case amubiasis+ trikuriasis
TRANSCRIPT
INFEKSI PARASIT USUS
(Amubiasis dan Trikuriasis)
Oleh:
Personaldi
Putra Elba
Pembimbing:
dr. Elmi Ridar, Sp.A
KEPANITERAAN KLINIK SENIOR
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU
2013
0
BAB I
Pendahuluan
Infeksi parasit usus yaitu cacing dan protozoa merupakan masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia. Cacing usus yang banyak ditemukan adalah soil transmitted
helminths (cacing yang ditularkan melalui tanah) yaitu Ascaris lumbricoides,
Trichuris trichiura, dan cacing tambang sedangkan protozoa adalah Giardia lamblia
dan Blastocystis hominis.1
Prevalensi parasit usus di Indonesia masih tergolong tinggi terutama pada
penduduk miskin dan hidup di lingkungan padat penghuni dengan sanitasi yang
buruk, tidak mempunyai jamban dan fasilitas air bersih tidak mencukupi. Di daerah
tersebut, warga terutama anak-anak, defekasi di halaman rumah atau di got sehingga
tanah dapat tercemar telur cacing dan kista protozoa. Di daerah kumuh di Jakarta
sebanyak 37,5% pekarangan rumah tercemar telur cacing yang ditularkan melalui
tanah. Pencemaran semakin luas pada musim hujan karena telur cacing terbawa arus
air.2
Kecacingan banyak terdapat pada anak-anak karena mereka sering bermain di
tanah dan perilaku dalam menjaga kebersihan kurang baik.1 Pada penelitian yang
dilakukan di daerah kumuh di Jakarta Utara tahun 2008, prevalensi askariasis pada
anak sekolah dasar (SD) adalah 80% dan trikuriasis 68,4%. Di Jakarta Barat
prevalensi askariasis pada anak SD adalah 74,70% dan trikuriasis 25,30%.2 Di
Kepulauan Seribu prevalensi A. lumbricoides pada anak SD adalah 68,8%, cacing
tambang 2,9%, Blastocystis hominis 36% dan G. lamblia 30%.3
1
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1 Amubiasis
Amubiasis merupakan suatu infeksi Entamoeba histolytica pada manusia, dapat
terjadi secara akut maupun kronik. Manusia adalah penjamu dari berberapa spesies
amuba, yaitu Entamoeba histolytica, E. coli, E. ginggivalis, Dientamuba frigilis,
Endolimax nana, Iodamuba butclii. Diantara beberapa spesies amuba, hanya satu
spesies yaitu E. histolytica yang merupakan parasit patogen pada manusia.4
E. histolytica tersebar di seluruh dunia, endemik terutama di daerah dengan
sosioekonomi rendah dan sanitasi lingkungan yang kurang baik. E. histolytica
bersama Giardia lamblia, Criptosporum, Balantidium coli, Blastocystis hominis dan
Isospora sp merupakan protozoa yang sering menyebabkan infeksi usus terutama
pada anak. Infeksi yang dikarenakan oleh protozoa usus biasanya didapatkan peroral
melalui kontaminasi feses pada air dan makanan. Pada manusia E. histolytica
mengadakan invasi ke dalam mukosa usus dan dapat menyebar ke dalam traktus
intestinalis, misalnya ke duodenum, gaster, esofagus atau ekstraintestinal yaitu
terutama ke hepar, paru, perikardium, peritonium, kulit dan otak.4
Gambar 1. Amuba.5
2
Amubiasis tersebar hampir diseluruh belahan dunia. Diperkirakan 10%
penduduk dunia terkena infeksi amuba, walaupun prevalensi dan keparahannya
berbeda dari satu tempat ketempat lainnya dan meningkat pada daerah dengan
sosioekonomi kurang. Di Jakarta penyakit ini dijumpai secara endemik. Pada
pemeriksaan tinja penderita yang tidak mencret di RS Cipto Mangunkusumo
dijumpai berkisar antara 9,3-13,3%. Penelitian yang dilakukan pada tujuh desa di
daerah Kalimantan Selatan pada pemeriksaan tinja menemukan 12% pada tinja
tersebut positif terhadap E. histolytica. Pada anak di Medan penyakit ini dijumpai
secara endemik. Pada Poliklinik Anak RS Pirngadi Medan diperkirakan 500 kasus
pertahunnya atau lebih kurang 3,2% Pada tahun 1976-1977 kejadian disentri amuba
adalah 0,745% dan 0,58% dari semua pengunjung atau 6,25% dan 5,58% dari
penderita muntah mencret yang berobat di Poliklinik Anak RS Pirngadi Medan.6
2.2 Etiologi
Infeksi terjadi melalui penelanan bentuk kista parasit. Kista berukuran 10-18
