blok 9 modul 3_isi laporan

52
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Asma dan TB adalah penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan mayarakat di hampir semua negara di dunia, diderita oleh anak-anak sampai dewasa dengan derajat penyakit yang ringan sampai berat, bahkan dapat mematikan. Lebih dari seratus juta penduduk di seluruh dunia menderita asma dengan peningkatan prevalensi pada anak-anak. Asma merupakan gangguan saluran nafas yang sangat kompleks, tidak memiliki sifat yang khas, baik gambaran klinis, faktor pencetus proses perjalanan penyakit, maupun pola mekanisme terjadinya sangat bervariasi. Meskipun begitu, asma memiliki ciri klasik berupa mengi (wheezing), bronkokontriksi, terjadi sembab mukosa dan hipersekresi. Begitu juga dengan TB yang perlu mendapat perhatian yang khusus karena sangat sulit untuk mengindentifikasi atau mendiagnosis apabila diderita oleh anak-anak. Penelitian epidemiologi di berbagai negara mengenai prevalensi asma menunjukkan angka yang sangat bervariasi, di Skandinavia 0,7-1,8%; Norwegia 0,9- 2,0%; Finlandia 0,7-0,8%; Inggris 1,6-5,1%; Australia 5,4-7,4%, India 0,2%; Jepang 0,7%; Barbados 1,1%. Prevalensi asma di seluruh dunia adalah sebesar 8-10% pada anak dan 3-5% pada dewasa, dan dalam 10 tahun terakhir ini meningkat sebesar 50%. Penelitian prevalensi asma di Australia 1982-1992 yang didasarkan kepada data atopi atau Page 1

Upload: shindrummer

Post on 10-Aug-2015

50 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

o

TRANSCRIPT

Page 1: Blok 9 Modul 3_isi Laporan

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Asma dan TB adalah penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan mayarakat di

hampir semua negara di dunia, diderita oleh anak-anak sampai dewasa dengan derajat

penyakit yang ringan sampai berat, bahkan dapat mematikan. Lebih dari seratus juta

penduduk di seluruh dunia menderita asma dengan peningkatan prevalensi pada anak-anak.

Asma merupakan gangguan saluran nafas yang sangat kompleks, tidak memiliki sifat yang

khas, baik gambaran klinis, faktor pencetus proses perjalanan penyakit, maupun pola

mekanisme terjadinya sangat bervariasi. Meskipun begitu, asma memiliki ciri klasik berupa

mengi (wheezing), bronkokontriksi, terjadi sembab mukosa dan hipersekresi. Begitu juga

dengan TB yang perlu mendapat perhatian yang khusus karena sangat sulit untuk

mengindentifikasi atau mendiagnosis apabila diderita oleh anak-anak.

Penelitian epidemiologi di berbagai negara mengenai prevalensi asma menunjukkan

angka yang sangat bervariasi, di Skandinavia 0,7-1,8%; Norwegia 0,9- 2,0%; Finlandia 0,7-

0,8%; Inggris 1,6-5,1%; Australia 5,4-7,4%, India 0,2%; Jepang 0,7%; Barbados 1,1%.

Prevalensi asma di seluruh dunia adalah sebesar 8-10% pada anak dan 3-5% pada dewasa,

dan dalam 10 tahun terakhir ini meningkat sebesar 50%. Penelitian prevalensi asma di

Australia 1982-1992 yang didasarkan kepada data atopi atau mengi menunjukkan kenaikan

prevalensi asma akut di daearah lembah (Belmont) dari 4,4% (1982) menjadi 11,9% (1992),

dari daerah perifer yang kering adalah sebesar 0,5% dari 215 anak dengan bakat atopi sebesar

20,5% dan mengi 2%. Beberapa survei menunjukkan bahwa penyakit asma menyebabkan

hilangnya 16% hari sekolah pada anak-anak di Asia, 43% anak-anak di Eropa, dan 40% hari

pada anak-anak di Amerika Serikat. Serangan asma yang terjadi pada anak-anak tersebut,

didiagnosis oleh para ahli sebagai asma ekstrinsik yang dapat disebabkan oleh alergen.

Penelitian multisenter di beberapa pusat pendidikan di Indonesia mengenai prevalensi asma

pada anak usia 13-14 tahun (SLTP) menghasilkan angka prevalensi di Palembang 7,4%; di

Jakarta 5,7%; dan di Bandung 6,7%.

Sementara itu Tuberkulosis primer pada anak kurang membahayakan masyarakat

karena kebanyakan tidak menular, tetapi bagi anak itu sendiri cukup berbahaya oleh karena

dapat timbul TBC ekstra thorakal yang sering kali menjadi sebab kematian atau menimbulkan

cacat, Misal pada TBC Meningitis.

Page 1

Page 2: Blok 9 Modul 3_isi Laporan

Diagnosis yang paling tepat untuk TBC adalah bila ditemukan basil TBC dari bahan –

bahan seperti sputum, bilasan lambung, biopsy dan lain – lain, tetapi hal ini pada anak sulit

didapat. Oleh karena itu, sebagian besar diagnosis TBC anak didasarkan atas gambaran

klinik, gambaran radiologis dan uji tuberkulosis.

Page 2

Page 3: Blok 9 Modul 3_isi Laporan

BAB II

ISI

SKENARIO

Sesak Napas

Seorang anak laki2 umur 8 th, berat badan 16 kg, datang ke IGD RSUD AW

Syahranie Samarinda dengan keluhan sesak, napas berbunyi sejak malam hari, tidak panas,

sebelum sesak penderita sorenya main bola sama teman-temannya, batuk > 1 bln. Di IGD

penderita diberikan Nebulizer dengan Ventolin 2,5 mg 2 kali tetapi belum membaik akhirnya

dirawat di RS. Sebelumnya penderita sering dirawat dengan keluhan batuk pilaek dan sesak >

2x dalam sebulan. Di rumah penderita kalau malam hari pakai obat nyamuk bakar. Kakek

penderita menderita asma, tetangganya ada yang batuk darah dan dapat pengobatan rutin dari

puskesmas selama 6 bln. Pada pemerikasaan fisik : dispnea + , pucat, pembesaran KGB leher

+ > 2 cm, rh +/+, wheezing +/+.

STEP 1

1. Sesak napas : suatu keadaan kesulitan dalam bernapas terutama saat ekspirasi

dikarenakan berbagai hal, salah satunya karena adanya obstruksi atau sumbatan di

saluran pernapasan.

2. Nebulizer : suatu jenis obat yang berfungsi sebagai bronkodilator yang berbentuk

Aerosol.

3. Ventolin : inhaler yang berisi salbutamol atau salbuterol (USA), yang merupakan

stimulan β2 adreno-ceptor selektif yang menyebabkan otot polos bronkus berelaksasi

melalui peningkatan intraseluler cyclic adenosine monophospate (cAMP).

4. Asma : kumpulan tanda dan gejala wheezing (mengi) dan atau batuk dengan

karakteristik timbul secara episodik dan atau kronik, cenderung pada malam hari/dini

hari (nocturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisik dan

Page 3

Page 4: Blok 9 Modul 3_isi Laporan

bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan penyumbatan, serta adanya

riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarga, dan faktor-faktor pencetus lainnya.

5. Dispnea : Suatu keadaan sesak napas yag disertai dengan adanya retraksi dinding dada

dan napas cuping hidung.

6. rh : Rongki atau suara tambahan yang berasal dari gesekan udara dengan cairan yang

biasanya terdengar saat ekspirasi.

7. Wheezing : suara napas bernada tinggi atau mengi.

STEP 2

1. Bagaimana mekanisme terjadinya keluhan sesak pada pasien dan nafasnya yang

berbunyi? Serta adakah hubungannya dengan batuk > 1 bulan dan aktivitas pasien

yang bermain bola?

2. Adakah pengaruh obat nyamuk bakar terhadap keluhan pasien?

3. Adakah pengaruh kakek pasien yang menderita asma dan tetangga yang batuk darah

dengan keluhan pasien?

4. Mengapa pasien tidak panas (apabila dicurigai pasien mengalami suatu inflamasi)?

5. Apa penyebab dispneu, pucat, wheezing dan pembesaran KGB leher pada pasien?

6. Mengapa keluhan pasien belum membaik setelah diberikan nebulizer dan ventolin 2,5

mg 2 kali?

7. Apa kemungkinan diagnosis pada pasien tersebut?

8. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien tersebut yang meliputi pencegahan dan

pengobatan?

9. Apakah berat badan pasien tersebut normal? Dan apakah ada hubungannya dengan

penyakit yang diderita pasien?

