panduan bphtb menurut uu no 28-2009

Upload: herman-andreij

Post on 19-Jul-2015

1.982 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

PANDUAN PELAKSANAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) Bab 1 Latar Belakang Berlakunya Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) berdasarkan Undang Undang No. 21 Tahun 1997 tanggal 29 Mei 1997 Tentang "Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan, yang diubah lagi dengan UU No. 28 Tahun 2009 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH (PDRB). Bagi Negara Republik lndonesia yang sedang meningkatkan pembangunan di segala bidang menuju masyarakat adil dan makmur, pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting bagi penyelenggaraan pemerintah dan pelaksanaan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan kewajiban perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan yang merupakan sarana peran serta dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional guna tercapainya masyarakat adil dan makmur, dan sejahtera. Sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tanah sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki fungsi sosial, disamping memenuhi kebutuhan dasar untuk pangan dan lahan usaha, juga merupakan alat investasi yang sangat menguntungkan. Di samping itu, bangunan juga memberi manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Oleh karena itu, bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, wajar menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada negara melalui pembayaran pajak, yang dalam hal ini Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Namum, pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan menurut Undang-undang ini telah memperhatikan aspek keadilan bagi masyarakat terutama masyarakat golongan ekonomi lemah dan masyarakat yang berpenghasilan rendah, yaitu dengan mengatur nilai perolehan hak atas tanah dan bangunan yang tidak dikenakan pajak. Pada masa lalu ada pungutan pajak dengan nama Bea Balik Nama yang diatur dalam Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291. Bea Balik Nama ini dipungut atas setiap perjanjian pemindahan hak atas harta tetap yang ada di wilayah Indonesia, termasuk peralihan harta karena hibah wasiat yang ditinggalkan oleh orang-orang yang bertempat tinggal terakhir di Indonesia. Yang dimaksud dengan harta tetap dalam Ordonansi tersebut adalah barang-barang

tetap dan hak-hak kebendaan atas tanah, yang pemindahan haknya dilakukari dengan pembuatan akta menurut cara yang diatur dalam undang-undang, yaitu Ordonansi Balik Nama Staatsblad 1834 Nomor 27. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, hak-hak kebendaan yang dimaksud di atas tidak berlaku lagi, karena semuanya sudah diganti dengan hak-hak baru yang diatur dalam Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dengan demikian, sejak diundangkannya Undang-undang tentang peraturan Dasar PokokPokok Agraria, Bea Balik Nama atas hak harta tetap berupa hak atas tanah tidak dipungut lagi, sedangkan ketentuan mengenai pengenaan pajak atas akta pendaftaran dan pemindahan kapal yang didasarkan pada Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291 masih tetap berlaku. Dengan pertimbangan hal tersebut di atas dan sebagai pengganti Bea Balik Nama atas harta tetap berupa hak atas tanah yang tidak dipungut lagi sejak diundangkannya Undangundang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, perlu diadakan pungutan pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan dengan nama Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Tarif yang ditetapkan menurut Undang-undang ini adalah sebesar 5% (lima persen) dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak. Dengan demikian, semua pungutan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan di luar ketentuan Undang-undang ini tidak diperkenankan. Prinsip yang dianut dalam Undang-undang ini adalah: a. pemenuhan kewajiban Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah berdasarkan sistem self assesment, yaitu Wajib Pajak menghitung dan membayar sendiri utang pajaknya; b. besarnya tarif ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak; c. agar pelaksanaan Undang-undang ini dapat berlaku secara efektif, maka baik kepada Wajib Pajak maupun kepada pejabat-pejabat umum yang melanggar ketentuan atau tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana ditentukan oleh Undang-undang ini, dikenakan sanksi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. hasil penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan merupakan penerimaan negara yang sebagian besar diserahkan kepada Pemerintah Daerah, untuk meningkatkan pendapatan daerah guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dalam rangka memantapkan otonomi daerah; e. semua pungutan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan di luar ketentuan Undang-undang ini tidak diperkenankan. Penyusunan Undang-undang tersebut dilatarbelakangi oleh pemikiran untuk meningkatkan penerimaan negara, terutama penerimaan daerah yang dinilai penting bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan nasional.

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

2

Berdasarkan pemikiran itu pula, subjek pajak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan dianggap wajar apabila diwajibkan untuk menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada negara melalui pembayaran pajak yang diberi nama Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Dengan memperhatikan fungsi tanah yang demikian penting bagi penyelenggaraan kehidupan masyarakat ataupun bagi pembangunan, penggalian sumber penerimaan pajak tersebut sudah barang tentu akan berarti sekali terutama sebagai sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Namun demikian, dengan terjadinya gejolak moneter pada akhir tahun 1997 dan awal tahun 1998 yang demikian besar pengaruhnya terhadap kehidupan perekonomian dan pelaksanaan pembangunan, maka penggalian sumber-sumber penerimaan pajak yang baru menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Gejolak moneter yang terjadi beberapa bulan terakhir, telah memberi pengaruh yang besar dan menimbulkan gangguan terhadap pelaksanaan pembangunan nasional terutama dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Diantara berbagai kemungkinan yang dapat ditempuh untuk mengurangi pengaruh gejolak moneter yang tidak menguntungkan tadi adalah penangguhan rencana pengenaan beban baru terhadap masyarakat. Behan baru seperti itu akan merupakan tambahan biaya ekonomi, yang dalam keadaan perekonomian yang sulit akan mengurangi kemantapan penciptaan lapangan kerja dan menurunkan kesempatan kerja yang baru, yang besar artinya terhadap kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu dikeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang "Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang No. 1 Tahun 1997 tentang Penangguhan Mulai berlakunya Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea Peralehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Menjadi Undang- Undang" . Pada Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1998 menyatakan "Undang Undang No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3688), ditangguhkan mulai berlakunya selama enam bulan dari tanggal 1 Januari 1998 sampai dengan tanggal 30 Juni 1998. Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan harus memperhatikan asas-asas keadilan, kepastian hukum, legalitas, dan kesederhanaan serta didukung oleh sistem administrasi perpajakan yang memudahkan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Sehubungan dengan diberlakukan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 yang bersamaan dengan terjadinya perubahan tatanan perekonomian nasional dan internasional, berpengaruh terhadap perubahan perilaku perekonomian masyarakat sehingga perlu diakomodasikan dengan penyempurnaan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997.

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

3

Oleh karena itu dibuat Undang-Undang No. 20 Tahun 2000 tentang " Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan". Berpegang teguh pada asas-asas keadilan, kepastian hukum, legalitas, dan kesederhanaan, arah dan tujuan penyempurnaan Undang-undang ini adalah sebagai berikut: a. menampung perubahan tatanan dan perilaku ekonomi masyarakat dengan tetap berpedoman pada tujuan pembangunan nasional di bidang ekonomi yang bertumpu pada kemandirian bangsa untuk membiayai pembangunan de ngan sumber pembiayaan yang berasal dari penerimaan pajak; b. lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat pelaku ekonomi untuk berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan kewajibannya. Berlandaskan pada arah dan tujuan penyempurnaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tersebut, maka pokok-pokok perubahan sebagai berikut: a. memperluas cakupan objek pajak untuk mengantisipasi terjadinya perolehan hak atas tanah dan atau bangunan dalam bentuk dan terminologi yang baru; b. meningkatkan disiplin dan pelayanan kepada masyarakat serta pengenaan sanksi bagi pejabat dan Wajib Pajak yang melanggar; c. memberikan kemudahan dan perlindungan hukum kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajibannya; d. menyesuaikan ketentuan yang berkaitan dengan Undangundang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839) dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848). Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata, kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera, dan berkeadilan; Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 'tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

4

Daerah, maka penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya, disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara; Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaanpemerintahandaerah. Dalam rangkameningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah, perlu dilakukan perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah dan pemberian diskresi dalam penetapan*tarif; Kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, pecan serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah; Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan retribusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, perlu disesuaikan dengan kebijakan otonomi daerah; Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas maka di buatlah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tanggal 15 September 2009 tentang "Pajak Daerah dan Retribusi Daerah". Tujuan UU No. 28 Tahun 2009 O Memperbaiki kewenangan pemungutan O Meningkatkan local taxing power O Meningkatkan efektivitas pengawasan O Meningkatkan sistem pengelolaan Inti dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 adalah: Pengenaan pajak yang close list Pengawasan:represive 4 preventif dan korektif Sanksi bagi daerah apabila melanggar Memperkenalkan earmarking system Pengalihan hak pemungutan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah Berdasarkan Pasal 2 ayat 2 huruf "k" Undang undang PDRD dinyatakan bahwa salah satu Jenis pajak kabupaten/ kota adalah Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB). Sehingga BPHTB yang dulunya ditangani oleh pemerintah pusat yang merupakan pajak pusat, sekarang ditangani sendiri oleh pemerintah kabupaten/kota dan merupakan pajak daerah. Aturan Peralihan Pengelolaan BPHTB Pasal 180 ayat (6) Undang-Undang PDRD "Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3688) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

