respons cendekiawan muslim tentang pembangunan …

129
RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN EKONOMI ORDE BARU: STUDI JURNAL PRISMA TAHUN 1979-1989 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum) Oleh: Lilis Shofiyanti NIM. 1111022000053 PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/ 2016 M

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM

TENTANG PEMBANGUNAN EKONOMI ORDE BARU:

STUDI JURNAL PRISMA TAHUN 1979-1989

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

Oleh:

Lilis Shofiyanti

NIM. 1111022000053

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1438 H/ 2016 M

Page 2: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …
Page 3: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …
Page 4: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan mi saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi mi merupakan basil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana, jenjang Strata satu (Si)

di Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan mi sesuai dengan

ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negen (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian han terbukti bahwa karya mi bukan hasil karya asli saya

atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menenima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 11 Oktober 2016

001 TE' MPE4

48CAEF1344

E IBURUPIAH - - -

Lulls ofivanti

111

Page 5: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

iv

DEDIKASI

Didedikasikan untuk Ibundaku Tercinta Irawati, Ayahandaku Tercinta Suprapto

(Alm), dan kedua Kakakku Tersayang Malikul Kholil dan Khoirul Hadi.

Page 6: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

v

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat-Nya. Dia sang adi

kodrati. Dialah yang maha teliti dan tekun. Pemilik dan pengatur segala yang

tercipta. Raja di atas para raja yang ada. Dialah Tuhan Yang Maha Esa. Allah

SWT, karena cinta-Nyalah karya ini ada. Sudah sepatutnya tiap hembusan nafas

kita adalah jutaan rasa syukur kepada-Nya. Selanjutnya shalawat dan salam

senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad Saw, sang insan kamil,

sang penyempurna akhlak, dan suri tauladan bagi umat semesta.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ayahanda Tercinta Suprapto

(alm), meskipun jasatnya sudah tidak bersama namun petuahnya senantiasa

menjadi penyemangat penulis dan Ibunda Tercinta Irawati yang selalu

memberikan dorongan, bimbingan, kasih sayang, dan do’a tanpa kenal lelah. Dan

juga penulis persembahkan untuk kedua Kakak Tercinta Malikul Kholil dan

Khoirul Hadi, yang senantiasa memberi semangat dan motivasi kepada penulis.

Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada

mereka.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar

Sarjana Humaniora (S.Hum) pada Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam,

Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta. Dalam proses penyelesaian skripsi ini, tidak sedikit

kesulitan dan hambatan yang penulis temukan, namun sedikit demi sedikit

akhirnya dapat terselesaikan juga berkat rahmat dan inayah-Nya, kesungguhan,

Page 7: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

vi

serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak

langsung. Segala kesulitan dapat penulis lewati dengan sebaik-baiknya sehingga

pada akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya

pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-

dalamnya kepada :

1. Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Nurhasan, MA, selaku Ketua Program Studi Sejarah dan Peradaban

Islam yang telah membantu penulis selama menjadi mahasiswa dalam

beberapa hal yang berhubungan dengan birokrasi kampus sehingga segalanya

menjadi mudah.

3. Ibu Sholikatus Sa’diyah, M.Pd, selaku Sekretaris Program Studi Sejarah dan

Peradaban Islam yang telah banyak membantu penulis selama menjadi

mahasiswa di SPI ini, baik yang berkenaan dengan surat menyurat ataupun

motivasi untuk terus berkembang untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

4. Dr. Halid, M.Ag, selaku dosen pembimbing yang telah rela meluangkan

waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis. Yang memberikan

banyak masukan serta saran kepada penulis untuk terus mencari sumber-

sumber skripsi, serta segala kemudahan yang penulis dapatkan selama

dibimbing beliau.

5. Dr. H. Abdul Wahid Hasyim, M.Ag., dosen pembimbing akademik yang

senantiasa memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis.

Page 8: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

vii

6. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA., dosen penguji I sekaligus pembimbing

penulis. Yang selalu mengingatkan penulis untuk terus mengutamakan

pendidikan dan memberikan motivasi pada saat penulis mendapatkan

beasiswa bidikmisi.

7. Dr. Saiful Umam, MA., dosen penguji II dan juga dosen sejarah sekaligus

pembimbing penulis. Walaupun hanya beberapa semester saja dalam

perkuliahan namun beliau sangat memotivasi penulis. Ilmu yang diajarkan dan

motivasi yang disampaikan selalu membuat penulis semangat untuk senantiasa

belajar.

8. Prof. Dr. Oman fathurahman, M.Hum. Guru Besar Filologi Islam Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang tidak pernah lelah untuk

mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Segala bentuk

perhatian dan kasih sayang beliau kepada penulis sehingga seperti ayah

sendiri. Terima kasih atas segala ilmu yang telah diberikan, motivasi yang tak

pernah henti, dan beliau merupakan seorang dosen yang sangat menginspirasi

penulis.

9. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar di lingkungan Prodi SPI

Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada

penulis selama duduk di bangku perkuliahan.

10. Seluruh staff dan pegawai Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Page 9: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

viii

11. Keluargaku, Ibundaku Tercinta Irawati, Ayahandaku Tercinta Suprapto (Alm),

dan kedua Kakakku Tersayang Malikul Kholil dan Khoirul Hadi, mereka

adalah orang-orang yang selalu memberikan dukungan setiap hari baik moril

maupun materi yang tak terhingga dan didikan di rumah yang menjadikan

penulis menjadi pribadi yang berkarakter seperti saat ini.

12. Seluruh pihak yang terlibat dalam beasiswa Bidikmisi, terutama Kak Amellya

Hidayat (Staff UIN Jakarta) yang telah membantu dan mempermudah penulis

selama mendapatkan beasiswa bidikmisi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Berkat adanya beasiswa tersebut penulis bisa kuliah di kampus tercinta ini,

penulis bisa melanjutkan pendidikan, mempunyai perspektif baru dalam

menyikapi hidup dan memiliki motivasi yang tinggi untuk senantiasa

semangat dalam melanjutkan pendidikan.

13. Pegawai Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) yang telah

membantu penulis dalam penelusuran sumber sebagai bahan skripsi.

14. Pegawai Perpustakaan LP3ES, Pak Arizon dan Bu Ita, yang telah banyak

membantu penulis dalam penelusuran sumber-sumber sebagai bahan referensi

untuk skripsi ini.

15. Pegawai Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta, pegawai Pepustakaan Pusat Universitas Indonesia, adik-

adik PKL yang berada di Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora. Penulis

haturkan terima kasih yang setulus-tulusnya karena mereka semua telah

membantu penulis dalam segala hal yang berhubungan dengan pencarian

sumber skripsi.

Page 10: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

ix

16. Mas Ahmad Fauzan Baihaqi, kakak yang senantiasa membimbing dan

menemani penulis.

17. Kakak-kakak yang senantiasa membimbing: Mas Tutur, Teh Itsna, Mas Ervan,

Kak Yusuf, Kak Labib, Kak Agus, Kak Johan, Kak Firman, Kak Candra, Kak

Vita dan kakak-kakak lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

18. Kawan-kawan angkatan 2011 yang berproses bersama selama di

kepengurusan Himpunan Mahasiswa Jurusan Sejarah dan Peradabanaan Islam

(HMJ-SKI 2013-2014), di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Adab dan

Humaniora (BEM-FAH 2012-2013) selama di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, serta teman-teman di kepengurusan HMI Komisariat Fakultas Adab

dan Humaniora (HMI KOFAH 2014-2015) antara lain: Ibnu Fatkhan, Mitra

Zalman, Amalia Rachmadanty, M. Naufan Faikar, Yudha Adipradana, Ahmad

Al-Faiz, Indi Nisauf, Wilda Eka Safitri, Muliadin Iwan, Egi Zulhan, Humaedi,

Ahmad Fauzi, Fikri Dikriansyah, Firdaus Alansyah, Aditya, TB. Akbar Al-

Qadly, Nurfika Arofah, Syarifaeni Fahdiah, Mentari Faradiba, Dini Hafidzah,

Jauzi, Andri Fikri, Arif Cahyadi dan kawan-kawan lainnya yang tidak bisa

disebutkan semuanya. Kemudian semua yang terangkum dalam kenangan

indah yang tidak dapat penulis lupakan dalam dinamika intelektual perkaderan

di HMI.

19. Seluruh kawan-kawan di Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam pada

khususnya, dan kawan-kawan Fakultas Adab dan Humaniora dan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta pada umumnya, terima kasih atas semua canda tawa

selama penulis berada di bangku perkuliahan.

Page 11: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

x

20. Kawan-Kawan KKN Sukses 2014: Rozaq, Rini, Cyntia, Andin, Nabilla,

Windi, Rio, Salman, Diana, Nia, Iin, Mustofa, Manto, Riki, Rudi, dan Rifah.

Serta Pakde Umam dan adik yang selalu setia menemani, adinda Retno

Yuliani.

Tak ada gading yang tak retak. Pada kesempatan ini pula, penulis

mengucapkan permohonan maaf apabila karya ini masih jauh dari sempurna.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini.

Maka dari itu, segala saran yang ditujukan untuk menanggapi tulisan ini akan saya

terima dengan sikap lapang dan terbuka. Saya berharap agar skripsi ini bermanfaat

untuk pembaca sekalian. Sekali lagi penulis ucapkan banyak terima kasih kepada

semua pihak yang telah membantu dan mendukung serta membimbing penulis

hingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

Jakarta, 17 Oktober 2016

Lilis Shofiyanti

Page 12: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

xi

ABSTRAK

Nama : Lilis Shofiyanti

Program Studi : Sejarah dan Kebudayaan Islam

Judul : Respons Cendekiawan Muslim tentang Pembangunan

Ekonomi Orde Baru: Studi Jurnal Prisma Tahun 1979-1989

Penelitian ini membahas respons cendekiawan Muslim tentang

pembangunan ekonomi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Orde Baru dalam

ulasan jurnal Prisma tahun 1979-1989. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif

dengan metode deskriptif-analisis. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui

bagaimana cendekiawan Muslim merespons dan menyikapi adanya isu-isu tentang

pembangunan ekonomi yang berkembang pada masa Orde Baru. Pengambilan

data dilakukan melalui studi kepustakaan. Temuan dari penelitian ini didapatkan

bahwa banyak tulisan-tulisan dari cendekiawan Muslim yang dimuat dalam jurnal

Prisma bersifat akomodasionis dan antagonis terhadap pemerintahan Orde baru.

Sentralisasi pembangunan ekonomi yang lebih menitikberatkan pada pusat

dianggap tidak berhasil mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat karena

pemerintah pusat dianggap tidak mampu membangun perekonomian di daerah dan

tidak tercapainya Trilogi Pembangunan yaitu: pemerataan pembangunan,

pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

Selain itu juga dijelaskan peran penting dari jurnal Prisma, yang mana jurnal ini

menjadi jurnal yang sangat populer pada masa Orde Baru dan para kontributor

dari jurnal ini adalah para cendekiawan yang sangat kritis dalam merespons isu-

isu pembangunan ekonomi pada masa itu. Penulis berharap penelitian ini dapat

memberi pandangan baru bagi penulisan sejarah.

Kata kunci: Cendekiawan Muslim, Pembangunan Ekonomi Orde Baru, Jurnal

Prisma

Page 13: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

xii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ i

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................. ii

LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... iii

DEDIKASI ..................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR .................................................................................... v

ABSTRAK ...................................................................................................... xi

DAFTAR ISI .................................................................................................. xii

BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah........................................ 8

C. Tujuan dan Manfaat ................................................................. 9

D. Tinjauan Pustaka .................................................................... 10

E. Metodologi Penelitian ............................................................ 12

F. Landasan Teori ....................................................................... 15

G. Sistematika Penulisan ............................................................ 17

BAB II : GAMBARAN UMUM PEMBANGUNAN EKONOMI ORDE

BARU DAN JURNAL PRISMA ................................................ 19

A. Orientasi Pembangunan Ekonomi Orde Baru ........................ 19

B. Kebijakan Politik Ekonomi Orde Baru ................................... 24

C. Jurnal Prisma dan Orde Baru .................................................. 36

1. Sejarah dan Tujuan ............................................................ 36

2. Pengelolaan ........................................................................ 40

Page 14: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

xiii

3. Analisis Isi Jurnal .............................................................. 44

4. Para Kontributor di Bidang Ekonomi dan Politik Ekonomi 46

BAB III : CENDEKIAWAN MUSLIM DAN ORDE BARU ................. 52

A. Sejarah Profil .......................................................................... 52

B. Peran-Peran Strategis ............................................................. 56

C. Peran Cendekiawan Muslim sebagai Kontributor Prisma

dalam Dinamika Orde Baru .................................................... 62

BAB IV : KRITIK CENDEKIAWAN MUSLIM TERHADAP

ORDE BARU DALAM JURNAL PRISMA ........................... 79

A. Isu-isu Ekonomi dalam Jurnal Prisma .................................... 79

1. Dalam Negeri ................................................................... 80

2. Luar Negeri ...................................................................... 83

B. Bentuk Kritik Cendekiawan Muslim terhadap Pembangunan

Ekonomi Orde Baru ................................................................ 87

1. Akomodasionis ............................................................... 102

2. Antagonis ....................................................................... 103

BAB V : PENUTUP ................................................................................ 104

A. Kesimpulan .......................................................................... 104

B. Saran ...................................................................................... 108

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 109

Page 15: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Prisma1 merupakan jurnal yang diterbitkan oleh Lembaga Penelitian,

Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Lembaga ini didirikan

pada tanggal 19 Agustus 1971, oleh kelompok kritis yang percaya pada

modernisasi. Berdirinya LP3ES sendiri dilandasi oleh adanya kesadaran kritis di

kalangan intelektual yang ahli dalam bidang sosial, ekonomi, budaya, dan politik

Indonesia pada saat itu. LP3ES didirikan pada periode awal pelaksanaan Pelita I

dengan tujuan untuk pembinaan pengetahuan ekonomi, sosial kemasyarakatan

serta pengembangan pengetahuan secara lebih luas tentang keadilan sosial. LP3ES

dikenal sebagai organisasi non-pemerintah (ornop) yang bergulat di dunia

penelitian, pendidikan, dan penerbitan (penerangan).

Para penulisnya mayoritas adalah para cendekiawan, dan isu-isu yang

dimuat pun banyak memberikan kritik terhadap kinerja pemerintah pada masa itu.

Jurnal ini menjadi media informasi dan forum pembahasan masalah pembangunan

ekonomi, perkembangan sosial, dan perubahan-perubahan kultural di Indonesia.

Prisma menjadi sebuah bacaan ilmiah populer untuk komunitas intelektual,

mahasiswa, akademisi, bahkan para penentu kebijakan di pemerintahan maupun

1Merupakan jurnal yang menjadi buah bibir pada masa pemerintahan Orde Baru. Jurnal

ini ibarat menjadi “anak kesayangan” LP3ES. Jurnal ini sempat berhenti terbit pada 1998 dan

terbit kembali mulai 17 Juni 2009.

Page 16: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

2

di dunia usaha dan berisi pemikiran-pemikiran alternatif,2 ringkasan hasil

penelitian, survei, hipotesis atau gagasan yang kritis dan segar tentang masalah

sosial, ekonomi, politik, dan budaya.

Menurut Ismid Hadad,3 Prisma sendiri bermaksud menangkap dan

menyeleksi pikiran-pikiran konstruktif atau pun kontroversial dalam masyarakat

serta membiaskan kembali sebagai pancaran pandangan-pandangan yang perlu

ditimbang dalam derap pembangunan ekonomi, perkembangan sosial dan

perubahan-perubahan kultural yang dialami Indonesia.4

Tepatnya pada 7 Juli 1970 sekelompok cendekiawan, akademisi, petinggi

pemerintahan, dan beberapa aktivis membentuk Perhimpunan Indonesia untuk

Pembinaan Pengetahuan Ekonomi dan Sosial (Bineksos).5 Setidaknya ada lima

nama yang dapat disebut sebagai perintis lahirnya Bineksos, antara lain: Nono

2Hal ini sesuai dengan penuturan Nono Anwar Makarim (salah satu perintisnya), bahwa

Prisma merupakan anak kandung dari LP3ES yang mana gagasan awal diterbitkannya Prisma

selaras dengan LP3ES yaitu untuk menjadikannya wadah alternatif sebagai persiapan buat para

aktifis melanjutkan perjuangannya. Karena hampir semua yang ikut mendirikan adalah kaum

aktifis gerakan 1966. Pada waktu itu ada sebuah gerakan aliansi mahasiswa dan ABRI yang

berencana untuk menegakkan apa yang waktu itu dinamakan „Orde Baru‟, akan tetapi mulai tahun

1967-1968 sudah mulai kelihatan tanda-tanda perpecahan antara mahasiswa, kesatuan aksi, dan

tentara. Pada masa itu mahasiswa benar-benar berkuasa, dan bisa mengatur banyak hal bahkan ada

sebanyak 13 mahasiswa yang menduduki kursi DPR. Nono Anwar Makarim menolak atas tawaran

yang diberikan kepadanya, yang saat itu mendapat jatah di kursi DPR, kemudian berfikir untuk

membagi tugas, ada yang harus masuk di dalam birokrasi, DPR, dan di luar itu. Pada saat itu yang

di luar hanya pers dan media massa. Akan tetapi dia berfikir bahwa media massa pun mudah

digempur, maka terpikirlah untuk membentuk semacam lembaga alternatif. Lihat Daniel

Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, (Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama, 2003), h. 449-450. 3Direktur III LP3ES (1976-1980) dan juga sebagai redaktur/penanggungjawab jurnal

Prisma. 4Hal ini disampaikan oleh Ismid Hadad dalam “Pengantar Redaksi”. Baca Prisma No. 1

(tahun 1), November 1971, yang diterbitkan sebagai edisi “Perkenalan”. 5Bineksos merupakan organisasi berbadan hukum perkumpulan yang disahkan

Pemerintah Republik Indonesia lewat Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor Y.A. 5/36/12,

tertanggal 22 Januari 1973. Dua tahun sebelumnya, tepatnya pada 26 April 1971, Friedrich

Naumann Stiftung (FNS), salah satu yayasan asal Republik Federasi Jerman, menjalin kerjasama

resmi dengan Pemerintah Indonesia.

Page 17: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

3

Anwar Makarim6, Ismid Hadad

7, Dr. Emil Salim

8, Satrio B. Joedono, dan

Professor Soemitro Djojohadikusumo. Disamping mereka terdapat sejumlah nama

pendiri organisasi nirlaba tersebut, antara lain: Professor Dr. Ali Wardana,

Professor Dr. Selo Sumardjan, Dr. Suhadi Mangkusuwondo, Professor Dr.

Koentjaraningrat, Professor Dr. Sukadji Ranuwihardjo, Dr. Taufik Abdullah, Dr.

Soedradjat Djiwandono, Dr. Zainul Yasni, Joewono Sudarsono, Bintoro

Tjokroamidjojo, Dorodjatun Kuntjojakti, Adam Malik, Daan Jahja, M. Yusuf

Ronodipuro, Harlan Bekti, Letnan Jenderal Ali Sadikin, dan lain-lain.

Bineksos mendapatkan bantuan teknis dari FNS9 yang sepenuhnya berada

di bawah pengawasan dan prosedur Departemen Perdagangan Republik

Indonesia.10

Pada 19 Agustus 1971, Ketua Pengurus Bineksos Emil Salim dan

Kepala Perwakilan FNS di Indonesia D.G. Wilke menandatangani sebuah

6Direktur Pertama LP3ES (1971-1973) dengan didampingi oleh D.G. Wilke sebagai

Wakil Direktur I. 7Wakil Direktur Kedua LP3ES (1973-1976). Kemudian menjadi Direktur Ketiga LP3ES

(1976-1980) dan didampingi M. Dawam Rahardjo sebagai Wakil Direktur III LP3ES. 8Emil Salim kemudian dipilih menjadi Ketua Pengurus Bineksos pertama didampingi

Sumitro Djojohadikusumo, Ali Wardana, dan Ali Sadikin sebagai Ketua Kehormatan. 9Orde Baru membuka Indonesia bagi modal asing yang mana salah satu modal

internasional yang ikut terserap adalah social capital dalam bentuk jaringan-jaringan internasional.

Dari sinilah hubungan dengan Friedrich Naumann Stiftung (FNS) dirintis. Daniel Dhakidae dalam

“Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru” menjelaskan bahwa modal adalah

sesuatu yang langka pada waktu itu, apalagi modal untuk mendirikan suatu yayasan. Namun, ada

suatu kebetulan yang membentu. Pada waktu itu Nono Anwar Makarim mengikuti suatu lomba

penulisan dan diundang membawakan karya tulisnya itu di Berlin. Di sana dia bertemu dengan

tokoh-tokoh gerakan mahasiswa Jerman dan beberapa orang dari yayasan-yayasan Jerman,

Stiftung, seperti Friedrich Naumann Stiftung. Itulah kontak pertama dengan Friedrich Naumann

Stiftung. Mereka mengirim Dieter Wilke ke Jakarta. Wilke sendiri adalah aktivis mahasiswa

Jerman yang banyak melakukan kontak dengan kaum aktivis Perancis seperti Daniel Cohn Bendit.

Lihat Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan.....Op.Cit., h. 450. 10

Perjanjian penerimaan bantuan ini ditandatangani Menteri Perdagangan Sumitro

Djojohadikusumo dan Kepala Perwakilan FNS di Indonesia, Dr. Dietrich G. Wilke. Pembentukan

Bineksos sesungguhnya tidak terlepas dari kemungkinan menjalin kerja sama dengan FNS yang

memerlukan sebuah organisasi sebagai counterpart-nya di Indonesia.

Page 18: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

4

perjanjian.11

LP3ES yang secara resmi dibentuk pada 19 Agustus 1971

memperoleh bantuan dana kelembagaan dari FNS selama 10 tahun (1971-1981).

Fokus perhatian dan pilihan strategis ditekankan pada upaya investasi sumber

daya manusia. Pada awalnya, LP3ES didesain sebagai sebuah training group12

bagi pengembangan wawasan dan kapasitas kelompok usia muda agar mampu

berperan dalam menjawab persoalan dan tantangan yang ada.13

Menurut Adnan Buyung Nasution bahwa ketika pembangunan dimulai

pada awal dasawarsa 1970-an, masyarakat terutama kaum terpelajar sudah mulai

risau karena tekanannya yang terlalu kuat pada pertumbuhan ekonomi. LP3ES

membuka persepsi tentang bahaya pembangunan ekonomi yang hanya bertumpu

pada pertumbuhan, karena tidak akan tercapai tujuan atau sasaran pada

pemerataan dan keadilan. Hal itu dipelopori oleh pemikiran-pemikiran kritis

melalui hasil-hasil penerbitan dan penelitian yang dilakukan oleh LP3ES. Di

11

Wilke menjelaskan bahwa untuk mengejar tujuan-tujuan membantu pendidikan tenaga-

tenaga pimpinan Indonesia di bidang ekonomi dan sosial, khususnya di bidang pengembangan

sumber daya manusia usia muda, Bineksos dan FNS secara bersama-sama membentuk sebuah

perkumpulan. Perkumpulan yang dimaksud adalah Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan

Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). 12

LP3ES kerap menyelenggarakan pelatihan (diklat) misalnya metodologi penelitian

untuk mahasiswa, pelatihan pers mahasiswa dan jurnalistik radio, pelatihan untuk wartawan

daerah, lokakarya bagi penggiat LSM, dan sebagainya. 13

Sebagaimana dalam Anggaran Dasarnya, maksud dan tujuan LP3ES adalah pertama,

membina pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai masalah-masalah pembangunan sosial

dan ekonomi yang dihadapi Indonesia. Kedua, mengembangkan ilmu pengetahuan ekonomi dan

sosial pada umumnya mengingat pentingnya hal ini untuk pembangunan ekonomi dan perubahan

sosial di Indonesia. Ketiga, menyebarkan pengetahuan yang luas tentang keadaan sosial dan

ekonomi Indonesia kepada bangsa lain. Keempat, mengembangkan sumber daya manusia dan

masyarakat Indonesia khususnya di kalangan mereka yang berusia muda agar mampu menjawab

tantangan sosial dan ekonomi di masa mendatang. Kelima, bekerjasama dengan lembaga atau

organisasi lain yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama dan sejalan dengan LP3ES.

Page 19: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

5

sinilah lahir berbagai gerakan mahasiswa dan cendekiawan yang tidak terlepas

dari pengaruh sumbangsih yang diberikan LP3ES.14

Seperti yang diutarakan di awal, paling tidak selama dua dekade pertama

Orde Baru, LP3ES khususnya melalui Prisma telah memainkan peran yang sangat

penting dalam membuka cakrawala pemikiran bangsa kita, menciptakan dan

memantapkan kalangan terpelajar, dan memberi masukan berharga kepada

kalangan eksekutif, akademisi, mereka yang berkecimpung dalam dunia simbolik

serta masyarakat luas. Mochtar Pabottingi beranggapan bahwa semangatnya

produk-produk intelektual dalam bentuk tulisan lepas, kumpulan karangan, buku

utuh serta jurnal-jurnal ilmiah selama itu tak bisa lepas dari Prisma. Melalui

penerbitannya tiap nomor, Prisma telah meletakkan standar bagi bangsa kita

mengenai tulisan-tulisan ilmiah, terutama karena hampir semua tulisan yang

dimuatnya ditopang oleh penelitian.15

Proses pembangunan di negara-negara sedang berkembang seperti

Indonesia biasanya berhadapan dengan masalah sentralisasi yang ketat, dimana

pengambilan keputusan dan alokasi potensi sumber daya ekonomi lebih banyak

dimanfaatkan oleh pusat dan beberapa kota-kota besar yang ada. Sementara,

potensi sumber daya ekonomi, khususnya sumber daya alam, biasanya dimiliki

oleh daerah. Hal inilah yang mengakibatkan dilema bagi Indonesia dilihat dari

konteks hubungan pusat dan daerah-daerahnya. Posisi daerah dalam banyak kasus

sering berada dalam kondisi tarik menarik dengan pusat. Hal ini dilakukan untuk

14

Pada saat itu lahir gerakan-gerakan pemikiran kritis di kalangan mahasiswa, misalnya

seperti Grup Diskusi Universias Indonesia (GDUI). Lihat Adnan Buyung Nasution, “LP3ES

Pelopor dalam Pemikiran Kritis” dalam Profil & Pendapat: Kenangan 30 Tahun LP3ES (Jakarta:

LP3ES, 2001), h. 10-11. 15

Lihat Mochtar Pabottingi, “Prisma Simbol Kaum Intelektual”. Ibid., h. 68-69.

Page 20: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

6

kepentingan pembangunan daerah, tetapi selalu pemerintah daerah berada dalam

posisi yang tidak menentukan. Dengan demikian proses pembangunan daerah,

khususnya di negara yang menerapkan kebijaksanaan sentralisasi, selalu berada

dalam arahan pusat dan kurang memiliki inisiatif yang mandiri. Akhirnya

kelangsungan pembangunannya lebih banyak didorong oleh inisiatif dari pusat.16

Kurangnya inisiatif dari daerah disebabkan oleh faktor hegemoni

pemerintah pada masa itu. Pada masa Orde Baru, militer ibarat “anak

kesayangan” Soeharto, mereka banyak menempati kursi-kusrsi strategis dalam

pengambilan kebijakan pemerintahan. Militer pada saat itu mempunyai peran

yang sangat dominan dalam pengambilan kebijakan, termasuk di dalamnya yaitu

kebijakan tentang pembangunan ekonomi.

Para kontributor Prisma berusaha menjadikannya sebagai media atau alat

untuk mengkritisi rencana pembangunan-pembangunan ekonomi di Indonesia,

dalam hal ini, penulis ingin menganalisa tulisan-tulisan cendekiawan muslim

dalam jurnal Prisma tentang isu-isu pembangunan ekonomi Orde Baru. Pada

tahun 80-an Orde Baru sangat gencar melakukan pembangunan baik di bidang

industri, infrastruktur, maupun pertanian. Program pembangunan di era Orde Baru

dibentuk dalam program Pelita (Pembangunan Lima Tahun) yang terdiri dari

rangkaian Pelita I sampai Pelita V. Di sinilah, banyak kritikus pemerintahan yang

16

Dalam membangun daerah, perlu pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan pada

potensi yang dikaitkan dengan upaya untuk melaksanakan proses desentralisasi. Membangun

partisipasi daerah agar lebih banyak berinisiatif merupakan bagian penting dari proses

desentralisasi. Hal ini dijelaskan oleh Hal Hill (editor), Unity and Diversity: Regional Economic

Development in Indonesia since 1970 (Singapore: Oxford University Press, 1989), dikutip dalam

Didik J. Rachbini, ”Pertumbuhan Nasional Bukan Refleksi Perkembangan Daerah” Prisma, No. 1

(Januari, 1990), h. 95.

Page 21: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

7

terdiri dari para akademisi dan cendekiawan yang ikut menyuarakan aspirasinya

melalui pers baik dalam surat kabar atau majalah sebagai sebuah kritik terhadap

pemerintah Orde Baru. Isu tentang sentralisasi kekuasaan juga terus digulirkan

oleh para cendekiawan dalam berbagai media.

Seiring dengan hal itu, banyak cendekiawan muslim yang mengangkat isu

tentang pembangunan ekonomi Orde Baru. Dari latar belakang tersebut studi ini

berupaya untuk memberikan informasi bahwa, banyak cendekiawan muslim yang

mengangkat isu sentralisasi pembangunan ekonomi yang lebih menitikberatkan

pada pusat karena pemerintah dianggap tidak mampu membangun perekonomian

di daerah. Namun faktanya masyarakat di daerah justru merasa makmur secara

ekonomi di masa Orde Baru. Prisma yang berlandasan pada pemikiran-pemikiran

kritis ini, mencoba memposisikan perannya sebagai kontrol sosial atas

pelaksanaan pemerintahan pada masa itu. Oleh karenanya penulis memutuskan

hal ini sebagai objek kajian sejarah dengan melakukan peninjauan pada tulisan-

tulisan cendekiawan muslim dalam jurnal Prisma dan fakta pembangunan

ekonomi yang terjadi di lapangan dengan judul “Respons Cendekiawan Muslim

tentang Pembangunan Ekonomi Orde Baru: Studi Jurnal Prisma Tahun 1979-

1989.”

Page 22: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

8

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini penulis memilih batasan waktu dari tahun 1979

sampai 1989. Tahun ini adalah tahun saat berlangsungnya program Pelita III (1

April 1979 sampai 31 Maret 1984) yang mana lebih menitikberatkan pada Trilogi

Pembangunan, antara lain: pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang

menuju pada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat, pertumbuhan

ekonomi yang cukup tinggi, dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

Asas-asas pemerataan dituangkan dalam berbagai langkah kegiatan pemerataan,

seperti pemerataan pembagian kerja, kesempatan kerja, memperoleh keadilan,

pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, perumahan, dan lain sebagainya. Dan

juga tahun berlangsungnya program Pelita IV (1 April 1984 sampai 31 Maret

1989) yang lebih menitikberatkan pada sektor pertanian menuju swasembada

pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri itu

sendiri. Agar proses penelitian ini lebih terarah, maka penelitian ini harus dibatasi

secara angka tahun objek yaitu antara tahun 1979-1989.

