warta buruh migran iv

12
Halaman 1 | Warta Buruh Migran | Desember 2010 Warta Buruh Migran | Edisi IV | Desember 2010 Klik www.buruhmigran.or.id Tim Redaksi Salam Redaksi Cianjur Gagasan memberikan perlindungan kepada Buruh Migran Indonesia (BMI) dilakukan pemerintah tanpa henti. Pelbagai undang-undang, peraturan presiden, peraturan menteri, hingga peraturan daerah dikeluarkan. Namun, di lapangan, kebijakan tersebut tidak ampuh menjaga dan melindungi BMI. Persoalan asuransi BMI misalnya, saat ini menjadi tema yang banyak diperbincangkan di media massa. Penunjukan konsorsium tunggal oleh Menakertrans menuai banyak protes, khususnya dari PPTKIS. Bagi BMI, asuransi adalah hal penting. Di samping mereka telah membayar premi sebesar 400 ribu rupiah, asuransi juga menjadi harapan atas jaminan dan kenyamanan kerja.Peraturan Menteri (Permen) Nomor 7 Tahun 2010 tentang Asuransi TKI sedikit memberikan harapan BMI. Permen baru ini memiliki beberapa perubahan, di antaranya nilai pertanggungan yang dinaikkan. Meskipun begitu, perusahaan asuransi harus melakukan perubahan cara pandang, dari dilayani menjadi melayani. Protes yang dilakukan BMI adalah persoalan sulitnya pengajuan klaim. Perusahaan asuransi seakan memperumit pemegang polis dengan alasan tidak dipenuhinya berkas sebagaimana yang disyaratkan. Karena itu, tidak heran jika selama ini perusahaan asuransi dianggap hanya mencari keuntungan sebanyak- banyaknya tanpa menjalankan kewajibannya. Seluruh tulisan dan foto dalam buletin ini dilisensikan dalam bendera Creative Common (CC). Siapapun bisa mengutip, menyalin, dan menyebarluaskan sebagian atau keseluruhan tulisan dengan menyebutkan sumber tulisan dan jenis lisensi yang sama, kecuali untukkepentingan komersil. Pendidikan keuangan untuk buruh migran dan keluarga yang digelar oleh Pusat Teknologi Komunitas Rumah Internet TKI (PTK Mahnettik) Cianjur (29-30/11/10) memberi banyak manfaat bagi pegiat PTK Mahnettik Cianjur. Rokoyah dan Puti Rahayu, fasilitator Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) Pasoendan secara bergantian mengarahkan peserta secara runtut untuk memahami persoalan pengelolaan ekonomi buruh migran. Peserta pelatihan diajak berhitung berapa besar biaya yang mereka keluarkan saat memutuskan berangkat ke luar negeri untuk menjadi buruh migran. Disadari atau tidak, sejak proses pemberangkatan hingga pemulangan biaya yang dikeluarkan sangat besar. Hal ini terkadang tidak sebanding dengan jumlah uang yang dikirim ke keluarga. “Persoalan utama adalah kesenjangan informasi, calon buruh migran tidak memiliki informasi tentang berapa biaya pembuatan paspor, berapa gaji yang diterima dalam kontrak kerja, berapa nilai konversi mata uang dan lain sebagainya” tutur Rokoyah Seperti disampaikan Rokoyah, buruh migran juga dituntut cerdas mempertimbangkan sesuatu, seperti tawaran berhutang pada agen perekrutan, kontrak kerja, dan pilihan menjadi pekerja atau memulai wirausaha. Fasilitator juga menyampaikan motivasi pada pegiat PTK Mahnettik Cianjur agar percaya diri mengembangkan potensi kelompok. Menghitung Ulang Biaya Migrasi Oleh: Salim Penanggung Jawab Yossy Suparyo Muhammad Irsyadul Ibad Pimpinan Redaksi Muhammad Ali Usman Tim Redaksi Fika Murdiana Hilyatul Auliya Fathulloh Kontributor 14 PTK Mahnettik Alamat Redaksi Jl.Veteran Gg.Janur Kuning No.11A Pandean Umbulharjo Y ogyakarta, Telp/Fax:0274-372378 E-mail:[email protected] Portal: http://buruhmigran.or.id Penerbitan buletin ini atas dukungan: Pegiat Buruh Migran di PTK Mahnet t ik Cianjur

Upload: infest-yogyakarta

Post on 27-Mar-2016

239 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

Topik yang dibicarakan redaksi Pusat Sumber Daya Buruh Migran pada terbitan kali ini adalah persoalan asuransi buruh migran, profil usaha mantan buruh migran dan beberapa liputan dari daerah.

TRANSCRIPT

Page 1: Warta Buruh Migran IV

Halaman 1 | Warta Buruh Migran | Desember 2010

Warta Buruh Migran| Edisi IV | Desember 2010

Klik www.buruhmigran.or.id

Tim Redaksi

Salam Redaksi Cianjur

Gagasan memberikan perlindungan kepada Buruh Migran

Indonesia (BMI) dilakukan pemerintah tanpa henti. Pelbagai

undang-undang, peraturan presiden, peraturan menteri, hingga

peraturan daerah dikeluarkan. Namun, di lapangan, kebijakan

tersebut tidak ampuh menjaga dan melindungi BMI. Persoalan

asuransi BMI misalnya, saat ini menjadi tema yang banyak

diperbincangkan di media massa. Penunjukan konsorsium

tunggal oleh Menakertrans menuai banyak protes, khususnya

dari PPTKIS.

Bagi BMI, asuransi adalah hal penting. Di samping mereka telah

membayar premi sebesar 400 ribu rupiah, asuransi juga menjadi

harapan atas jaminan dan kenyamanan kerja.Peraturan Menteri

(Permen) Nomor 7 Tahun 2010 tentang Asuransi TKI sedikit

memberikan harapan BMI. Permen baru ini memiliki beberapa

perubahan, di antaranya nilai pertanggungan yang dinaikkan.

Meskipun begitu, perusahaan asuransi harus melakukan

perubahan cara pandang, dari dilayani menjadi melayani. Protes

yang dilakukan BMI adalah persoalan sulitnya pengajuan klaim.

Perusahaan asuransi seakan memperumit pemegang polis

dengan alasan tidak dipenuhinya berkas sebagaimana yang

disyaratkan. Karena itu, tidak heran jika selama ini perusahaan

asuransi dianggap hanya mencari keuntungan sebanyak-

banyaknya tanpa menjalankan kewajibannya.

