bphtb
TRANSCRIPT
15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah pemungutan pajak selalau mengalami perubahan dar masa ke masa
sesuia dengan perkembangan masyarakat dan negara baik dibidang kenegaraan maupun
diruang sosial dan ekonomi. Pada mulanya pajak belum merupakan suatu pungutan,
tetapi hanya merupakan pemberian sukarela oleh rakyat kepada taja dalam memelihara
kepentingan negara, seperti dalam menjaga kemanan negara, menyediakan jalan umum,
membayar gaji peagwai dan infrastruktur ataupun kepentingan sosial lainnya. Bagi
penduduk yang tidak melakukan penyetoran dalam bentuk natura, maka ia diwajibkan
melakukan pekerjaan-pekerjaan demi kepentingan umum untuk beberapa hari lamanya
dalam satu tahun. Orang-orang yang memiliki status sosial yang tinggi termasuk
orsang-orang yang kaya, dapat membebaskan diri dari melakukan pekerjaan untuk
kepentingan umum tadi, yaitu dengan cara membayar uang ganti rugi. Prosentase
pembayaran ganti rugi tersesebut dapat ditentukan sesuai dengan jumlah uang yang
diperlukan untuk mebayar orang lain yang menggantikan melakukan pekerjaan tersebut
yang seharusnya dilakukan sendiri oleh orang kaya yang memiliki status sosial yang
yang tinggi dan orang kaya tadi.1
Setelah terbentukya negara-negara nasional dan tercapainya pemisahan antara
rumah tangga negara dan rumah tangga pribadi, pajak mendapat tempat yang lebh
mantap diantara berbagai pendapatan negara. Dengan bertambah luasnya tugas-tugas
negara, maka dengan sendirinya negara memerlukan biaya yang cukup besar untun
memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial masyarakatnya. Sehubungan dengan itu maka
pembayaran pajak yang apda awalnya bersifat sukarela berubah menjadi suatu
pembayaran yang ditetapkan secara sepihak leh negara oleh negara dalam bentuk yang
ditetapkan oleh undang-undang.
Pajak merupakan iuran rakyat yang masuk kepada kas negara berdasarkan
undang-undang sehingga dalam penerapan pemungutannya dapat dipaksakan dengan
tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan 1 Rochmat Soemitro, 1977, Dasar-Dasar Hukum Pajak Dan Pajak Pendapatan 1944, Jakarta : PT Eresco
15
norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif
untuk mencapai kesejahteraan umum. Pajak tersebut dimanfaatkan oleh pemerintah
dalam rangka penyelengaraan negara demi kepentingan umum.
Pembangunan selalu menjadi agenda utama program dari pemerintah daerah
demi mencapai perkembangan daerah. Namun untuk mencapai pembangunan tersebut
dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Untuk pembangunan daerah tidak semua
pembiayaan diberikan kepada daerah. Sehingga daerah harus mencari sumber lain yang
tidak menyalahi ketentuan dalam perundang-undangan yang berlaku. Sumber lain yang
menjadi sumber pendapatan daerah antara lain pajak daerah, retribusi daerah, hasil
perusahaan daerah, dan sumber pendapatan lainya. Usaha yang lain yang ditempuh oleh
pemerintah daerah untuk mengatur pendapatan daerah untuk menjalankan pembangunan
daerah adalah membenahi kebijakan fiskal dan moneter daerah. Kebijakan fiskal
ditempuh oleh pemerintah untuk mencapai pertumbuhan dan juga sebagai langkah
untuk menstabilkan perekonomian. Hal ini dapat terwujud apabila peraturan dan
kebijakan fiskal disusun sesuai kebutuhan masing-masing. Tanpa mengesampingkan
asas-asas yang berlaku dalam pemungutan penerimaan negara yang salah satunya
adalah Pajak.