STEP 3

1. Dari gejala-gejala klinis pada pasien di skenario maka dapat dijadikan kemungkinan

bahwa keluhan sesak pada pasien disebabkan oleh adanya sumbatan atau obtruksi di

saluran pernapasan pasien. Obtruksi ini disebabkan oleh adanya suatu kombinasi

spasme otot bronkus, sumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Hal ini

juga berhubungan dengan aktivitas pasien dan keluhan batuknya yang lebih dari 1

bulan. Pada saat sedang mengalami batuk, apabila aktivitas meningkat maka dapat

juga terjadi peningkatan sekresi mukus disaluran pencernaan. Hal ini dikarenakan

pada saat aktivitas meningkat, maka terjadi peningkatan metabolisme tubuh.

Page 4

Page 5: Blok 9 Modul 3_isi Laporan

Kebutuhan akan pasokan darah ke berbagai jaringan juga meningkat. Kemudian

terjadi vasodilatasi pembuluh darah sebagai respon kompensasi tubuh dalam keadaan

ini. Vasodilatasi pembuluh darah ini menyebabkan peningkatan sekresi kelenjar-

kelenjar pada saluran pernapasan dan juga sekresi mukus dari sel mast sehingga

terjadi akumulasi cairan mukus yang menyebabkan obtruksi di saluran pernapasan.

Sedangkan napas pasien yang berbunyi disebabkan karena adanya gesekan antara

udara ventilasi dengan cairan atau tempat terjadinnya obstruksi pada saluran

pernapasan.

2. Obat nyamuk bakar berpengaruh pada pasien dikarenakan asap yang dihasilkannya.

Hal ini karena asap merupakan faktor pencetus terjadinya sesak pada pasien dan dapat

menjadi suatu zat alergen.

3. Kakek yang menderita asma memungkinkan terjadinya asma yang bersifat herediter

pada anak atau cucunya. Hal ini karena Asma dapat bersifat multifaktoral dimana juga

dapat diturunkan secara genetik yang menyebabkan suatu mutasi pada lengan pendek

kromosom 23. Tentunya keadaan ini dapat menyebabkan suatu kelainan fungsi organ-

organ tertentu, khususnya organ-organ yang termasuk dalam sistem respirasi.

Sementara itu, tetangga yang mengalami batuk berdarah dan mendapat perawatan

puskesmas selama 6 bulan dapat juga menjadi faktor penyebab sakit pada pasien

tersebut. Karena kemungkinan tetangga tersebut sedang sakit TB, sehingga dapat

menulaarkan penyakitnya melalui udara dengan droplet nuclei saat pasien ada kontak

langsung dengan tetangganya tersebut.

4. Pasien tidak mengalami panas atau demam yang seharusnya merupakan tanda umum

dari suatu proses inflamasi. Hal ini kemungkinan dapat terjadi karena pasien telah

mengalami suatu proses inflamasi yang bersifat kronik, dimana tipe sel peradangan

yang melakukan infiltrasi adalah sel inflamasi lini kedua yang cenderung berkerja

hanya melakukan lokalisir atau blokade terhadap bakteri dan tidak berfungsi

mematikan. Oleh karena itulah tidak terjadi suatu keadaan demam atau panas pada

pasien.

5. a.Dispneu pada pasien terjadi karena adanya obstruksi pada saluran pernapasan

sehingga pasien mengalami sesak napas. Pasien akan sulit untuk bernapas terutama

Page 5

Page 6: Blok 9 Modul 3_isi Laporan

pada saat ekspirasi. Hal ini dikarenakan secara fisiologis saluran pernapasan

cenderung lebih menyempit saat ekspirasi.

b. Pucat terjadi akibat kurangnya oksigen yang beredar dalam sirkulasi darah

dikarenakan adanya gangguan perfusi di paru. Tekanan parsial oksigen akan menurun

dan sebaliknya tekanan parsial karbon dioksida akan meningkat, maka keadaan ini

selanjutnya dapat mengakibatkan sianosis dan pucat.

c. Wheezing terjadi karena adanya gesekan antara udara dengan cairan atau obstruksi

pada saluran pernapasan.

d. Pembesaran kelenjar getah bening pada leher pasien kemungkinan terjadi karena

adanya infeksi suatu mikroorganisme pada saluran napas dimana mikroorganisme

tersebut sudah menyebar secara limfogen yang berarti sudah beredar dalam saluran

limfa regional (saluran limfa yang melalui saluran pernapasan). Hal ini selanjutnya

dapat menyebabkan Limfangitis (peradangan saluran limfa) dan juga Limfadenitis

(peradangan kelenjar Limfa).

6. Kejadian dimana pemberian obat tidak memberikan pengaruh terhadap kesembuhan

suatu penyakit dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya yang paling sering

adalah ketidaksesuaian pemberian dosis atau pemberian tidak sesuai dengan indikasi.

Berdasarkan skenario pemberian dosis obat sudah sesuai, jadi kemungkinan terbesar

indikasinya lah yang tidak sesuai. Nebulizer dan Ventolin memang merupakan obat

bronkodilator yang biasanya diberikan kepada pasien yang menderita asma ringan

untuk meringankan sesak napas. Tetapi obat ini tidak memberikan efek pada asma

derajat sedang dimana indikasi obat yang seharusnya diberikan adalah jenis Metil

Xantyl yaitu aminophilin atau teophilin.

7. Kemungkinan diagnosis pada pasien di skenario adalah asma atau TB. Hal ini

didasarkan pada gejala-gejala dan keluhan yang dialami pasien tersebut.

8. a. Asma

Pengobatan :

Agonis Beta

Page 6

Page 7: Blok 9 Modul 3_isi Laporan

Metil Xantyn

Kortikosteroid (Blecometasone dipropionate) dalam bentuk aerosol

Kromolin

Ketotifen

Atrofen

Pencegahan :

Hindari faktor pencetus

b. TB

Pengobatan :

Lini pertama

- Fase Intensif : Rifampisin+ INH + Pirazinamid = 75+50+150 mg.

- Fase lanjutan : Rifampisin + INH = 75+50

Lini kedua

Diberikan apabila terjadi resistensi terhadap obat lini pertama,

Pencegahan :

Imunisasi BCG

Pemberian profilaksis INH selama 1 tahun

9. Berat badan pada pasien tersebut bisa dikatakan normal. Bisa dikatakan berat badan

rendah dan dicurigai TB apabila BB/U < 70 %.

STEP 4

Page 7

SESAK NAPAS

Page 8: Blok 9 Modul 3_isi Laporan

STEP 5

Page 8

PEMERIKSAAN FISIK

TBASMA

Pucat

Tidak demam

Dispnea

Rh

Wheezing

Pembesaran KGB

PENATALAKSANAAN PEMBERIAN NEBULIZER

DI RAWAT DI RUMAH SAKIT

Page 9: Blok 9 Modul 3_isi Laporan

1. Menjelaskan defenisi, etiologi, patofisiologi, patogenesis, diagnosis, diagnosis

banding, dan penatalaksanaan dari ASMA.

2. Menjelaskan defenisi, etiologi, patogenesis, diagnosis, diagnosis banding, dan

penatalaksanaan dari TB.

STEP 6

Pada step ini para anggota kelompok dkk belajar secara mandiri sesuai dengan

learning objektif yang ditentukan pada dkk 1 dengan refensi atau literatur yang telah

direkomendasikan.

STEP 7

ASMA

Definisi

Asma merupakan mengi berulang dan/atau batuk persisten dalam keadaan di mana

asma adalah yang paling mungkin, sedangkan sebab lain yang lebih jarang telah disingkirkan

Etiologi

Belum diketahui. Factor pencetus adalah allergen, infeksi (terutama saluran nafas

bagian atas), iritan, cuaca, kegiatan jasmani, refluks gastroesofagus dan psikis.

Patogenesis

Inflamasi Akut dan Kronis

Proses inflamasi pada asma akan menyebabkan reaksi inflamasi akut dan kronis.

Pajanan allergen inhalasi pada pasien yang alergi dapat menimbulkan respons alergi fase

cepat dan pada beberapa kasus dapat diikuti dengan respons fase lambat.

-Reaksi Fase Awal/Cepat (Early Phase Reaction) ; Reaksi fase cepat dihasilkan oleh

aktivitas sel-sel yang sensitive terhadap allergen IgE spesifik, terutama sela mast dan

makrofag. Pada pasien dengan komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil

juga ikut berperan. Ikatan antara sel dan IgE mengawali reaksi biokimia serial yang

menghasilkan sekresi mediator-mediator seperti histamine, proteolitik, enzim glikolitik,

heparin, serta mediator newly generated seperti prostaglandin, leukotrien, adenosine, dan

oksigen reaktif. Bersama-sama dengan mediator yang sudah terbentuk sebelumnya, mediator-

Page 9

Page 10: Blok 9 Modul 3_isi Laporan

mediator ini menginduksi kontraksi otot polos saluran respiratori dan menstimulasi saraf

aferen, hipersekresi mucus, vasodilatasi dan kebocoran mikrovaskular.