Seluruh tulisan dan foto dalam buletin ini dilisensikan dalam bendera Creative Common (CC). Siapapun bisa mengutip, menyalin, dan menyebarluaskan sebagian atau keseluruhan tulisan dengan menyebutkan sumber tulisan dan jenis lisensi yang sama, kecuali untukkepentingan komersil.

Pendidikan keuangan untuk buruh migran dan keluarga yang digelar

oleh Pusat Teknologi Komunitas Rumah Internet TKI (PTK

Mahnettik) Cianjur (29-30/11/10) memberi banyak manfaat bagi

pegiat PTK Mahnettik Cianjur. Rokoyah dan Puti Rahayu, fasilitator

Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) Pasoendan

secara bergantian mengarahkan peserta secara runtut untuk

memahami persoalan pengelolaan ekonomi buruh migran.

Peserta pelatihan diajak berhitung berapa besar biaya yang mereka

keluarkan saat memutuskan berangkat ke luar negeri untuk menjadi

buruh migran. Disadari atau tidak, sejak proses pemberangkatan

hingga pemulangan biaya yang dikeluarkan sangat besar. Hal ini

terkadang tidak sebanding dengan jumlah uang yang dikirim ke

keluarga.

“Persoalan utama adalah kesenjangan informasi, calon buruh

migran tidak memiliki informasi tentang berapa biaya pembuatan

paspor, berapa gaji yang diterima dalam kontrak kerja, berapa nilai

konversi mata uang dan lain sebagainya” tutur Rokoyah

Seperti disampaikan Rokoyah, buruh migran juga dituntut cerdas

mempertimbangkan sesuatu, seperti tawaran berhutang pada agen

perekrutan, kontrak kerja, dan pilihan menjadi pekerja atau

memulai wirausaha. Fasilitator juga menyampaikan motivasi pada

pegiat PTK Mahnettik Cianjur agar percaya diri mengembangkan

potensi kelompok.

Menghitung Ulang Biaya Migrasi Oleh: Salim

Penang g ung Ja wa b

Y ossy Suparyo

Muhammad Irsyadul Ibad

Pim pina n R eda ksi

Muhammad Ali Usman

Tim R eda ksi

Fika Murdiana

Hilyatul Auliya

Fathulloh

K ont ributor

14 PTK Mahnettik

A lam at R edaksi

Jl.Veteran Gg.Janur Kuning No.11A

Pandean Umbulharjo Y ogyakarta,

Telp/Fax:0274-372378

E-mail:[email protected]

Portal: http://buruhmigran.or.id

Penerbita n bulet in ini a ta s dukung a n:

Pegiat Buruh Migran di PTK Mahnettik Cianjur

Page 2: Warta Buruh Migran IV

Halaman 2 | Warta Buruh Migran | Desember 2010

02 | Sekilas Peristiwa

Cilacap

PTK Maknettik Cilacap Belajar Kelola

Informasi

Pusat Teknologi Komunitas (PTK) Rumah Internet TKI (Mahnettik)

Cilacap yang dikelola oleh Lembaga Kajian dan Pengembangan

Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Nahdlatul Ulama (NU) Cilacap

menyelenggarakan pelatihan pengelolaan informasi buruh migran

(24/11). Pelatihan ini dilaksanakan di dua tempat, Hotel Paradise Jl. A.

Y ani No. 7 Sidareja Cilacap dan PTK Mahnettik. Belasan peserta yang

datang dari beberapa kecamatan di Kabupaten Cilacap, di antaranya

Majenang, Kesugihan, dan Kampung Laut tampak sangat antusias

dan bersemangat mengikuti semua materi.

Pelatihan ini dibagi menjadi dua kelas. Kelas pertama bertempat di

Hotel Paradise yang diikuti oleh para mantan dan keluarga buruh

migran yang belum pernah mengikuti pelatihan serupa sebelumnya.

Di kelas pertama, materi yang diberikan adalah tentang pentingnya

pengelolaan informasi dan cara menulis berita. Sedangkan kelas kedua

yang bertempat di PTK Mahnettik yang diikuti oleh para pegiat PTK

Mahnettik dan mantan buruh migran merupakan kelas lanjutan.

Materi yang disampaikan di kelas kedua ini merupakan managemen

pengetahuan (knowledge management) pusat pengelolaan sumber

daya buruh migran.

Pelatihan pengelolaan informasi buruh migran merupakan sebuah

kegiatan yang sangat penting guna memberikan bekal pengetahuan

kepada mantan dan keluarga buruh migran. Di antara banyaknya kasus

kekerasan yang muncul dan menimpa para buruh migran di luar negeri

sebagian besar adalah disebabkan oleh minimnya informasi dan

pengetahuan yang mereka miliki tentang berburuhmigranan. Menurut

Akhmad Fadeli (32), fasilator pelatihan pengelolaan informasi dari

Lakpesdm NU Cilacap, setiap buruh migran harus memiliki informasi

dan pengetahuan yang baik seputar pekerjaan mereka.

“Bekal pengetahuan ini wajib dimiliki para buruh migran sehingga

pengetahuan tersebut dapat dijadikan pelindung ketika suatu saat

mereka menghadapi berbagai persoalan di tempat kerja,” ungkapnya.

Para peserta juga merespons positif penyelenggaraan pelatihan ini.

“Ternyata membuat berita itu mudah. Dengan mengikuti pelatihan

ini, saya menjadi tahu cara mengelola dan bertukar informasi,”

ungkap Catur Eni Sulastri (27) salah satu peserta yang juga mantan

buruh migran.

Manfaat mengikuti kegiatan ini juga dinyatakan oleh Nely Khuriyah (28),

salah seorang mantan buruh migran yang pernah bekerja sebagai

Pembantu Rumah Tangga (PRT) di Hongkong selama tujuah tahun.

“Membuka wawasan dan menambah pengetahuan tentang

bagaimana menyampaikan informasi yang sudah berbentuk berita,”

katanya.

Pemberdayaan buruh migran melalui pengelolaan informasi dan

pengetahuan ini merupakan salah satu solusi mengatasi carut

marutnya pengelolaan buruh migrant di Indonesia selama ini. Hingga

hari ini, kegiatan pelatihan pengelolaan informasi buruh migran telah

diikuti oleh ratusan peserta dari berbagai daerah di Indonesia.

Banyumas

Komitmen bersama mewujudkan perlindungan buruh migran Banyumas

terus digalang oleh Forum Solidaritas untuk Buruh Migran (Forsa BUMI)

Kabupaten Banyumas. Bertepatan dengan hari buruh migran sedunia,

Forsa Bumi menggelar diskusi publik dengan tema "Membangun Komitmen

Bersama untuk Perlindungan Buruh Migran" di Aula Fakultas Ilmu Sosial dan

Politik Universitas Jenderal Soedirman (Sabtu 18/12/10). Hadir di dalam

diskusi tersebut aparatur desa, kecamatan, dan kabupaten. Hadir pula

beberapa anggota DPRD Kab. Banyumas, Dinsosnakertrans, pejabat

imigrasi, akademisi kampus, perwakilan PPTKIS, hingga kalangan

lembaga/organisasi swasta di Banyumas.