Dalam masa inilah pemerintah Orde Baru sedang gencar-gencarnya

melaksanakan pembangunan terutama dalam bidang ekonomi. Dan pada masa itu

pula Prisma sedang naik daun dan menjadi media (jurnal) yang banyak

diperbincangkan oleh khalayak. Merujuk ruang lingkup masalah tersebut, dan

untuk mempermudah proses pendeskripsian tersebut, maka penelitian ini

difokuskan dalam rumusan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1) Bagaimana gambaran umum pembangunan ekonomi Orde Baru dan Jurnal

Prisma?

Page 23: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

9

2) Apa yang dimaksud cendekiawan muslim dan kaitannya dengan Orde

Baru?

3) Bagaimana kritik cendekiawan muslim terhadap Orde Baru dalam ulasan

jurnal Prisma?

Pertanyaan-pertanyaan di atas akan penulis jawab dalam uraian-uraian dan

analisis yang didasarkan pada sumber-sumber yang penulis gunakan.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian skripsi ini dirancang secara substansial untuk menggambarkan

kondisi atau situasi pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru. Dengan

menggunakan analisa faktor-faktor sosial, politik, dan ekonomi, maka tujuan

penulisan dirincikan sebagai berikut.

1. Tujuan Penelitian

Secara akademik, penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan

mendeskripsikan kebijakan pemerintah Orde Baru mengenai pembangunan

ekonomi. Hasil penelitian ini, akan diperoleh pengetahuan bagaimana

cendekiawan muslim memberikan kritik terhadap kinerja pemerintah Orde Baru

dalam pembangunan ekonomi, khususnya dalam merespons sentralisasi

pembangunan ekonomi pada saat itu.

2. Manfaat Penelitian

a. Diharapkan hasil penelitian sejarah kajian pers jurnal ini, dapat digunakan

sebagai tinjauan pemikiran baru dalam kajian sejarah dan memberikan

paradigma baru dalam penulisan sejarah.

Page 24: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

10

b. Sebagai bahan motivasi para peminat dan penulis sejarah, khususnya peneliti

sejarah pers, untuk lebih bisa menghasilkan karya-karya yang bersifat terbuka

terhadap aspek lain sejarah.

c. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan perbandingan bagi penelitian

selanjutnya di bidang yang sama, guna menghasilkan penulisan yang lebih baik

lagi.

D. Tinjauan Pustaka

Dalam “Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru” yang

ditulisan oleh Daniel Dhakidae, terdapat satu bab yang memaparkan tentang

“media, bahasa, dan neo-fasisme Orde Baru”, yang mana sub-bab dari bab

tersebut membahas tentang “cendekiawan dalam pembiasan Prisma”. Tulisan

tersebut antara lain menjelaskan tentang bagaimana Prisma menjadi organ

intelektual Orde Baru, keterkaitan Prisma dengan cendekiawan Orde Baru dan

kaum kiri, Prisma dan krisis Orde Baru. Hal inilah yang memberikan inspirasi

bagi penulis untuk meneliti tentang hal tersebut. Untuk buku primer adalah

memang buku ini, yang mana Daniel Dhakidae turut berperan dalam proses

pembuatan dan penerbitan jurnal juga sekaligus sebagai Ketua Dewan Redaksi

Prisma saat itu. Dan sumber primer lainnya adalah koleksi-koleksi jurnal Prisma

tahun 1971-1989.

Kemudian penulis juga menggunakan buku-buku hasil proyek penelitian

pengembangan penerangan, Departemen Penerangan Republik Indonesia

bekerjasama dengan Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional, Lembaga

Page 25: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

11

Ilmu Pengetahuan Indonesia (Leknas-LIPI), tahun 1980 berjudul “Beberapa Segi

Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia”. Yang mana salah satu wartawan

senior Indonesia, P. Suwantoro berkomentar bahwa buku ini tidak lain merupakan

sebuah kesadaran dan upaya setiap insan pers masing-masing untuk terus

membangun sikap dan kemampuan profesionalnya. Kejujuran yang merupakan

penopang utama kredibilitas adalah sikap mutlak harus menjiwai setiap insan

pers. Sedangkan kemampuan membuat tulisan atau berwacana lewat media audio-

visual harus didasari pengetahuan tangguh, baik pengetahuan umum maupun

pengetahuan mengenai bidang-bidang tertentu sesuai dengan lapangan tempat

tugasnya. Kebanyakan insan pers kita sangat minim pengetahuan umumnya. Di

antara mereka tidak sedikit pula yang minimalis, tidak terpacu untuk terus

menerus meningkatkan pengetahuannya. Padahal masyarakat yang kita layani

semakin maju.

Dalam buku yang telah disusun dan diterbitkan oleh Kementerian

Sekretaris Negara tahun 1975 berjudul 30 Tahun Indonesia Merdeka, berisi

tentang dokumentasi-dokumentasi Indonesia pada tahun 1979-1989, selayang

pandang hasil-hasil pembangunan dalam Pelita III 1979-1984 dan Pelita IV 1984-

1989. Buku ini merupakan potret dokumentasi berbagai program Orde Baru yang

sudah terlaksana. Dari buku ini penulis dapat memperoleh gambaran tentang

pelaksanaan Pelita III dan Pelita IV pada masa Orde Baru.

Untuk pembahasan mengenai hubungan Orde Baru dengan Islam, dan

adanya cendekiawan muslim yang turut andil dalam pemerintahan Orde Baru,

penulis mencoba menggunakan buku karya Fachry Ali dan Bahtiar Effendy yang

Page 26: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

12

berjudul “Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia

Masa Orde Baru”. Dan juga buku “Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi

Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20” yang ditulis oleh Yudi Latif. Buku-

buku tersebut penulis jadikan sebagai sumber utama terkait peran para

cendekiawan muslim dalam pembangunan ekonomi Orde Baru. Buku ini berusaha

menampilkan analisis sosial historis perkembangan pemikiran Islam di Indonesia.

Buku ini sangat membantu penulis dalam membahas keterkaitan Orde Baru

dengan Islam.

Untuk membahas respons cendekiawan muslim tentang pembangunan

ekonomi Orde Baru, penulis menghimpun, menelaah berbagai tulisan para

cendekiawan muslim yang dimuat dalam jurnal Prisma edisi tahun 1971 (tahun

Prisma pertama kali diterbitkan) sampai edisi tahun 1989 yang membahas isu-isu

tentang pembangunan ekonomi Orde Baru. Kemudian penulis juga menggunakan

sumber-sumber lainnya seperti surat kabar, majalah, dan jurnal lainnya untuk

melakukan triangulasi dan keabsahan dari data-data yang memiliki pembahasan

yang sama yaitu tentang pembangunan ekonomi Orde Baru.

E. Metodologi Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan multidimensional. Poin-poin

penting yang akan ditulis dipaparkan sesuai dengan kejadian, suasana dan

masanya. Adapun analisa pada faktor-faktor sosial, politik, dan ekonomi menjadi

faktor pendukung untuk menilai kebijakan. Namun, pasti dalam penelitian ini

Page 27: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

13

semua aspek akan saling berhubungan walaupun terdapat dominasi, karena

hubungan antara suatu aspek akan memberikan pengaruh kepada aspek lainnya17

.

Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian

dengan menggunakan pendekatan kualitatif, dengan proses menguji dan

menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau (historis)18

.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mencapai penulisan sejarah oleh karena itu,

upaya merekonstruksi masa lampau dari obyek yang diteliti itu ditempuh melalui

metode sejarah dan menggunakan penelitian deskriptif analisis, yaitu mencoba

memaparkan efektifitas isu-isu mengenai pembangunan ekonomi Orde Baru

dalam jurnal Prisma.

2. Sumber Data

Sumber data penelitian sejarah dapat dibedakan menjadi sumber-sumber

penelitian berupa data primer dan data sekunder. Dalam penelitian sejarah, perlu

dilakukan metode heuristik atau teknik mencari, mengumpulkan data atau sumber

(Dokumen)19

. Maka dalam hal ini, penulis mengumpulkan data-data sebagai

bahan penulisan dan melakukan penelitian kepustakaan (Library Research)

dengan merujuk kepada sumber-sumber yang berhubungan dengan tema dalam

skripsi ini seperti: buku-buku, majalah, koran, dan sebagainya. Dalam hal ini,

penulis mengunjungi beberapa tempat seperti Perpustakaaan Utama UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora, Perpustakaan

17

Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dan Metode Sejarah, (Jakarta: Gramedia

Pustaka, 1992), h. 87. 18

Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI Press, 1983), h. 32. 19

Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah (Yogyakarta: Logos Wacana Ilmu,

1999), h. 54.

Page 28: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

14

Kompas, Perpustakaan Universitas Indonesia, Perpustakaan LP3ES, Arsip koleksi

Jurnal Prisma, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dan

mengunjungi beberapa toko buku yang berada di wilayah Jakarta.

3. Analisis Data

Semua data yang telah diperoleh, untuk selanjutnya dilakukan kritik

sumber terkait dengan keaslian sumber (otentisitas) terhadap semua sumber-

sumber yang telah terkumpul baik berupa buku-buku, majalah, koran, dan lain

sebagainya. Maka penulis melakukan kritik dan uji terhadapnya untuk

mengindentifikasi keabsahannya tentang keaslian sumber, yang dilakukan melalui

kritik ekstern, dan keabsahan tentang kesahihan sumber (kredibilitas) yang di

telusuri melalui kritik intern20

.

Data-data yang sudah didapatkan, kemudian dilakukan interpretasi atau

penafsiran sejarah, yaitu mencoba menguraikan sebab dan akibat suatu kejadian.

Karena itu, data-data yang sudah terkumpul dilakukan metode kritik sumber,

biasanya masih berbeda-beda dalam isinya. Oleh sebab itu, dalam teknik

interpretasi ini, diharapkan peneliti mampu menemukan berbagai kronologi suatu

kebijakan dari suatu kejadian, dalam hal ini adalah kebijakan pemerintahan Orde

Baru mengenai pembangunan ekonomi. Jadi penulis memaparkan data-data yang

sudah diperoleh, diseleksi, dan dianalisis itu dalam bentuk deskripsi sehingga

menghasilkan paragraf dengan menggunakan bahasa baku dan bahasa penulis

sendiri.

20

Ibid., h. 58-64.

Page 29: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

15

4. Tahapan Penyajian Data

Tahap terakhir dalam penelitian sejarah adalah historiografi merupakan

cara penulisan, pemaparan atau laporan hasil penelitian sejarah yang telah di

lakukan.21

Adapun teknik penulisan dalam penulisan skripsi ini adalah

berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas

Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun

2012.

F. Landasan Teori

Penelitian ini menggunkan analisa wacana kritis (Critical Discourse

Analysis) dari Antonio Gramsci. Metode ini juga sekaligus merupakan teori yang

digunakan dalam penelitian ini. Titik perhatian dari Gramsci adalah melihat

“hegemoni” sebagai praktik kekuasaan. Dalam buku “Prison Notebooks” yang

ditulis oleh Antonio Gramsci, term “hegemoni” memiliki dua wajah. Pertama,

hegemoni yang kontras dengan “dominasi” (terikat dengan oposisi negara atau

masyarakat sipil). Kedua, hegemoni yang seringkali digunakan untuk menunjuk

suatu fase historis dimana kelompok tertentu bergerak melampaui posisi

keberadaan perusahaan, mempertahankan posisi ekonomi dan menginginkan

posisi sebagai pemimpin dalam arena politik dan sosial.22

Hegemoni bagi Gramsci

selanjutnya bisa dikatakan sebagai sebuah penguasaan kelas dominan terhadap

kelas bawah dengan cara mengarahkan ideologi dominan melalui rekayasa

21

Ibid., h. 76. 22

Antonia Gramsci, Prison Notebooks (London: Elecbook, 1999), h. 20.

Page 30: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

16

kesadaran sehingga pada akhirnya kelas bawah secara tidak sadar rela mendukung

kekuasaan kelas dominan dan kemudian menganggap hal itu sebagai sesuatu yang

“lumrah”. Dalam kasus negara (masyarakat politik), hegemoni dilakukan oleh

kelas dominan (pemerintah) terhadap kelas bawah (masyarakat) melalui kaum

intelektual (sipil dan birokrasi militer) maupun institusi pendidikan dan seni.

Akibat dari dominasi tersebut, terlihat jelas pada kondisi Indonesia pada

masa pemerintahan Soeharto. Di masa Orde Baru, Soeharto dan militer

merupakan satu paket yang tidak bisa dipisahkan. Tahun-tahun bersama Soeharto

inilah yang merupakan masa kejayaan militer. Sebagai seorang pemimpin negara,

banyak kebijakan yang ia ambil seperti halnya konsep dwifungsi para militer yang

memungkinkan militer mengurus pemerintahan padahal seharusnya militer hanya

diperkenankan mengurus keamanan negara. Militer telah mengambil porsi yang

besar dalam hal mengurus pemerintahan. Dominasi militer inilah yang juga

menyebabkan terbelenggunya masyarakat sipil di negaranya sendiri.

Pada masa Orde Baru, pemerintah sangat mendominasi kekuasaan.

Hampir seluruh pejabat negara berlatarbelakang militer, sehingga tersua bahwa

masa Orde Baru merupakan pemerintahan dengan sistem komando. Hal inilah

yang kemudian berimbas pada salah satu kebijakan politik ekonomi23

seperti

konsep trickle down effect24

yang diterapkan dalam pembangunan ekonomi Orde

Baru. Dalam teori ini, kemakmuran akan dapat tercapai dengan pertumbuhan

23

Politik ekonomi adalah kebijakan-kebijakan politik yang berdampak terhadap

perekonomian. 24

Trickle Down Effect adalah teori yang lahir dari aliran kapitalisme yang sangat

diagung-agungkan oleh pemerintahan Orde Baru. Teori ini dikembangkan oleh Albert Otto

Hirschman (1915-2012) yang menjelaskan bagaimana sebuah pertumbuhan akan berdampak pada

kemakmuran sebuah negara.

Page 31: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

17

ekonomi yang tinggi, tanpa perlu memperhitungkan pemerataan ekonomi. Dalam

pandangan teori ini, suatu suntikan ekspansi ekonomi di bawahnya sehingga akan

berimbas pada kemakmuran. Teori inilah yang menjadi jargon pada masa

pembangunan ekonomi Orde baru yang justru memarjinalkan perilaku ekonomi

menengah dan bawah. Akhirnya muncul sistem ekonomi berbasis kartel dan kroni

yang menguntungkan para pelaku ekonomi yang dekat dengan penguasa.25

Hal

inilah yang akhirnya menimbulkan banyak kritikan dari para intelektual atau para

cendekiawan Indonesia, yang mana mereka banyak memberikan kritikan terhadap

kinerja pemerintah pada saat itu melalui berbagai tulisan yang dimuat di berbagai

media massa seperti surat kabar dan jurnal, salah satunya jurnal Prisma.

G. Sistematika Penulisan

Untuk menyajikan laporan dan penulisan penelitian, sekaligus

memberikan gambaran yang jelas dan sistematis tentang materi yang terkandung

dalam skripsi ini. Penulis menyusun sistematika penulisan ini ke dalam 5 bab

beserta bibliografi dengan urutan sebagai berikut:

BAB I : berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah,

tujuan penulisan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian,

landasan teori dan sistematika penulisan.

BAB II : merupakan bab inti pertama yang akan membahas gambaran umum

pembangunan ekonomi Orde Baru, yang meliputi: orientasi pembangunan

25

Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith, Pembangunan Ekonomi, jilid 1, edisi

kesembilan (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), h. 19-20.

Page 32: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

18

ekonomi, kebijakan politik ekonomi Orde Baru, cendekiawan muslim dan Orde

Baru.

BAB III : merupakan bab inti kedua yang akan membahas tentang jurnal Prisma

dan Orde Baru, yang meliputi: dunia pers dan Orde Baru, gambaran umum jurnal

Prisma di dalamnya juga membahas tentang sejarah dan tujuan, pengelolaan,

analisis isi jurnal, dan para contributor di bidang ekonomi dan politik ekonomi,

serta membahas posisi dan peran jurnal Prisma dalam dinamika Orde Baru.

BAB IV : merupakan bab inti ketiga yang membahas respons cendekiawan

muslim terhadap pembangunan ekonomi Orde Baru, yang meliputi: isu-isu

ekonomi dalam jurnal Prisma dan respons cendekiawan muslim tentang

pembangunan ekonomi Orde Baru.

BAB V : mengandung dua sub-bab, yaitu kesimpulan yang merupakan pandangan

penulis tentang hasil penelitian. Kesimpulan merupakan hasil akhir yang dapat

penulis berikan sebagai hasil akhir dari penelitian yang telah dilakukan. Sub-bab

kedua yakni saran-saran yang merupakan anjuran penulis kepada para akademisi

yang memiliki perhatian terhadap penelitian sejarah dan kebudayaan Islam,

terutama agar menaruh perhatian terhadap kajian sejarah pers.

Page 33: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

19

BAB II

GAMBARAN UMUM PEMBANGUNAN EKONOMI ORDE BARU DAN

JURNAL PRISMA

A. Orientasi Pembangunan Ekonomi

Pemerintah Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal Soeharto yang mulai

memegang tampuk kekuasaan pada bulan Maret 1966 memberikan prioritas utama

bagi pemulihan roda perekonomian. Sejumlah ahli ekonomi dari Fakultas

Ekonomi Universitas Indonesia ditarik sebagai penasehat ekonomi pemerintah,

dan beberapa di antaranya kemudian menduduki jabatan penting dalam kabinet.1

Pada masa awal Orde Baru, tim penasehat ekonomi Presiden Soeharto

dikepalai oleh Widjojo Nitisastro dan lebih dikenal dengan “Mafia Berkeley”.2

Widjojo pada saat itu menyatakan bahwa penekanan pada retribusi ekonomi

hendaknya tidak menutup mata terhadap kebutuhan untuk meningkatkan tingkat

pendapatan perkapita. Redistribusi pendapatan jika tidak disertai dengan upaya

untuk meningkatkan tingkat pendapatan perkapita, hampir pasti akan menjadi

penghalang inisiatif, sehingga menyebabkan penurunan secara umum tingkat

perluasan produksi.3

1Anne Booth dan Peter McCawley, Ekonomi Orde Baru: edisi terjemahan oleh Boediono,

cet. I (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 1. 2 Mafia Berkeley adalah julukan yang diberikan kepada sekolompok menteri bidang

ekonomi dan keuangan yang menentukan kebijakan ekonomi Indonesia pada masa awal

pemerintahan Presiden Suharto. Mereka adalah lulusan ekonomi University of California,

Berkeley. 3 Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986-1992 (Jakarta:

KPG, 2002), h. 41.

Page 34: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

20

Lebih lanjut, Widjojo menyandarkan perekonomian nasional pada usaha

swasta, domestik, maupun internasional, demi tercapainya kemakmuran dan

terselenggaranya pembangunan secara menyeluruh. Ia yakin bahwa perekonomian

yang berfungsi baik harus didasarkan pada prinsip-prinsip yang mengatur

bekerjanya mekanisme pasar.4

Sementara itu pendukung faham nasionalisme ekonomi adalah Sarbini

Sumawinata. Dalam tulisannya “Menuju Masyarakat Adil dan Makmur, 70 Tahun

Ptof. Sarbini Sumawinata”,5 ia mengemukakan bahwa pada intinya bagi negara

berkembang seperti Indonesia, pembangunan seluruhnya merupakan tanggung

jawab dari pemerintah, dan negara memikul semua hambatan dalam pelaksanaan

pembangunan tersebut. Pembiayaan pembangunan harus sepenuhnya bersumber

dari dalam negeri.

Dalam rangka melaksanakan pembangunan dan mewujudkan

pemerintahan yang stabil dan kuat, Orde Baru mencoba melebarkan fungsinya

menjadi mesin politik (political machine) dengan menjadikan birokrasi yang

berporos pada eratnya hubungan militer dan teknokrat untuk menata kehidupan

sosial politik masyarakat. Disamping sebagai alat administrasi pemerintahan,

birokrasi Orde Baru berkembang menjadi suatu wadah kekuatan politik dan

perpanjangan tangan pemerintah dalam menjalankan roda kekuasaan maupun

melakukan rekayasa politik demi tercapainya strategi atau kebijakan politik yang

sudah ditetapkan. Adapun salah satu kebijakan politik penting rezim Orde Baru

ketika mulai memegang tampuk kekuasaan adalah dipilihnya modernisasi sebagai

4 Ibid., h. 42.

5 Ian Chalmers dan Vedi R. Hadiz, The Politics of Economic Development in Indonesia;

Contending Perspectives (London and New York: Routledge, 1997), h. 61.

Page 35: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

21

titik tolak dan kerangka landasan pembangunan bangsa. Pilihan tersebut dianggap

sebagai satu-satunya jalan keluar untuk memajukan bangsa Indonesia setelah

rezim sebelumnya (Orde Lama) dianggap gagal dalam memenuhi tuntutan dan

harapan rakyat. Strategi rezim lama yang terlalu kuat berorientasi pada ideologi

dan politik, dinilai oleh rezim baru sebagai hal yang membawa ketidakstabilan

politik dan kehancuran ekonomi yang menyengsarakan rakyat. Oleh karena itu,

pemerintah Orde Baru merasa perlu melakukan modernisasi politik (political

modernization) sebagai kebijakan penting yang dianggap bisa mendukung

suksesnya pembangunan ekonomi. Pemerintah Orde Baru berharap bisa

memperoleh legitimasi politik rakyat dalam upaya mewujudkan kesejahteraan

sosial-ekonomi yang terbengkalai warisan dari Orde Lama.6

Modernisasi yang dipilih ini merupakan langkah awal yang ditempuh

karena pemerintah Orde Baru berusaha untuk menarik dukungan negara-negara

Barat atau para investor asing agar dapat memberikan bantuan bagi pelaksanaan

pembangunan pada masa-masa awal pemerintahan. Hal tersebut dilakukan karena

pemerintah pada saat itu tidak melihat alternatif lain untuk menarik dukungan

finansial bagi pembangunan, kecuali dari negara-negara Barat yang saat itu sudah

mapan secara ekonomi. Dengan program modernisasi, Indonesia akan

mendapatkan dukungan dan bantuan dari negara-negara Barat untuk pembiayaan

pembangunan. Bagaimana pun juga keberhasilan Orde Baru dalam meyakinkan

6 Karl D. Jackson, “Bureaucratic Polity: A Theoretical Framework for the Analysis of

Power and Communications in Indonesia”, dalam Karl D. Jackson and Lucian W. Pye, Political

Power and Communications in Indonesia (California: University of California Press, 1978), h. 3.

Page 36: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

22

negara-negara pemberi bantuan di tengah kehancuran perekonomian nasional

warisan Orde Lama, perlu dicatat sebagai “prestasi” awal pemerintah Orde Baru.7

Menjelang tahun 1969 stabilitas moneter sudah tercapai dengan cukup

baik, dan pada bulan April tahun itu Repelita I dimulai. Dasawarsa setelah itu

penuh dengan peristiwa-peristiwa penting bagi perkembangan ekonomi di

Indonesia. Perekonomian tumbuh lebih cepat dan lebih mantap dibandingkan

dengan tahun-tahun sebelumnya, pergeseran-pergeseran telah terjadi dalam

struktur perekonomian dan komposisi output nasional. Apabila kita menengok

pada tahun 60-an, tampak jelas bahwa telah terjadi perubahan-perubahan besar di

berbagai sektor perekonomian, selanjutnya perubahan-perubahan tersebut telah

menimbulkan pula akibat-akibat luas bagi pola kemasyarakatan pada umumnya.

Hal inilah yang kemudian menjadi sesuatu yang sering diperbincangkan

bahkan menjadi perdebatan pada masa itu, tidak hanya di Indonesia saja bahkan di

luar Indonesia. Pendukung strategi pembangunan ekonomi pemerintah

mengatakan bahwa dalam sejarah Republik Indonesia baru sekarang ini tindakan

menyeluruh dan terpadu betul-betul dilaksanakan untuk mengatasi masalah

kemiskinan dan kepadatan penduduk. Sebaliknya para kritikus mengatakan bahwa

pertumbuhan ekonomi yang telah terjadi hanya memberikan manfaat kepada

golongan kecil masyarakat yang memiliki kekuasaan politik dan ekonomi,

7 Antara tahun 1964-1965, tingkat inflasi mencapai 73,2 %. Pada akhir tahun 1965-1966,

inflasi menurun walaupun masih tergolong besar untuk perekonomian sebuah negara, yakni 69,7

%. Tetapi pemerintah Orde Baru kemudian mengadakan sejumlah tindakan untuk mengatasi

parahnya perekonomian nasional, terutama melalui pinjaman luar negeri. Alternatif ini dipilih oleh

Orde Baru karena pemerintah tidak melihat cara lain untuk mengatasi kebobrokan ekonomi

warisan Orde Lama kecuali dengan jalan memperoleh pinjaman dari negara-negara Barat. Ketika

ekspor minyak bumi kemudian juga menjadi “rezeki nomplok” pada decade 1970-an,

perekonomian Indonesia menjadi membaik, sementara pinjaman luar negeri terus mengalir. Lihat

Arif Budiman, Negara dan Pembangunan: Studi tentang Indonesia dan Korea Selatan (Jakarta:

Yayasan Padi dan Kapas, 1991), h. 47-49.

Page 37: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

23

sedangkan sebagian besar masyarakat lainnya masih belum memperoleh

manfaatnya dan bahkan mungkin dirugikan.8

Setelah tahun 1966, Pemerintah Orde Baru makin mantap kedudukannya

dan nampak adanya prioritas-prioritas ekonomi baru yang tercermin dalam

berbagai pernyataan kebijaksanaan pemerintah. Tekanan khusus diberikan pada

produksi pangan (terutama beras) dan sandang, sedang modal asing didorong

terutama di sektor industri dan pertambangan. Apa yang dicapai oleh

kebijaksanaan pemerintah Orde Baru, sangat mengesankan. Menjelang tahun

1977 perekonomian Indonesia telah mengalami perubahan struktur secara cukup

mencolok, sebagai akibat dari kebijaksanaan ekonomi pemerintah bersama-sama

dengan kenaikan harga minyak.9

Dari satu segi dukungan yang berhasil diperoleh Pemerintah Orde Baru

dikarenakan keberhasilannya melaksanakan pendekatan baru pada sistem

perencanaan ekonomi Indonesia secara lebih baik. Perencanaan ekonomi bukan

suatu hal baru di negeri ini. Di masa silam sudah ada dua rencana pembangunan

yang disusun, dan sebagian telah dilaksanakan dalam tahun 50-an. Satu rencana

pembangunan lagi, yaitu Rencana Delapan Tahun dibuat dalam masa ekonomi

terpimpin.10

Pemerintah Orde Baru mengalihkan perhatian utamanya dari

stabilitas ekonomi menuju pembangunan dengan menetapkan Rencana

Pembangunan Lima Tahun yang pertama (Repelita I) untuk rentang tahun 1969-

8 Anne Booth dan Peter McCawley, Ekonomi Orde Baru.. Op. Cit., h. 1-2.

9 Ibid., h. 3-5.

10 Rencana-rencana pembangunan ini dibicarakan dalam Dauglas Paauw, Financing

Economic Development: The Indonesian Case (New York: The Free Press of Glencoe, 1960).

Lihat juga Anne Booth dan Peter McCawley, Ekonomi Orde Baru: edisi terjemahan oleh

Boediono, cet. I (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 16.

Page 38: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

24

1974. Dalam Repelita I ini, investasi pemerintah lebih ditanamkan pada bidang

usaha yang menghasilkan dampak yang paling besar seperti pertanian,

infrastruktur ekonomi, dan perluasan industri ekspor dan pengganti impor. Tiga

perempat pengeluaran pada Repelita I dibiayai dari pinjaman asing yang

jumlahnya membengkak hingga US$ 877 juta pada akhir periode. Pada tahun

1972, hutang asing baru yang diperoleh sejak tahun 1966 sudah melebihi

pengeluaran saat Soekarno berkuasa. 11

Dari beberapa segi, Repelita I (1969-1974) dan Repelita II (1974-1979)

menunjukkan adanya perbaikan-perbaikan lebih nyata dibandingkan dengan

beberapa rencana pembangunan sebelumnya. Kedua Repelita tersebut mengambil

target-target yang lebih realistis, dan keduanya merumuskan berbagai prioritas

pembangunan nasional secara lebih jelas, sehingga sangat membantu aparat

pemerintah dan para pemberi bantuan luar negeri dalam menentukan peranan

mereka masing-masing. Seperti kita ketahui Repelita I telah memberikan tekanan

pada peningkatan produksi pangan dan rehabilitasi prasarana, sedangkan Repelita

II dan Repelita III memberikan prioritas kepada masalah kesempatan kerja,

pemerataan dan pertumbuhan ekonomi.12

B. Kebijakan Politik Ekonomi Orde Baru

Salah satu persoalan yang dihadapi oleh pemeritah Orde Baru ketika mulai

memegang tampuk kekuasaan adalah mengatasi birokrasi yang tidak bertanggung

jawab dan kekuasaan otoriter warisan rezim lama, yang dianggap telah membawa

11

M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-200, cet. I (Jakarta: PT. Serambi Ilmu

Semesta, 2008), h. 582. 12

Anne Booth dan Peter McCawley, Op. Cit., h. 17-18.

Page 39: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

25

kemerosotan parah bagi ekonomi rakyat. Untuk itu pemerintah Orde Baru

disamping bertekad melaksanakan reformasi ekonomi secara radikal, juga

mengusahakan terlaksananya program pemerintah di seluruh wilayah negara agar

berfungsi efektif dan fungsional serta tidak diselewengkan oleh aparat

birokrasinya. Agar rezim baru itu dapat berfungsi, terutama dalam menangani

program modernisasi dan pembangunan ekonomi diperlukan suatu birokrasi yang

efektif dan tanggap terhadap pucuk pimpinan eksekutif.13

Oleh karena itu, pemerintah Orde Baru kemudian berusaha menggunakan

birokrasi sebagai premium mobile atau penggerak utama program modernisasi dan

pembangunan. Untuk itu diupayakan langkah-langkah ke arah reformasi birokrasi

dengan cara: 1) mengalihkan wewenang pemerintah ke tingkat birokrasi lebih

tinggi, yakni dengan pemusatan proses pembuatan kebijakan pemerintah; 2)

membuat birokrasi efektif dan tanggap pada pemerintah pimpinan pusat; 3)

memperluas wewenang pemerintah dan mengendalikan daerah-daerah. Ketiga

langkah tersebut diikuti dengan proses pembuatan kebijakan pemeritah yang

penting. Dari segi konsepsional, antara lain penyiapan Garis-Garis Besar Haluan

Negara (GBHN) dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Kemudian

menempatkan para teknokrat sipil dan perwira militer yang berorientasi reformasi

dan bisa diawasi dalam jabatan-jabatan birokrasi. Selanjutnya menempatkan orang

yang bisa dikendalikan dari Jakarta dalam jabatan-jabatan penting di

13

Mohtar Mas‟oed, Ekonomi dan Struktur Politik: Orde Baru 1966-1971 (Jakarta:

LP3ES, 1986), h. 150.