-Reaksi Fase Lambat ; Timbul beberapa jam lebih lambat dibandingkan fase

awal.meliputi pengerahan dan aktivitas dari sel-sel eosinofil, sel T, basofil, neutrofil dan

makrofag. Juga terdapat retensi selektif sel T pada saluran respiratori, ekspresi molekul

adhesi dan pelepasan newly generated mediator. Sel T pada saluran respiratori yang

teraktivitas oleh antigen, akan mengalami polarisasi ke arah Th2. Selanjutnya dalam 2-4 jam

pertama fase lambat terjadi transkripsi dan transaksi gen, serta produksi mediator

proinflamasi, seperti IL-2, IL-5 dan GM-CSF untuk pengerahan dan aktivitas sel-sel

inflamasi. Hal ini terus menerus terjadi, sehingga reaksi fase lambat semakin lama semakin

kuat.(3 )

Reaksi fase lambat dipikirkan merupakan system model untuk mempelajari mekanisme

inflamasi pada asma. Selama terjadinya respons fase lambat dan berlangsungnya pajanan

alergen, aktivitas sel-sel pada saluran respiratori menghasilkan sitokin-sitokin ke dalam

sirkulasi dan merangsang pelepasan sel leukosit proinflamasi, terutama eosinofil dan

prekursornya dari sumsum tulang ke dalam sirkulasi.(3 )

Airway Remodeling

Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan kerusakan jaringan yang secara

fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang menghasilkan

perbaikan (repair) dan pergantian sel-sel mati/rusak dengan sel-sel baru. Proses penyembuhan

tersebut melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan yang rusak/injury dengan jenis sel

parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak/injury dengan jaringan penyambung

yang menghasilkan jaringan skar. Pada asma, kedua proses tersebut berkontribusi dalam

proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan struktur

yang mempunyai mekanisme sangat kompleks dan banyak belum diketahui dikenal dengan

airway remodelling. Mekanisme tersebut sangat heterogen dengan proses yang sangat

dinamis dari diferensiasi, migrasi, maturasi, dediferensiasi sel sebagaimana deposisi jaringan

penyambung dengan diikuti oleh restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan fungsi yang

dipahami sebagai fibrosis dan peningkatan otot polos dan kelenjar mukus.

Page 10

Page 11: Blok 9 Modul 3_isi Laporan

Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling. Infiltrasi

sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya seperti matriks

ekstraseluler, membran retikular basal, matriks interstisial, fibrogenic growth factor, protease

dan inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus.(8 )

Perubahan struktur yang terjadi :

1. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas

2. Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus

3. Penebalan membran reticular basal

4. Pembuluh darah meningkat

5. Matriks ekstraseluler fungsinya meningkat

6. Perubahan struktur parenkim

7. Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis

Gejala Klinis

Gejala Asma diantaranya adalah batuk, sesak dengan bunyi mengi, sukar bernapas

dan rasa berat di dada, lendir atau dahak berlebihan, sukar keluar dan sering batuk kecil atau

berdehem. Batuk biasanya berpanjangan di waktu malam hari atau cuaca sejuk, pernafasan

berbunyi (wheezing), sesak napas, merasakan dada sempit. Asma pada anak tidak harus sesak

atau mengi. Batuk malam hari yang lama dan berulang pada anak harus dicurigai adanya

asma pada anak. Ciri lainnya adalah batuk saat aktifitas (berlari, menangis atau tertawa).(6)

Gejala asma yang khas biasanya berupa batuk episodik dan wheezing disertai rasa

tertekan di dada dan kesulitan bernafas, terutama pada malam hari. Batuk biasanya kering

namun dapat produktif dengan sputum yang kental dan lengket. Adakalanya batuk

Page 11

Page 12: Blok 9 Modul 3_isi Laporan

merupakan gejala satu-satunya. Gambaran klinik ini akibat dari penyempitan saluran

pernafasan yang mengakibatkan obstruksi aliran udara.(9)

Penyempitan saluran nafas terjadi akibat proses peradangan, melalui 3 hal :

• Kontraksi otot polos bronkus yang eksesif

• Penebalan dinding saluran bronchus

• Sekresi berlebihan di dalam lumen

Pedoman Nasional Asma Anak (Indonesia) mendefinisikan asma sebagai kumpulan tanda

dan gejala wheezing/mengi dan/atau batuk dengan karakteristik sebagai berikut:(7)

1. Timbul secara episodik dan/atau kronik,

2.Cenderung pada malam/dini hari (nokturnal),

3. Musiman,

4. Faktor pencetus di antaranya aktivitas fisik,

5. Reversibel (bisa sembuh seperti sedia kala) baik secara spontan maupun dengan

pengobatan,

6.Adanya riwayat asma atau atopi (kecenderungan mengidap alergi) lain pada

pasien/keluarganya,

7. Sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan.

Patofisiologi

1. Obstruksi saluran respiratori

Perubahan fungsional yang terjadi pada asma adalah terjadinya obstruksi

saluran respirasi yang mengakibatkan keterbatasan aliran udara yang bersifat

reversibel, ini berdasarkan gejala batuk, sesak, mengi yang timbul pada asma, serta

reaksi berlebihan saluran nafas terhadap bronkokonstriksi. Batuk terjadi akibat

rangsangan pada saraf sensorik saluran respirasi oleh mediator inflamasi. Mediator

inflamasi ini juga berperan dalam menimbulkan persepsi sesak melalui saraf aferen.

Ketika saraf aferen terangsang, misal pada keadaan hiperkapnea atau hipoksemia,

maka akan merangsang timbulnya hiperventilasi alveolar, dan terdapat kemungkinan

terburuk adalah dimana adanya gangguan fungsi pada reseptor aferen yang

menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan merasakan adanya penyempitan

saluran nafas, ini terjadi pada kasus asma kronis berat.3

Semua gangguan fungsi pada asma ditimbulkan oleh penyempitan saluran

respirasi yang mempengaruhi struktur trakeobronkial, maksimal hingga bronkus kecil

dengan diameter 2-5 mm. Resistensi saluran nafas mengalami peningkatan dan laju

Page 12

Page 13: Blok 9 Modul 3_isi Laporan

ekspirasi maksimal menurun, yang mempengaruhi volume paru secara keseluruhan.

Penyempitan saluran nafas pada daerah perifer menyebabkan peningkatan volume

residu. Mekanisme adaptasi yang timbul dari penyempitan saluran pernafasan adalah

bernafas dengan hiperventilasi dimana usaha ini dapat menimbulkan hiperinflasi

toraks. Inflasi toraks yang berlebihan mengakibatkan otot diafragma dan interkostal

secara mekanik mengalami kesulitan sehingga kerjanya menjadi tidak optimal.

Peningkatan usaha bernafas dan penurunan kerja otot menyebabkan timbul kelelahan

dan gagal nafas.

Gambar 1. Bronkus normal dan Bronkus Asmatik

2. Hipereaktivitas saluran respiratori

Mekanisme yang menjelaskan timbulnya reaktivitas yang berlebihan sampai

saat ini tidak diketahui, namun dapat berhubungan dengan perubahan otot polos

saluran nafas yang terjadi sekunder serta berpengaruh terhadap kontraktilitas,

inflamasi pada dinding saluran nafas, terutama pada regio peribronkial, cenderung

memperparah penyempitan saluran nafas yang terjadi akibat kontraksi otot polos.

Stimulus yang lain seperti olahraga, udara dingin, tidak memiliki pengaruh langsung

terhadap otot polos saluran nafas, stimulus tersebut akan merangsang sel mast, ujung

serabut saraf dan sel lain untuk mengeluarkan mediatornya.

3. Otot polos saluran respiratori

Peningkatan kontraktilitas otot pada asma berhubungan dengan peningkatan

kecepatan pemendekan otot. Perubahan pada struktur filamen kontraktilitas atau

plastisitas dari sel otot polos dapat menjadi etiologi hiperreaktivitas saluran nafas

yang terjadi secara kronik. Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dapat

menigkatkan respon otot polos untuk berkontraksi. Ini membuktikan adanya

Page 13

Page 14: Blok 9 Modul 3_isi Laporan

hubungan antara zat yang dihasilkan oleh sel mast dan hiperresponsif saluran nafas

secara in vitro.

