kedudukan buruh dalam kepailitan

Upload: lois-ardi

Post on 08-Jul-2015

1.032 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

KEDUDUKAN BURUH DALAM KEPAILITAN : PENEMPATAN YANG BURUH SEBAGAI KREDITUR HARUS DIDAHULUKAN DASAR APAKAH DAPAT MENGAMBIL ALIH KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS MEMEGANG HAK JAMINAN KEBENDAAN??BERIKAN KEDUDUKAN MASING-MASING KASUS YANG ADA SEBAGAI REFERENSI, TERMASUK PUTUSAN MK TENTANG PERMOHONAN KEDUDUKAN BURUH! Proses kepailitan pada umumnya adalah proses yang panjang dan banyak pihak (kreditor) yang terlibat dalam proses tersebut, karena pihak debitor yang dipailitkan pasti memiliki utang lebih dari satu, sedang di sisi lain, belum tentu harta pailit mencukupi, apalagi dapat memenuhi semua tagihan yang ditujukan pada debitor. Masing-masing kreditor akan berusaha untuk mendapatkan pembayaran setinggi-tingginya atas piutang mereka. Kondisi tersebutlah yang melatarbelakangi lahirnya aturan-aturan yang mengikat di dalam proses kepailitan, yang mengatur pembagian harta pailit di bawah kendali kurator disertai pengawasan hakim pengawas. Hubungan antara buruh dan majikan merupakan hubungan yang subordinasi, artinya antara buruh dan majikan mempunyai kedudukan yang berbeda dimana salah satu pihak memberikan perintah untuk melakukan suatu pekerjaan sesuai dengan isi perjanjian kerja dan memberikan upah kepada pihak pekerja atau buruh dan pihak yang lainnya melaksanakan perintah atau yang diperintah untuk melakukan suatu pekerjaan yang sesuai dengan isi perjanjian kerja dengan menerima upah dari majikan atau pengusaha. Penyelesaian perselisihan yang terjadi antara buruh dan majikan dapat dilakukan dengan cara penyelesaian melalui bipartite, mediasi, konsiliasi, arbitrase dan melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Pailitnya suatu perusahaan akan berdampak kepada buruh/pekerja yabg akan mengalami pemutusan hubungan kerja karena perusahaan tersebut tidak akan beroperasional lagi. Buruh/pekerja merupakan salah satu kreditur yang berhak atas pemenuhan segala piutangnya dari pihak debitur (perusahaan pailit), disamping krediturkreditur yang lain. Dalam kepailitan dikenal tiga macam kreditur, yakni kreditur separatis, kreditur preferent dan kreditur konkuren. Yang masing-masing kreditur tersebut berbeda kedudukannya serta juga membedakan besaran pembayaran harta pailit. Pada prinsipnya

1

kedudukan para kreditur adalah sama (paritas creditorium) dan karenanya mereka mempunyai hak yang sama atas hasil eksekusi boedel pailit sesuai dengan basaran tagihan mereka masing-masing (pari passu pro rata parte). Namun demikian, asas tersebut mengenal pengecualian, yaitu golongan kreditur yang memegang hak agunan atas kebendaan dan golongan kreditur yang haknya didahulukan berdasarkan undang-undang kepailitan dan PKPU dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan berakhirnya hubungan kerja maka buruh atau pekerja berhak menerima kompensasi, kompensasi yang diterima oleh pekerja atau buruh berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang pengganti haknya sebagaimana diatur dalam Pasal 165 UU Ketenagakerjaan. Meski begitu, adanya aturan-aturan dalam proses kepailitan, belum jelas mengatur sejauh mana prioritas posisi buruh dimana perusahaannya dinyatakan pailit. Apakah buruh mendapatkan prioritas seperti yang disebutkan dalam UU Ketenagakerjaan, atau harus antri sesuai dengan aturan pembagian harta pailit dalam undang-undang kepailitan untuk mendapatkan hak-hak mereka. Buruh pada prinsipnya berhak atas imbalan atas pekerjaan mereka. Tagihan semacam ini bahkan telah secara tegas dinyatakan sebagai utang yang lebih didahulukan pembayarannya daripada utang-utang lainnya. A. Definisi Kepailitan Undang-Undang Kepailitan yang sekarang berlaku adalah Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang menggantikan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998. Kata pailit berasal dari bahasa Prancis failite yang berarti kemacetan pembayaran. Dalam Ensiklopedi Ekonomi Keuangan dan Perdagangan sebagaimana dikutip oleh Munir Fuady, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pailit atau bangkrut, antara lain adalah seseorang yang oleh pengadilan dinyatakan bangkrut dan yang aktivanya atau warisannya telah diperuntukan untuk membayar hutang-hutangnya. Bahwa tujuan dari UU Kepailitan adalah untuk meningkatkan upaya pengembalian kekayaan, memberikan perlakuan baik yang seimbang antara dan yang dapat

2

diperkirakan sebelumnya kepada kreditur serta memberikan kesempatan yang praktis untuk reorganisasi perusahaan yang masih dapat ditolong (potensial), pelayanan bagi kepentingan sosial, untuk memenuhi baik kepentingan kreditur maupun debitur dll. UU Kepailitan sangat erat terkait dengan UU no 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Dalam UU Kepailitan disamping diatur masalah kepailitan juga diatur masalah penundaan pembayaran. Beberapa karakteristik khusus dari UU kepailitan mencakup kepailitan sebagai sitaan secara umum menurut hukum, perlakuan yang sama terhadap kreditur tanpa ada diskriminasi, hak yang sama dari para kreditur (paritas creditorum) kecuali terhadap kreditur yang mempunyai hak jaminan atau memiliki hak prioritas menurut hukum, hanya kreditur yang mempunyai piutang terhadap debitur pada saat putusan pernyataan pailit yang memiliki hak atas pembayaran (prinsip penetapan), dilakukannya pencocokan piutang (verifikasi) dan likuidasi, pemuasan terhadap hak kreditur, adanya pendekatan yang sistematis dan praktis dalam pelaksanaannya. Juga salah satu aspek penting yang diatur dalam UU Kepailitan adalah menyangkut masalah penundaan kewajiban pembayaran hutang. Hal ini dimungkinkan apabila debitur mengalami masalah likuiditas sementara, tetapi potensial untuk mampu melaksanakan kewajibannya di masa mendatang. Dalam keadaan seperti itu maka dapat dilakukan upaya untuk dapat melakukan penundaan pembayaran (hutang). Bagian ini menguraikan mengenai isi UU Kepailitan, khususnya Bab II yang mengatur tentang masalah penundaan pembayaran beserta akibat-akibatnya, kemungkinan terjadinya perdamaian serta ketentuan-ketentuan penutup. Dalam hal dikabulkan dilakukannya penundaan pembayaran, maka biasanya ditetapkan lamanya penundaan pembayaran, lingkup penundaan pembayaran, kelanjutan usaha selama penundaan pembayaran, kemungkinan adalah : Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitpun satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih , dinyatakan pailit dengan putusan perdamaian serta penghentian penundaan pembayaran. Berdasarkan UU No.4 Tahun 1998 Pasal 1 ayat (1) Kepailitan, pengertian Kepailitan

