cendekiawan dan politik -...
TRANSCRIPT
CENDEKIAWAN DAN POLITIK ;
FAKTOR PENDORONG PENGAMAT POLITIK MASUK KE DALAM
PARTAI POLITIK
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Universitas Islam Negeri
SYARIF HIDAYATULLAH JAKRTA
Disusun Oleh :
Nashihatul Furqoni
107033201496
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011 M
CENDEKIAWAN DAN POLITIK ;
FAKTOR PENDORONG PENGAMAT POLITIK MASUK KE DALAM
PARTAI POLITIK
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Universitas Islam Negeri
SYARIF HIDAYATULLAH JAKRTA
Disusun Oleh :
Nashihatul Furqoni
107033201496
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011 M
i
ii
iii
iv
ABSTRAK
Nashihatul Furqoni
Cendekiawan dan Politik: Faktor Pendorong Pengamat Politik masuk Partai
Politik
Pengamat politik merupakan salah satu kelompok cendekiawan. Karena
pengamat politik memiliki fungsi dan tanggung jawab yang sama dengan
intelektual atau cendekiawan. Mereka bekerja untuk memberikan kebaikan kepada
masyarakat dan memberikan kebenaran kepada rakyat tanpa ada yang ditutupi.
Dalam memberi kebenaran mereka tidak boleh terikat oleh kepentingan, tapi
dengan banyaknya tujuan individu yang ingin direalisasikan oleh mereka, maka
kepentingan umum tertutupi oleh kepentingan pribadi dan kelompok yang
menaungi mereka.
Kenyataan bahwa para cendekiawan atau intelektual tertarik masuk ke
dalam struktur kekuasaan telah ada dari masa penjajahan. Indonesia pada masa
penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang, dikuasai dan ditekan. Akibat
penjajahan dan tekanan Belanda dan Jepang menyebabkan para intelektual
Indonesia mendirikan gerakan dan organisasi-organisasi yang bertujuan untuk
kemerdekaan negaranya. Sehingga orang-orang yang berada dalam pemerintah
pada masa itu tidak kompeten di bidangnya, pada akhirnya para intelektual
dipanggil dan diajak masuk ke dalam pemerintahan. Dengan demikian intelektual
bisa membuat perubahan di dalamnya. Para intelektual dianggap sebagai orang
akademisi yang mengerti tentang pemerintahan.
Indra J.Piliang, Bima Arya.S., Ulil Abshar, dan Fadli Zon adalah para
pengamat politik yang masuk ke dalam partai politik. Mereka bertujuan untuk bisa
membuat perubahan yang positif bagi partai. Menurut anggapan mereka, apabila
masuk ke dalam partai maka untuk meraih sesuatu akan dengan mudah terlaksana.
Dengan masuk partai mereka bisa masuk ke dalam lingkungan yang lebih besar
dari pada partai yaitu pemerintahan. Apabila mereka masuk pemerintahan mereka
bisa berkuasa dan bisa membuat tujuan-tujuan awalnya terealisasi.
Skripsi ini ditulis dengan penelitian kualitatif. Untuk data primer
dilakukan wawancara kepada narasumber yang terpilih. Memberikan pertanyaan-
pertanyaan yang terkait dengan tema tulisan. Dan untuk data sekunder, didapat
dari library research (kajian pustaka), internet, artikel terkait, koran online, dan
sebagainya.
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis berhasil menyelesaikan salah satu kewajiban
akademik yang merupakan prasyarat dalam rangka meraih gelar Sarjana Sosial di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ucapan terima kasih tak lupa penulis haturkan kepada berbagai pihak yang
ikut memberikan kontribusi dalam penyelesaian skripsi “Cendekiawan dan
Politik: Faktor Pendorong Pengamat Politik Masuk Partai Politik”. Adapun
ucapan terimakasih penulis haturkan sebesar-besarnya kepada:
1. Ucapan terima kasih dengan segala kerendahan hati tak lupa penulis berikan
kepada orang tua H. Syafrial Luky dan Hj. Dahniarti yang telah memberikan
dukungan dan membimbing sehingga penulis bisa menyelesaikan studi.
Kepada abang dan adikku, Yogi Perdana dan M. Irsyad Lucky.
2. Bapak Dr. Ali Munhanif Ph.D selaku Ketua Prodi Ilmu Politik UIN Syarif
Hidayatullah dan Dosen Pembimbing penulis. Terima kasih atas dedikasi
dan perhatiannya dalam memberikan masukan dan bimbingan selama proses
penulisan skripsi.
3. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
5. Bapak M. Zaki Mubarak M.Si selaku Sekretaris Prodi Ilmu Politik UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Kepada Bapak Idris Thaha M.Si selaku penguji I dan Ibu Suryani M.Si
selaku penguji II.
7. Seluruh dosen dan staff pengajar pada Program Studi Ilmu Politik yang
telah sangat banyak memberikan sumbangan ilmiah selama penulis
menempuh proses perkuliahan.
8. Seluruh jajaran, staff dan petugas di Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Freedom Institute.
9. Ucapan terima kasih kepada narasumber skripsi Bima Arya Sugiarto, Indra
J.Piliang, Fadli Zon dan Ulil Abshar Abdalla yang telah meluangkan waktu
untuk memberikan informasi dan masukan dalam proses pembuatan skripsi.
10. Untuk kamu yang sangat spesial, Kris Rarharjo. Terima kasih atas
pengertian, doa dan supportnya kepada penulis.
11. Kepada kakak penulis tersayang kak Eni yang sabar dan telah memberikan
asupan gizi yang baik kepada penulis sehingga bisa menyelesaikan skripsi.
12. Ucapan terima kasih kepada kelurga Kris Raharjo yang telah memberikan
semangat untuk penulisan skripsi ini Mama, Papa, Desy, Mba Ati dan Disa
yang imut.
13. Kepada kawan-kawan KL (Kmunis Lavilatan) Junaidi, Anton, Taufik
(Bule), Sapril, Irfan Fahmi, Charok, R-van. yang telah membangun
semangat penulis untuk menyelesaikan skripsi.
vii
14. Kepada kawan-kawan angkatan, serta para sahabat dari jurusan lain dan
senior Tiwi, Paul, Bulan, Naya, Iqbal, Eko, Iwan, Mukhlas, Adi, Nuy,
Neneng, Imah, Siti, Pipit, kak Rahma, bang Munir. Makasih buat support,
dan komentarnya. Buat Beni terima kasih sekali untuk nasihat dan
motivasinya selama pembuatan skripsi ini.
15. Untuk semua yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
yang tidak dapat tersebutkan di atas.
Semoga Allah SWT Yang Maha Pemurah memberikan balasan yang sesuai
atas segala kebaikan yang telah diberikan, dan semoga selalu dalam perlindungan-
Nya, amin. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penelitian ini.
Oleh karena itu, penulis menerima berbagai masukan baik itu berupa kritik
maupun saran yang membangun dan dapat membuat penelitian ini menjadi lebih
baik. Akhirnya penulis berharap semoga penelitian ini dapat memberikan ini
manfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya
Jakarta, 28 November 2011
Nashihatul Furqoni
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... iii
ABSTRAK ..................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................. v
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................ 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 8
D. Metodologi Penelitian ................................................................ 9
E. Sistematika Penulisan ................................................................ 11
BAB II KAJIAN TEORI ..................................................................... 12
A. Pengertian Cendekiawan dan Intelektual .................................. 12
1. Intelektual Organik .......................................................... 16
2. Intelektual Tradisional ...................................................... 18
B. Partai Politik ............................................................................... 20
C. Pengertian Partisipasi Politik ..................................................... 27
D. Pendekatan Masalah ................................................................... 32
BAB III PERAN KAUM CENDEKIAWAN DI INDONESIA ......... 34
A. Kolonial Belanda ......................................................................... 34
B. Pendudukan Jepang .................................................................... 38
C. Masa Kemerdekaan .................................................................... 40
D. ICMI ........................................................................................... 42
1. Cendekiawan sebagai Akademisi ...................................... 44
ix
2. Cendekiawan dan dunia Intelektualisme ........................... 48
3. Cendekiawan sebagai Politisi ............................................ 50
BAB IV PENGAMAT POLITIK SEBAGAI KEKUATAN
POLITIK ................................................................................... 53
A. Cendekiawan dan Kekuatan Politik Penyeimbang ..................... 54
B. Faktor-faktor yang Mendorong terlibat dalam Politik ................ 56
C. Pilihan Partai dalam Politik dan Tujuannya ............................... 61
D. Pandangan-pandangan Politik Cendekiawan ............................. 70
BAB V PENUTUP ................................................................................. 73
A. Kesimpulan ................................................................................. 73
B. Saran ............................................................................................ 75
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 76
LAMPIRAN-LAMPIRAN .............................................................................. 80
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Proses demokratisasi di Indonesia sejak runtuhnya kekuasaan represif
Orde Baru pada 1998 bisa dikatakan berlangsung dramatis. Sebagian pengamat
menganggap Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga terbesar (third largest
democracy in the world) setelah India dan Amerika. Pertumbuhan demokrasi itu
ditandai dengan tumbuh suburnya sejumlah partai politik baru, kemerdekaan
mengeluarkan pendapat dan kebebasan pers.1 Dengan banyaknya partai politik
yang ada membuat para kaum cendekiawan atau intelektual tertarik untuk
bergabung demi mengaplikasikan ide-ide dan membuat tujuannya berhasil.
Salah satu kelompok cendekiawan dan intelektual itu adalah para
pengamat politik. Tapi hal ini menimbulkan pertanyaan. Pengamat politik
harusnya selalu bersifat independent dan faktual berdasarkan objek yang diamati
dan dikritisi. Tetapi banyak juga dari pengamat politik yang masuk ke politik
praktis yaitu partai politik. Dari partai politik tersebut mereka masuk ke dalam
sistem2 dan proses-proses politik. Apabila mereka masuk ke dalam partai politik
apakah yang mereka teliti dan diamati nantinya akan tetap bersifat objektif?
Skripsi ini hendak membahas berbagai perubahan-perubahan pilihan
politik di kalangan pengamat politik di Indonesia pasca transisi ke demokrasi.
Bima Arya Sugiarta adalah salah seorang pengamat politik yang masuk ke
dalam partai politik. Dia masuk setelah dipinang oleh Partai Amanat Nasional
1 Amirul Hasan, “Pengaruh Media Terhadap Tingkat Partisipasi Politik,” (Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta), h.1. 2 Drs. Abdurrachman M.Si, “Sistem Politik Indonesia,” (Makala Pengembangan Bahan
Ajar Universitas Mercu Buana), h.2.
2
(PAN).3 Bima sebelumnya adalah seorang pengajar di beberapa Universitas di
Indonesia. Tahun 1998-2001 menjadi pengajar dan peneliti di Universitas
Parahyangan Bandung, di tahun dan kota yang sama mengajar paruh waktu di
Universitas Maranatha.4 Namanya mulai dikenal luas pada saat dia diundang
untuk memberikan tanggapan mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan
perkembangan pemerintahan dan politik.
Seorang penulis berkomentar, dia menyebutkan dalam tulisan blognya
“Pria berpredikat aktifis Islam ini memang unik”. Wajahnya, dandanannya,
karakter suaranya, bahkan corak penampilannya agak sulit disebut “pengamat
politik”. Tetapi karena ekspose terus menerus melalui televisi, akhirnya Bima
Arya terarah menjadi tokoh publik, dengan label “pengamat politik”.5
Menurutnya, hasil analisis politik Bima tidak istimewa. Namun ekspose
dari media yang mendaulat Bima menjadi pengamat politik.6 Diragukan
kemampuannya dalam mengeluarkan argumen dan dibandingkan dengan
pengamat yang lain yang lebih kritis.
Seperti yang diungkapkan oleh Bima dalam artikel internet “Saya sudah
lama berkomunikasi dan bekerja sama dengan Bang Hatta. Ketika pilpres lalu,
Bang Hatta mengajak saya masuk Timkamnas. Sekarang, saya diminta Bang
3 Partai Amanat Nasional dideklarasasikan di Jakarta pada 23 Agustus, 1998 oleh 50 tokoh
nasional, di antaranya Prof. Dr. H. Amien Rais, mantan Ketua umum Muhammadiyah, Goenawan
Mohammad, Abdillah Toha, Dr. Rizal Ramli, Dr. Albert Hasibuan, Toety Heraty, Prof. Dr. Emil
Salim, Drs. Faisal BasriMA, A.M. Fatwa, Zoemrotin, Alvin Lie Ling Piao dan lainnya. Wikipedia,
“Partai Amanat Nasional,” diakses pada 5 Mei 2011 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Amanat_Nasional 4 Bima Arya Sugiarto, “Work Experience”, artikel diakses pada 29 April 2011 dari
http://bimaaryasugiarto.blogspot.com/ 5 Pustaka Langit Biru, “Sosok Pengamat Politik Arya Bima,” artikel diakses pada 18 April
2011 dari http://abisyakir.wordpress.com/2009/06/19/sosok-pengamat-politik-arya-bima/ 6 Ibid.
3
Hatta untuk bergabung, ya namanya dipercaya,” paparnya.”7 Keterangan ini
memperlihatkan bahwa pemimpin partai mengajak pengamat politik masuk ke-
dalam partai, mungkin untuk mengetahui bagaimana perkembangan
kepemimpinan pimpinan pada saat itu, dan juga menjadikan alasan Bima untuk
masuk ke dalam politik praktis.
Tokoh lain dari cendekiawan yang bergabung dengan partai politik adalah
Indra Jaya Piliang. Ia menjadi politisi Golkar pada tahun 2008. Indra sebelumnya
merupakan seorang pengamat politik dari Centre for Strategic and International
Studies (CSIS). Ia dipandang sebagai seorang yang vokal dalam menyuarakan
kritikan dan pendapat. Ternyata tergoda untuk menjadi seorang praktisi politik.
Indra berpendapat bahwa “saatnya sekarang saya mengorbankan diri untuk
menjadi bagian dari kebutuhan bangsa ini, saya merasa punya pemahaman yang
cukup tentang politik dan demokrasi.”8 Peneliti CSIS ini menganggap ada
serangan serius terhadap partai politik, termasuk dari kalangan intelektual.
Dengan bergabung ke partai, menurutnya daya jangkau dalam memberikan
kontribusi akan semakin luas. Dengan bergabung di partai politik saya jadi bisa
keliling daerah dari Sabang sampai Merauke untuk memberikan pendidikan
politik.9
Indra adalah lulusan Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 1997. Dia
mengatakan seharusnya Golkar berada d luar pemerintahan. “Karena anggota
koalisi kerap melemparkan isu yang menyudutkan Golkar dan Ketua Umum
7 Detik News, “Bima Arya dan Helmi Yahya perkuat DPP PAN,” artikel diakses pada 18
April 2011 dari http://www.detiknews.com/read/2010/02/08/133442/1295126/10/bima-arya-dan-
helmy-yahya-perkuat-dpp-pan 8 Kompas.com, “Indra Piliang Jadi Politisi Golkar” artikel diakses pada 3 Mei 2011 dari
http://nasional.kompas.com/read/2008/08/08/09391523/indra.piliang.jadi.politisi.golkar 9 Ibid.
4
Golkar Aburizal Bakrie.”10
Indra menginginkan partainya berada dalam kubu
oposisi pasca-pengambilan keputusan hak angket.
Tokoh lain dari cendekiawan adalah Ulil Abshar Abdalla, pengamat
politik dan koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL).11
Gelar sarjana yang di
dapatnya dari Fakultas Syariah Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab
(LIPIA) menjadikannya seorang koordinator JIL dan Director Freedom Institute
Jakarta. Ulil juga lulusan program M.A di bidang studi agama di Universitas
Boston, Massachussetts, AS.
Ulil Abshar masuk ke Partai Demokrat sebagai ketua Pusat Pengembangan
Strategi dan Kebijakan untuk kepengurusan tahun 2010-2015. Menurut Ulil,
“masuk partai biasa saja, sama saja masuk perusahaan atau entertain.” Dia masuk
Partai Demokrat karena partai itu besar. Menurutnya, dia bisa mengembangkan
ide-idenya yang besar. Jadi, tidak ada ambisi apa-apa masuk ke dalam politik
praktis.12
Ulil yang direkrut oleh Ketua Umum Anas Urbaningrum masuk ke dalam
kepengurusan, bukan karena ambisi yang tinggi. Sehingga motivasinya masuk
partai menjadi alat penting untuk mengembangkan ide dan kebijakan yang sehat.13
10
Kompas.com, “Indra: Golkar Kesulitan di dalam Koalisi”, artikel ini diakses pada 3 Mei
2011 dari
http://nasional.kompas.com/read/2011/03/06/19480795/Indra.Golkar.Kesulitan.di.dalam.Koalisi 11
Jaringan Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks
keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala
cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas
Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal
percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi
sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi). Jaringan Islam Liberal, “Tentang Jaringan Islam
Liberal,” diakses pada 6 Mei 2011 dari http://islamlib.com/id/halaman/tentang-jil
12
Inilah.com, “Ulil: Ikut Partai Ibarat masuk Entertainment,” diakses pada 6 Mei 2011 dari
http://www.inilah.com/read/detail/611221/ulil-ikut-partai-ibarat-masuk-entertainmen/ 13
Ibid.
5
Di Indonesia, banyak cendekiawan yang sangat cerdas dalam
mengungkapkan komentar-komentar terhadap pemerintahan masa lampau dan
saat ini. Para cendekiawan yang berfikir objektif dan tidak memihak, tidak ada
kepentingan dalam setiap kata yang mereka keluarkan untuk mengkritisi
kebijakan pemerintah yang keluar. Setiap cendekiawan berhak untuk
mengutarakan pendapatnya tentang apapun itu tidak harus berorientasi kepada
politik saja. Kecuali mereka dibungkam dan tidak bisa mengungkapkan pendapat
mereka melalui lisan, dengan tulisan akan tetap bekerja.
Dalam skripsi ini, pengamat politik bisa dikatagorikan sebagai
cendekiawan. Cendekiawan itu menurut seorang budayawan asal Malaysia adalah:
“Belajar di Universitas bukan jaminan seseorang dapat menjadi
cendekiawan. Seorang cendekiawan adalah pemikir yang senantiasa
berfikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya
untuk kesejahteraan masyarakat. Ia juga adalah seseorang yang
mempergunakan ilmu dan ketajaman pikirannya untuk mengkaji,
menganalisis, merumuskan segala perkara dalam kehidupan manusia,
terutama masyarakat dimana ia hadir khususnya dan di peringkat global
umum untuk mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran itu. Lebih
dari itu, seorang intelektual juga seseorang yang mengenali kebenaran
dan juga berani memperjuangkan kebenaran itu, meskipun menghadapi
tekanan dan ancaman, terutama sekali kebenaran, kemajuan, dan
kebebasan untuk rakyat.”14
Cendekiawan adalah pemikir yang senantiasa memberikan kebenaran,
pengetahuan. Tapi apa yang terjadi jika para cendekiawan yang di dalamnya
termasuk para pengamat politik menggeluti politik praktis. Apakah mereka akan
tetap objektif dalam menilai semua kemelut politik yang sedang menghangat di
Indonesia? Ataukah banyak cendekiawan palsu dalam memberikan penilaian
karean ada tujuan di dalamnya?
14
Faizal Yusup. Bicara tentang Mahathir, Pekan Ilmu Publications Sdn Bhd (2004)
mengutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Cendekiawan
6
Berharap para pengamat politik yang masuk ke dalam partai politik
berdasarkan hati nurani dan tanggung jawabnya yang besar terhadap masyarakat,
sehingga apa yang disampaikan oleh Julien Benda tidak terjadi sebagai
“Pengkhianatan Kaum Cendekiawan”. Sudah menjadi maklum, bahwa masuk ke
dalam partai politik itu membutuhkan dana. Maka kita bisa asumsikan berharap
para pengamat yang menjadi politisi ini tidak melakukan money-politic. Kalau
masuk ke dalam parlemen diharapkan masuk secara wajar dan terhormat,
kalaupun kalah juga demikian.
Ada dua jenis intelektual menurut Jose Maria Gutteres.15
Pertama adalah
intelektual idealis. Intelektual golongan ini sosok intelektual yang selalu
menomorsatukan spirit kepakaran intelektual. Expertise ini memenuhi nilai
otoritas, otonomi, dan integritas. Intelektual idealis tidak tergoda dengan
kekuasaan yang dijumpai di lembaga akademis.
Kedua, intelektual pragmatis. Ia adalah intelektual yang mengandaikan
intelektual demi kekuasaan. Karakter intelektual sudah tidak ada sebagai mahluk
yang “tercerahkan dan mencerahkan”. Mereka sibuk mencari jabatan, mengurusi
proyek dan berebut untuk berdiri di lapisan terdepan dalam pertarungan
kekuasaan. Pengabdian terhadap penguasa jadi tindakan pragmatis atas nama
sosial dan material.
Masa kepemimpinan Soekarno dan Mohammad Hatta, Soedjatmoko16
telah menyebutkan, alangkah lebih baik seorang intelektual itu berada di luar dari
pemerintahan atau politik, karena itu akan membuat mereka menjadi anonim. Dan
15
Jose Maria Guterres, “Intelektual dalam Partai, Antara Perubahan dan Status Quo,”
artikel diakses pada 19 Oktober 2011 dari http://forum-
haksesuk.blogspot.com/2010/10/intelektual-dalam-partai-antara.html 16
Wiratmo Soekito, “Pengantar Kaum Intelektual dan Teknokrat: Mencari Definisi” dalam
Aswab Mahasin dan Ismed Natsir,. ed. Cendekiawan dan Politik (Jakarta: LP3ES, 1984), h.xii.
7
menurutnya lagi bahwa sang intelektual itu berada dalam keadaan paradoksal
karena mereka sebenarnya ingin memiliki kekuasaan tersebut untuk diri mereka
sendiri.17
Walaupun berlawanan dengan pendapat para intelektual yang telah masuk
ke dalam politik praktis, menurut mereka negara dan politik ini berkembang
bukan karena seorang akademisi, melainkan karena buah kerja politisi. Banyaknya
bandit dan mafia-mafia yang masuk ke dalam politik dengan tujuan yang tidak
baik, memotivasi para intelektual ini masuk ke dalam partai politik dan
mengimplementasikan ilmu mereka di dalam politik praktis.
Para intelektual yang berada di luar partai politik praktis tidak bisa ikut
mengatur dalam pembuatan undang-undang dan kebijakan. Seorang pengamat
politik hanya tahu sekedar kulit saja, tapi di dalamnya mereka tidak
mengetahuinya. Itulah salah satu keuntungan seseorang masuk ke dalam partai
politik. Banyak hal yang menarik yang bisa menjadi bahasan dalam tulisan ini,
oleh karena atas dasar pemikiran di atas penulis bermaksud melakukan penelitian
dengan judul:“Cendekiawan dan Politik. Studi Kasus: Faktor Pendorong
Para Pengamat Politik Masuk Partai Politik”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk memudahkan penelitian yang akan dilakukan, maka penulis perlu
membatasi permasalahan dan penelitian yaitu pada tokoh-tokoh yang masuk partai
politik yang telah dijelaskan pada bagian latar belakang yakni Bima Arya
Sugiarta, Indra Jaya Piliang, Fadli Zon dan Ulil Abshar Abdalla.
17
Ibid.
8
2. Rumusan Masalah
Dari pembatasan masalah tersebut, maka rumusan dalam penelitian ini
adalah:
a. Alasan dan faktor pendorong para pengamat politik masuk ke dalam partai
politik?
b. Apakah para cendekiawan tidak bisa berkomentar bila di luar partai
politik?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah: agar
penulis dan masyarakat mengatahui apa yang menjadi dasar para cendekiawan
atau pengamat politk masuk ke dalam partai politik. Untuk mengetahui secara
dalam bagaimana program partai politik yang selama ini hanya diketahui oleh
orang dalam partai tersebut. Untuk mengetahui sejauh mana kedekatan para
pengamat politik kepada orang yang berada di dalam partai.
2. Manfaat Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Secara ilmiah penelitian ini diharapkan mampu menambah wacana bagi
penyusun dan pembaca secara pribadi, karya ini menjadi pembuka dalam
menapaki dunia karya ilmiah.
b. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi siapa saja yang
membutuhkan informasi lebih lanjut dan lebih mudah terutama dalam
melihat perkembangan politik, khususnya tentang cendekiawan atau
intelektual yang terlibat dalam politik praktis.
9
D. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang disebut verstehen
(pemahaman mendalam) karena mempertanyakan makna suatu objek secara
mendalam dan tuntas.18
Data kualitatif yaitu berwujud kata-kata dan gambaran
bukan angka-angka.
Skripsi ini ditulis dengan berlandaskan data primer, yakni sumber-sumber
yang digunakan sebagi rujukan utama dalam penelitian yang langsung
berhubungan dengan objek penelitian, yang meliputi bahan peneliti sumber partai,
media massa, biografi, memoir politik dan internet.
Selain itu, penulis juga menggunakan data sekunder, data yang diperoleh
dari literatur-literatur kepustakaan seperti buku-buku, koran, artikel, majalah dan
sumber lain yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dan sumber lainnya
yang relevan dengan materi penelitian.
2. Teknik Pengumpulan Data
Data penelitian ini dilakukan dengan wawancara dengan tokoh yang
bersangkutan menjadi narasumber skripsi, sesuai dengan pokok permasalahan
yang ada. Memberikan pertanyaan sesuai dengan fokus tulisan. Melakukan studi
kepustakaan untuk menambah data primer sesuai dengan permasalahan yang
berkaitan. Teknik ini digunakan untuk mendukung penelitian dengan teori-toeri
yang sudah ada.
3. Teknik Analisis Data
18
Dr.Prasetya Irawan, M.Sc, Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif (T.tp: DIA FISIP UI,
2006), h. 4.
10
Analisis data berdasarkan data kualitatif.19
Mengumpulkan data mentah
melalui wawancara, observasi lapangan, dan kajian kepustakaan. Membuat
transkip data dari hasil wawancara ke dalam tulisan, dan tidak mencampur
adukkan hasil wawancara dengan pendapat pribadi. Mengkatagorisasikan data,
dengan menyederhanakan materi dan membuatnya ke dalam bagian berdasarkan
kata kunci penting.
Pedoman penulisan skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), yang diterbitkan oleh CeQDA
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
E. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, untuk mempermudah memahami isi dari
skripsi ini, maka penulis membagi isi skripsi ini ke dalam lima bab. Tiap bab, di
dalamnya terdiri dari beberapa sub-bab. Adapun sistematikanya sebagai berikut:
BAB I membahas pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian.