5

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3988) tetap berlaku paling lama 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya UndangUndang ini". Dengan demikian, Kantor pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memungut BPHTB sampai dengan 31 Desember 2010, sedangkan mulai tahun 2011, DJP tidak berwenang memungut BPHTB lagi. Oleh karena Bea Perolehan Hak atas tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan Pajak Baru yang akan dikelola oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, maka penulis mencoba membuat buku panduan bagi bagi pemerintah daerah dalam pengelolaan BPHTB. Buku ini juga berguna bagi Stage holder pemerintah daerah yang terlihat dalam penanganan BPHTB, yaitu; Notaris/PPAT, Badan Pertanahan(BPN), Bank Persepsi maupun Bank Pembagi. Dan tak kalah pentingnya buku ini sangat berguna bagi Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan khususnya BPHTB.

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

6

Bab 2 Persiapan yang Harus Dilakukan oleh Pemerintah Daerah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan merupakan salah satu pajak property yang harus ditangani dengan tepat. Aspek Tinjauan Dalam Pengelolaan Pajak Properti: 1. Aspek Penerimaan (Revenue) Pajak Properti merupakan sumber penerimaan yang potensial bagi daerah, dan tepat jika dikelola oleh pemerintah daerah. 2. Aspek Pengelolaan (Administrasi) Meliputi semua kegiatan Pengelolaan: Identifikasi Objek/ Subjek, Basis Data, Penilaian dan Pemungutan. 3. Aspek Wewenang Perumusan ( Policy) Untuk meningkatkan local Taxing Power, Akuntabilitas dan Trasparancy Dengan Berlakunya UU Nomor 28 Tahun 2009, dimana BPHTB menjadi Pajak Daerah hal itu berarti Desentralisasi BPHTB kepada pemerintah kabupaten/kota. Makna dari Desentralisasi pengelolaan BPHTB adalah menyerahkan semua kewenangan: Mendata, Menilai, Menetapkan, Mengadministrasikan, Memungut dan lain-lain kepada Pemerintah daerah. Syarat-syarat untuk membentuk Desentralisasi yang Ideal adalah: Infrastruktur sudah berjalan baik Undang-Undang/Aturan yang mendasari Lebih efisien pelaksanaannya Hasil yang lebih baik Tidak memicu disintegrasi bangsa Daerah siap menerima pelimpahan wewenang dari pemerintah Pusat. Beberapa kemungkinan tahap implementasi yang bisa diadopsi oleh Pemda: Mengadopsi tax rate, NJOPTKP, NPOPTKP, sistem pendataan dan penilaian yang sudah berjalan Menggunakan seluruh informasi properti yang sudah ada saat ini Melakukan cloning terhadap seluruh kebijakan dan keahlian yang dimiliki pemerintah pusat Dalam rangka persiapan Desentralisasi BPHTB, hal hal yang harus dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota adalah; 1. Peraturan

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

7

Peraturan-peraturan terkait tentang: Pendataan Penilaian/Penentuan NJOP Pencetakan SPPT/STTS/DHKP Penerbitan SPPT/Salinan/Ket. NJOP Penetapan Pajak {NPOPTKP, NPOPTKP, Ketetapan Minimal dan lain-lain) Administrasi Penerimaan Pemungutan dan Tempat Pembayaran Penagihan Tunggakan Pemeriksaan/ Penelitian Pengurangan dan Keberatan dan lain-lain 2. Peralatan Perangkat Lunak: aplikasi oracle, DBKB, BDNPP, SISMIOP dan lain-lain Perangkat Keras : 1. High Speed Printer 2. Scanner dan Plotter untuk pets 3. Komputer dan Printer 4. GPS 5. Distometer 6. Theodolit 7. File Storage 8. Digital Camera 9. dan lain-lain 4. Pembiayaan 1. Pembangunan Basis Data 2. Pengadaan Barang (Blangko SPPT, STTS dan lain-lain ) 3. Pengadaan Peralatan 4. Honorarium Tim (Petugas Pungut, dan lain-lain ) 5. Pelatihan SDM 6. Biaya Administrasi 7. Biaya Pemungutan 8. Pelaksanaan Pendataan & Penilaian 9. Input Data Objek/Subjek 10. Pencetakan Keluaran (SPPT,STTS,DHKP) 5. Personil

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

8

Petugas Pendata/ Surveyor untuk pengidentifikasian objek pajak Penilai (Valuer) Operator Console (OC) Petugas Administrasi Pemungutan Petugas Pungut Petugas Penagih/Juru Sita Pendistribusi SPPT

pengukuran,

pemetaan

dan

Selain mempersiapkan empat hal tersebut diatas, maka pemerintah daerah juga harus melaksanakan beberapa kegiatan yaitu: 1. Koordinasi antar instansi Pemerintah daerah mengadakan koordinasi dengan stakeholder atau pihak lain yang terkait. Misalnya dengan Notaris/PPAT, Bank, Developer, Kantor Pertanahan dan lain-lain. 2. Tahapan, kegiatan untuk Transfer Knowledge Transfer knowledge dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dengan membuat diktat yang bekerjasama dengan Balai Pusat Pelatihan Keuangan (BPPK) atau pihak lain yang berkompeten. 3. Pemagangan/Pelatihan Pemagangan/pelatihan dapat dilakukan pemerintah daerah dengan menempatkan pegawai pada Kantor Pelayanan. Pajak Pratama untuk dapat mengetahui secara langsung kegiatan apa saja yang dilakukan dalam pengelolaan BPHTB dan sekaligus mempraktekkannya. 4. Media Asistensi/Pendampingan Asistensi/Pendampingan dilakukan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak dengan melakukan pelatihan secara langsung, membimbing pelaksanaan kegiatan pengelolaaan dan pengawasannya yang dilakukan di Kantor pemerintah daerah.

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

9

Matrik Perbedaan BPHTB pada Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dengan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).UU BPHTB Tarif UU PDRD Paling Tinggi 5% Paling rendah Rp300 juta untuk Waris dan Hibah Wasiat Paling rendah Rp60 juta untuk Selain Waris dan Hibah Wasiat 5% (Maksimal) x (NPOPNPOPTKP)

Sebesar 5%

NPOPTKP Paling banyak Rp300 juta untuk Waris dan Hibah Wasiat Paling banyak Rp60 juta untuk Selain Waris dan Hibah Wasiat BPHTB Terutang 5% x (NPOP - NPOPTKP)

Dampak pengalihan BPHTB, Sebaran Kabupaten/Kota dan Penerapan NPOPTKPNO 1 16.000.000 NPOPTKP KAB/KOTA 24

2 3 4 5 6 7 8 9 10

6.000.001 - 12.000.000 12.000.001 - 18.000.000 18.000.001 - 24.000.000 24.000.001 - 30.000.000 30.000.001 - 36.000.000 36.000.001 - 42.000.000 42.000.001 - 48.000.000 48.000.001 - 54.000.000 54.000.001 - 60.000.000 Jumlah

175 163 96 32 1 2 0 0 4 497

@) Berdasarkan kompilasi data di DIP Tahun 2009

Perubahan UU BPHTB, UU PDRD, dengan asumsi: dengan asumsi: - Tarif 5 % Tarif 5 % - NPOPTKP waris dan N P O P T K P w a ris hibah wasiat paling dan hibah wasiat tinggi 300jt paling rendah - NPOPTKP paling 300jt tinggi 60 jt untuk selain waris N P O P T K P p a lin g

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

10

dan hibah wasiat

rendah 60 jt untuk selain waris dan.hibah w asiat Potensi penerimaan 4,99 T -37,67 %

Potensi Penerimaan 8,01 T

Dampak yang timbul dari penerapan UU PDRD secara nasional. Untuk mengantisipasi kemungkinan semakin turunnya potensi penerimaan BPHTB, maka pemerintah daerah disarankan untuk mengambil langkah-langkah: 1. Tarif yang digunakan adalah yang paling tinggi atau 5%. 2. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) waris dan hibah wasiat menggunakan Nilai yang paling rendah yaitu 300 Juta. 3. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) selain Waris dan hibah wasiat menggunakan nilai yang paling rendah. 4. Pemerintah daerah harus lebih mengintensifkan pengawasan terhadap laporan BPHTB baik dari internal, stakeholder maupun Wajib Pajak. 5. Melakukan intensifikasi maupun Ekstensifikasi dari data perpajakan yang dimiliki, misalnya Menambah jumlah Wajib Pajak, memperbaiki/ menyesuaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). 6. Melakukan perbaikan administrasi pembuktian BPHTB. 7. Meningkatkan koordinasi dengan instansi lain yang terkait.