3

pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya. Sedangkan pengertian Kepailitan dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU pasal 1 ayat (1) adalah : Sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. Syarat-syarat untuk mengajukan pailit terhadap suatu perusahaan telah diatur dalam Pasal 2 UU No.37 Tahun 2004. Dari syarat pailit yang diatur dalam pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat yuridis agar dapat dinyatakan pailit adalah : 1. Adanya hutang; 2. Minimal satu dari hutang sudah jatuh tempo; 3. Minimal satu dari hutang dapat ditagih; 4. Adanya debitur; 5. Adanya kreditur; 6. Kreditur lebih dari satu; 7. Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut dengan pengadilan niaga; 8. Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang yaitu : Pihak debitur; Satu atau lebih kreditur; Jaksa untuk kepentingan umum; Bank Indonesia jika debiturnya bank;

4

Bapepam jika debiturnya perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, dan lembaga penyimpanan dan penyelesaian. Menteri Keuangan jika debiturnya perusahaan asuransi, reasuransi, dana pension dan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik; 9. Dan syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam UU kepailitan; 10. Apabila syarat-syarat terpenuhi, hakim menyatakan pailit bukan dapat dinyatakan pailit. Sehingga dalam hal ini kepada hakim tidak dapat diberikan ruang untuk memberikan judgement yang luas. Sehingga dalam pengajuan pailit terhadap debitur oleh kreditur maka harus memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 2 UU No.37 tahun 2004. Berdasarkan syarat-syarat yuridis yang ada dalam uraian diatas, adanya utang menjadi sebuah definisi yang disempurnakan dalam undang-undang yang baru. Memang dalam Undang-Undang No.4 Tahun 1998 tentang Kepailitan tidak terdapat pengertian tentang utang. Penjelasan pasal 1 ayat (1) UU Kepailitan hanya menyebutkan bahwa utang yang tidak dibayar oleh debitur sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah utang pokok dan bunganya. Menurut Jerry Hoff sebagaimana dikutip oleh Setiawan, SH, utang seyogyanya diberi arti luas : baik dalam arti kewajiban membayar sejumlah uang tertentu yang timbul karena adanya perjanjian utang-piutang, maupun kewajiban pembayaran sejumlah uang tertentu yang timbul dari perjanjian atau kontrak lain yang menyebabkan debitur harus membayar sejumlah uang tertentu. Dengan perkataan lain yang dimaksud dengan utang bukan hanya kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu yang disebabkan karena debitur telah menerima sejumlah uang tertentu karena perjanjian kredit, tetapi juga kewajiban membayar debitur yang timbul dari perjanjian-perjanjian lain.

5

Sedangkan menurut Sutan Remy Syahdeni, pengertian utang tidak hanya dalam arti sempit, yaitu tidak seharusnya hanya diberi arti berupa kewajiban membayar utang yang timbul karena perjanjian utang piutang saja, tetapi merupakan setiap kewajiban debitur yang berupa kewajiban membayar sejumlah uang kepada kreditur baik kewajiban yang timbul karena perjanjian apapun juga, maupun timbul karena ketentuan undang-undang, dan timbul karena putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Dilihat dari perspektip kreditur, kewajiban membayar debitur tersebut merupakan hak untuk memperoleh pembayaran sejumlah uang atau right to payment. Dalam Pasal 2 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan syarat adanya hutang dalam pengajukan peromohonan pailit. Dalam UU No.37 tahun 2004 makna hutang diperluas maknanya menjadi kewajiban. Dalam Pasal 1 UU No.37 tahun 2004 utang adalah : Kewajiban dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau undangundang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor. Dari beberapa pengertian utang yang telah diuraikan diatas, dapat kita lihat bahwa definisi utang dalam UU No.37 Tahun 2004 mempunyai arti yang luas seperti pengertian yang dikemukakan oleh Sutan Remy Syahdeni. Hal ini tentu berbeda dengan pengertian utang yang tercantum dalam ketentuan sebelumnya. Setelah jelas utang yang akan ditagih oleh kreditor kepada debitur, maka kreditur mengajukan pailit debitur kepada pengadilan niaga atau dapat juga debitur sendiri yang mengajukan pailit. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih dimuka pengadilan sedangkan debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka pengadilan.

6

Debitur yang dapat dinyatakan pailit adalah : Debitor bukan bank dan bukan perusahaan efek debitor bank debitor perusahaan efek debitor perusahaan asuransi, reasuransi, dana pensiun, BUMN yang bergerak dibidang kepentingan publik Selanjutnya apabila debitur dinyatakan pailit, maka tentu ada akibat yuridis diberlakukannya oleh Undang-Undang. Menurut Munir Fuady, akibat yuridis tersebut berlaku kepada debitur dengan 2 (dua) model pemberlakuan, yaitu sebagai berikut : 1. Berlaku demi hukum. Ada beberapa akibat yuridis yang berlaku demi hukum (by the operation of law) segera setelah pernyataan pailit dinyatakan atau setelah pernyataan pailit mempunyai kekuatan hukum tetap ataupun setelah berakhirnya kepailitan. Dalam hal seperti ini, pengadilan niaga, hakim pengawas, kurator, krediutr, dan siapapun yang terlibat dalam proses kepailitan tidak dapat memberikan andil secara langsung untuk terjadinya akibat yuridis tersebut. Misalnya larangan bagi debitur pailit untuk meninggalkan tempat tinggalnya (cekal) seperti disebut dalam Pasal 97, sungguhpun dalam hal ini pihak hakim pengawas masih mungkin memberi izin bagi debitur pailit untuk meninggalkan tempat tinggalnya. 2. Untuk akibat-akibat hukum tertentu dari kepailitan berlaku rule of reason.Maksudnya adalah bahwa akibat hukum tersebut tidak otomatis berlaku, tetapi baru berlaku jika diberlakukan oleh pihak-pihak tertentu, setelah mempunyai alasan yang wajar jika diberlakukan. Pihak-pihak yang mesti mempertimbangkan berlakunya akibat-akibat hukum tertentu tersebut misalnya