Pajak daerah yang ditangani oleh pemerintah daerah propinsi terdiri atas pajak
kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan
bermotor dan kendaraan di atas air, pajak atas pemanfaatan air bawah tanah dan air
permukaan, yang ditangani oleh pemerintah daerah kabupaten/kota terdiri dari pajak
hotel, restoran, hiburan, reklame, penerangan jalan dan pajak parkir, sedangkan yang
termasuk pajak pusat adalah pajak bumi dan bangunan dan bea perolehan hak atas tanah
dan bangunan. Lahirnya otonomi daerah merupakan salah satu pemicu perkembangan
dalam perolehan hak atas tanah dan pembangunan. Berawal dari Undang-Undang No.
22 Tahun 1999, Tentang Pemerintahan Daerah hingga lahirnya Undang-Undang No. 32
Tahun 2004, Tentang Pemerintahan Daerah. Menciptakan perubahan sistem dari
sentralisasi menjadi desentralisasi.
15
Mengenai biaya perolehan hak atas tanah dan pembangunan atau yang disebut
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan salah satu jenis
pajak pusat yang dikenakan kepada setiap orang pribadi atau badan yang
mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan. Untuk memperoleh
pendapatan BPHTB seperti yang diharapkan, maka perlu merencanakan terlebih dahulu
Anggaran BPHTB sebagai pedoman pelaksanaan operasional yang digunakan dalam
jangka waktu tertentu yang akan datang. Bertujuan agar dapat dengan mudah
merealisasikan pemungutan BPHTB sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian,
akan diketahui dengan jelas sisi perbedaan antara target yang dianggarkan dengan hasil
realisasi yang diperoleh dalam jangka waktu tertentu.2
Namun dalam mewujudkan pengembangan daerah melalui pembangunan daerah
tersebut. Saat ini lahir masalah yang menuntut pemerintah daerah untuk bertindak lebih
dalam mendapatkan pendapatan daerah yang lebih. Hal ini disebabkan bantuan
pemerintah pusat yang semakin kecil kepada pemerintah daerah. Maka dari itu perlu
dikaji lebih dalam mengenai factor-faktor yang menyebabkan alokasi dana yang
diberikan pemerintah tersebut menjadi semakin kecil. Serta dicari suatu cara yang
solutif atas permasalahan tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dijabakan diatas, tentu dapat tedapat bebrapa hal
yang perlu dibenahi. Maka dari itu, mengenai permasalahan tersebut dapat ditentukan
hal-hal yang bisa dijadikan sebagai rumusan masalah, yaitu :
1. Faktor apakah yang melatar belakangi bantuan pemerintah pusat ke daerah
menjadi semakin kecil ?
2 www,http///, Makalah Hukum Pajak : Kebijakan Biaya Perolehan Hak atas Tanah dan Pembangunan1 Agustus, 2011
15
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Didalam Undang-undang No. 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan pasal 1 angka 1. “Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.” Sedangkan “Perolehan hak atas tanah dan
atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan
diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan”
sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 20 Tahun 2000.
Mengenai hak atas tanah dan atau bangunan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang No.
20 Tahun 2000 disebutkan “Hak atas tanah dan atau bangunan merupakan hak atas
tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.”3
Selanjutnya mengenai pengertian tentang pajak, terdapat beberapa pengertian
menurut ahli tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BBPHTB) atau
yang selanjutnya disebut sebagai pajak, yaitu :
Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro S.H.
Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat
ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.4 Definisi
tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan
kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan
surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk
membiayai public investment.
3 UU No. 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan4 Rochmat Soemitro, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Eresco, Bandung, 1992
15
Menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja
“Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dpungut oleh penguasa
bedasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan
jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”.5
Dengan mencantumkan istilah iuran wajib, ia mengharapkan terpenuhinya ciri,
bahwa pajak dipungut dengan bantuan dari dan kerjasama dengan Wajib Pajak,
sehingga perlu pula menghindari penggunaan istilah “paksaan”. Bilamana suatu
kewajiban dilaksanakan menurut Undang-undang, bila kewajiban tersebut tidak
dilaksanakan, maka Undang-undang menunjuk cara pelaksanaanya yang lain.