um, berinti empat dan resisten terhadap keadaan lingkungan seperti suhu rendah dan
klorin yang digunakan untuk pemurnian air serta tahan terhadap asam lambung dan
enzim pencernaan. Pada saat penelanan, kista yang tertelan akan pech dalam usus
halus membentuk delapan trofozoid. Trofozoid ini merupakan organisme yang besar,
bergerak secara aktif dan mengkolonisasi lumen usus besar dan menginvasi lapisan
mukosa.7
2.3 Epidemiologi
Infeksi amuba diseluruh dunia berkisar dari 5-81% dengn frekuensi tertinggi
di daerah beriklim tropis dengan manusia sebagai reservoir utama. Secara global
infeksi amuba merupakan penyebab kematian karena parasit terbanyak ketiga setelah
malaria dan skistosomiasis. Disentri amuba yang disebabkan oleh invsi mukosa usus
terjadi pada sekitar 1-17% subjek yang terinfeksi. Penyebaran parasit pada organ
interal seperti hati terjadi pada kasus yang jarang dan menetap dari individu yang
terinfeksi dan jarang pada anak dibandingkan orang dewasa. Adapun individu yang
3
berisiko terken infeksi muba ini meliputi orang-orang yang tinggal di asrama, anak
dengan retardasi mental, laki-laki homoseksual, emigran kedaerah endemik, wisatawn
kedaerah endemik, pekerja yang berpindah-pindah, dan kelompok sosioekonomi
rendah.7
Makanan dan minuman yang terkontaminasi dengan kista E.histolytica dan
kontak langsung secara fekal-oral merupakan cara infeksi yang tersering. Air yang
tidak diolah dan tinja manusia yang digunakan sebagai pupuk merupakan sumber
infeksi penting. Pedagang makanan yang mengidap kista amuba, dapat berperan
dalam penyebaran infeksi. Kontak langsung dengan tinja yang terinfeksi juga bisa
menyebabkan penularan orang ke orang.7
2.4 Patogenesis dan patologi
Patogenesis E.histolytica diyakini tergantung pada dua mekanisme yaitu
kontak sel dan pemajanan toksin. Penelitin baru-baru ini telah menunjukkan bahwa
kematian tergantung-kontak oleh trofozoid meliputi perlekatan, sitolisis ekstaseluler
dan fagositosis. Reseptor lektin spesifik-galaktosa diduga bertanggung jawab dalam
menjembatani perlekatan pada mukosa kolon. Telah diketahui bahwa amuba dapat
mengeluarkan protein pembentuk pori yang membentuk saluran pada membran sel
sasaran hospes.7
Bila trofozoid E.histolytica menginvasi mukosa usus dapat menyebabkan
penghancurn jaringan (tukak) dengan sedikit respon radang lokal karena kapsitas
sitolitik organisme. Organisme memperbanyak diri dan menyebar ke lateral dibawah
epitel usus untuk menimbulkan ulkus bergaung yang khas. Lesi ini biasanya
ditemukan pada sekum, kolon transversum dan kolon sigmoid. E.histolytica
terkadang ke ektraintestinal seperti paru dan otak.7
4
Gambar 2. Daur hidup Entamoeba histolytica.5
2.5 Manifestasi klinis
Kebanyakan individu yang terinfeksi adalah tanpa gejala, dan kista ditemukan
pada tinjanya. Invasi jaringan terjadi pada 2-8% individu yang terinfeksi dan
berhubungan dengan strain parasit atau status nutrisi dan flora usus hospes.
Manifestasi klinis amubiasis yang paling sering adalah akibat invasi lokal epitel usus
dan penyebaran ke hati. Amubiasis usus dapat terjadi dalam 2 minggu infeksi atau
tertunda selama beberapa bulan. Mulainya sedikit demi sedikit dengan nyeri kolik
perut dan gerakan usus yang sering.7
Diare disertai dengan tenesmus. Tinja bercampur darah dan mengandung
cukup banyak lendir dengan sedikit leukosit Karakteristik tidak terdapat gejala dan
tanda konstitusional menyeluruh dengan demam yang didokumentasi hanya pada
sepertiga penderita. Disentri amuba akut terjadi berupa serangan yang berakhir
beberapa hari sampai beberapa minggu, relaps amat sering pada individu yang tidak
diobati. Kolitis amuba mengenai semua kelompok umur dengan insiden tertinggi
antara umur 1 dan 5 tahun.7
5
Kadang-kadang disentri amuba disertai dengan serangan demam mendadak,
menggigil dan diare berat yang dapat berakibat dehidrasi dan gangguan elektrolit.