7

kurator, pengadilan niaga, hakim pengawas dan lain-lain. Sebagai contoh adalah harta debitur pailit dapat disegel atas persetujuan hakim pengawas. Berdasarkan undang-undang tersebut di atas, Kepailitan adalah sita umum terhadap seluruh harta kekayaan Debitur pailit yang sudah ada pada saat Debitur dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga yang berwenang maupun yang akan diperoleh selama kepailitan berlangsung, kecuali yang ditentukan dalam pasal 22 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dengan tujuan akhir untuk mempergunakan seluruh harta Debitur pailit tersebut (harta pailit) membayar semua Krediturnya secara adil dan merata berimbangan oleh seorang Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas. Pembayaran utang Debitur pailit dilakukan oleh Kurator berdasarkan Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1138 KUH Perdata. Jadi pembayaran oleh Kurator kepada Kreditur dilakukan berdasarkan asas paritas creditorum, kecuali diantara para kreditur ada alasan yang sah untuk didahulukan pembayaran piutangnya. B. Golongan Kreditur dalam Kepailitan Kreditur adalah pihak ( perorangan, organisasi, perusahaan atau pemerintah) yang memiliki tagihan kepada pihak lain (pihak kedua) atas properti atau layanan jasa yang diberikannya (biasanya dalam bentuk kontrak atau perjanjian) dimana diperjanjikan bahwa pihak kedua tersebut akan mengembalikan properti yang nilainya sama atau jasa. Pihak kedua ini disebut sebagai peminjam atau yang berhutang. Secara singkat dapat dikatakan pihak yang memberikan kredit atau pinjaman kepada pihak lainnya. Macam-macam berdasarkan materi perkuliahan hukum kepailitan yang dibawakan oleh Jamin Ginting adalah sebagai berikut : 1. kreditur Preferen (secured creditors) : - hak untuk didahulukan diantara kreditur karena hak isimewa,gadai,hipotek, (psl 1133 bw)

8

- syarat preferensi : tagihan yg berupa hak istimewa, tagihan yang dijamin hak gadai, tagihan yg dijamin hipotek, hak tanggungan/ uu 4/96, hak fiducia/ uu 42/99 (berdasarkan pasal 37 UUF, jika tidak dilakukan penyesuaian, maka perjanjian jaminan fiducia bukan merupakan hak agunan atas kebendaan. Konsekuensinya kreditur kehilangan kedudukannya sebagai kreditur yang diutamakan terhadap kreditur lainnya) = a. kreditur separatis : -menduduki urutan tertinggi kec.ditentukan UU -adalah kreditur dengan hak jaminan -kreditur separatis dapat eksekusi sendiri aset yang merupakan jaminan uang(psl 56 UUK) -tidak terkena biaya kepailitan -harus keluarkan biaya sendiri b. kreditur dengan Hak Istimewa : -hak istimewa adalah hak yang oleh UU diberikn pada seorang kreditur sehingga tingkatannya lebih tinggi dari kreditur lain,berdasarkan sifat piutangnya (psl 1134 bw) -hak istimewa kreditur -> psl 56(1) uu 4/98 = dengan tetap perhatikan psl 56A,tiap kreditur yang memegang hak tanggungan, hak gadai, atau hak agunan atas kebendaan lainnya dapat mengeksekusi hak nya seolah tidak terjadi kepailitan Psl 56A = hak eksekusi kreditur dlm 56(1) dan hak phk ke3 utk menuntut hartany yg dlm kekuasaan debitur/curator,ditangguhkan plg lama 90hr sejak tgl putusan pailit -hak istimewa mnrt UU : 1137bw(hak tagihan kas neg,kantor lelang), 21(3) uu 6/1983 (pajak,utang pajak), 1139(1)bw(biaya perkara lelang benda bgrk/tdk), 1149(1)(biaya lelang&pnylesaian waris), 15&67d jo 69 UUK(curator), 23 PP 68/96 ttg likuidasi bank = 1.gaji pegawai terutang 2.perkara di pengadilan 3.biaya

9

lelang terutang 4.pajak terutang 5.nasabah penyimpan dana 6.kreditur lainny(termsuk K.separatis), upah buruh 2.Kreditur konkuren -asas pari paso pro rata parte -kreditur konkuren memiliki kedudukan sama -pembangian harta jaminan stlh dikurangi K.Preferen&hak istimewa -pembagian scr proporsional berdasarkan piutang masing-masing

Sedangkan Penentuan golongan kreditur di dalam Kepailitan adalah berdasarkan Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1138 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP); dan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) (selanjutnya disebut sebagai UU Kepailitan). Berdasarkan peraturan-peraturan di atas, golongan kreditur tersebut meliputi: 1. Kreditur yang kedudukannya di atas Kreditur pemegang saham jaminan kebendaan (contoh utang pajak) dimana dasar hukum mengenai kreditur ini terdapat di dalam Pasal 21 UU KUP jo Pasal 1137 KUH Perdata; 2. Kreditur pemegang jaminan kebendaan yang disebut sebagai Kreditur Separatis (dasar hukumnya adalah Pasal 1134 ayat 2 KUH Perdata). jaminan kebendaan yang dikenal/diatur di Indonesia adalah: a. Gadai; b. Fidusia; c. Hak Tanggungan; dan d. Hipotik Kapal;11

Gadai dan Hipotik (kini termasuk Fidusia dan Hak Tanggungan) adalah lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal dimana oleh Undang-Undang ditentukan sebaliknya (Pasal 1134 ayat 2 KUH Perdata), sedangkan Pasal 1137 KUH