Penerimaan pendapatan negara salah satunya bersumber dari penerimaan pajak.
Dalam hal ini pajak BPHTB yang cukup besar jumlahnya dan sangat berpengaruh bagi
pembangunan di Indonesia. Salah satu pajak yang menjadi sumber utama dalam
pembangunan di Indonesia adalah Pajak pusat. Pajak pusat merupakan salah satu
sumber pendapatan negara yang dipungut oleh pemerintah yang dilakukan di daerah-
daerah untuk menunjang pembangunan dan belanja negara. Menurut Erly Suandi dalam
buku “Perpajakan” menyebutkan bahwa “Pajak pusat adalah Pajak yang wewenang
pemungutannya ada pada pemerintaha pusat yang pelaksanaannya dilakukan oleh
departemen keuangan melalui Direktorat Jendral Pajak,. Pajak pusat diatur oleh
Undang-undang dan hasilnya akan masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN). ”.6
Pajak pusat dirancang secara khusus oleh pemerintah yang dalam
pelaksanaannya akan diselenggarakan di daerah-daerah yang dilakukan oleh inspeksi
pajak setempat untuk membiayai pengeluaran negara pada umumnya. Pajak pusat/pajak
negara yang berlaku saat ini adalah sebagai berikut :
Pajak Penghasilan (PPh) : Pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Pajak
Penghasilan ini diatur dalam Undang-undang No 7 / 198, sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang no 7 / 199, Undang-undang no 10 / 1994, 5 Dr, Soeparman S. Disertasi Pajak Bedasarkan Asas Gotong Royong” Universitas Padjajaran, Bandung, 19646 Erly Suandy, Hukum Pajak Edisi 5, Salemba Empat, Hal, 36
15
Undang-undang no Undang-undang no 17 / 2000 dan terakhir dengan Undang-
undang no 36 tahun 2008
Pajak Pertambahan nilai (PPN) Pajak Penjualan atas Barang Mewah : Pajak
yang dikenakan atas konsumsi barang kena pajak dan Pajak yang dikenakan
kepada setiap orang atau badan yang mempunyai hak/manfaat atas bumi atau
memiliki, menguasai/memperoleh manfaat atas bangunan, di atur dalam
Undang-undang no 8 / 1983 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-
undang no 11 / 1994, selanjutnya Undang-undang no 18 / 2000 dan terakhir
dengan Undang-undang 42 / 2009
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB) : Pajak yang
dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang diatur dalm
Undang-undang no 20 / 1997 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-
undang no 20 / 2000
Bea Meterai : Pajak yang dikenakan atas dokumen yang disebut dalam
undang-undang (kertas, benda meterai, tanda tangan, pemateraian kemudian,
pejabat pos), diatur dalam Undang-undang no 13 / 1985.7
Selain Pajak Pusat, terdapat pajak lain yang dipergunakan dalam pembangunan
yaitu Pajak daerah. Pajak Daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang
dipungut oleh pemerintah daerah untuk digunakan dalam menunjang otonomi daerah.
Pajak daerah menjadi pendapatan asli daerah yang diperoleh daerah dari sumber-sumber
dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan ketentuan Undang-undang (UU).
Pajak Daerah sendiri merupakan pajak yang dipungut oleh daerah sesuaai peraturan
pajak yang ditetapkan oleh daerah untuk kepentingan pembiayaan rumah tangga
pemerintah tersebut.
Berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Pajak ada 7 (tujuh)
jenis pajak Kabupaten/Kota. Walaupun demikian, Daerah Kabupaten/Kota dapat tidak
memungut salah satu atau beberapa jenis pajak yang telah ditetapkan, apabila potensi
pajak di Daerah Kabupaten/Kota tersebut dipandang kurang memadai yaitu antara lain :
7 Erly Suandy, Hukum Pajak Edisi 5, Salemba Empat, Hal, 37
15
Pajak Hotel : Pajak yang dikenakan atas bangunan yang khusus disediakan
bagi orang untuk dapat menginap/istirahat, memperoleh pelayanan dan atau
fasilitas lainnya yang dapat dipungut bayaran termasuk bangunan lainnya yang
menyatu, dikelola dan dimiliki oleh pihak yang sama, kecuali untuk pertokoan
dan perkantoran.
Pajak Restoran :Pajak yang dikenakan atas tempat menyantap makanan
dan/atau minuman yang disediakan dengan dipungut bayaran, tidak termasuk
usaha jasa boga.
Pajak Hiburan : Pajak yang dikenakan atas semua jenis pertunjukan,
permainan, permainan ketangkasan, dan/atau keramaian dengan nama dan
bentuk apapun, yang ditonton atau dinikmati oleh setiap orang dengan dipungut
bayaran, tidak termasuk penggunaan fasilitas untuk berolahraga.
Pajak Reklame : Pajak atas penyelenggaraan reklame yang terdiri dari
benda, alat, perbuatan atau media menurut bentuk susunan dan corak ragamnya
untuk tujuan komersil, dipergunakan untuk memperkenalkan, menganjurkan,
atau memujikan suatu barang, jasa atau orang yang ditempatkan atau dapat
dilihat, dibaca, didengar dari suatu tempat oleh umum, kecuali yang dilakukan
oleh pemerintah.
Pajak Penerangan Jalan : Pajak yang dikenakan atas penggunaan tenaga
listrik, dengan ketentuan bahwa di wilayah daerah tersebut tersedia penerangan
jalan, yang rekeningnya dibayar oleh pemerintah daerah.
Pajak Pengambilan Bahan Galian C : Pajak atas kegiatan pengambilan bahan
galian golongan C sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pajak Parkir : Pajak yang dikenakan atas penyelenggaraan tempat parkir diluar
badan jalan oleh orang pribadi atau badan, baik yang disediakan berkaitan
dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk
penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor dan garasi kendaraan bermotor
yang memungut bayaran.
15
Selain pajak diatas, daerah memiliki sumber pendapatan lain dalam
penyelenggaraan pemerintahan didaerah. Salah satunya adalah Biaya Perolehan Hak
Atas Tanah dan Pembangunan (BPATP). Sampai saat ini BPATP mengalami
perkembangan yang cukup pesat yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak (WP) telah
menyadari untuk membayar pajak khususnya bea perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan.
B. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB)
BPHTP adalah amanat yang tertuang dalam Undang-undang nomor 28 tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sekaligus kebijakan nasional yang
harus dilaksanakan. Sesuai dengan manfaat pajak sendiri yakni selain sebagai sumber
utama penerimaan daerah, dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, pajak yang telah
diperdakan ini juga semata-mata untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan
masyarakat daerah. Mengenai BHTB tersebut terdapat beberapa pengertian :
1. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Pajak yang dikenakan
atas perolehan hak atas tanah dan bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.
2. Perolehan hak atas tanah dan/atau banguna adalah pebuatan atau peristiwa
hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan bangunan orang
pribadi atau badan.
3. Hak atas anah adalah hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang no 5 tahun 1960 tentang dasar pokok-pokok Agraria dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.8
Dalam penyelenggaraannya, pemerintahan daerah membutuhkan biaya yang
tidak sedikit. Biaya tersebut sebagian besar didapatkan dari pajak yang dipungut oleh
negara. Biaya yang menjadi sumber besar pendapatan tersebut dialokasikan dalam
berbagai bidang. Salah satunya adalah APBD yang disalurkan ke setiap daerah. Namun
disaat bantuan biaya dari pemerintah yang semakin kecil maka pemerintah daerah kini
harus bekerja ekstra untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah. Salah satu yang
menjadi agenda wajib dari pemerintah daerah dalam mempergunakan bantuan dana dari
pemerintah adalah melakukan pembangunan didaerah. Ketika bantuan pemerintah pusat