Panitia menghadirkan empat narasumber sekaligus, yakni Tyas Retno

Wulan (Pusat Penelitian Gender), Y oga Sugama (Anggota DPRD),

Kartiman (Dinsosnakertrans), dan Rita (LBH Perisai Kebenaran) dengan

Jarot, Pegiat Rumah Aspirasi Budiman sebagai moderator.

Saat diskusi berlangsung, satu persatu narasumber menyampaikan

program dan upaya perlindungan buruh migran yang telah dilakukan

lembaga atau instansi yang mereka wakili. Persoalan yang paling

disoroti selama diskusi adalah koordinasi yang kurang padu (sinergi)

antarlembaga pemerintah.

Yoga Sugama, perwakilan DPRD dengan tegas mempertanyakan janji

Bupati Banyumas untuk membangun perekonomian daerah di setiap

Kecamatan. "Jika janji Bupati membangun sektor industri daerah

terwujud, saya yakin angka pengiriman TKI akan turun drastis," Tutur

Yoga Sugama.

Mempertanyakan Komitmen

Bersama untuk BMI

Page 3: Warta Buruh Migran IV

Halaman 3 | Warta Buruh Migran | Desember 2010

PTK Mahnettik Cirebon Ajarkan

Komputer Pada Guru SekolahPusat Teknologi Komuntas (PTK) Cirebon menyelenggarakan

kegiatan pelatihan pengenalan Teknologi Informasi (TI)

kepada para guru sekolah di Kab. Cirebon. Kegiatan yang

berlangsung dari tanggal 29 November-4 Desember dan

bertempat di SMK Al-Jilani Babakan ini merupakan bagian

dari program Partner in Learning (PIL) yang diusung oleh

Microsoft. Dalam penyelenggaraannya, PTK Cirebon

bekerjasama dengan Yayasan TIFA dan Diknas Kabupaten

Cirebon.

Program PIL merupakan program global yang diusung oleh

Microsoft mulai September 2003. Program ini menjadi

bagian dari bentuk komitmen Microsoft pada peningkatan

Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang pendidikan teknologi

di sekolah-sekolah. Di Indonesia, penyelenggaraan PIL

selalu mengikutsertakan instansi pemerintah (Diknas) dan

lembaga-lembaga swasta yang mempunyai kepedulian

sama pada masalah pendidikan.

03 | Sekilas Peristiwa

Cirebon

Tujuan kegiatan pelatihan TI ini adalah untuk memberikan

bekal kepada para guru dalam penguasaan ilmu komputer.

Selain itu, target yang ingin dicapai adalah peserta mampu

menguasai pengetahuan dasar ilmu komputer dan mampu

mempraktikkannya dalam kegiatan belajar belajar di kelas.

Selama ini, TI memang telah menjadi kebutuhan pokok

setiap orang dalam membantu efektivitas kerja-kerja.

Pelatihan ini sendiri diikuti oleh 75 orang peserta yang terdiri

dari guru SD, SMP, dan SMA se-Kabupaten Cirebon Timur.

Penyelenggara sengaja memilih para guru sebagai peserta

karena guru memiliki wewenang dan otoritas dalam

pelaksanaan sistem pengajaran di sekolah masing-masing.

“Peserta sangat antusias mengikuti pelatihan ini karena

sebagian besar peserta tidak pernah mendapatkan materi

tersebut sebelumnya,” ungkap Lukman, salah satu panitia

kegiatan.

Malang

Sabtu (25/12/10) Pusat Teknologi Komunitas (PTK

Mahnettik) Bina Mandiri, Desa Kedungsalam, Kecamatan

Donomulyo, Kabupaten Malang menggelar pelatihan kelola

informasi untuk buruh migran. Kegiatan tersebut didukung

tim fasilitator dari infest Yogyakarta.

Pelatihan hari pertama peserta diberikan pengetahuan

dasar tentang apa itu informasi?, serta bagaimana siklus

informasi terjadi hingga mempengaruhi kebijakan.

“Keberadaan CTC Mahnettik harus didukung keterampilan

skill dari para pegiatnya, seperti pengelolaan informasi,

produksi informasi, kemampuan sebagai jaringan kerja dan

kekuatan mempengaruhi kebijakan” tutur Yossy Suparyo,

salah satu tutor pelatihan.

PTK Mahnettik Bina Mandiri sendiri merupakan bagian dari

kerja kelompok dampingan Dian Mutiara Women’s Crisis

Centre untuk mengembangkan potensi buruh migran di

Kecamatan Donomulyo.

Semangat Kelola Informasi PTK

Mahnettik Bina Mandiri Malang

Kegiatan pelatihan akan dilakukan hingga Minggu (26/10/10),

melalui kegiatan tersebut diharapkan pegiat PTK Mahnettik

dapat mengembangkan fasilitas PTK Mahnettik untuk kerja

pengelolaan informasi agar tidak ada kesenjangan informasi

bagi buruh migran Malang dan keluarganya.

Suasana pelatihan kelola informasi di PTK Mahnettik Bina Mandiri Malang

Page 4: Warta Buruh Migran IV

Halaman 4 | Warta Buruh Migran | Desember 2010

04 | Jejak Kasus

Beberapa waktu yang lalu hampir seluruh media nasional

memberitakan Sunengsih, seorang Buruh Migran Perempuan

(BMP) asal Desa Gembongan Kecamatan Babakan Kabupaten

Cirebon, yang meninggal dunia di Abu Dhabi Uni Emirat Arab.

Pemberitaan kasus yang menimpa Sunengsih di media massa

telah menarik perhatian dan simpati ratusan ribu orang di

Indonesia, termasuk para pejabat tinggi negara. Menteri Tenaga

Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar, dalam sikapnya

menyatakan ia berjanji akan mengusut semua pihak yang

bertanggung jawab pada kasus yang menimpa Sunengsih

tersebut.

Kematian Sunengsih di tempat kerjanya, Uni Emarat Arab,

memang sangat mengagetkan banyak orang. Berita kematian

tersebut baru disampaikan oleh agen pemberangkatan

Sunengsih kepada keluarganya setelah tiga tahun berlalu. Kajan,

orang tua Sunengsih, menyatakan bahwa menurut agen anaknya

meninggal dunia pada 18 Juli 2007 yang diakibatkan oleh

kecelakaan kerja. Tentu saja pihak keluarga sangat menyesalkan

karena mereka baru diberitahu pada 12 Agustus 2010.

