case bari_ hepatoma fix

16
BAB I PENDAHULUAN Karsinoma hepatoseluler ( Hepatocellular Carcinoma = HCC ) merupakan ganas hati primer yang berasal dari hepatosit, demikian pula dengan karsinoma fibrolamelar dan hepatoblastoma. Tumor ganas hati lainnya ialah kolangios sitoadenokarsinoma yang berasal dari sel epitel bilier. Dari seluruh tumo yang pernah didiagnosis, 85% merupakan karsinoma hepatoseluler atau yang sebagai hepatoma, 1% ialah kolangiosarkoma, dan sisanya ialah !enis lain meliputi 5,$% dari seluruh kasus kanker pada manusia. Karsinoma hepatoseluler merupakan salah satu keganasan yang paling um seluruh dunia. nsiden global setiap tahunnya ialah sekitar 1 !ut perbandingan laki&laki dan 'anita sekitar 1. Tingkat ke!adian kematian. Tingkat kematian pada laki&laki di negara&negara ma!u s +erikat adalah 1, per 1. per tahun sedangkan di negara&negara berke satunya ndonesia, angka kematianberkisar -5&15 per 1.per tahun. Di ndonesia, khususnya akarta, karsinoma hepatoseluler paling banyak ditem usia antara 5&$ tahun dengan predominasi laki&laki. /asio antara kasus perempuan berkisar antara -&$ 1. 0aktor utama yang berkontribusi menimbulkan karsinoma hepatosel infeksi hepatitis irus, terutama irus hepatitis 2 dan irus hepatitis penggunaan alkohol, paparan 3at yang bersifat hepatokarsinogenik s obesitas, penyakit hati metabolik dan sirosis hepatis merupakan faktor ya dalam proses patologi karsinoma hepatoseluler. 4anifestasi klinik ber ariasi, dari asimptomatik hingga yang ge!ala dan tandanya sangat !el gagal hati. e!ala yang paling sering dikeluhkan ialah nyeri atau perasaa kuadran kanan atas abdomen. Dan sebagian besar pasien dengan hep menderita sirosis hati, baik yang masih dalam stadium kompensasi, maupun ya sudah menun!ukkan tanda&tanda gagal hati seperti malaise, anoreksia, penu badan dan ikterus. 1

Upload: septyan-putra-yusandy

Post on 04-Nov-2015

237 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ensefalopati hepatikum, hepatoma

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

Karsinoma hepatoseluler (Hepatocellular Carcinoma = HCC) merupakan tumor ganas hati primer yang berasal dari hepatosit, demikian pula dengan karsinoma fibrolamelar dan hepatoblastoma. Tumor ganas hati lainnya ialah kolangiosarkoma dan sitoadenokarsinoma yang berasal dari sel epitel bilier. Dari seluruh tumor ganas hati yang pernah didiagnosis, 85% merupakan karsinoma hepatoseluler atau yang dikenal sebagai hepatoma, 10% ialah kolangiosarkoma, dan sisanya ialah jenis lainnya. HCC meliputi 5,6% dari seluruh kasus kanker pada manusia. Karsinoma hepatoseluler merupakan salah satu keganasan yang paling umum di seluruh dunia. Insiden global setiap tahunnya ialah sekitar 1 juta kasus, dengan perbandingan laki-laki dan wanita sekitar 4:1. Tingkat kejadian sama dengan tingkat kematian. Tingkat kematian pada laki-laki di negara-negara maju seperti Amerika Serikat adalah 1,9 per 100.000 per tahun sedangkan di negara-negara berkembang salah satunya Indonesia, angka kematian berkisar 25-150 per 100.000 per tahun. Di Indonesia, khususnya Jakarta, karsinoma hepatoseluler paling banyak ditemukan pada usia antara 50-60 tahun dengan predominasi laki-laki. Rasio antara kasus laki-laki dan perempuan berkisar antara 2-6 : 1. Faktor utama yang berkontribusi menimbulkan karsinoma hepatoseluler ialah infeksi hepatitis virus, terutama virus hepatitis B dan virus hepatitis C. Selain itu, penggunaan alkohol, paparan zat yang bersifat hepatokarsinogenik seperti aflatoksin, obesitas, penyakit hati metabolik dan sirosis hepatis merupakan faktor yang terlibat dalam proses patologi karsinoma hepatoseluler. Manifestasi klinik hepatoma sangat bervariasi, dari asimptomatik hingga yang gejala dan tandanya sangat jelas dan disertai gagal hati. Gejala yang paling sering dikeluhkan ialah nyeri atau perasaan tak nyaman di kuadran kanan atas abdomen. Dan sebagian besar pasien dengan hepatoma sudah menderita sirosis hati, baik yang masih dalam stadium kompensasi, maupun yang sudah menunjukkan tanda-tanda gagal hati seperti malaise, anoreksia, penurunan berat badan dan ikterus.

