case amubiasis+ trikuriasis

33
INFEKSI PARASIT USUS (Amubiasis dan Trikuriasis) Oleh: Personaldi Putra Elba Pembimbing: dr. Elmi Ridar, Sp.A KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ARIFIN ACHMAD 0

Upload: putraelba

Post on 19-Jan-2016

151 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Case amubiasis+ trikuriasis

INFEKSI PARASIT USUS

(Amubiasis dan Trikuriasis)

Oleh:

Personaldi

Putra Elba

Pembimbing:

dr. Elmi Ridar, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ARIFIN ACHMAD

PEKANBARU

2013

0

Page 2: Case amubiasis+ trikuriasis

BAB I

Pendahuluan

Infeksi parasit usus yaitu cacing dan protozoa merupakan masalah kesehatan

masyarakat di Indonesia. Cacing usus yang banyak ditemukan adalah soil transmitted

helminths (cacing yang ditularkan melalui tanah) yaitu Ascaris lumbricoides,

Trichuris trichiura, dan cacing tambang sedangkan protozoa adalah Giardia lamblia

dan Blastocystis hominis.1

Prevalensi parasit usus di Indonesia masih tergolong tinggi terutama pada

penduduk miskin dan hidup di lingkungan padat penghuni dengan sanitasi yang

buruk, tidak mempunyai jamban dan fasilitas air bersih tidak mencukupi. Di daerah

tersebut, warga terutama anak-anak, defekasi di halaman rumah atau di got sehingga

tanah dapat tercemar telur cacing dan kista protozoa. Di daerah kumuh di Jakarta

sebanyak 37,5% pekarangan rumah tercemar telur cacing yang ditularkan melalui

tanah. Pencemaran semakin luas pada musim hujan karena telur cacing terbawa arus

air.2

Kecacingan banyak terdapat pada anak-anak karena mereka sering bermain di

tanah dan perilaku dalam menjaga kebersihan kurang baik.1 Pada penelitian yang

dilakukan di daerah kumuh di Jakarta Utara tahun 2008, prevalensi askariasis pada

anak sekolah dasar (SD) adalah 80% dan trikuriasis 68,4%. Di Jakarta Barat

prevalensi askariasis pada anak SD adalah 74,70% dan trikuriasis 25,30%.2 Di

Kepulauan Seribu prevalensi A. lumbricoides pada anak SD adalah 68,8%, cacing

tambang 2,9%, Blastocystis hominis 36% dan G. lamblia 30%.3

1

Page 3: Case amubiasis+ trikuriasis

BAB II

Tinjauan Pustaka

2.1 Amubiasis

Amubiasis merupakan suatu infeksi Entamoeba histolytica pada manusia, dapat

terjadi secara akut maupun kronik. Manusia adalah penjamu dari berberapa spesies

amuba, yaitu Entamoeba histolytica, E. coli, E. ginggivalis, Dientamuba frigilis,

Endolimax nana, Iodamuba butclii. Diantara beberapa spesies amuba, hanya satu

spesies yaitu E. histolytica yang merupakan parasit patogen pada manusia.4

E. histolytica tersebar di seluruh dunia, endemik terutama di daerah dengan

sosioekonomi rendah dan sanitasi lingkungan yang kurang baik. E. histolytica

bersama Giardia lamblia, Criptosporum, Balantidium coli, Blastocystis hominis dan

Isospora sp merupakan protozoa yang sering menyebabkan infeksi usus terutama

pada anak. Infeksi yang dikarenakan oleh protozoa usus biasanya didapatkan peroral

melalui kontaminasi feses pada air dan makanan. Pada manusia E. histolytica

mengadakan invasi ke dalam mukosa usus dan dapat menyebar ke dalam traktus

intestinalis, misalnya ke duodenum, gaster, esofagus atau ekstraintestinal yaitu

terutama ke hepar, paru, perikardium, peritonium, kulit dan otak.4

Gambar 1. Amuba.5

2

Page 4: Case amubiasis+ trikuriasis

Amubiasis tersebar hampir diseluruh belahan dunia. Diperkirakan 10%

penduduk dunia terkena infeksi amuba, walaupun prevalensi dan keparahannya

berbeda dari satu tempat ketempat lainnya dan meningkat pada daerah dengan

sosioekonomi kurang. Di Jakarta penyakit ini dijumpai secara endemik. Pada

pemeriksaan tinja penderita yang tidak mencret di RS Cipto Mangunkusumo

dijumpai berkisar antara 9,3-13,3%. Penelitian yang dilakukan pada tujuh desa di

daerah Kalimantan Selatan pada pemeriksaan tinja menemukan 12% pada tinja

tersebut positif terhadap E. histolytica. Pada anak di Medan penyakit ini dijumpai