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

11

Bab 3 Struktur Organisasi yang Dapat Diterapkan oleh Pemerintah Daerah Dalam bentuk struktur organisasi yang akan menangani pelaksanaan BPHTB di daerah maka Pemda dapat mengadosi contoh dari Struktur organisasi yang dilaksanakan oleh Dirjen Pajak, dimana bentuk organisasi tersebut didasarkan pada fungsi (organization byfungtion). Bagan Organisasi Kantor Pelayanan Pajak Pratama dan Kanwil Pajak 1. Kepala Kantor 2. Kepala SubBag Umum 3. Fungsi Pendataan dan Penilaian; a. Fungsional Penilai b. Ekstensifikasi dan Penilaian 4. Fungsi Penetapan dan Pelayanan Seksi Pelayanan 5. Fungsi Penerimaan dan Manajemen IT Seksi Pusat Data dan Informasi 6. Fungsi Penagihan -Seksi Penagihan 7. Fungsi Pengawasan a. Seksi Pengawasan dan Konsultasi b. Seksi Pemeriksaan

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

12

Bab 4 Penelitian Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Dalam upaya untuk meningkatkan pengawasan terhadap penerimaan BPHTB maka pemerintah daerah dapat melaksanakan kegiatan penelitian SSB. Kegiatan penelitian SSB tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang PDRD, oleh karena itu pemerintah daerah harus membuat Peraturan Daerah (Perda) mengenai petunjuk pelaksannnanya. Untuk itu pemerintah, daerah dapat mengadopsi/mencontoh perturan yang sudah ada sebelumnya. Tata cara penelitian Surat Setoran BPHTB (SSB) diatur dengan Peraturan No.16/PJ/2008 Tanggal 17 April 2008. Pasal 2 1) KPPBB/KPP Pratama/ Pemerintah Daerah melakukan Penelitian SSB atas SSB yang sudah tertera Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) atau SSB yang dilampiri dengan Bukti Penerimaan Negara (BPN) yang disampaikan oleh Wajib Pajak atau kuasanya untuk keperluan Penelitian SSB. 2) Dalam hal BPHTB terutang nihil, Penelitian SSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah SSB ditandatangani oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah/Pejabat Lelang atau Pejabat Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang/Pejabat Kantor Pertanahan yang berkaitan dengan perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. 3) Penyampaian SSB oleh Wajib Pajak atau kuasanya untuk keperluan Penelitian SSB dilakukan dengan menggunakan formulir sebagaimana pada Lampiran 1 Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dan dilampiri dengan fotokopi SPPT atau Surat Tanda Terima Setoran (STTS)/Struk ATM bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan/ bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan lainnya atas tanah dan/atau bangunan yang diperoleh haknya, fotokopi identitas Wajib Pajak, dan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dalam hal Wajib Pajak sudah memiliki NPWP. 4) Penelitian SSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan apabila atas tanah dan/ atau bangunan yang diperoleh haknya tidak memiliki tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan. Proses pengajuan Penelitian SSB (Pasal 2):

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

13

Pasal 3 1) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 telah terpenuhi, Pemerintah daerah menindaklanjuti dengan: a. mencocokkan NOP yang dicantumkan dalam SSB dengan NOP yang tercantum dalam fotokopi SPPT atau Surat Tanda Terima Setoran (STTS)/bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan lainnya; b. mencocokkan NJOP bumi per meter persegi yang dicantumkan dalam SSB dengan NJOP bumi per meter persegi pada Basis Data PBB; c. mencocokkan NJOP bangunan per meter persegi yang dicantumkan dalam SSB dengan NJOP bangunan per meter persegi pada Basis Data PBB; d. meneliti kebenaran penghitungan BPHTB yang meliputi komponen Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP), tarif, pengenaan atas objek pajak tertentu, besarnya BPHTB yang terutang, dan BPHTB yang harus dibayar; e. meneliti kebenaran penghitungan BPHTB yang disetor, termasuk besarnya pengurangan yang dihitung sendiri; 2) Objek pajak tertentu sebagaimana dimaksud pda ayat (1) huruf d meliputi perolehan hak karena waris, hibah wasiat, atau pemberian Hak Pengelolaan Item-item yang diteliti adalah: NOP antara SSB, SPPT, dan bukti pembayaran PBB NJOP bumi antara SSB dengan basis data. NJOP bangunan antara SSB dengan basis data. Kebenaran penghitungan, yang terdiri; NPOP, NPOPTKP, Tarif, Pengenaan atas objek pajak tertentu (waris/hibah wasiat/pemberian hak pengelolaan),

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

14

BPHTB terutang , BPHTB yang harus dibayar . Pasal 4 (1) Penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dapat dilanjutkan dengan Penelitian Lapangan SSB apabila diperlukan. (2) Hasil Penelitian Lapangan SSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Laporan Hasil Penelitian Lapangan SSB dengan menggunakanformulirsebagaimana pada Lampiran 2 Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. Pasal 5 (1) KPPBB/KPP Pratama/Pemerintah Daerah harus menyelesaikan Penelitian SSB dalam jangka waktu: a. paling lama 1 (satu) hari kerja sejak tanggal diterimanya SSB dalam hal tidak memerlukan Penelitian Lapangan SSB; b. palinglama3 (tiga) hari kerja sejak tanggal diterimanya SSB dalam hal memerlukan Penelitian Lapangan SSB; (2) Dalam hal berdasarkan Penelitian SSB dan/ atau Penelitian Lapangan SSB ternyata BPHTB yang harus disetor lebih besar daripada BPHTB yang disetor oleh Wajib Pajak, Wajib Pajak diminta untuk melunasi kekurangan tersebut. (3) Dalam hal tersebut kekurangan pembayaran BPHTB seba-gaimana dimaksud pada ayat (2), jangka waktu penyelesaian Penelitian SSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi paling lama 1 (satu) hari kerja dihitung sejak diterimanya SSB bukti pelunasan kekurangan tersebut yang sudah tertera NTPN atau dilampiri BPN. (4) SSB atau SSB bukti pelunasan yang telah diteliti, distempel dengan bentuk stempel sebagaimana ditetapkan pada Lampiran 3 Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. Penelitian SSB Pasal 4: Penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 (1) dapat dilanjutkan dengan Penelitian Lapangan SSB apabila diperlukan.

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

15

Pasal 6 Terhadap SSB yang telah diteliti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) masih dapat diterbitkan: a. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB) apabila berdasarkan pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah BPHTB terutang kurang dibayar. b. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT) apabila ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah diterbitkan SKBKB; c. Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (STB) apabila pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar, hasil pemeriksaan terhadap SSB terdapat kekurangan pembayaran BPHTB sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitting, atau Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga.