Page 40: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

26

pemerintahan daerah, baik sebagai gubernur atau bupati. Kebanyakan yang

ditempatkan di daerah ini adalah para perwira ABRI.14

Dengan langkah-langkah dan kebijakan seperti itu, terciptalah birokrasi

Orde Baru yang kuat dan berporos pada eratnya hubungan militer dengan sipil.

Dalam rangka melaksanakan pembangunan serta mewujudkan pemerintahan yang

stabil dan kuat, birokrasi Orde Baru kemudian melebarkan fungsinya dengan

menjadi mesin politik yang tangguh dalam merekayasa kehidupan sosial-politik

masyarakat. Sebab disamping menjadi alat administrasi pemerintahan, birokrasi

Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto telah berkembang menjadi wadah

kekuatan untuk mempertahankan status quo maupun melaksanakan suksesi

terencana di antara jaringan kekuasaan yang mengitarinya. Melihat kenyataan

tersebut, Donald K. Emmerson membandingkan birokrasi Orde Baru di bawah

Soeharto dengan birokrasi Mataram di bawah Raja Amangkurat I (1646-1677).15

Secara historis sumber-sumber, wilayah, dan penggunaan kekuatan politik

di antara keduanya memang tidak sama. Tetapi jika Amangkurat I mampu

membangun birokrasi Indonesia yang terkuat di zaman pra-kolonial, Soeharto pun

melakukan hal yang sama pada masa pasca colonial. Menurut Emmerson, ada tiga

upaya yang ditempuh oleh Soeharto untuk membangun birokrasi yang kuat itu.

Pertama, Soeharto mampu mengontrol jaringan pemerintahan yang amat besar. Ia

membersihkan ribuan orang yang terlipat dalam kegiatan partai komunis sebelum

tahun 1966. Kedua, Soeharto membuat aparatnya lebih loyal. Perwira-perwira

14

Ibid, h. 152. 15

Donald K. Emmerson, “The Bureaucracy in Political Context: Weakness in Strength”,

dalam Karl D. Jackson and Lucian W. Pye, Political Power and Communication in Indonesia

(Berkeley and London: University of California Press), h. 82-83.

Page 41: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

27

direkrut untuk memperkuat jajaran birokrasinya dengan cara komando militer.

Departemen-departemen yang tidak fungsional di masa kejayaan partai-partai

politik diisi dengan pejabat-pejabat sipil yang mudah diatur secara terpusat.

Partai-partai politik, kaum buruh, petani, dan kelompok-kelompok mahasiswa

yang diperkirakan bisa menjadi kekuatan alternatif terhadap birokrasi dilarang,

dilebur, atau diganti dengan lembaga-lembaga semi resmi yang keanggotaannya

diatur secara otomatis. Ketiga, Presiden Soeharto menjadikan birokrasi lebih aktif.

Pendapatan dari pajak terus meningkat, dan secara proporsional digunakan untuk

pembiayaan pembangunan. Untuk meningkatkan kinerjanya, pegawai negeri

dinaikkan gajinya.16

Salah satu bentuk kebijakan politik ekonomi adalah adanya kebijakan

ekonomi luar negeri. Pada awal dasawarsa 1970-an Indonesia untuk pertama

kalinya sejak kemerdekaan mengalami arus investasi asing baru yang cukup

besar.17

Apabila melihat sejarahnya, bahwa pada masa awal pengakuan

kedaulatan, pemerintah cenderung bersifat sangat bermusuhan dengan Barat

sehingga kebijakan ekonomi luar negeri Indonesia pada masa itu kurang

mengakomodasi kepentingan pihak Barat, sementara kebijakan ekonomi luar

negeri Indonesia pada masa Orde Baru cenderung sangat mengakomodasi

kepentingan pihak Barat. Perbedaan tersebut secara garis besar dipengaruhi oleh

faktor internal dan faktor eksternal. Adapun faktor internal yang berpengaruh

adalah adanya aktor-aktor yang terlibat dalam pembuatan kebijakan ekonomi

16

Hal ini dijelaskan dalam tesis M. Syafi‟I Anwar, Hubungan Cendekiawan Muslim dan

Birokrasi Orde Baru: Studi tentang Pemikiran dan Perilaku Politik Cendekiawan Muslim dalam

Orde Baru 1966-1993 (Jakarta: Universitas Indonesia, 1994), h. 60. 17

Thee Kian Wie, Penanaman Modal Asing Langsung di Indonesia Sejak Kemerdekaan

(Jakarta: PMB-LIPI, 1996), h. 2.

Page 42: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

28

tersebut, disamping juga karena kondisi perekonomian pada masa itu. Sedangkan

faktor eksternalnya adalah adanya lembaga-lembaga keuangan internasional yang

memang sudah menjalin hubungan sejak lama dengan pemerintah Indonesia.18

Adanya aktor-aktor yang terlibat dalam pembuatan kebijakan ekonomi

luar negeri Indonesia di bidang investasi asing, adalah karena sekalipun kebijakan

investasi asing tersebut adalah kebijakan tingkat nasional, akan tetapi dalam

pembuatan state bukanlah merupakan unitary actor atau aktor tunggal yang

menghasilkan keputusan. Ada aktor-aktor di dalam negara yang mempengaruhi

kebijakan yang dihasilkan, dalam hal ini adalah adanya kelompok penganut faham

liberal dan penganut faham nasionalisme ekonomi. Tingkat keterbukaan atau

respon atas pengaruh dari luar akan dipengaruhi oleh persepsi dari kelompok-

kelompok ini.19

Selain itu faktor ekonomi juga berpengaruh terhadap perubahan kebijakan

ekonomi luar negeri di bidang investasi asing, sebagaimana diungkapkan oleh

Robert O. Keohane bahwa keputusan untuk melakukan perubahan yang cukup

radikal juga tergantung dari pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan strategis.20

Pada masa pemerintahan Orde Baru, pendekatan para ekonom memang

mengarah keluar (outward looking) dan berorientasi pasar. Hal inilah yang

menandai secara tajam dari kecenderungan besarnya peran negara. Sepanjang

periode ini, kebijakan ekonomi hanya terfokus pada industrialisasi substitusi

18

Mohammad Sadli, “Pembentukan Kebijaksanaan Ekonomi di Masa Orde Baru:

Berbagai Dilema dan Resolusinya dalam Teori Ekonomi dan Kebijaksanaan Pembangunan”,

Kumpulan Esai untuk Menghormati Sumitro Djojohadikusumo, Disunting oleh Hendra Asmara

(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987), h. 387. 19

Robert O. Keohane dan Helen V. Milner, Internationalization and Domestic Politics

(USA: Cambridge University Press, 1996), h. 14. 20

Ibid., h. 15.

Page 43: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

29

impor yang dibiayai dengan pinjaman dan investasi asing. Proyek-proyek industri

besar dari masa Soekarno telah pudar dan para teknokrat liberal, dengan dukungan

Bank Dunia dan lembaga-lembaga internasional lainnya, berdiri di garis depan

kebijakan pembangunan.

Hingga pertengahan 1970-an, modal asing membentuk kira-kira 50% dari

total investasi di sektor non-minyak saja, dan fokus para industri-industri besar

telah ditinggalkan dan digantikan produksi barang konsumsi substitusi impor.

Kenaikan jumlah investasi asing di Indonesia menguntungkan bagi perwira

Angkatan Darat. Kebanyakan investasi asing yang masuk disalurkan melalui

perusahaan patungan (Joint Venture) dimana perwira Angkatan Darat memainkan

peran penting unutk menembus keruwetan birokrasi dan administrasi perizinan.21

Harold Crouch mencatat, para perwira di sini membentuk kekuatan ekonominya

tidak berdasarkan pada kemampuan kewiraswastaan namun pada pengaruh politik

yang mereka miliki.

Pada awal pemerintahan Orde Baru, para pembuat kebijakan dan

perencanaan pembangunan ekonomi di Jakarta masih sangat percaya bahwa

proses pembangunan ekonomi yang pada awalnya terpusatkan hanya di Jawa,

khususnya Jakarta dan sekitarnya, dan hanya di sektor-sektor tertentu saja, pada

akhirnya akan menghasilkan apa yang disebut “efek tetesan ke bawah”.22

21

K. Gunadi menulis bahwa ia menemui calon-calon investor dari Jepang, Belanda,

Inggris, Australia, dan Amerika yang memerlukan izin usaha dari 3 bulan sampai 2 tahun dengan

biaya antara $10.000 sampai $50.000. Lihat catatan No. 1, K. Gunadi, “Industri, Modal Asing, dan

Kesempatan Kerdja”, Prisma, No. 5 (Jakarta, LP3ES, Agustus 1972), h. 37. Mengenai uraian lebih

jauh tentang peran militer dalam ekonomi dapat dilihat pada Harold Crouch, Militer dan Politik di

Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan, 1986), h. 335. 22

Efek “cucuran ke bawah”, bisa juga disebut “tetesan ke bawah” merupakan salah satu

topik penting di dalam pembahasan mengenai pembangunan ekonomi di negara sedang

berkembang pada dekade 1950-an hingga 1960-an. Argumentasi teoretis yang menghasilkan

Page 44: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

30

Didasarkan pada kerangka pemikiran tersebut, pada awal periode Orde Baru

hingga akhir tahun 1970-an, strategi pembangunan ekonomi yang dianut oleh

pemerintahan Soeharto lebih berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi yang

tinggi. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pusat pembangunan ekonomi

nasional dimulai di Pulau Jawa dengan alasan bahwa semua fasilitas-fasilitas yang

dibutuhkan seperti pelabuhan, jalan raya dan kereta api, telekomunikasi, kompleks

industri, gedung-gedung pemerintahan atau administrasi negara, kantor-kantor

perbankan, dan infrastruktur pendukung lainnya lebih tersedia di Jawa, khususnya

Jakarta dan sekitarnya dibandingkan di provinsi-provinsi lain di Indonesia.

Pembangunan pada saat itu juga hanya terpusatkan di sektor-sektor tertentu saja

yang secara potensial memiliki kemampuan besar untuk menghasilkan nilai

tambah bruto yang tinggi. Mereka percaya bahwa nantinya hasil dari

pembangunan itu akan “menetes” ke sektor-sektor dan wilayah Indonesia

lainnya.23

Selain itu arah kebijakan luar negeri dari pemerintah Orde Baru lebih

condong kepada Barat yang didasarkan atas motif kerjasama ekonomi

internasional. Pemerintah Orde Baru disibukkan dengan pencarian modal yang

besar untuk pembangunan ekonomi Indonesia yang kala itu terpuruk. Oleh

karenanya, hubungan pemerintah Orde Baru dengan negara-negara Barat

dimanfaatkan untuk mencari pasokan modal tersebut, terutama dari Jepang yang

merupakan sekutu Amerika Serikat. Selain didasarkan atas kebutuhan modal

kesimpulan bahwa akan terjadi efek “cucuran ke bawah” dikembangkan pertama kali oleh Arthur

Lewis (1954), dan diperluas oleh Ranis dan Fei (1968) dan lainnya. Dikutip oleh Tulus Tambunan,

Pembangunan Ekonomi Inklusif: Sudah Sejauh Mana Indonesia?, (Jakarta: LP3ES, 2016), h. 142. 23

Ibid., h. 142.

Page 45: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

31

tersebut, kebijakan dan corak ekonomi yang didesain oleh para arsitek ekonomi

(ekonom) Orde Baru yang pada umumnya berpendidikan Barat, lebih condong

pada karakteristik ekonomi yang dianut oleh negara-negara Barat.

Pemerintah Orde Baru menitikberatkan agenda negara ke arah

pembangunan.24

Untuk menangani masalah ekonomi, Soeharto merekrut para

ekonom sipil dari Universitas Indonesia yang kemudian popular disebut sebagai

„teknokrat‟. Kebanyakan dari teknokrat ini studi di University of California,

Berkeley sehingga kelompok ini dijuluki “Mafia Berkeley”. Ideologi utama dari

para teknokrat ini adalah prinsip-prinsip ekonomi neoklasik yang secara umum

bertolak belakang dengan kebijakan ekonomi masa Orde Lama yang cenderung

bersifat ekonomi kerakyatan (sosialis). Untuk menopang ide pembangunan ini,

Orde Baru menggunakan teori W.W. Rostow25

tentang “The Take off into Self-

Sustained Growth” (Teori Pertumbuhan Ekonomi).26

Ide Rostow ini kemudian

dirumuskan ke dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pemerintah

Orde Baru juga menganut keynessian yang diperkuat dengan posisi UUD 1945

pasal 33, dimana peran pemerintah terhadap pengaturan ekonomi perlu

24

Definisi pembangunan ini sangat luas dan beraneka ragam, dalam arti yang paling

sederhana dan ideal dapat diartikan sebagai usaha membangun kesejahteraan ekonomi untuk

semua lapisan masyarakat. Lihat Syamsul Hadi, Strategi Pembangunan Mahathir dan Soeharto:

Politik Industrialisasi dan Modal Jepang di Malaysia dan Indonesia (Jakarta: Japan Foundation,

2005). 25

Walt Withman Rostow adalah seorang teknokrat ekonomi dan politik Amerika Serikat.

Ia pernah menjabat Asisten Khusus NSA pada masa pemerintahan London B. Jhonson. 26

Tahapan perkembangan suatu masyarakat menurut W.W. Rostow: masyarakat

tradisional sebagai masyarakat pra-tinggal landas, tinggal landas, tahap pematangan, dan tahap

konsumsi masal. Lihat Hong Lan Oei, “Indonesia‟s Economic Stabilization dan Rehabilitation

Program: An Evaluation”, Southeast Asia Program Publications: Cornell University, Vol. 5, April

1968.

Page 46: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

32

diperhitungkan.27

Dengan demikian, tak heran jika pada masa Orde Baru haluan

politik luar negerinya lebih condong ke Barat.

Pemerintah Orde Baru memutuskan untuk menerapkan tiga langkah

pembangunan ekonomi pada masa awal pemerintahannya. Langkah pertama,

menjadwalkan kembali pelunasan hutang luar sebagai langkah awal untuk

mengembalikan kepercayaan pihak luar negeri. Kedua, mengendalikan inflasi

yang tak terkontrol melalui program impor komoditi besar-besaran yang dibiayai

oleh pinjaman-pinjaman hasil renegosiasi. Ketiga, mengundang investasi sebesar-

besarnya terutama investasi asing, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.28

Pemerintah yakin bahwa pertumbuhan karena suntikan modal dan

teknologi dampaknya akan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Rencana

ini diumumkan pada tanggal 5 Juli 1966 dalam Ketetapan MPRS No. XXIII

tentang “Pembaruan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan

Pembangunan”. Rencana ini dirinci ke dalam 3 tahap pembangunan. Pertama,

tahap penyelamatan, yakni mencegah kemerosotan ekonomi agar tidak menjadi

lebih buruk lagi. Kedua, tahap stabilitasi dan rehabilitasi ekonomi, yang

mengendalikan inflasi dan memperbaiki infrastruktur ekonomi. Ketiga, tahap

pembangunan ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.29

27

Inti dari gagasan Keynes adalah menghendaki adanya campur tangan pemerintah dalam

pengaturan ekonomi. Gagasan ini muncul sebagai tanggapan dari ide pasar bebas Adam Smith

yang dianggap gagal karena telah membuahkan depresi hebat tahun 1930. Lihat Jr. Ekelund,

Robert B, and Robert F. Herbert, A History of Economic Theory and Method, 5th

ed (Illinois:

Waveland Press Inc, 2007). 28

Zulkarnain Djamin, Pembangunan Ekonomi Indonesia: Sejak repelita Pertama

(Jakarta: Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi UI, 1984), h. 120. 29

Emil Salim “Seribu Hari Pertama Orde Baru 1965-1968” dalam St. Sularto (ed.),

Menggugat Masa Lalu, Menggagas Masa Depan Ekonomi Indonesia (Jakarta: Kompas, 2000).

Page 47: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

33

Sebagai upaya untuk memperbaiki perekonomian bangsa, dikeluarkan

kebijakan ekonomi bernama Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang

mulai beroperasi pada tanggal 1 Januari 1969. Pernyataan resmi mengenai rencana

akan dikeluarkannya kebijakan ini adalah pada tanggal 16 Agustus 1967, dalam

Pidato Acting Presiden RI Soeharto, pada upacara kemerdekaan RI. Dalam

pidatonya tersebut disampaikan bahwa rencana tersebut akan berlaku pada periode

1969-1973 dan akan dibahas terlebih dahulu selama tahun 1968 oleh Bappenas

(Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) bersama-sama dengan instansi

terkait lainnya.30

Ide pembuatan Repelita ini tidak terlepas dari peran Widjojo dan

Emil Salim selaku penasehat ekonomi presiden yang merupakan Direktur dan

Wakil Direktur di Bappenas.

Dalam Repelita tersebut dinyatakan bahwa tugas utama dari pemerintah

baru adalah untuk menghentikan proses kemerosotan ekonomi dan membina

landasan sehat bagi pertumbuhan ekonomi yang wajar.31

Untuk memungkinkan

ini maka terlebih dahulu perlu dilakukan pengendalian laju inflasi dan usaha

rehabilitasi ekonomi karena hanya apabila laju inflasi telah dapat dikendalikan

dan tercapai suatu stabilitasi ekonomi, barulah dapat diharapkan pulihnya kegiatan

ekonomi yang wajar serta terbuka kesempatan bagi kesempatan produksi. Tingkat

inflasi pada tahun 1966 mencapai 650 persen, dan pada tahun 1967 adalah 120

persen sementara pada tahun 1968 turun kembali menjadi 85 persen.32

Dan

sasaran pembangunan yang akan dicapai adalah di bidang pangan, sandang,

30

Bulletin of Indonesian Economic Studies (BIES) No. 10, Februari 1968, h. 24. 31

Keppres RI No. 319 Tahun 1968. 32

Yahya A. Muhaimin, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980

(Jakarta: LP3ES, 1991), h. 51.

Page 48: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

34

perbaikan sarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan pekerjaan dan

kesejahteraan rohani. Selain itu juga dilakukan berbagai upaya untuk melakukan

penambahan devisa.33

Pada tanggal 1 Januari 1967, pemerintah Orde Baru memberlakukan

Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA), yang terdiri dari insentif-

insentif pemerintah untuk modal asing.34

Dan pada tanggal 3 Juli 1968 pemerintah

memberlakukan UU No. 6 Tahun 1968 sebagai Undang-Undang Penanaman

Modal Dalam Negeri (PMDN). Kedua Undang-Undang itu dimaksudkan untuk

membuka perekonomian dan menggiatkan kembali dunia usaha swasta. Kebijakan

itu dirumuskan dengan bantuan dan nasihat dari ahli-ahli ekonomi dan tenaga-

tenaga profesional yang memiliki hubungan dekat dengan kalangan militer.

Kalangan militer pada masa Orde Baru memiliki kekuatan yang besar dalam

pemerintahan yang dilegitimasikan lewat Dwi Fungsi ABRI. Konsep ini

menyatakan bahwa kalangan militer memiliki kekuatan militer sekaligus kekuatan

sosial politik. Kekuatan militer ini semakin kuat setelah terjadi kudeta pada tahun

1965. Meskipun pada tahun 1950-an, militer juga sudah terpolitisasi.35

Tujuan

kalangan militer memasuki urusan politik luar negeri adalah untuk mengikis

anggota PKI dan simpatisannya dalam tubuh Departemen Luar Negeri. Bahkan

33

Bisuk Siahaan, Industrialisasi di Indonesia: Sejak Hutang Kehormatan sampai Banting

Stir (Jakarta: Pustaka Data, 1996), h. 3. 34

Lihat keterangan dalam Badan Penerbit Yayasan Dana Bantuan Kesejahteraan

Masyarakat Indonesia, Presiden Soeharto: Bapak Pembangunan Indonesia: Evaluasi Pembngunan

Pemerintah Orde Baru (Jakarta: BPYDBKMI, 1983). 35

Misalnya saja di tahun 1958, A.H. Nasution mengemukakan suatu ide yang dikenal

sebagai “Jalan Tengah” (Middle Way). Ia berpendapat bahwa militer tidak akan berusaha untuk

mengambil alih pemerintahan, namun tidak juga nonaktif secara politik. Realisasinya adalah

militer dapat mengajukan hak untuk memiliki perwakilan di pemerintahan, DPR, dan birokrasi.

Konsep ini diartikan sebagai peran militer dalam bidang non-keamanan. Ide dari Nasution ini

kemudian menjadi awal dari konsep Dwi Fungsi ABRI. Lihat Harold Crouch, “Patrimonialism and

Military Rule in Indonesia”, Cambridge University Press. Vol. 31 No. 4, Juli 1979.

Page 49: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

35

militer duduk bersama dengan partai-partai politik dalam komisi I DPR (Komisi

Luar Negeri dan Pertahanan).36

Repelita I yang dijalankan ternyata menunjukkan keberhasilan yang

ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat yakni 9,4% pertahun, jauh

di atas target yang telah ditentukan yaitu kurang lebih 5 %. Pertumbuhan itu

terjadi di sektor pertanian, yang sebenarnya tercapai karena meningkatnya

kegiatan di bidang kehutanan (21,4 % pertahun) dan ekspor kayu gelondongan.

Pertumbuhan yang sangat pesat juga tampak di sektor-sektor produksi barang dan

pertambangan yang sebagian besar meliputi pertambangan minyak bumi dan

kegiatan manufaktur.37

Kesemuanya itu karena cepatnya arus masuk modal asing.

Beberapa pengamat menyatakan bahwa Repelita I ini bersifat politis,

karena sebagai upaya Presiden Soeharto untuk menciptakan stabilitasi, akibat

adanya rasa frustasi atas beban perekonomian yang buruk. Repelita ini dilakukan

untuk pencapaian kondisi perekonomian yang lebih baik di masa depan. Selain itu

juga dianggap sebagai suatu bentuk penghormatan atas ideologi populer bahwa

Indonesia sebagai negara yang masih belum berkembang berusaha untuk

menunjukkan jati dirinya sebagai negara yang memiliki perekonomian yang

terencana dan terstruktur.38

36

Leo Suryadinata, Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto (Jakarta: LP3ES,

1998), h. 50-53. 37

Yahya A. Muhaimin, Op. Cit., h. 54. 38

BIES, Op. Cit., h. 25.

Page 50: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

36

C. Jurnal Prisma dan Orde Baru

1. Sejarah dan Tujuan

Salah satu lembaga swasta atau lembaga non-pemerintah yang berperan

dalam pelaksanaan pemerintahan Orde Baru adalah Lembaga Penelitian,

Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Beberapa orang di

dalam dewan tersebut pernah mendekap di dalam penjara atau mengalami masa

pembuangan yang lama seperti salah satunya yaitu Soemitro Djojohadikusumo.

Dari kalangan yang lebih muda beberapa tokoh seperti Nono Anwar Makarim dan

Ismid Hadad yang memegang peran penting dalam aksi menghancurkan Partai

Komunis Indonesia dan menjatuhkan Soekarno pada tahun 1965-1968. Mereka

adalah kelompok yang mempelopori berdirinya LP3ES. Mereka adalah para

mantan aktivis mahasiswa yang bekerjasama dengan militer Indonesia dalam

menghancurkan PKI dan menjatuhkan Soekarno.39

Koalisi kaum cendekiawan

profesional, mahasiswa, para professor dengan Orde Baru dan pendukung

utamanya (militer) adalah gabungan yang tidak nyaman bagi kedua belah pihak.

Budaya berpikir kritis pihak cendekiawan dan nafsu menguasai dari pihak militer

adalah gabungan rapuh yang tidak menjadi jaminan bagi suatu koalisi abadi justru

karena adanya kekuatan asimetrik antara mahasiswa dan militer. Sebenarnya

kekecewaan terhadap Orde Baru sudah terjadi tidak lama setelah Soekarno jatuh

ketika terjadi kudeta sesungguhnya oleh militer pada tanggal 11 Maret 1966.40

39

Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 443-444. 40

Kudeta itu terjadi dengan sepucuk surat yang disebut sebagai “Surat Perintah Sebelas

Maret” yang sangat kontroversial. Hal itu menjadi persoalan apakah surat itu benar ada atau tidak

karena tidak ada satu orang pun yang pernah melihat versi asli surat tersebut. Apa pun yang terjadi

dengan surat tersebut suatu kudeta terhadap Soekarno oleh militer yang sesungguhnya terjadi pada

Page 51: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

37

LP3ES merupakan jelmaan politik dari dua ide utama yang disandang PSI

(Partai Sosialis Indonesia) yang akan diterjemahkan ke dalam situasi Indonesia

pasca-kemerdekaan dan pasca Demokrasi Terpimpin.41

Gagasan awal mendirikan

LP3ES itu adalah untuk menjadikannya wadah alternatif untuk persiapan buat

para aktivis melanjutkan perjuangannya. Karena hampir sebagian besar yang

mendirikannya adalah kaum aktivis gerakan 1966, sebagaimana kita ketahui

bahwa pada masa itu sangat banyak gerakan aliansi mahasiswa dan ABRI.42

LP3ES didirikan pada bulan Agustus 1971 dengan pikiran menjadi suatu lembaga

alternatif. Sejak saat itulah pemerintah Orde Baru membuka kerjasama dengan

Friedrich Naumann Stiftung.43

Pada 7 Juli 1970, sekelompok cendekiawan, akademisi, petinggi

pemerintahan dan beberapa aktivis membentuk Perhimpunan Indonesia untuk

Pengetahuan Ekonomi dan Sosial (Bineksos)44

dengan sejumlah pendiri organisasi

hari itu. Lihat penjelasan Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde

Baru, Op. Cit., h. 144. 41

Hal yang sama sebenarnya bisa dikatakan untuk kelompok yang berhimpun di sekitar

LP3ES dan Prisma, yang pada dasarnya berorientasi “Sjahrir-ian” dalam pandangannya tentang

modernisasi, modernisme, dan pembangunan ekonomi. 42

Daniel Dhakidae, Op. Cit., h. 449. 43

Modal adalah sesuatu yang langka pada waktu itu, apalagi modal untuk mendirikan

suatu yayasan. Namun, kebetulan ada yang membantu. Pada waktu itu Nono Anwar Makarim

mengikuti suatu lomba penulisan dan diundang membawakan karya tulisnya di Berlin. Di sana

bertemu dengan tokoh-tokoh gerakan mahasiswa Jerman dan beberapa orang dari yayasan-yayasan

Jerman, Stiftung, seperti Friedrich Naumann Stiftung. Itulah kontak pertama dengan Friedrich

Naumann Stiftung. Mereka mengirim Dieter Wilke ke Jakarta. Dieter Wilke itulah yang

mengerjakan segala-galanya dan sejak itu mondar-mandir antara Indonesia-Jerman. Wilke sendiri

adalah aktifis mahasiswa Jerman yang banyak melakukan kontak dengan kaum aktivis Perancis

seperti Daniel Cohn Bendit. Hal ini dijelaskan oleh Daniel Dhakidae, Op. Cit., h. 450. 44

Bineksos merupakan organisasi berbadan hukum perkumpulan yang disahkan

Pemerintah Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor Y.A.5/36/12,

tertanggal 22 Januari 1973. Setidaknya terdapat lima nama yang disebut sebagai perintis lahirnya

Bineksos: Nono Anwar Makarim, Ismid Hadad, Dr. Emil Salim, Dr. Satrio B. Joedono, dan Prof.

Soemitro Djojohadikusumo. Pembentukan Bineksos sesungguhnya tidak terlepas dari

kemungkinan menjalin kerjasama dengan FNS yang memerlukan sebuah organisasi sebagai

counterpart-nya di Indonesia. Lihat http://prismajurnal.com (diakses pada Minggu, 18 September,

pukul 18.30 WIB).

Page 52: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

38

nirlaba.45

Pada tanggal 26 April 1971, Friedrich Naumann Stiftung (FNS)

menjalin kerjasama resmi dengan Pemerintah Indonesia. Bantuan teknis FNS

sepenuhnya berada di bawah pengawasan dan prosedur Departemen Perdagangan

Republik Indonesia. Perjanjian antara Departemen Perdagangan RI dan FNS

ditandatangani menteri Perdagangan Sumitro Djojohadikusumo dan Kepala

Perwakilan FNS di Indonesia, Dr. Dietrich G. Wilke. Pada 19 Agustus 1971,

perjanjian itu pun diresmikan dan ditandatangani oleh Ketua Pengurus Bineksos

Emil Salim dan Kepala Perwakilan FNS di Indonesia DG. Wilke.

Perhimpunan LP3ES secara organisatoris merupakan sebuah badan

pelaksana yang berada di bawah payung Bineksos. Badan pelaksana ini dipimpin

seorang direktur, wakil direktur, dan beberapa staf orang Indonesia. Sejak awal

tahun 1980-an LP3ES berkembang menjadi sebuah lembaga yang mandiri.46

Di

dalam tubuh LP3ES, selain tokoh-tokoh pendiri Bineksos, bergabung tokoh-tokoh

muda seperti Tawang Alun47

, M. Dawam Rahardjo48

, Abdulah Syarwani, Utomo

Dananjaya, Aswab Mahasin49

, Arselan Harahap50

, Imam Choumain, Amir

45

Antara lain Prof. Ali Wardhana, Prof. Dr. Selo Sumardjan, Dr. Suhadi

Mangkusuwondo, Prof. Dr. Koentjaraningrat, Prof. Dr. Sukadji Ranuwihardjo, Dr. Taufik

Abdullah, Dr. Soedradjad Djiwandono, Dr. Zainul Yasni, Joewono Sudarsono, Bintoro

Tjokroamidjojo, Dorojatun Kuntjojakti, Adam Malik, Daan Jahja, M. Yusuf Ronodipur, Harlan

Bekti, Letnan Jenderal (Mar) Ali Sadikin, dan lain-lain. Emil salim kemudian dipilih menjadi

Ketua Pengurus Bineksos pertama didampingi Sumitro Djojohadikusumo, Ali Wardana, dan Ali

Sadikin sebagai Ketua Kehormatan. Keterangan ini diperoleh dari http://prismajurnal.com (diakses

pada Minggu, 18 September 2016, pukul 18:42 WIB). 46

Badan hukum perhimpunan LP3ES disahkan Pemerintah Republik Indonesia lewat

Keputusan Menteri Kehakiman Nomor C2-1463-HT01-03, tertanggal 15 Februari 1983. Tiga belas

tahun kemudian, tepatnya tanggal 26 September 1996, LP3ES terdaftar di Direktorat Jenderal

Sosial Politik Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia sebagai salah satu organisasi

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). 47

Direktur Kedua LP3ES (1973-1976) dan didampingi Ismid Hadad sebagai wakilnya. 48

Wakil Direktur III LP3ES (1976-1980), kemudian menjadi Direktur IV LP3ES (1980-

1986) didampingi Aswab Mahasin sebagai wakilnya. 49

Direktur V LP3ES (1986-1992). 50

Direktur VI LP3ES (1992-1993).

