laporan kasus turp anestesi

34
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering diketemukan pada pria yang menapak usia lanjut. Istilah BPH atau benign prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. Hiperplasia prostat benigna ini dapat dialami oleh sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun. Reseksi kelenjar prostat (TURP) dilakukan transuretra dengan mempergunakan cairan pembilas agar daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang digunakan adalah berupa larutan non ionic, yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup murah yaitu H 2 O steril (aquades). Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang terbuka pada saat reseksi. Kelebihan H 2 O dapat menyebabkan terjadinya hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma TURP. Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran 1

Upload: onlyadoctor

Post on 07-Feb-2016

359 views

Category:

Documents


64 download

DESCRIPTION

gchgf

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Kasus TURP Anestesi

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering

diketemukan pada pria yang menapak usia lanjut. Istilah BPH atau benign prostatic

hyperplasia sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia

sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. Hiperplasia prostat benigna ini dapat

dialami oleh sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga

90% pada pria berusia di atas 80 tahun.

Reseksi kelenjar prostat (TURP) dilakukan transuretra dengan

mempergunakan cairan pembilas agar daerah yang akan direseksi tetap terang dan

tidak tertutup oleh darah. Cairan yang digunakan adalah berupa larutan non ionic,

yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang

sering dipakai dan harganya cukup murah yaitu H2O steril (aquades).

Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga

cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang

terbuka pada saat reseksi. Kelebihan H2O dapat menyebabkan terjadinya hiponatremia

relatif atau gejala intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma TURP. Sindroma ini

ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran somnolen, tekanan darah

meningkat, dan terdapat bradikardi. Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami

edema otak yang akhirnya jatuh ke dalam koma dan meninggal. Angka mortalitas

sindroma TURP ini adalah sebesar 0,99%. Selain itu, penyulit saat operasi meliputi

perdarahan, sindroma TURP, dan perforasi. Penyulit pasca bedah dini meliputi

perdarahan dan infeksi lokal atau sistemik. Penyulit pasca bedah lanjut meliputi

inkontinensia urin, disfungsi ereksi, ejakulasi retrograd, dan striktura uretra.

B. ANESTESI

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani, an-“tidak, tanpa”

dan aesthētos, “persepsi, kemampuan untuk merasa”), secara umum berarti suatu

tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai

prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan

pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Srpada tahun 1846.

1

Page 2: Laporan Kasus TURP Anestesi

Ada tiga kategori utama anestesi yaitu anestesi umum, anestesi regional dan

anestesi lokal. Masing-masing memiliki bentuk dan kegunaan. Seorang ahli anestesi

akan menentukan jenis anestesi yang menurutnya terbaik dengan mempertimbangkan

keuntungan dan kerugian dari masing-masing tindakannya tersebut.

Regional anestesi terbagi atas spinal anestesi, epidural anestesi dan blok

perifer. Spinal & anestesi epidural ini telah secara luas digunakan di ortopedi, obstetri

dan anggota tubuh bagian bawah operasi abdomen bagian bawah. Spinal anestesi,

diperkenalkan oleh Bier Agustus 1898, adalah teknik regional pertama utama dalam

praktek klinis.

1. ANESTESI SPINAL

Definisi

Spinal anestesi adalah pemberian obat anestetik lokal dengan cara

menyuntikkan ke dalam ruang subarakhnoid. Teknik tersebut dinilai cukup efektif

dan mudah dikerjakan (Latief et al., 2008). Spinal anestesi/ Sub-arachnoid block

(SAB) diperkenalkan oleh August Bier pada tahun 1898, teknik ini telah digunakan

untuk anestesi, terutama untuk operasi pada daerah bawah umbilicus. Kelebihan

utama teknik ini adalah kemudahan dalam tindakan, peralatan yang minimal,

memiliki efek minimal pada biokimia darah, menjaga level optimal dari analisa gas

darah, pasien tetap sadar selama operasi dan menjaga jalan nafas, serta

membutuhkan penanganan post operatif dan analgesia yang minimal (Edlin, 2010).

Spinal anestesi dilakukan di bawah lumbal 1 pada orang dewasa dan lumbal 3 pada

anak-anak dengan menghindari trauma pada medulla spinalis (Morgan et al., 2005).