BAB II membahas mengenai kajian teori. Yang isi di dalamnya
menjelaskan pengertian cendekiawan atau intelektual, partai politik dan partisipasi
politik. Dan disertai dengan pendekatan masalah.
BAB III menjelaskan tentang sejarah singkat tiga periode intelektual dari
kolonial Belanda, pendudukan Jepang, dan masa kemerdekaan. Serta ICMI
sebagai organisasi yang ada pada masa tahun 90-an, sebagai jembatan masuknya
19
Ibid.
11
kaum cendekiawan ke dalam struktur kekuasaan. Dan cendekiawan dengan latar
belakang akademisi, dunia intelektual dan sebagai politisis.
BAB IV merupakan bagian penting dalam penulisan skripsi ini. Karena
pada bagian ini disajikan hasil penelitian mengenai faktor pendorong para
pengamat politik masuk ke dalam partai politik.
BAB V merupakan kesimpulan dan jawab dari rumusan dan batasan
masalah yang telah dianalisa di bab sebelumnya.
12
BAB II
KAJIAN TEORI
Bab ini akan mengeksplorasi beberapa pendekatan teoritis tentang
intelektual, cendekiawan dan hubungannya dengan politik. Penekanan akan
dihidupkan pada konsep-konsep kunci seperti pengertian cendekiawan atau
intelektual, partai politik dan partisipasi politik.
A. Pengertian Cendekiawan atau Intelektual
Bagi masyarakat umum, cendekiawan atau intelektual sering didefinisikan
sebagai individu atau kelompok yang berpendidikan. Tugas dan tujuan mereka
adalah menyelesaikan pendidikannya agar bisa bertanggung jawab terhadap
masyarakat. Cara pertanggung jawaban cendekiawan dilakukan dengan
mempratekkan apa yang telah mereka pelajari di universitas atau sekolah.
Atas dasar definisi ini cendekiawan merupakan kelompok masyarakat
yang berasal dari elit terdidik1 yang telah merampungkan pendidikannya di
universitas. Universitas mempunyai tanggung jawab dalam memberikan ilmunya
pada mahasiswa. Diharapkan bahwa setelah menyelesaikan studinya mahasiswa
bisa bertanggungjawab atas ilmunya.
Tujuan universitas adalah;2 pertama adalah memajukan ilmu. Termasuk
mendidik serta menyediakan dasar bagi mahasiswa untuk berdiri sendiri dalam
mempelajari ilmu dan memangku jabatan dalam masyarakat. Kedua, memperkuat
1 Hendrajit, “Memahami Pergeseran Peran Intelektual dalam Era Baru,” dalam Kebebasan
Cendekiawan Refleksi Kaum Muda (Yogyakarta: Bentang, 1996), h. 47. 2 Mohammad Hatta, “Tanggungjawab Kaum Intelegentsia,” dalam Aswab Mahasin dan
Ismed Natsir, Cendekiawan dan Politik (Jakarta: LP3ES, 1984), h. 4.
13
pendidikan jiwa dan moral mahasiswa serta memperbesar rasa tanggung jawab
sosialnya.3
Definisi tentang cendekiawan, secara lebih tegas dirumuskan oleh Ron
Eyerman, menurutnya cendekiawan adalah individu atau kelompok yang menulis
buku-buku dan artikel-artikel ilmiah.4 Karena para cendekiawan berasal dari elit
terdidik, maka karakter mereka adalah cinta akan kebenaran dan berani
mengatakan salah dalam menghadapi sesuatu yang tidak benar.5 Sehubungan
dengan hal ini para cendekiawan bisa menempati posisi dalam memberikan
argumen dan pengaruh yang positif ataupun negatif. Menurut Gramsci, seorang
ilmuan sosial dari Italia intelektual adalah semua orang yang mempunyai fungsi
organisator dalam semua lapisan masyarakat, dalam wilayah produksi
sebagaimana dalam wilayah politik dan kebudayaan.6 Dengan berpijak pada
Gramsci, skripsi ini berpendapat bahwa semua orang bisa dikatakan sebagai
seorang intelektual, akan tetapi tidak semua orang mempunyai fungsi intelektual.7
Cendekiawan atau intelektual pada awalnya dikenal di negara Rusia pada
zaman Czar pada abad 18. Sistem politik Rusia saat itu menunjukkan kelompok
ini karena mereka tanpa ragu-ragu dijuluki intellegentsia, yaitu mereka yang
dikirim belajar ke Barat, dengan tujuan khusus “penguasaan dasar-dasar
3 Ibid.
4 Ron Eyerman, Cendekiawan antara Budaya dan Politik dalam Masyarkat Modern
(Jakarta: YOI, 1996), h. 1. 5 Mohammad Hatta, dalam Aswab Mahasin dan Ismed Natsir, ed., Cendekiawan, h. 7.
6 Kasiyamto Kasemin, Mendamaikan Sejarah: Analisis Wacana Pencabutan TAP
MPRS/XXV/1996 (Yogyakarta: LKIS, 2004), h. 21. 7 Antonio Gramsci, Selection From The Prison Notebooks of Antonio Gramsci, 12
th ed.
(New York: International Publishers, 1995), h. 9
14
peradaban Barat” serta diperlakukan secara khusus dan istimewa ketika kembali
ke dalam politik dan administrasi Rusia.8
Dalam pandangan Gramsci, intelektual sejati adalah orang yang mampu
mengaplikasikan dirinya secara total dalam kehidupan bermasyarakat. Bukan
hanya sekedar mengajar dalam pendidikan, menulis dan berbicara kepada
masyarakat tentang keadaan negara pada saat itu dari hasil pengamatannya.
Seorang intelektual dengan demikian akan menjadi benar-benar sejati apabila
telah masuk ke dalam politik praktis dan bisa mengaplikasikan semua tujuan dan
ide-idenya untuk kebaikan masyarakat.
Sobary, salah seorang cendekiawan Indonesia mengartikan intelektual
dengan mengaitkannya dengan pengakuan masyarakat terhadap sekelompok orang
yang memiliki komitmen, perilaku, dan sejumlah kebolehan dalam berolah pikir
sekaligus berolah rasa dalam menghadapi keadaan sekitar.9 Intelektual itu hanya
sebagai pemberi gagasan dan rencana, sedangkan tetap yang melaksanakan
gagasan dan rencana itu adalah para politisi.10
Dalam tradisi politik modern intelektual pertama kali disebutkan
“intelektual” dalam bahasa Prancis les intellectuels. Istilah ini diperkenalkan oleh
Clemenceu dipakai secara luas di Prancis pada 1898 sebagai resonasi dari
“manisfeste des intellectuel” (manifesto intelektual) yang dibangkitkan oleh
“Kasus Dreyfus”.11
8 Dikutip dari Tentang intelligentsia versi Rusia dari Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan
Kuasa dalam Negara Orde Baru (Jakarta: Gramedia, 2003), h. 9. 9 Dikutip dari tulisan Arif Zulkifli, dalam Kasiyamto Kasemin, Mendamaikan Sejarah., h.
22. 10
Tulisan ini dikutip dari Yuwono Sudarsono dalam Kasiyamto Kasemin, Mendamaikan
Sejarah, h 22. 11
Yudi Latif, Intelegentsia Muslim dan Kuasa (Feuer, 1976: 48; Gella, 1976: 19)
(Bandung: Mizan, 2005), h. 20.
15
Seorang novelis muda Emilia Zola menerbitkan sebuah surat terbuka di
halaman muka sebuah koran kecil yang terbit di Paris. Surat tersebut menuduh
para anggota dinas ketentaraan Prancis telah merekayasa bukti, memanipulasi dan
menutup-nutupi fakta kasus tentang Alfred Dreyfus, seorang kapten Yahudi dalam
dinas ketentaraan Prancis yang dituduh melakukan spionase dan dicopot
pangkatanya oleh sebuah pengadilan militer dan dihukum penjara seumur hidup.
Surat tadi yang kemudian dikenal sebagai manifeste des intellectuels (manifesto
para intelektual) menyebabkan perpecahan di kalangan pengaran Prancis yang
menjadi dua kubu; kubu yang membela Dreyfusard dan kubu anti Dreyfusard.12
Gramsci yang seorang Marxisme, ingin mewujudkan impian Karl Marx
yang mengingkan sebuah perubahan dalam kelas sosial. Dimana impian itu, ia
mengharapkan kapitalisme runtuh dan sebuah tatanan baru terbentuk.
Gramsci keberatan dengan bunyi buku yang menjelaskan bahwa marxisme
adalah sebuah teori objek ilmiah, pertama bagi Gramsci, mustahil ada teori yang
“objektif”. Teori adalah mencerminkan sesuatu terkait dengan posisi kelas sosial
tertentu dan ia dapat dikatakan benar sejauh ia mencerminkan apa yang sedang
dialami kelas sosial yang bersangkutan. Kedua, selaras dengan itu, teori objektif
ilmiah adalah teori yang mengaku netral (tanpa kepentingan) yang berlaku umum
dan dapat digunakan untuk memprediksikan masa depan sebagaimana
kebanyakan teori ilmiah lainnya. Bagi Gramsci, Marxisme tidak boleh netral
melainkan merupakan salah satu unsur aktif dari perjuangan kaum proletariat itu
12
Ibid. (Eyerman, 1994: 23-53), h. 20-21.
16
sendiri. Ketiga, pembuatan prediksi atas masa depan yang dimungkinkan karena
adanya pengaruh positivisme dalam marxisme adalah tidak bisa dibenarkan.13
Gramsci mengelompokkan intelektual berdasarkan fungsinya.
Cendekiawan atau intelektual dibagi ke dalam dua bagian menurut Gramsci, yakni
intelektual organik dan intelektual tradisional.
1. Intelektual Organik
Intelektual organik adalah intelektual yang tidak hanya melihat dan
merumuskan tentang sesuatu hal. Menurut Gramsci, intelektual organik adalah
individu atau kelompok yang langsung terjun ke masyarakat dan membantunya.
Yaitu semua orang yang mempunyai fungsi organisator dalam semua lapisan
produksi.14
Gramsci membagi dalam tiga katagori intelektual dalam kelas kapitalisme
modern:
a. Bidang produksi; manajer, insinyur dan teknisi.
b. Masyarakat sipil; politisi, wartawan, penulis, akademisi, dan penyiar.
c. Aparat negara; jaksa, pegawai negeri, hakim dan tentara.
Intelektual organik tidak hanya berdiam diri dalam satu pekerjaan dan
tidak mau terlibat dengan pemerintahan dan masyarakat. Intelektual organik yang
diciptakan Gramsci berfungsi untuk bisa membela kaum-kaum lemah dari
penindasan kelompok kaya. Pada masa Gramsci para intelektual yang berasal dari
kaum proletar membela proletar dari penindasan kaum borjuis.15
13
Adde Oriza Rio, “Antonio Gramsci, pemikir dari Balik Jeruji,” artikel diakses pada 18
Oktober 2011 dari http://www.scribd.com/doc/36929683/Antonio-Gramsci-Sang-Pemikir-dari-
Balik-Jeruji-Sebuah-Perbincangan-Singkat 14
Kasiyamto Kasemin, Mendamaikan Sejarah, h.21. 15
Adde Oriza Rio, “Antonio Gramsci, pemikir dari Balik Jeruji,”
17
Kaum bourjuis memegang tiga kendali dalam menangani kaum proletar.
Pertama, adalah ekonomi. Apabila mereka melawan kepada kaum bourjuis maka
gaji mereka akan dipotong atau tidak diberi gaji sama sekali. Kedua, adalah
militer. Kelompok militer dipakai untuk kaum proletar apabila melawan dengan
kekerasan. Dan yang ketiga adalah memakai kaum intelektual yang berasal dari
kaum bourjuis sendiri. Hal itu untuk membenarkan apa yang diinginkan oleh
kaum borjuis untuk menekan kaum proletar.16
Maka dari itu harus ada intelektual dari kaum proletar yang masuk ke
dalam pemerintahan untuk bisa membuat tekanan pada kaum borjuis. Pada zaman
demokrasi sekarang, dimana segala sesuatu sudah terbuka dan tidak ada yang
ditutupi dari rakyat. fungsi intelektual diharapkan bisa memperbaiki sistem politik
yang buruk yang sudah pasti terjadi.
Sebagian intelektual memang terikat oleh politik. Mereka menganggap
politik pada saat itu sangat mempesona dan menggoda.17
Dan sebagian hidup
mereka terikat dengan hal itu, karena mereka menganggap intelektual atau
cendekiawan membawa tanggung jawab untuk bisa mencari jalan keluar dari
kekacauan itu.18
Goldthrope mengusulkan agar para cendekiawan dilihat sebagai
service class, suatu kelas sosial yang keberadaannya untuk melayan, ditentukan
oleh pendidikan dan fungsi pelayananannya di antara modal dan pekerja dan
tujuan politiknya untuk melindungi posisi sosial yang kurang berarti.19
Intelektual organik terbagi ke dalam dua bagian; intelektual hegemonik
dan intelektual kontra-hegemonik. Intelektual hegemonik adalah memastikan
16
Ibid. 17
Herbeth Feith, “Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, Suatu Pengantar,” dalam Prof .
Miriam Budiarjo, Partisipasi danPartai Politik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), h.230. 18
Ibid. 19
Ron Eyerman, Cendekiawan antara, h. 3.
18
bahwa pandangan dunia sesuai dengan kapitalisme telah diterima oleh semua
kelas.20
Sedangkan intelektual kontra-hegemonik adalah bertugas memisahkan
kaum proletar dari pandangan-pandangan tadi serta mengukuhkan dunia sosial.21
Intelektual organik membentuk budaya perlawanan masyarakat dengan
membangkitkan kesadaran kritisnya agar sanggup merebut posisi vital tanpa harus
terjebak perlawanan secara terbuka yaitu revolusi.22
2. Intelektual Tradisional
Intelektual tradisional menurut Gramsci adalah intelektual yang mengikuti
sejarah orang pada masa lampau. Yaitu intelektual yang hanya bergabung di
dalam kelompoknya tapi tidak berbaur dengan masyarakat.23
Menurut Yudi Latif yang termasuk ke dalam golongan intelektual
tradisional adalah filosof, sastrawan, ilmuan, pengacara, dokter, guru, pendeta,
dan pemimpin militer.24
Intelektual disini jauh dari pengaruh kekuasaan dan tidak
ingin masuk untuk terjun langsung dalam masalah sosial.
Syed Hussein memberikan ciri-ciri sosial kaum intelektual sebagai berikut:
pertama, mereka direkrut dari segala kelas, sekalipun dalam proporsi yang
berbeda. Kedua, ditemui dalam gerakan mendukung ataupun menentang
pemerintah. Ketiga, pekerjaan umum mereka adalah dosen, wartawan, penyair
dsb. Keempat, menjauh dari masyarakat, dan bergaul dengan kelompoknya
sendiri. Kelima, mereka tidak hanya tertarik pada segi pengetahuan teknis dan
20
H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan (Magelang: Indonesia Tera, 2003), h.77. 21
Ibid. 22
Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto. ed. Teori-teori Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius,
2005), h. 32. 23
Adde Oriza Rio, “Antonio Gramsci, pemikir dari Balik Jeruji. 24
Yudi Latif, Intelegentsia Muslim dan Kuasa (Gramsci, 1971:7,9) h. 23
19
mekanis saja, ide-ide tentang agama, kehidupan yang lebih baik, seni, budaya,
ekonomi dsb. Keenam, mereka bagian kecil dari masyarakat.25
Fungsi intelektual tradisional adalah, menegakkan kebenaran yang
diyakininya tidak terkait oleh otonomi manapun, hanya otonominya sendiri.
Mereka lebih sering merasa prihatin terhadap keadaan bangsa yang carut marut
dibanding pemimpinnya.26
Dalam hal ini, intelektual tradisional dikatagorikan
Gramsci sebagai intelektual yang hanya bekerja, tetapi tidak mau terlibat dalam
masalah yang dihadapi masyarakat. Seperti itulah intelektual yang digambarkan
oleh Julien Benda. Benda mengungkapkan bahwa seorang intelektual yang turun
ke gelanggang hanya untuk memenangkan suatu gairah realistis mengenai kelas,
ras atau bangsa, maka dia akan mengkhianati fungsinya.27
Menurut Benda, seorang intelektual apabila disewa oleh individu atau
kelompok kepentingan maka dia mengkhianati fungsinya. Benda menggambarkan
seperti Sokrates dan Yesus. Menurutnya, “apakah ada sebuah patokan yan pasti
untuk mengetahui apakah cendekiawan yang terjun di gelanggang memang
bersifat sesuai dengan fungsinya: ia langsung diaibkan oleh si awam, yang
kepentingannya terganggu olehnya.”28
Bentuk-bentuk kehidupan intelektual dan cendekiawan yang terorganisir
adalah Persatuan Intelektual Kristen Indonesia (PIKI), Ikatan Sarjana Katholik
Indonesia (ISKA), dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).29
Organisasi-organisasi ini diharapkan merupakan penjelmaan dari cita-cita harapan
25
Tulisan ini dikutip dari Syed Hussein, dalam Kasiyamto Kasemin, Mendamaikan
Sejarah, h. 22-23. 26
Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai: Kontruksi Sosial Berbasis Agama (Yogyakarta:
LkiS, 2007), h.67-68. 27
Julien Benda, Pengkhianatan Kaum Cendekiawan (Jakarta: Gramedia, 1999), h. 31. 28
Ibid, h. 31. 29
“ ICMI: Sebuah Refleksi,” Harian Republika, 6 Februari 2006.
20
dan amanat umat Islam. ICMI menurut Azumardy Azra, organisasi Islam ini tidak
menampilkan politik praktis dan juga tidak menampilkan Islam Politik.30
“ICMI dengan cita-cita dan pemikiran memajukan Islam
Indonesia sebagai sebuah kekuatan pembaruan, menampilkan Islam
dalam wajah yang modern, moderat dan siap menerima gagasan baru
yang membawa kemajuan dan siap bekerjasama dengan kelompok
manapun. Melalui ICMI, para intelektual Islam berjuang di dalam dan
di luar pemerintahan.”31
Pengamat-pengamat politik Indonesia seperti Indra Jaya Piliang, Ulil
Abshar, Bima Arya dan Fadli Zon telah menjadi intelektual organik seperti
dikatakan Gramsci. Tetapi implementasi dan aplikasi terhadap masyarakat
masih seperti yang digambarkan oleh Julien Benda sebagai intelektual modern.
B. Partai Politik
Partai politik adalah institusi yang dianggap penting dan sine qua non
dalam sistem demokrasi modern.32
Partai Politik merupakan sarana bagi warga
negara untuk turut serta atau berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara.33
Dalam skripsi ini partai didefinisikan sebagai perkumpulan segolongan orang,
seasas, sehaluan, dan setujuan (terutama di bidang politik).34
Politik berkaitan erat
dengan masalah-masalah ketatanegaraan seperti sitem pemerintahan, dasar
pemerintahan, segala urusan dan tindakan, kebijakan dan siasat mengenai
pemerintahan negara atau terhadap negara lain.35
30
Republika Online, “Azyumardi: ICMI Tidak Berpolitik Praktis,” artikel diakses pada 18
Oktober 2011 dari http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/politik/10/12/03/150360-
azyumardi-icmi-tak-berpolitik-praktis 31
ICMI: Sebuah Refleksi 32
Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di
Era Demokrasi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), h. 43. 33
Prof.Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 2008), h. 397. 34
Kamus Bahasa Indonesia Online, “Partai,” artikel diakses pada 16 Oktober 2011 dari
http://kamusbahasaindonesia.org/partai 35
Kamus Bahasa Indonesia., http://kamusbahasaindonesia.org/politik#ixzz1axKmo7Wk
21
Secara bahasa partai berasal dari kata party (bahasa Inggris). Ia merupakan
suatu kumpulan yang digagas dan disepakati untuk menjalankan visi misi bersama
(common). Suatu kumpulan yang dijalankan oleh ideologi yang sama dan tujuan
yang sama.
Partai politik awal mulanya muncul di negara-negara Eropa, dengan
gagasan bahwa rakyat sebagai penentu keputusan politik. Pada awal peranan
partai politik di negara Barat bersifat elistis dan aristokratis. Mempertahankan
kepentingan golongan bangsawan terhadap tuntutan raja.36
Perkembangan partai sejalan dengan perkembangan demokrasi, perluasan
hak pilih rakyat dan perluasan parlemen. Bila semakin luas pertumbuhan fungsi
dan kebebasan kelompok politik, maka semakin tumbuh kesadaran para
anggotanya untuk membentuk kelompok antar mereka dan bersaing dalam pentas
politik.37
Partai yang awal mulanya dibentuk karena perkumpulan-perkumpulan
yang ada karena perkembangan demokrasi maka jadilah kelompok itu menjadi
partai, tanpa disadari atau tidak. Di dalam partai, tujuan organisasi adalah untuk
merealisasikan ideologi partai ke dalam pemerintahan dan membuat anggotanya
menjadi seorang politisi.
Dan pada era demokrasi, terdapat Pemilihan Umum untuk memilih
pemimpin maka itu diperlukan partai untuk mewakili satu kelompok masyarakat.
Banyaknya partai memperlihatkan bahwa demokrasi berkembang dengan sangat
cepat. Banyaknya kelompok-kelompok masyarakat dan elit terdidik yang ingin
terjun langsung untuk menguasai kebutuhan rakyat.
36
Partai Keadilan Sejahtera, “Partai Politik dan Sejarahnya,” artikel diakses pada 16
Oktober 2011 dari http://www.pks-jaksel.or.id/Article112.html 37
Maurice Duverger, “Asal Mula Partai Politik,” dalam Dr.Ichlasuln Amal, ed., Teori-Teori
Mutakhir Partai Politik (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1988), h. 2.
22
Fungsi partai politik tergantung pada tantangan zaman yang dia tumbuh
apabila pada masa demokrasi maka dia akan melakukan fungsinya sebagai
penghubung antara masyarakat dan pemerintahan, apabila berkembang di masa
otoriter, maka dia hanya berfungsi menjalankan apa yang diperintah oleh
penguasa pada saat itu.
1. Pada negara Demokrasi, partai politik bisa berfungsi sebagai berikut:
a. Sebagai sarana komunikasi politik38
untuk menampung aspirasi,
merumuskan kebijakan dan dimasukkan ke dalam program partai. Juga
membicarakan kebijakan-kebijakan pemerintahan yang keluar. Dan pada
saat itu partai berfungsi sebagai penghubung antara pemerintah dan yang
diperintah.
b. Sebagai sarana sosialisasi politik,39
partai melakukannya melalui media
massa, ceramah-ceramah, penerangan, kursus, kader, penataran dan
sebagainya. Tujuannya adalah untuk menciptakan citra (image) bahwa dia
memperjuangkan kepentingan umum. Hal ini penting jika dihubungkan
tujuan partai untuk bisa menguasai pemerintahan melalui kemenangan
dalam pemilihan umum.
c. Sebagai sarana rekrutmen politik,40
hal ini berhubungan dengan
keanggotaan partai. Untuk bisa memperkuat platform partai tersebut dia
harus bisa menciptakan kader-kader untuk dibinanya. Dan dari itu
didirikan semacam organisasi untuk menaunginya yang melibatkan
golongan buruh, petani, pemuda dan mahasiswa. Dan dari itu dia
membutuhkan kader yang berkualitas, agar mempunyai kesempatan
38
Budiarjo, Dasar-Dasar, h. 405-406 39
Ibid,h. 407. 40
ibid, h. 408.
23
mengembangkan diri dan masuk ke dalam kepemimpinan nasional dan
internal partai sendiri.
d. Sebagai sarana pengatur konflik,41
partai sebagai penengah dimana
terdapat konflik yang terjadi. Dalam keadaan Indonesia yang mempunyai
beragam suku dan etnis, konflik yang melibatkan suku yang berbeda pasti
terjadi. Maka dari itu peran partai adalah penengah dan memberi
pengertian kepada kedua belah pihak yang berkonflik. Partai juga
melakukan konsolidasi dan artikulasi tuntutan yang beragam yang
berkembang di berbagai kelompok masyarakat.
2. Fungsi partai di negara otoriter.42
Bisa digambarkan pada negara yang
menganut ideologi komunis. Pada saat partai komunis yang berkuasa, mereka
mempunyai kedudukan monopolistis dan kebebasan bersaing ditiadakan. Ia
menentukan dirinya sebagai partai tunggal atau partai yang dominan. Partai
politik mempengaruhi semua aspek kehidupan masyarakat melalui konsep
jabatan rangkap. Sarana sosialisasi politik lebih ditekankan pada aspek
pembinaan warga negara ke arah kehidupan dan cara berfikir sesuai dengan
yang ditentukan partai.
3. Fungsi partai politik di negara berkembang,43
partai politik diharapkan
melaksanakan fungsinya seperti di negara-negara yang kehidupan politiknya
sudah matang. Diharapkan bisa mengorganisir kekuasaan politik,
mempengaruhi keputusan-keputusan pemerintah, dan juga melaksanakannya.
Akan tetapi partai di negara baru, partai politik menghadapi masalah seperti
kemiskinan, terbatasnya kesempatan kerja, pembagian pendapatan yang
41
Ibid, h. 409. 42
Ibid, h 410-411. 43
Ibid, h. 413.
24
timpang dan tingkat pendidikan yang rendah. Dan sulit untuk menjadikan
partai politik sebagai jembatan antara pemerintah dan yang diperintah.
Di Indonesia sejarah kemunculan partai dan keorganisasian dilalui dengan
tiga tahap: pertama, masa penjajahan Belanda, munculnya organisasi baik yang
bertujuan sosial seperti Boedi Oetomo dan Muhammadiyah, atau beraliran politik
dan sekuler seperti Sarekat Islam, PNI dan Partai Khatolik.44
Kemunculan partai
politik merupakan kesadaran nasional untuk kemerdekaan bagi Indonesia. Kedua,
masa pendudukan Jepang. Masa ini semua kegiatan politik dilarang. Hanya
golongan Islam diberi kebebasan untuk membentuk partai Masyumi, yang
bergerak di bidang sosial.45
Memasuki masa kemerdekaan46
banyak partai yang
bermunculan dan mengikuti Pemilihan Umum.
Pada Pemilihan Umum tahun 1955 diikuti sebanyak 172 partai, empat
terbesar di antaranya: PNI (Partai Nasionalis Indonesia); Masyumi (Majelis Syura
Muslimin Indonesia); Nahdlatul Ulama; dan PKI (Partai Komunis Indonesia).
