blok 27.1
DESCRIPTION
Enjoy itTRANSCRIPT
Anemia Hemolitik et causa Defisiensi Glukosa-6-Fosfat Dehidrogenase (G6PD)
Pendahuluan1
Ikterus atau penyakit kuning merupakan suatu masalah yang sering didapatkan pada
bayi baru lahir. Sebagian besar ikterus pada neonatorum (bayi baru lahir) adalah fisiologis,
namun karena suatu potensi toksik dari bilirubin, maka semua bayi baru lahir harus dipantau
untuk mendeteksi kemungkinan menjadi hiperbilirubinemia berat. Hiperbilirubinemia pada
bayi baru lahir sebagian besar disebabkan oleh bilirubin indirek yang dapat memberikan efek
toksik pada otak dan dapat menimbulkan kematian atau cacat seumur hidup. Penyebab
hiperbilirubinemia pada neonatus yang tersering adalah penyakit hemolitik neonatus, antara
lain karena defek sel darah merah (defisiensi G6PD, sferositosis), inkompatibilitas golongan
darah (Rh, ABO), dan lain-lain.
Kasus
Seorang bayi baru lahir, perempuan, dirawat di Rumah Sakit karena ikterus. Bayi lahir
aterm, berat badan 2850 gram. Waktu baru dilahirkan, sampai pulang dari Rumah Sakit, bayi
baik-baik saja. Setelah 2 hari di rumah, bayi mengalami kuning dan mulai kejang. Bayi
dibawa ke UGD dan dilakukan pemeriksaan, dan didapatkan kadar bilirubin yang tinggi.
Dugaan sementara adalah aktivitas pemecahan eritrosit yang berlebihan.
Pembahasan
Anamnesis1
Anamnesis adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara. Anamnesis dapat
dilakukan langsung kepada pasien, yang disebut autoanamnesis, atau dilakukan terhadap
orang tua, wali, orang yang dekat dengan pasien, atau sumber lain, disebut sebagai
alloanamnesis. Termasuk di dalam aloanamnesis adalah semua keterangan dari dokter yang
merujuk, catatan rekam medik, dan semua keterangan yang diperoleh selain dari pasiennya
sendiri.
Berdasarkan anamnesis sering dapat ditentukan sifat dan beratnya penyakit dan
terdapatnya faktor-faktor yang mungkin menjadi latar belakang penyakit, yang semuanya
1
berguna dalam menentukan sikap untuk penatalaksaan selanjutnya. Dengan anamnesis akan
didapatkan data subyektif, pihak pasien (orang tua, pengantar, atau pasiennya sendiri)
diberikan kesempatan untuk mengingat kembali dan menceritakan secara rinci masalah
kesehatan yang sering dialami, termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan, tanda-tanda
yang timbul, riwayat terjadinya keluhan dan tanda, sampai saat pasien tersebut dibawa
berobat.
1. Identitas lengkap (alloanamnesis): nama, umur, dll.
2. Keluhan utama, sejak kapan?
3. Riwayat penyakit sekarang:
a. Pada pasien terjadi ikterus (bayi kuning), maka ditanyakan:
i. Terjadi kuningnya<24 jam atau >24 jam setelah lahir?
ii. Apakah bayi sudah diberi ASI atau belum?
iii. Pasien adalah anak ke berapa? Jika pasien bukan anak pertama, tanyakan
apakah terjadi hal yang sama (ikterik juga/tidak) pada anak yang
sebelumnya?
4. Keluhan penyerta/keluhan lain
5. Pada ibu :
Riwayat kehamilan:
umur kehamilan?
anak lahir prematur/cukup bulan?
bagaimana proses persalinan (normal pervaginam/cesar)?
apakah selama atau sebelum masa kehamilan ibu sedang menderita penyakit
infeksi tertentu? (contoh: hepatitis, malaria, dll)
Apakah selama atau sebelum kehamilan ibu sedang mengkonsumsi obat-obatan
tertentu?
Apakah golongan darah ibu dan ayah? Apakah Rhesus ibu dan ayah? (jika
diketahui)
Riwayat ikterus /terapi sinar/transfusi tukar pada bayi sebelumnya.
Riwayat inkompatibilitas darah. Riwayat inkompatibilitas darah wajib ditanyakan
karena berhubungan dengan penegakkan diagnosis kerja dan karena prevalensi
ikterus neonatorum akibat inkompatibilitas darah cukup tinggi.
2
6. Riwayat Obat
Sebelumnya pasien sudah berobat?
Apakah pasien menggunakan obat antibiotik tertentu, vitamin C, vitamin K?
7. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit hati?
Riwayat anemia dan hemoglobinuria setelah terekspos terhadap obat tertentu?
8. Riwayat Penyakit Keluarga
Apakah di keluarga ada yang menderita hal yang sama?
Riwayat penyakit hati dalam keluarga?
Riwayat anemia dan batu empedu?
9. Riwayat sosial
Kontrol selama hamil?
Bagaimana riwayat vaksinasi?
Menggunakan bahan yang mencetus risiko seperti kapur barus?
Riwayat memakan kacang-kacangan (kacang fava)?
Pemeriksaan Fisik1,2
Hal yang perlu dilakukan adalah periksa tanda-tanda vital terlebih dahulu
Keadaan umum : Tampak baik atau tidak.
Biasanya bayi ikterus terlihat aktifitas menurun.
Suhu
Pernapasan : Normalnya 40-60x/menit.
Nadi
BB sekarang : untuk mengetahui kenaikan/penurunan BB bayi.
Tabel 1. Penilaian derajat ikterus melalui hubungan kadar bilirubin dengan daerah ikterus
menurut Kramer
Daerah yang
ikterus
Penjelasan Kadar bilirubin (mg/dL)
3
Prematur Aterm
1 Kepala dan leher 4-8 4-8
2 Dada sampai pusat 5-12 5-12
3 Pusat bagian bawah sampai lutut 7-15 8-16
4 Lutut sampai pergelangan kaki dan
bahu sampai pergelangan tangan
9-18 11-18
5 Kaki dan tangan termasuk telapak
kaki dan telapak tangan
> 10 > 15
Gambar 1. Pembagian daerah tubuh untuk penilaian derajat ikterus menurut Kramer
Sumber:http://www.google.com; diunduh 12 September 2015
Ikterus yang terjadi umumnya baru bermanisfestasi segera setelah lahir atau di dalam 24
jam pertama kehidupan bayi setelah dilahirkan dengan peningkatan cepat dari kadar bilirubin
tidak terkonjugasi. Kadang-kadang, hiperbilirubinemia yang terkonjugasi dapat ditemukan
dikarenakan disfungsi plasenta atau sistem hepatik pada bayi-bayi dengan kasus hemolitik
yang berat. Anemia yang terjadi sering oleh karena destruksi sel darah merah yang diselimuti
oleh antibodi oleh sistem retikuloendotelial dan pada beberapa janin, anemia terjadi karena
destruksi intravaskuler. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, bahwa pada kasus berat
dapat ditemukan hidrops fetalis. Hidrops fetalis ini merupakan hasil akhir dari kombinasi
4
beberapa mekanisme tubuh yang terjadi di dalam tubuh janin, yaitu oleh karena hipoksia
janin, anemia, gagal jantung kongestif, dan hipoproteinemia sekunder akibat disfungsi
hepatik.