Gambar 1. Spinal anestesi

2

Page 3: Laporan Kasus TURP Anestesi

Indikasi

Spinal anestesi dipilih berdasarkan indikasi-indikasi tertentu. Berikut

indikasi penggunaan spinal anestesi (Latief et al., 2008):

a. Indikasi

1) Bedah ekstremitas bawah

2) Bedah panggul

3) Tindakan sekitar rektum-perineum

4) Bedah obstetri ginekologi

5) Bedah urologi

6) Bedah abdomen bawah

7) Bedah abdomen atas dan pediatri (dikombinasikan dengan anestesi umum

ringan)

b. Kontra indikasi absolut

1) Pasien menolak

2) Infeksi pada tempat suntikan

3) Hipovolemia berat; syok

4) Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan

5) Tekanan intrakranial meninggi

6) Fasilitas resusitasi minimal

7) Kurang pengalaman atau tanpa didampingi konsultan anestesia

c. Kontra indikasi relatif

1) Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)

2) Infeksi sekitar tempat suntikan

3) Kelainan neurologis

4) Kelainan psikis

5) Bedah lama

6) Penyakit jantung

7) Hipovolemia ringan

8) Nyeri punggung kronis

Peralatan dan Teknik

Anestesi spinal menggunakan beberapa peralatan dalam aplikasinya,

seperti peralatan monitor, peralatan resusitasi, dan jarum spinal. Peralatan

3

Page 4: Laporan Kasus TURP Anestesi

monitor mencakup alat untuk pengawasan tekanan darah, nadi, oksimetri denyut

(pulse oximeter), dan EKG. Peralatan resusitasi sama seperti peralatan pada

anestesi umum. Sedangkan untuk jarum spinal terdapat dua jenis jarum spinal

berdasarkan ujungnya, yaitu jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu

runcing, Quincke-Babcock) dan jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point,

Whitecare) (Latief et al., 2008).

Gambar 2. Jenis Jarum Spinal (Edlin, 2010)

Sedangkan obat anestesi yang sering digunakan pada teknik spinal

anestesi adalah Lidocain 1-5% atau Bupivacaine 0,25-0,75% (Latief et al., 2001).

Teknik anestesi spinal umumnya dilakukan langsung di atas meja operasi

tanpa dipindah lagi. Langkah-langkah anestesi spinal (Latief et al., 2008):

a. Pasien diposisikan duduk atau tidur lateral dekubitus.

b. Tentukan tempat tusukan misalnya L2-3, L3-4, atau L4-5 pada vertebra. Per-

potongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan verte-

bra merupakan L4-5.

c. Sterilkan daerah tusukan dengan betadine dan alkohol

d. Cara tusukan dengan median atau paramedian. Tusukkan jarum spinal. Sete-

lah resistensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar LCS,

pasang spuit berisi obat dan masukkan obat pelan-pelan (0,5 mL/detik) dis-

elingi sedikit aspirasi, untuk memastikan posisi jarum tetap baik.

4

Page 5: Laporan Kasus TURP Anestesi

Faktor-Faktor yang Berpengaruh

Kesuksesan spinal anestesi dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti

faktor yang mempengaruhi penyebaran anestetik dan faktor yang mempengaruhi

lama kerja anestetik (Latief et al., 2008).

a. Faktor yang mempengaruhi penyebaran anestetik:

1) Faktor utama: berat jenis anestetik (barisitas), posisi pasien, dan dosis

serta volume anestetik.

2) Faktor tambahan: ketinggian suntikan, kecepatan suntikan, ukuran

jarum, keadaan fisik pasien, dan tekanan intraabdominal.

b. Faktor yang mempengaruhi lama kerja anestetik:

1) Jenis anestesia

2) Besarnya dosis

3) Ada tidaknya vasokonstriktor

4) Besarnya penyebaran anestetik

2. ANESTESI UMUM (GENERAL ANESTESI)

Anestesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai

hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna

menghasilkan ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa menimbulkan resiko

yang tidak diinginkan dari pasien.

Tujuan

Tujuan anestesi umum adalah hipnotik, analgesik, relaksasi dan stabilisasi

otonom.

Syarat, Kontraindikasi dan Komplikasi

Adapun syarat ideal dilakukan anestesi umum adalah :

a. Memberi induksi yang halus dan cepat.

b. Timbul situasi pasien tak sadar atau tak berespons

c. Timbulkan keadaan amnesia

d. Timbulkan relaksasi otot skeletal, tapi bukan otot pernapasan.

e. Hambatan persepsi rangsang sensorik sehingga timbul analgesia yang cukup untuk tindakan

operasi.

f. Memberikan keadaan pemulihan yang halus cepat dan tidak menimbulkan ESO yang berlang-

sung lama.

5

Page 6: Laporan Kasus TURP Anestesi

Kontraindikasi mutlak dilakukan anestesi umum yaitu dekompresi kordis

derajat III – IV, AV blok derajat II – total (tidak ada gelombang P). Kontraindikasi

Relatif berupa hipertensi berat/tak terkontrol (diastolik >110), DM tak terkontrol,

infeksi akut, sepsis, GNA.

Tergantung pada efek farmakologi pada organ yang mengalami kelainan. Pada

pasien dengan gangguan hepar, harus dihindarkan pemakaian obat yang bersifat

hepatotoksik. Pada pasien dengan gangguan jantung, obat – obatan yang mendepresi

miokard atau menurunkan aliran koroner harus dihindari atau dosisnya diturunkan.

