case turp+ckd final

81
LAPORAN KASUS Tatalaksana Anestesi pada pasien dengan penyakit gagal ginjal kronik Pembimbing : dr. Pracahyo, Sp.An Oleh : Rahma Ayu Larasati Tri Agung Wibowo Siti Umi Kulsum KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI RSUD. R. SYAMSUDIN, SH

Upload: rahma-larasati-syaheeda

Post on 26-Oct-2015

166 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

anamnesa dan pemeriksaan fisik kasus gagal ginjal kronik yang akan dilakukan operasi TURP

TRANSCRIPT

LAPORAN KASUS

Tatalaksana Anestesi pada pasien dengan penyakit

gagal ginjal kronik

Pembimbing :

dr. Pracahyo, Sp.An

Oleh :

Rahma Ayu Larasati

Tri Agung Wibowo

Siti Umi Kulsum

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI

RSUD. R. SYAMSUDIN, SH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

Sukabumi, 2 September – 28 September 2013

BAB I

DATA PASIEN

I. Identitas Pasien

- Nama : Tn. Abudin

- Usia : 68 tahun

- Agama : Islam

- Alamat : Kp. Sawah II Rt 05/01

- Pekerjaan : -

- Status Perkawinan : Menikah

- Tanggal Masuk : 15 September 2013

- Tanggal Pemeriksaan : 15 September 2013

- Nomor Rekam Medik : A19 51 99

- Diagnosa preoperatif : Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)+CKD

(Chronic Kidney Desease)

- Jenis Pembedahan : Cystoscopy TUR-P

II. Anamnesis

- Keluhan Utama : Sulit buang air kecil

- Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke RS dengan keluhan sulit

buang air kecil sejak lama. Pasien mengatakan saat BAK tidak lampias, dan

hanya keluar sedikit-sedikit. BAK sedikit nyeri. Keluhan semakin

mengganggu mengganggu dan pasien datang ke rumah sakit.

- Riwayat Penyakit Dahulu

Tidak terdapat riwayat asma

Tidak ada riwayat hipertensi

Riwayat alergi obat dan makanan tidak ada

Riwayat diabetes melitus tidak ada

Riwayat stroke tidak ada

Tidak ada riwayat TBC

Riwayat sakit CKD sejak beberapa bulan yang lalu.

Riwayat operasi batu gnjal 15 tahun yang lalu

III. Pemeriksaan Fisik

- Keadaan umum : Tampak sakit sedang

- Kesadaran : Compos Mentis

- Tanda-tanda vital

o Tekanan darah : 130/80 mmHg

o Nadi : 88 kali per menit

o Suhu : 36.7oC

o Laju pernafasan : 20 kali per menit

- Berat badan : 46 kg

- Kepala : Tidak ada deformitas

- Mata : Sklera anikterik, konjungtiva tidak anemis, dan

refleks cahaya langsung dan tak langsung positif

untuk kedua mata, pupil isokor 3.5mm/3.5mm

- Hidung : Septum nasi di tengah, sekret -/-, darah -/-

- Mulut : Mallampati 1, mukosa oral lembab

- Leher : Thyromental Distance 8 cm, kelenjar getah bening

tidak teraba

- Paru

o Inspeksi : Gerakan pernafasan simetris dalam kondisi statis

dan dinamis

o Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan kiri

o Perkusi : Sonor untuk kedua lapang paru

o Auskultasi : Bunyi nafas vesikular, ronki -/-, wheezing -/-

- Jantung

o Inspeksi : Iktus Cordis terlihat di intercostal 5

o Palpasi : Iktus Cordis teraba di intercostal 5

o Perkusi

Atas : Intercostalis 3 linea midklavikularis sinistra

Kanan : Intercostalis 5 linea sternalis desktra

Kiri : Intercostalis 5 linea midklavikularis sinistra

o Auskultasi : Bunyi jantung 1 dan 2 reguler, murmur(-), gallop(-)

- Abdomen

o Inspeksi : Tampak datar

o Palpasi : Supel

o Perkusi : timpani

o Auskultasi : BU +, 7x/menit

- Punggung:

Tidak terdapat deformitas, skoliosis maupun kifosis.

- Ekstremitas: Capillary Refill Time <2 detik, akral hangat, tidak terdapat edema

IV. Pemeriksaan penunjang

Tes darah 15-9-2013

- Hemoglobin : 10.1 g/dL

- Leukosit : 8600/µL

- Hematokrit : 32.5 %

- Trombosit : 201.000/µL

- GDS : 84 nmg/dL

- Ureum : 77,9 mg/dL (meningkat) => (sudah HD)

- Kreatinin : 3,15 mg/dL (meningkat)

- Natrium : 147,3 mmol/L

- Kalium : 4.19 mmol/L

- Calsium : 10,91 mmol/L

- Chlorida : 111,4 mmol/L

- waktu pendarahan : 2 menit

- Waktu pembekuan : 7 menit

Status fisik : ASA II

V. Pengobatan saat ini

- HD Tanggal 12/9/13

VI. Operasi

1. Tanggal 16 September 2013, pukul 10.30 pasien masuk kamar operasi.

Pemeriksaan Fisik :

KU: baik dengan SpO2 99%

Kesadaran : Compos mentis. GCS : 15.

Tanda Vital :

TD :143/80 mmHg

N : 78 x/menit

R : 20 x/menit

S : 36,8oC

EKG sinus rhythm

Oleh Anestesi, di dalam kamar operasi dilakukan:

o Oksigenasi

o Loading pasien dengan cairan Ringer Laktat 500 cc.

o Premedikasi dengan Ondansentron 4 mg dan Ranitidine 50 mg

2. Pukul 10.45 dilakukan anestesi regional menggunakan Bupivacaine HCl 0.5%

(hiperbarik) 3 cc.

Teknik Anestesi :Anestesi spinal setinggi L3 - 4

Anestesi dengan Bupivicaine HCl 0.5% dengan spinal needle no. 27

Respirasi : O2 2 Lpm

Selama operasi berlangsung, pasien ditempatkan pada posisi lithotomy

Pemeriksaan fisik :

KU : tenang, compos mentis

Tanda vital :

TD : 143 /80 mmHg

HR : 82 x/m

RR : 20 x/m

SpO2 : 99 %

VII. Post Anestesi Regional :

TD : 140/78 mmHg

HR : 77 x/m

RR : 20 x/m

SpO2 : 99 %

Total Cairan :

Kristaloid : 500 cc

Koloid : 500 cc

TOTAL : 1000 cc

Data observasi intra operatif

Waktu TD (mmHg) HR (x/m)SpO2

(%)Keterangan

10.45 143/80 78 99Loading RL.

Op dimulai pukul 10.45

11.00 130/72 70 99 -

11.15 132/78 68 99 Widahes

11.30 140/78 77 100 Op Selesai

Mediasi selama intraoperatif:

1) Ketorolac 30 mg IV bolus pada pukul 11.30

Lama operasi : 45 menit

Perdarahan : ± 100 ml

Penggantian cairan intraoperatif ± 800 ml

Bromage Scale: 2

0 : Dapat mengangkat lutut dan telapak kaki

1 : Hanya mampu fleksi lutut dan fleksi telapak kaki

2 : Tidak mampu fleksi lutut, namun masih mampu fleksi telapak kaki

3 : Tidak mampu gerakkan kaki atau telapak kaki

Instruksi post operasi :

1) Kontrol tekanan darah, nadi, dan respirasi tiap 15 menit selama 4 jam

2) Tidak perlu puasa, makan dan minum bertahap

3) Tidur terlentang selama 8 jam.

4) O2 diberikan 2 – 3 Lpm

5) Analgetic ketolorac 60 mg IV drip dalam RL 500 cc 24

6) Analgetic ketolorac 30 mg IV bolus per 8 jam (terakhir pukul 11.30)

Keadaan Pasca bedah

• Keadaan umum: Sakit sedang

– TD: 140/78

– HR: 77

– RR: 20

– SpO2: 100%

– Suhu: afebris0 C

• Bromage Scale: 2 (tidak mampu fleksi lutut, namun masih mampu fleksi telapak

kaki).

• Instruksi paska bedah

– Kontrol TNR tiap 15 menit selama 2 jam

– Bed rest ±12 jam post op

– Oksigen 2L per menit dengan kanul nasal

– Pasien tidak puasa

– Infus dan drip analgetik (ketorolac 60mg) 20 tetes per menit

– Bolus analgetik (ketorolac 30mg) diulang tiap 8 jam. Terakhir jam 09.50

– Tak perlu cek lab I

Monitoring Pasien

Pasca bedah (16 September 2013)

11.30 11.45 12.00 12.15 12.30 12.45 13.00

Kesadaran CM CM CM CM CM CM CM

TD 138/72 129/71 132/74 130/75 135/80 130/67 136/72

HR 72 77 70 81 74 72 75

RR 16 16 16 16 20 20 20

Suhu 330C 330C 330C 330C 330C 340C 340C

Saturasi

Oksigen

100% 100% 100% 100% 100% 100% 100%

1 Hari Post Ops 17 September 2013

Pagi

TD 130/80

Nadi 82

Suhu 37

RR 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anestesi Spinal

Anestesi spinal termasuk salah satu blok neuroaksial, bersama dengan anestesi kaudal,

lumbar, dan epidural. Anestesi spinal merupakan anestesi yang memblok serabut saraf yang

menyusuri ruang sub-arachnoid. Prinsipnya adalah meliputi serabut saraf dengan zat anestesi.

Pemberian zat anestesi pada serabut saraf di bagian posterior akan mempengaruhi sensasi

somatic dan viseral, sedangkan pemberian pada bagian anterior akan mempengaruhi sensasi

autonomik. Blokade somatik akan mencegah terjadinya rangsangan nyeri dan menurunkan

tonus otot. Efek pencegahan rangsangan nyeri didapat dengan memblok saraf sensorik,

sedangkan efek penurunan tonus otot didapat dengan memblok saraf motorik.

Keuntungan

Anestesi spinal memiliki beberapa keunggulan. Anestesi spinal memiliki risiko yang

lebih kecil untuk menyebabkan gangguan pernapasan karena anestesi spinal tidak memblok

terlalu tinggi. Aliran udara pasien juga umumnya tidak terganggu obstruksi maupun aspirasi.

Risiko hipoglikemia pada pasien juga cenderung lebih kecil. Pasien anestesi spinal yang

menderita diabetes dapat segera kembali ke pengobatan dan asupan yang biasa mereka dapat,

karena kurang digunakannya zat sedasi, dan berkurangnya mual dan muntah. Perdarahan juga

relatif lebih sedikit pada anestesi spinal jika dibandingkan dengan anestesi umum. Anestesi

spinal juga menyebabkan relaksasi otot ekstremitas yang baik sehingga memudahkan operasi

untuk abdomen bawah dan untuk operasi ekstremitas bawah.

Kerugian

Anestesi spinal tetap memiliki kekurangan. Teknik anestesi spinal cenderung lebih

sulit dilaksanakan dibandingkan dengan anestesi umum. Kadang-kadang, mustahil untuk

menemukan ruang epidural, sehingga prosedur anestesi spinal harus dibatalkan. Kekurangan

lainnya, beberapa pasien kadang tidak siap mental jika dioperasi dalam keadaan anestesi

spinal. Anestesi spinal juga tidak cocok untuk operasi yang berlangsung lebih dari dua jam.

Jika sebuah operasi berlangsung lebih dari waktu tersebut, sebaiknya segera digunakan

anestesi umum.

Indikasi

Ada beberapa indikasi untuk melaksanakan anestesi spinal. Anestesi spinal baik

digunakan untuk operasi yang dilakukan pada bagian tubuh di bawah umbilikal, misalnya

operasi hernia, operasi ginekologi, dan operasi urologi. Anestesi spinal juga diindikasikan

pada pasien tua yang memiliki penyakit sistemik seperti, penyakit paru kronik, penyakit yang

menyerang hepar, ginjal, dan sistem endokrin.