Pada Pemilihan Umum tahun 1971 hanya diikuti sebanyak 10 partai. Partai-
partainya sebagai berikut, Partai Khatolik; Partai Syarikat Islam; Partai Nahdlatul
Ulama; Partai Muslimin Indonesia; Golongan Karya; Partai Kristen Indonesia;
Partai Musyawarah Rakyat Banyak; Partai Nasional Indonesia; Partai Islam Perti;
Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia. Pemilihan Umum berikutnya
pada tahun 1977 dan 1997 hanya diikuti tiga partai. Partainya sebagai berikut
Partai Persatuan Pembangunan; Golongan Karya; Partai Demokrasi Indonesia.
Pemilu 1999 diikuti sebanyak 48 partai 5 diantaranya adalah Partai Amanat
44
Partai Keadilan Sejahtera. 45
Ibid. 46
Redaksi Great Publisher, Buku Pintar Politik: Sejarah, Pemerintahan, dan
Ketatanegaraan (Yogyakarta: Great Publisher, 2009), h. 219
25
Nasional; Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; Partai Keadilan; Partai
Masyumi Baru; Partai Nasional Demokrat. Pemilihan Umum 2004 diikuti 24
partai 4 diantaranya adalah Partai Bulan Bintang; Partai Demokrat; Partai Damai
Sejahtera; Partai Golongan Karya. Pemilihan Umum 2009 diikuti 38 partai politik
nasional dan 6 partai politik lokal Aceh. Partai nasional Partai Demokrat; Partai
Keadilan Sejahtera; Partai Amanat Nasional. Dan enam partai lokal Aceh, Partai
Aceh Aman Sejahtera; Partai Daulat Aceh; Partai Aceh.
Dari banyaknya partai yang mengikuti Pemilihan Umum setiap lima tahun
sekali memperlihatkan bahwa masyarakat berpartisipasi dengan mengikutsertakan
partainya dalam pemilihan untuk berkuasa selama lima tahun jabatan.
Banyaknya partai yang tumbuh dan berkembang di negara Indonesia ini,
tetapi tidak menghasilkan relation antara pemerintahan dan masyarakat. Harusnya
dengan partai yang banyak ini bisa mensosialisasikan setiap kebijakan negara
yang keluar dan memberikan kepada masyarakat. Sehingga tidak ada jarak
antaranya. Hal ini terjadi karena partai sibuk memperebutkan kekuasaan
dibanding menjalankan fungsinya.
Menurut Budi Winarno,47
penyebab minimnya fungsi partai adalah,
pertama, di dalam tubuh partai tumbuh pragmatisme politik dan oportunisme.
Dalam pengertian ini, solidaritas akan dipahami dalam pengertian singkat, yakni
semata-mata karena ikatan kepentingan bukan alasan-alasan yang luas. Dilihat
dari koalisi yang berbeda ideologi. Kedua, kesadaran yang keliru mengenai orang
dengan kepentingan dan kepentingan elit dominan di dahulukan. Ketiga, kurang
ketegasan dalam hal ideologi, sehingga partai menjadi akumulasi kepentingan
47
Prof.Dr.Budi Winarno,MA, Sistem Pollitik Era Reformasi (Yogyakarta: MedPress,
2008), h. 101.
26
politik dan tidak mempunyai visi misi yang tepat sasaran. Keempat, mempunyai
rencana jangka pendek, dengan Pemilihan Umum dan terpilih untuk partai
berkuasa lima tahunan. Kelima, secara empirik ada peremajaan anggota partai,
tapi tetap ada pelaku lama yang bekerja pada saat Orde Baru.
Hal di atas yang menyebabkan kegagalan partai politik. Dan terjadi juga di
negara demokrasi. Partai politik yang jatuh atau gagal dalam negara demokrasi
disebabkan oleh partai itu sendiri. Apabila dia mengikuti Pemilihan Umum dan
dia gagal untuk dapat duduk di lembaga pemerintahan seperti DPR dan MPR,
maka untuk Pemilihan Umum yang akan datang dia akan menciptakan partai baru
dan mengikuti lagi Pemilihan Umum. Karena didorong keinginan untuk bisa
menguasai negara pada saat itu dan mengatur segala sesuatunya.
Apabila sudah terpilih, mereka tidak mendahulukan apa yang telah
menjadi tujuan terbentuknya partai politik, yaitu penghubung antara yang
memerintah dan yang diperintah. Sehingga jarak terjadi dan membuat MPR dan
DPR sebagai tempat kepentingan berbagai individu. Padahal lembaga tersebut
adalah yang membuat bulat lonjongnya pemerintahan.48
Padahal partai politik sudah mempunyai tujuan yang jelas pada saat
pembentukannya, dan masuknya intelektual bisa membuat citra partai semakin
baik dan kinerjanya meningkat. Sebagai penghubung antara pemerintah dan yang
diperintah, sama dengan fungsi intelektual, individu yang dipercaya masyarakat
untuk mewujudkan sistem pemeritahan yang baik dan bisa mensejahterakan
48
Deny J.A, Memperkuat Pilar Kelima, Pemilu 2004 dalam Temuan Survey LSI
(Yogyakarta: LKIS, 2006), h. 19.
27
rakyat.49
Tujuan khususnya, memperjuangkan cita-citanya bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.50
C. Partisipasi Politik
Disebabkan adanya keterlibatan intelektual dalam masalah-masalah politik
dalam sub-bab berikut perlu dijelaskan hubungan antara intelektual dengan
partisipasi politik. Dalam demokrasi peran serta masyarakat sangatlah
berpengaruh. Karena pada negara demokrasi, rakyat menjadi penentu kebijakan.
Dalam ilmu politik, partisipasi diartikan sebagai upaya warga negara baik secara
indvidual maupun kelompok, untuk ikut serta dalam mempengaruhi penentu
kebijakan publik dalam suatu negara.51
Partisipasi menurut Ramlan Surbekti,52
adalah keikutsertaan warga negara
biasa (yang tidak mempunyai kewenangan) dalam mempengaruhi proses
pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Partisipasi politik mengacu ke-
dalam dua hal berdasarkan pengertian-pengertian di atas:
a. Proses pemilihan penguasa, dalam hal ini Pemilihan Umum yang
diadakan dalam lima tahun sekali dalam pemilihan Presiden maupun
pemimpin-pemimpin daerah.
b. Pengawasan kepada penguasa yang terpilih. Hal ini berhubungan
dengan mempengaruhi kebijakan publik.53
49
Undang-Undang Republik Indonesia no 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik, Plus
Tanya Jawab Mengenai UU Partai Politik (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003), h. 50. 50
Ibid. 51
Afan Gaffar, “Merangsang Partisipasi Politik Rakyat,” dalam Syarofin Arba, ed.,
Demitologi Politik Indonesia: Mengusung Elitisme Dalam Orde Baru (Jakarta: Pustaka Cidesindo,
1998), h.240. 52
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Grasindo, 2009), h.141. 53
Ammatullah Shafiyah dan Haryati Soeripno, Kiprah Politik Muslimah Konsep dan
Implementasinya (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), h.42.
28
Dalam hal ini, partisipasi masyarakat bisa berbentuk dengan melakukan
protes-protes bila arah kebijakan berat sebelah atau merugikan rakyat. Umumnya
partisipasi politik masyarakat bersifat mandiri (autonomous) dimana individu
melakukan kegiatan berdasarkan inisiatif dan keinginan sendiri. Hal ini terjadi
atas dasar tanggung jawab dalam politik, atau didorong oleh keinginan untuk
mewujudkan kepentingan atau kelompoknya.
Tapi ada pula partisipasi yang tidak dilakukan karena kehendak orang
tersebut, akan tetapi diminta, bahkan dipaksa untuk melakukan keinginannya. Ada
lima hal yang bisa menggerakkan partisipasi dalam proses politik, sebagaimana
disampaikan Myron Weiner, yaitu:54
a. Modernisasi dalam segala bidang kehidupan yang menyebabkan
makin banyak masyarakat menuntut untuk ikut dalam kekuasaan
politik.
b. Perubahan-perubahan struktur kelas sosial, masalah siapa yang berhak
berpartisipasi dan pembutan keputusan politik menjadi penting dan
mengakibatkan perubahan dalam pola partisipasi politik.
c. Pengaruh kaum intelektual dan komunikasi massa modern, ide
demokratisasi partisipasi telah menyebar ke bangsa-bangsa baru
sebelum mereka mengembangkan modernisasi dan industrialisasi yang
cukup matang.
d. Konflik antar kelompok pemimpin politik, jika timbul konflik antar elit
maka yang dicari adalah dukungan rakyat, terjadi perjuangan antar
54
Drs.A.Rachman.MM, “Sistem Politik Indonesia.”
29
kelas menengah melawan kaum aristokrat telah menarik kaum buruh
dan membantu memperluas hak pilih rakyat.
e. Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam masalah sosial, ekonomi
dan budaya, meluasnya ruang lingkup aktifitas pemerintah seiring
merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisir akan
kesempatan untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik.
Dengan adanya partisipasi politik maka akan membuka ruang publik yang
terbuka untuk rakyat. sehingga membuat rakyat tidak menjadi apatis (tidak peduli
terhadap pemerintahan)55
Huntington dan Nelson membagi landasan patisipasi
menjadi:56
a. Kelas, individu dengan status sosial dan pekerjaan yang sama.
b. Kelompok atau komunal, individu dengan asal usul ras, agama,
bahasa, atau etnis yang sama.
c. Lingkungan, individu yang jarak tempat tinggalnya berdekatan.
d. Partai, individu yang mengidentifikasi diri dengan organisasi formal
yang sama yang berusaha untuk meraih atau mempertahankan kontrol
atas bidang-bidang eksekutif dan legislatif pemerintahan.
e. Golongan atau faksi, individu yang dipersatukan oleh interaksi yang
terus menerus antara satu sama lain, yang akhirnya membentuk
hubungan patron-client, yang berlaku atas orang-orang dengan tingkat
status sosial, pendidikan, dan ekonomi yang sederajat.
55
Kamus Bahasa Indonesia, “Apatis.” 56
Sosiologi FISIP UNPatti angkatan 2007, “Partisipasi Politik,” mengulas buku Samuel P.
Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang (Jakarta: Rineka Cipta,
1990) h. 9-10. artikel diakses pada 18 Oktober 2011 dari
http://sunaryotianotak.blog.com/2011/02/11/partisipasi-politik/
30
Huntington dan Nelson membagi bentuk-bentuk partisipasi politik ke
dalam beberapa macam:57
a. Kegiatan pemilihan, kegiatan pemberian suara dalam Pemilihan
Umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan
bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha
memepengaruhi hasil Pemilu.
b. Lobby, upaya perorangan atau kelompok menghubungan pemimpin
politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu
isu.
c. Kegiatan organisasi, partisipasi individu ke dalam organisasi, baik
selaku anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi
pengambilan keputusan oleh pemerintah.
d. Contacting, yakni upaya individu atau kelompok dalam membangun
jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi
keputusan mereka, dan.
e. Tindakan kekerasan (violence), yiatu tindakan individu atau kelompok
guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan
kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk disini adalah huru
hara, teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination), revolusi dan
pemberontakan.
Partisipasi ini mempunyai dua bentuk, yaitu konvensional dan
nonkonvensional. Partisipasi konvensional adalah menghadiri pertemuan publik,
bekerja demi sebuah partai politik, dan menandatangani petisi, komunikasi
57
Ibid.
31
individual dengan pejabat politik.58
sedangkan partisipasi non-konvensional
adalah pengajuan petisi, demonstrasi, konfrontasi, mogok dan tidakan kekerasan
politik.59
Kegiatan masyarakat yang berhubungan dengan pemerintahan ataupun
kebijakan itu gagal. Tetap itu merupakan partisipasi politik dari masyarakat.
Partisipasi warga negara kadang bukan merupakan kegiatan yang otonom dan
murni (istilahnya autonomous participation) tetapi merupakan kegiatan yang
dimobilasasi (mobilized participation) oleh orang atau kelompok tertentu.60
D. Pendekatan Masalah
Dengan berpijak pada konsep teori di atas penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui penyebab dari pengamat-pengamat poitik masuk ke dalam politik.
Penulis memasukkan pengamat politik ke dalam golongan cendekiawan. Dengan
menggunakan analisis data penelitian kualitatif, melakukan proses wawancara,
melakukan tanya jawab dengan narasumber yang berkaitan dengan pokok
permasalahan skripsi penulis. Dan diharapkan dapat mengetahui apa-apa yang
mempengaruhi para pengamat politik masuk ke dalam politik praktis.
Penulis bertanya mengenai faktor yang menyebabkan mereka masuk ke
partai politik, apakah ada paksaan dari dalam atau pengaruh individu. Banyak
kepentingan yang ingin diperjuangkan untuk dirinya sendiri atau kelompok
kepentingan. Bagaimana pendapat para intelektual yang lain pada saat mereka
masuk ke dalam partai politik? Apakah ada pengaruh yang berbeda pada saat
58
Pippa Noris dan Ronald Inglehart, “Sekularisasi ditinjau Kembali: Agama dan Politik di
Dunia Dewasa Ini (Ciputat: Pustaka Alvabet, 2009), h. 221. 59
Ibid. 60
Ammatullah Shafiyah, Kipra Politik Muslimah, h. 43.
32
berada di dalam dan di luar dari partai politik? Apakah tujuan awal mereka masuk
ke dalam, bisa terealisasi dan terdahulukan dibanding kepentingan kelompok?
Contoh pertanyaan yang akan memberikan penjelasan tentang bagaimana
perjalanan seorang pengamat politik hingga bisa masuk ke dalam partai politik.
dilihat dari banyak teori yang ada mulai dari pembagian intelektual organik,
tradisional, partai politik dan partisipasi. Memperlihatkan, bahwa pengamat
politik, ikut berpartisipasi politik dengan masuk ke dalam partai dan menjadi
intelektual organik, yang terjun langsung mengurus rakyat dan berurusan dengan
orang yang berkuasa pada saat itu. 61
61
Untuk detail gambaran pandangan lihat apendix (hasil wawancara)
79
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Obyek Penelitian
Penulisan skripsi ini membahas mengenai pengevaluasian kegiatan
pemeriksaan atas laporan keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Banten pada
Tahun Anggaran 2010 oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia
(BPK-RI) Perwakilan Banten mulai dari tahap awal hingga tahap pelaporan oleh
auditor BPK-RI. Adapun yang menjadi obyek penelitian adalah kegiatan
pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK-RI mencakup langkah-langkah
pemeriksaan yang ditempuh auditor, pengujian yang dilakukan, informasi yang
diperoleh dan simpulan yang dibuat sehubungan dengan pemeriksaan yang
dilakukan serta Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang diterbitkan BPK-RI
terkait dengan pemeriksaan atas laporan keuangan Pemerintah Daerah Provinsi
Banten Tahun 2010.
B. Teknik Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data penulisan ini terdiri atas dua
bagian yaitu menurut sifatnya dan cara memperolehnya.
1. Berdasarkan sifatnya
a. Data kualitatif
80
Data yang dikumpulkan tidak dalam bentuk angka melainkan
kategori, seperti visi dan misi lembaga, struktur organisasi, sejarah
lembaga, metode pemeriksaan dan kegiatan lain yang dibutuhkan.
b. Data kuantitatif
Data yang dikumpulkan dalam bentuk angka. Data tersebut berupa
komposisi jumlah auditor dalam lembaga, laporan keuangan yang
diaudit dan kertas kerja milik auditor yang bersangkutan.
2. Berdasarkan metode memperolehnya
a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Studi kepustakaan dimaksud untuk memperoleh data sekunder yang
menjadi landasan teori dalam penyusunan skripsi ini dari buku-buku
dan literatur lainnnya yang berhubungan dengan obyek penelitian.
b. Penelitian Lapangan (Field Research)
Penelitian lapangan yang dilakukan dimaksudkan untuk
memperoleh data primer dari obyek penelitian yaitu BPK guna
mendapatkan informasi yang akurat. Adapun teknik yang digunakan
dalam metode ini adalah:
1) Wawancara yaitu mengumpulkan data dengan cara mengajukan
pertanyaan langsung dengan auditor BPK-RI dan pihak-pihak yang
terkait dalam pemeriksaan laporan keuangan Pemerintah Daerah
Provinsi Banten.
81
2) Observasi yaitu melihat langsung pada obyek penelitian untuk
memperoleh gambaran yang lebih jelas.
3) Kuesioner yaitu mengumpulkan data dengan mengajukan
pertanyaan dalam bentuk suatu daftar pertanyaan kepada pihak-
pihak yang berkaitan dengan pemeriksaan laporan keuangan
Pemerintah Daerah Provinsi Banten.
C. Teknik Pengolahan Data
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah bersifat
kualitatif dengan analisis deskriptif komparatif dengan cara menelaah kegiatan
pemeriksaan yang dilakukan auditor BPK-RI Perwakilan Banten dalam mengaudit
keuangan Pemda Banten, yang berisi mengenai perencanaan, pelaksanaan, dan
pelaporan pemeriksaan serta membandingkannya dengan standar yang berlaku
ataupun tolak ukur lainnya, meliputi:
1. Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yang ditetapkan oleh
BPK-RI
2. Panduan Manajemen Pemeriksaan yang diterbitkan oleh BPK-RI.
53
BAB IV
PENGAMAT POLITIK SEBAGAI KEKUATAN POLITIK
Bab ini merupakan elaborasi dari bab sebelumnya yang menggambarkan
sejarah singkat perkembangan seorang cendekiawan dan intelektual di Indonesia.
Diceritakan mengenai para pengamat politik yang masuk ke dalam partai politik.
Berbagai faktor dan tujuan mempengaruhi mengapa cendekiawan memasuki
politik praktis. Bab ini menjelaskan bahwa seorang intelektual selalu berkeinginan
untuk masuk ke dalam partai politik ataupun struktur kekuasaan yang lain. Karena
bisa diasumsikan bahwa lewat partai politik semua cita-cita untuk bisa menduduki
jabatan dapat terwujud.
Fokus pembahasan dalam bab ini adalah menjelaskan fungsi dan tanggung
jawab intelektual sebagai kekuatan politik penyeimbang, faktor masuk ke dalam
partai, pilihan partai yang akan menjadi jembatan untuk meraih kesuksesan, dan
pandangan politik seorang cendekiawan.
Pengamat politik mempunyai kekuatan politik yaitu ilmu atau kepandaian
yang bisa mereka pergunakan untuk menjadi kelompok penekan. Dari kekuatan
politik ini, para pengamat politik bisa mempengaruhi pembuatan dan perumusan
kebijakan politik yang terkait dengan masyarakat umum. Kemampuan
mempengaruhi ini dilakukan oleh kelompok dengan memanfaatkan sumber
kekuasaan dan akses yang dimiliki, sehingga setiap kebijakan dan keputusan
politik dapat menguntungkan mereka. 1
1 Dra. Haniah Hanafie, “Kekuatan-Kekuatan Politik” (Penelitian Buku Ajar Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta), h. 15.
54
A. Cendekiawan sebagai Kekuatan Politik Penyeimbang
Kaum cendekiawan dan intelektual adalah individu yang memang
diperlukan daalam struktur kekuasaan (baca-partai politik, pemerintahan). Mereka
sering dianggap sebagai penyelesai masalah. Mereka juga mempunyai jawaban
dalam permasalahan masyarakat. Pada tahap inilah, cendekiawan ditarik masuk ke
dalam politik agar bisa menjadi juru bicara dalam setiap pekerjaan yang diemban
partai tersebut.
Akan tetapi karena partai politik adalah ajang bagi sekumpulan individu
atau kelompok yang berorientasi pada kekuasaan, tidak jarang seorang intelektual
yang idealis tersingkir jika tidak mempunyai persiapan mental yang kuat. Tujuan
para intelektual masuk ke dalam partai politik ataupun pemerintah tentu berharap
ke arah yang positif. Tapi pertanyaannya adalah apakah mereka bisa bertahan
dalam dunia yang penuh dengan kelicikan dan saling bersiasat antara satu individu
dengan yang lain demi mendahulukan kepentingan pribadi. Intelektual yang
bertujuan bisa memberi kebenaran bagi masyarakat, dituntut untuk bertanggung
jawab yang besar demi membenahi partai politik yang sekarang.
Sebelum kemerdekaan para intelektual Indonesia didorong untuk masuk
ke dalam pemerintah. Hal ini muncul karena mereka dianggap kritis, sehingga
diharapkan mampu untuk menjadi tulang punggung demokrasi. Sebagaimana
dijelaskan pada bab sebelumnya kekuasaan yang ada pada saat itu. Partai politik
dan pemerintahan pada saat itu diisi oleh orang yang bukan bidangnya, sehingga
tujuan untuk memberikan kebaikan kepada rakyat terabaikan.
55
Dewasa ini walaupun para intelektual hanya menjadi seorang pengamat
politik, mereka bisa mengarahkan pandangan masyarakat tentang pemerintahan.
Mereka bisa menolong siapa saja yang terkena bencana. Ini dimungkinkan karena
organisasi politik relatif banyak. Tapi ternyata masih sedikit yang menyadari
bahwa mereka bisa berkiprah secara bebas di luar partai politik. Tampaknya ada
kepentingan yang lebih mendasar sehingga mereka memutuskan bergabung
dengan partai politik.
Fadli Zon, misalnya mengatakan bahwa untuk menjadi kekuatan
penyeimbang, maka intelektual yang berada di luar politik juga baik untuk
mengontrol. Tetapi dampaknya akan beda apabila mereka masuk ke dalam politik.
Kita bisa ambil contoh, kalau ada orang yang seperti Drajat Wibowo, orang yang
berpikiran tajam masuk PAN, maka lembaga pemerintahannya juga akan menjadi
berkualitas.2
Seorang pengamat politik yang telah masuk ke dalam struktur kekuasaan,
maka segala tanggung jawabnya teralihkan untuk membela platform yang
diikutinya. Sehingga mereka tidak lagi bisa berkritik secara bebas, karena terikat
dengan partai yang memayungi mereka. Hal itu yang membuat mereka buruk di
mata intelektual yang lain.
Selama mereka di luar mereka menulis dan mengkritisi keadaan
pemerintahan, dan pada suatu hari mereka masuk dan menjadi bagian dari
kelompok itu. Tidak ada yang salah, itu tujuan dan cita-cita yang ingin mereka
2 Wawancara pribadi dengan Fadli Zon, Jakarta, 9 Juli 2011
56
perjuangkan, apabila mereka bisa bertahan di tengah-tengah kepentingan orang
dengan mengorbankan orang banyak.
Cendekiawan atau intelektual yang masuk ke dalam struktur pemerintahan
memang dalam situasi yang sulit, apalagi struktur kekuasaan itu masi dijadikan
sebagai penopang kehidupan bagi individu-individu yang mempunyai
kepentingan lebih untuk bisa mengontrol segala sesuatu yang ada di dalam. Tidak
peduli orang lain keluar dari ruang lingkup kelompok tersebut.
Berada dalam situasi yang sulit berjuang untuk bisa merubah keadaan di
dalam pemerintah adalah tugas siapa saja yang merasa bertanggung jawab atas
kesejahteraan dan kebaikan rakyat. Bukan hanya cendekiawan ataupun
intelektual. Politisi yang berada di dalam dengan masuknya cendekiawan dan
intelektual harusnya lebih bisa bekerja sama dalam segala hal. Akan tetapi para
intelektual yang masuk hanya dijadikan sebagai tameng pemerintah dalam
memberikan argumen kepada rakyat.
Walaupun ada sejumlah cendekiawan atau intelektual yang membantu
suau golongan tertentu tanpa harus memasuki golongan tersebut. Hal itu mungkin
menjadi prinsipnya sendiri. Setiap orang pastinya tidak lepas dari kepentingan
yang mengelilinginya. Karena mereka butuh kepentingan untuk makan, sekolah
dan lain sebagainya. Hal ini menggambarkan bahwa di luar kehidupan politik
semua orang mempunyai kepentingan masing-masing.
B. Faktor-Faktor yang Mendorong Cendekiawan Terlibat dalam Politik
Tidak ada larangan bagi seorang individu untuk memasuki sebuah struktur
kekuasaan (baca partai-politik). apalagi bagi seorang intelektual. Intelektual
57
adalah seorang individu yang tujuannya untuk mencari kebenaran dan
mengungkapkan kebenaran itu. Maka, jika dia berminat memasuki sebuah dunia
baru yang penuh dengan rencana dan kebijakan dengan tujuan yang bertujuan
untuk memperbaiki masyarakat, tidak ada alasan untuk menolak.
Fadli Zon mengutip sebuah nasihat kebijakan dari seorang filsuf abad ke-
18 Edmund Burke “all that is necessary for the triumph of evil is that good men
do nothing.” Kalau orang-orang yang merasa baik itu tidak berada di dalam
politik, maka politik itu akan dikuasai oleh sebuah kekuatan buruk, seperti oleh
preman-preman politik, mafia politik, bandit politik dll.3
Tapi pendapat itu disanggah beberapa intelektual lain, misalnya Prof. Dr.
Sumantri Brodjonegoro, seorang rektor Universitas Indonesia (UI) pada era 1960-
an. Pada saat itu dia menjabat sebagai Menteri Pertambangan. Lalu Soe Hok Gie,
seorang aktifis Indonesia era 1960-an mendatanginya dan bertanya kenapa dia
mau masuk pemerintahan dan bekerja sama dengan para mafia minyak dsb. Dia
mengatakan,
“Kita mempunyai dua pilihan, jika kita melihat keburukan-keburukan
yang terjadi di kalangan pemerintah, atau terjun ke dalam bersusaha
(belum tentu berhasil) memperbaikinya atau tinggal di luar dan sambil
menunggu aparat tadi ambruk. Saya memilih pertama dengan segala
konsekuensinya.”4
3 Wawancara pribadi dengan Fadli Zon.
4 Rudy Badil, dkk., Soe Hok Gie..sekali lagi Buku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya
(Jakarta: KPG, 2009), h. 444-445.
58
Soe Hok Gie menghargai seluruh intelektual yang masuk ke pemerintahan
dengan alasan-alasan tertentu. Tapi hal itu karena mereka berada dalam kondisi
sulit untuk bisa mendapat hasil yang maksimal.5
Masuk ke dalam struktur kekuasaan bisa jadi hanya sebagai warisan
politik sejak zaman penjajahan Belanda. Trend politik sampai dengan sekarang.
Banyaknya kasus yang muncul, akan tetapi tidak terselesaikan sama sekali. Dari
segala persoalan yang ada diharapkan bahwa kemunculan para intelektual dapat
memberikan penyelesaian yang baik seperti yang diharapakan oleh masyarakat.
