bab i turp

Upload: navina01

Post on 02-Jun-2018

242 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/10/2019 BAB I TURP

    1/31

    1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Kanker prostat merupakan keganasan urologi pada laki-laki yang sering terjadi danberpotensi mematikan selama beberapa tahun terakhir. Di Indonesia,kanker prostat berada di

    urutan ke-3 kanker terbanyak (9033 kasus baru) dan merupakan penyebab kematian ke-5 (6842

    kasus) pada laki-laki. Di berbagai negara, insiden kanker prostat juga mengalami peningkatan

    sangat signifikan selama beberapa tahun terakhir. Sebagian besar kanker prostat adalah tipe

    adenokarsinoma (sebanyak 95% kasus). Gleason score menjadi standar internasional utama

    untuk menilai derajat histologis adenokarsinoma prostat dan dapat dikelompokkan menjadi low

    grade (gleason score 7) dan high grade (gleason score 8-10).1

    Dalam perawatan kanker prostat, ada beberapa pemilihan metode pengobatan yang dapat

    dilakukan oleh dokter. Diantaranya adalah Transurethral resection of the prostate (TURP).

    TURP merupakan metode paling sering digunakan dimana jaringan prostat yang menyumbat

    dibuang melalui sebuah alat yang dimasukkan melalui urethra.Ia juga merupakan salah satu jenis

    operasi endoskopi yang banyak dilakukan saat ini .Pada operasi TURP dari segi anestesiologi

    dapat dikerjakan secara anestesi umum dan anestesi lokal tertentu. Masing-masing memiliki

    keuntungan dan kerugian tertentu . Pada beberapa negara maju telah menjadi kesepakatan bahwa

    dalam tindakan operatif TURP yang digunakan adalah lokal yaitu anestesi spinal. Keputusan

    akan pemberian anestesi sangatlah bergantung dari keaadan pasien dan pendekatan

    anestesiologis dan urologis.1

  • 8/10/2019 BAB I TURP

    2/31

    2

    BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Adenokarsinoma Prostat

    2.1.1 Definisi

    Kanker prostat adalah keganasan prostat yang diderita pria berusia lanjut dengan punjak

    kejadian pada usia 65-75 tahun. Lebih dari 95% kanker prostat bersifat adenokarsinoma yang

    merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel kelenjar selebihnya didominasi karsinoma sel

    transisional. 60-70% kasus kanker prostat terjadi pada zona perifer sehingga dapat diraba sebagai

    nodul-nodul keras irregular pada pemeriksaan colok dubur. Sebanyak 10-20% kanker prostat

    terjadi pada zona transisional dan 5-10% terjadi pada zona sentral.1, 2

    2.1.2 Epidemiologi

    Adenokarsinoma prostat adalah kanker paling umum pada pria.Kejadiannya di Amerika

    Serikat pada tahun 2007 mencapai 27% dari semua kanker dan menyebabkan 9% kematian

    karena kanker di tahun yang sama.Pasien kanker prostat stadium awal biasanya tidak

    menunjukkan gejala walau beberapa kasus bermanifestasi dengan gejala obstruktif mirip benign

    prostat hyperthrophy (BPH). Oleh karena itu, pada pria berusia 40 tahaun sebaiknya sudah

    melakukan pemeriksaanscreeninguntuk deteksi dini.2

    2.1.3 Etiologi dan Faktor Risiko

    Dari berbagai penelitian,di dapatkan beberapa faktor risiko kanker prostat adalah seperti

    berikut;

    1.Usia

    Kanker prostat biasanya menyerang pria berusia lebih dari 50 tahun. Insidensi kanker

    prostat yang ditemukan pada otopsi cukup tinggi yaitu sekitar 20% pada laki-laki berusia 50-an,

    bahkan hingga 70% pada pria berusia 70-80an.Namun penemuan tersebut juga berhubungan

    denga ras dan tempat tinggal.1,2

    2.Ras

    Penderita prostat tertinggi ditemukan pada pria ras Afrika-Amerika. Pria berkulit hitam

    memiliki risiko 1.6 kali lebih besar untuk menderita kanker prostat dibandingkan dengan pria

  • 8/10/2019 BAB I TURP

    3/31

    3

    berkulit putih. Ras Asia lebih jarang menderita kanker prostat, prevalensi penumuan kanker

    prostat pada otopsi paling kecil ditemukan pada orang Jepang.2

    3.Riwayat keluarga

    Perubahan gen pada kromosom 1,17 dan kromosom X dijumpa pada pasien-pasien

    dengan riwayat keluarga dengan kanker prostat. Gen hereditary prostate cancer(HPC1) dan gen

    predisposing for cancer of the prostate (PCAP) terdapat pada kromosom 1 sedang gen human

    prostate cancerpada kromosom X.

    Dibandingkan laki-laki yang tidak mempunyai riwayat keluarga kanker prostat, laki-laki

    dengan satu generasi keluarga dengan kanker prostat mempunyai dua kali lipat terkena kanker

    prostat. Sedangkan jika laki-laki mempunyai dua generasi dengan kanker prostat maka risikonya

    meningkat menjadi lima kali lipat.2

    2.1.4 Gejala Klinis

    Gejala klinis yang ada umumnya sama dengan gejala pembesaran prostat jinak yaitu

    buang air kecil tersendat atau tidak lancar. Keluhan dapat juga berupa nyeri tulang dan gangguan

    saraf. Dua keluhan itu muncul bila sudah ada penyebaran ke tulang belakang.3

    Tahap awal yang mengalami kanker prostat biasanya tidak menunjukan gejala klinis atau

    asimptomatik.Pada tahap berikutnya didapati obstruksi sebagai gejala yang paling sering

    ditemukan.Biasanya ditemukan juga hematuria yaitu urin mengandung darah, infeksi saluran

    kemih, serta rasa nyeri saat berkemih. Pada tahap lanjut penderita yang telah mengalami

    metastase di tulang sering mengeluh sakit tulang dan sangat jarang mengalami kelemahan

    tungkai , penurunan berat badan, Kehilangan nafsu makan, nyeri pada tulang dengan atau tanpa

    fraktur patologi, nyeri dan bengaka pada tungkai bawah, gejala uremik dapat muncul akibat

    obstruksi uretra dan retroperitoneal adenopathy.3,4

    Adenokarsinoma prostat munculo pada zona perifer maka keganasan ini sering bertahan

    dengan baik sebelum pasien mengeluh kesulitan miksi akibat obstruksi uretra dan beberapa di

    antaranya tetap tersembunyi bahkan sampai sudah metastasis jauh. Adenokarsinoma prostat

    dapat dibagi atas tiga kategori berdasarkan sifatnya:3

  • 8/10/2019 BAB I TURP

    4/31

    4

    a) Invasive prostatic carcinoma ( secara klinis telah dijumpai invasi local dan metastasis)

    b) Latent prostatic carcinoma (secara insidentil dijumpai pada kelenjar prostat dewasa yang

    menetap untuk jangka waktu yang lama)

    c)

    Occult carcinoma (secara klinis tidak dijumpai pada tempat primer, tetapi sudah ada

    metastasis)

    2.1.5 Diagnosis5,6,7,8

    Diagnosa dapat dilakukan atas kecurigaan pada saat pemeriksaan colok dubur yang

    abnormal atau peningkatan Prostate Specific Antigen (PSA). Kecurigaan ini kemudian

    dikonfirmasi dengan biopsi dibantu oleh trans rectal ultrasound scanning (TRUSS). Ada 50%

    lebih lesi yang dicurigai pada saat colok dubur yang terbukti suatu kanker prostat.. Nilai prediksi

    colok dubur untuk mendeteksi kanker prostat adalah 21, 53%. Sensitifitas colok dubur tidak

    memadai untuk mendeteksi kanker prostat tapi spesifitasnya tinggi, namun bila didapatkan tanda

    ganas pada colok dubur maka hampir semua kasus memang terbukti kanker prostat karena nilai

    prediktifnya 80%.