Sebagian besar kasus hepatoma berprognosis buruk karena tumor yang besar, penyakit hati yang lanjut, serta ketiadaan atau ketidakmampuan penerapan terapi yang berpotensi kuratif. Stadium tumor, kondisi umum kesehatan, fungsi hati dan intervensi spesifik mempengaruhi prognosis pasien karsinoma hepatoseluler. Dengan data seperti ini, dapat disimpulkan bahwa hepatoma merupakan penyakit kronik progressif yang dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas jika tidak ditindaklanjuti secara profesional. Dan penyakit ini dapat menimbulkan gangguan pada semua organ tubuh akibat proses metastasinya. Oleh karena itu, kami mengambil kasus ini sebagai bahan presentasi kasus agar tenaga medis dapat mengenal dengan baik faktor-faktor risiko, etiologi, pathogenesis, serta tanda dan gejala klinis dari hepatoseluler karsinoma atau hepatoma. Sehingga hal ini dapat membantu menurunkan mortalitas dan morbiditas yang diakibatkan oleh penyakit tersebut.

BAB IILAPORAN KASUS

I. IDENTIFIKASIa. Nama : Tn. AM bin Ab. Usia: 55 tahunc. Jenis Kelamin: Laki-lakid. Agama: Islame. Status: Menikahf. Pekerjaan : Buruhg. Alamat: Jl. Slamet Riadi, 10 Ilir, Palembangh. No. RM: 119633

II. ANAMNESIS (Autoanamnesis dan Alloanamnesis, 22 Desember 2014, 13.00 WIB)a. Keluhan UtamaPerut yang terasa membesar sejak 3 bulan SMRS.

b. Riwayat Penyakit SekarangTiga bulan sebelum masuk rumah sakit, os mengeluh perutnya mulai membesar terutama di bagian sisi kanan atas perut. Os juga merasa perut sisi kanan atasnya terasa mengeras sehingga sering membuat os merasa tidak nyaman dan merasa penuh pada perutnya. Os juga terkadang mengeluh nyeri pada perut kanan atas. Nyeri bersifat tumpul, hilang timbul, dan tidak menjalar. Mual (-), muntah (-), penurunan berat badan (-), penurunan nafsu makan (-). Badan kuning (-), badan lemas (-), BAK dan BAB seperti biasa. Os kemudian berobat ke dokter umum, dikatakan menderita sakit liver. Os kemudian diberi obat yang os lupa nama obatnya. Os mengaku merasa lebih baik setelah mengkonsumsi obat tersebut namun perutnya tidak kunjung mengecil.Dua bulan sebelum masuk rumah sakit, os kembali mengeluhkan perutnya semakin membesar terutama di sisi kanan atas. Perut terasa mengeras sehingga os sering merasa tidak nyaman dan merasa penuh pada perutnya. Nyeri perut kanan atas (+), nyeri hilang timbul dan tidak menjalar. Mual (-), muntah (+), frekuensi 1x, isi apa yang dimakan, demam (-), penurunan nafsu makan (-), penurunan berat badan (-), badan lemas (-). Os kemudian berobat ke dokter spesialis penyakit dalam, kemudian os tetap dikatakan menderita sakit liver. Os diberi obat dan disarankan untuk menjalani CT Scan perut di RSMH Palembang untuk melihat kondisi livernya. Os mengatakan kondisinya lebih enak namun perutnya tidak kunjung mengecil. Dua minggu sebelum masuk rumah sakit, os mengeluh perutnya terus membesar dan teraba sangat keras. Os juga merasa nyeri pada perut kanan atasnya. Mual (+), muntah (+), frekuensi 1x, isi apa yang dimakan, badan lemas (+), nafsu makan menurun (+), berat badan menurun (-), BAB cair, frekuensi 5-6x/hari, ampas (+), lendir (-), darah (-). BAB hitam (-), muntah hitam (-). BAK tidak ada keluhan. Os juga mengeluh matanya kuning. Kemudian os datang berobat ke IGD RSUD. Palembang Bari. Lima hari setelah masuk rumah sakit, os mengeluh kedua tungkainya mengalami kelemahan. Os juga mengaku kedua tungkainya sulit digerakkan dan mati rasa.

c. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat sakit kuning sebelumnya disangkal. Riwayat darah tinggi disangkal. Riwayat kencing manis disangkal. Riwayat minum alkohol (+), sejak remaja, selama +10 tahun, 1 botol/hari, pasien stop minum alkohol sejak +20 tahun yang lalu. Riwayat merokok (+) sejak remaja, 1-2 bungkus/hari, pasien stop merokok sejak 1 bulan yang lalu. Riwayat transfusi darah disangkal, konsumsi jamu-jamuan (-)

d. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat keluarga sakit kuning sebelumnya disangkal. Riwayat keluhan yang sama dengan pasien pada keluarga disangkal.

III. PEMERIKSAAN FISIK (Dilakukan pada tanggal 22 Desember 2014, pukul 13.00 WIB)a. Keadaan Umum1. Keadaan umum: tampak sakit sedang2. Kesadaran: delirium3. Tekanan darah: 130/80 mmHg4. Nadi: 84 x/menit, irama reguler, isi kuat dan tegangan cukup5. Pernapasan: 24 x/menit6. Suhu tubuh: 36,6 oC7. Berat badan: 50 kg8. Tinggi badan: 165 cm9. IMT: 18,3 kg/m2 (Underweight)b. Keadaan Spesifik1. KepalaNormosefali, simetris, warna rambut hitam, alopesia (-)Ekspresi tampak sakit sedang, meracau.2. MataEdema palpebra (-), konjungtiva palpebral pucat (-/-), sklera ikterik (+/+), pupil isokor, diameter 3 mm, reflex cahaya (+/+).3. HidungTampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), cavum nasi lapang, tidak keluar cairan, epistaksis (-).4. MulutStomatitis (-), cheilitis (-), hipertrofi ginggiva (-), lidah pucat (-), lidah kotor (-), atrofi papil lidah (-), pembesaran tonsil (-).

5. TelingaTampak luar tidak ada kelainan, kedua meatus acusticus externus lapang, membrane timpani tidak ada kelainan, secret (-), darah (-).6. LeherJVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (-).7. ThoraksSimetris, retraksi (-), spider naevi (+), ginekomastia (-), venektasi (-)Paru Inspeksi: statis dan dinamis simetris kanan = kiri. Palpasi: stemfremitus kanan = kiri, nyeri tekan (-) Perkusi: sonor di kedua lapangan paru, batas paru-hepar ICS VI, batas paru-lambung ICS VIII. Aukskultasi: vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-). Jantung Inspeksi: ictus cordis terlihat di ICS V LMC sinistra Palpasi: ictus cordis teraba di ICS V LMC sinistra Perkusi: batas atas ICS II, batas kiri ICS V LMC sinistra, batas kanan LS dextra Aukskultasi: HR 84 x/menit, reguler, murmur (-), gallop (-)8. Abdomen Inspeksi: datar, venektasi (-), caput medusae (-) Palpasi: lemas, nyeri tekan (-), hepar teraba 4 jbac, permukaan tak rata, konsistensi keras, tepi tumpul, lien teraba Schuffner 2. Perkusi: timpani (+), shifting dullness (-) Auskultasi: bising usus (+) normal, bruit hepatic (+)9. Genitalia: edema skrotum (-), atrofi testis (-)10. Ekstremitas: palmar eritema (+), flapping tremor (+), edema pretibia (-), akral hangat (+)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANGa. Laboratorium (22 Desember 2014)NoPemeriksaanHasilNilai NormalInterpretasi