Kontraindikasi

Anestesi juga memiliki beberapa kontraindikasi. Pasien yang dianestesi secara spinal

memiliki risiko hematoma yang menekan medulla spinalis. Jadi, pasien yang yang memiliki

platelet rendah atau sedang mengonsumsi obat seperti warfarin dan heparin tidak dianjurkan

untuk mendapat anestesi ini. Pasien yang mengalami hipovolemia juga tidak diperbolehkan

menjalani anestesi spinal. Anestesi spinal menurunkan tensi pasien, sehingga penurunan tensi

pada pasien ini dapat menyebabkan pasien sangat hipotensi. Pasien yang sepsis juga

merupakan kontraindikasi. Pungsi lumbar yang dilakukan dalam anestesi spinal dapat

menyebabkan kuman masuk ke ruang epidural, dan ujungnya dapat menyebabkan meningitis.

Faktor yang mempengaruhi tingkat kedalaman anestesi

Ada beberapa hal yang mempengaruhi tingkat kedalaman anestesi untuk anestesi

spinal. Faktor yang paling penting adalah densitas larutan anestesi dibandingkan dengan CSF,

posisi pasien selama dan setelah anestesi, dan dosis obat anestesi. Larutan hyperbaric

memiliki densitas yang lebih besar (biasa dibuat dengan dicampur dengan zat seperti glukosa)

daripada CSF. Larutan hypobaric memiliki densitas yang lebih rendah (biasa dibuat dengan

dicampur dengan air) daripada CSF. Jika pasien dalam posisi head-down, zat yang hiperbarik

akan bergerak ke arah kepala (cephalic), dan zat yang hipobarik akan bergerak ke arah bawah

(kaudal). Dalam posisi head-up¸ zat yang hiperbarik akan bergerak ke arah bawah, sedangkan

zat yang hipobarik akan bergerak ke arah atas. Zat yang isobaric, akan menetap di bagian

yang dilakukan anestesi spinal. Anestesi yang hiperbarik lebih sering digunakan daripada

yang hipobarik.

Posisi pasien juga berpengaruh pada tingkat anestesi. Pada pasien yang duduk, dapat

didapat “saddle block”. Pasien tersebut perlu duduk selama 3 hingga 5 menit untuk mencapai

efek saddle block. Jika pasien didudukkan dari posisi tersebut, maka obat anestesi akan

berpindah ke arah atas, mengikuti kurva thorakolumbar. Jika anestesi hiperbarik diberikan

secara intratekal dan dalam posisi lateral dekubitus, maka akan berguna untuk bedah yang

dilaksanakan di ekstremitas bawah, secara unilateral.

Teknik anestesi

1. Persiapan

Sebelum melakukan anestesi spinal, beberapa persiapan perlu dilakukan. Persiapan

tersebut adalah alat-alat, dan obat-obatan. Pemilihan obat perlu disesuaikan dengan prosedur

bedah yang akan dilakukan. Obat-obat yang paling sering digunakan dalam anestesi spinal

adalah Bupivacaine Hiperbarik dan Tetracaine. Epinefrin bisa juga ditambahkan untuk

menambah durasi obat bekerja pada pasien.

Hal berikut yang perlu disiapkan adalah jarum untuk anestesi spinal. Jarum spinal

yang diperlukan untuk anestesi tersedia dalam berbagai ukuran dan bentuk. Setiap jarum

seharusnya memiliki stilet yang dapat ditarik dan memenuhi lumen jarum. Ini bertujuan

untuk mencegah masuknya sel epithelial ke ruang subaraknoid. Penggunaan jarum yang kecil

dapat mengurangi risiko terjadinya sakit kepala paska pungsi.

Jarum untuk anestesi spinal ada beberapa jenis: Qunicke, Whitacre, dan Sprotte.

Jarum Quincke memiliki ujung dapat digunakan untuk memotong, sedangkan jarum Whitacre

dan Sprotte memiliki ujung yang berbentuk kerucut.

2. Posisi

Posisi yang biasa digunakan untuk melakukan anestesi spinal adalah lateral decubitus,

dan posisi duduk.

Untuk posisi lateral decubitus, pasien diminta untuk berbaring dengan punggung

parallel dengan meja operasi. Kemudian, pasien diminta untuk melakukan fleksi pada paha

sehingga menyentuh abdomen, dan fleksi kepala sehingga mendekati lutut yang telah

difleksikan sebelumnya. Posisi lateral decubitus mempermudah pemasukan sedasi dan tidak

terlalu bergantung pada asisten yang terlatih.

Posisi duduk digunakan jika bedah yang akan dilaksanakan berada di bagian yang

rendah seperti bagian sacral dan lumbal, dan biasa untuk prosedur pembedahan urologis. Bisa

juga digunakan jika penentuan area garis tengah tubuh sulit dilaksanakan dalam posisi lateral

dekubitus.

3. Pungsi

Untuk melakukan pungsi, dapat digunakan dua teknik, yaitu midline, dan paramedian.

Untuk teknik midline, pasien bisa diposisikan duduk. Pasien duduk dengan siku mereka

berada di paha, atau sambil memeluk bantal. Fleksi tulang belakang membuat medulla

spinalis lebih dekat ke kulit. Fleksi ini membantu membuka ruas tulang belakang L2-L3, atau

L3-L4 sehingga menyediakan tempat masuk untuk anestesi. Untuk menentukan ruas-ruas ini,

tentukan letak iliac crest. Tarik garis antara kedua iliac crest. Bagian yang dilewati oleh garis

tersebut merupakan L4 atau ruas antara L4-L5.

Setelah menetukan daerah yang akan dianestesi, sebaiknya gunakan sarung tangan

steril. Gunakan larutan antiseptic pada daerah yang akan dipungsi. Setelah itu, mulai

masukkan jarum ke daerah yang akan dipungsi. Untuk jarum yang ukuran kecil, kadang

diperlukan stilet untuk menjaga kestabilan jarum ketika menusuk. Jaringan-jaringan yang

dilewati saat pungsi adalah kulit, lemak subkutan, ligament supraspinosus, ligament

interspinosus, ligament flavum, ruang epidural, dan dura. Ketika sudah mencapai ruang

subaraknoid, stilet dilepaskan dan larutan CSF terlihat. Jika tidak terlihat cairan CSF, maka

stilet perlu diganti. Untuk jarum yang lebih kecil, perlu waktu sekitar 20 hingga 30 detik

untuk melihat keluarnya CSF. Jika terlihat darah keluar, tunggu hingga darah tersebut

menjadi jernih. Jika tidak berubah, maka posisi jarum perlu diubah. Ketika terlihat aliran

CSF, masukkan syringe ke jarum, kemudian aspirasi sedikit CSF ke dalam jarum. Jika larutan

yang digunakan adalah hiperbarik, maka dapat terlihat larutan yang berkesan berputar karena

bercampur dengan dextrose. Kemudian masukkan cairan 0,2ml/detik. Setelah cairan

dimasukkan, aspirasi lagi CSF untuk memastikan jarum masih di ruang subaraknoid. Setelah

obat anestesi dimasukkan, posisikan pasien sesuai dengan bedah yang akan dilakukan dan

barisitas larutan.

Tingkat Daerah yang terpengaruh

T4-T5 Bedah abdomen atas

T6-T8 Bedah abdomen bawah termasuk section

caesarea dan operasi renal

T10 Operasi pada prostat, dan vagina, termasuk

kelahiran forsep, dan operasi pinggang

L1 Operasi ekstremitas bawah

S2 Bedah perineal dan rectal

Untuk teknik paramedian, jarum dimasukkan sedikit lateral dari daerah midline.

Jarum dimasukkan ke arah cephal. Jika terkena tulang, maka sudut diarahkan lebih ke atas

lagi. Jika sudah terdapat CSF, maka lanjutkan sama dengan teknik midline.

2.2. Transurethral Resection of Prostate (TURP)

Transurethral resection of prostate (TURP) adalah prosedur cystoscopy yang

digunakan untuk meringankan gejala dari obstruksi pada saluran kandung kemih, yang

umumnya disebabkan karena benign prostatic hypertophy (BPH). BPH terjadi pada 50% laki-

laki pada usia 60 tahun dan 90% pada usia 85 tahun sehingga TURP paling sering dilakukan

pada pasien berusia tua, kelompok populasi dengan insiden penyakit jantung, pernapasan dan

ginjal yang tinggi. Angka mortalitas yang berhubungan dengan TURP sejumlah 0.2-6%,

dengan penyebab kematian tersering adalah karena infark miokard. Operasi ini dilakukan

dengan melihat langsung menggunakan diathermy yang melewati loop kawat diujung

resectoscope, yang dimasukkan kedalam kandung kemih melalui uretra pasien. Hal ini

memungkinkan reseksi prostat yang mengalami hipertrofi menjadi potongan kecil dan

dikeluarkan dengan cairan irigasi. Cairan irigasi yang paling sering digunakan adalah 1.5%

larutan glycine karena terlihat jernih dan non-electrolytic. Osmolaritas glycine adalah 200

mOsm/L, jauh lebih rendah dibandingkan darah, dan jumlah yang besar dari cairan irigasi

hipotonik, dapat diserap secara sistemik melalui jaringan vaskular prostat dan dapat

menyebabkan beberapa komplikasi serius.

Penilaian Pre-operatif

Jika pasien memiliki masalah medis yang dapat berubah sebelum operasi, maka

TURP dapat ditunda. Penentuan dilakukannya general anestesi atau spinal anestesi pada

pasien tergantung pada keuntungan dan kerugian dari masing-masing tehnik pada tiap kasus.

Pada beberapa pasien, resiko anestesi dan tindakan operasi dapat lebih besar dari keuntungan

prosedur elektif seperti TURP.

Kardiovaskular – Hipertensi, ischaemic heart disease (IHD) dan aritmia sangat sering

ditemui. Pasien dengan gagal jantung dengan onset dini atau tidak terkontrol memiliki

angka mortalitas perioperatif tertinggi.

Respirasi – Penurunan kemampuan fungsional (ketidakmampuan menaiki tangga)

dapat menunjukkan adanya penyakit serius. Ketidakmampuan berbaring dalam

kondisi datar karena dyspnea yang disebabkan karena jantung atau paru-paru dapat

membuat anestesi spinal sulit dilakukan.

Neurologi – Pasien gelisah tidak dapat tetap berbaring selama anestesi spinal.

Muskuloskeletal – perubahan degeneratif dari kolum vertebra dapat membuat blok

subarachnoid sulit dilakukan.

Renal impairment – dapat terjadi karena uropathy obstruktif.

Jalan napas – Walaupun tindakan anestesi regional telah direncanakan, selalu

persiapkan kemungkinan dilakukannya general anesthesi jika anestesi regional gagal

atau tidak adekuat.

Riwayat obat – Sebagian besar pasien dengan usia tua memiliki medikasi

kardiovaskular. Beta blocker menekan respon kompensasi tachycardi pada hipotensi

yang berhubungan dengan blok subarachnoid (subarachnoid block/ SAB) atau

pendarahan, tetapi tetap harus digunakan untuk mencegah iskemi miokard peri-

operatif.

Pada prosedur TURP, kebanyakan pasien berusia tua dan harus dilakukan pemeriksaan

penunjang, yaitu full blood count atau penghitungan kadar hemoglobin, kreatinin dan

elektrolit untuk dapat mendeteksi disfungsi ginjal atau gagal ginjal. ECG juga perlu

dilakukan untuk pasien dengan gejala penyakit jantung atau pasien dengan usia diatas 60

tahun. Selain itu, tes lain dapat dilakukan pada beberapa kasus, seperti waktu pembekuan,

analisa gas darah dan tes fungsi paru-paru pada pasien dengan penyakit respirasi berat, Chest

radiograph pada pasien dengan perburukan kardiak atau penyakit jantung, urinalisis, dan gula

darah.

Pemilihan Tindakan Anestesi

Di inggris, 75% TURP dilakukan dibawah anestesi regional. Walaupun tindakan

anestesi regional pada pasien sadar memiliki keuntungan secara teori, seperti deteksi dini

sindrom TUR, keberhasilan prosedur TURP dapat sama menggunakan tehnik anestesi umum.