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

16

Bab 5 Pengertian Umum tentang BPHTB Pengertian mengenai BPHTB yang diulas disini berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 (PDRD) dan dikombinasikan dengan Undang-Undang 20 Tahun 2000 (BPHTB) beserta peraturan pelaksanaannya. Berdasarkan Undang-Undang PDRD tetang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan diatur pada Bagian Ke tujuh Belas: OBJEK PAJAK Pasal 85 (1) Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/ atau Bangunan. (2) Perolehan Hak atas Tanah dan/ atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pemindahan hak karena: 1) jual beli; 2) tukar menukar; 3) hibah; 4) Hibah wasiat; 5) waris; 6) pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain; 7) pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan; 8) penunjukan pembeli dalam lelang; 9) pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap; 10) penggabungan usaha; 11) peleburan usaha; 12) pemekaran usaha; atau 13) hadiah. b. pemberian hak baru karena: 1) kelanjutan pelepasan hak; atau 2) di luar pelepasan hak. (3) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada - ayat (1) adalah: a. hak milik; b. hak guna usaha; c. hak guna bangunan; d. hak pakai; e. hak milik atas satuan rumah susun; dan f. hak pengelolaan. (4) Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

17

Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh: a. perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; b. negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum; c. badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut; d. orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama; e. orang pribadi atau Badan karena wakaf; dan orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah. Objek BPHTB yang diatur pada UU PDRD sama dengan Objek BHTB yang diatur pada UU PBB. Objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang dapat berupa: a. tanah, termasuk tanaman di atasnya; b. tanah dan bangunan; c. bangunan. Yang dimaksud dengan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan, antara lain: a. gedung; b. rumah; c. kolam renang; d. tempat olah raga; e. silo. Hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia. Yang dimaksud dengan pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama. Penunjukan pembeli dalam lelang adalah penetapan pemenang lelang oleh Pejabat Lelang sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang.

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

18

Sebagai pelaksanaan dari putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, terjadi peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut. Penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung. Peleburan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut. Pemekaran usaha adalah pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama. Hadiah adalah suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah. Yang dimaksud dengan pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak adalah pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak. Yang dimaksud dengan pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara atau dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah. Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku. Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunanbangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

19

wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak milik atas satuan rumah susun adalah hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan. Hak pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga. Yang dimaksud dengan tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum adalah tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan baik Pemerintah Pusat maupun oleh Pemerintah Daerah dan kegiatan yang semata-mata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, misalnya, tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk instansi pemerintah, rumah sakit pemerintah, jalan umum. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang dimaksud dalam pasal ini adalah badan atau perwakilan organisasi internasional, baik pemerintah maupun non pemerintah. Yang dimaksud dengan konversi hak adalah perubahan hak dari hak lama menjadi hak baru menurut Undang-Undang Pokok Agraria, termasuk pengakuan hak oleh pemerintah. Contoh: 1. Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik tanpa adanya perubahan nama; 2. Bekas tanah hak milik adat (dengan bukti surat Girik atau sejenisnya) menjadi hak baru. Yang dimaksud dengan perbuatan hukum lain misalnya memperpanjang hak atas tanah tanpa adanya perubahan nama. Contoh: Perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB), yang dilaksanakan baik sebelum maupun setelah berakhirnya HGB. Yang dimaksud wakaf adalah perbuatan hukum orang pribadi atau badan yang

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

20

memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa hak milik tanah dan atau bangunan dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya tanpa imbalan apa pun. jenis jenis hak hak atas tanah dasar hukumnya adalah sebagai berikut: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai: UUPA (UU No. 5 Tahun 1960). Hak Milik atas satuan Rumah susun : UU Rumah Susun (UU No. 16 Tahun 1985). Hak Pengelolaan: Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1953 Obyek Pajak yang diperoleh karena waris, hibah wasiat dan pemberian hak pengelolaan diatur dengan PP No 8/1953 Pasal 3 ayat (2) Pengenaan BPHTB pada waris dan hibah wasiat, untuk lebih memberikan rasa keadilan: Saat pewaris meninggal dunia pada hakikatnya telah terjadi pemindahan hak dari pewaris kepada ahli waris mengingat ahli waris memperoleh hak secara cuma-cuma, maka adalah wajar apabila perolehan hak karena waris termasuk objek pajak hibah wasiat merupakan penetapan wasiat yang khusus berlaku pada saat pemberi wasiat meninggal dunia, pada umumnya penerima hibah wasiat adalah orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga yang tidak mampu atau badan sebagai penghargaan Pengenaan BPHTB karena Pemberian hak pengelolaan: Hak pengelolaan merupakan hak menguasai dari negara atas tanah yang sebagian kewenangannya dilimpahkan kepada pemegang haknya. SUBJEK PAJAK Subjek Pajak yang diatur dalam UU PDRD sama dengan UU PBB 32 Panduan Pelaksanaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan... Pasal 86 (1) Subjek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. (2) Wajib Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Untuk lebih memberi kepastian hukum tentang Wajib Pajak, maka perlu dijelaskan pada Peraturan Daerah, yaitu ketentuan yang belum diatur dalam dalam Undang-Undang PDRD, misalnya yang tidak diketahui siapa Wajib Pajaknya atau adanya perselisihan dalam menetapkan Wajib Pajaknya. DASAR PENGENAAN Pasal 87

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

21

(1) Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangu-nan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak. (2) Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal: a. jual beli adalah harga transaksi; b. tukar menukar adalah nilai pasar; c. hibah adalah nilai pasar; d. hibah wasiat adalah nilai pasar; e. waris adalah nilai pasar; f. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar; g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar; h. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar; i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar; j. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar; k. penggabungan usaha adalah nilai pasar; 1. peleburan usaha adalah nilai pasar; m. pemekaran usaha adalah nilai pasar; n. hadiah adalah nilai pasar; dan/atau o. penunjukkan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang. (3) Jika Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yangdipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan. (4) Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. (5) Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). (6) Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) ditetapkan dengan Peraturan Daerah NPOPTKP pada UU PDRD terdapat perbedaan dengan UU PBB, besarnya NPOPTKP ditetapkan paling rendah Rp. 60.000.000,- enam puluh juta untuk setiap WP. Dan NPOPTKP untuk waris atau hibah wasiat ditetapkan paling

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

22

rendah Rp. 300.000.000,- (Tiga ratus juta rupiah). Yang perlu diantisipasi dari Undang Undang PDRD ini dalam hal Penetapan NPOPTKP ini adalah Pasal 87 ayat (4), dimana. penguranagan NPOPTKP ditetapkan "Untuk Setiap Wajib Pajak" hal tersebut akan menimbulkan polemik karena sulit dilaksanakan di lapangan. Seharusnya pengurangan NPOPTKP diterapkan "Untuk Setiap Transaksi Wajib Pajak". Tapi perlu diantisipasi juga kemungkinan kecurangan yang dilakukan Wajib Pajak dengan cara memecah transaksi sebanyak mungkin agar memperoleh pengurangan jumlah NPOPTKP yang banyak, hal tersebut perlu dibuat Peraturan Daerah yang lebih efektif dalam pengenaan BPHTB. Misalnya untuk kegiatan transaksi-transaksi yang dilakukan pada satu Hamparan Objek Pajak pada satu waktu tertentu maka pengenaan NPOPTKP nya hanya Satu Kali. Seperti yang diamanatkan pada UU PDRD maka, dalam Pengenaan BPHTB perlu diatur dalam Perda. Berikut ini beberapa contoh mengenai Pengenaan BPHTB yang dapat diadopsi oleh Pemerintah Daerah, yaitu mengenai: 1. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB) BPHTB 2. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar (SKPDLB) BPHTB 3. Surat Ketetapan Bebas BPHTB (SKB BPHTB) 4. Pengenaan BPHTB atas Hak Baru 5. Pengenaan BPHTB Karena Waris dan Hibah Wasiat PERATURAN PEMERINTAH RI NOMOR 111 TAHUN 2000 TENTANG PENGENAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN KARENA WARIS DAN HIBAH WASIAT Kep. Men. Keu No.514/KMK.04/2000 tanggal 14 Desember 2000. Perolehan hak karena waris adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan oleh ahli waris kepada pewaris, yang berlaku setelah pewaris meninggal dunia . Perolehan hak karena hibah wasiat adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan dari pemberi hibah wasiat yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia. Besarnya BPHTB terhutang atas perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena Waris &Hibah wasiat yang diterima dikenakan sebesar 50% dari BPHTB yang seharusnya terhutang. SaatTerhutang Pajak atas Perolehan Hak karena Waris dan Hibah Wasiat sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