secara endemik. Pada Poliklinik Anak RS Pirngadi Medan diperkirakan 500 kasus

pertahunnya atau lebih kurang 3,2% Pada tahun 1976-1977 kejadian disentri amuba

adalah 0,745% dan 0,58% dari semua pengunjung atau 6,25% dan 5,58% dari

penderita muntah mencret yang berobat di Poliklinik Anak RS Pirngadi Medan.6

2.2 Etiologi

Infeksi terjadi melalui penelanan bentuk kista parasit. Kista berukuran 10-18

um, berinti empat dan resisten terhadap keadaan lingkungan seperti suhu rendah dan

klorin yang digunakan untuk pemurnian air serta tahan terhadap asam lambung dan

enzim pencernaan. Pada saat penelanan, kista yang tertelan akan pech dalam usus

halus membentuk delapan trofozoid. Trofozoid ini merupakan organisme yang besar,

bergerak secara aktif dan mengkolonisasi lumen usus besar dan menginvasi lapisan

mukosa.7

2.3 Epidemiologi

Infeksi amuba diseluruh dunia berkisar dari 5-81% dengn frekuensi tertinggi

di daerah beriklim tropis dengan manusia sebagai reservoir utama. Secara global

infeksi amuba merupakan penyebab kematian karena parasit terbanyak ketiga setelah

malaria dan skistosomiasis. Disentri amuba yang disebabkan oleh invsi mukosa usus

terjadi pada sekitar 1-17% subjek yang terinfeksi. Penyebaran parasit pada organ

interal seperti hati terjadi pada kasus yang jarang dan menetap dari individu yang

terinfeksi dan jarang pada anak dibandingkan orang dewasa. Adapun individu yang

3

Page 5: Case amubiasis+ trikuriasis

berisiko terken infeksi muba ini meliputi orang-orang yang tinggal di asrama, anak

dengan retardasi mental, laki-laki homoseksual, emigran kedaerah endemik, wisatawn

kedaerah endemik, pekerja yang berpindah-pindah, dan kelompok sosioekonomi

rendah.7

Makanan dan minuman yang terkontaminasi dengan kista E.histolytica dan

kontak langsung secara fekal-oral merupakan cara infeksi yang tersering. Air yang

tidak diolah dan tinja manusia yang digunakan sebagai pupuk merupakan sumber

infeksi penting. Pedagang makanan yang mengidap kista amuba, dapat berperan

dalam penyebaran infeksi. Kontak langsung dengan tinja yang terinfeksi juga bisa

menyebabkan penularan orang ke orang.7

2.4 Patogenesis dan patologi

Patogenesis E.histolytica diyakini tergantung pada dua mekanisme yaitu

kontak sel dan pemajanan toksin. Penelitin baru-baru ini telah menunjukkan bahwa

kematian tergantung-kontak oleh trofozoid meliputi perlekatan, sitolisis ekstaseluler

dan fagositosis. Reseptor lektin spesifik-galaktosa diduga bertanggung jawab dalam

menjembatani perlekatan pada mukosa kolon. Telah diketahui bahwa amuba dapat

mengeluarkan protein pembentuk pori yang membentuk saluran pada membran sel

sasaran hospes.7

Bila trofozoid E.histolytica menginvasi mukosa usus dapat menyebabkan

penghancurn jaringan (tukak) dengan sedikit respon radang lokal karena kapsitas

sitolitik organisme. Organisme memperbanyak diri dan menyebar ke lateral dibawah

epitel usus untuk menimbulkan ulkus bergaung yang khas. Lesi ini biasanya

ditemukan pada sekum, kolon transversum dan kolon sigmoid. E.histolytica

terkadang ke ektraintestinal seperti paru dan otak.7

4

Page 6: Case amubiasis+ trikuriasis

Gambar 2. Daur hidup Entamoeba histolytica.5

2.5 Manifestasi klinis

Kebanyakan individu yang terinfeksi adalah tanpa gejala, dan kista ditemukan

pada tinjanya. Invasi jaringan terjadi pada 2-8% individu yang terinfeksi dan

berhubungan dengan strain parasit atau status nutrisi dan flora usus hospes.

