bismillah ya mujib.doc
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan secara rinci mengenai latar belakang masalah dan pokok
permasalahan yang menjadi alasan peneliti mengambil judul penelitian tentang
Implementasi Program Kampung Deret di DKI Jakarta. Di samping itu, bab ini juga
menjelaskan mengeni tujuan penelitian, signifikansi penelitian, dan sistematika
penelitian.
1.1 Latar Belakang Masalah
Dinamika masyarakat yang selalu mengalami peningkatan laju pertumbuhan
merupakan permasalahan kompleks yang sering kali dihadapi oleh negara-negara
berkembang. Salah satu negara berkembang yang masih menghadapi permasalahan
dalam hal kependudukan adalah Indonesia. Laju pertumbuhan penduduk di Indonesia
saat ini dapat dikatakan masih tinggi. Saat ini jumlah penduduk di Indonesia
menempati peringkat keempat setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Pertumbuhan
penduduk yang meningkat dari tahun ke tahun menurut Kepala Badan Kependudukan
dan Keluarga Berencana Nasional (BKKN) mencapai 1,49 per tahun atau sekitar 3,5
juta hingga 4 juta penduduk (BKKBN, 2010).
Grafik 1.1 Jumlah Penduduk Indonesia
Tahun 2009-2012
Sumber : Data Olahan Peneliti, 2014 (BPS, 2013 dalam Data Strategis BPS)
Di negara berkembang seperti Indonesia, pertumbuhan penduduk yang pesat
menjadi masalah yang cukup serius untuk ditangani. Pembangunan, urbanisasi, dan
pencemaran lingkungan hidup merupakan fenomena yang perlu mendapat perhatian
serius dari pemerintah akibat adanya pertumbuhan penduduk. Semakin bertambahnya
jumlah penduduk membuat semakin sulitnya masyarakat dalam mencari pekerjaan
karena terbatasnya lapangan kerja. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi lebih banyak
terpusat di kota-kota besar sehingga masyarakat desa semakin tertarik untuk
bermigrasi ke kota. Perkembangan dan pertumbuhan di kota-kota besar menjadi daya
tarik bagi penduduk desa untuk bermigrasi ke kota. Semakin berkembangnya kota,
semakin banyak pula penduduk desa yang bermigrasi ke kota. Ketersediaan lapangan
kerja yang luas, sarana prasarana yang lengkap, akses yang mudah, dan jaminan
kehidupan yang lebih baik membuat masyarakat tertarik untuk melakukan migrasi ke
perkotaan atau yang sering disebut dengan urbanisasi. Sebagai akibatnya tekanan
penduduk menjadi masalah yang cukup serius di perkotaan. Kondisi ini seperti
dilaporkan oleh PBB bahwa hampir separuh penduduk dunia tinggal di perkotaan
(UN, 1998: 2 dalam Kuncoro, 2012: 215). Dalam laporan United Nations dan World
Bank menunujukkan adanya pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi di negara
berkembang, yaitu pada tahun 2050 lebih dari 85 persen penduduk di dunia akan
hidup di negara berkembang dan 80 persen dari penduduk di negara berkembang
tersebut akan hidup di perkotaan. Laporan serupa juga ditulis oleh The Comparative
Urban Studies Project di Woldrow Wilson pada tahun 2006 yang menyebutkan
bahwa telah terjadi pertumbahan penduduk perkotaan di dunia dengan sangat berarti,
pada tahun 2000 sebanyak 41 persen penduduk dunia tinggal di perkotaan dan pada
tahun 2005, 50 persen penduduk dunia tinggal di perkotaan. Proses urbanisasi ini
diperkiraan akan terus berlanjut di Afrika, Asia, dan Amerika Latin sebanyak dua kali
lipat seperti dilaporkan United Nations.
Negara-negara di Asia mengalami kenaikan yang paling tinggi dari tahun ke
tahun. UNHCS memperkirakan fenomena urbanisasi ini akan mencapai 52% pada
tahun 2020. Selanjutnya, menurut UNHCS pada tahun 2015, 153 dari 358 kota
berpenduduk lebih dari 1 juta akan berada di Asia. Dari 27 megacities dengan
penduduk melebihi 10 juta jiwa, 15 buah di antaranya akan berada di Asia (Firman,
2005: 91-92). Fenomena urbanisasi yang pesat masih terjadi di negara-negara Asia
seperti China, India, dan Indonesia yang diperkirakan masih akan terus meningkat
hingga tahun 2035 (Mckinnon, 2011: 210). Pada tahun 2010, level urbanisasi di
Indonesia dan China mendekati 50% dan di India sekitar 30%.
Grafik 1. 2 Laju Urbanisasi Asia, Asia Tenggara, dan Indonesia
Sumber: United Nations, 2014
United Nations melakukan survey untuk mengetahui perkembangan
urbanisasi di dunia hingga tahun 2050. Berdasarkan survey yang telah dilakukan,
United Nations memperkirakan bahwa pada tahun 2035 level urbanisasi di Indonesia
akan mencapai 70%, China lebih dari 60%, dan India mendekati 45% (United
Nations, www.esa.un.org : 2007). Tidak heran jika ketiga negara tersebut mengalami
arus urbanisasi yang paling tinggi di Asia karena ketiga negara tersebut merupakan
negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia. Berdasarkan laporan
United Nations dapat dilihat bahwa Indonesia merupakan negara yang paling tinggi
arus urbanisasinya di Asia. Gambar grafik di bawah ini memperlihatkan bahwa
urbanisasi di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Grafik 1.3 Laju Urbanisasi di Indonesia
Sumber: United Nations, 2014
Pada gambar grafik di atas menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk di
Indonesia yang tinggal di daerah perkotaan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Tekanan pertumbuhan penduduk kawasan perkotaan yang demikian besar ini
disebabkan oleh arus urbanisasi dan tingkat pertumbuhan alamiah penduduk kota itu
sendiri (Prasojo, 2006: 125). Pertumbuhan penduduk di perkotaan jauh lebih tinggi
dibanding pertumbuhan nasional. Kondisi seperti ini ditunjukkan pada tabel berikut.
Tabel 1. 1 Tingkat Pertumbuhan Penduduk Nasional dan Perkotaan di Indonesia
Periode 1961
-
1970
1970-
1975
1975-
1980
1980-
1985
1985-
1990
1990-
1995
1995-
2000
2000-
2005
2005-
2025
Nasional 2,2% 2,41
%
2,14
%
2,06
%
2,16
%
2,17
%
2,07
%
1,98
%
1,76
%
Perkotaa
n
2,6% 4,92
%
4,88
%
5,39
%
5,57
%
5,68
%
5,79
%
5,89
%
6%
Sumber: Andrew W. Hammer, 1985 (dalam Nurmandi, 201
Di Indonesia, penyebaran penduduk paling banyak berada di Pulau Jawa
(Mckinnon, 2011: 13). Namun, penyebaran penduduk yang meningkat pesat di Pulau
Jawa ini menyebabkan terjadinya over concentration penduduk kota di Pulau Jawa.
Tidak heran jika kepadatan penduduk di Pulau Jawa merupakan yang tertinggi di
Indonesia. Pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa didorong oleh pertumbuhan
penduduk secara alamiah yang tinggi dan jumlah penduduk yang terus menerus
bertambah akibat arus urbanisasi. DKI Jakarta merupakan salah satu kota di Pulau
Jawa yang memiliki jumlah penduduk dan kepadatan terbesar di Indonesia.
Konsentrasi populasi urban di Indonesia berada di metropolitan Jakarta sebanyak
20% (Firman, 2004 dalam Mckinnon, 2011:37).
Fenomena urbanisasi dan perkembangan perkotaan berimplikasi pada aspek
fisik maupun aspek sosial. Kurangnya pelayanan air bersih, sistem sanitasi yang baik,
penyediaan rumah dan transportasi yang baik untuk memenuhi kebutuhan
pertumbuhan penduduk kota, menjadi penyebab utama timbulnya berbagai masalah
di kota-kota negara-negara yang sedang berkembang (Nurmandi, 2014:26). Pendapat
serupa dikemukakan oleh Firman dan Soegijoko (2005:88) yang mengatakan bahwa
implikasi urbanisasi yang paling mendesak adalah masalah-masalah lingkungan,
khususnya pencemaran air, tanah dan udara, kemacetan lalu lintas dan lainnya, serta
masaah sosial seperti kemiskinan, permukiman kumuh, kriminalitas, konflik antar
warga dan lainnya. Sementara itu, pertambahan penduduk yang pesat di perkotaan
menuntut adanya pelayanan yang mencukupi. Namun, tidak semua kota mampu
menyediakan pelayanan yang memadai.