23

Nilai Perolehan Objek Pajak karena waris dan hibah wasiat adalah nilai pasar pada saat didaftarkannya perolehan hak tersebut ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Dalam hal nilai pasar lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Nilai Perolehan Objek Pajak yang digunakan sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota hanya dapat melakukan pendaftaran perolehan hak karena waris dan hibah wasiat pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. 6. Pengenaan BPHTB Karena Pemberian Hak Pengelolaan PERATURAN PEMERINTAH RI NOMOR 112 TAHUN 2000 TENTANG PENGENAAN BEA PEROLEHAN HAKATAS TANAH DAN BANGUNAN KARENA PEMBERIAN HAK PENGELOLAAN Kep. Men. Keu. No.515/KMK.04/2000 tanggal 14 Desember 2000. 36 Panduan Pelaksanaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan... Hak Pengelolaan adalah Hak menguasai dari Negara atas tanah yang kewenangan pelak-sanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya. Antara lain untuk: merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah keperluan pelaksanaan tugas menyerahkan bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga atau bekerja sama dengan pihak ketiga Besarnya Bea Perolehan Hak-atas Tanah dan Bangunan karena pemberian Hak Pengelolaan adalah sebagai berikut: 0% (nol persen) dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang seharusnya terutang, dalam hal penerima Hak Pengelolaan adalah Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, lembaga pemerintah lainnya, dan Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas); 50% (lima puluh persen) dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang seharusnya terutang dalam hal penerima Hak Pengelolaan selain dimaksud pada huruf a. Saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan untuk pemberian Hak Pengelolaan adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya keputusan pemberian Hak Pengelolaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

24

Nilai Perolehan Objek Pajak dalam hal pemberian Hak Pengelolaan adalah nilai pasar pada saat diterbitkannya keputusan pemberian Hak Pengelolaan. Dalam hal nilai pasar lebih rendah dari pada Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Nilai Perolehan Objek Pajak yang digunakan sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan. 7. Tata Cara Penentuan Besarnya NPOPTKP BPHTB (Contoh Perda NPOPTKP pada Lampiran 1) a. Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ditetapkan oleh setiap Pemerintah Kabupaten/Kota dengan memperhatikan usulan Masyarakat b. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (a) dapat diubah dengan mempertimbangkan perkembangan perekonomian regional. TARIF, CARA MENGHITUNG DAN TEMPAT PAJAK TERHUTANG Pasal 88 (1) Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen). (2) Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Pasal 89 (1) Besaran pokok Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) setelah dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (6). (2) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat Tanah dan/ atau Bangunan berada. Cara Menghitung BPHTB: BPHTB - ( NPOP - NPOPTKP ) x Tarif Atau, Bila NJOP sebagai dasar Pengenaan maka: BPHTB - ( NJOP - NPOPTKP ) x Tarif Contoh: Wajib Pajak "A" membeli tanah dan bangunan Nilai Perolehan Objek Pajak Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak

= Rp 95.000.000,00 = Rp 60.000M.00 (-) Rp 35.000.000,00

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

25

Pajak yang Terutang = 5% x Rp35.000.000,00 SAAT TERHUTANG

= Rp 1.750.000,00

Pasal 90 (1) Saat terutangnya pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan ditetapkan untuk: a. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; b. tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; c. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; d. hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; e. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan; f. pemasukan dalam perseroan atau badanhukumlainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; h. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pangadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap; i. pemberian hak baru atas Tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak; j. pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak; k. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; 1. peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; m. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta, n. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; dan o. lelang adalah sejak tanggal penunjukkan pemenang lelang. (2) Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Untuk Penetapan BPHTB terhutangatas lelang dan Penggabungan usaha atas Bank Mandiri maka pemerintah daerah dapat merujuk pada: Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP 09/PJ./1999 Tentang Tata Cara Pembayaran BPHTB sehubungan Merger Bank Mandiri dan Lelang. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang terutang sehubungan dengan Penggabungan Usaha (merger) dan Pembentukan Bank Mandiri, dapat dibayar sebesar BPHTB terutang setelah dikurangi sebesar 100% (seratus persen) dengan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB). BPHTB yang terutang sehubungan dengan penjualan tanah dan atau bangunan secara lelang yang harga lelangnya lebih rendah daripada NJOP PBB, dapat dibayar

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

26

sebesar BPHTB terutang menurut harga lelang dengan menggunakan SSB. Kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada hal di atas dilaksanakan sebelum akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan atau risalah lelang ditandatangani oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)/ Notaris/ Pejabat Lelang. KETENTUAN BAGI PEJABAT . Pasal 91 (1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/ atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak. (2) Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara hanya dapat menandatangani risalah lelang Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak. (3) Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran Hak atas Tanah atau pendaftaran peralihan Hak atas Tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak. Pasal 92 (1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan kepada Kepala Daerah paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya. (2) Tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah. Pasal 93 (1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran. (2) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan. (3) Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pasal 91, pasal 92 dan pasal 93 telah diatur ketentuan bagi Pajabat Pembuat

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

27

Akta Tanah/ Notaris dan Kepala Kantor Lelang/Pejabat Lelang untuk menyampaikan laporan tentang pembuatan akta, atau Risalah Lelang atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Penyampaian laporan tersebut diperlukan dalam rangka pengawasan terhadap kepatuhan dan kebenaran pemenuhan kewajiban perpajakan. Selain itu, mengingat pendaftaran perolehan hak baru atas tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya, maka pejabat dimaksud juga perlu memberitahukan penerbitan keputusan pemberian hak baru atas tanah. Oleh karena itu, untuk tertib administrasi pelaporan dan pemberitahuan serta pemberlakuan sanksi administrasi bagi pejabat, maka tata cara pelaporan atau pemberitahuan perolehan hak atas tanah atau bangunan perlu diatur lebih detail dan juga menampung semua aspirasi dari stakeholder. Hal-hal yang perlu disiapkan oleh Pemerintah Daerah Dalam Rangka penyusunan Perda tentang Pelaporan dan Pemberitahuan Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 1. Laporan atau pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sekurang-kurangnya memuat nomor dan tanggal akta, Risalah Lelang atau surat keputusan pemberian hak atas tanah, status hak, letak tanah dan atau bangunan, luas tanah, luas bangunan, nomor dan tahun Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan, Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan, harga transaksi atau nilai pasar, nama dan alamat pihak yang mengalihkan dan memperoleh hak, serta tanggal dan jumlah setoran. 2. Laporan atau pemberitahuan sebagaimana dimaksud di atas disampaikan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. 3. Apabila tanggal 10 bulan berikutnya jatuh pada hari libur, maka Laporan disampaikan pada hari kerja berikutnya. Pelaporan atau pemberitahuan dimaksud tidak perlu dilakukan dalam hal tidak terjadi perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. 4. Ketentuan pemberian hak baru oleh Badan pertanahan berlaku dalam hal perolehan hak atas tanah karena pemberian hak baru dimaksud merupakan objek pajak dan pelaksanaannya tidak dilakukan melalui Pejabat Pembuat Akta Tanah atau Kantor Lelang. 5. Dalam hal terjadi perpanjangan atau pembaharuan hak karena berakhirnya hak atas tanah yang sudah bersertifikat dan diberikan kepada pemegang hak semula, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya tidak perlu menyampaikan pemberitahuan dimaksud. PPAT/ Notaris/ Camat yang terlambat melakukan pelaporan bulanan Pembuatan

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

28

Akta Tanah dikenakan Surat Tagihan Denda Pajak Daerah (STDPD), dengan ini disampaikan penjelasan sebagai berikut: 1. Bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) wajib menyampaikan Laporan Bulanan Pembuatan Akta Tanah oleh PPAT kepada Kepala Kantor Pemerintah Daerah yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah dan atau bangunan, paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya 2. Bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud di atas dikenakan sanksi denda sebesar Rp. 250.000,- (Dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan (Pasal 93 ayat 2 UU. No. 28 Tahun 2009) 3. Pemerintah daerah dapat mengeluarkan Ketetapan perihal pemberian sanksi bagi PPAT yang melanggar Pasal 93 ayat 2 UU no. 28 Tahun 2009 yaitu Surat Tagihan Denda Pajak Daerah(STDPD) dengan jumlah denda yang: Rp. 250.000,-yang harus dibayar 4. Dengan diterbitkannya Surat Tagihan Denda Pajak Daerah (STDPD), maka: a. Agar membayar denda di Bank-bank Pemerintah/ Kantor Pos yang ditunjuk. b. Pembayaran denda dilaksanakan dengan menggunakan Surat Setoran Pembayaran Denda Pajak Daerah (SSPDPD). c. SSPDPD Lembar ke-2, supaya dikirimkan ke Kantor Pemerintah Daerah. Apa bila Akta ditandatangani sebelum BPHTB terbayar, bisa dikenakan Surat Tagihan Denda Pajak Daerah (STDPD), dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Pasal 91 ayat (1) W. No.28 Tahun 2009 2. Bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Pejabat Lelang Negara yang melanggar Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) dan ayat (2), dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran. Pasal 93 ayat 1 UU. No. 28 Tahun 2009. 3. Pemerintah Daerah dapat mengeluarkan ketetapan perihal pemberian sanksi bagi PPAT dan Pejabat Lelang yang melanggar Pasal 91 ayat 1 dan ayat 2 dengan Surat Tagihan Denda Pajak Daerah (STDPD) dengan jumlah denda yang: Rp. 7.500.000,yang harus dibayar. 4. Dengan diterbitkannya Surat Tagihan Denda Pajak Daerah (STDPD), maka: a. Agar membayar denda di Bank-bank Pemerintah/ Kantor Pos yang ditunjuk. b. Pembayaran denda dilaksanakan dengan menggunakan Surat Setoran