10

Berdasarkan pasal 55 ayat 1 UU No. 37/2004, kreditor tersebut berwenang untuk mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Separatis di sini berarti terpisahnya hak eksekusi atas benda-benda yang dijaminkan dari harta yang dimiliki debitor yang dipailitkan. Dengan begitu, kreditor separatis mendapatkan posisi paling utama dalam proses kepailitan, sehubungan dengan hak atas kebendaan yang dijaminkan untuk piutangnya. Kreditur yang memegang jaminan kebendaan (yaitu; jaminan berupa Hak Tanggungan, Gadai dan Fidusia) diakui secara tegas sebagai kreditur yang mempunyai hak preferensi eksklusif terhadap jaminan kebendaan yang dimilikinya. Oleh karena itulah, mereka dikenal dengan sebutan kreditur separatis atau secured creditor yang mempunyai hak eksekusi langsung terhadap jaminan kebendaan yang diletakkan oleh debitur kepadanya untuk pelunasan piutang terhadap debitur tersebut. Pemberian kewenangan eksklusif kepada kreditur separatis tersebut merupakan suatu prinsip hukum yang telah lama berlaku di Indonesia dan pada prinsipnya dianut oleh juga hampir di seluruh dunia. Prinsip itu bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pemilik modal (secara khusus bank) dalam memberikan pinjaman atau membiayai aktivitas komersial debitur. Dalam hukum Indonesia, hak separatis dan kewenangan eksekutorial tersebut telah secara tegas diperkenalkan dalam pasal 1133 dan pasal 1178 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH. Perdata). Kemudian secara lebih khusus telah dijabarkan secara jelas dalam masing-masing pasal 6 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, pasal 15 ayat (3) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dan pasal 1155 Kitab KUH. Perdata yang mengatur masalah gadai .Perdata menentukan bahwa hak dari kas Negara, Kantor Lelang dan lain-lain badan umum yang dibentuk oleh pemerintah untuk didahulukan, tertibnya melaksanakan hak itu dan jangka waktu berlangsungnya hak tersebut, diatur dalam berbagai undang-undang khusus yang mengenai hal-hal itu. Hal-hal yang sama mengenai peraturan-peraturan atau perkumpulanperkumpulan yang berhak atau kemudian akan mendapat hak untuk memungut bea.

11

Sepanjang nilai piutang yang diberikan oleh kreditor separatis tidak jauh melampaui nilai benda yang dijaminkan dan kreditor berkuasa atas benda itu, maka proses kepailitan tidak akan banyak berpengaruh pada pemenuhan pembayaran piutang kreditor tersebut. Apalagi, kalau pembayaran cicilan utang secara berkala juga telah dipenuhi oleh debitor. Menurut UU No. 37/2004, apabila kuasa atas benda yang dijaminkan ada pada debitor pailit atau pada kurator, maka hak eksekusi terpisah tersebut di atas, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 hari sejak pernyataan pailit dijatuhkan (pasal 56 ayat 1). Sedang apabila nilai eksekusi benda tertentu tersebut ternyata tidak cukup untuk menutup utang debitor, maka kreditor separatis dapat meminta dirinya ditempatkan pada posisi kreditur konkuren untuk menagih sisa piutangnya.2 Demi kepastian hukum, hak eksekusi langsung yang dimiliki oleh kreditor separatis hanya bisa digunakan dalam jangka waktu 2 bulan setelah terjadinya keadaan insolvensi.3 Setelah lewat jangka waktu tersebut, eksekusi hanya dapat dilakukan oleh kurator, meskipun hak yang dimiliki kreditor separatis (sebagai kreditor dengan jaminan) tidak berkurang.4 Perbedaan proses eksekusi tersebut akan berakibat pada perlu tidaknya pembayaran biaya kepailitan dari hasil penjualan benda yang dijaminkan.5 Sehingga dapat disimpulkan, posisi pemegang hak jaminan kebendaan (kreditor separatis) pada dasarnya lebih tinggi dari pemegang hak istimewa (kreditor preferen) untuk benda-benda yang dijaminkan, dengan beberapa perkecualian, seperti biaya-biaya perkara atau tagihan pajak. Sedang posisi dua jenis kreditor tersebut berada di atas posisi kreditor konkuren atau kreditor biasa2 3

Pasal 138 jo. pasal 189 ayat 5 UU No. 37/2004. Pasal 59 ayat 1 UU No. 37/2004 4 Pasal 59 ayat 2 UU No. 37/2004. 5 Pasal 191 UU No. 37/2004

12

yang menunggu pembagian pembayaran tagihan secara merata dari harta pailit menurut prinsip keseimbangan. Apabila tagihan kreditor separatis ternyata lebih tinggi dari nilai piutang mereka, maka mau tidak mau mereka harus menagih sisa piutangnya sebagai kreditor konkuren. Dengan kata lain, posisi mereka menjadi di bawah posisi kreditor preferen 3. Utang harta pailit. Yang termasuk utang harta pailit antara lain adalah sebagai berikut: a. Biaya kepailitan dan fee Kurator; b. Upah buruh, baik untuk waktu sebelum Debitur pailit maupun sesudah Debitur pailit (Pasal 39 ayat (2) UU Kepailitan);6 dan c. Sewa gedung sesudah Debitur pailit dan seterusnya (Pasal 38 ayat (4) UU Kepailitan); 4. Kreditur yang diistimewakan, terhadap piutang yang di istimewakan untuk barang tertentu (specific statutory priority right) sebagaimana terdapat di dalam Pasal 1139 KUH Perdata, dan terhadap piutang yang di istimewakan secara umum, sebagaimana terdapat di dalam Pasal 1149 KUH Perdata; UU No. 37/2004 memakai istilah hak-hak istimewa, sebagaimana diatur di dalam KUH Perdata.7 Hak istimewa mengandung arti hak yang oleh undangundang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya. 8 5. Kreditur konkuren. Kreditur golongan ini adalah semua Kreditur yang tidak masuk Kreditur separatis dan Kreditur preferen khusus maupun umum (Pasal 1131 jo. Pasal 1132 KUH Perdata).6

Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, hanya upah buruh untuk waktu setelah Debitur pailit, masuk utang harta pailit, untuk upah buruh sebelum Debitur pailit masuk utang preferen ke-4 (pasal 1149 ayat 4 KUH Perdata).7

Penjelasan pasal 60 ayat 2 UU No. 37/2004. Pasal 1134 KUH Perdata.

8

13

Kreditor konkuren atau kreditor biasa adalah kreditor pada umumnya (tanpa hak jaminan kebendaan atau hak istimewa). Menurut KUH Perdata, mereka memiliki kedudukan yang setara dan memiliki hak yang proporsional atas piutang-piutang mereka.9 Ketentuan tersebut juga dinamakan prinsip paritas creditorium. Dari lima golongan kreditur yang telah disebutkan di atas, berdasarkan Pasal 1134 ayat 2 jo. Pasal 1137 KUH Perdata dan Pasal 21 UU KUP, Kreditur piutang pajak mempunyai kedudukan di atas Kreditur Separatis. Dalam hal Kreditur Separatis mengeksekusi objek jaminan kebendaannya berdasarkan Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan, maka kedudukan tagihan pajak di atas Kreditur Separatis hilang. Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang No. 28 Tahun 2008, menentukan : Hak mendahului untuk pajak melebihi segala hak mendahului lainnya kecuali terhadap : a. b. c. biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak; biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan atau biaya perkara yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan. Bagaimana dengan kedudukan tagihan buruh? Bahwa dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau likuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya. Dan, penjelasannya menyebutkan yang dimaksud didahulukan pembayarannya adalah upah pekerja/buruh harus dibayar lebih dahulu daripada utang-utang lainnya. Kedudukan tagihan upah buruh tetap tidak dapat lebih tinggi dari kedudukan piutang Kreditur Separatis.9

Pasal 1136 KUH Perdata.