Pada defisiensi G6PD (Glucose 6-Phosphate Dehydrogenase) pada pemeriksaan fisik
sering ditemukan keadaan berupa: rewel/letargi,sesak napas, suhu meningkat >38o C, mual,
nyeri abdominal, diare, anemia, ikterik dan kelainan kelainan pada urine (hemoglobinuria),
kepucatan yang bervariasi, takikardi, pembesaran lien dan hepar. Pada kasus berat terjadi syok
hipovolemik dan gagal jantung.
Pemeriksaan Penunjang2,3,4
Terdapat pemeriksaan laboratorium sugestif proses hemolitik:
Bukti percepatan katabolisme hemoglobin akibat eritrosit survival memendek:
Bilirubin indirek meningkat
LDH serum meningkat
Hemoglobinuria
Hemosiderinuria
Plasma haptoglobin menurun (normal: 128±25 mg/dL)
Urobilinogen feses dan urin meningkat
Pemeriksaan Penunjang yang dilakukan antara lain:
Pemeriksaan Laboratorium Complete Blood Count
Pada pemeriksaan hemoglobin didapatkan kadar menurun, tetapi jumlah retikulosit
meningkat.
Pada pemeriksaan hematokrit jika didapatkan hematokrit < 30%, menunjukkan volume
sel darah merah di dalam darah berkurang yang pada G6PD berhubungan dengan adanya
proses hemolisis yang kemudian menyebabkan anemia.
Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC)
Biasanya digunakan untuk membantu mendiagnosis penyebab anemia (Suatu kondisi di
mana ada terlalu sedikit sel darah merah). Indeks/nilai yang biasanya dipakai antara lain :
5
MCV (Mean Corpuscular Volume) atau Volume Eritrosit Rata-rata (VER), yaitu
volume rata-rata sebuah eritrosit yang dinyatakan dengan femtoliter (fl).
MCV = Hematokrit x 10
Eritrosit
Nilai normal = 82-92 fl
MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin) atau Hemoglobin Eritrosit Rata-Rata (HER),
yaitu banyaknya hemoglobin per eritrosit disebut dengan pikogram (pg).
MCH = Hemoglobin x 10
Eritrosit
Nilai normal = 27-31 pg
MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration) atau Konsentrasi Hemoglobin
Eritrosit Rata-rata (KHER), yaitu kadar hemoglobin yang didapat per eritrosit,
dinyatakan dengan persen (%) (satuan yang lebih tepat adalah “gr/dl”).
MCHC = Hemoglobin x 100
Hematokrit
Nilai normal = 32-37 %
Pemeriksaan Sediaan Apus Darah Tepi
Anemia pada hemolisis biasanya normositik, meskipun retikulositosis meningkatkan
ukuran Mean Corpuscular Volume. Jumlah leukosit biasanya meningkat dengan dominan
granulosit.
Pada sediaan hapus darah tepi dapat dijumpai fragmentosit, dengan pewarnaan metil
violet tampak Heinz bodies, dan sel polikromatofil (eritrosit besar kebiru-biruan) yang
menunujukkan retikulositosis. Selain itu juga menunjukkan sel-sel yang mengerut dan pecah,
sel “gigit” (bite cell) dan sel “gelembung” (blister cell) yang badan Heinznya telah dibuang
oleh limfa (badan Heinz adalah hemoglobin yang teroksidasi dan terdenaturasi) dapat
ditemukan dalam preparat retikulosit, khususnya jika limfa tidak ada. Juga terdapat gambaran
hemolisis intravaskular. 6
Gambar 2. Heinz bodies
Sumber:http://www.google.com; diunduh 12 September 2015
Pemeriksaan Bilirubin
Peningkatan kadar bilirubin direk menunjukkan adanya gangguan pada hati (kerusakan
sel hati) atau saluran empedu (batu atau tumor). Peningkatan kadar bilirubin indirek sering
dikaitkan dengan peningkatan destruksi eritrosit (hemolisis), seperti pada penyakit hemolitik
oleh autoimun, transfusi, atau eritroblastosis faetalis. Meningkat hingga mencapai 103 mg/dL
pada proses hemolitik.
Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin serum,
namun kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya dipertimbangkan sebagai ikterus
fisiologis. Pola ikterus fisiologis pada bayi baru lahir sebagai berikut: kadar bilirubin serum
total biasanya mencapai puncak pada hari ke 3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL,
kemudian menurun kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Pola ikterus fisiologis ini
bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktor-faktor lain. Sebagai contoh, bayi prematur akan
memiliki puncak bilirubin maksimum yang lebih tinggi pada hari ke-6 kehidupan dan
berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu. Faktor yang berperan pada
munculnya ikterus fisiologis pada bayi baru lahir meliputi peningkatan bilirubin karena
polisitemia relatif, pemendekan masa hidup eritrosit (pada bayi 80 hari dibandingkan dewasa
120 hari), proses ambilan dan konjugasi dihepar yang belum matur dan peningkatan sirkulasi
enterohepatik.
Ikterus fisiologik2
1. Hilang tanpa perlu pengobatan.
2. Bilirubin direk < 2mg/dl.
7
3. Timbul setelah 24 jam.
4. Kadar tertinggi pada hari ke 5 pada BCB, pada hari ke 7 pada BKB.
5. Kadar bilirubin <15 mg/dl.
6. Hilang dalam 14 hari.
Sedangkan pada ikterus neonatorum patologik biasanya terjadi dibawah 24 jam usia
kehidupan neonatus. Biasanya kadar puncak bilirubin serum bisa >15 mg/dl.
Ikterus patologik2
1. Kuning timbul dan terlihat dalam tempo kurang dari 24 jam setelah bayi lahir.
2. Kenaikan kadar bilirubin > 5mg/dl/hari.
3. Bilirubin serum > 15 mg/dl.
4. Ikterus berlangsung lebih dari 14 hari.
5. Warna feses dempul dan urin kuning tua.
6. Bilirubin direk > 2 mg/dl.
Serum Laktat Dehidrogenase
Pada proses hemolitik menyebabkan kadar LDH > 1000 IU.
Haptoglobin level
Normal dalam darah berkisar antara 50-200 mg/dL. Jika terjadi hemolisis terdapat
penurunan atau hilangnya kadar haptoglobulin. Hemoglobin bebas hasil hemolisis terikat
dengan haptoglobin. Hemoglobin-haptoglobin ini segera dibersihkan oleh hati hingga kadar
haptoglobin menjadi rendah sampai tidak terdeteksi. Pada hemolisis intravaskular kadar
hemoglobin bebas dapat melebihi kadar haptoglobin sehingga hemoglobin bebas difiltrasi
oleh glomerulus dan direabsorbsi oleh tubulus proksimal dan mengalami metabolisme. Hasil
metabolisme di ginjal ini menghasilkan ikatan antara besi heme dengan simpanan protein
(feritin dan hemosiderin). Selanjutnya hemosiderin dikeluarkan ke urin dan terdeteksi sebagai
hemosiderinuria. Pada hemolisis intravaskular yang masif, ambang kapasitas absorbsi
hemoglobin oleh tubulus proksimal terlewati, sehingga hemoglobin dikeluarkan ke urin dalam
bentuk hemoglobinuria.
