buruh

25
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Dilihat dari sejarah perkembangannya, eksistensi gerakan buruh di Indonesia tidak terlepas dari pasang surut kehidupan perpolitikan bangsa Indonesia yang terjadi dari masa ke masa. Eksistensi gerakan buruh dan beragam aktivitas politik yang menyertainya, tumbuh bersamaan dengan kehadiran sistem kolonial 1 , terutama melalui kebijakan liberalisasi ekonomi pemerintah Hindia Belanda tahun 1870 yang dikenal sebagai era cultuurstelsel. Guna menopang sistem kapitalisme kolonial ala cultuurstelsel ini, pemerintah Hindia Belanda menyusun serangkaian paket kebijakan liberal: pembukaan lahan perkebunan, pendirian pabrik, pembangunan infrastruktur, eksplorasi pertambangan, mengundang investasi asing, serta mendatangkan ribuan tenaga kerja untuk dipekerjakan pada proyek-proyek pertanian, perkebunan, dan infrastruktur yang diproduksi oleh sistem kolonial Belanda. Liberalisasi ekonomi pada akhirnya menghasilkan sebuah kelas sosial baru bernama buruh. Transformasi sosial rakyat Hindia Belanda praktis menghadirkan kantong-kantong industri baru, pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, serta masuknya beragam 1 Untuk bagian sejarah gerakan buruh Indonesia ini, penulis telah menggunakan informasi yang diberikan dalam karya-karya berikut ini: 1. Cahyono, edi dan soegiri DS. 2005. Gerakan Serikat Buruh: Jaman Kolonial Hindia Belanda Hingga Orde Baru. Jakarta: Hasta Mitra 2. Tedjasukmana, Iskandar. 2008. Watak Politik Gerakan Serikat Buruh Indonesia. Jakarta: TURC 3. Jurnal Sosial Demokrasi: Buruh dan Politik. Volume 10 Januari-Maret 2011. 1

Upload: wahyudi-rambe

Post on 07-Dec-2015

6 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

sosiologi perburuhan

TRANSCRIPT

Page 1: buruh

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dilihat dari sejarah perkembangannya, eksistensi gerakan buruh di Indonesia tidak

terlepas dari pasang surut kehidupan perpolitikan bangsa Indonesia yang terjadi dari masa ke

masa. Eksistensi gerakan buruh dan beragam aktivitas politik yang menyertainya, tumbuh

bersamaan dengan kehadiran sistem kolonial1, terutama melalui kebijakan liberalisasi

ekonomi pemerintah Hindia Belanda tahun 1870 yang dikenal sebagai era cultuurstelsel.

Guna menopang sistem kapitalisme kolonial ala cultuurstelsel ini, pemerintah Hindia Belanda

menyusun serangkaian paket kebijakan liberal: pembukaan lahan perkebunan, pendirian

pabrik, pembangunan infrastruktur, eksplorasi pertambangan, mengundang investasi asing,

serta mendatangkan ribuan tenaga kerja untuk dipekerjakan pada proyek-proyek pertanian,

perkebunan, dan infrastruktur yang diproduksi oleh sistem kolonial Belanda.

Liberalisasi ekonomi pada akhirnya menghasilkan sebuah kelas sosial baru bernama

buruh. Transformasi sosial rakyat Hindia Belanda praktis menghadirkan kantong-kantong

industri baru, pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, serta masuknya beragam ideologi Barat

(nasionalisme, sosialisme, dan marxisme) yang dibawa oleh para imigran Eropa. Rangkaian

proses transformasi sosial itu memiliki andil besar dalam melahirkan kesadaran kelas dalam

struktur ekonomi masyarakat kolonial. Pada fase awal abad ke-20, gerakan buruh mengalami

transformasi politik dan proses radikasiliasi gerakan. Masifnya aktivitas mogok yang

diorganisir berbagai Serikat Buruh (SB) membuat gerah pemerintah kolonial. Tak sedikit para

tokoh buruh yang kemudian ditangkap dan dipenjarakan pemerintah kolonial. Tahun 1930,

Serikat Kaum Buruh Indonesia (SKBI) dibubarkan karena dicurigai mendukung gerakan

kebangsaan. Pemerintah kolonial Belanda menilai pengorganisasian SB yang radikal sebagai

ancaman rust and orde, dan menuduh gerakan SB ditunggangi kaum “komunis”. Dampak

dari “pembersihan” organisasi-organisasi buruh progresif pada akhirnya membuat gerakan

buruh tak lagi berperan penting dalam gerakan kebangsaan.

1 Untuk bagian sejarah gerakan buruh Indonesia ini, penulis telah menggunakan informasi yang diberikan dalam karya-karya berikut ini:

1. Cahyono, edi dan soegiri DS. 2005. Gerakan Serikat Buruh: Jaman Kolonial Hindia Belanda Hingga Orde Baru. Jakarta: Hasta Mitra

2. Tedjasukmana, Iskandar. 2008. Watak Politik Gerakan Serikat Buruh Indonesia. Jakarta: TURC3. Jurnal Sosial Demokrasi: Buruh dan Politik. Volume 10 Januari-Maret 2011.