Manifestasi klinis amubiasis yang paling sering adalah akibat invasi lokal epitel usus

dan penyebaran ke hati. Amubiasis usus dapat terjadi dalam 2 minggu infeksi atau

tertunda selama beberapa bulan. Mulainya sedikit demi sedikit dengan nyeri kolik

perut dan gerakan usus yang sering.7

Diare disertai dengan tenesmus. Tinja bercampur darah dan mengandung

cukup banyak lendir dengan sedikit leukosit Karakteristik tidak terdapat gejala dan

tanda konstitusional menyeluruh dengan demam yang didokumentasi hanya pada

sepertiga penderita. Disentri amuba akut terjadi berupa serangan yang berakhir

beberapa hari sampai beberapa minggu, relaps amat sering pada individu yang tidak

diobati. Kolitis amuba mengenai semua kelompok umur dengan insiden tertinggi

antara umur 1 dan 5 tahun.7

5

Page 7: Case amubiasis+ trikuriasis

Kadang-kadang disentri amuba disertai dengan serangan demam mendadak,

menggigil dan diare berat yang dapat berakibat dehidrasi dan gangguan elektrolit.

Pada beberapa penderita komplikasi seperti ameboma, megakolon toksik, penyebaran

ekstraintestinal, atau perforasi lokal dan peritonitis dapat terjadi.7

2.6 Diagnosis

Penderita dengan kolitis amuba invasif pada tes darah samar akan

menunjukkan hasil positif. Diagnosis didasarkan pada deteksi organisme pada sampel

tinja, hapusan secara sigmoidoskopi, sampel biopsi jaringn, atau kadang-kadang pada

aspirat abses hati.7

Bahan pemeriksaan mikroskopis dapat pula diperoleh darikerokan tukak pada

daerah mukosa rektum. Endoskopi dan biopsi pada daerah yang mencurigakan harus

dilakukan bila sampel tinja negatif dan kecurigaan tinggi terhadap kolitis amuba. Uji

hemaglutinasi indirek dapat membantu diagnosis amubiasis usus invasif dan abses

amuba hati dengan titer diagnostik sekurang-kurangnya 1:128 dilaporkan pada 98-

100% kasus.7

2.7 Pengobatan

Dua jenis obat digunakan untuk mengobati infeksi E.histolytica. Amubisid

lumen, seperti iodokuinol dan diloksanid furoat terutama efektif dalam lumen usus,

sedangkan metronidazol, klorokuin dan dehidroemetin efektif pada pengobatan

amubiasis invasif. Semu individu dengan trofozoid atau kista E.histolytica pada

tinjanya apakah bergejala maupun tidak, harus diobati.7

Diloksanid furoat merupakan obat pilihan untuk pembawa kista yang

asimtomatik. Dosis yang dianjurkan adalah 10 mg/kg/24 jam oral selama 10 hari.

Toksisitas jarang tetapi obat ini tidak boleh diberikan pada anak dibawah 2 tahun.

Amubisis invasif usus, hati atau organ lain memerlukan metronidazol yakni obat

amubisid jaringan yang dapat diberikan secara oral dengan dosis harian 50 mg/kgBB

selama 10 hari. Efek samping metronidazol meliputi rasa mual, diare, rasa kecap

6

Page 8: Case amubiasis+ trikuriasis

logam dan leukopenia. Metronidazol juga bersifat amubisid lumen tetapi tidak

seefektif dibandingkan diloksanid furoat.7

2.8 Trikuriasis

Trichuris trichiura disebut juga cacing cambuk, termasuk golongan nematoda

yang hidup di sekum dan kolon ascending manusia. Pejamu utama T.trichiura adalah

manusia yang terinfeksi bila menelan telur yang mengandung larva. Cacing dewasa

jantan berukuran 30 sampai 45 mm, sedangkan ukuran cacing dewasa betina 35

sampai 50 mm. Bagian anterior yang berbentuk seperti cambuk dari cacing dewasa

terbenam di dalam dinding usus, dan bagian posterior berada bebas di lumen usus.

Cacing betina dewasa akan mulai bertelur dalam 60 sampai 70 hari setelah terinfeksi

dan bisa memproduksi 3000 sampai 20.000 telur setiap hari.8,9

Trichuris trichiura biasanya dianggap cacing nonpatogen dan bersifat

komensal didalam usus, tetapi dalam jumlah yang banyak dan daya tahan tubuh

penderita kurang baik tidak jarang menyebabkan kelainan tertentu. Cacing ini tidak

memiliki fase migrasi dalam jaringan, parasit ini tidak menyebabkan reaksi

sistemik.10

Siklus hidup T. trichiura dimulai dari tertelannya telur Trichuris yang

infektif. Telur tersebut akan menetas di usus halus dan mengeluarkan larva. Larva

kemudian berkembang di mukosa usus halus dan menjadi dewasa di sekum. Cacing

dewasa betina akan mulai bertelur dalam 60 sampai 70 hari setelah infeksi. Telur

yang belum berlarva akan keluar bersama dengan tinja dan menjadi infektif di tanah