4. Hipersekresi mucus

Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering ditemukan pada saluran

nafas pasien asma dan penampakan remodelling saluran nafas merupakan

karakteristik asma kronik. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran

nafas hampir selalu ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi penyebab yang

persisten pada serangan asma berat yang tidak mengalami perbaikan dengan

pemberian bronkodilator. Hipersekresi mukus pada pasien asma merefleksikan dua

mekanisme patofisiologi yaitu mekanisme yang berperan terhadap sekresi sel yang

mengalami metaplasia dan hiperplasia, dan mekanisme patofisologi yang berperan

terhadap terjadinya sekresi sel granulasi. Mediator yang dikeluarkan sel goblet, yang

mengalami metaplasi dan hiperplasi merupakan bagian dari inflamasi. Degranulasi sel

goblet yang dicetuskan oleh stimulus lingkungan, seperti asap rokok, diperkirakan

terjadi karena adanya pelepasan neuropeptidase lokal atau aktivasi jalur refleks

kolinergik. Degranulasi yang diprovokasi oleh mediator inflamasi, dengan aktivitas

perangsang sekret, seperti leukotrien, histamin, produk netrofil non protein.

5. Keterbatasan aliran udara ireversibel

Penebalan saluran nafas, yang merupakan karakteristik asma, terjadi pada

bagian kartilago dan membranosa dari saluran nafas, juga terjadi perubahan pada

elastik dan hilangnya hubungan antara saluran nafas dengan parenkim di sekitarnya,

penebalan dinding saluran nafas, ini menjelaskan mekanisme timbulnya penyempitan

saluran nafas yang gagal untuk kembali normal dan terjadi terus menerus. Kekakuan

otot polos menyebabkan aliran udara pernafasan terhambat hingga menjadi

ireversibel.

6. Eksaserbasi

Faktor yang dapat mencetuskan sehingga terjadi eksaserbasi dan yang dapat

menyebabkan bronkokonstriksi, seperti udara dingin, kabut, olahraga. Stimulus yang

dapat menyebabkan inflamasi saluran nafas seperti pemaparan alergen, virus saluran

nafas. Olahraga dan hiperventilasi pernafasan dengan keadaan udara dingin dan

kering menyebabkan bronkokonstriksi dan pelepasan sel lokal dan mediator inflamasi

Page 14

Page 15: Blok 9 Modul 3_isi Laporan

seperti histamin, leukotrien yang dapat menstimulasi otot polos. Stimulus yang hanya

menyebabkan bronkokonstriksi tidak akan memperburuk respon bronkial yang

diakibatkan oleh stimulus yang lain, sehingga hanya bersifat sementara saja.

Eksaserbasi asma dapat timbul selama beberapa hari. Sebagian besar berhubungan

dengan infeksi saluran nafas, yang paling sering adalah common cold oleh Rhinovirus

yang dapat menginduksi respon inflamasi intrapulmoner. Pada pasien asma, inflamasi

terjadi dengan derajat obstruksi yang bervariasi serta dapat memperberat

hipereaktivitas bronkial. Respon inflamasi ini melibatkan aktivasi dan masuknya

eosinofil dan atau neutrofil yang dimediasi oleh pelepasan sitokin atau kemokin T

atau sel epitel bronkial. Selain itu, paparan alergen juga mencetuskan eksaserbasi

pada pasien asma.3

7. Asma nokturnal

Saat dilakukan biopsi transbronkial, membuktikan adanya akumulasi eosinofil

dan makrofag di alveolus dan jaringan peribronkial pada malam hari dan adanya

inflamasi pada saluran nafas perifer diperkuat dengan bukti bahwa adanya gangguan

bila pasien asma tidur dalam posisi supine.

8. Abnormalitas gas darah

Asma hanya mempengaruhi proses pertukaran gas bila serangan berat. Berat

ringannya hipoksemia arteri, dapat menggambarkan beratnya obstruksi saluran nafas

yang terjadi secara tidak merata di seluruh paru. Hipokapnea yang ditemukan pada

serangan asma ringan sampai sedang, dapat dilihat dari usaha bernafas yang lebih.

Peningkatan PCO2 arteri mengindikasikan sedang terjadi obstruksi berat dan ini dapat

menghambat pergerakan otot pernafasan dan usaha bernafas ( keracunan

CO2)sehingga dapat timbul gagal nafas dan mati.3

Pencegahan Asma

Upaya pencegahan asma anak mencakup pencegahan dini sensitisasi terhadap alergen

sejak masa fetus, pencegahan manifestasi asma bronkial pada pasien penyakit atopi yang

belum menderita asma, serta pencegahan serangan dan eksaserbasi asma.

Kontrol lingkungan merupakan upaya pencegahan untuk menghindari pajanan alergen

dan polutan, baik untuk mencegah sensitisasi maupun penghindaran pencetus. Para peneliti

Page 15

Page 16: Blok 9 Modul 3_isi Laporan

umumnya menyatakan bahwa alergen utama yang harus dihindari adalah tungau debu rumah,

kecoak, bulu hewan peliharaan terutama kucing, spora jamur, dan serbuk sari bunga. Polutan

harus dihindari adalah asap tembakau sehingga mutlak dilarang merokok dalam rumah.

Polutan yang telah diidentifikasi berhubungan dengan eksaserbasi asma adalah asap

kendaraan, kayu bakar, ozon, dan SO2.

Penghindaran maksimal harus dilakukan di tempat anak biasa berada, terutama kamar

tidur dan tempat bermain sehari-hari. Untuk Indonesia, walaupun belum ada data yang

menyokong, agaknya kita harus menghindari obat nyamuk dan asap lampu minyak.

Beberapa klinik telah melakukan upaya pencegahan sensitisasi terhadap fetus dan

bayi, antara lain dengan memberikan diet hipo dan non alergenik serta penghindaran asap

rokok. Walaupun secara teoritis pemberian diet hipoalergenik pada masa trimester ketiga

kehamilan sangat menarik, ternyata bukti klinis penelitian tersebut tidaklah menggembirakan.

Tidak terlihat perbedaan kejadian penyakit alergi pada umur 5 tahun antara kelompok

perlakuan dan kelola. Hasil lebih baik justru akan terlihat pada bayi yang mendapat ASI dari

ibu dengan diet hipoalergenik pada masa laktasi. Sebaliknya terbukti bahwa ibu perokok akan

membahayakan perkembangan paru bayi baik dilakukan pada masa sebelum maupun setelah

kelahiran, yang berpengaruh terhadap peningkatan risiko terjadinya mengi dan infeksi virus

serta asma kronik anak.

Berdasarkan pengetahuan dasar tentang proses sensitisasi dan allergic march maka

upaya pencegahan asma dilakukan juga dengan mencegah dan menghambat perjalanan

alamiah penyakit alergi. Upaya tersebut antara lain adalah dengan mencegah timbulnya suatu

penyakit alergi (asma) pada anak yang telah tersensitisasi. Suatu uji klinis multisenter ETAC

(early treatment of the atopic child) telah menunjukkan manfaat setirizin untuk menghambat

timbulnya asma pada anak kecil penderita dermatitis atopi yang sudah tersensitisasi terhadap

alergen tertentu tetapi belum menderita asma.

Untuk anak yang sudah menderita asma dilakukan pengobatan pencegahan dan

kontrol asma yang bertujuan untuk mencegah kekambuhan, atau menurunkan kekerapan serta

derajat serangan asma, dengan pemberian sodium kromolin, ketotifen, inhibitor dan antagonis

leukotrien, serta kortikosteroid.

Page 16

Page 17: Blok 9 Modul 3_isi Laporan

Sodium kromolin sulit diaplikasi pada anak kecil, sedangkan inhibitor serta antagonis

leukotrien baru dianjurkan untuk anak besar (>12 tahun) saja. Ketotifen sejauh ini

memberikan efek profilaksis terutama untuk asma ringan. Berbagai jenis antihistamin

generasi baru mungkin dapat bermanfaat pula sebagai pencegah asma tetapi uji klinis yang

memadai untuk itu belum ada. Sejauh ini kortikosteroid merupakan antiinflamasi terpilih

yang paling efektif untuk pencegahan asma. Pemberian kortikosteroid inhalasi dapat

mengontrol asma kronik dengan baik, walaupun pada anak kecil relatif lebih sulit dilakukan

sehingga membutuhkan alat bantu inhalasi.

Prevalens asma pada anak semakin meningkat dari waktu ke waktu, baik di negara

maju maupun di negara berkembang. Peningkatan ini diduga karena perubahan pola hidup,

diet yang tidak sesuai, dan factor lingkungan seperti polutan, baik indoor maupun outdoor

pollutants. Factor risiko asma telah banyak diketahui, sehingga berbagai upaya telah

dilakukan untuk mengurangi prevalens asma. Upaya diagnosis dan tatalaksana asma semakin

berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan, tetapi prevalens asma tetap tinggi.