8
Diagnosis pasti defisiensi G6PD didasarkan pada aktivitas enzimatik dengan analisis
kuantitatif spektrofotometri tingkat produksi NADPH dari NADP.
Working Diagnosa4,5
Definisi G6PD
Glukosa-6-Fosfat Dehidrogenase (G6PD) merupakan enzim pengkatalisis reaksi
pertama jalur pentosa fosfat dan memberikan efek reduksi pada semua sel dalam bentuk
NADPH (bentuk tereduksi nicotinamide adenine dinucleotide phosphate). Senyawa
NADPH memungkinkan sel-sel bertahan dari stres oksidatif yang dapat dipicu oleh
beberapa bahan oksidan dan menyediakan glutathione dalam bentuk tereduksi. Eritrosit
tidak memiliki mitokondria sehingga jalur pentosa fosfat merupakan satu-satunya sumber
NADPH, sehingga pertahanan terhadap kerusakan oksidatif tergantung pada G6PD.
Defisiensi G6PD merupakan enzimopati yang paling umum diderita manusia dan
terkait dengan kromosom X. Terdapat beberapa varian dari G6PD, namun hanya dua varian
yang dapat menimbulkan hemolisis dengan makna klinis yang signifikan yaitu G6PD A - dan
G6PD mediterania. Varian A- ditemukan pada sekitar 10% populasi kulit hitam Amerika dan
berkaitan dengan hilangnya progresif enzim G6PD dalam sel-sel darah merah yang tua. Sel-
sel yang tua ini akan mengalami hemolisis setelah terpajan dengan stress oksidatif yang
ditimbulkan oleh respons inflamasi. Karena sel darah merah yang muda tidak terkena, maka
hemolisis bersifat swasirna atau self-limited. Sedangkan pada bentuk Mediterania, kadar
G6PD jauh lebih rendah dan hemolisisnya lebih berat.
Kebanyakan pasien defisiensi G6PD tidak menunjukkan gejala hingga terpapar obat-
obatan pengoksidasi, infeksi, dan makan kacang fava. Pengobatan terpenting adalah dengan
menghindari bahan pengoksidasi yang dapat menginduksi anemia hemolitik. Skrining
neonatus dan edukasi kesehatan berperan penting dalam mengurangi manifestasi klinis
defisiensi G6PD. Carson, dkk melaporkan penderita mengalami anemia hemolitik akibat
penggunaan obat antimalaria primakuin dan menemukan aktivitas G6PD yang rendah pada
eritrosit pasien-pasien tersebut. Crosby juga menemukan kemiripan antara anemia hemolitik
berat akibat makan kacang fava.
9
Gambar 3. Kacang fava
Sumber:http://www.google.com; diunduh 12 September 2015
World Health Organization (WHO), mengklasifikasikan varian mutan G6PD
berdasarkan pengukuran aktivitas enzim dan ada atau tidaknya anemia hemolitik:
Kelas I: varian G6PD yang defisiensi enzimnya sangat berat (aktivitas enzim <10% dari
normal) dengan anemia hemolitik kronis. Kelompok ini mempunyai kelainan fungsional
yang berat (varian Harilaou). Sel darah merah tidak mampu mempertahankan diri dari
oksidan endogen, sehingga terjadi hemolisis kronik. Adanya pemaparan dengan faktor
pencetus akan menyebabkan terjadinya eksaserbasi anemia hemolitik akut.
Kelas II: varian G6PD yang defisiensi enzimnya cukup berat namun tidak ada anemia
hemolitik kronis. Kelompok defisiensi enzim G6PD berat (varian G6PD Mediteranian).
Pemaparan dengan faktor pencetus (eksogen) akan menimbulkan hemolisis akut dan
proses tersebut akan terus berlanjut selama masih terdapat pemaparan dengan faktor
pencetus. Hal ini disebabkan rendahnya aktivitas enzim G6PD baik pada sel darah
merah yang tua maupun muda.
Kelas III: varian G6PD dengan aktivitas enzimnya antara 10%-60% dari normal dan
anemia hemolitik terjadi bila terpapar bahan oksidan atau infeksi. Kelompok defisensi
enzim G6PD ringan (varian G6PD A). Pada kelompok ini, hemolisis yang timbul akibat
pemaparan dengan faktor pencetus akan berhenti dengan sendirinya walaupun
pemaparan masih terus berlanjut. Hal ini disebabkan aktivitas enzim G6PD pada sel
darah merah yang muda masih cukup tinggi untuk menahan oksidan, dan hanya sel
darah merah yang tua saja yang mengalami hemolisis.
Kelas IV: varian G6PD yang tidak memberikan anemia hemolitik atau penurunan
aktivitas enzim G6PD.
Kelas V: varian G6PD yang aktivitas enzimnya meningkat.
10
Varian klas IV dan klas V secara biologis, genetik dan antropologis tidak didapat gejala
klinik.
Diagnosa Banding5,6
Sferositosis Herediter (SH)
SH biasanya diwariskan sebagai kelainan dominan autosom dan,kurang sering,sebagai
kelainan resesif autosom. 75% kasus diturunkan secara autosomal dominan, sedangkan 25%
lainnya disebabkan oleh carrier state dan de novo mutation. Terdapat laju tinggi mutasi
baru,dan sebanyak 25% penderita mungkin tidak mempunyai riwayat keluarga sebelumnya.
Defek molekuler paling sering adalah abnormalitas spektrin (membrane protein
eritrosit), yang merupakan komponen terbesar dari sitoskeleton yang member bentuk eritrosit.
Suatu defek resesif telah dideskripsikan pada spektrin-α;defek dominan pada spektrin β dan
pada protein 3; dan defek dominan dan resesif pada ankirin.
Suatu defisiensi pada spektrin, protein 3, atau ankirin menyebabkan ketidakpaduan
dalam interaksi “vertical” dari skeleton lipid lapis-ganda dan kehilangan mikrovesikel
membrane. Kehilangan membran tanpa kehilangan volume secara proporsional menyebabkan
eritrosit berbentuk bola dan terkait dengan kenaikan permeabilitas kation,transport kation,dan
penggunaan ATP, serta kenaikan metabolism glikolitik. Penurunan kemampuan eritrosit
mengubah bentuk yang bulat mengganggu pasassenya dari saluran ke sinus limpa, dan
sferosit dihancurkan secara prematur dalam limpa. Splenektomi nyata memperbaiki rentang
hidup eritrosit dan menyembuhkan anemia.
Gambar 4. Sferosit11
Sumber:http://www.google.com; diunduh 12 September 2015
Sickle Cell Anemia
Merupakan kelainan Hb yang paling sering. Ditemukan pada etnis Afrika-American.
Terjadi mutasi rantai globin β 6 (Glu-Val). Diturunkan secara autosomal resesif. Genotip
homozigot (2 gen abnormal, SS) tidak mensintesa HbA sehingga setalah masa infant 75% Hb
adalah Hb S. Genotip heterozigot (1 gen abnormal) akan menjadi sickle sel trait, sehingga
menpunyai Hb S 20-45%.
Defeknya adalah satu substitusi asam amino pada rantai β hemoglobin. Karena
hemoglobin A normal mengandung dua rantai α dan dua ranta β, maka terdapat dua gen untuk
sintesa tiap rantai.