14

Hal ini dikuatkan dengan penolakan permohonan Judicial Review atas UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang tertuang dalam putusan nomor 18/PUU-VI/2008. Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa Pasal 29, Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 138 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Hal tersebut dinyatakan dalam sidang pengucapan putusan perkara 18/PUU-VI/2008, MK menyatakan bahwa penentuan peringkat penyelesaian atau pelunasan tagihan kredit dalam proses kepailitan yang bersumber dan diatur dalam berbagai produk perundang-undangan baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), maupun dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah sepanjang mengenai kedudukan buruh atau pekerja telah diperbaiki sedemikian rupa dalam UU Kepailitan dan PKPU sehingga upah buruh yang sebelumnya hanya termasuk urutan kreditor preferen keempat (Pasal 1149 angka 4 KUH Perdata) yang berada dalam posisi di bawah kreditor separatis menjadi utang harta pailit di bawah biaya kepailitan dan fee kurator berdasarkan Pasal 39 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU. Dalam konteks demikian, menurut MK, maka Pasal 95 UU Ketenagakerjaan yang merumuskan bahwa upah buruh dalam proses kepailitan didahulukan harus dibaca bahwa upah buruh tersebut didahulukan akan tetapi di bawah kreditor separatis yang dijamin dengan gadai, hipotek, fidusia, hak tanggungan (secured-loan), biaya kepailitan, dan fee kurator. Dengan demikian, tidaklah terdapat pertentangan norma antara UU Kepailitan dan PKPU dan UU Ketenagakerjaan, yang tercantum dalam pertimbangan putusan.

15

Bagi MK, Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 138 UU Kepailitan dan PKPU pada dasarnya menentukan bahwa kreditor separatis dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak ada kepailitan. Artinya, hak gadai, hipotek, fidusia, dan hak tanggungan lainnya tidak termasuk boedel (warisan) pailit yang akan dieksekusi. Kreditor separatis berhak mengeksekusi sendiri barang-barang jaminan yang ada dalam kekuasaannya. Dalam hal masih terdapat kekurangan setelah eksekusi atas barang jaminan yang ada dalam kekuasaannya, kreditor separatis berhak atas boedel pailit sebagai kreditor konkuren, sebaliknya dalam hal terdapat kelebihan dari piutangnya maka kelebihan tersebut harus dimasukkan sebagai boedel pailit. Dengan demikian, menurut MK, Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 138 UU Kepailitan dan PKPU tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Akan tetapi, faktor lemahnya perlindungan terhadap hak-hak buruh atau pekerja dalam hal terjadinya kepailitan dapat mengakibatkan buruh atau pekerja tidak memperoleh apa-apa karena aset debitor telah dijadikan jaminan bagi kreditor separatis. MK kemudian berpendapat bahwa yang harus dilakukan bukan dengan cara menyatakan pasal-pasal dalam UU Kepailitan yang dimohonkan pengujian bertentangan dengan UUD 1945 dan kemudian memberikan kedudukan buruh sebagai kreditor yang setara dengan kreditor separatis dan/atau menghilangkan status kreditor separatis yang tentunya akan merugikan pihak kreditor separatis yang dijamin hak pelunasan piutangnya berdasarkan UU Kepailitan dan PKPU melainkan dengan menutup celah kelemahan hukum dengan mengatur hubungan antara buruh dan debitor dalam UU Ketenagakerjaan melalui berbagai kebijakan sosial yang konkret. Sehingga ada jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak buruh atau pekerja terpenuhi pada saat debitor dinyatakan pailit.

16

Atas putusan MK tersebut kedudukan kreditur yang diistimewakan tetap dibawah kreditur separatis. Akan tetapi, jika terdapat kreditur yang diistimewakan yang tingkatannya diatas kreditur separatis, vide pasal 1134 ayat (2) KUHPerdata Kurator dan kreditur yang diistimewakan tersebut dapat meminta kreditur separatis agar hasil penjualan harta jaminan hutang tersebut diserahkan kepadanya sejumlah yang sama dengan piutang yang diistimewakan tersebut (Pasal 60 ayat 2 UUK). Hanya saja, sungguhpun kreditur separatis dapat mengeksekusi dan mengambil sendiri hasil penjualan hak jaminan, tetapi dia tunduk pada hukum tentang penangguhan eksekusi untuk masa tertentu, yaitu maksimum 90 hari untuk kepailitan dan maksimum 270 hari untuk penundaan kewajiban pembayaran hutang. Dengan demikian dalam hubungan asset-asset yang dijamin tersebut, kedudukan kreditur separatis sangat tinggi, lebih tinggi daripada kreditur yang diistimewakan lainnya (pasal 1139 dan 1149 KUHPerdata). Dengan perkataan lain bahwa kedudukan kreditur separatis adalah yang tertinggi dibandingkan dengan kreditur lainnya, kecuali undang-undang menentukan sebaliknya (lihat pasal 1134 ayat 2 KUHPerdata). Jika terdapat kreditur yang diistimewakan yang kedudukannya lebih tinggi dari kedudukan kreditur separatis, kurator atau kreditur yang diistimewakan tersebut dapat minta seluruh haknya secara penuh dari kreditur separatis yang diambil dari hasil penjualan asset jaminan hutang baik jika dijual oleh kreditur separatis sendiri ataupun jika dijual oleh kurator (Lihat pasal 60 ayat 2 UUK). Contoh dari undang-undang yang menentukan bahwa ada kreditur lain yang kedudukannnya lebih tinggi dari kreditur pemegang hak jaminan adalah sebagai berikut:

