Download - buruh
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dilihat dari sejarah perkembangannya, eksistensi gerakan buruh di Indonesia tidak
terlepas dari pasang surut kehidupan perpolitikan bangsa Indonesia yang terjadi dari masa ke
masa. Eksistensi gerakan buruh dan beragam aktivitas politik yang menyertainya, tumbuh
bersamaan dengan kehadiran sistem kolonial1, terutama melalui kebijakan liberalisasi
ekonomi pemerintah Hindia Belanda tahun 1870 yang dikenal sebagai era cultuurstelsel.
Guna menopang sistem kapitalisme kolonial ala cultuurstelsel ini, pemerintah Hindia Belanda
menyusun serangkaian paket kebijakan liberal: pembukaan lahan perkebunan, pendirian
pabrik, pembangunan infrastruktur, eksplorasi pertambangan, mengundang investasi asing,
serta mendatangkan ribuan tenaga kerja untuk dipekerjakan pada proyek-proyek pertanian,
perkebunan, dan infrastruktur yang diproduksi oleh sistem kolonial Belanda.
Liberalisasi ekonomi pada akhirnya menghasilkan sebuah kelas sosial baru bernama
buruh. Transformasi sosial rakyat Hindia Belanda praktis menghadirkan kantong-kantong
industri baru, pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, serta masuknya beragam ideologi Barat
(nasionalisme, sosialisme, dan marxisme) yang dibawa oleh para imigran Eropa. Rangkaian
proses transformasi sosial itu memiliki andil besar dalam melahirkan kesadaran kelas dalam
struktur ekonomi masyarakat kolonial. Pada fase awal abad ke-20, gerakan buruh mengalami
transformasi politik dan proses radikasiliasi gerakan. Masifnya aktivitas mogok yang
diorganisir berbagai Serikat Buruh (SB) membuat gerah pemerintah kolonial. Tak sedikit para
tokoh buruh yang kemudian ditangkap dan dipenjarakan pemerintah kolonial. Tahun 1930,
Serikat Kaum Buruh Indonesia (SKBI) dibubarkan karena dicurigai mendukung gerakan
kebangsaan. Pemerintah kolonial Belanda menilai pengorganisasian SB yang radikal sebagai
ancaman rust and orde, dan menuduh gerakan SB ditunggangi kaum “komunis”. Dampak
dari “pembersihan” organisasi-organisasi buruh progresif pada akhirnya membuat gerakan
buruh tak lagi berperan penting dalam gerakan kebangsaan.
1 Untuk bagian sejarah gerakan buruh Indonesia ini, penulis telah menggunakan informasi yang diberikan dalam karya-karya berikut ini:
1. Cahyono, edi dan soegiri DS. 2005. Gerakan Serikat Buruh: Jaman Kolonial Hindia Belanda Hingga Orde Baru. Jakarta: Hasta Mitra
2. Tedjasukmana, Iskandar. 2008. Watak Politik Gerakan Serikat Buruh Indonesia. Jakarta: TURC3. Jurnal Sosial Demokrasi: Buruh dan Politik. Volume 10 Januari-Maret 2011.
1
Memasuki masa pendudukan Jepang (1941-1945), praktis tak ada satu pun kekuatan
politik—termasuk gerakan buruh yang bisa bertahan. Pada masa ini, seluruh organisasi
perjuangan politik rakyat dibubarkan dan seluruh potensi tenaga rakyat dikerahkan pada
proyek “kerja paksa” guna mendukung pengadaan pangan dan logistik perang bala tentara
Jepang.
Pasca Proklamasi, di tengah-tengah eforia revolusi kemerdekaan, organisasi-
organisasi SB kembali menggeliat dengan lahirnya belasan federasi SB di awal 1950 hingga
akhir 1960-an. Hampir seluruh SB masa ini berafiliasi dengan partai politik, seperti Sentral
Organisasi Buruh Indonesia (SOBSI) dengan PKI, Serikat Buruh Muslimin Indonesia
(Sarbumusi) dengan NU, Gabungan Serikat-serikat Buruh Islam Indonesia (Gasbiindo)
dengan Parmusi, Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia (SOBRI) dengan Murba, dan
Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) dengan militer/TNI. Pada era ini,
relasi antar SB saling bersaing, sebangun dengan sistem kepartaian Indonesia saat itu yang
sangat kompetitif dan cenderung konfliktual. Di bawah pemerintahan Presiden Soekarno,
gerakan buruh tak hanya mendapat ruang gerak cukup luas dari pemerintah, namun memiliki
peran besar dalam mempengaruhi kebijakan politik negara. Pemerintahan Soekarno dikenal
sebagai pemerintahan yang respek terhadap gerakan buruh dan ideologi politik sayap kiri.