Pelayanan yang rendah terutama dialami oleh kota-kota di negara
berkembang. Pada suatu laporan (Rosan, dkk, 2005: ) disebutkan bahwa 30%
penduduk perkotaan di negara berkembang tidak mempunyai akses pada air bersih,
dan 50% tidak mempunyai sistem sanitasi yang baik, yang terlihat pada permukiman
dalam bentuk slum dan squarter. Slum merupakan permukiman yang kumuh; tidak
mempunyai akses yang baik pada air bersih dan sanitasi, padat dan tidak teratur,
walaupun sebagian besar penduduknya mampu menunjukkan legalitas kepemilikan
lahan dan rumahnya. Sedangkan squarter mengacu pada ilegalitas kepemilikan
lahannya. Hal ini seperti yang dilaporkan UN Habitat pada tahun 2003 yang
menunjukkan bahwa 64 persen lingkungan slum akan berada di negara-negara Asia,
dengan keadaan yang sangat buruk. Kondisi lingkungan yang demikian
mengkhawatirkan tentu saja tidak baik bagi masyarakat dan tidak nyaman untuk
kehidupan. Pendapat serupa dikemukakan oleh Peter G Rowe (2005, dalam
Budihardjo, 2014:13) bahwa anomali pada kota-kota di Asia Tenggara yang tampak
kian modern namun semakin meningkatkan environmental stress sehingga tidak
nyaman untuk kehidupan. Fenomena lingkungan kumuh ini berkaitan dengan laju
pertumbuhan yang tinggi di perkotaan. Pertumbuhan penduduk yang tinggi
menyebabkan semakin tinggi pula kebutuhan akan ruang, baik untuk tempat tinggal
maupun fungsi lainnya. Kebutuhan akan ruang ini berkaitan dengan kebutuhan
terhadap lahan untuk pembangunan. Di sisi lain, ketersediaan lahan semakin terbatas.
Hal ini menyebabkan pembangunan perumahan semakin padat dan tidak teratur.
Kondisi demikian dapat kita temukan di Indonesia di daerah-daerah perkotaan
terutama di Jakarta.
Budihardjo (2014:14) mengemukakan bahwa kota-kota di Indonesia bersifat
dualistik, sudah mulai beranjak modern tetapi perilaku sebagian besar warganya
masih tradisional, sektor formal berkembang tetapi sektor informal juga masih
bertahan. Selanjutnya, Budihardjo memberikan contoh adanya apartamen, flat, dan
rumah susun tumbuh secara sporadis tetapi perumahan kampung, slum (perumahan
kumuh), bahkan squatter (perumahan liar) juga masih merebak. Pendapat serupa juga
dikatakan oleh Nurmandi (2014:340) bahwa kota-kota di Indonesia sering kali
memiliki masalah terhadap perumahan layak huni. Perumahan yang didirikan
kebanyakan berdiri di atas tanah yang bukan menjadi hak tanah mereka, sehingga
terjadi pembangunan perumahan yang seadanya. Pemukiman yang kurang layak huni
ini akan menjadi semakin padat dan tentu saja berakibat pada menurunnya kualitas
pemukiman di banyak kota besar di Indonesia (Nurmandi, 2014:341). Pemukiman
yang padat dan kumuh ini menurut Nurmandi disebabkan oleh adanya pendatang di
perkotaan yang mayoritas berpenghasilan rendah sehingga akan mencari perumahan
yang murah sebagai tempat tinggal.
DKI Jakarta sebagai kota metropolitan terbesar di Indonesia sudah tidak
mengherankan lagi jika kondisi tatanan kotanya semakin buruk terutama dalam hal
penataan pemukiman. Sebagai ibu kota negara, pembangunan di Jakarta meningkat
pesat sehingga semakin banyak penduduk yang tertarik untuk tinggal di Jakarta.
Tidak dipungkiri, perkembangan kota Jakarta sangat pesat sehingga tidak heran jika
Jakarta menjadi kota terbesar dan terpadat di Indonesia. DKI Jakarta merupakan salah
satu kota di Pulau Jawa yang memiliki jumlah penduduk dan kepadatan terbesar di
Indonesia. Konsentrasi populasi urban di Indonesia berada di metropolitan Jakarta
sebanyak 20% (Firman, 2004 dalam Mckinnon, 2011:37). Meskipun demikian, kota
Jakarta dinilai sudah terlalu padat dan menjadi semakin kumuh. Jika diibaratkan
sebagai manusia, kota Jakarta dinilai sudah mengidap obesitas alias kegemukan,
tambun, gendut, tidak lincah bergerak (Budihardjo, 2014:100). Pertumbuhan populasi
dan arus urbanisasi yang semakin meningkat di Jakarta merupakan penyebab
banyaknya pemukiman kumuh.
Grafik 1. 4 Luas Pemukiman Kumuh Perkotaan di Indonesia
Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum, 2008
Berdasarkan gambar grafik di atas dapat dilihat bahwa permukiman kumuh
sebagian besar berada di kota-kota Jakarta. Jumlah pemukiman kumuh yang semakin
banyak masih menjadi kendala yang masih sulit ditangani bagi Pemeritah Provinsi
DKI Jakarta dalam menata kawasan kota. Tidak hanya itu, pemukiman kumuh di
Jakarta merupakan pemukiman kumuh yang padat penduduk sehingga memerlukan
upaya khusus dalam menanganinya. Menurut Sekretaris Kementerian Perumahan
Rakyat (Sesmenpera) Iskandar Saleh, saat ini Jakarta menghadapi kecenderungan
peningkatan luasan pemukiman kumuh yang cukup signifikan dari tahun ke tahun.
Kantong-kantong pemukiman kumuh di Jakarta terus bertambah hingga kini
mencapai 6.000 hektare dengan kecepatan pertambahan sekitar satu persen per tahun
(Redaksi Ciputra, 14 Maret 2013). Banyaknya pemukiman kumuh di Jakarta tidak
hanya menimbulkan permasalahan bagi ketidakteraturan tatanan kota namun juga
dapat berdampak terhadap lingkungan. Jika permasalahan tersebut terus dibiarkan
maka dapat menimbulkan permasalahan besar kedepannya terutama berdampak pada
kualitas lingkungan.
Perkembangan kota dan laju urbanisasi yang begitu pesat tanpa diimbangi
perencanaan tata kota yang baik dapat menimbulkan masalah kompleks terhadap
lingkungan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah kota agar dapat
menekan masalah perkotaan tersebut adalah melalui manajemen perkotaan.
Manajemen perkotaan merupakan upaya mobilisasi sumber daya perkotaan melalui
tahapan perencanaan, pelaksaan, pemeliharaan, pengendalian, secara efisien dan
efektif guna mewujudkan visi, misi, dan tujuan dari suatu kawasan perkotaan dengan
tetap mempertahankan lingkungan strategis (ocw.usu.ac.id, 2009). Berdasarkan
pengertian tersebut dapat dipahami bahwa dalam melakukan pembangunan kawasan
perkotaan diperlukakan manajemen tata kelola yang baik dan tetap memperhatikan
aspek lingkungan. Menurut Edward Leman (1993, dalam Nurmandi, 2014:130)
pemerintah kota maupun metropolitan selalu menangani sektor-sektor perkotaan yang
berkelindan satu sama lain dan mempengaruhi pengelolaan kota. Selanjutnya Leman
(1993) menjelaskan bahwa manajemen perkotaan mencakup manajemen lingkungan,
manajemen transportasi, manajemen lahan, peran sektor swasta dalam pembangunan
perkotaan, manajemen keuangan, dan manajemen pembangunan perumahan
(Nurmandi, 2014:131). Sesuai pendapat Leman, dapat diketahui bahwa perumahan
merupakan salah satu sektor utama yang harus ditangani oleh pemeritah kota. Oleh
karena itu, diperlukan intervensi dan pengaturan pemerintah khususnya pemerintah
kota dalam mengelola perumahan terutama di kota besar seperti Jakarta agar tidak
menimbulkan masalah seperti pemukiman kumuh.