Hal itu karena fungsi intelektual untuk memberikan kebenaran. Tidak hanya
mewarnai politik dengan masuk ke dalam struktur kekuasaan (partai politik) dan
tidak memberikan kontribusi apa-apa, karena mempunyai kepentingan. Sehingga
tujuan awalnya tidal terealisasi.
Berikut ini adalah beberapa alasan pengamat politik masuk ke dalam
partai politik:
1. Untuk Memperluas Kiprah Politik6
Bagi para pengamat politik, menjadi pengamat hanya dapat melihat dari
luar saja. Karena itu tentu akan lebih menarik kalau pengamat politik bisa masuk
ke dalam politik, dibanding menjadi penonton. Dengan berada di dalam, pengamat
politik bisa memperluas kiprah politik dan masuk ke dalam Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan jajaran eksekutif. Pengalaman ini dapat memberi mereka
kesempatan melakukan sejumlah eksperimen dengan kemampuan menekan.
2. Ingin Melakukan Perubahan Di Dua Bidang7
5 Ibid., h. 445.
6 Wawancara pribadi dengan Ulil Abshar Abdalla, Jakarta, 12 Juli 2011.
59
Bagi para pengamat dengan menjadi tenaga pengajar, hanya bisa
melakukan perubahan di bidang akademik. Karenanya setelah masuk ke dalam
partai politik, intelektual bisa langsung berhubungan dengan perubahan kebijakan
politik dan merubah partai politik dari dalam. Kalau dulunya, intelektual berjuang
dengan lisan, partai politik memberi peluang perjuangan dilakukan dengan tangan.
3. Agar Bisa Mengontrol Setiap Kebijakan Dan Mempengaruhi
Kebijakan Yang Keluar8
Ketika menjadi pengamat politik, seorang intelektual tidak bisa
memberikan aspirasi lebih. Dan pengamat hanya tahu berita yang beredar dari luar
saja. Pengamat politik walaupun mempunyai pandangan yang benar, kritis,
mempunyai pengaruh dalam berpendapat, tetapi pengamat tidak bisa mengambil
sebuah keputusan. Keputusan tetap berada di tangan politisi. Dalam mengontrol
kebijakan, seorang politisi bisa menolak untuk mengikuti program pemerintah.
Misalnya, program study banding keluar negeri, seorang politisi berhak melarang
anggotanya untuk berangkat.
4. Untuk Memperbaiki Kondisi Masyarakat9
Sebagai pengamat politik biasa pastinya mempunyai batasan-batasan
dalam melakukan sesuatu dan mempunyai batasan untuk mengontrol. Hal yang
tidak bisa dilakukan oleh pengamat politik, bisa dilakukan oleh politisi. Misalnya,
musibah yang datang kepada satu daerah, untuk bisa memperbaiki secara cepat
dibutuhkan individu atau kelompok yang berkuasa. Karena sebagai intelektual,
hanya bisa memberi bantuan tanpa bisa mengontrolnya.
7 Wawancara pribadi dengan Bima Arya Sugiarto, Jakarta, 4 Juli 2011.
8 Ibid.
9 Wawancara pribadi dengan Indra J.Piliang, Jakarta, 5 Juli 2011.
60
Para pengamat politik yang masuk ke dalam partai politik biasanya sudah
dalam keadaan materi berlimpah. Akan tetapi seorang pengamat politik itu
harusnya terbebas dari segala kepentingan. Bisa dikatakan, pengamat harus bebas
dari segala rasa untuk menguasai. Sedangkan partai itu sendiri mempunyai tujuan
untuk berkuasa. Dan tujuan politik yang awalnya untuk memberikan kebaikan
kepada rakyat.10
Dengan alasan yang beragam masuk ke dalam gelanggang politik, para
intelektual berharap tidak ada yang berubah dari cita-cita mereka. Tapi harus
dicatat banyaknya individu atau kelompok intelektual maupun lapisan masyarakat
yang menyayangkan mereka masuk ke dalam politik praktis. Karena menurut
masyarakat, orang yang berpendidikan seperti mereka harusnya tidak haus akan
kekuasaan.
Dengan hadirnya intelektual di dalam gelanggang politik, diharapkan bisa
membawa pengaruh positif terhadap kinerja dan citra dunia politik. Harapan itu
bukan tanpa alasan, sebab sejak era reformasi, sistem perekrutan dan seleksi
legislatif di tingkat partai dan pada level pemerintah tidak berhasil melahirkan
legislatif yang berkualitas.11
Tiga alasan yang menjadi motivasi para intelektual masuk ke dalam
gelanggang politik. Pertama, mereka merasa terpanggil dengan tanggung jawab
intelektualnya untuk memperbaiki kehidupan politik saat ini yang makinj auh dari
yang dicita-citakan. Kedua, melakukan kajian ilmiah atas kondisi politik saat ini
10
Mohammad Hatta, “Tanggungjawab Kaum Intelegentsia,” dalam Aswab Mahasin dan
Ismed Natsir, Cendekiawan dan Politik (Jakarta: LP3ES, 1984), h. 12 11
Suara Merdeka Online, “Peran Intelektual di Partai Politik,” artikel diakses pada 19
Oktober 2011 dari http://www.suaramerdeka.com/harian/0402/17/kha1.htm
61
dan konsekuensinya terhadap kehidupan demokrasi Indonesia pada masa depan.
Ketiga, motif ekonomi, zaman sekarang menjadi politikus memiliki magnitude
yang sangat kuat dari sisi ekonomi.12
C. Pilihan Partai dalam Politik dan Tujuannya
Banyaknya partai yang berpartisipasi dalam Pemilu tahun 2009.tetapi
hanya partai-parta tertentu yang mempengaruhi dalam hal pilihan partai yang
dimasuki oleh para pengamat politik ini. Partai besar, partai kecil, partai baru
partai lama, dengan ketenaran partai atau individu yang membesarkan nama partai
sehingga bisa dikenal oleh masyarakat.
a. Indra Jaya Piliang13
Indra Piliang adalah seorang penulis yang disegani. Tulisannya banyak
dipakai untuk menjadi kutipan dalam buku-buku, contoh tulisannya dalam buku
Study Politik Oposisi Dan Demokrasi. Dalam buku dia merespon langkah
Megawati dengan menulis “apa yang dilakukan oleh Megawati itu adalah sesuatu
yang sangat mudah dikatakan tapi sulit memaknainya,”14
Selama menjadi seorang intelektual Indra telah mencoba menawarkan ide-
ide dan pendapatnya kepada partai-partai politik yang ada. Akan tetapi penolakan
yang dia terima dan diabaikan oleh partai politik tersebut. Partai Golkar menjadi
pilihan Indra Piliang untuk memasuki gerbang politik setelah awalnya dia keluar
dari PAN. Alasannya karena perbedaan pandangan dengan cita-cita PAN. Pada
12
Ibid. 13
Wawancara pribadi dengan Indra J.PIliang 14
Redi Panuju, Studi Politik Oposisi dan Demokrasi (Yogyakarta: INTERPREBOOK,
2011), h.121.
62
saat itu Pasca Pemilu 1999 PAN bergeser menjadi partai berplatform iman dan
taqwa. Indra mengundurkan diri dari PAN pada 21 Januari 2001.
Indra Piliang menamatkan S-1 di Universitas Indonesia dengan jurusan
sastra pada tahun 1991-1997. Dan melanjutkan S-2 jurusan ilmu komunikasi di
Universitas Indonesia 2006-2008.15
Ada beberapa alasan mengapa ia vakum
selama 8 tahun, dia masuk lagi ke dalam partai politik. padahal selama dia
menjadi pengamat politik banyak hal yang dia dapat. Seorang pengamat politik
yang cukup kritis dalam memberi tanggapan kepada pemerintahan.
Faktor daerah menjadi salah satu faktor dia memillih partai GOLKAR.
Menurutnya partai yang diterima di daerahnya yaitu Pariaman, Sumatra Barat
hanya Golkar. Dia tidak memilih partai yang lain, apalagi PDIP karena orang
daerah, khususnya yang tua-tua masih menganggap Soekarno memerangi Sumatra
Barat.
“Pada saat saya menjadi seorang pengamat politik, saya
memberikan banyak masukan dan mencoba untuk kita kembangkan dan
sampaikan ke politisi ini sama sekali diabaikan gitu. sehingga untuk
bisa memulihkan kembali daerah saya, saya memotivasi diri saya untuk
masuk ke dalam partai politik.”16
Dari motivasi beragam yang telah diberikan oleh para intelektual ini. Bisa
kita lihat seluruhnya adalah hal yang positif. Karena menurut pengamat politik ini,
jalan yang bisa ditempuh untuk mewujudkan cita-cita dan tujuannya hanya
dengan masuk ke dalam partai politik. Apabila mereka hanya menjadi seorang
pengamat politik, mereka hanya akan bisa melihat dan menilai dari luar saja.
15
Kembalikan Kampung Halamanku, “Profil,” artikel diakses pada 17 Oktober 2011 dari
http://indrapiliang.com/about/ 16
Wawancara dengan Indra J.Piliang.
63
“Pengamat politik itu adalah orang yang tahu sedikit tapi berbicara banyak,
sedangkan politisi itu orang yang tahu banyak tapi berbicara sedikit.”17
Para politisi yang masuk ke dalam partai politik mengambil keputusan
besar untuk masuk ke dalamnya. Mereka meninggalkan pekerjaa mereka dengan
materi yang berlimpah dan masuk ke dalam partai politik. Contoh: Indra Piliang
yang sebelum masuk ke dalam struktur kekuasaan mempunyai empat kantor
dengn fasilitas-fasilitas yang ada. Dan setelah masuk politik, dia hanya
mempunyai satu kantor saja.18
Indra adalah orang profesional yang masuk ke dalam Golkar, yang
memang telah dipersiapkan tempatnya oleh partai tersebut. Ada tempat untuk para
kalangan profesional sebanyak 10%, seperti Bahtiar Hafiz, Jefry Geovany,
Tantowi Yahya, dll.
Karena Indra dan yang lainnya adalah orang dari kalangan profesional
untuk kepentingan legislatif. Maka dari itu setelah masuk ke dalam partai dia
mempunyai kepentingan untuk membela partai yang diikutinya. Untuk
pencalonan, dia harus punya kartu anggota partai, jadi pada tanggal 6 Agustus
2008 dia memutuskan masuk ke dalam partai Golkar dan mendeklarisakan
keputusannya di Universitas Paramadina.
“Sejak memutuskan untuk menjadi politisi , dia memutuskan
mengambil posisi dan mentalitas seorang politisi. Dan mulai
menyesuaikan diri dengan Golkar, dan partai ini telah berubah menjadi
partai tradisional di beberapa daerah. Keinginan sendiri dan mungkin
kejenuhan karena terlalu lama mengamati dan mempunyai hasrat ingin
terjun langsung ke dalam politik praktis. Menurut saya segala sesuatu
tidak ada yang berubah sebelum dan sesudah memasuki ke gelanggang.
17
Ibid. 18
Ibid.
64
Walaupun tetap harus mendahulukan kepentingan partai. Karena kita
telah bergabung di dalamnya. Justru saya menganggap kalau kita
berada di dalam ruang lingkup struktur kekuasaan, kita harus lebih
memanfaatkan itu. Maka tiap tahun partainya membuat semacam
pelatihan untuk para calon kader-kader yang akan dibina oleh partai
Golkar.”19
b. Bima Arya Sugiarta20
Pertama kali dia masuk ke gelanggang pada tahun 1998 ketika PAN
pertama kali berdiri. Dia ikut mendirikan PAN di Bandung setelah dia
menyelesaikan S-2 di Universitas Monash, Melbourne Australia tentang
Pergerakan Mahasiswa tahun 1998. PAN dipilihnya menjadi partai yang akan
diikuti berdasarkan Platform dan orang-orang yang menjabat di dalamnya.
Akan tetapi pada awal masuknya dia ke dalam partai tidak bertahan lama,
karena dia melihat ada banyak skandal dan kasus yang terjadi di dalam partai. Dia
meneruskan studinya ke jenjang S-3 dan non-aktif dari partai pada tahun 2001.
Diluar faktor diatas, dia juga merasa tidak optimal dalam dua hal, yaitu sebagai
akademisi dan seorang politisi.
PAN yang diketuai oleh Hatta Rajasa mengajak masuk kembali Bima
Arya ke dalam partai dan menjadi pengurus DPP. Hatta Rajasa adalah salah satu
pendiri PAN, awalnya PAN bernama PAB (Partai Amanat Bangsa) pada Agustus
1998 oleh Amien Rais, Faisal Basri MA, Ir. M. Hatta Rajasa, Goenawan
Mohammad, Dr. Rizal Ramli, dll diganti menjadi PAN. 21
Bima telah melihat perkembangan politik mulai dari dia non-aktif dari
partai sehingga memutuskan unttuk menerima tawaran dari Hatta Rajasa untuk
19
Ibid. 20
Wawancara pribadi dengan Bima Arya Sugiarta. 21
PAN, ”Sejarah PAN,” artikel diakses pada 18 Oktober 2011 dari
http://www.pan.or.id/index.php?comp=home.detail.98
65
masuk. Menjadi akademisi dan politisi selama sepuluh tahun cukup baginya pada
tahun 2010 untuk masuk ke dalam struktur kekuasaan dan langsung berkaitan
dengan perubahan kebijakan politik, dan merubah parati politik dari dalam.
Setelah vakum selama sepuluh tahun Bima tetap dengan pilihannya yaitu
partai PAN, menurutnya,
“Karena kehidupan itu berkesinambungan, apabila sudah masuk
ke dalam PAN, walaupun saya non-aktif beberapa waktu yang lalu,
saya tetap akan masuk ke dalam partai yang sama setelah saya aktif
kembali.”Menurutnya “pindah partai seperti pindah agama” apapun
yang terjadi tidak akan pindah partai kecuali partai tersebut bubar, baru
saya mengambil jalur pengabdian yang lain.”22
Tiga hal yang membuat Bima masuk ke dalam PAN;
a. Kekaguman pada Amien Rais.
b. Cocok dengan platform yang dibuat, basisnya religious
Muhammadiyah, tapi desainnya inklusif (terbuka).
c. Banyak intelektual-intelektual yang masuk ke dalam partai ini.
Bima Arya bercita-cita agar bisa merealisasikan tujuannya ke dalam partai
politik; Pertama, dia mengingkan partai politik itu mempunyai basis data. Agar
menjadi tertib, dengan memiliki basis data yang kuat, rapi pengelolaan data dan
strategi. Kedua, partai politik tidak boleh selalu membabi buta membela
kepentingan negara, dia juga harus bisa menyuarakan kepentingan publik dan
simpati kepada rakyat kecil. Ketiga, bisa mengajak anak-anak muda supaya tidak
apatis di politik, mengajak bergabung dan berjuang bersama-sama.
“Masuk ke dalam politik itu tidak harus pada saat mempunyai
modal uang dan massa. Akan tetapi pada saat pijakan kita sudah kuat,
dan mempunyai potensi akademik yang baik. Apabila menunggu
22
Wawancara pribadi dengan Bima Arya.
66
beberapa tahun lagi ketika umur saya sudah tidak muda lagi, saya hanya
menghabiskan waktu di talk show dan diskusi seminar, saya tidak
mempunyai kesempatan untuk memimpin dan menyelesaikan
persoalan.”23
Bima yang mempunyai keinginan positip untuk bisa memperbaiki keadaan
partai yang rusak dengan masuk ke dalamnya, karena memang partai politik
adalah tempat orang yang berkepentingan dan mencari penghidupan ekonomi. Dia
menyadari bahwa masuk ke dalam politik itu adalah tugasnya untuk mengabdi,
kalau dibiarkan keadaan seperti itu berlanjut maka akan menjadi kendaraan untuk
materialisme.
Bayangkan saja, untuk kondisi DKI Jakarta yang notabene metropolitan
dengan penduduk terpelajar ternyata ditemukan 22 caleg dengan ijazah palsu. Di
daerah lain, banyak caleg yang tiba-tiba saja memegang ijazah Kejar Paket C
(penyetaraan SMA), selebihnya yang mencoba menjadi caleg dengan modal
ijazah palsu juga tidak sedikit. 24
Karena orang-orang awam seperti ini partai politik jadi tempat untuk orang
mencari penghasilan untuk dirinya sendiri, untuk memperkaya dirinya. Akan
tetapi kalau lepas dari politik orang masi bisa bertahan. Bima masi bisa mengajar
di Uinversitas atau masih bisa menjadi konsultan politik.
Hal inilah yang membedakan Indonesia dengan negara-negara maju
lainnya. Di negara maju, orang yang bergabung ke dalam partai adalah orang yang
mempunyai posisi tawar dan kompetensi. Mereka tidak mencari nafkah di dalam
23
Ibid. 24
Suara Merdeka Online
67
partai, di Indonesia orang seperti ini masi minoritas, yang mayoritas adalah
bandit-bandit dan preman-preman politik.
c. Fadli Zon25
Partai Indonesia Raya pertama didirikan pada bulan Februari tahun 2008.
Fadli Zon salah satu pendiri partai ini bersama dengan Prabowo Subianto.
Sebelum memberikan ide untuk mendirikan partai GERINDRA, Fadli terlebih
dahulu terlibat dalam Partai Bulan Bintang.
Pada akhir 2007 Fadli mengusulkan ide untuk mendirikan partai politik
yang akhirnya menjadi GERINDRA. Alasannya adalah karena pada saat itu tidak
ada usaha untuk memperbaiki keadaan. Dia menginginkan partai Gerindra
menjadi alat untuk perjuangan dengan tujuan yang jelas melawan neoliberalisme,
mengedepankan ekonomi kerakyatan.
Sebagai aktifis pada zamannya dan pengamat politik dahulu, dia melihat
banyak arah tujuan kebijakan yang tidak menguntungkan bagi masyarakat
menengah ke bawah. Tidak ada keberpihakan kepada petani, buruh, nelayan dan
pedangang pasar. Dia menilai bahwa para pengamat yang ada diluar tidak mampu
berbuat apa-apa untuk memperbaiki masalah negara. Pendapatnya menjadi politisi
adalah:
“Walaupun belum bisa menjadi partai yang berkuasa, tapi partai
GERINDRA mempunyai anggota di dalam parlemen yang bisa
mempengaruhi setiap kebijakan yang akan keluar. Para pengamat hanya
bisa menonton dari luar, dan tidak tahu permasalahan yang terjadi di
dalam pemerintahan. Hanya mampu beragumentasi di luar. Menurutnya
para pengamat politik, dapat bisa bebas berbicara karena tidak
25
Wawancara pribadi dengan Fadli Zon
68
mempunyai tanggung jawab dan ikatan kepada suatu struktur
kekuasaan. Semua hal dikontrol oleh dirinya sendiri.”26
Untuk tujuan yang dicapai setelah masuk ke dalam partai politik, pastinya
membutuhkan proses yang mempengaruhi setiap kebijakan dan program yang
dibuat. Akan bisa terlaksana apabila Partai GERINDRA sudah menjadi partai
yang berkuasa. Menurutnya, Partai GERINDRA adalah partai yang idealis, karena
masih bisa mengutamakan hal yang pokok dibanding yang biasa, contohnya
seperti, pergi study banding keluar negeri, Fadli melarang anggota Partainya
untuk ikut.
Fadli merasa apabila banyak intelektual maupun cendekiawan yang masuk
ke dalam partai politik atuapun struktur kekuasaan yang lain akan semakin bagus.
Dia berharap para intelektual yang nantinya masuk ke dalam partai politik akan
mampu untuk mendedikasikan semua ilmu dan pemikiran, dan pandangannya
untuk bekerja serius dan sepenuh hati. Dia berharap pengamat politik, intelektual
atau cendekiawan yang berada di luar politik praktis bisa melibatkan diri secara
langsung ke dalam masyrakat.
d. Ulil Abshar Abdalla 27
Ulil memilih partai Demokrat sebagai tempat dia berkiprah,
mengaplikasikan tujuan-tujuannya sebagai intelektual lewat partai tersebut.
Demokrat yang didirikan pada tahun 2001 pada tanggal 9 September. Ulil yang
berlatar belakang sebagai pengurus dan ketua Lakpesdam NU, dan sebagai tokoh
liberalisme Islam, Jaringan Islam Liberal (JIL).
26
Wawancara dengan Fadli Zon. 27
Wawancara pribadi dengan Ulil Abshar Abdalla
69
Sebagai intelektual yang mempunyai pandangan kritis terhadap berbagai
permasalahan yang terjadi di sekitarnya. Telah masuk berbagai organisasi untuk
mengemukakan pendapatnya terhadap pemerintah. Tapi dia lebih memilih masuk
ke dalam partai politik yaitu Partai Demokrat. Partai Demokrat dipilih karena
partai itu adalah partai yang besar. Di partai itu dia bisa memperluas kiprah
politiknya, dia bisa masuk ke dalam golongan eksekutif dan legislatif.
Menurutnya partai yang besar bisa menampung cita-cita kita karena lebih
banyak ruang yang kita punya untuk mengaplikasikannya. Menurut Ulil, “Partai
politik adalah alat untuk mencapai ke level kenegaraan, kebijakan melalui
legislatif dan eksekutif tentu perubahan yang didapat akan lebih efektif melalui
partai yang besar. Partai besar dan kecil bisa melakukannya, akan tetapi partai
besar lebih efektif.”28
Ulil masuk ke dalam partai, atas dorongan beberapa faktor. Salah
satunya karena kejenuhan menjadi seorang pengamat politik. Menurut Ulil,
pengamat politik mempunyai batasan untuk mengetahui masalah
sesungguhnya. Tidak mempunyai wewenang kekuasaan untuk mengubah
kebijakan pemerintah dan tidak bisa mempengaruhi secara mendalam.
Walaupun Partai Demokrat sedang memiliki banyak kasus, menurut Ulil,
“Setiap partai politik itu, tidak kebal hukum. Di Partai
Demokrat ada Nazaruddin, ada kasus BLBI yang melibatkan orang
PDIP. Semua partai tidak kebal kasus korupsi. Menurutnya saya,
apabila ada orang yang menyalahi kekuasaan, maka dia harus dihukum
menurut hukum Indonesia yang berlaku. Partai, lembaga keagamaan,
atau lembaga apapun bisa terkena kasus. Maka tidak boleh ada
kekebalan hukum terhadap mereka, dan lebih dipojokkan kepada partai
28
Wawancara pribadi dengan Ulil Abshar.
70
politik. Mungkin karena partai politik berada di garda depan sehingga
dia mendapat sorotan paling utama dari masyarakat.”29
Ulil merasa walaupun banyak pendapat negatif tentang Partai
Demokrat, tapi dia tetap mempunyai keinginan untuk menerima tantangan dan
melakukan perubahan pada kondisi partai dan pemerintah saat ini.
D. Pandangan-Pandangan Politik Cendekiawan
Menurut Mohammad Hatta dalam Pendahuluan M. Dawam Raharjo,
“kedudukan kaum intelegentsia yang istimewa dalam masyarakat Indonesia, ia
juga mengingatkan bahwa kedudukan dan peranannya yang penting dan dihargai
itu, justru mengimplikasikan tanggung jawabnya, yaitu mencari dan membela
kebenaran.”30
Kaum cendekiawan mempunyai tanggung jawab dan beban yang besar
dibanding masyarakat dan golongan lain, karena mereka mempunyai latar
belakang seorang akademisi. Menurut Hatta, politik adalah salah satu bentuk
keterlibatan kaum intelegentsia.31
Akan tetapi banyak politisi yang memakai partai hanya untuk alat rencana
jangka pendeknya.32
Para pelopor elit terdidik yang tidak menjunjung dirinya
sendiri sangat sedikit, orang semacam ini bukan tidak ada akan tetapi pilihan
selain masuk ke dalam partai politik, dengan resiko tidak cerdas dan memiliki
idealisme.33
29
Ibid. 30
M.Dawam Rahardjo, “Cendekiawan Indonesia, Masyarakat dan Negara: Wacana Lintas-
Kultural,” dalam Kebebasan Cendekiawan, h.vii. 31
Ibid, h.ix. 32
Kompas Online, “Pertempuran Individu Mendominasi Politik,” artikel diakses pada 19
Oktober 2011 dari
http://nasional.kompas.com/read/2008/06/27/00261718/pertempuran.individu.mendominasi.politik 33
Tenun Kata, “Politik Etis Intelektual Indonesia,” artikel diakses pada 19 Oktober 2011
dari http://elcidli.wordpress.com/2010/05/16/politik-etis-intelektual-indonesia/
71
Sejumlah intelektual yang masuk partai berusaha untuk bisa melenggang
masuk ke dalam politik. Ingin duduk di kursi senayan, mengikuti perkembangan
politik, membuat program untuk masyarakat. Akan tetapi politik di Indonesia
sekarang sedang dalam keadaan carut marut apakah para politisi ini bisa masuk
dan berusaha merubah keadaan, bukan hanya mewarnai dengan debat-debat dan
diskusi. Bukan hanya sekedar omongan tapi mengaplikasikan apa yang
didiskusikan didebatkan di depan masyarakat.
Pada saat sejumalah intelektual dan artis yang masuk dalam partai PAN,
beberapa peneliti memberikan argumennya;
Abdul Gofur Sangaji pengamat politik dari Universitas Indonesia
mengatakan “wajar-wajar saja adanya proses transformasi intelektual kampus
menjadi politisi di sebuah partai politik.”34
Menurut peneliti senior Charta Politika, Yunarto Wijaya mengatakan
“Keberadaan kaum intelektual di partai politik minimal bakal menaikan citra dan
mendapat simpati dari masyarakat. Soalnya mereka adalah tokoh masyarakat yang
omongannya dipercaya publik,”35
Pada posisi tertentu intelketual memang dibutuhkan untuk bisa membantu
pemerintahan dengan cara dia melibatkan diri ke dalamnya. Machiavelli seorang
filosof politik abad 17, mengeluarkan pendapat bahwa seorang pemimpin
34
Monitor Indonesia, “All Hatta Rajasa Man,” artikel diakses pada 19 Oktober 2011 dari
http://monitorindonesia.com/?p=763 35
Ibid.