Pasien dengan gangguan ginjal, obat – obatan yang diekskresikan melalui ginjal harus

diperhatikan. Pada paru, hindarkan obat yang memicu sekresi paru, sedangkan pada

bagian endokrin hindari obat yang meningkatkan kadar gula darah, obat yang

merangsang susunan saraf simpatis pada penyakit diabetes basedow karena dapat

menyebabkan peningkatan kadar gula darah.

Sedangkan komplikasi kadang – kadang tidak terduga walaupun tindakan

anestesi telah dilakukan dengan sebaik – baiknya. Komplikasi dapat dicetuskan oleh

tindakan anestesi ataupun kondisi pasien sendiri. Komplikasi dapat timbul pada waktu

pembedahan ataupun setelah pembedahan. Komplikasi kardiovaskular berupa

hipotensi dimana tekanan sistolik kurang dari 70 mmHg atau turun 25 % dari

sebelumnya, hipertensi dimana terjadi peningkatan tekanan darah pada periode

induksi dan pemulihan anestesi. Komplikasi ini dapat membahayakan khususnya pada

penyakit jantung karena jantung bekerja keras dengan kebutuhan – kebutuhan

miokard yang meningkat yang dapat menyebabkan iskemik atau infark apabila tidak

tercukupi kebutuhannya. Komplikasi lain berupa gelisah setelah anestesi, tidak sadar ,

hipersensitifitas ataupun adanya peningkatan suhu tubuh.

3. Teknik Anestesi Pada TURP

Anestesi regional sudah sejak lama dipertimbangkan sebagai teknik anestesi

pilihan pada TURP. Teknik anestesi ini memungkinkan pasien untuk tetap terbangun,

yang memungkinkan diagnosis awal dari sindrom TUR atau ekstravasasi dari irigasi

cairan. Beberapa studi memperlihatkan penurunan hilangnya darah ketika prosedur

TURP dilakukan dengan menggunakan anestesi regional dan anestesi umum.

Penggunaan dari anestesi regional jangka panjang, dibandingkan dengan

anestesi umum, pada pasien yang mengalami TURP dihubungkan dengan kontrol

6

Page 7: Laporan Kasus TURP Anestesi

nyeri dan penurunan kebutuhan penyembuhan nyeri postoperatif. Bowman dkk

menemukan bahwa hanya 15 % dari pasien yang mendapatkan anestesi spinal pada

TURP membutuhkan pengobatan nyeri selain daripada acetaminophen tetapi

kebutuhan analgesik meningkat empat kali lipat setelah anestesi umum.

Studi prospektif yang membandingkan efek dari anestesi umum versus

anestesi spinal pada fungsi kognitif setelah TURP ditemukan penurunan yang

signifikan pada status mental pada kedua kelompok pada 6 jam setelah pembedahan,

tetapi tidak memiliki perbedaan pada fungsi mental postoperatif pada kapan saja pada

30 hari pertama setelah pembedahan. Ghoneim dkk juga menemukan tipe anestesi

(regional versus umum) tidak mempengaruhi keadaan pasien yang mengalami

prostatektomi, histerektomi, atau penggantian sendi.

Morbiditas dan mortalitas pada pasien yang berusia lebih dari 90 tahun yang

mengalami TURP tidak bergantung dari tipe anestesi yang digunakan. Sebuah studi

dari kejadian iskemik miokardial perioperatif pada pasien yang mengalami

pembedahan transuretral, ditentukan bahwa kedua insidens dan durasi dari iskemik

miokardial meningkat mengikuti pembedahan TUR tetapi tidak memiliki perbedaan

antara anestesi umum atau anestesi spinal. Studi kedua membuktikan bahwa

penemuan-penemuan ini dan disimpulkan bahwa adanya durasi yang singkat atas

iskemik miokardial tidak berhubungan dengan efek samping pada pasien berusia

lanjut yang mengalami prosedur TURP.

Bila anestesi regional digunakan pada prosedur, tingkat dermatom anestesi

T10 dibutuhkan untuk memblok nyeri dari saluran kemih dengan irigasi cairan.

Bagaimanapun, tingkat S3 dilaporkan adekuat pada 25 % pasien jika saluran kemih

tidak diijinkan untuk terisi penuh. Anestesi spinal merupakan pilihan utama jika

dibandingkan anestesi epidural karena tulang-tulang sakral tidak terblok sepenuhnya

dengan teknik epidural.

Anestesi lokal juga digunakan sebagai prosedural TURP pada pasien dengan

kelenjar prostat stadium ringan hingga sedang. Teknik anestesi ini melibatkan

infiltrasi dari 1-3 ml enceran anestesi lokal (0.25% bupivacaine, 1% lidocaine) ke

dalam kandung kemih dan lobus lateral dari prostat untuk memblok pleksus saraf

hipogastrik inferior kemudian dengan injeksi anestesi lokal transuretral ke dalam

glandula di sekitar uretra prostatikus. Dengan tipe anestesi ini, dokter bedah dapat

memindahkan sejumlah kecil dari jaringan prostat dengan ketidaknyamanan pasien

7

Page 8: Laporan Kasus TURP Anestesi

yang seminimal mungkin. Meskipun penulis melaporkan bahwa teknik ini sulit

dilaksanakan dalam skala besar, mereka meyakini bahwa teknik ini dapat berguna

pada pasien dengan resiko tinggi yang tidak dapat ditoleransi dengan anestesi umum

maupun spinal.

