sepsis kel. 6
TRANSCRIPT
MAKALAH PATOFISOLOGI
SEPSISDisusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Patofisiologi
Disusun oleh :
Kelompok 6 – Kelas A
Eni Herdiani 260110120026
Tazyinul Qoriah Alfauziah 260110120027
Novia Eka Putri 260110120028
Riza Yuniar 260110120029
Sani Asmi Ramdani Lestari 260110120030
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2014
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim,
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT. yang telah
memberikan nikmat-Nya pada penulis sehingga makalah ini dapat terselesaikan
tepat waktu. Makalah yang berjudul “SEPSIS” ini dibuat untuk memenuhi tugas
mata kuliah Patofisiologi. Selain itu, dengan disusunnya makalah ini dapat
membantu kami dalam menambah wawasan dalam bidang farmakologi sendiri.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Tak ada gading
yang tak retak. Makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dari pembaca.
Semoga dengan adanya makalah ini, kebutuhan pembaca untuk
mencari informasi dapat terpenuhi dan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan.
Jatinangor, Maret 2014
Tim Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang 4
1.2 Tujuan 5
1.3 Rumusan Masalah 5
BAB II Pembahasan
2.1 Definisi dan Epidemiologi 6
2.2 Etiologi Sepsis 10
2.3 Prognosis 16
2.4 Patofisiologi 18
2.5 Tanda dan Gejala 21
2.6 Diagnosis 23
2.7 Terapi Pengobatan 23
BAB III Penutup 32
DAFTAR PUSTAKA 33
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Terdapat beberapa hal yang menjadi pertanyaan mengenai keadaan
fisik pasien-pasien bedah dengan keadaan yang sakit parah. Pasien tersebut
menunjukkan pola gejala-gejala klinis takipnea, takikardi, demam, diaforesis
dan lekositosis yang biasanya berhubungan dengan infeksi lokal yang parah,
bakteriemia, diseminasi produk sel mikroba (endotoksin) atau kombinasi dari
keadaan tersebut. Pasien-pasien tersebut umumnya kita hubungkan dengan
suatu diagnosis “sepsis” atau “septikemia”. Istilah ini secara tradisional
memberikan pengertian suatu manifestasi klinis yang menggambarkan infeksi
invasif yang tidak terkendali yang akibatnya menjadi suatu manifestasi
sistemik penyakit tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa proses
infeksi yang terjadi mengalami perubahan dari lokal menjadi sistemik. Bukti-
bukti telah menunjukkan bahwa reaksi sistemik sepsis bukan merupakan
reaksi spesifik atas suatu jenis mikroba tetapi merupakan reaksi non-spesifik
host (pasien). Bakteri, jamur maupun virus dapat mendatangkan respon
sistemis yang sama pada host.
Reaksi inflamasi yang bersifat non-spesifik menjadi dasar atas semua
peristiwa ini. Dengan demikian setiap peristiwa yang dapat membangkitkan
reaksi inflamasi, walaupun secara lokal (seperti trauma tumpul, luka bakar)
bila terjadi secara hebat, dapat mengaktifkan reaksi sistemik yang
menunjukkan suatu kumpulan gejala klinis “sepsis”, tanpa ditemukannya
mikroba patogen sebagai penyebab. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
“sepsis” yang disebabkan infeksi mikroba dan aseptik “sepsis” yang
disebabkan stimulus lain memberikan gambaran klinis yang serupa yaitu suatu
respons sistemik host terhadap reaksi inflamasi sistemik.
Kata “sepsis” pertama kali digunakan oleh Hippocrates, lebih dari dua
milenium yang lalu, untuk menggambarkan proses penguraian jaringan
dengan hasil akhir penyakit, bau yang tidak sedap dan kematian. Sepsis
4
merupakan lawan dari “pepsis” yang berarti proses penguraian jaringan yang
memberikan kehidupan yang berhubungan dengan pencernaan makanan atau
fermentasi anggur untuk menghasilkan wine. Dengan berhasil
diidentifikasikannya mikroorganisme sebagai penyebab infeksi, kata sepsis
lalu mempunyai pengertian infeksi mikroba yang berat, sementara septikemia
mempunyai arti keberadaan atau invasi bakteri di dalam sirkulasi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dan terminologi sepsis
2. Apa saja penyebab sepsis
3. Bagaimana patofisiologi sepsis
4. Apa tanda dan gejala sepsis
5. Cara diagnosis apa saja yang dapat dilakukan
6. Bagaimana terapi pengobatan sepsis
1.3 Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk menambah wawasan mengenai
sepsis di bidang Patofisiologi.
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi dan Epidemiologi Sepsis
Sepsis adalah penyakit yang umum di perawatan intensif dimana
hampir 1/3 pasien yang masuk ICU adalah sepsis. Sepsis merupakan satu di
antara sepuluh penyebab kematian di Amerika Serikat. Angka kejadian sepsis
meningkat secara bermakna dalam dekade lalu. Telah dilaporkan angka
kejadian sepsis meningkat dari 82,7 menjadi 240,4 pasien per 100.000
populasi antara tahun 1979 – 2000 di Amerika Serikat dimana kejadian
Severe sepsis berkisar antara 51 dan 95 pasien per 100.000 populasi.
Dalam waktu yang bersamaan angka kematian sepsis turun dari 27,8%
menjadi 17,9%. Jenis kelamin, penyakit kronis, keadaan imunosupresi, infeksi
HIV dan keganasan merupakan faktor yang dapat meningkatkan risiko
terjadinya sepsis. Beberapa kondisi tertentu seperti gangguan organ secara
progresif, infeksi nosokomial dan umur yang lanjut juga berhubungan dengan
meningkatnya risiko kematian. Angka kematin syok septik berkurang dari
61,6% menjadi 53,1%. Turunnya angka kematian yang diamati selama dekade
ini dapat disebabkan karena adanya kemajuan dalam perawatan dan
menghindari komplikasi iatrogenik. Seperti contoh pengembangan protokol
early goal resuscitation tidak bertujuan untuk mencapai target supranormal
untuk curah jantung dan pengangkutan oksigen.