1. Pasal 1149 ayat 1 BW

17

Bahwa biaya-biaya perkara yang semata-mata disebabkan kelelangan dan penyelesaian suatu warisan 2. Pasal 21 UU No. 9 Tahun 1994 tentang Perpajakan bahwa hutang pajak lebih tinggi kedudukannya dari hutang lain termasuk hutang dengan hak jaminan 3. UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Tagihan yang merupakan hak-hak pekerja lebih tinggi kedudukannya dari tagihan biasa termasuk tagihan dengan jaminan hutang. 4. Pasal 23 PP Nomor 68 Tahun 1996 tentang Likuidasi Bank PP ini berlaku untuk likuidasi bank bukan untuk kepailitan bank. Jadi jika bank tersebut pailit yang berlaku adalah tetap UUK dan KUHPerdata layaknya perusahaan lainnya. Atas pengecualian mengenai kedudukan kreditur yang diistimewakan khususnya point ketiga pada contoh tersebut diatas terealisasi di dalam putusan majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada Agustus 2009 dalam kasus kepailitan PT Uni Enlarge Industry Indonesia (UEII). Kronologis kasus atas putusan pailit terhadap PT. UEII adalah sebagai berikut: Majelis Hakim yang dipimpin oleh Nani Indrawati yang beranggotakan Maryana dan Dasniel - mematahkan tradisi dimana kedudukan kreditur yang diistimewakan lebih rendah dari kreditur separatis. Mereka memilih untuk tak mengabaikan posisi buruh ketika terjadi proses kepailitan. Namun para hakim ini juga tak tak ingin mendzolimi hak kreditor separatis. Alhasil majelis hakim melakukan pengecualian yang sebelumnya telah diuraikan dengan memerintahkan kreditor separatis untuk berbagi hak dengan para buruh.

18

Sikap majelis hakim itu tertuang dalam putusan yang dibacakan secara terbuka untuk umum dimana Dalam putusannya, hakim memerintahkan BCI (PT Bank Chinatrust Indonesia) selaku Kreditor separatis untuk membagi 12,5 % hasil penjualan barang jaminan kepada buruh UEII. Setelah dihitung, 12,5 % tersebut bila dinominalkan jumlahnya Rp1,5 miliar. Pengeksekusian atas hak jaminan dilakukan oleh BCI selaku kreditur separatis melakukan lelang terhadap aset UEII berupa mesin-mesin pabrik di Semarang dan Jakarta. Atas hasil lelang terhadap asset UEII pihak BCI walaupun telah ada mediasi dengan Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) yang mewakili seluruh karyawan UEII tetap bersikukuh tidak mau memberikan sebagian hasil lelangnya, yaitu sebesar 12,5% sesuai dengan putusan majelis hakim dengan alasan bahwa hasil lelang hanya sekitar 20% dari jumlah hutang UEII pada BCI. Atas dasar tidak adanya kesepakatan antara BCI dengan para buruh UEII maka KASBI yang mewakili para buruh mengajukan permasalahan ini kepada hakim pengawas yang selanjutnya dilimpahkan kepada hakim pemutus untuk diperikasa selama 7 (tujuh) hari. Akhirnya, dengan pertimbangan rasa keadilan hakim pemutus menetapkan bagian hasil lelang sebesar 12,5 persen untuk buruh tetap diberikan. Menurutnya putusan renvoi itu yang didasarkan rasa keadilan itu sudah tepat, meski jumlah masih terlalu kecil. Kita bersyukur atas putusan hakim itu yang mempertimbangkan rasa keadilan karena memang buruh memiliki hak. Tetapi 12,5 persen masih terlalu kecil.

19

Pada pertimbangan hukumnya, hakim menyebutkan bahwa BCI telah menggelar lelang barang jaminan pada 11 Desember 2009. Hasilnya, BCI meraup Rp12,361 miliar. Namun menurut BCI uang sebesar itu baru seperlima dari jumlah piutang mereka. Menurut hakim, tindakan BCI mengeksekusi hak tanggungan dapat dibenarkan karena telah melewati masa insolvensi sesuai Pasal 59 ayat (1) jo Pasal 60 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Disini hakim masih mengakui keberadaan BCI sebagai kreditor separatis yang memiliki hak untuk mengeksekusi langsung barang yang menjadi jaminan utang. Hakim bahkan mengutip putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan kedudukan kreditor separatis lebih tinggi ketimbang buruh. Meski demikian, majelis hakim juga mempertimbangkan rasa keadilan bagi buruh. Alhasil, hakim lantas mengambil jalan tengah dengan mempertimbangkan rasa keadilan bagi kedua pihak. BCI berhak atas hasil lelang barang jaminan, demikian pula dengan buruh yang mendapatkan bagiannya yaitu sebesar 12,5%. Oleh karenanya posisi tawar buruh dalam memperjuangkan pembayaran upahnya sudah cukup kuat, karena: (1) Tagihan pembayaran upah pekerja adalah tagihan yang diistimewakan, (2) Telah ada pengakuan undang-undang bahwa pembayaran upah menjadi utang harta pailit dan (3) Apabila terjadi perbedaan antara hitungan pekerja dan daftar yang dikeluarkan oleh kurator, ada peran instansi pengadilan yang akan menengahi permasalahan tersebut. Artinya, posisi preferen (didahulukan) yang dimiliki oleh buruh tidak dapat begitu saja didahului. Meski begitu, ada beberapa kondisi di mana buruh tidak mendapatkan hak atas pembayaran upahnya, yaitu :

20

1. Ketika terjadi insolvensi parah. Artinya, tidak ada lagi biaya yang dapat dibayarkan dari harta pailit atau harta pailit hanya cukup untuk membayar biaya-biaya perkara dan tagihan pajak. Dalam kondisi tersebut, mau tidak mau, pekerja tidak akan mendapatkan apa-apa. 2. Ketika harta pailit hanya berupa benda-benda yang dijaminkan kepada kreditor separatis. Apabila nilai tagihan kreditor separatis melampaui nilai benda-benda yang dieksekusi, maka otomatis tidak ada lagi yang tersisa dari harta pailit. Namun, apabila nilai eksekusi dapat menutup piutang pemegang hak jaminan, maka sisanya masih dapat dibagi. Tentu saja, posisi buruh ada di bawah biaya-biaya perkara (termasuk upah kurator) dan tagihan pajak. 3. Selain ke dua kondisi tidak menguntungkan di atas, masih ada beberapa masalah teknis yang bukan tidak mungkin dapat merugikan posisi buruh, seperti kurang transparannya proses penentuan daftar urutan dalam pembagian harta pailit, serta kurang berfungsinya kurator dan hakim pengawas. Belum lagi, pihak-pihak yang berkepentingan belum tentu tahu tentang proses penyelesaian perselisihan terkait penentuan daftar pembagian harta pailit melalui pengadilan. Lalu, bagaimana dengan objek jaminan kebendaan yang termasuk harta pailit? Kreditur pemegang jaminan kebendaan/separatis bukan pemilik objek jaminan kebendaan, objek jaminan tetap milik Debitur pailit, jadi termasuk harta pailit hanya objek jaminan kebendaan tidak terkena sita umum. Kreditur pemegang jaminan kebendaan hanya mempunyai hak untuk mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan/eksekusi objek jaminan kebendaan lebih dahulu dari Kreditur lain. Apabila setelah Kreditur pemegang jaminan kebendaan tersebut melunasi piutangnya, dari hasil eksekusi/penjualan objek jaminan tersebut masih ada sisa uang, maka Kreditur tersebut harus mengembalikan sisa uang tersebut kepada boedel pailit melalui Kurator.