8

Page 9: Laporan Kasus TURP Anestesi

BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. D

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 74 tahun

Berat Badan : 57kg

Tinggi Badan : 158 cm

Agama : Islam

Alamat : Kavling Lama, Batu Aji, Batam

No. RM : 000514

Diagnosis : BPH

B. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan tanggal 20 Desember 2014, pukul 08.00. Informasi

diberikan oleh pasien dan anaknya.

a. Keluhan utama : Sulit buang air kecil

b. Riwayat penyakit sekarang :

Pasien datang ke poli bedah urologi RSUD dengan keluhan sulit BAK

sejak 1 tahun yang lalu, makin memberat terutama dalam 10 hari terakhir.

Pasien sering mengeluh tidak tuntas saat buang air kecil, terkadang pasien

juga mengeluh nyeri di perut bawah sampai daerah kemaluan. BAK lebih

sering dari biasa, BAK sering mengedan, pada akhir BAK menetes. BAK

tidak berdarah.

c. Riwayat penyakit dahulu :

1) Riwayat operasi hemoroid 1 tahun yang lalu

2) Riwayat asma disangkal

3) Riwayat alergi makanan dan obat disangkal

4) Riwayat penyakit jantung disangkal

5) Riwayat penyakit hipertensi disangkal

6) Riwayat penyakit ginjal disangkal

7) Riwayat penyakit DM disangkal

9

Page 10: Laporan Kasus TURP Anestesi

8) Riwayat trauma atau kecelakaan disangkal

d. Riwayat penyakit keluarga:

Riwayat asma, alergi, penyakit jantung, ginjal, paru-paru, DM,

hipertensi, dan riwayat penyakit yang sama dengan pasien disangkal.

C. PEMERIKSAAN FISIK

Dilakukan pada 20 Desember 2014

GCS : E4V5M6 = 15

Vital Sign : Tekanan darah : 110/70 mmHg

Nadi : 68 x/menit

Suhu : 36,8C

Pernafasan : 18 x/menit

Status Generalis

a. Kulit : Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis,

turgor kulit cukup, capilary refill kurang dari 2 detik

dan teraba hangat.

b. Kepala : Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas trauma, Ram-

but distribusi merata dan tidak mudah dicabut.

c. Mata : Tidak terdapat konjungtiva anemis dan sklera ikterik

d. Pemeriksaan Leher

1) Inspeksi : Tidak terdapat jejas.

2) Palpasi : Trakea teraba di tengah, tidak terdapat pembesaran ke-

lenjar tiroid dan kelenjar limfe.

i. Pemeriksaan Thorax

1) Jantung

a) Inspeksi : Ictus cordis (-)

b) Palpasi : Ictus cordis teraba pelan

c) Perkusi :

i. Batas atas kiri : SIC II LPS sinsitra

ii. Batas atas kanan : SIC II LPS dextra

iii. Batas bawah kiri : SIC V LMC sinistra

iv. Batas bawah kanan : SIC IV LPS dextra

10

Page 11: Laporan Kasus TURP Anestesi

d) Auskultasi : S1 > S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan mur-

mur.

2) Paru

a) Inspeksi : Dinding dada simetris pada saat statis dan dinamis

serta tidak ditemukan retraksi dan ketertinggalan

gerak.

b) Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri dan

tidak terdapat ketertinggalan gerak.

c) Perkusi : Sonor kedua lapang paru

d) Auskultasi: Tidak terdengar suara rhonki pada kedua pulmo.

Tidak terdengar suara wheezing

j. Pemeriksaan Abdomen

a) Inspeksi : Perut datar, simetris, tidak terdapat jejas dan

massa

b) Auskultasi : Terdengar suara bising usus

c) Perkusi : Timpani

d) Palpasi : Supel, tidak terdapat nyeri tekan. Hepar dan lien

tidak teraba.

k. Pemeriksaan Ekstremitas :

Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis

Turgor kulit cukup, akral hangat

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

Pemeriksaan 5 Desember 2014 Nilai normal

Hematologi

Hemoglobin 12,0 11,0-16,0 g/dL

Leukosit 3.600 3500-10000/L

Hematokrit 34 35-50%

Eritrosit 3,9 3,8-5,8x106/

Trombosit 259000 150000-500000/L

11

Page 12: Laporan Kasus TURP Anestesi

Hitung Jenis Lekosit

Basofil 1 0-1%

Eosinofil 7 0-4%

Netrofil Segment 37 46-73%

Limfosit 38 17-43%

Monosit 17 4-10%

CT 8’30” 6-11 menit

BT 1’30” 1-6 menit

Laju Endap Darah 45 P=<10 W=<20

Gol. Darah 0Rh+

Kimia Klinik

SGOT 25 P=< 40 W=<32 U/L

SGPT 30 P=< 41 W=<33 U/L

Ureum 30 10-50 mg/dL

Creatinin 0,6 P=0,7-1,2 W=2,6-6,0 mg/dL

GDS 118 75-125 mg/dL

Seroimmunologi

HbsAg Negatif Negatif

Pemeriksaan EKG

Sesuai Bradicardia HR 56x/menit

Pemeriksaan Foto Polos Abdomen

Tak tampak kelainan pada cavum abdomen dan cavum pelvis, spondilosis

lumbalis.

