buku jurnal 7.1.pdf

205

Upload: doque

Post on 14-Dec-2016

347 views

Category:

Documents


25 download

TRANSCRIPT

Page 1: Buku Jurnal 7.1.pdf
Page 2: Buku Jurnal 7.1.pdf
Page 3: Buku Jurnal 7.1.pdf

Daftar Isi

Ziarah dan MakamDari Ritual Agama Sampai Industri WisataPilgrimage and Tombfrom Ritual to Religious Tourism Industry — 1Ala’i Nadjib

Nahdlatul Wathan dan Pembangunan Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara BaratNahdlatul Wathan and Social-Religious Developmentin Province of West Nusa Tenggara — 21Fahrurrozi dan Lalu Muhammad Iqbal

Peranan FKDI - FSPPI dalam Pemberdayaan Muslim di Tengah Kemajemukan Umat (Revitalisasi Bimbingan & Penyuluhan Agama di Desa Karang Manik Kecamatan Belitang II Kabupaten Oku Timur Prov. Sumatera Selatan)The Role of FKDI -FSPPI in Empowering Muslim in the Midst of Ummah Pluralism (Revitalization Guidance & Religious Counseling in the Karang Manik Village Subdistrict Belitang II East OKU Regency Prov. South Sumatra) — 53Muhammad Kastawi

Pergulatan NU dan Negara:Demokrasi Deliberatif Ala Warga NU (Studi pengorganisasian Lakpesdam NU di Jepara dan Wonosobo)The Struggle of Nahdlatul Ulama and The State:Deliberative Democracy in the Style of NU (NU - Lakpesdam Organizing Study in Jepara and Wonosobo) — 79Imran Sulistiyono

Page 4: Buku Jurnal 7.1.pdf

Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-QuranThe Concept of Gender in Human Ecology in the Perspective of Qur’an — 113Nur Arfiyah Febriani

Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ Dalam Tafsîr Al-ManârTracking the Roots of Neo-Sufism Muhammad ‘Abduh and Muhammad Rashîd Ridhâ in Tafsîr al-Manâr — 157Usep Taufik Hidayat

Page 5: Buku Jurnal 7.1.pdf

Ziarah dan Makam Dari Ritual Agama Sampai Industri Wisata _1

Pilgrimage and Tomb from Ritual to Religious Tourism Industry

Ziarah dan Makamdari Ritual Agama Sampai Industri Wisata

Ala’i Nadjib

Sekolah Tinggi NU (STAINU) Jakarta

email: [email protected]

Abstract :

Pilgrimage has been a tradition since ancient. When there is a death which is separation

from life, because of their different nature, pilgrimage is the media to visit the deceased.

During its development, the pilgrimage has run into various modifications, from a

purely religious rituals and human needs into industry or commodification of religion

festive. This paper is trying to look at the factors of social changes what makes different

shapes pilgrimage past and present. There are several points reviewed in this paper:

pilgrimage in the dimension of Islam, pilgrimage in Culture Change and Shifting

caused by factors; struggle for influence, commercialization tomb figures and religious

tourism.

Abstraksi : Ziarah telah menjadi tradisi umat manusia sejak dulu kala.Ketika ada kematian yang

merupakan perpisahan dengan yang hidup, karena mereka berbeda alam, ziarah adalah

media untuk mengunjungi yang sudah wafat.Dalam perkembangannya, ziarah telah

mengalami berbagai modifikasi, dari sebuah ritual murni keagamaan dan kebutuhan

manusia menjadi industri atau komidifikasi agama yang begitu meriah. Tulisan ini

hendak melihat faktor-faktor perubahan-perubahan sosial apa yang membuat ziarah

Page 6: Buku Jurnal 7.1.pdf

2_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

berbeda bentuknya dulu dan kini. Ada beberapa poin yang diulas dalam makalah

ini: ziarah dalam dimensi Islam, Ziarah dalam perubahan dan pergeseran budaya

disebabkan oleh faktor-faktor: perebutan pengaruh, komersialisasi makam dan tokoh

dan wisata religi.

Keywords: pilgrimage, tomb, social change, commercialization, religious tourism

A. Pendahuluan

Ziarah sebagai tradisi berkunjung kepada orang yang meninggal sudah lama berlangsung dan terdapat tidak hanya dalam ajaran Islam. Bagi umat Islam berziarah kepada orang yang sudah meninggal sudah ada pada periode kenabian Muhammad. Bahkan jika ziarah dimaknai sebagai mengunjungi tempat-tempat bersejarah, maka ka’bah adalah center ziarah sepanjang masa sejak ia dibangun pada masa Ibrahim hingga kini. Perebutan atau peperangan antara kaum penyembah berhala dan pemeluk agama sebelum Muhammad Saw diutus menjadi rasul diantaranya adalah mengembalikan fungsi ka’bah sebagaimana mestinya, tempat suci bagi kaum monotheism.

Adalah Raja Abrahah yang secara terang-terangan melakukan agresi ke Mekah. Sang pemimpin Sanaa (sekarang ibukota Yaman) ini mempunyai pusat ziarah di sana. Namun Sanaa tidak lah seramai Ka’bah, ia “sepi” di tengah kekuasaan Abrahah. Itulah salah satu alasan yang membawa Abrahah memimpin pasukannya untuk menghancurkan ka’bah agar Sanaa tak mempunyai saingan lagi1. Malang baginya, justru pada saat bersamaan orang yang akan membersihkan dan mengembalikan kesucian Ka’bah dilahirkan pada hari itu, Muhammad. Allah hendak menjaga dan melindungi rasulnya dari usaha keji Abarahah, hingga ia pun kalah. Peristiwa kehancuran pasukan Abrahah yang dikalahkan pasukan burung ababil itu disebut tahun gajah dan diabadikan dalam surah al-fiil.

Page 7: Buku Jurnal 7.1.pdf

Ziarah dan Makam Dari Ritual Agama Sampai Industri Wisata _3

Sementara itu, dalam perjalanan panjang agama-agama dan kepercayaan yang berdiaspora melintasi berbagai wilayah, kepulauan, kebudayaan bahkan geografis batas negara, ziarah telah bercampur tujuan, fungsi dan makna yang dimaksudkan. Misalnya para pemeluk agama Kristen Koptik di Mesir juga berziarah ke makam sayidatina Nafisah binti Hasan (cucu Nabi Saw.) Bahkan di dalam Jakarta kita menyaksikan makam seorang Habib Husain bin Abu Bakar Alaydrus yang dikenal dengan makam Luar Batang, di samping sang penyiar Islam, ada makam orang kepercayaan beliau yang juga berdakwah menyebarkan Islam berasal dari kalangan Cina2. Makam itu sering diziarahi saudara-saudara kita dari etnis Tionghoa yang notabene non muslim.3 Mungkin seandainya Mekah dan Madinah terbuka untuk non muslim, makam nabi dan sahabat tidak saja diziarahi tapi juga menjadi pusat penelitian atau obyek arkeologi. Tempat suci memang mengundang magis dan menimbulkan perhatian yang sangat.

Indonesia yang merupakan perlintasansejarah kepercayaan dan agama agama besar tak luput dari tradisi ziarah dengan berbagai ragamnya. Ziarah kepada para penyebar Islam yang disebut wali sembilan, wali, habaib dan para ulama sudah masyhur dan menjadi agenda hidup umat Islam. Tokoh atau magnet penarik ziarah juga terus bertambah sepanjang masa. Mereka memang secara tak langsung sudah menjadi magnet sejak hidup. Contoh yang fenomenal hingga hari ini adalah almarhum Gus Dur yang wafatnya baru saja memasuki tahun ke-empat kemarin. Makamnya tak pernah sepi dalam suasana apapun, mungkin malah lebih ramai kalau ada hajat politik4.

Tulisan ini akan membahas tentang ziarah. Ziarah yang dimaksud disini adalah berkunjung kepada orang yang sudah wafat. Lebih dari sekedar mengunjungi kerabat yang meninggal. Namun ziarah kepada para tokoh, ulama, baik yang sudah lama meninggal atau baru. Namun membicarakan ziarah tak lengkap kalau tidak membicarakan makam.Karenanya keduanya dua hal yang saling melengkapi dan tak terpisahkan. Contoh-contoh makam atau pusat menjadi center peziarah

Page 8: Buku Jurnal 7.1.pdf

4_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

dalam makalah ini akan diambil dari tokoh Indonesiabaik yang sudah lama meninggal dan mengundang kontroversial seperti makam Mbah Priok atau pun yang belum lama, seperti Gus Dur, Abdurrahman Wahid.

Ziarah memainkan dua tataran penting: kunjungan ke makam-makam di satu pihak dan peran ziarah itu dalam kehidupan spiritual di lain pihak5. Karena ziarah tidak hanya terfokus pada satu tempat, maka ada banyak aspek yang terkait. Aspek-aspek itu telah membentuk mata rantai yang diam-diam telah saling membutuhkan, misalnya dalam bentuk jasa-jasa barang; akomodasi, transportasi, konsumsi dll. Ziarah ke Tanah Suci, misalnya, memerlukanorganizer, guide, pembimbing, pendoa, agar bisa menuntun ke jalan spritual yang lebih baik. Jika permintaan ziarah semakin tinggi, maka akan semakin banyak pula jasa-jasa itu dibutuhkan. Ritual agama ini pun meningkat tajam pada musim-musim tertentu. Menjelang Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri adalah contoh pergerakan massive para peziarah. Di luar itu ziarah mungkin bersifat personal dengan yang sudah dikubur, misalnya kunjungan-kunjungan menjelang hajat politik maupun berhubungan dengan haul atau ulang tahun kematian mereka yang wafat.

Ziarah dalam tulisan ini dimaksudkan untuk melihat dan menangkap makna agama dan fenomena sosial yang terjadi, makna dan perubahan yang terjadi.

B. Ziarah dalam Dimensi Islam

Islam memandang positif ziarah, sepanjang ziarah itu dilaksanakan dengan tidak merusak akidah Islam yang prinsip, misalnya berbuat syirik dengan meminta-minta kepada orang yang diziarah. Meminta kepada yang sudah meninggal diperbolehkan, namun dengan makna tawassul, tentuada cara melakukannya, agar sesuai dengan syariat agama. Namun yang utama, apa yang dilakukan oleh para peziarah utamanya adalah mendoakan mereka yang di maqbarah itu.Nabi Saw sendiri mempunyai tradisi berziarah ke makam Baqi dan para sahabat yang gugur di bukit uhud.

Page 9: Buku Jurnal 7.1.pdf

Ziarah dan Makam Dari Ritual Agama Sampai Industri Wisata _5

Adapun dalil naqli tentang ziarah kubur itu dapat dijelaskan sebagai berikut;

روى ابن اىب شيبة ان رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم كان يأ تى قبور السالم عليكم مبا : فيقول, الشهداء بأ حد على رأس كل حول

(رواه مسلم )صربمت فنعم عقىب الدار

: م خيرج اىل البقيع لزيارة املوتى ويقول.وقد كان رسول اهلل ص السالم عليكم دار قوم مؤمنني وانا انشاءاهلل بكم الحقون ، اسأل

كنت هنيتكم عن : وقال عليو الصالة والسالم . اهلل ىل ولكم العاقبة(رواه مسلم)زيارة القبور فزوروىا، تذ كر كم املوت

(رواه امحد)اقرأوا على موتا كم يس : قال عليو الصالة والسالم

Artinya :

1) “ Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. berziarah ke kuburan syuhada di uhud setiap akhir tahun, beliau bersabda: keselamatan atas kalian dengan kesabaranmu dan inilah sebaik-baik tempat terakhir.”

روى ابن اىب شيبة ان رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم كان يأ تى قبور السالم عليكم مبا : فيقول, الشهداء بأ حد على رأس كل حول

(رواه مسلم )صربمت فنعم عقىب الدار

: م خيرج اىل البقيع لزيارة املوتى ويقول.وقد كان رسول اهلل ص السالم عليكم دار قوم مؤمنني وانا انشاءاهلل بكم الحقون ، اسأل

كنت هنيتكم عن : وقال عليو الصالة والسالم . اهلل ىل ولكم العاقبة(رواه مسلم)زيارة القبور فزوروىا، تذ كر كم املوت

(رواه امحد)اقرأوا على موتا كم يس : قال عليو الصالة والسالم

2) “(Pada suatu hari) Benar-benar Rasulullah keluar ke Baqi untuk ziarah orang-orang mati, kemudian beliau berkata: “keselamatan atasmu kampungnya orang-orang mukmin (ahli kubur) dan sesungguhnya kami akan menyusul kalian apabila telah dikehendaki oleh Allah dan saya memohon kepada Allah kebahagian bagiku dan bagimu: dan beliau bersabda: Saya pernah melarang kamu berziarah, maka berziarahlah kamu. Sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan engkau kepada kematian (HR.Imam Muslim)

Page 10: Buku Jurnal 7.1.pdf

6_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

روى ابن اىب شيبة ان رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم كان يأ تى قبور السالم عليكم مبا : فيقول, الشهداء بأ حد على رأس كل حول

(رواه مسلم )صربمت فنعم عقىب الدار

: م خيرج اىل البقيع لزيارة املوتى ويقول.وقد كان رسول اهلل ص السالم عليكم دار قوم مؤمنني وانا انشاءاهلل بكم الحقون ، اسأل

كنت هنيتكم عن : وقال عليو الصالة والسالم . اهلل ىل ولكم العاقبة(رواه مسلم)زيارة القبور فزوروىا، تذ كر كم املوت

(رواه امحد)اقرأوا على موتا كم يس : قال عليو الصالة والسالم

3) Rasulullah Saw bersabda, bacalah surat Yasin kepada mayit-mayitmu.

و ما ارسلنا من رسول اال ليطاع باذن اهلل ولو اهنم اذ ظلموا انفسهم جاءوك فاستغفرواهلل واستغفر هلم الرسول لوجدوا اهلل توابا رحيما

4) “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. Dan sungguh, sekiranya mereka setelah menzalimi dirinya datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang“ (Q.S. al-Nisa:64)

C. . Ziarah dalam Perubahan dan Pergeseran Budaya

Menilik pada teks-teks di atas, pada mulanya ziarah adalah mendoakan kepada yang meninggal dan bisa juga ber-tawassul kepada yang meninggal.Namun seiring berkembangnya masyarakat dan terjadinya perubahan-perubahan sosial pada masyarakat.Ziarah dan makam pun mengalami perubahan dan perluasan fungsi.Makam yang menjadi lokus atau pusat tujuan misalnya semakin banyak berubah dari lokasi hingga fungsi.Ziarah tak lagi menjadi tempat “curhat” dan mengingat kematian atau pengharapan bagi orang-orang yang tak terpenuhi keadilannya di dunia. Namun mereka juga berharap bahwa dengan ziarah mereka percaya bahwa hanya kematian lah saatnya nanti mereka menerima pembalasan yang adil dan abadi.

Menurut Clara B. Howery and Alfred A. Clarke,setidaknya ada 7 unsur yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial, yakni: 1) lingkungan

Page 11: Buku Jurnal 7.1.pdf

Ziarah dan Makam Dari Ritual Agama Sampai Industri Wisata _7

2) populasi 3) gagasan atau ide 4) peristiwa atau kejadian-kejadian 5) inovasi budaya 6) tindakan manusia dan 7) teknologi.

Pada kasus ziarah ini, perubahan yang terjadi disebabkan oleh human action atau tindakan manusia.Karena perubahan-perubahan yang terjadi dibuat oleh manusia.Apa yang membuat makna meluas dari ziarah yang isinya hanya doa dan doa. Ada faktor-faktor yang melengkapi serangkaian tujuan dan makna ziarah yang bertambah.Hal-hal itu bisa dipetakan sebagai berikut;

1. Perebutan Pengaruh

Tokoh dan makam bisa juga menjadi ajang kontestasi orang-orang yang merasa berhak.Contoh yang dekat dengan kita dan fenomenal adalah kontroversi makam Mbah Priok di kawasan Tanjung Priok Jakarta Utara. Seteru antara mereka yang menyebut dirinya sebagai ahli waris dan PT Pelindo II, yang mendapat mandat negara untuk mengelola kawasan peti kemas yang memang sangat dekat dengan Pelabuhan Tanjung Priok dan merupakan pintu masuk keluarnya barang-barang ekspor dan impor. Ia adalah wajah perdagangan Indonesia melalui jalur maritim.

Kontroversi dimulai dari eksistensi Habib Hasan al-Hadad atau masyhur dengan sebutan Mbah Priok. Beliau diklaim sebagai penyebar Islam di Batavia yang kapalnya terdampar di Priok dan beliau meninggal disitu dalam tahun yang masih diperdebatkan. Menurut Tim Pencari Data dan Fakta kasus makam Mbah Priok, Habib Hasan yang dilahirkan di Palembang hendak bepergian berziarah ke makam habib Alaydrus di Luar Batang dan Walisongo di Jawa.Namun kapalnya terkena ombak dan meninggal ketika beliau hampir sampai kawasan Pondok Dayung, kemudian dikenal TPU Dobo dan kawasan pelabuhan Tanjung Priok.

Sumber “permasalahan’ itu karena adanya buku Risalah Manaqib Syech Sayyid Mbah Priok yang ditulis oleh ahli waris dari kerabat samping, Habib Ahmad bin Zaenal Hadad10 dan beredar di area komplek makam

Page 12: Buku Jurnal 7.1.pdf

8_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

yang dulunya disebut TPU Dobo. Padahal makam beliau dan habib yang ada disekitarnya atas permufakatan para habaib, al-Hadad dan otoritas pemerintah, PT. Pelindo telah dipindahkan ke TPU Semper Jakarta Utara pada 21 Agustus 1997.Pada 1998 area itu sudah bersih dari makam. Meski banyak kesaksian bahwa makam Habib dan pengikutnya serta kuburan yang lain sudah dipindah, ahli waris justru membangun petilasan komplek makam pada 1999. Mereka yang diwakili oleh Habib Muhammad bin Ahmad bin Zein Al Hadad dan Ali Alydrus mengklaim bahwa mereka memiliki lahan sebanyak 5,4 hektar di lahan eks TPU Dobo tersebut. Polemik itu sebenarnya usai terutama setelah dibentuknya Tim TGPF MUI yang melibatkan banyak unsur; arkeolog, sejarawan, komunitas Habib, keluarga/nasab al-Hada di Palembang dll seperti di atas dan lewat beberapa pertemuan yang melahirkan testimoni-testimnoni akan keberadaaan makam dan pemindahannya. Dalam dokumen sejarah-dan penuturan para ahli di atas, tak ada kesesuaian dan kecocokan data dengan sejarah Mbah Priok “Risalah Manaqib Mbah Priok” yang diperjualbelikan di sekitar makam11 dan ditulis oleh Muhammad bin Ahmad al-Hadad terbit 1999 di atas, cucu kemenakan Habib Hasan

Namun era keterbukaan masa reformasi ikut menggugah kembali ruang yang sebenarnya sudah tertutup dan dianggap selesai ini. Pada musyawarah antara keluarga ahli waris dan kuasa hukumnya – MUI DKI pada 5 Juni 2010, mereka diminta mengosongkan lahan ini. Namun mereka enggan karena merasa pembayaran ganti rugi tanah belum selesai.Mereka baru bicara setelah 10 tahun lebih kasus dengan argumen era yang lalu adalah masa Orde Baru sehingga tidak kondusif kondusif karena kuatnya rezim.

Legalitas tanah yang diklaim ahli waris pun bergulir terus, setelah gugatan mereka ditolak oleh pengadilan, PT Pelindo II yang diberi amanat untuk mengelola dan membanugun area peti kemas pelabuhan tersebut dan sudah mengantongi izin mereka mulai menata area tersebut. Sayang, pihak ahli waris malah mengajak ormas lain seperti FPI untuk

Page 13: Buku Jurnal 7.1.pdf

Ziarah dan Makam Dari Ritual Agama Sampai Industri Wisata _9

memperthankan tanah tersebut pada konflik pertama, 2004. Konflik ini melibatkan PT Pelindo dan pihak-pihak pemerintah yang terkait seperti Dinas Pemakaman DKI, TPU Dobo dan TPU Semper. Pada saat Pelindo II mulai mengerjakan lokasi tersebut, ahli waris malah “menyandra” pekerja PT Hutama Karya dari Pelindo II dan alat berat proyek.

Puncaknya adalah peristiwa tiga hari yang menewaskan tiga orang dari pihak yang mengaku ahli waris maupun Satpol PP. Peristiwa monumental itu terjadi pada 14 April 2010 lalu.Menguras emosi, energy, dan nyawa dan ratusan juta melayang, karena mobil satpol dibakar para pendukung habaib, sementara barang-barang yang mau diekspor manjadi tertunda semua.

Para sejarawan dan habaib terutama keluarga di Palembang sebenarnya sudah mengakui temuan-temuan TGPF dan mempersilahkan makam dipindahkan ke TPU Semper.Karena peristiwa April itu, mereka mempersilahkan PT Pelindo mengelola kawasan, namun tetap menghormati makam. Kendati demikian, realitanya, hingga hari ini pembangunan yang tadinya dimaksudkan untuk melestarikan petilasannya malah dijadikan central ziarah dengan keberadaan makam-makam yang entah bagaimana kisahnya, wallahu a’lam.

Tidak hanya ada makam Mbah Priok yang sebenarnya sudah dipindahkan, disitu juga ada air keramat mbah priok yang diduga berasal dari puncratan mata air waktu beliau terdampar.Para peziarah mengambilnya untuk tujuan tertentu. Selain diziarahi, di hari tertentu misalnya malam Jumat, berlangsung majelis dzikir yang dipimpin Habib Ahmad bin Zaenal Hadad, sang penulis risalah yang “meresahkan”. Pihak MUI pun menghimabau dan mencatat kegiatan-kegiatan keagamaan yang isinya dianggap “menyimpang” oleh Tim TGPF. Misalnya nanti Mbah Priok akan turun kembali ke bumi, akan makam dan minum kopi bersama mereka. Makam Mbah Priok lebih mulia dari Ka’bah. Bahkan Habib Ali Zainal Abidin Alydrus mendoakan mereka yang tidak sepaham dengan Mbah Priok akan celaka dan masuk neraka, sembari

Page 14: Buku Jurnal 7.1.pdf

10_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

mengakhiri dengan membaca surat al-fatihah. Makam itu juga katanya lebih mulia dari masjid dan musala yang ada. Tentu saja ekslusifisme seperti ini bisa memancing permusuhan dan dianggap sebagai hasutan, ketidaksopanan terhadap yang lain.

Jelas sekali kelihatan ada kehendak “kekuasaan” para habaib untuk mewujudkan eksistensi makam dan arogansi dibalik penggunaan gelar habaib.Mereka juga nampaknya juga ingin membuat “keramat: baru yang justru bisa merugikan kaum muslimin.12 Hari ini kalau kita kesana, sungguh mengenaskan dan nampaknya kurang nyaman dan rawan karena berada di bawah atap pembangunan jalan layang Tanjung Priok dan dikelilingi oleh mobil-mobil besar pembawa peti kontiner yang keluar masuk pelabuhan, hingar bingar seperti terasa jauh dari nilai-nilai spiritual. Belum kalau malam Jumat di mana ada pengajian dan dzikiran, parkiran container dan kendaraan itu menjadi lautan manusia.Sementara di dalam makam para tukang bangunan masih riuh rendah memperbaiki komplek.

2. Komersialisasi Makam dan Tokoh

Barangkali lazim kita lihat di makam-makam yang dikeramatkan ada transaksi-transaksi yang diyakini semakin magis dan sakti bagi para pengunjungnya. Misalnya, di makam itu ada orang yang secara jelas keturunan wali atau tokoh tersebut maupun masih terbilang muridnya mengaku-ngaku dekat dan bisa mendoakan peziarah untuk minta wasilah dari yang diziarahi.

Contoh yang paling konkret adalah fungsi air minum yang didoakan mereka dan diyakini punya khasiat untuk mengobati yang sakit atau doa-doa yang lain, misalnya ingin dapat jodoh, ingin punya anak atau punya masalah, dari keluarga sampai politik. Biasanya kalau mereka kesana akan langsung ditanya oleh pendoa, minta doa apa? Dan sang penziarah yang sudah membawa air, kalau pun tidak membawa bisa membelinya di situ dan amplop tinggal menadahkan tangan mengamini doanya. Soal

Page 15: Buku Jurnal 7.1.pdf

Ziarah dan Makam Dari Ritual Agama Sampai Industri Wisata _11

berapa isi amplopnya biasanya para peziarah akan mafhum. Fenomena atau transaksi seperti ini bisa kita lihat misalnya di makam Sunan Gunung Jati atau di Makam Keramat Luar Batang dll.Barang yang didoakan pun tidak hanya berupa air tapi juga bisa tasbih. Dimana tasbih-tasbih yang sudah didoakan itu nantinya akan dipakai dzikir di rumah.

Sungguh cara ini menyuburkan profesi baru; pendoa. Para peziarah itu sungguh berendah hati, merasa kotor dan jauh dari Allah, sehingga perlu wasilah (perantara) namun mungkin tidak sebaliknya dengan hati dan pikiran sang pendoa yang biasanya menampilkan diri dengan baju putih dilengkapi kopyah atau sorban. Mirip dengan penggambaraan para malaikat dan wali dalam kisah-kisah yang sampai ke tangan umat Islam.

Jangan dikira bahwa para pendoa itu hanya di makam wali atau mereka yang dikeramatkan. Di Tempat-tempat pemakaman umum pun mereka eksis. Lihat saja, begitu keluarga almarhum memasuki area makam mereka akan menghampiri sambil bertanya; ”Pak mau dipimpin do’anya? Dan mereka lalu semacam menawarkan “paket” doanya panjang atau pendek?

Bukan hanya profesi pendoa yang akrab dengan para peziarah. Kita semua yang entah kapan waktunya akan meninggal juga mulai berpikir dimana nanti saya akan dimakamkan? Orang kota terutama. Mengapa karena para pengembang makam pun siap mengatur “rumah masa depan” kita. Sudah hampir sepuluh tahun ini kita akrab mendengar sebuah nama komplek pemakaman mewah di jalur pantura. Siapa saja bisa dimakamkan disana asal punya uang yang cukup untuk memilih blok dan unit sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Jangan bayangkan bahwa sebuah pekuburan adalah tempat yang berlumut dan angker dengan rimbun kamboja. Tapi sebuah makam yang ditawarkan adalah komplek yang hijau, teduh sangat private, karena tiap blok dilengkapi dengan tempat ibadah pemeluknya dan kebutuhan yang hidup atau pengantar yang meninggal. Mereka bisa duduk

Page 16: Buku Jurnal 7.1.pdf

12_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

sambil minum, memandang rumput hijau yang tertata rapi sambil mengingat-ingat orang yang dicintainya dimakamkan dan bisa juga minum minuman kesukaanya. Mereka juga tak perlu repot dan khawatir dibuntuti para pendoa yang menawarkan jasanya. Hidup dan mati ternayat sangat private dan bisa diprivate-kan. Hanya Tuhan dan yang mati yang tahu hubungan private itu, yang hidup hanya melihatnya dari luar ketika menziarahinya. Di kota itu dan akan segera diikuti kota lain akan semakin banyak bermunculan komplek pemakaman eksklusif. Bukan tidak mungkin yang meninggal lama-lama akan mendesak dan “menggusur” komplek atau tempat tinggal mereka yang masih hidup. Seiring dengan tingginya permintaan pengembang untuk menciptakan komplek pemakaman-pemakaman baru.13Peran dan fungsi ini sungguh semua karena tindakan manusia yang hidup yang mati hanya punya urusan dengan yang Maha Kuasa.

3. Wisata Religi

Salah satu wacana yang menarik tentang fenomena keagamaan kini adalah tentang komodifikasi agama. Komodifikasi bisa berarti komoditas. Komoditas adalah benda komersil yang menjadi obyek perdagangan. Jadi komodifikasi bisa bermakna komersialisasi Islam, atau mengubah keimanan dan simbol-simbolnya menjadi komoditas yang dapat diambil keuntungannya.14

Komodifikasi agama muncul seiring tehnologi dan budaya yang berkembang dan sangat mempengaruhi perilaku orang beragama. Greg Feally menandai bahwa situasi ini tak luput dari pengaruhglobalisasi dimana orang dapat dengan cepat mengakses informasi apa saja termasuk soal keagamaan. Urbanisasi dan tingkat kemakmuran yang dicapai juga berdampak pada ekspresi keagamaan.15 Generasi sekarang akan berbeda dengan sebelumnya dalam beragama. Salah satu contoh yang sangat dekat dnegan kita adalah wisata religi dalam berbagai bentuk: ziarah dalam negeri maupun luar negeri: haji dan umroh.

Page 17: Buku Jurnal 7.1.pdf

Ziarah dan Makam Dari Ritual Agama Sampai Industri Wisata _13

Dulu orang berkunjung ke Ka’bah itu cita-cita tinggi. Karena ka’bah, Mekah dan Madinah itu seperti imaji, informasinya hanya datang dari kyai dan kitab suci. Perginya pun merintangi laut dengan kapal yang tak secanggih sekarang, memakan waktu berbulan-bulan, diombang-ambingkan air laut. Orang dulu pergi haji seperti pergi untuk menjemput kematian. Karena tak ada yang mempersiapkan jaminan keselamatannya seperti orang sekarang. Jadi haji itu benar-benar perjuangan hidup dan mati.

Sekarang? tehnologi sangat membantu, meski Allah lah yang memastikan segalanya. Ka’bah dan Mekah tidak jauh, ia ada dalam genggaman. Dengan kemajuan tehnologi, 10 jam saja kita akan sampai, tak perlu menunggu Dzulhijjah. Sebab ke Mekah telah menjadi paket liburan dan wisata religi.

Ketika perjalanan ke tempat wisata menjadi bagian dari gaya hidup dan berlibur dari kepenatan pekerjaan adalah agenda yang penting untuk ditunaikan. Momen ini lalu ditangkap industri travel dan mereka membuat paket-paket perjalanan wisata spiritual. Bukan tempat gemerlap duniawi, namun napak tilas tempat-tempat bersejarah yang mahal. Meski dikemas dan diorganisir sebagai bisnis, tetap saja acara ini mengikat pesertanya pada rasa spiritual yang mengesampingkan duniawi. Biasanya peserta dibawa kepada rasa haru dan khusuk pada apa yang dilihat dan dilafadzkan. Tentu saja paket-paket ini tak melewatkan wisata shoping sebagai pemanis dan kepantasan traveling. Disitulah komodifikasi agama berlanjut.

Ka’bah hanya salah satu destinasi dan advertising tentangnya selama ini telah berhasil mengalihkan kiblat wisata ke negeri-negeri yang penuh castile. Biro perjalanan telah sedemikian canggih dalam mengemas paket-paket untuk segala usia. Orang-orang muda tak lagi sungkan menyebut berlibur ke Ka’bah. Karena bukan saja kiblat orang muslim, Ka’bah dan kota-kota sekitarnya telah menjadi prestige sendiri. Peluang bisnis pun ditangkap, bukan sekedar ziarah dan wisata religi, mereka pun

Page 18: Buku Jurnal 7.1.pdf

14_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

bisa membantu mereka yang ingin melangsungkan janji sakral disana: pernikahan!.Dan disitulah komodifikasi agama terjadi, kebutuhan dan pemenuhan bertemu, “pembeli” dan pasar tersedia.

Cendekiawan Muslim, Azyumardi Azra berpendapat bahwa Islam sebagaimana agama agama besar yang lain, bukanlah agama yang hanya bisa kita temukan dalam teks-teks kitab agama seperti Quran dan Hadits tetapi juga gejala historis, sosial, budaya dan politik. Dengan penganutnya yang lebih dari satu milyar, Islam juga mengalami apa yang disebut gejala pasar. Islam mengalami proses komodifikasi yang tak terelakkan.

Komodifikasi Islam menjadikan Islam sebagai komoditas di semua lini. Ziarah hanyalah salah satu aspek dan contoh. Puncaknya bisa kita lihat pada bulan Ramadhan, bagaimana pasar dan agama dengan simbol-simbolnya dikomersilkan. Umat Islam boleh mengernyitkan dahi dan para ulama melarang pengunaannya. Agama tidak boleh dijadikan barang dagangan dalam berbagai bentuknya. Para ulama atau da’i tidak boleh mendapat profit dari kegiatan dakwahnya. Namun zaman sudah berubah dan komodifikasi tidak bisa dihindarkan. Mereka yang bergerak dalam bidang dakwah boleh jadi menolak istilah komodifikasi, dan sebaliknya mungkin nyaman dengan istilah profesionalisasi, profesional dalam dakwah, dan karena itu boleh saja berusaha mendapat profit dari profesi dakwah mereka. Komodifikasi Islam boleh jadi membuat kehidupan keislaman kelihatan penuh syiar dan kemeriahan. Tetapi juga, bisa membuatnya menjadi dangkal karena bergerak sesuai dengankemauan atau permintaan pasar. Jika yang terakhir ini yang terjadi, semarak keagamaan niscayalah dapat kian kehilangan maknanya16

Selain ziarah dalam ritual haji maupun umroh, Mbah Priok sebagaimana diulas di atas, ziarah yang tak kalah fenomenalnya adalah ke makam presiden RI ke-4, Gus Dur atau Abdurrahman Wahid. Kalau ada destinasi ziarah wali ke-10, maka Gus Dur, adalah tujuannya, demikian

Page 19: Buku Jurnal 7.1.pdf

Ziarah dan Makam Dari Ritual Agama Sampai Industri Wisata _15

beberapa peziarah walisongo menyebutnya.Fenomena yang unik dan komplek yang berkumpul pada dirinya telah menjadikan makam Gus dur mempunyai nilai lebih dari pada pendahulunya.Di komplek makam keluarga itu berkumpul para kerabat dan pendahulu Gus Dur.Ada kakeknya KH.Hasyim Asy’ari ulama besar yang disegani bukan hanya di kawasan Jombang tapi juga pernah bermukim dan mengajar lama di Masjidil Haram, sekaligus beliau adalah pendiri organisasi Nahdlatul Ulama.Di situ pula ada KH.Wahid Hasyim, menteri agama yang mempunyai banyak terobosan di Departemen Agama RI dalam waktu singkat dan juga sebagai salah satu tokoh penting dalam pendirian republik ini bersama ayahnya.Dialah ayah Gus Dur. Tentu disini ada banyak kyai dan orang alim, para pendiri dan asatidz pesantren Tebuireng dan kerabat Gus Dur yang lain. Menurut kerabat beliau, belum pernah komplek makam seramai sejak Gus Dur wafat.

Tentu semua itu bukan tanpa sebab, karena pada dirinya terkumpul banyak identitas; ketua NU tiga periode, tokoh demokrasi, pejuang hak-hak asasi manusia, Bapak pluralisme dll. Sebagai presiden, hubungannya yang sangat luas dengan berbagai kalangan, muslim non muslim, warga Indonesia atau bukan, pedagang ataupun petani, miskin maupun kaya telah membuat makam beliau tak pernah sepi dan terbuka 24 jam.17

Sejak berpulangnya Gus Dur pada tanggal 30 Desember 2009 lalu, dari prosesi pemakamannya saja, beliau sudah menyita perhatian publik. Belum pernah ada mantan presiden yang dimakamkan dengan pelayat sebanyak itu, ribuan orang berjejal dan berebutan posisi untuk menyaksikan dari dekat. Semenjak itu makamnya tak pernah sepi, para saksi, orang-orang sepuh di Tebuireng menyatakan kesaksiaannya atas perubahan yang terjadi pada area makam karena berdampak pada banyak aspek. Para peziarah pun mulai berulah aneh.Mereka mengambil tanah di gundukan makam beliau yang memang dibuat sederhana.Banyak ulama khawatir tentang polah mereka, sehingga akhirnya makam itu dikelilingi pagar besi.Mereka mulai menetapkan adat dan tata krama berziarah yang sesuai dengan yang diajarkan dalam

Page 20: Buku Jurnal 7.1.pdf

16_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Islam dan tidak bercampur dengan segala yang mendekati syirik.Semua disesuaikan dengan prinsip-prinsip ziarah yang dilakukan dalam ajaran Sunni, misalnya bagaimana bertawassul yang benar.

Tak heran kalau setelah setahun meninggalnya beliau, 2010, makam ini diganjar dengan anugerah wisata nusantara dari Pemda Jatim.Tentu berbagai kriteria ditetapkan, termasuk ditilik dari pengunjungnya yang rata-rata 3000 sehari, belum kalau hari-hari libur.

Karena banyaknya pengunjung itu pula, Pemda Jombang pada 2010 pun mulai merencanakan untuk merenovasi makam dalam rangka meningkatkan fasilitas yang lebih baik dan akan menggelontorkan dana sebesar 145 milyar. Perbaikan itu mulai dari pengerasan tanah tempat parkir, pelebaran area parkir juga fasilitas toilet. Namun pembicaraan tentang hal ini menurut keluarga perlu langkah-langkah dan perencanaan yang matang karena akan melibatkan banyak pihak terutama warga sekitar komplek pemakaman.

Makam Gus Dur yang diyakini sebagaian warganya sebagai makam wali sungguh telah menimbulkan banyak efek positif dari fungsi awalnya sebagai tempat mendoakan almarhum. Efek– efek positif itu misalnya; pertama, uang infak yang ada di makam, menurut pengasuh PP Tebuireng, mencapai 30 juta perbulan dan bisa sampai 50 juta kalau sedang ramai. Karena itu, pesantren merasa perlu untuk mengelolanya.Sehingga dibentuk LSPT (Lembaga Sosial Pesantren Tebuireng). Dari situ mereka membagikan uang kepada fakir miskin dan anak yatim.Laporan penggunaannya diterbitkan dalam bulletin LSPT.

Efek-Efek itu belum pada pedagang dadakan yang mungkin sekarang permanen seperti di makam-makam wali lain, seperti warung makam, cinderamata dll. Jadi inilah yang disebut bahwa orang yang sudah meninggal masih bisa “menyejahterakan” yang hidup. Oh Gus Dur.

Page 21: Buku Jurnal 7.1.pdf

Ziarah dan Makam Dari Ritual Agama Sampai Industri Wisata _17

D. Penutup

Keberagamaan dalam berbagai bentuknya telah melahirkan simbol-simbol yang menandai perilaku penganutnya. Simbol itu difungsikan sesuai dengan masa dan waktu yang terus mengalami pergeseran. Generasi sekarang, menjalankan agamanya dengan cara yang tidak sama dengan zaman orang tua mereka. Ini semua tentu karena disebabkan berbagai perubahan sosial yang terjadi, bisa meningkatkan kualitas bisa juga sebaliknya. Komodifikasi agama dalam berbagai bentuk termasuk ziarah adalah salah satu bentuk yang dinilai mengurangi mutu nilai ibadah itu meski disisi lain memberi sejumlah kemudahan dan nilai syiar.

Demikianlah zaman telah berubah, makam pun bukan lagi tempat sunyi yang dihuni mereka yang meninggal.Namun telah berubah fungsi dan maknanya. Ia semakin banyak melibatkan yang hidup. Urusan kematian bukan saja soal kafan dan menggali kubur, tapi adalah juga bagaimana yang hidup melihat peluang–peluang yang ada dan bisa dimanfaatkan dalam menghormati yang sudah meninggal itu. Dengan kata lain yang wafat pun bisa diajak bekerjasama. Masyarakat memang sudah berubah termasuk yang meninggal pun diajak berubah. Wallahu a’lam

Page 22: Buku Jurnal 7.1.pdf

18_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Daftar Pustaka

Abdallah Kamel, Omar,Kalimatun Hadi’ah Fit Tawassul, Kalimatun Hadi’ah fi Ahkamil Qubur, Kalimatun Hadi’ah fiz Ziarah wa Syaddir Rihal. Tradisi Tawassul, terj.,Jakarta: PP.Lakpesdam NU,2008

Ahmad, Akbar S. Ke Arah Antropologi Islam. terj.,Jakarta: DDII, 1994

Chambert-Loir, Henri & Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam (terj.) , Jakarta, Serambi, 1995

Fattah, Munawwir Abdul,Tradisi Orang-Orang NU, Yogyakarta: LKiS, 2006

Huda, A.N. Nuril,Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA) Menjawab Persoalan Tradisi dan Kekinian. Mahrus eL-Mawa, dkk. (edit.), Jakarta: LDNU-GP Press, 2006

Habib Ahmad bin Zein al-Hadad, Risalah Manaqib Syech Sayyid Mbah Priyuk, ttp, tth

Lings, Martin, Muhammad, his Life Based on The Earliest Sources, London: Innez Tradition International, tth

Muhalawi, Hanafi,Tempat-Tempat Sejarah Bagi kehidupan Rasulullah (terj.) Jakarta:Gema Insani Press, 2012.

Mufid, Syafii. dkk., Kasus Mbah Priok, Jakarta: Madani Institute, 2010

Page 23: Buku Jurnal 7.1.pdf

Ziarah dan Makam Dari Ritual Agama Sampai Industri Wisata _19

Endnotes

1. Martin Lings, Muhammad, his life based on the earliest sources, London Innez Tradition International, h. 23.

2. Terletak tak jauh dari Pasar Ikan, Jakarta Utara atau Stasiun Kereta Kota.

3. Pengalamana ziarah penulis pada pertengahan November 2013.

4. Kelihatan menjelang 2014, banyak pimpinan partai berziarah kesana, termasuk partai yang getol menolak tradisi-tradisi kaum nahdliyin. Jelas ini adalah ziarah politik.

5. Henri Chambert-Loir & Claude Guillot, Ziarah dan Wali di dunia Islam terj., Jakarta, Serambi, 1995, h. 335

6. Tentang tawassul dan adab berziarah bisa dilihat dalam Omar Abdallah Kamel.Kalimatun Hadi’ah Fit Tawassul, Kalimatun Hadi’ah fi Ahkamil Qubur, Kalimatun Hadi’ah fiz Ziarah wa Syaddir Rihal terj., Jakarta: PP.Lakpesdam NU,2008

7. Hanafi Muhalawi, Tempat-Tempat Sejarah Bagi kehidupan Rasulullah, th. ttp

8. Dikutip dari Musnad Asyasy dalam Hanafi Muhalawi, Tempat-Tempat Sejarah Bagi kehidupan Rasulullah terj. Jakarta: Gema Insani Press, 2012, h. 210

9. Makam Imam Syafi’i di Kairo misalnya, penuh dengan lipatan-lipatan kertas seperti surat yang ditaruh oleh para peziarah. Makamnya memang tidak ditutup. Penulis pernah pernah berkunjung kesana dan menduga itu adalah surat curhat para pengagumnya.

10. Karena Sang Habib atau Mbah Priok meninggal pada usia 29 dan belum menikah. Sehinnga yang dimaksud adalah ahli waris samping, kemenakan, adik/kakak atau paman dst.

Page 24: Buku Jurnal 7.1.pdf

20_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

11. Kontroversi makam, h. 17

12. Lebih jelasnya baca Buku, Syafii Mufid dkk. Kasus Mbah Priok, Jakarta: Madani Institute, 2010.

13. Ironisnya, di seberang makam mewah yang sudah lama berdiri itu, ada tawaran baru pemakaman khusus muslim dengan moto “ pemakaman pertama berkonsep syar’i” ini sungguh-sungguh komodifikasi agama. Slogan ini juga mereduksi dan mendistorsi sejarah makam-makam sebelumnya yang sudah berabad-abad dihuni umat Islam.

14. Greg Fealy dalam artikelnya, Consuming Islam: Commodified Religion and Aspirational Pietism in Contemporary Indonesia, dalam Greg Fealy & Sally Whiteeds), Expressing Islam: Religious Life and Politics in IndonesiaSingapore: ISEAS, 2008), http://books.google.co.id/books?id=_ h. 16-17 diakses tanggl 9 Oktober 2014

15. ibid, h.17

16. Azyumardi Azra, Komodifikasi Islam, Republika , 8 September 2008

17. Penulis pernah tiba di makam beliau jam 02.00 pagi dan minta izin petugas gerbang untuk membukakan pintu gerbang komplek makam.

Page 25: Buku Jurnal 7.1.pdf

Nahdlatul Wathan dan Pembangunan Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat _21

Nahdlatul Wathan and Social-Religious Development in Province of West Nusa Tenggara

Nahdlatul Wathan dan Pembangunan Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat

Fahrurrozi dan Lalu Muhammad IqbalNahdlatul Wathan

email: [email protected]

Abstract: The Name Nahdlatul Wathan philosophically is equivalent with; the national

movement, the Motherland development, defense of nasionalism, social struggle,

primordialism association. The founder of NW, TGKH. Muhammad Zainuddin

Abdul Madjid has a strong spirit of nationalism to build the nation and the state.

His great teacher at As-Shoulatiyyah institution named Maulana Syeikh Muhammad

Hasan al-Masyyath once ever gave the name of the organization that proposed by his

students with two options; Nahdlat al-Din al-Islam li al-Wathan or Nahdlat al-Islam

li al-Wathan, but the intelligence and the greatness of his soul decided the name the

Nahdlatul Wathan as a represantation of the faith to move in a very universal, not

only the religious aspects but also includes State and national spirit. The age 79th of

The NW, metamorphose has suffered through a long history of 4 era (The colonial era,

Old Order (Orde Lama), New Order (Orde Baru) and Reformation era), prove that the

Nahdlatul Wathan is an organization which have a great zeal to keep on fighting in the

middle ages and the changing society.

Page 26: Buku Jurnal 7.1.pdf

22_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Abstraksi : al-Ismu Yadullu alâ al-Musammâ, nama menunjukkan identitas dirinya, ungkapan

tersebut layak untuk memotret kiprah organisasi Nahdltul Wathan yang secara filosofis

dari penamaannya menunjukkan identitas dirinya sebagai organisasi yang semakna

dengan; pergerakan kebangsaan, pembangunan tanah air, pembelaan terhadap

nasionalisme, pergumulan sosial, perkumpulan primordialisme, dan banyak arti lain

yang bisa diinterpretasikan untuk NAHDLATUL WATHAN. Pendiri organisasi ini,

TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid memiliki semangat nasionalisme yang

kuat untuk terus membangun negara dan bangsanya dengan tidak mesti melabelkan

nama Islam dalam organisasi yang didirikannya. Meski guru besarnya di Madrasah

As-Shoulatiyyah, Maulana Syeikh Muhammad Hasan al-Masyyath, memberikan

nama organisasi yang diusulkan oleh muridnya ini dengan dua pilihan nama,

Nahdlat al-Din al-Islam li al-Wathan atau Nahdlat al-Islam li al-Wathan, namun

kecerdasan dan kebesaran jiwanya memutuskan nama organisasi yang dibangunnya

menjadi Nahdlatul Wathan sebagai representasi keimanan untuk bergerak dalam

wilayah yang sangat universal, bukan saja aspek agama tapi meliputi negara dan

semangat kebangsaan.

Organisasi yang didirikannya telah menempuh waktu yang panjang 79 tahun,

sehingga Nahdlatul Wathan sebagai organisasi keagamaan yang tersebar di NTB

ini, telah mampu merubah tatanan keagamaan masyarakat Indonesia khususnya

masyarakat NTB. NW telah mengalami metamorfose sejarah yang panjang melewati

4 zaman (zaman penjajahan, orde lama, orde baru dan era reformasi), membuktikan

bahwa Nahdlatul Wathan adalah organisasi yang memiliki semangat besar untuk

terus berjuang di tengah zaman dan masyarakat yang berubah-ubah.

Keywords: Nahdlatul Wathan, Development, Social-Religious, The Movement, Development.

A. Prolog

Ralp Dahrendorf mengatakan, bahwa masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang terus menerus di antara unsur-unsurnya.1 Teori ini nampaknya tepat untuk digunakan dalam memahami perkembangan organisasi di Nusa Tenggara Barat, dimana setting sosial

Page 27: Buku Jurnal 7.1.pdf

Nahdlatul Wathan dan Pembangunan Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat _23

masyarakatnya secara kultur dan agama sangat pluralistik dan kompleks, sehingga masyarakat yang berada dalam komunitas etnis, kultur, dan agama bahkan organisasi masyarakat (ormas)2 yang beragam itu harus mendapatkan sosialisasi berkesinambungan tentang arti keragaman dalam keberagamaan. Upaya ini menjadi penting sebagai modal untuk menciptakan keharmonisan dalam semua aspek kehidupan majemuk.

Ada dua bentuk pengkajian yang dilakukan oleh para penyelidik kesejarahan Islam Indonesia yang dapat dilihat. Pertama, menampilkan bentuk kajian menyeluruh dengan melihat semua organisasi yang ada sebagai suatu kesatuan. Masing-masing organisasi tidak dilihat secara tersendiri, melainkan diamati dalam kegiatan dan keterkaitannya dengan organisasi lain, lalu dihubungkan dengan keterlibatan mereka dalam pergerakan keagamaan di Indonesia. Kedua, menampilkan secara terpisah. Peran dan perkembangan masing-masing organisasi dari segi satu persatu dan mendalam, sehingga sosok masing-masingnya nampak lebih utuh. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa kegiatan dalam bentuk kedua semakin banyak dilakukan, tidak hanya untuk kalangan modernis, tetapi juga telah menjamah organisasi-organisasi kelompok tradisionalis seperti Nahdlatul Ulama, Nahdlatul Wathan di NTB dan lain sebagainya.

Tulisan ini mengetengahkan sisi-sisi pembangunan sosial keagamaan yang telah dilaksanakan oleh Nahdlatul Wathan sebagai sebuah organisasi kemasyarakatan Islam yang bergerak dalam tiga ranah penting: Pendidikan, Sosial dan Dakwah Islamiyah.

B. Filosofis Nahdlatul Wathan Dalam Perspektif

Catatan Maulana Syeikh Muhammad Hasan al-Massyath tentang penamaan organisasi yang diusulkan oleh TGH.Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dengan nama, Nahdlat al-Din al-Islam li al-Wathan atau Nahdlat al-Islam li al-Wathan.dapat dijadikan pijakan bahwa relasi antara agama dan negara dalam konteks ini bersifat integral dan simbiosis

Page 28: Buku Jurnal 7.1.pdf

24_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

mutualisme. Artinya, negara sebagai sebuah institusi memerlukan agama sebagai basis moral untuk menegakkan berdirinya suatu institusi negara. Sementara agama tidak akan berfungsi maksimal tanpa ada dukungan dari negara. Jadi agama mengisi preferensi nilai-nilai normatif dari sebuah negara.