Pada beberapa penderita komplikasi seperti ameboma, megakolon toksik, penyebaran
ekstraintestinal, atau perforasi lokal dan peritonitis dapat terjadi.7
2.6 Diagnosis
Penderita dengan kolitis amuba invasif pada tes darah samar akan
menunjukkan hasil positif. Diagnosis didasarkan pada deteksi organisme pada sampel
tinja, hapusan secara sigmoidoskopi, sampel biopsi jaringn, atau kadang-kadang pada
aspirat abses hati.7
Bahan pemeriksaan mikroskopis dapat pula diperoleh darikerokan tukak pada
daerah mukosa rektum. Endoskopi dan biopsi pada daerah yang mencurigakan harus
dilakukan bila sampel tinja negatif dan kecurigaan tinggi terhadap kolitis amuba. Uji
hemaglutinasi indirek dapat membantu diagnosis amubiasis usus invasif dan abses
amuba hati dengan titer diagnostik sekurang-kurangnya 1:128 dilaporkan pada 98-
100% kasus.7
2.7 Pengobatan
Dua jenis obat digunakan untuk mengobati infeksi E.histolytica. Amubisid
lumen, seperti iodokuinol dan diloksanid furoat terutama efektif dalam lumen usus,
sedangkan metronidazol, klorokuin dan dehidroemetin efektif pada pengobatan
amubiasis invasif. Semu individu dengan trofozoid atau kista E.histolytica pada
tinjanya apakah bergejala maupun tidak, harus diobati.7
Diloksanid furoat merupakan obat pilihan untuk pembawa kista yang
asimtomatik. Dosis yang dianjurkan adalah 10 mg/kg/24 jam oral selama 10 hari.
Toksisitas jarang tetapi obat ini tidak boleh diberikan pada anak dibawah 2 tahun.
Amubisis invasif usus, hati atau organ lain memerlukan metronidazol yakni obat
amubisid jaringan yang dapat diberikan secara oral dengan dosis harian 50 mg/kgBB
selama 10 hari. Efek samping metronidazol meliputi rasa mual, diare, rasa kecap
6
logam dan leukopenia. Metronidazol juga bersifat amubisid lumen tetapi tidak
seefektif dibandingkan diloksanid furoat.7
2.8 Trikuriasis
Trichuris trichiura disebut juga cacing cambuk, termasuk golongan nematoda
yang hidup di sekum dan kolon ascending manusia. Pejamu utama T.trichiura adalah
manusia yang terinfeksi bila menelan telur yang mengandung larva. Cacing dewasa
jantan berukuran 30 sampai 45 mm, sedangkan ukuran cacing dewasa betina 35
sampai 50 mm. Bagian anterior yang berbentuk seperti cambuk dari cacing dewasa
terbenam di dalam dinding usus, dan bagian posterior berada bebas di lumen usus.