Pemeriksaan Foto Thorax

Pulmo dan besar Cor nomal

Pemeriksaan USG Ginjal Buli

- Sesuai gambaran Hipertrofi Prostat

- Kedua ginjal dan buli dalam batas normal

E. KESAN ANESTESI

Laki-laki 74 tahun menderita BPH dengan ASA II

12

Page 13: Laporan Kasus TURP Anestesi

F. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan yaitu :

a. IVFD RL 20 tpm

b. Pro TURP

c. Informed Consent Operasi

d. Konsul ke Bagian Anestesi

e. Informed Consent Pembiusan

Dilakukan operasi dengan spinal anestesi dgn status ASA II

G. KESIMPULAN

ACC ASA II

H. LAPORAN ANESTESI

1. Diagnosis Pra Bedah

BPH

2. Diagnosis Pasca Bedah

Post Op TURP

3. Penatalaksanaan Preoperasi

a Infus Kristaloid 500 cc

4. Penatalaksanaan Anestesi

a. Jenis Pembedahan : TURP

b. Jenis Anestesi : Regional Anestesi

c. Teknik Anestesi : Spinal Anestesi

d. Mulai Anestesi : 20 Desember 2014, pukul 10.10 WIB

e. Mulai Operasi : 20 Desember 2014, pukul 10. 15 WIB

f. Premedikasi : Ondancentron 4 mg

g. Induksi : Bupivacain Spinal 15 mg

h. Medikasi tambahan : Ketorolac 30 mg

.i. Maintanance : O2

j. Relaksasi : -

k. Respirasi : Spontan

l. Posisi : Litotomi

m. Cairan Durante Operasi : RL 500 ml

13

Page 14: Laporan Kasus TURP Anestesi

n. Pemantauan Tekanan Darah dan HR

Terlampir

o. Selesai operasi : 10.35 WIB

p. Perdarahan : +- 50 cc

q. Lama pembedahan : 30 menit

Pasien penderita BPH yang akan dilaksanakan operasi TURP pada tanggal 20

Desember 2014. Persiapan operasi dilakukan pada tanggal 19 Desember 2014. Dari

anamnesis terdapat keluhan sulit buang air kecil yang dirasakan sejak 1 tahun dan

bertambah berat sejak 10 hari yang lalu. Pemeriksaan fisik dari tanda vital, tekanan

darah 110/70 mmHg; nadi 68x/menit; respirasi 18x/menit; suhu 36,8OC. Dari

pemeriksaan laboratorium hematologi yang dilakukan tanggal 05 Desember 2014

dengan hasil: HB 12,0 g/dl; golongan darah 0Rh+; AL 7.490 L; ureum 30 mg/dl;

kreatinin 0,66mg/dl; SGOT 25 U/L; SGPT 30 U/L; GDS 118 mg/dL dan HBsAg (-).

Pada pemeriksaan EKG didapat gambaran sesuai bradicardia HR 54x/menit dan kesan

pada pemeriksaan foto thorax, pulmo dan besar cor normal. Dari hasil anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa pasien masuk

dalam ASA II, pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai dengan sedang.

Pemberian maintenance cairan sesuai dengan berat badan pasien yaitu

2cc/kgBB/jam, Kebutuhan perjam dari penderita 114cc/jam. Sebelum dilakukan

operasi pasien dipuasakan selama 6-8jam. Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya

aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya tindakan

anestesi akibat efek samping dari obat-obat anastesi yang diberikan sehingga refleks

laring mengalami penurunan selama anestesia. Penggantian puasa juga harus dihitung

dalam terapi cairan ini yaitu 6x maintenance. Sehingga kebutuhan cairan yang harus

dipenuhi selama 6jam ini adalah 684cc/6jam.

Operasi TURP dilkukan pada tanggal 20 Desember 2014. Pasien dikirim dari

bangsal Flamboyan ke ruang IBS. Pasien masuk keruang OK 1 pada pukul 10.05

dilakukan pemasangan NIBP dan O2 dengan hasil TD 115/71mmHg; Nadi 71x/menit,

dan SpO2 99%. Segera pemberian Infus RL. Dilakukan injeksi Ondancentron 8mg.