Jatuhnya pemerintahan Soekarno tahun 1966, telah diikuti oleh pemenjaraan ratusan
ribu anggota PKI dan organisasi-organisasi afiliasinya (SOBSI, Barisan Tani Indonesia/BTI,
ormasormas sayap kiri, dan pihak-pihak yang dianggap dekat dengan Soekarno). Transisi
politik Orde Lama ke Orde Baru menjadi titik dari keruntuhan gerakan buruh sebagai pilar
penting kekuatan politik nasional. Setelah berhasil membubarkan PKI dan organisasi-
organisasi afiliasinya, melalui berbagai intimidasi dan kekerasan politik, pemerintah Orde
Baru melanjutkan upaya penataan kehidupan politik, termasuk merestrukturisasi organisasi-
organisasi perburuhan yang ada.
Penataan gerakan buruh masa Orde Baru setidaknya dapat dibagi ke dalam tiga fase
berikut. Pertama, fase 1966 sampai awal 1970-an sebagai fase pelarangan terhadap segala
bentuk pengorganisasian SB, karena hampir semua SB adalah produk era kepemimpian
Soekarno yang bersimpati pada gerakan politik sayap kiri. Kedua, fase 1970-1990 sebagai
fase pengambilalihan (take over) seluruh kekuatan SB di bawah kendali militer. Politik
pengendalian militer bahkan masuk sampai ke tempat kerja, mengintervensi proses pemilihan
pemimpin SB, membatasi partisipasi politik buruh, mengendalikan tuntutan kenaikan upah
(termasuk tuntutan atas keamanan bekerja), hingga menghindari tumbuhnya SB yang
berwatak kritis dan radikal. Ketiga, fase 1990-1998, fase dimana kebijakan ekonomi pasar
2
menjadi “kedok” pemerintah untuk melanjutkan proyek kooptasi dan eksploitasi atas
kekuatan politik buruh melalui konsep Hubungan Industrial Pancasila (HIP). HIP
dimaksudkan sebagai instrumen kontrol negara sekaligus sarana penyeimbang aspirasi
negara-negara kreditor yang meminta agar pemerintahan Soeharto bersikap lebih bersikap
responsif-akomodatif terhadap tuntutan buruh.
Pasca runtuhnya rezim pemerintahan Soeharto, kebebasan politik yang tersedia di
masa reformasi telah membuka kesempatan bagi kebangkitan gerakan sosial di Indonesia. era
reformasi menyediakan struktur kesempatan politik yang lebih terbuka. Termasuk di
dalamnya, sebuah ruang politik yang lebih ramah bagi gerakan buruh. Menyusul reformasi
1998, ada begitu banyak organisasi buruh yang tumbuh. Tidak ada lagi pembatasan yang
bersifat politik. siapa saja bisa membentuk organisasi buruh. Dengan adanya Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2000 tentang serikat pekerja/serikat buruh, ruang kebebasan bagi buruh
untuk memperjuangkan kepentingannya terbuka lebar. Demonstrasi buruh sering terjadi di
berbagai tempat dengan berbagai tuntutan. Akan tetapi, sejauh mana iklim kebebasan itu
secara optimal dimanfaatkan buruh dan serikat buruh untuk sebesar-besarnya pembangunan
gerakan buruh? Pertanyaan inilah yang membuat penulis tertarik untuk mencari jawabannya
dengan menggunakan perspektif Karl Marx. Sebab, lingkungan politik dan rentang persoalan
yang dihadapi gerakan buruh di era reformasi sudah jelas berbeda dengan era orde baru. Jika
di era Orde Baru salah satu isu besarnya adalah bagaimana memberi ruang pada gerakan
buruh di tengah politik represif pemerintah berkuasa, maka pada era reformasi hal itu tidak
lagi menjadi isu besar. Akan tetapi, bagaimana membuat gerakan buruh benar-benar efektif
dan semakin relevan di tengah kompleksitas persoalan buruh dan hubungan kerjalah yang
menjadi isu besar di era reformasi ini. Lalu, mengapa penulis menggunakan perspektif Karl
Marx untuk menjawab pertanyaan di atas? Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis bertumpu
pada pernyataan Karl Marx tentang Kesadaran Kelas. Menurut Karl Marx, yang menentukan
perkembangan masyarakat bukan kesadaran. Jadi bukan apa yang dipikirkan masyarakat
tentang dirinya sendiri yang menggerakkan masyarakat tersebut, melainkan keadaan
masyarakat yang nyata tersebutlah yang akan menggerakkan masyarakat.