Sejak 2002 The Surviving Sepsis Campaign telah diperkenalkan
dengan tujuan awal meningkatkan kesadaran dokter tentang mortalitas Severe
sepsis dan memperbaiki hasil pengobatan. Hal ini dilanjutkan untuk
menghasilkan perubahan dalam standar pelayanan yang akhirnya dapat
menurunkan angka kematian secara bermakna.
Sepsis merupakan respon sistemik pejamu terhadap infeksi dimana
patogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi
aktivasi proses inflamasi. Berbagai definisi sepsis telah diajukan, namun
6
definisi yang saat ini digunakan di klinik adalah definisi yang ditetapkan
dalam consensus American College of Chest Physician dan Society of Critical
Care Medicine pada tahun 1992 yang mendefinisikan sepsis, sindroma respon
inflamasi sistemik (systemic inflammatory response syndrome / SIRS), sepsis
berat, dan syok/renjatan septik.
Infeksi merupakan suatu fenomena mikrobiologi yang ditandai dengan adanya
invasi terhadap jaringan normal/sehat/steril oleh mikroorganisme atau hasil
produk dari mikroorganisme tersebut (toksin).
Bakteriemia berarti terdapatnya bakteri dalam aliran darah, akibat suatu fokus
infeksi yang disertai dengan adanya bakteri yang terlepas / lolos ke dalam
sistem sirkulasi.
SIRS (Sistemic Inflamatory Response Syndrome) adalah respon inflamasi
sistemik yang dapat dicetuskan oleh berbagai insult klinis yang berat. Respon
ini ditandai dengan dua atau lebih dari gejala-gejala berikut :
demam (suhu tubuh > 38 oC) atau hipotermia (< 36 oC)
takhikardi (denyut nadi > 90 x/menit)
takhipneu (frekuensi respirasi > 20 x/menit) atau Pa CO2 <32 torr (< 4.3
kPa)
leukositosis (jumlah leukosit >12000/mm3 ) atau leukopenia (jumlah
leukosit < 4000/mm3) atau adanya bentuk leukosit yang immature > 10%.
Sepsis adalah suatu SIRS yang disertai oleh suatu proses infeksi.
Sepsis Berat (Severe Sepsis) adalah bentuk sepsis yang disertai disfungsi
organ, hipoperfusi jaringan (dapat disertai ataupun tidak disertai keadaan
asidosis laktat, oliguria, gangguan status mental/kesadaran) atau hipotensi.
Syok Septik diartikan sebagai sepsis yang disertai dengan hipotensi dan
tanda-tanda perfusi jaringan yang tidak adekuat walaupun telah dilakukan
resusitasi cairan (asidosis laktat, oliguria, gangguan status mental/kesadaran).
Hipotensi adalah suatu keadaan yang ditandai dengan tekanan darah sistolik <
90 mmHg atau adanya penurunan > 40 mmHg dari tekanan darah dasarnya.
7
MODS (Multiple Organ Dysfunction Syndrome) adalah keadaan perubahan
fungsi organ dengan ditandai keadaan homeostasis tidak dapat dipertahankan
tanpa adanya intervensi terapi.
MOSF (Multiple Organ System Failure) adalah keadaan terganggunya sistem
organ sistemik pada keadaan akut walaupun telah dilakukan tindakan
stabilisasi homeostasis.
Tabel 1. Definisi Sepsis, SIRS, MODS
8
Berikut adalah diagram mengenai hubungan sepsis, infeksi, SIRS dan
penyakit infeksi lainnya (Sumber: ACCP/SCCM Consensus Conference):
Gambar 1. Hubungan antara SIRS, sepsis dan infeksi
Sepsis adalah penyakit yang berkontribusi pada lebih dari 200.000
kematian pertahun di Amerika Serikat. Insidensi sepsis, sepsis berat dan syok
septik meningkat selama 20 tahun terakhir, dan jumlah kasus >700.000 per
tahun (3 per 1000 penduduk). Sekitar dua pertiga kasus terjadi pada pasien
dengan penyakit terdahulu. Kejadian sepsis dan angka kematian meningkat
pada penderita usia lanjut dan sudah adanya komorbiditas sebelumnya.
Meningkatnya insiden sepsis berat di Amerika Serikat disebabkan oleh usia
penduduk, meningkatnya pasien usia lanjut menyebabkan meningkatnya
pasien dengan penyakit kronis, dan juga akibat berkembangnya sepsis pada
pasien AIDS. Meluasnya penggunaan obat antimikroba, obat imunosupresif,
pemakaian kateter jangka panjang dan ventilasi mekanik juga berperan.
Infeksi bakteri invasif adalah penyebab kematian yang paling sering di seluruh
9
dunia, terutama pada kalangan anak-anak. Setiap tahunnya sekitar 750.000
kasus sepsis berlanjut menjadi sepsis berat atau syok septik di Amerika
Serikat. Sepsis dapat menyebabkan kematian akibat miokard akut infark, syok
septik dan komplikasi sepsis yang paling umum terjadi meruoakan penyebab
kematian di unit perawatan intensif noncoronary. Terjadinya syok septik akan
meningkat jika dokter melakukan tindakan operasi yang lebih agresif,
organisme yang ada semakin resisten, dan penurunan daya tahan tubuh akibat
penyakit dan penggunaan obat imunosuppresan. Distrubusi sepsis
proporsional atau sebanding menurut jenis kelamin. Studi terbaru
menunjukkan bahwa Amerika Afrika memiliki insiden yang lebih tinggi dari
sepsis berat dibandingkan kulit putih (6 banding 3,6 per 1000 penduduk) dan
angka kematian yang tinggi di UPI (32.1%).
2.2 Etiologi Sepsis
Penyebab bakteriemia yang paling sering (70% sampai 80%) pada
pasien obstetrik adalah terjadinya endometritis setelah persalinan dengan
seksio sesaria; jadi tak mengherankan, mayoritas sepsis (80%) pada pasien
obstetrik terjadi pada periode postpartum.
Persalinan dengan seksio sesaria berhubungan dengan tingginya
insidensi bakteriemia dibandingkan dengan persalinan pervaginam (3% vs
0,1%); jadi persalinan dengan seksio sesaria adalah salah satu dari faktor
yang menyebabkan bakteriemia dan sepsis. Faktor risiko lain dimana
frekuensinya meningkat pada pasien obsteri yang menggunakan obat-obat
imunoprotektif atau sitotoksik, defisiensi imun dan penyakit kronis.