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

29

Pembayaran Denda Pajak Daerah (SSPDPD). c. SSBP Lembar ke-2, supaya dikirimkan ke Kantor Pemerintah Daerah d. Surat Tagihan Denda Pajak Daerah dapat dibatalkan dengan menunjukkan SSPDB telah dilaporkan sebelum tanggal ditandatanginya akta. PENETAPAN DAN MUATAN YANG DIATUR DALAM PERATURAN DAERAH Pasal 95 (1) Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah. (2) Peraturan Daerah tentang Pajak tidak berlaku surut. (3) Peraturan Daerah tentang Pajak paling sedikit mengatur ketentuan mengenai: a. nama, objek, dan Subjek Pajak; b. dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak; c. wilayah pemungutan; d. masa pajak; e. penetapan; f. tata cara pembayaran dan penagihan; g. kedaluwarsa; h. sanksi administratif; dan i. tanggal mulai berlakunya. (4) Peraturan Daerah tentang Pajak dapat juga mengatur ketentuan mengenai: a. pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan da-lam hal-hal tertentu atas pokok pajak dan/atau sanksinya; b. tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa; dan/atau c. asas timbal balik, berupa pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak kepada kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing sesuai dengan kelaziman internasional. PEMUNGUTAN PAJAK Pasal 96 Tata Cara Pemungutan (1) Pemungutan Pajak dilarang diborongkan. (2) Setiap Wajib Pajak wajib membayar Pajak yang terutang berdasarkan surat ketetapan pajak atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan. (3) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan berdasarkan penetapan Kepala Daerah dibayar dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan. (4) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa karcis dan nota perhitungan.

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

30

(5) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri dibayar dengan menggunakan SPTPD, SKPDKB, dan/ atau SKPDKBT. Untuk lebih mempermudah bagi Pemerintah Daerah dalam membuat bentuk formulir SPTPD maka dapat mencontoh bentuk formulir SSB yang sudah ada dengan beberapa penyesuaian untuk kentingan daerah masing-masing; (Contoh Formulir SPTPD untuk BPHTB pada Lampiran 2). KEPUTUSAN PEMERINTAH DAERAH TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMBAYARAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DAN BENTUK SERTA FUNGSI SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK DAERAH BPHTB Nomor 1 (1) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang terutang wajib dibayar oleh Wajib Pajak atau Kuasanya dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Daerah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) ke Tempat Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang ditunjuk oleh Pemerintah Daerah di wilayah Kabupaten/Kota yang meliputi letak tanah dan atau bangunan. (2) Kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada saat: a. dibuat dan ditandatanganinya akta dalam hal jual beli, tukar menukar, hibah, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, dan hadiah; b. dilakukan pendaftaran hak oleh Pejabat Pertanahan dalam hal waris dan hibah wasiat; c. ditunjuknya pemenang lelang dalam hal lelang; d. ditandatanganinya surat keputusan pemberian hak oleh Pejabat Pertanahan dalam hal pemberian hak baru; e. putusan pengandilan mempunyai kekuatan hukum tetap dalam hal pelaksananan putusan hakim. Nomor2 (1) SPTPD untuk BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Nomor 1 ayat (1) digunakan untuk melakukan pembayaran/ penyetoran BPHTB yang terutang dan sekaligus digunakan untuk melaporkan data perolehan hak atas tanah dan bangunan. (2) SPTPD selain berfungsi sebagai alat pembayaran/ penyetoran BPHTB dan pelaporan data perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berfungsi sebagai Surat Pemberitahuan Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (SPOP PBB).

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

31

(3) SPTPD BPHTB terdiri dari 5 (lima) rangkap, yaitu: a. Lembar ke-1: untuk Wajib Pajak; b. Lembar ke-2: untuk Kantor Pelayanan Pemda melalui Bank Operasional BPHTB; c. Lembar ke-3: untuk Pemda disampaikan oleh Wajib Pajak; d. Lembar ke-4: untuk Tempat Pembayaran BPHTB; e. Lembar ke-5: untuk PPAT/ Notaris/Pejabat Lelang/ Pejabat Pertanahan Nomor3 (1) Formulir SPTPD disediakan di PPAT/Notaris, Kantor Lelang, Kantor Pertanahan, Pemda, Tempat Pembayaran BPHTB, dan tempat lain yang ditunjuk oleh Kepala KPPBB. (2) Wajib Pajak setelah melakukan pembayaran memperoleh SPTPD lembar ke-1, SSB lembar ke-3, dan SPTPD Lembar ke-5. (3) Tempat Pembayaran BPHTB mengirimkan SPTPD Lembar ke-2 Bank Operasional untuk diteruskan ke Pemda yang bersangkutan setiap ada pelimpahan. (4) SPTPD Lembar ke-3 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemda. (5) SPTPD Lembar ke-4 disimpan oleh Tempat Pembayaran BPHTB sebagai arsip. (6) SPTPD lembar ke-5 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Wajib Pajak kepada PPAT/ Notaris/Kepala Kantor Lelang/Pejabat Lelang/Pejabat Pertanahan. Nomor4 (1) Dalam hal Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang seharusnya terutang nihil, maka Wajib Pajak tetap mengisi SPTPD dengan keterangan nihil. (2) SPTPD nihil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) cukup diketahui oleh PPAT/Notaris/Kepala Kantor Lelang/ Pejabat Lelang/Pejabat Pertanahan. (3) SPTPD nihil lembar ke-2, SSB nihil lembar ke-3, dan SSB nihil lembar ke-4 disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemda. Nomor 5 Penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Nomor 3 ayat (4) dan Pasal 4 ayat (3) dilakukan dalam jangka jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal pembayaran atau perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Nomor6

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

32

Bentuk formulir dan petunjuk pengisian SPTPD adalah sebagai mana ditetapkan dalam Lampiran Keputusan Pemerintah Daerah. Untuk lebih mempermudah pemahaman pada SPTPD untuk BPHTB maka dapat dilihat pada diagram arus berkas dan arus dokumen pembayaran BPHTB. (Lampiran 3) DALUARSA PAJAK, SKPDKB, SPTPD, SKPDN DAN SKPDKBT Pasal 97 (1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Kepala Daerah dapat menerbitkan: a. SKPDKB dalam hal: 1) jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau ketera-ngan lain, pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; 2) jika SPTPD tidak disampaikan kepada Kepala Daerah dalam jangka waktu tertentu dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam surat teguran; 3) jika kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang terutang dihitung secara jabatan. b. SKPDKBT jika ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak-yang terutang. c. SKPDN jika jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. (2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1) dan angka 2) dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak. (3) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut. (4) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan. (5) Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3) dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak ditambah sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak. Pasal 98

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

33

Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis Pajak yang dapat dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dan ketentuan lainnya berkaitan dengan pemungutan pajak diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 99 (1) Tata cara penerbitan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan, SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (3) dan ayat(5) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan, SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (3) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah. CONTOH KEPUTUSAN PEMERINTAH DAERAH TENTANG TATA CARA PENERBITAN SURAT KETETAPAN PAJAK DAERAH BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN KURANG BAYAR (SKPDKB), SURAT KETETAPAN PAJAK DAERAH BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN KURANG BAYAR TAMBAHAN (SKPDKBT). Nomor 1 (1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Kepala Pemerintah Daerah dapat melakukan pemeriksaan atas kebenaran data objek pajak yang tertuang dalam SSPD. (2) Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang dibayar, maka Kepala Pemerintah Daerah menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKPDKB). (3) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB. Nomor2 (1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Kepala Pemerintah Daerah dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT) apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang dan sebelumnya telah pernah diterbitkan SKPDKB. (2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