    Digital Rectal Examination

    Pemeriksaan rutin prostat yang diperlukan adalah pemeriksaan rektum dengan jari atau Digital

    Rectal Examination. Pemeriksaan ini menggunakan jari telunjuk yang dimasukkan ke dalam

    rektum untuk meraba prostat. Penemuan prostat abnormal pada DRE berupa nodul atau indurasi

    hanya 15-25 % kasus yang mengarah ke kanker prostat.

    Pemeriksaan kadar Prostat Spesifik Antigen

    Prostat Spesifik Antigen (PSA) adalah enzim proteolitik yang dihasilkan epitel prostat dan

    dikeluarkan bersamaan dengan cairan semen dalam jumlah yang banyak. Prostat Spesifik

    Antigen memiliki nilai normal kurang < 4 ng/ml. Pemeriksaan PSA sangat baik digunakan

    bersamaan dengan pemeriksaan DRE dan TRUSS dan biopsy. Peningkatan kadar PSA bisa

    terjadi pada keadaan Benign Prostat Hyperplasia (BPH), infeksi saluran kemih dan kanker

    prostat dilakukan penyempurnaan dalam interpretasi nilai PSA yaitu PSA velocity atau

    perubahan laju nilai PSA, densitas PSA, dan nilai rata- rata PSA, nilainya bergantung pada umur

    penderita.

  • 8/10/2019 BAB I TURP

    5/31

    5

    Biopsi Prostat

    Biopsi Prostat merupakan gold standard untuk menegakkan diagnosa kanker prostat.

    Pemeriksaan biopsi prostat menggunakan panduan transurectal ultrasound scanning (TRUSS)

    sebagai suatu biopsi standar. Namun seringnya penemuan mikroskopis kanker prostat terjadi

    secara insidentil dari hasil TURP atau pemotongan prostat pada BPH. Pemeriksaan biopsi prostat

    dilakukan apabila ditemukan kadar peningkatan PSA serum dan kelainan pada DRE. Pada

    pemeriksaan mikroskopis ini, sebagian besar karsinoma prostat adalah jenis adenocarcinoma

    dengan derajat diferensiasi berbeda. 70% adenocarcinoma prostat terletak di zona perifer, 20%

    zona transisional dan 10% di zona sentral. Namun, penelitian lain menyatakan 70% kanker

    berkembang dari zona perifer, 25% zona sentral, zona transisional, dan beberapa daerah

    periurethral adalah tempat- tempat khusus untuk benign prostat hiperplasia (BPH). Pada hasil

    biopsy prostat, sebagian kanker prostat adalah adenocarcinoma dengan derajat berbeda. Kelenjar

    pada kanker prostat invasif sering mengandung fokus atipik sel atau neoplasia intraepitel prostat

    (NIP) sebagai prekursor kanker prostat.

    Pencitraan

    Dalam melakukan pencitraan, ada beberapa jenis pencitraan umumnya dipakai dalam

    mendiagnosis kanker prostat, di antara nya yaitu:

    A) Transrectal Ultrasound Scanning(TRUSS).

    TRUSS adalah pemeriksaan yang digunakan untuk menentukan lokasi kanker prostat

    yang lebih akurat dibandingkan dari DRE, merupakan panduan klinisi untuk melakukan

    biopsi prostat sehingga TRUSS dikatakan sebagai biopsy guidance. Selain untuk

    panduan biopsi, TRUSS juga digunakan untuk mengukur besarnya volume prostat diduga

    terkena kanker. TRUSS juga digunakan pada tindakan cryosurgery dan brachytherapy.

    Temuan DRE yang normal namun ada peningkatan kadar PSA > 4 ng/ml dapat

    digunakan TRUSS untuk melihat kemungkinan terjadi keganasan pada prostat.

  • 8/10/2019 BAB I TURP

    6/31

    6

    B)Endorectal Magnetic Resonance Imaging(MRI)

    C)Axial Imaging(CT- MRI)1

    Pemeriksaan ini digunakan untuk melihat apakah penderita kanker prostat mengalami

    metastasis ke tulang pelvis atau kelenjar limfe sehingga klinisi dapat menentukan terapi

    yang tetap. Namun, pencitraan ini cukup memakan biaya dan sensitifitasnya terbatas

    hanya 30-40%.

    Grading dan staging

    Kanker prostat biasanya mengalami metastase ke kelenjar limfe pelvis kemudian

    metastase berlanjut ke tulang tulang pelvis vertebra lumbalis femur vertebra torakal

    kosta. Lesi yang sering terjadi pada metastate di tulang adalah lesi osteolitik (destruktif), lebih

    sering osteoblastik (membentuk tulang). Adanya metastasis osteoblastik merupakan isyarat yang

    kuat bahwa kanker prostat berada pada tahap lanjut.

    Untuk menentukan grading, yang paling umum digunakan di Amerika adalah system

    Gleason. Skor untuk sistem ini adalah 1-5 berdasarkan pola secara pemeriksaan specimen prostat

    di laboratorium Patologi Anatomi. Ada 2 skor yang harus dilihat dalam sistem Gleason yaitu:9

    1. Skor primer adalah penilaian yang diberikan berdasarkan gambaran mikroskopik yang

    paling dominon pada specimen yang diperiksa.

    2. Skor sekunder adalah gambaran mikroskopik berikutnya yang paling dominon setelah

    yang pertama

    Total skor untuk Gleason adalah jumlah dari skor primer dan skor sekunder di mana masing-

    masing rentang nilai untuk skor primer dan sekunder adalah 1-5 dan totalnya 2-10. Bila skor

    Gleason 2-4, maka specimen dikelompokkan ke dalam kategori well- differentiated, sedangkan

    bila skor Gleason 5-6 dikategorikan sebagai moderate differentiated dan skor 8-10

    dikelompokkan sebagai poor differentiated. Kerancuan ini diatasi dengan cara seperti berikut:

  • 8/10/2019 BAB I TURP

    7/31

    7

    Skor Gradingmenurut Gleason

    Skor Gleason Gambaran mikroskopik

    1-2 Kelenjar kecil dan uniform, menyatu dekat dengan sedikitstroma

    3 Cribiform pattern

    4 Incomplete gland formation

    5 Tidak ada kelenjar terbentuk atau penampakan lumen

    Sedangkan StagingTNM digunakan untuk melihat hasil dari DRE dan TRUS bukan dari hasil

    biopsi.