Trait sel sabit, orang dengan trait sel sabit hanya mendapat satu gen abnormal, sehingga
sel darah merah mereka masih mampu mensintesa kedua rantai β dan βs, jadi mereka
mempunyai hemoglobin A dan S. Mereka tidak menderita anemia dan tampak sehat. Sekitar
8% dan 12% keturunan Afrika-Amerika mempunyai trait sel sabit.
Apabila dua orang dengan trait sel sabit menikah, beberapa anaknya akan membawa
dua gen abnormal dan hanya mempunyai rantai βs dan hanya hemoglobin S, anak ini
menderita anemia sel sabit.
Hemoglobin sabit mempunyai sifat buruk karena mempunyai bentuk seperti kristal bila
terpajan tekanan oksigen rendah. Oksigen dalam darah vena cukup rendah sehingga terjadilah
perubahan ini; konsekuensinya sel yang mengandung hemoglobin S akan rusak, kaku dan
berbentuk sabit ketika berada disirkulasi vena. Sel yang panjang dan kaku dapat terperangkap
dalam pembuluh kecil, dan ketika mereka saling menempel satu sama lain, aliran darah ke
daerah atau organ mengalami perlambatan. Apabila terjadi iskemia atau infark, pasien dapat
mengalami nyeri, pembengkakan dan demam. Urutan kejadian tersebut menerangkan
terjadinya krisis nyeri penyakit ini, namun apa yang mencetuskan urutan kejadian tersebut
atau yang mencegahnya tidak diketahui.
Gejala disebabkan oleh hemolisis dan trombosis. Sel darah merah sabit memiliki usia
hidup yang pendek yaitu 15 sampai 25 hari. Pasien selalu anemis, dengan nilai hemoglobin
12
antara 7-10 mg/dl. Biasanya terdapat ikterik dan jelas terlihat pada sklera. Sumsum tulang
membesar saat kanak-kanak sebagai usaha kompensasi, kadang menyebabkan pembesaran
tulang wajah dan kepala. Anemia kronis sering disertai dengan takikardi, murmur jantung dan
pembesaran jantung (kardiomegali). Setiap jaringan dan organ rentan terhadap gangguan
mikrosirkulasi akibat proses penyabitan, sehingga peka terhadap kerusakan hipoksik atau
nekrosis iskemik yang sebenarnya. Terdapat kenaikan kekentalan darah.
Diagnosa dapat ditegakkan dengan elektroforesis hemoglobin atau fokus isoelektrik dan
teknik kromatografi cairan kinerja tinggi. Diagnosis pasti bagi bayi tidak dapat ditegakkan
sampai uji laboratorium lebih lanjut dilakukan pada sampel darah kedua dan dikorelasikan
dengan riwayat klinis. Hanya elektroforesis yang dapat membedakan antara trait sel sabit
dengan anemia sel sabit. Pasien dengan trait sel sabit mempunyai kadar hemoglobin dan
hematokrit yang normal begitu juga apusan darahnya juga normal. Sebaliknya pasien dengan
anemia sel sabit mempunyai hematokrit rendah dan sel sabit pada apusan.
Gambar 5. Sickle cell anemia
Sumber:http://www.google.com; diunduh 12 September 2015
Skrining defisiensi G6PD pada neonatus4,5
Di berbagai negara, skrining defisiensi G6PD pada neonates rutin dilakukan. Hal ini
penting karena kernikterus yang merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas pada
neonatus defisiensi G6PD dapat dicegah dengan menghindari faktor-faktor penyebab
hemolisis.Laporan dari Singapura menunjukkan setelah program skrining defisiensi G6PD
neonatus sejak tahun 1965 menggunakan sampel darah tali pusat, insidens kernikterus turun
drastis dalam 20 tahun terakhir. Dilaporkan hanya 1 kasus kernikterus pada neonatus
defisiensi G6PD di Singapura. Neonatus defisiensi G6PD dilindungi secara fisik di rumah
13
sakit selama 2 minggu pertama dan orang tuanya diberikan konseling mengenai obat-obatan
yang dapat memicu krisis hemolysis.
Pao, dkk. menemukan bahwa insidens hiperbilirubinemia pada neonatus defisiensi
G6PD sebesar 32% dan pada neonatus dengan G6PD normal hanya 12,3%, hal ini
menunjukkan perlunya skrining defi siensi G6PD pada neonatus. Pada neonatus laki-laki
hemizigot defi siensi G6PD, kadar G6PD <4,6 u/g Hb dapat digunakan sebagai cut off,
sedangkan pada neonatus perempuan dianjurkan nilai cut off lebih tinggi, yaitu <6,6 u/g Hb
karena terdapat sejumlah populasi neonatus heterozigot defisiensi G6PD parsial.
Untuk skrining cepat beberapa metode semikuantitatif telah dikembangkan seperti dye-
decolouration test oleh Motulsky (sebuah istilah yang digunakan dalam tes kuantitatif untuk
glukosa-6-fosfat dehydrogenase di mana eritrosit diinkubasi dengan NADP dan brilliant
cresyl blue dye. Semakin besar konsentrasi G6PD maka lebih cepat juga reduksi NADP
menjadi NADPH, yang artinya mengubah brilliant cresyl blue yang berwarna menjadi tidak
berwarna. Saat ini, metode berdasarkan pengukuran dengan spektrofotometer langsung
terhadap NADP tereduksi di panjang gelombang 340 nm) selain itu, juga terdapat Beutler
fluorescent spot test yang mengindikasikan defisiensi G6PD jika spot darah tidak berfluoresen
di bawah sinar ultra violet.
Tes fenotipe aktivitas enzimatik G6PD pada darah vena segar merupakan metode
diagnostik yang paling umum. Tes fenotip dapat dibagi menjadi 4 kategori:
Tes direk yang langsung menilai aktivitas enzimatik G6PD. Standar perhitungan adalah
berdasarkan spektrofotometer. Tes spot fluorescent Beutler’s merupakan tes skrining
popular yang mengikubasi hemolisat dengan substrat reaksi G6PD, ditempatkan di
kertas filter dan disiari ultra violet (450nm). Fluoresensi menunjukkan aktivitas G6PD .
Tes ini paling mudah meskipun masih jauh dari ideal.
Tes indirek yang mencakup tes reduksi methemoglobin. Sel eritrosit direaksikan dengan
nitrit dan substrat glukosa kemudian tingkat NADPH-dependent methaemoglobin
reduction dinilai dengan katalis redoks. Derajat NADPH-dependent methaemoglobin
reduction berkorelasi dengan aktivitas G6PD. Metode indirek lain menggunakan
kromofor seperti brilliatn cresil blue, resazurin, formazan untuk memantau produksi
NADPH.
Etiopatofisiologi6,7
14
Biomolekuler
Enzim G6PD merupakan polipeptida yang terdiri atas 515 asam amino dengan berat
molekul 59,265 kilodalton. Enzim G6PD merupakan enzim pertama jalur pentosa posfat,
yang mengubah glukosa-6-phosphat menjadi 6-fosfogluconat pada proses glikosis. Perubahan
ini menghasilkan Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate (NADPH), yang akan
mereduksi glutation teroksidasi (GSSG) menjadi glutation tereduksi (GSH). GSH berfungsi
sebagai pemecah peroksida dan oksidan radikal H2O2.