dalam 10 sampai 14 hari. Telur yang infekif ini yang selanjutnya menjadi sumber

penularan bagi manusia lain.9

2.9 Etiologi

Infeksi disebabkan karena menelan telur parasit yang keluar bersama tinja

individu yang terinfeksi dan dewasa dalam 2-4 minggu jika kondisi kelembaban dan

7

Page 9: Case amubiasis+ trikuriasis

suhu tanah optimal. Pada penelanan oleh manusia, telur trichuris menetas dan larva

menembus vili usus halus, dimana mereka menetap selama 3-10 hari sebelum secara

perlahan-lahan bergerak menuruni usus dan matang menjadi cacing dewasa. Habitat

akhir T. trichiura adalah sekum dan kolon asendes. Cacing tetap dalam usus dengan

melekatkan bagian anterior tubuhnya pada mukosa usus. Pengeluaran telur oleh

cacing betina dewasa mulai 1-3 bulan sesudah infeksi.11

Berdasarkan data dari WHO pada tahun 2005, jumlah anak usia sekolah di

Indonesia ada sebanyak 41.568.000 anak dengan seluruhnya dianggap mempunyai

risiko untuk terinfeksi Soil Transmitted Helminths (STH). Di seluruh dunia didapati

795 juta orang terinfeksi T.trichiura dan sebanyak 86 juta diantaranya merupakan

anak di bawah usia 5 tahun.12,13

Faktor lingkungan mempunyai pengaruh penting dalam proses transmisi dan

iklim tropis Indonesia sangat menguntungkan bagi perkembangan STH. Akan tetapi

adanya perbedaan ekologi di antara daerah Indonesia sendiri menyebabkan ada

perbedaan prevalensi infeksi. Prevalensi infeksi T.trichiura terendah di NTT yaitu

sebesar 1% sedangkan prevalensi tertinggi di Jakarta Utara dengan angka 79.64%.

Untuk Sumatera Utara angka prevalensi T.trichiura didapati sampai dengan 78.6%.13

8

Page 10: Case amubiasis+ trikuriasis

Gambar siklus hidup Trichuris trichiura.14

Trikuriasis paling sering pada masyarakat pedesaan yang miskin dan

kekurangan fasilitas sanitasi. Manusia adalah hospes primer, prevalensi dan intensitas

infeksi paling tinggi terjadi pada anak. Penularan telur yang mengandung embrio

terjadi melalui tangan, makanan atau minuman yang terkontaminasi. Telur dapat pula

dibawa oleh lalat atau insekta lain.15

2.10 Manifestasi Klinis

Kebanyakan individu yang terinfeksi adalah asimtomatis, namus keluhan

perut yang samar-samar, kolik dan distensi abdomen telah dihubungkan dengan

infeksi. Trichuris dewasa mengisap sekitar 0,005 ml darah/cacing/hari. Namun hanya

infeksi anak yang berat yang menimbulkan anemia ringan, diare berdarah atau jarang,

prolapsus rektum. Kasus ini dirujuk sebagai trikuriasis infantil masif dan sering

disertai dengan shigellosis dan infeksi protozoa saluran pencernaan.15

Kebanyakan penderita hanya membawa jumlah cacing yang sedikit dan tidak

menunjukkan gejala. Manifestasi klinis yang bisa muncul termasuk disentri kronik,

tenesmus, pucat dan gangguan nutrisi lainnya, gagal tumbuh, gangguan

perkembangan dan kognitif. Pada infeksi berat bisa terjadi prolapsus recti.13

2.11 Diagnosis dan Pengobatan

Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya telur atau cacing dewasa di tinja. 13 Metode yang direkomendasikan ialah pemeriksaan sampel tinja dengan teknik

hapusan tebal kuantitatif Kato-Katz. Metode ini dapat mengukur jumlah telur per

gram tinja.16,17 Obat pilihan untuk pengobatan T. trichiura adalahh Mebendazole 100 mg,

dua kali sehari selama tiga hari berturut-turut. Dosis tunggal 500 mg biasa diberikan pada

pengobatan massal. 9-13

2.12 Pencegahan

9

Page 11: Case amubiasis+ trikuriasis

Perbaikan sanitasi dan kebersihan pribadi/lingkungan seperti penyediaan

toilet, cuci tangan, pemakaian alas kaki, dan mengkonsumsi makanan yang matang

juga diperlukan untuk mencegah terjadinya pencemaran tanah oleh tinja manusia

yang terinfeksi dengan cacing. Ini penting untuk mencegah transmisi lebih lanjut.2.