Organsasi Nahdlatul Wathan (selanjutnya disebut NW) secara embrional berasal dari Madrasah NW Diniyyah Islamiyyah (NWDI) dan Madrasah Nadlatul Banat Diniyyah Islamiyyah (NBDI) didirikan dalam suasana dan kondisi sosio-historis yang heroik, baik dalam konteks penegakan agama Islam maupun kebangsaan. Kelahiran organisasi tersebut sekaligus memberi respon terhadap konteks sosio-historis masyarakat pada masa itu. Heroisme dalam aspek penegakan agama Islam tercermin dari upaya yang secara simultan diikuti dengan keyakinan dan keikhlasan untuk memperbaiki pemahaman dan cara keberagamaan. Tujuannya jelas, yakni agar nilai-nilai, praktek, dan budaya Islam dapat dihayati dan diamalkan dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat. Sedangkan heroisme dalam aspek kebangsaan terrefleksikan dari upaya pembebasan masyarakat dari kebodohan dan ketertindasan melalui pendidikan sebagai bekal untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa.

Atas dasar inilah, maka orientasi NW bertumpu pada upaya-upaya untuk memadukan dan mensinergikan antara agama dan negara. Menurut TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, penyebutan istilah NW mengandung dua makna filosofis sekaligus, yakni membangun negara dan agama. Artinya bahwa agama dan negara diposisikan sama dalam satu tarikan nafas, yakni membangun agama berarti membangun negara, begitu juga sebaliknya.

Namun untuk dapat mencapai makna filosofis ini, paling tidak terdapat lima kesadaran yang direfleksikan dari kata Nahdlatul Wathan, yaitu, 1) Wa’yu al-Din yaitu kesadaran beragama, 2).Wa’yu al-Ilmi, yaitu kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan, 3) Wa’yu al-Nidham,

Page 29: Buku Jurnal 7.1.pdf

Nahdlatul Wathan dan Pembangunan Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat _25

yaitu, kesadaran berorganisasi, 4),Wa’yu al-Ijtima’, yaitu, kesadaran sosial kemasyarakatan, dan 5),Wa’yu al-Wathan, yaitu kesadaran berbangsa dan bernegara.3

C. Sejarah Penamaan Organisasi Nahdlatul Wathan

Kajian tentang Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kajian terhadap peran dan perkembangan organisasi-organisasi keislaman yang ada di Indonesia itu sendiri, terutama pada abad ke-20.4 Kajian ini merupakan studi yang amat diperlukan, bila kita memang bermaksud untuk menampilkan sosok Islam dalam wajah yang lebih komprehensif, mengingat pada abad dua puluhlah umat Islam di kawasan Indonesia mulai bergerak dalam skala nasional dan berkelompok dalam berbagai organisasi modern keagamaan.5

Dalam aspek kesejarahan antara organisasi NW dan Nahdlatul Ulama (selanjutnya disebut NU) terdapat kesamaan prinsip sejak para tokoh pendiri organisasi Islam ini dibentuk. Secara organisatoris hal ini dimulai ketika para tokoh pesantren, Wahab Hasbullah dan Mas Mansoer mendirikan madrasah yang bernama NW pada 1916 di Surabaya. Staf pengajar NW didominasi oleh ulama pesantren, seperti Bisri Syansyuri (1886-1980), Abdul Hakim Leimunding dan Abdullah Ubaid (1899-1938). Pada 1918, Wahab Hasbullah dan KH.Ahmad Dahlan dari Kebondalem mendirikan Tashwirul Afkar, yaitu sebuah forum diskusi ilmiah keagamaan yang mempertemukan kelompok pesantren dan modernis. Pada tahun yang sama, Abdul Wahab Chasbullah dan KH Hasyim Asy’ari mendirikan sebuah koperasi dagang yang bernama Nahdlatul Tujjar. Hanya saja memasuki tahun 1920-an, kebersamaan dan upaya saling pengertian antara kelompok Islam pesantren dan modernis berubah menjadi persaingan yang mengelompok.6

Aspek penamaan organisasi yang muncul di NTB secara historis terdapat kesamaan nama dengan organisasi yang didirikan oleh para pendiri organisasi NU, klaimisasi ini dalam pengamatan penulis perlu

Page 30: Buku Jurnal 7.1.pdf

26_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

penelusuran lebih lanjut antara NU dan NW dalam segala aspek, sehingga dengan demikian dapat diperoleh keabsahan data tentang hubungan atau integrasi organisasi NU sebagai organisasi terbesar di Indonesia yang secara nasional telah membentuk kepengurusan di seluruh Indonesia dengan organisasi NW yang berpusat di NTB yang secara kultural berdiri berdasarkan tuntunan zaman di mana pendirinya berada.

Disadari betapa persoalan-persoalan organisasi makin hari cenderung makin ruwet, khususnya persoalan manusianya itu sendiri yang acapkali berlanjut menjadi tantangan pokok yang harus dihadapi oleh setiap prangkat manajemen. Seyogyanya individu-individu yang berlaku dalam organisasi dengan berbagai motif dan keinginan-keinginan yang hendak dicapainya harus dipahami secara luas dan mendalam.7

Perlu disadari pula bahwa kehidupan berorganisasi atau berkelompok merupakan naluri manusia sejak dilahirkan. Naluri ini yang mendorong untuk selalu menyatukan hidupnya dengan orang lain dalam organisasi atau kelompok. Naluri berkelompok dan berorganisasi itu juga yang mendorong manusia untuk menyatukan dirinya dengan kelompok yang lebih besar dalam kehidupan yang lain di sekelilingnya bahkan mendorong manusia menyatu dengan alam fisiknya.

Keberadaan suatu kelompok atau organisasi dalam masyarakat dicerminkan oleh adanya fungsi-fungsi yang akan dilaksanakannya. Fungsi-fungsi tersebut mencakup fungsi hubungan sosial, pendidikan, persuasi, pemecahan masalah, dan pembuatan keputusan, serta fungsi terapi.8

Upaya penciptaan kedamaian salah satu diantaranya adalah menciptakan peluang komunikasi dan dialog antar warga, antar organisasi, melalui tokoh-tokohnya, baik tokoh agama, tokoh pimpinan organisasi, maupun tokoh masyarakat atau memfasilitasi adanya pertemuan yang memungkinkan terciptanya silaturrahmi antar organisasi dan sesama warganya.

Page 31: Buku Jurnal 7.1.pdf

Nahdlatul Wathan dan Pembangunan Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat _27

Berbagai gagasan keagamaan terbuka dikembangkan jika pemeluk agama atau penganut suatu paham keagamaan bisa bebas dari pemberhalaan identitas keagamaannya. Kesalahpahaman yang sering terjadi di kalangan penganut agama atau pengikut organisasi keagamaan seperti NU, NW, lebih disebabkan oleh perbedaan kepentingan dan identitas warga dari kedua organisasi tersebut, bukan oleh keyakinan teologis yang sama-sama sunni. Artikulasi atau pengungkapan kepentingan setiap anggota masyarakat yang empirik akan dipengaruhi oleh konseptualisasi nilai kebenaran dan kebaikan yang sesuai akar sosial budaya masing-masing organisasi. Formula kepentingan itu seringkali diperkuat, dilegitimasi dan disimbolisasi oleh identitas ke-NU-an dan ke-NW-an.9

Hubungan NU-NW menjadi rumit ketika mayoritas warga dari kedua gerakan ini menjadikan organisasi sebagai identitas diri, bukan sebagai wahana. Bukan kepentingan dan nilai etika Islam universal yang didahulukan, tetapi kepentingan organisasi yang mudah dimanipulasi atas nama kelompok tidak memiliki identitas, kedua gerakan itu lebih mudah bekerjasama secara mutual-simbiosis, dan akan segera bubar ketika keduanya mulai menampakkan identitas mereka masing-masing. Persoalan ini menjadi lebih kompleks ketika semua tradisi dan wilayah kehidupan social atau ritual telah dipetakan ke dalam identitas NU atau NW.

Asal usul NW dapat dilacak dari catatan sejarah pendiriannya. Nama ini pertama muncul sebagai proses bargaining (tawar menawar) antara nama Nahdlat al-Din al-Islam li al-Wathan atau Nahdlat al-Islam li al-Wathan dengan Nahdlatul Wathan. Dua nama yang disebut pertama diusulkan oleh gurunya, Syeikh Hasan Muhammad al-Masysyath. Sementara nama NW merupakan hasil ijtihad TGH.M.Zainuddin berdasarkan background sosio-historis masyarakat pulau Lombok pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.10

Page 32: Buku Jurnal 7.1.pdf

28_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

D. Nahdlatul Wathan Perspektif Gerakan Keagamaan (religious movement).

1. Pergerakan Sosial-keagamaan Pra-Kemerdekaan RI (1936-1945)

Periode ini TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid membuka Pesantren al-Mujahidin, tepatnya tahun 1934 M. Pesantren al-Mujahidin awalnya adalah sebuah musalla yang didirikan oleh ayahnya, Tuan Guru Haji Abdul Madjid sebelum ia pulang ke Lombok. Sedianya mushalla ini akan dijadikan sebagai tempat mengajarkan agama seperti layaknya tuan guru-tuan guru pada umumnya saat itu.

2. Gerakan Perjuangan Kemerdekaan Gerakan al-Mujahidin.

Maulana Syeikh mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyyah Islamiyyah (NWDI) 17 Agustus 1936 M dengan izin dari Pemerintah Belanda, dan pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 M/22 Agustus 1937 M (NWDI) diresmikan. Ia juga mendirikan Madrasah Nahdlatul Banat Diniyyah Islamiyyah (NBDI) 15 Rabi’ul Akhir 1362 H/ 21 April 1943 M.

Pergerakan keagamaan NWDI menyebar ke seluruh wilayah Lombok sehingga dalam rentang waktu 1937-1945 telah berdiri sembilan buah cabang madrasah NWDI.11

Gerakan dua madrasah tersebut membuktikan bahwa pergerakan tanah air dimulai dari pengkaderan di madrasah yang diorientasikan menjadi anjumi nahdlatil wathan, bintang-bintang pejuang NW dan hasil dari kaderisasi tersebut terbukti dengan menyebarnya para alumni di seluruh pelosok desa yang kemudian bergerak di wilayah masing-masing sesuai dengan bakat dan kemampuan mereka. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat madarasah NWDI-NBDI tersebar di mana-mana.

3. Pergerakan Sosial-keagamaan Revolusi Kemerdekaan (1945-1949)

Perjalanan NWDI-NBDI dalam perjuangan mempertahankan eksistensi diri sebagai lembaga yang bergerak dalam bidang sosial

Page 33: Buku Jurnal 7.1.pdf

Nahdlatul Wathan dan Pembangunan Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat _29

keagamaan sangatlah berat, di mana penjajahan Belanda belum mengakui kemerdekaan Indonesia, maka konsekuensinya adalah seluruh kekuatan dan potensi yang dimiliki oleh anak bangsa dipertaruhkan untuk membela kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam konteks ini NWDI-NBDI dan seluruh jajarannya mengambil bagian untuk membela tanah air dan membela jati diri bangsa dan agama dari tangan penjajah.

Sejarah menceritakan bagaimana para murid-murid awal NWDI berjuang mati-matian membela tanah air demi mempertahankan kemerdekaan yang sudah diraih dengan tebusan jiwa dan raga. Pendiri NBDI-NWDI dan NW tampil kepermukaan untuk memimpin pertempuran melawan penjajahan yang ingin mempertahankan jajahannya di bumi pertiwi, sehingga tebusan untuk membela negara tersebut, adik kandung TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid menjadi saksi atas perjuangan mereka dalam konteks mempertahankan kemerdekaan, para syuhada’ yang merupakan penerus dan pelanjut NWDI antara lain, TGH. Muhammad Faishal AM, Sayyid Saleh dan Abdullah, menjadi saksi sejarah betapa berat dan kerasnya perjuangan Pendiri NWDI, NBDI dan NW mempertahankan kedaulatan RI dari tangan penjajah.

4. Pergerakan Sosial-keagamaan di Orde Lama (1949-1965).

NW sebagai sebuah organisasi Islam yang lahir di Bumi Selaparang, membuktikan dirinya sebagai organisasi yang tetap konsisten dalam prinsip dan responsif terhadap perkembangan zaman, maka NW selalu dapat menyesuaikan diri dengan era di mana NW itu berada. Keberadaan NW di Orde Baru, jelas terjadi pasang surut atau terjadi dinamika di dalamnya, tapi secara umum NW tetap eksis mempertahankan dirinya sebagai organisasi yang bergerak dalam ranah pendidikan, sosial dan dakwah, meskipun era orde lama, stabilitas politik dalam negeri masih kurang kondusif, tapi peluang itu bisa ditangkap oleh Pendiri NW ini untuk memanfaatkan sebaik mungkin guna mempertahankan eksistensi NW dan berikut perjuangannya dalam bidang sosial keagamaan.

Page 34: Buku Jurnal 7.1.pdf

30_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Tidak sedikit keberhasilan yang diraih oleh NW pada era ini dalam hal memajukan pendidikan, mensejahterakan rakyat melalui lembaga-lembaga sosial yang dibina oleh NW.

5. Pergerakan Sosial-Keagamaan di Orde Baru (1966-1998)

Peralihan orde lama ke orde baru sangat memberikan corak terhadap pergerakan organisasi Nahdlatul Wathan. Dengan bertambah usianya NW secara tidak langsung lebih matang dalam mengembang amanat umat dan lebih siap untuk berkompetisi dengan organisasi-organisasi yang lain. Era Orde Baru bagi NW dapat dikatakan sebagai era yang paling banyak melahirkan lembaga-lembaga pendidikan, sosial, dakwah dan budaya, karena memang orde baru secara priodenisasi sangat lama sekitar 32 tahun. Yang pasti di era ini NW telah banyak memberikan sumbangan pembangunan untuk NTB dalam segala bidang, baik bidang pendidikan, sosial, ekonomi, kesehatan, pariwisata,dll.

6. Pergerakan Sosial-Keagamaan di Era Reformasi (1998-sekarang)

Kiprah NW tidak berhenti dengan meninggalnya pendiri NWDI, NBDI dan NW pada tahun 1997 M. NW pasca pendiri adalah era baru bagi masyarakat dan jamaah NW karena di masa itulah terjadi transisi kepemimpinan yang berimplikasi pada perubahan situasi yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat saat itu. Pada era ini terjadi konflik internal yang memecah kepengurusan NW ke dalam dualisme kepemimpinan yaitu NW Pancor dan NW Anjani yang diawali dari muktamar ke-10 di Praya Lombok Tengah. Di era reformasi, NW menemukan momentumnya dimana pejabat-pejabat publik strategis baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif dikuasai oleh kade-kader NW. Di era inilah dakwah NW lebih berkembang dengan intensitas peran yang lebih luas di sektor sosial dan politik.

Page 35: Buku Jurnal 7.1.pdf

Nahdlatul Wathan dan Pembangunan Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat _31

E. Nahdlatul Wathan dalam Dimensi Gerakan Sosial Keagamaan (social and religious movement)

NW memiliki peran penting di dalam mendorong terjadinya perubahan keagamaan masyarakat Islam, dari Islam Sinkretis seperti Wetu telu menuju Islam Paripurna (Islam Kaffah). Hal ini NW menempuh tiga mekanisme dakwah untuk bisa merubah pemahaman dan praktek keberagamaan masyarakat Islam NTB:

Pertama, Melalui Pendidikan Kemadrasahan dan Gerakan Kemasjidan Gelar yang melekat pada pendiri NW dengan sebutan Abu al-Mâdaris wa al-Masâjid, Menunjukkan bahwa peran TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul madjid dalam membangun sarana ibadah di pelosok-pelosok kampung sangat besar. Sebab semangat keberagamaan masyarakat tidak akan terbina tanpa ada bimbingan dari para tokoh yang mereka jadikan sebagai panutan. Tercatat dalam agenda kerja TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid bahwa masjid yang beliau bangun bersama masyarakat lebih dari seribu masjid yang beliau langsung meletakkan batu pertamanya.12 Ini artinya organisasi NW telah berkiprah dalam mengembangkan semangat keberagamaan melalui sentral kegiatan keagamaan dalam sebuah komunitas masyarakat yang lazim disebut masjid, di mana masjid sebagai icon suatu masyarakat dalam segala riualitas keagamaan bahkan sosial. 13

Kedua, pengajaran keagamaan dengan mengadakan dakwah keliling yang lazim disebut oleh warga NW dengan Majelis dakwah Hamzanwadi dan majelis ta’lim NW. Majlis Dakwah Hamzanwadi yang langsung dibawah asuhan TGKH M. Zainuddin Abdul Madjid, telah menyebar ke seluruh polosok Bumi Gora NTB, sehingga tidak sedikit di mana ada majelis dakwah Hamzanwadi di situ berdiri lembaga pendidikan dari tingkat yang paling dasar bahkan sampai ke jenjang perguruan tinggi. Sedangkan majelis ta’lim NW merupakan wahana kaderisasi yang dilakukan oleh seluruh abituren atau alumni NW yang secara keahlian

Page 36: Buku Jurnal 7.1.pdf

32_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

telah mampu mengemban amanat organisasi NW yang secara spesifik telah dikader lansung oleh pendiri NW TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid. Dengan adanya dua majlis NW ini telah membuktikan dirinya sebagai sebuah organisasi yang sangat intent membangun sumber daya manusia yang siap membangun NTB khususnya dan Indonesia secara umum.

Ketiga, Gerakan Penyebaran Kader-kader NW ke Pelosok Nusantara.Kaderisasi yang dilakukan oleh pendiri NW selama ini sangat efektif dan strategis, sebab kader yang diorientasikan menjadi Anjumi Nahdlatil Wathan, bintang-bintang pergerakan tanah air telah banyak berkiprah di pelosok nusantara ini. Kaderisasi utama yang dilakukan oleh pendiri NW ini adalah melalui pendidikan, khususnya Pendidikan yang dibina langsung oleh TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid yaitu Ma’had Darul Qur’an wa al-Hadist al-Majidiyyah Assyafiiyyah (MDQH) yang secara khusus mengadopsi sistem kuliah ala Madrasah as-Shaulatiyah Makkah al-Mukarramah. Dengan sistem ini dapat melahirkan ratusan alumni yang setiap tahun di lepas oleh Pendiri NW dan pelanjutnya, untuk disebar ke berbagai daerah. Sehingga dengan sistem ini NW telah berkembang di Jakarta, Sulawesi, Kalimantan, Pulau Jawa, Jaya Pura, dan lain-lain. Ini tidak terlepas dari peran alumni Ma’had yang telah dikader oleh Pendiri NW untuk menyebarkan misi Izzil Islam wa al-Muslimin.

Kesuksesan NW dalam pembangunan sosial keagamaan di NTB tidak terlepas dari modal sosial (social capital) yang dimiliki oleh organisasi Nahdlatul Wathan:

Pertama, Norma dasar yang dimiliki oleh organisasi NW dan warganya yaitu Iman dan Taqwa, yang tercermin pada pokoknya NW, Pokoknya NW Iman dan Taqwa.

Kedua, adanya hubungan dan kerjasama yang kuat baik secara internal dengan warga NW, maupun secara eksternal dengan institusi pemerintah, swasta, lembaga pendidikan, dan lembaga sosial keagamaan lainnya.

Page 37: Buku Jurnal 7.1.pdf

Nahdlatul Wathan dan Pembangunan Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat _33

Ketiga, kuatnya rasa kebersamaan warga NW yang terbentuk secara alamiah melalui ritual dan kegiatan-kegiatan Nahdlatul Wathan.14

NW sebagai organisasi yang bergerak dalam ranah sosial keagamaan telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembaharuan sistem keagamaan di NTB.

F. Nahdlatul Wathan dalam Ranah Pembangunan

1. Sumber Daya Manusia (Human Resources Development) Melalui Gerakan Pesantren

NW adalah sebuah organisasi yang berorientasi pada bidang pendidikan, sosial, dan dakwah islamiyah. Inti perjuangannya adalah berupaya mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas. Perjuangan ini menjadi sangat strategis, karena pembangunan di bidang SDM dapat terefleksi dalam bidang-bidang pembangunan lainnya. Artinya, Kesuksesan di bidang-bidang pembangunan sangat bergantng pada kualitas sumber daya manusia.15

Sebagai gambaran awal peran NWDI-NBDI yang disebut oleh pendirinya, Dwi Tunggal Pantang Tanggal,16 dalam mencetak SDM yang kemudian hari nanti menjadi motor penggerak pembangunan sosial keagamaan di wilayah NTB ini. Out put dari madrasah NWDI pada priode awal menjadi pelanjut dan pengembang dari visi, misi dan perjuangan pendiri NWDI-NBDI yang nantinya dua madrasah tersebut menjadi embrio lahirnya Organisasi Nahdlatul Wathan.

Untuk sekedar menyebut tokoh-tokoh agama yang telah berkiprah banyak dalam pembangunan di NTB yang merupakan produk madrasah paling awal di NTB ini.

Secara periodenisasi dari tahun ke tahun, TGKH M. Zainuddin Abdul Madjid memberikan peranan penting dalam mencetak tokoh-tokoh pendiri pondok pesantren di Lombok NTB sebagai berikut:

Page 38: Buku Jurnal 7.1.pdf

34_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Murid-murid beliau pada angkatan pertama dari NWDI tahun 1934-an antara lain TGH. Mu’thi Musthafa pendiri pondok pesantren al-Mujahidin Manben Lauq Lombok Timur, Ust Mas’ud Kelayu, Abu Mu’minin, sedangkan angkatan kedua sekitar tahun 1939-1945-an yang terkenal antara lain TGH. Najamudin Ma’mun Pendiri pondok pesantren Darul Muhajirin Praya, TGH. L. Muhammad Faishal Pendiri Pondok Pesantren Manhal al-Ulum, Praya, merupakan satu-satunya murid beliau yang diberi tugas dan amanat untuk menjadi ketua NU di Lombok, sehingga NU masuk ke Lombok tidak terlepas dari peranan TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid, Muhaddits Abdul Haris, Rais, Amrillah, Salim, Abdurrahman, Nursam, Abdul Samad, kemudian alumni-alumni ini mendirikan madrasah pertama di Praya, madrasah Nurul Yakin, pada tahun 1943, di mana pengelolanya dipimpin oleh TGH. Muadz Abdul Halim dan Pembinanya TGH. Najamuddin Makmun, berikutnya Raden Tuan Sakra Pendiri Pondok Pesantren Nurul Islam Sakra, Ust Yusi Muhsin dan angkatan ketiga sekitar tahun 1946-1949-an TGH. Dahmuruddin Pengasuh Ponpes Darunnahdlatain Pancor, TGH. Saleh Yahya Kemudian disusul pada angkatan berikutnya sekitar 1950-1955 Yaitu Syeikh M Adnan kini menjadi syeikh di Madrasah al-Shaulatiyyah Makkah al-Mukarramah dan bermukim di sana, juga TGH. Zainal Abidin Ali, pendiri pondok Pesantren Manbaul Bayan Sakra Lombok Timur.17

Adapun murid-murid angkatan kelima sekitar tahun 1955-1960-an terkenal pada era ini adalah TGH. Afifuddin Adnan pendiri pondok pesantren al-Mukhtariyah Mamben, TGH. M.Zainuddin Mansyur, MA. TGH. Zaini Pademare, TGH. Zainal Abidin Ali Sakra Pendiri Ponpes Manbaul Bayan Sakra, Sedangkan angkatan keenam sekitar tahun 1960-65-an TGH. L. M Yusuf Hasyim,Lc pendiri Ponpes Dar al-Nahdhoh NW Korleko Lombok Timur, TGH. A.Syakaki, Pendiri Ponpes Islahul Mu’minin Kapek Lombok Barat,TGH. M.Salehuddin Ahmad, pendiri Ponpes Darusshalihin NW Kalijaga, TGH. Ahmad Muaz, pendiri Ponpes Nurul Yakin Praya, TGH. Juaini Mukhtar pendiri Ponpes Nurul Haramain NW Narmada, TGH. Musthafa Umar pendiri Ponpes al-Aziziyah Kapek Pemenang dan lain-lain.

Page 39: Buku Jurnal 7.1.pdf

Nahdlatul Wathan dan Pembangunan Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat _35

Peningkatan pengembangan pondok pesantren banyak yang lahir dari angkatan terakhir priodenisasi pengkaderan TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid dan sekaligus kader-kader ini dijadikan sebagai asisten beliau dalam banyak kegiatan keagamaan sekaligus sebagai penerus pasca meninggalnya Syeikh Zainuddin pada tahun 1997 antara lain, TGH. Mustamiudin Ibrahim pendiri Ponpes Suralaga, TGH. Habib Thanthawi, pendiri Ponpes Dar al-Habibi NW Bunut Baok Praya, TGH. Mahmud Yasin, Pendiri Ponpes Islahul Ummah NW Lendang Kekah Mantang, TGH. M. Ruslan Zain An Nahdli pendiri Ponpes Darul Kamal NW Kembang Kerang, Lombok Timur, TGH. M. Zahid Syarif pendiri Ponpes Hikmatussyarif NW Salut Narmada, TGH. Tajuddin Ahmad pendiri Ponpes Darunnajihin Bageknyale Rensing, TGH. L. Anas Hasyri pendiri Ponpes Darul Abror NW Gunung Raja’ Rensing, TGH. M.Yusuf Ma’mun pendiri Ponpes Birrul Walidain, TGH. M. Helmi Najamuddin pendiri Ponpes Raudlatutthalibin Pao’Motong Masbagik, TGH. Khaeruddin Ahmad, Lc., pendiri Ponpes Unwanul Falah Pao’ Lombok dan ratusan pondok pesantren yang tersebar di pulau Lombok didirikan oleh alumnus-alumnus pondok pesantern Darun Nahdlathain NW Pancor di bawah bimbingan TGKH M. Zainuddin Abd Majid (w. thn 1997 M) dalam usia 102 tahun dalam hitungan Hijriyah dan 98 tahun dalam hitungan masehi18

Rintisan TGKH M. Zainuddin Abdul Madjid dengan orientasi baru, muncul TGH. Musthafa Khalidi dan TGH. Ibrahim Khalidi, dua bersaudara mendirikan Pondok Pesantren Al-Islahuddiny Kediri Lombok Barat sekitar Tahun 1940-an, pesantren inilah yang kemudian mengembangkan sistem kepesantrenan ke arah yang tradisonal menuju sistem klasikal, seperti yang pertama kali dirintis oleh TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid Pancor Lombok Timur. Pondok Pesantren ini merupakan pesantren pertama yang mengadopsi sistem klasikal dalam pengajarannya di kawasan Lombok Barat, baru disusul oleh pesantren-pesantren berikutnya.

Page 40: Buku Jurnal 7.1.pdf

36_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Potret ini menggambarkan bahwa kontribusi organisasi NW di bawah komando TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid telah secara langsung memberikan peran yang sangat penting dalam pembangunan sumber daya manusia NTB yang tidak sedikit dari alumni-alumni NW telah berkiprah banyak dalam pembangunan bangsa dan negara.

Gerakan Pondok Pesantren dalam mengembangkan semangat sosial keberagamaan di NTB tercermin dalam banyaknya Pondok Pesantren NW yang berkiprah bukan saja pada aspek pendidikan saja tapi bergerak dalam bidang sosial, ekonomi dan budaya. Data Pondok Pesantren yang ada di Lombok NTB dengan komposisi, Pondok Pesantren di Kota Mataram berjumlah, 22 buah, Lombok Barat, 77 buah, Lombok Tengah 80 buah, Lombok Timur 114 buah.19 Secara kuantitatif pondok pesantren tersebut berafiliasi ke organisasi Nahdlatul Wathan. Ini artinya separuh dari lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga sosial keagamaan di NTB didominasi oleh Organisasi NW yang secara otomatis lembaga tersebut berkontribusi terhadap pengembangan pendidikan, sosial dan kemasyarakatan di NTB

G. Nahdlatul Wathan dan Inovasi-inovasi Baru dalam Ranah Sosial Keagamaan

Dalam kaidah ushul fiqh, dan menjadi spirit dalam pengembangan Pondok Pesantren dewasa ini, disebutkan: Al-Muhâfazhah ala al-Qadîm al-Shâlih wa al-Akhzu bi al-Jadîd al-Ashlah, memelihara dan merajut tradisi-tradisi yang lama dengan tetap mengadopsi sesuatu yang kontemporer yang dianggap relevan. Makna dari kaidah itu telah direalisasikan secara luas oleh organisasi NW dengan membuat sesuatu yang baru atau suatu yang lama dalam format yang berbeda. Inovasi-inovasi ini jelas mendapatkan ragam tanggapan dan persepsi dari kalangan masyarakat, tapi NW tetap mengorbitkan inovasi-inovasi yang sesuai dengan karakter sosial masyarakat. Di antara inovasi-inovasi tersebut adalah sebagai berikut:

Page 41: Buku Jurnal 7.1.pdf

Nahdlatul Wathan dan Pembangunan Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat _37

1. Semangat Beramal: Melontar Dengan Uang

Ada tradisi yang dikembangkan oleh pendiri NW TGKH. M. Zaenuddin Abdul Madjid yang tidak lazim dilakukan oleh tuan guru-tuan guru yang lain yaitu tradisi melontar dengan uang di saat akan berakhirnya pengajian yang dipimpin langsung oleh beliau atau oleh wakil. Tradisi ini substansinya adalah mengajak masyarakat secara sukarela mengeluarkan harta yang dimilikinya berupa uang dari uang pecahan puluhan rupiah sampai ribuan rupiah. Tradisi ini berpijak pada tradisi Nabi Muhammad SAW di saat mengajak para sahabat untuk menyumbangkan sebagian harta yang dimilikinya untuk membantu para sahabat dalam medan perjuangan. Para sahabat secara sukarela mengeluarkan harta bendanya sesuai yang diharapkan Nabi. Tradisi ini dikonkritkan oleh NW dengan format yang berbeda sesuai keadaan dan karakteristik masyarakat Lombok khususnya masyarakat kelas bawah yang secara esensial hanya dengan sistem ini mereka bisa mengeluarkan infaq sadaqah kepada perjuangan NW yang mungkin merasa malu untuk mengeluarkan uang yang nominalnya sangat sedikit, sehingga dengan sistem melontar diharapkan masyarakat tumbuh semangat untuk berkorban demi kepentingan umat yang lebih banyak.

2. Semangat Berdoa: Hizib Berjama’ah

Hizib merupakan kumpulan bacaan yang terdiri dari sejumlah ayat, hadits dan doa-doa. Hizib ini merupakan kekuatan spiritual khas dan paling otentik dalam tradisi masyarakat Nahdlatul Wathan. Kekuatan magnet hizib tidak lain berkat sosialisasi yang sangat inten dari pendiri NW sekaligus perumus hizib sendiri.20

Awalnya hizib tersebut merupakan catatan kumpulan doa-doa yang diamalkan secara pribadi oleh Maulanasyeikh TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid. Kemudian disebarkan pada rekan-rekannya dan santri-santrinya di lingkungan madrasah dengan nama ‘’doa Nahdlatul Wathan’’ yaitu pada akhir tahun 1360 H/1941 M, dengan harapan

Page 42: Buku Jurnal 7.1.pdf

38_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

semoga Allah SWT menjaga kesinambungan madrasah NWDI yang didirikan. Jadi ada korelasi antara lahirnya doa-doa tersebut dengan permohonan keselamatan program dakwah lewat jalur pendidikan yang dirintis itu.

Dengan ketulusan pribadi mengamalkan doa-doa tersebut, yang juga diikuti oleh murid-muridnya di NWDI dan NBDI maka cepat tersiar doa tersebut kelapisan masyarakat, lebih-lebih setelah berbagai macam ujian dan cobaan pada masa awal pertumbuhan madrasah tetap tertanggulangi, maka secara otomatis khasiat doa-doa tersebut makin diyakini oleh masyarakat NW. hingga kemudian setelah lebih dua dasawarsa menjadi hizib yang tercetak dan lebih mudah bagi siapa saja untuk membacanya. Kutipan panjang berikut mengisahkan kronologisnya:

Maka sudah lebih dua puluh tahun lamanya hizib NW mendengung di dunia madrasah NW Diniyah Islamiyah di pulau Selaparang (Lombok) ini, yaitu mulai dari sejak beberapa bulan dari pendaratan tentara Jepang (Nipon) di pulau Jawa dengan ganasnya yang mengakibatkan Madrasah-madrasah (sekolah agama) di seluruh kepulauan Indonesia lebih dari enam puluh persen (60%) gulung tikar atau digulung langsung oleh Jepang atau oleh kaki tangan Jepang (pengkhianatan nusa bangsa, tanah air dan agama). Setelah berdirinya madrasah Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah (madrasah kaum hawa) pada 21 April 1943, disusun pula Hizib Nahdlatul Banat yang didengungkan pagi–sore oleh kaum hawa. Setibanya Jepang di daratan Lombok, alhamdulillah para pelajar NWDI dan NBDI sudah setia setiap saat dengan hizib mereka, yang mengandung beberapa ayat Allah, Hadits-hadits Rasulullah SAW dan beberapa as’ma Allah, maka dengan limpah pertolongan Rabbul alamin dan dengan berkah-berkah Asror (rahasia-rahasia) kedua hizib yang diwiridkan (amalkan) pagi-sore itu, kedua Madrasah itu selamat (terpelihara) dari pada keganasan ancaman Jepang dan ancaman kaki tangan Jepang sekalipun berkali-kali mereka datang di Pancor (madrasah)

Page 43: Buku Jurnal 7.1.pdf

Nahdlatul Wathan dan Pembangunan Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat _39

bermaksud menutup (membubarkan) madrasah tersebut, Walakin Yadullah Fauqo aidihim, selanjutnya selamat pulalah kedunya dari kekejaman ancaman NICA akibat penyerbuan guru-guru madrasah NWDI serta beberapa muridnya pada kubu pertahanan NICA di Selong yang membawa bukti sabil (syahidnya) saudara kandung kami Ustadz Haji Muhammad Faishal Abdul Madjid yang menjelmakan taman bahagia di Selong.

Pada malam Jum’at Nisfu Sya’ban tahun 1363 H/1944 M telah kejadian kebakaran umum di seluruh gubuk Bermi (kampung tempat berdiamnya NW dan Nahdlatul Banat), alhamdulillah kedua madrasah tersebut serta rumah-rumah pembangunannya terpelihara sekalipun kampung tersebut menjadi lautan api dan semua rumah-rumah (bangunan-bangunan) sekitarnya habis menjadi abu. Dzalika fadlullahi Yu’tihi man yasya’ wallhu dzul fadlil ‘adzim. Demikian seterusnya pada masa-masa yang lampau selalu kedua umm al-madâris (Nahdhatul Wathan dan Nahdhatul Banat) ditimpa oleh bermacam-macam malapetaka, fitnahan dan hasutan, tetapi tuhan Allah tetap melindungi. Penduduk Pancor sendiri sama mengetahui berbagai macam peristiwa ajaib yang bersejarah itu kecuali mereka yang buta mata hatinya atau pura-pura buta tuli bisu (summum bukmun ‘umyun), atau memang sengaja ingin mengabai jalannya perkembangan sejarah kedua madrasah tersebut. Itulah madrasah NW dan madrasah Nahdlatul Banat beserta hizib NW dan hizib Nahdlatul Banat, oleh kedua hizib ini sudah tersiar di sana-sini dengan meluasnya, terutama setelah diresmikan berdirinya organisasi Nahdhatul Wathan pada hari Ahad 15 Jumadil tsani 1372 H/1 Maret 1952 M, maka bertambah pesatlah tersiarnya sampai di luar daerah Lombok di mana cabang NW berdiri.21

Tepatnya pada tahun 1962 untuk pertama kalinya Hizib tersebut berhasil dicetak. Hal ini mengingat banyaknya permintaan khususnya dari keluarga besar NW untuk lebih mudahnya mengamalkan hizib tersebut.

Page 44: Buku Jurnal 7.1.pdf

40_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Tradisi membaca hizib memang merupakan kebiasaan yang banyak dijumpai di kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah di manapun berada dan berlabel organisasi keagamaan apapun juga. Hizib-hizib sebenarnya adalah do’a-doa biasa, namun karena diciptakan oleh ulama terkenal maka menjadi terkenal dan disukai oleh banyak orang. Dalam kaitan ini hizib yang disusun oleh TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid adalah karya orisinilnya, meskipun tentu mengutip banyak doa dari ulama terdahulu, disebut-sebut merupakan kumpulan doa-doa 70 auliya’ yang diramunya dan disajikan dalam bentuk baru

Bacaan hizib dapat dilakukan secara sendiri atau berjama’ah. Apabila sendiri maka sebelum pada bacaan inti terlebih dahulu membaca fatihah tiga kali dengan niatnya dan membaca shalawat yang enam, baru membaca hizib dan berdoa. Adapun jika hizib dibaca secara berjama’ah misalnya pada malam jum’at maka tata caranya sebagai berikut :

1. Membaca fatihah tiga kali, dengan niat masing-masing ditujukan kepada: a) Nabi Muhammad SAW, Nabi yang lain dan seluruh keluarganya berikut para sahabat. b) penyusun hizib maulanasyeikh TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid, silsilahnya ke atas dan orang yang mencintainya. c)para auliya’, ulama’, guru-guru, dan kaum nahdliyyin dan

nahdhliyyat dan muslimin muslimat.

2. Membaca surat Yasin sekali oleh masing-masing hadirin

3. Membaca shalawat Nahdlatain, sekurang-kurangnya 10 kali, lalu membaca shalawat lima lainnya masing-masing sekali, yaitu a) shalat al-Fatih, b) shalat an-Nariyah, c) shalat al-Thib, d) shalat al-aliyyil Qadri, e) shalat miftahi babi rahmatillah.

4. Membaca hizib

5. Membaca qasidah al-munfarijah dst sampai doa sulthanula auliya’ syiekh Abdul Qadir Jaelani, ayudrikuni dhaimun…

Page 45: Buku Jurnal 7.1.pdf

Nahdlatul Wathan dan Pembangunan Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat _41

6. Doa penutup. Dari teks yang dilengkapi tata cara tersebut lebih-lebih lagi karena sosialisasi yang sangat inten, maka kini tradisi hiziban masyarakat pesantren NW menjadi sangat meluas.

3. Semangat Berulang Tahun: Hultah NWDI

Istilah HULTAH dipopulerkan oleh organisasi NW yang semakna dengan istilah yang dipopulerkan oleh ormas-ormas Islam lainnya, seperti Milad, Harlah, Dies Natalies, Haul, dll. Kata hultah sebenarnya diambil dari bahasa Arab, Hâla, Yahûlu, Haûlan, yang berarti keadaan yang sudah sampai setahun, atau sesuatu yang genap setahun, kemudian ditambahkan dengan Ta’ mukhatab, menjadi Hulta, yang berarti engkau merayakan hari yang ke setahun, kemudian ditambahkan Ha’ dhamir, kata ganti orang pertama tunggal menjadi Hultahu, diwakafkan menjadi Hultah. Referensi Ha’ itu ke yaum milad sehingga menjadi hultah, yang secara umum diartikan engkau merayakan hari kelahirannya.

Istilah HULTAH NWDI pertama kali dikenal pada ulang tahun NWDI ke-15 pada tahun 1952. awalnya hanya berbentuk tasyakkuran, yang diisi dengan pengajian singkat dan diakhiri dengan acara makan bersama (begawe/begibung/-Bahasa Sasak). Dalam perkembangan selanjutnya, HULTAH NWDI ini dijadikan sebagai acara pengajian tahunan pendirinya dan media silaturrahmi dan komunikasi antaralumni (abituren) dan jamah NW di seluruh Nusantara serta dihadiri oleh pejabat dari instansi pemerintah, baik lokal maupun nasional, bahkan juga undangan dari negara-negara sahabat dan perwakilan badan-badan internasional seperti WHO, UNICEF, dan lain-lain.

Hari ulang tahun atau biasa disebut oleh masyarakat NW dengan sebutan Hultah. Hultah merupakan hari ijtima’ nasional yang diselenggarakan oleh dewan pengurus Besar NW. Peringatan Hultah

Page 46: Buku Jurnal 7.1.pdf

42_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

dan istilahnya merupakan inovasi baru bagi organisasi NW dalam membangun kesadaran dan semangat bersama dalam memperingati nilai-nilai perjuangan yang telah dirintis dan dikembangkan oleh Pendiri NW, sehingga Hultah menjadi urgen jika dikemas sesuai dengan tuntutan awal diselenggarakan peringatan tahunan bagi warga NW, dan ini membuktikan NW memberikan sumbangsih yang tidak sedikit dalam bidang pengembangan sosial keagamaan di NTB ini.

4. Tradisi Syafa’ah Al-Kubro

Banyak istilah yang dikembangkan oleh organisasi lain seperti, Istighosah, Ratiban, Zikiran, dan lain-lain. Tradisi ini sebetulnya telah dikembangkan oleh ulama’-ulama terdahulu, tapi yang berbeda mungkin masalah istilah yang dipergunakan. Kalangan masyarakat pesantren NW istilah zikir yang dilakukan secara berjama’ah di saat pengajian, atau hajatan keluarga yang telah meninggal dunia, diistilahkan dengan syafa’ah dan istilah ini menurut penulis, menjadi term sosial yang berkembang di NTB karena dikembangkan oleh NW. dengan demikian pengembangan sosial keagamaan dalam aspek-aspek tertentu sangat didomisasi oleh organisasi NW.

Secara etimologi maupun terminology kata syafa’ah bermakna memberikan pertolongan dengan membacakan do’a-do’a yang diniatkan kepada apa yang dihajatkan oleh sohib al-hajah (yang mengundang untuk melakukan kegiatan hajatan). Tradisi syafa’ah ini terus-menerus dikembangkan oleh warga NW sebagai wasilah zikir sekaligus ajang silaturrahim antar sesama muslim atau dalam sekala besar tradisi syafa’ah dijadikan sebagai sarana untuk beramal jariah bagi kalangan masyarakat NW.

Adapun prinsip dasar pelaksanaan syafa’ah atau zikir secara berjamaah dalam konsep Islam tidak perlu diperdebatkan kembali cara dan istilah yang digunakan, sebab masing-masing ulama, khususnya

Page 47: Buku Jurnal 7.1.pdf

Nahdlatul Wathan dan Pembangunan Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat _43

kalangan ulama ahlussunnah wal jamaah secara ijma’ mengatakan bahwa zikir berjama’ah itu termasuk sunnat yang diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW. Hanya saja yang masih diperdebatkan mengenai tata cara zikir itu sendiri. Kalangan masyarakat pesantren NW, tradisi syafa’ah dilakukan secara berjamaah dan suara jahar (nyaring).

5. Semangat Emansipatoris: Pendidikan Untuk Kaum Perempuan

Ada beberapa lembaga yang secara khusus membina dan mendidik kaum perempuan di Lembaga NW;

Pertama, Madrasah Nahdlatul Banat Diniyyah Islamiyah, madrasah yang didirikan pada era penjajahan Jepang, 15 Rabi’ al-Akhir 1362 H/ 21 April 1943. madrasah inilah, madrasah pertama di NTB yang mencetuskan pendidikan untuk kaum perempuan yang sebelumnya tidak pernah dirintis oleh para tuan guru-tuan guru yang lain. Jadi NW dapat dikatakan sebagai pelopor emansipatoris bagi kaum perempuan yang mensejajarkan antara laki-laki dalam aspek mendapatkan hak dan kewajiban untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Alumni-alumni NBDI dapat mendorong terciptanya lembaga-lembaga keperempuanan di tingkat kabupaten di Lombok, seperti, Madrasah Sullam al-Banat di Sakra, Madrasah al-Banat di Wanasaba, Madrasah Is’af al-Banat di Perian, Madrasah Sa’adatul Banat di Praya, Madrasah Tanbih al-Muslimat di Praya,dll. Ini membuktikan bahwa peranan NBDI yang kemudian dikoordinasikan dalam Organisasi NW telah memberikan kontribusi nyata dalam mengangkat harkat martabat perempuan NTB. Kiprah perempuan NTB jelas memberikan nuansa baru dalam aspek pembangunan sosial keagamaan di tengah komunitas mereka masing-masing.

Page 48: Buku Jurnal 7.1.pdf

44_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Kedua, Madrasah Muallimat 6 Tahun, yang didirikan pada tahun 1957, madrasah ini diorientasikan untuk menjadi guru-guru agama di madrasah-madrasah yang didirikan oleh NW dan pemerintah. Kontribusi nyata dari Madrasah Muallimat ini adalah lahirnya srikandi-srikandi NW yang siap berjuang melawan kebodohan dan kesenjangan sosial di tengah masyarakat, dan tidak sedikit dari kader-kader muslimat NW yang berkiprah dalam segala bidang dan keahlian.

Ketiga, Ma’had lil Banat, Perguruan Tinggi yang khusus untuk kaum perempuan yang didirikan oleh TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid pada tahun 1974 M. Lembaga ini merupakan lembaga yang secara kurikulum mengacu pada kurikulum Madrasah as-Saulatiyyah Makkah di mana TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid dulu menuntut ilmu, sehingga Ma’had lil Banat ini dijadikan sebagai lembaga yang secara khusus mengkaji kitab-kitab klasik ala madrasah Saulatiyyah dengan sistem belajar khalaqoh (duduk bersila), dan lembaga ini dibentuk dalam tiga tingkatan. Kiprah alumni Ma’had Lil Banat ini dalam pembangunan sosial keagamaan di NTB secara umum telah menyebar ke seluruh pelosok tanah air sembari mengemban amanat ke-NW-an dan ke-Islam-an. 22

Page 49: Buku Jurnal 7.1.pdf

Nahdlatul Wathan dan Pembangunan Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat _45

H. Epilog

Sebagai sebuah organisasi, NW telah mengambil peran yang sangat besar terhadap pengembangan kualitas umat di NTB, baik kualitas spiritual, ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, bahkan politik. Bahkan NW tidak hanya menjadi lokomotif bagi perkembangan umat, tetapi juga menjadi perekat sosial dalam keragaman masyarakat NTB khususnya dan masyarakat Indonesia secara nasional.

Kesuksesan NW dalam pembangunan sosial keagamaan di NTB tidak terlepas dari modal sosial (social capital) yang dimiliki oleh organisasi NW;

Pertama, Norma dasar yang dimiliki oleh organisasi NW dan warganya yaitu Iman dan Taqwa, yang tercermin pada pokoknya NW, Pokoknya NW Iman dan Taqwa.

Kedua, adanya hubungan dan kerjasama yang kuat baik secara internal dengan warga NW, maupun secara eksternal dengan institusi pemerintah, swasta, lembaga pendidikan, dan lembaga sosial keagamaan lainnya.

Ketiga, kuatnya rasa kebersamaan warga NW yang terbentuk secara alamiah melalui ritual dan kegiatan-kegiatan NW.

Dengan demikian, tak salah jika kita menyebut NW sebagai organisasi yang bergerak dalam ranah sosial keagamaan telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan dalam arti luas di Nusa Tenggara Barat

Page 50: Buku Jurnal 7.1.pdf

46_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Daftar Pustaka

Ritzer George, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (terj), Jakarta: CV Rajawali, 1998

Abd Aziz, Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004,

Ahmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, Jakarta: Kencana Prenada, 2006

Ma’shum Ahmad Abdul Madjid, BA, “Meneladani Kepemimpinan Hamzanwadi”, Makalah disampaikan pada acara Kongress HIMMAH NW V di Pancor pada tanggal 14 Mei 1994.

Muin Umar, ed, Penulisan Sejarah Islam di Indonesia dalam Sorotan, Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985.

Alaidin Kotto, Pemikiran Politik PERTI Persatuan Tarbiyah Islamiyah 45-70, Jakarta: Nimas Multima, 1997.

Hilmi Muhammadiyah & Sulthan Fathoni, NU: Identitas Islam Indonesia, Jakarta: eLSAS, 2004.

Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdhlatul Ulama, Solo: Jatasu Sala, 1985.

Muchit Muzadi, Mengenal Nahdlatul Ulama, Jember : Masjid Sunan Kalijaga, 2004.

Nanih Machendrawaty, et all, Pengembangan Masyarakat Islam dari Ideologi, Strategi Sampai Tradisi, Bandung : Rosda Karya, 2001.

Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi Masyarakat, Jakarta: Kencana, 2007.

Abdul Munir Mulkan, Moral Politik Santri: Agama dan Pembelaan Kaum Tertindas, Jakarta: Erlangga, 2003.

Muhammad Nur, dkk, Visi Kebangsaan Religius: Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2004, cet. 1.

Abdul Hayyi Nu’man & Sahafari As’ary, Organisasi NW Di Bidang Pendidikan, Sosial dan Dakwah Islamiyah, Pancor: Toko Buku Kita,

Page 51: Buku Jurnal 7.1.pdf

Nahdlatul Wathan dan Pembangunan Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat _47

1984, cet.1.John Ryan Bartholomen, Alif Lam Mim: Reconciling Islam, Modernity and

Tradition in an Indonesian Kampung, 1999, cet.1. ------------ Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak, Yogyakarta: PT Tiara

Wacana, 2001, cet. 1.Baharuddin, Nahdltul Wathan dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Genta

Press, 2007, cet. 1.Fahrurrozi, Eksistensi Pondok Pesantren di Lombok NTB: Studi Tentang

Peranan Pondok Pesantren NW dalam bidang Pendidikan, Sosial dan Dakwah, Jakarta: PPS UIN Jakarta,2004.

------------Eksistensi Pondok Pesantren di NTB, dalam jurnal Pesantren Studies, Jakarta: Depag RI, 2008.

Ahmad Amir Aziz, Pemikiran Dan Pola Dakwah TGKH. M.Zaenuddin Abdul Majid, Laporan Penelitian,1999.

Muhammad Zainuddin Abdul Majid, Hizib NW wa hizib Nahdlatul Banat, Pancor: Toko Buku Kita, cet.ke-74

Page 52: Buku Jurnal 7.1.pdf

48_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Endnotes

1. Lihat Ritzer George, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (terj),

Jakarta: CV Rajawali, 1998, h. 30..lihat kutipannya juga dalam Abd Aziz

(Peny.), Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus,

2004, h. 66.