Page 53: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

39

Karamoy, Endang Basri Ananda, Hassan S. Kertadjoemena, Daniel Dhakidae,

Maruto MD, Masmimar Mangiang, Rustam Ibrahim51

, Imam Ahmad52

, Paulus

Widiyanto, dan lain-lain.

LP3ES dikenal luas sebagai salah satu “lembaga penerangan” yang banyak

menerbitkan buku-buku teks perguruan tinggi, baik karya asli orang Indonesia

maupun terjemahan. Bahkan LP3ES kerap dianggap sebagai perintis penerbitan

buku-buku kajian kritis bidang sosial dan ekonomi di Indonesia. Keterkenalan

LP3ES semakin lengkap saat LSM ini menerbitkan jurnal Prisma. Dalam edisi

perdananya, pada November 1971 tersua kalimat-kalimat sebagai berikut:

Madjalah ini (Prisma) dimaksudkan sebagai media jurnal informasi dan

forum pembahasan masalah-masalah pembangunan ekonomi,

perkembangan sosial, dan perubahan-perubahan kulturil di Indonesia serta

di wilajah sekitarnja.53

Sementara redaktur sekaligus penanggungjawab Prisma, Ismid Hadad

menulis dalam Pengantar Redaksi edisi perdana itu dengan kalimat-kalimat,

Kita senantiasa tenggelam dalam manuvre-manuvre politik praktis dan

masalah-masalah rutin, hingga tak pernah sempat memikirkan rentjana

masa depan Indonesia dari pandangan jang mendalam. Oleh karena itulah

di zaman modern dimana tantangan-tantangan pembangunan republik ini

lebih menuntut digunakannya fikiran-fikiran jang matang, makin terasa

bahwa kita sekarang perlu kontemplasi, sambil madju terus mengedjar

keterbelakangan. Apalagi bila kita tidak mau menemui bentjana-bentjana

dalam menjongsong Repelita II.54

51

Direktur VII LP3ES (1993-1999). 52

Direktur VIII LP3ES (1999-2005). 53

Prisma, no. 1 (tahun 1), November 1971, yang diterbitkan sebagai edisi “Perkenalan”. 54

Pengantar Redaksi dalam Prisma, no. 1, (tahun 1), November 1971, yang diterbitkan

sebagai edisi “Perkenalan”. Berdasarkan untaian kalimat tersebut, dapat diketahui bahwa Prisma

memang mengangkat topik-topik terkait dengan pembangunan, misalnya isu pembangunan daerah,

pendidikan, olahraga, kesehatan masyarakat, perempuan, ekonomi pertanian, teknologi,

industrialisasi, dan lain-lain. Semua disajikan dalam bentuk karangan ilmiah populer atau

eksplorasi dan refleksi intelektual. Setiap nomor membahas secara mendalam satu tema tertentu

Page 54: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

40

Pada permulaan tahun 1970-an, Prisma adalah salah satu yang pertama

dalam bidang ilmu sosial (termasuk ekonomi) dan kemanusiaan. Bahwa ada

kebutuhan akan jurnal sejenis ini, yakni terlihat dari sambutannya yang sangat

positif terutama dari kaum “intelektual”. Redaksi Prisma berhasil memperoleh

tulisan dari ilmuwan, peneliti dan pemerhati masalah-masalah masyarakat yang

disajikan secara provokatif dan menarik. Tulisan-tulisan yang ada di Prisma

sebagian besar dimanfaatkan untuk mengkaji perkembangan berbagai teori

pembangunan yang diaplikasikan di Indonesia. Pengasuh Prisma sendiri adalah

mereka yang berpikiran kritis, bukan birokrat, dan tidak mengabdi pada dunia

akademis formal. Menurut Daniel Dhakidae, elitisme Prisma dengan sendirinya

tampak pada metode yang dipilih. Format dalam bentuk jurnal dengan sendirinya

hanya mengandalkan suatu sektor terdidik.55

2. Pengelolaan

Berbeda dengan jurnal-jurnal akademik, baik yang diterbitkan oleh

perguruan tinggi maupun lembaga-lembaga non perguruan tinggi. Prisma

disebarluaskan untuk masyarakat pembaca lebih luas. Sejak awal terbit, sudah

banyak para ahli, sarjana, praktisi, dan kaum muda Indonesia yang menulis secara

bebas dan kreatif di Prisma. Jurnal ini menjadi semacam bacaan “wajib” di

kalangan akademisi, mahasiswa, politikus, para pengambil keputusan dan

perencanaan pembangunan, serta kelompok-kelompok strategis lainnya. Mereka

memanfaatkan sebagian besar tulisan di Prisma untuk mengkaji perkembangan

berbagai teori pembangunan yang diaplikasikan di Indonesia. Pengasuh jurnal ini

dari berbagai sudut pandang. Siapa pun dapat menulis di Prisma sejauh memenuhi kriteria

keahlian tertentu. 55

Daniel Dhakidae. Cendekiawan dan Kekuasaan....Op.Cit, hal. 452.

Page 55: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

41

adalah mereka yang berpikiran kritis, nonpartisan, bukan birokrat, dan tidak

mengabdi pada dunia akademis formal.

Prisma tampil dengan wajah dan tata letak cukup sederhana. Jurnal ini

diterbitkan setiap dua bulan sekali atau dwi bulanan, menggunakan kertas HVS

dengan ketebalan isi 52 halaman. Satu tahun setelah terbit perdana, ketebalannya

berkembang menjadi 92 halaman. Semula hanya terjual rata-rata 1.000 eksemplar

per edisi, namun perlahan-lahan naik menjadi 6.500 eksemplar di penghujung

tahun 1975. Pada 1976, Prisma melakukan pembenahan tata letak, isi, perwajahan,

memasang gambar sampul muka berbentuk lingkarang yang menjadi ciri khas

Prisma, dan menambah rubrik-rubrik baru. Jadwal terbit pun diubah dari yang

awalnya dwi bulanan menjadi bulanan.56

Bila sebelumnya hanya dijual lewat cara berlangganan atau diperoleh di

toko-toko buku serta agen-agen khusus yang memiliki akses ke kampus perguruan

tinggi. Pada tahun 1976 Prisma dapat dijumpai di kios-kios agen Koran dan

majalah umum. Upaya tersebut membuat tiras jual Prisma naik sekitar 8.000-

14.000 eksemplar per edisi. Namun naik turunnya juga sangat ditentukan oleh isi

dan topik yang disajikan.57

56

Setidaknya ada tiga alasan perubahan jadwal terbit. Pertama, untuk memperluas

pemasaran karena pembaca Prisma menganggap jadwal terbit dwibulanan terlampau lama. Kadua,

menggairahkan para agen dan toko buku karena dengan berubahnya jadwal terbit berarti

pendapatan mereka pun akan meningkat. Ketiga, dapat menekan biaya overhead sekaligus harga

pokok, karena dengan biaya yang sama dapat diterbitkan 12 nomor dalam satu tahun. 57

Sebagai contoh topik-topik Prisma yang cukup laris pada tahun 1970-an adalah

“Industri Seks” (Juni 1976) dan “Angkatan Muda” (Desember 1977), sedangkan yang kurang

begitu diminati adalah “Olahraga” (April 1978) dan “Sastra” (April 1979). Sementara yang sulit

dan dilampaui oleh edisi-edisi berikutnya adalah “Manusia dalam Kemelut Sejarah” (Agustus

1977). Tiras jual edisi yang mengupas dan menilai kembali tokoh Soekarno, Tan Malaka, Amir

Sjarifoeddin, Jenderal Soedirman, Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, Kahar Muzakkar, dan Rahmah

El Yunusiyyah itu sekitar 25.000 eksemplar, belum termasuk yang dicetak dan diterbitkan dalam

Page 56: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

42

Selain Prisma Indonesia, LP3ES juga menerbitkan Prisma berbahasa

Inggris pada 1975. Prisma edisi bahasa Inggris itu terbit dua kali setahun

kemudian diubah menjadi empat bulanan. Sebagian besar isinya berupa

terjemahan artikel-artikel pilihan yang telah dimuat Prisma Indonesia. Edisi ini

terutama “diekspor” ke luar negeri dan diterima oleh agen-agen yang cukup setia

di Negeri Belanda, Amerika Serikat, Australia dan Singapura, disamping sejumlah

pelanggan pribadi. Tiras edarnya hanya 1.000 eksemplar dan tidak dimaksudkan

untuk memperoleh keuntungan, melainkan lebih unutk memenuhi amanat

Anggaran Dasar LP3ES yang antara lain berbunyi:

Menyebarkan pengetahuan yang luas tentang keadaan sosial dan ekonomi

Indonesia kepada bangsa lain.58

Fungsi utamanya sebagai public-relation LP3ES terhadap dunia

internasional, terutama untuk memberi informasi dan menarik perhatian lembaga-

lembaga ilmiah dan sumber-sumber dana di luar negeri. Prisma edisi bahasa

Inggris mengisi sebagian kekosongan media komunikasi dalam bahasa Inggris

tentang Indonesia yang saat itu makin dibutuhkan oleh publik asing, baik di

Indonesia maupun di luar negeri.

Bulan Oktober sampai November 1974, LP3ES mengadakan readership

survei dengan sampel 1.250 orang responden pembaca Prisma yang tersebar di

Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Suarabaya, Malang, Ujungpandang, dan Medan.

Dari survei itu diketahui 88 persen pembaca prisma adalah laki-aki dan 12 persen

perempuan. Berdasarkan kelompok umur, 33 persen pembaca Prisma berusia 19-

bentuk buku. Sumber: http://prismajurnal.com (diakses pada Minggu, 18 September 2016, pukul

20:05 WIB) 58

http://prismajurnal.com (diakses pada Minggu, 18 September 2016, pukul 20:05 WIB)

Page 57: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

43

26 tahun, 36 persen berusia 27-34 tahun, 20 persen berusia 35-42 tahun, dan 9

persen berusia 43-62 tahun. Sementara tingkat pendidikan pembaca Prisma

tamatan SMA sebesar 23 persen, 34 persen sarjana muda atau tamat akademi, 38

sarjana atau tama universitas, dan 3 persen post-graduate. Kelompok pekerjaan

mereka 36 persen mahasiswa, 32 persen pejabat pemerintah, 13 persen pengajar

atau dosen perguruan tinggi, 9 persen kalangan swasta, 7 persen kaum

profesional, dan 3 persen anggota TNI dan Polri dan kelompok lainnya. Dengan

kata lain, 69 persen pembaca Prisma adalah golongan muda 19-34 tahun, 72

persen berpendidikan sarjana muda atau lebih, dan 49 persen bekerja di

lingkungan perguruan tinggi. Hasil survei itu membuktikan bahwa ide dasar dan

tujuan penerbitan Prisma untuk menjadi forum komunikasi dan pembahasan

masalah pembangunan sosial ekonomi bagi para sarjana dan cendekiawan muda

serta media informasi bagi para praktisi dan pejabat pemeintahan telah berhasil

dicapai.

Akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an merupakan masa kejayaan

Prisma. Hal ini sejalan dengan pembaharuan isi Prisma yang kian semarak dengan

rubrik-rubrik baru. Tahun 1978 Prisma menghadirkan rubrik “Laporan Khusus”.59

Sebelumnya, pada tahun 1976 Prisma menghadirkan rubrik “Dialog”.60

Rubrik

lain yang diperkenalkan sejak 1979 antara lain “Dunia Ketiga61

, Tesis62

, Tinjauan

59

Sebuah laporan jurnalistik yang digarap oleh redaksi dan disajikan setiap tiga bulan

yang tidak harus sejalan dengan topik utama. 60

Berupa wawancara dengan beberapa tokoh. 61

Merupakan artikel terjemahan tentang berbagai masalah negeri-negeri berkembang di

Asia Tenggara. 62

Berupa ringkasan tesis atau disertasi bidang ilmu-ilmu sosial dan humaniora mengenai

msalah Indonesia yang ditulis oleh sarjana Indonesia.

Page 58: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

44

Buku63

dan Kritik dan Komentar”. Pada 1982, Prisma memunculkan rubrik

“Tokoh” berupa tulisan mendalam tentang saksi atau pelaku sejarah yang

memiliki andil dalam perjalanan negeri ini. Rubrik itu banyak mencuri perhatian

pembaca, termasuk rezim Orde Baru saat mengangkat dan mengulas tokoh-tokoh

tertentu yang ditulis oleh penulis atau cendekiawan tertentu. Bagaimanapun juga

rubrik-rubrik tersebut membuat isi Prisma lebih bervariasi.

3. Analisis isi Jurnal

Apabila kita perhatikan Prisma sejak tahun 1971, maka bisa dikatakan

bahwa secara teoritis majalah ini berada di jalur-jalur dari teori-teori modernisme

dan modernisasi. Hampir seluruh asumsi dan basis teoritis yang melatarbelakangi

para editor dan para penulisnya adalah berbasis teori modernisasi. Prisma hampir

tidak mungkin melepaskan diri dari tuntutan zaman pada saat itu. Beberapa

asumsi teoritis bisa ditelusuri. Pertama, modernisasi tidak lain adalah kegiatan

mengubah persepsi dan sikap menuju pertumbuhan ekonomi dan perubahan

teknologi. Keberhasilan mengubah keduanya adalah langkah utama dalam

membawa modernisasi. Kedua, kalau modernisasi menjadi sasaran utama maka

hampir semua sektor lain akan menjadi instrument bagi pencapaian tujuan

modernisasi tersebut. Ketiga, modernisasi tidak bisa dicapai tanpa industrialisasi.

Sedangkan industrialisasi menimbulkan social problem, karena itu modernisasi

pada dasarnya membawa masalah-masalah sosial. Modernisasi membawa

masalah-masalah partisipasi, persoalan rakyat kecil dan lain sebagainya.64

63

Yang mengulas secara ringkas dan mendalam isi sebuah atau beberapa buku. 64

Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Op. Cit., h.

459-460.

Page 59: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

45

Semuanya tentu saja ditebus dalam pandangan Prisma tentang ekonomi.

Tanpa menghiraukan semua yang terjadi di bidang politik, dan terutama dalam

bidang ekonomi politik, maka ekonomi Prisma terbagi menjadi dua. Dalam moral

ekonomi seluruh lembaga LP3ES dan Prisma sendiri berpihak kepada kaum

lemah. Dalam paham ekonomi dan dalam manajemen ekonomi seluruhnya berada

dalam tataran reifikasi, dalam artian semua pikiran yang diberikan Prisma adalah

kepada ekonomi makro. Ekonomi makro dalam artian Keynesian memberikan

kesempatan campur tangan pemerintah dengan mengolah kestabilan dengan alat-

alat seperti kebijakan moneter, fiskal, mengontrol neraca perdagangan dan neraca

pembayaran dan lain-lain sebagainya. Namun, persoalan siapa yang menguasai

industri minyak, kemana seluruhnya dipakai, tidak pernah menjadi soal Prisma.65

65

Hal ini dijelaskan secara jelas dalam tulisan yang dimuat dua kali berturut-turut dalam

dua nomor Prisma, No. 4 dan No. 5 tahun 1972. Di sana dikemukakan statistik ekspor minyak

Indonesia. “Minyak bumi merupakan komoditi ekspor terbesar Indonesia. Pada tahun 1970, ekspor

minyak bumi bernilai US$ 450 juta atau 39,1% dari keseluruhan jumlah ekspor Indonesia, tahun

1971 sebanyak US$ 541 juta dan merupakan 41,85 dari ekspor Indonesia”. Sementara semua

angka statistic ekspor ini benar dan di pihaknya dengan sendirinya mengatakan bahwa kebijakan

ekonomi berada di dalam jalur yang benar, kontrol ekonomi makro tidak mampu melihat apa yang

sesungguhnya terjadi di dalam dunia real ekonomi sesungguhnya. Tulisan ini sama sekali

mengabaikan kenyataan ini. yang terjadi di sini adalah korupsi yang tidak tertandingkan. Baca

artikel Dahlan Thalib, Índustri Minyak Bumi di Indonesia”, Prisma No. 4 dan 5 tahun 1972.

Page 60: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

46

4. Para Kontributor (Penulis) di Bidang Ekonomi dan Politik Ekonomi

Dalam seluruh penerbitannya, Prisma menerbitkan 1595 kaum intelektual

pada umumnya sebagaimana terlihat dalam tabel berikut ini.

Para Penulis Prisma, 1971-199866

Tingkat Pendidikan Jenis Kelamin Total Persentase

Pria Perempuan

Lain-lain 19 0 19 2

SLTA/ Mahasiswa 32 1 33 3

Akademi/D-III 6 3 9 0.9

Strata-1 259 29 288 29

Strata-2 203 25 228 23

Strata-3 374 33 407 41

Total 893 91 984 98.9

Tabel tersebut menunjukkan dominasi mereka yang berada dalam strata

akademi tertinggi, para doctor dalam bidang masing-masing baru setelah itu

disusul oleh strata satu dan strata dua. Kaum akademis sungguh-sungguh

menguasai jurnal ini. Dominasi mereka yang berasal dari strata tiga untuk satu hal

menunjukkan dominasi kaum spesialis dan bidang tertentu, yang kelak akan

memberikan pengaruh yang tidak kecil terhadap komposisi dan struktur kaum

cendekiawan Indonesia sendiri. Kemudian table berikut ini menunjukkan asal

muasal mereka yang menulis di jurnal Prisma.

66

Sumber: Database Prisma, yang disusun khusus. Jumlah tidak sampai seratus persen

karena pembulatan ke atas dan ke bawah. Lihat Daniel Dhakidae, Op. Cit., h. 761.

Page 61: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

47

Wilayah Studi Para Penulis Prisma67

Bidang Studi Benua Tempat Studi: Strata Satu, Strata Dua dan Strata

Tiga

Indones

ia

Afr

ika

Am

erik

a

Asi

a

Aust

rali

a

Ero

pa

Total Persentase

Ekonomi 109 0 218 33 21 69 450 28

Hukum 24 0 14 0 0 8 46 3

Ilmu Sosial

dan

Kemanusiaan

394 1 363 45 67 175 1045 66

Iptek 12 0 28 0 1 13 54 3

Total 539 1 623 78 89 265 1595 100

Bersama itu pula kelihatan bahwa dominasi kaum laki-laki begitu besar,

91 persen sehingga hanya menonjolkan perbedaan begitu besar dengan kaum

perempuan yang berkiprah di dalam jurnal ini, 9 persen. Meskipun demikian data

ini hanya bisa ditafsirkan degan mengingat beberapa hal berikut ini. Pertama,

sebagian besar penulis adalah atas inisiatif redaksi dengan demikian ini lebih

menunjukkan kemana minat para pengasuhnya dan tidak menunjukkan minat dan

kemampuan intelektual suatu bangsa. Kedua, meskipun demikian karena Prisma

67

Sumber: Database Prisma. Angka-angka di atas menunjukkan jumlah tulisan yang ada

dalam jurnal Prisma. Setiap penulis yang dalam biodata mengatakan pernah memperoleh ijazah

strata satu sampai dengan tiga di salah satu tempat di luar Indonesia langsung dikategorikan

mengambil pendidikan di sana. Dengan begitu yang berada dalam kategori Indonesia adalah

mereka yang semuanya berpendidikan S-1 sampai S-3 yang berlangsung di Indonesia. Ibid, h. 761.

Page 62: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

48

juga mengumumkan topik dan lain sebagainya maka ini juga mencerminkan

persediaan, availability, yang berada di dalam masyarakat intelektual.68

Secara keseluruhan dikatakan bahwa 40 persen para penulis Prisma adalah

mereka yang dididik di dalam ilmu-ilmu sosial, termasuk ekonomi, di universitas-

universitas di Amerika Serikat dengan pengaruh yang sangat menentukan.

Dominasi perguruan tinggi Amerika Serikat dalam Prisma berlangsung dari

periode ke periode Prisma, dengan dominasi pada periode pertama yaitu 1971-

1975, sebanyak 44 persen para penulis adalah mereka yang mengenyam

pendidikan di Amerika Serikat.

Perubahan besar di dalam Prisma terjadi tahun 1976 dan berjalan sriring

dengan perubahan-perubahan keorganisasian dalam ilmu-ilmu sosial yang

ditimbulkan oleh pemunculan organisasi seperti HIPIIS69

dan ISEI70

dan lain-lain.

Prisma pada awalnya terbit sebagai suatu kwartalan, empat kali setahun yang

berarti terbit setip tiga bulan, kemudian Prisma terbit menjadi dwi bulanan, kini

diubah menjadi terbit setiap bulan.71

Pada pertengahan dan akhir tahun 1970-an terjadi berbagai pemberontakan

di kampus-kampus. Yang mana pada saat itu tujuan utamanya adalah untuk

menggantikan Orde Baru sambil dalam jangka pendek tidak bersedia membiarkan

Soeharto mencalonkan dirinya kembali. Sebagai akibatnya kampus-kampus

ditutup menjadi suatu dunia enclave di dalam sistem sosial dan politik dengan

suatu semboyan yang sangat efektif yakni “Normalisasi Kehidupan Kampus”.

68

Ibid, h. 467. 69

Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial. 70

Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia. 71

Ibid, h. 470.

Page 63: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

49

Namun suatu gerak balik terjadi di luar rencana Orde Baru. Dengan memaksakan

kampus-kampus menjadi enclave maka kultur diskursus kritis bertumbuh subur di

sana. Karena kontak yang efektif antara Prisma dan kampus-kampus maka

kegusaran yang hampir sama juga melanda Prisma.

Mereka menjadi penguasa keadaan dalam arti bahwa struktur politik

menghilangkan ancaman-ancaman terhadap mereka biarpun mereka belum

atau bukan penguasa keadaan. Pokoknya optimisme golongan

cendekiawan menengah kota menghadapi persoalan-persoalan lain dari

pada sebelumnya. Dan Prisma adalah penjelmaan yang khas dari suasana

ini. Yang menjadi persoalan di sana bukan lagi eksistensi dirinya atau

manusia akan tetapi bagaimana penyelesaian persoalan-persoalan dan

garis-garis gerak masyarakat dan negara, karena dia telah menjadi bagian

dari keadaan dan bukan lagi perenung tentang keadaan seperti

sebelumnya. Hal ini sebenarnya agak bertentangan dengan tujuan

Prisma.72

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Onghokham terhadap Prisma,

dapat dikatakan bahwa Prisma adalah sebagai alat pembudayaan bahasa para

teknokrat, terutama bahasa statistik, berpihak pada kelas menengah kota, dan

menjadi bagian dari masyarakat dagang. Setidaknya ada tiga hal yang dikehendaki

oleh kelas menengah kota dengan Prisma. Pertama, Prisma adalah suatu alat

untuk membudayakan bahasa para teknokrat. Para cendekiawan ingin

menunjukkaan pada masyarakat persoalan apa dan bagaimana pemecahannya.

Dalam hal ini Prisma berdialog dengan masyarakat khususnya pada para

pendukungnya dan berada di pihak pemerintah. Kedua, Prisma mengambil sikap

berpihak pada golongannya dalam arti kelas menengah kota dan menjelaskan pada

masyarakat tentang persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat dan negara

pada umumnya, serta kemungkinan-kemungkinan jawaban masyarakat atau

72

Baca Onghokham, “Potret Cendekiawan Indonesia Sebagaimana Terekam dalam

Prisma”, Prisma, November 1980, h. 61.

Page 64: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

50

unsur-unsurnya terhadap keadaan. Ketiga, Prisma hanya ingin menjadi suatu alat

cendekiawan populer dan hanya ingat pada grafik sukses dan jumlah-jumlah

penjualan, jadi hanya mengikuti selera masyarakat. Namun faktor ketiga ini agak

penting untuk menjaga bahwa Prisma tidak terlalu menjadi irrelevant bagi

masyarakatnya.73

Onghokham membandingkan Prisma dengan Horison yang lebih

mengambil sikap “menolak satu kekuatan monolitik, menolak usaha-usaha yang

memutuskan apa yang baik untuk rakyat”. Menurut Onghokham semua majalah

mengambil sikap kultural “menanyakan eksistensi manusia” dan hal-hal semacam

itu hampir tidak didapatkan di dalam Prisma.

Kita menolak usaha-usaha untuk membina di negeri kita satu kekuasaan

yang monolitik, yang hendak mencap seluruh bangsa kita dalam satu

warna yang dibolehkan oleh pihak resmi saja, yang hendak membuat

seluruh rakyat kita jadi beo, yang hendak memutuskan apa yang baik

untuk rakyat tanpa persetujuan rakyat kita.74

Bahwa Prisma dengan demikian sudah terjerumus ke dalam alam

teknokratis dan menjadi “anti-intelektual”. Prisma sudah mengambil alih wacana

Orde Baru dan menjadi kawan seiring dalam wacana pembangunan. Karena itu

salah satu jenis perubahan adalah membuat Prisma lebih historis dalam arti lebih

berorientasi pada dialektika kekuatan dalam masyarakat. Dialektika diambil dalam

pengertiannya yang sederhana yaitu relasi dan konflik yang dihasilkan kekuatan-

kekuatan dalam masyarakat dalam berbagai jenisnya baik relasi kekuatan

ekonomi, kekuasaan politik, dan relasi sosial yang membawa konsekuensi

ekonomi-politik.

73

Hal ini berdasarkan penjelasan Daniel Dhakidae, Cendekiawan … Op. Cit., h. 481. 74

Dikutip dari “Kata Perkenalan” dalam Horison, Th. I, No. 1 Juli 1965, h. 3.

Page 65: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

51

Menurut seorang peneliti Perancis, Marcell Bonneff, tinjauan Onghokham

sendiri tajam menembus pada saat itu dan malah kejam bagi dunia cendekiawan

dan untuk Prisma, dan memang agak merusak diri sendiri, bagi penulisnya, auto-

destructeur, karena sebagaimana diketahui Onghokham adalah salah satu

kontributor yang paling sering menulis di Prisma dan juga tentu salah satu dari

yang paling brilian.75

75

Ketika Prisma menerbitkan Manusia-manusia dalam Kemelut Sejarah maka yang

dikerjakan di sana lebih dari sekedar seperti dikatakan oleh Marcell Boneff sebagai une

rehabilitation de Soekarno, rehabilitasi Soekarno. Di sana dicoba memanggungkan suatu

perlawanan ideologis dan historis terhadap Orde Baru dibandingkan dengan turun ke jalan untuk

mementaskan kerja “parlemen jalanan”. Dikutip dari Daniel Dhakidae, Cendekiawan…, Op. Cit.,

h. 487.

Page 66: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

52

BAB III

CENDEKIAWAN MUSLIM DAN ORDE BARU

A. Sejarah Profil

Istilah pertama dalam bahasa Indonesia (Melayu) yang mengindikasikan

lahirnya inteligensia Hindia Belanda adalah „bangsawan pikiran‟ yang mulai

muncul dalam ruang publik pada dekade pertama abad ke-20. Istilah itu

merupakan sebutan untuk generasi baru dari orang-orang Hindia Belanda yang

terdidik secara modern dan ikut serta dalam gerakan menuju kemajuan,

berlawanan dengan istilah „bangsawan oesoel‟ yang dikaitkan dengan

kebangsawanan yang lama. Istilah „bangsawan pikiran‟ digunakan baik untuk

menunjuk pada individu „intelektual‟ maupun pada entitas kolektif „inteligensia‟

Hindia Belanda. Untuk menegaskan mulai hadirnya komunitas baru inteligensia

seperti yang dibayangkan, maka kolektivitas „bangsawan pikiran‟ itu kemudian

diberi nama „kaoem moeda‟, sementara kolektivitas „bangsawan oesoel‟ diberi

nama „kaoem toea‟ atau „kaoem koeno‟. Pada tahun 1910-an, penentangan para

anggota inteligensia terhadap bangsawan tua memunculkan sebuah upaya untuk

memisahkan kata „pikiran‟ dari kata „bangsawan‟, karena istilah „bangsawan‟

secara implisit berarti mengagung-agungkan hak istimewa dari bangsawan lama.

Maka, kemudian muncullah istilah „kaoem terpeladjar‟ atau „pemoeda peladjar‟

Page 67: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

53

atau jong (dalam bahasa Belanda). Istilah-istilah ini digunakan untuk merujuk

kepada sebuah entitas kolektif dari orang-orang yang terdidik secara modern.1

Kesulitan yang dialami oleh orang Indonesia untuk membedakan antara

„intelligentsia‟ dan „intelektual‟ menjadi lebih parah lagi setelah populernya

istilah „cendekiawan‟. Menurut kamus bahasa Melayu sebelum abad ke-20 yang

disusun oleh R.J. Wilkinson, istilah „cendekiawan‟ secara etimologis berasal dari

bahasa Hindustan „chhandi-kya‟ atau „chandakiya‟ yang ketika diadopsi ke dalam

bahasa Melayu klasik (sebelum abad ke-20) memiliki arti „penipu‟ atau „pendaya‟

(orang yang licik). Kata ini misalnya dipakai dalam teks Melayu tradisional,

Hikayat Gul Bakuwali, dalam ungkapan-ungkapan seperti „chandakiya mana‟,

yang memiliki arti „sungguh seorang penipu‟ atau „sungguh seorang yang licik‟.

Sir Richard Winstedt juga mendeksripsikan kata chèndèkia dalam bahasa Melayu

sebagai bentuk ubahan dari kata chandakia yang bermakna penipu atau pendaya,

namun di daerah Melayu hal itu berarti „cherdek‟ (cerdik) atau „pintar‟.2

Dalam bahasa Indonesia, kata „tjendekia‟ muncul dalam kamus yang

disusun oleh W.J.S Poerwadarminta, yaitu Kamus Umum Bahasa Indonesia

(1951), kata tersebut berarti berakal, pandai, tjerdik dan litjik, dan dalam kamus

susunan Sutan Mohammad Zain, yaitu Kamus Modern Bahasa Indonesia (1960),

disebutkan kata itu memiliki arti tjerdik. Lebih dari itu, Zain menyatakan bahwa

kata itu berkaitan dengan kata Tjanakja, yang merupakan mantan Perdana Menteri

dari sebuah Kerajaan di India pra-modern, yang terkenal karena kepintarannya

dalam beretorika. Yang terakhir, J. Gonda dalam karyanya Sanskrit in Indonesia

1 Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia

Abad Ke-20 (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2012), h. 33. 2 Ibid., h. 35.