34

sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut. (3) Sanksi administrasi berupa kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan apabila SKPDKBT diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat belum dilakukan tindakan pemeriksaan. Nomor3 (1) SKBKB, SKBKBT sebagaimana dimaksud diatas, merupakan dasar penagihan pajak. (2) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang berdasarkan SKPDKB, SKPDKBT yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterima oleh Wajib Pajak. (3) Apabila atas pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak atau kurang dibayar pada saat jatuh tempo, maka atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dimaksud dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan pembayaran. Bentuk SKBKB, SKBKBT, sebagaimana lampiran 29 dan 30. PEMERINTAH DAERAH TENTANG TATA CARA PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN. Nomor 1 (1) Untuk memperoleh pengembalian kelebihan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Wajib Pajak mengajukan permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan menyebutkan jumlah kelebihan pembayaran disertai alasan yang jelas kepada Kepala Kantor Pemerintah Daerah yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah dan atau bangunan. (2) tanda penerimaan surat permohonan diberikan oleh Kantor Pemerintah Daerah atau tanda pengiriman surat permohonan melalui pos tercatat dan sejenisnya, menjadi tanda bukti penerimaan surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Nomor2 (1) Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Nomor 1, dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya surat permohonan Wajib Pajak, Kepala Kantor Pemerintah Daerah menerbitkan: a. Surat Ketetapan Pajak Daerah bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, apabila jumlah bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang dibayar ternyata lebih besar dari yang seharusnya terutang atau dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang.

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

35

b. Surat ketetapan Pajak Daerah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil, apabila jumlah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang dibayar sama dengan jumlah Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang seharusnya terutang. c. Surat ketetapan Pajak Daerah bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, apabila jumlah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang ternyata lebih besar dari jumlah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang dibayar. (2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Kepala Kantor Pemerintah belum memberikan keputusan, maka Permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak berakhirnya jangka waktu tersebut Kepala Kantor Pemerintah Daerah harus menerbitkan Surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar. (3) Apabila Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar terlambat diterbitkan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan saat diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Daerah Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan lebih Bayar. Nomor3 Kepala Kantor Pemerintah Daerah menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian kelebihan Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar atau Surat Keputusan/Putusan lain yang menyebabkan timbulnya kelebihan pembayaran pajak, dan mengirimkannya kepada Wajib Pajak, Bank Tunggal/Bank Operasional, Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara. Nomor4 (1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atas nama Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Daerah Bea Perolehan Hak atas tanah dan Bangunan lebih bayar, harus menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. (2) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat, Surat Perintah Membayar Kelebihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan belum diterbitkan, maka kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 2 (dua) bulan tersebut sampai dengan diterbitkannya Surat Perintah Membayar Kelebihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

36

(3) Dalam hal Wajib Pajak diberikan imbalan bunga diterbitkan Surat keputusan Imbalan Bunga. (4) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga. (5) Dalam hal Wajib Pajak mempunyai utang Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dan atau Pajak Bumi dan Bangunan dalam wilayah Daerah Tingkat 11 yang sama, maka kelebihan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang tercantum dalam Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Nomor 2 ayat (1) huruf a, ayat (2), dan ayat (3) diperhitungkan terlebih dahulu dengan utang Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dan atau Pajak Bumi dan Bangunan. (6) Perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dicantumkan dalam Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan atas sisanya diterbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. SURAT TAGIHAN PAJAK Pasal 100 (1) Kepala Daerah dapat menerbitkan STPD jika: a. pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar; b. dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung; c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda. (2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat terutangnya pajak. (3) SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dan ditagih melalui STPD. TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENAGIHAN Pasal 101 (1) Kepala Daerah menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah saat terutangnya pajak dan paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

37

Pajak. (2) SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT,STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Ban-ding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan. (3) Kepala Daerah atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran pajak diatur dengan Peraturan Kepala Daerah. Pasal 102 (1) Pajak yang terutang berdasarkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa. (2) Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan. TATA CARA PELAKSANAAN PENAGIHAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN 1. umum Petunjuk Pelaksanaan ini merupakan petunjuk pelaksanaan yang digunakan dalam rangka penagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTP): A. Dasar penagihan yang dapat diikuti dengan Surat Paksa karena BPHTB menganut sistem self assesment maka dasar penagihan BPHTB yang tidak atau kurang dibayar setelah lewat jatuh tempo pembayaran dapat ditagih dengan Surat Paksa terdiri atas: 1. Surat Tagihan Pajak Daerah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan bangunan (STPDB); 2. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar BPHTB (SKPDKBB); 3. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT); 4. Surat Keputusan Pembetulan yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah; 5. Surat Keputusan Keberatan yang menyebabkan ju mlah pajak yang harus dibayar bertambah; 6. Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

38

bertambah. B. Penerbitan STPD BPHTB Penerbitan STPD BPHTB atas SKBKB yang tidak atau kurang dibayar lewat jatuh tempo pembayaran yang dilanjutkan dengan penerbitan Surat Paksa. Pada dasarnya pelaksanaan penagihan BPHTB diawali dengan penerbitan Surat Teguran oleh Kepala Pemerintah Daerah/kuasa yang ditunjuk. Namun demikian, dalam rangka memberikan pelayanan kepada Wajib Pajak, pendekatan persuasif baik melalui pemberitahuan lewat telepon, surat, atau cara lain sebelum saat jatuh tempo pembayaran hendaknya dilakukan. Tindakan pelaksanaan penagihan harus dilakukan sampai tuntas dengan hasil akhir berupa pelunasan utang pajak beserta biaya penagihannya. II. PELAKSANAAN PENAGIHAN A. Penerbitan Surat Teguran Penerbitan Surat Teguran sebagai langkah awal dari tindakan pelaksanaan penagihan pajak dikeluarkan segera setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran STPD B/ SKPDKB B/ SKPDKBT B/atau SK.Pembetulan/ SK.Keberatan/ Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah. B. Penerbitan Surat Perintah Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus Surat Perintah Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus diterbitkan tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran STPD atau SKPDKB/SKPDKBT/ SK.Pembetulan/ SK.Keberatan/ Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah apabila: a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu. b. Penanggung pajak menghentikan atau secara nyata mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia, ataupun memindahtangankan barang yang dimiliki atau dikuasainya; c. Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya atau berniat untuk itu; d. Badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau Terjadi penyitaanatas barang Penganggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan. Dalam hal terhadap Penanggung Pajak telah diterbitkan Surat Teguran, maka Penagihan Seketika dan Sekaligus dilakukan tanpa menunggu lewat tenggang waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak Surat Teguran diterbitkan. Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus diterbitkan sebelum penerbitan Surat Paksa. Oleh karena itu pengecualian jadwal waktu penagihan tersebut hanya berlaku sebelum diterbitkannya Surat Paksa, seadangkan jadwal waktu penagihan setelah diterbitkannya Surat Paksa mengikuti jadwal waktu normal.

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

39

C. Penerbitan Surat Paksa Surat Paksa diterbitkan segera setalah lewat waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak.diterbitkannya Surat Teguran apabila utang pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi atau telah diterbitkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus. 1). Pelaksanaan Sita Penyitaan terhadap barang milik Penanggung Pajak dilaksanakan oleh Jurusita Pajak berdasarkan Surat Perintah melaksanakan Penyitaan. Penyitaan dilaksanakan apabila utang pajak tidak dilunasi dalam jangka waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam sejak tanggal Surat Paksa diberitahukan kepada Penanggung Pajak. Tujuan penyitaan adalah memperoleh jaminan pelunasan utang pajak dan biaya penagihannya dari Penanggung Pajak, oleh karena itu penyitaan dapat dilaksanakan terhadap semua barang milik Penanggung Pajak, baik yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau dipinjamkan atau yang dibebani hak atnggungan (hipotik, gadai, agunan), berupa: a. Barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, dan deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, dan bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal kepada perusahaan lain; dan atau b. Barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor paling sedikit 20 (dua puluh) meter kubik. Penyitaan brang bergerak dan atau barang tidak bergerak berupa tanah atau bangunan dilakukan secara fisik dan sedapat mungkin dokumen bukti kepemilikan seperti sertifikat hak atas tanah dapat ikut disita Dalam rangka menjaga kelangsungan hidup dan usaha Penanggung Pajak, terhadap barang bergerak tertentu dikecualikan dari penyitaan yaitu: a. Pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya; b. Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan masak yang ada di rumah; c. Perlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dings; d. Buku-buku yang bertaHan dengan jabatan atau pekerjaan Penanggung Pajak dan alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan, dan keilmuan;