Tingkat morbiditas dan mortalitas jangka pendek dan hasil jangka panjang yang didapatkan

sama tidak bergantung pada tehnik anestesi yang digunakan. Penentuan tehnik anestesi yang

digunakan dilakukan setelah melihat status medis pasien dan keuntungan dan kerugian

masing-masing tehnik. Keuntungan tehnik anestesi regional mencakup: deteksi dini

komplikasi yang timbul seperti sindrom TUR dan perforasi kandung kemih, dapat

menghindari efek anetesi umum pada patologi pulmoner, menurunkan insiden DVT/PE post-

operatif, dan harga murah. Sedangkan keuntungan anestesi umum adalah: dapat dilakukan

pada pasien yang tidak dapat tidur pada posisi datar atau tidak dapat menahan batuk, tidak

terdapat keterbatasan waktu, meskipun demikian tindakan harus dilakukan secepat mungkin,

kontrol CO2 lebih baik, sehingga dapat mengurangi pendarahan dari prostatic bed dan pilihan

pasien.

Premedikasi

Analgesik – berikan analgesia (paracetamol dan NSAID)

Anxiolytics – pertimbangkan benzodiazepine jika memiliki indikasi klinis. Pada pasien

berusia tua, obat ini dapat menyebabkan post-operative confusion.

Semua pasien harus dimonitor secara menyeluruh mencakup tekanan darah, nadi dan ECG

pada pasien dengan blok subarachnoid.

Subarachnoid block/ Spinal anesthesia

Periksa apakah ada kontraindikasi terhadap SAB (subarachnoid block).

Preload cairan dengan 500-1000 ml saline 0.9% paling sering diberikan. Pasien

cenderung mengalami dehidrasi karena berbagai penyebab seperti puasa dan penggunaan

diuretik. Preload cairan membantu kompensasi vasodilatasi dan hipotensi yang

disebabkan karena anestesi spinal dan dibutuhkan loading sodium untuk mengimbangi

hiponatremia yang sering terjadi pada TURP.

Blok paling tidak hingga T10 atau setinggi umbilikus dibutuhkan untuk memulai operasi.

2.5 hingga 3 mL plain atau heavy bupivacaine 0.5% dapat mencapai ini. Blok setinggi

level ini biasanya tidak menyebabkan hipotensi berat, tetapi vasopressor (ephedrine 3-6

mg, atau metaraminol 0.5-1mg) harus tersedia. Sebagai acuan umum, ephedrine

digunakan jika pulsasi kurang dari 60 kali per menit, dan metaraminol jika pulsasi lebih

dari 60 kali per menit.

Heavy lignocaine 5% 1.2-1.4 mL dapat juga digunakan walaupun durasi blokade-nya

tidak adekuat setelah 90 menit. Penambahan adrenaline 0.2 mg pada lignocaine

hiperbarik dapat memperpanjang durasi blok.

Tabel 1. Kontra indikasi SAB:

Pasien menolak Infeksi baik lokal atau general (sepsis) Peningkatan tekanan intrakranial Hipovolemia atau shock Koagulopati dengan jumlah hitung platelet <80-100

atau INR <1.5 Memiliki penyakit neurologik – dapat terjadi

eksaserbasi post-operatif

Pertimbangkan penggunaan sedasi intra-operatif untuk pasien cemas atau gelisah

(midazolam 0.5-1 mg), tetapi perlu diingat gejala ini dapat juga merupakan manifestasi

awal sindrom TUR.

Termometer, selimut penghangat dan penghangat cairan harus tersedia sebagai alat

deteksi dan prevensi dari hipotermia yang disebabkan cairan infus yang dingin dan efek

dari cairan irigasi.

Seluruh pasien harus diberikan asupan oksigen.

Anestesi Umum

Tehnik pernapasan spontan menggunakan facemask atau laryngeal mask, atau tehnik

relaksan dapat dilakukan tergantung keadaan pasien.

Hipotensi pada pasien dengan usia tua sangat mungkin terjadi akibat efek induksi dan

menurunkan kebutuhan agen anestetik volatil.

Pertimbangkan fungsi ginjal pasien saat menggunakan obat yang dieksresi melalui

ginjal, seperti morfin.

Pertimbangan lain

Cairan intravena perlu diberikan untuk menggantikan pendarahan yang terjadi. Cairan

maintenace tidak diperlukan karena cairan irigasi diabsorbsi secara terus menerus

selama prosedur operasi berlangsung.

Urolog sering memberikan antibiotik profilaksis terhadap bakteri gram negatif.

Biasanya dapat dipakai Gentamicin 3-4 mg/kg secara intravena.

Komplikasi TURP Intra-operatif

Hipotensi

Komplikasi utama yang berkaitan dengan anestesi adalah hipotensi yang diikuti oleh

blokade simpatis dari blokade subaraknoid. Hal ini jarang terjadi pada blokade sampai T10,

tetapi pada blokade tinggi dapat menyebabkan hipotensi resisten dan bradikardia jika terjadi

blokade pada cardioaccelerator fibres ( dari T1-T4). Terapinya dapat diberikan cairan,

vasopresor atau inotrop.

Sindrom TURP

Sindrom TURP yang ringan terjadi pada 8% dari total kasus yang ada, sedangkan

pada kasus yang berat terjadi 1-2%. Reseksi dari jaringan prostat membuka hubungan ke

sinus venosus yang luas sehingga memungkinkan cairan irigasi untuk diserap oleh sirkulasi

sistemik. Gejala dari sindrom TURP dapat muncul selama intraoperatif maupun muncul

selama berada di ruangan pemulihan.

Volume cairan yang diabsorbsi bergantung pada:

Durasi prosedur

Ketinggian dari kantong cairan irigasi di atas pasien (semakin tinggi menandakan

semakin meningkatnya tekanan hidrostatik yang membawa cairan ke intravena).

Vaskularitas dari jaringan prostat.

Cairan yang diabsorbsi selama reseksi rata-rata 10 sampai 30 mL/menit, yaitu sebanyak lebih

kurang 1800 mL/jam. Cairan irigasi yang mengandung glycine bersifat hipo-osmotik (200

mosm/l).

Trias klasik dari sindrom TURP yaitu:

1. Hiponatremi dilusional.

Dapat terjadi enselopati dan kejang jika konsentrasi natrium di bawah 120 mmol/l.

Selain itu, dapat juga terjadi edema cerebral.

2. Overload cairan.

Hal ini dapat menyebabkan edem pulmo dan gagal jantung.

3. Keracunan glycine.

Inhibitor neurotransmiter ini dapat menyebabkan depresi derajat kesadaran dan

gangguan penglihatan pada derajat toksik.

Gejala dan tanda-tanda dari sindrom TURP:

Takikardia

Mual dan muntah – disebabkan oleh hiponatremia dan edem cerebri.

Disorientasi – hiponatremia dan edem cerebri

Hipertensi (kelebihan cairan), lalu hipotensi (cardiac insufficiency)

Transient blindness – glycine toxicity

Angina

Dyspnea dan hipoksia yang disebabkan oleh edem pulmo

Kolaps kardiovaskular dan aritmia (VT/VF)

Kejang

Coma (Na < 100 mmol/l)

Jika pasien berada dalam general anestesi semua gejala dan tanda-tanda TURP sindrom

tersamarkan dan hanya terlihat takikardia dan hipotensi tanpa penyebab yang jelas.

Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko sindrom TURP:

Hiponatremia atau edem pulmo yang telah terjadi sebelumnya

Ukuran prostat yang lebih dai 60-100 g

Operator yang lambat atau tidak berpengalaman.

Prosedur berlangsung lebih dari 1 jam

Tekanan hidrostatik > 60 cmH2O (tinggi kantong irigasi di atas pasien)

Tekanan vena yang berkurang (dehidrasi)

Penggunaan cairan intravena dengan volume yang besar seperti dextrose 5%.

Sulit untuk menganalisa volume cairan irigasi yang telah diabsorbsi. Deteksi dini

tergantung pada kewaspadaan terhadap situasi yang berisiko tinggi dan observasi

yang berkelanjutan dari gejala dan tanda dari sindrom TURP. Durasi operasi harus

diusahakan di bawah 1 jam. Pada beberapa negara, cairan irigasi ditambahkan sedikit

alkohol, sehingga dapat dapat memperkirakan jumlah cairan yang diabsorbsi melalui

pengukuran alkohol pada udara ekspirasi pasien.

Investigasi

Kadar natrium yang rendah dapat mengkonfirmasi diagnosis. Kadar natrium di bawah

120 mmol/L dapat menimbulkan gejala dan kemungkinan timbulnya gejala sindrom

TURP semakin besar pada penuruan kadar natirum yang cepat. Manifestasi EKG

akibat hiponatremia seperti pelebaran QRS, peningkatan segmen ST dan inversi

gelombang T yang biasanya terjadi pada kadar natrium di bawah 115 mmol/l.

Hiperamonemia merupakan penemuan yang sering karena merupakan produk

sampingan dari metabolisme glycine. Selain itu, dapat juga ditemukan osmolalitas

serum yang rendah dah anion gap yang tinggi.

Tatalaksana

Tatalaksana awal harus mengikuti guideline ABC (airway, breathing and

circulation). Pasien yang sadar perlu disedasi dan diventilasi, sedangkan pada

pasien yang sedang dianestesi dengan mask airways memerlukan intubasi dan

ventilasi tekanan positif.

Beritahu dokter bedah dan hentikan operasi segera setelah titik pendarahan

telah koagulasi.

Tatalaksana awal dari terapi cairan yang berlebihan dan hiponatremia meliputi

menghentikan pemberian cairan intravena dan restriksi cairan ( misalnya, 800

ml/24 jam dapat meningkatkan kadar natrium sampai dengan 1,5 mmol/24

jam). Berikan furosemid 40 mg IV sebagai diuresis.

Hiponatremia yang menyebabkan ensefalopati membutuhkan koreksi yang

lebih cepat daripada yang diperoleh dengan restriksi cairan dan diuresis.

Idealnya, pasien-pasien tersebut seharusnya dimonitor segara cepat di ruangan

ICU. Cairan saline hipertonik ( 1,8%, 3% atau 5%) dapat digunakan untuk

meningkatkan kadar serum natrium sekitar 1 mmol/l/jam, tidak melebihi

peningkatan 20 mmol/l dalam 48 jam pertama terapi. Kadar natrium harus

diperiksa setiap beberapa jam. Terapi saline hipertonik sebaiknya dihentikan

ketika gejala telah berkurang atau kadar natrium mencapai 124-132 mol/l.

Koreksi yang cepat dapat menyebabkan central pontine myelinolysis, yang

mana dapat menyebabkan kerusakan otak yang ireversibel.

Konvulsi seharusnya diterapi secara cepat dengan benzodiazepin ( misalnya,

diazepam 5-10mg) atau thiopentone dosis rendah (25-100 mg). Pada kejang

yang berat, kadar natrium harusnya dikoreksi lebih cepat pada kecepatan 8-10

mmol/l/jam dalam 4 jam pertama terapi.

Haemorrhage

Jumlah pendarahan sangat sulit untuk dihitung. Jumlah darah yang hilang berkaitan

dengan massa dari glandula yang dieksisi, durasi dari prosedur dan pengalaman dari operator.

Kadar hematokrit serial merupakan indikator perlunya transfusi yang paling sensitif.

Haemoglobin dan elektrolit sebaiknya diukur sehari setelah operasi untuk mengeksklusikan

anemia subklinis dan hiponatremia.

Kehilangan darah yang hebat selama TURP terjadi kurang dari 1% dari total kasus

yang ada. Hal ini dapat menyebabkan kelaianan pembekuan yang disebabkan oleh pelepasan

aktivator jaringan plasminogen melalui porstat dan kemungkina lebih sering prostat yang

malignan. Untuk meminimalkan kehilangan darah yang aktif dapat diberikan anti fibrinolitik

seperti asam transexamat dan aprotinin.

Perforasi Kandung Kemih

Hal ini terjadi sekitar 1% dari kasus TURP. Kebanyakan perforasi terjadi secara

ekstraperitoneal dan dapat menyebabkan nyeri pada suprapubik, inguinal atau nyeri

periumbilikal pada pasien yang sadar. Dokter bedah dapat mengetahui berkurangnya cairan

irigasi yang balik dari kandung kemih. Perforasi intraperitoneal merupakan komplikasi yang

lebih jarang tetapi lebih serius. Dalam kasus ini, nyeri abdomen secara menyeluruh dan

pasien dapat mengeluh tentang nyeri pada ujung bahu. Selain itu, dapat ditemukan keluhan

seperti pucat, berkeringat, peritonitis, mual dan muntah dan hipotensi, tergantung dari ukuran

perforasi. Perforasi dapat ditemukan sebagai hipotensi yang tiba-tiba dan tidak diharapkan

selama general anestesi. Penanganannya meliputi laparotomi segera dan koreksi dari defek.