Page 68: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

54

berargumen bahwa kata „cendekia‟ atau „candakiya‟ (dalam bahasa Melayu

klasik) merupakan turunan dari kata „canakya‟. Kata tersebut merujuk pada nama

dari seorang menteri dalam pemerintahan Candra Gupta di India (pada abad ke-4)

yang terkenal karena dia cerdik dan pintar dalam beretorika. Sebagai alternatif,

dia mengatakan kata „canakya‟ bisa juga merupakan turunan dari kata Hindi

„chandi‟ yang memiliki arti licik dan penipu. Sehingga, dalam dunia

Minangkabau, kata itu telah dipakai untuk menyebut seseorang yang sangat cerdik

ataupun licik.3

Pada tahun 1960-an, istilah “cendekiawan” mulai memiliki konotasi

politik bersinonim dengan konsep „intelektual‟ atau „inteligensia‟. Hal ini terlihat

dari berdirinya sebuah perhimpunan intelektual Organisasi Tjendekiawan

Indonesia (OTI) pada awal tahun 1965. Tidak lama kemudian majalah perjuangan

milik Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI) Cabang Bandung yaitu

Tjendekiawan Berdjuang terbit pada tahun 1966. Pada tahun 1970-an, istilah

tersebut dipergunakan secara regular dalam wacana publik Indonesia sebagai

dampak dari kebijakan Orde Baru untuk menggantikan kata-kata dan istilah-

istilah dari Barat dengan kata-kata dan istilah-istilah Indonesia. Pada 29 Maret

sampai 2 April 1979, berlangsung sebuah seminar di Manado mengenai ‘Peranan

dan Tanggung Jawab Cendekiawan dalam Pembangunan. Beberapa tahun

kemudian (November 1976), Prisma menerbitkan edisi khusus (No. 11) yang

berjudul „Cendekiawan‟. Dalam kedua kasus itu, istilah ‘cendekiawan’

dipergunakan untuk merujuk baik pada individu „intelektual‟ (yang mencakup

3 Ibid., h. 36.

Page 69: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

55

mulai dari ulama dan jenius lokal sampai dengan intelektual berpendidikan

modern) maupun pada representasi kolektif dari „intelligensia‟.

Sepanjang tahun 1980-an dan 1990-an, istilah ‘cendekiawan muslim’ telah

dipergunakan secara luas dalam wacana publik. Pengaitan cendekiawan dengan

kata sifat Muslim dalam rentang waktu tersebut mencerminkan semakin

berkembangnya pengaruh dari inteligensia Muslim sebagai akibat dari

meningkatnya jumlah sarjana Muslim, penemuan ruang komunikatif inteligensia

Muslim yang berpusat di masjid-masjid kampus universitas, berkembangnya

pengaruh para intelektual Muslim yang berlatar pendidikan universitas di Barat,

serta pendalaman akomodasi inteligensia Muslim ke dalam politik dan birokrasi

Orde Baru. Dalam konteks inilah, istilah cendekiawan terutama dipertautkan

dengan identitas-identitas kolektif particular yang berasal dari panggilan‟ historis

atau fungsi sosial tertentu (yang merupakan dasar bagi terbentuknya kolektivitas

intelektual).

Kata sifat „Muslim‟ sebagai suatu ikon dari suatu identitas atau tradisi

kolektif tertentu sering dihidupkan dalam perjuangan kuasa baik dalam poros

relasi negara-masyarakat maupun dalam perbenturan-perbenturan antar kelompok

dalam masyarakat. Berdirinya berbagai perhimpunan kaum terdidik Muslim

seperti JIB (1925), SIS (berdiri tahun 1934), GPII (berdiri tahun 1945), HMI

(berdiri tahun 1947), PII (berdiri tahun 1947), IPNU (berdiri tahun 1954), PMII

(berdiri tahun 1960), IMM (berdiri tahun 1964), Persami (berdiri tahun 1964),

ICMI (berdiri tahun 1990), dan KAMMI (berdiri tahun 1998) bisa dilihat sebagai

monumen-monumen dalam reproduksi tradisi-tradisi dan identitas-identitas

Page 70: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

56

kolektif inteligensia Muslim. Jelas bahwa kolektivitas dari orang-orang terdidik

Muslim dalam berbagai perhimpunan tersebut dan juga dalam banyak organisasi

kultural dan politik lainnya lebih baik dipahami sebagai kolektivitas dari

„inteligensia‟ dari pada sebagai kolektivitas dari „para intelektual‟. Meski

demikian, penting dicatat bahwa tidak ada kolektivitas tanpa para intelektual.4

B. Peran-Peran Strategis

Para elite Orde Baru menyadari bahwa pilihan terhadap modernisasi akan

membawa pengaruh tersendiri. Preferensi model pembangunan yang dipilih atas

dasar pengalaman negara-negara Barat itu, membawa konsekuensi bagi muculnya

proses transformasi kultural dan pembaruan sosial yang tidak selalu sejalan

dengan nilai-nilai yang sudah ada dan berkembang. Namun, pilihan ini tidak

hanya mendapat dukungan dari kalangan militer dan teknokrat yang

mengendalikan birokrasi, melainkan juga dari kalangan intelektual modernis

sekuler yang berada di luar birokrasi. Dukungan kelompok ini bisa dipahami,

mengingat kerinduan mereka akan munculnya suasana baru setelah sekian lama

kehidupan mereka terkadang terbelenggu oleh rezim Orde Lama. Selain itu, sejak

awal dekade 1960-an banyak kalangan intelektual Indonesia yang mulai akrab

dengan teori-teori modernisasi yang mereka kenal baik selama studi di negara-

negara Barat maupun dari bacaan-bacaan yang mereka peroleh.

Sebaliknya, di kalangan umat muslim Indonesia, modernisasi merupakan

persoalan yang relatif baru. Apalagi pada saat itu mereka dihadapkan pada

4 Ibid., h. 37-38.

Page 71: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

57

kenyataan bahwa modernisasi yang sudah menjadi pilihan pemerintah Orde Baru,

menempatkan preferensi ideologis yang nyata-nyata berkiblat pada Barat. Atau

menolak dengan konsekuensi kehilangan kesempatan untuk berpartisipasi secara

aktif dalam program pembangunan yang sudah mendapat dukungan luas dari

berbagai pihak, termasuk pihak-pihak di luar Islam. Dilema tersebut menimbulkan

perbedaan di kalangan Islam dalam menanggapi modernisasi, yang secara garis

besarnya dapat dikemukakan dalam beberapa pola.5

Dimensi terpenting dari kebijakan Orde Baru adalah komitmen mereka

terhadap modernisasi. Pada dasarnya komitmen pada modernisasi ini disamping

merupakan pilihan yang dianggap strategis, juga sengaja dirancang untuk

mendapatkan dukungan dan legitimasi rakyat. Selain itu juga dijadikan sebagai

upaya untuk menarik dukungan negara-negara Barat atau investor asing untuk

bisa memberikan bantuan bagi pelaksanaan pembangunan di masa-masa awal

Orde Baru. Belajar dari kegagalan Orde Lama yang sangat mengutamakan

orientasi ideologis bagi pembangunan, Orde Baru menempuh pendekatan yang

berorientasi pada program. Ketidakstabilan politik yang menyebabkan kehancuran

ekonomi di masa rezim Orde Lama, dianggap sebagai dampak dari pertentangan

ideologis yang lahir dari kebijakan “politik sebagai panglima”. Akibatnya semua

aspek non politik seperti pembangunan ekonomi, industrialisasi, atau pemenuhan

kebutuhan dasar rakyat terabaikan.6

5 M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Inteligensia, dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah

Cendekiawan Muslim (Bandung: Mizan, 1993), h. 381-382. 6 Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran

Islam Indonesia Masa Orde Baru (Bandung: Mizan, 1986), h. 249. Lihat juga Mohtar Mas‟oed,

Op. Cit., h. 47-48.

Page 72: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

58

Untuk itu pemerintah Orde Baru berusaha meyakinkan rakyat dan para

pendukungnya, bahwa masa depan Indonesia haruslah bebas dari politik yang

didasarkan pada ideologi. Konflik ideologi dianggap sebagai warisan masa lalu

yang harus disingkirkan. Sebagai gantinya, aparat birokrasi dan intelektual yang

mendukung Orde Baru mengajukan argument tentang perlunya pembentukan

suatu masyarakat yang bebas dari konflik ideologis dan memprioritaskan

pembangunan ekonomi yang berorientasi keluar.

Argumen ini mendapat sambutan hangat di kalangan kaum intelektual,

yang memang sudah sejak lama menghendaki terwujudnya pembaharuan sistem

politik setelah demokrasi terbelenggu oleh rezim lama. Sambutan positif terutama

datang dari kaum intelektual yang memberikan apresiasi terhadap implementasi

nilai-nilai modernitas yang sekuler di Indonesia, seperti: pragmatisme,

rasionalisme, dan internasionalisme. Mereka ini, kalaulah tidak semua, banyak di

antaranya mempunyai ideologi kepada Partai Sosialis Indonesia (PSI). Walau PSI

dibubarkan oleh rezim Soekarno pada tahun 1960, pengaruh kelompok apresiatif

terhadap nilai-nilai modernitas yang sekuler itu cukup luas, khususnya di

kalangan intelektual dan kelompok mahasiswa tertentu di Jakarta dan Bandung

pada tahun 1960-an.7

Sebenarnya kemunculan kelompok intelektual apresiatif terhadap nilai-

nilai modern yang sekuler itu banyak dipengaruhi oleh pemikiran sosialis eropa.

Dalam dasawarsa 1950-an dan awal 960-an, kaum intelektual tersebut secara

informal mengelompok di sekitar pemimpin-pemimpin yang oleh Herbert Feith

7 Mohtar Mas‟oed, Op. Cit., h. 132.

Page 73: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

59

disebut bertipe “administrator”,8 seperti Mohammad Hatta, Sultan Hamengku

Buwono IX, Sutan Sjahrir, dan lain-lain. Tetapi artikulasi paling menonjol dari

intelektual ini ada di lingkungan PSI. Sebab partai ini, meskipun sedikit jumlah

anggotanya, namun merupakan satu-satunya partai yang mana kaum intelektual

beraliran liberal aktif melibatkan diri dalam pertukaran gagasan dan literatur

tentang masalah-masalah kontemporer.9 Di antara berbagai pandangan ideologis

selama dekade 1940-an dan 1950-an yang relevan dengan masa awal Orde Baru

adalah apa yang dikemukakan oleh pemimpin sosialis Sutan Sjahrir. Menurut

Sjahrir, tujuan akhir Indonesia adalah:

Menciptakan suatu ekonomi berdasar industri, suatu masyarakat

egalitarian, dan suatu negara kesejahteraan yang aktif berdasarkan prinsip-

prinsip demoratis. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan dukungan dan

kerjasama dengan Barat yang telah berpengalaman dalam mencapai

kemajuan industri.10

Seorang tokoh sosialis lainnya, Soedjatmoko, dalam perspektif lain

menganalisis perkembangan masyarakat Indonesia dekade 1950-an yang penuh

dengan pertentangan politik. Dalam sebuah artikel yang dimuat dalam majalah

Konfrontasi tahun 1953, Soedjatmoko mengkritik bahwa pemimpin-pemimpin

politik lama yang terlalu terlibat dalam percaturan politik yang jauh dari

kepentingan rakyat. Mereka ini menjadi sumber dari kelumpuhan gerakan rakyat

dan menghambur-hamburkan tenaga nasional melalui konflik antar ideologi dan

aliran politik. Sementara pengabdian daerah telah menimbulkan berbagai masalah

8 Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Itacha and

London: Cornell University Press, 1962), h. 113-122. 9 Hal ini dijelaskan dalam M. Syafi‟I Anwar, “Hubungan Cendekiawan Muslim dan

Birokrasi Orde Baru: Studi tentang Pemikiran dan Perilaku Politik Cendekiawan Muslim dalam

Orde Baru 1966-1993” (Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia,

1994), h. 63. 10

Mohtar Mas‟oed, Op. Cit., h. 134.

Page 74: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

60

yang juga terlihat di lapangan kebudayaan dan mengancam persatuan Indonesia.

Dalam hal ini Soedjatmoko berkata:

Lukisan seluruhnya adalah suatu lukisan yang menunjukkan terhentinya

perkembangan nasional, kebuntuan, tiada bertujuan, perpecahan, serta

disintegrasi masyarakat11

Oleh karena itu ketika Orde Baru muncul dengan melakukan

pembaharuan-pembaharuan politik dan ekonomi, Soedjatmoko termasuk di antara

tokoh yang sangat optimis. Dalam suatu pertemuan internasional untuk Dyason

Memorial Lectures di Australia tahun 1967, Soedjatmoko menyampaikan

ceramah yang kemudian menjadi sangat terkenal, “Indonesia: Problems and

Opportunities”.12

Dalam analisisnya yang mendalam, Soedjatmoko menguraikan

dinamika dan perkembangan politik Indonesia modern, perlu dilihat dua aliran

utama tradisi kebudayaan yang menjadi akar-akarnya yakni Jawa dan Islam, serta

pertemuan dan pergumulannya dengan aliran dan ideologi-ideologi modern

lainnya seperti nasionalisme, sosialisme, internasionalisme, demokrasi dan

sebagainya.13

Di bidang ekonomi, pemikiran W. W. Rostow juga berpengaruh di

kalangan intelektual pendukung Orde Baru, khususnya para ekonom. Lewat

karyanya The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto, Rostow

menguraikan tahap-tahap pertumbuhan ekonomi negara-negara Eropa dan

Amerika dalam beberapa tahapan yakni: tahapan masyarakat tradisional

11

Soedjatmoko, “Perlunya Penyesuaian Kreatif”, dalam Herbert Feith dan Lance Castles,

ed., Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, terj. Min Yubhaar (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 243. 12 Sodjatmoko, “Indonesia: Problems and Opportunities”, Australian Outlook, Vol. 21

Number 3, December, 1967, h. 263-286. 13

Dijelaskan dalam M. Syafi‟I Anwar, “Hubungan Cendekiawan Muslim dan Birokrasi

Orde Baru: Studi tentang Pemikiran dan Perilaku Politik Cendekiawan Muslim dalam Orde Baru

1966-1993” (Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 1994), h. 64.

Page 75: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

61

(traditional society), tahapan pra-kondisi untuk tinggal landas (the pre-conditions

for take off), dan akhirnya tahapan lepas landas (the take-off).14

Meskipun Rostow

menguraikan pengalaman empiris pembangunan ekonomi negara-negara Eropa

Barat dan Amerika, pandangannya itu banyak ditransformasikan oleh kaum

intelektual dan para pengambil kebijakan di negara-negara sedang berkembang

yang sedang melaksanakan program pembangunan, termasuk Indonesia.

Sebenarnya jika dilihat dari segi sosio-historis, persoalan modernisasi

yang mencuat di Indonesia dalam dasawarsa tahun 1960-an merupakan tema baru

dalam konteks perubahan-perubahan sosial politik di Indonesia. Masyarakat dan

pemerintah di negara-negara lain, terutama di Asia Tenggara, sudah lebih dahulu

berkenalan dan menerimanya. Dengan demikian, pada dasarnya Indonesia bisa

disebut sebagai “penumpang gerbong terakhir” di kawasan ini dalam tema

modernisasi. Tema ini dipilih sebagai alternatif terhadap tema “revolusi” yang

dianut oleh Orde Lama. Kaum intelektual dan elite Orde Baru waktu itu setidak-

tidaknya memang sulit untuk menemukan pilihan lain selain modernisasi,

walaupun mereka akhirnya menyadari bahwa hal itu akan membawa persoalan-

persoalan baru jika dihadapkan pada tradisi, nasionalisme, dan paham keagamaan

yang dominan di Indonesia.15

Dengan cara pandang seperti itu, Orde Baru secara sadar mengajukan

preferensi model pembangunan seperti yang dialami oleh negara-negara Barat.

14

W. W. Rostow, The Stages of Economic Growth, 2nd

edition (Cambridge: Cambridge

University Press, 1977), h. 4-7, seperti dikutip Manuel B. Garcia, Sosiology of Development:

Perspectives and Issue (Manila: National Book Store, Inc, 1985), h. 18-20. 15

M. Dawam Rahardjo, “Islam dan Modernisasi: Catatan atas Paham Sekulerisasi

Nurcholis Madjid”, kata pengantar untuk buku Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan, dan

Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1987), h. 15-16.

Page 76: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

62

Melihat pengalaman-pengalaman empiris dan keberhasilan negara-negara maju,

pemerintah Orde Baru sulit mencari alternatif lain untuk mengakselerasikan

pembangunan selain modernisasi. Apalagi pilihan ini juga berhasil mengundang

dukungan negara-negara Barat terhadap kebijakan pembangunan di Indonesia,

antara lain melalui pinjaman-pinjaman keuangan untuk pembiayaan

pembangunan.16

C. Peran Cendekiawan Muslim sebagai Kontributor Prisma dalam

Dinamika Orde Baru

Para kontributor memilih untuk menjadikan Prisma sebagai media

alternatif, yang mana tidak semata-mata mencari dan mengolah koalisi baru,

namun juga tidak memisahkan diri dari koalisi lama, dan karena itu membangun

konflik di sana-sini dan dengan itu memaksakan suatu keseimbangan baru. Dalam

hal itu ekonomi politik mereka juga memihak pada upaya untuk menjelaskan

bagaimana seseorang atau kelompok bahkan negara Orde Baru memproduksi dan

memupuk kekayaan, kapan, sambil mengabaikan mengapa dan siapa yang

menjadi korban. Kapitalisme Indonesia sedang bergerak ke arah yang tidak

pernah terjadi sebelumnya. Masuknya militer di dalam bisnis sudah menjadi suatu

gejala yang hampir tidak terkendalikan. Pada tingkat tertinggi perusahaan-

perusahaan besar seperti perusahaan minyak, perusahaan yang bergerak di bidang

distribusi pangan, dan perdagangan berada di tangan militer. Dalam bidang

perminyakan penguasaan terutama adalah pada Pertamina yang menjadi sapi

16

Ibid, h. 75.

Page 77: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

63

perahan paling utama yang sama sekali tidak berada di dalam kontrol dewan

perwakilan. Kemenangannya di bidang politik dipakai Soeharto untuk

membangun kerajaan bisnisnya sendiri.17

Arus informasi merupakan hal yang sangat penting dalam berjalannya

suatu negara. Media massa mempunyai peran yang sangat vital sebagai alat

penyebarluasan berita dan juga sebagai kontrol sosial, baik pada pemerintah

maupun pada masyarakat itu sendiri. Kedua fungsi tersebut, terkadang

memberikan banyak masalah bagi pemerintah. Kritik publik yang tajam seringkali

dianggap dapat mengganggu stabilitas jalannya pemerintahan.

Hal tersebut terjadi hampir seluruh periode sejarah Indonesia sejak bangsa

ini mengenal media massa. Hal yang sama berlaku juga pada pemerintahan Orde

Baru. Menyadari peran penting pers, pada masa awal pemerintahan, Orde Baru

membentuk Dewan Pers. Pembentukan maupun peran lembaga tersebut diatur

dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1966.18

Saat itu hubungan antara penguasa

Orde Baru dengan pers masih terlihat harmonis, dalam arti pemerintah Orde Baru

masih membutuhkan peran besar pers dalam menyebarkan propaganda anti Orde

Lama19

dan komunis.20

17

Hal ini dijelaskan oleh Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia, (Itacha and

London: Cornell University Press, 1978), h. 273. 18

Abdurrachman Surjomohardjo, dkk., Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di

Indonesia (Jakarta: Kompas, 2002), h. 375-383. Pada buku ini ketentuan mengenai Dewan Pers

terdapat pada UU No. 11/ 1966, Bab III. Pada pasal-pasal lainnya juga diatur mengenai

kewenangan dan peran Dewan Pers, posisi lembaga tersebut terhadap pemerintah. Biasanya

ketentuan-ketentuan yang belum diatur dalam undang-undang tersebut akan dibuat oleh Dewan

Pers bekerjasama dengan pemerintah. 19

Orde Lama adalah sebutan pemerintah Orde Baru untuk pemerintahan Demokrasi

Terpimpin, akan tetapi penulisan selanjutnya pada skripsi ini akan tetap ditulis Orde Lama. 20

Ahmad Zaini Abrar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia (Jakarta: LKiS, 1995), h. 65-68.

Page 78: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

64

Lembaga yang terdiri dari berbagai tokoh pers, para ahli dan juga tokoh

masyarakat ini berfungsi sebagai pembuat aturan-aturan yang berkaitan dengan

pemberitaan.21

Dewan Pers terdiri atas perwakilan dari berbagai lembaga pers

seperti PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan SPS (Serikat Penerbit

Suratkabar). Selain itu, terdapat wakil-wakil dari kalangan pemerintahan dan

sejak 1984 ditambah anggota dari berbagai ahli di bidang pers dan akademisi.

Dewan Pers berwenang dalam menentukan batasan-batasan dalam

lingkungan pers. Biasanya wewenang itu disebut self regulation (pembatasan

terhadap diri sendiri). Dalam praktiknya di Indonesia, intervensi pemerintah

menjadi tidak terhindarkan, self regulation menjadi anjuran untuk self

censorship.22

Semua itu karena kepentingan propaganda pemerintah sangat

berkaitan dengan fungsi media massa. Sebenarnya konsep dewan pers bersifat

independen, karena pers itu sendiri seharusnya independen terhadap pemerintah.23

Wewenang Dewan Pers dalam membuat peraturan-peraturan, rancangan

perundang-undangan, dan juga kode etik jurnalistik cukup besar. Pemerintah

merasa perlu membentuk dan mengintervensi langsung ke dalam lembaga ini.

Apa yang dibuat oleh Dewan Pers dianggap sebagai persetujuan dari seluruh

kalangan pers. Dan peraturan yang dibuat dianggap sebagai hasil yang diperoleh

dengan perundingan di kalangan pers sendiri dengan elemen masyarakat lainnya,

21

Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila (Jakarta: PT.

Inti Dayu Pers, 1988), h. 176. 22

Yasuo Hanazaki, Pers Terjebak (Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 1998), h. 43-44. 23

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 05 Tahun 1967 tentang Dewan

Pers pun mengatur keindependenan dari Dewan Pers. Pasal 4 Peraturan Pemerintah tersebut yang

mengatur tentang status Dewan Pers menyebutkan, “Dewan Pers adalah suatu lembaga di dalam

lingkungan Departemen Penerangan yang berstatus otonom di dalam operasinya dan beruang

lingkup nasional.

Page 79: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

65

jadi harus dipatuhi oleh mereka yang membuatnya dalam konteks ini adalah

lembaga penerbitan pers.

Sebenarnya terjadi pertentangan konsep antara pemerintah dengan

kalangan pers tentang bagaimana seharusnya Dewan Pers berfungsi. Pemerintah

Orde Baru tentu memiliki konsep tersendiri tentang fungsi Dewan Pers yang

disesuaikan dengan kepentingan politik mereka. Sedangkan kalangan pers

mempunyai perspektif tersendiri mengenai fungsi lembaga ini yaitu dengan

lembaga yang dapat mengembangkan kualitas pers dan dapat menjadi

penghubung jika terjadi perselisihan di antara pemerintah dan pers. Posisi Dewan

Pers menjadi sangat penting karena Pemerintah Orde Baru membutuhkan alat

untuk mengendalikan pers.

Peristiwa G30S telah dijadikan momentum untuk terjadinya pergantian

kekuasaan. Selanjutnya pada tahun 1966 mengawali suatu perubahan dalam

sejarah pers Indonesia. Peralihan dalam dunia politik itu pun pada akhirnya akan

mempengaruhi perubahan sifat pers dari masa pemerintahan Soekarno ke

pemerintahan Soeharto. Sejak tahun 1965, Soeharto mulai membangun dasar-

dasar bagi kekuatan politiknya, dan pers termasuk salah satu unsur dalam

pembangunan kekuatan politik tersebut. Jadi pemerintah Orde Baru (Soeharto)

memiliki kepentingan yang sangat besar terhadap pers untuk memperoleh

dukungan dari masyarakat. David T. Hill yang mengutip Ariel Haryanto

menuliskan bahwa:

The mass media, including press and the electronic media, have been

the most important area of maintenance and reproduction of the New

Order‟s legitimation… Understandably, the Indonesian press has

Page 80: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

66

been an institution of cultural practice that went through the most

severe and most frequent blow of the (New Order) State.24

Peralihan dari Soekarno ke Soeharto dilakukan secara bertahap. Hal

tersebut dilakukan karena di dalam tubuh militer masih banyak kelompok yang

mendukung Soekarno. Di samping itu Soeharto juga berhati-hati untuk tidak

menonjolkan kekuasaan militer yang otoriter, dalam arti ia tidak ingin

menganggap konflik fisik yang frontal dan besar-besaran yang dilakukan adalah

solusi untuk menyingkirkan unsur-unsur pendukung Soekarno dalam militer. Ia

lebih memilih untuk menggunakan prinsip “alon-alon sing penting klakon”

(lambat asal tujuan terlaksana) untuk secara perlahan menguatkan kedudukannya

di kalangan militer.25

Pada masa konsolidasi kekuasaan, Soeharto lebih

memfokuskan tindakan politik pada kalangan militer.26

Dalam masa tersebut

pemerintah menjadi cenderung untuk tidak represif dengan pers yang merupakan

kekuatan dari kalangan sipil. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, sikap

itu pun akan berubah sesuai dengan keadaan yang kemudian berkembang.

Dari segi strategi konsolidasi di bidang pers, Soeharto membredel berbagai

surat kabar yang dianggap pendukung komunis dan Orde Lama. Hal tersebut

sudah dilakukan sejak 1 Oktober 1965, Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah,

selaku Panglima Daerah Militer Jakarta Raya, melarang semua penerbitan tanpa

izin khusus, kecuali Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata. Maka sejak Oktober

1965 tersebut aksi pembersihan terhadap surat kabar komunis dan pro-Orde Lama

24

David T. Hill, The Press in New Order Indonesia (Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan,

1995), h. 35. 25

Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan,

1999), h. 248-249. 26

Ibid, h. 255-272.

Page 81: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

67

mulai terjadi.27

Sejak terjadinya peristiwa 30 September, dikeluarkan juga suatu

mekanisme perizinan lain yang dikenal sebagai Surat Izin Cetak (SIC) yang

dikeluarkan oleh Pelaksana Khusus Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan

Ketertiban Daerah (Laksus Kopkamtibda).28

Selain itu beberapa surat kabar yang

pernah dilarang terbit oleh Pemerintah Orde Lama pun diterbitkan kembali.

Berbagai surat kabar tersebut antara lain Indonesia Raya, Merdeka, dan

Pedoman.29

Suara-suara (surat kabar) pendukung Orde Lama dibungkam dan

suara-suara yang anti Orde Lama semakin diberi jalan untuk menjalankan

penerbitan. Dapat terlihat bahwa pada 1965, berdasarkan izin baru yang

dikeluarkan, terdapat 31 penerbitan. Angka tersebut semakin bertambah pada

1966 sebanyak 502 penerbitan. Sedangkan pada 1967 tidak sebanyak tahun

sebelumnya yaitu 91 penerbitan baru.30

Meskipun begitu sikap semua surat kabar tersebut tidaklah sama. Secara

lebih khusus lagi Abar mengutip Judith B. Agassi yang melakukan

pengelompokkan terhadap berbagai penerbitan dengan berdasarkan “peta

ideologi” pers pada periode awal kebangkitan Orde Baru.31

Akan tetapi

27

Tribuana Said, Op. it., h. 161 28

Abdurrachman Surjomihardjo, Op. Cit., h. 185. Jadi pada masa Orde Baru berlaku dua

macam surat izin, yaitu SIT yang dikeluarkan oleh Departemen Penerangan, dan SIC yang

dikeluarkan oleh Laksus Kopkamtibda. Khusus untuk SIC dihapuskan pada 3 Mei 1977. 29

Yazou Hanazaki, Pers Terjebak (Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 1998), h. 19. 30

Soebagio I. N, Sejarah Pers Indonesia (Jakarta: Dewan Pers, 1977), h. 159. 31

Pembagian tersebut antara lain, pertama Pers Militer, yaitu: Berta Yudha, Angkatan

Bersenjata, Ampera, Api Pancasila, Pelopor Baru, dan Warta Harian. Yang kedua adalah Pers

Nasionalis (memiliki hubungan dengan PNI) antara lain Suluh Marhaen dan El-Bahar. Ketiga

adalah Pers Kelompok Intelektual, yaitu Harian Kami, Nusantara, Indonesia Raya, dan Pedoman.

Yang keempat adalah Pers Kelompok Muslim yaitu Duta Masyarakat, Angkatan Baru,

Mercusuar, dan Abadi. Kelima, dari Kelompok Kristen yaitu Harian Kompas (Katolik) dan Sinar

Harapan (Protestan). Yang terakhir dalam klasifikasi adalah Kelompok Independen yaitu

Merdeka, Jakarta Times, serta Revolusioner. Ahmad Zaini Abrar, Op. Cit., h. 57-58.

Page 82: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

68

pengelompokkan tersebut bukanlah hal yang mutlak, sifat suatu surat kabar bisa

saja berubah sesuai dengan tuntutan zaman.32

Setelah pengaruh komunis dan Orde Lama sudah mulai terkikis, pola

pemberitaan pers menjadi lebih kritis terhadap pemerintahan Orde Baru. Memang

hal tersebut tidak dapat digeneralisasikan. Tidak semua surat kabar yang hidup di

masa itu bersifat kritis terhadap pemerintah. Akan tetapi hal tersebut merupakan

sebuah gejala umum dari pers yang pada masa sebelumnya dikekang, dan pada

saat itu memperoleh “angin segar” dari pemerintah, maka terjadi euforia dalam

kebebasan berbicara. Mochtar Lubis, seorang tokoh pers yang terpandang saat itu

mengatakan bahwa masa tersebut adalah masa “bulan madu” antara pemerintah

dengan pers.33

Beberapa surat kabar yang cukup kritis pada masa itu adalah Indonesia

Raya, Kompas, Pedoman, Kami, Duta Masyarakat, Abadi dan lain-lain. Ada tiga

isu utama yang menjadi sorotan sampai pada awal 1970-an. Isu-isu tersebut antara

lain adalah kasus-kasus korupsi yang sudah tercium sejak awal pemerintahan

Orde Baru. Lalu persoalan penentuan kebijaksanaan politik ekonomi

pembangunan juga banyak dipermasalahkan. Isu pembangunan Taman Mini

Indonesia Indah juga mendapat banyak sorotan tajam dari media massa. Banyak

32

Omi Intan Naomi, Anjing Penjaga: Pers di Rumah Orde Baru (Depok: Gorong-gorong

Budaya dan Institut Arus Informasi, 1996), h. 81. 33

Sebagian besar tokoh pers lainnya pun berpendapat tidak jauh berbeda. Mereka antara

lain Rosihan Anwar, Suardi Tasrif, dan lain-lain.