8 Erly Suandy, Hukum Pajak Edisi 5, Salemba Empat.
15
kedaerah semakin kecil, pemerintah pusat harus melakukan pemaksimalan sumber daya
didaerah untuk menutupi kekurangan pendapatan daerah atas adanya pengurangan
bantuan dari pemerintah pusat tersebut. Salah satu solusinya adalah meningkatkan
Biaya Perolehan Hak Atas Tanah dan Pembangunan (BPATP).
Penerimaan pendapatan negara yang cukup banyak dalam pembangunan di
Indonesia yang berasal dari BPHTB dengan mengalami progress dan dalam pencapaian
pendapatan negara yang berkembang dengan grafik pendapatannya yang meningkat
tidak didapatkan begitu saja. Anggaran merupakan bagian sub penting untuk
mendapatkan pendapatan negara guna menutupi segala aspek kebutuhan sosial bagi
masyarakatynya. Anggaran yang disusun berdasarkan prosedur yang ada dengan target
yang ingin dicapai, menuntut penyusunan anggaran dirancang dengan baik dan
pelaksanaan pemungutan yang baik, sehingga dalam pelaksanaannya sesuai dengan
yang diharapkan. Setelah pelaksanaan tersebut kemudian maka dilakukan evaluasi
mengenai anggaran yang harus ditargetkan apakah sudah memenuhi batasan yang telah
ditetapkan dalam tujuan pelaksanaan. Hal ini sebagai bentuk konsekuensi tahun
selanjutnya agar dilakukan peningkatan bukan malah sebaliknya terjadinya penurunan.
Sama halnya dengan pelaksanaan pemungutan BPHTB dilakukan evaluasi. Apabila
hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan yang sudah ditargetkan maka harus dilakukan
peningkatan kinerja. Anggaran (target) dan pelaksanaan pemungutan (realisasi) yang
akan dikaji lebih mendalam sehinga dapat dilakukan pengasumsian pengertian
mengenai target dan realisasi tersebut. Hal ini dilakukan untuk mendapat target yang
ingin dicapai sesuai dengan yang akan terealisasi.
Permasalahan bantuan pemerintah pusat ke daerah yang semakin kecil, maka
daerah harus menempuh kebijakan dalam menentukan biaya perolehan hak atas tanah
dan pembangunan. Dalam menempuh kebijakan ini pemerintah daerah membuat
ketetapan dalam bidang moneter dan fiskal daerah. Itu dilakukan untuk menutupi celah
dalam keuangan daerah yang berkurang yang merupakan cara yang solutif. Namun
sebelum melakukan perubahan kebijakan dalam bidang moneter dan fiskal daerah, perlu
diperhatikan prosentase anggaran BPHTB untuk mengetahui faktor yang menyebabkan
bantuan pemerintah pusat ke daerah berkurang. Hal tersebut perlu selain untuk
mengetahui alasan bantuan pemerintah pusat dikurangi, perlu juga untuk mengetahui
anggaran BPHTB pada setiap daerah. Selain itu untuk menemukan apakah ada faktor
15
lain yang tidak diketahui misalnya pelaksanaan pemungutan BPHTB yang bermasalah.
Maka perlu juga dilakukan analisis perbedaan antara anggaran BPHTB dengan
pendapatan yang didapatkan atas BPATP apakah sebanding dengan pelaksanaan
pemungutan dalam BPHTB.9
Menghadapi masalah yang sedang dialamai di bidang BPHTB. Muncul wacana
untuk membuat pengaturan mengenai BPHTB untuk menjadi Peraturan Daerah (Perda).
BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan.