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

40

e. Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan atau usaha seharihari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); f. Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya. Pada dasarnya penyitaan dilaksanakan dengan mendahulukan barang bergerak, namun dalam keadaan tertentu penyitaan dapat dilaksanakan langsung terhadap barang tidak bergerak, misalnya barang bergerak yang dapat dijadikan objek sits tidak dijumpai atau barang bergerak yang dijumpai tidak mempunyai nilai atau harganya tidak memadai dibandingkan dengan utang pajak. Urutan barang bergerak dan atau barang tidak bergerak yang disita ditentukan dengan memperhatikan jumlah utang pajak dan biaya penagihan pajak, kemudahan penjualan atau pencairannya. Penyitaan terhadap barang milik Penanggung Pajak dilaksanakan dengan memperhatikan jumlah dan jenis barang berdasarkan harga wajar yang diperkirakan cukup untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari penyitaan yang berlebihan. Dalam memperkirakan nilai barang yang disita Jurusita dimungkinkan untuk meminta bantuan jasa penilai. Terhadap semua jenis barang yang disita oleh pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang, misalnya Panitia Urusan Piutang Negara, tidak boleh disita lagi oleh Jurusita Pajak. E. Pencabutan Sita 1. Pencabutan Sita dilaksanakan: a. Apabila Penenggung Pajak telah melunasi utang pajak dan biaya penagihannya; b. Berdasarkan putusan pengadilan/putusan hakim dari peradilan umum, misalnya putusan atas gugatan gugatan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita; c. Berdasarkan putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP), misalnya putusan atas gugatan Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan sita; d. Berdasarkan penetapan Menteri Keuangan karena adanya sebab-sebab diluar kekuasan, misalnya objek sita terbakar, hilang atu musnah. 2. Pencabutan Sita dilaksanakan berdasarkan Surat Pencabutan Sita yang berfungsi sebagai pencabutan Berita Acara Pelaksanaan Sita 3. Surat Pencabutan Sita (KP.PBB/ BPHTB 5.42 - 00) diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan PBB dan disampaikan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak serta instansi terkait dan tindakannya disimpan dalam berkas penagihan Wajib Pajak/ Penanggung Pajak yang bersangkutan sebagai peninggal-

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

41

F. Pelaksanaan Penjualan Barang Sitaan Secara Lelang Kepala Pemerintah Daerah berwenang menjual secara lelang terhadap barang yang disita melalui Kantor Lelang, kecuali barang yang disita berupa uang tunai, deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pada perusahaan lain. Untuk memberi kesempatan kepada Penangggung Pajak guna melunasi utang pajak dan biaya penagihannya serta sesuai dengan peraturan lelang, maka setiap penjualan barang sitaan secara lelang harus didahului dengan pengumuman lelang. Pengumuman lelang dilaksanakan sekurang-kurangnya 14 (empat belas) hari setelah penyitaan, sedangkan lelang dilaksanakan sekurang-kurangnya 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang. Apabila Penanggung Pajak belum juga melunasi utang pajaknya, sedangkan lelang tetap harus, dilaksanakan, kepada Penganggung Pajak masih diberi kesempatan untuk menentukan urutan barang yang akan dilelang. Dalam hal Penanggung Pajak tidak menggunakan kesempatan dimaksud atau apabila pelaksanaan lelang terhadap urutan tersebut menjadi terhambat, maka Kepala Pemerintah Daerah menentukan kembali urutan barang yang dilelang dimaksud. Kepala Pemda dan Jurusita Pajak, beserta istri, keluarga sedarah atau semenda dalam garis keturunan lurus dan anak angkat tidak diperbolehkan membeli barang sitaan yang dilelang. Mengingat bahwa lelang merupakan tindakan lanjut eksekusi dari Surat Paksa yang kedudukannya sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka lelang tetap dilaksanakan walaupun keberatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak belum memperoleh keputusan keberatan atau tanpa dihadiri oleh Penaggung Pajak. Akan tetapi lelang ti-dak dilaksanakan: a. apabila Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak dan biaya penagihannya; b. berdasarkan putusan pengadilan yang mengabulkan gugatan pihak ketiga atas kepemilikan barang yang disita; c. berdasarkan putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) yang mengabulkan gugatan Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak; d. apabila objek sita yang akan dilelang musnah karena terbakar atau bencana alam. Pada dasarnya tujuan lelang adalah untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak. Hasil lelang digunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya penagihan pajak dan sisanya untuk membayar utang pajak. Dalam rangka memberikan perlindungan kepada Penanggung Pajak, maka: a. pelaksanaan lelang agar tidak dilakukan secara berlebihan misalnya dalam hal hasil lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak, pelaksanaan lelang dihentikan walaupun barang yang akan dilelang masih ada;

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

42

b. Kepala Pemerintah Daerah agar tidak sewenang-wenang dalam melakukan penjualan secara lelang, seperti penentuan harga limit; c. Kepala Pemerintah Daerah mengembalikan sisabarangsitaan beserta kelebihan uang hasil lelang kepada Penanggung Pajak segera setelah dibuatnya Risalah Lelang. Ketentuan pelaksanaan penjualan barang sitaan lelang mengacu pada Surat Edaran Bersama Direktur Jenderal Pajak dan Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara Nomor SE-214/PJ/1999 tanggal 25 Agustus 1999 tentang Lelang Eksekusi Pajak. G. Pelaksanaan Penjualan barang Sitaan yang Dikecualikan dari Penjualan Secara Lelang Barang sitaan yang dikecualikan dari penjualan lelang berupa: a. Uang tunai; b. Kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank seperti deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro atau bentuk lain yang daapt dipersamakan dengan itu; c. Obligasi; d. Saham; e. Piutang; f. Penyertaan modal; dan g. Surat berharga lainnya. Kepala Pemerintah daerah dan Jurusita beserta istri, keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus dan anak angkat tidak diperbolehkan membeli barang sitaan yang penjulannya dikecualikan dari penjualan secara lelang. III. BIAYA PENAGIHAN Biaya penagihan pajak meliputi: a. biaya pelaksanaan Surat Paksa sebesar Rp 25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) untuk setiap pemberitahuan Surat Paksa, dengan rincian Rp 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) untuk biaya harian Jurusita Pajak dan Rp 15.000,00 (lima belas ribu rupiah) untuk biaya perjalanan Jurusita Pajak. b. biaya pelaksanaan penyitaan sebesar Rp 75.000,00 (tujuh puluh ribu rupiah) untuk setiap Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan yang dilaksanakan, dengan rincian untuk biaya harian Jurusita Pajak dan 2 (dua) orang saksi masing-masing Rp 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) dan untuk biaya perjalanan Jurusita Pajak dan 2 (dua) orang saksi masing-masing Rp 15.000,00 (lima belas ribu rupiah).

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

43

c. biaya pencegahan dan atau biaya penyanderaan; d. biaya pelaksanaan lelang meliputi: 1) biaya pengumuman lelang di surat kabar; 2) biaya lelang; 3) biaya penyimpanan barang yang disita; 4) biaya lain yang berhubungan dengan lelang; e. biaya yang timbul karena penjualan barang sitaan yang dilakukan tidak secara lelang. KEBERATAN DAN BANDING Pasal 103 (1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk atas suatu: a. SPPT; b. SKPD; c. SKPDKB; d. SKPDKBT; e. SKPDLB; f. SKPDN; dan Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan daerah. (2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas. (3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. (4) Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak. (5) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan. (6) Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk atau tanda pengiriman surat keberatan melalui surat pos tercatat sebagai tanda bukti penerimaan surat keberatan.

Arsip/Dokumentasi Notaris Herman AALT

44

Pasal 104 (1) Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan, sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. (2) Keputusan Kepala Daerah atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya pajak yang terutang. (3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Kepala Daerah tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan. Pasal 105 (1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Kepala Daerah. (2) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan keberatan tersebut. (3) Pengajuan permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. Pasal 106 (1) Jika pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. (2) Imbalan bunga sebagaintana dimaksud pada ayat(1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKPDLB. (3) Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. (4) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ay