    StagingTNM

    Luas

    Tumor Primer

    Temuan Anatomi

    T1 Lesi tidak teraba

    T1a 5% jaringan yang direseksi untuk BPH memiliki kanker dengan DRE

    normal

    T1b 50% dari satu lobus tapi unilateral

    T2c Keterlibatan kedua lobus

    T3 Perluasan ekstraprostat local

    T3a Unilateral

    T3b Bilateral

    T3c Invasi ke vesika seminalis

    T4 Invasi ke organ dan/ atau struktur penunjang di jaringan sekitar

    T4a Invasi ke leher kandung kemih, rektum, atau sfingter eksternal

  • 8/10/2019 BAB I TURP

    8/31

    8

    T4b Invasi ke otot elevator anus atau dasar panggul

    Status kelenjar

    getah bening (N)

    Temuan anatomi

    N0 Tidak ada metastase ke kelenjar regional

    N1 Satu kelenjar regional garis tengah 2cm

    N2 Satu kelenjar regional dengan garis tengah 2-5cm atau banyak kelenjar

    dengan garis tengah < 5cm

    N3 Kelenjar regional dengan garis tengah > 5cm

    Metastasis jauh

    (M)

    Temuan anatomi

    M0 Tidak ada metastasis jauh

    M1 Terdapat metastasis jauh

    M1a Metastasis ke kelenjar getah bening jauh

    M1b Metastasis ke tulang

    M1C Metastasis jauh lainnya

    2.1.6 Penatalaksanaan

    Sebelum dilakukan penanganan terhadap kanker prostat, perlu diperhatikan faktor- faktor

    yang berhubungan dengan prognosis kanker prostat yang dibagi ke dalam dua kelompok yaitu

    faktor- faktor prognostik klinis dan patologis kanker prostat. Faktor prognostik klinis adalah

    faktor-faktor yang dapat dinilai melalui pemeriksaan fisik, tes darah, pemeriksaan radiologi dan

    biopsi prostat. Faktor klinis ini sangat penting karena akan menjadi acuan untuk

    mengidentifikasikan karakteristik kanker sebelum dilakukan pengobatan yang sesuai. Sedangkan

    faktor patologis adalah faktor- faktor yang memerlukan pemeriksaan, pengangkatan dan evaluasi

    kesuruhan prostat.10

    Faktor prognostik antara lain :

    1. Usia pasien

    2. Volume tumor

  • 8/10/2019 BAB I TURP

    9/31

    9

    3. Grading

    4. Ekstrakcapsular ekstensi

    5. Invasi ke kelenjar vesikuler seminalis

    6. Zona asal kanker prostat

    7. Faktor biologi seperti serum PSA, IGF, p53, gen penekanan tumor

    Penanganan kanker prostat ditentukan berdasarkan penyakitnya apakah kanker prostat

    tersebut terlokalisasi, penyakit kekambuhan atau sudah mengalami metastase. Selain itu juga

    perlu diperhatikan faktor- faktor prognostik di atas yang sangat penting untuk melakukan terapi

    kanker prostat. Untuk penyakit yang masih terlokalisasi langkah pertama yang dilakukan adalah

    melakukan watchfull waiting atau memantau perkembangan penyakit. Watchfull waiting

    merupakan pilihan yang tepat untuk pria yang memiliki harapan hidup kurang dari 10 tahun atau

    memiliki skor Gleason 3+ 3 dengan volume tumor yang kecil yang memiliki kemungkinan

    metastase dalam kurun waktu 10 tahun apabila tidak diobati.3Sumber lain menuliskan bahwa

    watchfull waitingdilakukan bila pasien memiliki skor Gleason 2-6 dengan tidak adanya nilai 4

    dan 5 pada nilai primer dan sekunder karena memiliki resiko yang rendah untuk berkembang.9

    Sekarang ini, pria yang memiliki resiko sangat rendah ( very low risk) terhadap kanker

    prostat dan memilih untuk tidak melakukan pengobatan, tetap dilakukan monitoring. Menurut

    Dr. Jonathan Epstein, seorang ahli patologi dari Rumah Sakit John Hopkins mengemukakan

    beberapa kriteria yang termasuk ke dalam golongan risiko rendah terhadap kanker prostat (very

    low risk):

    1. Tidak teraba kanker pada pemeriksaan DRE ( staging T1c)

    2. Densitas PSA ( jumlah serum PSA dibagi dengan volume prostat) kurang dari 0,15

    3. Skor Gleason kurang atau sama dengan 6 dengan tidak ditemukan pola yang bernilai 4

    atau 5

    4. Pusat kanker tidak lebih dari 2 atau kanker tidak melebihi 50% dari bagian yang dibiopsi.

  • 8/10/2019 BAB I TURP

    10/31

    10

    Pengobatan terhadap adenokarsinoma prostat sangat efektif apabila belum menyebar ke organ

    sekitarnya dan belum bermetastasis. Pengobatan terhadap adenokarsinoma prostat yang masih

    terbatas pada organ prostat adalah prostektomi, radiasi, dan brachyterapi. Apabila

    adenokarsinoma prostat telah metastasis maka digunakan terapi hormon dengan ablasi hormonal

    secara bedah ( kastrasi), ablasi hormonal dengan obat- obatan (antagonis reseptor androgen,

    inhibitor 5 reductase), atau gabungan keduanya ( combined androgen blockade).

    2.2 Teknik Anestesi pada TURP

    2.2 1.Anestesi Spinal pada TURP

    Pasien yang menjalani TURP biasanya pada usia lanjut dan sering disertai dengan

    penyakit jantung, paru, atau lainnya sehingga penting untuk membatasi level blok untuk

    mengurangi efek cardiopulmonary yang merugikan pada pasien tersebut. Penggunaan anastesi

    lokal dengan dosis yang lebih kecil memberikan beberapa keuntungan misalnya hipotensi tidak

    terjadi karena tidak memblok serabut saraf simpatik di daerah atas serta memperkecil risiko

    timbulnya toksisitas sistemik obat anastesi lokal.11

    Spinal anastesi memberi berbagai keuntungan

    dibandingkan general anastesi. Spinal anastesi terutama berguna bagi pasien dengan distress

    pernapasan, memberi respon analgetik postoperative yang baik, dan mengurangi respon stress

    pada operasi. Terlebih, anastesi spinal memungkinkan ahli anastesi memonitor tingkat kesadaran

    pasien. Hal ini mempermudah untuk mengenali gejala TUR-P syndrome.13

    Dengan spinal anastesi, kita dapat mengenal lebih awal tanda robeknya kapsula prostat

    dan perforasi kandung kemih jika pasien mengeluh nyeri pada bahu dan daerah periumbilikal

    yaitu tepat pada T10 (thorakal 10). Blok pada spinal hingga T10 diperlukan untuk

    menghilangkan ketidaknyamanan akibat distensi kandung kemih dipakai bupivakain 2,5-3 ml

    biasa atau hiperbarik. Jarum spinal dengan ukuran ujung pensil memiliki angka kejadian sakit

    kepala akibat tusukan dura, yang lebih rendah. Hipotensi serius jarang terjadi dengan teknik

    tersebut. Posisi litotomi dapat mengkompensasi blok simpatis dengan meningkatkan venous

    return. Pengobatan hipotensi dengan vasokonstriktor lebih diutamakan dibandingkan pemberiancairan dengan cepat, untuk mengurangi resiko kelebihan cairan. Monitoring tekanan arteri

    dengan hati-hati selama operasi dan sesudahnya sangat dianjurkan. Jika diperlukan, dapat

    diberikan sedasi berupa 1-2 mg midazolam secara intravena, walaupun hal ini dapat

    menyebabkan konfusi, disinhibisi, dan kegelisahan.13

  • 8/10/2019 BAB I TURP

    11/31

    11

    1. Persiapan Pasien

    Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini (informed concent) meliputi

    pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi. Pemeriksaan fisis

    dilakukan meliputi daerah kulit tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya

    kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan juga adanya skoliosis atau kifosis. Pemeriksaan

    laboratorium yang perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit. Masa protrombin (PT)

    dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan

    pembekuan darah. Kunjungan praoperasi dapat menenangkan pasien. Dapat

    dipertimbangkan pemberian obat premedikasi agar tindakan anestesi dan operasi lebih

    lancar. Namun, premedikasi tidak berguna bila diberikan pada waktu yang tidak tepat.14

    2.

    PerlengkapanTindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan perlengkapan operasi yang

    lengkap untuk monitor pasien, pemberiananestesi umum,dan tindakan resusitasi. Jarum

    spinal dan obat anestetik spinal disiapkan. Jarum spinal memiliki permukaan yang rata

    dengan stilet di dalam lumennya dan ukuran 16-G sampai dengan 30-G. Obat anestetik

    lokal yang digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain, atau bupivakain. Berat jenis

    obat anestetik lokal mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah yang teranestesi.

    Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis cairan serebrospinal

    (hiperbarik), akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gaya gravitasi. Jika lebih kecil

    (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat

    akan berada di tingkat yang sama di tempat penyuntikan. Pada suhu 37C cairan

    serebrospinal memiliki beratjenis 1,003-1,008. Perlengkapan lain berupa kain kasa steril,

    povidon iodine, alkohol.13

    3 Jenis jarum Spinal

    Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang ujungnya runcing seperti ujung bamburuncing (jenis Quinke-Babcock atau Greene) dan jenis yang ujungnya seperti ujung pensil

    (Whitacre). Ujung pensil banyak digunakan karena jarang menyebabkan nyeri kepala

    pasca penyuntikan spinal.13

    http://ifan050285.wordpress.com/2010/03/15/anestesi-spinal/anestesi243.htmhttp://ifan050285.wordpress.com/2010/03/15/anestesi-spinal/anestesi241b.htmhttp://ifan050285.wordpress.com/2010/03/15/anestesi-spinal/anestesi241b.htmhttp://ifan050285.wordpress.com/2010/03/15/anestesi-spinal/anestesi243.htm
  • 8/10/2019 BAB I TURP

    12/31

    12

    3. Obat- Obat yang Dipakai sebagai Obat Premedikasi

    a. Papaveratum :0,3 mg/Kg

    b. Pethidin : 50-100 mg/Kg

    c. Phentanyl : 100 mcg

    4. Obat yang dipakai untuk induksi spinal adalah seperti Bupivacain, untuk anestesi spinal,

    dosis yang digunakan adalah 7-15 mg (larutan 0,75%).13

    5. Teknik Anestesi

    Adapun tahapan spinal anestesi adalah:14

    Teknik untuk melakukan anestesi spinal yaitu dengan posisi duduk atau posisi tidur

    lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi yang paling seringdikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya

    diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit

    pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.

    a. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus lateral atau

    dengan posisi duduk. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya

    tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maksimal agar prosesus

    spinosus mudah teraba. Posisi lain ialah duduk.

    b. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan

    tulang punggung ialah L4 atau L4-5. Tentukan tempat tusukan misalnya L2-3,

    L3-4, atau L4-5. Tusukan pada L1-2 atau di atasnya berisiko trauma terhadap

    medulla spinalis.

    c. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.

    d. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan. Untuk mencapai cairan serebrospinalis,

    maka jatum suntik akan menembus : kulit

    subkutis

    ligamentumsupraspinosum ligamentum interspinosum ligamentum flavum ruang

    epiduralduramaterruang subarachnoid.

    e. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22 G, 23 G atau

    25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27 G atau 29 G

    dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer) yaitu jarum suntik biasa

  • 8/10/2019 BAB I TURP

    13/31

    13

    semprit 10 cc. Tusukan introducer sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit ke arah

    sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum

    tersebut. Jika menggunakan jarum tajam irisan jarum haruis sejajar dengan

    dengan serat duramater untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat

    berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi menghilang,

    mandarin juarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan

    obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0.5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit,

    hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Untuk BAB anelgesi spinal

    kontinyu dapat dimasukkan kateter.

    f. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid

    dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa 6 cm.

    6.

    Pengawasan selama berlangsungnya operasi

    Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan selama berlangsungnya TURP adalah

    gejala-gejala komplikasi yang dapat terjadi. Komplikasi mayor yang dapat terjadi

    pada TURP adalah:11

    a. Pendarahan

    Perdarahan pada TURP akan menimbulkan hipovolemia, menyebabkan

    kehilangan kemampuan mengangkut oksigen secara signifikan sehingga bisa

    menuju iskemia myokardial dan infark miokard. Kehilangan darah berkorelasi

    dengan ukuran kelenjar prostat yang direseksi, lamanya pembedahan dan skill dari

    operator. Rata-rata kehilangan darah saat TURP adalah 10ml/gram dari reseksi

    prostat.

    b. Sindrom TURP

    Reseksi prostat transurethral sering membuka jaringan ekstensif sinus vena pada

    prostat dan memungkinkan absorbsi sistemik dari cairan irigasi. Absorbsi dari

    cairan dalam jumlah yang besar (2 liter atau lebih) menghasilkan gejala dan tanda

    yang disebut dengan sindrom TURP. Manifestasi dari Sindrom TURP :15

    Hiponatremia

    Hipoosmolaritas

  • 8/10/2019 BAB I TURP

    14/31

    14

    Overload cairan

    Gagal jantung kongestif

    Edema paru

    Hipotensi

    Hemolisis

    Keracunan cairan

    Hiperglisinemia

    Hiperamonemia

    Hiperglikemia

    Ekspansi volume intravaskular

    Sindrom TURP adalah satu dari komplikasi tersering pembedahan endoskopi urologi.

    Insiden sindrom TURP mencapai 20% dan membawa angka mortalitas yang signifikan.

    Walaupun terdapat peningkatan di bidang anestesi 2,5%-20 % pasien yang mengalami TURP

    menunjukkan satu atau lebih gejala sindrom TURP dan 0,5% - 5% diantaranya meninggal pada

    waktu perioperatif. Angka mortalitas dari sindrom TURP ini sebesar 0,99%.Reseksi kelenjar

    prostate transuretra dilakukan dengan mempergunakan cairan irigasi agar daerah yang di irigasi

    tetap terang dan tidak tertutup oleh darah.

    Syarat cairan yang dapat digunakan untuk TURP adalah: isotonik, non-

    hemolitik,electrically inert , non-toksik, transparan, mudah untuk disterilisasi dan tidak mahal.