Dalam keadaan normal peroksida dan radikal bebas dibuang oleh katalase dan
gluthatione peroxidase, selanjutnya meningkatkan produksi GSSG. GSH dibentuk dari GSSG
dengan bantuan enzim gluthatione reductase yang keberadaannya tergantung pada NADPH.
Pada defisiensi G6PD, pembentukkan NADPH berkurang sehingga berpengaruh pada
regenerasi GSH dari GSSG, akibatnya mempengaruhi kemampuan untuk menghilangkan
peroksida dan radikal bebas.
Gambar 6. Jalur pentosa posfat G6PD
Sumber:http://www.google.com; diunduh 12 September 2015
Pada sel darah merah yang mengalami defisiensi G6PD, keadaan stress oksidatif akan
menimbulkan denaturasi hemoglobin. Hemoglobin yang berubah ini kemudian akan
mengendap sebagai badan Heinz dan melekat pada membrane internal sel darah merah,
mengurangi deformabilitas dan meningkatkan kerentanan terhadap destruksi makrofag dalam
limpa. Badan Heinz akan menimbulkan kerusakan membran sel darah merah yang cukup
untuk menyebabkan hemolisis intravaskular maupun ekstravaskular.
Genetik
15
Gen G6PD yang berlokasi pada kromosom Xq28, dekat dengan gen hemofilia A,
diskeratosis kongenital dan buta warna dengan panjang 18 Kb, terdiri atas 13 exon
merupakan DNA dan 12 intron merupakan sekuen pengganggu, merupakan sampah DNA
yang tidak berperan dalam fungsi enzim. Fungsi enzim ditentukan oleh sekuens dan ukuran
gen G6PD dan mRNA yang menjadi ciri gen. Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction)
dapat membantu mengidentifikasi adanya mutasi. Saat ini telah diketahui lebih 40 mutasi
yang tersebar sepanjang pada seluruh pengkode gen, masing-masing berbeda-beda dan
mempunyai ciri khas tersendiri. Telah dilaporkan lebih 400 varian G6PD, dengan disertai
penampilan klinis dan atau fenotip yang beragam. Berbagai jenis mutasi (varian) gen G6PD
dapat mengakibatkan penurunan aktivitas G6PD. Mutasi pada exon 6 dan exon 10 dapat
menyebabkan gejala klinis (anemia hemolitik) yang berat. Gejala klinis pada umumnya
asimptomatik, namun bila terpapar bahan oksidan, infeksi atau makan fava beans mempunyai
potensi terjadinya anemia hemolitik, ikterus neonatorum (neonatal jaundice) yang sering
mengakibatkan kerusakan syaraf permanen dan dapat menyebabkan kematian. Varian
tersebut dibedakan berdasar aktifitas enzim residual, mobilisasi elektroforetik, afinitas dan
analog subtrat, stabilisasi terhadap panas dan pH optimum. Wild type G6PD disebut 6GPD B.
Semua mutasi gen G6PD yang mengakibatkan defisiensi enzim tersebut berefek pada kode
sekuensi. Hingga saat ini telah dilaporkan 14 mutasi, umumnya subtitusi terjadi pada 1
pasangan basa yang menyebabkan perubahan susunan asam amino.
Gambar 7. Gen G6PD
Sumber:http://www.google.com; diunduh 12 September 2015
Distribusi malaria global hampir sama dengan distribusi G6PD mutan sehingga muncul
16
hipotesis bahwa defi siensi G6PD bersifat protektif terhadap malaria. Bukti efek perlindungan
terhadap malaria diperoleh dari penelitian in vitro pada kultur parasit pada eritrosit-eritrosit
dengan genotipe G6PD berbeda, menunjukkan bahwa pertumbuhan parasit melambat terjadi
pada sel-sel dengan defisiensi G6PD. Eritrosit dengan defisiensi G6PD yang terinfeksi parasit
malaria mengalami fagositosis pada tahap maturasi parasit yang terjadi lebih dini dan menjadi
mekanisme protektif terhadap malaria.
Epidemiologi6
Defisiensi G6PD diperkirakan diderita 400 juta orang di seluruh dunia. Prevalensi
tertinggi ditemukan di negara-negara Sub-Sahara Afrika terutama di daerah-daerah dengan
endemisitas malaria tinggi. Prevalensi tinggi ditemukan di Afrika, Mediterania, Asia
Tenggara dan Amerika Latin. Di Amerika Serikat, defisiensi G6PD terutama diderita
keturunan Afrika dan Mediterania. Di Indonesia, prevalensi defisiensi G6PD ber-kisar 2,7%
hingga 14,2%. Prevalensi defisiensi G6PD yang tinggi di daerah endemis malaria dikaitkan
dengan resistensi terhadap infeksi malaria.
Faktor Risiko7
Terdapat beberapa obat yang dihindari oleh penderita G6PD yaitu:
17
Gambar 8. Faktor risiko G6PD
Sumber:http://www.google.com; diunduh 12 September 2015
Probabilitas dan Pedigree8
Defisiensi G6PD terjadi akibat mutasi gen G6PD, suatu penyakit X-linked resesif. Laki-
laki hanya mempunyai 1 kromosom X, sehingga jika terjadi mutasi maka defisiensi G6PD
akan muncul atau bermanifes. Wanita mempunyai 2 kromosom X, sehingga jika terdapat 1
gen yang abnormal karena mutasi, pasangan atau allelenya dapat “menutupi” kekurangannya
tersebut, sehingga defisiensi G6PD bisa bermanifestasi namun dapat pula tidak. Tidak terjadi
male to male transmission karena ayah akan memberikan kromosom X nya kepada anak
perempuan.
18
Gambar 9. Segregasi X linked Resesif Trait dari Ayah
Sumber:http://www.google.com; diunduh 12 September 2015
Gambar 10. Segregasi X linked Resesif Trait dari Ibu
Sumber:http://www.google.com; diunduh 12 September 2015
Genotipe wanita G6PD:
XRXR = homozigot dominan=normal
XRXr= heterozigot=normal carrier=pembawa sifat
XrXr= homozigot resesif=penderita G6PD
Genotipe laki-laki G6PD:
XRY = laki-laki normal19
XrY = laki-laki G6PD
Probabilitas keturunan yang didapatkan dari seorang ibu yang carrier G6PD yang menikah
dengan suami penderita defisiensi G6PD adalah 50% normal dan 50% penderita defisiensi
G6PD.
Probabilitas keturunan yang didapatkan dari seorang ibu yang carrier G6PD yang menikah
dengan suami penderita defisiensi G6PD adalah 50% normal dan 50% penderita defisiensi
G6PD.
20
Manifestasi Klinis7.8
Sebagian besar penderita defisiensi G6PD tidak bergejala dan tidak mengetahui
kondisinya. Penyakit ini muncul apabila eritrosit mengalami stress oksidatif dipicu obat,
infeksi, maupun konsumsi kacang fava. Defisiensi G6PD biasanya bermanifestasi sebagai
anemia hemolitik obat maupun infeksi, favisme, ikterus neonatorum maupun anemia
hemolitik non sferosis kronis. Beberapa kondisi seperti diabetes, infark miokard, latihan fisik
berat telah dilaporkan menginduksi hemolysis pada penderita defisiensi G6PD. Hemolisi pada
penderita defisiensi G6PD biasanya ditandai dengan rasa lemah, nyeri punggung, anemia dan
ikterus. Terjadi peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi, laktat dehydrogenase dan
retikulosis.