3
1.1. Rumusan Masalah
Berdasarkan deskripsi di atas, yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini
adalah bagaimana situasi gerakan buruh Indonesia pasca reformasi bila dikaji dengan
menggunakan perspektif Karl Marx.
1.1. Tujuan Penulisan
Berdasarkan penetapan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui bagaimana situasi gerakan buruh Indonesia pasca reformasi bila dikaji
dengan menggunakan perspektif Karl Marx.
1.1. Manfaat Penulisan
Manfaat penelitian ini adalah manfaat teoritis. Manfaat teoritis dari hasil penelitian
ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu, yakni memberi kontribusi dalam
memaparkan bagaimana situasi gerakan buruh Indonesia pasca reformasi bila dikaji dengan
menggunakan perspektif Karl Marx.
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Situasi Permasalahan Perburuhan dan Gerakan Buruh di
Indonesia Pasca Reformasi
Menyusul Reformasi 1998, ada begitu banyak organisasi buruh yang tumbuh di
Indonesia. Keadaan ini merupakan wujud dari kebebasan politik yang tersedia di masa
reformasi. Pasca dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 2000 tentang serikat pekerja/serikat
buruh2, siapa saja bisa membentuk organisasi buruh. Tidak ada lagi pembatasan yang bersifat
politik. kebebasan bagi buruh untuk memperjuangkan kepentingannya terbuka lebar. Bahkan
sebagai wujud dari kebebasan ini, demonstrasi buruh sering terjadi di berbagai tempat dengan
berbagai tuntutan. Akan tetapi, walaupun organisasi buruh telah menghadapi masa kebebasan
berpolitik, gerakan buruh pasca reformasi menghadapi problem yang lebih kompleks
dibandingkan dengan masa Orde Baru. Jika di era Orde Baru salah satu problemnya adalah
bagaimana memberi ruang pada gerakan buruh di tengah politik represif pemerintah
berkuasa, pada era reformasi hal itu tidak lagi menjadi permasalahan yang besar. Akan tetapi,
bagaimana membuat gerakan buruh benar-benar efektif dan semakin relevan di tengah
kompleksitas persoalan buruh dengan hubungan kerjalah yang menjadi isu besar di era
reformasi ini. Hal ini terkait dengan kian maraknya kebijakan pasar kerja fleksibel (sistem
kerja kontrak) yang menjadi tuntutan rezim globalisasi neoliberal. Sistem kerja kontrak
merupakan agenda rezim dagang internasional, sebagai respons pengusaha terhadap tekanan
pasar yang kian liberal.
Semakin melebarnya persaingan dalam dunia bisnis, membuat pengusaha berupaya
untuk meningkatkan produk yang mereka hasilkan (baik kuantitas maupun kualitas) dengan
melakukan efisiensi biaya produksi. Tercapainya efisiensi biaya produksi ini, pengusaha
peroleh dengan memberlakukan sistem kerja kontrak (outsourcing) kepada pegawai atau
karyawan-karyawannya.
Outsourcing adalah praktek dalam dunia bisnis yang muncul sejak akhir 1980-an dan
menjadi strategi utama bisnis dalam iklim kompetisi yang ketat. Outsourcing di definisikan
2 UU No 21 Tahun 2000 tentang serikat pekerja/serikat buruh memberi kemudahan dalam mendirikan serikat pekerja atau serikat buruh. Pasal 5 ayat 2 UU tersebut mengatur serikat buruh atau serikat pekerja dapat dibentuk oleh minimal 10 orang pekerja/buruh. Minimal enam serikat pekerja telah dapat membentuk satu federasi serikat pekerja/buruh dan minimal 3 federasi sudah bisa membentuk satu konfederasi serikat pekerja/serikat buruh.
5
sebagai proses mengalihdayakan atau memindahkan atau memborong kegiatan usaha ke
pihak ketiga (Indrasari, Rina, suhadmadi; dalam Algifari, 11)
Dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dijelaskan
bahwa sistem outsourcing atau alih daya merupakanpemborongan atau penyediaan jasa
tenaga kerja yang di mana badan penyedia jasatersebut melakukan proses administratif dan
manajemen berdasarkan definisi atau kriteria yang sudah disepakati oleh para pihak yang
berkerjasama (perusahaan dan penyedia jasa).