Pemberian ondancentron sebagai premedikasi bertujuan untuk mengurangi efek mual

dan muntah akibat dari anestesi spinal yang diberikan.

14

Page 15: Laporan Kasus TURP Anestesi

Pada pukul 10.10 WIB, mulai dilakukan anestesi, dengan teknik anestesi

regional pada spinal. Dimasukkan obat anestesi spinal yaitu bupivacain spinal 20mg.

dari pantauan monitor TD 120/70 mmHg; Nadi 71x/menit; SpO2 99%. Pasien merasa

kedua kaki mulai rasa kebas dan beberapa menit kemudian kedua kaki tidak dapat

digerakkan. Ini merupakan tanda bahwa obat anestesi sudah mulai menunjukkan

efeknya.

Pada pukul 10.15 WIB, mulai dilakukan tindakan operasi TURP. Pada

pantauan monitor didapat kan TD 114/70mmHg; Nadi 68x/menit; SpO2 99%. Selama

dilakukan operasi TURP pantauan tekanan darah, nadi dan SpO2 tampak stabil.

Pada pukul 10.45 WIB, sebelum selesai pembedahan pemberian analgetik

dilakukan. Pemberian injeksi ketorolac 30mg diindikasikan untuk penatalaksanaan

jangka pendek terhadap nyeri akut sedang sampai berat setelah prosedur pembedahan.

Pada pukul 10.40 WIB, pembedahan selesai dilakukan, dengan pemantauan

akhir TD 120/75mmHg; Nadi 70x/menit, dan SpO2 99%. Pembedahan dilakukan

selama 30 menit dengan perdarahan +- 50cc.

Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room). Selama di

ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan spontan dan adekuat

serta kesadaran composmentis. Tekanan darah selama 15 menit pertama pasca operasi

stabil yaitu 120/70 mmHg.

15

Page 16: Laporan Kasus TURP Anestesi

BAB III

PEMBAHASAN

1. Preoperatif

Pasien yang akan dioperasi terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan

yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang

untuk menentukan ASA. Kondisi pasien yang akan di operasi dalam kasus ini

adalah ASA II yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai dengan

sedang. Sesuai dengan pasien yang dikelola. Penderita didiagnosis oleh bedah

urologi adalah Benign Prostatic Hyperplasia (BPH). Pada pemeriksaan fisik

tidak tampak adanya kelainan. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto

thorax tak tampak kelainan pada pulmo dan besar cor, pemeriksaan EKG

sesuai bradicardia HR 54x/menit dan pemeriksaan USG Ginjal Buli sesuai

gambaran hipertrofi prostat. Dari hasil yang didapat disimpulkan bahwa pasien

masuk dalam kriteria ASA II dan akan dilakukan operasi TURP. Selanjutnya

ditentukan rencana jenis anestesi yang akan digunakan yaitu regional anestesi.

Persiapan yang dilakukan pada pasien ini sebelum operasi :

a. Informed consent

Informed consent ini meliputi penjelasan mengenai penyakit yang

diderita pasien, tindakan-tindakan yang akan dilakukan, alasan dilakukannya

tindakan tersebut, resiko dilakukannya tindakan, komplikasi, prognosis,

biaya dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan kondisi pasien maupun

tindakan yang dilakukan kepada pasien dan keluarga terdekat yang

bertanggung jawab terhadap pasien. Tujuannya untuk mendapatkan

persetujuan dan ijin dari pasien atau keluarga pasien dalam melakukan

tindakan anestesi dan operasi sehingga resiko-resiko yang mungkin akan

terjadi pada saat operasi dapat dipertimbangkan dengan baik.

b. Puasa

Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena

regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek

samping dari obat- obat anastesi yang diberikan sehingga refleks laring

mengalami penurunan selama anestesia. Pada pasien dewasa umumnya

dipuasakan selama 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam, dan pada bayi 3-4 jam

16

Page 17: Laporan Kasus TURP Anestesi

(Latief, 2001). Pada kasus ini, pasien dapat dipuasakan selama 6 jam. Pasien

telah diminta berpuasa sejak pukul 00.00 WIB.

c. Laboratorium

Hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien ini secara umum baik

sehingga memenuhi toleransi operasi. Adapun pemeriksaan laboratorium

pada pasien ini meliputi: pemeriksaan darah lengkap, hitung jenis, waktu

perdarahan, waktu pembekuan, kimia klinik, dan sero imunologi.

Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk menilai ada tidaknya gangguan

dan merencanakan koreksi jika terdapat gangguan.

Kadar hemoglobin yang baik, diperlukan guna memfasilitasi

distribusi oksigenasi ke jaringan dan pengangkutan karbon dioksida.

Oksigenasi atau perfusi yang baik diperlukan jaringan guna mencegah

terjadinya syok. Jumlah trombosit,masa pembekuan dan defisiensi faktor

pembekuan perlu dievaluasi agar dapat diantispasi risiko komplikasi

perdarahan. Trombosit merupakan unsur dasar dalam darah yang dapat

meningkatkan koagulasi. Penurunan trombosit dalam sirkulasi sebanyak

kurang dari 50% nilai normal akan menyebabkan perdarahan. (Kee, 2008).