Page 83: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

69

pemberitaan yang turut juga menggambarkan ketimpangan ekonomi yang terjadi

di Indonesia.34

Mulai tahun 1970-an kritik pers dianggap dapat menimbulkan

ketidakstabilan keamanan negara. Mulai saat itu pemerintah mulai melakukan

berbagai tindakan terhadap pers dan mencapai puncak pada tahun 1974. Pada

tahun inilah pola hubungan antara pers dengan pemerintah mulai berubah. Pada

tahun yang sama juga merupakan tonggak perubahan pola pemberitaan media

massa. Pers Indonesia pun akhirnya memasuki suatu masa peralihan menuju era

bisnis. Karena pemerintah mengekang pemberitaan-pemberitaan yang lebih

bersifat politis, pers lebih dapat berkembang dari segi bisnis dan bersikap hati-hati

terhadap isu-isu yang sensitif.

Secara garis besar kebijakan politik Orde Baru menitikberatkan pada

stabilitas nasional untuk pembangunan ekonomi. Hal tersebut berlaku sepanjang

periode Orde Baru. Pemerintah Orde Baru sejak awal berkeyakinan bahwa

pembangunan ekonomi merupakan prioritas utama dalam kehidupan nasional.

Pemikiran yang ada dalam kebijakan tersebut adalah dengan adanya ekonomi

yang berkembang dan maju maka rakyat Indonesia akan dijauhkan dari

kemiskinan dan keterbelakangan. Jika telah tercapai pembangunan ekonomi yang

maju maka ancaman dari bahaya komunisme dapat diatasi, karena kemiskinan

adalah bibit dari berkembangnya ajaran komunisme dalam masyarakat.

Pembangunan ekonomi hanya bisa dilaksanakan dengan baik jika telah ada

34

Akhmad Zaini Abrar, “Kebebasan Pers, Kekecewaan Masyarakat dan Keperkasaan

Negara (Studi Sejarah Pers Awal Orde Baru, 1966-1972)” Prisma No. 4, April 1974, LP3ES, h.

23-41.

Page 84: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

70

stabilitas nasional. Dan hal tersebut diciptakan dengan pendekatan keamanan yang

sangat ketat.35

Memang pembangunan yang dilaksanakan oleh Orde Baru sangat

bergantung pada investasi dari luar negeri.36

Tentunya para penanam modal

tersebut baru mau menginvestasikan modal mereka jika negara dalam keadaan

yang aman dan stabil. Pendekatan keamanan yang ketat diperlukan untuk

mencapai keadaan tersebut. Hal itu dapat dilihat dari terbentuknya lembaga-

lembaga represif seperti Opsus (Operasi Khusus) di bawah komando Ali

Moertopo sebagai Aspri (Asisten Pribadi)37

, Bakin (Badan Koordinasi Intelijen) di

bawah kontrol Angkatan Darat, Laksus/ Kopkamtib dan lain-lain. Lembaga-

lembaga tersebut digunakan oleh pemerintah untuk mereka yang kritis,

oposisionis, dan menentang.38

Kemudian yang menjadi ciri dari Orde Baru, dari

awal berdiri sampai setidaknya akhir 1980-an adalah dominannya peranan militer,

meskipun masih samar untuk dikatakan bahwa pemerintahan Orde Baru adalah

rezim militer.39

Selanjutnya secara singkat sifat-sifat lain dari pemerintahan Orde

Baru yang kemudian mempengaruhi kebijakan-kebijakannya adalah

antikomunisme, lembaga kepresidenan yang sangat dominan dibandingkan

35

Afan Gafar, Politik Indonesia: Transisi menuju Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1999), h. 148-149. 36

Mohtar Mas‟oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971 (Jakarta: LP3ES,

1989), h. 6. Lihat juga Mohtar Mas‟oed, Negara Kapital dan Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1999), h. 23-74. 37

Asisten Pribadi Presiden adalah semacam badan penasehat akan tetapi pada praktiknya

wewenang mereka meluas sehingga banyak menimbulkan tumpang tindih dengan kewenangan

jabatan yang lainnya. Dua tokohnya adalah Ali Moertopo yang menangani bidang politik, dan

Soedjono Hoemardani yang menangani bidang ekonomi. Lihat penjelasannya dalam Heru

Cahyono, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari ’74 (Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 1998), h. 36. 38

Gafar, Op. Cit., h. 149. 39

Untuk lebih jelasnya mengenai tipe pemerintahan Orde Baru dapat dilihat pada

Mas‟oed, 1989, Op. Cit., h. 4-19.

Page 85: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

71

lembaga tinggi negara lainnya, birokrasi sebagai instrument kekuasaan,

sentralisasi, penyakralan terhadap Pancasila dan UUD 1945 dan beberapa sifat

lainnya.40

Sifat-sifat politik dari Orde Baru tersebut juga banyak sekali

mempengaruhi kinerja maupun hasil-hasil keputusan Dewan Pers, atau bisa juga

dikatakan bahwa Dewan Pers menjadi bagian dari pelaksanaan kebijakan-

kebijakan politik tersebut ke dalam dunia pers. Meskipun begitu, tidak selalu

pengaruh represif dari pemerintahan Orde Baru mempengaruhi dunia pers. Pada

masa awal Orde Baru kalangan pers cukup mendapatkan angin dalam

menjalankan aktifitasnya, tentu saja yang antikomunis. Hal tersebut termasuk

dalam pembuatan Undang-Undang pokok Pers pertama yang dibuat oleh negara

Indonesia. Meskipun di dalamnya masih dimasuki oleh pasal-pasal yang

kemudian bisa dimanfaatkan untuk mengekang kehidupan pers.

Dalam rangka menyambut 17 Agustus 1977, Prisma menerbitkan suatu

nomor khusus yang diberi judul “Manusia dalam Kemelut Sejarah yang

membahas tokoh-tokoh besar dalam kekelaman sejarah Indonesia”. Pada saat itu

hampir segala bidang kehidupan ditentukan oleh negara dan dikuasai oleh

Departemen Penerangan, agama dikuasai Departemen Agama, dan daftar masih

bisa diteruskan. Suasana pengap tahun-tahun terakhir dasawarsa tujuh puluhan

lebih menggambarkan suatu paradoks yang sulit dipahami. Sirkulasi Prisma

berlipat ganda seperti tidak pernah terjadis ebelumnya, dan tidak pernah terjadi

dalam sejarah penerbitan suatu jurnal dimana jurnal dicetak lagi untuk kedua

40

Gafar, Op. Cit., h. 150. Lihat juga bab IV dari Mas‟oed, Op. Cit., h. 128-196.

Page 86: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

72

kalinya. Jumlah dua kali cetak itu menaikkan sirkulasi Prisma menjadi dua puluh

lima ribu eksemplar, sesuatu yang tidak pernah terulang lagi dalam sejarah

Prisma. Kemudian dicetak lagi dalam bentuk buku (Februari 1978) dan terjual di

pasar dengan sambutan yang boleh dibilang luar biasa, diulas dalam berbagai

surat kabar besar dan menjadi tajuk yang dibahas, bulan Februari 1979 dicetak

lagi untuk kedua kalinya.41

Dalam Prisma Nomor 8, Agustus 1977 itu seluruh nomor membahas dan

menilai kembali delapan tokoh: Soekarno, Soedirman, Sutan Sjahrir, Haji Agus

Salim, Tan Malaka, Kahar Muzakkar, Amir Sjarifudin, Rahmah El-Yunusiyyah.

Tiga tokoh yang dicetak miring (Soekarno, Tan Malaka, dan Amir Sjarifudin)

praktis tidak boleh dibicarakan secara terbuka pada masa Orde Baru pada tahun-

tahun tersebut. Soekarno karena “perannya” dalam peristiwa tanggal 1 Oktober

1966, yaitu percobaan “kudeta” terhadap pemerintahan Soekarno. Tan Malaka

dan Amir Sjarifudin jelas tidak boleh dibahas di depan publik karena mereka oleh

Orde Baru disisihkan karena mereka adalah “komunis”. Komunisme dan kaum

komunis “tidak boleh berperan” dalam membangkitkan nasionalisme dan

perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sjahrir dibebaskan oleh Orde Baru namun

peran PSI dalam pemberontaakan tidak terlalu meluangkan kemungkinan

membahasnya. Kahar Muzakkar adalah pemberontak Darul Islam, karena itu juga

tidak pernah dibahas secara publik. Pada saat itu Prisma boleh dikatakan

membuka belukar dan menyiangi lorong-lorong gelap penuh semak.42

41

Lihat Prisma No. 8, Agustus 1977. 42

Nomor tersebut meledak di pasar. Apalagi ketika nomor tersebut diulas oleh harian

Kompas maka untuk pertama kalinya dalam sejarah Prisma dan kelak baru disadari untuk pertama

kalinya dalam sejarah penerbitan jurnal dimana pun bahwa edisi tersebut dicetak ulang dalam

Page 87: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

73

Pada tanggal 2 Maret 1983, Departemen Penerangan Republik Indonesia

mengirim surat ditujukan kepada Pemimpin Umum Majalah Prisma berisi sebagai

berikut:

Setelah mengadakan penelitian terhadap beberapa penerbitan majalah

Prisma yang dikirimkan kepada Departemen Penerangan sebagai nomor

bukti penerbitan, kami temukan beberapa hal yang menurut penilaian kami

patut mendapat perhatian serius dari Saudara. Majalah Prisma dalam

rubric khusus “TOKOH” menonjolkan tokoh-tokoh yang perlu diketahui

antara lain: Mr. Amir Syarifuddin, Aidit dan Cornel Simanjuntak dan lain

sebagainya. Menurut penilaian kami penonjolan tokoh-tokoh tersebut

seolah-olah merupakan Perjuangan Politik Komunis untuk melakukan

penggalangan terhadap masyarakat melalui Majalah Prisma, agar dapat

menerima kembali kehadiran PKI dalam masyarakat atau usaha

menghidupkan kembali PKI di Indonesia. Adapun majalah prisma yang

dimaksud antara lain: 1) Prisma No. 2 Februari 1982, halaman 73-87

dengan judul “Cornel Simanjuntak Cahaya, Datanglah” yang ditulis oleh

Hersri S. 2) Prisma No. 5 Mei 1982, halaman 79-96 dengan judul “S.M.

Kartosuwiryo, Orang Seiring Bertukar Jalan” yang ditulis oleh Hersri S.

dan Joebar Ajoeb. 3) Prisma No. 7 Juli 1982, halaman 61-79 dengan judul

“Aidit dan Partai Pada Tahun 1950” yang ditulis oleh Jacques Leclerc. 4)

Prisma No. 9 September 1982, halaman 68-89 dengan judul “Oerip

Soemohardjo Kebungkaman Yang Ampuh” yang ditulis oleh S.I.

Poeradisastra. 5) Prisma No. 12 Desember 1982 halaman 53-73 yang

ditulis oleh Jacques Lecrerc.43

Surat yang ditandatangani Direktur Bina Kewartawanan Departemen

Penerangan Republik Indonesia, Drs. Daan S. Sahusilawane itu juga menyertakan

kalimat bahwa:

Pemuatan tulisan-tulisan tersebut bertentangan dengan Tap MPRS No.

XXV/MPRS/1966, Tap MPR No. V/MPR/1973 dan Tap MPRNo.

IX/MPR/1978 tentang “Pembubaran Partai Komunis Indonesia,

Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di seluruh Wilayah Negara

Republik Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan

atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxisme-

Leninisme.44

tempo seminggu atau dua minggu. Kelak nomor itu dicetak ulang dalam bentuk buku dan

mengalami cetakan ulang juga dalam bentuk buku. Inilah keberhasilan Prisma yang tidak pernah

bisa diulangi lagi. Lihat Daniel Dhakidae, Op. Cit., h. 478. 43

http://prismajurnal.com (diakses pada Minggu, 18 September 2016, pukul 20:30 WIB) 44

Daniel Dhakidae, Cendekiawan…, Op. Cit., h. 480.

Page 88: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

74

Dikaitkan dengan dengan Undang-Undang No. 21 Tahun 1982 tentang

perubahan Undang-Undang No. 11 tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan

Pokok Pers, tulisan-tulisan tersebut dapat ditafsirkan menjurus pada

penyebarluasan ajaran-ajaran komunis, yang dapat mengakibatkan satu langkah

pengambilan langkah penutupan terhadap penerbitan Saudara. Beberapa minggu

kemudian, 11 April 1983, Direktur LP3ES selaku pimpinan umum Prisma M.

Dawam Rahardjo, Pemimpin Redaksi Prisma Ismid Hadad, dan Ketua Dewan

Redaksi Prisma Daniel Dhakidae:

Diharapkan kedatangannya di Kantor Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Jalan

HR Rasuna Said No. 2 Kuningan, Jakarta Selatan, sehubungan dengan

artikel yang dimuat Majalah Prisma No. 2, 5, 7, 9 dan 12, dan lain-lain.45

Peringatan serupa kembali dilayangkan ke Prisma empat tahun kemudian.

Kali itu Departemen Penerangan Republik Indonesia mengatakan:

Setelah mengadakan penelitian terhadap isi jurnal PRISMA No. 6 Tahun

XVI edisi bulan Juni 1987 yang dikirimkan kepada Departemen

Penerangan sebagai nomor bukti, kami temukan beberapa tulisan atau

artikel khususnya yang menyoroti peranan angkatan muda yang menurut

kami patut mendapat perhatian serius dari Saudara.46

Surat tertanggal 21 Agustus 1987 itu menyimpulkan bahwa isi beberapa

tulisan dari jurnal Prisma No. 6 Tahun XVI, cenderung merupakan sebuah

pameran ilmu yang dapat menyesatkan dan membangkitkan keresahan

masyarakat. Prisma baik tersurat maupun tersirat mempunyai kecenderungan

untuk “menghasut” pemuda dan mahasiswa untuk bergerak mengubah sistem-

sistem politik dan kepemimpinan politik di Indonesia. Prisma secara tersirat

45

Ibid, h. 481. 46

Ibid, h. 482.

Page 89: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

75

mempunyai kecenderungan mengajak mahasiswa dan generasi muda untuk

bangkit menjadi satu-satunya oposisi yang ampuh dalam masyarakat. Prisma

mencoba membentuk opini publik di kalangan masyarakat, bahwa sistem politik

yang berlaku di Indonesia adalah teori politik Jawa yang berwujud dalam

kekuasaan pemimpin, sementara angkatan muda menjadi kekuatan pinggiran.

Majalah Prisma berusaha membentuk opini publik yang cenderung untuk

menyesatkan masyarakat pembaca untuk mempertentangkan peranan ABRI dan

lembaga-lembaga sipil di dalam menjalankan politik pemerintahan di Indonesia.

Surat yang ditandatangani Direktur Pembinaan Kewartawanan Direktorat

Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika Departemen Penerangan, Drs. Daan S.

Sahusilawane itu diakhiri dengan kalimat-kalimat sebagai berikut:

Sehubungan dengan tulisan-tulisan tersebut di atas, dan dalam rangka

pembinaan dan pengembangan pers yang bebas dan bertanggungjawab

yang kita junjung tinggi, maka dengan ini: 1. Kami berikan peringatan

pada majalah Prisma atas dimuatnya rangkaian tulisan tersebut. 2. Agar di

waktu yang akan datang majalah Prisma lebih berhati-hati dalam memuat

tulisan yang sifatnya menghasut dan mempertentangkan antara komponen-

komponen pendukung terlaksananya pembangunan nasional. 3. Diminta

agar peringatan ini mendapat perhatian yang sungguh-sungguh oleh

pimpinan Prisma untuk mencegah agar jangan sampai Pemerintah terpaksa

mengambil tindakan yang tidak kita ingini bersama.47

Sebagaimana diketahui, pada 20 September 1982, Orde Baru

mengesahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang perubahan atas

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan pokok pers.

Selain mengharuskan setiap penerbitan pers yang diselenggarakan oleh

perusahaan pers memerlukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), UU

tersebut juga mewajibkan perusahaan pers menyesuaikan bentuk, pimpinan dan

47

http://prismajurnal.com (diakses pada Minggu, 18 September 2016, pukul 20:30 WIB)

Page 90: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

76

susunan perusahaan, serta mendaftarkan perusahaan pers kepada pemerintah. Pada

31 Oktober 1984 pemerintah menghapus Surat Izin Terbit (SIT) dan

menggantinya dengan SIUPP.

Bulan berikutnya, Menteri Penerangan Harmoko menerbitkan Surat

Keputusan Menteri Penerangan No. 214A/Kep/Menpen/1984 tentang prosedur

dan persyaratan untuk mendapatkan SIUPP. Menindaklanjuti serangkaian regulasi

tersebut, LP3ES mendaftarkan Prisma ke Departemen Penerangan. Prisma

memperoleh SIUPP No.072/SK/Menpen/SIUPP/D.I/1986, tertanggal 4 Maret

1986. Sebelum itu, LP3ES telah mendirikan “Pustaka LP3ES Indonesia”. Tugas

utama unit usaha berbentuk perseroan terbatas di bawah payung Perhimpunan

LP3ES itu adalah mengelola Prisma.

Sejak pertengahan tahun 1980-an Prisma mulai mengalami penurunan

tiras jual seiring dengan ketidakaturan jadwal terbit dan munculnya pesaing dalam

bentuk amajalah sejenis. Antara tahun 1987-1990 misalnya, Prisma hanya mampu

terbit rata-rata delapan nomor per tahun. Tiras edar pun merosot cukup tajam

menjadi sekitar 4.000 eksemplar per edisi. LP3ES mencoba mengatasinya dengan

melakukan pembenahan di segala lini. Redaksi Prisma, terutama setelah tahun

1984, mulai diperkuat dengan beberapa tenaga baru berijazah S2 dan S3 seperti

Farchan Bulkin, Ignas Kleden, Sjahrir, Umar Juoro dan lain-lain. Sementara di

bidang usaha dan pemasaran, Prisma mulai melirik iklan pariwara sebagai sumber

pendapatan alternatif. Suplemen (pariwara) kali pertama muncul dalam Prisma

Maret 1986 dengan judul “Wajah Komputer Buatan Indonesia”. Dalam edisi Mei

1986, Prisma mengundang sejumlah perusahaan untuk bergabung dalam

Page 91: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

77

suplemen perumahan terkait dengan topik nomor tersebut. Suplemen berikutnya

umumnya mengetengahkan pariwara tunggal satu perusahaan, baik terkait

maupun tidak terkait dengan topik edisi bersangkutan. Suplemen-suplemen

tersebut cukup banyak membantu menghidupi Prisma di tengah tiras jualnya yang

menyusut.

Merosotnya sirkulasi yang terus berlanjut hingga awal tahun 1990-an

membuat pengasuh Prisma harus menata ulang majalah ini dengan maksud agar

dapat menarik pembaca sebanyak mungkin. Upaya tersebut dapat dipahami

mengingat masyarakat pembaca dihadapkan dengan begitu banyak bahan bacaan

alternatif dan sumber-sumber informasi dalam bentuk lain. Mulai nomor 1 Januari

1994. Tidak ditemukan lagi tema tunggal sebagai fokus edisi. Ada semacam

penganekaragaman topik dan rubrik-rubrik baru. Tata letak juga diubah. Kertas

Koran kembali dipakai sama seperti ketika Prisma terbit kali pertama, namun

format fisik tetap dipertahankan dengan lebar 17,5 cm dan panjangnya 25,5 cm

serta tebal 96 halaman. Prisma menanggalkan sampul muka berbentuk lingkaran

yang selama ini menjadi karakter khasnya dan berganti rupa dengan gambar

ilustrasi full-colour di dalam ruang persegi empat. Sampul muka itu juga

menyertakan judul artikel dan nama penulis edisi bersangkutan.

Namun semua upaya tersebut tidak berhasil menaikkan sirkulasi dan

mengangkat kembali Prisma menjadi bacaan yang laris dan dicari. Tiras jualnya

terus merosot. Ada keyakinan bahwa pembaca Prisma akan bertambah karena

semakin banyak orang terpelajar. Namun, majalah ini tetap sulit menarik

perhatian mereka. Prisma semakin jarang muncul. Persaingan media pun kian

Page 92: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

78

sengit. Pembaca ingin mendapatkan informasi yang lebih ringkas dan instan.

Sementara itu, krisis ekonomi 1997 mulai melanda beberapa negeri di Asia.

Menghadapi situasi semacam itu, pustaka LP3ES Indonesia mengambil kebijakan

upaya “penyelamatan” sekaligus meninjau kembali penerbitan Prisma. Walaupun

kondisi pasar melesu dan biaya produksi cetak membumbung, pustaka LP3ES

Indonesia tetap berniat menerbitkan prisma bila ada dukungan sponsor. Namun,

rencana menerbitkan 6 nomor Prisma atas dasar sponsorship gagal diwujudkan.

Pada 1998 Prisma hanya berhasil terbit satu edisi dengan tiras jual sekitar 2.200

eksemplar.

Pada 1999, Pustaka LP3ES Indonesia mengambil keputusan menghentikan

sementara penerbitan Prisma, karena funding agency tak kunjung tiba.

Pengelolaan prisma akhirnya diserahkan kembali ke Perhimpunan LP3ES. Setelah

menghilang selama 10 tahun, prisma terbit kembali pada 17 Juni 2009.48

48

http://prismajurnal.com (diakses pada Minggu, 18 September 2016, pukul 20:45 WIB).

Page 93: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

79

BAB IV

KRITIK CENDEKIAWAN MUSLIM TERHADAP ORDE BARU

DALAM JURNAL PRISMA

A. Isu-isu ekonomi dalam Jurnal Prisma

Pembangunan ekonomi adalah pola kegiatan yang menggabungkan faktor-

faktor produksi untuk mencapai produk-produk ekonomi pada tingkat yang lebih

tinggi dan lebih luas dari tingkat produksi sebelumnya, agar memenuhi kebutuhan

hidup manusia yang semakin meningkat, karena dituntut oleh pertambahan

penduduk dan pertumbuhan nilai-nilai hidup yang selalu memperluas atau

mengubah wawasan kebutuhan manusia.1

Faktor-faktor produksi tersebut memerlukan infrastruktur kelembagaan

(baik pemerintah, organisasi perusahaan, koperasi, maupun perorangan) untuk

membina dan melakukan penggabungan tersebut (baik untuk memproduksi

maupun mendistribusikan, memerlukan sistem nilai dan pola perilaku (sikap dan

aturan permainan) yang menjiwai, mengarahkan dan mengatur kegiatan

kelembagaan-kelembagaan ekonomi tersebut, agar tercapai efisiensi

(pertumbuhan ekonomi masyarakat secara keseluruhan) maupun efektifitas

(peningkatan riil taraf hidup setiap anggota msyarakat). Struktur kelembagaan dan

1Prof. Dr. Emil Salim berpendapat bahwa sifat masyarakat selain tumbuh, juga

memerlukan kebutuhan yang lebih luas, tidak hanya kebutuhan material secara kuantitatif untuk

“mengisi perut dengan makanan”, tetapi juga “otak yang diisi dengan ilmu, hati diisi dengan

kekayaan rohani dan jiwa yang diisi dengan ideologi”. Semua kegiatan untuk memenuhi

kebutuhan tersebut memerlukan biaya, yang berasal dari pendapatan atau kekayaan masyarakat

dan pemerintah. Lihat Emil Salim, “Sistem Ekonomi Pancasila”, Prisma, Mei 1979, h. 1.

Page 94: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

80

sistem nilai atau perilaku yang mengatur kegiatan ekonomi dalam proses

pembangunan adalah sebenarnya yang disebut sistem ekonomi.2

Tetapi sistem ekonomi yang dikehendaki yaitu sistem ekonomi yang

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45 tidak dapat tercipta dalam

satu malam. Kebudayaan manusia dan sistem masyarakatnya terus berkembang

dalam tahap-tahap perjalanan sejarah suatu masyarakat mengalami pasang surut

dan yang sellau harus diperbaiki dari masa ke masa, untuk pada akhirnya tercapai

suatu sistem ekonomi yang dikehendaki.3 Berikut ini merupakan isu-isu yang

dimuat di dalam jurnal Prima yang penulis klasifikasikan berdasarkan isu dalam

negeri dan isu luar negeri.

1. Dalam Negeri

Dalam tulisan berjudul Kerangka Makro Repelita II: Beberapa

Permasalahannya, Suhadi Mangkusuwondo berupaya menjelaskan strategi dan

rencana pembangunan yang pada hakekatnya terdiri atas rencana tiap-tiap sektor

(pertanian, pertambangan, perindustrian dan lainnya) yang diprinci menjadi

rencana-rencana subsektor (pangan, perkebunan, perikanan, peternakan dan

sebagainya) dan akhirnya dituangkan dalam rencana tiap-tiap proyek dan sub-

proyek (proyek Jatiluhur, Karangkates, dan sebagainya). Hal ini diperlukan

2Prof. Dr. Emil Salim dalam karangan di Prisma tadi hanya menyebutkan struktur

kelembagaan sebagai sistem ekonomi. Klaau kita berbicara tentang Ekonomi Pancasila, maka

sistem nilai sangat perlu ditonjolkan sebagai suatu faktor yang eksplisit (bukan implisist) yang

bahkan menentukan struktur kelembagaan ekonomi. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45 pada

hakekatnya adalah suatu sistem nilai yang bersifat dasar dan mengikat. 3James M. Landis, The Administrative Process (New Haven: Yale University Press,

1938), h. 8. Emil Salim menyebut perubahan sistem ekonomi Indonesia seperti bandul yang

mengayun bolak-balik dari sistem liberal ke sistem komando, dan akhirnya mengarah ke posisi

keseimbangan atau campuran yang diidentifikasikan dengan Ekonomi Pancasila. Op. Cit., h. 5.

Apakah ini yang akhirnya disebut sebagai sistem yang stabil dan dinamis atau sistem perubahan

yang diterangkan di atas sebagai suatu proses evolusi.

Page 95: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

81

supaya terdapat target yang jelas dalam suatu pembangunan. Secara ideal

kerangka makro harus mencakup segala bidang, bukan saja produksi, konsumsi,

perdagangan, keuangan, dan sebagainya tetapi juga kelahiran, kematian dan

kesempatan kerja dan pembagian pendapatan. Hubungan antar berbagai macam

bidang juga sebaiknya dinyatakan secara kuantitatif dalam suatu model makro

ekonomi yang komprehensif.4

Kemudian dalam tulisan berjudul “Kebijaksanaan Makro Ekonomi di

Masa-masa Pertumbuhan Rendah: Penilaian dan Prospek” yang dimuat di dalam

jurnal Prisma No. 1 Tahun 1985 juga mengkritisi tentang pembangunan ekonomi

pada saat itu, disimpulkan bahwa kunci keberhasilan bagi pembangunan ekonomi

adalah efisiensi usaha pemerintah, swasta, dan masyarakat luas sebagai

konsumen. Ekonomi Indonesia sejak tahun 1982 mulai berubah dibandingkan

dengan masa-masa 1968 hingga 1981. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor.

Pertama adalah tingkat pertumbuhan yang rendah di masa 1982-1984

dibandingkan dengan masa 1968 hingga 1981, yang mana pada tahun-tahun

tersebut pertumbuhan yang diukur dari Produk Domestik Kotor (GDP) secara

rata-rata tumbuh sekitar 7%, maka pertumbuhan untuk 1982 adalah 2,2%, 1983

sebesar 4,2% dan 1984 sebesar 4,5%.5 Hal yang kedua dan berkaitan erat dengan

pertumbuhan adalah menurunnya penerimaan dari ekspor minyak bumi sejak

1982 tepatnya pada 1983, dibandingkan dengan pasangnya harga dan volume

ekspor minyak Indonesia yang menikmati boom minyak dalam dekade 1970-an,

khususnya karena melonjaknya harga minyak di tahun-tahun 1973/1974 dan

4 Prisma No. I Tahun Ke-2 (Februari 1973), h. 49-50.

5Angka-angka GDP berdasar harga konstan 1973. Untuk tahun 1984 IMF memperkirakan

pertumbuhan sebesar 4,9%.

Page 96: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

82

1979/1980.6 Hal yang ketiga dan ini berhubungan langsung dengan hal pertama

dan kedua adalah semakin disorotnya peranan pemerintah dalam perekonomian

nasional. Peranan pemerintah yang demikian besar, mencakup peranannya di

bidang anggaran, moneter perbankan, investasi, kebijaksanaan harga serta

peraturan dan perizinan. Pada umumnya pandangan masyarakat pada masa itu

adalah bahwa sejak tahun 1982 peranan anggaran (budgeter) dan investasi

pemerintah berkurang sementara peraturan dan perizinan dari berbagai lembaga

pemerintah dirasakan sebagai faktor penghambat serius bagi iklim usaha dan

investasi.7

Ketiga hal ini secara sendiri-sendiri dan bersama-sama menyebabkan

munculnya berbagai upaya penyesuaian dari kalangan masyarakat dalam rangka

pelaksanaan kegiatan dan usaha mereka. Pemerintah sendiri menunjukkan

penyesuaian ini dengan pembuatan target pertumbuhan rata-rata yang lebih

rendah (5%) untuk Pelita IV (1984-1985 sampai 1988/1989) dibandingkan dengan

masa sebelumnya (6,5% untuk Pelita III dan 7,5% untuk Pelita II). Situasi

pertumbuhan ekonomi yang rendah ini menyebabkan semakin disorotnya

kemampuan pemeritah dalam mengalokasikan sumber-sumber yang dikuasainya

sedemikian rupa sehingga dinilai sebagai efisien atau kurang efisien.8

6Kenaikan harga minyak 1973/1974 dan 1978/1979 yang luar biasa meningkatkan “term

of trade” negara-negara anggota OPEC, termasuk Indonesia. Dengan 1974 aebagai indeks terms of

trade = 100, maka terms of trade OPEC mencapai sekitar 175 di tahun 1981. Informasi ini

didapatkan dari World Financial Markets, Morgan Guaranty Trust Company of New York,

January 1985. 7Lihat tulisan Sjahrir “Kebijaksanaan Makro Ekonomi di Masa-masa Pertumbuhan

Rendah: Penilaian dan Prospek”, Prisma No. 1 (Januari, 1985), h. 3. 8 Ibid., h. 3-4.