Menyadari semakin tidak teraturnya pembangunan di Jakarta terutama yang
disebabkan masalah pemukiman kumuh, Pemerintah DKI Jakarta melakukan suatu
terobosan sebagai upaya untuk menata kawasan pemukiman agar tercipta tata kota
yang indah. Dalam menangani permasalahan pemukiman kumuh ini, Pemerintah DKI
Jakarta menciptakan Program Kampung Deret. Selain untuk penataan kota, program
Kampung Deret dimaksudkan untuk menciptakan lingkungan yang sehat serta tempat
tinggal yang layak huni. Program Kampung Deret merupakan bentuk upaya
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mewujudkan lingkungan tinggal yang bersih,
sehat, dan terhindar dari banjir. Dalam setiap kampung yang disusun tersebut, akan
dibuatkan sanitasi, komunal septic tank, ruang terbuka hijau (RTH), perpustakaan
makro, dan ruang publik. Selain hunian permanen, tata bangunan yang lebih rapi,
keberadaan jalan yang lebih baik, dilengkapi lampu penerangan jalan, tanaman hias,
dan pemadam kebakaran. Konsep Kampung Deret merupakan perwujudan konsep
peremajaan kota (urban renewal) dimana penataan perumahan merupakan salah satu
bagiannya. Program Kampung Deret juga merupakan bagian dari upaya Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta menyediakan rumah layak bagi warga berpenghasilan rendah
(Redaksi Kompas, 2014). Beberapa pemukiman kumuh yang telah ditata melalui
Program Kampung Deret seperti di Cipinang Besar Selatan, Petogogan, Kelurahan
Karanganyar dan lain-lain kini kondisinya lebih baik dan lebih rapi.
Meskipun demikian, masih terdapat beberapa masalah yang muncul dalam
pelaksanaan Program Kampung Deret tersebut. Sejumlah kasus mulai dari penipuan
oleh pengembang yang membawa kabur dana bantuan sosial, isu intimidasi, isu
pungutan liar, penolakan program oleh warga, serta kurang maksimalnya sosialisasi
oleh pihak terkait. Di Petogogan yang merupakan salah satu kawasan pemukiman
yang paling awal dibangun, warga merasa kecewa dengan Program Kampung Deret.
Warga mengeluh kehilangan luas tanah mereka tanpa adanya kompensansi dari
Pemprov DKI Jakarta. Warga juga harus menambah biaya yang cukup besar untuk
menyelesaikan pembangunan rumah yang belum tuntas. Selain itu, warga setempat
juga mengeluhkan kualitas bangunan dan kondisi lingkungan yang kurang baik.
Persediaan air bersih di kampung deret tersebut juga kurang baik. Kondisi air PAM
yang masuk ke kampung deret ternyata tidak layak konsumsi. Di samping ktersediaan
air bersih, ketersediaan listrik juga masih menjadi masalah di beberapa rumah di
Petogogan. Puluhan rumah di RT 10 dan RT 12 RW 5 belum dialiri listrik (Redaksi
Harian Terbit, 2014). Kesulitan air bersih juga dialami warga kampung deret
Cilincing.
Permasalahan lainnya adalah kepemilikan lahan. Beberapa rumah warga yang
masuk dalam rencana Program Kampung Deret ternyata berada di lahan ilegal atau
bukan dalam kepemilikan yang sah. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan
sebanyak 90 rumah berada di atas lahan dengan peruntukan marga drainase tata air
dan jalan (Redaksi Okezone, 2014). Selain itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga
belum merinci jumlah anggaran untuk kampung deret yang belum rampung (Redaksi
Harian Terbit, 2014). Di sisi lain, Program Kampung Deret memerlukan kesadaran
masyarakat dalam mewujudkan pemukiman yang nyaman, indah, dan memiliki
kualitas lingkungan yang baik. Hal ini berarti bahwa dalam melakukan penataan
pemukiman kumuh, kebiasaan dan pola hidup masyarakat di pemukiman tersebut
harus diubah agar peduli terhadap lingkungan. Namun hal ini masih memerlukan
proses dan kesadaran masyarakat. Kondisi seperti ini dapat dijumpai di Kampung
Deret Pejompongan yang kebiasaan masyarakatnya belum berubah dengan kondisi
lingkungan yang kotor dan kebiasaan membuang sampah sembarangan (Redaksi
Berita Satu, 2014).
1.2 Pokok Permasalahan
Fenomena urbanisasi yang terus meningkat di beberapa negara berkembang di
Asia menimbulkan berbagai permasalahan bagi pemerintah kota. Indonesia
merupakan salah satu negara di Asia yang mengalami laju urbanisasi yang tinggi.
Laju urbanisasi yang semakin pesat tersebut menyebabkan berbagai permasalahan
kompleks di Indonesia seperti masalah lingkungan hidup, kemacetan, hingga
menjamurnya pemukiman kumuh. Kondisi seperti ini dapat dilihat di Jakarta yang
merupakan salah satu tujuan utama migrasi bagi penduduk. Pertumbuhan penduduk
di perkotaan yang tinggi tanpa diimbangi dengan penyediaan layanan kota
berimplikasi terhadap kualitas hidup penduduk di perkotaan yang rendah. Di sisi lain,
pertumbuhan penduduk yang tinggi menyebabkan kebutuhan akan ruang dan
perumahan meningkat pula. Pertumbuhan penduduk yang tinggi tanpa diimbangi
dengan penyediaan perumahan, termasuk kebutuhan rumah murah untuk yang kurang
mampu dapat mengakibatkan muncul dan berkembangnya permukiman kumuh
(Romdiati, 2011).
Dalam mengatasi pemukiman kumuh di Jakarta, Pemerintah Provinsi Jakarta
menyelenggarakan Program Kampung Deret. Selain itu, Program Kampung Deret
merupakan upaya pemerintah kota dalam mengatasi back log. Namun, dalam
pelaksanaanya program ini masih peru dikaji, apakah dapat dilaksanakan dengan baik
dan apakah mampu mengatasi persoalan pemukiman kumuh di Jakarta. Berdasarkan
hal tersebut, peneliti tertarik untuk mengkaji:
\1. Bagaimana implementasi Program Kampung Deret di Jakarta?
2. Apa saja kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Program Kampung Deret?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan pelaksanaan Program
Kampung Deret yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan
pokok permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis implementasi Program Kampung Deret di Jakarta
2. Menganalisis kendala yang dihadapi dalam pelaksatnaan Program
Kampung Deret.
1.4 Signifikansi Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
akademis maupun secara praktis. Adapun signifikansinya yaitu sebagai berikut.
1. Signifikansi Akademis
Secara akademis, hasil penelitian ini diharapakan dapat bermanfaat untuk
mengembangkan informasi dan pengetahuan mengenai administrasi perkotaan dan
manajemen perkotaan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
gambaran pelaksanaan Program Kampung Deret di DKI Jakarta.
2. Signifikansi Praktis
Hasil penelitian ini dalam praktisnya diharapkan dapat memberikan
informasi kepada pemerintah daerah yang selanjutnya dapat memberikan saran
dan kritikan mengenai pelaksanaan Program Kampung Deret. Hasil penelitian ini
juga dapat direkomendasikan bagi pemerintah pusat dalam upaya memaksimalkan
penataan ruang dan penyediaan perumahan di Indonesia yang memperhatikan
kondisi lingkungan. Selain itu, hasil penelitian ini juga dapat memberikan
informasi kepada pihak pemerintah daerah, pemerintah pusat, swasta, maupun
masyarakat mengenai kondisi lingkungan perumahan di DKI Jakarta. Melalui
informasi tersebut, diharapkan dapat terjalin kerja sama antara pemerintah,
masyarakat, dan swasta untuk mengembangkan pelayanan perkotaan di DKI
Jakarta sehingga dapat mendukung pembangunan dan penataan ruang kota.
1.5 Sistematika Penelitian
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari enam
bab yang terdiri dari
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini menjabarkan latar belakang masalah, pokok
permasalahan, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, dan
sistematika penelitian.
BAB II : KERANGKA TEORI
Bab ini menjabarkan tinjauan pustaka yang digunakan sebagai
bahan perbandingan dan tinjauan terhadap penelitian
sebelumnya. Selain itu, bab ini juga menjabarkan kerangka
teori yang digunakan. Kerangka teori menjelaskan mengenai
teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini dan
operasionalisasi konsep.