Elektrolit penting juga untuk dievaluasi mengingat peranannya dalam

berbagai proses fisiologis tubuh. Natrium adalah ion yang dominan berada di

petak cairan ekstrasel dengan nilai normal 135-145 mEq/L. Keadaan

hiponatremia, bila tidak dikoreksi secara cepat dan tepat dapat

mengakibatkan oedem otak, selanjutnya menimbulkan kerusakan otak yang

ireversibel. Hipernatremia jarang terjadi, sebagai akibat ginjal sangat efisien

dalam mengeksresikan Na. Hipo dan hiperkalemia merupakan keadaan yang

gawat karena dapat menyebabkan aritmia jantung dan perlu segera dikoreksi

(Mangku, 2010).

2. Teknik Anestesi Pada TURP

Anestesi regional sudah sejak lama dipertimbangkan sebagai teknik

anestesi pilihan pada TURP. Teknik anestesi ini memungkinkan pasien

untuk tetap terbangun, yang memungkinkan diagnosis awal dari sindrom

TUR atau ekstravasasi dari irigasi cairan. Beberapa studi memperlihatkan

17

Page 18: Laporan Kasus TURP Anestesi

penurunan hilangnya darah ketika prosedur TURP dilakukan dengan

menggunakan anestesi regional dan anestesi umum.

Penggunaan dari anestesi regional jangka panjang, dibandingkan

dengan anestesi umum, pada pasien yang mengalami TURP dihubungkan

dengan kontrol nyeri dan penurunan kebutuhan penyembuhan nyeri

postoperatif.

Pada pasien ini dipilih teknik anestesi dengan menggunakan regional

anestesi, yaitu dengan anestesi spinal. Pemilihan anestesi ini berdasarkan dari

pertimbangan keadaan pasien sendiri. Pemilihan teknik anestesi spinal sesuai

dengan indikasi dari teknik spinal. Selain itu teknik anestesi spinal sudah

lama dilakukan untuk mengetahui lebih awal terhadap komplikasi dari

TURP, yaitu sindrom TURP.

3. Durante Operasi

Pada pasien ini dilakukan pembiusan menggunakan teknik anestesi

spinal dengan bucain spinal (Bupivakain HCl) sebanyak 20 mg. Anestesi

lokal amino amida ini menstabilisasi membran neuron dengan menginhibisi

perubahan ionik terus menerus yang diperlukan untuk memulai dan

menghantarkan impuls. Kemajuan anastesi berhubungan dengan diameter,

mielinisasi, dan kecepatan hantaran dari serat saraf yang terkena dengan

urutan kehilangan fungsi sebagai berikut: (1) otonomik (2) nyeri (3) suhu (4)

raba (5) propiosepsi dan (6) tonus otot skeletal.

Mual muntah merupakan gejala yang sering timbul akibat anestesi

spinal dan kejadiannya kurang lebih hampir 25%. Adapun penyebab mual

muntah pada anestesi spinal antara lain adalah penurunan tekanan

darah/hipotensi, hipoksia, kecemasan atau faktor psikologis, peningkatan

aktivitas parasimpatis dimana blok spinal akan mempengaruhi kontrol

simpatetik gastrointestinal. Dosis dewasa intravena yang direkomendasikan

untuk ondansetron sebagai pencegahan mual muntah perioperatif adalah 4

mg yang dapat diberikan sebelum induksi anestesi atau pada akhir operasi.

Mual muntah post operatif juga dapat diterapi dengan pemberian dosis 4 mg,

yang dapat diulangi sesuai kebutuhan setiap 4 – 8 jam.

Ketika tensi turun pertama kali pasien diberikan terapi cairan loading

RL dan ephedrine 10 mg . Ephedrine merupakan simpatomimetika atau

18

Page 19: Laporan Kasus TURP Anestesi

adrenergika, mekanisme kerjanya langsung terhadap reseptor-reseptor di otot

polos dan jantung yang dapat menyebabkan vasokonstriksi dan

meningkatkan curah jantung. Cairan RL diberikan untuk meningkatkan

jumlah cairan intravaskuler. Kerja keduanya mampu meningkatkan tekanan

darah.