Cacing betina dewasa akan mulai bertelur dalam 60 sampai 70 hari setelah terinfeksi
dan bisa memproduksi 3000 sampai 20.000 telur setiap hari.8,9
Trichuris trichiura biasanya dianggap cacing nonpatogen dan bersifat
komensal didalam usus, tetapi dalam jumlah yang banyak dan daya tahan tubuh
penderita kurang baik tidak jarang menyebabkan kelainan tertentu. Cacing ini tidak
memiliki fase migrasi dalam jaringan, parasit ini tidak menyebabkan reaksi
sistemik.10
Siklus hidup T. trichiura dimulai dari tertelannya telur Trichuris yang
infektif. Telur tersebut akan menetas di usus halus dan mengeluarkan larva. Larva
kemudian berkembang di mukosa usus halus dan menjadi dewasa di sekum. Cacing
dewasa betina akan mulai bertelur dalam 60 sampai 70 hari setelah infeksi. Telur
yang belum berlarva akan keluar bersama dengan tinja dan menjadi infektif di tanah
dalam 10 sampai 14 hari. Telur yang infekif ini yang selanjutnya menjadi sumber
penularan bagi manusia lain.9
2.9 Etiologi
Infeksi disebabkan karena menelan telur parasit yang keluar bersama tinja
individu yang terinfeksi dan dewasa dalam 2-4 minggu jika kondisi kelembaban dan
7
suhu tanah optimal. Pada penelanan oleh manusia, telur trichuris menetas dan larva
menembus vili usus halus, dimana mereka menetap selama 3-10 hari sebelum secara
perlahan-lahan bergerak menuruni usus dan matang menjadi cacing dewasa. Habitat
akhir T. trichiura adalah sekum dan kolon asendes. Cacing tetap dalam usus dengan
melekatkan bagian anterior tubuhnya pada mukosa usus. Pengeluaran telur oleh
cacing betina dewasa mulai 1-3 bulan sesudah infeksi.11
Berdasarkan data dari WHO pada tahun 2005, jumlah anak usia sekolah di
Indonesia ada sebanyak 41.568.000 anak dengan seluruhnya dianggap mempunyai
risiko untuk terinfeksi Soil Transmitted Helminths (STH). Di seluruh dunia didapati
795 juta orang terinfeksi T.trichiura dan sebanyak 86 juta diantaranya merupakan
anak di bawah usia 5 tahun.12,13
Faktor lingkungan mempunyai pengaruh penting dalam proses transmisi dan
iklim tropis Indonesia sangat menguntungkan bagi perkembangan STH. Akan tetapi
adanya perbedaan ekologi di antara daerah Indonesia sendiri menyebabkan ada
perbedaan prevalensi infeksi. Prevalensi infeksi T.trichiura terendah di NTT yaitu
sebesar 1% sedangkan prevalensi tertinggi di Jakarta Utara dengan angka 79.64%.
Untuk Sumatera Utara angka prevalensi T.trichiura didapati sampai dengan 78.6%.13
8
Gambar siklus hidup Trichuris trichiura.14
Trikuriasis paling sering pada masyarakat pedesaan yang miskin dan
kekurangan fasilitas sanitasi. Manusia adalah hospes primer, prevalensi dan intensitas
infeksi paling tinggi terjadi pada anak. Penularan telur yang mengandung embrio
terjadi melalui tangan, makanan atau minuman yang terkontaminasi. Telur dapat pula
dibawa oleh lalat atau insekta lain.15
2.10 Manifestasi Klinis
Kebanyakan individu yang terinfeksi adalah asimtomatis, namus keluhan
perut yang samar-samar, kolik dan distensi abdomen telah dihubungkan dengan
infeksi. Trichuris dewasa mengisap sekitar 0,005 ml darah/cacing/hari. Namun hanya
infeksi anak yang berat yang menimbulkan anemia ringan, diare berdarah atau jarang,
prolapsus rektum. Kasus ini dirujuk sebagai trikuriasis infantil masif dan sering
disertai dengan shigellosis dan infeksi protozoa saluran pencernaan.15
Kebanyakan penderita hanya membawa jumlah cacing yang sedikit dan tidak
menunjukkan gejala. Manifestasi klinis yang bisa muncul termasuk disentri kronik,
tenesmus, pucat dan gangguan nutrisi lainnya, gagal tumbuh, gangguan
perkembangan dan kognitif. Pada infeksi berat bisa terjadi prolapsus recti.13
2.11 Diagnosis dan Pengobatan
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya telur atau cacing dewasa di tinja. 13 Metode yang direkomendasikan ialah pemeriksaan sampel tinja dengan teknik
hapusan tebal kuantitatif Kato-Katz. Metode ini dapat mengukur jumlah telur per
gram tinja.16,17 Obat pilihan untuk pengobatan T. trichiura adalahh Mebendazole 100 mg,
dua kali sehari selama tiga hari berturut-turut. Dosis tunggal 500 mg biasa diberikan pada
pengobatan massal. 9-13
2.12 Pencegahan
9
Perbaikan sanitasi dan kebersihan pribadi/lingkungan seperti penyediaan
toilet, cuci tangan, pemakaian alas kaki, dan mengkonsumsi makanan yang matang
juga diperlukan untuk mencegah terjadinya pencemaran tanah oleh tinja manusia
yang terinfeksi dengan cacing. Ini penting untuk mencegah transmisi lebih lanjut.2.