BPHTB merupakan penyempurnaan atas bea balik nama harta tetap atas tanah dan
bangunan, dan bukan merupakan pajak jenis baru. BPHTB digolongkan sebagai pajak
tidak langsung dan merupakan pajak pemerintah pusat dan pajak negara. Dalam
pembagian hasil menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2000
Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yaitu Pasal 23 bahwa dalam
pembagiannya pendapatan dari BPHTP 20% untuk Pemerintah Pusat dan 80% untuk
Pemerintah Daerah/ Kabupaten/ Kota. Untuk itu menjadi pertanyaan besar mengapa
bantuan pemerintah pusat ke daerah semakin berkurang.
Ternyata salah satu faktor mengapa bantuan pemerintah pusat ke daearah
berkurang adalah adanya kebijakan pembebasan pajak. Kebijakan ini diberlakukan pada
pajak pertambahan nilai (PPN) untuk rumah sederhana dengan harga di bawah Rp 70
juta dan maksimal seluas 36 meter persegi. Tetapi pada kenyataannya kebijakan ini
belum tentu meningkatkan jumlah permintaan rumah sederhana. Karena kebijakan
yang ditempuh oleh Menteri Keuangan tersebut dinilai belum selaras dengan program
Kementerian Perumahan dalam memberikan kredit pemilikan rumah (KPR) yang
memanfaatkan dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk
Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) maksimal Rp 80 juta. Masyarakat penerima
manfaat FLPP untuk kategori kelompok berpenghasilan Rp 2,5 juta untuk MBR dan
kelompok berpenghasilan Rp 4,5 juta untuk kategori Masyarakat Berpenghasilan
Menengah (MBM) masih dikenakan tingkat suku bunga KPR. Kebijakan ini seharusnya
disinkronkan dulu dengan fakta yang terjadi di lapangan. Sebab dengan keadaan
ekonomi saat ini pengembang dalam melakukan pembangunan perumahan terlebih
dahulu melihat keadaaan pasar. Kalau ada permintaan tentu pengembang akan
membangun sesuai permintaan.9 Brotodihardjo, Santoso. 2008. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung
15
Selain itu, pemerintah juga diharapkan memberi kemudahan perizinan
pembangunan perumahan kepeada pengembang atau distributor perumahan. Selama ini
perizinan yang dilakukan membutuhkan waktu lama dan mahal, Sehingga kebijakan
fiskal dan moneter oleh pemerintah daerah sangat perlu untuk dilakukan untuk
mengatasi masalah BPHTB yaang terjadi saat ini.
C. SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG UNDANG MENGENAI BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan :
1. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.
2. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa
hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan
oleh orang pribadi atau badan.
3. Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak
pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
4. Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat untuk
melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau
denda.
5. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang,
jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan
jumlah yang masih harus dibayar.
6. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
Tambahan adalah surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah
pajak yang telah ditetapkan.
7. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar
15
adalah surat ketetapan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak
karena jumlah pajak yang telah dibayar lebih besar daripada pajak yang
seharusnya terutang.
8. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil adalah
surat ketetapan yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya
dengan jumlah pajak yang dibayar.
9. Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat yang
oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran
pajak yang terutang ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan
Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat
pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri dan sekaligus untuk melaporkan
data perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
10. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan untuk membetulkan
kesalahan tulis, kesalahan hitung dan atau kekeliruan dalam penerapan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
Tambahan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Lebih Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Nihil, atau Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
11. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar.
12. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap
Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
13. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Sesuai Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 20 Tahun 2000 yang menjadi objek
pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Sedangkan hal-hal yang
menjadi bagian dari Pasal 2 ayat (2), Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
15
pemindahan hak karena:
1. jual beli;
2. tukar-menukar;
3. hibah;
4. hibah wasiat;
5. waris;
6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8. penunjukan pembeli dalam lelang;
9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10. penggabungan usaha;
11. peleburan usaha;
12. pemekaran usaha;
13. hadiah.
14. pemberian hak baru karena:
15. kelanjutan pelepasan hak;
16. di luar pelepasan hak.