21

Sedangkan apabila hasil penjualan tidak cukup untuk melunasi piutangnya, maka sisa piutang yang tidak terbayar tersebut dapat diajukan/didaftarkan kepada Kurator untuk diverifikasi sebagai tagihan/piutang konkuren. C. Cara Kurator Melakukan Pembayaran Kepada Para Kreditur dari Debitur Pailit

Dalam hal Kreditur Separatis melaksanakan Hak Eksekusinya sesuai Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan yaitu mengeksekusi objek jaminan kebendaannya dalam jangka waktu setelah stay terangkat sampai 2 (dua) bulan setelah insolvensi, Kreditur Separatis tersebut tidak terkena akibat kepailitan pemilik objek jaminan kebendaannya (Kreditur Separatis dapat melaksanakan Hak Eksekusinya seperti tidak ada kepailitan) artinya Kreditur Separatis tersebut setelah biaya lelang dan pajak penjualan objek jaminan dibayar, berhak untuk mengambil pelunasan piutangnya dari hasil lelang eksekusi tersebut. Kemudian menyerahkan sisanya kepada Kurator/harta pailit tidak ada kewajiban untuk membayar utang pajak dari Debitur pailit (vide pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan).

Kedudukan tagihan pajak adalah lebih tinggi dari kedudukan tagihan Kreditur Separatis hanya dalam hal Kurator yang menjual lelang objek jaminan kebendaan, karena Kreditur Separatis tersebut tidak melaksanakan Hak Eksekusinya dalam jangka waktu setelah Stay terangkat sampai 2 (dua) bulan setelah insolvensi. Pasal 60 ayat (2) UU Kepailitan yang menentukan bahwa: ..atas tuntutan Kurator atau Kreditur yang diistimewakan, yang kedudukannya lebih tinggi daripada Kreditur pemegang hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (Kreditur Separatis), maka Kreditur pemegang hak tersebut wajib menyerahkan bagian dari hasil penjualan tersebut untuk jumlah yang sama dengan jumlah tagihan yang diistimewakan.. tentunya jelas bertentangan dengan Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan. Oleh karenanya sebaiknya dihapus saja dan untuk sementara ini sebaiknya diabaikan saja oleh Pengadilan Niaga seandainya sampai

22

ada gugatan/tuntutan dari Kurator atau Menteri Keuangan terhadap Kreditur Separatis yang telah bertindak sesuai Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan tersebut.

Di dalam prakteknya Pasal 60 ayat (2) UU Kepailitan berpotensi menyebabkan Kreditur Separatis enggan untuk berpartisipasi dalam pemberesan harta pailit, karena hal-hal berikut: 1. Kreditur Separatis enggan melaksanakan hak eksekusinya sesuai Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan, Kreditur Separatis tidak mau mengambil resiko digugat oleh Kreditur piutang pajak (Menteri Keuangan) atau Kurator; 2. Setelah jangka waktu 2 (dua) bulan setelah insolvensi berlalu, Kreditor Separatis akan berusaha sekuat tenaga menggagalkan upaya Kurator mengeksekusi/menjual lelang objek jaminan kebendaannya, untuk menghindari resiko tagihan separatisnya menjadi tagihan konkuren.

Perlu dipertanyakan, apakah tindakan Kreditur Separatis berdasarkan Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penggelapan? Jawabannya tentu saja tidak, karena tindakan Kreditur Separatis mengambil pelunasan dari hasil eksekusi objek jaminan kebendaan, seperti tidak ada kepailitan, adalah sesuai Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan, sehingga tindakan tersebut adalah tindakan menurut hukum dan jelas bukan tindakan melawan hukum. Dengan demikian, salah satu unsur dari tindak pidana penggelapan sebagaimana diatur dalam pasal 372 KUH Pidana tidak mungkin terbukti.10 Dengan adanya Pasal 21 ayat (3a) UU KUP, sering dipertanyakan apakah Kurator yang tidak mengajukan tuntutan/gugatan berdasarkan Pasal 60 ayat (2) UU Kepailitan10

Pasal 372 KUH Pidana menentukan:

barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain tetapi berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah

23

terhadap Kreditor Separatis yang melaksanakan hak eksekusinya berdasarkan Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan dan mengambil pelunasan bagi piutangnya dari hasil eksekusi objek jaminan kebendaannya, telah melanggar Pasal 21 ayat (3a) UU KUP?11 Tentu saja tidak, karena larangan bagi Kurator berdasarkan pasal tersebut adalah membagikan harta wajib pajak dalam pailit kepada pemegang saham atau Kreditor lainnya sebelum menggunakan harta pailit untuk membayar utang wajib pajak tersebut. Dalam hal Kreditor Separatis bertindak sesuai Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan, maka yang membayar piutang Kreditor Separatis dari hasil eksekusi adalah Kreditur Separatis sendiri bukan Kurator.

Pembayaran dilakukan oleh Kurator berdasarkan urutan peringkat piutang Kreditor seperti disebut diatas Nomor 2 sebagai hasil rapat verifikasi. Kurator hanya melakukan pembayaran terhadap piutang yang telah diverifikasi, kecuali utang harta pailit yang tidak perlu diverifikasi tetapi akan langsung dibayar dari harta paiilt. Setelah piutang diverifikasi dan harta pailit likuidasi, Kurator akan melakukan pembayaran kepada Kreditur menurut peringkatnya. Jadi, pertama, Kurator akan membayar Kreditur piutang pajak (utang kepada Kas Negara yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan).

Pada umumnya Kurator tidak membayar Kreditur Separatis karena umumnya Kreditur Separatis begitu stay 90 hari lewat, langsung mengeksekusi objek jaminan kebendaan seolah-olah tidak ada kepailitan Debiturnya/pemilik objek jaminan. Kurator baru melakukan pembayaran terhadap Kreditur Separatis manakala ada Kreditur Separatis yang sampai 2 (dua) bulan setelah insolvensi, Kreditur yang bersangkutan11

Pasal 21 ayat 3a Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 menentukan:

Dalam hal wajib pajak dinyatakan pailit, bubar atau likuidasi, maka Kurator, Likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta wajib pajak dalam pailit, pembubaran, atau likuidasi kepada pemegang saham atau Kreditor lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak wajib tersebut

24

belum melakukan eksekusi sendiri, sehingga Kurator yang berhak mengeksekusi objek jaminan.