Albendazole 400 mg dosis tunggal untuk anak di atas usia 2 tahun. Untuk anak usia 1

sampai 2 tahun diberikan setengahnya.8,9

Daftar pustaka

1. Pedoman pengendalian cacingan. Keputusan Menteri Kesehatan Indonesia No. 424/MENKES/SK/VI/2006. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2006

2. Mardiana, Djarismawati. Prevalensi cacing usus pada murid sekolah dasar wajib belajar pelayanan gerakan terpadu pengentasan kemiskinan daerah kumuh di Wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2008;7:769-74.

3. Margono SS, Sasongko A, Mahaswiati M. School-based control of soil-transmitted helminthiases in Kepulauan Seribu, Jakarta. Dipresentasikan pada Simposium Parasitologi dan Penyakit Tropis, Denpasar, 25-26 August 2007.

4. Soedarmo PSS, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Amubiasis Dalam Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi ke 2. IDAI. 2010. hal 438-48

5. Brooke MM, Melvin DM. Morphology of diagnostic stage of intestinal paracites of man. Public health service publication. 1969

6. Lubis CP. Penggunaan obat anti amuba pengalaman di bangsal anak Rumah Sakit Pirngadi Medan. USU repository. 2005 hal 1-6

7. Bonomo RA, Salata RA. Penyakit protozoa. Dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15 Volume 2. 2000.EGC. hal 1186-89

8. Dent AE, Kazura JW. Trichuriasis (Trichuris trichiura). Dalam : Berhman RE, Kleigman RM, Jenson HB, penyunting. Nelsons textbook of pediatrics. Edisi 13. Philadelphia: Saunders;2007.h.1499-1500

9. Pasaribu S, Lubis CP. Trichuriasis (Infeksi cacing cambuk). Dalam : Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI, penyunting. Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Edisi 2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia;2008.h.376-9

10. Rampengan TH. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Edisi 2. EGC. 2008. hal 248-51

11. Kazura JW. Trikuriasis. Dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15 Volume 2. 2000. EGC. hal 1237

12. World Health Organization. Schistosomiasis and soil transmitted helminths country profile: Indonesia. Diunduh dari : www.who.int/wormcontrol/databank/Indonesia_ncp3.pdf. Agustus 2009

13. Brooker S, Clements AC, Bundy DA. Global epidemiology, ecology and control of soil-transmitted helminth infections. Adv Parasitol. 2006;62:221-61.

10

Page 12: Case amubiasis+ trikuriasis

14. Pickering LK, Baker CJ, Long SS, McMillan JA. Trichuriasis. Dalam:. Red book: 2006 report of the committee on infectious disease. Edisi 27. American Academy of Pediatrics; 2006. h.674-5

15. Anonim. Biology Life cycle of paracites. http://www.mbfarr.biology.lsu.edu/Bio4105/Life%20cycles%20of%20parasites/ [diakses 26 Agustus 2013]

16. Henderson RH. Essential epidemiology. Dalam: Report of the WHO informal consultation on the use of chemotherapy for the control of morbidity due to soil-transmitted nematodes in humans. Geneva: WHO; 1996. h.12-22.

17. Montresor A, Crompton DWT, Hall A, Bundy DAP, Savioli L. Dalam: Guidelines for the evaluation of soil-transmitted helminthiasis and schistosomiasis at community level. Geneva: WHO; 1998. h.3 – 49.

11

Page 13: Case amubiasis+ trikuriasis

BAB III

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien

Nama/No.MR : An. NK/ 822034

Umur : 5 tahun

Ayah/Ibu : Tn. Darmita / Ny. Ernawati

Alamat : Bangkinang – Kampar

Tgl masuk : 14 Agustus 2013

Alloanamnesis

Diberikan oleh : Orang tua kandung pasien

Keluhan Utama :

Tambah lemah sejak 1 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :

Sejak 1 bulan SMRS pasien mengalami BAB berdarah, darah yang keluar

berwarna merah segar, dengan jumlah air lebih banyak daripada ampas dan

berlendir. Darah hanya keluar sewaktu BAB. Sekali BAB sebanyak ± ¼ gelas

aqua dengan jumlah darah sekitar seperempat sendok teh. Frekuensi BAB 2-3

kali sehari. Nyeri pada perut (+) tetapi tidak begitu hebat, rasa sakit ketika BAB

(+), demam (-),mual (+)

muntah (-). Adanya benjolan yang keluar masuk disangkal. Nafsu makan

berkurang. BAK tidak ada keluhan. Pasien sempat dibawa berobat ke Puskesmas

dan didiagnosis disentri, lalu diberi obat sirup tetapi tidak membaik.