Albendazole 400 mg dosis tunggal untuk anak di atas usia 2 tahun. Untuk anak usia 1
sampai 2 tahun diberikan setengahnya.8,9
Daftar pustaka
1. Pedoman pengendalian cacingan. Keputusan Menteri Kesehatan Indonesia No. 424/MENKES/SK/VI/2006. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2006
2. Mardiana, Djarismawati. Prevalensi cacing usus pada murid sekolah dasar wajib belajar pelayanan gerakan terpadu pengentasan kemiskinan daerah kumuh di Wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2008;7:769-74.
3. Margono SS, Sasongko A, Mahaswiati M. School-based control of soil-transmitted helminthiases in Kepulauan Seribu, Jakarta. Dipresentasikan pada Simposium Parasitologi dan Penyakit Tropis, Denpasar, 25-26 August 2007.
4. Soedarmo PSS, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Amubiasis Dalam Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi ke 2. IDAI. 2010. hal 438-48
5. Brooke MM, Melvin DM. Morphology of diagnostic stage of intestinal paracites of man. Public health service publication. 1969
6. Lubis CP. Penggunaan obat anti amuba pengalaman di bangsal anak Rumah Sakit Pirngadi Medan. USU repository. 2005 hal 1-6
7. Bonomo RA, Salata RA. Penyakit protozoa. Dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15 Volume 2. 2000.EGC. hal 1186-89
8. Dent AE, Kazura JW. Trichuriasis (Trichuris trichiura). Dalam : Berhman RE, Kleigman RM, Jenson HB, penyunting. Nelsons textbook of pediatrics. Edisi 13. Philadelphia: Saunders;2007.h.1499-1500
9. Pasaribu S, Lubis CP. Trichuriasis (Infeksi cacing cambuk). Dalam : Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI, penyunting. Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Edisi 2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia;2008.h.376-9
10. Rampengan TH. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Edisi 2. EGC. 2008. hal 248-51
11. Kazura JW. Trikuriasis. Dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15 Volume 2. 2000. EGC. hal 1237
12. World Health Organization. Schistosomiasis and soil transmitted helminths country profile: Indonesia. Diunduh dari : www.who.int/wormcontrol/databank/Indonesia_ncp3.pdf. Agustus 2009
13. Brooker S, Clements AC, Bundy DA. Global epidemiology, ecology and control of soil-transmitted helminth infections. Adv Parasitol. 2006;62:221-61.
10
14. Pickering LK, Baker CJ, Long SS, McMillan JA. Trichuriasis. Dalam:. Red book: 2006 report of the committee on infectious disease. Edisi 27. American Academy of Pediatrics; 2006. h.674-5
15. Anonim. Biology Life cycle of paracites. http://www.mbfarr.biology.lsu.edu/Bio4105/Life%20cycles%20of%20parasites/ [diakses 26 Agustus 2013]
16. Henderson RH. Essential epidemiology. Dalam: Report of the WHO informal consultation on the use of chemotherapy for the control of morbidity due to soil-transmitted nematodes in humans. Geneva: WHO; 1996. h.12-22.
17. Montresor A, Crompton DWT, Hall A, Bundy DAP, Savioli L. Dalam: Guidelines for the evaluation of soil-transmitted helminthiasis and schistosomiasis at community level. Geneva: WHO; 1998. h.3 – 49.
11
BAB III
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama/No.MR : An. NK/ 822034
Umur : 5 tahun
Ayah/Ibu : Tn. Darmita / Ny. Ernawati
Alamat : Bangkinang – Kampar
Tgl masuk : 14 Agustus 2013
Alloanamnesis
Diberikan oleh : Orang tua kandung pasien
Keluhan Utama :
Tambah lemah sejak 1 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang :
Sejak 1 bulan SMRS pasien mengalami BAB berdarah, darah yang keluar
berwarna merah segar, dengan jumlah air lebih banyak daripada ampas dan
berlendir. Darah hanya keluar sewaktu BAB. Sekali BAB sebanyak ± ¼ gelas
aqua dengan jumlah darah sekitar seperempat sendok teh. Frekuensi BAB 2-3
kali sehari. Nyeri pada perut (+) tetapi tidak begitu hebat, rasa sakit ketika BAB
(+), demam (-),mual (+)
muntah (-). Adanya benjolan yang keluar masuk disangkal. Nafsu makan
berkurang. BAK tidak ada keluhan. Pasien sempat dibawa berobat ke Puskesmas
dan didiagnosis disentri, lalu diberi obat sirup tetapi tidak membaik.
