

Persalinan dengan seksio sesaria berhubungan dengan tingginya

insidensi bakteriemia dibandingkan dengan persalinan pervaginam (3% vs

0,1%); jadi persalinan dengan seksio sesaria adalah salah satu dari faktor

yang menyebabkan bakteriemia dan sepsis. Faktor risiko lain dimana

frekuensinya meningkat pada pasien obsteri yang menggunakan obat-obat

imunoprotektif atau sitotoksik, defisiensi imun dan penyakit kronis.

Seperti pada populasi non obstetrik, gram-negatif, kuman penghasil

endotoksin, basil aerobik (sebagian besar Enterobacteriaceae) adalah yang

paling sering ditemukan pada pasien obstetrik dengan bakteriemia atau sepsis.

Mayoritas dari mikroorganisme ini endogen dari flora vagina dan tidak

didapat dari nosokomial. Walaupun bakteri ini menyebabkan sampai 60%-

80% dari seluruh sepsis pada kehamilan, organisme lain dapat menyebabkan

10

sepsis; dan pada 20% dari kasus obstetri penyebab sepsis adalah polimikroba.

Walaupun jarang sepsis juga dapat disebabkan oleh jamur, virus, parasit dan

sampai 10% dari kasus infeksi tidak ditemukan penyebabnya.

Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram negative dengan

presentase 60-70% kasus yang menghasilkan berbagai produk yang dapat

menstimulasi sel imun yang terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi.

Gambar 2. Etiologi Sepsis

Tabel 2. Mikroorganisme yang sering menyebabkan sepsis.

Sistem pendekatan sepsis dikembangkan dengan menjabarkan menjadi

dasar predisposisi, penyakit penyebab, respons tubuh dan disfungsi organ

atau disingkat menjadi PIRO (predisposing factors, insult, response and organ

dysfunction)seperti pada tabel 3.

11

Gambar 3. Faktor predisposisi, infeksi, respon klinis, dan disfungsi organ

pada sepsis.

Tabel 3. Faktor predisposisi, infeksi, respon klinis, dan disfungsi organ pada

sepsis

Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit atau jamur dapat

menyebabkan infeksi berat yang mengarah pada terjadinya sepsis. Dalam

kajian ini, hanya membahas sepsis yang disebabkan oleh bakteri karena pada

kebanyakan kasus penyebab utama sepsis dan syok sepsis disebabkan oleh

bakteri.

12

Faktor-faktor yang mempengaruhi sepsis pada bayi baru lahir dapat di

bagi menjadi tiga kategori :

1. Faktor Maternal

a. Status sosial-ekonomi ibu, ras, dan latar belakang. Mempengaruhi

kecenderungan terjadinya infeksi dengan alasan yang tidak diketahui

sepenuhnya. Ibu yang berstatus sosio- ekonomi rendah mungkin

nutrisinya buruk dan tempat tinggalnya padat dan tidak higienis. Bayi

kulit hitam lebih banyak mengalami infeksi dari pada bayi berkulit

putih.

b. Status paritas (wanita multipara atau gravida lebih dari 3) dan umur ibu

(kurang dari 20 tahun atua lebih dari 30 tahun

c. Kurangnya perawatan prenatal.

d. Ketuban pecah dini (KPD)

e. Prosedur selama persalinan.

2. Faktor Neonatatal

a. Prematurius ( berat badan bayi kurang dari 1500 gram), merupakan

faktor resiko utama untuk sepsis neonatal. Umumnya imunitas bayi

kurang bulan lebih rendah dari pada bayi cukup bulan. Transpor

imunuglobulin melalui plasenta terutama terjadi pada paruh terakhir

trimester ketiga. Setelah lahir, konsentrasi imunoglobulin serum terus

menurun, menyebabkan hipigamaglobulinemia berat. Imaturitas kulit

juga melemahkan pertahanan kulit.2

b. Defisiensi imun. Neonatus bisa mengalami kekurangan IgG spesifik,

khususnya terhadap streptokokus atau Haemophilus influenza. IgG dan

IgA tidak melewati plasenta dan hampir tidak terdeteksi dalam darah

tali pusat. Dengan adanya hal tersebut, aktifitas lintasan komplemen

terlambat, dan C3 serta faktor B tidak diproduksi sebagai respon

terhadap lipopolisakarida. Kombinasi antara defisiensi imun dan

13

penurunan antibodi total dan spesifik, bersama dengan penurunan

fibronektin, menyebabkan sebagian besar penurunan aktivitas

opsonisasi

c. Laki-laki dan kehamilan kembar. Insidens sepsis pada bayi laki- laki

empat kali lebih besar dari pada bayi perempuan.