2. Konsep organisasi di kalangan para ahli sosiologi dan antropologi secara

umum mengatakan bahwa organisasi pada prinsipnya memiliki dua

dimensi penting, pertama adalah organisasi sosial dan kedua dikatakan

sebagai struktur sosial. Organisasi sosial termasuk di dalamnya organisasi

keagamaan seperti NU, NW, Muhammadiyah, di mana para ahli kerap

kali menyamakan begitu saja kedua konsep ini. Padahal organisasi sosial

cendrung digunakan secara longgar untuk merujuk kepada penjumlahan

total kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam konteks sosial tertentu.

Sedangkan struktur sosial biasanya dipergunakan ntuk merujuk konteks

sosial itu sendiri, atau lebih tepatnya bagi seperangkat hubungan sosial

yang menjalin keterkaitan individu-individu dalam masyarakat. Lih.

Ahmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis

Mengenai Paradigma, Jakarta: Kencana Prenada, 2006, h. 170

3. Ma’shum Ahmad Abdul Madjid, BA, “Meneladani Kepemimpinan

Hamzanwadi”, Makalah disampaikan pada acara Kongress HIMMAH NW V

di Pancor pada tanggal 14 Mei 1994, lihat juga kutipannya, Muh. Nur, dkk,

Visi…h. 307

4. Karel A.Steenbrink membagi sejarah Islam di Indonesia kepada tiga

periode: pertama, sejak masuknya Islam sampai abad ke -17, kedua, abad

pertengahan (awal VOC) sampai abad ke-19, ketiga, abad ke-20 sampai

sekarang. Lihat, Muin Umar, ed, Penulisan Sejarah Islam di Indonesia dalam

Sorotan, Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985, h. 155.

Page 53: Buku Jurnal 7.1.pdf

Nahdlatul Wathan dan Pembangunan Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat _49

5. Alaidin Kotto, Pemikiran Politik PERTI Persatuan Tarbiyah Islamiyah 45-70,

Jakarta: Nimas Multima, 1997, h. 1

6. Hilmi Muhammadiyah & Sulthan Fathoni, NU: Identitas Islam Indonesia,

Jakarta: eLSAS, 2004,,h. 118, lihat juga Choirul Anam, Pertumbuhan dan

Perkembangan Nahdhlatul Ulama, Solo: Jatasu Sala, 1985, h. 25. lihat juga buku

Muchit Muzadi, Mengenal Nahdlatul Ulama, Jember : Masjid Sunan Kalijaga,

2004, h. 15.

7. Nanih Machendrawaty, et all, Pengembangan Masyarakat Islam dari Ideologi,

Strategi Sampai Tradisi, (Bandung : Rosda Karya, 2001, h. 91

8. Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi

Komunikasi Masyarakat, Jakarta: Kencana, 2007, h. 270

9. Secara redaksional ungkapan ini telah lama dicetuskan oleh Abdul Munir

Mulkan dalam bukunya Moral Politik Santri: Agama dan Pembelaan Kaum

Tertindas, Jakarta: Erlangga, 2003, h. 18, dengan ada penambahan penjelasan

dari penulis dengan memasukkan organisasi NW yang berbasis masa Islam

terbesar di NTB, di mana secara prinsip ada kesamaan dengan dua

organisasi besar di Indonesia yaitu NU dan Muhammadiyah.

10. Muhammad Nur, dkk, Visi Kebangsaan Religius: Refleksi Pemikiran dan

Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-

1997, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2004, cet. 1, h. 305. lihat juga, Abdul

Hayyi Nu’man & Sahafari As’ary, Organisasi NW Di Bidang Pendidikan, Sosial

dan Dakwah Islamiyah, Pancor : Toko Buku Kita, 1984, cet.1.h. 12.

11. Madrasah al-Sa’adah di Kelayu, 1942, Madrasah Nurul Yaqin, Praya, 1942

Madrasah Nurul Iman, di Mamben, 1943, Madrasah Shirat al-Mustaqiem,

di Rempung 1943, Madrasah Hidayatul Islam di Masbagek, 1943 Madrasah

Nurul Iman di Sakra, 1944, Madrasah Nurul Wathan di Mbung Papak, 1944,

Madrasah Tarbiyah al-Islam, di Wanasaba, 1944, Madrasah Fari’iyyah di

Pringgasela, 1945. Lihat, Muh. Nur, dkk, Visi…h. 189

Page 54: Buku Jurnal 7.1.pdf

50_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

12. John Ryan Bartholomen mengatakan bahwa bila Lombok dicap sebagai

‘’sebuah pulau dengan 1000 masjid’’ yang mungkin meremehkan

keberadaan sejumlah masjid kecil di pulau tersebut, pesannya jelas, Lombok

sangat terkenal di Indonesia sebagai sebuah tempat Islam diterima secara

serius dan tipe Islam yang dipraktekkan di sana pada umumnya agak kaku

dan bentuknya ortodoks bila dibandingkan dengan kebanyakan daerah lain

di negara ini. Lengkapnya baca, John Ryan Bartholomen, Alif Lam Mim:

Reconciling Islam, Modernity and Tradition in an Indonesian Kampung, 1999,

cet.1. dalam edisi bahasa Indonesianya; Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat

Sasak, Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2001, cet. 1, h. 86.

13. Dalam data 2005 Kanwil Depag NTB, Lombok Barat dengan jumlah masjid

829, Lombok Tengah 1.229 masjid, Lombok Timur, 1.574 masjid, Kota

Mataram 225 masjid.

14. Baharuddin, Nahdlatul Wathan dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Genta Press,

2007, cet. 1, h. 227

15. Perkembangan pesantren mengalami perubahan sistem pada era 1930-

an perubahan sistem pesantren mulai dirintis pertama kali oleh tokoh

kharismatik TGKH M.Zainuddin Abdul Majid, yang mendirikan pesantren

Darul Mujahidin tahun 1934 M. namun setelah penduduk Jepang, pesantren

tersebut dibubarkan oleh penjajah Jepang. Meskipun secara formal pesantren

tersebut telah dibubarkan tapi dalam aplikasi dan penerapan pengajaran

tetap dilaksanakan oleh TGKH. Zainuddin Abdul Majid, sehingga selang

beberapa tahun TGKH. Zainuddin Abdul Majid mendirikan madrasah

yang bernama NW Diniyah Islamiyah (NWDI) 15 Jumadil Akhir 1356 H

bertepatan dengan 22 Agustus 1935 M khusus untuk putra dan Madrasah

Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah (NBDI) 15 Rabiul Akhir 1364 H bertepatan

dengan 21 April 1943 M khusus untuk putri dan inilah madrasah pertama

di daerah Lombok yang menggunakan pengajaran sistem klasikal. Dari dua

madrasah inilah sebagai embrio berdirinya organisasi masyarakat terbesar

Page 55: Buku Jurnal 7.1.pdf

Nahdlatul Wathan dan Pembangunan Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat _51

di NTB yang bernama organisasi NW (NW) pada tanggal 15 Jumadil

Akhir 1372 M bertepatan dengan 1 Maret 1953 M dan sekaligus memiliki

cabang diseluruh daerah Lombok dan untuk mengkoordinasi pendidikan

di lingkungan organisasi didirikan pesantren Darunnahdlatain NW Pancor.

16. Istilah ini dipopulerkan oleh Maulana Syeikh Muhammad Zainuddin untuk

menjelaskan bahwa eksistensi dua madrasah ini akan tetap berjaya dalam

situasi dan kondisi bagaimanapun. Istilah ini mencerminkan komitmet yang

kuat bagi pendirinya untuk tetap berjuang membela prinsip yang menjadi

acuan dalam berjuang mengembangkan amanat agama melalui pendidikan

madrasi yang awal mulanya mengalami tekanan dan rintangan dari segala

penjuru, namun prinsip yang beliau pegang teguh adalah dua madrasah ini

menyatu dalam satu prinsip yang tak akan bisa pudar dan hancur.

17. Lihat, Fahrurrozi, Eksistensi Pondok Pesantren di Lombok NTB: Studi Tentang

Peranan Pondok Pesantren NW dalam bidang Pendidikan, Sosial dan Dakwah,

Jakarta: PPS UIN Jakarta,2004,, h. 189, (Tesis tidak dipublikasikan), Lihat

juga, Eksistensi Pondok Pesantren di NTB, dalam jurnal Pesantren Studies,

Jakarta: Depag RI, 2008, h. 34

18. Fahrurrozi, Eksistens... h. 189, Lihat juga, Eksistensi Pondok....h. 35.

19. Sumber: Data Emis Depag dan Sekretariat FKSPP NTB, 2003-2004

20. Ahmad Amir Aziz, Pemikiran Dan Pola Dakwah TGKH. M. Zaenuddin Abdul

Majid, Laporan Penelitian,1999, h. 86.

21. Teks aslinya tertulis dengan huruf Melayu Arab. Lihat Muhammad

Zainuddin Abdul Majid, Hizib NW wa hizib Nahdlatul Banat, Pancor: Toko

Buku Kita, cet.ke-74, tt, h. 35-34. Naskah hizib ini dicetak ulang hampir tiap

tahun dan merupakan teks yang paling banyak beredar di kalangan warga

NW.

22. Semangat Perjuangan: eksplorasi prinsip-prinsip perjuangan TGH.

Page 56: Buku Jurnal 7.1.pdf

52_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Zainuddin dalam gubahan syairnya. Semangat kebangsaan. semangat

kebangsaan TGH. Muhammad Zainuddin dalam menakhodai NW

tercermin dalam ungkapan syairnya: انت يا فنجور بالدى انت عنوان الكمال اخل

وطىن روحى فداء لك من كل الضالل

هيا غنوا نشيدنا يا فىت ساسك باندونسيا بلغ االيام والليايل حنن اخوان الصفا كلنا على الوفا نستعد حبزبنا حيي

حنن فتيان العلوم كل يوم ال ننوم امالنا فوق النجوم جهادنا للمسلمني اخل

Semangat primordialisme:

انت يا فنجور بالدى انت عنوان الكمال اخل وطىن روحى فداء لك من كل الضالل

هيا غنوا نشيدنا يا فىت ساسك باندونسيا بلغ االيام والليايل حنن اخوان الصفا كلنا على الوفا نستعد حبزبنا حيي

حنن فتيان العلوم كل يوم ال ننوم امالنا فوق النجوم جهادنا للمسلمني اخل

Semangat kepemudaan:

انت يا فنجور بالدى انت عنوان الكمال اخل وطىن روحى فداء لك من كل الضالل

هيا غنوا نشيدنا يا فىت ساسك باندونسيا بلغ االيام والليايل حنن اخوان الصفا كلنا على الوفا نستعد حبزبنا حيي

حنن فتيان العلوم كل يوم ال ننوم امالنا فوق النجوم جهادنا للمسلمني اخل

Page 57: Buku Jurnal 7.1.pdf

Peranan FKDI - FSPPI Dalam Pemberdayaan Muslim i Tengah Kemajemukan Umat _53

The Role of FKDI -FSPPI in Empowering Muslim in the Midst of Ummah Pluralism (Revitalization Guidance & Religious Counseling in the Karang Manik Village Subdistrict Belitang II East OKU Regency Prov. South Sumatra)

Peranan FKDI -FSPPI Dalam Pemberdayaan Muslim di Tengah Kemajemukan Umat (Revitalisasi Bimbingan & Penyuluhan Agama di Desa Karang Manik Kecamatan Belitang II Kabupaten OKU Timur Prov. Sumatera Selatan)

Muhammad KastawiPenyuluh Agama Ahli KUA Kecamatan Belitang II Kabupaten OKU Timur

email: [email protected]

Abstract : History implicitly indicates that the Prophet Muhammad and his companions began to

build Islamic civilization started from the mosque. The spirit of their faith strengthened

by managerial system that are reliable. The partial prosperity of the mosque is

considered will reduce the existence of Muslims that spread in all corners of Indonesia.

This fact will lead to inequality conditions which impact on inequality mosque and

religious development in the community. Therefore, to improve the welfare of the

mosque through variety of activities is a must so that the mosque will actually function

for the ummah. Religious activities is not dominating mosque activity, but there also

have economic activity, education and organization activity. Thus, the mosque grew

as a center for community development.

Page 58: Buku Jurnal 7.1.pdf

54_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Abstraksi : Sejarah secara implisit menunjukkan bahwa Nabi Muhammad dan para sahabatnya

mulai membangun peradaban Islam dimulai dari masjid. Semangat keimanan mereka

diperkuat dengan membiasakan sistem manajerial yang handal. Kemakmuran Masjid

yang parsial dianggap akan mengurangi eksistensi kaum Muslim yang menyebar ke

seluruh pelosok daerah di Indonesia. Fakta ini akan menyebabkan ketimpangan kondisi

masjid yang berimbas pada ketimpangan pembangunan keagamaan di masyarakat.

Oleh karena itu, meningkatkan kesejahteraan masjid melalui beragam kegiatan

merupakan sebuah keharusan sehingga masjid benar-benar berfungsi bagi ummat.

Kegiatan keagamaan tidak mendominasi aktifitas kemasjidan, melainkan juga aktifitas

ekonomi, pendidikan dan keorganisasian. Dengan demikian, masjid tumbuh sebagai

pusat pembinaan umat.

Keywords: Empowerment, Guiding, Counseling, Preacher, Mosque

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia saat ini tengah menghadapi krisis multidimensional, yaitu suatu krisis yang meminjam istilah Frithjof Capra sebagai krisis dimensi moral, intelektual dan spiritual. Krisis ini bersifat multidimensional karena mencakup seluruh aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, pendidikan dan ilmu pengetahuan. Krisis multidimensional ini bisa menjadi indikator mundurnya peradaban bangsa, dan sebagai solusinya adalah menata kembali basis peradaban yang semestinya dibangun.

Berdasarkan pembacaan terhadap sejarah kebudayaan, setidaknya ada tiga basis yang menjadi fundamen atau dasar bangunan suatu peradaban. Ketiga basis tersebut adalah kemanusiaan (humanitas), keilmuan (intelektualitas), dan spiritualitas.1 Demikian pula terlihat dalam kemunculan sejarah peradaban Islam. Peradaban Islam dapat

Page 59: Buku Jurnal 7.1.pdf

Peranan FKDI - FSPPI Dalam Pemberdayaan Muslim i Tengah Kemajemukan Umat _55

berkembang hingga puncak keemasannya karena adanya pengawalan spiritualitas keagamaan, ajaran kemanusiaan dan rasionalitas Islam sejak masa kenabian sampai akhir kekhalifahan Abbasiyah. Tetapi, ketika pengawalan spiritualitas, ajaran kemanusiaan dan rasionalitas Islam tersebut rontok oleh gaya hidup materialistik-hedonis, maka kemegahan peradaban Islam mulai lemah hingga mencapai titik kejatuhannya.2

Dalam hal ini, seorang dai (Penyuluh Agama Islam Fungsional) di Indonesia umumnya dan di OKU Timur khususnya –terlebih lagi di Kecamatan Belitang II-- sangat berperan dalam pengawalan spiritualitas keagamaan, ajaran kemanusiaan dan rasionalitas Islam, yaitu dengan cara menyampaikan pesan-pesan moral tersebut kepada semua lapisan masyarakat. Karena Penyuluh Agama Fungsional bersentuhan langsung dengan anggota masyarakat. Penyuluh Agama merupakan ujung tombak Kementerian Agama dalam menyampaikan pesan-pesan moral kepada masyarakat. Penyuluh Agama Islam berkewajiban untuk menumbuh-suburkan kegiatan-kegiatan Majelis Taklim, lembaga-lembaga pendidikan seperti TKQ/TPQ, yang paling utama pemakmuran kegiatan-kegiatan masjid (ta’mir masjid) yang berorientasi pada pencerahan dan pencerdasan umat melalui kegiatan PHBI dan lain-lain.

Di samping itu, Penyuluh Agama Islam berfungsi sebagai tenaga pendidikan Agama Islam yang ada di masyarakat, mempunyai peranan yang sangat strategis dalam meningkatkan keimanan dan ketakwaan umat dan kerukunan antar umat beragama serta partisipasi umat dalam pembangunan nasional.

Dr. Muhammad Sa’id Ramdhan Al-Buthy menyebutkan ada tiga asas (dasar) terbentuknya masyarakat yang baru dalam konteks ketika Rasulullah SAW dan para sahabat berhijrah ke Madinah. Masyarakat yang baru tersebut sering diistilahkan dengan terma Masyarakat Madani atau masyarakat yang berperadaban. Ketiga asas yang dibangun oleh Rasul saat itu adalah membangun masjid, mempersaudarakan antara kaum Muslimin, dan membuat aturan yang kuat untuk intern kaum Muslimin dan kesepakatan (semacam MoU) dengan non Muslim saat itu.3

Page 60: Buku Jurnal 7.1.pdf

56_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Seiring dengan hal tersebut, Penyuluh Agama Islam Fungsional yang tergabung dalam Forum Komunikasi Dakwah Islam – Forum Silaturami Pemuda-Pemudi Islam (FKDI-FSPPI) menjalankan dakwah Islam, menyambung ukhuwah / tali silaturahmi melalui kegiatan dari satu masjid ke masjid lain yang bertujuan sebagai pembinaan remaja Islam masjid (Risma) untuk membentengi umat dari pendangkalan akidah serta pemurtadan. Masyarakat Muslim Karang Manik harus mendapat perhatian yang intens karena mereka hidup dan tinggal di tengah – tengah kemajemukan umat. Dengan mempersaudarakan antara kaum Muslimin dan menyambung ukhuwah/ tali silaturahmi antara sesama mereka, sekaligus membimbing dan meningkatkan kualitas pemahaman mereka sangatlah diperlukan.

Rasulullah SAW menjelaskan keutamaan bagi orang yang mau menyambung tali silaturrahmi:

م ه . م ن م م ب منن يه ن م م م ه يف يف ن يف يف م يه ن م م م ه يف م م يف يف يم ن م يف ن م يف

اةم، متم يف ه تيمعن هده ا ب م مالم تهشن يفكه بيف يف شم نئا، متهقيف نمه ا بالمةم، متيهؤنتيف ا زبكممم .ا ب يف

ديف ا ب يف مالم يم ينقهضه ننم . يف بما يم م مكب ه ه ه ن ان م ن ماايف ا ب يف ن م ه يه ننم بيفعمهن ما ب يف ن م م يف ه ننم ما م م م ا ب ه بيف يف منن يه نصم م ميمنشم ننم مبيبههمن . ا ن يف ن ماام

. ميمما يه ننم ه ن م اانيف ماايف

يفنب ا ب م يهيف ا ب يف م يهقماتيف ه نم يف م يف يف يف صمفا كم منيبههمن بيه ين مان

. م نصه و

Siapa yang suka untuk diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaklah ia menyambung tali silaturrahmi. (HR. Bukhari 5986 & Muslim 2557).

Menyambung silaturrahmi memiliki keutamaan istimewa, yakni merupakan salah satu sebab penting yang dapat mengantarkan seorang hamba menuju surga. Dari Abu Ayyub al-Anshori radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ada seorang laki-laki yang berkata: “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku akan amalan yang dapat memasukkan aku ke dalam surga dan menjauhkan diriku dari api neraka.” Lalu Nabi SAW menjawab :

م ه . م ن م م ب منن يه ن م م م ه يف يف ن يف يف م يه ن م م م ه يف م م يف يف يم ن م يف ن م يف

اةم، متم يف ه تيمعن هده ا ب م مالم تهشن يفكه بيف يف شم نئا، متهقيف نمه ا بالمةم، متيهؤنتيف ا زبكممم .ا ب يف

ديف ا ب يف مالم يم ينقهضه ننم . يف بما يم م مكب ه ه ه ن ان م ن ماايف ا ب يف ن م ه يه ننم بيفعمهن ما ب يف ن م م يف ه ننم ما م م م ا ب ه بيف يف منن يه نصم م ميمنشم ننم مبيبههمن . ا ن يف ن ماام

. ميمما يه ننم ه ن م اانيف ماايف

يفنب ا ب م يهيف ا ب يف م يهقماتيف ه نم يف م يف يف يف صمفا كم منيبههمن بيه ين مان

. م نصه و

Page 61: Buku Jurnal 7.1.pdf

Peranan FKDI - FSPPI Dalam Pemberdayaan Muslim i Tengah Kemajemukan Umat _57

Engkau beribadah kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, menegakkan sholat, menunaikan zakat, dan menyambung tali silaturrahmi. (HR. Bukhari 1396 & Muslim 13)

Menyambung tali silaturrahmi merupakan bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Allah SWT memuji orang-orang yang mengerjakan ketaatan kepada-Nya, dan salah satu dari ketaatan kepadanya adalah menyambung tali silaturrahmi. Dalam surat ar-Ra’du Allah SWT berfirman:

م ه . م ن م م ب منن يه ن م م م ه يف يف ن يف يف م يه ن م م م ه يف م م يف يف يم ن م يف ن م يف

اةم، متم يف ه تيمعن هده ا ب م مالم تهشن يفكه بيف يف شم نئا، متهقيف نمه ا بالمةم، متيهؤنتيف ا زبكممم .ا ب يف

ديف ا ب يف مالم يم ينقهضه ننم . يف بما يم م مكب ه ه ه ن ان م ن ماايف ا ب يف ن م ه يه ننم بيفعمهن ما ب يف ن م م يف ه ننم ما م م م ا ب ه بيف يف منن يه نصم م ميمنشم ننم مبيبههمن . ا ن يف ن ماام

. ميمما يه ننم ه ن م اانيف ماايف

يفنب ا ب م يهيف ا ب يف م يهقماتيف ه نم يف م يف يف يف صمفا كم منيبههمن بيه ين مان

. م نصه و

“Sesungguhnya hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran. (Yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian. Dan orang-orang yang menyambung apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhan-nya dan takut kepada hisab yang buruk.” (QS. ar-Ra’du: 19-21)

Begitu mulia orang yang mendapatkan pujian dan sanjungan dari Allah ta’ala, dan sungguh celaka orang yang mendapatkan celaan dan cercaan dari-Nya.

Pembahasan

A. Kondisi Obyektif Kabupaten OKU Timur

Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur (OKU Timur) salah satu kabupaten yang ada di Propinsi Sumatera Selatan. Kabupaten OKU Timur terbentuk berdasarkan UU Nomor 37 Tahun 2003 sebagai daerah pemekaran dari Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) dengan jumlah wilayah kecamatan yang semula terbagi atas 10 kecamatan, lalu berkembang menjadi 16 kecamatan dan pada tahun 2007 menjadi

Page 62: Buku Jurnal 7.1.pdf

58_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

20 kecamatan dengan 323 desa. Kabupaten OKU Timur beribu kota di Martapura dan memiliki wilayah seluas ± 337.000 Ha atau ± 3.370 KM2. Secara umum, keadaan wilayahnya terbagi atas tiga jenis topografi, yakni dataran, bergelombang dan berbukit dengan variasi ketinggian antara 35-67 M di atas permukaan laut.

Secara geografis Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur berbatasan dengan:

• Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.

• Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan dan Provinsi Lampung.

• Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan.

• Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.

Kabupaten OKU Timur dapat ditempuh dari Palembang melalui jalan darat selama 4 jam dengan kondisi jalan hotmix. Menurut data BPS OKU Timur, jumlah penduduk Kabupaten OKU Timur pada tahun 2011 adalah 609.982 jiwa. Kabupaten OKU Timur terdiri dari 137 unit pemukiman transmigrasi (UPT) dengan jumlah transmigran sebanyak 45.067 Kepala keluarga (KK) atau 175.530 jiwa. Salah satu sektor andalan adalah sektor pertanian dengan komoditas unggulan padi. Besarnya potensi pertanian di OKU Timur didukung oleh luasnya lahan pertanian yang mencapai 52.094 Ha dan infrastruktur irigasi yang memadai, dengan sumber pengairan dari Sungai Komering dan Bendungan Perjaya. Di sektor perkebunan, komoditi andalan dari Kabupaten OKU Timur adalah karet dan kelapa sawit.4

Page 63: Buku Jurnal 7.1.pdf

Peranan FKDI - FSPPI Dalam Pemberdayaan Muslim i Tengah Kemajemukan Umat _59

B. Peta Wilayah Kecamatan Belitang II

1. Kondisi Geografis

Kecamatan Belitang II secara geografis terletak antara 104° 36’ 0” s/d 104° 42’ 0” BT dan 4° 4’ 0” s.d 4° 10’ 0”LS dengan luas Wilayah Kecamatan 19.984 ha, dengan batasan wilayah sebagai berikut:

Sebelah Timur : Kabupaten OKI

Sebelah Barat : Kecamatan Belitang Mulya

Sebelah Selatan : Kecamatan Belitang Jaya

Sebelah Utara : Kecamatan Semendawai Timur

2. Kondisi Sosial-Demografis

a. Komposisi Penduduk

Kecamatan Belitang II dengan jumlah penduduk 47.317 jiwa, dari jumlah tersebut, mayoritas beragama Islam (40.364), Katolik (1.704), Protestan (1.006), Hindu (3.221), Budha (231). Kecamatan Belitang II dengan 24 desa ini termasuk daerah agraris dengan penduduk yang berasal dari berbagai macam suku; dari suku Komering, Jawa, Sunda, Bali dan lain sebagainya. Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian bertani dan berkebun sebesar 60%. Sedangkan bidang perdagangan kurang lebih sebesar 20%, swasta dan wirausaha 10 % dan lainnya kurang lebih 10 %.

Berikut ini nama-nama desa yang ada di Kecamatan Belitang II:

Desa Sumber Rahayu, Desa Sri Bantolo,Desa Purwosari, Desa Tanjung Kemuning, Desa Margo Mulyo, Desa Karang Manik, Desa Raman Jaya, Desa Tegal Sari, Desa Sumber Jaya, Desa Sumber Sari, Desa Sumber Harapan, Desa Keli Rejo, Desa Sumber Rejo, Desa Toto Rejo, Desa Kemuning Jaya, Desa Bangun Rejo, Desa Srijaya, Desa Batu Mas, Desa Suka Jaya, Desa Karang Jaya, Desa Dharma Buana, Desa Tegal Besar, Desa Rejo Mulyo dan Desa Purworejo.

Page 64: Buku Jurnal 7.1.pdf

60_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

b. Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan di Kecamatan Belitang II memperlihatkan kondisi yang cukup baik, dari lulusan SD, SMP, SLTA, Pondok Pesantren dan Perguruan tinggi.

c. Sosial Budaya

Budaya di Kecamatan Belitang II, secara garis besar lebih dominan dengan budaya orang-orang pendatang (transmigrasi khususnya orang jawa dan Bali), misalnya pertunjukan wayang kulit, kuda kepang Ngaben dll. Sedangkan budaya suku asli sendiri sudah tidak terlalu menonjol, kecuali budaya “lempar selendang” masih dipertahankan.

d. Sosial Keagamaan

Adapun data keagamaan di Kecamatan Belitang II yakni; Katolik 1.704 jiwa, Protestan 1.006 jiwa, Hindu 3.221 jiwa, Budha 231 jiwa. Pemeluk agama Islam sebesar 40.364 jiwa, dengan Penyuluh Agama Islam Fungsional sebanyak 1 orang dan Penyuluh Agama Islam Non PNS sebanyak 14 orang. Sedangkan Organisasi Keagamaan yang eksis di Kabupaten diantaranya ; Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan LDII.

e. Kondisi Sarana Peribadatan

Jumlah Sarana Peribadatan di Kecamatan Belitang II Masjid 65 buah, Musholla 23 buah, Langgar sebanyak 87 buah, Gereja Katolik sebanyak 6 buah, Gereja Protestan sebanyak 10 buah, Pure sebanyak 12, dan Wihara sebanyak 2 buah. Sedangkan TKQ-TPQ berjumlah 178 buah, dan Majelis Taklim berjumlah 117 buah.

C. Metode Dakwah Rasulullah SAW

1. Hakikat Dakwah Islamiyah

Kata dakwah terambil dari kata da’aa–yad’uu, da’watan“ artinya seruan, panggilan, ajakan dan tuntunan. “Dakwah merupakan upaya dalam mengembangkan dan mengadakan perubahan terhadap mad’u ‘alaihi

Page 65: Buku Jurnal 7.1.pdf

Peranan FKDI - FSPPI Dalam Pemberdayaan Muslim i Tengah Kemajemukan Umat _61

(objek dakwah) sehingga tercapai tujuan utamanya yaitu mardhotillah.”

5 Menurut Prof. Toha Yahya Omar, MA., dakwah adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar, sesuai dengan perintah Tuhan, untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat. 6

Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa dakwah merupakan suatu misi yang tidak mengandung unsur paksaan, dapat kita lihat dari kata “mengajak” yang berada di awal kalimat tersebut yang mengandung suatu pengertian upaya untuk memberikan penawaran terhadap tujuan yang sebenarnya, yang tidak menuntut untuk dituruti.

Dakwah merupakan panggilan Allah dan Rasulullah untuk mengajak umat manusia agar memiliki nilai-nilai yang suci dan mulia, sebagaimana firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan Sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan. (QS.Al-Anfal: 24).

Dakwah memberikan kehidupan yang lebih tinggi dan mulia sesuai dengan posisi manusia yang diciptakan dengan kesempurnaan kejadian. Untuk mengantisipasi munculnya anggapan-anggapan yang keliru tentang aktivitas dakwah, maka perlu kiranya dakwah Islamiyah dilakukan dengan bijaksana, yaitu mempunyai pengetahuan dan pengertian yang mendalam tentang sesuatu pengetahuan, sehingga para dai (Penyuluh Agama Islam Fungsional) dapat menggunakan metode-metode atau strategi dakwahnya sesuai dengan situasi dan kondisi objek atau sasaran dakwahnya.

Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Said Bin Ali Al-Qathani dalam bukunya Dakwah Islam Dakwah Bijak, ia membagi hikmah kepada 2 bagian, yaitu :

Pertama, hikmah teoritis yaitu mengamati inti suatu perkara dan mengetahui kaitan - sebab akibatnya secara moral, perintah, takdir,

Page 66: Buku Jurnal 7.1.pdf

62_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

dan syara’. Hikmah ini merujuk kepada ilmu dan pengetahuan. Kedua, Praktis yaitu meletakan sesuatu pada tempatnya. Hikmah ini merujuk pada perbuatan yang adil dan benar. 7

Penyampaian dakwah secara bijaksana akan dapat lebih membawa keberhasilan tanpa harus membuat sasaran dakwah tertekan. Langkah berikutnya mari perhatikan definisi dakwah yang dikemukakan oleh H.S.M.Nasaruddin dalam bukunya Teori dan Praktek dakwah Islamiyah yang dikutif oleh Drs Abd.Rosyad dalam buku Manajemen Dakwah, yakni “Setiap usaha atau aktivas dengan lisan atau tulisan dan lainnya, yang bersifat menyeru mengajak memanggil manusia lainnya untuk beriman dan menta’ati Allah SWT sesuai dengan garis-garis akidah dan syari’at serta akhlak Islamiyah. 8 Metode dalam dakwah Islamiyah perlu diperhatikan, bagaimanapun para dai di dalam upaya menyampaikan ajaran Islam kepada sasarannya memerlukan perencanaan, pengaturan dan persiapan yang matang, agar proses penyampaian dakwah dapat diterima masyarakat.

Pengorganisasian melalui wadah lembaga dakwah termasuk metode untuk menempatkan aspirasi para mubaligh agar dapat dengan leluasa dan terarah dalam menyampaikan pesan-pesan agama kepada masyarakat. Organisasi atau lembaga dakwah adalah sarana untuk mendiskusikan permasalahan serta untuk menemukan terapi atau strategi yang baik untuk merumus permasalahan umat. Untuk melanggengkan suatu organisasi dakwah atau lembaga dakwah, maka menurut A. Hasjmy “Haruslah berdiri diatas dua asas pokok, yaitu keimanan dan persaudaraan. ” 9

Langkah dakwah dijelaskan Oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat An-Nahl ayat 125, Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Page 67: Buku Jurnal 7.1.pdf

Peranan FKDI - FSPPI Dalam Pemberdayaan Muslim i Tengah Kemajemukan Umat _63

Menurut A.Faruq Nasution dalam Bukunya Aplikasi Dakwah dalam studi Kemasyarakatan, bahwa Firman Allah SWT dalam Surat An-Nahl ayat: 125 tersebut mempunyai kriteria ciri-ciri dakwah sebagai berikut :

1. Bijaksana atau arif dalam penuturan dan sikap penyampaian.

2. Upaya merubah dengan penuh kesadaran terhadap sikap lama yang masih sederhana, kearah yang lebih maju termasuk pengertian dan pengamalan kewajiban-kewajiban agama.

3. Disampaikan secara komunikatif, edukatif dan persuatif.”

Didasarkan pada Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat An-Nahl ayat 125, maka metode dakwah yang urgen diarahkan oleh Allah SWT dapat dibagi kepada tiga bentuk :

a. Dakwah secara hikmah

b. Dengan pelajaran atau nasehat yang baik.

c. Dengan berdebat ( Musyawarah ) serta bertukar fikiran secara baik.

Muhammad Izzah Darwazah menekankan “kalau dakwah Islamiyah ingin berhasil dengan baik, maka haruslah diikuti sepenuhnya, yaitu secara hikmah, mau’izhah hasanah, hujjah dan jadal dengan cara yang baik.” 10

2. Penyuluh Agama Fungsioanal dan FKDI sebagai Pelopor Forum Sosial Keagamaan

Dalam konteks kekinian, keberadaan sebuah masjid berbanding lurus dengan eksistensi seorang Penyuluh Agama Islam Fungsional dan Forum Komunikasi Dakwah Islam – Forum Silaturami Pemuda-Pemudi Islam (FKDI-FSPPI) yang ada di Belitang.

Kerjasama antara Penyuluh Agama Islam Fungsional Kecamatan Belitang II –yang sekaligus pengurus FKDI-- dan Pengurus Forum Komunikasi Dakwah Islam – Forum Silaturami Pemuda-Pemudi Islam

Page 68: Buku Jurnal 7.1.pdf

64_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

(FKDI-FSPPI) berjalan dengan baik, karena keduanya memiliki fungsi strategis yang diharapkan mampu menjadi institusi sosial keagamaan dalam mentransformasikan “kesalehan individual” menjadi “kesalehan sosial” dalam kehidupan sehari-hari.

Bila diamati lebih lanjut, maka hal ini sejalan dengan konsep visi dan misi FKDI-FSPPI. Visi FKDI-FSPPI yaitu: “Meningkatkan kehidupan masyarakat yang Islami sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah». Sedangkan misinya antara lain: Meningkatkan usaha-usaha dakwah Islam di wilayah Belitang, Buay Madang dan Cempaka, Meningkatkan komunikasi antar organisasi dakwah dan masjid, Memberdayakan umat di seluruh bidang kehidupan untuk memperlancar usaha-usaha dakwah, Membentengi umat Islam dari pengaruh-pengaruh buruk dari luar yang mengancam keimanan umat langsung maupun tidak langsung.

Forum Komunikasi Dakwah Islam – Forum Silaturami Pemuda-Pemudi Islam (FKDI-FSPPI) merupakan forum religius atau forum keagamaan sekaligus forum sosial. Forum sosial adalah organisasi norma-norma untuk melaksanakan sesuatu yang dianggap penting, di antaranya melakukan Pembinaan generasi muda dan pemakmuran Masjid.

Kegiatan Forum Komunikasi Dakwah Islam (FKDI) meliputi tiga hal utama; pertama, pembinaan administrasi atau idarah. Hal ini meliputi masalah organisasi, kepengurusan, personalia, perencanaan, dan administrasi keuangan. Kedua, pembinaan kemakmuran atau imarah. Meliputi masalah pembinaan peribadatan, pembinaan pendidikan formal (baik pendidikan agama maupun pendidikan umum), pendidikan luar sekolah, majelis taklim, pembinaan remaja, wanita, perpustakaan, taman kanak-kanak, peringatan hari besar nasional & Islam dan ibadah sosial.

Ketiga, pembinaan sarana fisik atau ri’ayah. Hal ini meliputi perawatan segala aspek sarana prasarana yang berhubungan dengan masjid dan pelaksanaan kegiatan keagamaannya.11

Page 69: Buku Jurnal 7.1.pdf

Peranan FKDI - FSPPI Dalam Pemberdayaan Muslim i Tengah Kemajemukan Umat _65

D. Peranan Penyuluh Agama dan FKDI dalam Pemberdayaan Muslim di Kecamatan Belitang II

Di antara masalah umat yang muncul adalah adanya keterputusan di antara kaum muslim itu sendiri. Sejak dulu hingga kini ada kecenderungan masyarakat yang memisahkan antara agama dengan persoalan sosial pada umumnya. Terjadinya discrepancy (ketidaksesuaian) antara keimanan, keislaman dan tindakan sosial kemasyarakatan.

Seorang muslim yang baik dan taat hanya ketika berada di masjid, tetapi tidak merefleksikan ketaatan itu dalam tindakan sosial atau muamalah. Hal ini yang menyebabkan terjadinya kejahatan, kezaliman ataupun ketidakadilan. Dengan kata lain ada fenomena pengamalan kaum muslim cenderung berorientasi fiqh an-sich (fiqh minded).12

Usaha yang dilakukan Penyuluh Agama Fungsional -- sekaligus pengurus FKDI-FSPPI -- bersama FKDI dalam Pemberdayaan Muslim di Kecamatan Belitang II, di antaranya:

1. Rekayasa Sosial melalui Forum Komunikasi Dakwah Islam (FKDI)

Problem adalah perbedaan antara das sollen (yang seharusnya, yang diinginkan) dan das sein (yang nyata, yang terjadi). Kita mencita-citakan sebuah masyarakat yang menghormati hukum, ternyata menemukan masyarakat yang sama sekali mengabaikan hukum. Akibatnya timbul perbedaan antara yang ideal dan yang real, itu artinya mempunyai problem. Problem itu bisa bersifat sosial dan individual. Masalah individual terjadi kalau berkenaan dengan orang itu sendiri, namun jika masalah itu muncul dari beberapa orang yang banyak maka itulah bukti adanya masalah sosial. Problem individual bisa diantisipasi dengan therapy individual, sedangkan problem sosial mesti diantisipasi dengan usaha rekayasa sosial (social engineering). Ada beberapa problem sosial yang disebutkan oleh para ilmuwan sosial sebagai sumber-sumber perubahan: pertama, proverty (kemiskinan); kedua, crimes (kejahatan); ketiga, conflict (pertikaian).13

Page 70: Buku Jurnal 7.1.pdf

66_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Terjadinya perubahan sosial di antara sebabnya adalah adanya ide (the great ideas) yang dimiliki oleh masyarakat atau sebagian masyarakat.

Selain itu ada juga peran tokoh masyarakat (the great individuals) yang bisa menggerakkan seluruh masyarakat tersebut. Adapun strategi perubahan sosial bisa terjadi melalui berbagai cara di antaranya : people power (strategi perubahan sosial melalui kekuasaan), normative reeducative (aturan yang terlembagakan dalam pendidikan), serta persuasive strategi (pendekatan persuasif).14

Hal ini juga sudah tercermin di OKU Timur, bahwa hasil zakat yang terkumpul melali Baznas OKU Timur pertahunnya mampu menembus 3 milyar Rupiah, hal ini didukung dengan Perda Zakat Kab. OKU Timur.

Muslim Desa Karang Manik Kecamatan Belitang II hidup di tengah kemajemukan umat, karena penganut 5 (lima agama) ada di desa ini. Desa Karang Manik mayoritas penduduknya muslim (1560), Katolik (24), Protestan (130), Hindu (449), Budha (34). Adapun sarana ibadah; Masjid (1), langgar (4), Gereja (1), Pure (2), Wihara (1). Walau demikian, kerukunan dan keharmonisan sosial di desa ini tetap tercipta dengan baik. Hal ini terbukti semenjak terbentuknya desa ini yang menjadi kepala desa beberapa kali dari komunitas suku Bali yang beragama Hindu. Kehidupan beragama dapat berjalan damai berdampingan tanpa ada konflik.

Profesi masyarakat Muslim Desa Karang Manik Kec. Belitang II rata-rata adalah petani Karet dan Padi. Dengan demikian, satu hal yang menjadi benang merah kebutuhan riil mereka seolah-olah terjawab dengan mengarahkan kegiatan pada institusi sosial keagamaan yaitu masjid, karena dari masjid inilah intensitas pertemuan anggota masyarakat, semakin sering masyarakat itu berinteraksi di masjid maka berimbas pada dampak positif akibat komunikasi tiap hari antar masyarakat.

Banyaknya Remaja Islam Masjid (Risma) di Belitang II yang tergabung dalam FKDI termasuk di Desa Karang Manik. Hal ini membuktikan jaringan shilaturahim yang kuat antar pengurus dan jamaah masjid

Page 71: Buku Jurnal 7.1.pdf

Peranan FKDI - FSPPI Dalam Pemberdayaan Muslim i Tengah Kemajemukan Umat _67

di wilayah Desa Karang Manik khususnya. Uniknya lagi adalah, para pengurus FKDI-FSPPI yang tergabung tersebut mayoritas adalah para petani padi dan karet, ada juga guru, dokter, perawat, aktivis pemuda-pemudi Islam (FSAD) sehingga memperkuat jaringan usaha di bidang ekonomi pada khususnya. FKDI-FSPPI setiap tahunnya kegiatan sosial di antaranya, Khitanan massal, Festival Aku anak Sholeh, Pembinaan Mualaf, Pembekalan Remaja Muslim dll. Masyarakat pun mendukung kegiatan-kegiatan sosial seperti ini.

Fenomena masyarakat ini tentunya merupakan aktualisasi pengamalan firman Allah SWT yang terdapat dalam QS. Al-Shaff : 4;

م ه . م ن م م ب منن يه ن م م م ه يف يف ن يف يف م يه ن م م م ه يف م م يف يف يم ن م يف ن م يف

اةم، متم يف ه تيمعن هده ا ب م مالم تهشن يفكه بيف يف شم نئا، متهقيف نمه ا بالمةم، متيهؤنتيف ا زبكممم .ا ب يف

ديف ا ب يف مالم يم ينقهضه ننم . يف بما يم م مكب ه ه ه ن ان م ن ماايف ا ب يف ن م ه يه ننم بيفعمهن ما ب يف ن م م يف ه ننم ما م م م ا ب ه بيف يف منن يه نصم م ميمنشم ننم مبيبههمن . ا ن يف ن ماام

. ميمما يه ننم ه ن م اانيف ماايف

يفنب ا ب م يهيف ا ب يف م يهقماتيف ه نم يف م يف يف يف صمفا كم منيبههمن بيه ين مان

. م نصه و

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.15

Berdasarkan teori rekayasa sosial di atas, bahwa faktor berikutnya yang mempengaruhi adanya perubahan sosial adalah munculnya tokoh masyarakat (the great individuals) yang menjadi penggerak bagi perubahan masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini, sosok yang dimaksud adalah seorang ulama sekaligus entrepreneur di bidang agrobisnis yaitu KH. Drs. Makinuddin dengan Pesantren Nurussalam.16

Peranan KH. Drs. Makinuddin –sekaligus mantan ketua FKDI-FSPPI -- yang menyatukan potensi pesantren dengan masyarakat petani melalui slogan “kerjasama” (Al-Ittifaq) mampu mengubah masyarakat komunalisme yang jumud ke arah masyarakat komunitarianisme yang dinamis dan kemudian menorehkan modal sosial bagi kaum tani. Modal sosial yang terjadi di kawasan Karang Manik (Belitang II) tersebut mirip seperti yang dikatakan Robert Putman, “Menjadikan masyarakat memiliki nilai kolektif dari semua jaringan sosial dan kecenderungan untuk

Page 72: Buku Jurnal 7.1.pdf

68_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

melakukan sesuatu bagi semua.” Sebagai ide abstrak, modal sosial tersebut bisa diwujudkan dalam bentuk organisasi yang secara praksis berupa paguyuban untuk kegiatan sosial, koperasi untuk kegiatan ekonomi/bisnis (BMT), lembaga swadaya untuk penguatan sumber daya manusia dan institusi pendidikan. Pesantren Nurussalam yang notabene adalah representasi lembaga pendidikan golongan masyarakat bawah yang memiliki ciri-ciri komunalisme ala masyarakat desa kini telah mewujud dalam bingkai komunitarianisme. Hal yang unik, bahwa gerakan itu justru muncul dari ruang komunalisme pesantren, sebuah lembaga pendidikan yang selama ini dikenal “gemar memisahkan diri” dari tradisi masyarakat setempat.

“Kesuksesan” ulama dari Belitang dalam dunia agrobisnis dan kegiatan sosial telah menandaskan, ada kekuatan kepemimpinan sejati dari seorang kiai yang mampu memberdayakan kehidupan masyarakat untuk tujuan materi dan ruhani. Ratusan hektar tanah yang pada tahun 1980-an tandus, yang hanya ditumbuhi ilalang dan hanya beberapa yang ditanami singkong, kini menjadi lahan yang mampu menyejahterakan ribuan keluarga petani, bahkan mendorong kemajuan di bidang jasa dan bisnis lainnya.

2. Strategi Pemberdayaan

Ada beberapa cara pembentukan perilaku manusia, di antaranya :

a. Cara pembentukan perilaku dengan mengkondisikan atau kebiasaan. Dengan cara membiasakan diri untuk berperilaku seperti yang diharapkan, akhirnya akan terbentuklah perilaku tersebut.

b. Pembentukan perilaku dengan pengertian (insight). Di samping pembentukan dengan mengkondisikan atau kebiasaan, pembentukan perilaku dapat ditempuh dengan pengertian atau insight. Seperti membiasakan berdisiplin agar tidak mengganggu orang lain.

c. Pembentukan perilaku dengan menggunakan model. Hal ini bisa

Page 73: Buku Jurnal 7.1.pdf

Peranan FKDI - FSPPI Dalam Pemberdayaan Muslim i Tengah Kemajemukan Umat _69

dijadikan contoh orang tua atau guru yang menjadi model untuk anak-anak atau murid-muridnya. 17

Aspek kehidupan yang pertama dan utama dilakukan untuk menuju pemberdayaan adalah dari sisi ibadah terutama shalat. Ada rumusan yang menjadi ciri khas dalam komunitas FKDI-FSPPI tersebut adalah upaya pembiasaan praktek shalat secara berjamaah pada awal waktu di Masjid. Sekilas rumusan tersebut dianggap hal yang lumrah walaupun semestinya memang harus demikian. Tetapi pengamalan yang disertai dengan keyakinan tentu akan dirasakan perbedaannya. Secara empiris memang demikian, hampir rata-rata di setiap masjid bisa terlihat fenomena seperti itu terutama di pusat pemberdayaannya yaitu Masjid Jami’ Baiturrohman desa Karang Manik.

Aspek berikutnya adalah sisi pola kepemimpinan. Dalam terminologi ajaran Islam, kepemimpinan sangat erat kaitannya dengan nilai teladan yang baik (uswah hasanah). Secara normatif, nilai uswah hasanah yang ideal adalah Rasulullah SAW sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam QS. Al-Ahzab : 21;

مقمدن كمانم مكهمن يف م ه ليف ا ب يف ه ن مة م م مة يف م ن كمانم يم نجه ا ب م مخيف م مذمكم م ا ب م كم يفريا . ما ن يم نمم الن

“Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.”

Di antara rumusan kepemimpinan yang baik antara lain:

Pertama, meyakinkan. Artinya memberikan keyakinan pada masyarakat mengenai program yang akan kita laksanakan beserta segala konsekuensinya. Keyakinan ini merupakan dasar sebelum mengerjakan sesuatu walaupun tidak mudah untuk menerapkannya.

Page 74: Buku Jurnal 7.1.pdf

70_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Kedua, menggalang. Setelah meyakinkan masyarakat, berikutnya kekuatan masyarakat yang sudah ada itu hendaknya digalang untuk menjadi sebuah kekuatan atau modal baru.

Ketiga, menggerakkan. Modal atau kekuatan yang baru tersebut lebih bermakna dan akan terasa jika sudah bisa digerakkan. Peranan FKDI-FSPPI dalam masyarakat ini merupakan wujud nyata dari hasil keyakinan dan penggalangan sebelumnya.

Keempat, memantau. Hasil perbuatan atau pergerakan tersebut tentu harus dievaluasi melalui pemantauan yang proporsional. Adakalanya masyarakat diberikan reward (pujian) sebagai bentuk apresiasi positif hasil pekerjaan mereka, juga punishment (sanksi) yang akan memperbaiki kinerja mereka.

Kelima, melindungi. Masyarakat yang menjadi Kelompok Binaan perlu diberikan perlindungan, advokasi, dan sebagainya. Perlindungan tersebut akan menjadi bentuk kenyamanan mereka dalam beraktifitas. Perlindungan yang dimaksud bisa dalam bentuk perlindungan fisik, psikis, materi, semangat, dan sebagainya.

Dalam hal ini, pengaruh pemahaman terhadap nilai-nilai dan norma agama, adat, serta sosial adalah suatu keharusan bagi masyarakat.

Dalam tinjauan hubungan sibernetik antara nilai-nilai kultural (juga keagamaan) dan tindakan, nilai-nilai berfungsi sebagai pengontrol dan pengawas (lebih dominan) terhadap tindakan, baik pribadi maupun kelompok. Walaupun begitu, kehati-hatian tetap diperlukan untuk tidak begitu saja menarik garis lurus antara sejumlah nilai tertentu dengan seperangkat tindakan tertentu.18

3. Program-program FKDI-FSPPI

Sebagai organisasi FKDI-FSPPI yang sudah terbentuk dengan baik maka akan berdampak pada beberapa program pemberdayaan riil masyarakat. Di antara beberapa program yang sudah terlaksana dan

Page 75: Buku Jurnal 7.1.pdf

Peranan FKDI - FSPPI Dalam Pemberdayaan Muslim i Tengah Kemajemukan Umat _71

menjadi ciri khas secara keseluruhan dari anggota FKDI-FSPPI tersebut antara lain :

a. Bidang Ibadah

Dalam pengamalan ibadah ritual sehari-hari pada dasarnya berjalan sesuai dengan aturan dari pembuat syari’at (shâhib al-syâri’). Hanya dari proses waktu yang sudah berjalan, maka terbentuklah sebuah kebiasaan positif dan menyebar serta mengakar di kalangan masyarakat.

Contoh ibadah shalat, pendidikan karakter yang ditanamkan adalah membiasakan diri untuk bisa shalat secara berjamaah pada awal waktu dan dilaksanakan di masjid masing-masing. Fenomena ini sangat terasa indah dilihat tatkala datang adzan yang menandakan waktu shalat tiba, maka seluruh anggota masyarakat yang sedang beraktifitas apapun segera menunda pekerjaannya dan bergegas menuju ke masjid.