12

Page 14: Case amubiasis+ trikuriasis

Saat 2 minggu SMRS, orang tua pasien mengeluhkan anaknya terlihat pucat,

demam (-), mimisan (-), gusi berdarah (-), bercak-bercak merah di kulit (-), mata

kuning (-), BAB berwarna hitam (-). BAB seperti dempul (-), BAK berwarna teh

(-). Pasien terlihat tambah kurus.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Tidak pernah mengeluhkan hal yang sama sebelumnya

Orang tua pasien mengaku belum pernah memberikan anaknya obat cacing.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan sama dengan pasien

Riwayat orang tua:

Tidak ada orang tua yang mengalami keluhan yang sama

Ayah bekerja sebagai wiraswasta ibu bekerja sebagai ibu rumah tangga

Riwayat kehamilan:

Pasien anak lima dari 5 bersaudara. Lahir secara spontan saat kehamilan cukup

bulan di bidan.

Riwayat Makan dan Minum :

ASI : dari lahir sampai usia 1 tahun

Susu formula usia 6 tahun – 1,5 tahun

Nasi tim usia 1- 2 tahun

Nasi biasa 2 tahun sampai sekarang

Riwayat Imunisasi : BCG 1x, HepB 3x, DPT 3x, Polio 6x

Riwayat Pertumbuhan : BBL: 3100 gram, BBM: 13,9 kg PB: 101 cm

Riwayat Perkembangan :

Telungkup usia 3 bulan

Merangkak usia 5 bulan

13

Page 15: Case amubiasis+ trikuriasis

Duduk usia 6 bulan

Berdiri usia 8 tahun

Berjalan usia 10 bulan

Bicara 1 – 2 kata usia 1 tahun

Keadaan Perumahan dan Tempat Tinggal :

Pasien tinggal di rumah permanen dihuni oleh 4 orang

Ventilasi dan pencahayaan cukup

Sumber air minum : Air galon

Sumber MCK adalah air sumur cincin

Pekarangan rumah cukup luas.

PEMERIKSAAN FISIK

Kesan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Komposmentis

Tanda-tanda vital :

TD : 100/60 mmHg

Suhu : 37,2 ºC ( axilla )

Nadi : 104 x / menit regular, isi/ tegangan cukup

Nafas : 22 x / menit, retraksi (-)

Gizi

TB : 101 cm

BB : 13,9 kg

LILA : 14 cm

Lingkar kepala : 50 cm

Status gizi menurut BB/TB NCHS persentil 50

BB/TB(%)=(BB terukur saat ini)/(BB standar untuk TB terukur menurut

NCHS)x100%

(13,9:15,5) x 100% = 89,67 % Mild malnutrition

14

Page 16: Case amubiasis+ trikuriasis

Kepala : Simetris, normosefali

Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut

Mata :

Konjungtiva : Anemis (+/+)

Sklera : Ikterik (-/-)

Pupil : Bulat, isokor Ø 2 mm/ 2 mm

Reflek cahaya : Langsung (+/+) tidak langsung (+/+)

Telinga : Sekret (-/-), serumen (+), dalam batas normal

Hidung : Sekret (-/-), edema mukosa(-), deviasi septum(-)

Mulut :

Bibir : Pucat, kering

Mukosa dalam bibir : Basah

Palatum : Utuh

Lidah : Tidak kotor

Gigi : Caries (+)

Tonsil : (T1/T1), faring hiperemis (-)

Leher :

KGB : Pembesaran KGB (-)

Kaku kuduk : Tidak ditemukan

Paru

Inspeksi : gerakan dada simetris kiri kanan, retraksi (-)

Palpasi : fremitus kiri sama dengan kanan

Perkusi : sonor dikedua lapangan paru

Auskultasi : vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung :

Inspeksi : Ictus kordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus kordis teraba di SIK V LMCS,

Perkusi : Batas jantung kiri : linea midclavicularis sinistra

Batas jantung kanan : linea sternalis dextra

15

Page 17: Case amubiasis+ trikuriasis

Auskultasi : Bunyi jantung I – II reguler, pansistolik murmur (+)

Abdomen

Inspeksi : datar, venektasi (-)

Palpasi : supel, distensi (-),nyeri tekan (-), nyeri lepas(-)

Hepar dan lien tidak teraba.

Perkusi : timpani

Auskultasi : Bising usus (+) meningkat

Alat kelamin : perempuan, dalam batas normal

Anus :

Inspeksi : Tampak kemerahan, tidak tampak hemoroid maupun polip

Rectal toucher : Refleks spingter ani (+), mukosa licin, massa (-), nyeri (-),

Pada handschoen terdapat tinja warna kecokelatan, darah (-).

Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, udem tungkai (-).