1

Page 2: buruh

Memasuki masa pendudukan Jepang (1941-1945), praktis tak ada satu pun kekuatan

politik—termasuk gerakan buruh yang bisa bertahan. Pada masa ini, seluruh organisasi

perjuangan politik rakyat dibubarkan dan seluruh potensi tenaga rakyat dikerahkan pada

proyek “kerja paksa” guna mendukung pengadaan pangan dan logistik perang bala tentara

Jepang.

Pasca Proklamasi, di tengah-tengah eforia revolusi kemerdekaan, organisasi-

organisasi SB kembali menggeliat dengan lahirnya belasan federasi SB di awal 1950 hingga

akhir 1960-an. Hampir seluruh SB masa ini berafiliasi dengan partai politik, seperti Sentral

Organisasi Buruh Indonesia (SOBSI) dengan PKI, Serikat Buruh Muslimin Indonesia

(Sarbumusi) dengan NU, Gabungan Serikat-serikat Buruh Islam Indonesia (Gasbiindo)

dengan Parmusi, Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia (SOBRI) dengan Murba, dan

Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) dengan militer/TNI. Pada era ini,

relasi antar SB saling bersaing, sebangun dengan sistem kepartaian Indonesia saat itu yang

sangat kompetitif dan cenderung konfliktual. Di bawah pemerintahan Presiden Soekarno,

gerakan buruh tak hanya mendapat ruang gerak cukup luas dari pemerintah, namun memiliki

peran besar dalam mempengaruhi kebijakan politik negara. Pemerintahan Soekarno dikenal

sebagai pemerintahan yang respek terhadap gerakan buruh dan ideologi politik sayap kiri.

Jatuhnya pemerintahan Soekarno tahun 1966, telah diikuti oleh pemenjaraan ratusan

ribu anggota PKI dan organisasi-organisasi afiliasinya (SOBSI, Barisan Tani Indonesia/BTI,

ormasormas sayap kiri, dan pihak-pihak yang dianggap dekat dengan Soekarno). Transisi

politik Orde Lama ke Orde Baru menjadi titik dari keruntuhan gerakan buruh sebagai pilar

penting kekuatan politik nasional. Setelah berhasil membubarkan PKI dan organisasi-

organisasi afiliasinya, melalui berbagai intimidasi dan kekerasan politik, pemerintah Orde

Baru melanjutkan upaya penataan kehidupan politik, termasuk merestrukturisasi organisasi-

organisasi perburuhan yang ada.

Penataan gerakan buruh masa Orde Baru setidaknya dapat dibagi ke dalam tiga fase

berikut. Pertama, fase 1966 sampai awal 1970-an sebagai fase pelarangan terhadap segala

bentuk pengorganisasian SB, karena hampir semua SB adalah produk era kepemimpian

Soekarno yang bersimpati pada gerakan politik sayap kiri. Kedua, fase 1970-1990 sebagai

fase pengambilalihan (take over) seluruh kekuatan SB di bawah kendali militer. Politik

pengendalian militer bahkan masuk sampai ke tempat kerja, mengintervensi proses pemilihan

pemimpin SB, membatasi partisipasi politik buruh, mengendalikan tuntutan kenaikan upah

(termasuk tuntutan atas keamanan bekerja), hingga menghindari tumbuhnya SB yang

berwatak kritis dan radikal. Ketiga, fase 1990-1998, fase dimana kebijakan ekonomi pasar

2

Page 3: buruh

menjadi “kedok” pemerintah untuk melanjutkan proyek kooptasi dan eksploitasi atas

kekuatan politik buruh melalui konsep Hubungan Industrial Pancasila (HIP). HIP

dimaksudkan sebagai instrumen kontrol negara sekaligus sarana penyeimbang aspirasi

negara-negara kreditor yang meminta agar pemerintahan Soeharto bersikap lebih bersikap

responsif-akomodatif terhadap tuntutan buruh.

Pasca runtuhnya rezim pemerintahan Soeharto, kebebasan politik yang tersedia di

masa reformasi telah membuka kesempatan bagi kebangkitan gerakan sosial di Indonesia. era

reformasi menyediakan struktur kesempatan politik yang lebih terbuka. Termasuk di

dalamnya, sebuah ruang politik yang lebih ramah bagi gerakan buruh. Menyusul reformasi

1998, ada begitu banyak organisasi buruh yang tumbuh. Tidak ada lagi pembatasan yang

bersifat politik. siapa saja bisa membentuk organisasi buruh. Dengan adanya Undang-Undang