    Akan tetapi sayangnya cairan yang memenuhi syarat seperti di atas belum ditemukan.Untuk

    TURP biasanya menggunakan cairan nonelektrolit hipotonik sebagai cairan irigasi seperti air

    steril, Glisin 1,5%(230 mOsm/L), atau campuran Sorbitol 2,7% dengan Mannitol 0,54% (230

    Osm/L). Cairan yang boleh juga dipakai tapi jarang digunakan adalah Sorbitol 3,3%,Mannitol

    3%, Dekstrosa 2,5-4% dan Urea 1%. Adapun yang perlu diperhatikan adalah:12

    1) Hipovolemi, Hipotensi

    Tanda hemodinamika klasik dari Sindrom TURP, ketika glisin digunakan sebagaicairan irigasi,terdiri dari transient arterial hipertension, yang bisa tidak muncul jika

    pendarahan berlebihan, diikuti dengan perpanjangan hipertensi. Pelepasan substansi

    jaringan prostatik dan endotoksin menuju sirkulasi dan asidosis metabolik yang bisa

    berkontribusi terhadap hipotensi

  • 8/10/2019 BAB I TURP

    15/31

    15

    2) Gangguan Penglihatan

    Salah satu komplikasi dari Sindrom TURP adalah kebutaan sementara, pandangan

    berkabut, dan melihat lingkaran disekitar objek. Pupil menjadi dilatasi dan tidak

    merespons. Lensa matanormal. Gejala bisa muncul bersamaan dengan gejala lain dari

    Sindom TURP atau bisa juga menjadi gejala yang tersembunyi. Penglihatan kembali

    normal 8-48 jam setelah pembedahan. Kebutaan TURP disebabkan oleh disfungsi retina

    yang kemungkinan karena keracunan glisin. Karena itu persepsidari cahaya dan refleks

    mengedipkan mata dipertahankan dan respon pupil terhdap cahaya dan akomodasi hilang

    pada kebutaan TURP, tidak seperti kebutaan yang disebabkan karena disfungsi Kortikal

    serebri.

    3) Perforasi

    Perforasi dari kandung kemih bisa terjadi saat TURP berkaitan dengan instrumen

    pembedahan, pada reseksi yang sukar, distensi berlebihan dari kantung kemih dan letusan

    didalam kantung kemih. Perforasi instrumen dari kapsul prostatik telah diestimasi terjadi

    pada 1% dari pasienyang melakukan TURP. Tanda awal dari perforasi, yang sering tidak

    diperhatikan adalah penurunan kembalinya cairan irigasi dari kantung kemih. Dan diikuti

    oleh nyeri abdomen,distensi dan nausea. Bradikardi dan hipotensi arterial juga ditemukan.

    Juga ada resiko tinggi kesalahan diurese spontan. Pada perforasi intraperitoneal, gejalanya

    berkembang lebih cepat. Nyeri alih bahu yang berkaitan dengan iritasi pada diafragma

    merupakan gejala khas Pallor ,diaphoresis, rigiditas abdomen, nausea, muntah dan

    hipotensi bisa terjadi. Perforasi ekstraperitonial, pergerakan refleks dari ekstemitas bawah

    bisa terjadi. Letusan didalam kantung kemih jarang terjadi. Kauter dari jaringan prostat

    dipercaya bisa membebaskan gas yang mudah terbakar. Secara normal, tidak cukup

    oksigen yang terdapat didalam kantung kemih agar bisa terjadi letusan. Tetapi jika udara

    masuk bersama dengan cairan irigasi akan bisa berakibat timbulnya ledakan.

    4) Koagulopati

    DIC ( Disseminated Intravasculer Coagulation) bisa terjadi berkaitan dengan

    pelepasan partikel prostat yang kaya akan jaringan thrombopalstin menuju sirkulasi yang

    menyebabkan fibrinolisis sekunder. Dilutional trombositopenia bisa memperbusuk situasi.

    DIC bisa dideteksi pada darahdengan timbulnya penurunan jumlah platelet, FDP ( Fibrin

  • 8/10/2019 BAB I TURP

    16/31

    16

    Degradation Products) yang tinggi(FDP > 150 mg/dl) dan plasma fibrinogen yang rendah

    (400 mg/dl)

    5) Bakteremia, Septisemia dan Toksemia

    Sekitar 30% dari semua pasien TURP memiliki urin yang terinfeksi saat preoperatif.

    Ketika prostat sinus vena terbuka dan digunakan irigasi dengan tekanan tinggi, maka

    bakteri akan masuk menuju sirkulasi. Pada 6% pasien, bakteremia menjadi septisemia.

    Absorbsi dari endotoksin bakteri dan produksi toksin dari koagulasi jaringan akan

    berakibat keadaan toksik pada pasien postoperatif. Gemetar yang parah, demam, dilatasi

    kapiler dan hipertensi bisa terjadi secara temporer pada pasien ini.

    6) Hipotermia

    Hipotermia merupakan observasi yang selalu dilakukan pada pasien yang akan

    dilakukan TURP.Penurunan dari suhu tubuh akan mengubah situasi hemodinamika, yang

    mengakibatkan pasien menggigil dan peningkatan konsumsi oksigen. Irigasi kandung

    kemih merupakan sumber utama dari hilangnya panas dan penggunaan cairan irigasi pada

    suhu ruangan menghasilkan penurunansuhu tubuh sekitar 1-2oC. Ini diperburuk oleh

    keadaan ruangan operasi yang bersuhu dingin.Pasien geriatri diduga akan mengalami

    hipotermia karena disfungsi otonom. Vasokonstriksi dan asidosis bisa berefek pada

    jantung dan berkontribusi terhadap manifestasi sistem saraf pusat. Menggigil juga bisa

    diperparah oleh pendarahan dari tempat reseksi.

    c.Tata laksana sindrom TURP

    Terapi Sindrom TURP meliputi koreksi berbagai mekanisme patofisiologikal

    yang bekerja pada homeostasis tubuh. Idealnya terapi tersebut harus dimulai sebelum tejadi

    komplikasi sistem saraf pusat dan jantung yang serius. Ketika Sindrom TURP didiagnosa,

    prosedur pembedahan sebaiknya diakhiri secepatnya. Kebanyakan pasien bisa

    dimanajemen dengan restriksi cairan dan diuretic loop

    Identifikasi gejala awal sindrom TURP dan pencegahan, penting untuk mencegah

    efek yang fatal bagi pasien yang mengalami pembedahan endoskopik. Hiponatremia yang

    terjadi sebelum operasi harus dikoreksi terutama pada pasien yang menggunakan obat-

    obatan diuretik dan diet rendah garam. Antibiotic profilaksis memiliki peran dalam

    pencegahan bakterimia dan septisemia. Central Venous Pressure (CVP) monitoring atau

  • 8/10/2019 BAB I TURP

    17/31

    17

    kateterisasi arteri pulmonalis diperlukan untuk pasien dengan penyakit jantung. Tinggi

    ideal cairan irigasi adalah 60 cm. Untuk mengurangi timbulnya sindroma TURP operator

    harus membatasi diri untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam.

    Di samping itu beberapa operator memasang sistotomi suprapubik terlebih dahulu

    sebelum reseksi diharapkan dapat mengurangi penyerapan air ke sistemik. Untuk kasus

    dengan operasi lebih dari satu jam staging TURP harus dilakukan. Kapsul prostat harus

    dijaga dan distensi kandung kemih harus dicegah. Caranya dengan sering mengosongkan

    kandung kemih. Koreksi hiponatremia sebaiknya dilakukan dengan diuresis dan pemberian

    salin hipertonis 3-5% secara lambat dan tidak lebih dari 0,5 meq/per 1 jam atau tidak lebih

    cepat dari 100 ml/jam. Tepatnya 200 ml salin hipertonis diperlukan untuk mengkoreksi

    hiponatremia. Pemberian secara cepat dari salin akan mengakibatkan edema paru dan

    central pontine myelinolysis. Dua pertiga dari salin hipertonis mengembalikan serum

    sodium dan osmolaritas, sedangkan 1/3 meredistribusi air dari sel menuju ruang

    ekstraseluler, dimana akan diterapi dengan terapi diuretik menggunakan furosemide.