Pelaksanaan sistem outsourcing dapat memberikan manfaat bagi pemerintah,
pengusaha dan pekerja/buruh. Manfaat untuk pemerintah adalah membantu mengembangkan
dan mendorong proses pertumbuhan ekonomi secara nasional. Bagi pengusaha dan
perusahaan adalah meningkatkan fokus perusahaan, membagi resiko, menciptakan dana
segar, mengurangi dan mengendalikan biaya operasi, serta memperoleh sumber daya yang
tidak dimiliki sendiri. Untuk pekerja, manfaat yang diperoleh adalah aktivitas industri di
daerah akan mendorong kegiatan ekonomi penunjang di lingkungan masyarakat,
mengembangkan infrastruktur sosial masyarakat, budaya kerja, disiplin dan peningkatan
kemampuan ekonomi, mengatasi pengangguran, meningkatkan kemampuan dan budaya
perusahaan dilingkungan masyarakat.
Pada perkembangannya, ternyata sistem outsourcing banyak ditolak oleh
pekerja/buruh karena dianggap merugikan dan hanya menguntungkan perusahaan saja. Ini
disebabkan karena sistem outsourcing membuat perusahaan lebih memilih mengangkat
pekerja secara outsourcing daripada menjadikan mereka sebagai pekerja tetap. Karena
melalui outsourcing perusahaan daat menghemat banyak pengeluaran, seperti pengeluaran
ekonomi perusahaan, tunjangan-tunjangan yang berkaitan dengan kesejahteraan pekerja. Jadi,
dalam praktiknya, penerapan sistem kerja kontrak ini hanya memindahkan pekerja dari satu
perusahaan ke perusahaan lain dengan pekerjaan yang sama selama bertahun-tahun.
Tidak hanya itu, sistem kerja outsourcing berdampak pada buruh outsourcing yang
gajinya di bawah upah minimum. Tidak ada tunjangan, asuransi, jaminan sosial, bahkan
terjadinya pemotongan gaji. Dengan demikiaan, keadaan ini menjadi salah satu pemicu
adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran terhadap pekerja/buruh tetap dan
mengganti pekerja/buruh berstatus kontrak.
Selain masalah outsourcing, masalah yang dihadapi pekerja/buruh adalah upah.
Seperti masalah Upah Minimum Provinsi (UMP), hal ini seperti sudah menjadi program
tahunan bagi organisasi-organisasi pekerja/buruh untuk menuntut kenaikan gaji. Aksi yang
dilakukan pekerja/buruh beragam, ada yang melakukan aksi dengan diskusi, dialog tripartit
6
(pemerintah, pengusahan, pekerja/buruh), ada juga aksi demonstrasi. Semua itu dilakukan
sebagai cara protes kepada pemerintah agar dapat mengeluarkan putusan kenaikan upah.
Untuk permasalahan upah, aksi yang dilakukan organisasi buruh dengan mendesak
pemerintah untuk menaikkan upah minimum dapat diaktakan berhasil.
Dengan desakan pekerja/buruh yang dilakukan di DKI Jakarta pada Tahun 2012
membuat pemerintah DKI Jakarta mengeluarkan Keputusan tentang Peraturan Gubernur
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 189 Tahun 2012 Tentang Upah Minimum
Provinsi Tahun 2013 sebesar Rp.2.200.000 tiap bulannya. Kenaikan upah pekerja/buruh pada
tahun ini sebesar 43,8% dari tahun 2012 yang berkisar Rp.1.529.150.
Dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini, kebijakan upah minimum adalah satu-
satunya kebijakan pemerintah Indonesia yang dengan secara langsung dikaitkan dengan upah
pekerja/buruh dan secara eksplisit merupakan hasil yang diperoleh dari gerakan buruh. Maka
wajar saja jika semua pihak (pemerintah pengusaha, buruh) menempatkan kenaikan upah
sebagai isu sentral, bahkan tidak sedikit yang menganggap upah minimum adalah obat ampuh
bagi masalah kesejahteraan pekerja/buruh.
Dari gambaran singkat tentang permasalahan perburuhan di Indonesia pasca
reformasi diatas, maka penulis dapat merumuskan beberapa kelemahan bangsa ini dalam
menghadapi masalah perburuhan, yaitu: Pertama, undang-undang perburuhan yang kita
miliki tidak memadai. Bentuk-bentuk hubungan ekonomi yang lebih cepat berubah tidak bisa
diakomodasi dengan cepat oleh sebuah ketentuan perundang-undangan maupun ketentuan
lain. Kedua, pemerintah juga tidak memiliki kemauan politik yang kuat untuk melakukan
perlindungan yang efektif pada buruh. Dalam sejumlah kebijakan pemerintah bahkan terkesan
berdiri memihak kepentingan pengusaha atas nama investasi. Misalnya, pemerintah relatif
mendukung gagasan fleksibilitas kerja. Bahkan dalam kasus yang paling baru, pemerintah
dalam bentuk Surat Keputusan Bersama (SKB) empat menteri mencoba mengendalikan
besaran upah minimum regional agar tidak melebihi pertumbuhan ekonomi.