Nomor 21 Tahun 2000 tentang serikat pekerja/serikat buruh, ruang kebebasan bagi buruh

untuk memperjuangkan kepentingannya terbuka lebar. Demonstrasi buruh sering terjadi di

berbagai tempat dengan berbagai tuntutan. Akan tetapi, sejauh mana iklim kebebasan itu

secara optimal dimanfaatkan buruh dan serikat buruh untuk sebesar-besarnya pembangunan

gerakan buruh? Pertanyaan inilah yang membuat penulis tertarik untuk mencari jawabannya

dengan menggunakan perspektif Karl Marx. Sebab, lingkungan politik dan rentang persoalan

yang dihadapi gerakan buruh di era reformasi sudah jelas berbeda dengan era orde baru. Jika

di era Orde Baru salah satu isu besarnya adalah bagaimana memberi ruang pada gerakan

buruh di tengah politik represif pemerintah berkuasa, maka pada era reformasi hal itu tidak

lagi menjadi isu besar. Akan tetapi, bagaimana membuat gerakan buruh benar-benar efektif

dan semakin relevan di tengah kompleksitas persoalan buruh dan hubungan kerjalah yang

menjadi isu besar di era reformasi ini. Lalu, mengapa penulis menggunakan perspektif Karl

Marx untuk menjawab pertanyaan di atas? Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis bertumpu

pada pernyataan Karl Marx tentang Kesadaran Kelas. Menurut Karl Marx, yang menentukan

perkembangan masyarakat bukan kesadaran. Jadi bukan apa yang dipikirkan masyarakat

tentang dirinya sendiri yang menggerakkan masyarakat tersebut, melainkan keadaan

masyarakat yang nyata tersebutlah yang akan menggerakkan masyarakat.

3

Page 4: buruh

1.1. Rumusan Masalah

Berdasarkan deskripsi di atas, yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini

adalah bagaimana situasi gerakan buruh Indonesia pasca reformasi bila dikaji dengan

menggunakan perspektif Karl Marx.

1.1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan penetapan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah

untuk mengetahui bagaimana situasi gerakan buruh Indonesia pasca reformasi bila dikaji

dengan menggunakan perspektif Karl Marx.

1.1. Manfaat Penulisan

Manfaat penelitian ini adalah manfaat teoritis. Manfaat teoritis dari hasil penelitian

ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu, yakni memberi kontribusi dalam

memaparkan bagaimana situasi gerakan buruh Indonesia pasca reformasi bila dikaji dengan

menggunakan perspektif Karl Marx.

4

Page 5: buruh

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Situasi Permasalahan Perburuhan dan Gerakan Buruh di

Indonesia Pasca Reformasi

Menyusul Reformasi 1998, ada begitu banyak organisasi buruh yang tumbuh di

Indonesia. Keadaan ini merupakan wujud dari kebebasan politik yang tersedia di masa

reformasi. Pasca dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 2000 tentang serikat pekerja/serikat

buruh2, siapa saja bisa membentuk organisasi buruh. Tidak ada lagi pembatasan yang bersifat

politik. kebebasan bagi buruh untuk memperjuangkan kepentingannya terbuka lebar. Bahkan

sebagai wujud dari kebebasan ini, demonstrasi buruh sering terjadi di berbagai tempat dengan

berbagai tuntutan. Akan tetapi, walaupun organisasi buruh telah menghadapi masa kebebasan

berpolitik, gerakan buruh pasca reformasi menghadapi problem yang lebih kompleks

dibandingkan dengan masa Orde Baru. Jika di era Orde Baru salah satu problemnya adalah

bagaimana memberi ruang pada gerakan buruh di tengah politik represif pemerintah

berkuasa, pada era reformasi hal itu tidak lagi menjadi permasalahan yang besar. Akan tetapi,

bagaimana membuat gerakan buruh benar-benar efektif dan semakin relevan di tengah

kompleksitas persoalan buruh dengan hubungan kerjalah yang menjadi isu besar di era

reformasi ini. Hal ini terkait dengan kian maraknya kebijakan pasar kerja fleksibel (sistem

kerja kontrak) yang menjadi tuntutan rezim globalisasi neoliberal. Sistem kerja kontrak

merupakan agenda rezim dagang internasional, sebagai respons pengusaha terhadap tekanan

pasar yang kian liberal.

Semakin melebarnya persaingan dalam dunia bisnis, membuat pengusaha berupaya

untuk meningkatkan produk yang mereka hasilkan (baik kuantitas maupun kualitas) dengan

melakukan efisiensi biaya produksi. Tercapainya efisiensi biaya produksi ini, pengusaha

peroleh dengan memberlakukan sistem kerja kontrak (outsourcing) kepada pegawai atau

karyawan-karyawannya.

Outsourcing adalah praktek dalam dunia bisnis yang muncul sejak akhir 1980-an dan

menjadi strategi utama bisnis dalam iklim kompetisi yang ketat. Outsourcing di definisikan

2 UU No 21 Tahun 2000 tentang serikat pekerja/serikat buruh memberi kemudahan dalam mendirikan serikat pekerja atau serikat buruh. Pasal 5 ayat 2 UU tersebut mengatur serikat buruh atau serikat pekerja dapat dibentuk oleh minimal 10 orang pekerja/buruh. Minimal enam serikat pekerja telah dapat membentuk satu federasi serikat pekerja/buruh dan minimal 3 federasi sudah bisa membentuk satu konfederasi serikat pekerja/serikat buruh.