72
“mampu bertindak bagaikan hewan, bak rubah yang licik, dan singa yang
ganas.”36
Akan tetapi intelektual mempunyai tiga pilihan apabila keadaan partai
semakin konservatif. Pertama, para intelektual menjauh atau hengkang dari partai,
itu yang dilakukan oleh Faisal Basri yang hengakang dari PAN. Akibatnya
semakin ada jarak jauh antara realitas politik dan dunia intelektual. Kedua, para
intelektual tersebut mendekati dan masuk ke dalam partai, didasari oleh
pandangan bahwa partai adalah salah satu kendaraan untuk memperebutkan
kekuasaan di eksekutif ataupun legislatif. Ketiga, para intelektual membangun
partai sendiri, mereka sendiri yang memimpin partai, menentukan platform partai
yang merekut dan memilih pimpinan.37
36
Catatan Pinggir, artikel diakses pada 19 Oktober 2011 dari
http://caping.wordpress.com/2007/07/02/ 37
Denny J.A, Melewati Perubahan atas Perubahan Transisi Demokrasi di Indonesia
(Yogyakarta: LKIS, 2006), h.118-119.
73
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan pada bab-bab di atas, kita bisa melihat perkembangan
politik dari masa sebelum kemerdekaan sampai dengan 66 tahun menikmati
kemerdekaan. Khususnya jika dikaitkan dengan para cendekiawan. Walaupun
para intelektual sudah bergelut dalam masalah-masalah sosial, bahkan masuk ke
dalam pemerintahan untuk membuktikan fungsinya sebagai penyeimbang dalam
dunia pemerintahan, keadaan masyarakat tidak banyak yang berubah.
Masuknya Indra J. Piliang, Ulil Abshar, Bima Arya dan Fadli Zon ke
dalam partai politik tidak memperlihatkan tanda-tanda keterlibatan mereka dalam
politik bisa dikatakan berhasil. Hal ini terlihat pada fakta bahwa misi untuk
membenahi masyarakat terperosok ke dalam isu perebutan kekuasaan. Sehingga
mereka masuk dalam kategori intelektual pragmatis.
Pengamat politik yang telah menjadi politisi menjadikan diri mereka
sebagai seorang intelektual modern. Para intelektual adalah individu atau
kelompok yang dipercaya oleh masyarakat, akan tetapi fungsi dan tanggung jawab
mereka sudah tertinggal di daftar paling akhir dari prioritas mereka masuk ke
dalam sebuah partai atau struktur kekuasaan.
Seharusnya dengan adanya jabatan atau kedudukan yang mereka sandang
bisa mereka manfaatkan secara luas untuk mensejahterakan masyarakat bukan
untuk kepentingan individu ataupun kepentingan kelompok mereka. Ada pendapat
yang mengatakan apabila orang baik masuk ke dalam sistem yang buruk maka
74
orang tersebut akan terbawa ke dalam sistem yang buruk. Dan sebaliknya orang
bertabiat buruk apabila masuk ke dalam sistem yang baik, maka dia akan
mengikuti sistem yang baik itu.
Gramsci mengharapkan intelektual bisa masuk dan terjun langsung pada
masyarakat pada masanya untuk menghindari tekanan dan penindasan dari kaum
borjuise. Sehingga intelektual yang berasal dari kaum proletar bisa membantu dan
membela kepentingan kaum tertindas yang lain. Ini bukan berarti kaum intelektual
yang sudah masuk ke dalam partai politik ataupun struktur kekuasaan yang lain
tidak bisa menghindari kepentingan-kepentingan partai yang diikutinya.
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan, dapat kesimpulan beberapa hal
yang menjadi faktor pengamat politik masuk ke dalam partai politik. Indra masuk
Golkar karena ingin membenahi dan mengntrol perkembangan suatu daerah. Ulil
yang ingin memperluas kiprah politiknya dengan masuk Partai Demokrat. Bima
Arya ingin melakukan perubahan di dua bidang yakni akademisi dan partai politik
dengan PAN. Terakhir Fadli Zon yang bertujuan ingin mengontrol dan
mempengaruhi setiap kebijakan yang keluar.
Semua alasan dan tujuan positif yang diungkapkan seorang pengamat
politik, bisa mengarahkan arah politik Indonesia ke arah yang lebih baik lagi.
Diharapkan mereka bisa mempengaruhi anggota yang ada di dalam partai atau
pun pemerintahan agar bisa mencapai kinerja yang maksimal. Sehingga rakyat
mulai percaya dan tidak mulai membicarakan perpolitikan Indonesia yang kacau
balau.
75
Faktor-faktor yang disebutkan sebagai alasan untuk masuk ke dalam partai
politik sebenarnya bisa dilakukan ketika mereka berada di luar partai. Tapi
mereka di dalam partai atau pemerintahan, dan tahu serinci masalah tapi tidak
bergegas menyelasaikannya.
Adanya intelektual yang masuk ke dalam partai ataupun pemerintahan
tidak menjamin kebaikan akan datang kepada rakyat. Yang ditakuti mereka tidak
tahan berada di dalam partai karena dimusuhi oleh para politisi partai tersebut.
Terkadang mereka dipilih dan diajak masuk karena mempunyai kedekatan dengan
pemimpin partai tersebut sehingga bisa mendapatkan kedudukan yang bagus.
B. Saran
Temuan skripsi ini mengungkapkan bahwa para intelektual yang berada di
dalam partai tetap bisa menjadi intelektual yang sebenarnya. Ini penting karena
wujud intelektual itu berada di manapun tidak boleh ada kepentingan yang
mengikutinya. Apabila itu sudah terjadi maka fungsinya akan berubah.
Skripsi ini akan bisa berkembang lagi apabila dilakukan penelitian yang
lebih rinci mengenai konsentrasi ini. Penulis menyadari akan minimnya
pengetahuan dan keilmuan yang khusus dalam menulis karya ini. Dan karena itu
diharapkan agar terus bisa menganalisa, meneliti dan mengkritik agar sampai
kepada hal yang valid. Dengan demikian penulis mengharapkan saran dan kritik
dalam skripsi ini.
76
DAFTAR PUSTAKA
Buku.
Amal, Dr.Ichlasul, ed. Teori-Teori Mutakhir Partai Politik. Yogyakarta: PT.Tiara
Wacana Yogya, 1988.
Arba, Syarobin. ed. Demitologi Politik Indonesia : Mengusung Elitisme dalam
Orde Baru. Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1998.
Badil, Rudy. dkk. Soe Hok Gie..sekali lagi. Buku, Pesta dan Cinta di Alam
Bangsanya 2nd
. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2009.
Benda, Julien. Pengkhianatan Kaum Cendekiawan. Jakarta: Gramedia, 1999.
Budiarjo, Prof.Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, 3rd
. Jakarta: Gramedia, 2008.
Budiarjo, Miriam. ed. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1998.
Deni J.A. Memperkuat Pilar Kelima Pemilu 2004 dalam Temuan Survey LSI.
Yogyakarta: LKIS, 2006.
Dhakidae, Daniel. Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru.
Jakarta: Gramedia, 2003.
Eyerman, Ron. Cendekiawan Antara Budaya dan Politik dalam Masyarakat
Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996.
Firmanzah. Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi
Politik di Era Demokrasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.
Gramsci, Antonio. Selection From The Prison Notebook of Antonio Gramsci, 12th
ed. Newyork: International Publishers, 1995.
Irawan,M.Sc, Dr.Prasetya, Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu
Sosial, 2nd
. Depok: Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007.
J.A, Denny. Melewati Perubahan atas Perubahan Transisi Demokrasi di
Indonesia. Yogyakarta: LKIS, 2006).
Kasemin, Kasiyamto. Mendamaikan Sejarah: Analisis Wacana Analisis Wacana
Pencabutan TAP MPRS/XXV/1996. Yogyakarta: LKIS, 2004.
Komandoko, Gamal. Boedi Oetomo Awal Bangkitnya Kesadaran Bangsa.
Yogyakarta: MedPress, 2008.
Latif, Yudi. Intelegentsia Muslim dan Kuasa; Genealogi Intelegentsia Muslim
Indonesia Abad Ke-20. Bandung: Mizan, 2005.
Mahasin, Aswab dan Natsir, Ismed. Cendekiawan dan Politik, 2nd
ed. Jakarta:
LP3ES, 1984.
77
Moesa, Ali Maschan. Nasionalisme Kiai: Kontruksi Sosial Berbasis Agama.
Yogyakarta: LkiS, 2007.
Mutahir, Arizal. Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu; Sebuah Gerakan Melawan
Dominasi. Bantul: Kreasi Wacana, 2011.
Norris, Pipa dan Inglehart, Ronald. Sekularisasi ditinjau Kembali: Agama dan
Politik di Dunia Dewasa Ini. Ciputat: Pustaka Alfabet, 2009.
Panuju, Redi. Studi Politik Oposisi dan Demokrasi. Yogyakarta: Interprebook,
2011.
Riswandi. Komunikasi Politik. Jakarta: Graha Ilmu, 2009.
Said, Edward W. Peran Intelektual. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998.
Shafiyah, Ammatullah dan Soeripno Haryati. Kiprah Politik Muslimah: Konsep
dan Implementasinya. Jakarta: Gema Insani Press, 2003.
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo, 2009.
Sutrisno, Mudji dan Putranto, Hendar. ed. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta:
Kanisius, 2005.
Tilaar, H.A.R. Kekuasaan dan Pendidikan. Magelang: Indonesia Tera, 2003.
Umam, Fauzul. Lensa Hati. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005.
Winarno MA., Prof.Dr. Budi. Sistem Politik Era Reformasi. Yogyakarta:
MedPress, 2008.
Wieringe, Saskia Eleonora Penghancuran Gerakan Perempuan; Politik Seksual di
Indonesia Paska Kejatuhan PKI. Yogyakarta: GalangPress, 2010.
______ Buku Pintar Politik; Sejarah, Pemerintahan dan Ketatanegaraan.
Yogyakarta: Great Publisher, 2009.
______ Kebebasan Cendekiawan Refleksi Kaum Muda. Yogyakarta: Bentang,
1996.
______ Undang-Undang Republik Indonesia no 31 Tahun 2002 Tentang Partai
Politik, Plus Tanya Jawab Mengenai UU Partai Politik. Yogyakarta:
Pustaka Widyatama, 2003.
______ Pusat Penelitian Politik (Indonesia) Jurnal Penelitian Politik, Jakarta:
LIPI, 2006.
Internet dan Makalah.
Berasal dari deklarasi Indra Jaya Piliang di Universitas Paramadina, “Kembali ke
Ranah Menuju Akar,” 11 September 2008.
Catatan Pinggir. Artikel diakses pada 19 Oktober 2011 dari
http://caping.wordpress.com/2007/07/02/
78
Abdurrachman M.Si, Drs. “Sistem Politik Indonesia,” Makala Pengembangan
Bahan Ajar Universitas Mercu Buana.
Guterres, Jose Maria. “Intelektual dalam Partai, Antara Perubahan dan Status
Quo.” Artikel diakses pada 19 Oktober 2011 dari http://forum-
haksesuk.blogspot.com/2010/10/intelektual-dalam-partai-antara.html
Hanafie, Dra. Haniah. “Kekuatan-Kekuatan Politik” Penelitian Buku Ajar
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Hasan,Amirul. “Pengaruh Media Terhadap Tingkat Partisipasi Politik,” Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta.
Hasan, Renold. “Zaman Pendudukan Jepang di Indonesia.” Artikel diakses pada
10 November 2011 dari http://renoldhasan.blogspot.com/2010/10/zaman-
pendudukan-jepang-di-indonesia.html
“ ICMI: Sebuah Refleksi.” Harian Republika, 6 Februari 2006.
Kamus Bahasa Indonesia Online. Artikel diakses pada 16 Oktober 2011 dari
http://kamusbahasaindonesia.org/
Kembalikan Kampung Halamanku. “Profil.” Artikel diakses pada 17 Oktober
2011 dari http://indrapiliang.com/about/
Kompas Online. “Faisal Basri Sang Intelektual Aktivis Beransel. ” Artikel diakses
pada 9 Oktober 2011 dari
http://www.kompas.com/lipsus112009/kpkread/2009/10/11/09414821/Faisa
l.Basri..Sang.Intelektual.Aktivis.Beransel
Kompas Online, “Pertempuran Individu Mendominasi Politik.” Artikel diakses
pada 19 Oktober 2011 dari
http://nasional.kompas.com/read/2008/06/27/00261718/pertempuran.individ
u.mendominasi.politik
Monitor Indonesia. “All Hatta Rajasa Man.” Artikel diakses pada 19 Oktober
2011 dari http://monitorindonesia.com/?p=763
Online, IKPM Kairo. “Antara Intelektual dan Politik.” Artikel diakses pada 9
Oktober 2011 dari http://www.ikpmkairo.org/artikel/antara-intelektual-dan-
politik/
Partai Keadilan Sejahtera. “Partai Politik dan Sejarahnya.” Artikel diakses pada
16 Oktober 2011 dari http://www.pks-jaksel.or.id/Article112.html
PAN, ”Sejarah PAN.” Artikel diakses pada 18 Oktober 2011 dari
http://www.pan.or.id/index.php?comp=home.detail.98
Pandu Umat. “Kelahiran Gerakan Islam masa Penjajahan Belanda.” Artikel
diakses pada 10 November 2011 dari
http://panduummat.wordpress.com/2011/03/12/kelahiran-gerakan-islam-
masa-penjajahan-belanda/
79
Republika Online.“Azyumardi: ICMI Tidak Berpolitik Praktis.” Artikel diakses
pada 18 Oktober 2011 dari http://www.republika.co.id/berita/breaking-
news/politik/10/12/03/150360-azyumardi-icmi-tak-berpolitik-praktis
Rio, Adde Oriza. “Antonio Gramsci, pemikir dari Balik Jeruji.” Artikel diakses
pada 18 Oktober 2011 dari http://www.scribd.com/doc/36929683/Antonio-
Gramsci-Sang-Pemikir-dari-Balik-Jeruji-Sebuah-Perbincangan-Singkat
Sosiologi FISIP UNPatti angkatan 2007. “Partisipasi Politik.” mengulas buku
Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara
Berkembang (Jakarta: Rineka Cipta, 1990). “ Artikel diakses pada 18
Oktober 2011 dari http://sunaryotianotak.blog.com/2011/02/11/partisipasi-
politik/
Suara Merdeka Online. “Peran Intelektual di Partai Politik.” Artikel diakses pada
19 Oktober 2011 dari
http://www.suaramerdeka.com/harian/0402/17/kha1.htm
Tenun Kata, “Politik Etis Intelektual Indonesia.” Artikel diakses pada 19 Oktober
2011 dari http://elcidli.wordpress.com/2010/05/16/politik-etis-intelektual-
indonesia/Wikipedia Online. Artikel diakses pada 14 Mei 2011 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/
Wawancara Pribadi.
Wawancara pribadi dengan Bima Arya Sugiarto. Jakarta, 4 Juli 2011.
Wawancara pribadi dengan Indra J.Piliang. Jakarta, 6 Juli 2011.
Wawancara pribadi dengan Fadli Zon. Jakarta, 9 Juli 2011.
Wawancara pribadi dengan Ulil Abshar Abdalla. Jakarta, 12 Juli 2011.
Hasil wawancara dengan Bima Arya Sugiarta (4 Juli 2011)
Charta Politika
T : Apa alasan bapak masuk ke dalam partai politik?
J : Sebetulnya saya itu masuk partai politik sejak tahun 1998 ketika PAN pertama
kali berdiri saya masuk ke Partai Politik. Jadi setelah saya selesai S2, saya ikut
mendirikan PAN di Bandung. Iya, jadi sudah lama, alasannya karena menurut
saya, saya ingin melakukan perubahan di dua bidang sekaligus, artinya saya pada
saat itu juga mengajar jadi melakukan perubahan dengan cara pendidikan politik
melalui keilmuan, melalui dunia akademis. Sedangkan di sisi lain saya juga ingin
ikut juga melakukan perubahan secara konkrit lewat Partai Politik. Tapi
kemudian tahun 2000 saya non aktif dari Partai, fokus sebagai akademisi karena
waktu itu saya merasa tidak optimal. Karena banyak konflik dalam partai, saya
mundur/non aktif, baru pada tahun 2010 kemarin saya diajak oleh ketua umum
bang Hatta Rajasa untuk masuk ke PAN dia adalah seorang ketua DPP, nah disitu
saya menerima. Alasannya saya kira, saya sudah berkiprah cukup lama hampir
sepuluh tahun sebagai pengamat dan akademisi tiba saatnya bagi saya untuk
masuki fase lain, yang selama ini berjuang dengan lisan, di partai ini saya ingin
berjuang dengan tangan. Artinya, langsung berkaitan dengan perubahan kebijakan
politik, dan merubah partai politik dari dalam.
T : Kenapa tidak Partai Golkar yang sudah besar atau Demokrat yang ada
sekarang ini?
J : Nah ini pertanyaan untuk yang 1998 atau 2010.
T : Golkar untuk 1998 dan Demokrat pada saat sekarang ini.
J : Iya, jadi tahun 2009 kemarin, saya ditawari menjadi caleg dari 9 Partai, cukup
banyak, ada partai baru dan partai lama. PDI Perjuangan salah satunya. Pada
tahun 2010 kemarin juga saya ditawari, dari Demokrat dengan iming-iming juga
menjadi salah satu ketua yang strategis. Tapi bagi saya hidup itu continuitas
(kesinambungan). Jadi kalau saya pernah masuk dan aktif di PAN dan ikud
mendirikan PAN. Kalaupun saya akan kembali lagi ke partai, saya akan kembali
ke partai yang sama. Tidak mungkin saya pindah ke partai yang lain, jadi pada
saat itu saya bilang ke orang Demokrat yang mengajak saya. Yaitu beberapa
tokoh Demokrat yang mengajak saya, mohon maaf saya ini pindah partai seperti
pindah agama, jadi bagi saya berpolitik itu berpartai itu sekali seumur hidup
apapun yang terjadi saya tidak akan pindah partai kecuali partai tersebut yang
kemudian bubar kemungkinan saya akan mencari jalur pengabdian yang lain. Tapi
selama partai ini masih ada, ya Insyallah saya tidak akan pernah pindah partai,
kenapa?? Karena dari awal saya memang cocok dengan platform ini. Satu, saya
pengagum Pak Amien Rais sejak saya jaman SMA. Kedua, saya cocok dengam
platform yang dibuat , artinya basisnya religious Muhammadiyah tapi desainnya
itu terbuka (inklusif). Ketiga, banyak intelektual-intelektual yang masuk situ juga.
Jadi menurut saya PAN ini cocok untuk saya.
T : Berarti menurut bapak seorang intelektual itu apabila masuk ke dalam
pemerintahan bisa lebih berkembang dibandingkan dengan diluar
pemerintahan.
J : Gini, tantanganya. Seorang intelektual itu ada dua pilihan. Yang pertama cukup
puas berkontribusi dengan penelitian yang ada di kampus. Terus yang kedua
merambah dunia lain dan berjuang mencoba dengan hal yang lebih konkrit seperti
di partai politik atau di pemerintahan. Nah banyak intelektual yang gagal di
politik tapi banyak juga yang sukses. Intelektual yang sukses di politik misalnya
Habibie gitu. Tapi sampai saat ini masih sedikit intelektual yang terjun ke partai
teruz sukses. Nah menurut saya, saya ingin intelektual yang kemudian bisa
berkiprah di luar dan juga di partai. Artinya sumbangan kita itu dirasakan nyata,
partai kita rubah pelan-pelan. Bagaimana imej politik juga kita rubah, bagaimana
kita ikut berkontribusi untuk menata sistem politik, sistem kepartaian.
T : Apakah bapak tidak takut
J : Ya. Itu resiko pilihan. Apa itu salah, apakah salah dengan subjektifitas. Suara
pengamat belum tentu 100 % bagus, suara partai politik belum tentu 100% salah.
Tergantung kita punya argumentasi. Y, menurut saya ada yang salah di Indonesia
ini y yang sebetulnya ingin saya terobos. Saya ingin memberikan pesan kepada
anak-anak muda bahwa jangan takut untuk berpartai, jangan takut untuk menajdi
partisan, jangan takut untuk memihak. Karena, kalau kita punya landasan
argumentasi kenapa kita berpartai kenapa kita berpolitik dan perjuangan kita lurus
ke depan. Itu kan sah-sah saja gitu. Y saya mengkritik dan mengecam banyak
pengamat yang sebetulnya tampilannya independent tapi sebenarnya dia berpihak.
Di bawah tanah dia bergerilya, di belakang layar dia mendukung partai tertentu itu
banyak. Menurut saya itu pengecut, menurut saya tidak gentle. Ya kalau misalnya
berpihak, ya katakan secara terang, mengatakan bahwa, saya ada di partai ini saya
mendukung dan berjuang untuk partai ini. Dan bukan berarti kan perjuangannya
membabi buta artinya kalau partai kita salah y kita luruskan. Ya kalau partai kita
benar kita sampaikan juga ke publik, gitu.
T : Apakah tujuan dan ide-ide bapak yang telah terealisasi pada saat
sekarang masuk ke dalam partai politik.
J : Jadi begini, satu; saya ingin partai politik itu memiliki basis data. Dari dulu
saya sudah sampaikan bahwa partai politik itu harus tertib. Harus memiliki basis
data yang kuat, harus rapih pengelolaan data dan strategi. Nah dalam partai saya
dipercay untuk melakukan hal itu dan kita mendirikan pusat data politik pertama.
Nanti yang pertama di partai politik indonesia yang mempunya basis data, nanti
disiapkan suatu ruangan yaitu blueroom, yang ruangan yang benar-benar
ditampung semua data secara canggih, nah itu saya sumbangkan kepada partai
yaitu pemikiran saya itu. Kedua; menurut saya partai politik itu tidak boleh selalu
membabi buta membela negara. Partai politik itu harus juga menyuarakan
kepentingan publik dan simpati kepada rakyat kecil. Nah selama saya menjadi
politisi saya mrasa sudah melakukan hal itu, ya tidak membabi buta dalam
mendukung pemerintah, ya kalau ada yang salah kita kritik habis Ketiga; saya
mengjak anak-anak muda supaya tidak apatis di politik, mengajak bergabung dan
berjuang bersama-sama, hal ini yang selama ini susah dilakukan oleh politisi-
politisi lama yang senior karena mereka tidak bisa masuk ke anak muda, tidak
bisa berbicara dengan bahasa anak muda.
T : Tadi bapak telah menyebutka ada intelektual yang sukses dan gagl, yang
sukses telah disebutkan, kalau yang gagal bagaimana pak?
J : Banyak intelektual yang gagal. Seperti Prof.Deliar Noer y. Dia guru besar ilmu
politik, tapi saat mendirikan partai politik dia gagal. Dia mendirikan partai umat
Islam tapi gagal. Nah ini yang saya lewati, ada kesenjangan yang nyata antara
dunia akademisi dan dunia nyata. Hal ini banyak faktor, tapi saya melihat ini
adalah tokoh-tokoh yang masuk politiknya sudah telat, jadi sudah berumur,
sehingga energi kurang, jadi kurang bisa menggerakkan. Pak Amien dulu
mendirikan partai pada sat berumur 53 tahun, jadi masi ada energi dan tenaga.
Jadi kalau yang masi muda. Y kita liad saja contoh-contoh di luar negeri, orang-
orang muda yang mempunyani latar belakang politik itu banyak yang sukses.
Banyak yang menyarankan saya untuk tidak masuk partai secara terburu-buru,
nanti saja ketika posisi sudah lebih kuat. Menurut saya tidak begitu, itu alasanya
mengapa saya masuk partai ddi umur saya yang ketiga delapan , y karena
mumpung masih muda, saya gg mau setelah berumur lima puluh tahun dan telat,
saya butuh proses pematangan, pembelajaran, pendewasaan. Ya kalau saya hanya
menjadi pengamat biasa 10 tahun mendatang waktu saya habis untuk di talkshow-
talkshow di media-media diskusi seminar. Sayang gitu, say tidak akan dapat apa-
apa. Saya tidak akan dapat kesempatahn untuk mematangkan kepemimpinan
bagaimana menyelesaikan persoalan, memimpin orang. Mendengarkan aspirasi
turun ke bawah, itu hanya didapat ketika kita berani untuk terjun langsung. Nah
saat ini saya mengamati banyak orang-orang yang tidak berai untuk membuat
keputusan itu. Nah ini nasihat untuk kaum muda, jangan takut untuk masuk partai,
masuk partai y masuk partai asal pijakannya uda kuat. Kalau saya sudah punya
pijakan yang kuat, paling tidak saya punya gelar doktor, saya punya temen
mahasiswa aktifis dan pengamat. Kalau mau masuk partai harus punya posisi
tawar yang kuat, saya tidak punya uang saya tidak punya massa. Tapi saya punya
potensi akademik.
T : Partai sekarang tempatnya orang berkeentingan dan korupsi, menurut
bapak?
J : Mayoritas saya akui seperti itu, di partai saya juga seperti itu. Partai itu
tujuannya untuk mencari uang. Ini yangmembuat saya mengerikan. Kenapa, kalau
dibiarkan Partai akan rusak, semua orang berpoltik itu untuk mencari uang.
Bahwa politik untuk berjuang untuk mengabdi, nah kalau kita biarkan. Partai itu
jadinya tempat untuk kendaran untuk materialisme. Ini betul di hampir semua
partai seperti itu. Nah oleh karena itu apabila dibiarkan dia rusak lah, negara ini
akan rusak kalau partai politik diisi oleh bandit-bandit seperti itu. Nah bandit ini
harus saya akui mayoritas di partai politik, nah makanya saya dan teman-teman
yang masi satu pemikiran yang belum terkontaminasi ini memang perjuangannya
berat. Nah kita lebih senang juga intelektual dari luar yang masuk ke dalam partai
. yang saya amati kenapa bandit-bandit itu ada, ya karena mereka tidak ada
kompentensi mereka hidup bener-bener dari partai. Mereka tidak punya gelar
akademik. Mereka tidak punya modal apa-apa. Y tujuannya di partai itu y mencari
uang, banyak kawan-kawan saya yang di partai politik betul-betul gemar untuk
sikut-menyikut saling menghabisi kawan sendiri. Kenapa? Karena mereka kalau
dihabisi dari opartai mereka tidak bisa makan. Ya kalau mereka keluar dari partai,
tersingkir dari partai mereka tidak bisa hidup. Nah kalau saya sekarang keluar dari
partai saya masi bisa mengajar di universitas, saya masi bisa menjadi konsultan
politik. nah inilah bedanya Indonesai dengan negara maju. Di negara maju yang
berpartai itu adalah orang-orang yang mempunyai posisi tawar dan kompetensi.
Mereka tidak cari hidup di partai, di Indonesia orang seperti ini masi minoritas,
mayoritasya adalah orang yang seperti bandit-bandit (cari uang, korupsi, sikut
sana sikut sini) tadi.
Menurut bapak, intelektual itu bagusnya berada di luar politik atau
pemerintahan atau sebaliknya.