12
Saat 2 minggu SMRS, orang tua pasien mengeluhkan anaknya terlihat pucat,
demam (-), mimisan (-), gusi berdarah (-), bercak-bercak merah di kulit (-), mata
kuning (-), BAB berwarna hitam (-). BAB seperti dempul (-), BAK berwarna teh
(-). Pasien terlihat tambah kurus.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Tidak pernah mengeluhkan hal yang sama sebelumnya
Orang tua pasien mengaku belum pernah memberikan anaknya obat cacing.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan sama dengan pasien
Riwayat orang tua:
Tidak ada orang tua yang mengalami keluhan yang sama
Ayah bekerja sebagai wiraswasta ibu bekerja sebagai ibu rumah tangga
Riwayat kehamilan:
Pasien anak lima dari 5 bersaudara. Lahir secara spontan saat kehamilan cukup
bulan di bidan.
Riwayat Makan dan Minum :
ASI : dari lahir sampai usia 1 tahun
Susu formula usia 6 tahun – 1,5 tahun
Nasi tim usia 1- 2 tahun
Nasi biasa 2 tahun sampai sekarang
Riwayat Imunisasi : BCG 1x, HepB 3x, DPT 3x, Polio 6x
Riwayat Pertumbuhan : BBL: 3100 gram, BBM: 13,9 kg PB: 101 cm
Riwayat Perkembangan :
Telungkup usia 3 bulan
Merangkak usia 5 bulan
13
Duduk usia 6 bulan
Berdiri usia 8 tahun
Berjalan usia 10 bulan
Bicara 1 – 2 kata usia 1 tahun
Keadaan Perumahan dan Tempat Tinggal :
Pasien tinggal di rumah permanen dihuni oleh 4 orang
Ventilasi dan pencahayaan cukup
Sumber air minum : Air galon
Sumber MCK adalah air sumur cincin
Pekarangan rumah cukup luas.
PEMERIKSAAN FISIK
Kesan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis
Tanda-tanda vital :
TD : 100/60 mmHg
Suhu : 37,2 ºC ( axilla )
Nadi : 104 x / menit regular, isi/ tegangan cukup
Nafas : 22 x / menit, retraksi (-)
Gizi
TB : 101 cm
BB : 13,9 kg
LILA : 14 cm
Lingkar kepala : 50 cm
Status gizi menurut BB/TB NCHS persentil 50
BB/TB(%)=(BB terukur saat ini)/(BB standar untuk TB terukur menurut
NCHS)x100%
(13,9:15,5) x 100% = 89,67 % Mild malnutrition
14
Kepala : Simetris, normosefali
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
Mata :
Konjungtiva : Anemis (+/+)
Sklera : Ikterik (-/-)
Pupil : Bulat, isokor Ø 2 mm/ 2 mm
Reflek cahaya : Langsung (+/+) tidak langsung (+/+)
Telinga : Sekret (-/-), serumen (+), dalam batas normal
Hidung : Sekret (-/-), edema mukosa(-), deviasi septum(-)
Mulut :
Bibir : Pucat, kering
Mukosa dalam bibir : Basah
Palatum : Utuh
Lidah : Tidak kotor
Gigi : Caries (+)
Tonsil : (T1/T1), faring hiperemis (-)
Leher :
KGB : Pembesaran KGB (-)
Kaku kuduk : Tidak ditemukan
Paru
Inspeksi : gerakan dada simetris kiri kanan, retraksi (-)
Palpasi : fremitus kiri sama dengan kanan
Perkusi : sonor dikedua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung :
Inspeksi : Ictus kordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus kordis teraba di SIK V LMCS,
Perkusi : Batas jantung kiri : linea midclavicularis sinistra
Batas jantung kanan : linea sternalis dextra
15
Auskultasi : Bunyi jantung I – II reguler, pansistolik murmur (+)
Abdomen
Inspeksi : datar, venektasi (-)
Palpasi : supel, distensi (-),nyeri tekan (-), nyeri lepas(-)
Hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi : timpani
Auskultasi : Bising usus (+) meningkat
Alat kelamin : perempuan, dalam batas normal
Anus :
Inspeksi : Tampak kemerahan, tidak tampak hemoroid maupun polip
Rectal toucher : Refleks spingter ani (+), mukosa licin, massa (-), nyeri (-),
Pada handschoen terdapat tinja warna kecokelatan, darah (-).
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, udem tungkai (-).