5

Page 6: buruh

sebagai proses mengalihdayakan atau memindahkan atau memborong kegiatan usaha ke

pihak ketiga (Indrasari, Rina, suhadmadi; dalam Algifari, 11)

Dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dijelaskan

bahwa sistem outsourcing atau alih daya merupakanpemborongan atau penyediaan jasa

tenaga kerja yang di mana badan penyedia jasatersebut melakukan proses administratif dan

manajemen berdasarkan definisi atau kriteria yang sudah disepakati oleh para pihak yang

berkerjasama (perusahaan dan penyedia jasa).

Pelaksanaan sistem outsourcing dapat memberikan manfaat bagi pemerintah,

pengusaha dan pekerja/buruh. Manfaat untuk pemerintah adalah membantu mengembangkan

dan mendorong proses pertumbuhan ekonomi secara nasional. Bagi pengusaha dan

perusahaan adalah meningkatkan fokus perusahaan, membagi resiko, menciptakan dana

segar, mengurangi dan mengendalikan biaya operasi, serta memperoleh sumber daya yang

tidak dimiliki sendiri. Untuk pekerja, manfaat yang diperoleh adalah aktivitas industri di

daerah akan mendorong kegiatan ekonomi penunjang di lingkungan masyarakat,

mengembangkan infrastruktur sosial masyarakat, budaya kerja, disiplin dan peningkatan

kemampuan ekonomi, mengatasi pengangguran, meningkatkan kemampuan dan budaya

perusahaan dilingkungan masyarakat.

Pada perkembangannya, ternyata sistem outsourcing banyak ditolak oleh

pekerja/buruh karena dianggap merugikan dan hanya menguntungkan perusahaan saja. Ini

disebabkan karena sistem outsourcing membuat perusahaan lebih memilih mengangkat

pekerja secara outsourcing daripada menjadikan mereka sebagai pekerja tetap. Karena

melalui outsourcing perusahaan daat menghemat banyak pengeluaran, seperti pengeluaran

ekonomi perusahaan, tunjangan-tunjangan yang berkaitan dengan kesejahteraan pekerja. Jadi,

dalam praktiknya, penerapan sistem kerja kontrak ini hanya memindahkan pekerja dari satu

perusahaan ke perusahaan lain dengan pekerjaan yang sama selama bertahun-tahun.

Tidak hanya itu, sistem kerja outsourcing berdampak pada buruh outsourcing yang

gajinya di bawah upah minimum. Tidak ada tunjangan, asuransi, jaminan sosial, bahkan

terjadinya pemotongan gaji. Dengan demikiaan, keadaan ini menjadi salah satu pemicu

adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran terhadap pekerja/buruh tetap dan

mengganti pekerja/buruh berstatus kontrak.

Selain masalah outsourcing, masalah yang dihadapi pekerja/buruh adalah upah.

Seperti masalah Upah Minimum Provinsi (UMP), hal ini seperti sudah menjadi program

tahunan bagi organisasi-organisasi pekerja/buruh untuk menuntut kenaikan gaji. Aksi yang

dilakukan pekerja/buruh beragam, ada yang melakukan aksi dengan diskusi, dialog tripartit

6

Page 7: buruh

(pemerintah, pengusahan, pekerja/buruh), ada juga aksi demonstrasi. Semua itu dilakukan

sebagai cara protes kepada pemerintah agar dapat mengeluarkan putusan kenaikan upah.

Untuk permasalahan upah, aksi yang dilakukan organisasi buruh dengan mendesak

pemerintah untuk menaikkan upah minimum dapat diaktakan berhasil.

Dengan desakan pekerja/buruh yang dilakukan di DKI Jakarta pada Tahun 2012

membuat pemerintah DKI Jakarta mengeluarkan Keputusan tentang Peraturan Gubernur

Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 189 Tahun 2012 Tentang Upah Minimum

Provinsi Tahun 2013 sebesar Rp.2.200.000 tiap bulannya. Kenaikan upah pekerja/buruh pada

tahun ini sebesar 43,8% dari tahun 2012 yang berkisar Rp.1.529.150.

Dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini, kebijakan upah minimum adalah satu-

satunya kebijakan pemerintah Indonesia yang dengan secara langsung dikaitkan dengan upah

pekerja/buruh dan secara eksplisit merupakan hasil yang diperoleh dari gerakan buruh. Maka

wajar saja jika semua pihak (pemerintah pengusaha, buruh) menempatkan kenaikan upah

sebagai isu sentral, bahkan tidak sedikit yang menganggap upah minimum adalah obat ampuh

bagi masalah kesejahteraan pekerja/buruh.