    Furosemide sebaiknya diberikan dengan dosis 1 mg/kg bb secara intravena.

    Penggunaan furosemide dalam terapi Sindrom TURP dipertanyakan karena

    meningkatkan ekskresi natrium. Oleh sebab itu 15% manitol disarankan sebagai pilihan,

    dalam kaitan dengan kerjanya yang bebas dari ekskresi natrium dan kecenderungan untuk

    meningkatkan osmolaritas ekstraseluler. Oksigen harus diberikan dengan penggunaan nasal

    kanul. Edema paru sebaiknya dimanajemen dengan intubasi dan ventilasi dengan

    penggunaan 100% oksigen. Gas darah, hemoglobin dan serum sodium dinilai. Kalsium

    intravena bisa digunakan untuk merawat gangguan gangguan jantung akut saat

    pembedahan. Kejang sebaiknya diterapi dengan diazepam / midazolam / barbiturat /

    dilantin aau penggunaan pelemas otot tergantung dari tingkat keparahannya.

    Gejala hiponatremia yang bisa berakibat seizure bisa dihubungkan dengan dosis

    kecil dari midazolam (2-4mg), diazepam (3-5 mg),thiopental (50-100 mg).

    Kehilangan darah diterapi dengan transfusi PRC. Pada kasus dengan DIC, maka

    fibrinogen 3-4gram sebaiknya diberikan secara intravena diikuti dengan infus heparin 2000

    unit secara bolus( dan kemudian diberikan 500 unit tiap jam). Fresh Frozen Plasma (FFP)

    dan platelet juga bisadigunakan tergantung dari jenis koagulasinya. Drainase pembedahan

    dari cairan retroperitoneal pada kasus perforasi bisa menurunkan morbiditas dan mortalitas

  • 8/10/2019 BAB I TURP

    18/31

    18

    secara signifikan. Arginin dapat diberikan sebagai tambahan infuse glisin untuk

    menurunkan efek toksik dari glisin pada jantung. Mekanisme bagaimana arginin

    memproteksi jantung belum diketahui.

    Phenytoin yang diberikan secara intravena (10-20 mg/kg) juga harus

    dipertimbangkan untuk memperoleh aktivitas antikonvulsan. Intubasi endotrakeal secara

    umum disarankan untuk mencegah aspirasi sampai status mental pasien menjadi normal.

    Jumlah dan kadar salin hipertonik (3-5 %) diperlukan untuk mengkoreksi hiponatremia

    menjadi batas / level yang aman, yang didasarkan konsentrasi serum sodium pasien. Solusi

    salin hipertonis harus tidak diberikan dengan kecepatan tidak lebih dari 100 ml/jam

    sehingga tidak menimbulkan eksaserbasi overload dari cairan sirkulasi. Hipotermi dapat

    dihindari dengan meningkatkan suhu ruang operasi, penggunaan selimut hangat dan

    menggunakan cairan irigasi dan intravena yang telah dihangatkan sampai suhu 37oC.

    Manajemen pasien yang mengalami koma harus meliputi oksigenasi, sirkulasi yang

    memadai, penurunan tekanan intrakranial, penghentian kejang, terapi infeksi, menjaga

    keseimbangan asam basa dan elektrolit dan suhu tubuh. Pemantauan yang dilakukan

    glukosa,elektrolit (Na, K, Ca, Cl, CO3, PO4), urea kreatinin, osmolaritas, glisin, dan

    amonia. Pemeriksaan gas darah dapat melihat PH, PO2, PCO2, dan karbonat. Perlu juga

    dilakukan EKG untuk memonitor fungsi kardiovaskular.

    2.2.2 Anestesi Umum pada TURP

    Pada keadaan dimana dipilih anestesi umum (pasien dengan kontraindikasi spinal anestesi, tidak

    diperbolehkan posisi supine selama waktu tertentu atau dengan batuk persisten yang menyulitkan

    operasi), pilih intubasi tergantung faktor pasien. Pikirkan untuk melakukan intubasi jika pasien

    obesitas atau mempunyai riwayat refluks; fentanil atau morfin ditambah diklofenak 100 mg per

    rektal intraoperatif memberikan analgesik adekuat. Kerugian melakukan anestesi umum adalah

    kesadaran pasien tidak diawasi sehingga TURP syndrome susah dikenali dan monitoring TURPsyndrome dengan melihat hemodinamik pasien.

    13

  • 8/10/2019 BAB I TURP

    19/31

    19

    BAB 3

    LAPORAN KASUS

    Tanggal Masuk 21 September 2014

    Waktu 10.00

    Nama DJ

    R.M. 00.60.29.83

    3.1 Anamnesis

    Identitas Pribadi

    Nama : DJ

    Jenis Kelamin : Laki-laki

    Usia : 74 tahun

    Suku Bangsa : Melayu

    Agama : Islam

    Alamat : Jln. Stasiun C2 No 05 Kec Medan Belawan

    Status : Menikah

    Pekerjaan : Pensiunan

    Tanggal Masuk : 20 September 2014

    3.1 Riwayat Perjalanan Penyakit

    Jenis Kelamin, Umur, Berat Badan : Laki - laki,74 tahun, 60 kg

    Keadaan Umum : Sulit buang air kecil

    Telaah : Hal ini dialami os 1 tahun yang lalu. Riwayat LUTS 1 minggu,

    sebelum retensi urin. Riwayat operasi prostektomi di RS Belawan pada Juli 2013. Post

    operasi dipasang kateter selama 3 minggu. Setelah dicabut BAK (+) normal 2 minggu.

    Pasien berobat ke RS Martha Friska, dilakukan TURP pada Agustus 2013. Post operasi

    BAK (+) normal. Timbul retensi, dilakukan TURP pada September 2013 (28 April 2014

    terakhir dilakukanTURP).

  • 8/10/2019 BAB I TURP

    20/31

    20

    Riwayat Penyakit Terdahulu : DM (-), HT (-)

    Riwayat Penggunaan Obat : -

    3.3Time Sequence

    3.4 Patient Assessment

    1. Primary Survey

    Sign Diagnosis Treatment Hasil Waktu

    Airway Clear - Jalan Nafas

    Aman

    10.00

    Look: Obstruksi (-), debris (-)

    Listen : Snoring (-), Gargling (-),

    Crowing(-)

    Feel: gerakan udara (+)

    Breathing Adekuat - Sat O2 :

    99%

    RR : 24 x/i

    10.01

    Look : gerakan dinding dada (+)

    Listen : aus. vesikuler (+), Suara

    20/09/2014 (10.00 WIB)

    - Pasien datang ke poli bedah urologi untuk

    mendaftar jadwal operasi TURP

    21/09/2014 (10.00 WIB)

    -

    Pasien dikonsulkan ke DepartemenAnestesi

    22/09/2014 (16.30 WIB18.00 WIB)

    - Operasi TURP

  • 8/10/2019 BAB I TURP

    21/31

    21

    Tambahan (-)

    Feel: hipersonor (-),hiposonor (-)

    Ciculation Normal - Sirkulasi

    Aman

    10.02

    Pulsasi karotis : (+) HR : 88 x/i

    (PP) Akral :

    Hangat/Merah/Kering

    T/V : kuat/cukup , CRT : < 2

    detik.