Status neurologis : Refleks fisiologis (+/+) normal

Refleks patologis (-/-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium :

Darah rutin (14 Agustus 2013)

Hb : 5,4 gr/dl Ureum : 13,9 mg/dl

Ht : 20,7% Kreatinin : 0,6 mg/dl

WBC : 11.100 mm3 ALT : 13 IU/L

PLT : 459.000 mm3 AST : 26,1 IU/L

GDS : 98 mg% BUN : 6,1 mg/dl

Urin :

Makroskopis : warna kuning muda, darah (-), endapan (-)

Mikroskopis : eritrosit 0/LPB, leukosit 0/LPB, epitel 0-1/LPB

Protein (-), Bilirubin (-), glukosa (-).

16

Page 18: Case amubiasis+ trikuriasis

Feses :

Makroskopis : warna kecoklatan, encer, darah (+), lendir (+)

Mikroskopis : eritrosit 4-5/LPB, leukosit >5 /LPB, telur cacing T. trichiura (+),

Amuba (+)

HAL-HAL YANG PENTING DARI ANAMNESIS

Diare, darah (+), lendir (+)

demam (-), tenesmus (+)

lemas (+)

HAL-HAL YANG PENTING DARI PEMERIKSAAN FISIK

Konjungtiva anemis (+/+)

Pansistolik murmur (+)

HAL-HAL YANG PENTING LAB RUTIN

Hb : 5,4 gr/dl

DIAGNOSIS KERJA :

Anemia ec disentri amuba + trikuriasis

DIAGNOSIS GIZI :

Mild malnutrition

DIAGNOSIS BANDING :

invaginasi

polip

PEMERIKSAAN ANJURAN :

Kolonoskopi

Biopsi kolon

TERAPI :

IVFD RL 15 tpm (maksro)

Metronidazol 3x 250 mg tab

Trivexan 1 x cth 1

Maltofer sirup 1 x cth 1

17

Page 19: Case amubiasis+ trikuriasis

TransfusiPRC sampai Hb 9 (80 cc hari pertama dilanjutkan 100 cc hari kedua)

GIZI

Kebutuhan kalori (kkal/hari) = Diet makanan biasa 90x15,5 = 1395 kkal/ hari

PROGNOSIS :

Quo ad vitam : Bonam

Quo ad fungsionam : Bonam

18

Page 20: Case amubiasis+ trikuriasis

Follow Up Pasien:

Hari/ tanggal

Subjektif Objektif Assestment Terapi

16 Agustus 2013

BAB cair berkurang, darah pada BAB sudah berkurang, demam (-), sesak (-), kembung (+),Mual (+), muntah (+)

KU: TSSKes: CMTTV:Hr 120x/menitRR 24x/menitT 37,2CKonjungtiva anemis (+/+)Tho: pansistolik murmur (+)Abd: BU (+) normal

Anemia+ hematoskezia ec amubiasis + trikuriasis

- metronidazol 3x250 mg tab-Trivexan 1x1 cth-Maltofer syr 1x1 cthTransfusi PRC 80 cc

17 Agustus 2013

BAB sudah padat, darah pada BAB sedikit, demam (-), tidak sesak , kembung(+), mual (+), muntah (-)

KU: TSSKes: CMTTV:Hr 98x/menitRR 24x/menitT 36,8CKonjungtiva anemis (+/+)Tho: pansistolik murmur (+)Abd: BU (+) normal

Anemia+ hematoskezia ec amubiasis + trikuriasis

- metronidazol 3x250 mg tab-Trivexan 1x1 cth-Maltofer syr 1x1 cthTransfusi PRC 100 cc

18 Agustus 2013

BAB padat, darah pada BAB sedikit, demam (-), sesak (-)

KU: TSSKes: CMTTV:Hr 96x/menitRR 22x/menitT 36,8CKonjungtiva anemis (+/+)Tho: pansistolik murmur (+)Abd: BU (+) normal

Labor: Hb 9,5

Anemia+ hematoskezia ec amubiasis + trikuriasis

- metronidazol 3x250 mg tab-Trivexan 1x1 cth-Maltofer syr 1x1 cthTransfusi PRC 100 cc

19

Page 21: Case amubiasis+ trikuriasis

mg/dlHt 31,2%Leu 10.400 /ulTromb 371.000/ul

19 Agustus 2013

BAB padat, darah sudah tidak ada. sudah dapat berjalan-jalan.

KU: TSRKes: CMTTV:Hr 98x/menitRR 22x/menitT 37,2CKonjungtiva anemis (-/-)Tho: pansistolik murmur (-)Abd: BU (+) normal

Anemia+ hematoskezia ec amubiasis + trikuriasis

- metronidazol 3x250 mg tab-Trivexan 1x1 cth-Maltofer syr 1x1 cth

20 Agustus 2013

BAB normal, darah tidak ada, lendir tidak ada, mual dan muntah (-), kembung (-).