Pada dua permasalahan tersebutlah seharusnya gerakan buruh relevan untuk
dilakukan. Perlu bagi gerakan buruh (serikat buruh, aktivis buruh dan buruh) untuk masuk ke
dalam dunia perpolitikan bangsa ini. Tujuannya adalah agar serikat buruh, aktivis buruh dan
buruh dapat secara langsung ikut ambil bagian dalam merumuskan kebijakan perburuhan
bangsa ini. Hingga pada akhirnya kebijakan pemerintah dalam bentuk undang-undang dan
peraturan pemerintah lainnya dapat memihak pada buruh bangsa ini, dan bukannya pada
investor. Jadi, bagaimana situasi gerakan buruh dalam bentuk serikat buruh di Indonesia
pasca reformasi?
7
Ternyata, kebebasan politik yang tersedia di masa reformasi tidak sepenuhnya
melahirkan kebaikan terhadap gerakan buruh di negara ini. Begitu banyaknya organisasi
buruh yang tumbuh seiring dengan tidak ada lagi pembatasan yang bersifat politik di era
reformasi ini rupanya memberikan kelemahan bagi gerakan buruh itu sendiri. Kekuatan buruh
yang terpencar dalam berbagai blok organisasi buruh dan pemimpin buruh yang juga
terpencar dalam aliansi politik yang tidak terpola ternyata membuat kekuatan buruh belum
menjadi kekuatan politik yang penting di negara ini. Singkatnya, Kebebasan berserikat yang
selama ini menjadi jaminan kepada masyarakat rupanya masih kerap disalahartikan
masyarakat untuk mengembangkan ideologinya.
Rekson Silaban dalam sebuah kegiatan peluncuran bukunya yang berjudul Reposisi
Gerakan Buruh mengatakan: “Saya melihat terjadi pembengkakan serikat buruh yang
awalnya tiga membengkak menjadi 130 serikat. Makanya harus ada dasar ideologi sebuah
gerakan dari serikat buruh itu". Selain itu, Rekson juga mengatakan bahwa pelatihan yang
dilakukan serikat buruh lebih menitikberatkan pada hak-hak normatif, seperti upah minimum,
perjanjian kerja, jaminan sosial, tetapi kurang menelaah akar masalahnya. Gerakan buruh
Indonesia umumnya kuat dalam mobilisasi penolakan, tetapi lemah di tahap pengajuan
alternatif. Kalaupun ada alternatif hanya seputar besaran angka rupiah saat menuntut upah
minimum (Kompas, 19 Maret 2009).
2.2. Analisis Situasi Permasalahan Buruh dan Gerakan Buruh di
Indonesia Pasca Reformasi dengan Menggunakan Perspektif
Karl Marx
2.2.1. Dinamika Perkembangan Kapitalisme Menurut Karl
Marx
Ada dua perkembangan yang khas bagi dinamika kapitalisme. Yang pertama adalah
kecondongan untuk menyederhanakan susunan kelas-kelas sosial, dan yang kedua adalah
pembentukan proletariat sebagai kelas militan dan revolusioner.
a. Kelas Atas dan Kelas Bawah
Menurut Karl Marx, pelaku-pelaku utama dalam perubahan sosial bukanlah
individu-individu tertentu, melainkan kelas-kelas sosial. Ia memberitahukan kepada kita
secara mendetail bahwa kelas-kelas itu tidak dibedakan berdasarkan pendapatan yang mereka
8
hasilkan. Sekalipun anggota-anggota dari kelas yang berbeda secara khas akan mendapatkan
penghasilan yang tidak sama, mereka tidak harus dimasukkan ke dalam kelas-kelas yang
berbeda, dan sekalipun mereka bisa dimasukkan ke dalam kelas-kelas tersendiri,
penggolongan itu tidak mesti dipahami bahwa mereka termasuk dalam kelas-kelas yang
berbeda. Marx juga menolak gagasan bahwa kelas-kelas dapat dibedakan berdasarkan
pekerjaan dari anggota-anggotanya yaitu dengan melihat hakikat spesifik kerja yang mereka
lakukan. Konteks kerja, bukan kerja itu sendiri, merupakan parameter suatu kelas. Dengan
kata lain, pemilikan pribadi atas alat-alat produksi menjadi dasar utama pembagian
masyarakat dalam kelas sehingga dalam setiap masyarakat terdapat kelas-kelas yang berkuasa
dan kelas-kelas yang dikuasai.