3. Faktor diluar ibu dan neonatal

a. Penggunaan kateter vena/ arteri maupun kateter nutrisi parenteral

merupakan tempat masuk bagi mikroorganisme pada kulit yang luka.

Bayi juga mungkin terinfeksi akibat alat yang terkontaminasi.5

b. Paparan terhadap obat-obat tertentu, seperti steroid, bis menimbulkan

resiko pada neonatus yang melebihi resiko penggunaan antibiotik

spektrum luas, sehingga menyebabkan kolonisasi spektrum luas,

sehingga menyebabkan resisten berlipat ganda.5

c. Kadang- kadang di ruang perawatan terhadap epidemi penyebaran

mikroorganisme yang berasal dari petugas ( infeksi nosokomial), paling

sering akibat kontak tangan.5

d. Pada bayi yang minum ASI, spesies Lactbacillus dan E.colli ditemukan

dalam tinjanya, sedangkan bayi yang minum susu formula hanya

didominasi oleh E.colli.5

Di Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-

RSCM pada tahun 2003, kuman terbanyak yang ditemukan berturut-turut

adalah Acinetobacter sp, Enterobacter sp, Pseudomonas sp. Data terakhir

bulan Juli 2004-Mei 2005 menunjukkan Acinetobacter calcoacetius paling

sering (35,67%), diikuti Enterobacter sp (7,01%), dan Staphylococcus sp

(6,81%).

Di FKUI/RSCM selama tahun 2002, kuman yang ditemukan berturut-

turut adalah Enterobacter sp., Acinetobacter sp., dan Coli sp., Coagulase-

negative staphylococci, Staphylococcus aureus, E. coli, Klebsiella,

Pseudomonas, Candida, Streptokokus Grup B, Serratia, Acinetobacter, dan

14

bakteri anaerob. Koloni-koloni kuman dapat ditemukan di kulit, saluran

napas, saluran cerna, konjungtiva, dan umbilikus yang selanjutnya dapat

menyebabkan SAL dari mikroorganisme yang invasif.

Di Inggris dan Wales, antara Januari 2006 dan Maret 2008, skema

pengawasan menerima 1516 laporan bakteri yang diisolasi dari kultur darah

yang diambil dari bayi yang umurnya <48 jam (onset awal) dan 3482 laporan

untuk bayi yang umurnya 2-28 hari (onset akhir). 51 jenis bakteri yang

dilaporkan untuk kedua kelompok umur. Mayoritas bakteri yang ditemukan

adalah bakteri gram positif (82% pada early onset dan 81% pada late onset).

Tabel 4. Jumlah bakteri yang diisolasi dari bayi <48 jam

15

Tabel 5. Bakteri yang diisolasi dari bayi 2-28 hari

2.3 Prognosis

Prognosis sepsis tergantung pada usia, riwayat kesehatan sebelumnya, status

kesehatan secara keseluruhan, seberapa cepat diagnosis dibuat, dan jenis

organisme yang menyebabkan sepsis. Untuk orang tua dengan banyak

penyakit atau untuk mereka yang sistem kekebalan tubuh tidak bekerja

16

dengan baik karena sakit atau obat-obatan tertentu dan sepsis maju, tingkat

kematian bisa setinggi 80%. Di sisi lain, bagi orang-orang sehat tanpa

penyakit sebelumnya, angka kematian mungkin rendah, sekitar 5%. Tingkat

kematian keseluruhan dari sepsis adalah sekitar 40%. Penting untuk diingat

bahwa prognosis juga tergantung pada keterlambatan dalam diagnosis dan

pengobatan. Semakin dini pengobatan dimulai, akan semakin baik hasilnya.

Prognosis dari pasien-pasien dengan sepsis dihubungkan ke keparahan

atau stadium dari sepsis serta ke keadaan kesehatan yang mendasarinya dari

pasien. Contohnya, pasien-pasien dengan sepsis dan tidak ada tanda-tanda

yang terus menerus dari gagal organ pada saat diagnosis mempunyai kira-kira

15%-30% kesempatan kematian. Bayi-bayi yang baru lahir dan pasien-pasien

anak-anak dengan sepsis mempunyai kira-kira 9%-36% angka kematian.