Hipotermia

Efek tambahan dari general anestesi, penggunaan cairan intravena bersuhu kamar dan volume

cairan irigasi yang besar dapat menyebabkan hipotermia pada pasien lanjut usia. Semua

cairan irigasi sebaiknya dihangatkan sampai menyerupai suhu tubuh sebelum digunakan.

Gemetaran paska operatisi dapat menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen miocardial

yang besar, penurunan cardiac output dan koagulopati.

Bakteraemia dan sepsis

Gambaran sepsis dapat ditemukan pada 6-7% pasien. Syok sepsis yang terjadi setelah TURP

jarang terjadi tetapi memiliki angka mortalitas yang mencapai 75%. Antimikrobial profilaksis

dengan gentamicin 3-4 mg/kg dosis tunggal saat induksi dapat digunakan atau dapat juga

digunakan golongan cephalosporin.

Posisi

Posisi lithotomi dapat menyebabkan kompresi saraf, dislokasi dari prothesa panggul, sindrom

kompartmen pada tungkai bawah dan gangguan respirasi pada pasien yang memiliki riwayat

penyakit paru sebelumnya (berkurangnya kapasistas residual fungsional paru).

Ereksi

Ereksi dapat terjadi sebagai akibat dari stimulai operasi ketika anestesi belum cukup dalam

dan menyulitkan teknik cystoscopy. Biasanya ereksi akan berkurang seiring dengan

bertambah dalamnya anestesi, atau dapat dicoba dengan ketamine dosis rendah jika gejala

menetap.

KOMPLIKASI PASKA OPERASI

Gejala hipotermia, hipotensi, haemorrhage, septicaemia serta gejala dan tanda

sindrom TURP dapat ditemukan di ruang pemulihan. Pasien dapat mengalami hipotensi akut

setelah menurunkan kakinya dari posisi lithotomi dikarenakan adanya pengurangan venous

return. Adanya hipotensi yang menetap yang tidak responsif terhadap terapi cairan dan tnapa

adanya kehilangan darah yang berlebihan dapat mengindikasikan adanya perforasi kandung

kemih. Gejala- gejala tersebut dapat disamarkan oleh residual blokade sub-araknoid.

Spasme kandung kemih merupakan kontraksi kandung kemih yang nyeri dan

involunter yang disebabkan oleh stimulasi dari leher kandung kemih oleh kateter. Aliran dari

cairan irigasi melalui kateter sering berkurang, mencegah pengosongan kandung kemih

secara menyeluruh dan memperberat nyeri yang ada. Dosis rendah benzodiazepine seperti

diazepam (5mg iv) sering efektif dalam menghilangkan spasme, atau dapat juga diberikan

Hyoscine butylbromide (Buscopan) 20 mg iv secara lambat.

Clot retention. Bladder clot dapat menyumbat kateter yang menyebabkan distensi

yang nyeri pada kandung kemih. Jika sumbatan tidak dapat dibebaskan dengan pencucian

kandung kemih yang agresif menggunakan three-way tap pada kateter, perlu dilakukan

kateter supra-pubic.

KESIMPULAN

TURP merupakan prosedur yang dilakukan pada populasi usia lanjut dengan insiden

penyakit penyerta yang lebih tinggi. Sebagai konsekuensinya, prosedur yang

dilakukan menyebabkan tantangan bagi dokter anestesi dan memiliki risiko mortalitas

sebesar 0,2 – 6%.

Penting untuk dilakukan evaluasi pre operasi yang menyeluruh dalam mendeteksi

pasien yang berisiko dan membantu dalam menentukan teknik anestesi yang sesuai.

Blokade sub araknoid dianggap sebagai teknik yang paling sesuai bagi TURP,

meskipun general anestesi memiliki profil morbiditas dan mortalitas yang mirip.

Blokade sub araknoid sampai T10 memberikan anestesia yang tanpa hipotensi yang

bermakna.

Sindrom TURP merupakan komplikasi yang jarang tetapi merupakan komplikasi fatal

pada prosedur TURP. Penting untuk dilakukan deteksi dini dan penaganan yang

segera.

Kehilangan darah sulit untuk diperhitungkan dan signifikan. Oleh karena itu, perlu

untuk memberikan perhatian pada status klinis pasien dan komunikasi dengan dokter

bedah.

ANESTESI PADA PASIEN GAGAL GINJAL

Perubahan fungsi ginjal dan efeknya terhadap agen-agen anestesi

            Banyak obat-obatan yang biasanya digunakan selama anestesia yang setidaknya

sebagian tergantung pada ekskresi renal untuk eliminasi. Dengan adanya kerusakan ginjal,

modifikasi dosis harus dilakukan untuk mencegah akumulasi obat atau metabolit aktif. Efek

sistemik azotemia bisa menyebabkan potensiasi kerja farmakologikal dari agen-agen ini.

Observasi terakhir mungkin  bisa disebabkan menurunnya ikatan protein dengan obat,

penetrasi ke otak lebih besar oleh karena perubahan pada sawar darah otak, atau efek sinergis

dengan toxin yang tertahan pada gagal ginjal.

AGEN INTRAVENA

Propofol & Etomidate

            Farmakokinetik baik propofol dan etomidate tidak mempunyai efeknya secara

signifikan pada gangguan fungsi ginjal. Penurunan ikatan protein dari etomidate pada pasien

hipoalbuminemia bisa mempercepat efek–efek farmakologi.

 

Barbiturat

Pasien-pasien dengan penyakit ginjal sering terjadi peningkatan sensitivitas terhadap

barbiturat selama induksi walaupun profil farmakokinetik tidak berubah. Mekanismenya

dengan peningkatan barbiturat bebas yang bersirkulasi karena ikatan dengan protein yang

berkurang. Asidosis bisa menyebabkan agen-agen ini lebih cepat masuknya ke otak dengan

meningkatkan fraksi non ion pada obat.

 

Ketamin

Farmakokinetik ketamin berubah sedikit karena penyakit ginjal. Beberapa metabolit

yang aktif di hati tergantung pada ekskresi ginjal dan bisa terjadi potensial akumulasi pada

gagal ginjal. Hipertensi sekunder akibat efek ketamin bisa tidak diinginkan pada pasien-

pasien hipertensi ginjal.

Benzodiazepin

Benzodiazepin menyebabkan metabolisme hati dan konjugasi karena eliminasi di

urin. Karena banyak yang terikat kuat dengan protein, peningkatan sensitivitas bisa terlihat

pada pasien-pasien hipoalbuminemia. Diazepam seharusnya digunakan berhati-hati pada

gangguan ginjal karena potensi akumulasi metabolit aktifnya.

 

Opioid

Banyak opioid yang biasanya digunakan pada manajemen anestesi (morfin,

meperidin, fentanil, sufentanil dan alfentanil) di inaktifasi oleh hati, beberapa metabolitnya

nantinya diekskresi di urin. Farmakokinetik remifentanil tidak terpengaruh oleh fungsi ginjal

karena hidrolisis ester yang cepat di dalam darah, kecuali morfin dan meferidin, akumulasi

metabolit biasanya tidak terjadi pada agen-agen ini. Akumulasi morfin (morfin-6-

glucuronide) dan metabolit meperidine pernah dilaporkan memperpanjang depresi pernafasan

pada beberapa pasien dengan gagal ginjal. Peningkatan level normeperidine, metabolit

meperidine, dihubungkan dengan kejang-kejang. Farmakokinetik yang sering digunakan dari

agonis-antagonis opioid (butorphanol nalbuphine dan buprenorphine) tidak terpengaruh oleh

gagal ginjal.

 

AGEN-AGEN ANTIKOLINERGIK

Dalam dosis premedikasi, atropin dan glycopyrolate biasanya aman pada pasien

gangguan renal karena lebih dari 50% dari obat-obat ini dan metabolit aktifnya di ekskresi

normal di urin, potensi akumulasi terjadi bila dosis diulang. Scopolamine kurang tergantung

pada ekskresi ginjal, tapi efek sistem syaraf pusat bisa dipertinggi oleh azotemia.

 

PHENOTHIAZINES, H2 BLOCKERS DAN AGEN-AGEN YANG BERHUBUNGAN.

Banyak phenothiazines, seperti promethazine dimetabolisme menjadi komponen

inaktif oleh hati. Walaupun profil farmakokinetik tidak berubah oleh gangguan ginjal,

potensiasi dari depresi pusat oleh azotemia bisa terjadi. Kerja antiemetiknya bisa berguna

untuk penanganan  mual preoperatif. Droperidol sebagian bergantung pada ekskresi ginjal.

Walaupun akumulasi bisa dilihat pada dosis besar pada pasien-pasien dengan gangguan

ginjal, biasanya droperidol digunakan pada dosis kecil (< 2,5 mg)

Semua H2 reseptor bloker sangat tergantung pada ekskresi ginjal. Metoclopramide

sebagian diekskresinya tidak berubah di urin dan akan diakumulasikan juga pada gagal ginjal.

Walaupun lebih dari 50% dolasetron diekskresikan di urin, tidak ada dosis yang disesuaikan

yang di sarankan untuk 5 HT3 bloker pada pasien dengan insufisiensi ginjal.

 

AGEN-AGEN INHALASI

Agen-agen volatile

Agen anastetik volatile hampir ideal untuk pasien-pasien dengan disfungsi renal

karena tidak tergantungnya pada eliminasi ginjal, kemampuan untuk mengkontrol tekanan

darah dan biasanya mempunyai efek langsung minimal pada aliran darah ginjal. Walaupun

pasien dengan gangguan ginjal ringan dan sedang tidak menunjukkan perubahan cepat atau

distribusi, percepatan induksi dan timbulnya bisa dilihat pada anemis berat (Hb <5 g/dL)

dengan GGK; observasi ini bisa dijelaskan oleh turunnya blood gas portion coefficient atau

kurangnya MAC. Enflurane dan sevoflurane (dengan <2 L/min aliran gas) disarankan tidak

baik untuk pasien-pasien dengan penyakit ginjal yang terjadi pada prosedur panjang karena

potensi akumulasi fluoride.

 

NITROUS OXIDE

Banyak klinisi tidak menggunakan atau membatasi penggunaan NO2 sampai 50%

pada pasien-pasien dengan gagal ginjal dalam tujuan untuk meningkatkan penggunaan O2

arteri pada keadaan anemia. Rasionalisasi ini bisa dilihat hanya pada pasien anemia berat (Hb

<7 gr/dL), bahkan pada peningkatan O2 dissolved mungkin terlihat persentasi yang

signifikan dari O2 arteri  terhadap perbedaan O2 vena.

 

PELUMPUH OTOT

Succinyl choline

SC bisa digunakan secara aman pada gagal ginjal, dengan konsentrasi serum kalium

kurang dari 5 mEq/L pada saat induksi. Bila K serum lebih tinggi, pelumpuh otot nondepol

sebaiknya digunakan .Walaupun penurunan level pseudocholinesterase pernah dilaporkan

pada beberapa pasien uremik yang mengikuti dialisis, perlamaan signifikan dari blokade

neuromuscular jarang terlihat.

 

Cisatracurium, atracurium & Mivacurium

Mivacurium tergantung secara minimal pada ginjal untuk eliminasi. Efek yang

sedikit memanjang dapat dilihat karena menurunnya pseudokolinesterase plasma.

Cisatracurium dan atracurium didegradasi di plasma oleh eliminasi enzim hidrolisis ester

dan nonenzim Hofmann. Agen-agen tersebut mungkin merupakan obat pilihan untuk

pelumpuh otot pada pasien-pasien dengan gagal ginjal.

Vecuronium & Rucoronium

Eliminasi dari vecuronium secara primer ada di hati, tapi lebih dari 20% dari obat

dieliminasi di urine. Efek dari dosis besar vecuronium (> 0,1 mg/kg) hanya di perpanjang

sedikit pada pasien-pasien renal insufisiensi. Rocuronium secara primer dieliminasi di hati,

tapi perpanjangan kerja pada penyakit ginjal berat pernah dilaporkan.