Menyebarnya berita kematian Sunengsih bermula dari sebuah

tulisan milik Akhmad Rovahan berjudul “Kisah Tragis Buruh

Migran Cirebon Tiga Tahun Meninggal, Keluarga Baru Dikabari”

yang dimuat di www.suarakomunitas.net pada 15 November

2010. Selain dimuat di www.suarakomunitas.net, Rovahan juga

membagikan tulisan tersebut melalui situs jejaring sosial

facebook lewat akun miliknya. Tidak disangka, tulisan tersebut

mendapatkan respons publik yang ramai.

Melihat respons publik yang sangat besar atas kasus tersebut,

Rovahan berinisiatif untuk menghubungi beberapa wartawan dari

media massa lokal dan nasional agar meliput peristiwa tersebut.

Dengan harapan pemegang kebijakan mengetahui kasus yang

menimpa Sunengsih dan segera melakukan tindakan

pengusutan. “Beberapa wartawan saya kirim berkas berita.

Kemudian mereka menyatakan siap membantu mengangkat

kasus ini. Bahkan, ada tiga orang wartawan yang langsung

mengajukan kesiapan untuk melakuakn wawancara langsung

dengan orang tua korban di Desa Babakan,” ungkap Rovahan.

“ Tidak disangka sebuah tulisan yang

disebarluaskan lewat media

komunitas mampu mendapat

perhatian publik dan pemerintah”

Beberapa hari kemudian hampir seluruh media nasional ramai

memberitakan kasus yang menimpa Sunengsih. Rumah Kajan

tidak henti didatangi para pewarta untuk melakukan wawancara.

Para pejabat berwenang, baik di tingkat daerah maupun pusat

memberikan tanggapannya. Berbagai pihak yang bertanggung

jawab pun menuai banyak kecaman. Mereka dianggap tidak

becus menjalankan kebijakan.

Advokasi Buruh Migran Melalui

Media KomunitasOleh: Hilyatul Auliya

Rovahan (tengah), dalam sebuah pertemuan jaringan media komunitas cirebon (Sumber: Dok.Jarik)

Page 5: Warta Buruh Migran IV

Halaman 5 | Warta Buruh Migran | Desember 2010

05 |Jejak Kasus

Akhmad Rovahan saat ini menjabat sebagai Ketua Jaringan Radio

Komunitas (Jarik) Cirebon. Di Cirebon, Jarik tergabung dalam

Jaringan Masyarakat Anti Traficking (Jimat) yang beranggotakan

Organisasi Nonpemerintah (Ornop) se-wilayah III Cirebon.

Salah satu anggota Jimat adalah FWBMI (Forum Warga Buruh

Migran Indonesia) yang diketuai oleh Castra Aji Sarosa. Jaringan ini

melakukan pertemuan rutin. Pertemuan terakhir dilaksanakan

pada awal November kemarin. Pada saat pertemuan itulah

Rovahan mendapatkan informasi kasus Sunengsih yang sedang

ditangani oleh FWBMI.

Menurut Castra, kematian Sunengsih sangat tidak biasa lantaran

pihak PPTKIS-nya baru memberitahukan berita kematian

Sunengsih setelah tiga tahun berlalu. Kajan juga pada 21 Oktober

2010 diundang ke Jakarta oleh pihak PPTKIS PT. Abul Pratama Jaya

untuk menendatangani sebuah surat kesepakatan. Di dalam surat

perjanjian tersebut, Kajan akan diberi dana 4.000 dollar AS (Rp 35

juta) serta ditambah dua bulan gaji Sunengsih sejumlah 1.600

dirham.

Namun, PT. Abul Pratama Jaya membarikan syarat, yaitu Kajan

tidak boleh mengungkit kematian Sunengsih. Kajan cukup tahu

bahwa Sunengsih meninggal karena kecelakaan kerja. Dari cerita

Castra tentang Sunengsih inilah akhirnya Rovahan berinisiatif

menulisnya di portal www.suarakomunitas.net. Rovahan tidak

mengira sebelumnya tulisan yang ia unggah akan mendapat

perhatian dari pelbagai pihak.

Pengalaman bekerja di dalam sebuah jaringan, memberikan

pelajaran yang sangat berarti bagi Rovahan. “Kasus yang awalnya

saya angkat melalui media komunitas (www.suarakomunitas.net)

ternyata dapat menjadi berita nasional dan akhirnya kasus

tersebut mendapatkan perhatian dari para petinggi negara,”

ungkapnya.

Portal www.suarakomunitas.net yang dimanfaatkan rovahan untuk menyebarkan informasi

Menurut Rovahan, awalnya kasus Sunengsih hanya

diketahui oleh keluarga dan beberapa tetangga

dekatnya saja. Tidak semua masyarakat kampung

mengetahuinya. Apa yang dilakukan oleh Rovahan

hanyalah membagikan informasi kepada publik melalui

media massa elektronik. Rovahan mengakui betapa

pentingnya sebuah jaringan atau komunitas.

Jaringan atau komunitas dapat memberikan

kemampuan lebih dibanding jika seseornag melakukan

pekerjaannya seorang diri. Media massa juga dapat

digunakan sebagai alat memperjuangkan keadilan dan

hak-hak warga negara. Melalui media massa, suara

seseorang dapat didengar oleh jutaan telinga dan

dilihat oleh jutaan pasang mata.

Hilya Auliya , Pekerja Manajemen Pengetahuan Pusat

Sumber Daya Buruh Migran (PSD-BM)

Page 6: Warta Buruh Migran IV

Halaman 6 | Warta Buruh Migran | Desember 2010

06 | Kajian

Asuransi TKI, Melindungi

atau Mencurangi?Oleh: Muhammad Ali Usman

Selama ini kita sering mendengar Tenaga Kerja Indonesia

(TKI) yang gagal mengurus asuransi. Mereka seringkali hanya

pasrah karena merasa mendapati jalan buntu. Tidak sedikit

pula di antara mereka yang gagal mendapatkan haknya

kemudian menyatakan hal itu “bukan rizkinya”.

Kasus-kasus semacam itu banyak dialami oleh buruh migran

kita yang sedang mengalami masalah sulit saat bekerja di luar

negeri. Parahnya, hal ini dianggap sebagai sebuah persoalan

biasa, sehingga tidak perlu disikapi, apalagi dipersoalkan.