Penyelidik-penyelidik telah mengembangkan scoring system (MEDS score)

berdasarkan pada gejala-gejala pasien untuk menaksir prognosis. Pasien-

pasien dengan sepsis yang parah atau syok septic mortalitas syok septic

tergantung pada tempat infeksi awal, pada adanya disfungsi berbagai system

organ dan pathogen bakteri, tingkat mortalitas ini mungkin sekitar 40%-60%

pada penderita sepsis enteric gram-negatif. Urosepsis memiliki prognisos

yang jauh lebih baik daripada sepsis primer tanpa suatu focus tanda-tanda

prognistik jelek pada sepsos mengokokus adalah hipotensi, koma leucopenia

(<5000), trombositopenia (<100000), kadar fibrinogen rendah (<150mg/dL),

tidak ada mengingimus, tidak ada pleiositosis cairan serebrospinalis disertai

penemuan bakteri pada pengecatan Gram cairan serebrospinal, pemunculan

petekie cepat (dalam 1 jam) dan hipotemia. Disamping itu, kadar FNT,

jumlah bakteri/mL darah, kadar endotoksin terkait dengan prognosis.

Lagipula, penderita yang akhirnya bertahan hidup dengan syok septic

memerlihatkan kenaikan indeks jantung dan fraksi ejeksi selama terapi

disbanding dengan penderita yang tidak bertahan hidup.

Ada sejumlah besar komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi

dengan sepsis. Komplikasi-komplikasi berhubungan dengan tipe dari infeksi

awal (contonya, pada infeksi paru dengan sepsis, komplikasi yang potensial

17

mungkin adalah keperluan untuk dukungan pernapasan) dan keparahan dari

sepsis (contohnya, syok septic yang berhubungan dengan infeksi anggota

tubuh yang dapat memerlukan amputasi anggota tubuh). Sebagai

konsekuensi, setiap pasien kemungkinan mempunyai potensi untuk

komplikasi yang berhubungan dengan sumber sepsis; pada umumnya,

komplikasi-komplikasi disebabkan oleh disfungsi, kerusakan, atau kehilangan

organ.

2.4 Patofisiologi

Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang

masuk ke dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan

menyebabkan kerusakan jaringan disebut penyakit infeksi. Pada penyakit

infeksi terjadi jejas sehingga timbul reaksi inflamasi. Meskipun dasar proses

inflamasi sama, namun intensitas dan luasnya tidak sama, tergantung luas

jejas dan reaksi tubuh. Inflamasi akut dapat terbatas pada tempat jejas saja

atau dapat meluas serta menyebabkan tanda dan gejala sistemik.

Manifestasi klinik inflamasi sistemik disebut systemic inflamation

respons syndrome (SIRS), sedangkan sepsis adalah SIRS ditambah tempat

infeksi yang diketahui. Meskipun sepsis biasanya berhubungan dengan

infeksi bakteri, namun tidak harus terdapat bakteriemia. Berdasarkan

konferensi internasional tahun 2001 memasukkan petanda procalcitonin

(PCT) sebagai langkah awal dalam mendiagnosa sepsis. Purba D (2010) di

Medan, pada penelitian prokalsitonin sebagai petanda sepsis mendapatkan

nilai PCT 0,80 ng/ml sesuai untuk sepsis akibat infeksi bakteri dan kadarnya

semakin meningkat berdasarkan keparahan penyakit.

Ketika jaringan terluka atau terinfeksi, akan terjadi pelepasan faktor-

faktor proinflamasi dan anti inflamasi secara bersamaan. Keseimbangan dari

sinyal yang saling berbeda ini akan membantu perbaikan dan penyembuhan

jaringan. Ketika keseimbangan proses inflamasi ini hilang akan terjadi

18

kerusakan jaringan yang jauh, dan mediator ini akan menyebabkan efek

sistemik yang merugikan tubuh. Proses ini dapat berlanjut sehingga

menimbulkan multiple organ dysfunction syndrome (MODS).

Sitokin sebagai mediator inflamasi tidak berdiri sendiri dalam sepsis,

masih banyak faktor lain (non sitokin) yang sangat berperan dalam

menentukan perjalanan penyakit. Respon tubuh terhadap patogen melibatkan

berbagai komponen sistem imun dan sitokin, baik yang bersifat proinflamasi

maupun antiinflamasi. Termasuk sitokin proinflamasi adalah tumor necrosis

factor (TNF), interleukin-1 (IL-1), dan interferon-γ (IFN-γ) yang bekerja

membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang menginfeksi.

Termasuk sitokin antiinflamasi adalah interleukin-1 reseptor antagonis (IL-

1ra), IL-4, dan IL-10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau

represi terhadap respon yang berlebihan. Sedangkan IL-6 dapat bersifat

sebagai sitokin pro- dan anti-inflamasi sekaligus.

Penyebab sepsis paling banyak berasal dari stimulasi toksin, baik dari

endotoksin gram (-) maupun eksotoksin gram (+). Komponen endotoksin

utama yaitu lipopolisakarida (LPS) atau endotoksin glikoprotein kompleks

dapat secara langsung mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral,

bersama dengan antibodi dalam serum darah penderita membentuk

lipopolisakarida antibodi (LPSab). LPSab yang berada dalam darah penderita

dengan perantaraan reseptor CD14+ akan bereaksi dengan makrofag yang

kemudian mengekspresikan imunomudulator.