Pada pasien ini digunakan cairan infus Ringer Laktat 500 ml untuk

mengganti defisit cairan puasa sebelum pembedahan dan kehilangan cairan

selama pembedahan. Terapi cairan durante operasi dijabarkan sebagai

berikut :

Usia : 74 tahun

Berat badan : 57 kg

Terapi Cairan :

Maintenance = 2x57= 114 cc

Pengganti Puasa (PP) =

=

=

6 x maintenance

6 x 114

684

Stress Operasi = 6cc/kgBB

(Sedang)

= 6cc x 114

= 684cc

Jam I = ½ PP + M + SO

= 342+ 114 + 684

= 1140 cc

Estimated Blood Volume = 65 x BB

= 65 x 57 kg

= 3705cc

Allowed Blood Loss = 20% x EBV = 20% x 3705 = 741cc

Sebelum akhir pembedahan pasien diberikan ketorolac 30 mg iv,

diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut

sedang sampai berat setelah prosedur pembedahan. Ketorolac adalah anti

inflamasi non steroid dengan durasi kerja sedang dengan waktu paruh 4-6

jam sehingga digunakan sebagai analgesik dalam penggunaan intravena

19

Page 20: Laporan Kasus TURP Anestesi

bukan sebagai anti inflamasi. Obat ini mempunyai efektiftas analgesik yang

nyata dan telah dipakai dengan hasil yang baik untuk menggantikan morfin

pada nyeri ringan hingga sedang sesudah operasi. Kebanyakan diberikan

secara intramuskular dan intravena, tetapi terdapat juga dalam bentuk obat

oral

4. Post operatif

Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room).

Selama di ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan

spontan dan adekuat serta kesadaran composmentis. Tekanan darah selama

15 menit pertama pasca operasi stabil yaitu 120/70 mmHg.

20

Page 21: Laporan Kasus TURP Anestesi

BAB IV

KESIMPULAN

1. Pada kasus ini, pasien Tn. D dengan diagnosis BPH, dilakukan tindakan TURP.

2. Pasien dilakukan anestesi dengan teknik anestesi spinal menggunakan

bupivacain spinal 20mg. Sebagai premedikasi diberikan ondancentron 4 mg

sebagai anti muntah. Ketrolorac 30mg diberikan beberapa menit sebelum

pembedahan selesai untuk memberikan efek analgetik.

3. Cairan yang diberikan selama operasi adalah Ringer Laktat sebanyak 500 ml

4. Laporan anestesi

Pembedahan dilakukan pada 20 Desember 2014, pukul 10.15

Waktu Hasil Pantauan Tindakan

10.05 WIB TD 124/75 mmHg

HR 60x/m

SpO2 99%

Pasien masuk ke ruang OK 1 dan

dilakukan pemasangan NIBP dan

saturasi O2. Infus RL terpasang

pada tangan kiri. Dimasukkan

Ondancentron 4 mg iv

10.10 WIB TD 120/70 mmHg

HR 59x/m

SpO2 99%

Dimulai anestesi dengan RA

(spinal) dengan bupivacain spinal

20 mg

10.15 WIB TD 120/72 mmHg

HR 68x/m

SpO2 99%

Dimulai pembedahan

10.40 WIB TD 115/72 mmHg

HR 70x/m

SpO2 99%

Dimasukkan ketorolac 30 mg,

Asam tranexamat, dan farsix

10.45 WIB TD 120/70 mmHg

HR 70x/m

SpO2 99%

Selesai pembedahan

21

Page 22: Laporan Kasus TURP Anestesi

5. Lama operasi pada pasien ini adalah 30 menit dengan perdarahan +- 50 cc.

Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room). Selama di

ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan spontan dan

adekuat serta kesadaran composmentis.

22

Page 23: Laporan Kasus TURP Anestesi

DAFTAR PUSTAKA

Barba M, Leyh H, dan Hartung. New technology in transurethral resection of the

prostate. Curr Opin Urol 10:9-14, 2007.

Besimon H ; ‘Surgery of the Prostat’, in ‘Urologic Surgery’, Mc Graw-Hill, 2007:

260-266.

Donovan JL, Peters TJ, Neal DE, Brookes ST, Gujral S, Chacko KN, Wright M, et al.

A randomised trial comparing transurethral resection of the prostate, laser

therapy and consevative treatment of men with symptoms associated with

benign prostatic enlargement: The ClasP study. J Urol 164: 65-70, 2007

Edlin, 2010. Perbandingan Insidensi Post Dural Puncture Headache Setelah

Anestesia Spinal dengan Jarum 27G Quincke dan 27G Whitacre. Thesis.

Universitas Sumatera Utara

Latief, S.A., Suryadi, K.A. & Dachlan, M.R., 2001. Anestesiologi. Jakarta: FK UI

Monk, Terri.G and B. Craig Weldon. The Renal System And Anesthesia For Urologic

Surgery, chapter 36, page 42 in Clinical Anesthesia. Edition 4. Lippincott

Williams & Wilkin Publishers. 2008.

Tubaro A, Vicentini C, Renzetti R, dan Miano L. Invasive and minimally invasive

treatment modalities for lower urinary tract symptoms: what are the relevant

differences in randomized controlled trials? Eur Urol 38: 7-17, 2007.

Yang Q, Petes TJ, Donovan JL, Wilt TJ, dan Abrams P. Transurethral incision

compared with transurethral resection of the prostate for bladder outlet

obstruction: a systemic review and meta-analysis of randomised controlled

trials. J Urol 165: 1526-1532, 2008

23