Selama melakukan diskusi dengan mantan TKI di beberapa

daerah, saya menemukan pelbagai kasus, misalnya

penyiksaan oleh majikan, pemutusan hubungan kerja (PHK),

kecelakaan kerja, gaji tidak dibayar, pelanggaran kontrak kerja,

pelecehan seksual, pemerkosaan, meninggal dunia, TKI

hilang, kerja di di bawah umur, dan kerja tidak sesuai

kesepakatan kontrak kerja.

Di negara tujuan, mereka berjuang sendiri, tanpa ada bantuan

pemerintah Indonesia. Banyak di antara korban tersebut yang

tidak mendapatkan haknya sebagai anggota asuransi TKI,

meskipun premi sudah mereka bayarkan kepada konsorsium.

Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Pelaksana

Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) wajib

mengikutsertakan calon TKI/TKI yang akan diberangkatkan

ke luar negeri dalam program asurasni TKI kepada

konsorsium yang telah ditunjuk dengan membayar biaya

sebesar Rp. 400.000,-. Dengan rincian, 1) Rp. 50.000,- untuk

premi asuransi TKI prapenempatan. 2) Rp.300.000,- premi

asuransi TKI selama masa penempatan. 3) Rp. 50.000,-

premi asuransi TKI pascapenempatan.

Jika dihitung jumlah TKI resmi yang bekerja di luar negeri

sebanyak 4 juta orang, maka total dana yang diterima oleh

konsorsium asuransi adalah sebesar 1,6 triliyun rupiah.

Namun, tidak berbeda dengan perusahaan-perusahaan

bisnis lain, perusahaan asuransi TKI juga lebih

memerhatikan keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya.

Mereka seakan enggan bertanggung jawab terhadap

persoalan TKI dengan alasan tidak dipenuhinya syarat-

syarat pengajuan klaim asuransi sebagaimana yang telah

ditetapkan.

Page 7: Warta Buruh Migran IV

Halaman 7 | Warta Buruh Migran | Desember 2010

Seperti disebutkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor

7 Tahun 2010 Bab VII Pasal 26, persyaratan yang harus dipenuhi

oleh TKI yang mengajukan klaim, misalnya untuk korban PHK, di

antaranya:

1. Waktu pengajuan selambat-lambatnya 12 bulan setelah

terjadinya resiko (peraturan sebelunmnya hanya 30 hari).

2. Surat pengajuan klaim ditandatangani oleh TKI atau ahli

waris yang sah dan bermeterai.

3. Menyertakan KPA asli (Kartu Peserta Asuransi).

4. Surat perjanjian kerja.

5 .Surat perjanjian penempatan,

6. Surat keterangan PHK dari pengguna.

7. Surat keterangan Perwakilan R.I. di negara penempatan.

8. Surat penempatan dari Dirjen Pembinaan Penempatan

Tenaga Kerja Direktorat Penempatan Tenaga Kerja Luar

Negeri.

Banyaknya persyaratan wajib yang harus dipenuhi oleh TKI dan

keluarganya tersebut sangat menyulitkan karena mayoritas

mereka hanya mengenyam pendidikan sampai tingkat Sekolah

Dasar, banyak juga yang tidak dapat baca tulis, dan mayoritas

mereka tinggal di daerah pedesaan, sehingga mengalami

keterbatasan mendapatkan akses informasi dan pengetahuan.

Melihat rumitnya persyaratan yang dibutuhkan untuk mengurus

asuransi TKI, semakin mengarahkan kita pada kesimpulan

tentang adanya sebuah kesengajaan agar para TKI yang

berurusan dengan perusahaan asuransi tidak mendapatkan

haknya. Hal itu dibuktikan dengan dipersulitnya pengurusan klaim

asuransi TKI dari hulu ke hilir. Konspirasi ini juga melibatkan para

oknum PPTKIS dengan perusahaan asuransi TKI.

Banyak para oknum PPTKIS yang menawarkan diri untuk

menguruskan klaim asuransi dengan imbalan jumlah uang

tertentu jika berhasil mencairkan klaim tersebut. Bahkan besaran

succes fee tersebut hingga 50 persen. Para TKI yang sedang

dalam keadaan sulit ini hanya dapat menerima “peraturan” ini.

Alasan mereka, lebih baik dapat setengahnya daripada tidak

mendapatkan sama sekali.

Menurut ketua Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan

Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Jumhur Hidayat, pada bulan

September lalu ada 36.000 klaim asuransi TKI yang bermasalah.

Alasan yang diberikan oleh perusahaan asuransi bermacam-

macam, mayoritas dikarenakan persyaratan yang tidak dipenuhi

oleh TKI atau keluarganya. Himpunan PPTKIS yang merasa

menemukan jalan buntu mengurus asuransi TKI pun melayangkan

surat kepada Presiden untuk mengadukan tidak dibayarkannya

klaim asuransi TKI.

Perlindungan TKI melalui sistem asuransi justru menjadikan

buruh migran komoditas ekonomi, bukan sebagai subjek

yang harus dilindungi. Seharusnya, sistem yang dibangun

benar-benar untuk kepentingan TKI dengan memperhatikan

kebutuhan dan fasilitas perlindungan yang dibutuhkan

selama bekerja di luar negeri. Untuk itu, dibutuhkan

konsorsium asuransi yang dapat menjalankan sistemnya

secara bertanggung jawab dan konsisten, sehingga

keberadaannya dapat benar-benar dirasakan manfaatnya

oleh TKI dan keluarganya.

Perusahaan asuransi yang bertanggung jawab, adalah

perusahaan yang mengubah paradigama, dari yang

sebelumnya hanya berorientasi pencarian keuntungan yang

sebesar-besarnya menjadi paradigma melayani dan

memberikan perlindungan asuransi yang optimal kepada

TKI dan keluarganya. Perusahaan asuransi juga dapat lebih

aktif dalam merespons setiap klaim yang diajukan oleh

pemegang polis. Perubahan paradigama ini merupakan

sebuah keniscayaan sebagai bentuk tanggung jawab dan

komitmen pada undang-undang dan pada nilai-niali

kemanusiaan yang selama menjadi motto para perusahaan

asuransi. [mau]

07 | Kajian

Muha mma d Ali Usma n, Pekerja Pusat Sumber Daya

Buruh Migran (PSD-BM)

Page 8: Warta Buruh Migran IV

Halaman 8 | Warta Buruh Migran | Desember 2010

08 | Inspirasi

Kesuksesan dapat diraih oleh siapa pun dan di mana pun,

asalkan ada kemauan kuat. Itulah prinsip yang senantiasa

menjadi semangat Neli Khuriyah (24), salah seorang mantan

Buruh Migran Perempuan (BMP) asal Cilacap. Selama menjalani

hari-harinya tujuh tahun terakhir di Hongkong sebagai seorang

Pekerja Rumah Tangga (PRT). Neli berangkat kerja ke Hongkong

pada 2003 melalui sebuah Pelaksana Penempatan Tenaga

Kerja Indoensia Swasta(PPTKIS) di Jakarta, dan pada bulan

Agustus 2010 Neli telah kembali ke Indonesia menjadi seorang

sarjana dengan gelar diploma.