    TD: 120/80 mmHg

    Hasil lab:

    Darah Lengkap ( 21 September 2014)

    - Hb/Ht/Leu/Tromb : 12.20/ 35.90/ 17.53/ 589.000

    - PT/aPTT/TT/INR : -

    - Fibrinogen : -

    - D-dimer : -

    - KGD ad Random : 95

    - Na/K/Cl : 135/ 4,6/ 106

    - Ureum/ Kreatinin : -

    Disabilty Compos

    Mentis

    - - 10.04

    Kesadaran : Compos

    mentis

    GCS : E4M6 V5

    Pupil : isokor

    3mm/3mm

    Rc: + / +

    Exposure - - - 10.05

    -

  • 8/10/2019 BAB I TURP

    22/31

    22

    2. Secondary Survey

    Anamnesa dengan kriteria AMPLE:

    - Allergic : Tidak dijumpai

    - Medication : Tidak dijumpai

    - Past Illness : Tidak dijumpai

    - Last Meal : 10.00 WIB tanggal 21/9/2014

    - Event : Tidak dijumpai

    3.5 Pemeriksaan Penunjang

    USG Ginjal + Buli-Buli+ Prostat

    Ginjal kanan:Ukuran normal.Ekhoparenkhim normal.Batas tekstur parenkim dengan central

    echocomplek jelas.Tidak tampak batu/massa.Sistem pelvokalises tidak melebar.

    Ginjal kiri: Ukuran normal.Ekhoparenkhim normal. Batas tekstur parenkim dengan central

    echocomplek jelas.Tidak tampak batu/massa.Sistem pelvokalises tidak melebar.

    Vesica urinaria: Terisi penuh, dinding tidak menebal,tidak tam[ak massa, tidak tampak

    batu.Tampak ballon catheter

    Kesan: USG kedua ginjal dan vesika urinaria saat ini tidak tampak kelainan.

  • 8/10/2019 BAB I TURP

    23/31

    23

    EKG

    Hasil pembacaan EKG: Sinus ritme, QRP rate 98X/I,P wave (+) Normal.PR interval 0.92,

    LVH (-). Kesan : Sinus Ritme.Tolenrasi operasi: Low risk.

    3.6 Kronologi Operasi

    Diagnosis : Adenokarsinoma Prostat + Retensi Urin

    Tindakan : TURP

    PS ASA : 2

    Teknik Anestesia : GA-ETT

    Posisi : RLD/ LLD/ duduk

  • 8/10/2019 BAB I TURP

    24/31

    24

    3.7 Persiapan Alat-Alat dan Obat-Obat

    3.8 Tindakan Anestesi

    Pasien dengan posisi RLD/ LLD/ duduk

    Identifikasi L3-L4 dan melakukan desinfeksi

    Insersi spinocan No. 25

    Melihat apakah ada keluar cairan CSF

    Melakukan injeksi Bupivacaine 12,5-15 mg + Fentanyl 25 mcg

    Menentukan apakah pasien sudah merasa kebas dan monitor hemodinamik

    3.9 Pre-operasi

    Problem List

    - Hitung EBV dan EBL pasien untuk transfusi darah durante op, EBV 60 x 40=

    2400 cc, EBL 102030 = 240 mL480 mL720 mL.

    Monitoring

    B1 : Airway: clear, RR: 20 x/mnt, SP: ves, ST:-, snoring/gargling/crowing: -/-/-, MLP:1,

    GL: bebas, alergi/asma/batuk/sesak: -/-/-/-

    B2 : Akral: H/M/K, TD: 110/70 mmHg, HR: 100 x/mnt, T/V: kuat/cukup, turgor normal

    B3 : Sens: CM, pupil isokor : 3 mm/3mm RC:+/+

    B4 : Kateter urin terpasang , UOP: 0.5 cc/kgBB/jam, warna merah

    B5 : Abdomen soepel,peristaltik (+), MMT : 10.00 WIB tanggal 22/9/2014

  • 8/10/2019 BAB I TURP

    25/31

    25

    B6 : Oedem (+), Fraktur (-)

    3.10 Durante Operasi

    Problem List

    - Operasi potensial perdarahan siapkan darah, pasang abocath dengan bore besar

    dan pastikan lancar serta hitung EBV dan EBL.

    Monitoring

    Durante Operasi

    Lama operasi : 1.5 jam

    TD : 90-130/ 60-80 mmHg

    HR : 60-85 x/i

    SpO2 : 98100 %

    Cairan : Pre op = Ringer Laktat 500 cc

    Durante op = Ringer Laktat 500 cc

    Perdarahan + 100 cc

    Penguapan + Maintenance : (2 cc + 2 cc ) X 60 kg = 240 cc/jam

    UOP : 50 cc/jam warna merah

    3.11 Post Operasi Problem List

    - Posisi head up300

    -

    Monitoring cairanproduksi urine 0,5-1 cc/kg BB/jam

    - Potensial terjadi infeksiantibiotik yang adekuat

    - Nyeri post Operatifpemberian analgetik poten

    Monitoring

    B1 : Airway clear, RR:18 x/i SP: vesikuler,ST(-),snoring(-),gurgling(-), crowing (-).

    B2 : Akral : H/M/K, TD 110/80 mmHg, HR : 72 x/i, T/V: Kuat/ cukup, reguler, temp

    37 C

    B3 : Sens : GCS 15 (E4V5M6), pupil isokor 3mm/3mm, RC +/+

    B4 : UOP (+), terpasang kateter,volume 50 cc , warna merah.

    B5 : Abdomen Soepel, peristaltik (+), mual(-) muntah (-)

  • 8/10/2019 BAB I TURP

    26/31

    26

    B6 : Odem (-), Fraktur (-)

    3.12 Terapi Post Operasi

    Bed rest head up 30

    o

    IVFD NaCl 0.9% 20 tts/mnt

    Diet MB

    Inj. Ceftriaxon 1 gr/ 12 jam/IV

    Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam

    Inj Ranitidin 50 mg/12 jam

    Inj Transamin 500 mg/ 8 jam

    Inj. Vit.K 1 amp / 8 jam

    Cek darah lengkap

    Periksa jaringan ke lab PA

    3.13Follow up:

    Tgl S O A P

    22

    September

    2014

    Nyeri (+) 1:Airway:clear,

    ernafasan spontan,

    R:24x/i

    Sp:Vesikuler

    2:Akral:H/M/K,

    TD:150/80mmHg,

    R:86x/i,

    T/V: Kuat/ cukup,

    eguler, temp 37.13:Sens:CM,pupil

    sokor

    mm/3mm, RC +/+

    4:UOP(+),volume

    Post TURP a/i

    Adenocarcinom

    a Prostat +

    Retensi Urin

    IVFD RSol 20 gtt/I

    Inj. Ceftriaxone 1gr/

    12jam

    Inj. Ranitidine 50mg/

    12 jam

    Inj. Ketorolac 30 mg/

    8jam

    Inj. Vit K 10mg/

    8jam Inj. Transamin

    500mg/ 8jam

    Nifedipine tab 10mg

    (20.00 WIB)

  • 8/10/2019 BAB I TURP

    27/31

    27

    100 cc, warna

    uning.