Dari gambaran singkat tentang permasalahan perburuhan di Indonesia pasca

reformasi diatas, maka penulis dapat merumuskan beberapa kelemahan bangsa ini dalam

menghadapi masalah perburuhan, yaitu: Pertama, undang-undang perburuhan yang kita

miliki tidak memadai. Bentuk-bentuk hubungan ekonomi yang lebih cepat berubah tidak bisa

diakomodasi dengan cepat oleh sebuah ketentuan perundang-undangan maupun ketentuan

lain. Kedua, pemerintah juga tidak memiliki kemauan politik yang kuat untuk melakukan

perlindungan yang efektif pada buruh. Dalam sejumlah kebijakan pemerintah bahkan terkesan

berdiri memihak kepentingan pengusaha atas nama investasi. Misalnya, pemerintah relatif

mendukung gagasan fleksibilitas kerja. Bahkan dalam kasus yang paling baru, pemerintah

dalam bentuk Surat Keputusan Bersama (SKB) empat menteri mencoba mengendalikan

besaran upah minimum regional agar tidak melebihi pertumbuhan ekonomi.

Pada dua permasalahan tersebutlah seharusnya gerakan buruh relevan untuk

dilakukan. Perlu bagi gerakan buruh (serikat buruh, aktivis buruh dan buruh) untuk masuk ke

dalam dunia perpolitikan bangsa ini. Tujuannya adalah agar serikat buruh, aktivis buruh dan

buruh dapat secara langsung ikut ambil bagian dalam merumuskan kebijakan perburuhan

bangsa ini. Hingga pada akhirnya kebijakan pemerintah dalam bentuk undang-undang dan

peraturan pemerintah lainnya dapat memihak pada buruh bangsa ini, dan bukannya pada

investor. Jadi, bagaimana situasi gerakan buruh dalam bentuk serikat buruh di Indonesia

pasca reformasi?

7

Page 8: buruh

Ternyata, kebebasan politik yang tersedia di masa reformasi tidak sepenuhnya

melahirkan kebaikan terhadap gerakan buruh di negara ini. Begitu banyaknya organisasi

buruh yang tumbuh seiring dengan tidak ada lagi pembatasan yang bersifat politik di era

reformasi ini rupanya memberikan kelemahan bagi gerakan buruh itu sendiri. Kekuatan buruh

yang terpencar dalam berbagai blok organisasi buruh dan pemimpin buruh yang juga

terpencar dalam aliansi politik yang tidak terpola ternyata membuat kekuatan buruh belum

menjadi kekuatan politik yang penting di negara ini. Singkatnya, Kebebasan berserikat yang

selama ini menjadi jaminan kepada masyarakat rupanya masih kerap disalahartikan

masyarakat untuk mengembangkan ideologinya.

Rekson Silaban dalam sebuah kegiatan peluncuran bukunya yang berjudul Reposisi

Gerakan Buruh mengatakan: “Saya melihat terjadi pembengkakan serikat buruh yang

awalnya tiga membengkak menjadi 130 serikat. Makanya harus ada dasar ideologi sebuah

gerakan dari serikat buruh itu". Selain itu, Rekson juga mengatakan bahwa pelatihan yang

dilakukan serikat buruh lebih menitikberatkan pada hak-hak normatif, seperti upah minimum,

perjanjian kerja, jaminan sosial, tetapi kurang menelaah akar masalahnya. Gerakan buruh

Indonesia umumnya kuat dalam mobilisasi penolakan, tetapi lemah di tahap pengajuan

alternatif. Kalaupun ada alternatif hanya seputar besaran angka rupiah saat menuntut upah

minimum (Kompas, 19 Maret 2009).

2.2. Analisis Situasi Permasalahan Buruh dan Gerakan Buruh di

Indonesia Pasca Reformasi dengan Menggunakan Perspektif

Karl Marx

2.2.1. Dinamika Perkembangan Kapitalisme Menurut Karl

Marx

Ada dua perkembangan yang khas bagi dinamika kapitalisme. Yang pertama adalah

kecondongan untuk menyederhanakan susunan kelas-kelas sosial, dan yang kedua adalah

pembentukan proletariat sebagai kelas militan dan revolusioner.

a. Kelas Atas dan Kelas Bawah

Menurut Karl Marx, pelaku-pelaku utama dalam perubahan sosial bukanlah

individu-individu tertentu, melainkan kelas-kelas sosial. Ia memberitahukan kepada kita

secara mendetail bahwa kelas-kelas itu tidak dibedakan berdasarkan pendapatan yang mereka

8

Page 9: buruh

hasilkan. Sekalipun anggota-anggota dari kelas yang berbeda secara khas akan mendapatkan

penghasilan yang tidak sama, mereka tidak harus dimasukkan ke dalam kelas-kelas yang

berbeda, dan sekalipun mereka bisa dimasukkan ke dalam kelas-kelas tersendiri,

penggolongan itu tidak mesti dipahami bahwa mereka termasuk dalam kelas-kelas yang

berbeda. Marx juga menolak gagasan bahwa kelas-kelas dapat dibedakan berdasarkan

pekerjaan dari anggota-anggotanya yaitu dengan melihat hakikat spesifik kerja yang mereka

lakukan. Konteks kerja, bukan kerja itu sendiri, merupakan parameter suatu kelas. Dengan

kata lain, pemilikan pribadi atas alat-alat produksi menjadi dasar utama pembagian

masyarakat dalam kelas sehingga dalam setiap masyarakat terdapat kelas-kelas yang berkuasa

dan kelas-kelas yang dikuasai.