 

Curare

Eliminasi dari curare tergantung baik pada  ginjal maupun ekskresi empedu; 40-60%

dosis curare secara normal dieksresi di dalam urin. Peningkatan efek pemanjangan dilihat

pada dosis berulang pada pasien-pasien dengan gangguan renal  yang signifikan. Dosis lebih

rendah dan perpanjangan interval pemberian dosis diperlukan untuk rumatan agar pelumpuh

otot optimal.

Pancuronium,Pipecuronium,Alcuronium,&Doxacurium

Obat-obat ini tergantung terutama pada ekskresi renal (60-90%). Walaupun

pancuronium di metabolisme di hati menjadi metabolit intermediate yang kurang aktif,

eliminasi paruh waktunya masih tergantung pada ekskresi ginjal (60-80%). Fungsi

neuromuscular harus dimonitor ketat jika obat-obat ini digunakan pada fungsi ginjal

abnormal.

 

Metocurine, Gallamine & Decamethonium

Obat-obat ini hampir sepenuhnya tergantung pada ekskresi ginjal untuk eliminasi dan

harus dihindari penggunaannya dari pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

Obat-obat Reversal

Ekskresi ginjal adalah rute utama eliminasi bagi edrophonium, neostigmine &

pyridostigmine. Waktu paruh dari obat-obat ini pada pasien dengan gangguan gagal ginjal

memanjang setidaknya sama dengan pelumpuh otot sebelumnya diatas. Masalah-masalah

dengan tidak adekuatnya reversal dari blokade neuromuscular biasanya dihubungkan dengan

faktor-faktor lain.

 

ANESTESIA PADA PASIEN DENGAN GAGAL GINJAL

PERTIMBANGAN PRE OPERASI

Gagal Ginjal Akut

Gagal ginjal akut adalah penurunan fungsi ginjal secara cepat yang menghasilkan

penumpukan dari sampah nitrogen (azotemia). Zat ini sebagian besar bersifat racun,

dihasilkan oleh metabolisme protein dan asam amino. Termasuk urea, senyawa guanidine

(termasuk creatin dan creatinin), asam urat, asam amino alifatik, berbagai jenis peptida dan

metabolisme dari asam amino aromatik. Metabolisme ginjal yang terganggu pada sirkulasi

protein dan peptida juga memegang peranan dalam meluasnya disfungsi organ.

Azotemia dapat dibagi menjadi beberapa tipe berdasarkan penyebabnya yaitu

prerenal, renal, dan postrenal. Prerenal azotemia disebabkan penurunan fungsi ginjal yang

akut dalam perfusi ginjal. Renal Azotemia biasanya mengarah pada penyakit ginjal intrinsik,

renal iskemia atau nefrotoxin. Postrenal Azotemia diakibatkan oleh karena adanya obstruksi

atau gangguan pada saluran kemih. Azotemia renal dan postrenal bersifat reversible pada

tahap inisial namun jika dibiarkan terus menerus akan menyebabkan azotemia renal.

Kebanyakan pasien dewasa dengan gagal ginjal akan terjadi oliguria. Pasien yang nonoliguri

(yaitu pasien dengan urin output  >400mL/hari) terus menerus membentuk urin yang secara

kualitatif miskin, pada pasien ini cenderung memiliki pemeliharaan yang cukup baik dari

GFR. Walaupun filtrasi glomerulus dan fungsi tubulus terganggu, kelainannya untuk

cenderung buruk lebih sedikit pada gagal ginjal nonoliguri.

Pembahasan mengenai gagal ginjal akut bervariasi, namun pada tipe oliguria bertahan

sampai 2 minggu dan diikuti oleh fase diuretik yang ditandai dengan adanya peningkatan

yang progresif pada urin output. Fase diuretik ini sering menghasilkan sangat banyaknya urin

output dan biasanya tidak ditemui pada gagal ginjal yang non oligurik. Fungsi urinari

semakin baik dalam beberapa minggu namun bisa tetap bertahan tidak kembali normal

sampai 1 tahun.

Gagal Ginjal Kronis

Sindroma ini dikarakteristikkan oleh adanya penurunan fungsi ginjal yang progresif

dan irreversibel dalam waktu 3-6 bulan. Penyebab utamanya adalah hipertensi nefrosklerosis,

diabetik nefropati, glomerulonefritis kronis, dan penyakit ginjal polikistik.

Manifestasi penuh dari sindrom ini sering dikenal dengan uremia yang akan terlihat

setelah GFR menurun dibawah 25 mL/menit. Pasien dengan klirens dibawah 10 mL/menit

(sering disebut dengan end stage renal disease) akan bergantung kepada dialisis untuk

bertahan sampai dilakukan transplantasi. Dialisis dapat berbentuk intermittent hemodialysis

melalui arteriovenous fistula atau dialisis peritoneal yang terus menerus melalui kateter yang

diimplantasikan.

Manisfestasi Uremia

Neurological Cardiovascular

Peripheral neuropathy Fluid overload

Autonomic neuropathy Congestive heart failure

Muscle twitching Hypertension

Encephalopathy Pericarditis

Asterixis Arrhythmia

Myoclonus Conduction blocks

Lethargy Vascular calcification

Confusion Accelerated atherosclerosis

Seizures Metabolic

Coma Metabolic acidosis

Pulmonary Hyperkalemia

Hyperventilation Hyponatremia

Interstitial edema Hypermagnesemia

Alveolar edema Hyperphosphatemia

Pleural effusion Hypocalcemia

Gastrointestinal Hyperuricemia

Anorexia Hypoalbuminemia

Nausea and vomiting Hematological

Delayed gastric emptying Anemia

Hyperacidity Platelet dysfunction

Mucosal ulcerations Leukocyte dysfunction

Hemorrhage Skin

Adynamic ileus Hyperpigmentation

Endocrine Ecchymosis

Glucose intolerance Pruritus

Secondary hyperparathyroidism Skeletal

Hypertriglyceridemia Osteodystrophy

Periarticular calcification

Efek yang meluas dari uremia biasanya dapat dikontrol dengan dialisis. Banyak

pasien yang menjalani dialisis setiap hari umumnya merasa normal dan beberapa tidak terjadi

discoloration yang berkaitan dengan tahap akhir penyakit ginjal dan dialisis. Mayoritas pasien

di dialisis 3 kali perminggu.

Sayangnya, semakin lama biasanya komplikasi uremia sukar disembuhkan. Lebih

lagi, beberapa komplikasi berhubungan langsung dengan proses dialisis tersebut. Hipotensi,

neutropenia ,hipoksemia ,sindroma disequilibrium bersifat sementara dan hilang beberapa

jam setelah dialisis. Beberapa faktor yang menyebabkan hipotensi selama dialisis termasuk

efek vasodilatasi dari larutan asetat dialisat, neuropati otonom dan pergerakan yang cepat dari

cairan. Interaksi antara sel darah putih dengan membran derivat dialisis cellophane akan

mengakibatkan neutropenia dan leukocyte-mediated pulmonary disfunction menyebabkan

hipoksemia. Sindroma disequilibrium dikarakteristikkan oleh gejala neurologis sementara

yang berhubungan dengan penurunan dengan cepat osmolaritas ekstraselular dari osmolaritas

intraselular.

Manifestasi dari Gagal Ginjal

A. Metabolik

Pasien dengan gagal ginjal yang jelas dapat berkembang mengakibatkan abnormalitas

dari metabolik yang multipel termasuk hiperkalemia, hiperphospatemia, hipokalemia,

hipermagnesemia, hiperuricemia, dan hipoalbuminemia. Retensi air dan natrium akan

mengakibatkan pemburukan dari hiponatremia dan cairan ekstra seluler yang berlebihan.

Kegagalan untuk mengekskresikan produksi asam yang non folatil mengakibatkan asidosis

metabolik dengan anion gap yang tinggi. Hipernatremia dan hipokalemia adalah komplikasi

yang jarang.

Hiperkalemia adalah abnormalitas yang paling mematikan karena memiliki efek pada

jantung. Hal ini biasanya ditemukan pada pasien dengan kreatinin klirens < 5 mL/menit,

namun dapat berkembang secara cepat pada pasien dengan klirens yang lebih tinggi oleh

karena dengan masukan kalium yang besar (trauma, hemolisis, infeksi atau konsumsi

kalium).

Hipermagnesia biasanya ringan kecuali masukan magnesium meningkat (umumnya

dari antasida yang mengandung magnesium).Hipokalsemia terjadi dengan sebab yang tidak

diketahui. Mekanisme yang diakibatkan oleh deposit kalsium ke tulang secara sekunder oleh

karena hiperphospatemia, resistensi dari hormon paratiroid dan penurunan absorbsi usus

halus secara sekunder menurunkan sintesa renal dari 1,25-dihidroksi kolekalsiferol.Gejala

dari hipokalsemia jarang berkembang kecuali pasien dalam kondisi alkalosis.          

Pasien dengan gagal ginjal juga secara cepat kehilangan protein jaringan sehingga

menyebabkan hipoalbuminemia. Anoreksia, restriksi protein dan dialisis (terutama dialisis

peritonium) juga berperan.  

B. Hematologik

Anemia biasanya muncul jika kreatinin klirens dibawah 30 ml/menit. Konsentrasi

hemoglobin umumnya 6-8 gram/dl. Penurunan produksi eritropoetin menurunkan produksi

sel darah merah, dan menurunkan pertahanan sel. Faktor tambahan termasuk perdarahan

saluran cerna, hemodilusi, dan penekanan sumsum tulang dari infeksi sebelumnya. Walaupun

dengan transfusi, konsentrasi hemoglobin meningkat sampai 9 gram/dl sangat sulit untuk

dipertahankan. Pemberian eritropoetin biasanya dapat mengoreksi anemia. Peningkatan  dari

2,3-difosfogliserat bertanggung jawab dalam penurunan kapasitas pembawa oksigen. 2,3-

DPG memfasilitasi pelepasan oksigen dari hemoglobin. Asidosis metabolik juga

mengakibatkan pergeseran ke kanan pada kurva oksigen-hemoglobin dissosiasi. Tanpa

adanya penyakit jantung yang symptomatik beberapa pasien dapat mentoleransi anemia

secara baik.

Fungsi platelet dan sel darah putih terganggu pada pasien dengan gagal ginjal. Secara

klinis, hal ini dimanifestasikan sebagai pemanjangan waktu perdarahan dan gampang terkena

infeksi. Pada pasien dengan penurunan aktivitas platelet faktor III, dan juga  penurunan

ikatan dan agregrasi platelet. Pasien yang dihemodialisa juga memiliki efek sisa antikoagulan

dari heparin.     

 

C. Kardiovaskuler

Cardiac Output dapat meningkat pada gagal ginjal untuk menjaga oksigen delivery

pada penurunan kapasitas pembawa oksigen. Retensi natrium dan abnormalitas pada sistem

renin angiotensin berakibat pada hipertensi sistemik arteri. Left ventrikuler hipertropi umum

dijumpai pada gagal ginjal kronis. Cairan ekstraseluler yang berlebihan oleh karena retensi

natrium bersamaan dengan peningkatan kebutuhan yang terganggu oleh karena anemia dan

hipertensi mengakibatkan pasien gagal jantung dan edema pulmonum. Peningkatan

permeabilitas dari membran kapiler alveoli dapat menjadi faktor predisposisi. Blok konduksi

sering ditemukan mungkin diakibatkan oleh deposit kalsium dari sistem konduksi. Aritmia

sering ditemukan dan mungkin berhubungan pada kelainan metabolik. Perikarditis uremia

dapat ditemukan pada beberapa pasien, pasien bisa asimptomatis , yang ditandai dengan

adanya nyeri dada atau terbentuknya tamponade jantung. Pasien dengan gagal ginjal kronis

juga dikarakteristikan dengan peningkatan pembuluh darah perifer dan penyakit arteri

koroner.

Depresi volume intravaskuler dapat muncul pada fase diuretik pada gagal ginjal akut

jika replacement cairan tidak adekuat. Hipovolemi juga muncul jika terlalu banyak cairan

yang terlalu banyak dikeluarkan ketika dialisis.