Status neurologis : Refleks fisiologis (+/+) normal
Refleks patologis (-/-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium :
Darah rutin (14 Agustus 2013)
Hb : 5,4 gr/dl Ureum : 13,9 mg/dl
Ht : 20,7% Kreatinin : 0,6 mg/dl
WBC : 11.100 mm3 ALT : 13 IU/L
PLT : 459.000 mm3 AST : 26,1 IU/L
GDS : 98 mg% BUN : 6,1 mg/dl
Urin :
Makroskopis : warna kuning muda, darah (-), endapan (-)
Mikroskopis : eritrosit 0/LPB, leukosit 0/LPB, epitel 0-1/LPB
Protein (-), Bilirubin (-), glukosa (-).
16
Feses :
Makroskopis : warna kecoklatan, encer, darah (+), lendir (+)
Mikroskopis : eritrosit 4-5/LPB, leukosit >5 /LPB, telur cacing T. trichiura (+),
Amuba (+)
HAL-HAL YANG PENTING DARI ANAMNESIS
Diare, darah (+), lendir (+)
demam (-), tenesmus (+)
lemas (+)
HAL-HAL YANG PENTING DARI PEMERIKSAAN FISIK
Konjungtiva anemis (+/+)
Pansistolik murmur (+)
HAL-HAL YANG PENTING LAB RUTIN
Hb : 5,4 gr/dl
DIAGNOSIS KERJA :
Anemia ec disentri amuba + trikuriasis
DIAGNOSIS GIZI :
Mild malnutrition
DIAGNOSIS BANDING :
invaginasi
polip
PEMERIKSAAN ANJURAN :
Kolonoskopi
Biopsi kolon
TERAPI :
IVFD RL 15 tpm (maksro)
Metronidazol 3x 250 mg tab
Trivexan 1 x cth 1
Maltofer sirup 1 x cth 1
17
TransfusiPRC sampai Hb 9 (80 cc hari pertama dilanjutkan 100 cc hari kedua)
GIZI
Kebutuhan kalori (kkal/hari) = Diet makanan biasa 90x15,5 = 1395 kkal/ hari
PROGNOSIS :
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad fungsionam : Bonam
18
Follow Up Pasien:
Hari/ tanggal
Subjektif Objektif Assestment Terapi
16 Agustus 2013
BAB cair berkurang, darah pada BAB sudah berkurang, demam (-), sesak (-), kembung (+),Mual (+), muntah (+)
KU: TSSKes: CMTTV:Hr 120x/menitRR 24x/menitT 37,2CKonjungtiva anemis (+/+)Tho: pansistolik murmur (+)Abd: BU (+) normal
Anemia+ hematoskezia ec amubiasis + trikuriasis
- metronidazol 3x250 mg tab-Trivexan 1x1 cth-Maltofer syr 1x1 cthTransfusi PRC 80 cc
17 Agustus 2013
BAB sudah padat, darah pada BAB sedikit, demam (-), tidak sesak , kembung(+), mual (+), muntah (-)
KU: TSSKes: CMTTV:Hr 98x/menitRR 24x/menitT 36,8CKonjungtiva anemis (+/+)Tho: pansistolik murmur (+)Abd: BU (+) normal
Anemia+ hematoskezia ec amubiasis + trikuriasis
- metronidazol 3x250 mg tab-Trivexan 1x1 cth-Maltofer syr 1x1 cthTransfusi PRC 100 cc
18 Agustus 2013
BAB padat, darah pada BAB sedikit, demam (-), sesak (-)
KU: TSSKes: CMTTV:Hr 96x/menitRR 22x/menitT 36,8CKonjungtiva anemis (+/+)Tho: pansistolik murmur (+)Abd: BU (+) normal
Labor: Hb 9,5
Anemia+ hematoskezia ec amubiasis + trikuriasis
- metronidazol 3x250 mg tab-Trivexan 1x1 cth-Maltofer syr 1x1 cthTransfusi PRC 100 cc
19
mg/dlHt 31,2%Leu 10.400 /ulTromb 371.000/ul
19 Agustus 2013
BAB padat, darah sudah tidak ada. sudah dapat berjalan-jalan.
KU: TSRKes: CMTTV:Hr 98x/menitRR 22x/menitT 37,2CKonjungtiva anemis (-/-)Tho: pansistolik murmur (-)Abd: BU (+) normal
Anemia+ hematoskezia ec amubiasis + trikuriasis
- metronidazol 3x250 mg tab-Trivexan 1x1 cth-Maltofer syr 1x1 cth
20 Agustus 2013
BAB normal, darah tidak ada, lendir tidak ada, mual dan muntah (-), kembung (-).