Kesadaran melaksanakan ibadah haji, menunaikan zakat atau bahkan mengeluarkan infaq, shadaqah juga sudah menjadi kebiasaan di kalangan jamaah masjid yang terbentuk dalam FKDI tersebut. Fenomena lain adalah praktek melaksanakan ibadah qurban sudah hampir ada merata di masyarakat.

b. Bidang Pendidikan

Pola pendidikan berbasis masjid yang ada di kalangan masyarakat adalah bentuk Majelis Ta’lim dengan beragam segmentasinya; bapak-bapak, ibu-ibu, remaja/pemuda, dan anak-anak. Setiap masjid yang ada di Kecamatan Belitang II khususnya Desa Karang Manik mempunyai jadwal pengajian dan rata-rata melaksanakan tidak kurang dari seminggu sekali bahkan ada yang seminggu dua kali pembinaan. Dengan demikian, bisa diasumsikan pada setiap masjid itu ada Majelis Taklim dan berjalan dengan baik, TKQ/ TPQ, lengkap dengan sarana prasarana yang mendukungnya.

Page 76: Buku Jurnal 7.1.pdf

72_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

c. Bidang Sosial

Sejalan dengan pelaksanaan peringatan hari besar Islam, maka ada nilai plus yang masyarakat lakukan melalui FKDI-FSPPI ini yaitu dengan melaksanakan bakti sosial. Setiap memasuki bulan Rabiul Awal, FKDI-FSPPI menggelar acara sunatan massal. Acara ini dilaksanakan dengan penuh nuansa kekeluargaan tanpa menghilangkan aspek profesionalitas, akuntabilitas dan transparansi biaya/dana. Sumber dana digali dari masyarakat itu sendiri dengan sistem lelang amal. Masing-masing anggota masyarakat yang berkehendak dan mau beramal dipersilahkan dengan kemampuan masing-masing. Peserta sunat massal pun berasal dari masyarakat sekitar Desa Karang Manik dan dari luar desa.

d. Bidang Ekonomi

Bidang ekonomi ini merupakan program unggulan masyarakat yang ditawarkan FKDI-FSPPI. Hal ini dikarenakan sumber daya alam yang tersedia dan mendukung pada program ini. Selain itu, hal yang paling pokok adalah tersedianya lembaga perekonomian yang memfasilitasi segala bentuk kebutuhan dan aktifitas ekonomi mereka.Lembaga tersebut adalah BMT Nurussalam. Selain dipercayai oleh jamaah masjid yang menyebar di sekitar Desa Karang Manik, BMT Nurussalam juga tegak berdiri di atas organisasi pertanian yang kokoh

Ada 5 (lima) kelompok tani yang merupakan pendukung utama BMT Nurussalam, yaitu : (1) Kelompok Tani Monosuko, (2) Kelompok Tani Sejahtera, (3) Kelompok Tani Maju Jaya, (4) Al-Mabrur, (5) CV Al-Falah. Setiap kelompok tani terdiri dari 90 petani. Mereka memiliki lahan sendiri dan masing-masing ketua kelompok sudah menjadi pengusaha karet dan Padi organik serta menjadi koordinator untuk memaksimalkan kinerja para petani yang lain. Cara ini dilakukan demi pembaruan manajemen ke arah yang lebih efektif.

Page 77: Buku Jurnal 7.1.pdf

Peranan FKDI - FSPPI Dalam Pemberdayaan Muslim i Tengah Kemajemukan Umat _73

E. Kesimpulan dan Saran

Muslim Kecamatan Belitang II mayoritas adalah petani karet dan padi. Hal itu tentunya mempengaruhi pola hidup dan kehidupan mereka dalam beberapa aspek, seperti pendidikan, sosial, ekonomi, agama, dan sebagainya. Namun demikian, pemberdayaan muslim yang dilakukan oleh berbagai pihak sangat disambut dengan antusias oleh anggota masyarakat tersebut.

Pemberdayaan yang berbasis masyarakat adalah dengan melakukan aktivitas pemberdayaan tersebut dimulai dari institusi sosial keagamaan yaitu masjid bersama FKDI-FSPPI. Konsep kemakmuran masjid dan pemberdayaan yang ditawarkan FKDI-FSPPI dapat diaktulisasikan dalam kehidupan riil masyarakat. Dengan demikian, masjid dan FKDI-FSPPI bisa menjadi solusi bagi permasalahan yang ada di masyarakat Belitang II, serta masyarakat Muslim Belitang II pun bisa menghidupkan masjid mereka dengan berbagai kegiatan keagamaan yang bermanfaat.

Page 78: Buku Jurnal 7.1.pdf

74_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Daftar Pustaka

Al-Bukhari. Tt, Shahih Al-Bukhari, Kairo: Wizaarotul auqof al-Mishriyah.

Ali Al-Qothani, Said, Dakwah Islam Dakwah Bijak, Gema Insani Press, Jakarta,1994.

A. Hasjmy, Dustur Dakwah Menurut Al-Qur’an, Bulan Bintang, Jakarta.

Anggaran Rumah Tangga FKDI-FSPPI, 2003

Amstrong, Karen, , Sejarah Tuhan, Bandung: Mizan Pustaka Utama, 2004.

Ariffien, Zaenal dan Hendar Riyadi, Masjid Pusat Ibadah, Dakwah dan Pencerahan Peradaban, Bandung: Kalam Mujahidin, 2007, cet. II, Agustus.

Azra, Azyumardi, Islam Substantif. Bandung: Mizan, 2000, cet. I, September.

Buthy, Muhammad Said Ramdhan Al, Fiqh Al-Sirah, Beirut: Daar Al- Kutub Al-Islamiyah, 1990

Capra, Frithjof, Titik Balik Peradaban, Yogyakarta: Bentang, 2004.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Syamil Cipta Media, tth.

Kecamatan Belitang II Dalam Angka 2013.

Kementerian Agama RI, Dirjen Bimas Islam Direktorat Penerangan Agama Islam, Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Penyuluh Agama Islam, Jakarta, 2011

Page 79: Buku Jurnal 7.1.pdf

Peranan FKDI - FSPPI Dalam Pemberdayaan Muslim i Tengah Kemajemukan Umat _75

Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1997.

Kusnawan, Aep (penyunting), Ilmu Dakwah (kajian berbagai aspek). Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004, cet. I, Februari.

Liliweri, Alo, Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: LKis, 2009, cet. III.

Madjid, Nurcholish, Pintu-pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Paramadina, 1999, cet. V, Desember.

___________________, Masyarakat Religius. Jakarta: Paramadina, 2000, cet. II, April.

Maulany, Rahmat, Dahsyatnya Kekuatan Masjid, Bandung: Elkom Publisher, 2008.

Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, cet. XIV.

Rahman, Fazlur, Islam, Bandung: Pustaka, 2000, cet. IV.

Rakhmat, Jalaluddin, Rekayasa Sosial, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000, cet. II, Mei.

Ridwan, Kholil, Fiqhud dakwah , Makalah Pelatihan Kader Dakwah I, Baturaja, 2002.

Rosyad, Abu Shaleh, Manajemen Dakwah Islam, Bulan Bintang, Jakarta,1993.

Schimmel, Annemarie, Rahasia Wajah Suci Ilahi, Memahami Islam Secara Fenomenologis, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Mizan, 1996.

Shabuni, Muhammad Ali Al, Shafwat Al-Tafasir, Beirut: Daar Al-Kutub

Page 80: Buku Jurnal 7.1.pdf

76_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Al-‘Ilmiyah, tth.

Shaleh, Ashaf HM, Takwa (Makna dan Hikmahnya dalam Al-Qur’an). Jakarta: Erlangga, 2006, cet. II.

Sentosa, Muhammad Djarot, Komunikasi Qur’aniyah. Bandung: Pustaka Islamika, 2005, cet. I, Maret.

Walgito, Bimo., Psikologi Sosial (suatu pengantar), Yogyakarta: CV. Andi Offset, tth.

Yahya Omar, Toha, Ilmu Dakwah, Jakarta, 1971.

Yani, Ahmad, Panduan Memakmurkan Masjid, kajian Praktis bagi Aktivis Masjid, Jakarta: DEA Press dan Khairu Ummat, 1999.

Internet :

http://www.okutimurkab.bps.go.id

kecamatanbelitang II.wordpress.com

Petanggan.wordpress.com

Page 81: Buku Jurnal 7.1.pdf

Peranan FKDI - FSPPI Dalam Pemberdayaan Muslim i Tengah Kemajemukan Umat _77

Endnotes

1. Zaenal Ariffien dan Hendar Riyadi, Masjid Pusat Ibadah, Dakwah dan Pencerahan Peradaban, Bandung: Kalam Mujahidin, 2000, cet. II, h. 34.

2. Zaenal Ariffien dan Hendar Riyadi, Masjid Pusat Ibadah..., h. 35. Baca juga : Harun Nasution (peny.), Sejarah Ringkas Islam, Jakarta: UI-Press, 1984; A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Muhammad Labib Ahmad, Jakarta: Al-Husna Zikra, 1997; Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Kota Kembang, 1989.

3. Muhammad Sa’id Ramdhan Al-Buthy, Fiqh Al-Siirah, Beirut: Daar al-Kutub al-Islamiyyah, 1990, h. 193.

4. http://www.okutimurkab.bps.go.id

5. Kholil Ridwan, Lc, “Fiqhud dakwah “, Makalah Pelatihan Kader Dakwah I, Baturaja, 2002.

6. Prof.Toha Yahya Omar.MA., Ilmu Dakwah, Jakarta: ttp, 1971, h. 1.

7. Said Bin Ali Al-Qothani, Dakwah Islam Dakwah Bijak, Jakarta: Gema Insani Press,1994, h. 27.

8. Drs.Abu Rosyad, Shaleh, Manajemen Dakwah Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, h.9

9. A. Hasjmy, Dustur Dakwah Menurut Al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, h.59.

10. A. Hasjmy, Ibid, h.55.

11. Anggaran Rumah Tangga FKDI Belitang

12. Azyumardi Azra, Islam Substantif, Bandung: Mizan, 2000, cet. I, September, h. 42, 123.

13. Jalaluddin Rakhmat, Rekayasa Sosial, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000, cet. II, Mei, h. 55-58.

Page 82: Buku Jurnal 7.1.pdf

78_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

14. Ibid, h. 46-53.

15. Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya..., h. 551

16. Pendapat penulis tentunya didasarkan pada data dan fakta serta konfirmasi di lapangan ke berbagai pihak yang berkompeten, selain itu terdapat pula referensi yang banyak yang semakin menguatkan pemikiran di atas. Pada akhirnya, penulis pun tidak mendengar hanya dari perkataan orang dan pendapat orang malahan bisa berdialog langsung dengan beliau, bermitra kerja dengan beliau dan keluarga besar pesantrennya khus-usnya selama melakukan tugas bimbingan dan penyuluhan di Keca-matan Belitang II.

17. Walgito, Bimo., Psikologi Sosial (suatu pengantar), Yogyakarta: CV. Andi Offset, h.18-19.

18. Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, Jakarta : Paramadina, 2000, cet. II, April, h. 6.

Page 83: Buku Jurnal 7.1.pdf

Pergulatan NU dan Negara _79

The Struggle of Nahdlatul Ulama and The State:Deliberative Democracy in the Style of NU (NU- Lakpesdam Organizing Study in Jepara and Wonosobo)

Pergulatan NU dan Negara:Demokrasi Deliberatif ala Warga NU(Studi Pengorganisasian Lakpesdam NU di Jepara dan Wonosobo)

Imran Sulistiyono,Lakpesdam NU Community Wonosobo

email: [email protected]

Abstract : NU members in Jepara and Wonosobo create a participatory forum, it is called as the

citizens forum. By involving other stakeholders, they do variety things to give their

voice in influencing public policy. Moreover, they have a big forum that they call as the

Great Council of the Jepara People and the Wonosobo People Congress. The movement

led by religious figures and NU young activists in Lakpesdam. This is another form

of the practice of deliberative democracy in Indonesia. The practice of deliberative

democracy is the same thing that occurred in other countries. At least there are three

examples that are often heralded. Such as regular meeting of the Washington (USA)

citizens to define public interest that would be mandated to the new mayor. Other

example is Panchayat in India as participatory system of people in the village-level.

Finally, the last example is public council in Porto Alegre Brazil, they systematically

pay attention to the basic needs and aspirations of the community. The need is further

Page 84: Buku Jurnal 7.1.pdf

80_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

detail that would be included in the state budget.

Abstraksi : Warga NU di Jepara dan Wonosobo membuat forum yang partisipatif, yang disebut

sebagai forum warga. Dengan melibatkan stake holder yang lain, mereka melakukan

berbagai hal untuk turut serta bersuara dalam mempengaruhi kebijakan publik.

Bahkan, mereka mempunyai forum besar yang mereka sebut sebagai Musyawarah

Besar Rakyat Jepara dan Kongres Rakyat Wonosobo. Gerakan yang dimotori oleh

tokoh agama dan juga aktivis muda NU di Lakpesdam ini merupakan bentuk lain dari

praktik demokrasi deliberatif yang terjadi di Indonesia. Praktik demokrasi deliberatif

semacam ini sama halnya dengan yang terjadi di negara-negara luar. Setidaknya

ada tiga contoh yang sering digembar-gemborkan. Ada pertemuan reguler warga

Washington (Amerika Serikat) untuk merumuskan kepentingan masyarakat yang

akan dimandatkan kepada walikota yang baru. Ada Panchayat di India sebagai sistem

partisipasi masyarakat dari tingkat desa. Dan ada dewan rakyat di Porto Alegre Brazil,

mereka secara sistematis dan aspiratif memperhatikan kebutuhan dasar masyarakat.

Kebutuhan tersebut selanjutnya didetilkan dalam bentuk angka-angka yang kelak

harus dimasukkan dalam anggaran belanja daerah.

Keywords: Deliberative Democracy, Public Council, Citizen and State, Public Policy.

.

A. Pendahuluan

NU tidak berpolitik praktis. Itu jelas. Tapi, bukan berarti NU tidak berpolitik. Kiai Sahal Mahfudz menyebutnya, politik NU adalah politik kelas tinggi. Maksudnya yaitu politik kenegaraan, politik kerakyatan, dan politik etika. Sebagai departementasi NU, Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU mempunyai tanggung jawab besar dalam menjalankan amanah organisasi ini.

Karena itu, pada aras politik ketatanegaraan, Lakpesdam perihatin dengan politisasi agama di ruang-ruang politik praktis yang bermula dari konservatisme. Untuk itu, pengembangan cara pandang yang moderat menjadi isu yang diusung Lakpesdam. Maraknya arus konservatisme

Page 85: Buku Jurnal 7.1.pdf

Pergulatan NU dan Negara _81

beragama merupakan ancaman tersendiri bagi paham Aswaja yang mencap dirinya sebagai ideologi moderat. Moderatisme Aswaja ini digunakan dalam cara pandang warga NU, kemudian ditularkan pada segenap warga negara Indonesia. Termasuk dalam hal bernegara.

Dalam konteks ini, Lakpesdam berupaya untuk meningkatkan kemampuan warga nahdliyin, khususnya dalam merespon ketidakadilan terkait pengurangan kemiskinan, kekerasan dan konflik sosial. Ini ditempuh dengan melalui pendidikan politik dan fasilitasi advokasi kebijakan publik untuk meningkatkan posisi tawar masyarakat dalam merespon isu-isu pemiskinan, ketidakadilan, peminggiran, dan konflik sosial. Di antara cara yang dilakukan adalah dengan mengembangkan modeldemokrasi deliberatif.

Meski bukan istilah baru, demokrasi deliberatif belum banyak dikenal masyarakat Indonesia, apalagi warga NU di desa. Tapi soal praktik, lain cerita. Ada forum-forum rembug warga di desa yang ternyata sudah menjalankan konsep yang diadopsi dari Habermas, pemikir Frankfrut School Jerman ini.1 Setidaknya, konsep demokrasi deliberatifsudah dilakukan oleh warga NU di Jepara dan Cilacap atas upaya pengorganisasian yang diinisiasi oleh Lakpesdam NU. Lalu, pertanyaan yang muncul adalah mengapa menggunakan model deliberatif?

Konsep demokrasi deliberatif berkembang karena ada anggapan,demokrasi representasi yang dihasilkan melalui pemilu lima tahunan itu dinilai kurang aspiratif-representatif. Legislatif dan eksekutif yang terpilih, tidak sepenuhnya dapat menangkap suara rakyat yang sesungguhnya. Yang terjadi adalah aspirasi representasi kepentingan elit politik. Karena itu, demokrasi yang ada saat ini sangat formalis-prosedural dan cenderung memandang bahwa produk hukum lebih penting daripada proses legislasi hukum.

Inilah yang ditentang dalam konsep demokrasi deliberatif.Inti pandangan dalam demokrasi deliberatif adalah bagaimana mengaktifkan individu dalam masyarakat sebagai warga negara untuk berkomunikasi,

Page 86: Buku Jurnal 7.1.pdf

82_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

sehingga komunikasi yang terjadi pada level warga itu mampu mempengaruhi pengambilan keputusan publik pada level sistem politik. Dalam praktiknya, demokrasi deliberatif mengutamakan penggunaan tatacara pengambilan keputusan yang menekankan musyawarah dan penggalian masalah melalui dialog dan tukar pengalaman di antara para pihak dan warganegara. Partisipasi warga (citizen participation) merupakan inti dari demokrasi deliberatif.

Demokrasi deliberatif sering dipertentangkan dengan demokrasi perwakilan, yang menekankan keterwakilan (representation), prosedur pemilihan perwakilan yang ketat, dan mengenal istilah mayoritas dan minoritas.Jika demokrasi perwakilan ditandai kompetisi politik, kemenangan, dan kekalahan satu pihak, maka demokrasi deliberatif atau demokrasi musyawarah lebih menonjolkan argumentasi, dialog, saling menghormati, dan berupaya mencapai titik temu dan mufakat.2Demokrasi langsung mengandalkan pemilu, sistem keterwakilan (delegasi wewenang dan kekuasaan), dan elite-elite politik, sedangkan demokrasi deliberatif lebih menekankan partisipasi dan partisipasi langsung warganegara.

Salah satu konsep penting dalam demokrasi deliberatif adalah pentingnya mengembangkan diskursus. Sederhananya, diskursus adalah bentuk komunikasi yang reflektif dalam mentematisasi sebuah problem tertentu.Dalam konteks inilah rembug warga (town hall meeting), atau forum warga (istilah yang digunakan oleh Lakpesdam NU), memainkan perannya untuk menterjemahkan demokrasi deliberatif di tingkat lokal.

Forum warga menjadi wahana artikulasi partisipasi warga dalam mentematisasi permasalahan yang dijumpai di daerahnya. Forum warga juga menjadi penyambung keterputusan hubungan antara institusi formal demokrasi dengan para konstituen yang diwakilinya pada lembaga formal demokrasi yang lahir dari proses pemilihan umum. Meskipun telah menghasilkan para legislator sebagai representasi rakyat, namun proses demokrasi prosedural tersebut tidaklah cukup. Dalam

Page 87: Buku Jurnal 7.1.pdf

Pergulatan NU dan Negara _83

kenyataannya, sering terjadi keputusan-keputusan atau kebijakan politik yang dihasilkan oleh wakil rakyat justru tidak mencerminkan suara dari publik. Oleh karena itu, forum warga merupakan prakarsa untuk melengkapi dan menyambungkan komunikasi politik antara institusi kewargaan dengan institusi demokrasi formal.

B. Demokrasi:Representatifatau Deliberatif?

Sistem demokrasi sering terkerangkeng dalam penandaan-penandaan demokrasi yang sempit. Seolah ketika pemilihan umum sudah terselenggara, maka itu menjadi tanda (indikasi) bahwa demokrasi telah berjalan. Tidak ada pertanyaan apakah prosesnya sudah dilakukan secara fair dan adil. Selain itu, demokrasi menjadi hanya ritual empat atau lima tahunan bagi rakyat. Demokrasi menjadi hanya pemilu yang dilaksanakan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

Pemahaman yang demikian minimalis tentang demokrasitelah mengelabuhi makna partisipasi rakyat yang menjadi tujuan demokrasi. Setidaknya partisipasi warga negara hanya ada dalam 3 kotak: a) memilih tanpa kenal siapa yang dipilih, b) memilih tanpa memberi daftar tugas kepada yang dipilih, dan c) partisipasi hanya dilaksanakan pada saat pemilihan.3 Padahal dalam rentang antar waktu pemilihan, di situlah sebenanya waktu penyelenggaraan pemerintahan dan perumusan segala kebijakan yang berkaitan langsung dengan masyarakat.

Keadaan seperti ini memunculkan sikap tidak mau tahu dan pesimis di kalangan masyarakat bahwa penyelenggaraan demokrasi tidak langsung akan memberikan jawaban bagi kepentingan mereka. Di beberapa negara, pemilihan umum yang merupakan tanda utama demokrasi perwakilan kurang mendapat sambutan. Setidaknya hal tersebut ditandai oleh 4 hal: a) perhitungan yang fair memberikan angka “golongan putih” lebih besar atau hampir separuh angka yang memberi suara, b) adanya money politics yang mempengaruhi pilihan, c) tidak ada rasa optimis masyarakat bahwa pemilu bisa mengubah nasib

Page 88: Buku Jurnal 7.1.pdf

84_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

mereka ke depan, banyak yang memandang sekedar rutinitas dan hura-hura politik, dan d) masyarakat tidak peduli siapa yang akan menjadi pemenang.4

Berbagai kelemahan demokrasi model perwakilan seperti di atas, menjadi latar munculnya aliran demokrasi lain yang bernama demokrasi deliberatif. Jika selama ini demokrasi perwakilan dianggap merupakan akhir dari demokrasi karena secara teknis harus demikian, demokrasi deliberatif memberikan pilihan-pilihan lain untuk menunjukkan bahwa jalan lain demokrasi adalah mungkin (another democracy is possible).Berikut ini adalah perbedaan dua model demokrasi: perwakilan (liberal) dan deliberatif.

Dua Model Demokrasi

No Item Perwakilan (Liberal) Deliberatif1 Sumber Tradisi liberal ala Barat Komunitarian ala masyarakat

lokal2 Basis Individualisme Komunalisme3 Semangat Kebebasan individu Kebersamaan secara kolektif4 Wadah Lembaga perwakilan,

partai politik, dan pemilihan umum

Komunitas, commune, rapat desa, rembug desa, forum warga, asosiasi sosial, paguyuban, dll

5 Metode Voting secara kompetitif Musyawarah

Sistem demokrasi ini bisa berjalan dengan baik, tidak hanya prosedural, bila partisipasi rakyat terus menguat. Untuk memaksimalkan partisipasi rakyat, minimal ada 2 hal yang harus terus diusahakan. Pertama, bagaimana partisipasi bisa terjadi terus menerus tanpa terikat waktu (reguler) dan momen tertentu. Karena partisipasi adalah yang menandai apakah benar sebuah kedaulatan masih di tangan rakyat ataukah tidak. Jika partisipasi hanya ada dalam waktu dan momen tertentu, berarti sebatas itu kedaulatan ada di tangan rakyat. Berarti dalam kurun pendek itulah demokrasi yang sesungguhnya berjalan, padahal demokrasi adalah tata cara (mekanisme) penyelenggaraan pemerintahan yang terus

Page 89: Buku Jurnal 7.1.pdf

Pergulatan NU dan Negara _85

menerus mesti dipegang.

Kedua, bagaimana partisipasi bisa dilaksanakan mendekati sebuah dialog langsung tanpa perantara (perwakilan). Bagaimana dalam proses pembuatan kebijakan dan pelaksanaannya, masyarakat memiliki akses pertemuan secara langsung dengan penyelenggara pemerintahan untuk menyampaikan kehendak dan kepentingannya. Tujuannya adalah sedapat mungkin kebutuhan dan kepentingan rakyat bisa tertampung dan dilaksanakan.

Demokrasi deliberatif adalah jalan lain yang diharapkan mampu memenuhi dua usaha di atas, sebagai pelengkap demokrasi perwakilan. Kata “deliberasi” berasal dari kata latin deliberatio yang artinya “konsultasi”, “menimbang-nimbang” atau “musyawarah”. Demokrasi bersifat deliberatif, jika proses pembuatan kebijakan publik terlebih dahulu diuji melalui sebuah perbincangan atau konsultasi publik atau diskursus publik. Dalam teori demokrasi klasik, sebuah produk hukum dipandang lebih penting dari pada proses pembuatan hukum itu sendiri. Jika legislatif atau eksekutif menghasilkan undang-undang atau peraturan pemerintah, dianggap sudah sah dan memenuhi standar demokrasi karena mereka mewakili kehendak umum yang memilih mereka dalam posisi tersebut. Demokrasi Deliberatif memandang bahwa bukan “kehendak umum” yang sudah terwakili yang menjadi sumber legitimasi (keabsahan), melainkan proses pembentukan keputusan tersebut yang harus selalu terbuka terhadap revisi melalui perbincangan dan pertimbangan publik yang argumentatif.5

Singkatnya, demokrasi deliberatif menghendaki sebuah proses diskusi publik sebelum sebuah kebijakan diputuskan. Dalam proses ini negara (melalui lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif) tersambung secara dialogis (diskursif) dengan proses pembentukan aspirasi dan opini masyarakat dalam ruang publik. Dengan demikian, demokrasi deliberatif memberikan kerangka kerja bagi pemerintah dimana warga bekerja sama dengan yang lainnya, melalui dialog untuk ikut memberikan

Page 90: Buku Jurnal 7.1.pdf

86_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

penilaian menyangkut tindakan terbaik terhadap masalah publik yang ada. Hasil proses deliberasi ini menjadi alat penting dalam menentukan keputusan publik.

Demokrasi deliberatif mengambil jalur reformasi dan menolak revolusi.6 Karena revolusi justru mematikan partisipasi. Sebuah revolusi biasanya dilakukan dengan cara kekerasan dan agresi untuk mengubah sistem dalam waktu yang cepat. Di sini peran pemimpin lebih kuat dari pada partisipasi masyarakat. Demokrasi deliberatif memandang negara adalah partner, bukan oposisional langsung. Demokrasi deliberatif memandang bahwa negara selama ini sudah mendengar suara publik (rakyat), akan tetapi dirasa masih kurang. Tidak realistis kita menghancurkan negara begitu saja, karena tanpa negara hanya akan terjadi tirani massa, dan yang diuntungkan adalah demagog. Benih-benih totalitarianisme tidak akan berkembang bila proses deliberasi publik sungguh dijalankan. Setiap kelompok akan berusaha merebut hati publik secara rasional (argumentatif) secara fair dan menempatkan nilai-nilai politik inklusif seperti keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan solidaritas di atas segala kepentingan eksklusif.

C. Praktik Demokrasi Deliberatif

Praktik demokrasi deliberatif dalam bentuknya yang paling sederhana, sebenarnya sudah dilakukan oleh PP Lakpesdam NU melalui Program Pemberdayaan Masyarakat Sipil dalam Proses Otonomi Daerah sejak 2001. Program ini memfokuskan pada penguatan partisipasi warga negara dalam pembangunan sistem demokrasi Indonesia yang selama era orde baru telah mengalami pendangkalan, baik makna maupun substansinya.

Penguatan partisipasi warga tersebut diwujudkan dengan keterlibatan mereka secara sadar dalam setiap pengambilan kebijakan dan dalam mengontrol pelaksanaan kebijakan, dari tingkat desa, kecamatan, sampai kabupaten, sehingga terwujud pemerintahan daerah yang otonom,

Page 91: Buku Jurnal 7.1.pdf

Pergulatan NU dan Negara _87

transparan, demokratis, partisipatif dengan tetap memengang prinsip efektifitas dan efisiensi kinerja.

Indikator nyata penguatan partisipasi warga tercermin dari kemampuan warga mengorganisir diri dan mengkompromikan kepentingan-kepentingan mereka dalam sebuah wadah bernama “Forum Warga”, adanya sumbangan pemikiran masyarakat sipil (bukan masyarakat politik dan birokrat), baik dalam bentuk kritik, gagasan dan usulan mengenai penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance), terbukanya ruang-ruang publik yang diinisiasi oleh warga, serta penyelesaian-penyelesaian masalah sektoral secara musyawarah.Berikut adalah petikan praktik demokrasi deliberatif yang diinisiasi oleh warga dan Forum Warga:

1. Musyawarah Besar (Mubes) Rakyat Jepara

Setidaknya ada tiga alasan mengapa Musyawarah Besar (Mubes) Rakyat Jepara penting dilakukan. Pertama, partisipasi rakyat dalam pengambilan kebijakan publik dapat meningkatkan kinerja pemerintah, meningkatkan akuntabilitas dan meminimalisir complain. Karena pelibatan rakyat dalam setiap pengambilan kebijakan (perencanaan, pelaksanaan, pengawasan) akan menimbulkan efek rasa memiliki terhadap pemerintahan dan produk yang dihasilkan. Seperti tiga sasanti jawa, rumongso melu handar beni, wajib melu hangrungkebi, mulat sariro hangrasa wani (merasa memiliki, wajib ikut membela, berani bertanggung jawab).

Kedua, sistem demokrasi representatif (perwakilan) banyak memiliki kelemahan. Karena ada kecenderungan para wakil rakyat yang terpilih tidak memiliki hubungan harmonis dengan konstituen. Komunikasi intensif hanya dibangun pada waktu kampanye menjelang pemilu. Padahal, medan perjuangan yang sesungguhnya adalah bagaimana menjembatani kepentingan dan aspirasi rakyat selama kurun waktu 5 tahun pasca pemilu. Sedangkan partai politik belum menjalankan

Page 92: Buku Jurnal 7.1.pdf

88_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

fungsinya sebagai pejuang kepentingan rakyat sekaligus pendidik bagi rakyat.

Ketiga, ruang publik yang terbuka, adil, demokratis merupakan wahana pembelajaran dan pendidikan politik bagi rakyat agar dapat memahami persoalan dan menentukan pilihan terbaik bagi diri, masyarakat dan lingkungannya mengenai kebijakan publik.7

Berdasarkan pengamatan dan penelitian Forum Warga, sebagian besar masyarakat belum mengetahui bagaimana cara menyampaikan aspirasi dan kebutuhannya kepada pemangku kebijakan. Sebagai salah satu indikator, masyarakat banyak tidak tahu atau tidak terinformasikan tentang kegiatan musrenbangdes/musrenbangcam/musrenbangda di wilayah masing-masing. Sehingga banyak keluhan dan persoalan yang belum mendapat porsi dan perhatian dalam perencanaan pembangunan dan penganggaran daerah. Misalnya persoalan layanan kesehatan (public services), pengelolaan dan monitoring dana kompensasi BBM, PHK buruh, kelangkaan dan mahalnya bahan baku meubel, dan akses untuk difable.

Penyelenggaraan Musyawarah Besar Rakyat Jepara tidak lepas dari niatan baik untuk ikut serta mewujudkan visi besar Kabupaten Jepara, yaitu “Terwujudnya Citra Kabupaten Jepara yang Maju, Sejahtera, Damai, Demokraris, dan Mandiri, yang Didukung Oleh Sumber Daya Manusia yang Berkualitas, Religius dan Berakhlak Mulia serta Potensi Ekonomi Strategis Daerah yang Produktif, Kompetitif dan Berwawasan Lingkungan dalam Wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Dengan demikian, diperlukan kerjasama semua elemen masyarakat untuk menginisiasi ruang-ruang publik-alternatif yang dapat mewadahi dan mengakomodasi berbagai aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang tidak terakomodir dalam proses-proses legal-formal perencanaan dan penganggaran daerah. Penciptaan ruang publik yang terkonsolidasi merupakan kekuatan efektif untuk melakukan kontrol terhadap proses penyelenggaraan pemerintah yang transparan dan akuntabel. Adapun

Page 93: Buku Jurnal 7.1.pdf

Pergulatan NU dan Negara _89

tujuan mubes ini adalah:

�� Terbentuk ruang publik yang dapat mewadahi aspirasi dan kepentingan masyarakat di luar prosedur legal formal, yang dapat melengkapi prosedur yang telah ada.

�� Mendorong pemangku kebijakan untuk dapat mengakui ruang publik yang diinisiasi warga dan mempertimbangkan hasil-hasil inisiasi tersebut sebagai pijakan dalam pembuatan kebijakan.

�� Melakukan penyadaran dan pendidikan politik warga serta meningkatkan partisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

�� Membantu pemerintah daerah dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam hal mencari format dan strategi monitoring PKPS BBM.

Mubes Rakyat Jepara diikuti oleh sekitar 400 orang dari berbagai latar belakang yang sangat beragam, misalnya: forum warga se-Kabupaten Jepara, petani, buruh, pemuda, pesantren, guru, instansi pemerintah, DPRD, dan lain-lain. Beberapa lembaga undangan yang dapat disebutkan antara lain Lakpesdam NU Jepara, P2KP, Forum Warga Jepara, Forum Kajian Buruh Jepara, LP Ma’arif NU Jepara, IPPHTI, PMII Cabang Jepara, LSKAR, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Jepara, IPNU, IPPNU, Fatayat, Muslimat, Anshor, Gapensi, Gapeknas, Lembaga Masyarakat Desa Hutan, Forum Lintas Nelayan dan Pesisir, Forum Lintas Pelaku, PGRI, Persatuan Guru Tidak Tetap, Forum Mikul Dhuwur Mendem Jero, PD Muhammadiyyah, Nasyiatul Aisyiyaj, Pemuda Katholik, Pemuda Protestan, Agama Hindu, Asosiasi Perajin Jepara, KPKP, Akar Karimun, Gabungan Organisasi Wanita, BEM INISINU, BEM STIENU, BEM STPDNU, dan Difable. Sedangkan dari pihak instansi negara yang diundang antara lain adalah Bupati Jepara, DPRD Jepara, BPD, Dinas Pendapatan Daerah, Dinas Kesehatan Daerah, Departemen Agama, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas LHPE, Perhutani, Disperindagkop, Disnaker, Distanak, Rumah Sakit Umum Kartini, Paguyuban Pamong

Page 94: Buku Jurnal 7.1.pdf

90_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Desa, Dewan Pendidikan Jepara, dan Dinas Pekerjaan Umum Daerah.

Sedangkan, kegiatan ini diselenggarakan oleh sebuah Aliansi Civil Society Organization (CSO) yang sengaja dibentuk, dan terdiri dari : Forum Warga (FW) Kabupaten Jepara, PCNU Jepara, PC. Lakpesdam NU Jepara, PP. Lakpesdam NU, P2KP, FKBJ, LP. Ma’arif NU Jepara, IPPHTI, LSKaR dan PC PMII Jepara.

Penentuan pokok masalah yang dibahas dalam Mubes kali ini didasarkan pada angket penjaringan aspirasi masyarakat, dua bulan sebelum pelaksanaan Mubes. Dalam jajak pendapat tersebut diperoleh data sebagai berikut:

a. Pendidikan

37%d. Ekonomi

Rakyat / Usaha kecil menengah

44%

b. Kesehatan

6%c. Lingkungan

& SDA 9%

e. Lain-lain4%

Dari gambar tersebut, menunjukkan 44% responden menginginkan ekonomi rakyat/ usaha kecil menengah sebagai salah satu prioritas perbincangan dalam Mubes, 37% menginginkan pendidikan, 9% lingkungan dan sumber daya alam, 6% kesehatan, 4% lainnya muncul usulan yang beragam.8

Sebaran Masalah dan Jumlah Responden selengkapnya sebagai

Page 95: Buku Jurnal 7.1.pdf

Pergulatan NU dan Negara _91

berikut:

1Pendidikan gratis semua jenjang

122 17Rencana Pembangunan PLTN

20

2Peningkatan kesejahteraan guru

113 18Penambangan pasir dan galian C

15

3Penambahan anggaaran BOP

50 19Pengelolaan pulau-pulau kecil

20

4Pengelolaan madrasah dan pesantren

76 20Pengelolaan pariwisata daerah

35

5Penanganan anak putus sekolah

118 21Penanganan limbah industri

23

6Peningkatan SDM guru

85 22Dampak pembangunan PLTU

16

7Peningkatan sarana Pendidikan

141 23Akses permodalan bagi pengusaha kecil

78

8Pendidikan alternatif untuk rakyat

51 24Bantuan peralatan produksi bagi nelayan

43

9Pengelolaan JPS-Bantuan Kesehatan

47 25Subsidi Saprodi ( pertanian )

54

10 Pelayanan Askes 19 26Penciptaan lapangan kerja

129

11Mahalnya berobat di Puskesmas/RSU

29 27Peningkatan kesejahteraan buruh

42

Page 96: Buku Jurnal 7.1.pdf

92_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

12 Mahalnya harga obat 25 28Penanggulangan kemiskinan & pengangguran

168

13Rendahnya mutu pelayanan Kesehatan

41 29Persaingan harga kurang sehat

64

14Pentingnya peran puskesmas keliling

26 30Mahalnya harga kayu/bahan baku meubel

62

15Perbedaan pelayanan bagi pemegang kartu JPS

22 31 Lain-lain 35

16 Kerusakan ikosistem laut dan pesisir

33

Berdasarkan data penjaringan aspirasi tersebut diatas, kemudian ditentukan pembagian Komisi, Sub Komisi, dan Isu-isu pendukung sebagi berikut:

No Isu Utama Isu Pendukung / Kembangan Masalah

1 Pendidikan - Pendidikan gratis untuk SMA/MA- Kesejahteraan guru swasta- Pengelolaan madrasah dan pesantren- Penanganan anak putus sekolah- Peningkatan SDM guru - Peningkatan sarana dan prasarana

pendidikan swasta- Pendidikan alternatif untu rakyat (petani,

buruh, nelayan)- Rendahnya minat belajar / kesadaran

pendidikan

Page 97: Buku Jurnal 7.1.pdf

Pergulatan NU dan Negara _93

2 Lingkungan - Kerusakan ekosistem laut dan pesisir- Rencana Pembangunan PLTN- Pembangunan SUTET- Penambangan pasir dan galian C- Pengelolaan pulau kecil- Pengelolaan pariwisata daerah- Penanganan limbah industri meubel/tenun

troso- Limbah asap PLTU- Rencana Pembangunan kilang minyak

Tanggul Tlare3 Kesehatan - Pengelolaan JPS-BK

- Pelayanan Askes- Komersialisasi Puskesmas dan RSU- Mahalnya harga obat dirumah sakit

daripada di apotek- Pengelolaan puskesmas tidak professional- Pentingnya peran puskesmas keliling- Standart pelayanan kesehatan bagi

penerima JPS dan Askes4 Ekonomi

rakyat kecil- Akses permodalan bagi pengusaha kecil- Bantuan peralatan (nelayan)- Subsidi Saprodi ( pertanian)- Penciptaan lapangan kerja- Nasib buruh meubel (10 perusahaan

meubel besar, lihat data)- Kesejahteraan masyarakat kecil/ hak

ekosob (janda, fakir miskin, buruh, anak yatim)

- Persoalan industri permeubelan Jepara (persaingan harga, mahalnya harga kayu, lemahnya managemen)

Page 98: Buku Jurnal 7.1.pdf

94_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

5 Hukum - Peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah.

- Penetapan Perda Partisipasi Jepara.- Penanganan dan pengurangan tindak

kriminalitas.- Transparansi dalam penegakan hukum.

Alur Mubes Rakyat Jepara 2005

Pleno 2 : Sidang Komisi :

pertemuan Sub-sub komisi

Hasil : o 5 Prioritas

masalah dan 15 Usulan Solusi

o Memilih wakil presentasi

o Tim perumus dan team pengawal

Pleno 3. Sidang Pleno Umum Penyampaian Hasil Komisi Dihadiri Pemangku Kebijakan Ada penandatanganan berita

acara oleh Bupati, DPRD, Dinas, Departemen terkait Rekomendasi

Pengukuhan Team pengawal Dokumen Publik

Ada Batas Waktu untuk realisasi usulan (untuk memudahkan Monitoring )

Merumuskan Format Kerja Team Pengawal sampai adanya Rencana kerja berikut waktu pelaksanaan monitoring dan pelaksanaan Mubes ke 2

Registrasi Daftar Ulang

Opening Ceremony:

Pleno 1 : Masing-masing

Sub Komisi dibagi berdasar issue Besar

Pembagian Komisi Berdasar atas jumlah peserta max. 30 Orang

Hasil : 5 prioritas masalah dan 15 Usulan solusi

Page 99: Buku Jurnal 7.1.pdf

Pergulatan NU dan Negara _95

1. Kongres Rakyat Wonosobo (KRW)

Di Kabupaten Wonosobo, Forum Deliberatif diadakan dalam bentuk Kongres Rakyat Wonosobo yang menghadirkan multi stakeholder, seperti: buruh, petani, pelaku pendidikan, insan penyelenggara kesehatan, pelaku sektor ekonomi kecil, pemuda/remaja, mahasiswa, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi profesi, pimpinan instansi serta pimpinan lembaga politik di kabupaten Wonosobo.

Kongres Rakyat Wonosobo ini mengambil tema “Wonosobo Menyongsong Perubahan Menuju Rakyat yang Demokratis dan Sejahtera”. Kongres ini dimaksudkan sebagai forum curah aspirasi warga yang bersifat terbuka dan pencarian berbagai alternatif solusi atas permasalahan-permasalahan yang ada di Wonosobo. Alternatif pemecahan tersebut diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam pembuatan kebijakan publik agar sesuai dengan aspirasi masyarkat.9

Secara kebetulan, KRW I ini waktunya berdekatan dengan Pemilihan Kepala Daerah Langsung (PILKADA) Kabupaten Wonosobo. Siapapun yang akan menjadi kepala daerah berikutnya, diharapkan akan memegang teguh hasil Kongres sebagai referensi dalam membuat dan melaksanakan kebijakan daerah.Tujuan KRW ini adalah:

� Meningkatkan kesadaran politik dan partisipasi warga negara.

� Terbentuk ruang publik bebas (free public sphere) yang dilakukan secara periodik dengan melibatkan multi stakeholder di Kabupaten Wonosobo.

� Terumuskan mekanisme perumusan kebijakan yang memperhatikan aspirasi (kepentingan) rakyat dan berorientasi jangka panjang.

Kongres Rakyat Wonosobo (KRW) diikuti oleh sekitar 500 orang dari berbagai latar belakang yang sangat beragam. Sesuai dengan sifanya sebagai forum deliberatif, ia terbuka bagi siapapun penduduk Wonosobo.

Page 100: Buku Jurnal 7.1.pdf

96_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Beberapa unsur yang hadir antara lain dari Forum Warga Kecamatan Watumalang, Kertek, Wonosobo dan Selomerto, KPF Serbuk, Kelompok Tani, Ormas Keagamaan, Ormas Kepemudaan, Instansi Pemerintah, Organisasi Profesi, Organisasi Perempuan, Lembaga Kemahasiswaan, Lembaga dan Aktivis Pendidikan, Lembaga dan Aktivis Kesehatan, Kepala Desa, BPD, Partai Politik, dan Perorangan atau Individu.

KRW diselenggarakan oleh sebuah aliansi Civil Society Organization (CSO) yang sengaja dibentuk, dan terdiri dari: PC. Lakpesdam NU Wonosobo, Forum Warga (FW) Kabupaten Wonosobo, Serikat Petani Kedu dan Banyumas (SEPKUBA), KPF. SERBUK, Persatuan Buruh Migran Wonosobo (PBMW), JPPR-ISIS Wonosobo, dan PP. Lakpesdam NU Jakarta.Dalam KRW ini ada beberapa pokok masalah yang didiskusikan melalui pembagian komisi dan sub komisi.10Ada 7 komisi, masing-masing terdiri 3 sub komisi. Masing-masing sub komisi memiliki beberapa agenda perbincangan sebagai berikut:

KOMISI

SUB KOMISI AGENDA

PERBINCANGAN Pemerintahan - Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

- Perencanaan sampai pelaksanaan anggaran (mekanisme penganggaran) tidak melibatkan berbagai komponen masyarakat, seperti 1) Pelaksanaan Mega Proyek tanpa tender. 2) Pelaksanaan proyek yang tidak sesuai dengan Perencanaan.

- Mark-up anggaran dan tumpang tindih (overlapping) alokasi anggaran, serta dana operasional pejabat yang sangat besar tidak sebanding dengan alokasi anggaran untuk pelayanan masyarakat.

- Alokasi dana desa yang tidak berdasarkan pada kebutuhan pembangunan desa yang bersangkutan.

- Pengelolaan dana perimbangan desa tidak dikelola dengan baik dan tidak transparan, sementara tidak ada tata cara (mekanisme) pelaporan yang jelas.

Page 101: Buku Jurnal 7.1.pdf

Pergulatan NU dan Negara _97

KOMISI

SUB KOMISI AGENDA

PERBINCANGAN Pemerintahan - Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

- Perencanaan sampai pelaksanaan anggaran (mekanisme penganggaran) tidak melibatkan berbagai komponen masyarakat, seperti 1) Pelaksanaan Mega Proyek tanpa tender. 2) Pelaksanaan proyek yang tidak sesuai dengan Perencanaan.

- Mark-up anggaran dan tumpang tindih (overlapping) alokasi anggaran, serta dana operasional pejabat yang sangat besar tidak sebanding dengan alokasi anggaran untuk pelayanan masyarakat.

- Alokasi dana desa yang tidak berdasarkan pada kebutuhan pembangunan desa yang bersangkutan.

- Pengelolaan dana perimbangan desa tidak dikelola dengan baik dan tidak transparan, sementara tidak ada tata cara (mekanisme) pelaporan yang jelas.

- Tata Cara (Mekanisme) Pelayanan Publik

- Birokrasi pelayanan (seperti membuat KTP, Akte Kelahiran, dan Perijinan) dari desa–kabupaten yang berbelit dan mahal

- Tidak ada tata cara yang jelas membuat pengaduan (mekanisme komplain).

- Sistem penempatan pejabat di beberapa posisi penting pemerintahan

- Tata Ruang - Pasar (pembakaran, relokasi, pembagian los, harga los, iuran keamanan), Transportasi (jalur semrawut, persaingan angkot dan ojek), Kebersihan (sampah), dan Keamanan Kota.

- Obyek wisata yang tidak terawat dan terkelola dengan baik, misalnya: Telaga Warna di Dieng.

Page 102: Buku Jurnal 7.1.pdf

98_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Pendidikan - Anggaran dan Biaya Pendidikan

- Iuran sekolah bermacam-macam dan sangat mahal sehingga membebani orang tua, seperti SPP, uang gedung, uang praktek, uang seragam, dan buku pelajaran

- Sarana pendidikan yang sangat terbatas, seperti banyak gedung/ bangunan Sekolah Dasar (SD) yang tidak layak, media belajar mengajar seperti laboratorium IPA dan bahasa yang tidak terdapat di sebagian sekolah.

- Alokasi anggaran pendidikan yang kecil dan pilih kasih antara pendidikan formal dan non formal.

- Biaya operasional sekolah (BOS).

- Kualitas Pendidikan dan Kesejahteraan Pendidik

- Rendahnya gaji guru, sistem penggajian, tidak jelas masa pengabdian guru kontrak dan wiyata bhakti, sumber daya/ kemampuan penguasaan materi pelajaran yang masih rendah, dan banyak guru yang rangkap mata pelajaran.

- Beban mata pelajaran yang terlalu banyak.

Page 103: Buku Jurnal 7.1.pdf

Pergulatan NU dan Negara _99

- Pesantren dan Pendidikan Luar Sekolah

- Ijazah pesantren tidak diakui setara dengan ijazah sekolah formal

- Penyeragaman kurikulum pesantren

Kesehatan - Anggaran Kesehatan

- Anggaran kesehatan sangat kecil

- Pengelolaan kompensasi dana BBM untuk kesehatan

- Pelayanan Kesehatan

- Biaya berobat dan perawatan di RS Pemerintah/Swasta yang mahal.

- Orang miskin wajib membayar ongkos kesehatan sama dengan yang kaya.

- Pembedaan (diskriminasi) layanan kesehatan untuk orang miskin dan orang kaya.

- Kartu sehat (JPS) untuk orang miskin tidak dijalankan semestinya

- Akses Informasi Kesehatan

Masyarakat tidak menerima/mendapatkan info kesehatan dari pemerintah.

Usaha Kecil dan Menengah (UKM)

- Pedagang Kaki Lima (PKL) dan Pedagang Pasar

- Akses modal dari perbankan yang dipersulit.

- PKL rawan tergusur. - PKL rawan konflik dengan

pedagang pasar. - Membayar ongkos resmi dan

tidak resmi (pungli atau uang keamanan), tetapi keamanan tidak terjamin

Page 104: Buku Jurnal 7.1.pdf

100_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

- Industri Rumah Tangga (Home Industry)

- Akses modal dari perbankan yang dipersulit.

- Bahan baku yang sulit didapatkan dan mahal.

- Terbatasnya lokasi pedagang hasil produksi (pemasaran).

- Kalah bersaing harga dengan produksi luar negeri/luar daerah.

- Koperasi dan Lembaga Keuangan Rakyat

- Manajemen yang tidak professional.

- Kredit macet. - Bunga/ jasa pinjaman terlalu

besar, sehingga memberatkan.

- Modal yang terbatas. Pemuda dan Remaja

- Kekerasan dan Obat Terlarang

- Pemakaian Narkoba ditingkatan pemuda dan remaja (pelajar).

- Adanya penjualan dan penyewaan VCD Porno.

- Kekerasan (tawuran anak sekolah dan pemuda antar kampung)

- Kesehatan reproduksi remaja

- Pengangguran dan Anak Putus Sekolah

- Tingginya angka anak putus sekolah.

- Tingginya angka pemuda pengangguran.

- Tidak ada sarana (ruang) kreatifitas anak muda (olahraga, seni, dll).

Page 105: Buku Jurnal 7.1.pdf

Pergulatan NU dan Negara _101

Pertanian - Pertanahan

- Sengketa tanah (masyarakat dan perhutani).

- Hak Guna Usaha (HGU) dikuasai oleh pemilik modal.

- Perda “Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat” dibatalkan oleh Mendagri.

- Penanganan dan Pemasaran Hasil Pertanian

- Harga hasil panen yang murah, tidak ada standar harga yang jelas.

- Pasar dikuasai tengkulak dan masuknya produk luar di bawah harga lokal.

- Tidak ada perlindungan (proteksi) terhadap produk-produk pertanian lokal.

- Anggaran dan subsidi pertanian yang sangat kecil.