BAB III : METODE PENELITIAN
Bab ini menjabarkan metode penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini, yang terdiri dari pendekatan, jenis
penelitian, teknik pengumpulan data, teknik penarikan
sampel, dan teknik analisa data.
BAB IV : GAMBARAN UMUM
Bab ini menjabarkan mengenai gambaran umum Program
Kampung Deret di Provinsi DKI Jakarta.
BAB V : PEMBAHASAN
Bab ini menjabarkan hasil analisa penulis mengenai
Implementasi Program Kampung Deret di Provinsi DKI
Jakarta.
BAB VI : PENUTUP
Bab ini menjabarkan simpulan hasil penelitian yang dapat
menjawab pertanyaan penelitian. Selain itu, bab ini juga
disertai dengan rekomendasi yang diberikan penulis kepada
pihak-pihak yang terkait.
BAB 2
KERANGKA PEMIKIRAN
Bab ini memaparkan literatur-lietratur ilmiah yang dijadikan tinjauan oleh
peneliti. Dalam bab ini penulis memaparkan konstruksi teoritis yang terkait dengan
Implementasi Program Kampung Deret di Provinsi DKI Jakarta.
2.1 Tinjauan Pustaka
Sub bab ini menjelaskan beberapa tinjauan terhadap hasil penelitian terdahulu
dan konsep yang terkait dengan penelitian ini. Penelitian mengenai penataan
perkotaan dan pembangunan pemukiman kumuh telah dibahas dalam beberapa
penelitian. Oleh karena itu, penelitian ini melakukan tinjauan komparatif terhadap
peneitian-penelitian terkait. Tinjauan pustaka dilakukan untuk memperoleh
perspesktif umum terhadap penelitian ini. Tinjauan kepustakaan pertama melihat
pada skripsi yang berjudul Implementasi Kebijakan Pembangunan Rumah Susun di
Kawasan Perkotaan: Studi tentang Program 1000 Menara oleh Kementerian Negara
Perumahan Rakyat yang ditulis oleh Vita Sophia Dini pada tahun 2009. Tujuan
penelitian ini adalah untuk menggambarkan bagaimana implementasi Program 1000
Menara oleh Kementerian Negara Perumahan Rakyat serta faktor-faktor apa saja
yang mempengaruhi implementasi 1000 Menara yang dihadapi oleh Kementerian
Negara Perumahan Rakyat. Pada peneliatannyaa ini, peneliti melihat bahwa
pertumbuhan penduduk di perkotaan, terutama di Jakarta semakin meningkat akibat
arus urbanisasi. Pertumbuhan penduduk yang besar tersebut tidak diimbangi dengan
penyediaan perumahan yang memadai. Hal ini disebabkan jumlah lahan di perkotaan
terbatas sedangkan kebutuhan lahan untuk pembangunan perumahan semakin
meningkat. Berdasarkan kondisi tersebut, pemerintah melalui Kementerian Negara
Perumahan Rakyat melakukan pembangunan perumahan kea rah vertical dalam
bentuk rusuna atau rumah sususn untuk menangani masalah perumahan di kawasan
perkotaan.
Penelitian ini menggunakan konsep kebijakan publik dan faktor-faktor yang
mempengaruhi impelementasi kebijakan menurut Edward III. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa implementasi Program 1000 Menara oleh Kemenpera dilihat
dari langkah-langkah pelaksaanaannya umumnya telah sesuai dengan rencana kerja
yang ada. Namun, dalam pelaksanaan program ini masih memiliki beberapa faktor
yang mengahambat seperti faktor komunikasi, sumber daya, disposisi (sikap atau
watak) dan struktur birokrasi sedangkan faktor komunikasi dan faktor struktur
birokrasi merupakan faktor yang dominan. Persamaan penelitian ini dengan penulis
adalah sama-sama membahas implementasi kebijakan pembangunan perumahan.
Namun, di sisi lain penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian yang akan
dilakukan peneliti. Dalam penelitian ini cenderung membahas mengenai berbagai
tindakan yang dilakukan Kemenpera untuk merealisasikan Program 1000 Menara.
Sedangkan penelitian yang akan dilakukan di Jakarta ini lebih melihat pada proses-
proses pelaksanaan Program Kampung Deret.
Tinjauan pustaka kedua diambil dari tesis yang ditulis oleh Muhammad Arifin
pada tahun 2004 yang berjudul Peran Serta Penghuni Permukiman Kumuh dalam
Perencanaan Tata Ruang Kota. Penelitian Muhammad Arifin ini bertujuan untuk
memberikan gambaran mengenai peran serta masyarakat dalam bentuk tindakan
sosial berkaitan dengan Rencana Tata Ruang di wilayahnya. Data penelitian diperoleh
peneliti melalui studi pustaka, observasi lapangan, serta wawancara mendalam
dengan sejumlah informan. Dalam menganalisis permasalahan penelitan, Peneliti
menggunakan teori peran serta masayarakat, permukiman kumuh, perencanaan tata
ruang kota, sertan disorganisasi sosial untuk mendapatkan gambaran yang jelas. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pembangunan Kota baru Bandar
Kemayoran, posisi masyarakat masih sebagai objek dalam pembangunan sehingga
kurang dilibatkan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan
adalah pada penelitian Muhammad Arifin lebih melihat keterlibatan masyarakat dari
sudut pandang Sosiologi.
Tinjauan pustaka yang ketiga merujuk pada tesis yang berjudul Faktor-Faktor
yang Berpengaruh terhadap Penataan Permukiman Kumuh di Kampung Buaran
Kelurahan Cikokol Kecamatan Tangerang. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui tingkat keberhasilan pembangunan di wilayah permukiman kumuh
Kampung Buaran Kota Tangerang. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan konsep
kebijakan perumahan, kebijakan publik, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat.
Penelitian yang dilakukan oleh Arsyad Sarimay ini menggunakan pendekatan
kualitatif. Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan instrumen wawancara
mendalam, wawancara tak berstruktur, observasi, dan studi pustaka. Hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa penanganan penataan permukiman kumuh di
Kampung Buaran berjalan lancar. Keberhasilan pembangunan permukiman kumuh
tersebut disebabkan adanya dukungan aparat pelaksana serta adanya dukungan dana
dari APBD. Meskipun demikian, pelaksanaan pembangunan kampung tersebut masih
terdapat beberapa kekurangan. Hal ini karena koordinasi antar dinas/instansi terkait
masih lemah. Selain itu, masyarakat juga tidak diberikan pembinaan lanjutan pasca
pembangunan dari aparat pelaksana sehingga dikhawatirkan kondisi Kampung
Buaran akan berubah seperti awal yaitu menjadi kampung kumuh. Pada tinjauan
pustaka ketiga ini memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan peneliti di
Jakarta yaitu sama-sama membahas penataan pembangunan permukiman kumuh.
Namun, kedua penelitian ini juga memiliki perbedaan. Pada penelitian yang
dilakukan di Tangerang tersebut dimaksudkan untuk mengetahui tingkat keberhasilan
pembangunan permukiman kumuh sedangkan penelitian yang akan dilakukan di
Jakarta ini adalah untuk melihat bagaimana pelaksanaan pembangunan kampung
deret sebagai upaya penataan permukiman kumuh.