KU: TSRKes: CMTTV:Hr 98x/menitRR 20x/menitT 36,6CKonjungtiva anemis (-/-)Tho: pansistolik murmur (-)Abd: BU (+) normal
Anemia+ hematoskezia ec amubiasis + trikuriasis
- metronidazol 3x250 mg tab-Trivexan 1x1 cth-Maltofer syr 1x1 cth
21 Agustus 2013
BAB normal, darah tidak ada, lendir tidak ada, mual dan muntah (-), kembung (-).
KU: TSRKes: CMTTV:Hr 92x/menitRR 20x/menitT 36,6CKonjungtiva anemis (-/-)Tho: pansistolik murmur (-)Abd: BU (+) normal
Anemia+ hematoskezia ec amubiasis + trikuriasis
- metronidazol 3x250 mg tab-Trivexan 1x1 cth-Maltofer syr 1x1 cth
Pasien boleh pulang
20
BAB IV
PEMBAHASAN
Dari anamnesis didapatkan sejak 1 bulan SMRS pada pasien ini adanya BAB
berdarah berwarna merah segar. Darah hanya keluar sewaktu BAB saja. Pasien
terlihat pucat dan lemas, Keluhan disertai mual tetapi tidak diiringi muntah. Nafsu
makan berkurang.
Dua minggu SMRS pasien tampak pucat, pasien juga lemas, keluhan pasien
tidak disertai demam, manifestasi perdarahan (-). Pembesaran KGB (-). Pasien
terlihat tambah kurus. Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis.
Sklera ikterik (-), pembesaran KGB (-), pansistolik murmur. Pada pemeriksaan
abdomen tidak ditemukan adanya hepatomegali maupun splenomegali, massa (-).
Pada pemeriksaan anus didapatkan kemerahan disekitar anus, namun tidak tampak
adanya hemoroid. Pada saat Rectal toucher tidak dijumpai adanya masa, nyeri (-),
pada handschoen tidak dijumpai adanya darah. Status gizi mild malnutrition. Hasil
pemeriksaan laboratorium rutin menunjukan adanya anemia (Hb 5,4 mg/dl). Pada
pemeriksaan feses dijumpai adanya eritosit 4-5/LPB, leukosit > 5/LPB, amuba (+),
dan telur T. trichiura (+), sedangkan pada pemeriksaan urin tidak dijumpai kelainan.
Diagnosis banding invaginasi pada pasien ini karenakan pada invaginasi dapat
terjadi keluhan yang meliputi BAB berdarah dan berlendir disertai nyeri pada perut.
Pada pasien nyeri perut yang dirasakan tidak begitu kuat, sedangkan pada invaginasi
terjadi nyeri kolik yang begitu hebat disertai muntah. Pada pasien ini dalam
pemeriksaan abdomen tidak didapatkan adanya kelainan, sedangkan pada invaginasi
seharusnya akan didapatkan massa seperti sosis di bagian abdomen. Disamping itu
angka kejadi invaginasi lebih banyak dijumpai pada anak yang berumur 6 bulan-1
tahun.
Diagnosis banding polip rektum pada pasien ini dikarenakan pada polip
rektum juga sering dijumpai adanya darah pada feses, disertai diare dan lemas akibat
kehilangan darah, tetapi pada anamnesis tidak ada dikatakan benjolan yang keluar
21
masuk pada anus. Berdasarkan epidemiologi angka kejadian polip rektum sangat
jarang pada anak-anak dan lebih banyak setelah dekade ke 3.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik serta ditunjang dari hasil pemeriksaan
laboratorium rutin menunjukan adanya anemia (Hb 5,4 mg/dl) dan pemeriksaan feses
dijumpai adanya eritosit 4-5/LPB, leukosit > 5/LPB, amuba (+), dan telur T. trichiura
(+) menunjukkan bahwa penyebab anemia pada pasien ini adalah akibat infeksi
parasit usus. Hal ini sesuai dengan teori bahwa cacing Trichuris dewasa mengisap
sekitar 0,005 ml darah/cacing/hari. Sehingga apabila didapatkan kadar Hb pasien
sangat rendah (5,4 mg/dl) menunjukkan bahwa sebenarnya pada pasien sudah terjadi
infeksi yang kronik. Alasan ini didukung dengan pernyataan keluarga pasien bahwa
anaknya tidak pernah mengkonsumsi obat cacing. Adapun untuk menyingkirkan
diagnosis banding diperlukan pemeriksaan kolonoskopi dan biopsi kolon.
22