Seperti pada populasi non obstetrik, gram-negatif, kuman penghasil
endotoksin, basil aerobik (sebagian besar Enterobacteriaceae) adalah yang
paling sering ditemukan pada pasien obstetrik dengan bakteriemia atau sepsis.
Mayoritas dari mikroorganisme ini endogen dari flora vagina dan tidak
didapat dari nosokomial. Walaupun bakteri ini menyebabkan sampai 60%-
80% dari seluruh sepsis pada kehamilan, organisme lain dapat menyebabkan
10
sepsis; dan pada 20% dari kasus obstetri penyebab sepsis adalah polimikroba.
Walaupun jarang sepsis juga dapat disebabkan oleh jamur, virus, parasit dan
sampai 10% dari kasus infeksi tidak ditemukan penyebabnya.
Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram negative dengan
presentase 60-70% kasus yang menghasilkan berbagai produk yang dapat
menstimulasi sel imun yang terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi.
Gambar 2. Etiologi Sepsis
Tabel 2. Mikroorganisme yang sering menyebabkan sepsis.
Sistem pendekatan sepsis dikembangkan dengan menjabarkan menjadi
dasar predisposisi, penyakit penyebab, respons tubuh dan disfungsi organ
atau disingkat menjadi PIRO (predisposing factors, insult, response and organ
dysfunction)seperti pada tabel 3.
11
Gambar 3. Faktor predisposisi, infeksi, respon klinis, dan disfungsi organ
pada sepsis.
Tabel 3. Faktor predisposisi, infeksi, respon klinis, dan disfungsi organ pada
sepsis
Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit atau jamur dapat
menyebabkan infeksi berat yang mengarah pada terjadinya sepsis. Dalam
kajian ini, hanya membahas sepsis yang disebabkan oleh bakteri karena pada
kebanyakan kasus penyebab utama sepsis dan syok sepsis disebabkan oleh
bakteri.
12
Faktor-faktor yang mempengaruhi sepsis pada bayi baru lahir dapat di
bagi menjadi tiga kategori :
1. Faktor Maternal
a. Status sosial-ekonomi ibu, ras, dan latar belakang. Mempengaruhi
kecenderungan terjadinya infeksi dengan alasan yang tidak diketahui
sepenuhnya. Ibu yang berstatus sosio- ekonomi rendah mungkin
nutrisinya buruk dan tempat tinggalnya padat dan tidak higienis. Bayi
kulit hitam lebih banyak mengalami infeksi dari pada bayi berkulit
putih.
b. Status paritas (wanita multipara atau gravida lebih dari 3) dan umur ibu
(kurang dari 20 tahun atua lebih dari 30 tahun
c. Kurangnya perawatan prenatal.
d. Ketuban pecah dini (KPD)
e. Prosedur selama persalinan.
2. Faktor Neonatatal
a. Prematurius ( berat badan bayi kurang dari 1500 gram), merupakan
faktor resiko utama untuk sepsis neonatal. Umumnya imunitas bayi
kurang bulan lebih rendah dari pada bayi cukup bulan. Transpor
imunuglobulin melalui plasenta terutama terjadi pada paruh terakhir
trimester ketiga. Setelah lahir, konsentrasi imunoglobulin serum terus
menurun, menyebabkan hipigamaglobulinemia berat. Imaturitas kulit
juga melemahkan pertahanan kulit.2
b. Defisiensi imun. Neonatus bisa mengalami kekurangan IgG spesifik,
khususnya terhadap streptokokus atau Haemophilus influenza. IgG dan
IgA tidak melewati plasenta dan hampir tidak terdeteksi dalam darah
tali pusat. Dengan adanya hal tersebut, aktifitas lintasan komplemen
terlambat, dan C3 serta faktor B tidak diproduksi sebagai respon
terhadap lipopolisakarida. Kombinasi antara defisiensi imun dan
13
penurunan antibodi total dan spesifik, bersama dengan penurunan
fibronektin, menyebabkan sebagian besar penurunan aktivitas
opsonisasi
c. Laki-laki dan kehamilan kembar. Insidens sepsis pada bayi laki- laki
empat kali lebih besar dari pada bayi perempuan.
3. Faktor diluar ibu dan neonatal
a. Penggunaan kateter vena/ arteri maupun kateter nutrisi parenteral
merupakan tempat masuk bagi mikroorganisme pada kulit yang luka.
Bayi juga mungkin terinfeksi akibat alat yang terkontaminasi.5
b. Paparan terhadap obat-obat tertentu, seperti steroid, bis menimbulkan
resiko pada neonatus yang melebihi resiko penggunaan antibiotik
spektrum luas, sehingga menyebabkan kolonisasi spektrum luas,
sehingga menyebabkan resisten berlipat ganda.5
c. Kadang- kadang di ruang perawatan terhadap epidemi penyebaran
mikroorganisme yang berasal dari petugas ( infeksi nosokomial), paling
sering akibat kontak tangan.5
d. Pada bayi yang minum ASI, spesies Lactbacillus dan E.colli ditemukan
dalam tinjanya, sedangkan bayi yang minum susu formula hanya
didominasi oleh E.colli.5
Di Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-
RSCM pada tahun 2003, kuman terbanyak yang ditemukan berturut-turut
adalah Acinetobacter sp, Enterobacter sp, Pseudomonas sp. Data terakhir
bulan Juli 2004-Mei 2005 menunjukkan Acinetobacter calcoacetius paling
sering (35,67%), diikuti Enterobacter sp (7,01%), dan Staphylococcus sp
(6,81%).
Di FKUI/RSCM selama tahun 2002, kuman yang ditemukan berturut-
turut adalah Enterobacter sp., Acinetobacter sp., dan Coli sp., Coagulase-
negative staphylococci, Staphylococcus aureus, E. coli, Klebsiella,
Pseudomonas, Candida, Streptokokus Grup B, Serratia, Acinetobacter, dan
14
bakteri anaerob. Koloni-koloni kuman dapat ditemukan di kulit, saluran
napas, saluran cerna, konjungtiva, dan umbilikus yang selanjutnya dapat
menyebabkan SAL dari mikroorganisme yang invasif.