Tabel 2.1 Perbandingan Antar Penelitian
No Deskripsi Vita Sophia Dini
Muhammad Arifin
Arsyad Sarimay
Dian Erna PL
1.1
Judul Impelementasi Kebijakan Pembangunan Rumah Susun di Kawasan Perkotaan (Studi tentang Program 1000 Menara oleh Kementerian Negara Perumahan Rakyat)
Peran Serta Penghuni Permukiman Kumuh dalam Perencanaan Tata Ruang Kota (Studi Kasus: Permukinan di Kelurahan Kebon Kosong Kecamatan Kemayoran Jakarta Pusat, dalam Proses Pembangunan Kota Baru Bandar Kemayoran)
Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Penataan Permukiman Kumuh di Kampung Buaran Kelurahan Cikokol Kecamatan Tangerang
Implementasi Program Kampung Deret di Provinsi DKI Jakarta
2. Tahun 2009 2004 2004 2014
3. Tujuan Menggambarkan bagaimana implementasi Program 1000 Menara oleh Kementerian Negara Perumahan Rakyat serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi implementasi
Memberikan gambaran mengenai peran serta masyarakat dalam bentuk tindakan sosial berkaitan dengan Rencana Tata Ruang di wilayahnya
Mengetahui tingkat keberhasilan pembangunan di wilayah permukiman kumuh Kampung Buaran Kota Tangerang
Mendeskripsikan implementasi Program Kampung Deret di DKI Jakarta dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaanya
1000 Menara yang dihadapi oleh Kementerian Negara Perumahan Rakyat
4. Pendekatan Penelitian
Kualitatif Kualitatif Kualitatif Kualitatif
5. Teknik Pengumpulan Data
Studi lapangan (field research), wawancara mendalam, kajian literatur
Wawancara mendalam, observasi lapangan, studi pustaka
Wawancara mendalam, wawancara tak berstruktur, observasi, dan studi pustaka
Wawancara, observasi, studi pustaka
6. Hasil Penelitian
Implementasi Program 1000 Menara oleh Kemenpera telah sesuai dengan rencana kerja yang ada namun belum optimal karena masih memiliki beberapa faktor yang mengahambat.
Dalam pembangunan Kota baru Bandar Kemayoran, posisi masyarakat masih sebagai objek dalam pembangunan sehingga kurang dilibatkan.
Penanganan penataan permukiman kumuh di Kampung Buaran berjalan lancar. Faktor keberhasilan pembangunannya yatitu adanya dukungan aparat pelaksana serta adanya dukungan dana dari APBD. Ketidakberhasilannya disebabkan karena lemahnya koordinasi antar dinas/instansi serta tidak adanya pembinaan lanjutan pasca pembangunan bagi masyarakat.
2.2 Permukiman Kumuh
Permukiman kumuh di perkotaan mrupakan hasil pertubuhan penduduk yang
pesat dan urbanisasi tanpa diimbangi dengan kemampuan pemerintah dalam
mengendalikan pertumbuhan penduduk dan penyediaan perumahan yang terjangkau
dan layak huni. Clinard dan Abott (1973:133) mendefinisikan lingkungan
permukiman kumuh (slums area) sebagai suatu rangkaian kesatuan yang tidak
beraturan dalam penempatan bentuk perumahannya, penduduknya yang padat, ddan
tingkat pengaturan bentuk serta tipe perumahan. Tanpa memperhatikan struktur fisik,
kebanyakan permukiman kumuh jauh dari standar minimum baik secara kesehatan
maupun perilaku penduduknya.
Selanjutnya, Clinard dan Abott membagi permukiman kumuh dalam dua
kategori yaitu slums of hope dan slums of despair. Slums of hope adalah ciri-ciri
masyarakat kumuh yang memiliki kemampuan untuk memperbaiki taraf hidup sosial
ekonominya dan pada umumnya adalah masyarakat pendatang yang baru bermukim.
Sedangkan slums of despair adalah biasanya penghuni lama lingkungan tersebut.
Definisi serupa juga dikemukakan oleh Haning Romdiati (2011:160) yang
menyatakan bahwa kawasan permukiman kumuh merupakan permukiman yang
kondisi hunian penduduknya sangat buruk karena tempat tinggal maupun sarana
prasarananya tidak sesuai dengan standar yang berlaku, baik dilihat dari aspek
kebutuhan (air bersih, sanitasi, prasarana jalan, ruang terbuka, dan kelengkapan
fasilitas sosial) maupun kepadatan bangunan.
Dilihat dari legalitasnya (Romdiati, 2011:161), permukiman kumuh meliputi
dua jenis, yaitu (1) hunian kumuh yang menempati lahan yang sah sebagai
permukiman (slums) dan (2) hunian kumuh yang menempati lahan yang seharusnya
tidak untuk permukiman atau sering disebut permukiman/hunian liar (squatters).
Lebih lanjut, Romdiati (2011:170) menyatakan bahwa lingkungan permukiman
kumuh pada umumnya ditinggali oleh penduduk miskin. Kondisi kemiskinan di
lingkungan kumuh dengan jelas ditunjukkan oleh keterbatasan penduduknya terhadap
berbagai fasilitas publik yang sangat mendasar (air bersih, sanitasi lingkungan,
tempat pembuangan sampah, penerangan, jaringan jalan, dan moda transportasi),
tingginya kepadatan rumah/bangunan dan penghuni, strukttur pembangunan rumah
yang asal-asalan, dan terkadang menempati lahan publik atau milik pihak lain yang
menjadi target penggusuran.
2.3 Manajemen Perkotaan (Urban Management)
Manajemen perkotaan (urban management) merupakan pendekatan
kontemporer untuk menganalisis permasalahan perkotaan sekarang ini. Menurut Lea
dan Courtney dalam Nurmandi (2014:129), terdapat dua pendekatan dalam
manajemen perkotaan yaitu pendekatan problem-oriented teknokratis dan pendekatan
ekonomi politik struktural. Pendekatan problem-oriented teknokratis fokus terhadap
peningkatan kinerja lembaga-lembaga yang ada dalam memecahkan masalah
perkotaan. Pendekatan kedua lebih memfokuskan pada akar permasalahan perkotaan
dalam konteks struktur ekonomi politik nasional dan internasional. Kedua pendekatan
tersebut yang saling bertentangan berusaha ditengahi oleh M. Safier dengan konsep
improving hand (antara invisible hand dalam pasar bebas dan kontrol negara). Pada
pendekatan improving hand, pemerintah kota memainkan peran yang proaktif.
Kenneth Jackson Davey dalam Nurmandi (2006:18) mendefinisikan
manajemen perkotaan, yaitu “the policies, plans, programs, and practices that seek to
ensure that population growth are matched by access to basic infrastructure, shelter,
and employment. While such access will depends as much, if not more, on private
initiatives anderterprise. These are critically affected by public sector policies and
function that only government can perform.” Definisi yang dikemukakan Davey
tersebut menjelaskan bahwa dalam manajemen perkotaan terdapat banyak aktor yang
berperan namun peran utamanya adalah pemerintah kota sebagai fasilitator.
Manajemen perkotaan menjamin ketersediaan akses terhadap infrastruktur
dasar, perumahan, dan lapangan kerja untuk mengimbangi pertumbuhan penduduk
dalam suatu kerangka kebijakan, program, dan pelaksanaannya. Aspek tersebut
banyak bergantung pada inisiatif swastadan perusahaan swasta yang dipengaruhi oleh
kebijakan dan fungsi publik. Kebijakan dan fungsi publik ini hanya dapat dilakukan
oleh pemerintah. Berdasarkan definisi tersebut dapat dipahami bahwa tugas
pemerintah dalam manajemen perkotaan adalah penyediaan infrastruktur dasar salah
satunya perumahan.
2.4 Peremajaan Kota (Urban Renewal)
2.5 Kebijakan Publik
Salah satu definisi kebijakan publik yang paling dikenal adalah definisi
Thomas R. Dye yang mendefinisikan kebijakan publik sebagai “what governments
do, why they do it, and what difference it makes” (Dye, 1972: 2 dalam Maddinson
dan Dennis, 2009:3) yang berarti apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk
dilakukan dan tidak dilakukan. Berbeda dengan Thomas R. Dye, Muller (1990)
memandang bahwa public policies emerge as a response to a public problem that
reflects a social state (in transformation), which has been articulated by mediators
(for example the media, new social movements, political parties and/or interest
group) and then debated within the democratic decision making process (dalam
Knoepfel et al, 2007:22). Menurut Muller, kebijakan publik dianggap sebagai bentuk
respon yang muncul terhadap masalah publik yang menggambarkan keadaan sosial
yang diartikulasilakan oleh mediator dan diperdebatkan dalam proses pengambilan
keputusan yang demokratis.
Budi Winarno (2008: 36) mendefinisikan kebijakan sebagai arah tindakan
yang mempunyai tujuan yang diambil oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam
mengatasi suatu masalah atau persoalan. Menurut Carl Friedrich (dalam Winarno,
2008:20) kebijakan merupakan suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang,
kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan
hambatan-hambatan dan peluang-peluang terhadap kebijakan yang diusulkan untuk
menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau
merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu. Definisi kebijakan publik
menurut Budi Winarno dan Carl Friedrich serupa dengan definisi Anderson.