Dalam uraiannya, Marx menyebut dua kelas saja yang paling berpengaruh, yaitu

kaum kapitalis atau pemilik modal dan kaum buruh atau mereka yang hidup dengan menjual

tenaga kerja sendiri (Suseno, 1999:113). Yang pertama memiliki sarana-sarana kerja,

sedangkan yang kedua hanya memiliki tenaga kerja mereka sendiri. Dalam sistem produksi

kapitalis, dua kelas ini saling berhadapan. Keduanya saling membutuhkan: buruh hanya dapat

bekerja apabila pemilik membuka tempat kerja baginya. Majikan hanya beruntung dari pabrik

dan mesin-mesin yang dimiliki apabila ada buruh yang mengerjakannya. Tetapi saling

ketergantungan ini tidak seimbang. Buruh tidak dapat hidup kalau ia tidak bekerja. Ia tidak

dapat bekerja kecuali diberi pekerjaan oleh seorang pemilik. Sebaliknya, meskipun si pemilik

tidak mempunyai pendapatan kalau pabriknya tidak berjalan, tetapi ia masih bisa bertahan

lama. Ia dapat hidup dari modal yang dikumpulkannya selama pabriknya bekerja atau ia dapat

menjual pabriknya. Oleh karena kelas-kelas pekerja tergantung dari sarana agar dapat hidup,

kelas-kelas pekerja dapat dikontrol oleh kelas-kelas pemilik. Itu berarti bahwa para pemilik

dapat menghisap tenaga kerja para pekerja, jadi mereka hidup dari penghisapan tenaga

mereka yang harus bekerja. Kelas-kelas pemilik merupakan kelas-kelas atas dan dan kelas-

kelas pekerja merupakan kelas-kelas bawah dalam masyarakat (Suseno, 1994:266). Jadi

menurut Marx ciri khas semua pola masyarakat sampai sekarang ialah bahwa masyarakat

dibagi ke dalam kelas-kelas atas dan bawah dan bahwa struktur proses ekonomi tersusun

sedemikian rupa sehingga yang pertama dapat hidup dari penghisapan tenaga kerja yang

kedua.

Dengan demikian, kelas pemilik adalah kelas yang kuat dan para pekerja adalah

kelas yang lemah. Para pemilik dapat menetapkan syarat-syarat bagi mereka yang mau

bekerja, dan bukan sebaliknya. Kaum buruh yang mati-matian mencari pekerjaan terpaksa

menerima upah dan syarat-syarat kerja lain yang disodorkan oleh si kapitalis. Marx melihat

9

Page 10: buruh

bahwa inti dari kapitalisme adalah pencapaian keuntungan yang sebanyak-banyaknya.

Pertanyaan dasar yang diajukan Marx di sini adalah cara apa yang dipakai oleh sistem ini

untuk memperoleh keuntungan yang dimaksud (Ramly, 2000:151). Dari sini Marx dalam

analisisnya sampai pada kesimpulan bahwa keuntungan itu diperoleh lewat pertukaran

manusiawi, namun sistem ini dalam mekanisme pertukaran barang dan jasa selalu

menguntungkan pemilik modal melalui cara yang tidak lazim, yaitu penghisapan.

Terkait dengan situasi perburuhan di Indonesia, sistem outsourcing dalam

prakteknya yang ternyata lebih menguntungkan pihak perusahaan merupakan wujud dari sifat

kapitalisme yang selalu bertujuan untuk mencari untung yang sebesar-besarnya. Karena

melalui sistem outsourcing perusahaan dapat menghemat banyak pengeluaran, seperti

pengeluaran ekonomi perusahaan, tunjangan-tunjangan yang berkaitan dengan kesejahteraan

pekerja. Jadi, dalam praktiknya, penerapan sistem kerja kontrak ini hanya memindahkan

pekerja dari satu perusahaan ke perusahaan lain dengan pekerjaan yang sama selama

bertahun-tahun. Oleh karena itu, Marx menyimpulkan bahwa keuntungan kapitalis itu

diperoleh lewat pertukaran manusia, namun sistem ini dalam mekanisme pertukaran barang

dan jasa selalu menguntungkan pemilik modal melalui cara penghisapan. Dengan demikian,

kelas pemilik adalah kelas yang kuat dan para pekerja adalah kelas yang lemah. Para pemilik

dapat menetapkan syarat-syarat bagi mereka yang mau bekerja (seperti outsourcing, upah),

dan bukan sebaliknya. Kaum buruh yang mati-matian mencari pekerjaan terpaksa menerima

upah dan syarat-syarat kerja lain yang disodorkan oleh si kapitalis.