Di Inggris dan Wales, antara Januari 2006 dan Maret 2008, skema
pengawasan menerima 1516 laporan bakteri yang diisolasi dari kultur darah
yang diambil dari bayi yang umurnya <48 jam (onset awal) dan 3482 laporan
untuk bayi yang umurnya 2-28 hari (onset akhir). 51 jenis bakteri yang
dilaporkan untuk kedua kelompok umur. Mayoritas bakteri yang ditemukan
adalah bakteri gram positif (82% pada early onset dan 81% pada late onset).
Tabel 4. Jumlah bakteri yang diisolasi dari bayi <48 jam
15
Tabel 5. Bakteri yang diisolasi dari bayi 2-28 hari
2.3 Prognosis
Prognosis sepsis tergantung pada usia, riwayat kesehatan sebelumnya, status
kesehatan secara keseluruhan, seberapa cepat diagnosis dibuat, dan jenis
organisme yang menyebabkan sepsis. Untuk orang tua dengan banyak
penyakit atau untuk mereka yang sistem kekebalan tubuh tidak bekerja
16
dengan baik karena sakit atau obat-obatan tertentu dan sepsis maju, tingkat
kematian bisa setinggi 80%. Di sisi lain, bagi orang-orang sehat tanpa
penyakit sebelumnya, angka kematian mungkin rendah, sekitar 5%. Tingkat
kematian keseluruhan dari sepsis adalah sekitar 40%. Penting untuk diingat
bahwa prognosis juga tergantung pada keterlambatan dalam diagnosis dan
pengobatan. Semakin dini pengobatan dimulai, akan semakin baik hasilnya.
Prognosis dari pasien-pasien dengan sepsis dihubungkan ke keparahan
atau stadium dari sepsis serta ke keadaan kesehatan yang mendasarinya dari
pasien. Contohnya, pasien-pasien dengan sepsis dan tidak ada tanda-tanda
yang terus menerus dari gagal organ pada saat diagnosis mempunyai kira-kira
15%-30% kesempatan kematian. Bayi-bayi yang baru lahir dan pasien-pasien
anak-anak dengan sepsis mempunyai kira-kira 9%-36% angka kematian.
Penyelidik-penyelidik telah mengembangkan scoring system (MEDS score)
berdasarkan pada gejala-gejala pasien untuk menaksir prognosis. Pasien-
pasien dengan sepsis yang parah atau syok septic mortalitas syok septic
tergantung pada tempat infeksi awal, pada adanya disfungsi berbagai system
organ dan pathogen bakteri, tingkat mortalitas ini mungkin sekitar 40%-60%
pada penderita sepsis enteric gram-negatif. Urosepsis memiliki prognisos
yang jauh lebih baik daripada sepsis primer tanpa suatu focus tanda-tanda
prognistik jelek pada sepsos mengokokus adalah hipotensi, koma leucopenia
(<5000), trombositopenia (<100000), kadar fibrinogen rendah (<150mg/dL),
tidak ada mengingimus, tidak ada pleiositosis cairan serebrospinalis disertai
penemuan bakteri pada pengecatan Gram cairan serebrospinal, pemunculan
petekie cepat (dalam 1 jam) dan hipotemia. Disamping itu, kadar FNT,
jumlah bakteri/mL darah, kadar endotoksin terkait dengan prognosis.
Lagipula, penderita yang akhirnya bertahan hidup dengan syok septic
memerlihatkan kenaikan indeks jantung dan fraksi ejeksi selama terapi
disbanding dengan penderita yang tidak bertahan hidup.
Ada sejumlah besar komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi
dengan sepsis. Komplikasi-komplikasi berhubungan dengan tipe dari infeksi
awal (contonya, pada infeksi paru dengan sepsis, komplikasi yang potensial
17
mungkin adalah keperluan untuk dukungan pernapasan) dan keparahan dari
sepsis (contohnya, syok septic yang berhubungan dengan infeksi anggota
tubuh yang dapat memerlukan amputasi anggota tubuh). Sebagai
konsekuensi, setiap pasien kemungkinan mempunyai potensi untuk
komplikasi yang berhubungan dengan sumber sepsis; pada umumnya,
komplikasi-komplikasi disebabkan oleh disfungsi, kerusakan, atau kehilangan
organ.
2.4 Patofisiologi
Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang
masuk ke dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan
menyebabkan kerusakan jaringan disebut penyakit infeksi. Pada penyakit
infeksi terjadi jejas sehingga timbul reaksi inflamasi. Meskipun dasar proses
inflamasi sama, namun intensitas dan luasnya tidak sama, tergantung luas
jejas dan reaksi tubuh. Inflamasi akut dapat terbatas pada tempat jejas saja
atau dapat meluas serta menyebabkan tanda dan gejala sistemik.
Manifestasi klinik inflamasi sistemik disebut systemic inflamation
respons syndrome (SIRS), sedangkan sepsis adalah SIRS ditambah tempat
infeksi yang diketahui. Meskipun sepsis biasanya berhubungan dengan
infeksi bakteri, namun tidak harus terdapat bakteriemia. Berdasarkan
konferensi internasional tahun 2001 memasukkan petanda procalcitonin
(PCT) sebagai langkah awal dalam mendiagnosa sepsis. Purba D (2010) di
Medan, pada penelitian prokalsitonin sebagai petanda sepsis mendapatkan
nilai PCT 0,80 ng/ml sesuai untuk sepsis akibat infeksi bakteri dan kadarnya
semakin meningkat berdasarkan keparahan penyakit.
Ketika jaringan terluka atau terinfeksi, akan terjadi pelepasan faktor-
faktor proinflamasi dan anti inflamasi secara bersamaan. Keseimbangan dari
sinyal yang saling berbeda ini akan membantu perbaikan dan penyembuhan
jaringan. Ketika keseimbangan proses inflamasi ini hilang akan terjadi
18
kerusakan jaringan yang jauh, dan mediator ini akan menyebabkan efek
sistemik yang merugikan tubuh. Proses ini dapat berlanjut sehingga
menimbulkan multiple organ dysfunction syndrome (MODS).