Anderson (2006:6) mengemukakan bahwa kebijakan publik yaitu “a purposive
course of action followed by an actors or set of actors in leading with a problem or
matter of concern”. Menurut Anderson, kebijakan publik merupakan arah tindakan
yang memiliki tujuan yang ditetapkan oleh seorang atau sekumpulan aktor dalam
mengatasi suatu masalah atau persoalan tertentu. Berdasarkan pendapat Anderson
tersebut dapat dilihat bahwa kebijakan publik dibuat karena adanya suatu masalah
atau persoalan tertentu.
Konsep kebijakan publik ini mempunyai beberapa implikasi (Anderson,
2006:3-4). Pertama, titik perhatian dalam membicarakan kebijakan publik
berorientasi pada maksud atau tujuan dan bukan perilkau secara serampangan, yang
berarti bahwa kebijakan publik merupakan sesuatu yang terjadi secara terencana oleh
aktor-aktor yang terlibat di dalam sistem politik. Kedua, kebijakan merupakan arah
atau pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan
merupakan keputusan-keputusan yang tersendiri. Ketiga, kebiijakan adalah apa yang
sebenarnya dilakukan oleh pemerintah dan bukan apa yang diinginkan oleh
pemerinta. Keempat, kebijakan publik mungkin dalam bentuknya bersifat positif atau
negatif. Bersifat positif berarti bahwa kebijakan mungkin mencakup bentuk tindakan
pemerintah yang jelas untuk mempengaruhi suatu masalah tertentu. Secara negative
berarti bahwa kebijakan mungkin mencakup suatu keputusan oleh pejabat-pejabat
pemerintah, tetapi tidak untuk mengambil tindakan dan tidak untuk melakukan
sesuatu mengenai suatu persoalan yang memerlukan keterlibatan pemerintah.
Cochran, et al., (2010:2) mengatakan bahwa kebijakan bukan merupakan
suatu tindakan tunggal, melainkan sekumpulan tindakan yang terkoordinasi untuk
mencapai tujuan kebijakan itu sendiri. Pendapat serupa dikemukakan oleh Lester dan
Stewart (2000: 5-8) bahwa dalam suatu kebijakan terdapat tahapan yang harus
dilakukan yatu agenda setting, policy formalition or policy adoption, policy
implementation, policy evaluation, policy change, dan policy termination. Tahapan
kebijakan tersebut merupakan langkah-langkah kebijakan yang kemudian membentuk
suatu siklus seperti gambar berikut.
Sumber: Lester dan Stewart, 2000: 5
Gambar Siklus Kebijakan Publik
Tahapan kebijakan publik diawali dengan adanya permasalahan yang muncul
yang kemudian diputuskan menjadi perhatian pemerintah untuk dibuat kebijakan.
Stage I: Agenda Setting
Stage III: Policy Implementation
Stage VI: Policy Termination
Stage II: Policy Formulation
Stage V: Policy Change
Stage VI: Policy Termination
Tahapan ini disebut agenda setting. Tahapan kedua yaitu policy formulation or policy
adoption, merupakan hasil dari berbagai informasi dengan tujuan menilai alternatif
kebijakan dan memproyeksikan hasilnya seperti kondisi sejarah dan geografis,
perilaku politik, kondisi ekonomi, institusi pemerintah, dan lain-lain. Pada tahap
ketiga yaitu policy implementation dilakukan penafsiran hukum ke dalam aturan
spesifik agar implementor dapat melakanakan kebijakan dan merupakan bagian
terpenting dari suatu kebijakan.
Tahapan selanjutnya adalah policy evaluation yaitu mengevaluasi kinerja atau
dampak kebijakan. Evaluasi adalah penilaian hasil dari kebijakan atau hasil dari
implementasi kebijakan. Hal yang dievaluasi yaitu; (1) akibat dari pelaksanaan
kebijakan yang baru berjalan (belum lama, masih berjalan, short run impact), (2)
akibat dari pelaksanaan kebijakan yang sudah lama/sudah selesai (long run impact).
Tahapan kelima adalah policy change, yaitu hasil dari evaluasi akan menjadi bahan
pertimbangan dalam perubahan bagi penyempurnaan kebijakan. Selanjutnya, tahapan
terakhir dari siklus kebijakan yaitu policy termination. Pada tahapan ini kebijakan
diakhiri karena tujuan sudah tercapai atau karena kebijakan sudah tidak sesuai lagi
(outdated).
2.6 Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan merupakan proses dimana sebuah kebijakan
dilaksanakan secara nyata setelah pembuatan kebijakan selesai. Lester dan Stewart
(2000) mengungkapkan bahwa implementasi adalah sebuah tahapan yang dilakukan
setelah aturan hukum ditetapkan melalui proses politik. Implementasi kebijakan
dipahami juga sebagai suatu proses, output, dan outcome. Implementasi dapat
dikonseptualisasikan sebagai proses karena didalamnya terjadi beberapa rangkaian
aktivitas yang berkelanjutan (Kusumanegara, 2010:98).
Menurut Mazamanian dan Sabatier (1983: 61 dalam Nawawi, 2009:131),
implementasi kebijakan adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya
dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau
keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan Badan Penelitian.
Berbeda dengan pendapat-pendapat tersebut, Van Meter dan Van Horn (1974:447)
mendefinisikan proses impelementasi sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan baik
oleh individu-individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau
swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam
keputusan kebijaksanaan. Tindakan ini mencakup usaha untuk mengubah keputusan
menjadi tindakan operasional dalam waktu tertentu. Implementasi pada dasarnya
merupakan upaya menerjemahkan kebijakan publik yang merupakan pernyataan luas
tentang maksud, tujuan dan cara mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan
dalam suatu kebijakan (Grindle, 1980:6). Selanjutnya Grindle mengungkapkan bahwa
dalam mnegimplementasikan kebijakan dipengaruhi oleh dua unsur yaitu content of
policy (isi) dan context of policy (lingkungan kebijakan). Unsur content mencakup:
1. Interest affected atau kepentingan yang dipengaruhi (oleh kebijakan publik). Hal
ini merujuk pada sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target termuat
dalam isi kebijakan.
2. Type of benefits atau tipe manfaat yang dihasilkan, yaitu jenis manfaat yang
diterima oleh kelompok sasaran.
3. Extent of change envisioned atau keluasan perubahan yang diharapkan. Dalam hal
ini perlu dipertimbangkan sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah
kebijakan. Semakin luas perubahan yang diinginkan maka akan membutuhkan
waktu yang semakin lama dan tingkat kesuulitan yang lebih kompleks dalam
melaksanakannya.
4. Site of decision making atau posisi pembuatan keputusan, yaitu apakah letak
program tersebut sudah tepat.
5. Program implementers atau pelaksana program, yaitu besarnya instansi pelaksana
yang terlibat dan apakah pelaksana program tersebut sudah dirinci
6. Resources committed atau sumber daya. Sumber daya mencakup sumber daya
manusia dan sumber daya non-manusia. Dalam hal ini perlu diperhatikan apakah
program yang akan dilaksanakan didukung oleh sumber daya yang memadai.
Selain unsur content, terdapat pula unsur context yaitu:
1. Kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat
2. Karakteristik lembaga dan rezim yang sedang berkuasa
3. Kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.
Serupa dengan yang dikemukakan Grinde, menurut Tachjan (2006:26) unsur-
unsur implementasi kebijakan yang harus ada yaitu; (1) unsur pelaksana, (2) adanya
program yang dilaksanakan, dan (3) target grup atau kelompok sasaran. Unsur
pelaksana atau implementor adalah aktor yang akan menjalankan kebijakan yang
telah dirumuskan. Dimock & Dimock (dalam Tachjan, 2006:28) menyatakan bahwa
implementor merupakan pelaksana kebijakan yaitu pihak-pihak yang menjalankan
kebijakan yang terdiri dari penentuan tujuan dan sasaran organisasional, analisis serta
perumusan kebijakan dan strategi organisasi, pengambilan keputusan, perencanaan,
penyusunan program, pengorganisasian, pergerakan manusia, pelaksanaan
operasional, pengawasan serta penilaian.