    5:abdomen kesan

    soepel,peristaltik

    (+)

    6:oedem

    retibial(-), fraktur

    (-)

    23

    September

    2014

    Nyeri(-) 1:Airway:clear,

    ernafasan spontan,

    R:24x/i

    Sp:Vesikuler

    2:Akral:H/M/K,

    TD:130/80mmHg,

    R:86x/i,

    T/V: Kuat/ cukup,

    eguler, temp 37.1

    3:Sens:CM,pupil

    sokor 3mm/3mm,C ( +/+)

    4:UOP(+),volume

    100cc,warna

    uning.

    5:abdomen kesan

    soepel,peristaltik

    (+)

    6:oedem

    retibial(-), fraktur

    (-)

    Post TURP a/i

    Adenocarcinom

    a Prostat +

    Retensi Urin

    IVFD RSol 20 gtt/I

    Inj. Ceftriaxone 1gr/

    12jam

    Inj. Ranitidine 50mg/

    12 jam

    Inj. Ketorolac 30 mg/

    8jam

    Inj. Vit K 10mg/

    8jam

    Inj. Transamin

    500mg/ 8jam Aff irigasi kateter

    jika urin kuning

    jernih

  • 8/10/2019 BAB I TURP

    28/31

    28

    BAB IV

    PEMBAHASAN

    Pasien masuk melalui poli bedah urologi untuk mendaftarkan jadwal operasi pada tanggal

    20 September 2014 kemudian pasien dimasukkan ke ruangan untuk persiapan operasi. Sebelum

    operasi dilakukan, pasien dipasang elektroda, 1 IV line dengan IV cath no. 18 untuk pemberian

    cairan Ringer Laktat 20 gtt/i. Selain itu, pasien NPO sejak direncanakan untuk operasi. Hal ini

    sesuai dengan teori bahwa pada pre-operasi perlu diberikan preloading cairan, pemantauan urin

    output dan hemodinamik, NPO diperlukan karena jika tindakan spinal anestesi gagal maka dapat

    dilanjutkan dengan teknik anestesi umum.

    Untuk teknik anestesi pada pasien ini lebih dipilih digunakan teknik regional anestesi

    yaitu spinal anestesi. Hal ini sesuai dengan teori karena dengan teknik anestesi ini maka kita bisa

    mengawasi kesadaran pasien untuk melihat adanya tanda dan gejala dari TURP syndrome,

    vasodilatasi perifer untuk meminimalisasi overload cairan dan kehilangan darah lebih sedikit.

    Obat yang diberikan ke dalam spinal anestesi ini adalah bupivacaine dan fentanyl. Hal ini sesuai

    dengan teori bahwa bupivacaine berfungsi sebagai menghambat transmisi pada jaras nyeri

    berupa sensorik, motorik dan autonom sehingga selain dijumpai kebas-kebas atau mati rasa pada

    setentang blok dapat juga terjadi vasodilatasi akibat penghambatan autonom (simpatis) sehingga

    perlu monitoring hemodinamik, sedangkan pemberian fentanyl berfungsi sebagai adjuvan

    dimana di medulla spinalis terdapat cairan serebrospinal dan reseptor nyeri , fentanyl

    menghambat reseptor sehingga modulasi dan persepsi nyeri tidak diteruskan ke otak. Pada

    pasien ini ternyata tidak mengalami TURP syndrome. Hal ini sesuai dengan teori bahwa

    peningkatan mortalitas pada pasien dengan operasi TURP dijumpai pada reseksi di atas 45 g,

    lama operasi > 90 menit, usia > 80 tahun dan penggunaan cairan irigasi yang tidak tepat.

    Operasi ini berlangsung kira-kira selama 1,5 jam dengan hemodinamik pasien dalam

    keadaan stabil dan pada pre-operasi dan durante operasi pasien diberikan cairan Ringer Laktat

    500 cc dan mengganti cairan yang hilang akibat penguapan dan maintenance sebanyak 240 cc/

    jam. Hal ini sesuai dengan teori bahwa perlu preloading cairan pre-operasi sebanyak 10-20 ml/

    kgBB dan penggantian maintenance dan penguapan di kamar operasi sebanyak (2 + 2) x BB.

  • 8/10/2019 BAB I TURP

    29/31

    29

    Pada pasien ini dijumpai hematuria post TURP. Hal ini sesuai dengan teori bahwa

    hematuria post TURP yang tampak pada kateter akibat resektoskop yang mengandung kawat

    listrik dimasukkan ke dalam orificium uretra untuk memotong prostat yang hiperplasia.

  • 8/10/2019 BAB I TURP

    30/31

    30

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Hammerich, K. H., G. E. Ayala & T. M. Wheeler, 2009. Anatomy of the prostate gland and

    surgical pathology of prostate cancer. Cambridge University Press

    2. Kumar, V., A. K. Abbas, N. Fausto, et al. 2010. Prostate. In: Robbins and Cotran Pathologic

    Basic of Disease. 8th Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier

    3. Choen, J. J. and Douglas M. D. 2008. Localized Prostate Cancers. In: Chabner, B.A., et al. eg.

    Harrisons Manual of Oncology, USA: The McGraw- Hill Companies, Inc

    4. Purnomo, B. 2011 Onkologi Urogenitalia. Dalam: Dasar- dasar Urologi. Jakarta: Sagungseto

    5. Umar, M., & A. Agus. 2002. Evaluasi Hasil Pemeriksaan Colok Dubur pada Pasien

    Pembesaran Prostat untuk Mendeteksi Kanker Prostat Palembang: Ilmu Bedah FK Unsri

    6. Moul, J. W, et al. 2005. Chapter 17 Prostate Cancer. In: Cancer Management. A

    Multidisciplinary Approach

    7. Jefferson, K and Natasha J. 2009. Prostate Cancer. In : Probert, J.L., ed. An Atlas of

    Investigation and Diagnosis Urology. UK: Clinical Publishing Oxford. 63-74.

    8. Seitz, M., et al. 2009. Functional Magnetic Resonance Imaging in Prostate Cancer. In:

    European Association of Urology. European Urology 55. Elseveier

    9. Presti, J. C, et al. 2008. Neoplasm of the Prostate Gland. In: Tanagho, Emil A., Jack W.

    McAnich, ed. Smiths General Urology 17th Ed USA: The McGraw Hill Companies Inc

    10. Buhmeida, A. et al. 2006. Prognostic Factor in Prostate Cancer. In: Diagnostic Pathology.

    Finlanda: BioMed Central Ltd Available from http:// www

    diagnosticpathology.org/content/1/1/4

    11. Purnomo B. B. 2011,Dasar-Dasar Urologi, Edisi 3. 123-128. Jakarta : Sagung Seto

    12. Monk, Terri.G and B. Craig Weldon. The Renal System And Anesthesia For Urologic

    Surgery, chapter 36, page 42 in Clinical Anesthesia. Edition 4. Lippincott Williams & Wilkin

    Publishers. 2008.

    13. Yang Q, Petes TJ, Donovan JL, Wilt TJ, dan Abrams P. Transurethral incision compared

    with transurethral resection of the prostate for bladder outlet obstruction: a systemic review and

    meta-analysis of randomised controlled trials. J Urol 165: 1526-1532, 2008

    14. Soenarjo, et al. 2013. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FAkultas

    Kedokteran UNDIP/dr. Kariadi Semarang

  • 8/10/2019 BAB I TURP

    31/31

    31

    15. Moorthy H K, Philip S. 2001. TURP syndrome - current concepts in the pathophysiology and

    management.Indian J Urol;17:97-102