Pada sepsis akibat kuman gram (+), eksotoksin berperan sebagai

super-antigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan

sebagai antigen processing cell dan kemudian ditampilkan sebagai antigen

presenting cell (APC). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik

yang berasal dari major histocompatibility complex (MHC), kemudian

berikatan dengan CD4 + (limposit Th1 dan Th2) dengan perantaraan T cell

receptor (TCR).

19

Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limposit

T akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai

imunomodulator yaitu: IFN-γ, IL-2, dan macrophage colony stimulating

factor (M-CSF0. Limposit Th2 akan mengeluarkan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-

10. IFN-γ meransang makrofag mengeluarkan IL-1ß dan TNF-α. Pada sepsis

IL-2 dan TNF-α dapat merusak endotel pembuluh darah. IL-1ß juga berperan

dalam pembentukan prostaglandin E2 (PG-E) 2 dan meransang ekspresi

intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). ICAM-1 berperan pada proses

adhesi neutrofil dengan endotel.

Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan

lisosim yang menyebabkan dinding endotel lisis. Neutrofil juga membawa

superoksidan radikal bebas yang akan mempengaruhi oksigenasi mitokondria.

Akibat proses tersebut terjadi kerusakan endotel pembuluh darah. Kerusakan

endotel akan menyebabkan gangguan vaskuler sehingga terjadi kerusakan

organ multipel.

Sepsis dimulai dengan invasi bakteri dan kontaminasi sistemik.

Pelepasan endotoksin oleh bakteri menyebabkan perubahan fungsi

miokardium, perubahan ambilan dan penggunaan oksigen, terhambatnya

fungsi mitokondria, dan kekacauan metabolik yang progresif. Pada sepsis

yang tiba-tiba dan berat, complment cascade menimbulkan banyak kematian

dan kerusakan sel. Akibatnya adalah penurunan perfusi jaringan, asidosis

metabolik,syok, dan kematian (Bobak, 2005).

Patogenesis juga dapat terjadi antenatal, intranatal, dan paskanatal

yaitu;

a. Antenatal

Terjadi karena adanya faktor resiko, pada saat antenatal kuman dari ibu

setelah melewati plasenta dan umbilikus masuk ke dalam tubuh melalui

sirkulasi darah janin. Kuman penyebab infeksi adalah kuman yang

20

menebus plasenta, antara lain: virus rubella, herpes, influeza, dan masih

banyak yang lain.

b. Intranatal

Infeksi saat persalinan terjadi karena kuman ada pada vagina dan serviks

naik mencapai korion dan amnion.akibatnya terjadilah amnionitis dan

korionitis, selanjutnya kuman melalui umbilikus masuk ketubuh bayi. Cara

lain saat persalinan, cairan amnion yang sudah terinfeksi oleh bayi

sehingga menyebabkan infeksi pada lokasi yang terjadi pada janin melalui

kulit bayi saat bayi melewati jalan lahir yang terkontaminasi oleh kuman.

c. Pascanatal

Infeksi yang terjadi sesudah persalinan, umumnya terjadi akibat

infeksi   nasokomial dari lingkungan di luar rahim,( misal : melallui alat-

alat, penghisap lendir, selang endotrakea, infus, dan lain-lain). Dan infeksi

dapat juga terjadi melalui luka umbillikus.

2.5 Tanda dan Gejala

Manifestasi klinis sepsis mencaup gambaran yang berkaitan dengan

respons sistemik terhadap infeksi (takikardia, takipnea, perubahan suhu, dan

hitung leukosit) dan yang berkaitan dengan disfungsi system organ spesifik

(gangguan kardiovaskular, pernapasa, ginjal, hati, ,dan kelainan darah). Awal

sepsis kadang-kadang ditandai oleh petunjuk-petunjuk samar yang mudah

disalatafsirkan dengan penyakit umum ain yang lebih ringan. Kewaspadaan

akan tanda-tanda awal sepsis dapat membuat diagnosis terdeteksi lebih dini

dan terapi dapat segera diberikan. Tanda-tanda non spesifik dapat mencakup

takipnea tersendiri (tanpa dyspnea), takikardia tersendiri (dengan tekanan

darah nomal), iritabilitas atau letargi, dan demam, menggigil, atau myalgia

yang tidak jelas sebabnya. Kelainan laboratorium non-spesifik mencakup

alkalosis respiratorik, leukositosis, dan kelainan ringan fungsi hati.