Sitokin sebagai mediator inflamasi tidak berdiri sendiri dalam sepsis,
masih banyak faktor lain (non sitokin) yang sangat berperan dalam
menentukan perjalanan penyakit. Respon tubuh terhadap patogen melibatkan
berbagai komponen sistem imun dan sitokin, baik yang bersifat proinflamasi
maupun antiinflamasi. Termasuk sitokin proinflamasi adalah tumor necrosis
factor (TNF), interleukin-1 (IL-1), dan interferon-γ (IFN-γ) yang bekerja
membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang menginfeksi.
Termasuk sitokin antiinflamasi adalah interleukin-1 reseptor antagonis (IL-
1ra), IL-4, dan IL-10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau
represi terhadap respon yang berlebihan. Sedangkan IL-6 dapat bersifat
sebagai sitokin pro- dan anti-inflamasi sekaligus.
Penyebab sepsis paling banyak berasal dari stimulasi toksin, baik dari
endotoksin gram (-) maupun eksotoksin gram (+). Komponen endotoksin
utama yaitu lipopolisakarida (LPS) atau endotoksin glikoprotein kompleks
dapat secara langsung mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral,
bersama dengan antibodi dalam serum darah penderita membentuk
lipopolisakarida antibodi (LPSab). LPSab yang berada dalam darah penderita
dengan perantaraan reseptor CD14+ akan bereaksi dengan makrofag yang
kemudian mengekspresikan imunomudulator.
Pada sepsis akibat kuman gram (+), eksotoksin berperan sebagai
super-antigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan
sebagai antigen processing cell dan kemudian ditampilkan sebagai antigen
presenting cell (APC). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik
yang berasal dari major histocompatibility complex (MHC), kemudian
berikatan dengan CD4 + (limposit Th1 dan Th2) dengan perantaraan T cell
receptor (TCR).
19
Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limposit
T akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai
imunomodulator yaitu: IFN-γ, IL-2, dan macrophage colony stimulating
factor (M-CSF0. Limposit Th2 akan mengeluarkan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-
10. IFN-γ meransang makrofag mengeluarkan IL-1ß dan TNF-α. Pada sepsis
IL-2 dan TNF-α dapat merusak endotel pembuluh darah. IL-1ß juga berperan
dalam pembentukan prostaglandin E2 (PG-E) 2 dan meransang ekspresi
intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). ICAM-1 berperan pada proses
adhesi neutrofil dengan endotel.
Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan
lisosim yang menyebabkan dinding endotel lisis. Neutrofil juga membawa
superoksidan radikal bebas yang akan mempengaruhi oksigenasi mitokondria.
Akibat proses tersebut terjadi kerusakan endotel pembuluh darah. Kerusakan
endotel akan menyebabkan gangguan vaskuler sehingga terjadi kerusakan
organ multipel.
Sepsis dimulai dengan invasi bakteri dan kontaminasi sistemik.
Pelepasan endotoksin oleh bakteri menyebabkan perubahan fungsi
miokardium, perubahan ambilan dan penggunaan oksigen, terhambatnya
fungsi mitokondria, dan kekacauan metabolik yang progresif. Pada sepsis
yang tiba-tiba dan berat, complment cascade menimbulkan banyak kematian
dan kerusakan sel. Akibatnya adalah penurunan perfusi jaringan, asidosis
metabolik,syok, dan kematian (Bobak, 2005).
Patogenesis juga dapat terjadi antenatal, intranatal, dan paskanatal
yaitu;
a. Antenatal
Terjadi karena adanya faktor resiko, pada saat antenatal kuman dari ibu
setelah melewati plasenta dan umbilikus masuk ke dalam tubuh melalui
sirkulasi darah janin. Kuman penyebab infeksi adalah kuman yang
20
menebus plasenta, antara lain: virus rubella, herpes, influeza, dan masih
banyak yang lain.
b. Intranatal
Infeksi saat persalinan terjadi karena kuman ada pada vagina dan serviks
naik mencapai korion dan amnion.akibatnya terjadilah amnionitis dan
korionitis, selanjutnya kuman melalui umbilikus masuk ketubuh bayi. Cara
lain saat persalinan, cairan amnion yang sudah terinfeksi oleh bayi
sehingga menyebabkan infeksi pada lokasi yang terjadi pada janin melalui
kulit bayi saat bayi melewati jalan lahir yang terkontaminasi oleh kuman.
c. Pascanatal
Infeksi yang terjadi sesudah persalinan, umumnya terjadi akibat
infeksi nasokomial dari lingkungan di luar rahim,( misal : melallui alat-
alat, penghisap lendir, selang endotrakea, infus, dan lain-lain). Dan infeksi
dapat juga terjadi melalui luka umbillikus.
2.5 Tanda dan Gejala
Manifestasi klinis sepsis mencaup gambaran yang berkaitan dengan
respons sistemik terhadap infeksi (takikardia, takipnea, perubahan suhu, dan
hitung leukosit) dan yang berkaitan dengan disfungsi system organ spesifik
(gangguan kardiovaskular, pernapasa, ginjal, hati, ,dan kelainan darah). Awal
sepsis kadang-kadang ditandai oleh petunjuk-petunjuk samar yang mudah
disalatafsirkan dengan penyakit umum ain yang lebih ringan. Kewaspadaan
akan tanda-tanda awal sepsis dapat membuat diagnosis terdeteksi lebih dini
dan terapi dapat segera diberikan. Tanda-tanda non spesifik dapat mencakup
takipnea tersendiri (tanpa dyspnea), takikardia tersendiri (dengan tekanan
darah nomal), iritabilitas atau letargi, dan demam, menggigil, atau myalgia
yang tidak jelas sebabnya. Kelainan laboratorium non-spesifik mencakup
alkalosis respiratorik, leukositosis, dan kelainan ringan fungsi hati.