Gini, harus berbagi tugas y. Di dalam ada diluar ada. Harus ada intelektual yang
independen, terus meneliti dan memberikan pandangan secara objektif harus ada.
Tapi harus ada juga intelektual yang mau berjuang di dalam. Di belahan dunia
manapun juga pasti akan seperti itu. Ada doktor yang masuk ke politik, ada
doktor-doktor dan profesor yang tetap di luar untuk meneliti asal konsisten di
dalam—di dalam, di luar—di luar, jangan sampai orang itu mengaku independent
di luar tapi sebetulnya bergerilya di dalam. Begitu juga sebaliknya , apabila dia
sudah masuk ke dalam, tapi dia tetap berperilaku seperti pengamat politik di luar.
Hidup ini adalah pilihan, jadi kalau memilih di luar y di luar, di dalam ya di dalam
konsisten dan konsekwen. Tetapi harus bagi tugas, tetapi dalam konteks Indonesia
pada saat ini menurut saya ya saya ingin melihat lebih banyak lagi intelektual
yang masuk ke politik ke partai politik, supaya kita bisa merubah partai dengan
lebih cepat lagi. Kalau seperti ini kan berat, yang berlatar belakangan akademisi di
DPP gg banyak. Paling Cuma satu dua untuk saat ini.
Perjuangan yang dilakukan sekarang tidaklah gampang, harus betul-betul canggih
perjuangannya di dalam partai. Saya melihat teman-teman yang terlalu lurus juga
tersingkir, seperti Faisal Basri yang seorang akademisi yang masuk ke partai
politik nah kemudian dia tidak kuat menghadapi bandit-bandit itu mereka
terpental. Karena, hal itu menurut saya akademisi seperti saya ketika masuk partai
politik itu segala sesuatunya harus sudah kuat. Jadi ketika masuk partai saya harus
punya hitung-hitungan apa yang saya bawa, sehingga tidak memperkental.
Punya strategi yang matang, punya antisipasi, ketika misalnya saya masuk partai
politik saya sudah punya lembaga penelitian Charta Politika ini. Jadi lembaga ini
seperti back up saya, saya masi punya jaringan temen-temen mahasiswa yang bisa
saya mintai bantuan, saya juga punya jaringan media. Itu yang sudah saya bina,
yang stelah saya masuk ke dalam partai politik itu yang sudah saya hitung-
hitungan. Jadi kalau saya masuk partai sendirian, ditentang di jalan, kita disikat y
dihabisi juga. Tapi karena say punya modal jaringan, modal intelektual gitu. Itu
lumayan bisa dbantu
Keterangan :
T (tanya) : Pewawancara (Nashihatul Furqoni)
J (jawab) : Narasumber (Bima Arya Sugiarta)
Wawancara dengan Indra Piliang (5 Juli 2011)
Centre fos Strategic and International Studies (CSIS)
T : Alasan bapak masuk ke dalam partai politik.
J : Kalau alasan utama, motivasinya itu ke arah pulang kampung. Pulang
kampung dalam artian saya sudah hampir merasa jauh, sudah merantau, sudah
menamatkan S1 dan S2 gitu kan. Secara saya sering pulang, kondisi masyarakat
saya di Sumatra Barat itu boleh dikatakan memperihatinkan dari segi apapun.
Termasuk dan terutama masalah pendidikan. Tamatan S1 kalau bisa dibilang
jarang, banyaknya di minang itu tamatan SD, atau tidak tamat SD. Saya berfikir,
dulu sebelum gempa tahun 2005 di Sumatra Barat itu, sulit saya untuk
menemukan dan membantu warga dalam posisi sendirian sebagai intelektual.
Sekalipun saya kenal dengan banyak orang, saya bisa sms siapapun untuk
secepatnya melakukan proses recovery. Tapi itu kan sifatnya mereka yang bekerja
kita tidak bisa mengontrol. Motivasi yang tadi berubah menjadi satu pemikiran
bahwa hanya partai politik yang bisa menggerakkan itu, bahwa kita hadir dan
menjadi bagian dari partai politik kita bisa melakukan sesuatu untuk lingkup
kampung saya Sumatra Barat. Jadi, motivasi itu juga yang menyebabkan saya ke
Golkar, kenapa? Karena Golkar itu boleh dikatakan diterima di Sumatra Barat,
sekalipun saya dikatakan dekat dengan PDI-Perjuangan. PDI-Perjuangan kan
relatif kurang disukai di Sumatra Barat terutama oleh yang tua-tua , yang masih
trauma dengan RRI dan segala macamnya dianggap itu Soekarno memerangi
Sumatra Barat. disamping tentu karena kejenuhan menghadapi teman-teman di
partai, dimana ketika kita menjadi pengamat/intelektual gitu, banyak sekali
masukan-masukan yang kita coba kembangkan dan sampaikan ke politisi ini,
sama sekali diabaikan gitu. Jadi, hampir segala hal sudah kita katakan, sudah kita
tulis, sudah kita bicarakan dalam seminar-seminar tapi tidak ada mekanisme untuk
mengabsorsi, untuk menyerap itu dari politisi. Nah, ini membuat saya
menyimpulkan satu-satunya jalan, harus terjun kedalam partai politik. Satu-
satunya jalan masuk kesana, sehingga kita didalam dan pikiran-pikiran kita bisa
diterima dan kepedulian kita terhadap masyarakat, terutama Dapil (Daerah
Pemilihan) kita itu lebih bisa dimaksimalkan. Jadi faktor-faktoryang seperti itu
yang menyebabkan saya masuk ke dunia politik.
T : Bapak bisa ceritakan bagaimana proses bapak masuk ke dalam partai
politik.
J : Sebenarnya saya tidak punya kedekatan apa-apa y. Karena saya peneliti, saya
sebenarnya dekat dengan PAN, karena saya dulu terlibat dalam DPP PAN, tapi
saya mengundurkan diri tanggal 21 Januari 2001. Karena perbedaan ideologi,
karena pada saat itu PAN mau bergeser dengan platform iman taqwa. Sementara
sejak awal PAN ini ditunjuk sebagai partai nasional yang ada di tengah, bukan
partai yang ada di kanan. Itu yang menyebabkan saya keluar dari PAN dan
menjadi peneliti selama 8 tahun itu. Sama sekali saya mengambil jarak dengan
semua partai. Tetapi memang mngambil jarak sekaligus juga dekat dengan semua
partai. Saya dekat dengan PDI-P, Golkar, PKS, PAN agak jauh dengan PKB. Tapi
pada saat era Gusdur itu saya dekat juga dengan mereka. tentu sebagai peneliti
saya harus mengambil jarak yang sama, sama sekali yang saya lihat memang
teman-teman Golkar ini yang lebih welcome y, yang lebih terbuka terhadap ide-
ide. Terutama di bidang Pemilu dan Negara, kan 2 hal itu yang paling banyak saya
coba advokasi selama menjadi peneliti. Masalah Aceh, Papua, Yogyakarta
kemudian masalah desentralisasi, pemekaran dan lain-lain gitu. Itu lebih banyak
diterima oleh teman-teman dari Golkar. Oleh misalnya Ferry Mursidan Baldan,
Munayah, Idrus Marham. Disamping juga ada yang lain Gajar Pranomo dari
PDI-P. Ketika saya masuk ke Golkar itu, sebenarnya saya bukan masuk Golkar,
saya jadi Caleg (Calon Legislatif), karena Golkar membuka kesempatan kepada
apa yang mereka sebut sebagai caleg khusus sebanyak 10%, yaitu orang-orang
dari kalangan profesional ingin dijadikan sebagai calon anggota legislatif dan
ditempatkan pada posisi yang no urut, no bagus untuk DPR-RI. Waktu itu saya
masuk sama dengan Bahtiar Hafiz, Jefry Giovanni, Tantowi Yahya kemudian
Jeremy Thomas, Benny Bukhori tokoh LSM. ____________________________
__________________________________________________________________
Posisi kita sebetulnya orang profesional yang yang di____ untuk kepentingan
Pemilu Legislatif. Nah kan, kemudian kita harus tampil juga tampil membela
kepentingan partai, berdialog di televisi dan sebagainya. Sehingga dari proses itu
mau tidak mau kita kan harus menjadi anggota Golkar kan. Untuk proses
pencalonan kita kan harus punya kartu anggota, mau tidak mau kita langsung
menjadi anggota. Jadi saya memutuskan pada tanggal 6 Agustus 2008 untuk
masuk, dan saya berpidato di Universitas Paramadina, diantar dengan teman-
teman Anies Basweadan berbicara pada saat itu untuk saya yang masuk ke
gerbang partai politik. Jadi tidak lewat proses kedekatan atau apa, karena saya
juga tidak dekat dengan Pak JK. Jusuf Kalla ada yang mengusahakan agar saya
dekat dengan Pak JK. Saya pada prinsipnya lebih kenal dengan SBY ketimbang
dengan JK. Tapi kemudian proses politik mengharuskan saya untuk dekat dengan
Pak Jusuf Kalla, untuk menjadi bagian dari Pak JK dan untuk dekat dengan
kalangan yang dekat dengan dia. Dan kemudian juga dekat dengan keluarga. Itu
kan proses selanjutnya, tapi kan awal tidak ada, saya kenal dengan JK dan saya
masuk, tidak seperti itu, cuma diumumkan duluan oleh Pak JK, bahwa Golkar
akan mengusung calon-calon dari kalangan profesional antara lain Indra Piliang,
Jefry Geovani dia bilang. Baru kita urus proses administratifnya yang
menyebutkan kita bagian dari partai.
T : Apakah tidak takut dijauhi dari intelektual yang lain karena bapak
masuk ke dalam partai politik.
J : Ya, itu memang sudah resiko, jutru karena intelektual banyak yang dimusuhi
dengan intelektual yang lain, artinya intelektual ini bukanlah orang yang,, apalagi
sekarang ya, intelektual itu terbebas dari kepentingan si-A dan si-B. Saya
kebetulan sudah lama kenal dengan banyak orang gitu, menurut saya itu bukanlah
hal yang harus dikhawatirkan gitu. Justru yang harus dibuktikan adalah, apakah
ketika berada di dalam partai kita tetap memiliki kemampuan analisis yang sama
atau bahkan lebih baik gitu ketika berada di dalam partai. Itu saja yang harus
dibuktikan. Apakah asumsi-asumsi negatif selama ini yang dilekatkan kepada
politisi, tentu apakah kita akan mengalami atau tidak. Apakah kita akan
mengalami perubahan dari segi gaya hidup, dari segi nalar, dan lain-lain gitu.
Saya kira memang selama ini para politisi itu masih dalam tingkat persepsi
masyarakat dan kita harus diubah. Menurut saya, persepsi yang menetapkan kalau
ada kaum intelektual gabung ke partai, maka dia akan mengalami suatu
pembosaian, atau segala macam. Saya tidak terlalu yakin hal itu, karena
sepengetahuan saya bangsa ini didirikan oleh politisi gitu bukan oleh akademisi.
Yang mendirikan bangsa ini adalah akademisi yang menjadi politisi. Artinya
mereka yang hidup dan menjadi intelektual organic. Mereka yang menggerakkan
ide-ide politik mereka, sekaligus juga mereka mempunyai pengalaman akademis.
Hatta adalah politisi, Soekarno politisi, Syahrir adalah politisi, Tan Malaka
politisi, bahkan Soedirman pun politisi. Dia mengambil sikap politik gitu,
misalnya Soekarno menempuh jalan koperasi, kerjasama dengan Belanda, ketika
Belanda masuk, dan Soekarno bersedia untuk ditahan. Soedirman malah
mengambil posisi gerilya dan tidak mau untuk menjadi bagian orang yang ditahan
itu oleh Tentara Belanda. Sampai dia sakit dan meninggal karena sakit paru-paru
gitu. Tapi itulah sikap politik. Sikap politik itu tidak harus dilihat secara negatif,
dan itu yang saya lihat amat disayangkan kalau kondisi yang ada sekarang itu
menempatkan preferensi politik itu sebagai sesuatu yang negatif, itu keliru. Di
negara-negara maju justru hampir semua kalangan intelektual itu punya preferenis
politik, kalangan artis punya preferensi politik gitu. William Ridlle itu dia bilang
“bagaimanapun saya orang demokrat, bagaimanapun saya punya prefernsi
terhadap partai demokrat di Amerika. Dan tidak bisa saya buang itu, dan bahkan
saya bertengkar dengan menantu saya yang punya kecendrungan republik. Saya
tidak mau, kalau republik berkuasa maka kelompok Howkis dna kelompok
rajawali dan segala macam yang doyan perang itu akan berkuasa, maka saya harus
ke demokrat. Agar nilai-nilai ini yang saya jaga.” Saya tidak punya, malah yang
melepas saya kan teman-teman intelektual ini, dan sampai hari ini juga sekalipun
intensitasnya menurun tapi saya tetap menjadi bagian dari diri saya yang dulu
gitu. Yang setiap minggu memberi seminar, membahas buku dan segala macam,
keliling indonesia itu artinya tidak tiba-tiba berubah pindah ke lain tempat gitu.
Atau menjadi politisi yang menjadi broker, itu tidak. Itu yang saya hindari, saya
tetap berada di dalam wadah yang seharusnya. Diskusi saya itu sebetulnya, tapi
punya link, punya jaringan ke political society. Dan disitu teman-teman
intelektual segala macam ini justru mencari akses lewat itu. Akses itu dalam artian
informasi. “Dan ada orang-orang yang datang untuk meminta data dan file ttg
partai tersebut, tapi mereka tidak bisa dapat, meminta kepada saya yang anggota
DPP, dalam waktu yang tidak lama, semua data sudah diantar kepada saya, dan
saya memberi kepada yang butuh untuk mereka analisis.” Contoh, data tersebut
untuk melihat, apa saja syarat-syarat untuk menjadi kepala daerah, bagaimana
penggunaan dana dan segala macam. Itu bukan mencari peluang kekuasaan, kalau
mencari peluang kekuasaan lebih banyak antri lagi. Jadi ada pertautan kalau kita
baca, ada segitiga, yang termasuk didalamnya, bussiness community, political
society dan civil society. Ini kan seolah-olah tidak berurutan yang ketiga ini
bahwa, political society sendiri, kemudian bussiness sendiri, dan masyarakat sipil
sendiri, seolah kan begitu. Sekarang kan tidak kita saling jalin menjalin berhimpit
bulatannya. Dan disana pertaruhan kepentingan itu, bahwa media massa sekarang
tidak semata-mata merupakan sorot publik, bahwa media massa hari ini juga
merupakan perpanjangan tangan kapitalis gitu. Orang yang cari untung lewat
media, orang yang mengiklankan produk, mengiklankan berita dan segala macam.
Jadi ini titik sumbunya kalau begitu. Saya tidak melihat itu adalah sesuatu yang
harus dikhawatirkan.
T : Ada perbedaan tidak pak setelah bapak masuk ke dalam partai dan
sebelumnya dalam berpendapat.
J : Sebetulnya tidak, tapi kita lebih tertib aja gitu. Lebih membatasi pembicaraan.
Makanya saya bilang begini, “pengamat itu adalah orang yang tahu sedikit hal
tapi mengatakan banyak hal”, dia tau sedikit tapi berkata banyak, sebaliknya
“politisi itu orang yang tahu banyak tapi berbicara sedikit” makanya saya banyak
menganalisis tentang partai, itu setelah saya menjadi bagian dari yang disebut
politisi itu. Karena apa, karena politik itu kan detail y, bisa dikatakan 24 jam. Dan
tidak bisa dilihat bahwa media sekarang adalah, apabila saya yang berbicara
dianggap Golkar “titik dua”. Misalnya “Demokrat begini, padahal apa urusan
saya dengan Golkar, tapi dibilangnya Indra Piliang pengurus Golkar, Demokrat
begini.” Itu kan kecendrungan wartawan kita yang sangat pintar. Jadi seolah-olah
ini berseberangan dengan ini dan segalanya padahal tidak, masalahnya apakah
pendapat pribadi yang diungkapkan oleh para politikus ini, itu justru yang
menjadikan pendapat itu dengan bungkus partai adalah media. Wah ini
pendapatnya Golkar seperti ini, yang disebut dengan pendapat partai adalah
dokumen yang kemarin saya serahkan ke ________ , yang disebut pendapat partai
adalah hasil dari rapat, hasil dari sidang, keputusan-keputusan, press rilis, itu
adalah pendapat partai.
T : Berarti kalau omongan individual itu adalah pribadi.
J : Y, tentu saja itu bukan pendapat partai. Yang disebut pendapat partai itu
adalah sesuatu yang sifatnya yuridis. Misalnya “ini pendapat partai versi saya,
saya berdebat dulu dengan Rizal Mallarangeng, soal _______ atau segala macam,
ini pendapat kita 3,5%, tapi kalau masih ada anggota partai Nurul mengatakan 5,
saya mengatakan 4 misalnya.” Lalu sama media dikatakan bahwa Golkar berbeda
pendapat. Itu bukan berbeda pendapat, itulah yang disebut dengan demokrasi
liberatif, artinya ada hak individu di dalam partai. Nah itu diakui oleh konstitusi
partai, itu diakui oleh ADRT itu diakui oleh undang-undang partai politik. Cuma
kan sekarang kecendrungan kita instan y, banyak politisi yang tahu dan paham
yang tidak mau ngomong sebetulnya gitu. “Apa sih, ngapain sih yang gini-gini
kita urus, biarin aja mereka berfikir, tapi kan mereka yag bodoh sendiri. Akhirnya
kan begitu kan, masa iya muncul masalah Mr.H, masalah ini dan masalah itu.
Masalah Nazaruddin, entah sms entah tidak, entah Nazaruddin yang kirim, tahu
dari mana itu dia yang kirim. Lalu semuanya dibahasa berhari-hari, akhirnya yang
terjadi adalah ini dianggap “Partai Demokrat pembusukan” padahal Partai
Demokrat biasa-biasa aja, jangan-jangan itu persepsi yang dibangun oleh media
untuk melakukan pembusukan, padahal tidak busuk gitu loh. Termasuk apa
sumber korupsi, hari ini kan saya nulis dimedia. Coba saja bedakan saya menulis
dengan tulisan Winarto Wijaya. Dia teman saya, saya menulis di koran Sindo,
saya menulis memakai data. Banyak orang menyebut bahwa partai politik itu
korupsi, tapi ini kan ada datanya, bahwa APBN memberikan 0,01% kepada partai
politik. Jadi itu bukan korupsi, tapi tulisan Winarto Wijaya, ini asumsi semua, itu
yang disebut ________. Dia menggunakan asumsinya, dia menggunakan nalarnya
seolah-olah menganalisis. Itu beda sama saya, analisis saya. Dari dulu saya
memakai analisis seperti ini, kalau mau lakukan analisis pake teori dan data, pake
kerangka berfikir. Jangan mengatakan bahwa ada cukong-cukong besar di tubuh
partai politik. Siapa cukongnya dan apa contoh cukong itu, cukong wisma itu.
Lalu terkait dana dari partai politik, ini kan besar sekali 8,5 M sumbangan dari
negara, itu tidak ada artinya dengan satu program kita. Satu program Golkar,
karakter desk yag di launching Anca, itu DPP menyumbang kepada acara itu di
satu kegiatan itu 5 juta. Nah jumlah desa, kalau semua desa itu berhasil jangkau.
Di setiap masing-masing desa itu Golkar menghimpun 100 orang untuk
ditraining, dididik tentang NKRI, Pancasila, Undang-undang dasar 45, macam-
macam. Ideologi bernegara kepada 100 orang. DPP menyumbang kepada setiap
desa itu 5 juta, jumlah desa ada 77.000, apabila dikali sama dengan 385 milyar
untuk satu program yang harus di keluarkan Golkar sampai tahun 2014 itu kalau
semua itu jumlah kecamatan itu sekitar 5000, katakanlah apabila kita tidak sampai
menjangkau semua desa, tapi saya yakin ada beberapa desa. Mungkin sebagian
inilah, dibagi dua saja. Mungkin kita tidak menggunakan basis desa tapi
karaktercan, hanya kecamatan saja yang kita coba untuk membangun kader-kader
baru. Itu jumlahkecamatan ada sekitar 5000, 25 M untuk satu kegiatan. 385 M
anggaran paling besar, 25 M anggaran paling kecil, untuk satu kegiatan yang
dinamakan karakter desa. Partai punya banyak kegiatan, AMPG yang
mengumpulkan 3000 orang dari seluruh Indonesia, dilatih penanganan bencana,
doktrin bernegara, macam-macam. Partai politik ini kan yang dikasih beban oleh
negara untuk melakukan yang namanya pendidikan politik menurut undang-
undang kan, hanya partai, LSM tidak dikasih.
T : Ade sebagian orang yang mengatakan bahwa partai itu tempatnya
J : Kan partai ini baru, kita kan baru mulai berpartai tahun 98-99. Usia berpartai
ini kan baru berapa tahun. Baru 10-12 tahun, artinya partai ini boleh dibilang bayi
lah ya, apabila dibandingkan dengan partai republik, partai kongres.
Dibandingkan dengan partai demokrat dan segala macam. Sebelumnya kan kita
otoritarian, ada rezim militer dan segala macam.
T : Tapi kan Golkar panjang perjalanannya.
J : Sama saja kan, Golkar sama yang lain kan sama saja di masa orde baru itu kan
dia tetap menjadi salah satu cabang saja dari yang namanya rezim otoriter orde
baru. Dari rezimnya Soeharto itu. Ada Golkar ada tentara. Ada tentara yang
menjadi bagian dari penguasa, kan tentara menjadi anggota DPR dan DPRD 10%
kan, ada macam-macam, sama saja. Sama juga dengan tahun 1959 dibubarkan
oleh Soekarno, jadi kehidupan berpartai itu sebetulnya habis PEMILU itu cuma 4
tahun, tahun 1955-1959 saja. Kehidupan berpartai memang kabinet jatuh bangun,
tapi sebelum itu juga partai-partai yang beda, karena kan belum ada pemilu.
Sultan Sjahrir menjadi perdana mentri bukan karena hasil pemilu, tapi karena
penunjukan aja oleh KRIP. Sultan Sjahri, M.Hatta, Natsir, dan lain-lain. Itu bukan
oleh pemilu, bukan lewat satu proses demokrasi, tapi milih-milih saja. “Jatuh sini
masuk sini” . Pasca pemilu 55 baru 4 tahun itu kehidupan berpartai, setelah itu kan
rezim otoriter, partai hanya ornamen. Jangankan partai DPR kan Cuma sebagai
alat stempel aja kan. Kalau kita lihat dalam sepuluh tahun belakangan ini. Apa
yang berubah, tidak ada. Memang SBY, SBY itu bagian orang dalam orde baru,
Wiranto, Prabowo. Wiranto (HANURA), Prabowo (GERINDRA), Megawati orde
baru. Megawati ini siapa dia, Megawati ini anggota DPR sejak zaman orde baru
sama adiknya. Elitnya saja orde baru apalagi rakyatnya orde baru juga. Lalu
dilihat dari sisi itu tidak ada perubahan generasi yang signifikan dalam 10 tahun
ini mau, Suryadharma Ali, Hatta Rajasa, siapa ketua umum PAN, Amien Rais
bahkan. ___________________________________________________________
_________________________________________________________________.
Kemudian Muhaimin, mungkin dia generasi baru, tapi dia kan merupakan darah
biru juga. Dia adalah cucunya Gusdur, artinya dia adalah darah biru politik.
Gusdur sapa, tidak ada yang baru, elitnya aja yang ditumpuk-tumpuk, tapi
orangnya sama saja saling kenal. Dan dari dulu sudah bisa diajak kerja sama gitu.
Apalagi di jajaran DPP nya, lalu apa yang kita sebut sistem yang baru itu, tidak
ada. Mungkin saya sama Bima, dia adalah seorang anak reformasi, dan saya dulu
juga demonstran sejak tahun 90-an. Tapi kan bukan bagian dari elit, kita kan
hanya orang yang baru masuk ke sistim ini, mencoba menggerakkan roda
kepartaian ini supaya demokrasi tetap jalan. Saya dulu anti dengan militerisme,
dan memang anti dengan militer sejak kuliah. Kalau ada teman saya yang dekat,
di Fadli dia dekat dengan Parbowo misalnya, saya tinggal. Saya tidak teguran
sama dia selama 5 tahun. Karena dia ikut Prabowo, setelah reformasi baru saya
teguran lagi, nah misalnya saya masuk Golkar itu salah satu alasannya karena tidak ada
orang militer lagi didalam tubuh partai, setelah Wiranto keluar, Parbowo keluar, ya sudah saya
masuk ke Golkar karena ini menjadi institusi sipil. Kalau mau masuk partai
pemenang, saya denga SBY masuk Demokrat, dilawan dengan PDI-P. PDIP-P ini
terlalu tradisional ada faktor darah biru. Demokrat ini partai individu, artinya
bukan institusinya yang besar tapi orangnya yang besar. Kalau Golkar kan tidak,
ketua-ketua umumnya tidak pernah memerintah selama dua kali, selama dua
periode gitu kan. Nah sejak Harmoko memimpin. Itu sampai sekarang tetap orang
sipil yang megang. Harmoko, Akbar Tanjung, Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie
dengan dinamikanya yang luar biasa itu. Kalau dikatakan apa kalau orang-
orangnya yang orde baru itu uda pindah semua termasuk SBY. SBY kan Golkar
juga dulunya, karena dia adalah bagian dari tentara, ABRI dan dia pemimpin
fraksi ABRI itu ayahnya dan mertuanya itu Golkar. Salah satu sesepuhnya Golkar
yang sangat aktif di dalam tubuh Golkar Pak Sarudi Wibowo itu, kariernya
dibangun disana Rahmat Witular abangnya, dulu adalah sekjend Golkar, tidak ada
yang tidak Golkar. Yang orang-orang ini kan keluar dia aktif di HANURA, dia
aktif di GERINDRA, dia masuk ke PAN, sebagian masuk Demokrat apalagi.
Kalau dilihat dari situ, kita mempunyai wadah yang namanya partai politik tapi
sumberdaya manusia kita masih sumberdaya manusia yang lama. Bukan orang
baru, tapi jangan lupa. Ada orang baru masuk partai politik, jadi pelaku politik,
menjadi pimpinan politik, jadi apa dia. Jadi Nazaruddin, 33thn, jadi tidak
sepenuhnya betul, ada orang baru masuk politik dia bersih dan akan lebih baik
dari yang tua-tua. Justru Nazaruddin ini luar biasa. Banyak orang-orang di Golkar
itu yang dari partai-partia lama itu masih miskin, hanya idealisme aja karena dia
ingin berpartai hidupnya biasa-biasa saja. Dia senang berbicara-bicara saja kayak
Akbar Tanjung, pergi kerumah Akbar Tanjung di jalan purnawarman, lihat
rumahnya, datang kerumah Nazaruddin, lihat rumahnya. Lihat rumah Akbar
Tanjung, dan kerumah orang-orang tua yang sudah lama di partai. Lihat rumah
pemain-pemain baru terutama di Demokrat sekarang yang masi muda-muda.