Selama di Hongkong, Neli tidak seperti pekerja migran lain yang

lebih banyak menghabiskan waktu libur kerjanya dengan jalan-

jalan, kumpul bareng, atau menjelajah berbagai mal, baik untuk

belanja maupun sekadar cuci mata. Hari libur akhir pekan justru

ia nikmati dengan duduk belajar di bangku kuliah. Ia sangat

menyadari tidak selamanya ia akan menjadi seorang buruh.

Menurutnya, kerja sebagai BMP bukanlah sebuah tujuan, namun

hanya sebuah perantara untuk mendapatkan kehidupan yang

lebih baik.

“Kerja di Hongkong merupakan prioritas pertama saya sejak

awal. Sedangkan kuliah prioritas kedua,” ungkapnya.

Di lingkungan keluarganya, Neli kecil merupakan sosok pribadi

yang rajin dan bertanggung jawab. Kerja keras dan hidup mandiri

telah diajarkan oleh kedua orang tuanya sejak dini.

Berangkat Berstatus TKW, Pulang

Sudah SarjanaFika Murdiana

Neli (Kanan bawah), bersama kawan-kawannya sesama buruh migran saat mengikuti kuliah di Action Vision Mission College Hongkong Ltd

Semua pekerjaan rumah tangga menjadi tanggung jawab

bersama. Setiap orang mendapatkan tugas sesuai dengan

proporsinya. Hanya bekal inilah yang dapat membantu Neli

untuk menjalani tantangan kehidupannya.

Semasa kuliah, Neli mengambil program diploma di Kampus

Action Vision Mission College Hongkong Ltd., yang beralamat di

1/Floor, 23 Ngan Mok Street, Tin Hau Hongkong, pada jurusan

Teknologi Informasi. Program diploma ini ditempuhnya dalam

waktu satu tahun, dari April 2009-Maret 2010. Kampus AVM

memang hanya menyelenggarakan pendidikan untuk jenjang

diploma. Setiap mahasiswa di AVM hanya dibebani sebanyak 36

Satuan Kredit Semester (SKS) yang ditempuh dalam waktu 10

bulan.

“Neli menyadari tidak

selamanya ia akan menjadi

buruh migran”Kesadaran menempuh pendidikan lebih tinggi ini dilakukan Neli

untuk memenuhi keinginan kuliahnya yang terganjal oleh faktor

biaya setelah lulus Sekolah Menengah Atas (SMA).

Page 9: Warta Buruh Migran IV

Halaman 9 | Warta Buruh Migran | Desember 2010

09 | Inspirasi

Hongkong selama ini memang dikenal sebagai negara yang

sangat memerhatikan hak-hak pekerja dengan baik. Tidak heran

jika para Buruh Migran Indonesia (BMI) yang bekerja di

Hongkong dapat menikmati hari-harinya dengan nyaman. Selain

ada hari libur kerja, pihak perusahaan atau pengguna jasa juga

memberikan waktu cuti. Iklim kerja yang kondusif inilah yang

banyak menarik minat para calon TKI untuk memilih bekerja di

Hongkong, meskipun sebagai PRT.

Menurut Konsul Jenderal RI di Hongkong, Ferry Adamhar, setiap

bulan BMI baru yang bekerja di Hongkong sekitar 1000 orang.

Oleh karena itu, hingga Mei 2010 jumlah BMI di Hongkong

mencapai 136.000 orang. Jumlah ini telah mengungguli tenaga

karja asal Filipina dan Vietnam.

Kedua orang tuanya sehari-hari hidup dalam kesederhanaan

sebagaimana masyarakat desa lainnya. Penghasilan dari hasil

pertanian hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok,

tidak untuk sekolah yang lebih tinggi. Oleh karena itu, setelah

melihat kondisi perekonomian keluarga, selepas SMA Neli

memutuskan untuk bekerja ke Hongkong sebagai PRT.

Harapan yang diembannya hanya satu, membantu keluarga.

Menyekolahkan adik-adiknya hingga perguruan tinggi.

Pendidikan yang dulu bagi Neli hanya mimpi.

Banyak teman-teman Neli yang heran dan bertanya

bagaimana Ia dapat membagi waktu antara kerja dan kuliah.

Pertanyaan tersebut sangat wajar diajukan mengingat

pekerjaan sebagai PRT sangat padat. Bahkan, tidak jarang

seorang PRT baru dapat istirahat pada pukul 24.00. Neli

sangat bersyukur mendapatkan seorang majikan yang baik.

Sewaktu Neli meminta izin untuk melanjutkan pendidikan,

majikannya tidak keberatan. Ia hanya memberikan satu

syarat, kuliah tidak boleh mengganggu pekerjaannya.

Syarat ini pun diterima Neli dengan senang, karena memang

jadwal kuliah di AVM College hanya dilaksanakan pada hari

Minggu, yang notabene hari libur kerja. Meskipun begitu, Neli

pernah mendapatkan omelan dari sang majikan. “Saat itu,

saya sedang asyik belajar seorang diri di dalam kamar. Tiba-

tiba majikan memanggil dan ia meminta agar saya

menyelesaikan pekerjaan yang tersisa,” katanya seraya

tersenyum sambil mengingat masa lalu.

Fika Murdia na Ra hma n, Pekerja Pusat Sumber

Daya Buruh Migran (PSD-BM)

Maria, Berdaya Melalui

WirausahaOleh: Muhammad Ali Usman

Pagi itu tampak beberapa perempuan dengan lincah memainkan dua

tangannya mengiris lonjoran-lonjoran singkong hingga membentuk

bulat dan tipis. Di ujung sisi lain, tampak pula dua orang perempuan

sibuk menggoreng kripik singkong dan sukun. Suara khas

penggorengan pun menggemuruh tanpa henti, sesekali dipecah tawa-

tawa renyah perempuan-perempuan yang saling melempar canda.

Entah apa yang mereka obrolkan, yang tampak mereka sangat

menikmati pekerjaannya.