b. Pemelaratan Kelas Proletariat

Hukum keras kapitalisme adalah persaingan. Makin besar laba, makin baik harapan

sebuah perusahaan untuk menang dalam persaingan itu. Karena itu, untuk dapat menang

dalam sebuah persaingan, kaum kapitalis berusaha untuk terus memperluas produksi dan

mengalahkan saingannya dengan cara menurunkan harga produk mereka. Untuk dapat

menjual produk mereka dengan lebih murah, mereka mencoba untuk terus menerus menekan

upah kaum buruh. Karena adnya mekanisme itu dalam kapitalisme, proletariat menjadi

semakin miskin.

Apabila ada buruh yang menuntut kenaikan upah, kapitalis tidak takut dengan hal

itu. Sebab, Marx mengatakan bahwa selalu ada buruh yang belum menemukan pekerjaan dan

bersedia menggantikan buruh yang sedang bekerja. Adanya tentara industri cadangan itu

10

Page 11: buruh

memperlemah daya juang kaum buruh, karena mereka yang mogok seperlunya digantikan

oleh buruh yang mencari pekerjaan (Suseno, 1999: 200).

2.2.2. Kesadaran Kelas

Menurut Karl Marx, yang menentukan perkembangan masyarakat bukan kesadaran.

Jadi bukan apa yang dipikirkan masyarakat tentang dirinya sendiri yang menggerakkan

masyarakat tersebut, melainkan keadaan masyarakat yang nyata tersebutlah yang akan

menggerakkan masyarakat:

“berlawanan dengan filsafat Jerman yang turun dari surga ke bumi, di sini kami

naik dari bumi ke surga. Artinya, kami tidak bertolak dari apa yang dikatakan

orang, dari bayangan dan cita-cita orang, jadi tidak dari orang yang diperkatakan,

dipikirkan, dibayangkan, dicita-citakan untuk sampai kepada manusia nyata;

(melainkan) kami bertolak dari manusia yang nyata dan aktif, dan dari proses hidup

nyata merekalah perkembangan refleksi-refleksi serta gema-gema ideologis proses

hidup itu dijelaskan” (GI, MEW; dalam Magnis Suseno, 139).

Dari anggapan Marx tersebut memuat dua pernyataan: pertama, sebuah pernyataan

tentang keadaan masyarakat; kedua, pernyataan bahwa keadaan itulah yang menentukan

kesadaran manusia dan bukanya sebaliknya. Keadaan sosial manusia adalah produksinya,

pekerjaannya. “manusia ditentukan oleh produksi mereka, baik apa yang mereka produksikan,

maupun cara mereka berproduksi. Jadi, individu-individu tergantung pada syarat-syarat

material produksi mereka” (GI, MEW: dalam Suseno, 1999: 139). Di lain tempat, Marx

menjelaskan: “Penggilingan dengan tangan menghasilkan masyarakat tuan-tuan feodal,

penggilingan dengan uap menghasilkan masyarakat kaum kapitalis industrial” (MP, MEW;

dalam Suseno, 1999: 139). Jadi, dari pernyataan tersebut, Marx ingin mengatakan bahwa cara

manusia menghasilkan apa yang dibutuhkannya untuk hidup itulah yang disebut dengan

keadaan manusia.

Terkait dengan permasalahan buruh dan gerakan buruh di Indonesia pasca reformasi.

Keadaan buruh yang masih terpencar-pencar dalam berbagai aliansi tersebut secara tidak

langsung berpengaruh terhadap tidak timbulnya kesadaran buruh untuk keluar dari

penindasan yang dirasakan dengan memperkuat kekuatan politiknya atau revolusi proletariat

menurut Karl Marx. Sebab, buruh Indonesia masih jatuh dalam kepentingan-kepentingan

pribadi, misalnya seperti yang di kemukakan oleh Rekson mengenai tuntutan-tuntutan buruh

yang masih bersifat normatif seperti tuntutan buruh terhadap kenaikan upah minimum,

11

Page 12: buruh

perjanjian kerja; jaminan sosial; dan tuntutan buruh lainnya yang kurang menelaah akar

masalahnya. Sehingga apa yang menjadi pernyataan Marx berikut ini benar-benar terjadi di

Indonesia: kalau rakyat betul-betul ditindas, dia tentu ingin berevolusi, sedangkan apabila dia

tidak mau berevolusi, kondisinya memang belum matang.