Karena sepsis dapat dimulai di berbagai bagian tubuh, dapat memiliki

banyak gejala yang berbeda. Napas cepat dan perubahan status mental, seperti

21

berkurangnya kewaspadaan atau kebingungan, mungkin tanda-tanda pertama

bahwa sepsis mulai. Gejala umum lainnya termasuk:

Demam dan menggigil atau sebaliknya, suhu tubuh yang sangat rendah

penurunan buang air kecil

nadi cepat

napas cepat

Mual dan muntah

diare

Syok septik dapat mempengaruhi setiap bagian dari tubuh, termasuk jantung,

otak, ginjal, hati, dan usus. Gejala mungkin termasuk:

Dingin , lengan dan kaki pucat

Suhu tinggi atau sangat rendah, menggigil ringan

Sedikit atau tidak ada urin

Tekanan darah rendah, terutama ketika berdiri

palpitasi

Denyut jantung cepat

Gelisah, agitasi, lesu, atau kebingungan

Sesak napas

Ruam kulit atau perubahan warna

(A.D.A.M. Medical Encyclopedia, 2012)

22

2.6 Diagnosis

2.7 Terapi Pengobatan

Terapi yang dilakukan dapat bervariasi tergantung lamanya waktu

setelah insult dan tahapan klinis sepsis. Hal yang sangat penting adalah

23

meminimalkan trauma langsung terhadap sel serta mengoptimalkan perfusi

dan membatasi iskemia. Dibutuhkan perencanaan terapi yang terintegrasi

untuk mencapai hal tersebut. Sebagai pedoman dalam perencanaan,

pendekatan terapi dapat ditujukan untuk mencapai tiga sasaran :

1. Memperbaiki dan mempertahankan perfusi yang adekuat

2. Mengontrol respon pasien terhadap trauma

3. Menghindari terjadinya penyakit iatrogenic

1. Memperbaiki dan mempertahankan perfusi yang adekuat

Hal ini merupakan faktor kunci untuk meminimalkan trauma iskemia

inisial dan mengurangi iskemia akibat yang terjadi karena respon terhadap

stress.

Berikut ini adalah tindakan untuk memperbaiki perfusi :

a. Mempertahankan saturasi oksigen arteri

Dilema yang sering terjadi adalah bagaimana mempertahankan saturasi

oksigen yang adekuat tanpa memberikan efek barotrauma maupun

toksik terhadap paru-paru. Tekanan oksigen arterial sebesar 75 mmHg

atau diatasnya akan memberikan saturasi oksigen yang cukup (> 90%).

b. Ekspansi cairan

Ekspansi cairan merupakan terapi inisial terpilih untuk semua fase

sepsis. Peningkatan tekanan pengisian akan memberikan tekanan

cardiac output dan membuka kembali mikrosirkulasi yang hipoperfusi

merupakan pendekatan resusitasi primer, dimana saturasi oksigen harus

dipertahankan diatas 90%. Cairan inisial yang dipakai adalah cairan

kristaloid isotonik, yang diberikan secara cepat sebanyak 3 liter,

kemudian dilanjutkan pemberian cairan koloid. Albumin juga berperan

penting untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma, juga sebagai

antioksidan, pengikat asam lemak bebas, endotoksin amupun obat-

obatan. Oleh karena itu kadar albumin harus tetap dipertahankan diatas

2,5 g/dL.

c. Inotropik

24

Zat inotropik hanya diberikan untuk mempertahankan keadaan

hiperdinamik bila ekspansi cairan tidak cukup untuk memperbaiki

perfusi. Dopamin dosis rendah akan mencukupi sebagai pilihan awal,

karena biasanya terjadi penurunan perfusi ginjal dan splanknik

walaupun pada keadaan parameter perfusi umum yang mencukupi.

Dopamin dipakai untuk meningkatkan cardiac indeks pada tekanan baji

yang normal (14-16 mmHg), sementara dobutamin digunakan pada

tekanan baji lebih dari 16 mmHg.

d. Transfusi darah

Kadar hemoglobin untuk menjamin perfusi harus ditinjau kembali. Pada

pasien yang muda, stabil dan sehat, kadar hemoglobin 8 g/dL akan

mencukupi. Pasien dengan MOD membutuhkan kadar hemoglobin

sampai 10 g/dL karena pada pasien ini terjadi gangguan pembentukan

sel darah merah.

e. Vasodilator

Penggunaan vasodilator dapat memberikan keuntungan, terutama bila

terjadi peningkatan tahanan vaskuler sistemik karena peningkatan

tekanan darah sistemik. Cairan salin hipertonik dapat meningkatkan

aliran darah mikrovaskuler. Sedangkan obat yang biasa dipakai adalah

golongan nitroprusid.

f. Vasokonstriktor

Penambahan zat a-agonist hanya diperlukan bila tekanan sistolik lebih

rendah dari 90 mmHg atau MAP lebih rendah dari 70 mmHg dengan

keadaan tekanan pengisian yang cukup tinggi dan cardiac indeks lebih

dari 4 L/menit/m2. Penambahan dopamin sampai norepinefrin atau

fenilefrin dalam dosis rendah nampak dapat melindungi sirkulasi ginjal

dan splanknik dari pengaruh vasokonstriksi zat a-agonist.