Dalam uraiannya, Marx menyebut dua kelas saja yang paling berpengaruh, yaitu
kaum kapitalis atau pemilik modal dan kaum buruh atau mereka yang hidup dengan menjual
tenaga kerja sendiri (Suseno, 1999:113). Yang pertama memiliki sarana-sarana kerja,
sedangkan yang kedua hanya memiliki tenaga kerja mereka sendiri. Dalam sistem produksi
kapitalis, dua kelas ini saling berhadapan. Keduanya saling membutuhkan: buruh hanya dapat
bekerja apabila pemilik membuka tempat kerja baginya. Majikan hanya beruntung dari pabrik
dan mesin-mesin yang dimiliki apabila ada buruh yang mengerjakannya. Tetapi saling
ketergantungan ini tidak seimbang. Buruh tidak dapat hidup kalau ia tidak bekerja. Ia tidak
dapat bekerja kecuali diberi pekerjaan oleh seorang pemilik. Sebaliknya, meskipun si pemilik
tidak mempunyai pendapatan kalau pabriknya tidak berjalan, tetapi ia masih bisa bertahan
lama. Ia dapat hidup dari modal yang dikumpulkannya selama pabriknya bekerja atau ia dapat
menjual pabriknya. Oleh karena kelas-kelas pekerja tergantung dari sarana agar dapat hidup,
kelas-kelas pekerja dapat dikontrol oleh kelas-kelas pemilik. Itu berarti bahwa para pemilik
dapat menghisap tenaga kerja para pekerja, jadi mereka hidup dari penghisapan tenaga
mereka yang harus bekerja. Kelas-kelas pemilik merupakan kelas-kelas atas dan dan kelas-
kelas pekerja merupakan kelas-kelas bawah dalam masyarakat (Suseno, 1994:266). Jadi
menurut Marx ciri khas semua pola masyarakat sampai sekarang ialah bahwa masyarakat
dibagi ke dalam kelas-kelas atas dan bawah dan bahwa struktur proses ekonomi tersusun
sedemikian rupa sehingga yang pertama dapat hidup dari penghisapan tenaga kerja yang
kedua.
Dengan demikian, kelas pemilik adalah kelas yang kuat dan para pekerja adalah
kelas yang lemah. Para pemilik dapat menetapkan syarat-syarat bagi mereka yang mau
bekerja, dan bukan sebaliknya. Kaum buruh yang mati-matian mencari pekerjaan terpaksa
menerima upah dan syarat-syarat kerja lain yang disodorkan oleh si kapitalis. Marx melihat
9
bahwa inti dari kapitalisme adalah pencapaian keuntungan yang sebanyak-banyaknya.
Pertanyaan dasar yang diajukan Marx di sini adalah cara apa yang dipakai oleh sistem ini
untuk memperoleh keuntungan yang dimaksud (Ramly, 2000:151). Dari sini Marx dalam
analisisnya sampai pada kesimpulan bahwa keuntungan itu diperoleh lewat pertukaran
manusiawi, namun sistem ini dalam mekanisme pertukaran barang dan jasa selalu
menguntungkan pemilik modal melalui cara yang tidak lazim, yaitu penghisapan.
Terkait dengan situasi perburuhan di Indonesia, sistem outsourcing dalam
prakteknya yang ternyata lebih menguntungkan pihak perusahaan merupakan wujud dari sifat
kapitalisme yang selalu bertujuan untuk mencari untung yang sebesar-besarnya. Karena
melalui sistem outsourcing perusahaan dapat menghemat banyak pengeluaran, seperti
pengeluaran ekonomi perusahaan, tunjangan-tunjangan yang berkaitan dengan kesejahteraan
pekerja. Jadi, dalam praktiknya, penerapan sistem kerja kontrak ini hanya memindahkan
pekerja dari satu perusahaan ke perusahaan lain dengan pekerjaan yang sama selama
bertahun-tahun. Oleh karena itu, Marx menyimpulkan bahwa keuntungan kapitalis itu
diperoleh lewat pertukaran manusia, namun sistem ini dalam mekanisme pertukaran barang
dan jasa selalu menguntungkan pemilik modal melalui cara penghisapan. Dengan demikian,
kelas pemilik adalah kelas yang kuat dan para pekerja adalah kelas yang lemah. Para pemilik
dapat menetapkan syarat-syarat bagi mereka yang mau bekerja (seperti outsourcing, upah),
dan bukan sebaliknya. Kaum buruh yang mati-matian mencari pekerjaan terpaksa menerima
upah dan syarat-syarat kerja lain yang disodorkan oleh si kapitalis.
b. Pemelaratan Kelas Proletariat
Hukum keras kapitalisme adalah persaingan. Makin besar laba, makin baik harapan
sebuah perusahaan untuk menang dalam persaingan itu. Karena itu, untuk dapat menang
dalam sebuah persaingan, kaum kapitalis berusaha untuk terus memperluas produksi dan
mengalahkan saingannya dengan cara menurunkan harga produk mereka. Untuk dapat
menjual produk mereka dengan lebih murah, mereka mencoba untuk terus menerus menekan
upah kaum buruh. Karena adnya mekanisme itu dalam kapitalisme, proletariat menjadi
semakin miskin.