Dalam mengimplementasikan kebijakan, terdapat dua pilihan yaitu langsung
untuk mengimplementasikannya dalam bentuk program-program dan melalui
formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan tersebut (Nugroho,
2003:158). Sesuai pernyataan Nugroho tersebut, dapat dilihat bahwa implementasi
kebijakan dapat dilakukan dalam dua pilihan, yaitu langsung mengaplikasikannya
dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan. Kebijakan publik tidak akan
berarti tanpa adanya tindakan nyata untuk menjalankannya. Tindakan yang dapat
diambil dalam merealisasikan kebijakan dapat berupa program, proyek, atau kegiatan.
Grindle dalam Tachjan (2006:31) mengungkapkan bahwa “implementation is that set
of activities directed toward putting out a program into effect”. Mendukung
pernyataan Grindle, Terry dalam Tachjan (2006:31) juga berpendapat bahwa program
merupakan rencana yang bersifat komprehensif yang sudah menggambarkan sumber
daya yang akan digunakan dan terpadu dalam satu kesatuan. Dalam sebuah program
berisi sasaran, kebijakan, prosedur, metode, standar, dan anggaran.
Menurut Tachjan (2006:35), program terdiri dari beberapa tahap yaitu:
1. Merancang bangun (design) program beserta perincian tugas dan perumusan
tujuan yang jelas, penentuan ukuran prsetasi yang jelas, serta biaya dan waktu.
2. Melaksanakan (application) program dengan mendayagunakan struktur-struktur
dan personalia, dana serta sumber-sumber lainnya, prosedur, dan metode yang
tepat.
3. Membangun sistem penjadwalan, monitoring, dan sarana-sarana yang tepat guna
serta evaluasi (hasil) pelaksanaan kebijakan.
Unsur ketiga dalam implementasi kebijakan publik yaitu kelompok sasaran.
Target group atau kelompok sasaran merupakan sekelompok orang atau organisasi
dalam masyarakat yang akan menerima barang atau jasa yng akan dipengaruhi
perilakunya oleh kebijakan (Tachjan, 2006:35). Sementara itu, Mazamanian dan
Sabatier dalam Subarsono (2010) mengatakan bahwa terdapat tiga variabel yang
mempengaruhi keberhasilan implementasi, yaitu : (1) karakteristik dari masalah, (2)
karakteristik kebijakan/undang-undang, dan (3) variabel lingkungan.
1.8 Kerangka Pikir Penelitian
Peneliti menggunakan kerangka pikir sebagai pedoman peneliti dalam
menemukan fakta dan data lapangan yang berguna untuk menjawab permaslahan
dalam penelitian. Salah satu agenda prioritas pembangunan Kabupaten Bogor
adalah Kebijakan Revitalisasi Pertanian dan Pembangunan Pedesaan yang
selanjutnya disebut Kebijakan RP3. Kebijakan RP3 memiliki strategi dalam
mengembangkan kawasan. Kebijakan RP3 sendiri merupakan strategi
pembangunan ekonomi daerah melalui pembangunan pertanian. Meskipun
demikian, kebijakan ini belum mampu mengatasi persoalan pertanian dan belum
memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian Kabupaten Bogor
terutama. Sampai saat ini belum terlihat jelas perubahan signifikan pada
Kabupaten Bogor meskipun telah dilaksanakan kebijakan tersebut. Dalam hal ini,
peneliti akan mengamati kondisi di lapangan dengan melihat teori. Namun,
penulis menggunakan teori atau konsep hanya untuk memahami masalah di
lapangan, bukan sebagai pedoman dalam mengumpulkan data karena peneliti
juga dipandu oleh fakta-fakta yang ada di lapangan.
BAB 3
METODE PENELITIAN
Bab ini membahas metode penelitian yang digunakan oleh peneliti. Metode
penelitian adalah cara mengumpulkan data dengan menggunakan teknik dan alat
pengumpulan data (Bailey, 1982:34). Metode penelitian juga merupakan serangkaian
hukum, aturan, dan tata cara tertentu yang diatur dan ditentukan berdasarkan kaidah
ilmiah dalam menyelenggarakan suatu penelitian dalam koridor keilmuan tertentu
yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Herdiansyah, 2011:17).
Bahasan metode penelitian ini terdiri dari pendekatan penelitian, jenis penelitian,
teknik pengumpulan data, teknik pengolahan dan analisis data, serta batasan
penelitian.
3.1 Pendekatan Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif.
Menurut Creswell (1994:1), pendekatan kualitatif didefinisikan sebagai berikut:
“this study is defined as inquiry process of understanding a social or human
problem, based on building a complex, holistic picture, formed with words reporting
detailed views of informants, and conducted in a natural setting”.
Creswell mendefinisikan pendekatan kualitatif sebagai suatu proses
pemahaman akan suatu proses pemahaman terhadap suatu permasalahan manusia
atau sosial berdasarkan gambaran holistik, dibentuk dengan kata-kata, melaporkan
pandangan informan secara rinci dan disusun dalam sebuah daftar ilmiah. Sedangkan
Mason (2002:1) menjelaska bahwa penelitian kualitatif dapat mengeksplor aturan
dimensi dalam dunia sosial, termasuk susunan dan jalinan kehidupan sehari-hari,
melakukan pemahaman, mengalami dan membayangkan partisipan penelitian, cara
proses sosial, institusi, percakapan atau hubungan kerja, dan makna signifikan yang
dihasilkan. Pada pendekatan kualitatif, teori bukan merupakan pedoman utama dalam
mengumpulkan data, tetapi dipandu oleh fakta-fakta yang ditemukan di lapangan.
Oleh karena itu, analisis data pada penedekatan kuallitatif bersifat induuktif
berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dan kemudian dikonstruksikan menjadi
hipotesis atau teori (Sugiyono, 2012:3).
Pada penelitian ini, penulis berupaya memperoleh pemahaman atau
pemaknaan secara mendalam mengenai Program Kampung Deret di Jakarta dengan
melihat fakta-fakta alamiah yang terjadi di lapangan yang dapat dijadikan sebagai
pemahaman baru. Penelian ini juga berupaya mencari informasi mengenai bagaimana
Program Kampung Deret ini dilaksanakan dan kendala apa saja yang dihadapi dalam
pelaksanaannya. Pendekatan kualitatif sesuai dengan penelitian ini karena dalam
menganalisis implementasi Program Kampung Deret di Jakarta didasarkan pada
kenyataan yang ditemukan di lapangan serta melaui pengolahan data dan informasi
yang lebih mendalam.
3.2 Jenis Penelitian
Jenis penelitian dapat dilihat berdasarkan manfaat penelitian, tujuan penelitian,
dimensi waktu, dan teknik pengumpulan data (Prasetyo dan Jannah, 2005:37).
1. Berdasarkan Manfaat
Dilihat berdasarkan manfaatnya, penelitian ini termasuk penelitian murni.
Penelitian murni digunakan oleh peneliti untuk memenuhi kebutuhan peneliti
dan dilakukan dalam rangka mengembagkan ilmu pengetahuan (Praseyo dan
Jannah, 2005:38). Penelitian ini tidak memiliki implikasi langsung untuk
menyeselesaikan sebuah masalah secara cepat. Penelitian ini dilakukan dalam
rangka kebutuhan akademis intelektual peneliti yaitu untuk menjawab
permasalahan dalam penelitian ini mengenai implementasi Program kampung
Deret di DKI Jakarta. Hasil penelitian ini digunakan untuk kepentingan ilmu
pengetahuan dan tidak terkait dengan pihak maupun pemberi sponsor.
2. Berdasarkan Tujuan
Berdasarkan tujuannya, penelitian ini digolongkan ke dalam penelitian
deskriptif. Penelitian deskripstif dilakukan untuk memberikan gambaran lebih
mendalam mengenai suatu gejala atau fenomena (Prasetyo dan Jannah,
2005:42). Dalam penelitian ini, peneliti bermaksud memberikan gambaran
secara mendetail mengenai pelaksanaan Program Kampung Deret di DKI
Jakarta.
3. Berdasarkan Dimensi Waktu
Jenis penelitian ini berdasarkan dimensi waktunya termasuk dalam kategori
penelitian cross sectional. Penelitian cross sectional yaitu penelitian yang
dilakukan pada satu titik waktu dan hanya mengambil pendekatan satu kali
dari fenomena sosial pada satu waktu tertentu tersebut (Neuman, 2007:17).
Penelitian cross sectional dilakukan pada satu waktu tertentu. Penelitian ini
digolongkan dalam penelitian cross sectional karena dilakukan pada periode
waktu tertentu yaitu bulan Oktober-November 2014. Penelitian ini juga tidak
melakukan perbandingan penelitian antar waktu.