Vasokonstriktor diindikasikan hanya untuk hipotensi yang refrakter dan

hanya digunakan dalam waktu yang terbatas. Terapi yang ideal adalah

dengan mengontrol reaksi yang berlebihan dari vasodilator.

25

2. Mengontrol respon pasien terhadap trauma

Hal ini dapat dicapai dengan :

Mongontrol fokus lokal inflamasi sistemik

Harus dimulai sejak awal perawatan pasien. Tujuan tindakan bedah

adalah:

Meminimalkan trauma lebih lanjut

Debridemen yang agresif

Drainase dini (misalnya : pus, hematom)

“second-look procedure”

Tindakan ini harus dikerjakan secepatnya sebelum timbulnya respon

hiperdinamik yang menunjukkan telah terjadinya reaksi inflamasi

sistemik. Pemberian antibiotika spektrum luas secara empirik harus segera

dimulai sementara menunggu hasil tes kultur dan resistensi.

a. Modifikasi respon stress hormonal

Peningkatan kadar hormon katekolamin, kortisol dan glukagon

berperan penting dalam terjadinya gangguan metabolisme yaitu

peningkatan glukoneogenesis dan proteolisis yang merupakan

karakteristik dari fase hiperdinamik. Reaksi ini akan meningkatkan

kebutuhan metabolik dan dapat mengakibatkan kardiomiopati.

Penggunaan zat β-antagonist dalam dosis sedang dapat menurunkan

kerja jantung dan kebutuhan metabolik, khususnya pada pasien cedera

kepala.

b. Mencegah reaksi inflamasi yang berlebihan

Semua fokus infeksi yang belum terangkat dalam fase resusitasi inisial

harus secepatnya diangkat, sebelum terjadi respon dari tubuh pasien.

Insult sekunder harus dihindari. Insult sekunder ini biasanya berasal

dari infeksi nosokomial (biasanya dari kateter pembuluh darah,

pneumonia), hipovolemia (sering pada operasi kedua), pankreatitis

atau komplikasi intraabdomen yang lain, dan endotoksin atau bakteri

yang tidak diketahui asalnya seperti dari usus.

26

Translokasi bakteri dan endotoksin yang dapat keluar melalui barier

usus yang terganggu dapat diusahakan untuk dicegah. Pendekatan

pertama adalah dengan mendeteksi iskemia splanknik. Teknik gastric

tonometri telah banyak digunakan namun validitasnya untuk

mendeteksi iskemia usus belum jelas dilaporkan.

Tidak adanya nutrisi enteral akan menyebabkan atrofi mukosa,

terutama pada saat respon stress dan pemberian nutrisi enteral yang

dini dinilai efektif untuk mempertahankan barier mukosa. Beberapa

studi klinis juga membuktikan penurunan kejadian MOD sekunder

pada pasien bedah dengan pemberian nutrisi enteral dini, khususnya

pada pasien multitrauma.

3. Menghindari terjadinya penyakit iatrogenic

Setiap tambahan insult pada fase inisial atau disfungsi organ sekunder

akan memperberat proses penyakit. Komplikasi yang paling perlu

diperhatikan adalah infeksi nosokomial.

Komplikasi iatrogenik yang sering terjadi adalah :

Organ Komplikasi

Paru-paru ARDS karena infeksi nosokomial

Pneumonia nosokomial

Barotrauma

Keracunan O2

Hipervolemia

Usus Cedera karena infeksi / endotoksin

Malnutrisi

Keracunan obat

Kolitis pseudomembran

27

Hipovolemia

Hati Cedera karena infeksi / endotoksin

Overfeeding

Keracunan obat

Ginjal Cedera karena infeksi / endotoksin

Keracunan obat

Hipovolemia

Sistemik Malnutrisi

Penggunaan cairan / nutrient yang tidak tepat

Modalitas Terapi Baru

Antibodi anti-endotoksin adalah yang pertama kali dicoba.

Meskipun terapi ini berhasil memperbaiki angka survival namun

penggunaannya terbentur pada ketidakstabilan cairan injeksi, kesulitan

menentukan dosis dan resiko penularan penyakit dari serum asal antibodi

tersebut. Dengan rekayasa genetika akhirnya dapat dibuat E5, suatu antibodi

Lipid A IgM, namun terapi ini terutama hanya memberi hasil untuk pasien

yang terinfeksi kuman gram negatif. Obat ini terutama dapat memberikan

perbaikan yang bermakna pada disfungsi organ. Juga berhasil ditemukan anti-

endotoksin monoclonal IgM (HA-1A) nemun masih perlu dilakukan studi

lebih lanjut untuk penggunaan obat ini.