D. Pulmonary

Tanpa dialisis atau terapi bikarbonat, pasien bergantung pada peningkatan ventilasi

permenit untuk mengkompensasikan asidosis metabolik. Cairan ekstravaskular

pulmonum biasanya meningkat dalam bentuk interstitial edema, mengakibatkan perluasan

gradien alveolar ke arterial oksigen yang menyebabkan terjadinya hipoksemia. Peningkatan

permeabilitas dari kapiler alveolar pada beberapa pasien menyebabkan edema paru walaupun

dengan tekanan kapiler paru yang normal, karakteristik pada foto toraks menyerupai

”butterfly wings”.

 

E. Endokrin

Toleransi glukosa yang abnormal ditandai dengan adanya gagal ginjal akut dari

resistensi perifer pada insulin, pasien mempunyai glukosa dalam darah dengan jumlah besar

dan jarang menggunakannya.Hiperparatiroidisme yang sekunder pada pasien dengan gagal

ginjal kronis dapat mengakibatkan penyakit tulang metabolik, yang dapat menyebabkan

fraktur. Kelainan pada metabolisme lemak sering mengakibatkan hipertrigliseridemia dan

kemungkinan berperan dalam atherosklerosis. Peningkatan dari tingkat protein dan

polipeptida yang biasanya segera didegradasikan di ginjal sering terlihat, hal ini berhubungan

dengan hormon paratiroid, insulin, glukagon, growth hormon, luteinizing hormone, dan

prolaktin.

 

F. Gastrointestinal

Anoreksia, nausea, vomiting dan ileus adinamik umumnya berhubungan dengan

azotemia. Hipersekresi dari asam lambung meningkatkan insiden dari tukak peptik dan

perdarahan saluran pencernaan, yang muncul pada 10-30% dari pasien. Penundaan

pengosongan lambung secara sekunder pada neuropati autonom dapat mencetuskan adanya

aspirasi perioperatif. Pasien dengan gagal ginjal kronis juga memiliki koinsiden terhadap

virus hepatitis (tipe B dan C), sering diikuti oleh disfungsi hepatik.

 

G. Neurologis

Tubuh kurus, letargi, confussion, kejang, dan koma adalah manifestasi dari uremik

encephalopathy. Gejala pada umumnya berhubungan dengan derajat azotemia. Neuropati

autonom dan perifer umumnya dijumpai pada pasien dengan gagal ginjal kronis. Neuropati

perifer bersifat sensoris dan melibatkan ekstremitas distal bagian bawah.

 

EVALUASI PREOPERATIF

Efek yang luas dari azotemia membutuhkan evaluasi yang menyeluruh pada pasien

dengan gagal ginjal. Kebanyakan pasien dengan gagal ginjal akut membutuhkan pembedahan

karena dalam keadaan sangat sakit.Gagal ginjalnya berhubungan dengan komplikasi post

operatif atau trauma. Pasien dengan gagal ginjal akut juga mempercepat pemecahan protein.

Manajemen perioperatif yang optimal tergantung dari dialisis preoperatif. Hemodialisis lebih

efektif pada dari pada peritoneal dialisis dan dapat dilakukan melalui internal jugular yang

temporer, dialisis dengan kateter subklavia atau femoral. Kebutuhan dialisis pada pasien

nonoligurik dapat disesuaikan dengan kebutuhan individual. Indikasi dari dialisis dapat

dilihat pada tabel

 Pasien dengan gagal ginjal kronis umumnya dijumpai di ruang operasi untuk kreasi

atau perbaikan dari arteriovenous fistula dibawah anestesi lokal atau regional. Berkenaan

dengan prosedur anestesi yang terpenuhi, evaluasi yang lengkap dibutuhkan untuk

memastikan pasien berada dalam kondisi yang optimal. Semua manifestasi yang reversibel

dari uremia harus dikontrol. Dialisis pre operatif pada hari pembedahan atau hari sebelumnya

dibutuhkan.

Evaluasi fisik dan laboratorium harus di fokuskan pada fungsi jantung dan pernafasan.

Tanda–tanda kelebihan cairan atau hipovolemia harus dapat diketahui. Kekurangan volume

intravaskuler sering disebabkan oleh dialisis yang berlebihan. Perbandingan berat pasien

sebelum dan sesudah dialisis mungkin membantu. Data hemodinamik, jika tersedia dan foto

dada sangat bermakna dalam kesan klinis. Analisa gas darah juga berguna dalam mendeteksi

hipoksemia dan mengevaluasi status asam-basa pada pasien dengan keluhan sesak nafas.

EKG harus diperiksa secara hati-hati sebagai tanda-tanda dari hiperkalimia atau hipokalimia

seperti pada iskemia, blok konduksi, dan ventrikular hipertropi. Echocardiography sangat

bermakna  dalam mengevaluasi fungsi jantung pada pasien dibawah prosedur pembedahan

mayor karena hal ini dapat mengevaluasi ejeksi fraksi dari ventrikel, seperti halnya

mendeteksi dan kuantitatif hipertropi, pergerakan abnormal pembuluh darah, dan cairan

perikard adanya gesekan bisa tidak terdengar pada auskultasi pada pasien dengan efusi

perikard.

Transfusi pre operatif sel darah merah harusnya diberikan pada pasien dengan anemia

berat (hemoglobin <6-7 g/dL) atau ketika kehilangan darah sewaktu operasi diperkirakan.

Waktu perdarahan dan pembekuan dianjurkan, khususnya jika ada pertimbangan regional

anestesi. Serum elektrolit, BUN, dan pengukuran kreatinin dapat menentukan keadekuatan

dialisis. Pengukuran glukosa dibutuhkan dalam mengevaluasi kebutuhan potensial untuk

terapi insulin perioperatif.

Terapi obat preoperatif diberikan secara hati-hati pada obat yang dieliminasi di ginjal.

Penyesuaian dosis dan pengukuran kadar darah (jika memungkinkan) dibutuhkan untuk

mencegah toksisitas obat.

 

I. Obat yang berpotensial berakumulasi secara signifikan pada pada pasien dengan

gangguan ginjal

Muscle relaxants

Metocurine, Gallamine, Decamethonium, Pancuronium, Pipecurium, Doxacurium, Alcuronium

Anticholinergics 

Atropine, Glycopyrrolate

Metoclopramide

H2 reseptor antagonists 

Cimetidine, Ranitidine

Digitalis

Diuretics

Calcium Channel antagonis

Nifedipine, Diltiazem

β – Adrenergic blockers 

Propanolol, Nadolol, Pindolol, Atenolol

Anti Hipertensi

Clonidine, Methyldopa, Captporil, Enalapril, Lisinopril, Hydralazine, Nitroprusside (Thiocyanate)

Antiarrhytmics

Procainamide, Disopyramide, Bretylium, Tocainide, Encainide (Genetically determined)

Bronchodilators

Terbutalline

Psychiatric 

Lithium

Antibiotics

Penicillins, Cephalosporin, Aminoglycosid, Tetracycline, Vancomycin

Anticonvulsants

Carbamazepine, Ethosuximide, Primidone

PREMEDIKASI

            Pada pasien yang relatif stabil dan sadar dapat diberikan pengurangan dosis dari

opioid atau benzodiazepin. Promethazin, 12.5-25 mg intra muskular, berguna sebagai

tambahan sedasi dan anti emetika. Profilaksis untuk aspirasi diberikan H2 blocker

diindikasikan pada pasien mual, muntah atau perdarahan saluran cerna. Metoclopramide, 10

mg secara oral atau tetes lambat intra vena juga berguna dalam mempercepat pengosongan

lambung, mencegah mual dan menurunkan resiko aspirasi. Pengobatan pre operatif terutama

obat anti hipertensi harus dilanjutkan sampai pada saat pembedahan.

Obat-obat dengan potensi yang signifikan berakumulasi pada pasien yang memiliki

kelainan ginjal (tabel 32 -5)

 

PERTIMBANGAN INTRAOPERATIF

Monitoring

            Prosedur pembedahan membutuhkan perhatian pada kondisi medis secara

menyeluruh. Karena bahaya dari adanya oklusi, tekanan darah sebaiknya tidak diukur dari

cuff pada lengan dengan fistula arteriovena. Intra-arterial, vena sentral, dan arteri paru

membutuhkan perhatian, terutama pada pasien dibawah prosedur dengan pergeseran cairan

yang luas, volume intravaskuler sering sulit disesuaikan hanya dari tanda klinis. Monitoring

tekanan darah intra-arteri secara langsung diindikasikan pada pasien yang hipertensinya tidak

terkontrol. Monitoring invasif yang agresif diindikasikan khususnya pada pasien diabetes

dengan penyakit ginjal berat yang sedang menjalani pembedahan mayor, pasien jenis ini

mungkin memiliki tingkat morbiditas 10 kali lebih banyak pada pasien diabetes tanpa

penyakit ginjal. Yang terakhir ini menunjukkan insiden yang tinggi pada komplikasi

kardiovaskular pada grup pertama.

 

Induksi

            Pasien dengan mual, muntah atau perdarahan saluran cerna harus menjalani induksi

cepat dengan tekanan krikoid. Dosis dari zat induksi harus dikurangi untuk pasien yang

sangat sakit. Thiopental 2-3 mg/kg atau propofol 1-2 mg/kg sering digunakan. Etomidate,

0,2-0,4 mg/kg dapat dipertimbangkan pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil.

Opioid, beta-bloker (esmolol), atau lidokain bisa digunakan untuk mengurangi respon

hipertensi pada intubasi. Succinylcholine, 1,5 mg/kg, bisa digunakan untuk intubasi

endotrakeal jika kadar kalium darah kurang dari 5 meq/L. Rocuronium

(0,6mg/kg),cisatracurium (0,15 mg/kg), atracurium (0,4 mg/kg) atau mivacurium (0,15

mg/kg) dapat digunakan untuk mengintubasi pasien dengan hiperkalemia. Atracurium pada

dosis ini umumnya mengakibatkan pelepasan histamin. Vecuronium, 0,1 mg/kg tepat

digunakan sebagai alternatif, namun efeknya harus diperhatikan.

 

Pemeliharaan

            Tehnik pemeliharaan yang ideal harus dapat mengkontrol hipertensi dengan efek

minimal pada cardiac output, karena peningkatan cardiac output merupakan kompensasi yang

prinsipil dalam mekanisme anemia.Anestesi volatil, nitrous oxide, fentanyl, sufentanil,

alfentanil, dan morfin dianggap sebagai agen pemeliharaan yang memuaskan. Isoflurane dan

desflurane merupakan zat yang mudah menguap pilihan karena mereka memiliki efek yang

sedikit pada cardiac output. Nitrous oxide harus digunakan secara hati-hati pada pasien

dengan fungsi ventrikel yang lemah dan jangan digunakan pada pasien dengan konsentrasi

hemoglobin yang sangat rendah (< 7g/dL) untuk pemberian 100% oksigen. Meperidine

bukan pilihan yang bagus oleh karena akumulasi dari normeperidine. Morfin boleh

digunakan, namun efek kelanjutannya perlu diperhatikan.

            Ventilasi terkontrol adalah metode teraman pada pasien dengan gagal ginjal. Ventilasi

spontan dibawah pengaruh anestesi yang tidak mencukupi  dapat menyebabkan asidosis

respiratorik yang mungkin mengeksaserbasi acidemia yang telah ada, yang dapat

menyebabkan depresi pernafasan yang berat dan peningkatan konsentrasi kalium di darah

yang berbahaya. Alkalosis respiratorik dapat merusak karena mengeser kurva disosiasi

hemoglobin ke kiri, dan mengeksaserbasi hipokalemia yang telah ada, dan menurunkan aliran

darah otak.

 

Terapi Cairan

            Operasi superfisial melibatkan trauma jaringan yang minimal memerlukan

penggantian cairan dengan 5 % dekstrosa dalam air. Prosedur ini berhubungan dengan

kehilangan cairan yang banyak atau pergeseran yang membutuhkan kristalloid yang isotonik,

koloid, atau keduanya. Ringer laktat sebaiknya dihindari pada pasien hiperkalemia yang

membutuhkan banyak cairan, karena kandungan kalium (4 meq/L), normal saline dapat

digunakan.Cairan bebas glukosa digunakan karena intoleransi glukosa yang berhubungan

dengan uremia. Kehilangan darah diganti dengan packed red blood cells. Transfusi darah

tidak memiliki efek atau bisa berguna pada pasien gagal ginjal yang hendak menjalani

transplantasi karena transfusi mungkin dapat mengurangi ketidakcocokan setelah

transplantasi ginjal pada beberapa pasien.