Setelah pembayaran terhadap Kreditur piutang pajak dan Kreditur Separatis yang sampai 2 (dua) bulan setelah insolvensi belum mengeksekusi objek jaminan sehingga Kurator yang mengeksekusi, baru Kurator melakukan pembayaran terhadap Kreditur piutang harta pailit (utang harta pailit tidak diverifikasi tetapi langsung dibayar dari harta pailit). Pembayarannya dilakukan secara paritas creditorum.

Masalah akan timbul bila harta pailit tidak cukup untuk membayar semua utang boedel pailit. Piutang boedel pailit siapa yang wajib dibayar terlebih dahulu? Apakah biaya pailit termasuk fee Kurator, atau upah buruh, atau sewa gedung, dan lainlain? Perlu direnungkan bahwa apabila biaya kepailitan yang meliputi tiap bagian dari harta pailit (kecuali benda yang menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 telah dijual sendiri oleh Kreditur pemegang jaminan kebendaan), termasuk fee Kurator, tidak dibayar lebih dahulu dari harta pailit sebelum utang harta pailit lainnya dibayar apakah masih ada Kurator yang mau melakukan pengurusan harta pailit dan pemberesan harta pailit, yaitu menjadikan harta pailit uang (melikuidasi harta pailit)? Karena untuk menjadikan uang harta paiilt diperlukan biaya, disamping tentunya pembayaran jasa Kurator untuk itu.

Bisa saja Indonesia mengikuti praktek di Belanda bahwa meskipun biaya kepailitan termasuk di dalamnya fee Kurator sama dengan upah buruh merupakan utang harta pailit tetapi peringkat utang harta pailit yang berupa biaya kepailitan termasuk fee Kurator peringkat lebih tinggi dari utang harta pailit yang lain.

25

Setelah semua utang harta pailit dibayar oleh Kurator kemudian Kurator melakukan pembayaran kepada Kreditur preferen khusus sesuai Pasal 1139 KUH Perdata. Kemudian, setelah itu melakukan pembayaran kepada Kreditur preferen umum sesuai Pasal 1149 KUH Perdata baru setelah itu/terakhir Kurator melakukan pembayaran terhadap Kreditur Konkuren secara Paritas Creditorum. D. Batas Waktu Tanggung Jawab Kurator terhadap Pembayaran Utang Wajib Pajak Yang Pailit dari Harta Pailit Dalam hal kepailitan seorang subjek hukum (pribadi maupun badan hukum) berakhir, maka: 1. Dengan insolvensi maka kepailitan tersebut berakhir pada saat Kurator telah membayar seluruh harta pailit kepada para Kreditur dari debitur pailit sesuai daftar Kreditur sebagai hasil Rapat Verifikasi dalam hal harta pailit sudah habis sedangkan utang pajak Debitur pailit belum terbayar lunas maka, setelah Kurator memberikan pertanggungjawabannya tentang pelaksanaan tugasnya pada Hakim Pengawas berakhirlah kepailitan wajib pajak tersebut. Sisa utang wajib pajak yang tidak terbayar dari harta pailit bukan menjadi tanggung jawab Kurator lagi. Karena dengan berakhirnya kepailitan tugas Kurator sudah selesai.

2. Putusan Pernyataan Pailit dibatalkan oleh Pengadilan yang lebih tinggi maka utang pajak yang belum terbayar bukan tanggung jawab Kurator lagi. Karena dengan dibatalkannya Putusan Pernyataan Pailit, kepailitan telah berakhir demikian juga tugas Kurator. Dalam hal tagihan pajak/utang telah kadaluarsa, maka Kurator tidak boleh membayar utang pajak tersebut dari harta pailit karena utang yang sudah kadaluarsa

26

tidak ada hak tagihnya. Justru, Kurator yang telah membayar utang pajak yang telah kadaluarsa dan menimbulkan kerugian bagi Kreditur yang peringkatnya dibawah utang pajak harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut dengan seluruh harta kekayaan pribadinya (Pasal 72 UU Kepailitan)

27

KESIMPULANKedudukan buruh dalam kepailitan sebagai kreditur yang diistimewakan dapat mengambil alih kedudukan kreditur separatis yang memegang hak jaminan kebendaan dalam situasi tertentu. Akan tetapi adanya pengecualian Alasan untuk melakukan perlindungan hakhak buruh dalam hal kepailitan ini haruslah pula diterjemahkan sejalan dengan perlindungan hak-hak dari kreditur separatis. Karena hak kreditur separatis juga telah secara tegas diatur dalam undang-undang. Bila hak-hak kreditur separatis dikorbankan untuk kepentingan buruh seperti yang dimaksudkan dalam permohonan uji materi UU Kepailitan, maka akan sangat menimbulkan potensi permasalahan yang lebih besar. Akan terjadi ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan lembaga hukum penjaminan di Indonesia. Konsekuensinya jelas, hal itu akan berdampak buruk pada aktivitas bisnis di Indonesia. Tidak ada Bank yang akan berani memberikan pinjaman tanpa adanya suatu jaminan (collateral) sebagai salah satu persyaratan penting dari penerapan azas prudential banking yang diatur dalam UU. Perbankan. Demikian juga halnya terhadap para investor ataupun fasilitator-fasilitator bisnis dan keuangan baik dalam negeri apalagi luar negeri, akan sangat enggan untuk berbisnis di Indonesia sehingga akan memberikan akibat yang sangat buruk bagi perkembangan aktivitas bisnis, yang pada akhirnya akan sangat berhubungan dengan penyerapan tenaga kerja atau buruh di Indonesia. Jadi seyogyanya semua pihak dalam kepalitan ini harus menerima haknya sesuai dengan proporsi yang seharusnya. Dimana putusan pailit yang dikeluarkan tidak timpang terhadap memperhatikan pihak tertentu saja. putusan pailit tersebut tidak hanya kepastian hukum semata-mata, tetapi juga harus memperhatikan

keadilan dan kemanfaatan bagi para pihak.

28

SARANSehubungan dengan itu dalam upaya memberikan jaminan dan perlindungan hukum yang lebih baik terhadap pekerja atau buruh dalam hal terjadi kepailitan, pembentuk undang-undang perlu melakukan sinkronisasi dan harmonisasi undangundang yang terkait dengan pengaturan hak-hak buruh. serta diperlukan adanya peranan negara dalam bentuk kebijakan konkret untuk memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak pekerja atau buruh dalam hal terjadi kepailitan.

29