Karena sepsis dapat dimulai di berbagai bagian tubuh, dapat memiliki
banyak gejala yang berbeda. Napas cepat dan perubahan status mental, seperti
21
berkurangnya kewaspadaan atau kebingungan, mungkin tanda-tanda pertama
bahwa sepsis mulai. Gejala umum lainnya termasuk:
Demam dan menggigil atau sebaliknya, suhu tubuh yang sangat rendah
penurunan buang air kecil
nadi cepat
napas cepat
Mual dan muntah
diare
Syok septik dapat mempengaruhi setiap bagian dari tubuh, termasuk jantung,
otak, ginjal, hati, dan usus. Gejala mungkin termasuk:
Dingin , lengan dan kaki pucat
Suhu tinggi atau sangat rendah, menggigil ringan
Sedikit atau tidak ada urin
Tekanan darah rendah, terutama ketika berdiri
palpitasi
Denyut jantung cepat
Gelisah, agitasi, lesu, atau kebingungan
Sesak napas
Ruam kulit atau perubahan warna
(A.D.A.M. Medical Encyclopedia, 2012)
22
2.6 Diagnosis
2.7 Terapi Pengobatan
Terapi yang dilakukan dapat bervariasi tergantung lamanya waktu
setelah insult dan tahapan klinis sepsis. Hal yang sangat penting adalah
23
meminimalkan trauma langsung terhadap sel serta mengoptimalkan perfusi
dan membatasi iskemia. Dibutuhkan perencanaan terapi yang terintegrasi
untuk mencapai hal tersebut. Sebagai pedoman dalam perencanaan,
pendekatan terapi dapat ditujukan untuk mencapai tiga sasaran :
1. Memperbaiki dan mempertahankan perfusi yang adekuat
2. Mengontrol respon pasien terhadap trauma
3. Menghindari terjadinya penyakit iatrogenic
1. Memperbaiki dan mempertahankan perfusi yang adekuat
Hal ini merupakan faktor kunci untuk meminimalkan trauma iskemia
inisial dan mengurangi iskemia akibat yang terjadi karena respon terhadap
stress.
Berikut ini adalah tindakan untuk memperbaiki perfusi :
a. Mempertahankan saturasi oksigen arteri
Dilema yang sering terjadi adalah bagaimana mempertahankan saturasi
oksigen yang adekuat tanpa memberikan efek barotrauma maupun
toksik terhadap paru-paru. Tekanan oksigen arterial sebesar 75 mmHg
atau diatasnya akan memberikan saturasi oksigen yang cukup (> 90%).
b. Ekspansi cairan
Ekspansi cairan merupakan terapi inisial terpilih untuk semua fase
sepsis. Peningkatan tekanan pengisian akan memberikan tekanan
cardiac output dan membuka kembali mikrosirkulasi yang hipoperfusi
merupakan pendekatan resusitasi primer, dimana saturasi oksigen harus
dipertahankan diatas 90%. Cairan inisial yang dipakai adalah cairan
kristaloid isotonik, yang diberikan secara cepat sebanyak 3 liter,
kemudian dilanjutkan pemberian cairan koloid. Albumin juga berperan
penting untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma, juga sebagai
antioksidan, pengikat asam lemak bebas, endotoksin amupun obat-
obatan. Oleh karena itu kadar albumin harus tetap dipertahankan diatas
2,5 g/dL.
c. Inotropik
24
Zat inotropik hanya diberikan untuk mempertahankan keadaan
hiperdinamik bila ekspansi cairan tidak cukup untuk memperbaiki
perfusi. Dopamin dosis rendah akan mencukupi sebagai pilihan awal,
karena biasanya terjadi penurunan perfusi ginjal dan splanknik
walaupun pada keadaan parameter perfusi umum yang mencukupi.
Dopamin dipakai untuk meningkatkan cardiac indeks pada tekanan baji
yang normal (14-16 mmHg), sementara dobutamin digunakan pada
tekanan baji lebih dari 16 mmHg.
d. Transfusi darah
Kadar hemoglobin untuk menjamin perfusi harus ditinjau kembali. Pada
pasien yang muda, stabil dan sehat, kadar hemoglobin 8 g/dL akan
mencukupi. Pasien dengan MOD membutuhkan kadar hemoglobin
sampai 10 g/dL karena pada pasien ini terjadi gangguan pembentukan
sel darah merah.
e. Vasodilator
Penggunaan vasodilator dapat memberikan keuntungan, terutama bila
terjadi peningkatan tahanan vaskuler sistemik karena peningkatan
tekanan darah sistemik. Cairan salin hipertonik dapat meningkatkan
aliran darah mikrovaskuler. Sedangkan obat yang biasa dipakai adalah
golongan nitroprusid.
f. Vasokonstriktor
Penambahan zat a-agonist hanya diperlukan bila tekanan sistolik lebih
rendah dari 90 mmHg atau MAP lebih rendah dari 70 mmHg dengan
keadaan tekanan pengisian yang cukup tinggi dan cardiac indeks lebih
dari 4 L/menit/m2. Penambahan dopamin sampai norepinefrin atau
fenilefrin dalam dosis rendah nampak dapat melindungi sirkulasi ginjal
dan splanknik dari pengaruh vasokonstriksi zat a-agonist.
Vasokonstriktor diindikasikan hanya untuk hipotensi yang refrakter dan
hanya digunakan dalam waktu yang terbatas. Terapi yang ideal adalah
dengan mengontrol reaksi yang berlebihan dari vasodilator.
25
2. Mengontrol respon pasien terhadap trauma
Hal ini dapat dicapai dengan :
Mongontrol fokus lokal inflamasi sistemik
Harus dimulai sejak awal perawatan pasien. Tujuan tindakan bedah
adalah:
Meminimalkan trauma lebih lanjut
Debridemen yang agresif
Drainase dini (misalnya : pus, hematom)
“second-look procedure”
Tindakan ini harus dikerjakan secepatnya sebelum timbulnya respon
hiperdinamik yang menunjukkan telah terjadinya reaksi inflamasi
sistemik. Pemberian antibiotika spektrum luas secara empirik harus segera
dimulai sementara menunggu hasil tes kultur dan resistensi.
a. Modifikasi respon stress hormonal
Peningkatan kadar hormon katekolamin, kortisol dan glukagon
berperan penting dalam terjadinya gangguan metabolisme yaitu
peningkatan glukoneogenesis dan proteolisis yang merupakan
karakteristik dari fase hiperdinamik. Reaksi ini akan meningkatkan
kebutuhan metabolik dan dapat mengakibatkan kardiomiopati.