Itulah kesibukan sehari-sehari di tempat usaha milik Siti Maryam

Ghozali (45) atau yang lebih dikenal dengan Maria Bo Niok, salah

seorang mantan Tenaga Kerja Wanita (TKW) Hongkong. Bersama

suaminya, Stevie Sundah, pada tahun 2008 ia mendirikan sebuah

usaha produksi makanan ringan dengan nama UD Mari. Maria sengaja

memilih usaha makanan ringan karena potensi pasarnya yang terus

berkembang. Hingga hari ini, UD Mari telah memproduksi banyak jenis

makanan ringan, di antaranya kripik singkong, kripik sukun, kripik

pisang, dan kripik talas. “Makanan adalah jenis usaha yang tidak

pernah ada matinya,” katanya saat berbincang dengan saya ketika

berkunjung dengan suaminya ke kantor Infest di Jl. Veteran Pandeyan

Umbulharjo Yogyakarta beberapa waktu yang lalu.

Page 10: Warta Buruh Migran IV

Halaman 10 | Warta Buruh Migran | Desember 2010

10 | Inspirasi

Ide awal pendirian usaha makanan ringan ini bermula

ketika Maria melihat melimpahnya umbi-umbian di

daerahnya. Dengan niat ingin mengangkat hasil pertanian

dan para petani di daerahnya, Maria kemudian belajar

mengolah singkong menjadi sebuah makanan ringan yang

tidak kalah dengan makanan ringan produksi perusahaan

modern.

Maria mendapatkan keahlian mengelola singkong dari

sebuah pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah

daerah Wonosobo. Dari bekal pelatihan itulah kemudian

Maria mengembangkan sendiri pengetahuan yang telah ia

dapat melalui uji coba produk.

Untuk menemukan kripik singkong rasa gadung, Maria

sempat melakukan uji coba beberapa kali sebelum

akhirnya sukses menemukan rasa baru ini. Untuk membuat

singkong rasa gadung, Maria menceritakan, pertama

singkong dibersihkan dari kulitnya. Kemudian diiris tipis-

tipis dan membentuk bulat.

Setelah itu, ketela direbus beberapa jam lantas direndam

di dalam air selama beberapa waktu. Ketika diangkat dari

rendaman dan digoreng, rasa khas singkong sudah hilang

dan berganti menjadi rasa gadung.

Pada awalnya, Maria hanya memroduksi kripik singkong

rasa gadung. Kripik singkong rasa gadung ini dibuat untuk

menarik hasrat pasar konusumen, di mana produk tersebut

masih belum banyak dijual di pasaran.

Maria mengenalkan produk makanannya pada pembeli di sebuah kegaiatan pameran

Akhirnya, dia memutuskan untuk menjadikan singkong rasa

gadung ini sebagai produk unggulan UD Mari. Selain itu, dia

juga terus mengembangkan berbagai produk makanan

ringan yang berbahan dasar makanan lokal.

Usaha berbahan dasar singkong ini sangat sesuai dengan

daerah Wonosobo yang dikenal sebagai salah satu sentra

penghasil singkong. Dengan mengandalkan suplai dari

daerah setempat, Maria secara tidak langsung telah

membantu para petani singkong di daerahnya. Harga

pasaran singkong di desanaya adalah Rp. 200, namun

Maria berani membelinya dengan harga Rp.1.500.

“Murahnya harga singkong yang hanya dihargai Rp. 200

sangat tidak adil. Para petani singkong telah menunggu

selama minimal 6 bulan hingga masa panen. Sebagian

besar tanaman mereka berada di daerah sekitar hutan.

Mereka membawa hasil panennya ke desa dengan cara

memikulnya,” ungkap Stevie. “Dengan harga Rp.1.500,

saya mengambil sendiri ke ladang singkongnya,”

tambahnya.

Kripik produk UD Mari telah mengalami beberapa kali masa

pengembangan kualitas produk, mulai dari tanpa merek

hingga sekarang diberi merek dan dikemas dengan plastik

menarik. Langkah ini dilakukan guna memenuhi

permintaan konsumen yang lebih menginginkan produk

yang higienis dan praktis, serta dalam rangka persaingan

produk. Meskipun saat ini banyak usaha sejenis di pasaran,

Maria mengaku tidak takut. Ia menyatakan bahwa

produknya mempunyai kekhasan tersendiri.

Page 11: Warta Buruh Migran IV

Halaman 11 | Warta Buruh Migran | Desember 2010

11 | Inspirasi

“Lahan pemasaran setiap perusahaan berbeda-beda. Ada

yang hanya diserahkan kepada para tengkulak, ada yang

dimasukkan ke toko-toko, dan ada yang langsung

dikirimkan sendiri ke toko-toko di luar daerah,” katanya.

Saat ini, produk UD Mari telah merambah puluhan daerah

di Jawa dan Bali, di antaranya Wonosobo, Banjarnegara,

Magelang, Yogyakarta, Purwokerto, Purworejo, dan Bali.

Meskipun produk UD Mari telah tersebar ke berbagai

daerah, salama ini Maria dan Stevie masih melakukan

pemasarannya sendiri. Hampir setiap pekan Stevia

mengirimkan produk-produknya secara langsung ke

berbagai daerah. Di tahun depan, Stevie akan merekrut

karyawan yang khusus untuk mengurus bagian pemasaran

sehingga dia dapat lebih berkonsentrasi di bagian produksi

dan pengembangan produk.

Maria termasuk perempuan yang aktif. Selain aktif di dunia

bisnis, ia juga seorang aktivis sosial dan sampai hari ini

masih aktif menulis. Ia telah menuliskan pengalaman-

pengalaman semasa menjadi BMP menjadi beberapa

buku, di antaranya Ranting Sakura yang menceritakan

pengalamannya sewaktu di Hongkong dan Taiwan, Geliat

Sang Kung Yan berisi biorgrafi dan memoarnya selama

menjadi buruh migran, dan Puteri Kelana sebuah kumpulan

puisi.

Semangat kewirausahaan seperti yang dilakukan oleh

Maria diharapkan dapat menumbuhkan minat masyarakat

dalam melakukan kegiatan-kegiatan produktif dalam

berbagai jenis usaha. Langkah ini merupakan salah satu

langkah untuk menciptakan kesempatan kerja sekaligus

untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sehingga,

dalam jangka panjang akan dapat mengurangi jumlah

penempatan buruh migran yang bekerja di sektor informal.