12

Page 13: buruh

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

1. gerakan buruh pasca reformasi menghadapi problem yang lebih kompleks

dibandingkan dengan masa Orde Baru. Jika di era Orde Baru salah satu problemnya

adalah bagaimana memberi ruang pada gerakan buruh di tengah politik represif

pemerintah berkuasa, pada era reformasi hal itu tidak lagi menjadi permasalahan

yang besar. Akan tetapi, bagaimana membuat gerakan buruh benar-benar efektif dan

semakin relevan di tengah kompleksitas persoalan buruh dengan hubungan kerjalah

yang menjadi isu besar di era reformasi ini.

2. Pada perkembangannya, ternyata sistem outsourcing banyak ditolak oleh

pekerja/buruh karena dianggap merugikan dan hanya menguntungkan perusahaan

saja. Ini disebabkan karena sistem outsourcing membuat perusahaan lebih memilih

mengangkat pekerja secara outsourcing daripada menjadikan mereka sebagai pekerja

tetap. Karena melalui outsourcing perusahaan daat menghemat banyak pengeluaran,

seperti pengeluaran ekonomi perusahaan, tunjangan-tunjangan yang berkaitan

dengan kesejahteraan pekerja. Jadi, dalam praktiknya, penerapan sistem kerja

kontrak ini hanya memindahkan pekerja dari satu perusahaan ke perusahaan lain

dengan pekerjaan yang sama selama bertahun-tahun. Bila diamati, sistem

outsourcing dalam prakteknya yang ternyata lebih menguntungkan pihak perusahaan

merupakan wujud dari sifat kapitalisme yang selalu bertujuan untuk mencari untung

yang sebesar-besarnya. Oleh karena itu, Marx menyimpulkan bahwa keuntungan

kapitalis itu diperoleh lewat pertukaran manusia, namun sistem ini dalam mekanisme

pertukaran barang dan jasa selalu menguntungkan pemilik modal melalui cara

penghisapan. Dengan demikian, kelas pemilik adalah kelas yang kuat dan para

pekerja adalah kelas yang lemah. Para pemilik dapat menetapkan syarat-syarat bagi

mereka yang mau bekerja (seperti outsourcing, upah), dan bukan sebaliknya. Kaum

buruh yang mati-matian mencari pekerjaan terpaksa menerima upah dan syarat-

syarat kerja lain yang disodorkan oleh si kapitalis.

3. Terkait dengan permasalahan buruh dan gerakan buruh di Indonesia pasca reformasi.

Keadaan buruh yang masih terpencar-pencar dalam berbagai aliansi tersebut secara

tidak langsung berpengaruh terhadap tidak timbulnya kesadaran buruh untuk keluar

13

Page 14: buruh

dari penindasan yang dirasakan dengan memperkuat kekuatan politiknya atau

revolusi proletariat menurut Karl Marx. Sebab, buruh Indonesia masih jatuh dalam

kepentingan-kepentingan pribadi, misalnya seperti yang dikemukakan oleh Rekson

mengenai tuntutan-tuntutan buruh yang masih bersifat normatif seperti tuntutan

buruh terhadap kenaikan upah minimum, perjanjian kerja; jaminan sosial; dan

tuntutan buruh lainnya yang kurang menelaah akar masalahnya.

14

Page 15: buruh

3.2. Saran

Serikat buruh sebagai sarana perjuangan dan peningkatan kesejahteraan buruh

merupakan organisasi yang sengaja dibentuk atas kemauan dan kesadaran dari para buruh itu

sendiri. Untuk itu dibutuhkan beberapa langkah untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas

dari Serikat Buruh itu sendiri seperti:

1. Serikat buruh harus memiliki komitmen tinggi dalam memperjuangkan hak-hak buruh

dalam meningkatkan kesejahteraannya.

2. Serikat Buruh harus senantiasa melakukan sosialisasi dan pendekatan kepada para

buruh guna menumbuhkan kesadaran akan pentingnya partisipasi mereka dalam

berserikat.

15

Page 16: buruh

DAFTAR PUSTAKA

Cahyono, edi dan soegiri DS. 2005. Gerakan Serikat Buruh: Jaman Kolonial

Hindia Belanda Hingga Orde Baru. Jakarta: Hasta Mitra

Departemen Tenaga Kerja, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per 01/

Men/1999 Tentang Upah Minimum.

Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI). Ringkasan Eksekutif:

Praktek Kerja Kontrak dan Outsourcing Buruh di Sektor Industri Metal

di Indonesia. Akatiga-Pusat & Friedrich Ebert Stiftung (FES).

George, Ritzer. 2009. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda.

Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Jurnal Sosial Demokrasi: Buruh dan Politik. Volume 10 Januari-Maret 2011.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-01/Men/1996 Tentang Upah

Minimum Regional

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan.

Silaban, Rekson. 2009. Reposisi Gerakan Buruh: Peta Jalan Gerakan Buruh

Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: Grafindo

Suseno, Franz, Magnis. 1999. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis

Ke perselisihan Revisionisme. Jakarta: Raja Grafindo Pustaka.

Tedjasukmana, Iskandar. 2008. Watak Politik Gerakan Serikat Buruh

Indonesia. Jakarta: TURC.

16