Page 97: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

83

2. Luar Negeri

Dalam tulisannya berjudul “Kemana Harus Berpaling?” yang dimuat

dalam Prisma No. 1 Tahun 1985, Ismid Hadad mengungkapkan bahwa pada saat

memasuki Pelita IV, pemerintah dihadapkan pada suatu masalah bagaimana

mencari dana serta sumber-sumber pembiayaan pembangunan untuk

mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi yang cenderung terus merosot. Resesi

ekonomi dunia dan merosotnya harga minyak OPEC membawa dampak yang

berkelanjutan. Pada tahun 1983 pemerintah berusaha untuk membendung

gelombang krisis ekonomi yang lebih besar tersebut.9 Semakin merosotnya

penerimaan negara dari ekspor minyak dan gas bumi telah memperkecil volume

kenaikan APBN 1985/1986 dan membawa penurunan minat investor asing

maupun kemampuan investor domestik untuk menanam modal pada sektor-sektor

produktif di Indonesia.10

Kalau pada tahun 1967/1968, Indonesia bisa dengan mudah berpaling ke

sumber-sumber dana dan bantuan dari luar negeri, justru pada tahun 1985 ini

sumber-sumber dana dan modal asing itulah yang semakin langka, mahal dan sulit

diperoleh, sehingga segala daya dan upaya perlu lebih dicurahkan untuk menggali

dan memanfaatkan sumber-sumber daya di dalam negeri. Untuk menjawab

berbagai masalah ekonomi dan tantangan pembangunan pada awalnya sangat

mengandalkan kemampuan pemerintah melalui mekanisme APBN, dengan

9Sektor industri dan manufaktur pada tahun 1982/1983 sudah tidak mampu lagi

berkembang atau memberi sumbangan kenaikan Produk Domestik Kotor, beban hutang luar negeri

dan bunga pembayaran cicilan yang semakin meningkat sehingga semakin menguras cadangan

devisa yang terbatas. 10

Lihat Ismid Hadad dalam rubrik Topik Kita”Kemana Harus Berpaling?” Prisma No. 1,

Tahun XIV (Januari, 1985), h. 2.

Page 98: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

84

beralihnya tiang penyangga APBN dari migas ke sektor non-migas dan

penerimaan pajak, maka andalan kemampuan pun mulai bergeser ke dunia usaha

dan sektor masyarakat. Dan Apabila pada awal pemerintahan Orde Baru segala

perhatian dan upaya pembangunan bisa difokuskan pada sasaran stabilitas dan

pertumbuhan ekonomi, dalam pelita IV perhatian pemerintah terbagi pada

pemerataan dan keadilan sosial sebagai sasaran utama sementara peningkatan

pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional menjadi sasaran berikutnya.

Demikianlah, Ismid Hadad membayangkan kesuraman yang membayangi

perekonomian nasional, akhirnya disadari pentingnya peranan sektor swasta dan

masyarakat, hingga pemerintah berpaling kepada dunia usaha. Namun, dunia

usaha pun sedang dirundung malang, hingga tak akan mampu memikul sendiri

beban harapan tersebut. Tingkat bunga pinjaman dan kurs dolar AS yang tinggi,

daya beli yang rendah dan lesunya pasar, tingginya ongkos produksi dan beban

stok yang tak terjual, semuanya merupakan masalah berat yang dihadapi dunia

usaha pada saat itu. Namun yang terberat dari semua itu adalah dikenakannya

berbagai beban pajak yang merupakan pendapatan pemerintah mulai April 1985.

Bantuan luar negeri pun sulit diharap, kemampuan pemerintah terbatas, dunia

usaha di sektor formal juga dalam kesulitan.11

Selanjutnya dalam menentukan kebijaksanaan dalam pengambilan

keputusan tentang pembangunan ekonomi perlu menjadikan hukum sebagai dasar

untuk mengambil kebijakan dalam pembangunan ekonomi. Hal ini seperti yang

disampaikan oleh Ny. Sunaryati Hartono dalam tulisannya berjudul Fungsi

11

Lihat Prisma No. 1 Tahun 1985 dalam rubrik “Topik Kita”.

Page 99: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

85

Hukum, Pembangunan dan Penanaman Modal Asing. Dalam perencanaan

pembangunan, fungsi hukum mengalami perubahan. Apabila dalam masyarakat

agrarian hukum mempunyai fungsi untuk menjaga ketertiban dan keamanan,

maka dalam masyarakat industri lebih banyak diperlukan kaidah-kaidah hukum

dari pada di dalam masyarakat agraria. Oleh sebab itu maka dalam masyarakat

industri diperlukan berbagai peraturan yang mengatur segala tindakan

manusiasampai pada tahap detailnya demi kelancaran hidup masyarakat dan untuk

mencegah terjadinya hambatan atau ketidakadilan. Tanggung jawab pribadi dan

disiplin perseorangan menjadi lebih penting lagi dari pada di dalam masyarakat

agrarian. Oleh karenanya liberalism dan individualism tidak hanya menjadi

landasan industrialisasi, tetapi juga merupakan akibatnya.12

Perbedaan antara sistem hukum di dalam masyarakat agraria dan sistem

hukum dalam masyarakat industri sangat dirasakan misalnya oleh warga negara

Singapura pada tahun 1970-an, dalam waktu singkat (delapan tahun)

masyarakatnya berubah dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat industri.

Segala sesuatunya diatur oleh hukum sampai kepada larangan membuang punting

rokok di jalan raya atau penggunaan air yang tidak perlu.

Sebenarnya apabila dilihat jumlah investasi modal asing dan ekspor serta

impor, maka Jepang mempunyai angka-angka yang jauh lebih tinggi

dibandingkan dengan Amerika Serikat bila kita meninjau kaitannya dengan

ekonomi Indonesia.13

Dalam neraca modal dari neraca pembayaran luar negeri,

12

Prisma No. 3 Tahun ke-2 (Februari, 1973), h. 46.

13Menurut Toshihiko Kinoshita, Chief Representative, The Export-Import Bank of Japan

di Jakarta, ekspor Indonesia ke Jepang adalah 49,4% dari total ekspor (AS hanya 22,4%) dan

Page 100: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

86

pinjaman luar negeri juga semakin “seret” masuk, sedangkan arus investasi sulit

diharapkan untuk berlangsung seperti 1970-an. Seperti pepatah “dimana ada gula

di situ ada semut” dengan jelas menampakkan sosoknya di Indonesia, dilihat dari

kasus investasi asing yang masuk ke Indonesia. Sebagai contoh, investasi

langsung Jepang (investor terbesar pada saat itu) merosot drastis di tahun 1984

dan seorang bankir Jepang menilai bahwa kemerosotan bukan bersifat siklis tetapi

struktural sifatnya.14

Pada Tahun 1970-an, terutama ketika tingkat bunga masih rendah, banyak

negara mengambil hutang luar negeri yang relatif mungkin terlalu besar. Ada

kecenderungan, Dunia Ketiga mengambil hutang jangka panjang yang sekitar

80% diantaranya berasal dari swasta. Kini, tingginya tingkat bunga menyebabkan

angsuran dan bunga hutang itu semakin berat. Tawang Alun dalam tulisan ini

mengungkapkan bahwa hutang luar negeri Dunia Ketiga tersebut membengkak

lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan GDP maupun ekspor barang dan

jasanya. Diperkirakan sepanjang 1980-an ini Dunia Ketiga membuat penyesaian

yang diperlukan.15

impor dari Jepang ke Indonesia adalah 25,2% dari total impor (AS 16,1%). Kinoshita juga

mengolah data dari BKPM mengenai investasi asing yang disetujui secara total kumulatif dari

1969 hingga 1984. Investasi Jepang paling atas mencakup 33% dari total investasi, sedang

investasi AS hanya 8,2% (Angka-angka tersebut didapatkan dari penjelasan T. Kinoshita yang

disampaikannya pada seminar di LPEM-FEUI Salemba Raya No. 4 , Jakarta, 1985). 14

Hal ini dijelaskan dalam makalah terbatas dari Toshihiko Kinoshita, Chief

Representative, The Export Import Bank of Japan dalam Diskusi Terbatas di LPEM-FEUI, 20

Februari 1985, Indonesia Economy Now and Foreseeable Future, lihat Prisma No. 1

(Januari,1985), h. 15. 15

Lihat Tawang Alun, “Hutang Dunia Ketiga: Prospek dan Masalah”, Prisma No. 1

(Januari, 1985), h. 65.

Page 101: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

87

B. Bentuk Kritik Cendekiawan Muslim terhadap Pembangunan Ekonomi

Orde Baru

Pada masa Orde Baru khususnya dalam dekade 1980-an, tipologi atau

tipe-tipe pemikiran politik dari para cendekiawan Muslim Indonesia, merupakan

bagian yang tak terpisahkan dari pemikiran keislaman cendekiawan Muslim

secara keseluruhan.16

Di sisi lain mereka juga memiliki keterkaitan dengan

pemikiran politik Indonesia karena pemikiran politik cendekiawan Muslim

Indonesia, bukan semata-mata membahas persoalan-persoalan yang berkaitan

dengan teori-teori atau konseptualisasi Islam dalam bidang politik. Tetapi juga

berhubungan dengan analisis, respon, dan refleksi mereka terhadap peristiwa dan

permasalahan politik yang ada di Indonesia.17

Kemajuan ekonomi tercapai dalam kurun Orde Baru seperti dibangunnya

infrastruktur jalan, transportasi, telekomunikasi, serta institusi-institusi lain

termasuk institusi ekonomi.18

Kemajuan ekonomi pada saat itu ada namun

diburamkan dan dibuyarkan dnegan adanya praktik KKN (Korupsi, Kolusi dan

Nepotisme). Orde Baru yang didominasi oleh para militer menyebabkan

munculnya berbagai oknum yang tak bertanggungjawab, yang pada akhirnya

menyebabkan pembangunan ekonomi yang dicanangkan hanya menguntungkan

pejabat dan kroninya saja. Para cendekiawan Muslim pada masa itu cukup

16

Fachry Ali dan Bachtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam (Bandung: Mizan,

1986) 17

Mereka sering dimintai komentar atau tanggapan oleh media massa mengenai

persoalan-persoalan politik actual yang berkembang di masyarakat. Dengan kata lain, mereka

merupakan opinion marker. 18

Jakob Oetama, Pers Indonesia: Berkomunikasi dengan Masyarakat Tidak Tulus

(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001), h. 45.

Page 102: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

88

produktif dalam menuangkan gagasan dan pandangan politiknya yang tersebar

dalam bentuk buku, artikel, makalah, dan juga komentar di media massa.19

Prisma yang merupakan organ intelektual Orde Baru, memberikan isu-isu

yang segar dan amat kritis terhadap kinerja pemerintah. Dhaniel Dhakidae dalam

“Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru” mengatakan bahwa

Prisma memang sengaja didesain untuk golongan elite, yang mana Prisma itu

untuk mempengaruhi the mind of the elite. Elitisme Prisma tampak pada metode

yang dipilihnya. Yang mana Prisma mengambil model jurnal dengan titik berat

menjadi bejana penampung “pemikiran yang membara”. Prisma lebih menjadi

penampung dibandingkan menjadi titik tolak untuk menilai apa yang terjadi, baik

situasi ekonomi-politik Indonesia maupun basis teoritis yang memberikan

legitimasi kebijakan yang diambil. Inilah yang kemudian memberikan keuntungan

besar yaitu Prisma bisa dibaca posisi, pikiran, dan kemampuan cendekiawan

Indonesia.20

Format dalam bentuk jurnal dengan sendirinya hanya mengandalkan suatu

sektor tertentu yaitu sektor terdidik. Jenis bahan yang dipakai dengan sendirinya

menunjuk pada audiens terdidik. Para penulis yang memberikan kontribusi juga

sudah mendikte public jenis mana yang dikejar. Dengan begitu salah satu tujuan

Prisma adalah memberikan pemikiran-pemikiran alternatif tentang pembangunan

dan menjadi forum diskusi secara bebas dan kreatif.21

19

M. Syafi’I Anwar, “Hubungan Cendekiawan Muslim dan Birokrasi Orde Baru: Studi

tentang Pemikiran dan Perilaku Politik Cendekiawan Muslim dalam Orde Baru 1966-1993” (Tesis

S2, Program Pasca Sarjana, Bidang Ilmu Sosial, Universitas Indonesia, 1994), h. 223. 20

Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 451-452. 21

Ibid., h. 453.

Page 103: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

89

Tiga keperluan utama yang ingin dipenuhi jurnal Prisma adalah pertama,

untuk mengatasi sesuatu yang hanya berada dalam jangka pendek, sesaat, dan

lebih melihat persoalan dalam cakupan rencana masa depan Indonesia dari

pandangan yang mendalam. Kedua, pemikiran kontemplatif tidak untuk disimpan

akan tetapi disebarluaskan dan dengan itu diharapkan Prisma bukan saja bisa

menjadi forum diskusi secara bebas dan kreatif akan tetapi bisa menjadi forum itu

sendiri. Ketiga, tidak semua jenis pikiran bisa masuk dalam jurnal ini, maka dari

itu Prisma bermaksud menangkap dan menyeleksi pikiran-pikiran konstruktif atau

kontroversial dalam masyarakat serta membiaskannya kembali sebagai pancaran

pandangan-pandangan yang perlu ditimbang dalam pembangunan ekonomi,

perkembangan sosial dan perubahan-perubahan kultural yang dialami Indonesia.22

Prisma memang memang mengangkat topik-topik tentang

“pembangunan”, misalnya isu pembangunan daerah, pendidikan, olahraga

kesehatan masyarakat, perempuan, ekonomi pertanian, teknologi, industrialisasi,

dan lain-lain. Semuanya disajikan ke dalam bentuk karangan ilmiah populer atau

eksplorasi dan refleksi intelektual. Setiap nomor mengulas secara mendalam satu

tema tertentu dari berbagai sudut pandang. Siapa pun dapat menulis di Prisma

sejauh memenuhi kriteria keahlian tertentu.

Pemerintah Indonesia pada masa itu didominasi oleh militer. Militer dan

politik memiliki hubungan yang sangat erat. Dominasi ini nampaknya juga

membuat dampak yang sangat besar pada pola pemerintahan di Indonesia yang

berujung pada pengambilan kebijakan yang sesuai dengan porsi militer selaku

22

Ibid, hal. 453-454.

Page 104: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

90

aktor politik. Mereka mempunyai kekuasaan yang besar pada bagian-bagian vital

di pemerintahan sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil terkadang sesuai

dengan sifat yang ada pada diri militer. Dominasi militer memang sekilas memang

merupakan hal yang biasa, namun dampak yang ditimbulkan semakin menyeluruh

dan membuat pergerakan masyarakat sipil terbelenggu. Kurangnya kepedulian

masyarakat Indonesia terhadap sistem politik di Indonesia, ini merupakan salah

satu faktor yang membuat militer mudah masuk ke dalam dunia politik. Jelas,

peluang militer untuk mendominasi sipil semakin terlihat yang akhirnya

mendominasi selama Orde Baru. Hal inilah yang berimbas pada kebijakan-

kebijakan pada masa itu, terutama kebijakan politik ekonomi.23

Melihat fenomena tersebut, Prisma hadir melalui ulasannya yang amat

kritis, mencoba memberikan kritik terhadap pemerintah Orde Baru. Para

kontributor atau para penulis dalam Prisma adalah para cendekiawan Indonesia

yang berpikiran kritis dan tanggap atas berbagai permasalahan yang ada, baik itu

isu yang berhubungan dalam bidang sosial, budaya, politik dan ekonomi.

Cerita tentang pemerataan pembangunan hanya terbatas pada aspek-aspek

teknis tentang bagaimana menutupi luka yang sakit tanpa menghiraukan akar

masalah dari penyebabnya. Dengan demikian, panduan-panduan yang dikomando

oleh pemerintah adalah skema pertumbuhan ekonomi tanpa melihat resiko-resiko

ekonomi yang akan terjadi tanpa menghiraukan dampak negatif jika sasaran

tersebut menimbulkan resiko bagi perekonomian nasional dan masyarakat luas.

23

Hal ini dijelaskan oleh Oktania Tri Hastuti, “Problem Subjek Hegemoni dalam

Pemikiran Antonio Gramschi: Telaah Hegemoni Militer dalam Perpolitikan Indonesia” (Skripsi

S1, Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya, Universitas Indonesia,

2013), h. 1-2.

Page 105: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

91

Persoalan ekonomi tidak bisa disederhanakan seperti asumsi kebanyakan para

teknokrat. Sistem ekonomi tidak hanya dilihat dari dimensi kuantitas pertumbuhan

umum maupun sektoralnya. Aspek-aspek kualitas dari struktur dan ketahanan

ekonomi itu sendiri apabila dilihat secara lebih jernih sehingga dalam konteks

ekonomi politik, masalah pertumbuhan tidak bermanfaat cukup nyata dan adil

bagi masyarakat luas karena kesenjangan pendapatan antar golongan, kesenjangan

antar kawasan dan sektoral.24

Dalam salah satu ulasannya, Didik J. Rachbini (kontributor Prisma)

mengatakan bahwa pembangunan ekonomi sering kali memberikan kesan identik

dengan industrialisasi. Namun serangkaian kritik telah diajukan terhadap strategi

industrialisasi yang terlalu memusatkan pada industri besar, lalu muncul tuntutan

perlunya industri kecil. Menurut Didin S. Damanhuri, sistem sub-kontrak dapat

ditawarkan menajdi semacam penerobos untuk solusi dari kontroversi industri

besar versus industri kecil yang sering kali menjadi masalah dilematis bagi negara

berkembang.25

Analisa pembangunan ekonomi atau lebih dikenal sebagai

“Ekonomi Pembangunan” (Development Ecomomies) adalah suatu cabang ilmu

ekonomi yang bertujuan untuk menganalisa masalah yang dihadapi oleh negara-

negara berkembang dan mendapatkan cara-cara untuk mengatasi masalah-masalah

itu supaya negara-negara tersebut bisa lebih cepat lagi mencapai perkembangan

ekonominya.26

24

Didik J. Rachbini, Politik Ekonomi Baru Menuju Demokrasi Ekonomi, (Jakarta:

Grasindo, 2001), h. vi-viii. 25

Didin S. Damanhuri, “Sistem subkontrak dalam strategi Industrialisasi dan

Pembangunan Ekonomi: Sebuah Gambaran Awal”, Prisma, 5 Mei 1981, h. 42. 26

Sadono Sukirno, Ekonomi Pembangunan, Proses Masalah dan Dasar Kebijaksanaan

(Medan: Borta Gorat, 1978), h. 11-12.

Page 106: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

92

Karena masalah-masalah yang dihadapi oleh negara berkembang sangat

kompleks, tidak hanya yang bersifat ekonomi, namun juga berkaitan dengan

masalah sosial, politik, administrasi, dan lain sebagainya. Oleh karena itu

kebijaksanaan yang diambil dalam pembangunan ekonomi27

pun harus

mempertimbangkan faktor-faktor non-ekonomi.28

Pemahaman tentang pembangunan ekonomi, dihubungkan dengan

relevansinya dengan penerapan di negara-negara berkembang seperti Indonesia ini

telah mengalami perubahan. Fenomena ini misalnya terlihat dari perubahan

pengertian Pembangunan Ekonomi dari buku “Economic Development” karya

Charles Kidelberger dan Bruce Herric dari edisi pertama pada edisi terakhir

(ketiga).29

Kindelberger pada edisi pertama tidak membedakan makna dari

pertumbuhan (growth) dan pembangunan (development).30

Kindelberger

memberikan definisi secara lebih komprehensif dan fundamental, terutama bagi

negara-negara berkembang tentang pembangunan ekonomi (economic

development) yaitu sebagai upaya untuk: a. perbaikan dalam kesejahteraan

material, terutama untuk orang-orang yang berpenghasilan rendah; b.

27

Pembangunan ekonomi kita bedakan pengertiannya dengan ekonomi pembangunan.

Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh suatu

negara untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan taraf hidup masyarakatnya. Sedangkan

ekonomi pembangunan merupakan cabang ilmu ekonomi yang menganalisa masalah-masalah

pembangunan serta menciptakan perkembangan ekonomi yang diharapkan. 28

Sedangkan menurut Prof. Dr. Sukadji Ranuwihardjo, dalam perkembangannya selama

kurang lebih 200 tahun ilmu ekonomi telah mendapatkan kedudukan yang terhormat dalam

kelompok ilmu-ilmu sosial, berkat penggunaan ilmu matematika dan statistika sehingga muncul

bermacam-macam teknik sebagai tool of analysis, seperti Ekonometrika, operation-research, linier

programing, cost and benefit analysis, dan seterusnya. Lihat Sukadji Ranuwihardjo, Teori Modal

dan Masalah Pembangunan Ekonomi (Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi UGM,

1973), h. 1-6. 29

Lihat Charles P. Kindelberger, Economic Development, First Edition (Tokyo: The

McGraw-Hill Book Company, Inc., 1958). Dan Charles P. Kindelberger and Bruce Herrick,

Economic Development, Third Edition (McGraw-Hill, Kogakusha, 1976). 30

Charles P. Kindelberger, Ibid., Edisi Pertama.

Page 107: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

93

pemberantasan kemiskinan masal yang berkaitan pula dengan masalah-masalah

buta huruf, penyakit dan kematian awal; c. perubahan dalam komposisi input dan

output yang ada, dari kegiatan pertanian ke kegiatan industri; d. organisasi

ekonomi untuk mencapai keadaan dimana kesempatan kerja tersedia, tidak saja

bagi segolongan kecil minoritas, tapi yang terutama bagi angkatan kerja

seluruhnya; e. sehubungan dengan itu juga partisipasi yang luas dari kelompok-

kelompok masyarakat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut perbaikan

kesejahteraan.31

Dalam kerangka pembangunan ekonomi tentunya sudah jelas bahwa

industrialisasi hanyalah merupakan satu fase saja dari keseluruhan yang tercakup

di dalamnya seperti terlihat dari bingkai yang disuguhkan Kindelberger. Namun

oleh Chenery dan Syrquin, Industrialisasi dengan pembangunan ekonomi disebut

sebagai pandangan berdimensi tunggal dari keseluruhan perubahan struktural

yang membawa bangsa-bangsa miskin menuju kemakmuran, dimana

industrialisasi dan urbanisasi seringkali digunakan sebagai simbol dari

keseluruhan bagian dari proses pembangunan ekonomi.32

Kesan bahwa industrialisasi identik dengan pembangunan ekonomi, cukup

mudah diduga penyebabnya. Oleh karena yang dimaksud seperti yang

31

Kindelberger, Edisi Ketiga, Ibid., h. 1. Berbeda dengan definisi yang diberikan oleh

Prof. Soemitro yang menyebutkan bahwa Pembangunan Ekonomi adalah usaha menambah

peralatan modal dan menambah skill agar satu sama lainnya membawa pendapatan per kapita yang

lebih besar produktifitasnya. Lihat Soemitro Djojohadikusumo, Ekonomi Pembangunan (Jakarta:

PT. Pembangunan Djakarta, 1955), h. 39. Dan juga dengan Irawan dan M. Suparmoko yang

menyebutkan bahwa tujuan pembangunan ekonomi disamping menaikan pendapatan nasional juga

menaikan produktifitas. Lihat Irawan dan M. Suparmoko, Ekonomi Pembangunan, Edisi Ketiga

(Yogyakarta: BPFE-UGM, 1979), h. 19. 32

Hollis Chenery and Moises Syrquin, Patterns of Development, 1950-1970, A World

Bank Research Publication (Oxford: Oxford University Press, 1975), h. 8. Menurut kutipan dari

M. Dawam Rahardjo, “Peranan Industri Kecil dalam Pembangunan Ekonomi”, Prisma, No. 12

(Desember, 1976), h. 41.

Page 108: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

94

dicerminkan oleh laporan Prebisch, adalah industrialisasi yang dilakukan secara

besar-besaran ditinjau dari penanaman modal secara keseluruhan serta dalam

kesatuan-kesatuan perusahaan besar, yaitu untuk memberi pengaruh yang cukup

kuat dan luas dalam pertumbuhan ekonomi dan menjalankan peranan yang oleh

Rostow disebut sebagai pemimpin (leading sector).33

Menurut Mackie,34

pertumbuhan perusahaan-perusahaan besar merupakan

salah satu ciri yang menyolok dari perekonomian-perekonomian yang telah maju.

Industri besar biasanya (namun tidak selalu) memberikan keuntungan yang timbul

dari besarnya perusahaan-perusahaan yang besar (economic of scale) dan hal yang

sering sejajar dengan pembentukan monopoli atau pemusatan pemilikan atas

berbagai macam perusahaan-perusahaan yang saling berhubungan satu sama lain.

Kemudian oleh Hirchman, strategi industrialisasi sebagai hasil sukses yang pernah

dicapai oleh negara-negara yang kini telah maju dinyatakan relevansinya untuk

dapat diterapkan di negara-negara yang sedang berkembang. Dinyatakan bahwa

proses pembangunan di negara berkembang harus mampu secara cepat

meningkatkan pertumbuhan produk domestik bruto yang dilakukan dengan jalan

memusatkan investasi pada sektor yang paling produktif, yaitu sektor industri

modern.35

33

W.W Rostow, The Take-off into self-sustained Growth, tentang “Leiding sector”,

dalam Jason L. Fincle and Richard W. Gable (ed), Political Development and Social Change (New

York: John Willey & Son, Inc., 1966), h. 249, menurut kutipan M. Dawam Rahardjo, Ibid., h. 42. 34

J.A.C. Mackie, Sejarah Pembangunan Ekonomi Dunia Modern, Jilid I (Jakarta: PT.

Pembangunan, 1961), h. 101. 35

Albert O. Hirschman, The Strategy of Economic Development (Yale, 1958, Chapter 4,

5, dan 6).

Page 109: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

95

Hipotesa Hirschman oleh Lewis36

diperkuat dengan menyatakan bahwa

pertumbuhan sektor industri modern ini mempunyai prospek yang baik karena

terdapat surplus tenaga kerja di Dunia Ketiga, sehingga tingkat upah di sektor

industri ini bisa ditekan ke bawah. Akibatnya sektor industri tersebut bisa

memupuk keuntungan relatif tinggi sehingga dapat digunakan untuk investasi

lebih lanjut. Sebagaimana diketahui bahwa pengalaman di negara berkembang,

kemajuan ekonomi ditandai oleh semakin besarnya sektor industri dan semakin

kecilnya sektor pertanian, baik diukur dari sumbangan terhadap produksi nasional

maupun penyediaan lapangan kerja.37

Tapi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi dengan

disertai perubahan struktur perekonomian di mana sektor industri semakin

bertambah perannnya, hal yang sama seperti yang diungkapkan dalam studinya

Dr. Sritua Arief38

justru mengalami “keganjilan struktural”. Yang dimaksud

adalah bahwa program industrialisasi ternyata tidak berhasil menyerap tenaga

kerja secara berarti dari sektor pertanian, terlebih dari sektor pertanian tradisional

sehingga proses transformasi dalam struktur ekonomi dari agraris ke industri tidak

menemui sasaran dalam pengertian adanya “development effect” sektor pertanian,

yaitu dalam industri secara keseluruhan tidak dapat menyerab tambahan tenaga

kerja yang berasal dari sektor pertanian tradisional dalam jumlah yang berarti,

36

Lihat Bruce H. Herrick, Urban Migration and Economic Development in Chile (MIT,

1965, Chapter 2). Menurut kutipan Didin S. Damanhuri, “Sistem Subkontrak dalam Strategi

Industrialisasi dan Pembangunan Ekonomi: Sebuah Gambaran Awal”, Prisma, No. 5 (Mei, 1981),

h. 44. 37

Lihat Simon Kuznet, Modern Economic Growth: Rate, Structure and Spread, h. 41-47.

Dan juga Suhadi Mangkusuwondo, “Masalah Pengembangan Industri”, Prisma, No. 5 (Mei,

1972), h. 22. Juga Sukirno, Op. Cit., h. 76-83. 38

Sritua Arief, Indonesia: Pertumbuhan Ekonomi, Disparitas Pendapatan dan Kemiskinan

Masal (Jakarta: Sritua Associates, 1978), h. 23.

Page 110: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

96

apalagi kalau sektor industri secara keseluruhan justru menimbulkan

pengangguran.39

Kemudian, pengembangan industri kecil juga bisa mengurangi tendensi

monopoli, merupakan cara yang efektif untuk pembentukan kapital, bagi

perencana sektor ini sejalan bahwa upaya pembangunan daerah, serta tak boleh

dilupakan bahwa pemeliharaan satuan-satuan kecil dalam perusahaan akan

memberikan iklim kepada kreativitas masyarakat selain sejalan dengan usaha

mempertimbangkan dan mengembangkan unsur-unsur tradisi dan kebudayaan

setempat.40

Dan pada tahun 1977, Soemitro41

mengusulkan agar sistem subkontrak

dijadikan sebagai strategi untuk menunjang pengembangan industri di Indonesia.

Menteri Perindustrian pada saat itu A.R. Soehoed berkali-kali melalui wartawan

industry kecil, yang diambil dari hasil deklarasi tentang perlunya penumbuhan

sistem subkontrak dalam pembangunan industri di Indonesia.42

Terkadang pula

sistem subkontrak ini diistilahkan dengan “Sistem Bapak Angkat-Anak Angkat”

yaitu perusahaan besar sebagai Bapak Angkat dan perusahaan kecil atau

subkontraktor sebagai Anak Angkat.43

Emil Salim menyebut perubahan sistem ekonomi Indonesia seperti bandul

yang mengayun bolak-balik dari sistem liberal ke sistem komando, dan akhirnya

39

Mengutip Didin S. Damanhuri, Op. Cit., h. 46. 40

M. Dawam Rahardjo, Mengembangkan Usaha di Bidang Industri Kecil dan Kerajinan

Rumah Tangga: Sarana, Insentif dan Promosi (Jakarta: LP3ES, 1976). 41

Lihat Soemitro Djojohadikusumo, Masalah Penduduk dan Kesempatan Kerja dalam

Perspektif Jangka Panjang (Seminar “Kependudukan dan Kesempatan Kerja, Jakarta, 14

Desember 1977), mengutip dari Didin S. Damanhuri, Op. Cit., h. 49. 42

Lihat Kompas, 21 Februari 1979. 43

Hal ini pernah diusulkan oleh Drs. Soeharsono Sagir, lihat Kompas, 24 Maret 1980, h.

2.

Page 111: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

97

mengarah ke posisi keseimbangan atau campuran yang diidentifikasikan dengan

sistem ekonomi pancasila.44

Prisma sebagai salah satu media atau alat untuk mengkritisi rencana

pembangunan-pembangunan ekonomi di Indonesia, dalam hal ini penulis ingin

menganalisa tulisan-tulisan cendekiawan muslim dalam Prisma tentang isu-isu

pembangunan ekonomi Orde Baru. Pada tahun 80-an Orde Baru sangat gencar

melakukan pembangunan baik di bidang industri, infrastruktur, maupun pertanian.

Program pembangunan di era Orde Baru dibentuk dalam program Pelita

(Pembangunan Lima Tahun) yang terdiri dari rangkaian Pelita I sampai Pelita V.

Di sinilah, banyak kritikus pemerintahan yang terdiri dari para akademisi dan

cendekiawan yang ikut menyuarakan aspirasinya melalui pers baik dalam surat

kabar atau majalah sebagai sebuah kritik terhadap pemerintah Orde Baru. Isu

tentang sentralisasi kekuasaan juga terus digulirkan oleh para cendekiawan dalam

berbagai media. Dari berbagai tulisan para cendekiawan Muslim (kontributor) di

dalam jurnal Prisma, mereka mencoba memberikan counter hegemony terhadap

perilaku pemerintah Orde Baru. Para cendekiawan Muslim mencoba

menyuarakan sedetail mungkin dan sekritis mungkin terhadap isu-isu atau

problematika yang terjadi dalam dinamika pemerintahan Orde Baru.