Anemia hemolitik akut akibat induksi obat
Sebagian besar manifestasi varian mutan gen G6PD yang mengakibatkan defisiensi
enzim G6PD kurang dari 60% dari normal, terjadi setelah paparan obat atau bahan kimia yang
memicu terjadi anemia hemolitik akut. Umumnya, hemolisis dan ikterus klinis biasanya
muncul 24-72 jam setelah terpapar bahan bahan tersebut, penderita akan mengalami demam,
letargi, kadang disertai gejala gastrointestinal. Hemoglobinuria merupakan tanda cardinal
terjadinya hemolisis intravascular ditandai dengan terjadinya urine berwarna merah gelap
hingga coklat. Kemudian timbul ikterus dan anemia memburuk hingga 7-8 hari, kadar
hemoglobin akan kembali meningkat setelah 8-10 hari obat dihentikan. Heinz bodies di darah
tepi yang merupakan presipitat hemoglobin terdenaturasi merupakan tanda khas pada
pemeriksaan apusan darah serta disertai takikardia. Pada beberapa kasus berat dapat terjadi
syok hipovolemik. Dapat terjadi komplikasi berupa acute tubular necrosis pada episode
hemolitik, terutama bila terdapat penyakit dasar berupa gangguan hepar seperti hepatitis.
Obat-obat spesifik penyebab langsung krisis hemolisis penderita defisiensi G6PD sulit
ditentukan dengan tepat. Pertama, suatu obat yang dinyatakan aman untuk satu penderita
defisiensi G6PD belum tentu aman untuk penderita lain, mungkin karena perbedaan
farmakokinetik tiap individu. Kedua, obat yang memiliki efek oksidan sering diberikan pada
pasien dengan keadaan klinis (misalnya infeksi) yang dapat menyebabkan hemolisis. Ketiga,
pasien mengkonsumsi lebih dari satu jenis obat. Keempat, hemolisis pada defisiensi G6PD
biasanya sembuh sendiri, tidak menyebabkan anemia dan retikulositosis yang signifikan.
21
Anemia Hemolisis akut karena infeksi
Infeksi merupakan penyebab paling umum terjadinya hemolisis. Infeksi bakteri dan
virus seperti Hepatitis A dan B, Cytomegalovirus,, Salmonella, Escherchia coli, Streptoccus β
hemolitikus dan Rickettsia, dapat menyebabkan anemia hemolitik pada penderita defisiensi
G6PD dan mekanisme terjadinya hemolisis belum jelas. Beratnya hemolisis dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain pemberian obat, fungsi hati dan usia. Komplikasi serius akibat
infeksi virus hepatitis pada penderita defisiensi G6PD adalah gagal ginjal akut; dapat
disebabkan nekrosis tubular akut akibat iskemi ginjal maupun obstruksi tubular karena
hemoglobin cast. Beberapa pasien mungkin memerlukan hemodialisis. Salah satu penyebab
yang dapat menjelaskan hubungan infeksi dengan hemolisis adalah akibat proses fagositosis.
Leukosit menghasilkan radikal oksigen aktif selama proses fagositosis yang mengakibatkan
kerusakan membran eritrosit. Hemolisis yang terjadi karena dipicu oleh infeksi biasanya
ringan.
Hemolisis dapat timbul satu sampai dua hari setelah onset terjadinya infeksi dan dapat
menimbulkan anemia ringan. Biasanya terjadi pada pasien dengan klinis pnemonia atau
demam tifoid. Infeksi virus hepatitis pada pasien defisiensi G6PD dapat memperparah
timbulnya ikterus. Jumlah dan produksi retikulosit rendah dan hal ini akan pulih setelah
infeksi primer dapat disembuhkan.
Anemia Hemolitik akut karena Favisme
Konsumsi fava beans/kacang fava dapat menyebabkan hemolisis dan kondisi ini disebut
favisme. Favisme ditemukan di negara-negara Mediterania, Timur Tengah dan Afrika Utara,
tidak ditemukan di Indonesia. Tidak semua penderita defisiensi G6PD yang memakan kacang
fava menderita favisme, dapat terjadi respons berbeda-beda dari individu yang sama
tergantung kesehatan pasien dan jumlah kacang fava yang dikonsumsi. Divicine, isouramil
dan convicine diperkirakan sebagai bahan toksik dari kacang fava yang meningkatkan
aktivitas hexose monophosphate shunt, sehingga menyebabkan hemolisis pada penderita
defisiensi G6PD.
Favisme merupakan salah satu efek hematologi yang paling berat pada penderita
defisiensi G6PD. Manifestasi klinis yang timbul dapat lebih hebat dibandingkan anemia
22
hemolisis yang disebabkan oleh obat. Hemolisis dapat timbul beberapa jam hingga beberapa
hari setelah konsumsi kacang.
Favisme banyak didapatkan pada anak dibanding pada dewasa. Terutama pada varian
mutan gen defisiensi G6PD tipe Mediteranean, varian mutan gen G6PD lainnya yang dapat
mengalami favisme adalah tipe G6PD A-. Gejala yang timbul pada anak berupa gelisah
hingga letargi beberapa jam setelah terpapar fava bean. Dalam waktu 24-48 jam dapat timbul
demam disertai mual muntah, nyeri abdomen dan diare. Urine berwarna merah hingga coklat
gelap yang dapat berlangsung selama beberapa haril. Ikterus timbul bersama terjadinya urine
yang gelap. Anak tampak pucat, terdapat takikardia. Pada beberapa kasus, dapat terjadi syok
hipovolemi dengan segera yang dapat berakibat fatal hingga terjadi gagal jantung. Biasanya
terdapat pembesaran hepar dan limpa yang ringan. Hemolitik akibat favisme dapat terjadi
intravaskular maupun ekstravaskular dan dapat menyebabkan gagal ginjal akut.
Adanya kasus maternal favisme pada ibu hamil dilaporkan menyebabkan hemolisis
pada bayi penderita defisiensi G6PD yang disusui, bahkan dapat terjadi hydrops fetalis.
Ikterus Neonatorum
Sepertiga neonates laki-laki ikterus neonatorum menderita defisiensi G6PD, insidens
pada neonates perempuan lebih jarang. Ikterus biasanya muncul pada umur 1-4 hari, mirip
ikterus fisiologis. Kern ikterus jarang terjadi, dapat menyebabkan kerusakan saraf yang
bersifat permanen jika tidak segera ditangani. Ikterus neonatorum lebih berat pada bayi
defisiensi G6PD prematur. Jika skrining defisiensi G6PD tidak rutin dilakukan, pemeriksaan
lebih seksama perlu dilakukan pada neonatus yang menderita hiperbilirubinemia >150
mmol/L dalam 24 jam pertama atau memiliki saudara dengan riwayat ikterus neonatorum.
Anemia hemolitik non sferosis congenital
Pada beberapa pasien, varian defisiensi G6PD dapat menyebabkan hemolisis kronik
yang disebut anemia hemolitik non-sferosis kongenital. Kondisi ini dapat muncul sporadis.