1Hb10,614-16 g/DlAnemia

2Leukosit10.2005000-10.000/mm3Leukositosis

3Trombosit380.000150-400 x 103/UlNormal

4Hematokrit3240-48%Menurun

5Diff count0/2/2/82/10/4Netrofilia, limfopenia

6AFP18502-4 UMeningkat

7SGOT500 2 cm dengan hipervaskularisasi arterial kadar AFP serum 400 ng/ml

Diagnosis histologis diperlukan bila tidak ada kontraindikasi (untuk lesi berdiameter > 2 cm) dan diagnosis pasti diperlukan untuk menentukan pilihan terapi. Untuk tumor berdiameter < 2 cm sulit menegakkan diagnosis secara non-invasif karena beresiko tinggi tinggi terjadinya diagnosis negatif palsu akibat belum matangnya vaskularisasi arterial pada nodul. Bila dengan cara imaging dan biopsi tidak diperoleh diagnosis definitif, sebaiknya ditindaklanjuti dengan pemeriksaan imaging serial setiap 3 bulan sampai diagnosis dapat ditegakkan. Pada pasien ini juga didiagnosis ensefalopati hepatik grade II. Ensefalopati hepatik (koma hepatikum) merupakan sindrom neuropsikiatri pada penderita penyakit hepar berat.12 Sindrom ini ditandai dengan kekacauan mental, tremor otot, dan flapping tremor yang disebut sebagai asteriksis.12 Perkembangan ensefalopati hepatik menjadi koma dibagi dalam empat stadium, yaitu :12 Stadium I, tidak begitu jelas dan sukar diketahui. Tanda yang berbahaya adalah sedikit perubahan kepribadian dan tingkahlaku, termasuk pemanpilan yang tidak terawat dengan baik, pandangan mata kososng, bicara tidak jelas, tertawa, pelupa dan tidak mampu memusatkan pikiran. Stadium II, terjadi perubahan perilaku, kedutan otot generalisata dan asteriksis. Asteriksis merupakan suatu manifestasi perifer gangguan metabolisme otak. Pada stadium ini juga ditemukan apraksia konstitsional yaitu penderita tidak dapat menulis atau menggambar dengan baik seperti menggambar binatang atau rumah. Stadium III, penderita dapat tidur sepanjang waktu, elektroensefalogram mulai berubah pada stadium II dan menjadi abnormal pada stadium III dan IV. Stadium IV, penderita masuk dalam keadaan koma yang tidak dapat dibangunkan, sehingga timbul refleks hiperaktif dan tanda barbinsky. Pada saat ini terdapat bau apek yang manis (fetor hepatkum). Pada hasil pemeriksaan laboratorium ditemukan kadar amonia darah yang meningkat.Pada pasien ini terdapat perubahan perilaku dan asteriksis atau flapping tremor, sehingga pada pasien ini didiagnosis ensefalopati hepatik grade II.Pada pasien ini detemukan juga parese pada ekstremitas bawah, sehingga pada pasien ini didiagnosis paraparese inferior.Faktor risiko karsinoma hepatoselular antara lain terpajan dengan virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C (HCV), sirosis hati, aflatoksin, obesitas, diabetes melitus, penyakit hati autoimun (hepatitis autoimun; PBC/ sirosis bilier primer), penyakit hati metabolik (hemokromatosis genetik, defisiensi antitripsin-alfa 1, penyakit Wilson), kontrasepsi oral, senyawa kimia (thorotrast, vinil klorida, nitrosamin, insektisida organoklorin, asam tanik), alkohol, dan tembakau (masih kontroversial).10 Dapat disimpulkan etiologi terjadinya hepatoma pada Tn. AM adalah konsumsi alkohol dalamjangka waktu yang lama (sejak remaja, selama +10 tahun, 1 botol/hari, dan pasien stop minum alkohol sejak +20 tahun yang lalu) dan terdapat juga riwayat merokok yang lama (sejak remaja, 1-2 bungkus/hari, pasien stop merokok sejak 1 bulan yang lalu).Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenik, peminum berat alkohol berisiko untuk menderita karsinoma hepatoselular melalui sirosis hepatik alkoholik. Pada penggunaan alkohol jangka panjang terjadi fibrosis perivenular berlanjut menjadi sirosis panlobular akibat masukan alkohol dan destruksi hepatosit yang berkepanjangan. Fibrosis yang terjadi dapat berkontraksi di tempat cedera dan merangsang pembentukan kolagen. Di daerah periportal dan perisentral timbul septa jaringan ikat seperti jaring yang akhirnya menghubungkan triad portal dengan vena sentralis. Jalinan jaringan ikat halus ini mengelilingi masa kecil sel hepar yang masih ada yang kemudian mengalami regenerasi dan membentuk nodulus. Namun demikian kerusakan sel yang terjadi melebihi perbaikannya. Penimbunan kolagen terus berlanjut, perubahan ukuran hepar, berbenjol-benjol (nodular) menjadi keras, terbentuk sirosis alkoholik.10Mekanisme cedera hepar alkoholik masih belum pasti. Diperkirakan mekanismenya sebgai berikut: 1) hipoksia sentrilobular, metabolisme asetaldehid etanol meningkatkan konsumsi oksigen lobular, terjadi hipoksemia relatif dan cedera sel di daerah yang jauh dari aliran darah yang teroksigenasi (misal daerah perisentral); 2) infiltrasi/aktivasi neutrofil, terjadi pelepasan chemoattractants neutrofil oleh hepatosit yang memetabolisme etanol. Cedera jaringan dapat terjadi dari neutrofil dan hepatosit yang melepaskan intermediet oksigen reaktif, proteosa, dan sitokin; 3) formasi acetaldehyde-protein adducts berperan sebagai neoantigen, dan menghasilkan limfosit yang tersensitisasi serta antibodi spesifik yang menyerang hepatosit pembawa antigen ini; 4) pembentukan radikal bebas oleh jalur alternatif dari metabolisme etanol, disebut sistem yang mengoksidasi enzim mikrosomal.10Pada kasus ini awalya terjadi sirosis alkoholik, sehingga pada pemeriksaan fisik didapatkan spider naevi karena pada sirosis terjadi peningkatan rasio estradiol/testoteron bebas. Ditemukan juga palmar eritem yang terjadi karena perubahan metabolisme hormon estrogen. Pada sirosis terjadi hipertensi porta sehingga terjadi hepatomegali dan splenomegali. Sirosis alkoholik pada kasus ini telah berlanjut menjadi hepatoma (karsinoma hepatoselular). Ditandai dengan hasil pemeriksaan laboratorium yaitu peningkatan kadar AFP (1850 U) dan kesan pada hasil pemeriksaan USG berupa hepatoma dan splenomegali.Pada pasien ini telah terjadi ensefalopati hepatikum (koma hepatik). Patogenesis koma hepatikum sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun terdapat beberapa hipotesis yaitu: hipotesis amonia, amonia berasal dari mukosa usus sebagai hasil degradasi protein dalam lumen usus dan dari bakteri yang mengandung urease. Dalam hepar amonia diubah menjadi urea pada sel hepar periportal dan menjadi glutamin pada sel hepar perivenus, sehingga jumlah amonia yang masuk ke sirkulasi dapat dikontrol dengan baik. Pada penyakit hepar kronis akan terjadi gangguan metabolisme amonia sehingga terjadi peningkatan konsentrasi amonia sebesar 5-10 kali lipat yang mengakibatkan perubahan loncatan (fluk) klorida melalui membran neural dan akan mengganggu keseimbangan potensial aksi sel saraf. Disamping itu, amonia dalam proses detoksikasi akan menekan eksitasi transmiter asam amino, aspartat, dan glutamat.10Hipotesis neurotransmiter palsu, berupa penggantian neurotransmiter otak dengan neurotransmiter palsu seperti oktapamin feniletanolamin, yang lebih lemah dibanding dopamin dan nor-adrenalin. Beberapa faktor yang mempengaruhi adalah: a) peningkatan produksi oktapamin yang melalui aliran pintas (shunt) masuk ke sirkulasi otak; b) terjadi penurunan asam amino rantai cabang (BCAA) yang terdiri dari valin, leusin dan isoleusin, yang megakibatkan terjadinya peningkatan asam amino