Penggunaan zat β-antagonist dalam dosis sedang dapat menurunkan
kerja jantung dan kebutuhan metabolik, khususnya pada pasien cedera
kepala.
b. Mencegah reaksi inflamasi yang berlebihan
Semua fokus infeksi yang belum terangkat dalam fase resusitasi inisial
harus secepatnya diangkat, sebelum terjadi respon dari tubuh pasien.
Insult sekunder harus dihindari. Insult sekunder ini biasanya berasal
dari infeksi nosokomial (biasanya dari kateter pembuluh darah,
pneumonia), hipovolemia (sering pada operasi kedua), pankreatitis
atau komplikasi intraabdomen yang lain, dan endotoksin atau bakteri
yang tidak diketahui asalnya seperti dari usus.
26
Translokasi bakteri dan endotoksin yang dapat keluar melalui barier
usus yang terganggu dapat diusahakan untuk dicegah. Pendekatan
pertama adalah dengan mendeteksi iskemia splanknik. Teknik gastric
tonometri telah banyak digunakan namun validitasnya untuk
mendeteksi iskemia usus belum jelas dilaporkan.
Tidak adanya nutrisi enteral akan menyebabkan atrofi mukosa,
terutama pada saat respon stress dan pemberian nutrisi enteral yang
dini dinilai efektif untuk mempertahankan barier mukosa. Beberapa
studi klinis juga membuktikan penurunan kejadian MOD sekunder
pada pasien bedah dengan pemberian nutrisi enteral dini, khususnya
pada pasien multitrauma.
3. Menghindari terjadinya penyakit iatrogenic
Setiap tambahan insult pada fase inisial atau disfungsi organ sekunder
akan memperberat proses penyakit. Komplikasi yang paling perlu
diperhatikan adalah infeksi nosokomial.
Komplikasi iatrogenik yang sering terjadi adalah :
Organ Komplikasi
Paru-paru ARDS karena infeksi nosokomial
Pneumonia nosokomial
Barotrauma
Keracunan O2
Hipervolemia
Usus Cedera karena infeksi / endotoksin
Malnutrisi
Keracunan obat
Kolitis pseudomembran
27
Hipovolemia
Hati Cedera karena infeksi / endotoksin
Overfeeding
Keracunan obat
Ginjal Cedera karena infeksi / endotoksin
Keracunan obat
Hipovolemia
Sistemik Malnutrisi
Penggunaan cairan / nutrient yang tidak tepat
Modalitas Terapi Baru
Antibodi anti-endotoksin adalah yang pertama kali dicoba.
Meskipun terapi ini berhasil memperbaiki angka survival namun
penggunaannya terbentur pada ketidakstabilan cairan injeksi, kesulitan
menentukan dosis dan resiko penularan penyakit dari serum asal antibodi
tersebut. Dengan rekayasa genetika akhirnya dapat dibuat E5, suatu antibodi
Lipid A IgM, namun terapi ini terutama hanya memberi hasil untuk pasien
yang terinfeksi kuman gram negatif. Obat ini terutama dapat memberikan
perbaikan yang bermakna pada disfungsi organ. Juga berhasil ditemukan anti-
endotoksin monoclonal IgM (HA-1A) nemun masih perlu dilakukan studi
lebih lanjut untuk penggunaan obat ini.
Penelitian juga dilakukan terhadap antibodi TNF monoclonal. Produk
ini dinilai mampu memberikan efek proteksi terhadap sistem kardiovaskuler,
meredakan syok septik karena endotoksin. Juga tampak mampu menaikkan
tekanan darah arteri dan parameter hemodinamik yang lain. Namun
penggunaan obat ini juga masih membutuhkan studi lebih lanjut.
28
Strategi lain yang dicoba adalah mencegah kontak antara mediator
dengan reseptor pada sel target. Dengan melalui rekayasa genetika berhasil
didapatkan IL-1 ra atau antagonis IL-1. Obat ini berhasil menurunkan angka
kematian dengan tergantung dosis. Studi lebih lanjut masih dilakukan.
Untuk antagonis PAF (Platelet Activating Factor), dipakai BN
52021, Lexipafant dan PAF asetilhidrolase. Sementara Ibuprofen dipakai
untuk antagonis prostaglandin. Antagonis bradikinin sampai saat ini masih
diteliti. Untuk mengurangi produksi NO (Nitrit Oksida) dipakai NMMA (N-
monomethyl arginine) yang dapat menghambat enzim NO-sintase. Bahaya
obat ini adalah dapat mengakibatkan hipertensi pulmonal dan komplikasi
jantung.
Strategi terakhir yang dikembangkan adalah dengan eliminasi semua
mediator menggunakan cara plasmapheresis (PE).
Konsep Baru Pengobatan Sepsis
Activated Protein C (APC), adalah suatu antikoagulan yang
berbentuk rekombinan Protein C teraktivasi. Merupakan agen antiinflamasi
pertama yang terbukti efektif pada pengobatan sepsis. APC menginaktivasi
faktor Va dan VIIIa, sehingga mencegah pembentukan thrombin. Inhibisi
pembentukan thrombn oleh APC menurunkan proses inflamasi melalui
inhibisi aktivasi platelet, penarikan netrofil dan degranulasi sel mast. APC
juga memiliki efek ininflamasi langsung, termasuk menghambat produksi
sitokin oleh monosit dan menghambat adhesi sel. Walaupun demikian, masih
terdapat perdebatan mengenai penggunaan APC terutama berhubungan
dengan efek sampingnya, yaitu perdarahan. Saat ini, APC diberikan hanya
pada pasien sepsis berat dengan trombosit > 30.000/mm3 yang mengalami
ancaman kegagalan organ berat dan mempunyai kemungkinan kematian yang
tinggi.
Terapi insulin intensif pada hiperglikemia, penelitian Van den
Berghe et al, menunjukkan bahwa pemberian terapi insulin intesif yang
29
mempertahankan kadar glukosa darah pada 80 – 110 mg/dL menurunkan
angka morbiditas dan mortalitas pasien-pasien kritis daripada terapi
konvensional yang mempertahankan kadar glukosa darah pada 180 – 200
mg/dL.Terapi insulin mengurangi angka kematian akibat kegagalan multi
organ pada pasien sepsis, tanpa memandang riwayat diabetes melitus pasien
tersebut. Mekanisme protektif insulin pada sepsis masih belum diketahui.