Diagnosis didasarkan pada temuan klinis bahwa kelainan ini ditemukan sejak bayi atau
kanak-kanak. Kebanyakan pasien memiliki riwayat ikterus neonatorum yang berat, anemia
kronik yang dieksaserbasi oleh stres oksidatif yang biasanya memerlukan transfusi darah,
adanya retikulositosis, batu empedu dan splenomegali. Kadar bilirubin dan LDH meningkat
dan hemolisisnya terjadi terutama ekstravaskular.23
Penatalaksanaan9,10
Strategi penatalaksanaan defisiensi G6PD yang paling efektif untuk mencegah
hemolisis adalah mencegah stres oksidatif (misalnya akibat obat-obatan dan kacang fava).
Pendekatan ini memerlukan pemahaman pasien dan bisa tercapai jika ada program skrining
defisiensi G6PD. Hemolisis akut akibat G6PD biasanya tidak lama dan tidak memerlukan
terapi spesifik. Pada kasus jarang (biasanya anak-anak) dapat terjadi anemia berat yang
memerlukan transfusi darah. Jika kadar bilirubin indirek >300 nmol/L, transfusi darah
mungkin diperlukan. Tranfusi PRC pada Hb <7 g/dL atau persistent Hb-uria dengan Hb <9
g/dL.
Fototerapi saat ini masih menjadi modalitas terapeutik yang umum dilakukan pada bayi
dengan ikterus dan merupakan terapi primer pada neonatus dengan hiperbilirubinemia tidak
terkonjugasi.
Bilirubin yang bersifat fotolabil, akan mengalami beberapa fotoreaksi apabila terpajan
ke sinar dalam rentang cahaya tampak, terutama sinar biru (panjang gelombang 420 nm-470
nm) dan hal ini akan menyebabkan fotoisomerasi bilirubin. Turunan bilirubin yang dibentuk
oleh sinar bersifat polar oleh karena itu akan larut dalam air dan akan lebih mudah
`diekskresikan melalui urine. Bilirubin dalam jumlah yang sangat kecil juga akan dipecah
oleh oksigen yang sangat reaktif secara irreversibel yang diaktifkan oleh sinar. Produk foto-
oksidasi ini juga akan ikut diekskresikan melalui urine dan empedu.
Beberapa penelitian menemukan bahwa seperti yang telah dikatakan sebelumnya,
bahwa terapi sinar mengubah senyawaan tetrapirol yang sulit larut dalam air menjadi senyawa
dipirol yang mudah larut dalam air
Ikterus neonatorum akibat defisiensi G6PD diterapi seperti ikterus neonatorum kausa
lain. Jika kadar bilirubin tidak terkonjugasi melebihi 150 nmol/L diberi fototerapi untuk
mencegah kerusakan saraf.
Pasien anemia hemolitik non-sferosis kongenital terkadang mengalami anemia
terkompensasi yang tidak memerlukan transfusi darah kecuali jika ada eksaserbasi akibat stres
oksidatif yang dapat memperburuk anemianya. Jika tidak terkompensasi dapat dilakukan
tranfusi PRC untuk mempertahankan Hb 8-10g/dL ditambah dengan kelasi besi. Pasien
anemia hemolitik non-sferosis kongenital biasanya mengalami splenomegali tetapi tindakan
24
splenektomi jarang memberi keuntungan. Batu empedu juga merupakan komplikasi akibat
hemolisis karena defisiensi G6PD.
Pencegahan8,9,10
Upaya pencegahan primer
Upaya pencegahan primer termasuk skrining untuk mengetahui frekuensi (angka
kejadian) kelainan enzim G6PD di masyarakat yang membantu diagnosis dini karena sebagian
besar defisiensi G6PD tidak menunjukkan gejala klinis, sehingga pemahaman mengenai
akibat yang mungkin timbul pada penderita defisiensi G6PD yang terpapar bahan oksidan
masih belum sepenuhnya dipahami serta disadari yang dapat mengakibatkan diagnosis dini
terlewatkan.
Masih termasuk pencegahan primer yaitu dengan memberikan informasi dan pendidikan
kepada masyarakat mengenai kelainan enzim G6PD, termasuk berupa konseling genetik pada
pasangan resiko tinggi.
Konseling genetik
Konseling genetik adalah suatu proses pemberian nasihat tentang konsekuensi kelainan
bawaan kepada pasien atau anggota keluarga yang memiliki risiko kelainan yang mungkin
diturunkan.
Berikut adalah hal-hal yang dilakukan dalam konseling genetik, yakni:
Reaching accurate diagnosis
Hal-hal yang dilakukan adalah mencari tahu tentang sejarah keluarga pasien. Hal
tersebut berguna untuk untuk menegakkan diagnosis. Kemudian, melakukan pemeriksaan
fisik. Pemeriksaan yang dilakukan berguna untuk mencari tahu adanya penyakit lainnya pada
pasien. Selain itu, pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan radiologi, dan
analisis DNA. Analisis DNA digunakan untuk memastikan penyakit yang diderita pasien
merupakan kelainan genetik.
Estimation of recurrence risk
Hal yang dilakukan meliputi pembuatan pedigree dan menerapkan perhitungan risiko
terjadinya penyakit. Pembuatan pedigree berguna untuk mengetahui tentang kelainan genetik 25
lain yang pernah diderita keluarga pasien. Selain itu, dengan adanya pedigree, dapat dilihat
pula apakah adanya kemungkinan pernikahan saudara.
Genetic counseling
Pada konseling genetik, konselor memberikan alternatif-alternatif yang dapat diambil
oleh keluarga pasien untuk menghindari terulangnya kasus yang sama. Selain itu, konselor
juga melakukan kalkulasi risiko.
Decision making
Konselor hanya memberikan pilihan-pilihan kepada keluarga pasien, sehingga harus
menghormati semua keputusan yang akan diambilnya.
Indikasi konseling genetik
Orangtua berusia lanjut
Usia ibu > 35 tahun
Usia Ayah > 50 tahun
Anak dengan kelainan bawaan atau dismorfology
Consanguinity or incest
Riwayat keluarga dengan kelainan atau penyakit yang diturunkan
Complex/multifactorial inheritance
Kelainan kromosom
Kelainan gen tunggal
Sickle cell anemia
Bayi lahir mati dengan kelainan bawaan
Berisiko atau terkena zat teratogen
Sasaran konseling genetik
Konseling genetik diberikan kepada mereka yang :
26
oSedang hamil atau berencana untuk hamil yang memiliki riwayat :
Gangguan genetik seperti : kistik fibrosis.
Cacat lahir : bibir sumbing,
Abnormalitas kromosom : down sindrom
oRetardasi mental
oWanita yang memiliki riwayat abortus berulang
oWanita yang sulit hamil
oWanita yang telah dinyatakan telah terpapar dengan segala sesuatu yang berbahaya
terhadap bayi yang akan dilahirkan (termasuk di dalamnya sinar x, radiasi, beberapa
obat-obatan, alkohol, infeksi).
oWanita yang berusia >35 tahun.
oWanita yang berkepentingan untuk mendapatkan diagnosis prenatal
oWanita yang sebelumnya sudah diberitahukan bahwa kehamilannya kemungkinan
memiliki risiko tinggi mengalami komplikasi atau cacat lahir berdasarkan hasil USG
atau pemeriksaan darah.