Menurut Soemitro, bahwa elite ekonomi atau mereka yang berpengaruh

dalam bidang ekonomi ada tiga kelompok. Kelompok pertama adalah mereka

yang tergolong sebagai pemikir, yang mana mereka hanya mempunyai idealism

dan gagasan. Mereka mempunyai kemampuan observasi dan forecasting, sanggup

44

Lihat Emil Salim, “Sistem Ekonomi Pancasila”, Prisma (Mei, 1979), h. 5.

Page 112: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

98

membaca indikator. Mereka adalah scholars. Di luar pemerintahan, mereka ada di

universitas, atau dalam organisasi-organisasi non-governmental, dan menjadi

narasumber untuk media massa. Ada yang hanya memberikan analisis-analisis

saja, tapi juga ada yang sudah memberikan saran pemecahan masalah. Kelompok

kedua adalah mereka yang menguasai modal besar dan usaha besar, serta

menguasai urat nadi usaha, yakni bank. Mereka saat ini sudah menjadi asset

nasional dan sudah mapan. Sedangkan kelompok ketiga adalah termasuk

golongan menengah, menguasai jaringan perdagangan, membeli hasil-hasil

produksi, mengatur distribusinya dan punya kekuatan dalam menentukan harga.

Kelompok kedua dan kelompok ketiga ini memiliki profit motive yang tinggi.45

Di negara yang sedang berkembang korporasi monopolistis umumnya

adalah perusahaan negara. Tapi perusahaan swasta juga bisa berkembang asalkan

menerima kapitalisasi dari bank pemerintah. Negara punya kepentingan bagi

tumbuhnya perusahaan swasta ini sebagai sumber pendapatan pajak dan

pendorong pertumbuhan ekonomi. Konsekuensinya, menurut Dawam Rahardjo,

terbukanya kemungkinan tumbuhnya monopoli dan oligopoli. Selain sumber

modal banyak faktor lain yang merupakan sumber atau kekuatan monopoli seperti

besarnya korporasi, penguasaan teknologi, kemampuan pemasaran dan

konglomerasi antar perusahaan yang bergerak di bidang yang berbeda.46

Kemudian pengembangan industry kecil juga bisa mengurangi tendensi monopoli,

merupakan cara yang efektif untuk pembentukan kapital, bagi perencanaan sektor

45

Lihat rubrik “Dialog” Prisma No. 2 (Februari, 1985), h. 41. 46

M. Dawam Rahardjo dalam artikelnya berjudul “Tinjauan Historis tentang Monopoli:

Peranan Negara dan Persaingan Bebas dalam Perkembangan Kapitalisme Global”, Prisma No. 2

(Februari, 1985), h. 57.

Page 113: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

99

ini sejalan bahwa upaya pembangunan daerah, serta tak boleh dilupakan bahwa

pemeliharaan satuan-satuan kecil dalam perusahaan akan memberikan iklim

kepada kreativitas masyarakat selain sejalan dengan usaha mempertimbangkan

dan mengembangkan unsur-unsur tradisi dan kebudayaan setempat.47

Sumber monopoli terletak pada besarnya korporasi itu sendiri yang

memberi jaminan kekuatan pada operasi usahanya. Kekuatan MNC atau sumber

monopoli itu terletak pada persatuan antara kekuatan kapital dan industri

(termasuk perdagangan). Jepang adalah contoh yang baik. Grub Zaibatsu

Mitsubishi umpamanya didukung oleh Mitsubishi Bank, Mitsubishi Shoji

(perdagangan) dan Mitsubishi Heavy Industries. Di AS dikenal beberapa grup

finansial raksasa seperti Grup Rockefeller, yang meliputi kelompok perusahaan

asuransi, bank tabungan, bank komersial, pelayanan umum, perkeret-apian,

minyak, metal (termasuk US Steel Corp), kimia makanan dan minuman, serta

toko serba ada. Di samping itu ada kelompok Morgan, Bank of America,

Rochester, Du Pont, Prudential Ins., MFORS Hanover Trust dan sekitar 10

kelompok lainnya.48

Di Jepang disamping Mitsubishi ada kelompok Mitsui,

Sumitomo, Fuyo, Dai-ichi Kangyo Bank dan Sanwa. Disamping 6 zaibatsu, ada 7

kelompok industri yaitu Nippon Steel, Toshiba, Hitachi, Toyota, Nissan,

Matsushita dan Tokyu.49

47

M. Dawam Rahardjo, Mengembangkan Usaha di Bidang Industri Kecil dan Kerajinan

Rumah Tangga: Sarana, Insentif dan Promosi (Jakarta: LP3ES, 1976). 48

Philip Kotler dan Ravi Sigh, Marketing Warfare, American Journal of Business

Strategy, Wints, 1981 dikutip oleh John Savanagh of Frederick Clairmonte The Transnational

Economy: Transnational Corporations and Global Market, Institute for Policy Studies,

Washington, 1982, h. 28. Dijelaskan oleh M. Dawam Rahadjo, “Sumber dan Kekuatan Monopoli”

dalam artikel “Tinjauan Historis tentang Monopoli”, Prisma, No. 2 (Februari, 1985), h. 71. 49

Lihat artikel berjudul “The Ties That Bind”, Multinational Monitor, Vol. 4 No. 10,

(Oktober, 1983), h. 12-13.

Page 114: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

100

Selain itu struktur kebijaksanaan ekonomi dan pembangunan yang

menempatkan koperasi sebagai alat kebijaksanaan pemerintah, memberi pengaruh

yang cukup luas dan menentukan pola perkembangan koperasi. Sebagai alat

kebijaksanaan, maka campur tangan pemerintah dalam perkembangan koperasi

menjadi sangat besar bahkan sangat menentukan. Campur tangan pemerintah yang

cukup besar dalam koperasi ini memang menguntungkan. Tetapi menurut M.

Dawam Rahardjo pengalaman dari tahun 1971-1981 menunjukkan bahwa campur

tangan itu bisa merupakan faktor yang menyulitkan bahkan menimbulkan distorsi

dalam perkembangan koperasi.50

Demikian juga koperasi menjalankan peranan penting dalam

perekonomian Indonesia. Dalam tulisan ini, Sumitro Djojohadikusumo

menguraikan bahwa koperasi jangan hanya jadi penonton dalam arena

pertarungan antara kekuatan-kekuatan ekonomi masyarakat, tanpa mengabaikan

idealism dan ideologinya. Ia harus berperan. Koperasi Pegawai Negeri, sekurang-

kurangnya dapat mempertahankan tingkat hidup anggotanya dan sejauh mungkin

memperbaiki kualitas hidup mereka. Dan untuk keberhasilan program, diperlukan

aparatur yang memberikan waktu dengan penuh, cakap serta terampil.

Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Koperasi

dimaksudkan untuk menjalankan peranan penting dalam perekonomian Indonesia.

Demikian pula Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok

Perkoperasian, dimaksudkan untuk menjadi landasan bagi pengembangan

50

M. Dawam Rahardjo, “Kebijaksanaan Pembangunan di Indonesia dan Perkembangan

Koperasi”, Prisma No. 6 (Juni, 1981), h. 3.

Page 115: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

101

koperasi dalam lingkungan kita masing-masing. Namun, harus diakui kenyataan

bahwa apa yang dikehendaaki UUD 1945 belumlah terpenuhi.51

Membahas pembangunan ekonomi daerah (regional economic

development) sama saja dengan membahas keragaman berbagai propinsi di

Indonesia, tidak saja dalam hal perkembangan ekonomi, tetapi juga berbagai

aspek sosial, politik, dan budaya, lebih jauh lagi, dilihat juga kenyataan akan

perbedaan antar daerah dengan tingkat perkembangan ekonomi yang sangat

berbeda. Isu sentralisasi dan desentralisasi dapat menjadi bagian yang penting di

dalam pembahasan tentang ekonomi daerah dalam kaitannya dengan pusat. Hal

inilah yang menjadi perhatian bagi pemerintah pada saat itu. Pada satu sisi,

terlihat bahwa tidak mungkin pemerintah pusat dapat membiayai proyek-proyek

pembangunan dalam jangka panjang untuk seluruh daerah,sementara itu pada sisi

yang lain, daerah mempunyai kapasitas terbatas dalam hal inisiatif dan

kemandirian karena tingginya tingkat ketergantungan daerah kepada pusat dan

berlangsungnya pola sentralisasi pemerintahan pusat atas daerah. Jakarta sudah

selayaknya harus lebih memperhatikan daerah-daerah secara lebih mendalam dan

hati-hati.

Reformasi dalam berbagai hal di bidang pembangunan ekonomi terasa

sangat diperlukan untuk menyelesaikan berbagai masalah tersebut, khususnya

dalam hal keuangan daerah, delegasi wewenang pemerintahan daerah, dan

program-program nasional lainnya. Inisiatif daerah dan kemandiriannya akan

menjadi pilar penting bagi pembangunan daerah di masa mendatang ketika

51

Sumitro Djojohadikusumo, “Peranan Koperasi Pegawai Negeri dalam Perekonomian

Indonesia”, Prisma No. 6 (Juni, 1981), h. 11.

Page 116: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

102

pemerintah pusat harus mengalihkan perhtiannya pada persoalan-persoalan dan

tantangan ekonomi.52

Pada masa Orde Baru, kesadaran terhadap aspek keadilan ekonomi hampir

dikatakan minimal karena jargon-jargon yang berkibar dalam opini publik adalah

aspek ekonomi positif semata, seperti pertumbuhan ekonomi, ekspansi usaha, dan

konglomerasi. Bahkan, opini publik yang berkembang juga sangat dipengaruhi

oleh muatan politik untuk menyembuknyikan persoalan-persoalan yang

sesungguhnya terjadi. Masalah keadilan ekonomi adalah salah satu aspek krusial

yang tidak pernah ditanggapi secara cermat, bahkan cenderung diabaikan karena

prestasi pertumbuhan dengan gagahnya telah dianggap menyelesaikan

permasalahan-permasalahan normatif tadi. Akhirnya aspek positif dan aspek

normatif dari ekonomi itu sendiri tidak seimbang sehingga pada saatnya memang

meledak menjadi ketidakpuasan kolektif serta menemukan momentumnya pada

saat krisis melalui gerakan reformasi.

Berdasarkan berbagai tulisan kontributor Prisma tersebut, dapat diperoleh

data bahwa terdapat dua macam bentuk kritik atau respons yang dinyatakan oleh

para cendekiawan muslim dalam uraian jurnal Prisma, antara lain:

1. Akomodasionis

Akomodasionis adalah para kontributor atau penulis Prisma yang

kooperatif, dalam hal ini yaitu mereka yang mengakomodir segala bentuk

pendapat, kritik, saran dan masukan terhadap pemerintah Orde Baru dalam

pembangunan ekonomi. Mereka adalah pihak yang kooperatif baik dengan kawan

52

Lihat Didik J. Rachbini, “Pertumbuhan Nasional Bukan Refleksi Perkembangan

Daerah”, Prisma No. 1 (Januari, 1990), h. 91-92.

Page 117: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

103

maupun lawan dalam konstelasi politik dan berusaha objektif dalam menyikapi

segala permaslaahan yang muncul dalam derap pembangunan ekonomi Orde

Baru.

2. Antagonis

Antagonis adalah para kontributor atau penulis Prisma yang non-

kooperatif, dalam hal ini yaitu mereka yang lebih mengutamakan ego dalam

menyampaikan pendapat terutama terhadap lawan konstelasi politiknya. Mereka

adalah pihak yang menentang berbagai kebijakan pembangunan ekonomi yang

ditetapkan oleh pemerintah Orde Baru.

Page 118: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

104

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dari bab-bab skripsi ini, dapat disimpulkan bahwa pada

masa Orde Baru, pemerintah memberikan prioritas utama kepada sejumlah ahli

ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia sebagai penasehat ekonomi

pemerintah. Tim tersebut lebih dikenal dengan “Mafia Berkeley” yakni para lulusan

ekonomi University of California, Berkeley, yang mana pendekatan mereka lebih

bersifat mengarah keluar.

Salah satu kebijakan politik pada rezim Orde Baru ketika mulai memegang

tampuk kekuasaan adalah memilih “modernisasi” sebagai landasan dalam

pembangunan bangsa karena pilihan tersebut dianggap menjadi solusi utama untuk

memperbaiki dan memajukan bangsa Indonesia pada saat itu. Pemerintah Orde Baru

berusaha menarik dukungan para investor asing agar dapat memberikan bantuan bagi

pelaksanaan pembangunan di Indonesia karena pada saat itu negara-negara Barat

dianggap sudah mapan secara ekonomi.

Orde Baru mencanangkan apa yang disebut Trilogi Pembangunan, yakni:

pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan stabilitas nasional

yang sehat dan dinamis. Hal ini kemudian pemerintah mencanangkan program

Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Dalam Repelita I, investasi

Page 119: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

105

pemerintah lebih ditanamkan pada bidang usaha yang menghasilkan dampak paling

besar seperti pertanian, infrastruktur ekonomi, dan perluasan industri ekspor dan

pengganti impor. Sampai pada tiga perempat pengeluaran pada Repelita I ini,

pinjaman asing sudah membengkak dan melebihi pengeluaran Soekarno saat

berkuasa. Kemudian pada Repelita II, menunjukkan adanya perbaikan dibandingkan

dengan pembangunan sebelumnya dan Repelita III sudah memberikan prioritas

kepada kesempatan kerja, pemerataan dan pertumbuhan ekonomi.

Dalam politik ekonomi, pemerintah Orde Baru pada awal periode sampai

akhir tahun 1970-an menerapkan sistem Trickle Down Effect (efek tetesan ke bawah),

yang mana pemerintah membangun industri besar-besaran yang kemudian diharapkan

akan berimbas pada usaha-usaha kecil dalam hal ini dapat memberikan kemakmuran

bagi masyarakat. Namun, hal tersebut gagal dan justru sistem ini memarjinalkan

pelaku ekonomi menengah dan bawah. Akhirnya muncul sistem ekonomi berbasis

kartel dan kroni yang menguntungkan para pelaku ekonomi yang dekat dengan

penguasa.

Hal inilah yang menyebabkan adanya banyak kritikan terhadap kinerja

pemerintah pada masa itu terutama dari kalangan para cendekiawan. Mereka banyak

memberikan kritikan terhadap kinerja pemerintah melalui berbagai tulisan yang

dimuat di berbagai media massa seperti surat kabar dan jurnal, salah satunya jurnal

Prisma.

Page 120: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

106

Prisma adalah jurnal yang sangat populer yang diterbitkan oleh Lembaga

Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dan merupakan

publikasi yang sangat terkenal pada masa itu. Berisi tulisan ilmiah populer, ringkasan

hasil penelitian, survei, hipotesa atau gagasan yang sangat kritis. Para kontributor

atau para penulisnya adalah golongan kritis yang termasuk juga di dalamnya adalah

para cendekiawan muslim.

Cendekiawan muslim banyak memberikan respons terhadap pembangunan

ekonomi yang dilancarkan oleh pemerintah Orde Baru melalui berbagai tulisan atau

artikel baik dalam majalah, jurnal maupun surat kabar. Melalui berbagai tulisan atau

artikel tentang ekonomi dalam jurnal Prisma, cendekiawan muslim yang menjadi

penulis aktif dalam jurnal tersebut antara lain: Soemitro Djojohadikusumo, Emil

Salim, Tawang Alun, M. Dawam Rahardjo, Dorojatun Kuntjorojakti dan lainnya

sebagainya.

Berdasarkan berbagai tulisan kontributor Prisma tersebut, dapat diperoleh

data bahwa terdapat dua macam bentuk kritik atau respons yang dinyatakan oleh para

cendekiawan muslim dalam uraian jurnal Prisma, antara lain:

Pertama, Akomodasionis adalah para kontributor atau penulis Prisma yang

kooperatif, dalam hal ini yaitu mereka yang mengakomodir segala bentuk pendapat,

kritik, saran dan masukan terhadap pemerintah Orde Baru dalam pembangunan

ekonomi. Mereka adalah pihak yang kooperatif baik dengan kawan maupun lawan

dalam konstelasi politik dan berusaha objektif dalam menyikapi segala permaslaahan

Page 121: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

107

yang muncul dalam derap pembangunan ekonomi Orde Baru. Kedua, Antagonis

adalah para kontributor atau penulis Prisma yang non-kooperatif, dalam hal ini yaitu

mereka yang lebih mengutamakan ego dalam menyampaikan pendapat terutama

terhadap lawan konstelasi politiknya. Mereka adalah pihak yang menentang berbagai

kebijakan pembangunan ekonomi yang ditetapkan oleh pemerintah Orde Baru.

Berdasarkan temuan dari berbagai artikel para cendekiawan muslim yang

dimuat di dalam jurnal Prisma, mereka cenderung kritis dalam menanggapi isu-isu

tentang masalah pembangunan ekonomi. Selain itu, karakter dari tulisan mereka pada

jurnal Prisma, biasanya diawali dengan berbagai kritik sesuai dengan data-data yang

diperoleh yang mereka sampaikan pada awal artikel atau tulisan, baru kemudian di

bagian kesimpulan, para penulis ini memberikan saran yang konstruktif yang bersifat

membangun. Hal ini karena golongan kritis ini menyadari sepenuhnya bahwa mereka

pun bagian dari masyarakat Indonesia yang harus turut serta dalam membangun

bangsa.

Hal ini juga sesuai dengan fungsi dan peran media massa bahwa arus

informasi menjadi bagian yang sangat penting dalam berjalannya suatu negara. Media

massa mempunyai peran yang sangat vital sebagai alat penyebarluasan berita dan

juga sebagai kontrol sosial, baik pada pemerintah maupun pada masyarakat itu

sendiri. Sama halnya dengan jurnal Prisma. Melalui berbagai pemikiran kritis oleh

para kontributornya, Prisma berusaha menyuguhkan informasi yang hangat, aktual,

Page 122: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

108

dan kritis, serta berusaha memberikan batasan dan masukan atas kinerja pemerintah

Orde Baru.

B. Saran

Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tinjauan dalam

mengkritisi kinerja pemerintahan, guna meminimalisir permasalahan pembangunan

ekonomi. Penelitian sejarah ini juga diharapkan agar dapat memberikan gambaran

untuk bagaimana memberikan kontrol sosial dan memberikan kritik terhadap kinerja

pemerintah pada saat ini dengan melihat atau berkaca dari peristiwa-peristiwa pada

masa lampau. Kemudian juga diharapkan agar penelitian ini dapat memberikan

perspektif baru dalam penulisan sejarah pers yang mana mengaitkan berbagai kajian

ilmu sosial, politik, dan ekonomi.

Page 123: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

109

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU

Abdurahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Logos Wacana

Ilmu, 1999.

Abrar, Ahmad Zaini. 1966-1974: Kisah Pers Indonesia. Jakarta: LKiS, 1995.

Ali, Fachry dan Bachtiar Effendi. Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi

Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru. Bandung: Mizan, 1986.

Arief, Sritua. Indonesia: Pertumbuhan Ekonomi, Disparitas Pendapatan dan

Kemiskinan Masal. Jakarta: Sritua Associates, 1978.

Booth, Anne dan Peter McCawley. Ekonomi Orde Baru: edisi terjemahan oleh

Boediono. Jakarta: LP3ES, 1982.

Budiman, Arif. Negara dan Pembangunan: Studi tentang Indonesia dan Korea

Selatan. Jakarta: Yayasan Padi dan Kapas, 1991.

Cahyono, Heru. Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari ’74.

Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998.

Chalmers, Ian dan Vedi R. Hadiz. The Politics of Economic Development in

Indonesia; Contending Perspectives. London and New York: Routledge,

1997.

Crouch, Harold. Militer dan Politik di Indonesia. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan,

1999.

Dhakidae, Daniel. Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru.

Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Djamin, Zulkarnain Pembangunan Ekonomi Indonesia: Sejak repelita Pertama.

Jakarta: Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi UI, 1984.

Djojohadikusumo, Soemitro. Ekonomi Pembangunan. Jakarta: PT. Pembangunan

Djakarta, 1955.

Feith, Herbert dan Lance Castles (ed). Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965.

Jakarta: LP3ES, 1988.

Feith, Herbert. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Itacha and

London: Cornell University Press, 1962.

Page 124: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

110

Gafar, Afan. Politik Indonesia: Transisi menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1999.

Garcia, Manuel B. Sosiology of Development: Perspectives and Issue. Manila:

National Book Store, Inc, 1985.

Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press, 1983.

Gramsci, Antonia. Prison Notebooks. London: Elecbook, 1999.

Hadi, Syamsul. Strategi Pembangunan Mahathir dan Soeharto: Politik

Industrialisasi dan Modal Jepang di Malaysia dan Indonesia. Jakarta:

Japan Foundation, 2005.

Hanazaki, Yasuo. Pers Terjebak. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 1998.

Hill, David T. The Press in New Order Indonesia. Jakarta: PT. Pustaka Sinar

Harapan, 1995.

Hirschman, Albert O. The Strategy of Economic Development. Yale, 1958.

I. N, Soebagio. Sejarah Pers Indonesia. Jakarta: Dewan Pers, 1977.

Irawan dan M. Suparmoko. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: BPFE-UGM,

1979.

Jackson, Karl D. and Lucian W. Pye. Political Power and Communications in

Indonesia. California: University of California Press, 1978.

Kartodirjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial dan Metode Sejarah. Jakarta:

Gramedia Pustaka, 1992.

Keohane, Robert O. dan Helen V. Milner. Internationalization and Domestic

Politics. USA: Cambridge University Press, 1996.

Kindelberger, Charles P. and Bruce Herrick. Economic Development, Third

Edition. Kogakusha: McGraw-Hill, 1976.

Kindelberger, Charles P. Economic Development, First Edition. Tokyo: The

McGraw-Hill Book Company Inc, 1958.

Latif, Yudi. Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim

Indonesia Abad ke-20. Jakarta: yayasan Abad Demokrasi. 2012.

Landis, James M. The Administrative Process. New Haven: Yale University

Press, 1938.

Page 125: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

111

Mackie, J.A.C. Sejarah Pembangunan Ekonomi Dunia Modern. Jakarta: PT.

Pembangunan, 1961.

Madjid, Nurcholis Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan,

1987.

Mas’oed, Mohtar. Ekonomi dan Struktur Politik: Orde Baru 1966-1971. Jakarta:

LP3ES, 1986.

Mas’oed, Mohtar. Negara Kapital dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

1999.

McIntyre, Andrew J. The Dynamics of Economic Policy Reform in South East

Asia and The South West Pacific. Singapore: Oxford University Press.

Muhaimin, Yahya A. Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-

1980. Jakarta: LP3ES, 1991.

Naomi, Omi Intan. Anjing Penjaga: Pers di Rumah Orde Baru. Depok: Gorong-

gorong Budaya dan Institut Arus Informasi, 1996.

Oetama, Jakob. Pers Indonesia: Berkomunikasi dengan Masyarakat Tidak Tulus.

Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001.

Paauw, Dauglas. Financing Economic Development: The Indonesian Case. New

York: The Free Press of Glencoe, 1960.

Rachbini, Didik J. Politik Ekonomi Baru Menuju Demokrasi Ekonomi. Jakarta:

Grasindo, 2001.

Rahardjo, M. Dawam. Intelektual, Inteligensia, dan Perilaku Politik Bangsa:

Risalah Cendekiawan Muslim. Bandung: Mizan, 1993.

Rahardjo, M. Dawam. Mengembangkan Usaha di Bidang Industri Kecil dan

Kerajinan Rumah Tangga: Sarana, Insentif dan Promosi. Jakarta: LP3ES,

1976.

Ranuwihardjo, Sukadji. Teori Modal dan Masalah Pembangunan Ekonomi.

Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi UGM, 1973.

Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2000. Jakarta: PT. Serambi Ilmu

Semesta, 2008.

Rizal Mallarangeng. Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986-1992.

Jakarta: KPG, 2002.

Rostow, W. W. The Stages of Economic Growth. Cambridge: Cambridge

University Press, 1977.

Page 126: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

112

Said, Tribuana. Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila.

Jakarta: PT. Inti Dayu Pers, 1988.

Siahaan, Bisuk. Industrialisasi di Indonesia: Sejak Hutang Kehormatan sampai

Banting Stir. Jakarta: Pustaka Data, 1996.

Sukirno, Sadono. Ekonomi Pembangunan, Proses Masalah dan Dasar

Kebijaksanaan. Medan: Borta Gorat, 1978.

Sularto, St. (ed.). Menggugat Masa Lalu, Menggagas Masa Depan Ekonomi

Indonesia. Jakarta: Kompas, 2000.

Surjomohardjo, Abdurrachman, dkk. Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers

di Indonesia. Jakarta: Kompas, 2002.

Suryadinata, Leo. Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto. Jakarta:

LP3ES, 1998.

Tambunan, Tulus. Pembangunan Ekonomi Inklusif: Sudah Sejauh Mana

Indonesia?. Jakarta: LP3ES, 2016.

Tim Penerbit. Presiden Soeharto: Bapak Pembangunan Indonesia: Evaluasi

Pembngunan Pemerintah Orde Baru. Jakarta: BPYDBKMI, 1983.

Tim Penyusun. Kumpulan Esai untuk Menghormati Sumitro Djojohadikusumo.

Disunting oleh Hendra Asmara. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987.

Tim Penyusun. Profil & Pendapat: Kenangan 30 Tahun LP3ES. Jakarta: LP3ES,

2001.

Todaro, Michael P. dan Stephen C. Smith. Pembangunan Ekonomi. Jakarta:

Penerbit Erlangga, 2006.

Wie, Thee Kian. Penanaman Modal Asing Langsung di Indonesia Sejak

Kemerdekaan. Jakarta: PMB-LIPI, 1996.

Page 127: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

113

ARTIKEL JURNAL

Abdurrahman Wahid, Prisma 11, November 1980, h. 11-20.

Akhmad Zaini Abrar. Kebebasan Pers, Kekecewaan Masyarakat dan

Keperkasaan Negara (Studi Sejarah Pers Awal Orde Baru, 1966-1972). Prisma

No. 4, April 1974, h. 23-41.

Artikel berjudul “The Ties That Bind”, Multinational Monitor, Vol. 4 No. 10,

Oktober 1983, h. 12-13.

Didik J. Rachbini, Pertumbuhan Nasional Bukan Refleksi Perkembangan Daerah.

Prisma, No. 1, Januari 1990, h. 95.

Didin S. Damanhuri. Sistem subkontrak dalam strategi Industrialisasi dan

Pembangunan Ekonomi: Sebuah Gambaran Awal. Prisma, 5 Mei 1981, h. 42.

Emil Salim. Sistem Ekonomi Pancasila. Prisma, Mei 1979, h. 1.

Emil Salim. Sistem Ekonomi Pancasila. Prisma. Mei 1979, h. 5.

Harold Crouch. Patrimonialism and Military Rule in Indonesia. Cambridge

University Press, Vol. 31, No. 4, Juli 1979.

Ismid Hadad. Kemana Harus Berpaling?. Prisma No. 1, Tahun XIV, Januari

1985, h. 2.

Ismid Hadad. Pengantar Redaksi. Prisma No. 1, November 1971.

K. Gunadi. Industri, Modal Asing, dan Kesempatan Kerdja. Jakarta: LP3ES;

Prisma, No. 5, Agustus 1972, h. 37.

Kompas, 21 Februari 1979.

Kompas, 24 Maret 1980, h. 2.

M. Dawam Rahadjo. Tinjauan Historis tentang Monopoli. Prisma, No. 2, Februari

1985, h. 71.

M. Dawam Rahardjo. Kebijaksanaan Pembangunan di Indonesia dan

Perkembangan Koperasi. Prisma No. 6, Juni 1981, h. 3.

M. Dawam Rahardjo. Peranan Industri Kecil dalam Pembangunan Ekonomi.

Prisma, No. 12, Desember 1976, h. 41.

M. Dawam Rahardjo. Tinjauan Historis tentang Monopoli: Peranan Negara dan

Persaingan Bebas dalam Perkembangan Kapitalisme Global. Prisma No. 2,

Februari 1985, h. 57.

Page 128: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

114

Mochtar Pabottingi. Prisma Simbol Kaum Intelektual. Prisma No. 1, November

1971, h. 68-69.

Onghokham. Elite dan Monopoli dalam Perspektif Sejarah. Prisma No. 2,

Februari 1985, h. 3.

Onghokham. Potret Cendekiawan Indonesia Sebagaimana Terekam dalam

Prisma. Prisma, November 1980, h. 61.

Prisma No. 1, Januari 1985, h. 15.

Prisma No. 8, Agustus 1977.

Prisma No. 1, Februari 1973.

Prisma No. 3, Agustus 1973.

Rubrik “Dialog”. Prisma No. 2, Februari 1985, h. 41.

Sjahrir. Kebijaksanaan Makro Ekonomi di Masa-masa Pertumbuhan Rendah:

Penilaian dan Prospek. Prisma No. 1, Januari 1985, h. 3.

Sodjatmoko. Indonesia: Problems and Opportunities. Australian Outlook, Vol.

21, Number 3, Desember 1967, h. 263-286.

Suhadi Mangkusuwondo. Masalah Pengembangan Industri. Prisma No. 5, Mei

1972, h. 22.

Suhardo HS. Fakultas Pertanian Dep. Statistika dan Komputasi, IPB, Bogor.

Prima, No. 1, Januari 1981, h. 89.

Sumitro Djojohadikusumo. Peranan Koperasi Pegawai Negeri dalam

Perekonomian Indonesia. Prisma No. 6, Juni 1981, h. 11.

Tawang Alun. Hutang Dunia Ketiga: Prospek dan Masalah. Prisma No. 1,

Januari 1985, h. 65.

SUMBER TERTULIS TIDAK DITERBITKAN

a. Skripsi

Oktania Tri Hastuti. “Problem Subjek Hegemoni dalam Pemikiran Antonio

Gramschi: Telaah Hegemoni Militer dalam Perpolitikan Indonesia”. Skripsi S1

pada Program Studi Ilmu Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya

Universitas Indonesia, 2013.

Yerri Wirawan. “Dinamika Ekonomi Politik Awal Orde Baru: 1966-1968”.

Skripsi S1 pada Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 2000.

Page 129: RESPONS CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG PEMBANGUNAN …

115

b. Tesis

M. Syafi’I Anwar. “Hubungan Cendekiawan Muslim dan Birokrasi Orde Baru:

Studi tentang Pemikiran dan Perilaku Politik Cendekiawan Muslim dalam Orde

Baru 1966-1993”. Tesis S2 pada Program Pasca Sarjana Bidang Ilmu Sosial

Universitas Indonesia, 1994.

SUMBER ELEKTRONIK

http://prismajurnal.com (diakses pada Minggu, 18 September, pukul 18.30 WIB)