Fungsi fagositosis netrofil yang terganggu oleh keadaan hiperglikemia
ternyata dapat diperbaiki oleh koreksi hiperglikemia. Insulin juga mencegah
apoptosis sel-sel mati akibat berbagai sebab melalui aktivasi jalur
phosphatidylinositol 2-kinase-akt.
Resusitasi volume cairan dini yang agresif, penelitian early goal-
directed therapy oleh Rivers et al menunjukkan bahwa terapi cairan dini
yang agresif yang mengoptimalkan preload, afterload dan kontraktilitas
jantung pada pasien sepsis berat dan syok septik meningkatkan survival
pasien. Penelitian ini menggunakan infus cairan koloid dan kristaloid, agen
vasoaktif, dan tranfusi darah untuk meningkatkan pengantaran oksigen.
Pasien –pasien dalam penelitian ini mendapat lebih banyak cairan, inotropik
dan transfusi daripada pasien kontrol yang mendapat terapi standar pada 6
jam pertama penanganan sepsis. Selama periode 7 sampai 72 jam setelah
penanganan, pasien pada kelompok penelitian ini memiliki konsentrasi
oksigen vena sentral yang lebih tinggi, kadar laktat yang lebih rendah dan
defisit basa yang lebih rendah dibandingkan pasien pada kelompok kontrol.
Kortikosteroid dosis fisiologis, pemberian kortikosteroid dosis tinggi
(misalnya: metilprednisolon 30mg/ kg berat badan) terbukti tidak
meningkatkan survival diantara pasien-pasien sepsis dan dapat memperburuk
keadaan karena meningkatnya kejadian infeksi sekunder. Penelitian oleh
Annane menunjukkan bahwa pasien sepsis yang mengalami syok persisten
yang membutuhkan vasopresor dan ventilasi mekanik mendapat perbaikan
klinis karena pemberian kortikosteroid dengan dosis fisiologis. Hal ini
mungkin karena desensitasi respon kortikosteroid melalui down-regulation
30
reseptor adrenergik. Katekolamin meningkatkan tekanan arteri melalui efek
reseptor adrenergik di vaskular; kortikosteroid meningkatkan ekspresi
reseptor adrenergik. Diperlukan uji untuk mengetahui pasien dengan keadaan
insufisiensi adrenal relatif.
31
BAB III
PENUTUP
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Menurut kongres APPC/SCCM, sepsis adalah suatu bentuk sindrom respon
inflamasi sistemik yang disertai dengan proses infeksi
2. Sebesar 70% penyebab sepsis adalah bakteri, utamanya bakteri gram negatif
3. Sepsis dapat diawali dengan invasi bakteri dan kontaminasi sistemik,
kemudian terjadi pelepasan endotoksin dari baketri sehingga terjadi
perubahan fungsi miokardium, terhambatnya fungsi mitokondria, dan
gangguan metabolik secara progresif
4. Sepsis dapat terjadi di berbagai organ tubuh sehingga gejala yang timbul pun
berbeda-beda. Namun, seringkali masyarakat terkecoh dengan gejala yang
ditimbulkan sehingga mengira bahwa gejala yang dialami hanya penyakit
yang ringan dan kewaspadaan menurun.
5. Diagnosis yang dapat dilakukan adalah dengan pemeriksaan laboratorium.
6. Terapi pengobatan untuk sepsis dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan,
yaitu dengan memperbaiki dan mempertahankan perfusi, mengontrol respon
pasien terhadap trauma, dan menghindari terjadinya penyakit iatrogenik.
32
DAFTAR PUSTAKA
A.D.A.M. Medical Encyclopedia. 2012. Septic Shock. Tersedia di
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001689/ [diakses pada
21 maret 2014]
Balentine, Jerry R. 2014. Sepsis (Blood Infection) (cont.). Available online at
http://www.emedicinehealth.com/sepsis_blood_infection/page9_em.htm.
15 Maret 2014. 15:34.
Baue AE. History of MOF and Definition of Organ Failure. In : Multiple Organ
Failure Patophysiology, Prevention and Therapy. Baue AE, Faist E, Fry
DE (Eds). Springer-Verlag, New York, 2000:3-11.
Bobak. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. EGC. Jakarta.
Gordon MC. 1997. Maternal Sepsis in Obstetric Intensive Care. WB Saunders
Company, Philadelphia Tokyo, p129-146.
Harianto A. Sepsis Neonatorum. SMF Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran
UNAIR Surabaya. Accessed Maret 2009. Available from URL
http://www.pediatrik.com/isi03.php?
page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=071
10-tsyz266.htm
Hotchkiss RS, Karl IE. 2003. The Pathophysiology and Treatment of Sepsis. N
Eng J Med 348;2 p 138-149.
Kliergman Brehman & Nelson Arvin. 1996. Nelson Textbook Of Pediatrics. 15/E.
W.B. Saunders Company. Philadelphia.
Napitupulu, Herald H. 2010. Sepsis. Anestesia & Critical Care. 28 (3): 50-58
Reinhardt K, Bloos K, Brunkhorst FM. 2005. Pathophysiology of sepsis and
multiple organ dysfunction. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL, eds.
Textbook of critical care. 15th ed. London: Elsevier Saunders Co;.
p.1249-57.
33
The ACCP/SCCM Consensus Conference Committee. 1992. Definitions for
Sepsis and Organ Failure and Guidelines for the Use of Innovative
Therapies in Sepsis. ACCP/SCCM Consensus Conference. Juni 1992:
1644-1655
Tim Penyusun. 2008. Keracunan Darah (Sepsis). Available online at
http://www.totalkesehatananda.com/sepsis5.html . 15 Maret 2014. 15:23 .
Webmd.2005. Sepsis and Shock Septik. Tersedia di http://www.webmd.com/a-to-
z-guides/sepsis-septicemia-blood-infection [diakses pada 21 maret 2014]
34