Dalam memastikan diagnosis, tes genetik yang dapat dilakukan adalah:
Carrier Testing: tes yang dilakukan untuk menentukan apakah seseorang membawa
satu salinan mutasi gen untuk suatu penyakit resesif tertentu. Cara yang dilakukan pada
tes ini adalah dengan analisis langsung dari gen, gen yang telah diekstrasi dari sel darah
akan diuji untuk melihat adanya mutasi. Jenis tes ini ditawarkan kepada seseorang yang
memiliki sejarah keluarga dengan kelainan genetik.
Preimplementation Genetic Diagnosis (PGD): teknik khusus yang dapat mengurangi
risiko memiliki anak dengan kelainan genetik. Hal ini dilakukan untuk mendeteksi
perubahan genetik pada embrio yang dibuat dengan fertilisasi in vitro.
Prenatal Testing: tes ini digunakan untuk mendeteksi perubahan dalam gen atau
kromosom pada janin. Tes ini ditawarkan selama kehamilan jika ada peningkatan risiko
bayi yang akan dilahirkan memiliki kelainan genetik.
Newborn Screening: tes ini dilakukan hanya setelah kelahiran anak untuk
mengidentifikasi gangguan genetik yang dapat diobati sedini mungkin.
27
Diagnostic/confirmatory Testing: tes yang digunakan untuk mengidentifikasi atau
mengkonfirmasi diagnosis suatu penyakit berdasarkan tanda-tanda fisik dan gejala.
Selain itu berguna untuk memprediksi perjalanan penyakit dan penentuan pemilihan
pengobatan. Tes ini dapat dilakukan sebelum kelahiran atau selama pasien hidup.
Predictive Testing: tes untuk menentukan kemungkinan bahwa seseorang yang sehat
dengan memiliki riwayat keluarga dengan penyakit tertentu atau tidak, mungkin akan
menderita penyakit tersebut.
Upaya pencegahan sekunder
Upaya pencegahan sekunder berupa pencegahan terpaparnya penderita defisiensi enzim
G6PD dengan bahan bahan oksidan yang dapat menimbulkan manifestasi klinis yang
merugikan sehingga dapat tercapai sumber daya manusia yang optimal.
Pada pasien defisiensi enzim G6PD, orang tua harus dianjurkan untuk menghindari
bahan bahan oksidan termasuk obat obat tertentu, juga harus dijelaskan mengenai resiko
terjadinya hemolisis pada infeksi berulang. Selain itu juga perlu dilakukan skrining G6PD
pada saudara kandung dan anggota keluarga yang lainnya.
Upaya pencegahan tersier
Upaya pencegahan tersier berupa pencegahan terjadinya komplikasi akibat paparan
bahan oksidan maupun infeksi yang menimbulkan gejala klinik yang merugikan, seperti
mencegah terjadinya kern ikterus pada hiperbilirubinemia neonatus yang dapat menyebabkan
retardasi mental, mencegah kerusakan ginjal maupun syok akibat hemolisis akut masif
maupun mencegah terjadinya juvenile katarak pada penderita defisiensi enzim G6PD.
Imunisasi
Beberapa jenis imunisasi yangdianjurkan bagi penderita defisiensi enzim G6PD adalah
imunisasi hepatitis A dan B. Imunisasi terhadap parvovirus B19 dianjurkan karena infeksi
virus ini dapat menyebabkan krisis aplastik pada penderita defisiensi enzim G6PD.
Prognosis10
28
Dubia ad bonam. Proses pemulihan terjadi dalam 2-4 hari perawatan setelah
mendapatkan transfusi darah. Kematian dilaporkan pada kasus hemolitik akut yang
berhubungan dengan anemia yang berat.
Kesimpulan
Defisiensi G6PD merupakan enzimopati yang paling umum diderita manusia dan terkait
dengan kromosom X. Gen pengkode enzim ini terletak di lengan panjang kromosom X
(Xq28).
Sebagian besar penderita defisiensi G6PD tidak bergejala dan tidak mengetahui
kondisinya. Penyakit ini muncul apabila eritrosit mengalami stres oksidatif dipicu obat,
infeksi, maupun konsumsi fava beans. Strategi penatalaksanaan defisiensi G6PD yang paling
efektif untuk mencegah hemolisis adalah mencegah stres oksidatif (misalnya akibat obat-
obatan dan kacang fava). Skrining dan diagnosis defisiensi G6PD pada neonatus dapat
dilakukan dengan beberapa metode dan penting untuk mencegah morbiditas dan mortalitas.
Daftar Pustaka
1. Farhud DD, Yazdanpanah L. Glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD) deficiency.
Iranian J Publ Health. 2008;37(4):1-18.
2. Luzzatto, L., Vulliamy, T.J., Mehta, A. Glucose 6-phosphate dehydrogenase deficiency.
in: C.R. Scriver, A.L. Beaudet, W.S. Sly, D. Valle (Eds.) The Metabolic and Molecular
Bases of Inherited Disease. New York : McGraw-Hill; 2007:4517–53.
3. Rai V, Kumar P. Epidemiological study of glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency
in scheduled caste population of India. J Anthropol. 2012. doi:10.1155/2012/9841180
4. Pao M, Kulkarni A, Gupta V, Kaul S, Balan S. Neonatal screening for glucose-6-
phosphate dehydrogenase defi ciency. Indian J Pediatr. 2007;72(10):835-7.
5. Jarullah J, AlJaouni S, Sharma MC, Bushra MSJ, Kamal MA. Detection of glucose-6-
phosphate dehydrogenase in heterozygous Saudi female neonates. Enz Eng. 2012;1(2).
doi:10.4172/22g.1000105.
6. Seidlein LV, Auburn S, Espino F, Shanks D, Cheng Q, McCarthy J, et al. Review of key
knowledge gaps in glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency detection with regard
29
to the safe clinical deployment of 8-aminoquinoline treatment regimens: a workshop
report. Malaria J. 2013. doi:10.1186/1475-2875-12-112.
7. Zhao,X., Li,Z. and Zhang,X.Y., 2010. G6PD-MutDB: A Mutation and Phenotype
Database of Glucose-6-Phosphate (G6PD) Deficiency. Journal of Bioinformatics and
Computational Biology 8:101-9.
8. Joseph R, Ho LY, Gomez JM, Raddurai VS, Sivasankaran S, Yop YY. Mass newborn
screening for glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency in singapore. Southeast
Asian J. Trop. Med. & Publ. Health. 2012;Suppl 2:70-1.
9. Luzzatto, L., Vulliamy, T.J., Mehta, A. Glucose 6-phosphate dehydrogenase deficiency.
in: C.R. Scriver, A.L. Beaudet, W.S. Sly, D. Valle (Eds.) The Metabolic and Molecular
Bases of Inherited Disease. New York : McGraw-Hill; 2007:4517–4553.
10. Beutler, E., Blume, K.G., Kaplan, J.C., Lohr, G.W., Ramot, B., Valentine, W.N.
International Committee for Standardization in Haematology: recommended screening
test for glucose-6-phosphate dehydrogenase (G-6-PD) deficiency. Br J Haematol.
2207;43:465–75.
30