Sedangkan pada Pasal 2 ayat (3) UU No, 20 Tahun 2000 yang menjadi Hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:
hak milik;
1. hak guna usaha;
2. hak guna bangunan;
3. hak pakai;
4. hak milik atas satuan rumah susun;
5. hak pengelolaan.
Maka dalam penanganan masalah pajak BPHTB perlu dipahami lebih dalam
tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan BPHTB termasuk objeknya, cara
pemungutannya, anggarannya dan juga pelaksanaan pemungutannya. Hal itu perlu agar
diketahui tidak terjadi salah mengambil langkah dalam penyelesaiannya. Karena bukan
15
perkara mudah untuk diatasi dan juga jika terjadi salah mengambil langkah maka rakyat
yang akan menjadi korbannya.
Untuk menghindari dampak negatif bagi masyarakayt umum, maka dalam
merealisasikan pemungutan BPHTB, Pemerintah pusat dan daerah diharapkan mampu
memberi kemudahan dalam administrasi perizinan pembangunan perumahan dan hal-
hal lain yang berkaitan dengan hak atas tanah kepada para pengembang perumahan.
Karena selama ini realitanya perizinan dalam pengurus atas tanah dan pembangunan
membutuhkan waktu lama dan mahal. Kebijakan tersebut merupakan sebagai langkah
lanjutan dalam mengatasi masalah dan perlu dilakukan pembebasan kebijakan fiskal
seperti penghapusan PPN, PPH, BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan) dalam beberapa bagian pembangunan. Selain itu dalam penyusunan
anggaran dan pelaksanaan BPHTP harus ada sinergi agar target yang tinggi sesuai
dalam pelaksanaannya, sehingga bisa dilakukan pembandingan antara anggaran dan
pelaksanaan. Dari pembandingan tersebut bertujuan untuk memberikan masukan dan
manfaat dalam menentukan kebijakan. Serta, bahan evaluasi dalam menyusun anggaran
dan juga dorongan melakukan pemungutan pajak yang lebih baik terutama untuk
pemungutan BPHTB itu sendiri.
PENUTUP
A. Kesimpulan
15
Pajak BPHTB merupakan sumber penting dalam pendapatan negara terutama
untuk dana-dana yang akan dialokasiakn kepada daerah-daerah. Karena prosentase
pengalokasian dana kedaerah hanya sebagian kecil yaitu 20% untuk pusat dan 80% nya
merupakan bagian dari daerah. Sehingga dengan demikian maka pemerintah daerah
membutuhkan sinergi antara pemerintah dengan masyarakat dalam menjaga konsistensi
dalam pembangunan infrastruktur daerah. Demi mendapatkan hasil yang maksimal atas
pajak BPHTN, Pemerintah harus mampu memberikan stimulan dan insentif kepada
pengembang perumahan maupun masyarakat miskin agar program pembangunan dan
perumahan bisa terwujud secara maksimal, sebagai salah satu upaya dalam pembanguna
atas pajak BPHTB. Sedangkan proses di bidang hak atas tanah maka perizinan atas
tanah serta pembangunan semestinya tidak melalui administrasi yang rumit agar tidak
mejadi maslah baru dalam penyelesaian masalah BPHTB saat ini.
Terjadinya pengurangan bantuan dari pemerintah pusat kedaerah juga tidak
sepenuhnya menjadi masalah dan pugas pemerinth dalam penyelesaiannya, akan tetapi
adanya kebijakan pembebasan pajak merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
semakin minimnya alokasi dana bantuan pemerintah pusat ke daearah. Pada
kenyataannya kebijakan pemerintah belum mampu meningkatkan jumlah permintaan
rumah sederhana secara signifikan, karena kebijakan yang ditempuh oleh Menteri
Keuangan tersebut dinilai belum selaras dengan program Kementerian Perumahan
dalam memberikan kredit pemilikan rumah.