Pencegahan pada asma terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu pencegahan primer, sekunder,

dan tersier.

Pencegahan primer bertujuan untuk mencegah terjadinya sensitisasi pada bayi yang

belum tersensitisasi. Pencegahan primer ini dapat dilakukan prenatal atau pasca natal.

Pencegahan sekunder bertujuan untuk mencegah terjadinya inflamasi/asma pada bayi/anak

yang sudah tersensitisasi. Pencegahan tersier bertujuan mencegah terjadinya serangan akut

atau eksaserbasi pada bayi/anak asma.

Beberapa langkah penanganan asma pada anak adalah sebagai berikut:

a. Pemberian edukasi pada pasien dan keluarganya tentang asma

b. Penilaian dan pemantauan derajat asma

c. Penghindaran terhadap factor resiko

d. Pembuatan rencana tatalaksana jangka panjang

e. Menatalaksana eksaserbasi atau serangan

f. Follow-up secara teratur

A. Pencegahan Primer

Page 17

Page 18: Blok 9 Modul 3_isi Laporan

Pencegahan primer adalah mencegah terjadinya sensitisasi pada bayi atau anak yang

memiliki resiko untuk menjadi asma di kemudian hari. Yang dimaksud dengan resiko adalah

bayi/anak dengan atopi, baik pada salah satu ataupun kedua orang tuanya. Langkah pertama

adalah mengenali adanya factor resiko untuk terjadinya asma di kemudian hari, yaitu dengan

mengenali orang tua dengan atopi. Oleh karena itu, upaya pencegahan primer sudah bisa

dimulai ketika belum terjadinya “potensi genetic bersatu”, yaitu dengan rekayasa genetic.

Akan tetapi hal ini belum dapat dilakukan, sehingga upaya pencegahan primer saat ini masih

ditujukan pada janin atau bayi dengan risiko asma. Beberapa upaya pencegahan primer telah

ditelusuri dan masih banyak yang kontroversial. Pencegahan primer dapat dilakukan pada

saat prenatal dan pascanatal. Pada masa prenatal, orang tua dihindari terhadap lingkungan

yang dapat bersifat sebagai factor risiko. Penghindaran yang dianjurkan adalah terhadap

lingkungan, terutama indoor pollutants. Yang dimaksud dengan indoor pollutants adalah asap

rokok, debu rumah yang mugkin mengandung banyak tungau debu rumah, dan lain-lain.

Pada masa pascanatal, bayi dihindari dari pemberian air susu ibu (ASI) yang

mengandung makanan yang dapat menyebabkan alergi. Pemberian ASI saja yang lama (≥4

bulan) dapat mengurangi risiko asma di kemudian hari. Peat dkk., meneliti pemberia ASI,

yaitu selama urang dari 3 bulan dan lebih dari 3 bulan, dan mendapatkan bahwa pemberian

ASI >3bulan merupakan factor protektif terhadap terjadinya asma. Bayi yang dihindari dari

paparan terhadap tungau debu rumah dan diberikan diet omega-3 selama 18 bulan dapat

menurunkan prevalensi asma.

B. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder bertujuan untuk mencegah terjadinya inflamasi/asma pada bayi/anak

yang sudah tersensitisasi.

C. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier bertujuan mencegah terjadinya serangan akut atau eksaserbasi pada

bayi/anak asma

Diagnosis Banding

Mengi dan dispneu ekspiratoir dapat terjadi pada macam-macam keadaan yang menyebabkan

obstruksi pada saluran nafas

Page 18

Page 19: Blok 9 Modul 3_isi Laporan

Pada bayi adanya korpus aleinum disaluran nafas dan esophagus atau kelenjar timus

yang menekan trakea.

Penyakit paru kronik yang berhubungan dengan bronkiektasis atau fibrosis kistik.

Bronkiolitis akut,biasanya mengenai anak dibawah umur 2 tahun dan terbanyak

dibawah unur 6 bulan dan jarang berulang.

Bronchitis.

Diagnosis

Diagnosis pasti TB ditegakkan dengan ditemukannya M. tuberculosis pada

pemeriksaan sputum, bilas lambung, CSS, cairan pleura, atau biopsi jaringan. Pada anak,

kesulitan menegakkan diagnosis pasti disebabkan oleh dua hal, yaitu sedikitnya jumlah

kuman (paucibacillary) dan sulitnya pengambilan spesimen (sputum).

Panyebab pertama, yaitu jumlah kuman TB di sekret bronkus pasien anak lebih

sedikit daripada dewasa, karena lokasi kerusakan jaringan TB paru primer terletak di kelenjar

limfe hilus dan parenkim paru bagian perifer. Selain itu, tingkat kerusakan parenkim paru

tidak seberat pasien dewasa. BTA baru dapat dilihat dengan mikroskop bila jumlahnya paling

sedikit 5.000 kuman dalam 1 ml spesimen.

Penyebab kedua, yaitu sulitnya melakukan pengambilan spesimen/sputum. Pada anak,

karena lokasi kelainannya di parenkim yang tidak berhubungan langsung dengan bronkus,

maka produksi sputum tidak ada/minimal dan gejala batuk juga jarang. Sputum yang

representatif untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis adalah sputum yang kental dan

purulen, berwarna hijau kekuningan dengan volume 3-5 ml, dan ini sulit diperoleh pada anak.

Walaupun batuknya berdahak, pada anak biasanya dahak akan ditelan, sehingga diperlukan

bilas lambung yang diambil dari NGT, dan sebaiknya dilakukan oleh petugas berpengalaman.

Cara ini tidak nyaman bagi pasien.

Beberapa alasan di atas menyebabkan diagnosis TB anak terutama didasarkan pada

penemuan klinis dan radiologis, yang keduanya seringkali tidak spesifik. Diagnosis TB anak

ditentukan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang seperti uji tuberkulin,

foto toraks, dan pemeriksaan laboratorium. Adanya riwayat kontak dengan pasien TB dewasa

BTA positif, uji tuberkulin positif, gejala dan tanda sugestif TB, dan foto toraks yang

mengarah pada TB (sugestif TB), merupakan dasar untuk menyatakan anak sakit TB.

Diagnosis TB pada anak didasarkan pada kriteria lain dengan menggunakan sistem

skor.

Page 19

Page 20: Blok 9 Modul 3_isi Laporan

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan

konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemi, suhu demam (subfebris), badan kurus

dan berat badan menurun. Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian

apeks (puncak) paru. Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan inspeksi

tidak simetris, gerakan napas kiri dan kanan yang tidak sama, palpasi fremitus kiri tidak sama

dengan kanan, perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronkial. Akan didapatkan juga

suara napas tambahan berupa ronki basah, kasar dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi

oleh penebalan pleura, suara napasnya menjadi vesikuler melemah. Bila terdapat kavitas yang

cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan

suara amforik. Pada TB paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi

dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi menciut dan menarik isi

mediastinum atau paru lainnya. Paru yang sehat menjadi lebih hiperinflasi. Bila jaringan

fibrotik amat luas yakni lebih dari setengah jumlah jaringan paru-paru akan terjadi pengecilan

daerah aliran darah paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi

pulmonal) diikuti terjadinya kor pulmonal dan gagal jantung kanan. Di sini akan didapatkan

tanda-tanda kor pulmonal dengan gagal jantung kanan seperti takipnea, takikardia, sianosis,

right ventricular lift, right atrial gallop, murmur Graham-Steel, bunyi P2 yang mengeras,

tekanan vena jugularis yang meningkat, hepatomegali, asites dan edema. Bila TB mengenai

Page 20

Page 21: Blok 9 Modul 3_isi Laporan

pleura sering terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit terlihat agak tertinggal dalam

pernapasan. Pada palpasi, fremitus tidak sama dan bagian paru yang terdapat efusi pleura

akan lebih lemah atau tidak ada terdengar getaran sama sekali. Perkusi memberikan suara

pekak. Auskultasi memberikan suara napas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Penunjang Asma

1. Uji faal paru

Pemeriksaan ini sangat berguna untuk menilai asma meliputi diagnosa dan pengelolaanya.

Uji faal paru dikerjakan untuk menentukan derajat obstruksi, menilai hasil provokasi

bronkus, menilai hasil pengobatan dan mengikuti perjalanan penyakit.

Pemeriksaan faal paru penting pada asma ialah PEFR, FEVI, PVC, FEVI/FVC. Uji faal paru

tidak selalu mudah dilaksanakan, terutama pada anak di bawah umur 5-6 tahun. “Peak flow

meter” adalah yang paling sederhana, sedangkan dengan spirometer memberikan data yang

lebih lengkap.