aromatik (AAA) seperti tirosin, fenilalanin, dan triptofan karena penurunan ambilan hepar.10Hipotesis GABA dan Benzodiazepin, berupa penurunan transmiter yang memiliki efek peningkatan glutamat, aspartat dan dopamin sebagai akibat menigkatnya amonia dan gama aminobutirat (GABA) yang menghambat transmisi impuls.10Pada hepatoma dengan ensefalopati hepatik mengakibatkan gangguan metabolisme pada hepar serta terjadinya peningkatan substansi toksik sehingga terjadi perubahan unsur selular serebral seperti astrosit yang mengakibatkan timbulnya lesi-lesi fokal di otak dan medula spinalis yang meyebabkan timbulnya paraparese inferior pada kasus ini.13Penatalaksaan pada kasus ini adalah memperbaiki keseimbangan elektrolit cairan, serta menjaga agar jaringan tidak dehidrasi sehingga diberikan terapi berupa IVFD RL. Pemberian ceftriaxone berfungsi sebagai antibiotik spektrum luas yang berfungsi mencegah infeksi, pemberian curcuma pada kasus ini bertujuan sebagai hepatoprotektor yaitu hanya untuk mengurangi keluhan seperti rasa tidak nyaman serta memperbaiki nafsu makan. Pada kasus ini diberikan juga vitamin B berupa methiasone dan mecobion. Secara klinis, pada pasien ini tidak terdapat perbaikan sehingga prognosis quo ad vitam adalah dubia ad malan. Tetapi secara fungsional, pada kasus ini telah terjadi kerusakan hepar yang permanen dan disertai komplikasi sehingga prognosis quo ad fungsionam adalah dubia ad malam.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kusumobroto O Hernomo, Sirosis Hati, dalam buku ajar Ilmu Penyakit Hati, edisi I, Jakarta, Jayabadi, 2007, hal 335-45.2. Petrides AS, Stanley T, Matthews DE Vogt C, Bush AJ, Lambeth H, Insulin resistance in cirrhosis: prolonged reduction of hyperinsulinemia normalizes insulin sensitivity Hepatology 1998; 28:141-9.3. Nurdjanah S. Sirosis Hati dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam , edisi IV jilid II, Jakarta, Pusat penerbitan Departemen Ilmu penyakit dalam FK UI., 2006 hal 445-8.4. Kakizaki S, Sohara N, Yamazaki Y, Horiguchi H, Kanda D, Kenji K "Elevated plasma recistin concentration in patients with liver cirrhosis". Lancet 359 (9300): 467.5. Pang S, Lee Y. "Role of Resistin in inflamation and Inflamation-Related Disease". Obes. Res. 10 (11): 11979.6. Alizadeh MHA, Fallahian Farrahnaz, Insulin Resistance in Chronic Hepatitis B and C, Indian Journal of Gastroenterology 2006 Vol 25:286-288.7. Setiawan, Poernomo Budi. Sirosis hati. In: Askandar Tjokroprawiro, Poernomo Boedi Setiawan, et al. Buku Ajar Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 2007. Page 129-136.8. Riley TR, Taheri M, Schreibman IR. Does weight history affect fibrosis in the setting of chronic liver disease?. J Gastrointestin Liver Dis. 2009. 18(3):299-302.9. Guadalupe Garcia-Tsao. Prevention and Management of Gastroesophageal Varices and Variceal Hemorrhage in Cirrhosis. Am J Gastroenterol. 2007. 102:20862102.10. Amin, Z. dan A. Bahar. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (Edisi ke-5). Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta, Indonesia, halaman 668-690.11. Khursid Humera, Malik Imtiaz A. Hepatocellular carcinoma : clinical features, evaluation and treatment. J Pak Med Assoc 1995 ; 45 : 136-42. 12. Price. Sylvia A dan Wilson. Lorraine M. 2006. Patofisiologi; Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, Indonesia, halaman 499-500.13. Prof. DR. Mardjono. Mahar dan Prof. DR. Shidarta. Priguna. 2010. Neurologi Klinis Dasar (edisi ke 15). Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, halaman 387-388.

7