Penelitian juga dilakukan terhadap antibodi TNF monoclonal. Produk

ini dinilai mampu memberikan efek proteksi terhadap sistem kardiovaskuler,

meredakan syok septik karena endotoksin. Juga tampak mampu menaikkan

tekanan darah arteri dan parameter hemodinamik yang lain. Namun

penggunaan obat ini juga masih membutuhkan studi lebih lanjut.

28

Strategi lain yang dicoba adalah mencegah kontak antara mediator

dengan reseptor pada sel target. Dengan melalui rekayasa genetika berhasil

didapatkan IL-1 ra atau antagonis IL-1. Obat ini berhasil menurunkan angka

kematian dengan tergantung dosis. Studi lebih lanjut masih dilakukan.

Untuk antagonis PAF (Platelet Activating Factor), dipakai BN

52021, Lexipafant dan PAF asetilhidrolase. Sementara Ibuprofen dipakai

untuk antagonis prostaglandin. Antagonis bradikinin sampai saat ini masih

diteliti. Untuk mengurangi produksi NO (Nitrit Oksida) dipakai NMMA (N-

monomethyl arginine) yang dapat menghambat enzim NO-sintase. Bahaya

obat ini adalah dapat mengakibatkan hipertensi pulmonal dan komplikasi

jantung.

Strategi terakhir yang dikembangkan adalah dengan eliminasi semua

mediator menggunakan cara plasmapheresis (PE).

Konsep Baru Pengobatan Sepsis

Activated Protein C (APC), adalah suatu antikoagulan yang

berbentuk rekombinan Protein C teraktivasi. Merupakan agen antiinflamasi

pertama yang terbukti efektif pada pengobatan sepsis. APC menginaktivasi

faktor Va dan VIIIa, sehingga mencegah pembentukan thrombin. Inhibisi

pembentukan thrombn oleh APC menurunkan proses inflamasi melalui

inhibisi aktivasi platelet, penarikan netrofil dan degranulasi sel mast. APC

juga memiliki efek ininflamasi langsung, termasuk menghambat produksi

sitokin oleh monosit dan menghambat adhesi sel. Walaupun demikian, masih

terdapat perdebatan mengenai penggunaan APC terutama berhubungan

dengan efek sampingnya, yaitu perdarahan. Saat ini, APC diberikan hanya

pada pasien sepsis berat dengan trombosit > 30.000/mm3 yang mengalami

ancaman kegagalan organ berat dan mempunyai kemungkinan kematian yang

tinggi.

Terapi insulin intensif pada hiperglikemia, penelitian Van den

Berghe et al, menunjukkan bahwa pemberian terapi insulin intesif yang

29

mempertahankan kadar glukosa darah pada 80 – 110 mg/dL menurunkan

angka morbiditas dan mortalitas pasien-pasien kritis daripada terapi

konvensional yang mempertahankan kadar glukosa darah pada 180 – 200

mg/dL.Terapi insulin mengurangi angka kematian akibat kegagalan multi

organ pada pasien sepsis, tanpa memandang riwayat diabetes melitus pasien

tersebut. Mekanisme protektif insulin pada sepsis masih belum diketahui.

Fungsi fagositosis netrofil yang terganggu oleh keadaan hiperglikemia

ternyata dapat diperbaiki oleh koreksi hiperglikemia. Insulin juga mencegah

apoptosis sel-sel mati akibat berbagai sebab melalui aktivasi jalur

phosphatidylinositol 2-kinase-akt.

Resusitasi volume cairan dini yang agresif, penelitian early goal-

directed therapy oleh Rivers et al menunjukkan bahwa terapi cairan dini

yang agresif yang mengoptimalkan preload, afterload dan kontraktilitas

jantung pada pasien sepsis berat dan syok septik meningkatkan survival

pasien. Penelitian ini menggunakan infus cairan koloid dan kristaloid, agen

vasoaktif, dan tranfusi darah untuk meningkatkan pengantaran oksigen.

Pasien –pasien dalam penelitian ini mendapat lebih banyak cairan, inotropik

dan transfusi daripada pasien kontrol yang mendapat terapi standar pada 6

jam pertama penanganan sepsis. Selama periode 7 sampai 72 jam setelah

penanganan, pasien pada kelompok penelitian ini memiliki konsentrasi

oksigen vena sentral yang lebih tinggi, kadar laktat yang lebih rendah dan

defisit basa yang lebih rendah dibandingkan pasien pada kelompok kontrol.