Apabila ada buruh yang menuntut kenaikan upah, kapitalis tidak takut dengan hal
itu. Sebab, Marx mengatakan bahwa selalu ada buruh yang belum menemukan pekerjaan dan
bersedia menggantikan buruh yang sedang bekerja. Adanya tentara industri cadangan itu
10
memperlemah daya juang kaum buruh, karena mereka yang mogok seperlunya digantikan
oleh buruh yang mencari pekerjaan (Suseno, 1999: 200).
2.2.2. Kesadaran Kelas
Menurut Karl Marx, yang menentukan perkembangan masyarakat bukan kesadaran.
Jadi bukan apa yang dipikirkan masyarakat tentang dirinya sendiri yang menggerakkan
masyarakat tersebut, melainkan keadaan masyarakat yang nyata tersebutlah yang akan
menggerakkan masyarakat:
“berlawanan dengan filsafat Jerman yang turun dari surga ke bumi, di sini kami
naik dari bumi ke surga. Artinya, kami tidak bertolak dari apa yang dikatakan
orang, dari bayangan dan cita-cita orang, jadi tidak dari orang yang diperkatakan,
dipikirkan, dibayangkan, dicita-citakan untuk sampai kepada manusia nyata;
(melainkan) kami bertolak dari manusia yang nyata dan aktif, dan dari proses hidup
nyata merekalah perkembangan refleksi-refleksi serta gema-gema ideologis proses
hidup itu dijelaskan” (GI, MEW; dalam Magnis Suseno, 139).
Dari anggapan Marx tersebut memuat dua pernyataan: pertama, sebuah pernyataan
tentang keadaan masyarakat; kedua, pernyataan bahwa keadaan itulah yang menentukan
kesadaran manusia dan bukanya sebaliknya. Keadaan sosial manusia adalah produksinya,
pekerjaannya. “manusia ditentukan oleh produksi mereka, baik apa yang mereka produksikan,
maupun cara mereka berproduksi. Jadi, individu-individu tergantung pada syarat-syarat
material produksi mereka” (GI, MEW: dalam Suseno, 1999: 139). Di lain tempat, Marx
menjelaskan: “Penggilingan dengan tangan menghasilkan masyarakat tuan-tuan feodal,
penggilingan dengan uap menghasilkan masyarakat kaum kapitalis industrial” (MP, MEW;
dalam Suseno, 1999: 139). Jadi, dari pernyataan tersebut, Marx ingin mengatakan bahwa cara
manusia menghasilkan apa yang dibutuhkannya untuk hidup itulah yang disebut dengan
keadaan manusia.
Terkait dengan permasalahan buruh dan gerakan buruh di Indonesia pasca reformasi.
Keadaan buruh yang masih terpencar-pencar dalam berbagai aliansi tersebut secara tidak
langsung berpengaruh terhadap tidak timbulnya kesadaran buruh untuk keluar dari
penindasan yang dirasakan dengan memperkuat kekuatan politiknya atau revolusi proletariat
menurut Karl Marx. Sebab, buruh Indonesia masih jatuh dalam kepentingan-kepentingan
pribadi, misalnya seperti yang di kemukakan oleh Rekson mengenai tuntutan-tuntutan buruh
yang masih bersifat normatif seperti tuntutan buruh terhadap kenaikan upah minimum,
11
perjanjian kerja; jaminan sosial; dan tuntutan buruh lainnya yang kurang menelaah akar
masalahnya. Sehingga apa yang menjadi pernyataan Marx berikut ini benar-benar terjadi di
Indonesia: kalau rakyat betul-betul ditindas, dia tentu ingin berevolusi, sedangkan apabila dia
tidak mau berevolusi, kondisinya memang belum matang.
12
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. gerakan buruh pasca reformasi menghadapi problem yang lebih kompleks
dibandingkan dengan masa Orde Baru. Jika di era Orde Baru salah satu problemnya
adalah bagaimana memberi ruang pada gerakan buruh di tengah politik represif
pemerintah berkuasa, pada era reformasi hal itu tidak lagi menjadi permasalahan
yang besar. Akan tetapi, bagaimana membuat gerakan buruh benar-benar efektif dan
semakin relevan di tengah kompleksitas persoalan buruh dengan hubungan kerjalah
yang menjadi isu besar di era reformasi ini.