Rumahnya bagus dengan segala fasilitas yang ada, kenapa, karena mereka tidak
merintis periode yang panjang di politik, hanya ambil jalan pintas mumpung
berkuasa enak gitu. Nah itu salah, nah itu yang menyebabkan saya masuk
berpolitik itu bukan untuk itu, saya justru kehilangan banyak hal dengan berpolitik
gitu, saya punya kantor 4, hilang empat-empatnya, satu ini aja yang bertahan gitu.
Kalau dulu saya punya sekretaris, dan macam-macam. Kalau diundang gitu
kadang ditunjukkan dulu budgetnya, keluar kota berapa. Kalau perbankan yang
undang berapa dll. Itu penghasilan banyak, ada yang di satu kantor 23jt, ada satu
kantor 30jt, ada yang 3jt tp acaranya banyak. Luar biasa dulu, kalau dilihat dari
sisi penghasilan, tapi saya korbankan itu semua untuk apa, kalau bangsa ini kaya
gini.
T : Jadi menurut bapak, intelektual itu bagusnya berada di luar
pemerintahan atau partai atau di dalam. Apa harus balance gitu.
J : Sama saja dimana-mana. Diluar juga banyak yang tajir (kaya), emank saya
tidak tahu, banyak sekali intelektual yang sok-sok mengatakan dirinya intelektual
tapi dia sebetulnya hanya alat dari kepentingan konspirasi, atau dia dipakai untuk
suatu kasus, dia disuruh untuk ngomong begini, lalu ditransfer. Saya pernah
mengalami proses yang seperti itu, dimana muliut kita dipakai untuk kepentingan-
kepentingan kekuasaan. Dan kita seolah-olah intelektual, yang betul-betul
intelektual itu dalam artian itu sedikit sekarang yang betul-betul intelektual. Kalau
suaranya yang didengar misalnya Prof.Thamrin, kalau yang lain apalagi yang
muda saya tidak tahu dan tidak yakin. Dan Arif Budiman, saya boleh mengatakna
kalau dia adalah seorang intelektual kakaknya Soe-Hok-Gie. Banyak yang diluar
sekarang, banyak yang tidak mau pulang. Hanya kita saja yang mengatakan, ini
pengamat ini penulis. Dulu saya aktif di talkshow radio dan TV, dan menulis di
koran. Semuanya saya isi, karena saya punya banyak waktu. Kalau seorang
intelktual itu harus menyeimbangkan bicara dan tulisan. Tapi harus lebih banyak
di tulisan. Kalau seorang intelektual itu mau dia di partai , di kampus atau di luar
itu sama saja artinya apakah dia berubah atau tidak gitu. Jadi sama saja, apakah
intelektual yang diluar partai jauh lebih baik dari intelektual yang berada di dalam
partai, banyak intelektual yang di dalam partai yang bagus-bagus menurut saya,
tapi mereka tidak tampil. Banyak pemikir-pemikir yang tahu banyak hal tentunya
tapi karena dia orang partai dia tidak dianggap seorang intelektual, banyak itu.
Duta-duta besar orang mana, orang partai banyak, bekas menteri orang partai
banyak. Itu dia yang tahu semua dari A-Z suatu persoalan. Dia sudah Doktor dan
praktisi juga, yang diluar, dia hanya lihat dari buku dan mengamati. Modal
ngobrol sama praktisi itu merasa dia sudah punya pengetahuan yang dalam, itu
bedanya, jadi menurut saya tidak signifikan memanfaatkan posisi kaum
intelektual di dalam dan diluar partai. Selama dia masih memiliki ciri-ciri, dia
masih memiliki referensi akademik, dia punya intelektualisme, dia punya ideologi
dan macam-macam. Itu kalau diurutkan dan dia mempunya definisi tentang
intelelektual. Sebetulnya kan seorang intelektual itu kan suaranya sama dengan
suara massa.
Keterangan :
T (tanya) : Pewawancara (Nashihatul. F.)
J (jawab) : Narasumber (Indra J.Piliang)
Deklarasi Indra J.Piliang.
Kembali ke Ranah Menuju Akar
Kamis, 11 September 2008
Biasanya saya menulis judul dulu pada sebuah tulisan. Kali ini tidak. Saya
menulis dulu, baru kemudian menulis judulnya. Apa yang mau saya tulis? Belum
jelas juga. Yang ingin saya sampaikan adalah seputar catatan-catatan yang
diberikan kepada politisi. Boleh, dong, saya menjadi pengamat dari pengamat
politisi?
Media massa di Indonesia, sama dengan orang di kampung saya, bisa dengan
sangat terlena menganalisa apa-apa yang terjadi dengan Obama. Kini, berpindah
ke Palin. Obama dan Palin seakan menjadi anak kandung dalam pemberitaan dan
analisa, sementara politisi Indonesia seakan terus menjadi anak tiri dan tersangka
dari apa-apa yang belum dia kerjakan.
Sebagai contoh, politisi seperti Obama dan Paling pandai berpidato. Saya juga
yakin bahwa saya bisa berpidato dengan baik, begitupula dengan para calon
anggota legislatif yang lain. Tetapi, apakah pidato itu yang ditunggu orang, ketika
hidup adalah perbuatan? Beberapa penulis yang hidup dari honor-honor di media
massa, khususnya dengan cara menulis soal-soal politik, dengan mudah
memuntahkan sumpah-serapah seolah politikus itu sampah. Eh, keliru, seolah
politikus Indonesia itu sampah. Sementara, politikus di Amerika sana adalah
berlian yang layak disimak.
Barangkali inilah mentalitas pasca-kolonial itu yang hidup dalam benak kaum
intelektual pasca-kolonial juga. Apa yang diucapkan oleh politikus Indonesia
tidak benar-benar disimak. Belum lagi dengan detil seluruh dimensi kehidupan
seorang politikus. Yang diucapkan dan ditulis lebih banyak sisi idealitas yang
belum tentu para penulisnya bisa menjalankan itu.
Istilah-istilah teknis dalam politik praktispun tidak diketahui dengan baik.
Misalnya, soal daerah pemilihan. Juga persoalan-persoalan di daerah pemilihan
masing-masing. Selain itu tentang tugas seorang anggota legislatif yang terbatas
hanya kepada pengawasan atas eksekutif, penyusunan anggaran dengan eksekutif
dan penyusunan undang-undang atau regulasi bersama eksekutif. Tiga tugas
pokok itu diabaikan ketika memberikan penilaian atas seorang politikus.
Yang dikobar-kobarkan adalah dendam atas masa lalu. Saya beruntung tidak
memiliki dendam apapun atas masa lalu, termasuk terhadap orang-orang yang
mungkin pernah mengkhianati saya, mengejek saya, ataupun pernah dengan
terang-terangan menyebarkan fitnah bohong atas diri saya. Tetapi saya melihat,
sejumlah politisi lain, terutama dari angkatan muda, yang belum pernah berkuasa,
yang bercita-cita atas masa depan mereka, selalu saja dicecoki dengan persoalan-
persoalan masa lalu yang mestinya itu urusan kaum tua.
Sejak memutuskan menjadi politisi, saya memutuskan mengambil posisi dan
mentalitas politisi. Saya mulai menyesuaikan diri dengan Partai Golkar,
menikmati denyut persoalan yang muncul, termasuk di tingkat ranting, desa,
nagari, kecamatan, kabupaten dan kota, propinsi dan tentu juga pusat. Golkar
telah berubah menjadi partai tradisional di beberapa tempat. Tidak jarang saya
bertemu dengan kader-kader tua yang militan, namun kecewa dengan keadaan.
Mereka dulu barangkali menikmati betul sebagai satu-satunya partai penguasa,
sementara sekarang sama saja dengan partai lain yang harus berjuang secara
harian, mingguan, bulanan, tahunan dan puluhan tahun. Partai yang harus
mempertahankan dirinya sebagai kekuatan demokrasi yang besar, bukan pelanjut
dari sejumlah kesalahan di masa lalu.
Dari sisi pendanaan, hampir semua politisi yang saya kenal di Golkar terlihat
bekerja secara sendiri-sendiri dulu, lalu membangun kolektifitas secara bersama-
sama. Barangkali inilah masalah terbesar yang dihadapi oleh politisi, yakni
semakin besarnya biaya untuk melakukan kegiatan-kegiatan politik. Bagi politisi
yang hanya mengandalkan dukungan tradisional, biasanya bertumpu kepada
organisasi primordial yang dimiliki, termasuk ormas-ormas yang dimasuki. Tetapi
itu saja tidak cukup. Bagaimana anda bersaing mendapatkan pemilih, katakan
sebanyak 1000 atau 2000 suara untuk mendapatkan kursi DPRD kabupaten dan
kota, sementara di daerah pemilihan anda harus bersaing sesama politisi dan
dengan politisi partai lain?
Apalagi, masyarakat sudah semakin menunjukkan kekuatannya. Politisi yang
muncul sebagai calon anggota legislatif dianggap memiliki cukup uang untuk
memajukan dirinya, sehingga segala jenis permintaan bantuan datang setiap hari.
Beruntung saya maju di Sumatera Barat yang menurut riset Lembaga Survei
Indonesia (Mei 2008) masyarakatnya tidak terpengaruh dengan politik uang. Di
beberapa daerah memang ada permintaan yang berlebih kepada politisi, tetapi di
sebagian besar daerah sama sekali hanya membutuhkan kehadiran politisi untuk
sekadar berkenalan dan berdiskusi dengan keras.
Kemampuan politisi mensiasati daerah pemilihannya sungguh diuji. Ada yang
datang menyebarkan spanduk ucapan selamat melaksanakan Ibadah Puasa atau
nanti selamat merayakan Idul Fitri, ada yang menyebarkan kalender dan stiker,
tidak sedikit yang memasang iklan di media massa, sementara yang lain
menunjukkan kekuatan dengan cara dekat dengan para penyelenggara
pemerintahan daerah dalam segala bentuk kegiatan formal.
Kalau saya ditanya tentang kiat dan strategi yang saya usung, tentu sulit saya
ungkapkan secara terbuka. Bukan takut ditiru oleh orang lain, tetapi belum merasa
yakin apakah strategi itu benar-benar tepat. Tetapi intinya adalah saya harus
pertama sekali merasakan hawa di tengah-tengah masyarakat itu sendiri dengan
sedikit atau banyak pancingan. Biasanya saya mengandalkan jaringan pertemanan
yang sudah terbentuk, baik teman-teman sekolah di tingkat dasar, menengah dan
universitas, atau keluarga terdekat saya yang bertempat tinggal di Sumatera Barat,
serta tentu saja jaringan Partai Golkar yang sebetulnya belum sepenuhnya saya
kenali dan yakini bisa mendorong suara untuk saya. Kenapa? Karena masing-
masing calon anggota legislatif juga mengandalkan Partai Golkar. Jadi, terdapat
semacam persaingan internal yang menurut saya sangatlah santun. Dan ketika di
lapangan, saya harus berani untuk mengambil keputusan untuk mengerjakan apa,
dengan alat-alat sosialisasi yang saya bawa dan anggaran terbatas yang saya
punyai.
Sudah dua kali saya “turun” ke lapangan. Pertama selama tiga hari, kedua selama
lima hari. Kedatangan pertama saya membawa uang sebanyak Rp. 5 Juta dan
habis tepat ketika saya harus naik pesawat ke Jakarta. Kedatangan kedua saya
membawa uang sebanyak Rp. 7,5 Juta dan tentu mobil yang disopiri oleh kakak
saya dari Jakarta. Uang itu juga habis ketika saya menginjakkan kaki di bandara
untuk kembali ke Jakarta.
Saya beruntung telah ditanggung ongkos naik pesawat pulang dan pergi oleh
teman baik saya. Berapa kalipun saya pulang-pergi ke daerah pemilihan saya.
Seorang teman saya yang mencalonkan diri di Sumatera Utara dan bertempat
tinggal di Jakarta dari partai lain dengan penuh rasa iri mengatakan: “Wah, gua
belum punya sponsor. Padahal, gua hanya membutuhkan sepuluh kali pulang-
pergi ke dapil gua. Itupun gua belum punya sponsor.” Tentu saya prihatin atas
“nasib” teman saya itu, tetapi sayapun tidak bisa berbuat apa-apa.
Tentu uang yang saya bawa di luar logistik yang dicetak di Jakarta. Lagi-lagi saya
beruntung, karena stiker dan kartu nama yang saya bawa dicetak oleh saudara
saya dengan mengandalkan printer besar di Jakarta. Bantuan terbesar saya terima
dari teman di Gorontalo yang mencetakkan 5000 stiker di Surabaya. Alasan teman
ini sederhana: karena Gorontalo dan Sumatera Barat memiliki filosofi yang sama,
yakni Adat Bersendi Syara dan Syara Bersendi Kitabullah.
Seorang teman lama yang bekerja di luar Jakarta mengirimkan uang sebesar Rp. 1
Juta untuk dibelikan buku, karena tahu saya juga membeli buku-buku di Kwitang
untuk dibagikan ke sekolah-sekolah. Saya sungguh terharu atas sambutan kepala
sekolahnya, lalu langsung menjadwalkan buka puasa. Saya tidak datang
mengantarkan buku itu, hanya mengantar ke rumah seorang adik HMI yang saya
kenal lewat internet. Dua perempuan HMI inilah yang datang mengantarkan ke
sekolah itu.
Dan setiap kali kembali ke Jakarta saya harus memikirkan lagi, apakah masih bisa
menyisakan uang untuk kembali lagi ke dapil saya? Semakin lama di dapil,
semakin banyak permintaan, entah spanduk, kaos atau apapun. Tetapi yang paling
banyak adalah kehadiran saya untuk bertatap muka. Pernah malam setelah pukul
12 malam, ketika saya kelelahan di rumah, datang telepon dengan nada
intimidatif: “Saya sudah edarkan stikermu, tetapi mana wajahmu? Kami
menunggumu di sini.” Dengan nada memelas, saya menjanjikan hari yang lain.
Tidak mungkin saya harus mengganti lagi baju dan celana yang sudah basah,
karena untuk sampai di rumah saya harus melewati sungai yang dalamnya sepaha,
tanpa ada jembatan penyeberangan.
Setiap hari saya memastikan untuk hadir dalam acara-acara “resmi” yang dihadiri
oleh lebih dari 50 orang sampai 500 orang. Setiap hari. Lalu, di sela-sela
menunggu acara resmi, saya datangi tempat-tempat yang saya bisa datangi, dari
rumah ke rumah, dengan mengandalkan informasi dari keluarga, teman, partai
atau insting saya semata. Maka, saya menghindari bertemu dua kali dengan orang
yang sama dalam sehari, karena hanya akan berputar-putar dengan persoalan-
persoalan yang sama saja.
Dan anehnya, saya semakin merindukan untuk kembali dan kembali, bertemu
dengan lebih banyak lagi orang, sebagian besar hanya untuk mengetahui
persoalan mereka dan mendiskusikan solusi yang mungkin paling tepat. Saya
semakin melupakan begitu banyak seminar dan diskusi yang saya pernah hadiri.
Beberapa kali saya harus menelepon teman-teman saya di Jakarta atau di
manapun, dari partai apapun dan profesi apapun, untuk bertanya hal-hal yang saya
tidak ketahui. Untunglah saya memiliki database yang lengkap di otak saya
tentang kemampuan-kemampuan spesifik yang teman-teman saya punyai.
Tentu, saya lelah dan lelah. Untuk itu, saya memiliki tukang pijit khusus.
Namanya Syahrul. Dialah teman saya. Dia dulu sama-sama satu SMA dengan
saya di Jurusan Fisika SMA 2 Pariaman. Kalau saya ke Padang, dulu, saya suka
memanggilkan untuk menemani saya tidur bersama yang lain, lalu dia dengan
kemampuannya bisa memijit saya dan teman-teman lain. Dia memang menjadi
tukang pijit. Pikirannya cerdas, profesinya juga luar biasa. Sosok Syahrul sering
saya ledek sebagai “Suwondo”-nya Gus Dur. Di mata keluarga saya, Syahrul
adalah teman saya yang paling tulus dan ikhlas. Wajahnya bersih, hatinya lebih
bersih lagi. Jarang bicara, lebih banyak melayani.
Pendapat Syahrul mungkin sangat tepat untuk menggambarkan saya: “Dulu, saya
selalu berpikir, kau itu tenggelam dengan dirimu, pekerjaanmu, di berbagai media
massa, di berbagai forum, lalu melupakan kampungmu, seperti yang lain.
Nyatanya saya terkejut, sebagaimana juga orang lain, atas keputusan yang kau
ambil di usia emasmu, dalam kemapanan yang kau nikmati!”
Cita-cita Syahrul seluhur dirinya: ingin belajar akupuntur di Jakarta, lalu
mengembangkannya di Sumatera Barat! Beruntung di Jakarta saya juga
mempunyai seorang dokter langganan saya, ahli akupuntur lulusan China dan
Korea Selatan. Biasanya, kalau saya benar-benar kolaps, sakit, apapun
penyakitnya (batuk, kolekterol, asam urat atau perasaan saja tentang itu), saya
datang ke dia. Dia akan menaruh bebeberapa jarum di tubuh saya, lalu setelah itu
saya kembali segar. Suatu hari, saya ingin memperkenalkan Syahrul dengan Dr
Tjahyo. Mudah-mudahan mereka bisa bekerjasama dengan baik.
Apa yang saya lakukan dan kerjakan, barangkali hanya semata-mata demi sebuah
ketenangan batin dalam menjalankan profesi sebagai seorang politisi. Di hadapan
hampir 100 orang di kampung saya, dalam cahaya temaran lampu surau Lembah
Aur, surau masa kecil saya ketika saya harus tidur di sana (lelaki Minang sebelum
menikah pantang tidur di rumah), saya mengatakan dengan nada terbata: “Denai
hanya ingin pulang, membangun kampung, bersama sanak keluarga. Denai tidak
mau kampung ini hancur, masyarakatnya hancur, ekonominya hancur, karena
dunia berubah dan terus-menerus mencoba menghancurkan kampung dan
masyarakatnya. Kalau kali ini Denai gagal, izinkan denai menjadi petani,
menggarap tanah milik keluarga, bersama Ajo Ir dan lain-lain.” Hanya “pidato”
saya yang tidak ditepuk-tangani, di tengah tepuk tangan atas pidato-pidato lain
yang begitu indah dan mendirikan bulu roma. Dalam hati, saya menangis atas
kemampuan olah kata yang masih tersisa, di tengah kemiskinan, ketidaktahuan,
dan segala macam persoalan yang melanda orang-orang kampung saya.
Minggu depan, saya mungkin akan kembali, memenuhi sejumlah janji untuk
bertemu muka dengan masyarakat di kampung saya. Tetapi, saya belum yakin itu
kapan. Yang jelas, setelah tanggal 20 September, saya dan istri dan anak naik
kendaraan pribadi, lewat jalur darat, menuju kampung. Istri saya ingin menikmati
perjalanan panjang ini lewat jalur darat, 38 jam perjalanan. Dan tepat pada tanggal
1 Januari 2009 nanti, seluruh kehidupan kami akan berada di kampung. Saya
sudah memutuskan mundur dari CSIS tanggal 1 Januari itu, juga mundur dari
pekerjaan saya sebagai Analis Senior pada sebuah perusahaan konsultan.
Kembalikan, Kampung Halamanku!!! Jakarta, 10 September 2008.
(Belum sempat mandi, setelah mendarat di Cengkareng pukul 20.30 tadi.)
Hasil Wawancara dengan Fadli Zon (9 Juli 2011)
Fadli Zon Library.
T : Alasan bapak masuk ke dalam partai politik.
J : Begini, kita melihat bahwa, bagaimanapun y, politik adalah suatu...,. Partai
politik dulu, partai politik ini kan suatu himpunan dari orang yang mempunyai
pandangan sama tentang suatu negara dan masyarakat. Sehingga partai politik itu
sebetulnya adalah alat, alat untuk apa?? Alat untuk memperbaiki keadaan
berdasarkan pandangan negara dan mayarakat itu. Jadi dengan adanya partai
politik kita bisa memperjuangkan apa yang menjadi pandangan/ideologi dari kita.
Jadi itulah kenapa orang membuat partai politik, kalau alasan saya. Saya melihat
efektifitas pengambilan keputusan itu ada tetap di dalam politik. Dalam politik itu
pepatah yang mengatakan “All that is necessary for the triumph of evil is that
good men do nothing”(Edmund Burke the 18th century
). Jadi kalau orang-orang yang
merasa baik itu tidak berada di dalam politik, ya maka politik itu akan dikuasai
oleh evil, oleh preman-preman politik, mafia politik, bandit politik, dll. Jadi
semakin banyak orang baik masuk ke dalam dunia politik, maka politik kita
semakin bagus. Itu yang mendorong saya terjun ke dunia politik. Karena
pengamat politik atau orang yang berada di luar walaupun pandangan-
pandangannya benar, walapun pandangannya kritis, walaupun mempunyai
pengaruh dalam opini, tetapi tidak bisa mengambil keputusan. Keputusan tetap di
tangan politisi di partai politik. Kita berada di dalam satu demokrasi modern, ini
alasannya. Terjun ke gelanggang politik itu memang mempunyai resiko karena
kita terlibat dalam suatu politik praktis dan juga sebagaimana lazimnya di dalam
politik, terjadi sikut menyikut, fitnah, intrik dan sebagainya. Itu adalah resiko,
kalau kita sudah berada di dalam, kita ingin mempengaruhin proses keputusan
politik yang menurut kita benar, misalnya dalam hal ini Gerindra mengingkan
ekonomi haluannya ekonomi kerakyatan bukan ekonomi liberal. Kalau pengamat
politik di luar, dia kan hanya bicara saja, bahwa ekonomi kita sekarang begini
begitu, tapi kalau kita berada di dalam politik mempunyai wakil-wakil di DPR,
DPRD, mereka mengambil keputusan agar ekonomi itu tidak menjadi ekonomi
yang liberal atau paling tidak memperjuangkan kalau belum menjadi partai yang
berkuasa supaya ekonomi itu tidak mengarah ke ekonomi neo liberalisme, itu
contohnya. Ya, dulu saya pengamat politik tapi saya juga aktifis, jadi ini upaya
untuk memperbaiki keadaan.
T : Kenapa partai politik Gerindra yang diikuti, kenapa tidak Demokrat.
J : Karena ide Gerindra itu dari saya. Jadi saya dulu pernah ikut juga dalam
mendirikan partai bulan bintang waktu saya masih berusia 27 tahun. Tapi karena
berselisih paham saya keluar, kemudian meneruskan studi, ikut dalam kegiatan,
usaha bisnis, baru tahun 2007 akhir saya mengusulkan gagasan untuk membuat
partai politik, dan akhirnya partai politik itu menjadi Gerindra. Karena kita merasa
bahwa partai-partai politik yang ada ketika itu ya sama saja tidak sejalan dari
usaha untuk memperbaiki keadaan. Kami menginginkan wadah dari partai
Gerindra ini alat perjuangan dengan tujuan-tujuan yang jelas melawan neo-
liberalisme, mengedepankan ekonomi kerakyatan, kita ingin ada keberpihakan
kepada rakyat terutama rakyat yang mayoritas, petani, buruh, nelayan, pedagang
pasar yang selama ini terpinggirkan dalam proses pembangunan.
T : Apakah tujuan-tujuan bapak setelah masuk partai sudah terealisasi
semua.
J : Ya, semuanya ini kan proses. Yang namanya politik itu tidak bisa seperti
membalik tangan, tidak bisa hanya dalam setahun tujuan itu tercapai, tidak! Ini
adalah proses panjang. Sebagai alat politik yang namanya partai politik ini
mengalami juga dinamika, tetapi sekarang Gerindra kan dari hasil Pemilu 2009
baru 4,6%, jadi ya sebagai partai baru ya ini baru langkah awal. Tujuan apakah
sudah tercapai atau belum, karena yang namanya tujuan itu kan untuk
memperbaiki keadaan, dan keadaan itu dari baik harus menjadi lebih baik, dan
lebih baik lagi. Jadi kami ingin mempengaruhi kebijakan-kebijakan termasuk
dalam pembuatan undang-undang, policy dan lain-lain. Kalau nanti kami suatu
hari berkuasa, kami lebih bisa untuk menjalankan apa yang menjadi program-
program dalam platform kami.
T : Apakah bapak tidak takut dalam berpendapat, setelah masuk ke dalam
partai politik.
J : Tentu, sebagai pengamat politik kan tidak punya tanggung jawab, hanya
mempunyai tanggung jawab kepada dirinya. Pengamat politik kan bebas bicara
tanpa ada batasan-batasan , semuanya yang mengontrol adalah dirinya sendiri,
sementara sebagai politisi dari partai politik, nah kita mempunyai batasan sejalan
dengan kepentingan partai. Kepentingan partai itu bisa sejalan dengan pemikiran
kita bisa juga tidak sejalan, nah disitulah seninya. Tetapi kami merasa sebagi
partai yang idealis sejauh yang saya lakukan, saya selalu masih sejalan dengan
apa menurut pendapat saya. Misalnya, soal gedung baru DPR, kami menolak
rencana pembangunan gedung baru DPR, satu-satunya partai yang pertama kali
menolak, dan misalnya tentang study banding keluar negeri kami satu-satunya
partai yang melarang anggota dari partai Gerindra untuk pergi studi banding
keluar negeri, termasuk seluruh anggota DPRD yang jumlahnya hampir 700 orang
untuk melakukan study banding, itu kanlebih dahsyat daripada pengamat politik.
T :Baiknya seorang intelektual itu berada di dalam atau diluar
pemerintahan/politik.
J : Jangan berbicara didalam atau diluar pemerintahan, bicara juga didalam politik
atua diluar politik. Menurut saya semakin banyak cendekiawan masuk ke dalam
politik itu pasti semakin bagus, tapi pada umumnya banyak yang merasa tidak
tahan, akhirnya menjadi cendekiawan menara gading. Mereka hanya mengambil
jarak dari persoalan-persoalan kemudian berbicara. Bukan itu tidak baik, itu tetap
baik, tetapi dampaknya akan lebih baik lagi cendekiawan ini terlibat dalam politik
praktis. Karenanya akan semakin banyak orang baik di dalam politik praktis.