II. ANESTESI PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN GINJAL RINGAN

SAMPAI SEDANG

PERTIMBANGAN PREOPERATIF

            Ginjal biasanya menunjukkan fungsi yang besar. GFR,  yang dapat diketahui dengan

kreatinin klirens, dapat menurun dari 120 ke 60 mL/ menit tanpa adanya perubahan klinis

pada fungsi ginjal. Walaupun pada pasien dengan kreatinin klirens 40 -60 mL/menit

umumnya asimtomatik. Pasien ini hanya memiliki gangguan ginjal ringan namun harus

dipertimbangkan sebagai gangguan ginjal.

            Ketika kreatinin klirens mencapai 25 – 40 mL/menit gangguan ginjal sedang dan

pasien bisa disebut memiliki renal insufisiensi.Azotemia yang signifikan selalu muncul, dan

hipertensi maupun anemia secara bersamaan. Manajemen anestesi yang tepat pada pasien ini

sama pentingnya pada pasien gagal ginjal yang berat. Yang terakhir ini terutama selama

prosedur yang berkaitan dengan insiden yang relatif tinggi dari gagal ginjal postoperatif, 

seperti pembedahan konstruktif dari jantung dan aorta. Kehilangan volume intravaskular,

sepsis, obstruktif jaundice, kecelakaan, injeksi kontras dan aminoglikosid, angiotensin

converting enzim inhibitor, atau obat-obat terapi seperti NSAID sebagai resiko utama pada

perburukan akut pada fungsi ginjal. Hipovolemia muncul khususnya sebagai faktor yang

penting pada gagal ginjal akut postoperatif. Penekanan manajemen pada pasien ini adalah

pencegahan, karena angka kematian dari gagal ginjal post operatif sebesar   50%–60%.

Peningkatan resiko perioperatif berhubungan dengan kombinasi penyakit ginjal lanjut dan

diabetes.

            Profilaksis untuk gagal ginjal dengan cairan diuresis efektif dan diindikasikan pada

pasien dengan resiko tinggi, rekonstruksi aorta mayor, dan kemungkinan prosedur

pembedahan lainnya. Mannitol (0,5 g/kg) sering digunakan dan diberikan sebagai perioritas

pada induksi. Cairan intravena diberikan untuk mencegah kehilangan intra vaskular. Infus

intravena dengan fenoldopam atau dopamin dosis rendah memberikan peningkatan aliran

darah ginjal melalui aktivasi dari vasodilator reseptor dopamin pada pembuluh darah ginjal.

Loop diuretik juga dibutuhkan untuk menjaga pengeluaran urin dan mencegah kelebihan

cairan.

 

PERTIMBANGAN INTRAOPERATIF

Monitoring

Monitor standard yang digunakan untuk prosedur termasuk kehilangan cairan yang

minimal. Untuk operasi yang banyak kehilangan cairan atau darah, pemantauan urin output

dan volume intravaskular sangat penting. Walaupun dengan urin output yang cukup tidak

memastikan fungsi ginjal baik, namun selalu diusahakan pencapaian urin output lebih besar

dari 0,5 mL/kgBB/jam. Pemantauan tekanan intra arterial juga dilakukan jika terjadi

perubahan tekanan darah yang cepat, misalnya pada pasien dengan hipertensi tidak terkontrol

atau sedang dalam pengobatan yang berhubungan dengan perubahan yang mendadak pada

preload maupun afterload jantung.

 

Induksi

Pemilihan zat induksi tidak sepenting dalam memastikan volume intravaskular yang

cukup terlebih dahulu. Anestesi induksi pada pasien dengan Renal Insuffisiensi biasanya

menghasilkan hipotensi jika terjadi hipovolemia. Kecuali jika diberikan vasopressor,

hipotensi biasanya muncul setelah intubasi atau rangsangan pembedahan. Perfusi ginjal, yang

dipengaruhi oleh hipovolemia semakin buruk  sebagai hasil pertama adalah hipotensi dan

kemudian secara simpatis atau farmakologis diperantarai oleh vasokonstriksi ginjal. Jika

berlanjut, penurunan perfusi ginjal pengakibatkan kerusakan ginjal postoperatif. Hidrasi

preoperatif biasanya digunakan untuk mencegah hal ini.

Pemeliharaan

Semua zat pemeliharaan dapat diberikan kecuali Methoxyflurane dan Sevoflurane.

Walau enflurane bisa digunakan secara aman pada prosedur singkat, namun lebih baik

dihindari pada pasien dengan insuffisiensi ginjal karena masih ada pilihan obat lain yang

memuaskan. Pemburukan fungsi ginjal selama periode ini dapat menghasilkan efek

hemodinamik lebih lanjut dari pembedahan (perdarahan) atau anestesi (depresi jantung atau

hipotensi). Efek hormon tidak langsung (aktifasi simpatoadrenal atau sekresi ADH), atau

ventilasi tekanan positif. Efek ini biasanya reversibel ketika diberikan cairan intravena yang

cukup untuk mempertahankan volume intravaskuler yang normal atau meluas. Pemberian

utama dari vasopresor α – adrenergik (phenyleprine dan norepineprine) juga dapat

mengganggu.Dosis kecil intermitten atau infus singkat mungkin bisa berguna untuk

mempertahankan aliran darah ginjal sebelum pemberian yang lain (seperti transfusi) dapat

mengatasi hipotensi. Jika mean tekanan darah arteri, cardiac output dan cairan intravaskuler

cukup, infus dopamin dosis rendah (2-5 mikrogram/kg/menit) dapat diberikan dengan batasan

urin output untuk mempertahankan aliran darah ginjal dan fungsi ginjal.”Dosis dopamin

untuk ginjal”telah juga dapat menunjukkan setidaknya sebagian membalikkan vasokonstriksi

arteri ginjal selama infus dengan vasopresor α–adrenergik (norepinephrine).Fenoldopam juga

mempunyai efek yang sama.

 

Terapi Cairan

Seperti telah dibicarakan diatas, pertimbangan pemberian cairan sangat penting untuk

pasien dengan penurunan fungsi ginjal. Perhatikan jika ditemukan pemberian cairan yang

berlebihan, namun masalah biasanya jarang dengan pasien yang urin outputnya cukup. Maka

perlu dilakukan pemantauan pada urin outputnya, jika cairan yang berlebihan diberikan maka

akan menyebabkan edema atau kongestif paru yang lebih mudah ditangani daripada gagal

ginjal akut.

BAB III

ANALISA KASUS

1. Bagaimana menentukan klasifikasi status fisik menurut American Society of

Anesthesiologists (ASA) pada pasien ini?

Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang pada saat

pre-operative ialah yang berasal dari American society of Anesthesiologists (ASA).

Klasifikasi fisik menurut ASA ini bukan merupakan alat prakiraan risiko anestesia,

karena dampak samping anestesia tidak dapat dipisahkan dari dampak samping

pembedahan.

Klasifikasi status fisik menurut American Society of Anesthesiologists

ASA 1 Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia

ASA 2 Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang. Tidak

terdapat keterbatasan yang bermakna dalam menjalankan

aktivitas sehari-hari

ASA 3 Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin

terbatas secara bermakna

ASA 4 Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam

kehidupannya setiap saat, atau yang membutuhkan terapi

intensif. Pasien tidak dapat menjalankan aktivitas rutin.

ASA 5 Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan

hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.

ASA 6 Pasien mati batang otak yang menjadi donor organ

*keterangan: huruf “E” dicantumkan pada pembedahan emergency

Klasifikasi status fisik pre-operative pada pasien ini digolongkan kedalam ASA 2

dengan dasar bahwa pasien memiliki riwayat sakit CKD yang didiagnosa sejak beberapa

bulan yang lalu. Selain itu pasien tetap dapat menjalankan aktivitas sehari-hari tanpa

keterbatasan yang bermakna.

2. Mengapa pada pasien ini dipuasakan 6 jam pre-operative?

Untuk meminimalkan risiko regurgitasi isi lambung dan aspirasi ke dalam jalan nafas,

maka semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus

dipantangkan dari masukan oral selama periode tertentu sebelum induksi anestesia.

Periode puasa memberikan kesempatan bagi tubuh untuk mengosongkan lambung.

American Society of Anesthesiologists merekomendasikan bahwa pada pasien dewasa,

puasa dari makanan padat dan susu harus melebihi 6 jam sebelum anetesi umum, anestesi

regional, atau sedasi/analgesia dilakukan. Minuman bening, air putih, teh manis

diperbolehkan sampai 2 jam sebelum anestesia.

Selain itu penting untuk melakukan evaluasi pada pasien untuk mencari ada tidaknya

faktor risiko yang dapat memperlambat pengosongan lambung, misalnya seperti obesitas,

diabetes mellitus, hamil, riwayat refluks gastroesofageal, dan riwayat operasi lambung.

Hal tersebut akan mempengaruhi lamanya periode puasa. Pasien pada kasus ini tidak

memiliki faktor risiko tersebut sehingga tidak berpengaruh terhadap lamanya puasa

sesuai rekomendasi dari American Society of Anesthesiologists.

3. Mengapa pada pasien ini diberikan premedikasi Ondansetron 4 mg dan Ranitidin

50 mg ?

Obat yang diberikan sebagai premedikasi adalah Ondansentron 4 mg dan Ranitidin 50

mg. Ondansentron secara selektif menghambat reseptor serotonin 5-HT3. Reseptor 5-

HT3 yang terdapat di perifer (eferen vagal abdominal) dan sentral (kemoreseptor trigger

zone pada area postrema dan nukleus traktus solitarius) mempunyai peranan penting

dalam permulaan refleks mual dan muntah, sehinggaondansentron sangat berguna dalam

menekan refleks mual dan muntah.

Ranitidin merupakan antagonis reseptor H2 yang menghambat histamin untuk

berikatan dengan reseptor H2 sehingga mengurangi produksi asam lambung serta

meningkatkan pH lambung.

Kedua obat yang digunakan sebagai premedikasi ini bertujuan untuk mengurangi

risiko aspirasi selama operasi berlangsung.

4. Bagaimana dengan tata laksana resusitasi cairan pada pasien ini?

Pasien adalah laki-laki, usia 68 tahun, dengan berat badan 43 kg :

1) Kebutuhan cairan pre operatif = Kebutuhan cairan rumatan rutin :

a) Sepuluh kilogram pertama : 4 ml/kg/jam ( 10 kg x 4 = 40 ml/jam)

b) Dua puluh kilogram selanjutnya : 2 ml/kg/jam (10 kg x 2 = 20 ml/jam)

c) Tiga puluh kilogram selanjutnya : 1 ml/kg/jam (25 kg x 1 = 23 ml/jam)

Total kebutuhan cairan rumatan untuk pasien ini adalah 43 ml/jam

2) Kebutuhan cairan intra operatif :

Didapatkan dari = Volume kompensatori ekspansi cairan intravaskular + Defisit

cairan selama puasa + Kebutuhan cairan rumatan selama operasi + Kehilangan

cairan selama operasi + Kehilangan cairan tambahan (cairan di ruang interstitial)

i) Volume kompesantori ekspansi cairan intra vascular pada anestesi spinal = 10 -

20 ml/kg 10ml/kg x 43 kg = 430ml

ii) Cairan defisit selama puasa :

Defisit cairan dapat terjadi pada karena keadaan puasa dan proses patologik.

Kebutuhan cairan puasa diperoleh dengan mengalikan kebutuhan cairan per-jam

dengan lamanya waktu puasa.Perhitungkan juga apabila terdapat perdarahan

preoperatif, muntah, diuresis dan diare ataupun adanya peningkatan insensible

water losses.