2. Pada perkembangannya, ternyata sistem outsourcing banyak ditolak oleh
pekerja/buruh karena dianggap merugikan dan hanya menguntungkan perusahaan
saja. Ini disebabkan karena sistem outsourcing membuat perusahaan lebih memilih
mengangkat pekerja secara outsourcing daripada menjadikan mereka sebagai pekerja
tetap. Karena melalui outsourcing perusahaan daat menghemat banyak pengeluaran,
seperti pengeluaran ekonomi perusahaan, tunjangan-tunjangan yang berkaitan
dengan kesejahteraan pekerja. Jadi, dalam praktiknya, penerapan sistem kerja
kontrak ini hanya memindahkan pekerja dari satu perusahaan ke perusahaan lain
dengan pekerjaan yang sama selama bertahun-tahun. Bila diamati, sistem
outsourcing dalam prakteknya yang ternyata lebih menguntungkan pihak perusahaan
merupakan wujud dari sifat kapitalisme yang selalu bertujuan untuk mencari untung
yang sebesar-besarnya. Oleh karena itu, Marx menyimpulkan bahwa keuntungan
kapitalis itu diperoleh lewat pertukaran manusia, namun sistem ini dalam mekanisme
pertukaran barang dan jasa selalu menguntungkan pemilik modal melalui cara
penghisapan. Dengan demikian, kelas pemilik adalah kelas yang kuat dan para
pekerja adalah kelas yang lemah. Para pemilik dapat menetapkan syarat-syarat bagi
mereka yang mau bekerja (seperti outsourcing, upah), dan bukan sebaliknya. Kaum
buruh yang mati-matian mencari pekerjaan terpaksa menerima upah dan syarat-
syarat kerja lain yang disodorkan oleh si kapitalis.
3. Terkait dengan permasalahan buruh dan gerakan buruh di Indonesia pasca reformasi.
Keadaan buruh yang masih terpencar-pencar dalam berbagai aliansi tersebut secara
tidak langsung berpengaruh terhadap tidak timbulnya kesadaran buruh untuk keluar
13
dari penindasan yang dirasakan dengan memperkuat kekuatan politiknya atau
revolusi proletariat menurut Karl Marx. Sebab, buruh Indonesia masih jatuh dalam
kepentingan-kepentingan pribadi, misalnya seperti yang dikemukakan oleh Rekson
mengenai tuntutan-tuntutan buruh yang masih bersifat normatif seperti tuntutan
buruh terhadap kenaikan upah minimum, perjanjian kerja; jaminan sosial; dan
tuntutan buruh lainnya yang kurang menelaah akar masalahnya.
14
3.2. Saran
Serikat buruh sebagai sarana perjuangan dan peningkatan kesejahteraan buruh
merupakan organisasi yang sengaja dibentuk atas kemauan dan kesadaran dari para buruh itu
sendiri. Untuk itu dibutuhkan beberapa langkah untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas
dari Serikat Buruh itu sendiri seperti:
1. Serikat buruh harus memiliki komitmen tinggi dalam memperjuangkan hak-hak buruh
dalam meningkatkan kesejahteraannya.
2. Serikat Buruh harus senantiasa melakukan sosialisasi dan pendekatan kepada para
buruh guna menumbuhkan kesadaran akan pentingnya partisipasi mereka dalam
berserikat.
15
DAFTAR PUSTAKA
Cahyono, edi dan soegiri DS. 2005. Gerakan Serikat Buruh: Jaman Kolonial
Hindia Belanda Hingga Orde Baru. Jakarta: Hasta Mitra
Departemen Tenaga Kerja, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per 01/
Men/1999 Tentang Upah Minimum.
Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI). Ringkasan Eksekutif:
Praktek Kerja Kontrak dan Outsourcing Buruh di Sektor Industri Metal
di Indonesia. Akatiga-Pusat & Friedrich Ebert Stiftung (FES).
George, Ritzer. 2009. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda.
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Jurnal Sosial Demokrasi: Buruh dan Politik. Volume 10 Januari-Maret 2011.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-01/Men/1996 Tentang Upah
Minimum Regional
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan.
Silaban, Rekson. 2009. Reposisi Gerakan Buruh: Peta Jalan Gerakan Buruh
Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: Grafindo
Suseno, Franz, Magnis. 1999. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis
Ke perselisihan Revisionisme. Jakarta: Raja Grafindo Pustaka.
Tedjasukmana, Iskandar. 2008. Watak Politik Gerakan Serikat Buruh
Indonesia. Jakarta: TURC.
16