- Pengairan dan Budidaya Pertanian

- Terjadi penyeragaman tanaman.

- Penyuluh pertanian (PPL) menjadi agen obat-obat kimiawi dan alat-alat pertanian.

- PPL tidak memperkenalkan model pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

- Dinas pertanian tidak bisa memberikan jawaban atas problem pertanian lokal.

- Tidak ada pengembangan produk unggulan.

- Sarana irigasi banyak yang sudah rusak

- Sarana produksi (pupuk, bibit, dan alat-alat) pertanian yang mahal.

- Pertanian berbasis lokal (komoditas dan alat lokal).

Perburuhan - Perlindungan Buruh

- Tidak ada perlindungan terhadap buruh migran (dalam rekruitmen banyak penipuan dan pemerasan, penampungan yang tidak layak, penempatan tidak sesuai dengan yang dijanjikan, dan pemulangan tanpa jaminan keamanan).

- Perlindungan yang minim terhadap buruh formal (buruh industri dan jasa pelayan toko): upah tidak

Page 106: Buku Jurnal 7.1.pdf

102_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

sesuai dengan UMK dan tidak mendapatkan program jamsostek.

- Status buruh kontrak yang tidak terbatas waktu, misalnya menjadi buruh kontrak seumur hidup (tidak bisa menjadi buruh tetap).

- Pemaksaan menjadi buruh sub kontrak.

- Tidak ada perlindungan terhadap buruh perempuan, misalnya tidak ada cuti haid dan cuti hamil.

- Lemahnya posisi tawar buruh di depan majikan.

- Kinerja Disnakertrans

- Tidak ada langkah membuat kebijakan daerah untuk melindungi buruh formal, buruh informal, dan buruh migran.

- Tidak serius dalam menangani kasus perburuhan dan lebih berpihak pada pengusaha dari pada buruh.

- Menjadi agen tenaga kerja, baik buruh migran maupun formal.

- Tidak dilakukannya pengawasan terhadap pelaksanaan UU Ketenagakerjaan

- Penyelesaian Masalah

- Peliburan buruh tanpa kepastian produksi kembali

- Pengairan dan Budidaya Pertanian

- Terjadi penyeragaman tanaman.

- Penyuluh pertanian (PPL) menjadi agen obat-obat kimiawi dan alat-alat pertanian.

- PPL tidak memperkenalkan model pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

- Dinas pertanian tidak bisa memberikan jawaban atas problem pertanian lokal.

- Tidak ada pengembangan produk unggulan.

- Sarana irigasi banyak yang sudah rusak

- Sarana produksi (pupuk, bibit, dan alat-alat) pertanian yang mahal.

- Pertanian berbasis lokal (komoditas dan alat lokal).

Perburuhan - Perlindungan Buruh

- Tidak ada perlindungan terhadap buruh migran (dalam rekruitmen banyak penipuan dan pemerasan, penampungan yang tidak layak, penempatan tidak sesuai dengan yang dijanjikan, dan pemulangan tanpa jaminan keamanan).

- Perlindungan yang minim terhadap buruh formal (buruh industri dan jasa pelayan toko): upah tidak

Page 107: Buku Jurnal 7.1.pdf

Pergulatan NU dan Negara _103

sesuai dengan UMK dan tidak mendapatkan program jamsostek.

- Status buruh kontrak yang tidak terbatas waktu, misalnya menjadi buruh kontrak seumur hidup (tidak bisa menjadi buruh tetap).

- Pemaksaan menjadi buruh sub kontrak.

- Tidak ada perlindungan terhadap buruh perempuan, misalnya tidak ada cuti haid dan cuti hamil.

- Lemahnya posisi tawar buruh di depan majikan.

- Kinerja Disnakertrans

- Tidak ada langkah membuat kebijakan daerah untuk melindungi buruh formal, buruh informal, dan buruh migran.

- Tidak serius dalam menangani kasus perburuhan dan lebih berpihak pada pengusaha dari pada buruh.

- Menjadi agen tenaga kerja, baik buruh migran maupun formal.

- Tidak dilakukannya pengawasan terhadap pelaksanaan UU Ketenagakerjaan

- Penyelesaian Masalah

- Peliburan buruh tanpa kepastian produksi kembali

Perburuhan (PT Dieng Djaya) - Pembayaran upah yang

tidak sesuai dengan UMK (PT Patuha Agro Rekananda)

- Ketidak jelasan status dan hubungan kerja antara buruh dengan Pengusaha (PLTA Sub Unit Garung)

Page 108: Buku Jurnal 7.1.pdf

104_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Hasil KRW I adalah 5 prioritas masalah dan 15 usulan solusi dari masing-masing komisi yang ada. Jadi jumlah secara keseluruhan ada 35 prioritas masalah dan 105 usulan solusi. Hasil selengkapnya dapat dilihat dalam lampiran.Seluruh prioritas masalah dan usulan solusi yang disusun sendiri oleh masyarakat Wonosobo tersebut, merupakan bahan/materi kontrak politik yang ditandatangani oleh para calon Bupati dan Wakil Bupati Wonosobo periode 2005-2010 untuk ditindaklanjuti (direalisasikan) pada masa pemerintahannya, serta menjadi dokumen publik yang bisa diakses oleh siapa saja.

Pilkada Kabupaten Wonosobo periode 2005-2010 diikuti oleh tiga pasangan calon bupati dan wakil bupati, Drs. H. Trimawan Nugrahadi, Msi berpasangan dengan Drs. KH. Muchotob Hamzah, MM, Heru Irianto, SE berpasangan dengan H. Saptoyuwono, dan Drs. H. A. Kholiq Arief berpasangan dengan Drs. H. Muntohar, MM. Ketiga calon bupati tidak ada yang datang dalam acara tersebut, mereka hanya mengirimkan calon wakil bupatinya. Namun, dari ketiga calon wakil bupati, hanya Drs. H. Muntohar, MM yang bersedia menandatangani Dokumen KRW I. Dia berjanji akan berusaha melaksanakan aspirasi masyarakat melalui KRW I dalam pembuatan kebijakan dan pelaksanaanya, jika kelak ia menjadi wakil bupati. Sebagai upaya untuk memantau hasil-hasil KRW sampai pada tingkat realisasi, Kongres mengamanatkan untuk membentuk Komite Monitoring yang dibentuk oleh Kongres.11

Page 109: Buku Jurnal 7.1.pdf

Pergulatan NU dan Negara _105

Alur Kongres Rakyat Wonosobo

D. Kesimpulan

Dari beberpa praktik yang sudah dilakukan oleh warga NU dan masyarakat umum di Jepara dan Wonosobo, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada beberapa keuntungan yang dapat diraih dengan model demokrasi deliberatif sebagai berikut.

Pertama, Warga memiliki pengetahuan dan perspektif yang berharga tentang isu-isu publik melebihi apa yang dibayangkan. Isu publik berbeda dengan isu privat, selama ini kedua ruang tersebut sering dicampur-campur begitu saja. Hal ini menyebabkan banyak pejabat yang menitipkan kepentingan pribadi dengan fasilitas kepentingan umum (publik). Korupsi merupakan tindakan penyelewengan kekuasaan yang memaksakan kepentingan pribadi agar dibiayai dengan dana kepentingan umum.

Page 110: Buku Jurnal 7.1.pdf

106_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Masyarakat juga tidak semua memahami batasan wilayah publik dan privat. Apalagi pemerintah tidak cukup tegas menunjukkan batasan publik dan bukan publik. Batasannya sering kabur dan berubah-ubah. Pengalaman Indonesia selama rezim orde baru, publik dan bukan publik sangat ditentukan oleh departemen penerangan sesuai petunjuk presiden.

Demokrasi deliberatif memungkinkan masyarakat menambah wawasan dan penegertian yang lebih matang tentang isu-isu publik. Melalui diskusi publik, masyarakat bisa mendapatkan pemahaman mana yang bisa dibicarakan bersama sebagai kepentingan publik dan mana yang cukup disimpan rapat sebagai kasus pribadi. Bagi penyelenggara negara, isu publik yang dibicarakan masyarakat sekaligus merupakan kontrol dan ruang tawar menawar agar masalah-masalah masyarakat sungguh-sungguh ditangani.

Kedua, kehadiran warga dalam proses deliberasi dapat mengurangi konflik antara stakeholder yang bersaing, dan dukungan publik yang besar membuat pelaksanaan (implementasi) kebijakan lebih mudah.

Elemen masyarakat sipil tidak sedikit. Mereka bisa merupakan kelompok-kelompok berbasis kepentingan agama, etnis, afilisasi politik, profesi, dan lain sebagainya. Tanpa koordinasi dan konsolidasi masyarakat sipil, mereka dapat dimanfaatkan dan dimobilisir oleh kepentingan di luar diri mereka sendiri. Demokrasi deliberatif mengajak sebanyak mungkin bagian masyarakat sipil memikirkan semua persoalan untuk kemaslahatan bersama-sama, bukan kelompok-kelompok. Dengan demikian, potensi konflik kepentingan skala kelompok diperkecil. Masyarakat diajak berpikir rasional untuk menyelesaikan permasalahan yang berkenaan dengan kepentingan dan kebutuhan mereka sendiri.

Ini berbeda jauh dibanding praktek demokrasi perwakilan yang menghentikan partisipasi pada wakil di lembaga eksekutif dan legislatif, kemungkinan besar yang terjadi adalah kotak-kotak partisipasi sempit dan pisah-pisah (parsial) yang dititipkan secara diam-diam melalui wakil

Page 111: Buku Jurnal 7.1.pdf

Pergulatan NU dan Negara _107

dan tidak terkontrol hasilnya. Akhirnya yang tampak melalui media adalah pertarungan antar anggota parlemen atau dengan eksekutif yang tidak jelas kepentingannya dan tidak terbaca ke mana arah perdebatan yang berlangsung.

Jika sebuah permasalahan publik (umum) didiskusikan oleh lebih banyak orang, tentu rumusan hasil proses tersebut akan didukung lebih banyak orang. Dan pertimbangan publik dalam diskusi, jika dijadikan rujukan perumusan dan pelaksanaan sebuah kebijakan tentu saja akan mendapat respon yang positif dan dukungan kuat dari kalangan lebih luas. Hal ini mengurangi resiko tiadanya dukungan publik seperti yang terjadi dalam beberapa kebijakan.

Ketiga, keterlibatan warga dalam proses deliberasi dapat membentuk kesadaran publik terhadap isu-isu penting dan banyak keuntungan dalam jangka panjang, seperti pembangunan kepercayaan, peningkatan partisipasi politik, dan penguatan institusi politik.

Komunikasi mengandaikan adanya kepercayaan masing-masing pihak yang terlibat. Partisipasi aktif yang tumbuh baik di kalangan masyarakat, satu sisi menumbuhkan rasa percaya diri bahwa keinginan mereka harus dibicarakan dalam area publik dan diharapkan dapat berpengaruh dalam proses penetapan kebijakan publik. Sisi lain menandakan tumbuhnya kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara negara.

Bagi negara, bertemu dan mendengarkan secara langsung suara masyarakat melalui forum-forum deliberasi jelas jauh lebih efektif dan tepat sasaran. Pengambil kebijakan dapat mengerti apa yang seharusnya diputuskan mereka berkaitan dengan kepentingan perlindungan dan pelayanan masyarakat atau warga negara. Dengan cara ini, para eksekutif dan legislatif tidak perlu terlalu capek melalui birokrasi partisipasi seperti lewat anak buah yang sering kali manipulatif.

Asas kepercayaan dalam komunikasi yang aktif bermakna pula penghargaan terhadap institusi politik. Berbagai pihak tidak menyalurkan aspirasinya dengan cara non koordinatif dan dengan cara sendiri-sendiri.

Page 112: Buku Jurnal 7.1.pdf

108_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Melainkan semua harus berpartisipasi menggunakan jalur yang jelas dan disepakati bersama. Dengan cara demikian, semua pihak merasa dalam posisi yang setara dan taat di bawah peraturan institusi politik yang sudah ada.

Keempat, partisipasi secara langsung dalam proses pengambilan keputusan publik dapat menutupi kelemahan demokrasi perwakilan: derajat keterwakilan dan tirani mayoritas.Diakui demokrasi representatif (perwakilan) masih menyisakan banyak kelemahan. Misalnya: tidak ada jaminan apapun bahwa wakil yang dipilih akan benar-benar mewakili kehendak dan kepentingan masyarakat pemilih, tidak ada mekanisme pertanggungjawaban yang jelas antara pemilih dan terpilih, dan tidak ada cara untuk menangani pengkhianatan amanat yang dilakukan oleh wakil terhadap masyarakat pemilih. Hal-hal seperti ini kurang mendapatkan jawaban atau penjelasan yang memuaskan dari demokrasi model perwakilan. Karena itu, bentuk pengambilan keputusan kebijakan publik secara langsung (demokrasi deliberatif) dipandang sebagai jawaban yang akan menyempurnakan kelemahan demokrasi perwakilan.

Demokrasi deliberatif dengan sendirinya juga menolak terhadap kemungkinan tirani mayoritas. Karena yang penting bukan kuantitas suara dalam pengambilan keputusan, melainkan sejauh mana sebuah argumentasi bisa disampaikan secara rasional dan menampung permasalahan publik (dirasakan sebanyak-banyaknya anggota masyarakat). Gagasan atau usulan demikian dalam forum deliberatif bisa datang dari manapun, minoritas maupun mayoritas. Dalam konteks seperti ini, proses deliberatif sekaligus dapat menjadi wahana pembelajaran bagi mayoritas untuk menghargai dan melindungi kepentingan minoritas juga. []

Page 113: Buku Jurnal 7.1.pdf

Pergulatan NU dan Negara _109

Daftar Pustaka

AmericaSpeaks’ 21st Century Town Meeting, www.americaspeak.org atau www.americaspeaks.org/library.html.

Anton Wisnu Nugroho dan Subur Tjahjono, Franky, Abstraksi Menuju Kosmopolitanisme, Kompas, Sabtu, 13 Agustus 2005

Archon Fung and Erik Olin Wright, Experiments in Empowered Deliberative Democracy, June 1999, lihat http://www.internationalbudget.org/cdrom/papers/systems/ParticipatoryBudgets/DeliberativeDemocracy.htm

Carolyn Hendriks, Deliberative Citizens’ Forums and Interest Groups Roles, Tensions and Incentives, Bahan Bacaan Jambore Forum Warga di Asrama Haji Sukolilo Surabaya, 28 Maret-2 April 2005

Dokumen Kongres Rakyat Wonosobo 2-3 Agustus 2005

Dokumen Musyawarah Besar (Mubes) Rakyat Jepara, 3 Desember 2005

Dokumen Rembug Warga Cilacap, 29 Desember 2005

Fuad Fachruddin, Deliberative Democracy: Ringkasan dari Beberapa Sumber, Rapat Kerja ke-3 Program Pemberdayaan Masyarakat Sipil Lakpesdam NU di Jogjakarta, 23-26 Agustus 2005

F Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Teori, Prinsip dan Praktik, Rapat Kerja ke-3 Program Pemberdayaan Masyarakat Sipil Lakpesdam NU di Jogjakarta, 23-26 Agustus 2005

F Budi Hardiman, Menyimak Filsafat Politik Habermas, Demokrasi Deliberatif: Model untuk Indonesia Pasca-Soeharto? Bahan Bacaan Jambore Forum Warga di Asrama Haji Sukolilo Surabaya, 28 Maret-2 April 2005

F Budi Hardiman, Ruang Publik Politis: Komunikasi Politis dalam Masyarakat Majemuk, Bahan Bacaan Jambore Forum Warga di

Page 114: Buku Jurnal 7.1.pdf

110_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Asrama Haji Sukolilo Surabaya, 28 Maret-2 April 2005

Ihsan Herudin, Model Perencanaan Anggaran Partisipatif di Porto Alegre: Sebuah Tinjauan Empiris, Tanpa Tahun

Jay Bregman, Theoretical Frameworks of Deliberative Democracy, 04 Februari 2000, lihat pada http://cyber.law.harvard.edu/projects/deliberation/theory/#24

Laporan “Program Pemberdayaan Masyarakat Sipil”, PP Lakpesdam Jakarta, Tahun 2001-2003

Maeve Cooke, Five Arguments for Deliberative Democracy, University College Dublin, 2000

Maurizio Passerin d’Entrèves, Multiculturalism and Deliberative Democracy, University of Manchester, Barcelona 1999

Page 115: Buku Jurnal 7.1.pdf

Pergulatan NU dan Negara _111

Endnotes

1. Maeve Cooke, Five Arguments for Deliberative Democracy, University College

Dublin, 2000, h. 40.

2. Maeve Cooke,Five Arguments for Deliberative Democracy, h. 51. Lihat juga,

Maurizio Passerin d’Entrèves, Multiculturalism and Deliberative Democracy,

Barcelona: University of Manchester, 1999, h. 33.

3. Jay Bregman, Theoretical Frameworks of Deliberative Democracy, 04 Februari

2000, lihat pada http://cyber.law.harvard.edu/projects/deliberation/theo-

ry/#24, h. 72.

4. Anton Wisnu Nugroho dan Subur Tjahjono, Abstraksi Menuju Kosmopolitan-

isme, Kompas, Sabtu, 13 Agustus 2005.

5. F Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Teori, Prinsip dan Praktik, Rapat Kerja

ke-3 Program Pemberdayaan Masyarakat Sipil Lakpesdam NU di Jogjakarta, 2005,

h. 29.

6. Maeve Cooke, Five Arguments for Deliberative Democracy, h. 81.

7. Dokumen Musyawarah Besar (Mubes) Rakyat Jepara, 3 Desember 2005, h.

56. Lihat juga, Fuad Fachruddin, Deliberative Democracy: Ringkasan dari Be-

berapa Sumber, Rapat Kerja ke-3 Program Pemberdayaan Masyarakat Sipil

Lakpesdam NU di Jogjakarta, 23-26 Agustus 2005, h. 105.

8. Dokumen Musyawarah Besar (Mubes) Rakyat Jepara, 3 Desember 2005, h.

86.

9. Dokumen Kongres Rakyat Wonosobo, 2-3 Agustus 2005, h. 22. Lihat juga,

Fuad Fachruddin, Deliberative Democracy: Ringkasan dari Beberapa Sumber,

Rapat Kerja ke-3 Program Pemberdayaan Masyarakat Sipil Lakpesdam NU

Page 116: Buku Jurnal 7.1.pdf

112_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

di Jogjakarta, 23-26 Agustus 2005, h. 90.

10. Dokumen Kongres Rakyat Wonosobo, 2-3 Agustus 2005, h. 46.

11. Dokumen Kongres Rakyat Wonosobo, 2-3 Agustus 2005, h. 62.

Page 117: Buku Jurnal 7.1.pdf

Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _113

The Concept of Gender in Human Ecology in the Perspective of Qur’an

Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif al-Quran

Nur Arfiyah FebrianiInstitut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta

email: [email protected]

Abstract : Quranic perspectives on gender-oriented ecology propose eco-humanist theocentric

theory. This is based on the Quranic description regarding the interconnection and

harmonious interaction between a human and him/her self (habl ma‘a nafsih), a

human with another human (habl ma‘a ikhwânih), a human with the universe (habl

ma‘a bî’atih), and a human with God (habl ma‘a Allâh), regardless male or female.

On the other hand, this conclusion is different with the expression of some feminists

who believe in the correlation between environmental damage with men’s domination

over women. In the Qur’an, human beings are generally described as having similar

potencies to destroy the environment as well as to conserve it.

The Quranic perspective on gender-oriented ecology in human ecology system is

found in three representations of gender identity, namely: 1) biology paired features,

2) various terms refer to men and women interactions, and 3) the balance of femininity

Page 118: Buku Jurnal 7.1.pdf

114_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

and masculinity within every human being, indicating the possible equal quality of

intellectuality, emotion and roles in their social life.

Abstraksi : Perspektif al-Qur’an mengenai ekologi berwawasan gender mengusung teori

ekohumanis teosentris. Hal ini berdasarkan deskripsi al-Qur’an mengenai interkoneksi

dan interaksi harmonis antara manusia dengan dirinya sendiri (habl ma‘a nafsih),

manusia dengan sesama manusia (habl ma‘a ikhwânih), manusia dengan alam

raya (habl ma‘a bî’atih) dan manusia dengan Allah (habl ma‘a Khâliqih), tanpa

membedakan antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, dengan ditemukannya isyarat

keseimbangan karakter feminin dan maskulin dalam setiap individu manusia, temuan

Disertasi ini berbeda dengan pendapat tokoh feminis yang menganggap kerusakan

lingkungan memiliki korelasi dengan sikap dominatif laki-laki terhadap perempuan.

Dalam al-Qur’an, manusia secara umum dideskripsikan memiliki potensi yang sama

dalam merusak sekaligus melakukan upaya konservasi lingkungan.

Perspektif al-Qur’an mengenai wawasan gender dalam ekologi manusia, ditemukan

dalam tiga isyarat identitas gender, yaitu: 1) keberpasangan secara biologis, 2)

berbagai istilah yang menunjuk kepada laki-laki dan perempuan dalam interaksinya,

dan 3) keseimbangan karakter feminin dan maskulin dalam setiap individu manusia,

yang mengindikasikan potensi intelektual dan emosional serta peran yang sama dalam

interaksi sosialnya.

Keywords: human ecology, gender, social interaction, al-Quran

A. Muqaddimah

Isu kerusakan lingkungan menjadi salah satu isu global yang meresahkan bagi masyarakat dunia saat ini. Beberapa riset tentang kerusakan bumi yang dilakukan oleh McElroy,2 WALHI,3 dan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada akhir tahun 2007,4 melaporkan kerusakan lingkungan yang semakin menghawatirkan di seluruh belahan bumi. Berbagai macam bentuk kerusakan alam seperti

Page 119: Buku Jurnal 7.1.pdf

Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _115

bencana banjir, tanah longsor, pencemaran lingkungan dan lain-lain, membuktikan faktor penyebab kerusakan lingkungan yang disebabkan prilaku manusia yang kurang harmonis dalam interaksinya dengan alam.

Hal ini disinyalir dari akibat pemahaman yang kurang komprehensif tentang pemahaman teks keagamaan, minimnya pengetahuan tentang alam, serta cara pandang manusia terhadap alam. Keseluruhan pemahaman dan cara pandang rigid (sempit) tersebut yang kemudian menimbulkan paradigma antroposentris. Paradigma antroposentris adalah paradigma yang memandang bahwa alam semesta tercipta untuk kebahagiaan hidup umat manusia sebagai pusatnya.5 Paradigma yang kering nilai spiritual ini, memiliki implikasi logis terhadap ulah manusia dalam mengeksploitasi sumber daya alam serta perilaku manusia yang tidak menghormati eksistensi alam sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan.

Selanjutnya, eksploitasi sumber daya alam identik dengan aktivitas laki-laki dalam dunia kerjanya, terlebih karakter maskulin yang umum dimiliki laki-laki seperti eksploitatif, arogan dan ambisius, seakan mengabsahkan laki-laki sebagai jenis manusia yang dominan dalam berbagai interaksinya, baik dengan sesama manusia maupun lingkungan.

Oleh karena sebab sikap dominatif laki-laki dalam interaksinya kepada sesama manusia dan lingkungan inilah, yang pada akhirnya menurut para tokoh ekofeminis seperti Nawal Amar dan Carolyn Merchant membuat laki-laki layak dipersalahkan sebagai aktor pemicu berbagai bentuk kerusakan lingkungan. Cara pandang ekofeminis ini adalah salah satu cara pandang yang unik dan menarik bagi penulis untuk dikembangkan dalam penelitian ini.6

Keunikan cara pandang tokoh ekofeminis ini terdapat pada pergeseran isu seputar ketimpangan gender. Karena dalam beberapa dasawarsa terakhir, isu gender yang banyak mencuat yaitu seputar isu mengenai ketimpangan gender seperti dalam hak waris perempuan, perwalian, saksi, konstruk sosial dan lain-lain.7 Di antara tokoh yang

Page 120: Buku Jurnal 7.1.pdf

116_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

memperdebatkan isu ini misalnya yaitu: Laila Ahmad,8 Bonnie Fox,9 Barbara Freyer Stowasser,10 Nasr Hamid Abu Zaid,11 dan Kamil Zahirî.12

Sementara itu, dalam kajian ekologi manusia, budaya patriarki telah membawa laki-laki pada terbentuknya karakter maskulin, seperti: lebih aktif, kompetitif, ambisius, dan agresif dalam interaksinya kepada sesama manusia dan lingkungannya seperti yang diungkap sebelumnya. Hal inilah yang menjadikan laki-laki dianggap menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan. Hipermasklinitas dan dominasi laki-laki terhadap perempuan disinyalir menjadi faktor penyebab laki-laki juga bertindak sama terhadap bumi yang diidentikan dengan perempuan karena keduanya memiliki kesamaan karakter yang pasif dan submisif.

Demikian dalam kajian ekologi alam. Bumi memang lebih dinilai sebatas makhluk yang pasif dan reseptif yang tak lain merupakan representasi dari karakter feminin, karakter yang selama ini diidentikan dengan karakter perempuan.13 Itulah mengapa menurut para tokoh ekofeminis, pola interaksi laki-laki yang arogan, diskriminatif dan dominatif terhadap perempuan juga berimbas pada pola interaksi laki-laki terhadap bumi dengan pola interaksi yang arogan dan eksploitatif. Ironisnya, hal ini masih diperburuk dengan mengakarnya paradigma antroposentris yang kering nilai spiritual dalam melegalkan arogansi manusia untuk mengeksploitasi alam dengan dalih kepentingan ekonomi.14

Jika dipahami, permasalahan kerusakan lingkungan yang dihubungkan dengan sterotip antara laki-laki dan perempuan di atas, diakibatkan polapikir yang masih sangat sempit di dalam memandang dan mengklasifikasi antara karakter laki-laki dan perempuan. Oleh sebab itu, di dalam Disertasi penulis dibahas suatu sub bahasan dengan tema: “Identitas Gender dengan Kata Sifat/karakter Feminin dan Maskulin” dalam setiap individu manusia, yang ternyata dalam dideskripsikan al-Quran memiliki keseimbangan. Pemahaman ini diambil karena setiap ayat yang mengisyaratkan tentang karakter manusia didapati dalam

Page 121: Buku Jurnal 7.1.pdf

Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _117

bentuk umum sebagai indikasi bahwa ayat itu berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Artinya, Al-Quran mempersilahkan kepada kecerdasan manusia untuk memilih karakter mana yang akan mempresentasikan kepribadiannya. Dengan demikian sterotip bagi laki-laki dan perempuan adalah pandangan yang keliru, karena baik karakter feminin dan maskulin dalam setiap individu manusia memiliki sisi/nilai positif dan negatif sebagaimana akan digambarkan secara ringkas dalam tabel di dalam makalah ini.

Demikian dengan anggapan mengenai karakter yang dimiliki oleh masing-masing makhluk ciptaan Allah, yang ternyata jika ditelisik juga mengisyaratkan keseimbangan karakter feminin dan maskulin dalam setiap makhluk ciptaan Allah. Bedanya antara karakter manusia dan suatu makhluk yang terdapat di alam raya yang dideskripsikan di dalam al-Quran bahwa, karakter suatu makhluk hanya memiliki karakter yang positif. Ini karena alam raya tidak akan membelot dari ketentuan yang sudah Allah tetapkan atasnya. Manusia tentu dapat mengambil pelajaran dari tunduknya semua makhluk di alam raya yang mencipta harmoni untuk dapat mengemban tugas yang Allah embankan kepada masing-masing makhluk. Oleh sebab itu pula di dalam makalah ini, penulis akan sekilas menjelaskan tentang keseimbangan karakter feminin dan maskulin yang dimikili oleh setiap individu manusia.

B. Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia

1. Ekologi Manusia

Ekologi manusia adalah ilmu yang mempelajari tentang interaksi antara manusia dengan keseluruhan ekosistem yang terdapat di lingkungannya.15 Ekologi manusia dan ekologi alam menjadi dua kajian menarik, karena saat ini banyak terjadi gejala inharmonisasi interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Dampak negatifnya berupa berbagai macam bentuk kerusakan lingkungan, yang menjadi salah satu isu sentral saat ini dan membutuhkan solusi komprehensif dalam usaha konservasi alam.

Page 122: Buku Jurnal 7.1.pdf

118_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Menariknya, seorang tokoh feminis Nawal Amar membaca kerusakan ekologi memiliki hubungan dengan sikap hipermaskulinitas laki-laki dalam mengelola lingkungan. Padahal, al-Qur’an mengindikasikan bahwa kerusakan alam sejak dulu diakibatkan oleh ulah manusia secara umum. Selain itu, data kerusakan alam dan penyebabnya yang dilansir IPCC sebagaimana yang akan diungkap di depan, menjelaskan tentang keterlibatan manusia secara umum dalam merusak lingkungan.

Untuk itu, ekologi dalam perspektif al-Qur’an perlu memberikan penjelasan tentang keterkaitan gender dalam isu kerusakan lingkungan secara lebih komprehensif. Sehingga pemahaman rigid yang menimbulkan perdebatan dan cenderung saling menyalahkan antara laki-laki dan perempuan, dapat menemukan titik terang dan dapat dirumuskan solusi yang baik bagi sesama manusia dan lingkungan.

Pada pembahasan ini, diungkapkan bagaimana al-Qur’an mendeskripsikan tentang kedua jenis manusia dalam interaksinya dengan sesama manusia dan alam. Isyarat ekualitas terhadap karakter feminin dan maskulin yang dimiliki setiap individu manusia, menjadi salah satu solusi bagi manusia untuk dapat mengoptimalkan potensi kedua karakter tersebut dalam dirinya. Menariknya, dari dua potensi karakter feminin dan maskulin yang dimiliki setiap individu manusia, terdapat nilai positif (al-nafs al-taqwâ’iyyah) dan negatif (al-nafs al-fujûriyyah)16 yang umum dimiliki manusia.17 Pada titik ini, al-Qur’an memberikan guidelines dan mempersilahkan kecerdasan manusia dalam menentukan karakter mana yang dapat merepresentasikan karakter pribadinya.

Dalam analisa penulis, isyarat keterkaitan gender dalam ekologi manusia tergambar dalam identitas gender yang digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan pola interaksi manusia dengan manusia serta dengan lingkungan sekitarnya. Isyarat identitas gender dalam ekologi manusia setidaknya terbagi dalam 3 (tiga) kategori, yaitu: a) identitas gender dengan menggunakan istilah-istilah yang menunjuk kepada laki-laki dan perempuan, b) identitas gender dengan menggunakan istilah

Page 123: Buku Jurnal 7.1.pdf

Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _119

gelar status yang berhubungan dengan jenis kelamin, yaitu dengan menggunakan kata زوج

(zawj) dalam arti pasangan secara biologis, dan c) identitas gender dengan kata sifat/karakter feminin dan maskulin yang dimiliki secara umum oleh setiap individu manusia. Berikut deskripsi al-Qur’an mengenai identitas gender dalam ekologi manusia:

a. Identitas gender dengan menggunakan istilah-istilah yang menunjuk kepada laki-laki dan perempuan.

Istilah-istilah yang digunakan al-Qur’an untuk menunjuk kepada laki-laki dan perempuan yaitu: الزجال و الىساء (al-rijâl dan al-nisâ’),i الذكز و iii.(al-mar’dan al-mar’ah) المزء والمزأة ii dan(al-dhakar dan al-unthâ) األوثىBerikut dipaparkan beberapa contoh klasifikasi istilah dan ayat-ayat yang mengandung istilah tersebut.

No Istilah yang digunakan Nomor surat dan ayat

(’al-rijâl dan al-nisâ) الزجال و الىساء 1 a. الزجال, dalam arti: 1. Laki-laki: 2/282 (2x), 2/228 (2x), 4/34

(2x), 4/32, 27/55, 48/25, 72/6 (2x), 7/81, 27/55, 29/29, 4/7, 4/75, 4/98, 4/1, 4/176, 12/109, 21/7, 33/40, 4/12, 11/78, 23/25, 23/38, 28/20, 36/20, 40/28 (2x), 7/63, 7/69, 10/2, 33/4, 34/7, 6/9, 7/155, 17/47, 18/37, 25/8.

2. Orang laki-laki dan perempuan

7/46, 33/23, 9/108, 24/37, 33/23, 38/62.

3. Nabi 21/7, 34/7, 34/43. 4. Tokoh Masyarakat 36/20, 7/48, 43/31. 5. Budak 39/29 (3x), 24/31. 6. Dalam bentuk muthannâ

(laki-laki) رجالن5/23.

7. Dalam bentuk muthannâ (laki-laki) رجليه

2/282, 16/76, 18/32, 28/15.

b. الىساء dalam arti:

1. Perempuan dewasa

4/7, 4/32, 4/1, 4/11, 4/176, 2/235, 48/25, 49/11 (2x), 3/42, 4/3, 4/7, 4/32, 4/75, 4/98, 7/81, 24/31 (2x), 24/31, 24/60,

Page 124: Buku Jurnal 7.1.pdf

120_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Istilah-istilah yang digunakan al-Qur’an untuk menunjuk kepada laki-laki dan perempuan yaitu: الزجال و الىساء (al-rijâl dan al-nisâ’),i الذكز و iii.(al-mar’dan al-mar’ah) المزء والمزأة ii dan(al-dhakar dan al-unthâ) األوثىBerikut dipaparkan beberapa contoh klasifikasi istilah dan ayat-ayat yang mengandung istilah tersebut.

No Istilah yang digunakan Nomor surat dan ayat

(’al-rijâl dan al-nisâ) الزجال و الىساء 1 a. الزجال, dalam arti: 1. Laki-laki: 2/282 (2x), 2/228 (2x), 4/34

(2x), 4/32, 27/55, 48/25, 72/6 (2x), 7/81, 27/55, 29/29, 4/7, 4/75, 4/98, 4/1, 4/176, 12/109, 21/7, 33/40, 4/12, 11/78, 23/25, 23/38, 28/20, 36/20, 40/28 (2x), 7/63, 7/69, 10/2, 33/4, 34/7, 6/9, 7/155, 17/47, 18/37, 25/8.

2. Orang laki-laki dan perempuan

7/46, 33/23, 9/108, 24/37, 33/23, 38/62.

3. Nabi 21/7, 34/7, 34/43. 4. Tokoh Masyarakat 36/20, 7/48, 43/31. 5. Budak 39/29 (3x), 24/31. 6. Dalam bentuk muthannâ

(laki-laki) رجالن5/23.

7. Dalam bentuk muthannâ (laki-laki) رجليه

2/282, 16/76, 18/32, 28/15.

b. الىساء dalam arti:

1. Perempuan dewasa

4/7, 4/32, 4/1, 4/11, 4/176, 2/235, 48/25, 49/11 (2x), 3/42, 4/3, 4/7, 4/32, 4/75, 4/98, 7/81, 24/31 (2x), 24/31, 24/60,

Gambar I

No Istilah yang digunakan Nomor surat dan ayat

27/55, 4/15, 33/55.

2. Isteri 2/222 (2x), 2/223, 5/6, 65/1, 4/22, 4/24, 4/34, 4/127 (2x), 4/129, 2/187, 2/226, 2/231 (3x), 33/59, 2/187, 4/23, 3/61, 58/283, 2/236, 4/15, 4/23 (2x), 33/30, 33/20, 33/52, 3/61 (2x), 65/4, 58/2, 58/3, 2/232, 2/236, 4/4, 4/15, 4/43, 4/24, 4/22, 35/52, 4/22, 58/2-3.

3. Isteri nabi 33/30, 33/32.

4. Anak perempuan masih kecil

7/141, 14/6, 7/127, 28/4, 40/25.

(<al-dhakar dan al-untha) الذكز و األوثى 2

a. الذكز (jenis kelamin laki-laki) 4/11, 4/176, 4/124.

b. األوثى (jenis kelamin perempuan)

35/11, 16/58.

(al-mar’ dan al-mar’ah) المزء والمزأة 3

a. المزء (untuk manusia dewasa) 80/34, 52/21, 8/24.

b. المزأة (isteri) 66/10, 66/11, 28/9, 3/35.

iKata al-rijâl dan semua bentuk derivasinya, terulang sebanyak

55 kali. Lihat: Husain Muhammad Fahmî al-Shafi‘î, al-Dalîl al-Mufahras

Page 125: Buku Jurnal 7.1.pdf

Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _121

Identitas gender dengan menggunakan istilah-istilah yang menunjuk kepada laki-laki dan perempuan

Untuk identitas gender yang pertama, kata yang digunakan al-Qur’an untuk menunjukan keberpasangan bagi laki-laki dan perempuan adalah kata الرجال و النساء

22

22

(al-rijâl dan al-nisâ’). Contoh dari ayat yang digunakan al-Qur’an dengan kedua kata ini adalah Q.S. al-Baqarah [2]: 282. Kata min rijâlikum pada ayat ini, menurut Nasaruddin Umar lebih ditekankan pada aspek gender laki-laki (maskulin), bukan kepada aspek biologisnya sebagai manusia yang berjenis kelamin laki-laki. Buktinya, tidak semua yang berjenis kelamin laki-laki mempunyai kualitas persaksian yang sama. Anak laki-laki di bawah umur, laki-laki hamba sahaya dan laki-laki yang tidak normal akalnya tidak termasuk di dalam kualifikasi yang dimaksud dalam ayat tersebut di atas, karena laki-laki tersebut tidak memenuhi syarat sebagai saksi hukum Islam.

Ayat ini bisa dimengerti, mengingat masyarakat Arab ketika ayat ini turun, perempuan tidak pernah diberikan kesempatan untuk menjadi saksi, karena dianggap tidak representatif. Mengenai perbandingan persaksian, seorang laki-laki sebanding dengan dua orang perempuan, menurut Muhammad ‘Abduh adalah dapat dimaklumi, karena tugas dan fungsi perempuan ketika itu hanya disibukkan dengan urusan kerumahtanggaan, sementara laki-laki bertugas untuk urusan sosial ekonomi di luar rumah.21

Selain ayat di atas, ayat yang sangat menarik untuk mendeskripsikan tentang ekologi manusia adalah ayat yang berbunyi:

الرجال و النساء

22

22

Page 126: Buku Jurnal 7.1.pdf

122_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Meskipun dalam kajian gender ayat di atas sering dijadikan perdebatan dalam hal penentuan asal-usul substansi manusia,23 namun stressing kalimat yang ingin penulis ungkapkan melalui ayat ini adalah, ajaran universal yang terdapat pada kalimat yang berarti, “jagalah hubungan silaturahim”. Perintah untuk menjalin networking antar manusia ini meniscayakan hubungan intiminasi yang harmonis dan koperatif, sehingga akan terjalin aliansi demi persatuan seluruh umat manusia di dunia.24

Menurut Nasaruddin Umar, silaturahmi yang dicontohkan Rasulullah tidak dipilah dan dibedakan oleh atribut-atribut primordial manusia, seperti agama, ras, etnik, suku-bangsa, Negara, warna kulit, jenis kelamin, bahasa dan lain sebagainya. Selain itu, Al-Qur’an telah menegaskan: “Dan sesungguhnya, Kami telah memuliakan anak cucu Adam” (Q.S. al-Isrâ’ [17]: 70). Dalam ayat ini, Tuhan tidak menggunakan redaksi “Allah hanya memuliakan orang-orang Islam.”25

Untuk identitas gender pada jenis yang kedua, yaitu kata

الذكر و األنثى

ذكر

الذكر

الذكر

األنثى الذكر

28

28

(al-dhakar dan unthâ). Dalam Lisân al-‘Arab, kata

الذكر و األنثى

ذكر

الذكر

الذكر

األنثى الذكر

28

28

berasal dari kata

الذكر و األنثى

ذكر

الذكر

الذكر

األنثى الذكر

28

28

yang secara harfiah berarti “mengisi, menuangkan”.26 Dalam kamus kontemporer Arab Indonesia, kata

الذكر و األنثى

ذكر

الذكر

الذكر

األنثى الذكر

28

28

memiliki arti “laki-laki”atau “jantan”.27 Dari sini dapat dipahami bahwa, penggunaan kata

الذكر و األنثى

ذكر

الذكر

الذكر

األنثى الذكر

28

28

dan

الذكر و األنثى

ذكر

الذكر

الذكر

األنثى الذكر

28

28

di dalam al-Qur’an untuk menunjuk identitas manusia dari segi biologisnya, laki-laki dan perempuan.

Dalam al-Qur’an, Allah mengisyaratkan tentang motivasi berbuat yang terbaik bagi masing-masing individu seorang mu’min, yang akan memberikan manfaat bagi dirinya sendiri dengan kehidupan yang baik di dunia. Allah mengisyaratkan hal ini dalam al-Qur’an:

الذكر و األنثى

ذكر

الذكر

الذكر

األنثى الذكر

28

28

Page 127: Buku Jurnal 7.1.pdf

Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _123

Dalam konteks kehidupan sosial, menurut Nasaruddin Umar, ayat di atas mengisyaratkan konsep kesetaraan gender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun urusan karier profesional, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama meraih prestasi optimal. Meskipun kenyataan dalam masyarakat konsep ideal ini masih membutuhkan proses dan sosialisai.29

Menurut Muhammad Quraish Shihab, ayat ini merupakan salah satu ayat yang menekankan persamaan antara pria dan wanita. Sebenarnya kata man/siapa pada awal ayat ini sudah dapat menunjuk kepada kedua jenis kelamin–lelaki dan perempuan- tetapi guna penekanan dimaksud, sengaja ayat ini menyebut secara tegas kalimat –baik laki-laki maupun perempuan. Ayat ini juga menunjukkan betapa kaum perempuan juga dituntut agar terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, baik untuk diri dan keluarganya, maupun untuk masyarakat dan bangsanya, bahkan kemanusiaan seluruhnya.30

Salah satu contoh perbuatan baik yang diungkapkan dalam al-Qur’an dan hadis Nabi, adalah upaya konservasi lingkungan sebagaimana diungkapkan dalam bab II. Islam memandang perbuatan baik yang dilakukan seorang yang beriman, juga merupakan manifestasi dari bentuk ibadahnya kepada Sang Maha Pencipta.

Untuk identitas gender jenis yang ketiga, yaitu kata

املرء واملرأة مرأ املرء املرأة

الذكر و األنثى

زوجة امرأة امرأة

2 اتبعهم

(al-mar’ dan al-mar’ah). Kata

املرء واملرأة مرأ املرء املرأة

الذكر و األنثى

زوجة امرأة امرأة

2 اتبعهم

berasal dari kata

املرء واملرأة مرأ املرء املرأة

الذكر و األنثى

زوجة امرأة امرأة

2 اتبعهم

berarti “baik, bermanfaat”. Dari kata ini lahir kata

املرء واملرأة مرأ املرء املرأة

الذكر و األنثى

زوجة امرأة امرأة

2 اتبعهم

yang berarti laki-laki dan

املرء واملرأة مرأ املرء املرأة

الذكر و األنثى

زوجة امرأة امرأة

2 اتبعهم

yang berarti perempuan. Menurut Nasaruddin Umar, kata

املرء واملرأة مرأ املرء املرأة

الذكر و األنثى

زوجة امرأة امرأة

2 اتبعهم

digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan seseorang yang sudah dewasa, yang sudah memiliki kecakapan bertindak. Berbeda dengan kata

الذكر و األنثى

ذكر

الذكر

الذكر

األنثى الذكر

28

28

yang hanya menunjukkan jenis kelamin secara biologis, tanpa dikaitkan faktor kedewasaan dan kematangan yang bersangkutan. Itulah sebabnya, kata imra’ah yang terulang sebanyak 13 kali ini selalu diartikan dengan isteri.31

Page 128: Buku Jurnal 7.1.pdf

124_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Menariknya, al-Qur’an menggunakan kata

املرء واملرأة مرأ املرء املرأة

الذكر و األنثى

زوجة امرأة امرأة

2 اتبعهم

yang memiliki indikasi ketidak seimbangan antara seorang perempuan dengan pasangan hidupnya, misalnya dalam segi keimanan. Contoh mengenai hal ini dapat dilihat dalam Q.S. al-Qashash [28]: 9. Al-Qur’an menggunakan kata

املرء واملرأة مرأ املرء املرأة

الذكر و األنثى

زوجة امرأة امرأة

2 اتبعهم

untuk menunjuk isteri Fir’aun, bukan kata zawjah/

املرء واملرأة مرأ املرء املرأة

الذكر و األنثى

زوجة امرأة امرأة

2 اتبعهم

. Isteri Fir’aun yang salihah di dalam al-Qur’an disebutkan al-Qur’an dengan menggunakan kata

املرء واملرأة مرأ املرء املرأة

الذكر و األنثى

زوجة امرأة امرأة

2 اتبعهم

, ini karena sang suami yaitu Fir’aun tidak memiliki kesepadanan dalam hal keimanan. Kata zawj/ زوج

digunakan al-Qur’an bagi pasangan suami isteri yang memiliki kesamaan dan keserasian, misalnya bisa dilihat dalam Q.S. al-Ahzâb [33]: 37.

Selanjutnya, terdapat contoh penggunaan kata

املرء واملرأة مرأ املرء املرأة

الذكر و األنثى

زوجة امرأة امرأة

2 اتبعهم

dalam al-Qur’an yang menjelaskan tentang interaksi harmonis yang menyangkut hubungan antara orang tua dan anaknya dapat dilihat pada ayat yang berbunyi:

32

32Artinya: Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. (QS.

al-Thûr/52: 21).

Isyarat al-Qur’an tentang interaksi harmonis antar manusia dalam ayat di atas begitu kental. Hubungan harmonis yang tercipta antara orangtua dan anak, akan mengantarkan kebahagiaan hakiki bagi sang orang tua, ketika kelak di akhirat sang anak akan mengikuti kedua orang tuanya tinggal bersama dalam surga yang penuh kenikmatan.

Dalam kajian bahasa menurut Thabâthabâ’î ada perbedaan makna dari kata (اتبعهم

أحلقناهبم

بإميان ر ه ني

) ittaba’athum dengan (

اتبعهم

أحلقناهبم

بإميان ر ه ني

) alhaqnâ bihim. Kata yang pertama, menunjukkan adanya kesamaan antara yang mengikuti dan mengikuti dalam bidang keikutan tersebut, yakni keduanya beriman dengan obyek iman yang sama dan sah, sedang yang kedua yakni alhaqnâ mengandung makna keikutan tetapi yang mengikuti tidak mencapai apa yang dicapai oleh yang diikutinya. Thâhir Ibn ‘Ashûr berpendapat, bahwa

Page 129: Buku Jurnal 7.1.pdf

Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _125

kata alhaqnâ sengaja digunakan karena kata ini dapat mengandung isyarat kesegeraan atau keterlambatan, berbeda dengan kata Kami masukkan atau Kami jadikan mereka bersama. Ini boleh jadi mengisyaratkan bahwa ketergabungan anak cucu atau orang tua itu, baru terjadi setelah mereka mengalami sangsi Ilahi atas kesalahan-kesalahan yang pernah mereka lakukan.

Dari ayat ini dapat dipahami, al-Qur’an mengajarkan pola interaksi antar manusia harus dapat terjalin seharmonis mungkin. Dalam konteks keluarga, orang tua berkewajiban untuk memberikan pendidikan keagamaan dan ilmu pengetahuan secara umum agar dapat menghantarkan anaknya memiliki pengetahuan yang mumpuni. Hal ini agar anak-anak secara otomatis dinilai beriman dan mengikuti iman orang tuanya. Penunjukan kata (

اتبعهم

أحلقناهبم

بإميان ر ه ني

) bi îmân pada ayat di atas menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah anak keturunan yang telah dewasa dan yang telah memikul taklîf atau beban.33

Akhir kalimat pada ayat ini, menyatakan tentang responbilitas masing-masing individu terhadap apa saja yang dikerjakannya selama di dunia. Sa’îd Hawâ menafsirkan kata (

اتبعهم

أحلقناهبم

بإميان rahîn/terikat pada ayat ( ر ه ني

ini dalam arti seorang mu’min terikat dengan apa yang dikerjakannya dan akan mendapat ganjaran dari apa yang dikerjakannya. Sa’îd Hawâ juga mengutip pendapat Ibn Kathîr dalam menafsirkan ayat ini yang menyatakan bahwa, seseorang tidak akan dikenakan balasan akibat perbuatan orang lain, baik yang dilakukan oleh anaknya atau bapaknya.34

Dari penjelasan ayat di atas juga dapat dipahami bahwa, melalui bimbingan orang tua mengenai iman dan pendidikan secara umum, akan menciptakan generasi yang unggul yang memiliki kecerdasan paripurna, seperti kecerdasan emosi (emotional quotient), kecerdasan intelegen (intelligent quotient), kecerdasan spiritual (spiritual quotient), kecerdasan sosial (social quotient), dan kecerdasan dalam menghadapi permasalahan kehidupan (adversity quotient). Pada akhirnya, akan menciptakan generasi yang skillfull, menjadi sosok manusia berguna dan memiliki responbilitas dalam interaksi vertikal dan horizontalnya.

Page 130: Buku Jurnal 7.1.pdf

126_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Namun demikian, keterikatan individu atau responbilitas individu terhadap apa saja yang dikerjakannya selama di dunia, tentu bukan hanya kepada sesama manusia akan tetapi juga terhadap lingkungan. Peran orang tua sebagai orang tua biologis dan peran guru sebagai orang tua akademis sangat dibutuhkan untuk mampu mendidik anak-anak mereka menjadi anak yang memiliki kecerdasan paripurna, sekaligus juga sebagai konservator alam demi mengembalikan keasrian lingkungan yang telah banyak mengalami kerusakan. Anak-anak yang mampu berinterkasi harmonis dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dengan lingkungan dan tentunya kepada Sang Maha Pencipta.

b. Identitas gender dengan menggunakan istilah gelar status yang berhubungan dengan jenis kelamin, yaitu dengan menggunakan kata زوج (zawj) dalam arti pasangan secara biologis. 35

No Kata pasangan zawj (زوج)

untuk manusia Nomor Surat dan

Ayat 1 Kata zawj dalam bentuk

mufrad zawj (زوج)

a. Pasangan hidup di dunia (isteri)

4/20, 33/37 (2X), 21/90, 2/102.

b. Pasangan hidup di dunia (suami)

2/230, 58/1.

c. Pasangan Adam di surga (Hawa)

2/35, 20/117, 7/19.