Faktanya, sekarang politik kita dikuasai oleh preman kok, mafia. Coba bayangkan
ini bukan bicara partai politik atau bukan. Kalau banyak orang baik di Golkar,
orang baik di PDI, orang baik di Demokrat, orang baik di Gerindra pasti akan
ketemu. Orang baik akan ketemu orang baik, orang jahat akan ketemu orang jahat.
Nah kalau misalnya perampokan terhadap anggaran, ya itu bekerja sama antara
orang-orang jahat, tetapi orang-orang baik di dalam politik pasti tidak mau. Kita
harus memperbanyak orang baik di dalam politik.
T : Orang baik itu berlatar belakang dengan akademisinya.
J : Iya tentunya, tapi tidak menjamin. Banyak juga akademisi yang masuk politik
lalu jadi koruptor, adalah contohnya yang tidak perlu saya sebut. Tetapi paling
tidak dengan background akademisi intelektual, dulu kan Gramsci menyatakan
intelektual organik (organic intellectual) sebetulnya yang namanya intelektual itu
harus organik, kalau dia intelektual menara gading dia jadi seperti pengamat. Tapi
sebagai intelektual organic, saya ini seorang intelektual organik. Saya mempunyai
pandangan-pandangan saya itu menjadi kenyataan, menjadi realita. Jadi bukan
hanya sekedar duduk di belakang meja, menulis, mengamati kemudian datang
berbicara. Kita ingin mengubah keadaaan dan itu saya harus terlibat dan berjuang.
Itulah yang namanya intelektual organik ingin menumbuhkan apa yang menjadi
pikiran dan pandangannya.
T : Tapi kalau ada intelektual yang berada di luar politik bagus juga untuk
mengontrol.
J : Iya, bagus juga. Saya kan menyampaikan walaupun dia berada di luar politik
itu bukan berarti dia tidak baik. Tetapi dampaknya akan berbeda bila mereka
berada di dalam politik. Coba misalnya, ada orang seperti Drajat Wibowo di DPR,
kan agak mewarnai dari PAN tempo hari dari periode yang lalu. Ada tokoh-tokoh
yang mempunyai pikiran-pikiran yang tajam, itu kan bagus. Sehingga DPR nya
juga menjadi berkualitas. Ketika kita berhadapan dengan menteri, mungkin
menterinya bisa kalah dengan anggota itu. Kemudian berbicara di dalam atau di
luar pemerintahan. Ini kan juga isu penting, diluar atau di dalam sistem, keduanya
sama pentingnya tapi tidak bisa semuanya harus di luar atau di dalam. Yang
berada di dalam pemerintahan, apabila dia mampu pasti pemerintahan akan
berjalan dengan baik. Apalagi kalau dia benar-benar mendedikasikan semua ilmu,
kemampuan, pikiran dan pandangannya itu untuk bekerja secara serius dan
sepenuh hati gitu, bukan untuk kepentingan pribadinya. Saya kira pemerintah itu
akan terbantu. Kalau diluar pemerintahan tentu perannya akan lebih sedikit, jadi
yang penting itu sebetulnya adalah bagaimana seorang cendekiawan itu harus
melibatkan diri. Melibatkan diri dalam persoalan sehari-hari. Coba lihat
cendekiawan pada waktu Revolusi Beludru, di Chekoslavia seperti Vaclav Havel,
Adam Midnig di Polandia, Ponrad di Hungaria, itukan cendekiawan-
cendekiawan. Professor Vaclac Havel memimpin revolusi beludru waktu itu tahun
89 setelah itu menjadi presiden. Dia seorang intelektual.
T : Jadi bapak ingin menerapkan itu ke negara ini.
J : Oh iya, jelas.
T : Tapi kira-kira itu bisa tidak, seperti yang bapak bilang preman politik itu
masi menguasai partai politik.
J : Ya, memang semakin banyak.
T : Tapi kan semakin banyak intelektual dan cendekiawan yang diluar dia
berlaku sebagai seorang intelektual, tapi didalam dia bergerilya untuk partai
tertentu.
J : Ya, pasti ada, itu kan akhirnya, begini kita haru memahami pragmatisme.
Seolah-olah dia idelais dan tidak berpartai, tapi sebtulnya membela partai tertentu
itu kan pilihan, sah-sah saja. Tapi kan lebih baik dia masuk ke dalam salah satu
partai. Ada kok tokoh-tokoh cendekiawan yang saya tahu ada di PDI, ada yang di
Golkar, Burhan Magenda dulu di Golkar, ada pak Bonar Pasaribu, itu kan
cendekiawan. Ada sejumlah cendekiawan di berbagai partai. Karena
kecendrungan intelektual itu umumnya mereka masih ada idealisme. Kemudian
mereka mempunyai pengetahuan yang cukup luas, dari modal pengetahuan saja
itu sudah menjadi modal tersendiri, modal yang penting. Dalam berpolitik itu kan
perlu beberapa modal. Ada modal tersier, ada modal ekonomi yang memang
penting, tapi intelektual itu kan juga simbolik kapital dalam kata borjuis.
T : Menurut orang partai itu tempatnya orang mempunyai kepentingan-
kepentingan, dan tempat orang
J : Y aitu persepsi yang berkembang pada saat ini. Kalau kepentingan, siapa
manusia yang tidak mempunyai kepentingan. Selama manusia itu hidup pasti dia
punya kepentingan. Kepentingan untuk makan, kepentingan untuk sekolah,
kepentingan untuk mencapai cita-citanya. Kalau kepentingan sudah pasti. Tapi
soal bagaimana dia mencari uang di politik, itulah yang menjadi masalah.
Sekarang ini politik masih menjadi mata pencaharian, karena ekonomi di
Indonesia ini belum bagus dan kita ini mengarah pada liberalisasi, politik
liberalisasi ekonomi. Banyak pengangguran masuk politik dan mereka mencari
uang lewat politik dan ketika mereka masuk politik itu bukan untuk memperbaiki
keadaan tapi memperbaiki dirinya sendiri. Dengan cara mendapatkan fasilitas,
mendapatkan uang yang bukan dari haknya. Menjadi calo anggaran dan
sebagainya, jadi kalau kita lihat banyak sekali politisi di DPR ini orang-orang
yang mencari kehidupan bukan untuk memperbaiki keadaan masyarakat. Mencari
kehidupan unttuk diri mereka sendiri, itu kenyataan tapi bukan berarti akan selalu
begitu. Saya kira nanti ada masanya politik itu betul-betul untuk memperbaiki
keadaan tapi politik itu tidak bisa 100% bersih, tapi kita ingin politik itu lebih baik
dari yang ada sekarang. Sejak dulu dari zaman kemerdekaan yang namanya
korupsi itu sudah ada tinggal derajatnya aja. Zaman orde lama sudah ada korupsi,
era demokrasi liberal ada korupsi, luar biasa, era demokrasi terpimpin ada, era
demokrasi pancasila ada. Sekarang era demokrasi liberal reformasi ini, korupsi
ada lebih banyak lagi. Jadi demokrasi itu tidak menjamin korupsi bakal tidak ada,
malah justru korupsi bisa makin lebih banyak. Karena peluangnya, jadi demokrasi
itu baru bisa berhasil kata M.Hatta kalau “korupsi bisa dikendalikan, kalau tidak
ada oligarki partai, kalau ada pemimpin-pemimpin yang bertanggung jawab”
sekarang tiga-tiganya tidak ada, korupsi merajalela, terjadi oligarki partai dan
pemimpin-pemimpin yang tidak bertanggung jawab.
Keterangan :
T (tanya) : Pewawancara (Nahihatul Furqoni)
J (jawab) : Narasumber (Fadli Zon)
Wawancara dengan Ulil Abshar Abdalla (12 Juli 2011)
Freedom Institute.
T : Alasan bapak masuk ke dalam partai politik?
J : Karena dunia politik menarik juga untuk dicoba dimasuki, karena mengamati
hanya dari luar saja. Kalau masuk ke dalam lebih menarik, kalau saya hanya
mengamati saja, menjadi penonton saja kan.
T : Alasan yang lain, apakah karena kepentingan atau sebagainya?
J : Oh, pasti. Kepentingan itu pasti ada, kepentingan ingin macam-macam.
Memperluas kiprah sosial politik kita misalnya, ingin masuk ke dalam DPR, ingin
masuk ke dalam jajaran eksekutif. Politik kan banyak hal iya, di dalamnya banyak
kemungkinan yang luas sekali disitu. Kemungkinan untuk melakukan sejumlah
eksperimen dengan kemampuan kita banyak sekali. Bisa masuk ke eksekutif,
legislatif atau di yang lainnya.
T : Kenapa di Partai Demokrat yang bapak ikuti.
J : Karena ini partai yang paling besar, kalau kita punya cita-cita untuk mengubah
sesuatu melalui partai, dan tentu alatnya harus alat yang efektif untuk bisa
mengubahnya, dan itu tentu harus partai yang besar. Partai yang kecil tidak efektif
untuk mencapai tujuan kita. Karena intinya berpolitik justru, intinya berpolitik itu
kalau kita ingin mencapai sesuatu harus melakukan perubahan melalui partai
politik, karena partai politik adalah alat untuk mencapai suatu perubahan dalam
level negara, kebijakan, melalui legislatif dan eksekutif tentu perubahan itu akan
lebih efektif melalui partai yang besar, partai yang kecil bisa juga. Cuma partai
yang besar mungkin lebih efektif.
T : Bisa bapak ceritakan perjalan bapak, sehingga bisa masuk ke dalam
partai ini, karena diajak, ada kenalan orang dalam partai, keinginan sendiri,
atau kejenuhan karena terlalu lama mengamati.
J : Ya, kombinasi banyak hal, karena faktor diajak juga, karena ada kenalan orang
dalam, ada faktor kejenuhan juga diluar dan ingin masuk ke dalam, jadi kombinasi
faktor-faktor itu semua ada.
T : Tapi yang banyak mempengaruhi yang mana.
J : Saya gg tau, saya rasa kombinasi itu semua.
T : Seorang pengamat politik yang berada di luar politik praktis, dia bisa
lebih leluasa berbicara, tapi apabila sudah di dalam kan dia lebih terbatas
dan apabila berbicara, lebih ke arah membela partainya.
J : Sudah pasti, apabila anda sudah masuk partai anda sudah tidak bisa bebas,
anda akan terikat dengan partai anda. Anda harus membela partai itu, kebijakan-
kebijakannya. Anda tidak bisa mengkritik seperti pengamat-pengamat politik itu
Kalau anda ingin mengkritik anda lakukan di dalam partai. Melalui prosedur
internal partai. Tapi tidak bisa anda ngomong seenaknya di luar seperti
sebelumnya. Itu tugas pengamat yang bebas, kalau tugas pengurus partai atau
orang dalam partai ya bekerja melalui prosedur internal partai, kalau ada yang
tidak benar menyerap kritik dari luar dan menerjemahkan kritik dari luar itu yang
disampaikan oleh orang lain, tapi melalui mekanisme internal partai. Kecuali
dalam situasi yang spesific anda juga bisa sih, ketika ada orang dalam partai
berkoar-koar ngomong diluar, tapi itu tidak etis. Sama dengan kalau anda menjadi
anggota, seorang staf perusahaan misalnya ya kalau anda staf perusahaan anda
tidak bisa mengkritik perusahaan tersebut di luar, y kalau kritik y di dalam. Kritik
dari luar di sampaikan oleh orang di dluar perusahaan itu. Jadi etika nya begitu.
Kecuali anda menjadi pengamat yang bebas, anda bisa melakukan kritik secara
bebas. Ya, resiko kalau anda sudah masuk ke dalam y anda kehilangan sebagian
kebebasan, tapi anda mendapatkan kebebasan yang lain, jadi ini semacam tukar
menukar. Anda di luar partai anda bebas, tapi anda terbatas juga pada aspek yang
lain. Jadi kehilangan kebebasan yang satu, mendapatkan kebebasan yang lain.
T : Kebebasan yang lain,,
J : Ya bila anda masuk ke dalam partai, anda tidak bisa mengkritik secara bebas,
tapi anda mendapatkan melakukan perubahan dalam pemerintahan, atau dalam
sistem kenegaraan, yang tidak dipunyai oleh pengamat partai yang ada di luar
yang bebas. Anda bisa mempunyai kebebasan yang tidak dipunyai oleh pengamat
partai yang ada di luar. Kalau anda pengamat kan anda tidak bisa apa-apa, anda
tidak bisa masuk ke parlemen, tidak bisa ikut sidang, dan mempengaruhi lebih
dalam, anda tidak bisa terlbat di dalam operasi sehari-hari dari suatu sistem
kekuasaan. Itu satu kebebasan yang diperoleh saat anda masuk ke dalam partai.
T : Apakah ada mempunyai tujuan sebelum dan sesudah masuk partai yang
sudah terealisasi.
J : Belum ada, karena saya masuk partai kan baru setahun. Itu butuh waktu yang
panjang. Saya masuk Demokrat sudah setahun sejak kongres Demokrat tahun lalu
bulan Mei kalau tidak salah.
T : Menurut bapak seorang intelektual seperti bapak, harusnya berada di
luar atau di dalam partai.
J : Dua-duanya oke, itu pilihan pribadi saja. Ada orang yang merasa nyaman di
luar, ada yang ingin masuk ke dalam. Bagi saya dua pilihan itu tidak ada yang
lebih bagus atau lebih jelek, tergantung apa yang pas untuk anda sendiri.
Intelektual yang di luar oke yang di dalam juga oke. Itu preferensi individual
tentunya.
T : Sekarang kan perkembangan partai ini, bapak di Demokrat misalnya.
Partai disebut tempatnya orang yang berkepentingan, tempatnya otang
mencari duit, partai sebagai tempatnya orang melakukan korupsi.
J : Ya, itu persepsi yang tidak benar. Setiap partai tempatnya orang mencari
kepentingan itu sudah pasti. Karena setiap orang masuk partai politik pasti ada
kepentingan. Kepentingan untuk perubahan, mengaktualisasi diri, ya ada juga
orang yang ingin mempunyai kepentingan yang kotor, korupsi itu pasti ada. Itu
tidak hanya di partai demokrat, di semua partai ada. Kalau kasus dalam partai
demokrat ya orang-orang yang disebut koruptor itu yang sudah tersangka resmi
kan baru Nazaruddin. Yang lain kan belum..... . Di daerah juga sudah ada yang
tertangkap, semua partai tidak kebal terhadap kasus korupsi. Kasus pemilihan
deputi BI misalnya itu melibatkan dari partai, & orang dari PDIP sedang diadili,
P3 juga ada anggotanya, semua ada yang kena. Semua partai tidak kebal terhadap
kasus penyalahgunaan kekuasaan. Prinsipnya adalah apabila ada orang yang
berbuat salah dalam partai dia harus ditindak secara hukum, jadi jangan sampai
ada kekebalan terhadap orang itu, itu yang tidak boleh. Jangankan partai, lembaga
keagamaan pun bisa juga terkena kasus korupsi, jadi itu tidak harus spesifik
kepada partai politik. Memang Partai politik menjadi sorotan terutama partai
politik yang besar. Karena dia ada di garda yang paling depan di dalam politik. Itu
kan posisi panas sekali karena ada di ujung tombak kekuasaan. Ada di DPR, ada
di eksekutif misalnya, kalau yang lain-lain kan tidak berada di ujung tombak.
Apabila anda berada di ujung tombak ada berada di spotline, menjadi pusat
perhatian semua masyarakat, itu biasa.
T : Apa yang dilihat intelektual lain, ketika melihat para
intelektual/pengamat politik masuk ke dalam partai politik.
J : Di Indonesia umumnya ada satu persepsi yang buruk apabila intelektual masuk
politik itu seperti melakukan pelacuran intelektual. Kompromi dengan kekuasaan,
ada persepsi yang seperti itu. Sebagian para aktifis juga merasa tidak suka dan
antipati terhadap politik karena politik dianggap dunia yang kotor. Itu memang
persepsi yang berkembang.
T : Apakah bapak dijauhi atau dibicarakan lagi oleh para intelektual itu, apa
reaksi bapak.
J : Kalau dalam kasus saya tidak ada yang berubah. Y, tentu kawan-kawan sekitar
saya tidak suka saya masuk politik. Ya tapi saya tidap apa-apa dikritik, kritikan
dari mereka masuk akal dan mempunyai alasan. Dan itu tidak aneh, karena ada
tradisi para intelektual di Indonesia memandang politik itu kotor. Dianggap masuk
politik itu kapitulasi atau tunduk kepada kekuasaan yang dianggap tidak bersih.
Tapi pandangan seperti ini menurut saya tidak tepat, karena apabila politik
diandaikan sebagai dunia yang kotor, tentunya yang kotor harus dibersihkankan.
Kalau politik tidak dimasuki oleh para intelektual yang punya idealisme, politik
tentunya akan diisi oleh politisi yang sifatnya hanya berpetualang-petualang
sesaat yang tida di drive dan di dorong oleh visi jangak panjang, padahal itu kan
politik yang di drive oleh ide-ide.
T : Jadi menurut bapak intelektual-intelektual yang ada lebih baik masuk ke
dalam politik.
J : Kalau dalam politik ada intelektual-intelektual yang masuk ke dalamnya, harus
disambut dengan baik, justru menurut saya akan lebih baik. Dan politik akan
mendapatkan injeksi yang baik dari para intelktual. Karena politik apabila tidak
diinjeksi oleh ide-ide intelektual, maka hanya akan menjadi permainan kekuasaan
yang membosankan saja. Meskipun intelektual yang masuk ke dalam politik
belum tentu bisa mengubah dalam waktu yang sesaat y dalam waktu yang cepat
itu tidak bisa. Dan buat saya kritik dari kaum anti politik, meskipun saya hargai,
tapi saya tidak tetap. “Kalau intelektual masuk ke dalam dunia yang kotor”, iya
apabila anda tidak masuk dunia politik anda bersih, tapi bersihnya bukan karena
anda ditempatkan yang penuh tantangan. Kalau anda menjadi bersih karena
ditempatkan di tempat yang bersih itu enak saja. Tapi apabila anda bisa menjadi
bersih di tempat yang kotor, itu tantangannya disitu. Justru tantangannya adalah
bagaimana anda bisa membersihkan tempat yang kotor itu.
T : Sekarang begini, setelah bapak masuk ke dalam partai Demokrat atau
partai apapun, apa yang bapak lihat disana. Perkembangan politik apa yang
bapak temui di dalam partai tersebut.
J : Ya, saya tidak bisa cerita banyak. Ya, kita bisa lihat indikator-indikator yang
sifatnya statistik y. Misalnya tingkat pertumbuhan ekonomi. Kita mislanya
tumbuh dalam setahun 6, .. 5, 4, 3 % . Kalau kita mau membandingkat tingkat
pertumbuhan di Asia Tenggara ini itu tumbuhnya tidak sampai kesitu, kita itu
paling di bawah China dan India pertumbuhan ekonominya. Tapi dibanding
Malaysia, Thailand, Filiphina, bahkan Jepang, Korea dan semua. Kita jauh berada
di atas itu pertumbuhan ekonomnya. Kemudian dari segi per-kapita misalnya kita
sudah tembus $3000, padahal kita sudah pernah melewati krisis ekonomi yang
begitu berat kan. 4 tahun yang lalu kita tembus $4000. Pertumbuhan per-kapita itu
memang tidak langsung diterjemahkan di dalam kehidupan riil dalam sehari-hari,
tapi itu indikator penting untuk mengukur kemakmuran bersama. Karena kan kita
menghitung orang itu kan jutaan, jadi tidak bisa satu persatu kita hitung. Kita
harus melakukan generalisasi dalam bentuk indeks. Karena kalau satu persatu,
jangankan di Indonesia, di Amerika saja yang per kapitanya mencapai US$30,000
saja masih ada saja yang miskin. Tetapi anda menghitung kemakmuran
masyarakat sebuah negara tidak bisa hanya individu per indinvidu. Ada individu
yang kaya ada juga individu yang miskin. Tapi anda harus melakukan generalisasi
secara umum dalam bentuk indeks, disitu anda bisa melihat ada tidak kenaikan
kemakmuran negara ini, apa alat untuk mengukur itu. Dan salah satu alat untuk
mengukur ini adalah infrastruktur misalnya. Itu adalah suatu tantangan berat kita
memang, karena kalau seandainya infrastruktur negara kita bagus, pertumbuhan
negara kita juga bisa diatas bisa mungkin 6, 7 sampai 8% maksud saya itu jalan
raya, pelabuhan, bandara misalnya listrik. Pasoka listrik kita luar biasa, cepat
sekali permintaannya, tapi pasokan kita sangat berkurang, itu makanya kita lihat
adanya pemadaman listrik berkali-kali di sejumlah tempat, itu kan mengganggu
proses produksi, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi sebetulnya, barang-
barang jadi mahal, harga barang jadi tidak bersaing tidak kompetitif dengan
negara lain. Pemerintah punya satu Masterplan, M3EI, masterplan percepatan
pembnagunan Ekonomi Indonesia, dari 2011 sampai 2024. Salah satu konsentrasi
pokoknya adalah pembangunan infrastruktur itu. Membagi Indonesia menjadi 8
koridor ekonomi (KEI) Indonesia. Dibagi-bagi berdasarkan karakteristik masing-
masing daerah itu. Ya, macam-macamlah program pemerintahan Indonesia, ada
yang berhasil juga, ada yang kurang berhasil juga ada. Saya kira kemiskinan yang
masih menjadi soal, unemployment, angka pengangguran itu sampai dengan 8%,
8,.. %. Dibanding Amerika kita lebih kecil, di Amerika sekarang tingkat
pengangguranya sampai dengan 8,6 atau 8,7 % kalau tidak salah. Masih ada
pengangguran tapi itu tugas mereka meenciptakan pekerjaan terus menerus supaya
angkatan pekerja baru yang terus bermunculan setiap tahun. Penduduk kita kan
demografisnya khas, penduduk mudanya kan banyak sekali. Itu beda dengan
negara-negara maju. Negara berkembang seperti Indonesia itu adalah salah satu
khas bentuk demografi atau penduduknya. Itu angkatan mudanya yang mulai
produktif antara 20-40 tahun itu jauh lebih tinggi daripada orang-orang tua. Itu
bagus dari satu segi karena kita punya angkatan produktif yang banyak. Angkatan
tenaga kerja yang banyak, tapi dari segi yang lain juga tantangan besar karena itu
umur-umur orang butuh pekerjaan. Kalau mereka tidak mendapatkan pekerjaan
mereka bisa frustasi, dan kalau mereka frustasi bisa mereka melakukan tindakan
anarkis. Salah satu sebab kenapa Mesir bergejolak sampai Mubarak jatuh, itu
karena ada angkatan pekerja yang begitu banyak sekali, karena pemerintah tidak
menciptakan lapangan pekerjaan. Sehingga akhirnya muncullah gerakan reformasi
besar.
T : Sekarang kan ada issue yang berkembang mengenai revolusi dsb.
Pendapat bapak?
J : Revolusi itu tidak bisa terjadi kalau tidak ada syarat-syaratnya. Anda kan bisa
jadi mengkehendaki revolusi, tapi kalau tidak cukup syarat-syarat objektivenya ya
tidak terjadi. Misalnya anda ingin pergi umroh atau haji, ingin kan bisa saja, tapi
kalau anda tidak punya uang kan tidak bisa pergi kesana. Revolusi itu seperti itu,
banyak orang sekarang ini yang menginkan revolusi dengan SBY, y gpp. Tapi
cukup tidak syarat-syaratnya. Syaratnya revolusi itu misalnya ada situasi dimana
dalam mekanisme itu tidak ada tempat untuk menyalurkan kritik dan saran. Tidak
ada sirkulasi kekuasaan yang reguler, contohnya Mesir dan Orde Baru dulu. Ada
penguasa yang berkuasa sekian lama tidak ada calon untuk mengganti dia, seluruh
saluran kritik ditutup, pers tidak diizinkan untuk menyalurkan kritik, tidak ada
orang yang bisa melakukan demo, kemudian kalau berdemo ditangkap. Ada
undang-undang HISE, darurat, seperti di Malaysia sekarang ini, orang bisa
ditangkap tanpa diadili dan tanpa batas, semau-mau mereka saja. Kalau ada
kekecewaan masyarakat yang meluas sekali, tapi tidak ada saluran untuk
menyampaikan kritik. Nah, itu biasanya dalam situasi yang seperti itu, revolusi
bisa terjadi. Tapi itu juga tidak mesti karena keadaan seperti itu butuh juga tokoh
yang kuat atau satu pemimpin ada ya tolahnya lah. Nah itu baru bisa bergerak,
tapi kalau salah satu itu tidak ada, anda ingin saja tapi tidak bisa terjadi. Misalnya
dalam kasus Indonesia, ya orang mengkritik setiap saat bisa, media massa terbuka
banget, anda bisa demo setiap hari. Pemerintah tidak pernah membredel koran,
PEMILU YANG MENGGANTI PRESIDEN tiap 5 tahun, presiden juga ganti
dalam 2 periode, tidak ada presiden yang berkuasa selama hidupnya seperti
Mubarak, Khadafi, atau Soeharto dulu. Jadi ya buat apa revolusi, kalian kan bisa
berkritik setiap saat. Revolusi itu seperti peledakan besar karena tidak adanya
saluran yang kecil-kecil yang bisa menyalurkan kekecewaan dalam skala reguler.
Nah, kalau tidak ada itu revolusi bisa terjadi. Biasanya revolusi itu terjadi di
negara-negara yang otoriter atau negara-negara yang komunis, atau negara
otoritas seperti Indonesia pada saat orde baru atau Mubarak, atau Syah Iran dulu
atau di Yaman sekarang ini, di seluruh timur tengah itu tidak ada demokrasi pada
dasarnya jadi orang marah. Makanya revolusi jarang hampir, saya bisa
mengatakan mungkin mustahil revolusi terjadi di negara demokrasi. Bukan
pemerintah tidak membolehkan, tapi keadaan yang tidak memungkinkan karena
orang sudah mempunyai saluran untuk menyampaikan kekecewaan , terus buat
apa revolusi. Revolusi itu kan saluran yang meledak dalam waktu sesaat karena
tidak ada perdamaian. Makanya dalam demokrasi tidak ada revolusi. Maksud saya
revolusi politik y bukan revolusi mental.
Keterangan:
T (tanya): Pewawancara (Nashihatul. F.)
J (jawab): Narasumber (Ulil Abshar Abdallah)