Uji provokasi bronkus dapat dilakukan dengan:

1. Histamin

2. Methacholin

3. Beban lari

4. Udara dingin

5. Uap air

6. Alergen

Yang sering dilakukan adalah cara 1,2, dan 3. Hipereaktivitas positif bila PEFR, FEVI turun>

15% dari nilai sebelum uji provokasi dan setelah diberi bronkodilator nilai normal akan

tercapai lagi. Bila PEFR dan FEVI sudah rendah dan setelah diberi bronkodilator naik > 15%

ini berarti hiperreaktivitas positif dan uji provokasi tidak perlu.

2. Foto Rontgen Toraks

Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada foto akan tampak corakan paru yang meningkat.

Hiperinflasi terdapat pada serangan akut dan pada asma kronik. Atelektasis juga sering

ditemukan. Setiap anak penderita asma yang berkunjung pertama kalinya perlu dibuat foto

rontgen parunya. Foto ini dibuat terutama untuk menyingkirkan kemungkinan adanya

penyakit lain. Foto perlu diulang bila ada indikasi misalnya dugaan pneumonia atau

pneumotoraks. Rontgen foto sinus paranasalis perlu juga bila asmanya sulit terkontrol.

3. Pemeriksaan darah, eosinofil, dan uji tuberkulin

Page 21

Page 22: Blok 9 Modul 3_isi Laporan

Pemeriksaan eosinofil dalam darah, sekret hidung dan dahak dapat menunjang diagnosis

asma. Eosinofil dapat ditemukan pada darah tepi, sekret hidung dan sputum. Dalam sputum

dapat ditemukan kristal Charcot-Leyden dan spiral Ourshman. Bila ada infeksi mungkin akan

didapatkan pula lekositosis polimorfonukleus. Uji tuberkulin penting bukan saja karena di

Indonesia masih banyak tuberkulosis, tetapi juga karena kalau ada tuberkulosisi dan tidak

diobati, asmanya pun akan sulit dikontrol.

4. Uji kulit alergi dan imunologi

Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara goresan atau tusuk. Masing-masing cara mempunyai

keuntungan dan kerugian. Alergen yang digunakan adalah alergen yang banyak didapat

didaerahnya. Hasil porsitif harus dicocokkan dengan keadaan penderita sehari-hari. Bila ada

hubungan yang jelas baru uji kulit tersebut berarti. Kedua cara uji kulit alergi tersebut dapat

memberikan hasil positif palsu dalam persentase kecil mempunyai kolerasi yang baik dengan

IgE yang beredar. Perlu diingat bahwa reaksi ini dapat ditekan dengan pemberian

antihistamin.

Pemeriksaan IgE atau kalau mungkin IgE spesifik dapat memperkuat diagnosis dan

menentukan pengelolaannya. Tetapi bila tidak ditemukan kelainan ini diagnosa asma belum

dapat disingkirkan.

Uji alergi kulit berguna untuk menunjukkan alergen yang potensial sebagai pencetus. Hasil

uji alergi kulit harus dihubungkan dengan keadaan klinis, dan bila cocok itulah alergen

pencetus yang sesuai. Untuk menentukan hal itu, sebenarnya ada pemeriksaan yang lebih

tepat, yaitu uji provokasi bronkus dengan alergen bersangkutan.

Penatalaksanaan

Tatalaksana Asma

Tatalaksana asma dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana saat serangan dan jangka

panjang. Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya

tumbuh kembang anak secara optimal sesuai dengan potensi genetiknya. Secara lebih khusus

tujuan yang ingin dicapai adalah:

1. Pasien dapat menjalani aktivitas normal sebagai seorang anak, termasuk bermain dan

berolah raga,

2. sedikit mungkin angka absensi sekolah,

3. gejala tidak timbul siang ataupun malam hari (tidur tidak terganggu),

Page 22

Page 23: Blok 9 Modul 3_isi Laporan

4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok pada

PEF,

5. Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga hari, dan tidak

ada serangan,

6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sedikit mungkin timbul, terutama

yang mempengaruhi tumbuh kembang anak,

Tujuan tatalaksana saat serangan:

- Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin

- Mengurangi hipoksemia

- Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya

- Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah kekambuhan.Apabila tujuan ini tercapai maka perlu reevaluasi tatalaksananya apakah perlu tingkat pengobatan dinaikkan (step up) atau bahkan perubahan pengobatan atau

bila tujuan telah tercapai dan stabil 1 – 3 bulan apakah sudah perlu dilakukan penurunan pelan – pelan ( step down). Berikut ini adalah syarat step up dan step

down:

Syarat Step Up Syarat Step down

pengendalian lingkungan dan hal-hal yang

memberatkan asma sudah dilakukan

Pengendalian lingkungan harus tetap baik

pemberian obat sudah tepat susunan dan

caranya

Asma sudah terkendali selama 3 bulan

berturut-turut

tindakan 1 dan 2 sudah dicoba selama 4 -6

minggu

ICS hanya boleh diturunkan 25% setiap 3

bulannya sampai dengan dosis terkecil yang

masih dapat mengendalikan asmanya.

efek samping ICS (inhaled cortikosteroid)

tidak ada

Bila step down gagal, perlu dicari sebabnya

dan kalau sudah dikoreksi, ICS dapat

diturunkan bersama dengan penambahan

LABA dan atau LTRA

Tatalaksana Medikamentosa

Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat

pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma

jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini

tidak lagi digunakan atau diberikan bila perlu. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang

disebut juga obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi

Page 23

Page 24: Blok 9 Modul 3_isi Laporan

masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian obat

ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya kemudian pemberiannya

diturunkan pelan – pelan yaitu 25 % setip penurunan setelah tujuan pengobatan asma tercapai

6 – 8 minggu.

Obat – obat Pereda (Reliever)

1. Bronkodilator

a. Short-acting β2 agonist

Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada anak.

Reseptor β2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi,

jantung, pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan pankreas. Dengan pemberian short acting β2

agonist, diharapkan terjadi relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan terjadinya

bronkodilatasi, peningkatan klirens mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan

berkurangnya pelepasan mediator sel mast. Obat yang sering dipakai adalah salbutamol,

fenoterol, terbutalin.

Dosis salbutamol:

Oral: 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.

Nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum 5mg/kgBB), interval 20 menit,

atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15

mg/jam).

Dosis fenoterol: 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.

Dosis tebutalin:

Oral: 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.

nebulisasi: 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi

Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak dicapai

dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam. Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi)

memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.

Serangan ringan : MDI 2 – 4 semprotan tiap 3 – 4 jam.

Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.

Serangan berat: MDI 10 semprotan.

Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat karena pada keadaan ini obat

inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas. Efek samping takikardi lebih

sering terjadi.9

Page 24

Page 25: Blok 9 Modul 3_isi Laporan

Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgBB setiap

15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.

Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan

dengan 0,1 – 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.

Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi, palpitasi, dan

takikardi.

b. Methyl xanthine

Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist inhalasi, tapi karena efek

sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini diberikan pada serangan

asma berat dengan kombinasi β2 agonist dan antikolinergik. Methilxanthine cepat diabsorbsi

setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral. Pemberian teofilin IM harus dihindarkan

karena menimbulkan nyeri setempat yang lama. Umumnya adanya makanan dalam lambung

akan memperlambat kecepatan absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya

absorpsi. Metilxanthine didistribusikan keseluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air

susu ibu. Eliminasinya terutama melalui metabolism hati, sebagian besar dieksresi bersama

urin. Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi yang lebih

tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia. Dosis aminofilin IV inisial bergantung

kepada usia : 1–6 bulan: 0,5mg/kgBB/Jam; 6–11 bulan: 1 mg/kgBB/Jam; 1–9 tahun: 1,2 – 1,5

mg/kgBB/Jam; > 10 tahun: 0,9 mg/kgBB/Jam.

2. Antikolinergik

Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan nebulisasi β2

agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis anjuran 0,1 ml/kgBB,

nebulisasi tiap 4 jam. Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis :

untuk usia diatas 6 tahun 8 – 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 – 10 tetes. Efek sampingnya adalah

kekeringan atau rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik inhalasi tidak direkomendasikan

pada terapi asma jangka panjang pada anak.

3. Kortikosteroid

Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan: (1) terapi inisial inhalasi β2 agonist

kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang cukup lama; (2) serangan asma tetap terjadi meski

pasien telah menggunakan kortikosteroid hirupan sebagai kontroler; (3) serangan ringan yang

mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya. Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu

paling sedikit 4 jam untuk mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12

Page 25

Page 26: Blok 9 Modul 3_isi Laporan

– 24 jam. Preparat oral yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau triamsinolon

dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 – 3 kali sehari selama 3 – 5 kali sehari .

Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi kejaringan paru

lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek mineralokortikoid minimal. Dosis

metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Dosis

Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 – 6 jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 – 1 mg/kgBB

dilanjtka

Prognosis

TB

Definisi

Tuberculosis (TB) merupakan infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis, sejenis bakteri berbentuk batang tahan asam dengan ukuran panjang 1- 4μm dan

tebal 0.3-0.6μm. Bakteri ini akan tumbuh optimal pada suhu sekitar 37oC dengan tingkat PH

optimal pada 6,4 sampai 7,0. Untuk membelah dari satu sampai dua (generation time) bakteri

membutuhkan waktu 14- 20 jam. Kuman TB terdiri dari lemak dan protein. Lemak

merupakan komponen lebih dari 30% berat dinding bakteri dan terdiri dari asam stearat, asam

mikolik, mycosides, sulfolipid serta cord factor, sementara komponen protein utamanya

adalah tuberkuloprotein (tuberkulin).

Etiologi

Disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis, Mycobacterium

atipic (Unclassified Mycobacterium) golongan fotokromogen, misalnya M. kansasii.

Basil tuberkulosis dapat hidup dan tetap virulen beberapa minggu dalam keadaan kering,

tetapi dalam cairan mati pada suhu 60o C dalam 15-20 menit. Fraksi proteinnya menyebabkan

nekrosis jaringan, sedangkan lemaknya menyebabkan sifat tahan asam dan merupakan faktor

penyebab terjadinya fibrosis dan terbentuknya sel epiteloid dan tuberkel. Basil tuberkulosis

tidak membentuk toksin. Bakteri ini tidak tahan terhadap ultraviolet, karena itu penularannya

terjadi pada malam hari.

Page 26

Page 27: Blok 9 Modul 3_isi Laporan

Patogenesis dan patologi

Masuknya basil tuberculosis dalam tubuh tidak selalu menimbulkan penyakit. Terjadinya

infeksi dipengaruhi oleh virulensi dan banyaknya basil tuberculosis serta daya tahan tubuh

manusia.

Infeksi primer biasanya terjadi didalam paru. Hal ini disebakan penularan sebagian besar

melalui udara dan mungkin juga karena jaringan paru mudah kena infeksi tuberculosis.

Basil tuberculosis masuk ke dalam paru melalui udara dan dengan masuknya basil

tuberculosis maka terjadi eksudasi dan konsolidasi yang disebut focus primer. Basil

tuberculosis akan menyebar dengan cepat melalui saluran getah bening menuju ke kelejar

regional yang kemudian akan mengadakan reaksi eksudasi. Fokus primer, limfangitis,dan

kelenjar getah bening regional yang membesar, membentuk kompleks primer. Kompleks

primer terjadi 2-10 minggu (6-8 minggu) setelah infeksi. Bersamaan dengan terbetuknya

kompleks primer teerjadi hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein yang dapat diketahui

dari uji tuberculin. Waktu antara terjadinya infeksi sampai terbentuknya kompleks primer

disebut masa inkubasi.

Pada anak lesi dalam paru dapat terjadi dimana pun, terutama di perifer dekat pleura. Lebih

banyak terjadi di lapangan bawah paru dibanding dengan lapangan atas paru merupakan

tempat predilkesi.Pembesaran kelenjar regional lebih banyak terdapat pada anak dibanding

orang dewasa. Pada anak penyembuhan terutama kea rah kalsifikasi,sedangkan pada orang

dewasa terutama kea rah fibrosis. Penyebaran hematogen lebih banyak terjadi pada bayi dan

anak kecil.

Tuberkulosis primer cenderung sembuh sendiri, tetapi sebagian akan menyebar lebih lanjut

dan dapat menimbulkan komlikasi. Tuberkulosis dapat meluas ke jaringan paru sendiri.

Selain basil tuberkulosisdapat masuk ke dalam aliran darah secara langsung atau

melalui kelenjar getah bening. Basil tubekulosis dalam mati dalam aliran darah, tetapi dapat

pula berkembang terus; hal ini tegantung kepada keadaan penderita virulensi kuman. Melalui

aliran darah basil tuberculosis dapat menacapai alat tubuh lain seperti bagian paru lain,

selaput otak, otak, tulang, hati, ginjal dan lain-lain. Dalam alat tubuh tersebut basil

tuberculosis dapat segera menimbulkan penyakit, tetapi dapat pula menjadi tenag dulu dan

setelah beberapa waktu menimbulkan penyakit atau dapat pula tidak pernah menimbulkan

penyakit sama sekali.

Page 27

Page 28: Blok 9 Modul 3_isi Laporan

Sebagian besar komplikasi tuberculosis primer terjadi dalam 12bulan setelah terjadinya

penyakit. Penyeabaran hematogen atau milier dan meningitis biasanya terjadi dalam 4 bulan,

tetapi jarang sekali sebelum 3-4 minggu setelah terjadinya kompleks primer. Efusi pleura

dapat terjadi 6012 bulan setelah terbentuknya kompleks primer, kalau efusi pleura disebabkan

oleh penyebaran hematogen dapat terjadi lebih cepat. Komplikasi pada tulang dan kelenjar

getah bening permukaan dapat terjadi penyebaran hematogen, hingga dapat terjadi 6 bulan

setelah terbentuknya kompleks primer. Tapi komplikasi ini dapat terjadi 6-18 bulan.

Komplikasi pada traktus urogenital dapat terjadi setelah bertahun-tahun. Komplikasi berupa

penyebaran milier dan meningitis tuberkulosa dapat terjadi dalam 3 bulan, pleuritis dan

penyebaran bronkogen dalam 6 bulan dan tuberculosis tulang dalam 1-5 tahun dari

terbentuknya kompleks primer. Pembesaran kelenjar getah bening yang terkena infeksi dapat

menyebabkan ateleksis karena menekan bronkus hingga tampak sebagai perselubungan

segmen atau lobus, sering lobus pada paru kanan. Selain oleh kelenjar getah bening yang

membesar, atelekstasis dapat terjadi karena konstriksi bronkus pada tuberculosis dinding

bronkus, tuberkuloma pada lapisan otot bronkus atau sumbatan atau gumpalan keju dalam

lumen bronkus. Pembesaran kelenjar getah bening yang terkena infeksi selain menyebabkan

ateletaksis karena penekanan, dapat juga menembus bronkus kemudian pecah dan

menyebakan penyebaran bronkogen. Lesi tuberculosis biasanya menyembuh sebagai proses

resolusi, fibrosis dan atau kalsifikasi.

Pencegahan

1. Vaksinasi BCG

Pemberian BCG meninggikan daya tahan tubuh terhadap infeksi oleh basil tuberlulosis

yang virulen. Imunitas timbul 6-8minggu setelah pemberian BCG. Imunitas yang terjadi

tidaklah lengkap sehingga masih mungkin terjadi superinfeksi meskipun biasanya tidak

progresif dan menimbulkan komplikasi yang berat.

Rosenthal dkk (1961) mengatakan bahwa pemberian BCG dapat mengurangi morbiditas

sampai 74 %. BCG biasanya diberikan pada anak dengan uji tuberkulin negatif dan biasanya

diulangi 6 minggu setelah BCG dan kalau masih negatif dianjurkan untuk mengulang BCG.

Tetapi sekarang dianjurkan pemberian BCG secara langsung tanpa didahului uji tuberkulin

karena cara ini dapat menghemat ongko dan mencakup lebih banyak anak.

2. Kemoprofilaksis

Page 28

Page 29: Blok 9 Modul 3_isi Laporan

Sebagai kemoprofilaksi biasanya dipakai INH dengan dosis 10mg/kgbb/hari selama 1

tahun.

Kemoprofilaksi primer diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi pada anak dengan

kontak tuberkulosis dan uji tuberkulin masih negatif yang berarti masih negatif yang berarti

belum terkena atau masih dalam inkubasi.

Kemoprofilaksi Sekunder diberikan unuk mencegah berkembangnya infeksi menjadi

penyakit, misalnya pada anak berumur kurang dari 5 tahun dengan uji tuberkulin positif tanpa

kelainan radiologis paru dan anak dengan konversi uji tuberkulin tan kelainan radiologis

paru. Selain itu juga diberikan pada anak dengan uji tuberkulin posistif tanpa kelainan

radiologis paru yang telah sembuh dari tuberkolosis tetapi mendapat pengobatan dengan

kortikosteroid yang lama, menderita penyakit morbili atau pertusis, mendapat vaksin virus

misalnya vaksin morbili atau pada masa akil balik (adolesen). Selanjutnya juga diberikan

pada konversi uji tuberkulin dari negatif menjadi positif dalam 12 bulan terakhir tanpa

kelainan klinis dan radiologis.