1 a. Pasangan dari jenis yang sama 4/1, 7/189, 39/6

2 Pasangan dalam bentuk muthanna zawjaini (زوجني) untuk

umum

51/49.

Pasangan dalam bentuk muthanna (zawjaini) untuk laki-laki dan perempuan

53/45, 75/39.

Page 131: Buku Jurnal 7.1.pdf

Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _127

No Kata pasangan zawj (زوج)

untuk manusia Nomor Surat dan

Ayat 3 Kata zawj dalam bentuk jama’

azwâj (أزواج):

a. Pasangan secara umum: manusia dan apa yang ada di dalam bumi serta berbagai jenis pasangan yang tidak diketahui oleh manusia.

36/36.

b. Pasangan di dalam surga (isteri)

2/25, 3/15, 4/57, 43/70, 36/56, 13/23, 40/8.

c. Pasangan dalam arti umum 43/12. d. Pasangan dalam hidup di

dunia (isteri) 33/37, 39/6 (2X), 2/234, 2/240 (2X), 13/38, 16/72, 30/21, 66/5 (2X), 33/50 (2X), 33/28, 33/59, 66/1, 4/12, 9/24, 33/4, 16/72, 22/166, 60/16 (2X), 64/14, 6/139, 25/74, 33/6, 33/5, 66/3, 24/6, 23/6, 70/30, 2/232.

e. Pasangan dalam arti laki-laki dan perempuan

35/11, 42/11, 78/8.

f. Dalam arti teman sejawat 37/22. g. Dalam arti golongan 15/88, 20/131, 56/17

Gambar II

Identitas gender dalam arti pasangan secara biologis

Page 132: Buku Jurnal 7.1.pdf

128_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Di antara contoh kata zawj dalam arti pasangan bagi laki-laki dan perempuan, dinyatakan dalam ayat yang berbunyi:

36

Mufasir klasik yang terkenal dengan tafsir bi al-ma’thûrnya yaitu imam al-Thabarî, menafsirkan ayat di atas dengan diciptakannya secara berpasangan antara laki-laki dan perempuan, yang tinggi dan yang pendek, yang jelek dan yang bagus.37 Senada dengan Ibn Kathîr yang menafsirkan ayat di atas dengan diciptakannya secara berpasangan antara laki-laki dan perempuan, sehingga saling tertarik antara keduanya dan menghasilkan keturunan dari perkawinan keduanya, Ibnu Kathîr juga menafsirkan ayat di atas dengan Q.S. al-Rûm [30]: 20.38

Ada interaksi sosial yang ditekankan Ibnu Kathîr dalam penafsirannya tentang keberpasangan antara laki-laki dan perempuan, yang pada akhirnya menimbulkan ketertarikan antar keduanya dan membuat keduanya memutuskan untuk hidup berdampingan, tenang dan bahagia sebagai pasangan suami isteri yang akan dapat menghasilkan keturunan.39

Sementara Abi Hayyân, menafsirkan kata azwâjan pada ayat di atas, dengan pasangan dalam bentuk yang bermacam-macam, seperti warna, bentuk dan bahasa. Abî Hayyân juga mengutip pendapat al-Zujjâj yang berpendapat sama dengan imam al-Thabarî dan Ibnu Kathîr tentang makna kata azwâjan di atas dengan pasangan antara laki-laki dan perempuan.40 Demikian dengan Ibn Qutaibah yang menafsirkan kata zawj dalam arti pasangan dalam berbagai macam bentuk, baik secara fisik maupun nonfisik.41

Menariknya ayat ini, karena memiliki munâsabah dengan ayat sebelumnya yang menjelaskan terlebih dahulu tentang keraguan orang-orang kafir terhadap hari kebangkitan. Allah memberikan pelajaran kepada manusia jika mereka meragukan tentang hari kiamat, dengan mengajarkan manusia untuk memperhatikan berbagai macam ciptaan

Page 133: Buku Jurnal 7.1.pdf

Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _129

Allah seperti bumi yang diciptakan sebagai hamparan agar manusia dapat dengan nyaman menjalani hidupnya, fungsi gunung sebagai penyeimbang bumi agar tidak oleng, serta berbagai fasilitas alam yang dapat dirasakan manusia ketika mereka hidup di dunia. Dari apa yang manusia perhatikan tentang keteraturan, ketelitian dan keindahan alam, manusia akan menyadari bahwa Tuhan tidak menciptakan apa yang ada di alam raya ini secara sia-sia.

Ada pola interaksi antara manusia dan alam raya yang Tuhan sampaikan dalam surat al-Naba’ ini, agar dari sini manusia menyadari dan mengimani tentang kebenaran firman Tuhan tentang hari akhir. Lewat pengenalan terhadap alam, manusia akan menyadari bahwa pentingnya mengetahui tentang keindahan dan kedasyatan isyarat ilmiah untuk menambah kualitas keimanan di hati seseorang tentang Adanya Sang Pencipta alam raya.42

D. Wawasan al-Quran tentang Keseimbangan Karakter Feminin dan Maskulin dalam Setiap Individu Manusia

Identifikasi karakter feminin dan maskulin bagi manusia dalam perspektif al-Qur’an pernah dilakukan oleh Sachiko Murata dengan menyatakan: karakter maskulin memiliki ciri has yang aktif dan melimpahkan, sedangkan karakter feminin memiliki ciri has pasif, menerima dan berserah diri. Menurut Murata kedua karakter ini ada dalam setiap individu manusia. Selanjutnya Murata menjelaskan, hirarki vertikal dalam diri manusia adalah, ruh, jiwa (nafs), akal dan raga. Ruh adalah cahaya keilahian yang harus diraih oleh setiap manusia. Murata menyatakan, jiwa yang “meyerahkan” dirinya pada yang “lebih rendah” (materi, dunia, sifat-sifat negatif dan sebagainya) adalah sifat “feminin yang negatif” (sifat yang menerima dan menyerah tidak mampu melawan yang rendah). Sedangkan jiwa yang “menyerahkan” dirinya pada yang “lebih tinggi”, yaitu akal, ruh dan Tuhan adalah “sifat feminin positif” (menyerah hanya pada yang lebih tinggi).

Page 134: Buku Jurnal 7.1.pdf

130_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Sebaliknya, jiwa yang “berkuasa”, mendominasi, meninggikan diri, mempertuhankan diri, adalah sifat “maskulin negatif”. Sementara jiwa yang ingin “mengalahkan nafsu amarah” dan ingin naik mencapai nafsu mutmainnah yang damai bersama Tuhan adalah sifat “maskulin positif”. Jiwa yang tenang dan damai bersama Tuhan ini adalah jiwa kesatria yang telah melebur dengan Ruh/Akal. Manusia ini telah menjadi ruh aktif (maskulin positif) yang dapat mengontrol dan menguasai jiwa dan raga agar selaras dengan cahaya Ruh dan Akal.43

Dari penjelasan Murata di atas dapat dipahami bahwa, bagi jiwa (nafs), baik buruk nilainya tergantung pada pilihan sisi/nilai positif atau negatif dari karakter maskulin dan feminin yang dipilih manusia untuk merepresentasikan jiwa atau karakternya.

Jiwa yang mengalah pada yang lebih rendah/nafsu, maka dikategorikan sebagai jiwa yang berkarakter feminin negatif. Sedang jiwa yang mengalah pada yang lebih tinggi yaitu akal ruh dan Tuhan, maka dikategorikan dalam karakter feminin positif. Sebaliknya, jiwa yang dominatif dan menuhankan diri, dikategorikan dalam maskulin negatif. Sedang jiwa yang mengalahkan nafsu amarah/amarah bi al-sû’, dikategorikan pada maskulin positif.

Untuk lebih menyederhanakan tentang karakter manusia yang memiliki nilai/sisi positif dan negatif dalam penelitian ini, penulis cenderung menggunakan istilah yang digunakan oleh Iman Ghazali dalam membagi dua jenis akhlak/karakter, yaitu: kepada karakter yang baik (husn al-khulq) dan karakter yang buruk (sû’ al-khulq) sebagaimana diungkap di depan.

Namun sesuai dengan isyarat yang juga ditangkap dari al-Qur’an mengenai dua jenis karakter manusia pada Q.S. al-Shams [91]: 7-8 yang menggunakan kalimat “fujûrahâ wa taqwâhâ” atau karakter yang buruk dan baik, maka pembagian dua jenis karakter dalam Disertasi ini juga di bagi menjadi dua, yaitu: “al-nafsu al-fujûriyyah” / karakter yang buruk dan “al-nafsu al-taqwa’iyyah”/karakter yang baik. Isyarat ini diambil dari

Page 135: Buku Jurnal 7.1.pdf

Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _131

ayat yang berbunyi:

44

Hamka menafsirkan kata “fujûrahâ wa taqwâhâ” pada ayat di atas, dengan kepribadian/karakter manusia yang buruk dan yang baik.45 Dari penjelasan Hamka ini, dapat dipahami bahwa manusia memiliki sifat yang baik dan buruk atau sifat yang memiliki nilai positif dan negatif. Diungkapkannya redaksi ayat di atas dalam bentuk umum, dapat dipahami pula bahwa sifat baik dan buruk, bisa dimiliki oleh laki-laki dan perempuan secara umum.

Selanjutnya, perlu dipetakan tentang pembagian karakter maskulin dan feminin dalam diri manusia, kedua karakter ini sebagaimana isyarat ayat di atas, sama-sama memiliki nilai positif dan negatif.

Karakter maskulin bagi manusia adalah karakter yang berhubungan dengan sifat kemuliaan. Karakter maskulin yang positif adalah karakter yang bijaksana dan kesatria atau jiwa/karakter yang dapat mengalahkan nafsu amarah. Oleh sebab itu, karakter maskulin adalah karakter yang juga berhubungan dengan logika. Dengan demikian, berbagai karakter yang berhubungan dengan karakter yang aktif, independen, obyektif, responsif, progresif dan visioner masuk dalam kategori karakter maskulin. Sedang karakter maskulin negatif adalah karakter manusia yang dominatif dan menuhankan diri. Maka berbagai karakter yang berhubungan dengan karakter manusia yang arogan, masuk dalam ketegori maskulin negatif.

Untuk karakter feminin, adalah karakter berhubungan dengan sifat keindahan. Jika di atas telah dikatakan bahwa karakter feminin yang positif adalah karakter yang mengalah pada yang lebih tinggi yaitu akal dan ruh, artinya karakter ini adalah karakter yang berhubungan dan berdasarkan pertimbangan hati (intuisi/emosi). Oleh sebab itu berbagai karakter manusia yang berhubungan dengan perasaan kasih sayang, submisif, keteraturan dan kreatifitas masuk dalam kategori karakter

Page 136: Buku Jurnal 7.1.pdf

132_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

feminin positif.46 Karakter feminin yang negatif adalah karakter yang mengalah pada yang lebih rendah, yaitu hawa nafsu. Maka berbagai karakter yang mengalah pada emosi negatif seperti subyektif dan pasif masuk dalam kategori feminin negatif.

Selanjutnya, berikut analisa penulis mengenai isyarat ekualitas antara karakter feminin dan maskulin yang memiliki sisi/nilai positif dan negatif dalam setiap individu manusia:

feminin positif.46 Karakter feminin yang negatif adalah karakter yang mengalah pada yang lebih rendah, yaitu hawa nafsu. Maka berbagai karakter yang mengalah pada emosi negatif seperti subyektif dan pasif masuk dalam kategori feminin negatif.

Selanjutnya, berikut analisa penulis mengenai isyarat ekualitas antara karakter feminin dan maskulin yang memiliki sisi/nilai positif dan negatif dalam setiap individu manusia:

No Kriteri sifat Nomor surat dan ayat

1 Identitas gender dengan kata sifat yang disandarkan kepada bentuk mudhakkar dan mu’annath.

a. Mudhakkar positif:

.3/64 ,3/102 ,3/52 ,2/132 ,33/35 مسلمون .1

.4/126 ,3/122 ,3/28 ,2/285 ,9/72 مؤمنون .2

.21/105 ,7/168 صالحون .3

16/22.47 ,33/35 قانتين .4

.33/35 صادقين .5

.33/35 صابرين .6

.33/35 خاشعين .7

b. Mu’annath positif:

.66/5 ,33/35 ,66/5 مسلمات .1

.33/49 ,24/23 ,9/72 ,5/5 ,4/25 مؤمنات .2

.4/34 صالحات .3

.33/35 قنتات .4

.33/35 صادقت .5

Page 137: Buku Jurnal 7.1.pdf

Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _133

No Kriteri sifat Nomor surat dan ayat

.33/35 صابرات .6

.33/35 خاشعات .7

2 Identitas gender dengan karakter feminin dan maskulin positif

A. Karakter maskulin positif

1. Konsisten 8/45. 2. Mendunia 17/70, 49/13. 3. Kompetitif 18/30. 4. Aktif (mujâhidîn) 4/95, 47/31. 5. Obyektif a. muqsithîn (orang-orang

yang adil) 5/42, 49/9, 60/8.

b. shâdiqûn (orang-orang yang benar)

49/15, 14/17.

6. Logis (ya’qilûn) 2/164, 13/4, 16/12, 29/35. 7. Independen 8/53. 8. Petualang (intasyara) 62/9. 9. Komunikatif 3/159. 10. Keseimbangan rasio dan

rasa 49/9-10.

11. Kemampuan memimpin 27/23.48 12. Lebih merdeka

(yantashirûn/membela diri) 42/39.

13. Lebih bebas bicara 55/3-4. 14. Visioner 3/104. 15. Responsif 3/114. 16. Progressif 17/36. 17. Produktif 16/97.

Page 138: Buku Jurnal 7.1.pdf

134_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

No Kriteri sifat Nomor surat dan ayat

B. Karakter feminin positif

1. Taat/Submisif 8/46, 2/21, 1/5. 2. Sabar 8/66. 3. Empati 33/29. 4. Pemurah 57/18. 5. Tawakal 12/67, 14/12, 39/38, 3/159. 6. Taqwa (rasa takut) 2/177, 8/34, 13/35, 25/15, 39/33,

47/15. 7. Senang memberi 2/3. 8. Ikhlas 12/24, 15/40, 37/40, 37/74. 9. Memohon ampun 51/18. 10. Bersyukur 86/3. 11. Menerima saran/bijak 2/206. 12. Pemaaf 3/159. 13. Egaliter 49/13. 14. Kreatif 13/11. 15. Tenang 33/35, 66/5, 89/27. 16. Koperatif 3/103.

3 Identitas gender dengan karakter feminin dan maskulin negatif

A. Karakter maskulin negatif

1. Arogan (mutakabbirîn) 16/69, 39/60, 39/72, 40/76. 2. Aktif dominatif

(merusak/mufsidîn) 2/12, 2/60, 7/74, 11/85, 26/183, 38/28.

3. Eksploitatif 42/2. 4. Arogan/sombong 17/83, 17/37. 5. Senang membantah 18/54. 6. Dominatif 96/6-7.

Page 139: Buku Jurnal 7.1.pdf

Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _135

No Kriteri sifat Nomor surat dan ayat

7. Matrealistis (world oriented) 100/8. 8. Eksessif dalam

membangkang 75/5.

9. Ambisius 22/51, 2/217. 10. Boros 17/26-27. B. Karakter feminin negatif

1. Subyektif a. Mukhsirîn (tidak jujur

dalam takaran) 26/181.

b. Tajassus (mencari-cari kesalahan orag lain)

49/12.

2. Sensitif/egois (yaskhatûn) 9/58.49 3. Reseptif (yang pasif) 2/60. 4. Lemah 4/28. 5. Berkeluh kesah 70/19-20. 6. Sulit mengatasi persoalan 10/19, 19/37. 7. Mudah goyah dalam krisis 10/12. 8. Sulit menyembunyikan

emosi (sedih) 9/40, 15/88, 29/33.

9. Lebih mudah menangis 19/23-24. 10. Kurang independen 103/3.

Gambar III

Tabel Klasifikasi Identitas Gender dalam Ekologi Manusia Dengan Keseimbangan Karakter Feminin dan Maskulin dalam setiap

Individu

Page 140: Buku Jurnal 7.1.pdf

136_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Sejumlah ayat yang disertakan dalam tabel di atas, menjelaskan tentang karakter feminin dan maskulin yang positif dan negatif secara umum dalam individu manusia, tanpa membedakan perbedaan biologis. Dari sini dapat dipahami tentang keseimbangan karakter feminin dan maskulin dalam diri manusia, termasuk karakter positif dan negatifnya. Berikut pembahasan mengenai keseimbangan karakter feminin dalam diri manusia:

50

Menurut Thabâthabâ’î, ayat di atas menjelaskan tentang pandangan ajaran agama Islam yang tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dengan kemuliaan yang diberikan agama kepada keduanya. Selain ayat di atas, menurut Thabâthabâ’î isyarat tentang kesetaraan keduanya terlukis jelas dalam ayat lain seperti Q.S. al- Hujurât [49]: 13 dan Âli ‘Imrân [3]: 195.

Dalam ayat ini, baik laki-laki dan perempuan digambarkan dapat menjadi sosok seorang muslim,51 mu’min,52 yang taat,53 benar,54 sabar,55 khusu’,56 memberi bersedekah,57 berpuasa,58 memelihara kehormatannya,59 serta senantiasa mengingat Allah dalam seluruh aktifitas keduanya.60 Oleh sebab itu, keduanya berhak untuk mendapatkan ganjaran berupa ampunan dan pahala dari Allah SWT.

Page 141: Buku Jurnal 7.1.pdf

Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _137

Penyebutan secara bersamaan dari kedua jenis manusia, laki-laki dan perempuan pada ayat di atas, menjelaskan tentang hubungan harmonis manusia kepada Tuhan, kemudian kepada sesama saudara mereka yaitu manusia. Ayat ini menjelaskan bahwa, tanpa ada perbedaan manusia memiliki potensi dan kesempatan yang sama dalam melaksanakan ajaran agama. Ketaatan manusia kepada ajaran agama ini adalah salah satu presentasi dari karakter feminin positif. Sedangkan aksi nyata dalam bentuk pengejewantahan ajaran-ajaran yang tertuang dalam kitab suci dan hadis Nabi adalah karakter maskulin yang positif.

Selanjutnya, berikut contoh penafsiran ayat yang mendeskripsikan tentang karakter maskulin negatif yaitu karakter manusia yang dominatif dan cenderung berbuat kerusakan.

61

Perbuatan tangan manusia yang mengakibatkan kerusakan dalam ayat di atas, adalah sebagai bentuk aktifitas merusak (maskulin negatif) yang dijelaskan dalam bentuk umum bagi manusia. Oleh sebab itu, dari sini dipahami bahwa kedua jenis manusia memiliki potensi yang sama dalam berbuat kerusakan. Ayat ini secara eksplisit menolak anggapan ekofeminis tentang kerusakan lingkungan yang memiliki korelasi dengan sikap dominatif dan eksploitatif yang dititikberatkan hanya kepada laki-laki. Demikian dengan temuan dari IPCC yang menjelaskan tentang faktor penyebab kerusakan lingkungan yang disebabkan gaya hidup manusia modern:

Page 142: Buku Jurnal 7.1.pdf

138_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Gambar IVPresentasi Beberapa Faktor Penyebab Kerusakan Alam62

Jika diamati dari gambaran di atas, seluruh elemen manusia ternyata memiliki andil dalam mempercepat laju kerusakan lingkungan. Namun perlu disadari, bahwa maksud Allah mendatangkan bencana bagi manusia setelah perbuatan manusia yang merusak tatanan alami ekosistem alam adalah untuk membuat manusia agar kembali kepada ajaran Allah dan melakukan perbuatan yang benar sesuai dengan ajaran agama.63

Demikian sekilas penjabaran mengenai wawasan gender dalam ekologi alam dan manusia dalam perspektif al-Quran. Untuk lebih mempermudah memahami pembahasan, khususnya dalam klasifikasi karakter karakter feminin dan maskulin manusia yang memiliki nilai positif dan negatif dalam perspektif al-Qur’an, dapat dilihat dalam tabel berikut:

Page 143: Buku Jurnal 7.1.pdf

Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _139

INDIVIDU MANUSIA (RUH, AKAL, HATI, DAN JASAD)

KARAKTER MASKULIN (Karakter yang berhubungan dengan pertimbangan akal)

KARAKTER FEMININ (Karakter yang berhubungan dengan pertimbangan hati)

NEGATIF (Dominan)

POSITIF (Menjalani fungsi

dengan bijak

NEGATIF (mengalah kepada

yang lebih rendah/nafsu)

POSITIF (Taat kepada yang lebih tinggi/akal

dan ruh

al-nafsu al-fuju>riyyah

(bad individual)

al-nafs al-taqwa’iyyah

(good individual)

al-nafsu al-fuju>riyyah

(bad individual)

al-nafs al-taqwa’iyyah (good

individual)

Sifat kama>liyah/insa>n al-ka>mil (perfect human)

Gambar VKeseimbangan Karakter Feminin dan Maskulin dalam Diri

Manusia

Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa, masing-masing individu manusia memiliki keseimbangan karakter feminin dan maskulin dalam dirinya. Dengan memilih mengoptimalkan kedua karakter feminin dan maskulin yang positif dalam dirinya, manusia dapat menjadi sosok pribadi yang sempurna agar dapat mengoptimalisasikan fungsinya sebagai khalîfah fî al-ardh.

Page 144: Buku Jurnal 7.1.pdf

140_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

E. Kesimpulan

Dalam ekologi alam terdapat deskripsi al-Quran tentang keseimbangan karakter feminin dan maskulin dalam setiap entitas makhluk. Hanya saja, alam raya keseluruhannya patuh pada ketentuan dari Allah SWT. Ini dapat menjadi pelajaran bagi manusia untuk dapat menyeimbangkan karakter feminin dan maskulin dalam dirinya yang memiliki nilai positif, agar manusia dapat memiliki karakter insan al-kamil (the perfect human).

Sterotip karakter laki-laki dan perempuan seharusnya tidak lagi menjadi penyebab bagi manusia untuk saling menyalahkan dan merasa lebih dominan dalam berbagai pola interaksi sosialnya termasuk dalam upaya konservasi lingkungan. Senyatanya, manusia diciptakan berpasangan sebagaimana segala makhluk yang ada di alam raya ini untuk saling koperatif dan komplementer. Tanpa kesatuan umat manusia, upaya konservasi lingkungan hanya nol belaka.

Page 145: Buku Jurnal 7.1.pdf

Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _141

Referensi

Abû Zaid, Nasr Hamid. Dawâ’ir al-Khauf, Qirâ’ah fî Khithâb al-Mar’ah, Beirût: al-Markaz al-Saqâfî al-‘Arabî, 2000, cet. II.

Abî Hayyân al-Andâlusî al-Ghornâtî, Muhammad Ibn Yûsuf. al-Bahr al-Muhîth fî al-Tafsîr, Beirût: Dâr al-Fikr, 11412 H/1992 M.

Ahmad, Laila. Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern Debate, London: Yale University Press, 1992.

Amar, Nawal. “Nature, Women and Religion,” dalam sebuah seminar di Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada (UGM), Jogjakarta, dapat dilihat dalam: http://www.crcs.ugm.ac.id/news _ind.php?news_id=7. Diakses pada tanggal 3 Mei 2009.

Amrullah, Abdul Malik Abdul Karim. Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2000.

Armstrong, Luanne. The great cosmic metaphor: Thinking about the “Earth our mother”, Waterloo: Alternatives (Apr 1995): Vol. 21, Iss. 2; 32.

Fakhr al-Dîn, Muhammad al-Râzî. Tafsîr Fakhr al-Râzî al-Mushtahr bi al-Tafsiîr al-Kabîr wa Mafâtîh al-Ghaib, Beirût: Dâr al-Fikr, 1415 H/1995 M.

Febriani, Nur Arfiyah. Ekologi Berwawasan Gender dalam Perspektif al-Quran, Jakarta: YPM, 2011.

Firman, Andi. “Menanggapi Musibah dengan Positif”, diakses 25 Mei 2011, dari: www.alifmagz.com/menanggapi-musibah-dengan positif/.

Fox, Bonnie. Family Pattern, Gender Relation, New York: Oxford University Press, 1993.

Page 146: Buku Jurnal 7.1.pdf

142_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Ghorayshi, Parvin dan Clay Belanger. Woman, Work and Gender Relations in Developing Countries, a Global Perspective, USA: Greenwood Press, 1996.

Hasan, ‘Abd al-Hâdî. Himaâyah al-Bî’ah al-Tulûth bi al-Mubayyidât al-Kîmâwiyyah wa Afdhal al-Hulûl, Sûriyah: Dâr ‘Alâ’ al-Dîn, 2003, cet. III.

http://www.ipcc.ch/pdf/ assessment-report/ar4/syr/ar4_syr_spm.pdf. Diakses pada Minggu, 16 Oktober 2011.

http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/anthropocentric di akses pada tanggal 6 maret 2014.

Ibn ‘Arabî, Muhyi al-Dîn Ibn ‘Alî Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn ‘Abdullah al-Thâ’î, al-Hâtimî. Futûhât al-Makkiyyah fî Ma‘rifah al-Asrâr al-Mâlikiyyah wa al-Mulkiyyah. Beirût: Dâr Ihyâ’ al-Turâth al-‘Arabî, t.th, cet. I.

Ibn Abî Hâtim, ‘Abd al-Rahman Ibn Muhammad Ibn Idrîs al-Râzî. Tafsîr Ibn Abî Hâtim, Makkah al-Mukarramah: Maktabah Nazâr Mushthafâ al-Bâz, 1419 H/1999.

Ibn Qutaibah, Abî Muhammad ‘Abd Allâh Ibn Muslim al-Dînawarî. Ta’wîl Mushkil al-Qur’ân, T.tp: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.th.

Ismâ’îl, Muhammad Bakr. Mu’minât lahunn ‘inda Allâh Sha’nun, Qâhirah: Dâr al-Manâr, 1422 H/2001 M, cet. I.

Jauharî, Thanthâwî. al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.

al-Jazâ’irî, Abî Bakar Jâbir. Aysar al-Tafâsîr li Kalâm al-‘Alî al-Kabîr, Madînah al-Munawwarah: Maktabah al-‘Ulûm wa al-Hikam, 1416 H/1995.

Kanafi, Imam. “Metafisika Sufi dan Relasi Jender (sebuah Studi atas Pemikiran Suhrawardi Syaikhul Isyraq)”, Disertasi di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,

Page 147: Buku Jurnal 7.1.pdf

Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _143

1429 H/2008 M.

Kartanegara, Mulyadi. Menyelami Lubuk Tasauf, Jakarta: Erlangga, 2006.

Kashânî, ‘Abd al-Razzâq. Ta’wîlât, Beirut: Dâr al-Yaqzhah al-Adabiyyah, 1968.

Marzûq, ‘Âdil al-Sayyid. Himâyah al-Bî’ah fî al-Islâm, al-Iskandariyyah: Munshi’ah al-Ma‘ârif, 2009 M.

McKibben, Bill. The End of Nature, New York: Random House, 1989, cet, II.

Megawangi, Ratna. dalam sekapur sirih buku karangan: Sachiko Murata, The Tao of Islam, Kitab Rujukan Tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, Bandung: Mizan, 1996, cet. I.

Merchant, Carolyn. The Death of Nature, Women, Ecology and the Scientific Revolution, San Francisco: Harper, 1980.

Miracle Way, “Revitalisasi Alam Sebagai Biofiltrasi Perubahan Iklim”, diakes 18 Mei 2011 dari: http://lifeisabook51.blogspot.com/2011/01/revitalisasi-alam-sebagai-biofiltrasi.html.

Murata, Sachiko. The Tao of Islam, A Sourcebook on Gender Relationships in Islamic Thought, Albany, N.Y, State: University of New York Press, 1992.

al-Najar, Zaghlûl. “al-Samâ’ Laisat Firâghan kamâ kâna Yu’taqad,” al-Mujâhid 22, no 253 (Jumâdî al-Ūlâ 1422 H/ Agustus 2001).

--------, “al-Tafsîr al-‘Ilmî li al-Qur’ân al-Karîm, ya‘nî: Tauzhîf Kull al-Ma‘ârif al-Mutâhah li al-Insân fî Husn Fahm Dilâlah al-Âyah al-Qur’âniyyah,” al-Wa‘ei al-Islam, 424 (Dhû al-Hijjah 1421 H/Februari 2001), 12-18.

--------,Man Ishâmât al-Hadhârah al-Islâmiyyah (al-Qâhirah: Nahdhah Mishr, 2010), cet. I.

Page 148: Buku Jurnal 7.1.pdf

144_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Partanto, Pius A dan M Dahlan al-Barry. Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Penerbit Arkola, 1994.

Ridhâ, Muhammad Rasyîd. Tafsîr al-Manâr, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999 M/1420 H.

al-Rûmî, Jalâl al-Dîn. Diwan al-Shams Tabrîzî, diedit oleh Furîzanfar menjadi: Kulliyâ Shams yâ Dîwan Kabîr, Teheran: Dânishghâh, 1346 H/1967 M.

--------. Masnawi, Beirût: Maktabah al-‘Ashriyyah, 1966.

Schimmel, Annemary. dalam kata pengantar buku Sachiko Murata, The Tao of Islam, Kitab Rujukan Tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, Bandung: Mizan, 1996, cet. I.

al-Shiddieqiy, Teungku Muhaammad Hasbi. Tafsir al-Qur’anul Majid, AN-NUR, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2000.

--------, Al-Bayan Tafsir Penjelas al-Qur’an al-Karim, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2002.

Shihab, Muhammad Quraish. Dia Ada Dimana-mana, “Tangan” Tuhan Dibalik Setiap Fenomena, Jakarta: Lentera Hati, 2005), cet. III.

--------. Tafsir al-Mishbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2005, cet. IV.

Stowasser, Barbara Freyer. Woman in The Quran, Traditions and Interpretations, New York: Oxford University Press, 1994.

Sudarsono. Menuju Kemapanan Lingkungan Hidup Regional Jawa, Jogyakarta: PPLHRJ, 2007.

al-Thabâthabâ’î, Muhammad Husain. al-Mîzân fî Tafsir al-Qur’ân, Teherân: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 1397 H.

Tucker, Mary Evelyn dan Jhon A, Grim. “Introduction: The Emerging Alliance World Religions and Ecology,” Daedalus (2001): vol. 130, Iss. 4, 1.

Page 149: Buku Jurnal 7.1.pdf

Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _145

Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2001, cet. II, 1.

Wadud, Amina. Quran and Woman Rereading the Sacred Text from a Womans Perspective, New York: Oxford University, 1999.

White Jr, Lynn. “The Historical Roots of Our Ecological Crisis, Science,” (March 1967): Vol. 155, 1203.

Zahirî, Kamil. Mi’ah Imra’ah wa Imra’ah, Qâhirah: Maktabah al-Usrah, 2002.

Page 150: Buku Jurnal 7.1.pdf

146_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Endnotes

1. Tulisan ini dielaborasi dari Disertasi Penulis dengan judul: Ekologi Berwawasan Gender dalam Perspektif al-Quran (Jakarta: YPM, 2011. Saat ini Disertasi penulis sedang dalam proses penerbitan ke-2 di Penerbit Mizan Bandung.

2. Mary Evelyn Tucker dan Jhon A, Grim, “Introduction: The Emerging Alliance World Religions and Ecology,” Daedalus (2001): vol. 130, Iss. 4, 1. Lihat juga: Bill McKibben, The End of Nature, New York: Random House, 1989, cet, II.

3. Sudarsono, Menuju Kemapanan Lingkungan Hidup Regional Jawa, Jogyakarta: PPLHRJ, 2007, h. 129.

4. Laporan IPCC pada tahun 2007 tentang beberapa faktor penyebab kerusakan lingkungan, adalah: penggundulan hutan sebanyak 17,4%, limbah sampah 2,8 %, penggunaan energi, 25%, pertanian, 13,5 %, industri 19,4%, bangunan rumah dan komersial, 7,9 %, dan transport sebanyak 13,1 %. Lihat: http://www.ipcc.ch/pdf/ assessment-report/ar4/syr/ar4_syr_spm.pdf. Diakses pada Minggu, 16 Oktober 2011. Jika dilihat dari presentasi faktor penyebab kerusakan lingkungan di atas dapat dipahami bahwa, manusia secara umum memiliki andil dalam laju kerusakan lingkungan. Sehingga ungkapan para tokoh ekofeminis secara fakta tidak dibenarkan.

5. Di antara makna antroposentris adalah: “Regarding humankind as the central or most important element of existence, especially as opposed to God or animals”. Lihat: http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/anthropocentric di akses pada tanggal 6 maret 2014. Lihat juga: Pius A Partanto dan M Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Penerbit Arkola, 1994, 38.

6. Nawal Amar, dalam sebuah seminar dengan judul “Nature, Women and Religion,” di Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada (UGM, Jogjakarta, dapat dilihat dalam: http://www.crcs.ugm.ac.id/news _ind.php?news_id=7.

Page 151: Buku Jurnal 7.1.pdf

Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _147

Diakses pada tanggal 3 Mei 2009. Lihat juga: Carolyn Merchant, The Death of Nature, Women, Ecology and the Scientific Revolution, San Francisco: Harper, 1980.

7. Di antara kajian tentang gender dalam konstruksi sosial, lihat: Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2001, cet. II, 1. Lihat juga: Parvin Ghorayshi dan Clay Belanger, Woman, Work and Gender Relations in Developing Countries, a Global Perspective, USA: Greenwood Press, 1996.

8. Laila Ahmad, Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern Debate, London: Yale University Press, 1992.

9. Bonnie Fox, Family Pattern, Gender Relation, New York: Oxford University Press, 1993.

10. Barbara Freyer Stowasser, Woman in The Quran, Traditions and Interpretations, New York: Oxford University Press, 1994.

11. Nasr Hamid Abû Zaid, Dawâ’ir al-Khauf, Qirâ’ah fî Khithâb al-Mar’ah, Beirût: al-Markaz al-Saqâfî al-‘Arabî, 2000, cet. II.

12. Kamil Zahirî Mi’ah Imra’ah wa Imra’ah, Qâhirah: Maktabah al-Usrah, 2002.

13. Lihat: Luanne Armstrong, The great cosmic metaphor: Thinking about the “Earth our mother”, Waterloo: Alternatives (Apr 1995): Vol. 21, Iss. 2; 32.

14. Cara pandang antroposentris terhadap alam, disinyalir membuat manusia melakukan apapun terhadap alam secara semena-mena. Memang di dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa alam diciptakan untuk dinikmati oleh manusia (QS. al-Hajj/22: 65), tetapi jangan lupa, sebagai khalifah manusia juga menerima amanah konservasi untuk menjaga kelestariannya dan dilarang berlebih-lebihan (QS. al-Rûm/30:44 dan Ibrâhîm/14: 32. Penjelasan lebih lanjut tentang ayat-ayat yang berhubungan dengan ekologi dapat dilihat dalam pembahasan pada bab II, III, IV dan V. Dalam kajian ekologi, saat ini data kerusakan lingkungan dalam tahap yang menghawatirkan. Lynn White Jr menyatakan, krisis lingkungan sangat tergantung cara pandang manusia tentang hubungannya dengan alam. Dalam hal ini diperlukan agama baru,

Page 152: Buku Jurnal 7.1.pdf

148_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

setidak-tidaknya penafsiran baru terhadap agama lama, untuk mengatasi krisis lingkungan, karena ternyata ilmu pengetahuan dan teknologi semata, tidak mampu membawa manusia keluar dari krisis ini. Lihat: Lynn White Jr, “The Historical Roots of Our Ecological Crisis, Science,” (March 1967): Vol. 155, 1203.

15. Koesnadi Harjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, 2.

16. Istilah ini penulis gunakan dalam membagi dua jenis karakter manusia sesuai dengan isyarat yang juga ditangkap dari al-Qur’an mengenai dua jenis karakter manusia pada QS. al-Shams/91: 7-8. Al-Qur’an menggunakan kalimat “fujûrahâ wa taqwâhâ” atau karakter yang buruk dan baik, maka pembagian dua jenis karakter dalam Disertasi ini juga di bagi menjadi dua, yaitu: “al-nafsu al-fujûriyyah” atau karakter yang buruk dan “al-nafsu al-taqwâ’iyyah” atau karakter yang baik.

17. Pemahaman terhadap keseimbangan karakter feminin dan maskulin dalam tiap individu ini, pada gilirannya akan merubah secara fundamental pola fikir manusia terhadap pola interaksinya baik kepada sesama manusia dan lingkungan sekitarnya.

18. Kata al-rijâl dan semua bentuk derivasinya, terulang sebanyak 55 kali. Lihat: Husain Muhammad Fahmî al-Shafi‘î, al-Dalîl al-Mufahras li Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm, 410-411. Sedang kata al-nisâ’ dan semua bentuk derivasinya, terulang sebanyak 57 kali di dalam al-Qur’an. Lihat: Husain Muhammad Fahmî al-Shafi‘î, al-Dalîl al-Mufahras li Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm, 856.

19. Kata al-dhakar dan semua bentuk derivasinya, terulang sebanyak 18 kali di dalam al-Qur’an. Lihat: Muhammad Fu’âd ‘Abd al-Bâqî, al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm, 275. Sedang kata al-unthâ dan semua bentuk derivasinya, terulang sebanyak 30 kali di dalam al-Qur’an. Lihat: Husain Muhammad Fahmî al-Shafi‘î, al-Dalîl al-Mufahras li Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm, 205.

Dalam naskah terjemahan bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia tidak dibedakan pengertian antara al-rajûl/ الرجل

الرجل

إمرأة/ النساء

وليس الذكر كاألنثى

dan dhakar/

الذكر و األنثى

ذكر

الذكر

الذكر

األنثى الذكر

28

28

. Keduanya

Page 153: Buku Jurnal 7.1.pdf

Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _149

diterjemahkan dengan “laki-laki”. Dalam beberapa hal, terjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris lebih baik dari pada bahasa Indonesia. Al-Qur’an terjemahan Abdullah Ibn Yusuf Ali diakui banyak pihak sebagai terjemahan yang bagus, dan karena itu dijadikan terjemahan resmi pemerintah Arab Saudi dengan sedikit penyesuaian. Abdullah Yusuf Ali Konsisten menerjemahkan kata

الرجل

الرجل

إمرأة/ النساء

وليس الذكر كاألنثى

dengan the man dan

الرجل

الرجل

إمرأة/ النساء

وليس الذكر كاألنثى

dengan the woman/the women. Sementara kata

الذكر و األنثى

ذكر

الذكر

الذكر

األنثى الذكر

28

28

diterjemahkan dengan the male dan

الذكر و األنثى

ذكر

الذكر

الذكر

األنثى الذكر

28

28

dengan the female. Contoh dalam QS. Âli ‘Imrân/3: 36 yang berbuyi:

الرجل

الرجل

إمرأة/ النساء

وليس الذكر كاألنثى

Kalimat

الرجل

الرجل

إمرأة/ النساء

وليس الذكر كاألنثى

diterjemahkan Abdullah Yusuf Ali dengan “and no wise is the male like the female.” Bandingkan dengan kata

الرجل

الرجل

إمرأة/ النساء

وليس الذكر كاألنثى

dan

الرجل

الرجل

إمرأة/ النساء

وليس الذكر كاألنثى

dalam Q.S al-Nisâ’/4: 34 yang berbunyi:

الرجل

الرجل

إمرأة/ النساء

وليس الذكر كاألنثى

Diterjemahkan oleh Yusuf Ali dengan “Man are protectors and maintainers of woman”.

Lihat: Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, 165. Lihat juga: The Presidency of Islamic Researches, Ita, Call and Guidance, The Holy Quran (Saudi Arabia: The Custodian of The Two Holy Mosques King Fahd Comlex for the Printing The Holy Qur’ân, t.th.

Penerjemahan dengan makna senada juga dapat dilihat dalam: Muhammad Taqî’ al-Dîn al-Hilâlî dan Muhammad Muhsin Khân, Translation of the Meaning of THE NOBLE QUR’AN English Translation of the Meanings and Commentary (Madinah: King Fahd Complex For The Printing Of The Holy Qur’an, t.th..

20. Kata al-mar’ dan semua bentuk derivasinya, terulang sebanyak 11 kali di dalam al-Qur’an. Lihat: H{usain Muhammad Fahmî al-Shafi‘î, al-Dalîl al-Mufahras li Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm, 759. Untuk kata al-Mar’ah dan semua bentuk derivasinya, terulang sebanyak 13 kali di dalam al-Qur’an. Lihat: Husain Muhammad Fahmî al-Shafi‘î, al-Dalîl al-Mufahras li Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm, 162.

Page 154: Buku Jurnal 7.1.pdf

150_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

21. Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, 148-149. Lihat juga: Muhammad ‘Abduh, Tafsîr al-Manâr, Juz. III, 124.

22. Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS. al-Nisâ’/4: 1).

23. Kata yang sering menjadi perdebatan tentang asal usul kejadian manusia dalam ayat ini adalah kata nafsin wâhidah, para mufasir berbeda pendapat dalam menafsirkan kata ini. Tafsir bi al-Ma’thûr seperti tafsir karangan Al-Thabârî dan Ibnu Kathîr menafsirkan kata nafsin wâhidah dalam ayat ini sebagi Adam, lihat: Muhammad Bin Jarîr al-Thabarî, Tafsîr al-Thabarî al-Musammâ Jâmi‘ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1420 H/1999 M, juz. III, 565. Lihat juga: Abî al-Fidâ’ al-Isma’îl Ibn ‘Umar Ibn Kathîr al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Beirût: Dâr al-Kutub Ilmiyyah, 1420 H/1999 M, juz. II, 181. Sementara tafsir modern seperti karangan Muhammad Rasyîd Ridhâ menafsirkan kata tersebut dalam arti jenis/unsur yang sama, lihat: Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999 M/1420 H, juz. IV, 263. Di dalam al-Qur’an, terdapat pula ayat yang mengindikasikan bahan penciptaan manusia yang terbuat dari tanah, seperti dalam QS. Tâha/20: 55 dan al-Hijr/15: 28-29, dari air (mani) seperti dalam QS. al-Furqân/25: 54. Menurut Nasarudin Umar, karena keduanya dinyatakan bersumber dari unsur yang sama dan dalam mekanisme yang sama. Tidak terdapat perbedaan secara substansial dan secara struktural antar keduanya. Dengan demikian, secara alamiah dalam proses keberadaan laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan. Lihat: Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender, 218.

24. Disarikan dari: Ahmad Musthafâ al-Marâghî Tafsîr al-Marâghî, Beirût: Dâr al-Kutub ‘Ilmiyyah, 1418 H/1998 M, juz. 2, 145-148.

Page 155: Buku Jurnal 7.1.pdf

Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _151

25. Bahkan menurut Nasaruddin Umar, biasanya kebanyakan manusia bersilaturahim dengan sesama manusia. Padahal Rasulullah juga mencontohkan silaturahim dan menjalin hubungan keakraban dengan lingkungan sekitarnya, seperti lingkungan alam, misalnya tanah, air, flora dan fauna dengan menghormati dan menghargai eksistensi mereka sebagai sumber kehidupan. Bahkan, silaturahmi juga dilakukan rasulullah pada makhluk spiritual seperti bangsa Jin, Malaikat dan para arwah manusia terdahulu. Disarikan dari: Nasaruddin Umar, Meresapi Makna Silaturahmi, Majalah ALIF, 31 Oktober 2009, 5.

26. Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab, juz. IV, 326.

27. Atabik Ali Muhdhar, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, 933.

28. Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. al-Nahl/16: 97.

29. Lihat: Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, 265.

30. Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. 7, 343.

31. Lihat: Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender, 171.

32. Artinya: Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. (QS. al-Thûr/52: 21).

33. Muhammad Qurasih Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. 13, 21-20. Lihat juga: Muhammad Husain al-Thabâthabâ’î al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur’ân, Teheran: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 1397 H, cet. III. Lihat juga: Muhammad al-Thâhir Ibn ‘Ashûr, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwî , t.tp: al-Dâr al-Tunisiyyah li al-Nashr, t.th.

Page 156: Buku Jurnal 7.1.pdf

152_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

34. Sa’îd Hawâ, al-Asâs fî al-Tafsîr, Cairo: Dâr al-Salâm, 1989, cet. II, juz. 10, 5544.

35. Kata zawj dan semua bentuk derivasinya, terulang sebanyak 76 kali di dalam al-Qur’an. Lihat: Husain Muhammad Fahmî al-Shafi‘î al-Dalîl al-Mufahras li Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm, 427.

36. Artinya: Dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan, QS. al-Naba’/78: 8.

37. Muhammad Bin Jarîr al-Thabarî, Tafsiîr al-Thabarî al-Musammâ Jâmi‘ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur‘ân, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1420 H/1999 M, juz. 12, 397.

38. Abî al-Fiâ’ al-Ismâ‘îl Ibn ‘Umar Ibn Kathîr al-Dimashqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Beirût: Dâr al-Kutub Ilmiyyah, 1420 H/1999 M, juz. VIII, 307.

39. Lihat penafsiran senada mengenai kata “zawj” dalam: ‘Âisyah ‘Abd al-Rahmân, I’jâz al-Bayân li al-Qur‘ân, 230. Aisyah menekankan makna kata “zawj” dalam arti dalam hubungan keberpasangan terdapat unsur hikmah, kedamaian dan cinta, kasih sayang, tashri’, hukum serta kehidupan akhirat.

40. Muhammad Ibn Yûsuf al-Shahîr bi Abî Hayyân al-Andâlusî al-Ghornâtî, al-Bahr al-Muhîth fî al-Tafsîr, Beirût: Dâr al-Fikr, 11412 H/1992 M, juz. X, 384.

41. Abî Muhammad ‘Abd Allâh Ibn Muslim Ibn Qutaibah al-Dînawarî, Ta’wîl Mushkil al-Qur’ân (T.tp: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.th, 498.

42. Lihat tentang ungkapan Zaghlûl al-Najâr tentang pentingnya mengenal alam raya sebagai media penguat iman. Zaghlûl al-Najâr, “al-Tafsîr al-‘Ilmî li al-Qur’ân al-Karîm, ya‘nî: Tauzhîf Kull al-Ma‘ârif al-Mutâhah li al-Insân fî Husn Fahm Dilâlah al-Âyah al-Qur’âniyyah,” al-Wa‘ei al-Islam, 424 (Dhû al-Hijjah 1421 H/Februari 2001), 12-18. Lihat juga buku al-Najâr tentang berbagai isyarat ilmu pengetahuan seputar alam dalam al-Qur’an dan para ilmuan muslim yang menelitinya, dalam: Man Ishâmât al-Hadhârah al-Islâmiyyah, al-Qâhirah: Nahdhah Mishr, 2010, cet. I.

43. Lihat: Sachiko Murata, The Tao of Islam. Lihat juga: Ratna Megawangi, dalam kata pengantar buku karangan Sachiko Murata, 10.

44. Artinya: “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), 7. Maka Allah

Page 157: Buku Jurnal 7.1.pdf

Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _153

mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” 8 (QS. al-Shams/91: 7-8)

45. Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, juz. XXIX-XXX, 174.

46. Sebagaimana karakter feminin dan maskulin yang berpasangan, dalam proses kehidupan segala makhluk di alam raya, setiap orang tahu bahwa hanya dengan penyatuan kedua prinsip keberpasangan inilah kehidupan dapat terus ada. Kehidupan tidak mungkin ada tanpa systole dan diastole detak jantung, tanpa menghirup dan menghembuskan, atau kerja listrik tanpa adanya dua kutub, dan seterusnya. Lihat: Annemary Schimmel, dalam kata pengantar buku Sachiko Murata, The Tao of Islam, vii-viii.

47. Al-Qur’an menggolongkan Maryam sebagai “salah seorang qânithîn “ dengan menggunakan bentuk jamak maskulin dari kata yang menunjukkan ketaatan di hadapan Allah. Tidak ada alasan dari tidak digunakannya bentuk jamak feminin, kecuali untuk menegaskan bahwa signifikansi contoh Maryam adalah untuk semua orang beriman, baik laki-laki maupun perempuan. Kebajikannya tidak dibatasi oleh jenis kelamin. Lihat: Amina Wadud, Quran and Woman Rereading the Sacred Text from a Womans Perspective, New York: Oxford University, 1999, h. 75.

48. Dalam ayat ini, sosok pemimpin di dalam al-Qur’an dijelaskan bukan hanya dari kalangan laki-laki, akan tetapi juga dari kalangan perempuan, seperti ratu Balqis seorang pemimpin di sebuah negeri bernama Saba’. Selain itu, juga banyak sekali sosok wanita yang diisyaratkan al-Qur’an dan hadis yang memiliki berbagai macam keistimewaan, seperti Ibu Nabi Musa, Siti Aisyah, Mariah Qibtiyyah dan lain-lain. Penjelasan lebih lanjut terdapat dalam bab V dalam Disertasi penulis. Lihat: Muhammad Bakr Ismâ’îl, Mu’minât lahunn ‘inda Allâh Sha’nun, Qâhirah: Dâr al-Manâr, 1422 H/2001 M, cet. I.

49. Ayat ini menjelaskan tentang sifat manusia yang egois dan ingin menang sendiri, kata (يسختون ) yaskhatûn/mereka marah dalam QS. al-Taubah/9: 58 pada ayat di atas, ditafsirkan oleh al-Jazâ’irî dalam arti hati mereka tidak senang/tidak menerima. Padahal, apa yang tidak disenanginya adalah ketetapan untuk keadilan. Artinya, kemarahan yang mereka tunjukkan

Page 158: Buku Jurnal 7.1.pdf

154_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

tidak beralasan. Lihat: Abî Bakar Jâbir al-Jazâ’irî, Aysar al-Tafâsîr li Kalâm al-‘Alî al-Kabîr, Madînah al-Munawwarah: Maktabah al-‘Ulûm wa al-Hikam, 1416 H/1995, cet. I, h. 382-383. Dikisahkan asbâb al-nuzûl ayat ini adalah seorang laki-laki dari bangsa Arab yang berasal dari dusun dan baru masuk Islam datang kepada Rasulullah saw, sewaktu beliau membagi-bagi emas dan perak. Ia berkata kepada beliau: “engkau tidak berlaku adil, walaupun Allah memerintahkan untuk berlaku demikian”. Rasulullah menjawab, “celakalah engkau, siapakah orangnya itu yang akan berlaku adil sesudah aku. Maka diturunkan ayat ini. Dan berkata Umar, “biarkan aku menebas leher orang itu wahai Rasulullah”. Rasulullah menjawab: “aku berlindung kepada Allah, bagaimana orang akan bercerita bahwa Rasulullah telah membunuh sehabatnya sendiri”. Lihat juga penjelasan yang senada dalam tafsir: ‘Abd al-Rahman Ibn Muhammad Ibn Idrîs al-Râzî Ibn Abî Hâtim, Tafsîr Ibn Abî Hâtim (Makkah al-Mukarramah: Maktabah Nazâr Mushthafâ al-Bâz, 1419 H/1999), cet. II, juz. 6, h. 1815-1817.