4. Berdasarkan Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan teknik yang digunakan untuk mencari
dan mengumpulkan data yang terkait dengan penelitian yang dilakukan.
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data secara kualitatif melalui
data primer dan data sekunder. Dalam mencari data primer, peneliti
menggunakan instrumen wawancara mendalam dengan sejumlah narasumber
atau informan dan observasi. Sedangkan data sekunder diperoleh peneliti
melalui studi kepustakaan yang berasal dari sumber data, laporan terdahulu,
literatur atau buku yang terkait dengan topik dalam penelitian ini. Sumber
data sekunder ini dapat berasal dari internet maupun studi pustaka.
4.1 Wawancara Mendalam
Wawancara mendalam menjadi alat utama pada penelitian kualitatif yang
dikombinasikan dengan observasi partisipasi (Bungin, 2007:157-158).
Melalui wawancara mendalam dapat diperoleh gambaran lengkap
mengenai topik yang diteliti dengan cara bertatap muka langsung dengan
informan yang dilakukan secara intensif dan berulang-ulang. Dalam
wawancara mendalam, dibutuhkan pertanyaan-pertanyaan yang secara
umum tidak terstruktur dan bersifat terbuka yang dirancang untuk
memunculkan pandangan dan opini dari partisipan (Creswell, 2010:267).
Partisipan dalam hal ini merupakan narasumber atau informan yang dipilih
peneliti melalui teknik purposive sampling yang dianggap memiliki
informasi mendalam mengenai topik penelitian. Suumber informasi dari
narasumber atau informan tersebut digunakan untuk mengkaji
permasalahan penelitian, Wawancara mendalam dilakukan terhadap
sejumah pihak antara lain aparatur Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,
kepala dinas terkait, tokoh masyarakat dan Lembaga Swadaya
Masyarakat. Peneliti juga memilih akademisi yang potensial sebagai
sumber informasi untuk dijadikan narasumber atau informan. Peneliti juga
melakukan wawancara kepada akademisi yang memahami topik penelitian
ini.
Wawancara dilakukan dengan narasumber atau informan berikut ini.
a) Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) DKI
Jakarta untuk mengetahui perencanaan pembangunan daerah, termasuk
pembangunan perumahan di Provinsi DKI Jakarta.
b) Kepala Dinas Perumahan yang dapat membantu penulis mendapatkan
informasi mengenai pelaksanaan Program Kampung Deret di DKI
Jakarta.
c) Petugas kelurahan dan Ketua RW tempat dilaksanakannya Program
Kampung Deret. Petugas kelurahan dan Ketua RW merupakan pihak
yang memahami, terlibat dan merasakan dampak langsung
pelaksanaan Program Kampung Deret.
d) LSM yang fokus terhadap permasalahan penataan perkotaan dan
permukiman kumuh. LSM merupakan pihak luar pemerintah sehingga
diharapkan dapat melihat secara obyektif pelaksaaan Program
Kampung Deret dan pengaruhnya terhadap penataan ruang perkotaan.
e) Akademisi yang concern terhadap kajian manajemen perkotaan.
4.2 Observasi Langsung
Dalam melakukan penelitian, peneliti harus menggunakan semua
pancainderanya sehingga dapat memahami suatu kejadian di lapangan.
Observasi langsung merupakan kegiatan yang diilakukan peneliti untuk
turun langsung ke lapangan untuk menggamati perilaku dan aktivitas-
aktivitas inividu di lokasi penelitian (Creswell, 2010:267). Dalam kegiatan
observasi, peneliti melakukan pengamatan langsung di lokasi penelitisian
sehingga dapat mengetahui kondisi riil pelaksanaan Program Kampung
Deret.
4.3 Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan peneliti untuk memperoleh data sekunder
melaui beberapa sumber dari literatur. Studi kepustakaan dapat digunakan
sebagai pedoman atau gambaran umum dalam membahas permasalahan
penelitian. Dalam melakukan studi pustaka, peneliti membaca artikel,
studi literatur, jurnal, data penelitian, buku-buku, dan sebagainya. Sumber
data studi kepustakaan diperoleh peneliti dari internet, media massa, buku,
skripsi, dokumen publik, dokumen dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,
maupun data penunjang lainnya. Studi kepustakaan mempunyai kegunaan
untuk membangun konsep teoritik yang pada waktunya tentunya
memerlukan uji kebermaknaan empirik di lapangan (Muhadjir, 2000:296).
3.3 Teknik Analisis Data
Dalam melakukan analisis data kualitatif, terdapat beberapa langkah kegiatan yang
perlu dilakukan (Creswell, 2012:276). Langkah-langkah tersebut, antara lain sebagai
berikut.
1. Mengolah dan Mempersiapkan Data
Langkah awal yang harus dilakukan peneliti dalam proses analisis data adalah
mengolah dan mempersiapkan data untuk dianalisis. Pada tahap ini, peneliti
menngunakan transkrispsi wawancara, melakukan scanning materi,
menuliskan data lapangan dengan terlebih dahulu memilih dan menyusun data
sesuai sumber informasimya ke dalam pengelompokan yang berbeda. Peneliti
memperoleh data pada tahap ini melalui wawancara dengan beberapa
narasumber yang terkait dengan topik penelitian. Setelah memperoleh data
dan informasi yang diperlukan, kemudian dilakukan reduksi data yang relevan
dengan topik penelitian. Dalam tahapan ini, peneliti membangun general
sense terhadap informasi yang diperoleh yang kemudian menemukan makna
dan merefleksikannya secara keseluruhan.
2. Membaca Keseluruhan Data
Pada tahap ini, peneliti membaca seluruh data dan informasi yang diperoleh
kemudian memberikan catatan-catatan khusus serta gagasan-gagasan umum.
3. Coding Data
Coding data dilakukan peneliti untuk menganalisis informasi secara lebih
detail. Menurut Rossman dan Rallis (1998:171), coding adalah proses
mengolah materi atau informasi menjadi segmen-segmen tulisan sebelum
memaknainya. Pada tahap ini terdiri dari beberapa kegiatan yaitu: data berupa
gambar atau tulisan yang telah dikumpulkan kemudian diambil dan dilakukan
segmentasi ke dalam kategori-kategori. Kategori-kategori tersebut selanjutnya
dilabeli dengan istilah-istilah khusus berdasarkan istilah atau bahasa yang
berasal dari partisipan (in vivo).
4. Coding dan Deskripsi
Pada tahapan ini peneliti melakukan coding untuk mendeskripsikan setting,
orang-orang, kategori, dan tema-tema yang akan dianalisis. Dalam kegiatan
deskripsi, peneliti berusaha menyampaikan informasi secara detail terkait
lokasi, peristiwa-peristiwa, atau orang-orang dalam setting tertentu.
5. Interpretasi Data
Setelah memperoleh hasil deskripsi, peneliti kemudian menyajikan hasil
deskripsi tersebut dalam bentuk narasi atau laporan kualitatif. Kegiatan
terakhir selanjutnya yang dilakukan dalam menganalisis data yaitu melakukan
interpretasi atau memberi makna terhadap data yang diperoleh. Pada tahap ini,
peneliti menarik kesimpulan berdasarkan data yang telah diperoleh, apakah
hasil penelitian membenarkan atau justru berlawanan dengan informasi awal.
3.4 Proses Penelitian
Tahap pertama yang dilakukan peneliti adalah melakukan studi literatur
terhadap beberapa sumber kepustakaan terkait permukiman kumuh dan pembangunan
perumahan di DKI Jakarta. Setelah mendapat beberapa informasi tentang kondisi
permukiman dan pembangunan di DKI Jakarta, peneliti kemudian meminta informasi
mengenai Program Kampung Deret kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Tahap
selanjutnya yaitu peneliti mengumpulkan informasi mengenai pelaksanaan Program
Kampung Deret di DKI Jakarta. Peneliti memilih beberapa lokasi di DKI Jakarta
untuk memperoleh hasil yang optimal. Lokasi yang menjadi fokus penelitian
merupakan lokasi dilaksanakannya Program Kampung Deret.
3.5 Batasan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti hanya bermaksud menggambarkan pelaksanaan
Program Kampung Deret dan kendala yang dialami dalam mengimplementasikan
program tersebut.