Diagnosis banding

Diagnosis banding Tb adalah pneumonitis, pleuritis fokal .

Diagnosis

Diagnosis pasti TB ditegakkan dengan ditemukannya M. tuberculosis pada pemeriksaan

sputum, bilas lambung, CSS, cairan pleura, atau biopsi jaringan. Pada anak, kesulitan

menegakkan diagnosis pasti disebabkan oleh dua hal, yaitu sedikitnya jumlah kuman

(paucibacillary) dan sulitnya pengambilan spesimen (sputum).

Panyebab pertama, yaitu jumlah kuman TB di sekret bronkus pasien anak lebih sedikit

daripada dewasa, karena lokasi kerusakan jaringan TB paru primer terletak di kelenjar limfe

hilus dan parenkim paru bagian perifer. Selain itu, tingkat kerusakan parenkim paru tidak

seberat pasien dewasa. BTA baru dapat dilihat dengan mikroskop bila jumlahnya paling

sedikit 5.000 kuman dalam 1 ml spesimen.

Penyebab kedua, yaitu sulitnya melakukan pengambilan spesimen/sputum. Pada anak, karena

lokasi kelainannya di parenkim yang tidak berhubungan langsung dengan bronkus, maka

produksi sputum tidak ada/minimal dan gejala batuk juga jarang. Sputum yang representatif

untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis adalah sputum yang kental dan purulen, berwarna

hijau kekuningan dengan volume 3-5 ml, dan ini sulit diperoleh pada anak. Walaupun

batuknya berdahak, pada anak biasanya dahak akan ditelan, sehingga diperlukan bilas

Page 29

Page 30: Blok 9 Modul 3_isi Laporan

lambung yang diambil dari NGT, dan sebaiknya dilakukan oleh petugas berpengalaman. Cara

ini tidak nyaman bagi pasien.

Beberapa alasan di atas menyebabkan diagnosis TB anak terutama didasarkan pada

penemuan klinis dan radiologis, yang keduanya seringkali tidak spesifik. Diagnosis TB anak

ditentukan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang seperti uji tuberkulin,

foto toraks, dan pemeriksaan laboratorium. Adanya riwayat kontak dengan pasien TB dewasa

BTA positif, uji tuberkulin positif, gejala dan tanda sugestif TB, dan foto toraks yang

mengarah pada TB (sugestif TB), merupakan dasar untuk menyatakan anak sakit TB.

Diagnosis TB pada anak didasarkan pada kriteria lain dengan menggunakan sistem skor.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

1. Darah

Pada saat TB baru aktif akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi

dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap

darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan

jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi. Hasil

pemeriksaan darah lain didapatkan juga antara lain anemia ringan dengan gambaran

normokrom normositer, gama globulin meningkat, dan kadar natrium darah menurun.

2. Sputum

Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman basil tahan

asam (BTA), diagnosis TB sudah dapat dipastikan. Disamping itu pemeriksaan sputum juga

dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Kriteria sputum BTA

positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan.

Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam 1 ml sputum. Untuk pewarnaan sediaan

dianjurkan memakai cara Tan Thiam Hok yang merupakan modifikasi gabungan cara pulasan

Kinyoun dan Gabbet. Kadang-kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa terdapat

kuman BTA tetapi pada biakan hasilnya negatif . Ini terjadi pada fenomen dead bacilli atau

non culturable bacilli yang disebabkan keampuhan panduan obat anti TB jangka pendek yang

cepat mematikan kuman BTA dalam waktu pendek.

Pembacaan hasil pemeriksaan sediaan dahak dilakukan dengan menggunakan skala

IUATLD (International Union Againts Tuberculosis and Lung Diseases)

a. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapangan pandang, disebut negatif.

Page 30

Page 31: Blok 9 Modul 3_isi Laporan

b. Ada 1 – 9 BTA dalam 100 lapangan pandang, ditulis jumlah kuman yang

ditemukan.

c. Ada 1 – 99 BTA per 100 lapangan pandang, disebut + atau 1+

d. Ada 1 – 10 BTA per lapangan pandang, disebut ++ atau 2+

e. Ada > 10 BTA per lapangan pandang, disebut +++ atau 3+

Penulisan gradasi hasil bacaan penting untuk menunjukkan keparahan penyakit,

derajat penularan dan evaluasi pengobatan.

3. Tes Tuberkulin

Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis TB

terutama pada anak-anak (balita). Biasanya dipakai tes Mantoux yakni dengan menyuntikkan

0,1 cc tuberkulin P.P.D (Purified Protein Derivative) intrakutan berkekuatan 5 T.U

(intermediate strength). Bila ditakutkan reaksi hebat dengan 5 T.U dapat diberikan dulu 1

atau 2 T.U (first strength). Kadang-kadang bila dengan 5 T.U masih memberikan hasil

negatif dapat diulangi dengan 250 T.U. (second strength). Bila dengan 250 T.U masih

memberikan hasil negatif berarti TB dapat disingkirkan. Umumnya tes Mantoux dengan 5

T.U. saja sudah cukup berarti. Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah seorang individu

sedang atau pernah mengalami infeksi M. Tuberculosae, M.bovis, vaksinasi BCG dan

Mycobacteria patogen lainnya. Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi alergi tipe lambat.

Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan

yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi selular dan

antigen tuberkulin. Banyak sedikitnya reaksi persenyawaan antibodi selular dan antigen

tuberkulin amat dipengaruhi oleh antibodi humoral, makin besar pengaruh antibodi humoral,

makin kecil indurasi yang ditimbulkan. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, hasil tes Mantoux

ini dibagi dalam:

a. indurasi 0-5 mm (diameternya): Mantoux negatif = golongan no sensitivity. Disini peran

antibodi humoral paling menonjol.

b. Indurasi 6-9 mm: hasil meragukan = golongan low grade sensitivity. Disini peran antibodi

humoral masih menonjol.

c. Indurasi 10-15 mm: Mantoux positif = golongan normal sensitivity. Disini peran kedua

antibodi seimbang.

d. Indurasi lebih dari 15 mm: Mantoux positif kuat = golongan hypersensitivity. Disini peran

antibodi selular paling menonjol.

Biasanya hampir seluruh pasien tuberculosis memberikan reaksi Mantoux yang positif

(99,8%). Kelemahan tes ini juga terdapat positif palsu yakni pada pemberian BCG atau

Page 31

Page 32: Blok 9 Modul 3_isi Laporan

terinfeksi dengan Mycobacterium lain. Negatif palsu lebih banyak ditemukan daripada positif

palsu. Hal-hal ini memberikan reaksi tuberkulin berkurang (negatif palsu) yakni:

- Pasien yang baru 2-10 minggu terpajan TB

- Alergi, penyakit sistemik berat (sarkoidosis, LE)

- Penyakit eksantematous dengan panas yang akut: morbili, cacar air, poliomielitis.

- Reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit limforetikular (Hodgkin)

- Pemberian kortikosteroid yang lama, pemberian obat-obat imunosupresi lainnya.

- Usia tua, malnutrisi, uremia, penyakit keganasan.

Untuk penderita dengan HIV positif, test Mantoux ± 5 mm, dinilai positif.

4. Serologi

Pemeriksaan Serologi, dengan berbagai metoda antara lain :

a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)

Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral berupa

proses antigen – antibodi yang terjadi.

b. Mycodot

Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini menggunakan

antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir

plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum penderita, bila di dalam serum

tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai yang sesuai dengan

aktivitas penyakit maka akan timbul perubahan warna pada sisir yang dapat dideteksi dengan

mudah.

c. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)

Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi.

Page 32

Page 33: Blok 9 Modul 3_isi Laporan

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Melalui hasil belajar mandiri yang telah didiskusikan pada diskusi kelompok kecil

(DKK) ke-2 kelompok 3 dengan judul ” Sesak Napas” kami mendapatkan Learning

Objective atau sasaran pembelajaran tentang etiologi, patogenesis, patofisiologi, diagnosis,

diagnosis banding, penataklaksanaan dan prognosis serta pencegahan dari asma dan

tuberkulosis.

Saran

Page 33

Page 34: Blok 9 Modul 3_isi Laporan

Mengingat masih banyaknya kekurangan dari makalah ini, baik dari segi diskusi

kelompok, penulisan tugas tertulis dan sebagainya, untuk itu kami mengharapkan kritik dan

saran dari dosen-dosen yang mengajar baik sebagai tutor maupun dosen yang memberikan

materi kuliah, dari rekan-rekan angkatan 2011, dan dari berbagai pihak demi kesempurnaan

laporan ini.

Page 34