50. Artinya: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”. (QS. al-Ahzâb/33: 35).

51. Islam adalah penyerahan diri secara penuh kepada Allah dan mentaati semua perintah dan larangan-Nya, seseorang yang berserah diri tersebut dinamai muslim dan muslimah.

52. Orang yang yakin hatinya akan kebenaran agama dan dengan keyakinannya itu memanifestasikan ajaran agama dalam kehidupannya. Maka tiap mu’min pasti muslim, namun tidak sebaliknya.

53. Artinya: taat dan berserah diri pada ajaran agama. Taat/submisif adalah karakter feminin positif.

54. Artinya: benar dalam arti perkataan dan perbuatan. Obyektif adalah salah

Page 159: Buku Jurnal 7.1.pdf

Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _155

satu karakter maskulin positif.

55. Artinya: orang yang memiliki kesabaran ketika tertimpa musibah, sabar dalam ketaatan dan sabar dari menahan berbuat maksiat. Sabar termasuk dalam kategori karakter yang mengalah pada yang lebih tinggi/pada logika, artinya karakter ini masuk dalam kategori feminin positif.

56. Artinya: rendah hati yang termanifestasi dalam tingkah laku. Rendah hati termasuk karakter yang berhubungan dengan keindahan dan intuitif, maka rendah hati dikategorikan sebagai karakter feminin positif.

57. Artinya: memberikan infak sedekah di jalan Allah. Bersedekah adalah perbuatan yang berhubungan dengan empati, oleh sebab itu karakter ini masuk dalam kategori feminin positif.

58. Artinya: orang yang melaksanakan puasa, baik yang wajib maupun yang sunah. Melaksanaan tuntunan ibadah termasuk dalam karakter submisif, artinya karakter ini masuk dalam kategori feminin positif.

59. Artinya: menjaga kehormatannya dari selain apa yang dihalalkan baginya. Menjaga berhubungan dengan sifat kesatria/pertahanan diri, karakter ini masuk dalam kategori maskulin positif.

60. Artinya: orang yang senantiasa mengingat Allah dalam setiap aktifitasnya. Aktifitas dhikir adalah aktifitas yang berhubungan dengan keagungan dan menggunakan logika, oleh sebab itu karakter ini masuk dalam kategori maskulin positif. Lihat pengertian mengenai istilah-istilah di atas dalam: Muhammad Husain al-Thabâthabâ’î, al-Mîzân fî Tafsir al-Qur’ân (Teherân: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 1397 H), juz, XVI, h. 331-333.

61. Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS. al-Rûm/30: 41).

62. Lihat mengenai beberapa faktor penyebab utama kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh IPCC sampai akhir tahun 2010 dalam: http://www.ipcc.ch/pdf/assessment-report/ar4/syr/ar4_syr_spm.pdf. Diakses pada 29

Page 160: Buku Jurnal 7.1.pdf

156_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Maret 2011. Lihat juga: ‘Abd al-Hâdî Hasan, Himaâyah al-Bî’ah al-Tulûth bi al-Mubayyidât al-Kîmâwiyyah wa Afdhal al-Hulûl (Sûriyah: Dâr ‘Alâ’ al-Dîn, 2003), cet. III.

63. Teungku Muhaammad Hasbi al-Shiddieqiy, Tafsir al-Qur’anul Majid, AN-NUR (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2000), cet. II, juz. 4, 3185. Selain itu kata kerusakan yang dibuat manusia dalam ayat di atas juga dapat dipahami dalam arti berjangkitnya berbagai macam kesukaran dan kemaksiatan dalam hidup, yang membuat manusia tidak memandang lagi moral yang baik dan buruk dalam interaksi sosialnya. Lihat juga: Teungku Muhaammad Hasbi al-Shiddieqiy, Al-Bayan Tafsir Penjelas al-Qur’an al-Karim (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2002), cet. II, juz. II, 920.

Page 161: Buku Jurnal 7.1.pdf

Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _157

Tracking the Roots of Neo-Sufism Muhammad ‘Abduh and Muhammad Rashîd Ridhâ in Tafsîr al-Manâr

Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ dalam Tafsîr al-Manâr

Usep Taufik HidayatUniversitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

email: usep50ymail.com

Abstract : This study was initiated to extend the study by Fazlur Rahman of neo-Sufism.

There is a disconnect chain neosufisme figures after Ibn Taymiyya and Ibn Qayyim

al-Jawziyyah on the 8th century after hijrah, resulting in the loss figures of Islamic

history neo-sufism in century. Through Nurcholish Madjid theory about the New

Mysticism and Azra about characteristics and tendencies of neo-Sufism, this study

tried to apply ‘Abduh and Ridh â as a neo-Sufi figure of the 20th century. The need

for spiritual values in this modern time can be started through the study of figure

with enough attention to esoteric values. ‘Abduh and Ridhâ, is both accurate figure

brochures made a reference to the discussion of modern mysticism. Tafsî r al-Manâr

even figured adabi ijtima’i, but it does not mean not discussing aspects of Sufism in it.

Even with critical analysis and argumentative, both able to control the line of Sufism

back to the Quran and al-Sunnah. Efforts to revitalize them and make it worthy of

conceptual modern mysticism as the neo-Sufi century this millennium.

Page 162: Buku Jurnal 7.1.pdf

158_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Abstraksi: Penelitian ini dilakukan untuk memperluas penelitian oleh Fazlur Rahman mengenai

neo-sufisme, dimana terdapat mata rantai yang terputus dari tokoh neosufisme

setelah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jawziyyah pada abad ke-8 setelah hijrah,

mengakibatkan hilangnya beberapa tokoh dalam sejarah neo-sufisme di abad ini.

Melalui teori Nurcholish Madjid tentang Mistik Baru dan Azra mengenai karakteristik

dan kecenderungan neo-sufisme, penelitian ini mencoba menerapkan ‘Abduh dan Ridh

â sebagai tokoh neo-Sufi dari abad ke-20. Kebutuhan untuk nilai-nilai spiritual pada

zaman modern ini dapat dimulai melalui studi tokoh dengan perhatian yang cukup

untuk nilai-nilai esoteris. ‘Abduh dan Ridha, keduanya adalah figur yang baik dan

secara akurat membuat referensi tentang pembahasan mistisisme modern. Tafsî r al-

Manar bahkan menjelaskan pola pikir adabi ijtima’i, namun itu bukan berarti tidak

membahas aspek sufisme di dalamnya. Bahkan dengan analisis kritis dan argumentatif,

keduanya mampu mengontrol lini sufisme kembali kepada Al-Quran dan al-Sunnah.

Upaya mereka untuk merevitalisasi dan membuatnya sebagai konseptual mistisisme

modern yang layak pada abad neo-Sufi milenium ini.

Keywords: neo-sufism, Fazlur Rahman, Nurcholish Madjid, Azymardi Azra, characteristic.

A. Pendahuluan

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan ‘Abduh dan Rashîd Ridhâ, apakah keduanya termasuk ke dalam kategori aliran tasawuf neo-sufisme. Neo-sufisme yang diterjemahkan oleh Nurcholish Madjid dengan “sufisme baru” menekankan perlunya perlibatan diri dalam masyarakat secara lebih kuat daripada “sufisme lama”. Adanya keterangan ditingkatkan secara lebih kuat menunjukkan bahwa bukan berarti sufisme lama tidak terjun ke masyarakat sama sekali. Namun mengingat kondisi masyarakat yang membutuhkan langsung sentuhan para sufi, maka kadar peranan mereka ditingkatkan.

Sebagai contoh bagaimana pandangan neo-sufieme tentang zuhud terdapat dan terangkum dalam buku al-Rûhâniyyat al-Ijtimâ’iyyah

Page 163: Buku Jurnal 7.1.pdf

Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _159

(spiritualisme sosial). Terbitan al-Markaz al-Islâmi (Islamic Center), Jenewa (Swiss) pimpinan Dr. Sa’îd Ramadhân. Buku ini pegangan bagi para pejuang dakwah Islam. Buku ini memberi petunjuk yang cukup jelas tentang apa yang menjadi pertanda jalan (ma’âlim al-T}arîq) spiritualisme sosial, yang secara amat ringkas isinya adalah : (1) Membaca dan merenungkan makna kitab suci al-Qur’an; (2) Membaca dan mempelajari makna kehadiran Nabi Saw melalui sunnah dan sirah; (3) Memelihara hubungan dengan orang-orang saleh seperti para ulama dan tokoh Islam yang zuhud; (4) menjaga diri dari sikap dan tingkah laku tercela; (5) Mempelajari tentang hal-hal tentang ruh dan metafisika dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, dengan sikap penuh percaya; (6) Melakukan ibadat - ibadat wajib dan sunah, separo sembahyang lima waktu dan tahajud. Nurcholish Madjid menambahkan bahwa neo-sufisme mengecam sikap hidup spiritualisme pasif dan isolatif (i’tizaliyah), dan menekankan nilai-nilai keseimbangan (mîzân atau tawâzun) yang sesuai dengan prinsip - prinsip al-Qur’an dalam surat al-Rahmân ayat 7 – 8.1 Karakteristik ini akan dilacak dalam sosok ‘Abduh dan Ridhâ, apakah mereka berdua memiliki kecenderungan demikian juga. Selain itu juga beberapa karakteristik yang dikemukakan Azra lebih sistimatis untuk dijadikan pisau analisa utama.

Apabila kita lacak ulang menelusuri biograpi ‘Abduh, maka kita akan menemukan bahwa kemungkinan al-Afghani mengalihkan kecenderungan ‘Abduh dari tasawuf dalam arti sempit dan dalam bentuk tata cara berpakaian dan dzikir kepada tasawuf dalam arti yang lain, yaitu perjuangan untuk perbaikan keadaan masyarakat dan membimbing mereka untuk maju serta membela ajaran –ajaran Islam sangat selaras dengan buku al-Rûhâniyat al-Ijtima’iayat. Hal ini semakin memperkuat bahwa melalui pisau analisa teori Nurcholish Madjid, ‘Abduh dan Ridhâ bisa dikategorikan sebagai kelompok neo-sufisme pada abad ke-20.

Adanya ide dari penulis untuk mengajukan Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ sebagai neo-sufi pernah juga dilakukan

Page 164: Buku Jurnal 7.1.pdf

160_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

oleh Azra. Namun ia mengajukan Sayyid Hussein dalam hal ini. Penelitian ini memperkuat penelitian kedua cendekiawan di atas secara metodologi, walaupun objeknya berbeda. Menurut Azra, Nasr adalah seorang neo-sufi yang menekankan aktivisme; tasawuf yang tidak mengakibatkan pengamalnya mengundurkan diri dari kehidupan dunia, tetapi sebaliknya melakukan inner detachment (pengembangan dengan cara modifikasi diri) untuk mencapai spiritual yang lebih maksimal. Secara singkat, Nasr menawarkan sufisme sebagai solusi manusia modern.2

Juga pernah dilakukan oleh Elizabeth Sirriyeh, yang memasukan Abu A’la al-Mawdudi dan ‘Ali Shari’ati sebagai neo-sufieme yang beraliran revivalis radikal.3

Apa yang dilakukan oleh Nasr, Abduh dan Rashîd bisa dikatakan sebagai strategi agar agama –terutama yang ekstrem- bisa diikuti dengan mudah dan tidak tabu untuk memperbincangkannya. Karena menurut Tariq Ramadhan kondisi demikian masih terjadi.4

A. Rumusan Masalah

Adanya kekosongan figur neo-sufisme pasca abad ke-6 H, yaitu Ibn Taymiyyah (w. 728 H) dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah, yang dikategorikan oleh keduanya sebagai tokoh tasawuf baru ini, maka penelitian ini mencoba menawarkan ‘Abduh dan Ridhâ sebagai tokoh neo-sufisme pada abad ke-19 dan ke-20.

B. Kerangka Teoritis

Penelitian ini akan menjadikan teori Fazlur Rahman tentang neo-sufisme yang dikembangkan oleh Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara Abad XII dan XIII sebagai pisau analisa. Melalui teori ini penulis berusaha mengusulkan Muhammad ‘Abduh dan Rashîd Ridhâ sebagai tokoh neo-sufisme.

Page 165: Buku Jurnal 7.1.pdf

Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _161

C. Pembahasan

Dalam penelitian ini penulis akan meminjam pisau analisa utama - selain dari Nurcholis Madjid di atas- dari teori Fazlur Rahman5 yang dikembangkan oleh Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara Abad XVII dan XVIII M. Penulis akan melacak semua karakteristik dan kecenderungan neo-sufisme yang ditulis oleh Azra di dalam bukunya.6 Kemudian juga akan ditelusuri tulisan-tulisan guru dan murid tersebut terutama dalam Tafsîr al-Manâr. Apabila semua karakteristik tersebut bisa ditemukan kemudian dikomparasikan dengan para tokoh neo-sufisme sebelumnya, tentu saja selanjutnya, penulis tidak ragu lagi untuk mengkategorikan bahwa keduanya memang layak sebagai kelompok neo-sufisme.

Azra menyampaikan pembahasan ini dalam bukunya pada BAB III sebagai mata rantai selanjutnya dari pembahasan wacana pembaruan dalam jaringan ulama. Dengan adanya neo-sufieme, menurut Azra, berimplikasi semakin meluasnya penyebaran Islam. Fazlur Rahman menyimpulkan bahwa karakteristik neo-sufisme puritan dan aktivis. Nampaknya pandangan Rahman ini baru sebatas dari sudut gerakan sosialnya saja. Kemudian Azra menyempurnakannya dan menghasilkan kesimpulan bahwa ada lima karaktersistik dan kecenderungan neo-sufisme, yaitu tela’ah hadits, syari’at, aktivisme, organisasi tarekat dan kesinambungan serta perubahan. Karakteristik yang disampaikan Azra lebih luas dan tidak hanya berlaku untuk menguji kesufian ‘Abduh dan Ridhâ saja. Apabila dilakukan penelitian yang sama dengan objek tokoh Islam yang berbeda maka akan menghasilkan kesimpulan yang baru.

Berikut ini akan dilacak semua karaktersitik tersebut berdasarkan sistimatika penelitian yang ditulis oleh Azra :

a. ‘Abduh, Ridhâ dan Tela’ah Hadits

Sebelum menginjak lebih jauh dalam penelitian, perlu diketahui bahwa untuk mengetahui apakah ‘Abduh dan Ridhâ bisa dimasukkan

Page 166: Buku Jurnal 7.1.pdf

162_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

ke dalam kelompok neo-sufisme, setidak-tidaknya bisa dilihat dari dua pembahasan. Pertama, bahwa berdasarkan biografi keduanya, masing –masing pernah bertemu dengan seorang sufi yang sekaligus jadi mursyidnya. Sehingga tak canggung lagi, penulis memasukan keduanya sebagai neo-sufisme, walaupun masih ada sebagian atau bahkan mayoritas sejarawan menolak pandangan tersebut. Kedua, keterlibatan mereka dalam merevitalisasi fungsi hadits dalam al-Qur’an memberikan pertimbangan bahwa mereka paham dan bahkan menguasai hadits serta bagaimana seharusnya hadits dipergunakan dan mengatur posisi perannya di tempat yang tepat. Untuk yang pertama mungkin penulis tidak akan memperpanjangnya. Karena apabila kriteria tela’ah hadits ini ditemukan dalam diri mereka, maka jelas mereka adalah golongan neo-sufisme dengan sendirinya.

Fazlur Rahman berpendapat, kelompok terpenting dari para ulama muslim yang bertanggung jawab dalam membantu merealisaikan neo-sufisme adalah “para ahli tradisi” (ahl hadits). Kaum tradisional ini selain berusaha menjaga keotentikan hadits dari para pemalsu hadits dan berubah pada masa kontemporer ini menjaganya dari para orientalis, juga berusaha untuk mempertahankan warisan para sufi. Mereka sadar bahwa tidak bisa dipungkiri kaum sufi telah tampil dengan menawan dalam sejarah Islam secara emosioanal, spiritual dan intelektual pada abad ke-6 H / ke-12 M, dan ke-7 / ke- 13. Mereka berusaha untuk mendamaikan ajaran sufi dengan ajaran Islam ortodok. Para ahli hadits yang umumya berdomisili di Haramayn adalah yang paling berperan penting dalam rekonsiliasi dua madzhab ini.7 Mereka umumnya bermadzhab Hanbali, menolak dan membuang ajaran-ajaran filosofi rasional dan mistisisme spekulatif, banyak diantara mereka yang melaksanakan tasawuf asalkan sesuai dengan syari’at. Tidak ada bukti bahwa para ulama Hanbali, seperti Ibn Taymiyyah (w. 728 H/1328) dan Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah (w. 751 H) menentang segala jenis tasawuf. Yang mereka kritik adalah tasawuf yang menyimpang. Bahkan menyatakan bahwa mereka berdua sebagai perintis neo-sufisme.8

Page 167: Buku Jurnal 7.1.pdf

Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _163

Yang perlu digaris bawahi dari Fazlur Rahman adalah apakah ahli hadits yang dimaksud adalah mereka para pemegang sanad hadits atau ahli hadits yang dinisbatkan kepada pengikut madzhab Hanbali yang berdomisili umumnya di Haramayn. Penulis berasumsi bahwa yang dimaksud ahli ahdits oleh Rahman adalah kelompok yang kedua. Mereka cenderung untuk menafsirkan al-Qur’an dan mensyarah hadits secara tekstual. Jika demikian halnya, maka penulis juga akan mengikutinya, bahwa kategorisasi ‘Abduh dan Ridhâ sebagai neo-sufisme berdasarkan klasifikasi dan rekonstruksi teori neo-sufisme Rahman. Dengan demikian tidak dipersyaratkan untuk menjadi seorang neo-sufisme adanya otoritas dalam memegang sanad hadits yang turun temurun sejak masa sahabat.

Sebagaimana ditulis di Bab I dalam latar belakang, bahwa penggunaan hadits dalam Tafsîr al-Manâr cukup banyak. Bahkan ketika menafsirkan surat Yûnus ayat 62-64, penafsirannya sampai menghabiskan 32 halaman. Termasuk di dalamnya tela’ah hadits yang begitu mendalam.9

Menurut Quraish Shihâb tela’ah hadits yang mendalam digunakan oleh Ridhâ dalam menafsirkan ayat. Tela’ah hadits ini menjadikan perbedaan diantara karakteristik penafsiran Ridhâ dan ‘Abduh.10 Keluasan pembahasan dalam bidang hadits menunjukkan keahliannya dalam bidang ini, sekaligus menghindari apa yang dikemukakannya menyangkut kekurangan ‘Abduh dalam bidang riwayat, hafalan, dan al-jarh wa al-ta’dil (salah satu cabang dalam kritik sanad hadits).

Salah satu kelebihannya dalam kajian hadits bisa digambarkan ketika ia menafsirkan surat al-Mâidah (5) ayat 6. Adapun redaksinya sebagai berikut:

“Sesungguhnya engkau telah mengetahuinya bahwa hadits yang diriwayatkan Anas itu tidak bisa dijadikan argumentasi (lâ yuhtajj bih). Hadits yang sama dengan hadits Anas adalah yang

Page 168: Buku Jurnal 7.1.pdf

164_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

diriwayatkan oleh ‘At}â’ dan berstatus mursal. Hadits ini dijadikan hujjah oleh al-Shafi’i (w. 204 H) dalam kitab al-Umm. Dalam hadits ini dikatakan bahwa mengusap kepala cukup sebagian saja. Sedangkan imam H{anafî (w. 150 H) bahkan cukup seperempat dari bagian kepalanya saja. Hadits yang diriwayatkan ‘At}â’ ini bersisi bahwa Nabi setiap hendak berwudhu melepaskan sorban yang melilit di kepalanya, dan mengusap bagian depan kepalanya, atau bagian tengahnya. Pemakaian hadits ini dengan cara berpaling dari perbedaan pendapat dalam kehujjahan hadits mursal.11 Hal ini ditentang oleh jumhur ulama dan yang lainnya. Abû H{anîfah (w. 150 H), al-Shâfi’i (w. 240 H) dan mayoritas ulama Muktazilah tidak berhujjah dengan hadits mursal. Hadits ‘At}â’ ini diriwayatkan oleh Muslim bin Khâlid seorang ahli fiqih dari Mekkah, ia seorang thiqah menurut ‘At}â’, Ibnu Ma’in memandang ia thiqah, namun di lain kesempatan ia mendha’ifkannya, sebagaimana juga didhaifkan oleh Abû Dâwûd. Al-Bukhâri berkata : “hadits ini munkar”. Dalam kasus ini menolak lebih diunggulkan daripada menerimanya. Hadits ini juga menunjukkan tidak ada dalil kewajiban mengusap kepala seperempatnya saja.12

Paragraf diatas cukup jelas menggambarkan kemampuan Ridhâ dalam kajian hadits yang menjadi salah satu karakteristik dari neo-sufisme. Disamping itu Ridhâ lebih cenderung mengutamakan ahli hadits dibandingkan dengan ulama lain yang mempunyai spesifikasi lain. Pandangan ini semakin memperkuat posisi hadits dalam memperkuat teori-teori tasawuf yang bergenre neo ini. Berikut pandangannya tentang keutamaan ahli hadits :

“Ketahuilah, sesungguhnya kamu tidak akan meninggal sebagai pewaris para Nabi, kecuali para ahli hadits yang meriwayatkannya secara bersambung sampai kepada Nabi, sebagaimana disampaikan guru kami (‘Abduh), mereka memndapatkan (tugas)

Page 169: Buku Jurnal 7.1.pdf

Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _165

bagian risalah karena mereka sebagai trasnsmiter wahyu, mereka mewarisi para Nabi dalam tabligh. (Bahkan) para ahli fiqih yang tidak mampu mengetahui dalilnya tidak mempunyai derajat yang tinggi, mereka hanya dikumpulkan bersama dengan umat biasanya, tidak dengan para Nabi. Gelar ulama tidak melekat kepada mereka kecuali untuk para ahli hadits. Demikian juga para ahli ibadah, ahli zuhud, dan yang lainnya dari ahli akhirat, mereka kedudukannya sama dengan ahli fiqih jika mereka tidak merangkap sebagai ahli hadits. Mereka dikumpulkan bersama dengan umat secara umum yang membedakan antara dengan amal saleh tidak yang lainnya, demikian juga para ahli fiqih mereka dibedakan hanya di dunia saja, tidak di tempat lainnya.”13

Di dalam kutipan di atas mengandung dua data kuat yang memperkuat akar neo-sufisme. Tentu saja bagi Ridhâ yang menulis tafsir ini, sekaligus juga bagi ‘Abduh, yang disebutkan bahwa pernyataan ini berasal dari pandangan ’Abduh. Ini merupakan data yang paling kuat yang diakui secara langsung oleh SHâhib al-Manâr.

Poin lain yang mendukung Ridhâ bisa dikategorikan sebagai ahli hadits adalah penggunanan kata “keluasan” oleh Quraish Shihab yang memberi makna bahwa penelitiannya terhadap tela’ah hadits dalam Tafsir al-Manâr cukup mendalam. Penulis bersumsi, walaupun hanya diwakili oleh Ridhâ, bukan berarti menafikan Tafsir al-Manâr sebagai karya dari seorang sufi pembaharu atau neo-sufisme. Prosentasi penggunaan hadits oleh ‘Abduh yang minim, tidak serta merta menunjukan bahwa ‘Abduh bukan tidak mampu mendalami hadits, tetapi ia fokus ke dalam pemikiran. Sebagai contoh pandangannya tentang komentarnya terhadap hadits Ahad14 menunjukan bahwa ‘Abduh juga mampu mendalami hadits.15

Usaha lain yang dilakukan oleh ahli tradisi dalam merekonstruksi neo-sufisme ini adalah mempercepat pembaruan tasawuf pada skala lebih besar. Para ahli hadits ini umumnya menfokuskan usahanya pada

Page 170: Buku Jurnal 7.1.pdf

166_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

tela’ah hadits dalam mempertahankan, mereorganisasi, dan menafsirkan al-Kutub al-Sittah dilihat dari sudut pandang ahli hadits. Tetapi, pada saat yang sama, mereka semakin memantapkan kontak-kontak dan hubungan dengan para ulama dari tradisi– tradisi religio- intelektual yang lain. Dengan cara begini, mereka bertemu dan berinteraksi dengan “tradisi-tradisi kecil” Islam lain. Mereka juga mempunyai peranan dalam menghubungkan para ulama yang hidup di berbagai wilayah Timur- Tengah melalui keahlian hadits mereka.16

Dalam konteks modern, penduduk India merupakan contoh komunitas muslim yang berperan dalam memelihara hadits (tradition) . Di antara mereka ada yang sampai berpangkat muhaddits, bahkan komunitas mereka telah diakui sebagai ahlu al-hadîts. Kontuinitas mereka dalam memelihara sunnah Nabi berbuah dengan suburnya praktek tasawuf.17

Selanjutnya untuk melacak apakah seorang cendikiawan termasuk dalam kelompok neo-sufisme di lihat dari konteks sikapnya terhadap hadits bisa dilakukan dengan mencari pandangan orang cendikiawan tersebut terhadap realisasi hadits terhadap al-Qur’an. Misalkan, Ibnu Taymiayah (w. 728 H) dalam kitabnya Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr menyatakan sikapnya terhadap hadits wâhid, ia bisa memetakan ulama mana yang menerima dan menolak periwayatan hadits wahid, mengklasifikasikan hadist dari sisi kuantitas rawinya, bisa mengatahui tingkat kelemahan dan kekuatan segi hadits, mengetahui hadits yang ber’illat (‘ilal al-hadits), mengetahui rijâl al-hadîts beserta dengan kriterianya, bisa mengetahui letak hadits tersebut di dalam variasi tafsir.18 Sumber lain dikatakan Ibn Taymiyyah (w. 728 H) sudah berada dalam tingkat keagungan (al-‘udhmah), ungkapan yang independen (mutaharriy) dalam kajian hadits.19 Seorang neo-sufisme seperti Ibn Taymiyyah (w. 728 H) mempunyai kapabilitas yang beragam dalam ilmu hadits dan cabang-cabangnya.

Sekarang apakah kemapanan yang dimiliki oleh Ibnu Taymiyah (w. 728 H) dalam bidang hadits juga dimiliki oleh ‘Abduh dan Ridhâ.

Page 171: Buku Jurnal 7.1.pdf

Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _167

Kalau kita kembali ke atas, Ridhâ memang tidak diragukan lagi dalam hal ini. Adapaun tingkat kedalamannya dalam kajian hadits tentu saja perlu penelitianan lebih intens. Namun untuk ‘Abduh, dalam hal ini yang bisa dikemukakan mungkin adalah ketegasannya untuk menolak hadits - hadits batil dalam menafsirkan surat al-Ahzâb (33) ayat 37 sebagaimana di kemukakan dalam Bab I.20 Keduanya sama – sama ada upaya agar penafsiran dengan pendekatan hadits hanya menggunakan hadits yang berkualitas maqbul (diterima).21 Terutama, dalam tesis ini, ketika menafsirkan ayat-ayat tasawuf. Karena semangatnya adalah mengembalikan praktek tasawuf berada dalam jalur ortodoks.

Selain itu juga menurut al-Dhahabî, terlepas dari pandangan bahwa ‘Abduh lemah dalam ilmu Hadits, ia selalu menafsirkan setiap ayat dalam al-Qur’an berdasarkan prinsip-prinsip teori - teori ilmu hadits. ‘Abduh melakukan pendekatan hadis dengan tujuan agar adanya kesamaan di antara makna - makna ayat yang terkadang dirasakan jauh menurut pandangan manusia, dengan variasi pengetahuan yang dikuasai oleh mereka sebagai pijakan (postulate/aksioma) di dalam sikap mereka, atau dengan pengetahuan yang berasaskan praktek. Singkatnya, ada kesesuaian antara wahyu dengan sains. 22 Tujuan itu - walaupun terkadang dilontarkan ‘Abduh ke belakang untuk beralih kepada tujuan yang cerdas – keluar seperti contoh syarah dan penjelasan tentang budaya Arab (ma’luf al-‘arab) dan segala hal yang ada di tengah - tengah mereka ketika al-Qur’an turun. Namun contoh yang diberikan ‘Abduh terhadap metode ini, sebagaimana ditelusuri oleh al-Dhahabî - walaupun ia tidak menyebutkan haditsnya - tidak disertakan dengan haditsnya.23 Namun sekilas bahwa penafsiran ‘Abduh, sebagai contoh tela’ah haditsnya itu, dengan menggunakan hadits-hadits selalu dirasionalisasikan agar sesuai atau memudahkan pemahaman manusia.

Pro dan kontra memang tidak akan terlepas dari pribadi setiap orang. Jarang sekali orang yang mendapat pandangan positif dari seluruh masyarakat. Terkadang pandangan negatif ini timbul justru bukan karena ia telah berbuat nila-nilai negatif, tetapi –khusus di kalangan

Page 172: Buku Jurnal 7.1.pdf

168_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

cendikiawan - bisa jadi karena terlalu progresif dalam pemikirannya. Tidak sedikit cendikiawan yang pemikirannya melawan mainstrem mayoritas sarjana yang dikafirkan, di katakan zindik, inkar al-sunnah.24 Sebagai contoh adalah Muhammad ‘Abduh yang dituliskan dalam sejarah bahwa ia dalam beberapa persoalan mengingkari hadits - hadits yang sahih. Ia menolak hadits sahih yang mengatakan bahwa Nabi disihir oleh seorang Yahudi, Labid ibn al-‘Asham, apalagi sampai sihir tersebut mempengaruhi Nabi. Sehingga akibat dari peristiwa tersebut Nabi dikatakan sebagai orang yang terkena sihir.25 Bahkan ‘Abduh beralasan bahwa Nabi tidak mungkin terkena sihir, karena orang yang terkena sihir adalah orang yang akalnya menjadi miring, ia berhalusinasi sesuatu yang tidak terjadi seolah-olah terjadi, dan ini tidak mungkin bagi seorang Nabi yang selalu menerima wahyu. Penerimaan wahyu mengharuskan Nabi selalu dalam keadaan terjaga akalnya. ‘Abduh tidak setuju dengan golongan yang bertaklid buta, yang mengatakan bahwa hadits tentang tersihirnya Nabi adalah sahih dan wajib diyakini. Bahkan jika tidak mengakui kebenarannya merupakan bid’ah. Karena seolah-olah pengingkaran tersebut secara tidak langsung mengingkari adanya sihir dan prakteknya. Bahkan al-Qur’an bisa dijadijkan hujjah adanya sihir.26

Alasan lain adalah hadits yang diriwayatkan Bukhari (w. 256 H) tersebut merupakan hadits Ahad. Padahal dalam diskursus ilmu musht}alah hadîts, hadits Ahad tidak bisa dijadikan hujjah dalam masalah akidah. Di sini terlihat dengan jelas bahwa, ‘Abduh mengingkari hadits yang sahih karena bertentangan dengan logika. Namun alasan ‘Abduh bisa diterima oleh akal. Terutama tentang kedudukan haditsnya. Ini juga yang menunjukan bahwa kualitas ilmu hadits ‘Abduh tidak bisa dianggap remeh. Dan ini juga yan menjadi pertimbangan penulisan untuk memasukkan ‘Abduh sebagai neo-sufisme.

Seperti dikatakan oleh Ismâ’il S>âlim yang berpandangan bahwa Tafsîr Ibnu Katsîr mempunyai cukup pengaruh dan dijadikan salah satu referensi utama bagi Tafsîr al-Manâr. Ia mengakui bahwa dalam tafsir

Page 173: Buku Jurnal 7.1.pdf

Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _169

al-Manâr banyak dikutip riwayat-riwayat terutama hadits-hadits yang berkualitas dapat diterima. Pada umumnya metode yang diusung oleh al-Manâr ini bersumber dari metode al-T}abâri (w. 310 H) dan Ibn Katsîr (w. 774). Namun dalam penafsiran dengan riwayat ini, mayoritas lebih banyak merujuk kepada Tafsîr al-THabarî.27

Demikianlah deskripsi ‘Abduh dan Ridhâ dalam spesifikasi hadits dalam kitab tafsirnya. Usaha mereka yang tegas untuk mengembalikan al-Hadits sebagai prioritas dalam penafsiran juga sekaligus memberikan identitas bahwa mereka layak untuk dimasukan dalam kategori neo-sufisme.

Selain pandangan –pandangan dari sarjana muslim, sarjana barat juga banyak yang berkomentar tentang kiprah ‘Abduh dalam hubungannya dengan tela’ah hadits. Sangat sulit untuk mengatakan bahwa ‘Abduh adalah golongan ahli hadits, atau sebaliknya ahli ra’y. ‘Abduh justru, menurut David L. Johnston, berhasil menyatukan elemen-eleman rasionalisme (ajaran –ajaran ahlu al-ra’y) dan tradisionalisme (ahlu al-hadits).28

Bisa dijadikan pertimbangan juga, pandangan yang dikemukakan oleh Goldziher yang mengatakan bahwa Ridhâ menentang semua perbuatan yang tidak berdasar rujukan pada sunnah.29 Walaupun kasusnya hanya dalam hukum membaca tartil surat al-Kahfi pada hari jum’at yang umumnya ditradisikan oleh para sufi, karena kental dengan ritualnya. 30

Melacak ke belakang sejarah, penghargaan yang tinggi dari Barat terhadap sarjana muslim, contohnya sebagaimana dikutip dalam Tafsîr al-Manâr sendiri, seperti yang diberikan kepada Ibn Hazm, sebagai pendiri madzhab Dzahiri yang diikuti oleh mayoritas salafi modern. Pantas saja ia mendapatkan penghargaan itu, karena ia berasal dari Andalusia sebagai bagian dari wilayah Barat. Dalam karya-karyanya sarjana muslim dari barat ini mempunyai keuggulan dalam retorika yang lebih jelas.

Namun tidak dapat dipungkiri Ridhâ pernah dituduh sebagai kelompok Ingkar sunnah modern. Alasannya hanya disebabkan dukungannya terhadap pemikiran Taufiq Shidqi yang mengatakan

Page 174: Buku Jurnal 7.1.pdf

170_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

bahwa Islam itu adalah al-Qur’an itu sendiri, dan tidak memerlukan al-Sunnah. Ridha berpandangan bahwa hadits yang tidak mutawatir tidak wajib menerimanya.

Namun belakangan ia mencabut semua pendapatnya tersebut bahkan akhirnya dikenal sebagai pembela sunah. Al-Siba’i menuturkan, ”Pada awalnya Sayyid Rashîd Ridhâ terpengaruh dengan pemikiran gurunya. Ia sama dengan gurunya, sedikit perbendaharaan hadits dan sedikit pemahamannya tentang must}alah hadits”.31 Walaupun yang terakhir ini melemahkan argumentasi sebelumnya, tetapi bukan menolak sama sekali. Apalagi pandangan tersebut hanya keluar dari satu tokoh hadits saja.

Sebagai bukti bahwa ia adalah pembela Sunnah adalah adanya catatan Ridhâ tentang keutamaan ahli hadits dibandingkan dari yang lainya. Ia menguatkan bahwa pewaris para Nabi yang sebenarnya adalah para ahli hadits. Mereka mempunyai tugas dalam menyampaikan risalah. Alasannya karena mereka pihak yang mentranfose hadits dan juga menyampaikannya kepada umat. Mereka adalah ulama yang sebenarnya. 32 Data –data yang ditemukan dalam Tafsîr al-Manâr ini semakin memperkuat arguentasi kesufian ‘Abduh dan Ridhâ.

b. ‘Abduh, Ridhâ dan Syari’at

Dalam al-Qur’an kata syari’at dalam bentuk kata benda (isim) disebutkan sebanyak dua kali, yaitu di dalam surat al-Jâthiyah ayat 18 dan surat al-Ma’>idah ayat 48. Ada juga yang disebutkan dalam kata kerja (fi’il) yang terdapat dalam dua ayat juga yaitu surat al-Shûra ayat 13 dan 21.

Syari’at adalah metode agama atau perangkat aturan agama yang digariskan oleh Allah untuk dilaksanakan oleh hamba. Pada prisipnya syari’at merupakan metode untuk mengapresiasi ajaran agama secara keseluruhan. Dari sini jadi jelas perbedaannya dengan agama. Jika syari’at merupakan metode atau aturan, maka agama adalah perangkat keimanan yang lebih universal menyangkut otoritas wujud Allah serta

Page 175: Buku Jurnal 7.1.pdf

Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _171

konsistensi terhadap apa yang mesti dijalankan oleh umat beragama.33

Faktor yang kedua yang dapat dijadikan argumentasi untuk mengelompokan ‘Abduh dan Ridhâ ke dalam kelompok neo-sufisme adalah penekannnya terhadap syari’at (eksoteris) dalam tasawuf atau biasa disebut Tasawuf ‘Amali atau Tasawuf Akhlaqi. Tokoh neo-sufisme yang menulis karya tulis yang kontennya berisi rekonsiliasi antara syari’at dan tasawuf diantaranya adalah Ibnu Taymiyah (w. 728 H). Ia menulis karya dengan judul Fiqh al-Tasawuf.34 Nurcholish Madjid mengutip apa yang dilukiskan Ibnu Taymiyah (w. 728 H) terkait hubungan antara syari’ah dan tasawuf (tarekat) yang saling bertentangan antara orientasi eksoteris dengan orientasi esoteris serupa dengan pertentangan antara Yahudi dengan Kristen. Ia beralasan atas dasar firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) ayat 113.35 Selain itu juga, Azra mencontohkan Ahmad al-Qushasi} yang berinisiasi ke dalam Tarekat Syatariyah, yang sering dikaitkan sebagai cabang tasawuf India yang cenderung melanggar aturan–aturan syari’at – setidak-tidaknya dalam pertumbuhan awal tarikat ini. Ahmad Qushashi berhasil mereorientasikan Tarekat Syatariyah yang menekankan pentingnya dokrin - doktrin hukum Islam dalam jalan mistis. Menurut pendapatnya, baik aspek eksoteris (syari’at ) maupun aspek esoteris (mistis-halaqoh) dalam Islam harus selaras dan tidak bertentangan satu sama lainnnya. 36

Selanjutnya bertolak kepada Ahmad al-Qushashi dengan neo-sufismenya maka timbullah pertanyaan, apakah ‘Abduh dan Ridhâ juga menekankan pentingnya syari’at dalam ide-ide pembaharuannya dan pemikiran tafsirnya. Untuk menjawab pertanyaan ini perlu adanya pelacakan berbagai literatur baik karyanya langsung ataupun penelitian para cendikiawan terhadap keduanya.

Dalam pelacakan terhadap penekanan syari’at diantaranya adalah berdasarkan kesimpulan al-Dhahabî. Dikatakan bahwa metode penafsiran ‘Abduh dan Ridhâ berdasarkan kepada hukum syari’at.37 Urgensi syari’at dalam membumikan al-Qur’an harus selalu dijadikan

Page 176: Buku Jurnal 7.1.pdf

172_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

pondasi utama dan mengontrol praktek syari’at ini agar bisa diamalkan oleh masyarakat. Bahkan al-Dhahabî menambahkan bahwa Shâhib al-Manâr (Ridhâ) selalu berada dalam keadaan independen (hurriyah) dalam beristinbat hukum, lepas dari taklid buta. Sebagai contoh pendapat fiqihnya yang bersebrangan dengan mayoritas ahli fiqih adalah ketika menafsirkan surat al-Baqarah ayat 180. Ia berpandangan bahwa ayat ini tidak mansukh (dihapus) oleh ayat mawârits atau hadits Nabi yang mengatakan tidak ada wasiat untuk ahli waris. Sebagaimana disampaikan oleh jumhur termasuk di dalamnya al-Shâfi’i dalam al-Umm.38

Khusus untuk ‘Abduh, sebagaimana diteliti oleh Sahhâtah, ia mencurahkan perhatian terhadap masalah cabang (furu’iyyah) dalam fiqih. ‘Abduh menaruh minat dalam pembahasan fiqih terutama tentang ayat-ayat ahkam, bahkan menurut Sahhatah, pembahasan ‘Abduh lebih luas dan teratur dibandingkan Ibnu Katsîr (w. 774 H). Sebagai contoh ketika ‘Abduh menafsirkan surat al-Nisâ ayat 43 dengan membaginya menjadi sepuluh pembahasan yang luas.39 ‘Abduh juga sangat memperhatikan perihal ibadat dan Ushul Fiqh. Di dalam semua pembahasannya ‘Abduh memiliki perbedaan dibandingkan dengan mufasir lainnya. Terdapat nilai-nilai pembaharuan dan jauh dari taklid, melakukan tarjih terhadap beragam hukum yang berbeda dan memilihnya mana yang paling sesuai dengan maslahat dan jauh dari kelicikan dan fanatisme. Di dalam pembahasanya ‘Abduh mengunakan metode tanya jawab (diletakan dalam bab marâsilât). Di dalamnya dijelaskan tentang pertanyaan-pertanyan yang datang dari berbagai pihak sekaligus dilengkapi dengan jawabannya.40‘Abduh banyak membahas rahasia-rahasia ibadah, hikmah dan faidahnya. Biasanya dalam hal ini, ‘Abduh merujuk kepada al-Ghazâlî (w. 505 H). Keluasan ‘Abduh dalam bidang ini, menurut Sahhâtah dibuktikan ketika pembahasan ayat tentang puasa dalam surat al-Baqarah ayat 183 dengan menghabiskan sebanyak 50 halaman. Hal yang jarang terjadi kepada para mufasir lain. Keterkaitan antara ‘Abduh dengan syariat sebagai salah sartu karakteristik neo-sufisme selaras denga rujukannya sendiri yaitu Ibnu Taymiyah (w. 728 H) dan al-Ghazâli

Page 177: Buku Jurnal 7.1.pdf

Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _173

(w. 505 H) yang notabene, menurut Fazlurrahman, sebagai neo-sufisme.41

Demikian fokus Ridhâ dalam mendalami salah satu pokok ilmu syari’at (Fiqih).42 Daya nalarnya digunakan secara optimal dalam rangka menarik suatu kesimpulan hukum yang lebih mendekati dan mudah untuk dipakai dalam konteksnya. Keberanian beliau dalam melawan arus merupakan suatu ijtihad yang layak untuk diapresiasi dan bisa saja pendapatnya ini langsung hilang ditelan masa atau bahkan dipakai masyarakat sepanjang masa dengan kadar tergantung kebutuhan umat. Karakter kedua yang dijadikan pertimbangan untuk mengkategorikan ‘Abduh dan muridnya ini sebagai neo-sufisme layak untuk diperbincangkan.

Ridhâ sendiri ketika menafsirkan suarat al-Fâtihah menyatakan bahwa salah satu isu-isu yang difokuskan dalam majalah a’-‘urwah al-Wutsqa salah satunya adalah memleihara syariah agar berada dala jalur adil. Dibawah ini terjemah dari naskah yang bersangkutan :

“Isu yang paling urgen yang difokuskan oleh metode majalah al-‘urwah al-Wuthqa ada tiga hal : Pertama ; menjelaskan sunnatullah yang berkaitan dengan makhluk dan hukum kemasyarakatan, faktor-faktor yang menaikkan derajat umat dan menjatuhkannya, memperkuat dan melemahkannya. Kedua ; menjelaskan bahwa agama adalah agama para pemuka dan raja, mengabungkan antara kebahagiaan dunia dan akhirat, menuntut bahwa Islam adalah agama ruhani dan kemasyarakatan, madani dan aristokrat, dan sesungguhnya kekuatan perang itu hanya ditujukan untuk memelihara syari’at yang adil , hidayah yang umum, keagungan agama, bukan untuk memaksa masuk satu agama dengan kekarasan. Ketiga ;Sesungguhnya umat Islam tidak mempunyai wadah kecuali hanya Islam, mereka tidak boleh dipecahkan oleh keturunan, bahasa dan kewarganegaraan.”

Ridhâ mengakui bahwa ketiga pernyataan di atas merupakan ide dan gagasan al-Afghâni dan ‘Abduh. Keduanya mendirikan majalah ini di

Page 178: Buku Jurnal 7.1.pdf

174_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Paris tahun 1301 H setelah Inggris masuk ke Mesir tahun 1299 H. 43

Dalam konteks pemikiran Ushul Fiqih, ‘Abduh dan Ridhâ dianggap telah menghidupkan epistimologi dan hermeneutika Ushul Fiqih kontemporer.44 Perannya ini memperkuat pondasi utama dari syari’ah itu sendiri.

Dalam konteks kelembagaan, Ahmad Badri Abdullah memasukkan keduanya ke dalam salah satu tipologi pemikiran Islam dan fiqih kontemporer, yaitu Reformis Salafis. Menurut penelitianya, tipe ini merupakan trend pemikiran yang menyelidiki tujuan dan makna yang terkandung dari manuskrip wahyu ilahi. Mereka meyakini bahwa ijtihad masih dibutuhkan untuk menjawab tantangan dunia modern.45 Penulisnya menyebutkan kata trend memberikan pemahaman bahwa tipe ini memberikan pengaruh yang luas dan diminati umat Islam modern.

Sebagai sufi yang menekankan semangat pembangunan kemasyarakatan, sebagaimana yang ditulis Nurcholish Madjid, maka kesufian keduanya sebagai bagian dari organisasi kemasyarakatan memperkuat posisinya sebagai neo-sufisme.

c. ‘Abduh, Ridhâ dan Aktivisme

Azra mencatat bahwa tarekat sebelum abad XII cenderung menekankan eskatisme dan anti keduniaan, tetapi sejak abad XVIII, ia memberikan kerangka organisasi yang cukup sulit bagi gerakan sosial. Kini bukan hanya orang awam yang tersedot ke dalam organisasi sufi, tetapi juga kelompok tentara, seniman. Semua kelompok ini disatukan oleh jaringan afiliasi tarekat ke dalam lingkungan dalam jumlah besar, dan sebagai konsekuensinya maka tarekat menjadi dasar bagi adanya gerakan sosial –politik.46

Apabila yang pertama dan kedua di atas menyebutkan kecenderungan dan karakteristik neo-sufisme yang berbasis teks. Selanjutnya kecenderungan yang ketiga adalah adannya ajaran aktivisme. Sufi

Page 179: Buku Jurnal 7.1.pdf

Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _175

yang menekankan kecenderungan dalam ajaran ini adalah al-Qushashi. Dia tidak hanya menekankan akal, tetapi juga aktivisme. Berulang kali ia mengingatkan kaum muslimin agar meninggalkan kelalaian dan kebodohan mereka, mencari ilmu dan memanfa’atkan waktu mereka untuk tujuan-tujuan yang baik. Dia juga menggesa kaum muslimin agar sepenuhnya menjalankan tugas-tugas duniawi mereka untuk menopang kehidupan dengan jalan mengajar, berdagang, atau bertani. Menurut pendapatnya, seorang sufi sejati bukanlah orang yang mengasingkan dirinya dari masyarakat, melainkan orang yang mengajarkan kebaikan dan melarang kejahatan, dan mau mengulurkan tangan membantu mereka yang tertindas, yang sakit dan yang miskin. Lebih jauh lagi seorang sufi sejati adalah orang yang dapat bekerja sama timbal balik (ta’âwun) dengan orang-orang muslim lainnya demi kebaikan masyarakat. Ini adalah beberapa contoh yang diberikannya tentang perbuatan-perbuatan baik yang hendaknya dilakukan mereka yang berkeinginan menjadi dasar didikan manusia sempurna (al-insân al-kâmil) sebagaimana gambaran dalam tasawuf.47

Dalam konteks Indonesia, aktivisme yang dimunculkan oleh kaum sufi ini diwadahi oleh suatu organisasi tarekat. Tarekat, pada masa awal berdirinya, merupakan kumpulan jaringan massa yang cenderung menekankan eskatisme dan anti keduniaan. Namun, perannya mengalami pergeseran menjadi dasar dari berbagai kekuatan sosial politik, sejak dari gerakan Syafawi di Persia, Murâbitûn dan Muwahidun di Afrika Utara, Naqshabandiyah di India pada masa pemerintahan Akbar, sampai kepada gerakan Diponogoro dan pemberontakan petani, Banten.48

Berangkat ke luar negri, gerakan tasawuf yang sukses dalam mengadakan pergerakan (movemennt) masyarakat muslim melalui pendidikan adalah Sa’id Nursi dan Sulayman Hilmi Tunahan. Mereka berdua berusaha menjaga pengetahuan agama dan menterjemahkan hukum-hukum tradisional kepada komunitas luas.49

Page 180: Buku Jurnal 7.1.pdf

176_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Tidak ada keluhan apapun terhadap kaum sufi yang memalingkan muka dari dunia dan mengabaikan umat manusia yang menderita kecuali, tentu saja, periode pelatihan yang keras dan berat, selama beberapa tahun pertama bahkan selama orang-orang yang paling cinta dunia berkhalwat selama periode pelajaran mereka. Kaum sufi tidak pernah diketahui kurang dalam aktivitas–aktivitas sosial dan pembaharuan. Sebenarnya ketika mereka berada dalam puncak spiritual, para sufi berkewajiban melayani umat dengan semangat dakwah. Kaum sufilah yag selalu menjadi pemelihara hak-hak asasi manusia yang paling sigap dan pemelihara keadilan, kebajikan, dan kesetaraan semua manusia.50

Aktivisme diyakini bisa menghapus pandangan negatif bahwa tasawuf itu menjadi biang kemunduran muslim dalam aspek politik, sosial maupun keberagamaan. Perlu ada revitalisasi dalam semua aspek tersebut. Menurut para sufi yang aktif, jalan yang masuk akal untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan mengembangkan pemahaman lebih berimbang atas setiap aspek Islam, menekankan seluruh ajarannya secara holistik, seperti dalam bidang hukum dan mistis, intelektual dan praktikal, serta sosial dan individual. Mereka berusaha mengadakan pembaruan-pembaruan, purifikasi, dan aktivitas.51

Muhammad ‘Abduh diakui sebagai pembaharu pada milenuim baru. Nilai aktivisme tidak mungkin diragukan lagi telah tertanam dalam jiwanya. Raganya didedikasikan sepenuhnya untuk perjuangan sosial dan agama. Kemajuan adalah harga mutlak bagi ‘Abduh. Keaktifannya dimulai dengan mengadakan perubahan di internal kampus al-Azhâr. Sungguhpun usahanya untuk merubah al-Azhâr serupa dengan universitas–universitas di Eropa gagal, ia berhasil memasukan beberapa mata pelajaran umum seperti matematika, al-jabar, ilmu ukur dan ilmu bumi ke dalam kurikulum al-Azhâr. Administrasi diperbaiki, metode pengajarannya dirumuskan dan ia terlibat aktif langsung dalam mengajar.