Kebutuhan cairan puasa = Kebutuhan cairan per-jam x lama puasa (jam)

Pada kasus ini pasien puasa selama 6 jam, maka kebutuhan cairan puasa =83

ml/jam x 6 jam = 498 ml

iii)Kebutuhan cairan rumatan selama operasi, yaitu 45 menit (dibulatkan menjadi 1

jam) = 83 ml/jam x 1 jam 83 ml

iv)Kehilangan cairan selama operasi (perdarahan)

Jumlah perdarahan dapat dilihat dari jumlah kasa atau tampon yang digunakan

dalam operasi dan jumlah cairan yang ada pada suction. Kasa steril biasa yang

basah dengan darah mengandung kurang lebih 10 ml darah. Pada kasus, jumlah

perdarahan adalah sebanyak 100 ml.

Perlu diperhitungkan juga apakah perlu memberikan transfusi darah pada

pasien.Apabila pada pasien kehilangan darahnya lebih dari yang diperbolehkan

(Ht< 30%), harus diperhitungkan untuk dilakukan transfusi darah. Cara

perhitungannya adalah sebagai berikut :

Volume darah estimasi = 75 ml/kg x 43 kg = 3.225 ml

Volume sel darah merah pre operatif (Ht=32,5%) = 3.225 x 32,5% = 1.048 ml

Volume sel darah pada Ht 30% = 3.225 x 30% = 967,5 ml

Perdarahan darah post operatif = 1.048 – 967,5 = 80,5 ml

Jumlah darah yang diperbolehkan hilang = 3 x 80,5 ml = 241,5 ml

v) Kehilangan cairan tambahan (Third space losses)

Penurunan dari volume ekstravaskular dalam proses pembedahan merupakan

akibat dari evaporasi cairan, proses eksudasi cairan, edema jaringan sekunder

akibat manipulasi pembedahan dan deposit cairan pada organ-organ tertentu

seperti di usus dan paru. Secara sederhana, third space losses dapat dikoreksi

dengan rumus:

Derajat kerusakan jaringan Kebutuhan cairan tambahan

Minimal 0-2 ml/kg

Sedang 2-4 ml/kg

Berat 4-8 ml/kg

Pada kasus ini, pasien akan menjalani operasi TURP.Derajat kerusakan

jaringan yang diperkirakan adalah tingkat sedang, sehingga kebutuhan cairan

tambahannya adalah sekitar 2-4 ml/kg 3 ml/kg x 43 kg = 129 ml.

vi)Masukan cairan intra operatif = 1000 cc

Total kebutuhan cairan intra operatif = Volume kompensatori ekspansi cairan

intravaskular + Defisit cairan selama puasa + Kebutuhan cairan rumatan selama

operasi + Kehilangan cairan selama operasi + Kehilangan cairan tambahan

Total kebutuhan cairan intra operatif = 450 + 510 + 83 + 100 + 129

= 1182 cc

Selisih cairan = 1182 – 1000= 182 cc

3) Kebutuhan cairan post operatif

Adalah sama dengan kebutuhan cairan pre operatif, yaitu kebutuhan cairan rumatan,

yaitu 85 ml/jam

Pada literatur, juga dikemukakan cara pemberian cairan pengganti intraoperatif

apabila operasi lebih dari satu jam adalah :

o Pada satu jam pertama operasi = ½ dari cairan defisit dari puasa + kebutuhan

rumatan/jam + IWL (Third space losses)

o Pada jam kedua operasi = ¼ dari cairan defisit selama puasa + kebutuhan

rumatan/jam + IWL (Third space losses)

o Pada jam ketiga operasi = ¼ dari cairan defisit selama puasa + kebutuhan

rumatan/jam + IWL (Third space losses)

5. Mengapa loading cairan perlu dilakukan sebelum anestesi spinal ?

Blokade neuroaxial menyebabkan penurunan tekanan darah yang dihubungkan

dengan penurunan denyut jantung dan kontraksi jantung. Efek ini umumnya proporsional

dengan tingkatan / level simpatektomi. Tonus vasomotor umumnya ditentukan oleh

serabut simpatis yang berasal dari T5 sampai L1, yang mempersarafi otot polos arterial

dan vena. Blok saraf ini menyebabkan vasodilatasi dari vena, terjadi pooling darah, dan

penurunan venous return. Arterial sistemik vasodilatasi juga menurunkan resistensi

vaskuler sistemik. Efek arterial vasodilatasi dikurangi dengan adanya kompensasi

vasokonstriksi pada level diatas blokade. Suatu blok simpatis yang tinggi tidak saja

mencegah vasokonstriksi kompensasi tapi juga memblok serabut cardiac akselerator yang

berasal dari T1-T4. Hipotensi hebat dapat ditimbulkan karena kombinasi vasodilatasi

dengan bradikardi dan penurunan kontraktilitas. Efek ini diperbesar kalau venous return

terhambat.

Efek kardiovaskuler yang buruk harus diantisipasi untuk mengurangi derajat

hipotensi. Loading volume dengan 10-20 ml/kg cairan intravena pada pasien sehat akan

mengkompensasi pooling darah vena. Pasien pada kasus ini memiliki berat badan 45 kg,

sehingga loading volume yang dapat diberikan adalah berkisar antara 450 – 900 cc.

Pasien diberikan loading volume sebesar 500 cc sebelum dilakukan anestesi spinal.

6. Mengapa pada pasien ini dilakukan teknik anestesi spinal ?

Pada pasien ini dipilih untuk dilakukan teknik anestesi spinal karena, teknik anestesi

ini bisa dilakukan untuk semua operasi yang dilakukan dari leher kebawah.Terutama

prosedur operasi yang hendak dilakukan didaerah abdomen bagian bawah, urogenital,

inguinal, rectal, dan ekstremitas bawah. Anestesi spinal juga dapat menurunkan insidensi

trombosis vena, emboli paru, komplikasi jantung pada pasien beresiko tinggi, perdarahan

dan kebutuhan akan transfusi, serta pneumonia dan depresi napas.

Menurut salah satustudi meta-analisis, dikatakan bahwa terjadi peningkatan yang

signifikan terhadap angka keselamatan dan menurunnya insidensi tromboemboli pasca

operasi dan komplikasi jantung serta paru – paru pada anestesi neuroaxial dibandingkan

dengan anestesi umum.

Teknik anestesi spinal hanya memerlukan waktu singkat untuk dilaksanakan, onset

lebih cepat, efek anestesi yang lebih baik terhadap fungsi sensorik dan motorik, dan lebih

tidak nyeri saat prosedur operasi. Dengan penggunaan teknik anestesi spinal juga dapat

diperoleh efek relaksasi otot rangka dan kontraksi saluran cerna.

Kontraindikasi pada anestesi spinal adalah bila pasien menolak, perdarahan,

hipovolemia berat, peningkatan tekanan intrakranial, infeksi pada daerah yang hendak

disuntik, dan penyakit katup jantung yang berat atau obstruksi pada aliran keluar

ventrikel.

Kerugian dari teknik anestesi spinal adalah adanya kemugkinan gagalnya efek

anestesi hingga level sensorik yang diinginkan, dan terjadinya hipotensi akibat

terhambatnya sistem saraf simpatis perifer pada teknik anestesi ini, terutama pada pasien

yang mengalami hipovolemia.Kerugian lainnya dari blok simpatis pada anestesi spinal

yaitu berkurangnya mekanisme tubuh terhadap fungsi kompensasi terhadap respon

perdarahan, resiko terjadinya stroke, iskemia medula spinalis atau infark miokard karena

tekanan darah sistemik yang rendah.

Pada pasien ini, tidak didapati adanya kontraindikasi untuk dilakukan anestesi spinal,

maka dari itu, pada pasien ini dipilih dilakukan anestesi spinal, dibandingkan dengan

anestesi umum.

7. Bagaimana penatalaksanaan Anestesi Pada pasien CKD ?

Pada pasien ini sebenarnya hanya dilakukan anestesi regional dengan spinal karena indikasi

operasi pasien ini memungkinkan untuk dilakukan anestesi spinal. Tetapi tidak menutup

kemungkinan pada saat operasi membutuhkan anestesia general anestesia. Oleh karena itu

penanganan anestesia pada pasien CKD perlu kita ketahui. Untuk pemberian obat-obat

hipnosi pada umumnya propofol tidak memiliki efek yang signifikan pada gangguan fungsi

hati. Untuk golongan opiod sebaiknya digunakan fenthanyl, karena fenthanyl Farmakokinetik

nya tidak terpengaruh oleh fungsi ginjal karena hidrolisis ester yang cepat di dalam darah.

Untuk agen-agen obat antikolenergik Dalam dosis premedikasi, seperti atropin dan

glycopyrolate biasanya aman pada pasien gangguan renal karena lebih dari 50% dari obat-

obat ini dan metabolit aktifnya di ekskresi normal di urin, potensi akumulasi terjadi bila dosis

diulang. Untuk agen-agen inhalasi Agen anastetik volatile hampir ideal untuk pasien-pasien

dengan disfungsi renal karena tidak tergantungnya pada eliminasi ginjal, kemampuan untuk

mengkontrol tekanan darah dan biasanya mempunyai efek langsung minimal pada aliran

darah ginjal. Walaupun pasien dengan gangguan ginjal ringan dan sedang tidak menunjukkan

perubahan cepat atau distribusi, percepatan induksi. Obat pelumpuhan otot atau relaksan

Succinyl choline biasa nya baik digunakan.

Pada pasien-pasien dengan gagal ginjal perlu diperhatikan beberapa langkah penting.

Pada saat premedikasi pada pasien yang relatif stabil dan sadar dapat diberikan pengurangan

dosis dari opioid atau benzodiazepin. Profilaksis untuk aspirasi diberikan H2 blocker

diindikasikan pada pasien mual, muntah atau perdarahan saluran cerna. lidokain bisa

digunakan untuk mengurangi respon hipertensi pada intubasi. Succinylcholine, 1,5 mg/kg,

bisa digunakan untuk intubasi endotrakeal jika kadar kalium darah kurang dari 5 meq/L.

Anestesi volatil, Isoflurane dan desflurane merupakan zat yang mudah menguap pilihan

karena mereka memiliki efek yang sedikit pada cardiac output.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hess OM, Carrol JD. Clinical Assessment of Heart Failure. Braunwald’s Heart

Disease. Philadelphia : Saunders; 2007.

1. Darmojo B. Penyakit Kardiovaskulaer pasa Lanjut Usia. Buku Ajar Geriatri. Jakarta :

Balai Penerbit FKUI, 2004.

2. Hardiman A. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pengendalian

Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.2007.

3. Morgan, GE. Clinical anesthesiology, 4th Edition. USA : McGraw-Hill. 2006.

4. Miller, RD. Miller’s anesthesia, 7th edition. USA : Elsevier. 2009.

5. Hines RL, Marschall KE. Anesthesia and co-existing disease. 5th edition. USA :

Elsevier. 2008.

6. Poldermans D. Guidelines for pre-operative cardiac risk asessment and perioperative

cardiac management in non-cardiac surgery. Netherland : European Heart Journal.

2009.

7. Dickstain A, et al.Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic

heart failure 2008.European Society Cardiology. European Heart Journal; 2008.

8. Treacher d.f., Grant i.s. 2006. Davidson’s Principle & Practice of medicine. Toronto :

Elsevier/Chuchill Livingstone.

9. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical anesthesiology. 4th ed. USA: McGraw

Hill, 2006; p. 730-54.

10. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anestesiologi. 2nd ed. Bagian

anstesiologi dan terapi intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta:

2001; h. 19-21.

11. Sloane E. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Penerbit Buku Kedokteran ECG;

2004. H. 318-21.

12. Davey P. At a Glance Medicine. Blackwell Science. 2006; p.

13. Aitkenhead AR, Smith G. Principles of Pharmacology. In : textbook of Anesthesia. 3 rd

ed. Churchill Livingstone New York 1996; 107-19.

14. Alonso MB, Gajate ML, García SJ, Martín MA, Moreno BR, Arribas PP et al.

Retrospective comparative study between sevoflurane and propofol in maintaining

anaesthesia during liver transplant: Effects on kidney and liver function. Rev Esp

Anestesiol Reanim. May 2012.

15. Gonano C, Leitgeb U, Sitzwohl C, Ihra G, Weinstabl C, Kettner SC. Spinal versus

general anesthesia for orthopedic surgery: Anesthesia drug and supply costs. Anesth

Analg. 2006;102(2):524-9.