Kortikosteroid dosis fisiologis, pemberian kortikosteroid dosis tinggi

(misalnya: metilprednisolon 30mg/ kg berat badan) terbukti tidak

meningkatkan survival diantara pasien-pasien sepsis dan dapat memperburuk

keadaan karena meningkatnya kejadian infeksi sekunder. Penelitian oleh

Annane menunjukkan bahwa pasien sepsis yang mengalami syok persisten

yang membutuhkan vasopresor dan ventilasi mekanik mendapat perbaikan

klinis karena pemberian kortikosteroid dengan dosis fisiologis. Hal ini

mungkin karena desensitasi respon kortikosteroid melalui down-regulation

30

reseptor adrenergik. Katekolamin meningkatkan tekanan arteri melalui efek

reseptor adrenergik di vaskular; kortikosteroid meningkatkan ekspresi

reseptor adrenergik. Diperlukan uji untuk mengetahui pasien dengan keadaan

insufisiensi adrenal relatif.

31

BAB III

PENUTUP

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:

1. Menurut kongres APPC/SCCM, sepsis adalah suatu bentuk sindrom respon

inflamasi sistemik yang disertai dengan proses infeksi

2. Sebesar 70% penyebab sepsis adalah bakteri, utamanya bakteri gram negatif

3. Sepsis dapat diawali dengan invasi bakteri dan kontaminasi sistemik,

kemudian terjadi pelepasan endotoksin dari baketri sehingga terjadi

perubahan fungsi miokardium, terhambatnya fungsi mitokondria, dan

gangguan metabolik secara progresif

4. Sepsis dapat terjadi di berbagai organ tubuh sehingga gejala yang timbul pun

berbeda-beda. Namun, seringkali masyarakat terkecoh dengan gejala yang

ditimbulkan sehingga mengira bahwa gejala yang dialami hanya penyakit

yang ringan dan kewaspadaan menurun.

5. Diagnosis yang dapat dilakukan adalah dengan pemeriksaan laboratorium.

6. Terapi pengobatan untuk sepsis dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan,

yaitu dengan memperbaiki dan mempertahankan perfusi, mengontrol respon

pasien terhadap trauma, dan menghindari terjadinya penyakit iatrogenik.

32

DAFTAR PUSTAKA

A.D.A.M. Medical Encyclopedia. 2012. Septic Shock. Tersedia di

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001689/ [diakses pada

21 maret 2014]

Balentine, Jerry R. 2014. Sepsis (Blood Infection) (cont.). Available online at

http://www.emedicinehealth.com/sepsis_blood_infection/page9_em.htm.

15 Maret 2014. 15:34.

Baue AE. History of MOF and Definition of Organ Failure. In : Multiple Organ

Failure Patophysiology, Prevention and Therapy. Baue AE, Faist E, Fry

DE (Eds). Springer-Verlag, New York, 2000:3-11.

Bobak. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. EGC. Jakarta.

Gordon MC. 1997. Maternal Sepsis in Obstetric Intensive Care. WB Saunders

Company, Philadelphia Tokyo, p129-146.

Harianto A. Sepsis Neonatorum. SMF Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran

UNAIR Surabaya. Accessed Maret 2009. Available from URL

http://www.pediatrik.com/isi03.php?

page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=071

10-tsyz266.htm

Hotchkiss RS, Karl IE. 2003. The Pathophysiology and Treatment of Sepsis. N

Eng J Med 348;2 p 138-149.

Kliergman Brehman & Nelson Arvin. 1996. Nelson Textbook Of Pediatrics. 15/E.

W.B. Saunders Company. Philadelphia.

Napitupulu, Herald H. 2010. Sepsis. Anestesia & Critical Care. 28 (3): 50-58

Reinhardt K, Bloos K, Brunkhorst FM. 2005. Pathophysiology of sepsis and

multiple organ dysfunction. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL, eds.

Textbook of critical care. 15th ed. London: Elsevier Saunders Co;.

p.1249-57.

33

The ACCP/SCCM Consensus Conference Committee. 1992. Definitions for

Sepsis and Organ Failure and Guidelines for the Use of Innovative

Therapies in Sepsis. ACCP/SCCM Consensus Conference. Juni 1992:

1644-1655

Tim Penyusun. 2008. Keracunan Darah (Sepsis). Available online at

http://www.totalkesehatananda.com/sepsis5.html . 15 Maret 2014. 15:23 .

Webmd.2005. Sepsis and Shock Septik. Tersedia di http://www.webmd.com/a-to-

z-guides/sepsis-septicemia-blood-infection [diakses pada 21 maret 2014]

34