Saat ini, pemerintah melalui Kementrian Tenaga Kerja dan

Transmigrasi juga telah menyelenggarakan Program Aksi

Kewirausahaan untuk para mantan TKI di 200 desa di

seluruh Indonesia. Diharapkan dari program ini akan

tercipta 125.000 wiraushawan baru sehingga dapat

menciptakan lapangan kerja dan menyerap tenaga kerja di

kawasan perdesaan di Indonesia. Program Desa Produktif

dilaksanakan dengan cara pemberian pelatihan dan modal

kerja sebesar Rp. 50 juta untuk setiap desa. Dana bantuan

tersebut dapat digunakan untuk berbagai kegiatan

ekonomi, misalnya pelatihan tenaga kerja, pelatihan

wirausaha mandiri, dan pelatihan lain yang disesuaikan

dengan potensi desa. (MAU)

Selanjutnya membuat bumbu yang tersiri dari gula bebeco,

vanili, garam, bumbu dicampur dengan pisang yang telah

digoreng. Pisang yang telah berbumbu digoreng lagi

(sebentar) dan ditiriskaan. Proses terakhir adalah

pengemasan. Pembuatan kripik pisang biasanya dilakukan

dua kali dalam seminggu.

Menurut Tukini dan Yuyun, mereka merasa kewalahan

melayani permintaan, karena keterbatasan tenaga.

“Walaupun pemasaran kripik pisang ini hanya di

Donomulyo, kami merasa kekurangan tenaga” Ungkap

Tukini dan Yuyun.

Wilayah pemasaran kripik pisang tersebut baru mencakup

Kecamatan Donomulyo, pemasarannya dengan cara

dititipkan di toko dan warung-warung. (HA)

Keripik pisang sudah sejak lama diproduksi masyarakat Desa

Kedungsalam, Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang. Hasil

olahan keripik pisang ini berasa manis. Pembuatan keripik pisang

sangat sederhana, namun membutuhkan ketelatenan.

Tukini, Yuyun, dan Sarpi merupakan pegiat PTK Mahnettik Bina

Mandiri Desa Kedungsalam Kecamatan Donomulyo Kabupaten

Malang, yang mengolah kripik pisang. Proses produksi kripik

pisang tersebut didampingi oleh Dian Mutiara Universitas

Brawijaya dan Dinas tenaga Kerja Kabupaten Malang.

Pisang yang diolah biasanya adalah pisang Pisang Rojo Nongko,

Rojo Santen, Candi, Kepok, dan Gajih. Cara pembuatan kripik

pisang, pisang dikupas, kemudian Pisang diiris tipis

(menggunakan alat pasrah). Pisang yang telah diiris direndam

dengan air, kemudian dicuci dan ditiriskan. Setelah ditiriskan

pisang digoreng.

Pegiat PTK Mahnettik

Malang Produksi Kripik

PisangOleh: Hilyatul Auliya

Page 12: Warta Buruh Migran IV

Halaman 12 | Warta Buruh Migran | Desember 2010

12 | Resensi

““Warta Buruh Migran merupakan buletin online yang diterbitkan Warta Buruh Migran merupakan buletin online yang diterbitkan oleh Pusat Sumber Daya Buruh Migran setiap bulan.oleh Pusat Sumber Daya Buruh Migran setiap bulan.

Redaksi menerima berbagai tulisan dari rekan-rekan PTK Redaksi menerima berbagai tulisan dari rekan-rekan PTK

Mahnettik melalui email: Mahnettik melalui email: [email protected]@buruhmigran.or.id““

Judul Buku : Surat Kepada Presiden

Penulis : Cardi Syaukani, Arieya Sutrisno, Arman, Lili Purwani,

Titin Kartini, Tri Maryaningsih, Wawan Hartawan,

Yus Machrus

Penerbit : United Nation Development Fund for Woman (UNIFEM)

Tahun Terbit : Cetakan Pertama:Oktober 2010

Tebal : 70 Halaman

Beberapa waktu yang lalu (Jumat,19/11/2010) banyak orang

dikagetkan oleh pernyataan sikap yang dikeluarkan Presiden

Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. Menanggapi

kasus penganiayaan Sumiati, Presiden tiba-tiba mengatakan

agar buruh migran yang diberangkatkan dibekali telepon

genggam.

Pernyataan tersebut langsung mendapat sorotan dan kritik dari

masyarakat, betapa sosok Presiden yang menjadi pemimpin

bangsa ternyata sama sekali tidak memahami inti masalah

(subtansi) perlindungan buruh migran. Pernyataan Presiden

tentang telepon genggam (HP) untuk buruh migran dinilai jauh

dari upaya serius pemerintah melindungi buruh migran.

Terlepas dari kritik yang dilontarkan banyak kalangan pada

Presiden tentang penanganan Buruh Migran Indonesia (BMI),

ada sebuah buku menarik yang ditulis oleh delapan pegiat

buruh migran dari beberapa daerah di Indonesia yang

merekam perjalanan mereka mendampingi buruh migran.

Buku berjudul Surat Kepada Presiden ini berisi kumpulan

tulisan ringan dari Arieya Sutrisno, seorang guru dari Cirebon,

Tri Maryaningsih, mantan pekerja rumah tangga (PRT) dari

Cilacap, Lili Purwani, mantan buruh migran asal Banyumas,

Titin Kartini, mantan buruh migran asal Kuningan,

Surat dari Mereka yang

Mengabdikan Diri untuk Hak-Hak BMIDiresensi oleh: Fathulloh

Arman, mantan buruh migran dari Malang, dan Wawan,

pegaiat paguyupan buruh migran di Blitar.

Melalui tulisan-tulisan yang mengalir lepas, mereka justru

memotret pelbagai kisah tentang buruh migran di daerah

masing-masing. Beberapa berupa informasi, pengalaman

mendampingi kasus, berbagai persoalan seputar buruh migran

seperti klaim asuransi, tes medis (medical check-up), gaji tidak

dibayar, dan lain-lain.

Seperti dituliskan Cardi Syaukani di halaman prakata, lewat

buku ini kita akan menjumpai kisah luar biasa dari

pengalaman para pegiat buruh migran di lapangan. Tri

Maryaningsih misalnya, pegiat asal Cilacap ini berjuang tanpa

lelah mendampingi beberapa kasus gaji buruh migran asal

daerahnya yang tidak dibayar. Dia berprinsip “keadaan susah

bukan berarti berakhir segalanya, masih ada yang tersisa dari

diri untuk diberikan orang lain, hati nurani.”

Prinsip Tri Maryaningsih dan kisah-kisah pegiat buruh migran

yang lain merupakan rekaman fakta yang terjadi di lapangan

dan tidak berlebihan jika surat yang mereka tujukan kepada

Presiden selaku wakil pemimpin bangsa untuk segera

membuka mata, dan bertindak cepat, mengurai persoalan

buruh migran. (FAT)