Bidang pendidikan menjadi kendaraan utama yang digunakannya bersama al-Afghâni untuk menciptakan kesatuan dan reformasi

Page 181: Buku Jurnal 7.1.pdf

Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _177

masyarakat Islam. Kerjasama antara guru dan murid yang berbeda karakter tersebut misalkan ketika keduanya di Paris membentuk tim penyusun majalah al-‘Urwah al-Wuthqa.52

Pada umumnya perjuangan ‘Abduh di dalam tiga objek. Pertama, reformasi agama melalui kebebasan pemikiran dari bahaya taklid buta. Kedua, reformasi bahasa yang bertujuan meningkatkan kelemahan dan peradaban yang relevan dengan konteksnya. Ketiga, reformasi politik yang sempat ia tinggalkan karena banyaknya ancaman yang ia hadapi, terutama dari kaum imprealis dan aturan-aturan tirani.53

Pasca wafatnya Abduh, cita-citanya ini kemudian dilanjutkan oleh Ridha sejak tahun 1315 H tepatnya bulan Rajab. Reformasi Islam ternyata menjadi agenda keduanya. Ridhâ meneruskan eksperimen dan ide-ide ‘Abduh ini setelah menyelesaikan studinya di THarâbulus dengan mengambil syahadahnya. Ia pindah ke Mesir untuk selanjutnya mendirikan majalah al-Manâr yang tujuannya memang sebagai media dakwah menuju reformasi.54

Aktivisme yang dimiliki oleh neo-sufisme dijadikan sebagai tenaga dan modal utama untuk mengawali sehingga terwujudnya reformasi. Agenda reformasi tidak akan berjalan tanpa adanya semangat aktivisme. Bahkan aktivisme ini juga membutuhkan akslerasi agar pencapaian reformasi bisa ditempuh dalam waktu yang singkat. Bagi Ridhâ reformasi adalah keniscayaan, ia mengatakan :

“Zaman ini tidak akan sepi dari kelompok yang menyerukan reformasi walaupun mereka minoritas. Namun jumlah meeka akan selalubertambah seiring berjalannya waktu. Tulisan-tulisan mereka akan menunjukkan mereka arah jalan yang akan mereka tempuh. Perkataan yang benar (hak), walaupun yang setuju dan mengetahui keadannya hanya sehgelintir orang, patut untuk dipelihara dan dikembangkan melalui tempat-tempat yang sesuai baginya. Hal demikian adalah seleksi alam. Contohnya, saya selalu memelihara manuskrip majalah ‘al-Urwah al-Wuthqa’, walaupun sudah rusak tetapi di dalamnya terdapat

Page 182: Buku Jurnal 7.1.pdf

178_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

ucapan, perumpamaan yang indah dan faidah yang besar. Saya menyimpannya di t}urûs (lembaran) dan di sanubari ini.55

Spesifikasi pendidikan yang digencarkann oleh ‘Abduh dalam rangka mempercepat pergerakan reformasi Islam diantaranya fokus dalam kajian teologi dan filsafat. Dalam rangka melawan ikatan taklid, tentu saja manfaat dari kedua ilmu tersebut akan memberikan pencerahan pemikiran. Usaha ini selanjutnya, dilanjutkan oleh Khalafallah dan al-Khulli.56

Aktivitasnya bertambah dan meluas, keilmuannya dibutuhkan masyarakat lebih luas, maka tahun 1899 ia diangkat menjadi mufti Mesir. Suatu jabatan resmi penting di Mesir dalam menafsirkan hukum syari’at untuk seluruh Mesir. Dalam tahun itu juga, ia diangkat menjadi anggota Majlis Syura, dewan legislatif Mesir, padahal waktu itu usianya masih muda. 57

Mengingat ambiugitas yang tersirat dalam Utsmaniyah Arab dan aktualitas kekuasaan Inggris di Mesir. Dia berpendapat bahwa aktivisme politik seharusnya disertai dengan penyegaran pemikiran kaum muslim. Pengaruh Barat sudah merasuk sejak Napoleon masuk ke kawasan Timur Arab, tetapi sebagian dalam bentuk-bentuk praktis persenjataan, perdagangan, bisnis perjalanan dan keuangan. Respon terhadap modernitas, menurutnya, harus dilakukan sesuai dengan cara Islam memahami dirinya. Studinya dalam tafsir al-Qur’an dan Fiqih dalam pola skolastik tradisional, menyadarkan akan dia perlunya sikap kritis terhadap tradisi tersebut.

Aktivisme yang menempel pada kedua tokoh pembaharu ini memberikan pelajaran kepada umat Islam itu agar senantiasa dinamis. Islam selalu bisa merespon dengan baik semua perkembangan zaman. Perlu digaris bawahi secara tebal terkait dengan komitmen ‘Abduh terhadap Islam sebagai refleksi dari aktivisme yang dianutnya. Ditulis dalam tinta sejarah bahwa ‘Abduh pernah mengeluarkan semacam ikrar atau sumpah perjuangan yang terdiri dari lima poin. Kelima

Page 183: Buku Jurnal 7.1.pdf

Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _179

poin itu dapat disimpulkan pertama adalah prioritas terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah; kedua, komitmen untuk istiqomah berdakwah; ketiga, menghidupkan ukhuwah Islamiyah; keempat, menghindari perbuatan yang merugikan Islam; dan kelima, berupaya untuk meningkatkan kekuatan Islam.58

Melihat semua aktivitas ‘Abduh secara kuantitas sangat padat dan beragam, juga secara kualitas sangat besar manfaatnya untuk ranah sosial dan agama maka layaklah ia dikategorikan seorang sufi modern atau neo-sufisme. Apabila kesimpulan untuk ‘Abduh adalah sebagaimana demikian maka Rashid Ridhâ tidak akan jauh seperti demikian, karena hubungan mereka sebagai guru dan murid menuntut keduanya untuk selalu bersama. Ridhâ adalah kolega sekaligus murid yang melanjutkan perjuangan ‘Abduh, pemikiran dan ide-idenya. Tokoh kharismatik ini, selalu dipantau perkembangannya oleh ‘Abduh. Ridhâ berhasil menyebarkan pemikiran ‘Abduh sampai keluar Mesir melalui jurnal yang terakhir terbit pada tahun wafatnya, 1935.59

Ketika menafsirkan surat al-Tawbah ayat 103, di dalam Tafsîr al-Manâr, Ridhâ menyatakan perlunya ada pergerakan dalam bidang ekonomi. Walaupun Islama itu merupakan agama, namaun, justru maknanya lebih dari itu. Lebih jauh kutipan dari pembahasan aktivisme agama sebagai berikut :

“Bahkan sejak beberapa tahun telah tersebar sebuah kitab yang berbahasa Arab yang dicetak di Quds. Kitab ini berjudul al-H{arakât al-Fikriyyah fi al-Islâm (Gerakan Pemikran Islam). Penulisnya mengklaim ia mengikuti sebagaian sejarawan dari Perancis yang mengatakan bahwa Islam bukanlah pemikiran agama semata, tetapi sebaliknya juga meliputi persoalan perekonomian dan kemasyarakatan, bahkan bisa saja yang terakhir ini adalah tujuan utama yang dituju, dalam hal ini agama hanya menjadi perantara saja. Dikutip dari Kaetânî, seorang sejarawan Itali, Islam adalah sebagai agama secara dzahirnya saja, adapun subtansinya adalah

Page 184: Buku Jurnal 7.1.pdf

180_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

politik dan perekonomian. Ia berkata, ‘Salah satu dari kehebatan pendiri agama Islam ini dan nampak kecerdasannya ia telah mengetahui poros gerakan perekonomian dan kemasyarakatan yang terjadi di keseharian kota Mekkah sebagai bukota H{ijâz. Ia telah mengetahui bagaimana carannya mengambil manfaat dari kondisi tersebut untuk menghasilkan tujuan agama dan masyarakat yang tinggi...”.60

Lebih jauh lagi Ridhâ mencontohkan bahwa dulu ada seorang Sufi yang selalu aktif di pasar seolah-olah ia adalah orang yang menolak tawakal. Redaksi teksnya sebagai berikut :

“Abû H{afs ‘Umar ibn Muslim al-H{addâd, gurunya Junayd, berkata tentang tasawuf : ‘Aku telah menyembunyikan sikap tawakkal saya selama dua puluh tahun, ketika itu saya tidak pernah jauh dari pasar. Saya selalu giat bekerja untuk mencari dinar dan saya tidak pernah bermalam dalam keadaan, tidak pernah istirahat kecuali hanya untuk ke kamar mandi. Al-Ghazâlî (w. 505 H) berkata :’Keluar dari sunnatullah bukanlah syarat dari tawakal. Saya menghapal ungkapan ini dari al-Ghazâlî atau mungkin dari yang lainnya dengan redaksi ‘Tawakkal itu bukanlah keluar dari sunnatullah’. Nampaknya redaksiyang kedua ini lebih tepat.61

Ridhâ mengemukakan dua contoh sikap yang berada dalam dua sisi yang kontradiktif. Di satu sisi seorang sufi itu harus mampu mengkondisikan diri dengan lingkungan yang aktivitasnya cepat. Di sisi lainnya juga seorang sufi tentu saja harus lebih condong kepada tawakal kepada Allah. Namun ia mencoba mencari benang merah di antara keduanya dengan adanya tawakkal yang berada dalam koridor sunnatullah. Artinya aktivisme yang diusung Ridhâ dalam tasawuf bersifat moderat tidak radikal.

Dengan jelas, walaupun kutipan di atas sebagai pandangan Barat tentang Islam, namun Ridhâ tidak malu untuk membenarkan bahkan langsung menganjurkan agar umat Islam memahami Islam secara utuh.

Page 185: Buku Jurnal 7.1.pdf

Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _181

Islam yang mengintegrasikan aspek dunia dan akhirat. Aktivisme dalam bidang ekonomi dan sosial masyarakat merupakan Islam itu sendiri.

d. ‘Abduh, Ridhâ dan Organisasi Tarekat

Di antara kecenderungan neo-sufisme yang tiga di atas, mungkin yang ke empat ini yang sulit dibuktikan, baik asumsi ini berlaku untuk ‘Abduh maupun untuk Ridhâ. Walaupun apabila kita baca ulang di setiap buku yang membahas perjalanan spritual ‘Abduh, disebutkan ia bertemu dengan Shaykh Darwisy Khadr. ‘Abduh juga sempat mengamalkan tarekat al-Shâdhiliyah dan mengamalkan ritual dhikr dan ta’wîd.62 Namun tidak ditemukan adanya bukti usaha ‘Abduh dan Ridhâ berupa syi’ar untuk mengembangkan tarekat ini agar diikuti secara masal oleh kaum muslimin. Hal ini mungkin terjadi karena ‘Abduh lebih cenderung kepada pemikiran dari pada ritualitas yang memang dalam masa ‘Abduh sudah ternodai dengan adanya penyimpangan– penyimpangan berupa tahayul, bid’ah dan khurafat. Eksplorasi terhadap akal lebih dibutuhkan ketika masanya dari pada terbuai dengan ritual yang sebenarnya bisa dilakukan secara privasi. Ini hanyalah asumsi penulis berdasarkan pertimbangan data yang ada.

Pandangan lain adalah adanya saksi sejarah yang memperkuat kesufian ‘Abduh. Dia adalah al-Qâsimî seorang ulama sekaligus sufi pada tahun 1903. Ia selalu berkunjung ke Mesir untuk berkorespondensi dengan ‘Abduh dan Ridhâ. Bahkan selama empat minggu al-Qâsimi pernah sering bertemu dan mengikuti kuliah yang disampaikan ‘Abduh.63 Ini menjadi bukti kuat bahwa seorang sufi biasa ditemani oleh sufi juga.

Di dalam Tafsîr al-Manâr ketika menafsirkan surat Âli ‘Imrân (3) ayat 21 disebutkan bahwa tarekat adalah sebuah metode yang dimiliki oleh para hukamâ’ dalam berdakwah kepada umat menuju al-Haq.64 Walaupun di dalam penafsirannya ini makna al-Haq itu luas dan ambigu, namun al-Haq yang hakiki adalah Allah. Penulis lebih condong menangkap arah penafsirannya demikian.

Page 186: Buku Jurnal 7.1.pdf

182_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Ridhâ mengenalkan apa yang disebutnya sebagai tarekat al-Qur’an dan Sunnah. Term ini ia kemukakan ketika menjelaskan makna al-tazkiyah dalam surat Âli ‘Imrân (3) ayat 164. Menurut ‘Abduh al-tazkiyah adalah metode tarekat untuk mensucikan jiwa mereka dari keyakinan-keyakinan yang sesat, dari keraguan yang timbul karena pengaruh paganisme (al-wathaniyyah) dan kotoran. Padahal akidah itu merupakan pondasi dari suatu kerajaan.

Ayat ini menjelaskan tentang sosok Nabi yaang mempunyai 3 tugas. Pertama ; sebagai seorang mu’allim dan murabbî bagi umat Islam dalam melakukan tazkiyah dan tarbiyyah al-nufûs. Kedua; mengajarkan al-Qur’an. Nabi mengerti bahwa kebutuhan umat Islam pada masanya adalah terwujudnya tradisi tulis-menulis, terutama penulisan al-Qur’an. Nabi juga mengajarkan bagaimana ia berdiplomasi dengan berbagai raja dan penguasa dan mengajak mereka untuk masuk Islam. Ketiga; mengajarkan hikmah. Kata al-H{ikmah dalam ayat ini adalah rahasia –rahasia dari segala sesuatu, memahami hukum, menjelaskan maslahat dari berlakunya suatu hukum, mengajak untuk mengamalkannya. Pemahaman yang dimaksud di sini adalah pemahaman hukum fiqih yang berbasis praktek atau bahkan sebaliknya pengamalan yang bisa sekaligus meningkatkan pemahaman terhadap wacana fiqih dan metodologi istidlal, dan juga mengtahui hakikat dari penjelasan-penjelasannya.65

Jika ditelisik ketiga term ini akan menghimpun tiga aspek agama yaitu tazkiyah mewakili aspek akidah, al-kitâb mewakili aspek syari’ah dan al-h{ikmah mewakili aspek tarekat dan hakikat. Inilah mungkin salah satu tipologi sederhana tentang tarekat muhammdiyyah.66

Ketika menafsirkan surat al-Nisâ’ (4) ayat 32, ‘Abduh menjelaskan makna tarekat sebagai alat untuk membersihkan salah satu penyakit hati, yaitu al-tamanna. al-Tamanna menurut Abduh terkadang bermakana al-hasad (dengki). Sifat ini dilarang oleh agama, sebagai mana tersurat dalam ayat.67 Kata al-tamanna dalam surat ini mengarah kepada keinginan untuk memakan milik orang lain, sedangkan makan itu

Page 187: Buku Jurnal 7.1.pdf

Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _183

menjadi penyebab kepada peperangan. Orang yang memberi ternak makanan di wilayah perbatasan dengan tanah orang lain akan jatuh ke dalam wilayah shak (keraguan). Sebaliknya yang menjauhinya akan membawanya kepada kebersihan batin dari akhlak-akhlak tercela. Tarekat, bagi ‘Abduh, menselaraskan antara aspek dzahir dan batin, syari’at dan hakikat. Orang yang memakai tarekat dalam kejidupan beragama akan memudahkannya dalam menjauhi larangan dan mampu menerima bagian rizkinya dari Allah.68

e. ‘Abduh, Ridhâ dan Kesinambungan serta Perubahan

Karakteristik dan kecenderungan yang kelima ini dilihat oleh Azra sebagai gejala yang tidak terlepas dari neo-sufisme. Menurutnya, munculnya neo-sufisme bukan berarti paradigma lama yang dianut oleh sufisme lama lenyap begitu saja. Tasawuf yang berlebih-lebihan (extravagant) masih dipraktikan sejumlah orang di Mekkah sebagaimana kita lihat dalam pengalaman SulaymÂ>n al-Maghribi.

Yang dimaksud kesinambungan dan perubahan menurut persfektif Azra - dengan memberikan contoh – adalah mereka yang termasuk neo-sufisme berusaha untuk mengurangi ciri-ciri escatic dan berlebihan dari tasawuf sebelumnya dan menekankan kepatuhan pada syari’at, pada saat yang sama mereka mempertahankan doktrin - doktrin, misalnya Ibn ‘Arabi- dengan cara memisahkannya dari doktrin-doktrinya yang kontoversial.

Di antara tokoh neo-sufisme yang dianggap mengintegrasikan antara ajaran tasawuf lama dan tasawuf baru, sebagaimana dikemukakan oleh Johns adalah Ibrahim al-Kurani. Walaupun sepintas ajarannya bisa disimpulkan mengarah kepada doktrin-doktrin Ibn ‘Arabi, sebagaimana tertuang dalam kitabnya Itihâf al-Dhâki. Namun sebenarnya pada saat yang sama ia juga mengutip doktrin-doktrin tasawuf dari al-Ghazâli, al-Qushashy bahkan Ibn Taymiyyah (w. 728 H). Lebih jauh lagi, dia tidak mempelajari doktrin-doktrin mistikio-filosofis Ibn ‘Arabi saja, melainkan juga ajaran-ajaran hukumnya. Sebagaimana dikemukakan, dia

Page 188: Buku Jurnal 7.1.pdf

184_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

mempelajari aspek yang sering diabaikan dari ajaran-ajaran Ibn ‘Arabi bukan dari seorang sufi, melainkan dari seorang ulama Mekkah terkemuka, Zayn al-‘Âdidîn al-THabâri yang dikenal sebagai seorang muhaddits.69

Gejala yang diamati Azra pada Ibrâhim al-Kurani juga bisa dilihat oleh penulis dengan bebarapa pertimbangan yang ada. Apabila kita ibaratkan antara tasawuf lama dan tasawuf baru (neo-sufisme) bagaikan dua rantai yang saling berhubungan. ‘Abduh dan Ridhâ pun demikian. Keduannya sama-sama mengalami persentuhan langsung dengan kajian tasawuf dan tokohnya sekaligus. ‘Abduh yang sempat masuk ke tarekat Shadhiliyyah, Ridhâ yang telah membaca berulang-ulang kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn dan bahkan mengomentarinya, bahkan di antara karyanya ada yang khusus membahas al-Ghazâli yaitu Risâlah H{ujjat al-Islâm al-Ghazâli.70

Keterkaitan Tafsîr al-Manâr dengan al-Ghazali tidak haya sampai di sana saja, tetapi bersama dengan al-Râzî, al-Alûsi dan al-Naysâbûrî, semuanya dijadikan sebagai rujukan ketika menafsirkan surat al-An’âm (6) ayat 79. Inilah satu-satunya ayat yang diakui oleh Ridhâ dengan gamblang sebagai tafsir dengan pendekatan isyarat yang dikutip dari para sufi. Adapun naskahnya sebagai berikut :

“Niz}âm al-Dîn al-H{asan ib Muhammad al-Naysâbûrî menyampaikan dua ungkapan ketika menfasirkan ayat ini. Pertama; sesungguhnnya Ibrâhî melihat cahaya petunjuk didalam rupa bintang, cahaya rubûbiyyah di dalam bentuk bulan, dan cahaya hidayah dalam bentuk matahari. Ia menemukan ungkapan pertama ini dengan sya’ir. Kedua; Ibrahim mengklaim bahwa ketiganya berputar secara terus-menerus”.71

Selanjutnya Ridhâ mentkhrij bahwa ungkapan ini adalah ungkapan yang disimpulkan al-Râzî dari tafsir al-Naysâbûri, kemudian ia menambahkannya dengan takwil-takwil dari al-Ghazâlî. Penafsiran ini lebih mendekati kajian tasawuf. Ungkapan yang kedua ini juga dikutip oleh al-Alûsi, sedangkan yang pertama al-Alusi mengembangkanny.

Page 189: Buku Jurnal 7.1.pdf

Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _185

Menurut penafsiran al-Alûsî bintang adalah simbol ruh hewan, bulan simbol qalbu, dan matahari simbol ruh. Ketika semuanya terbenam setelah semuanya menampakkan wajahnya (bertajalli) dengan penampakan cahaya Tuhan. Penafsiran yang terakhir ini agak bisa ditolerir. Tetapi keduanya penafsiran yang batil. Nampaknya dalam ayat ini Ridhâ tidak menerima penafsiran yang diajukan para sufi di atas.

Khusus tentang Ridhâ sebagaimana diakui oleh saudaranya, ia dianggap sebagai wali. Ridhâ mendapatkan penghormatan yang tinggi dari penduduk kampungnya. Mereka seringkali datang meminta “berkahnya”.72

Di sinilah terlihat kontiunitas antara mereka dengan para sufi sebelumnya. Sama-sama mempertahankan tradisi ulama salaf. Namun, ketika itu juga mereka berdua mengajukan kritik yang tidak tanggung-tangung terhadap praktek tasawuf yang menyimpang seperti yang dilakukan oleh pengikut tarekat al-Tijâniyah.

Kesinambungan keduanya dengan tokoh neo-sufisme sebelumnya, contohnya bisa dilihat dari pengakuan Ridhâ sendiri. Ia mengatakan bahwa kitab -kitab yang paling memberikan manfa’at besar bagi terwujudnya rekonsiliasi antara naql dan ‘aql adalah karya-karya Ibn Taymiyyah (w. 728 H). Bahkan lebih tegas mengatakan bahwa hatinya tidak tenang mengaku sebagai salaf kalau tidak mengutip langsung dari karya-karyanya.73

Di lain tempat dan masih dari sumber yang sama Ridhâ mengatakan bahwa barang siapa di antara para ahli ilmu dan pengetahuan yang ingin mengutip hikmah dari perkataan para sufi, mengamalkan Sunnah dan mengikuti para salaf hendaknya merujuk kepada kitab Madârij al-Sâlikîn (Tahapan para salik) yang ditulis oleh Ibn Qayyim al-Jawziyyah. Kitab ini merupakan syarah atas kitab Manaâzil al-Sâirîn (Tingkatan para pejalan) yang disusun oleh al-Harâwî al-Anshârî. Di dalam kitab yang pertama ini banyak disingguhg tentang ajaran-ajaran tasawuf yang tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.74

Page 190: Buku Jurnal 7.1.pdf

186_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Sebenarnya rantai neo-sufisme ini, sebelum diproyeksikan ke Ibn Taymiyyah dan Ibn Qayyim, juga pantas diarahkan ke Ibn H{azm. Bahkan ia telah melakukan reformassi agama sebelum keduanya.

Kesinambungan ini sebenarnya merupakan syarat mutlak bagi semua sufi klasik juga, bahkan mereka mewajibkannya. Para sufi yang dianggap telah berbuat bid’ah saja mengakui hal tersebut. Semuanya berpandangan bahwa sumber dari tasawuf adalah mengikuti al-Qur’an al-Sunnah dan ulama salaf.75

D. Kesimpulan

Data-data di atas merupakan argumen-argumen yang penulis kumpulkan dari berbagai sumber sebagai acuan dasar dalam mengajukan status kedua penulis Tafsîr al-Manâr sebagai neo-sufisme pada era-modern ini. Argumentasi-argumentasi di atas tentu saja belum sepenuhnya benar dan belum cukup. Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang diskursus tersebut. Pengaruh ‘Abduh, Ridhâ dan Tafsîr al-Manâr yang begitu luas di dunia Islam kiranya merupakan faktor utama yang memperkuat dugaan penulis tentang kesufian mereka.

Revitaslisasi teori neo-sufisme juga akan memberikan kesadaran bahwa nilai tasawuf sudah menjadi konsumsi tidak hanya untuk kalangan tradisional saja, tetapi juga kalangan urban modern. Sehingga diharapkan akan terwujudnya pribadi qur’ani yang toleran dan menjunjung tinggi nilai-nilai penghargaan kepada semua kalangan.

Oleh karena itu perlu dikembangkan kembali konsep tasawuf modern yang pernah diusung oleh Hamka sebagai kebutuhan masyarakat modern terhadap aspek spiritual. Konsep tasawuf dalam magnum opus-nya Rashîd Ridha, Tafsîr al-Manâr, juga belum disosialisasikan secara lebih luas.

Page 191: Buku Jurnal 7.1.pdf

Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _187

Daftar Pustaka

Abd al-‘Iyâl, Isma’il Sâlim, Ibn Al-Kathîr wa Manhajuhu fî al-Tafsîr, Awl

al-Haram: Maktabah Fayshal al-Islâmiyyah, 1984. Abû-Zayd, Nashr Hâmid. “The Dilemma of the Literary Approach to

the Qur’an.” Alif: Journal of Comparative Poetics, Literature and the Sacred, no. 23, (2003) : 9.

Ahmad Badri Abdullah, Mohd Anuar Ramli, Mohammad Aizat Jamaludin, Syamsul Azizul Marinsah and Mohd Roslan Mohd Nor, “Postmodernism Approach in Islamic Jurisprudence (Fiqh).” Middle-East Journal of Scientific Research 13,no.1 (2013) : 34.

Azra, Azyumardi, Historiografi Islam Kontemporer, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002

------------------------, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, 2002.

al-Bannâny, Ahmad bin Muhammad, Mawqif al-Imâm Ibn Taymiyyah min al-Tashawwuf wa al-Shûfiyah, Makkah: Jâmi’ah Ummu al-Qura, 1992.

al-Dzahaby, Muhammad Husayn, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, ttp: tth, juz ke-2

Goldziher, Ignaz, Mazhab Tafsir diterjemahkan dari buku Madzâhib al-Tafsîr al-Islâmi oleh M. Alaika Salamullah dkk., Yogyakarta: eLSAQ Press, tt.

Hamidah “Gerakan Petani Banten.” Ulumûna : Studi Jurnal Keislaman 17, no. 2 (Desember 2010).

Ibn ‘Abd al-Halîm, Taqiy al-Dîn Ahmad, Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr, Beyrût : Dâr Ibn al-Hazm, 1997.

Johnston, David ” A Turn in The Epistemology and Hermeneutics of Twentieth Century Ushûl Fiqh .“ Islamic Law and Society 11, no. 2 (2004) : 233.

Page 192: Buku Jurnal 7.1.pdf

188_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Jonker, Gerdien. “The Transformation of a Sufi Order into a Lay Community : The Suleyman Movement in Germany and Beyond”, in European Muslims and the Secular State by Jocelyne Cesari and Sean McLoughlin (ed), (USA and UK: Ashagate, 2005

Keener, R. Michael. “Indonesian Movements for the Creation of a ‘National Madhhab.’” Islamic Law and Society 9, no. 1 (2002) : 96. (Diakses 30-04-2014).

Lauzière, Henri. ”Post-Islamism and the Religious Discourse of ʿAbd al-Salam Yasin.” International Journal of Middle East Studies 37, no. 2 (May 2005) : 255. (Diakses 30-04-2014)

Maclean, Derryl N, Religion and Society in Arab Sind, Leiden: E.J. Brill, 2006.

Madjid, Nurcholish, Islam Agama Peradaban, Jakarta: Dian Rakyat, 2008. ---------------, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Wakaf dan

Peradaban, 1995. Malamud, Margaret. “Sufi Organizations and Structures of Authority

in Medieval Nishapur.” USA : Int. J. Middle East Stud. 26 (1994) Mohmd Nor, Wan Salim Wan. “A Study of Development of Reformist

Ijtihad and Some of Its Aplication in The Twentieth Century.” UK : Ex Bibl University of Edinburgh, tt. Buku ini merupakan disertasi penulisnya untuk mendapatkan gelar Ph.D.

Mushthafa, Muhammad Hilmy, Ibn Taymiyyah wa al-Tashawwuf, Al-Qâhirah : Dâr al-Jawzy, 2005.

Rabbani, Capt. Wahid Bakhs, Sufisme Islam, Jakarta: Shara Publisher, diterjemahkan dari buku Islamic Sufism oleh Burhan Wirasubrata, 1984.

Ramadan, Tariq, Western Muslims and The Future of Islam, Oxford and New York: Oxford University Press, 2004.

Rashîd Ridhâ, Muhammad, Tafsîr al-Manâr, Bayrût: Dâr al-Kutub al – ‘Ilmiyyah, 1999.

Shafîq, Shaikh Zuhair, al- Kabîr, Beyrût: Dâr al-Fikr, 1993. Shabry, al-Mutawalliy, Manhaj Ibn Taymiyyah fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm,

Page 193: Buku Jurnal 7.1.pdf

Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _189

al-Qâhirah: ‘Ali al-Kutub, 1981.Shihab, M. Quraish. Rasionalitas Dalam al-Qur’an : Studi Kritis Atas Tafsîr

Manâr. Jakarta : Lentera Hati, 1996.al-Sirry, Mun’im A. Reformist Muslim Aproaches to The Polemic of The

Qur’an Againts Other Religion. Chicagho : Illionis, 2012.Sirriyeh, Elizabeth. ” Sufis and Anti-Sufis: The Defence, Rethinking and

Rejection of Sufism in the Modern W orld.” Reviewed by Gavin Picken. British Journal of Middle Eastern Studies, Vol. 30, No. 2 (Nov., 2003)

al-Shahhâtah, Abd Allah Mahmûd. Manhaj al-Imâm Muhammad ‘Abduh fî Tafsîr al -Qur’’an al-Karîm, ttp: tth

Thahhân, Mahmûd, Taysîr Mushthalâh al-Hadîts, Beyrût: Dâr al-Fikr, tth.Weismann, Itzchak. “Between ʿūfī Reformism and Modernist

Rationalism : A Reappraisal of the Origins of the Salafiyya from the Damascene Angle.” Die Welt des Islams, New Serie 41, Issue 2 (Jul. 2001).

Yaqub, Ali Mustafa, Kritik Hadits, Jakarta:Pustaka Pirdaus, 2000. Yasid, Abu, Nalar dan Wahyu, Jakarta: Penerbit Relangga, 2000

Page 194: Buku Jurnal 7.1.pdf

190_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Endnotes

1. Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban , Jakarta : Dian Rakyat, 2008, h. 80-81.

2. Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002, 125, h. 194.

3. Lihat juga Elizabeth Sirriyeh,” Sufis and Anti-Sufis: The Defence, Rethinking and Rejection of Sufism in the Modern W orld,” Reviewed by Gavin Picken. British Journal of Middle Eastern Studies, Vol. 30, No. 2 (Nov., 2003), h. 262.

4. Lihat Tariq Ramadan, Western Muslims and The Future of Islam , Oxford and New York : Oxford University Press, 2004, h. 117.

5. Fazlur Rahman adalah pemikir muslim kenamaan yang wafat pada 26 Juli 1988. Dia dilahirkan di Pakistan tahun 1919, dan menyelesaikan pendidikan tingginya di Universitas Oxford. Dengan diseratsi mengenai filsafat Ibnu Sina. Pernah mengajar di Universitas Durham, Inggris, Mcgill, Kanada dan juga pernah menjabat Direktur Riset Islam di Pakistan (1962-1969). Dan terakhir menjadi guru besar di Universitas Chicago dalam bidang Pemikiran Islam sampai wafatnya. Diantara karya-karyanya Prophecy in Islam (1958), Islamic Methodology in History (1965), Islam (1968), Major Themes of The Qur’an (1980), Islam and Modenity (1982) dan terakhir Health and Medicine in the Islamic Tradition (1987). Lihat Fazlur Rahman, “Beberapa Pendekatan Dalam Kajian Atas Islam : Suatu Tinjauan Kritis.” Jurnal Ulumul Qur’an 3, no. 2 (1991) : 34. Dalam kancah penafsiran, menurut kesimpulan Abdul Mustaqim, Rahman termasuk ke dalam kelompok mufasir era-reformatif yang beraliran neo-modernis dan liberalis. Lihat Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta : LKiS, 2011), 108. Lihat juga Vincent J. Cornell, “Enigmatic Saint: Ahmad Ibn Idris and the Idrisi Traditionby R. S. O’Fahey,” International Journal of Middle East Studies, Vol. 25, No. 1 (Feb., 1993) : 170, http://www.jstor.org/stable/164191 (accessed June 25, 2014).

Page 195: Buku Jurnal 7.1.pdf

Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _191

6. Michael Laffan, “From Alternative Medicine to National Cure : Another Voice for the Sûfî Orders in theIndonesian Media,” Archives de sciences sociales des religions, 51e Annee, No. 135, Reveils du soufisme enAfrique et en Asie: Translocalite proselytisme et reforme (Jul. - Sep., 2006) : 97, http://www.jstor.org/stable/30122872 (accessed June 30, 2014).

7. Haramayn dianggap sebagai pusat berkumpulnya umat Islam dari penjuru dunia. Para ulama, sufi, praktisi hukum, filosof, seniman dan pakar sejarah bertemu untuk saling bertukar informasi. Sementara dipihak lain, Kairo, ketika itu sebagai pusat pergerakan keagamaan dan fondasi utama perkembangan kebudayaan, sebagaimana dideklarasikan oleh Zakaria Mohieddin, Perdana Mentri Mesir. Lihat Ahmad N. Amir, Abdi O. Shuriye and Jamal I. Daoud, “Muhammad Abduh’s Influence in Southeast Asia.” Middle-East Journal of Scientific Research 13 (Mathematical Applications in Engineering) (2013) : 125, http://irep.iium.edu.my/30714/ (accesed May 05, 2014).

8. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII M, 121. Teori neo-sufisme yang digagas Fazlur Rahman ini perlu dikritisi ketika menempatkan Ibn Taymiyyah dijadikan tokoh pertama aliran ini. Berdasarkan penelusuran pada masa al-Sulami, teks-teks sufi memusatkan hadits sebagai kurikulum yang dipelajari di madrasah-madarasah. Bahkan ia menulis kitab hadits Arba’ûn Hadîthan fi al-Tashawwuf. Lihat Margaret Malamud, “Sufi Organizations and Structures of Authority in Medieval Nishapur”, USA : Int. J. Middle East Stud. 26 (1994), 431. Printed in the United States of America Cambridge University Press, h. 431.

9. Lihat kembali Bab I, h. 7.

10. M. Quraish Shihâb, Rasionalitas Al-Qur’an : Studi Kritis Atas Tafsir al-Manâr, 85.

11. Hadits mursal ini ditandai dengan redaksi “Nabi berkata” namun yang mengucapkannya adalah tabi’in besar. Jadi sanad terputus pada Thabaqah sahabat. Lihat Jalâl al-Dîn al-SuyûThî, Tadrîb al-Râwi, Bayrût : Dâr al-Fikr, 2006, h. 124.

Page 196: Buku Jurnal 7.1.pdf

192_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

12. M. Rashîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, jilid VI, h. 188.

13. M. Rashîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, jilid XI, h. 368.

14. Ahâd adalah bentuk jamak dari kata ahad yang artinya seorang (al-wâhid). Hadits Ahâd secara bahasa artinya hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi. Secara istilah adalah hadits yang tidak sampai derajat syarat-syarat hadits mutawatir. Lihat Mahmûd THahhân, Taysîr Mushtalah al—Hadîts, Bayrût: Dâr al-Fikr, tt, h. 21.

15. Lihat Abd Allah Mahmûd al-Shahhâtah, Manhaj al-Imâm Muhammad ‘Abduh fî Tafsîr al -Qur’’an al-Karîm, h. 129.

16. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, h. 122.

17. Derryl N . Maclean, Religion and Society in Arab Sind, Leiden : E.J. Brill, 2006), h. 97,110.

18. Lihat Taqiy al-Dîn Ahmad ibn ‘Abd al-Halîm, Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr, Bayrût : Dâr Ibn al-Hazm, 1997, h. 48-70.

19. Shabry al-Mutawalliy, Manhaj Ibn Taymiyyah fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, al-Qâhirah : ‘Âli al-Kutub, 1981, h. 80-81.

20. Lihat kembali h. 6.

21. Di dalam kitabnya Risâlat al-Tawhîd, disebutkan ia hanya menerima hadits mutawatir saja untuk menjadi hukum yang qat’i. Lihat Daniel Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought , UK and USA : Cambridge University Press, 1996, h. 37.

22. Untuk relasi antara kedua lihat Massio Campanini, “Qur’an and Science : A Hermeneutical Aproach,” Journal of Qur’anic Studies VII, no. 1(2005) :h. 48.

23. Muhammad Husayn al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz II, h. 497.

24. Ingkar-sunah adalah gejala–gejala ketidakpedulian terhadap hadits, bahkan menolak hadits dijadikan sebagai sumber syari’at Islam. Lihat Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2000, h. 39.

Page 197: Buku Jurnal 7.1.pdf

Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _193

25. Lihat Surat al-Furqân ayat 8.

26. Muhammad Husayn al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz II, h. 502-503.

27. Isma’il Sâlim Abd al-‘Iyâl, Ibn Al-Kathîr wa Manhajuhu fî al-Tafsîr, Awl al-Haram: Maktabah Fayshal al-Islâmiyyah, 1984, Cet ke-1, h. 452.

28. Lihat kembali footnote nomor 73.

29. Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir diterjemahkan dari buku Madzâhib al-Tafsîr al-Islâmi oleh M. Alaika Salamullah dkk, Yogyakarta: eLSAQ Press, tt, h. 411.

30. M. Rashîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, jilid VII, h. 121.

31. Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, h. 49.

32. Muhammad Rashîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr , jilid XI, h. 450.

33. Abu Yasid, Nalar dan Wahyu, Jakarta : Penerbit Relangga , 2007, h. 87.

34. Shaikh Zuhair Shafîq, al- Kabîr (Beyrût : Dar alFikr, 1993), 11. Penjelasan tentang pandangan umum, dan kritik Ibnu Taymiyyah dirangkum khusus dalam buku karya Ahmad bin Muhammad al-Bannâny , Mawqif al-Imâm Ibn Taymiyyah min al-Tashawwuf wa al-Shûfiyah, Makkah: Jâmi’ah Ummu al-Qura, 1992. Lihat juga Mushthafa Muhammad Hilmy, Ibn Taymiyyah wa al-Tashawwuf, Al-Qâhirah : Dâr al-Jawzy, 2005, h. 37.

35. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta : Yayasan Wakaf dan Peradaban, 1995, h. 257-258.

36. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, h. 136.

37. Muhammad Husayn al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz II, h. 508.

38. Muhammad Husayn al-Dzahabî,al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz II, h. 517.

39. Abd Allah Mahmûd Shahâtah, Manhâj al-Imam ‘Abduh fi Tafsîr al-Qur’an al-Karîm, h. 222.

40. Abd Allah Mahmûd Shahâtah, Manhâj al-Imam ‘Abduh fi Tafsîr al-Qur’an al-Karîm, h. 225.

Page 198: Buku Jurnal 7.1.pdf

194_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

41. Abd Allah Mahmûd Shahâtah, Manhâj al-Imâm ‘Abduh fî Tafsîr al-Qur’an al-Karîm, h. 225.

42. Henri Lauzière, ”Post-Islamism and the Religious Discourse of ʿAbd al-Salam Yasin”, International Journal of Middle East Studies 37, no. 2 (May 2005) : 255. (Diakses 30-04-2014)

43. Muhammad Rashîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr , jilid I, h. 11.

44. David Johnston, ”A Turn in The Epistemology and Hermeneutics of Twentieth Century Ushûl Fiqh, “ Islamic Law and Society 11, no. 2 (2004) : h. 233.

45. Ahmad Badri Abdullah, Mohd Anuar Ramli, Mohammad Aizat Jamaludin, Syamsul Azizul Marinsah and Mohd Roslan Mohd Nor, “Postmodernism Approach in Islamic Jurisprudence (Fiqh).” Middle-East Journal of Scientific Research 13, no.1 (2013) : 34. Korelasi antara ‘Abduh, ijtihad dan pengaruhnya terhadap hukum Islam Indonesia lihat. R. Michael Keener, “Indonesian Movements for the Creation of a ‘National Madhhab’” Islamic Law and Society 9, no. 1 (2002) : 96. (Diakses 30-04-2014). Lihat juga Ahmad N. Amir, Abdi O. Shuriye and Jamal I. Daoud, “Muhammad Abduh’s Influence in Southeast Asia.” Middle-East Journal of Scientific Research 13 (Mathematical Applications in Engineering) (2013) : 124, http://irep.iium.edu.my/30714/ (accesed May 05, 2014).

46. Hamidah “Gerakan Petani Banten,” Ulumûna : Studi Jurnal Keislaman 17, no. 2 (Desember 2010).

47. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, h. 147.

48. Hamidah “ Gerakan Petani Banten,” Ulumûna : Studi Jurnal Keislaman, h. 327.

49. Gerdien Jonker, “The Transformation of a Sufi Order into a Lay Community : The Suleyman Movement in Germany and Beyond”, in European Muslims and the Secular State by Jocelyne Cesari and Sean McLoughlin (ed), (USA and UK : Ashagate, 2005), 169. Untuk data tentang keberhasilan neo-sufisme dalam pendidikan lihat juga Stefan Reichmuth, “Arabic Literature

Page 199: Buku Jurnal 7.1.pdf

Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _195

and Islamic Scholarship in the 17th/18th Century: Topics and Biographies : Introduction,” Die Welt des Islams, New Series, Vol. 42, Issue 3, Arabic Literature and IslamicScholarship in the 17th/18th Century: Topics and Biographies (2002): 285, http://www.jstor.org/stable/1571416 (accessed June 25, 2014).

50. Capt. Wahid Bakhs Rabbani, Sufisme Islam (Jakarta : Shara Publisher, 1984), diterjemahkan dari buku Islamic Sufism oleh Burhan Wirasubrata, 68. Neo-sufism dianggap membawa pengaruh untuk gerakan perlawanan kolonial dan menjadi pionir dalam revolusi sosial lihat R. S. O’Fahey, “ Islam and Ethnicity in the Sudan,” Journal of Religion in Africa, Vol. 26, Fasc. 3 (Aug., 1996) : 260, .http://www.jstor.org/stable/1581645 (accessed June 25, 2014).

51. Lihat juga usahanya dalam metodologi tafsir, lihat Yvonne Yazbeck Haddad, “ An Exegesis of Sura Ninety-Eight,” Journal of the American Oriental Society 97, no. 4 (Oct. - Dec., 1977) : 525. http://www.jstor.org/stable/598634, (accessed June 30, 2014). Lihat juga Alexander Knysh, “Sufism as an Explanatory Paradigm : The Issue of the Motivations of Sufi Resistance Movements in Western and Russian Scholarship.” Die Welt des Islams, h. 142.

52. Lihat kembali biografi ‘Abduh dan Ridhâ

53. Wan Salim Wan Mohmd Nor, “A Study of Development of Reformist Ijtihad and Some of Its Aplication in The Twentieth Century,” UK : Ex Bibl University of Edinburgh, tt) 290-291. Buku ini merupakan disertasi penulisnya untuk mendapatkan gelar Ph.D. Lihat juga Philip K. Hitti, History of The Arabs, Jakarta : Serambi, 2010, h. 966. Diterjemahkan dari buku History of The Arabs : From The Earliest Times to The Present.

54. Muhammad Rashîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr , jilid I, h. 12.

55. Muhammad Rashîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr , jilid I, h. 14.

56. Nashr Hâmid Abû-Zayd and, “The Dilemma of the Literary Approach to the Qur’an,” Alif : Journal of Comparative Poetics, Literature and the Sacred, no. 23 (2003): h. 9. Lihat juga Itzchak Weismann, “Between ʿūfī Reformism and Modernist Rationalism: A Reappraisal of the Origins of the Salafiyya from

Page 200: Buku Jurnal 7.1.pdf

196_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

the Damascene Angle,” Die Welt des Islams, New Serie 41, Issue 2 (Jul. 2001) : h. 233.

57. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, h. 23.

58. Muhammad Abduh, Risâlah al-Tawhîd , diterjemahkan oleh KH. Firdaus, A.N., h. 20.

59. Wan Salim Wan Mohmd Nor, A Study of Development of Reformist Ijtihad and Some of Its Aplication in The Twentieth Century, h. 293.

60. Muhammad Rashîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr , jilid XI, h. 23.

61. Muhammad Rashîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr , jilid IV, h. 173.

62. Lihat kembali hal 46. Lihat juga Abdullah Mahmûd Shahhâtah Manhaj al-Imâm Muhammad ‘‘Abduh. Qâhirah : Nashr al-Rasâil al-Jami’iyyah, 8-9. Lihat juga John L. Esposito (ed), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World , h. 11.

63. Mun’im A. Sirry, Reformist Muslim Approaches to The Polemic of The Qur’an Againts Other Religion (Chicagho : Illionis, 2012), 22. Nama lengkap al-Qâsimî adalah Jamâl al-Dîn bin Muhammad Sa’îd bin Qâsim bin al-Hallâq. Seorang ahli sastra dari Shâm. Merupakan cicit Nabi dari Husayn. Karyanya dalam tafsir adalah Mahâsin al-Ta’wîl.

64. M. Rashîr Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, jilid III, h. 216. Lihat teksnya dalam lampiran.

65. M. Rashîr Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, jilid IV, h. 183.

66. Lihat kembali BAB III, h. 67, nomor footnote 87.

67. Redaksi ayat tersebut adalah : Ÿwur (#öq¨YyJtGs? $tB Ÿ@žÒsù ª!$# ¾ÏmÎ/ öNä3ŸÒ÷èt/ 4’n?tã <Ù÷èt/ 4 ÉA%y`Ìh =Ïj9 Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB (#qç6|¡oKò2$# ( Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ŠÅÁtR $®ÿÊeE tû÷ù|¡tGø.$# 4 (#qè=t«ó™ur ©!$# `ÏB ÿ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ¨bÎ) ©!$# šc%Ÿ2 Èe@ä3Î/ >äó_x« $VJŠÎ=tã ÇÌËÈ

“And In no wise covet those things In which Allah hath bestowed His gifts

Page 201: Buku Jurnal 7.1.pdf

Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _197

more freely on some of you than on others: to men is allotted what They earn, and to women what They earn: but ask Allah of His bounty. for Allah hath full knowledge of all things”.

68. M. Rashîr Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, jilid V, h. 47.

69. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, h. 157-158.

70. Lihat kembali biografi keduanya. Untuk hubungan antara Ridhâ dengan tasawuf lihat Albert Hourani, Rashîd Ridhâ and The Sufi Orders : A Footnote to Laoust,” Bulletin d’ Etudes Orientales, T.29 Melanges Offerst a Henry Laost Volume Preimer (1997),http://www.jstor.org/stable/41604620 (accessed June 30, 2014).

71. M. Rashîr Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, jilid VII, h. 476.

72. M. Quraish Shihâb, Rasionalitas Al-Qur’an : Studi Kritis Atas Tafsîr al-Manâr, h. 75.

73. M. Rashîr Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, jilid I, h. 211.

74. M. Rashîr Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, jilid X, h. 330.

75. M. Rashîr Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, jilid XI, h. 450.

Page 202: Buku Jurnal 7.1.pdf

198_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014 Revitalisasi Peran dan Fungsi Keluarga _413

Pedoman Transliterasi

Page 203: Buku Jurnal 7.1.pdf

Ketentuan Tulisan _199414_Jurnal Bimas Islam Vol.5. No.2 2012

A. Ketentuan Tulisan

1. Tulisan merupakan hasil penelitian di bidnag zakat, wakaf, dakwah Islam, pemberdayaan KUA dan hal-hal terkait pengembangan masyarakat Islam lainnya.

2. Karangan ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan perangkat lunak peng olah kata Microsoft Word , font Palatino Linotype, maksimum 25 halaman kuarto minimum 17 halaman dengan spasi satu setengah.

3. Karangan hasil penelitian disusun dengan sistematika sebagai berikut: Judul. Nama Pengarang. Abstract . Keywords . Pendahuluan. Metode Penelitian. Hasil Penelitian. Pembahasan. Kesimpulan dan Saran. Daftar Kepustakaan. Sistematika tersebut dapat disesuaikan untuk penyusunan karangan ilmiah.

4. JUDUL a. Karangan dicetak dengan huruf besar, tebal, dan tidak

melebihi 18 kata.b. Nama Pengarang (tanpa gelar), instansi asal, alamat, dan

alamat e-mail dicetak di bawah judul.c. Abstract (tidak lebih dari 150 kata) dalam dua bahasa

(Indonesia dan Inggris), dan Keywords (3 sampai 5 kata) ditulis dalam bahasa lnggris, satu spasi, dengan huruf miring.

d. Tulisan menggunakan endnotee. Daftar Kepustakaan dicantumkan secara urut abjad nama

pengarang dengan ketentuan sebagai berikut:• Untuk buku acuan (monograf): Nama belakang

pengarang diikuti nama lain. Tahun. Judul Buku. Kota Penerbit: Penerbit.

• Untuk karangan dalam buku dengan banyak kontributor: Nama Pengarang. Tahun. “Judul Karangan.” Dalam: Nama Editor. Judul Buku. Kota

Page 204: Buku Jurnal 7.1.pdf

200_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014 Revitalisasi Peran dan Fungsi Keluarga _415

Penerbit: Penerbit. Halaman.• Untuk karangan dalam jurnal/majalah: Nama

Pengarang. Tahun. “Judul Karangan.” Nama Majalah, Volume (Nomor): Halaman.

• Untuk karangan dari internet: Nama Pengarang. Tahun. “Judul Karangan.” Alamat di internet ( URL ). Tanggal mengakses karangan tersebut.

5. Gambar diberi nomor dan keterangan di bawahnya, sedangkan Tabel diberi nomor dan keterangan di atasnya. Keduanya sedapat mungkin disatukan dengan file naskah. Bila gambar/tabel dikirimkan secara terpisah, harap dicantumkan dalam lembar tersendiri dengan kualitas yang baik.

6. Naskah karangan dilengkapi dengan biodata singkat pengarang dikirimkan ke alamat kantor Jurnal Bimas Islam berupa naskah tercetak (print out) dengan menyertakan soft copy dalam disket/flash disk atau dapat dikirim melalui e-mail Jurnal Bimas Islam ([email protected]).

Page 205: Buku Jurnal 7.1.pdf