KU: TSRKes: CMTTV:Hr 98x/menitRR 20x/menitT 36,6CKonjungtiva anemis (-/-)Tho: pansistolik murmur (-)Abd: BU (+) normal

Anemia+ hematoskezia ec amubiasis + trikuriasis

- metronidazol 3x250 mg tab-Trivexan 1x1 cth-Maltofer syr 1x1 cth

21 Agustus 2013

BAB normal, darah tidak ada, lendir tidak ada, mual dan muntah (-), kembung (-).

KU: TSRKes: CMTTV:Hr 92x/menitRR 20x/menitT 36,6CKonjungtiva anemis (-/-)Tho: pansistolik murmur (-)Abd: BU (+) normal

Anemia+ hematoskezia ec amubiasis + trikuriasis

- metronidazol 3x250 mg tab-Trivexan 1x1 cth-Maltofer syr 1x1 cth

Pasien boleh pulang

20

Page 22: Case amubiasis+ trikuriasis

BAB IV

PEMBAHASAN

Dari anamnesis didapatkan sejak 1 bulan SMRS pada pasien ini adanya BAB

berdarah berwarna merah segar. Darah hanya keluar sewaktu BAB saja. Pasien

terlihat pucat dan lemas, Keluhan disertai mual tetapi tidak diiringi muntah. Nafsu

makan berkurang.

Dua minggu SMRS pasien tampak pucat, pasien juga lemas, keluhan pasien

tidak disertai demam, manifestasi perdarahan (-). Pembesaran KGB (-). Pasien

terlihat tambah kurus. Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis.

Sklera ikterik (-), pembesaran KGB (-), pansistolik murmur. Pada pemeriksaan

abdomen tidak ditemukan adanya hepatomegali maupun splenomegali, massa (-).

Pada pemeriksaan anus didapatkan kemerahan disekitar anus, namun tidak tampak

adanya hemoroid. Pada saat Rectal toucher tidak dijumpai adanya masa, nyeri (-),

pada handschoen tidak dijumpai adanya darah. Status gizi mild malnutrition. Hasil

pemeriksaan laboratorium rutin menunjukan adanya anemia (Hb 5,4 mg/dl). Pada

pemeriksaan feses dijumpai adanya eritosit 4-5/LPB, leukosit > 5/LPB, amuba (+),

dan telur T. trichiura (+), sedangkan pada pemeriksaan urin tidak dijumpai kelainan.

Diagnosis banding invaginasi pada pasien ini karenakan pada invaginasi dapat

terjadi keluhan yang meliputi BAB berdarah dan berlendir disertai nyeri pada perut.

Pada pasien nyeri perut yang dirasakan tidak begitu kuat, sedangkan pada invaginasi

terjadi nyeri kolik yang begitu hebat disertai muntah. Pada pasien ini dalam

pemeriksaan abdomen tidak didapatkan adanya kelainan, sedangkan pada invaginasi

seharusnya akan didapatkan massa seperti sosis di bagian abdomen. Disamping itu

angka kejadi invaginasi lebih banyak dijumpai pada anak yang berumur 6 bulan-1

tahun.

Diagnosis banding polip rektum pada pasien ini dikarenakan pada polip

rektum juga sering dijumpai adanya darah pada feses, disertai diare dan lemas akibat

kehilangan darah, tetapi pada anamnesis tidak ada dikatakan benjolan yang keluar

21

Page 23: Case amubiasis+ trikuriasis

masuk pada anus. Berdasarkan epidemiologi angka kejadian polip rektum sangat

jarang pada anak-anak dan lebih banyak setelah dekade ke 3.

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik serta ditunjang dari hasil pemeriksaan

laboratorium rutin menunjukan adanya anemia (Hb 5,4 mg/dl) dan pemeriksaan feses

dijumpai adanya eritosit 4-5/LPB, leukosit > 5/LPB, amuba (+), dan telur T. trichiura

(+) menunjukkan bahwa penyebab anemia pada pasien ini adalah akibat infeksi

parasit usus. Hal ini sesuai dengan teori bahwa cacing Trichuris dewasa mengisap

sekitar 0,005 ml darah/cacing/hari. Sehingga apabila didapatkan kadar Hb pasien

sangat rendah (5,4 mg/dl) menunjukkan bahwa sebenarnya pada pasien sudah terjadi

infeksi yang kronik. Alasan ini didukung dengan pernyataan keluarga pasien bahwa

anaknya tidak pernah mengkonsumsi obat cacing. Adapun untuk menyingkirkan

diagnosis banding diperlukan pemeriksaan kolonoskopi dan biopsi kolon.

22