bismillah ya mujib.doc

57
BAB 1 PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan secara rinci mengenai latar belakang masalah dan pokok permasalahan yang menjadi alasan peneliti mengambil judul penelitian tentang Implementasi Program Kampung Deret di DKI Jakarta. Di samping itu, bab ini juga menjelaskan mengeni tujuan penelitian, signifikansi penelitian, dan sistematika penelitian. 1.1 Latar Belakang Masalah Dinamika masyarakat yang selalu mengalami peningkatan laju pertumbuhan merupakan permasalahan kompleks yang sering kali dihadapi oleh negara-negara berkembang. Salah satu negara berkembang yang masih menghadapi permasalahan dalam hal kependudukan adalah Indonesia. Laju pertumbuhan penduduk di Indonesia saat ini dapat dikatakan masih tinggi. Saat ini jumlah penduduk di Indonesia menempati peringkat keempat setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Pertumbuhan penduduk yang meningkat dari tahun ke tahun menurut Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKN)

Upload: abhie-khara

Post on 25-Dec-2015

25 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bismillah Ya Mujib.doc

BAB 1

PENDAHULUAN

Bab ini menjelaskan secara rinci mengenai latar belakang masalah dan pokok

permasalahan yang menjadi alasan peneliti mengambil judul penelitian tentang

Implementasi Program Kampung Deret di DKI Jakarta. Di samping itu, bab ini juga

menjelaskan mengeni tujuan penelitian, signifikansi penelitian, dan sistematika

penelitian.

1.1 Latar Belakang Masalah

Dinamika masyarakat yang selalu mengalami peningkatan laju pertumbuhan

merupakan permasalahan kompleks yang sering kali dihadapi oleh negara-negara

berkembang. Salah satu negara berkembang yang masih menghadapi permasalahan

dalam hal kependudukan adalah Indonesia. Laju pertumbuhan penduduk di Indonesia

saat ini dapat dikatakan masih tinggi. Saat ini jumlah penduduk di Indonesia

menempati peringkat keempat setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Pertumbuhan

penduduk yang meningkat dari tahun ke tahun menurut Kepala Badan Kependudukan

dan Keluarga Berencana Nasional (BKKN) mencapai 1,49 per tahun atau sekitar 3,5

juta hingga 4 juta penduduk (BKKBN, 2010).

Page 2: Bismillah Ya Mujib.doc

Grafik 1.1 Jumlah Penduduk Indonesia

Tahun 2009-2012

Sumber : Data Olahan Peneliti, 2014 (BPS, 2013 dalam Data Strategis BPS)

Di negara berkembang seperti Indonesia, pertumbuhan penduduk yang pesat

menjadi masalah yang cukup serius untuk ditangani. Pembangunan, urbanisasi, dan

pencemaran lingkungan hidup merupakan fenomena yang perlu mendapat perhatian

serius dari pemerintah akibat adanya pertumbuhan penduduk. Semakin bertambahnya

jumlah penduduk membuat semakin sulitnya masyarakat dalam mencari pekerjaan

karena terbatasnya lapangan kerja. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi lebih banyak

terpusat di kota-kota besar sehingga masyarakat desa semakin tertarik untuk

bermigrasi ke kota. Perkembangan dan pertumbuhan di kota-kota besar menjadi daya

tarik bagi penduduk desa untuk bermigrasi ke kota. Semakin berkembangnya kota,

semakin banyak pula penduduk desa yang bermigrasi ke kota. Ketersediaan lapangan

kerja yang luas, sarana prasarana yang lengkap, akses yang mudah, dan jaminan

kehidupan yang lebih baik membuat masyarakat tertarik untuk melakukan migrasi ke

perkotaan atau yang sering disebut dengan urbanisasi. Sebagai akibatnya tekanan

penduduk menjadi masalah yang cukup serius di perkotaan. Kondisi ini seperti

Page 3: Bismillah Ya Mujib.doc

dilaporkan oleh PBB bahwa hampir separuh penduduk dunia tinggal di perkotaan

(UN, 1998: 2 dalam Kuncoro, 2012: 215). Dalam laporan United Nations dan World

Bank menunujukkan adanya pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi di negara

berkembang, yaitu pada tahun 2050 lebih dari 85 persen penduduk di dunia akan

hidup di negara berkembang dan 80 persen dari penduduk di negara berkembang

tersebut akan hidup di perkotaan. Laporan serupa juga ditulis oleh The Comparative

Urban Studies Project di Woldrow Wilson pada tahun 2006 yang menyebutkan

bahwa telah terjadi pertumbahan penduduk perkotaan di dunia dengan sangat berarti,

pada tahun 2000 sebanyak 41 persen penduduk dunia tinggal di perkotaan dan pada

tahun 2005, 50 persen penduduk dunia tinggal di perkotaan. Proses urbanisasi ini

diperkiraan akan terus berlanjut di Afrika, Asia, dan Amerika Latin sebanyak dua kali

lipat seperti dilaporkan United Nations.

Negara-negara di Asia mengalami kenaikan yang paling tinggi dari tahun ke

tahun. UNHCS memperkirakan fenomena urbanisasi ini akan mencapai 52% pada

tahun 2020. Selanjutnya, menurut UNHCS pada tahun 2015, 153 dari 358 kota

berpenduduk lebih dari 1 juta akan berada di Asia. Dari 27 megacities dengan

penduduk melebihi 10 juta jiwa, 15 buah di antaranya akan berada di Asia (Firman,

2005: 91-92). Fenomena urbanisasi yang pesat masih terjadi di negara-negara Asia

seperti China, India, dan Indonesia yang diperkirakan masih akan terus meningkat

hingga tahun 2035 (Mckinnon, 2011: 210). Pada tahun 2010, level urbanisasi di

Indonesia dan China mendekati 50% dan di India sekitar 30%.

Page 4: Bismillah Ya Mujib.doc

Grafik 1. 2 Laju Urbanisasi Asia, Asia Tenggara, dan Indonesia

Sumber: United Nations, 2014

United Nations melakukan survey untuk mengetahui perkembangan

urbanisasi di dunia hingga tahun 2050. Berdasarkan survey yang telah dilakukan,

United Nations memperkirakan bahwa pada tahun 2035 level urbanisasi di Indonesia

akan mencapai 70%, China lebih dari 60%, dan India mendekati 45% (United

Nations, www.esa.un.org : 2007). Tidak heran jika ketiga negara tersebut mengalami

arus urbanisasi yang paling tinggi di Asia karena ketiga negara tersebut merupakan

negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia. Berdasarkan laporan

United Nations dapat dilihat bahwa Indonesia merupakan negara yang paling tinggi

arus urbanisasinya di Asia. Gambar grafik di bawah ini memperlihatkan bahwa

urbanisasi di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Page 5: Bismillah Ya Mujib.doc

Grafik 1.3 Laju Urbanisasi di Indonesia

Sumber: United Nations, 2014

Pada gambar grafik di atas menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk di

Indonesia yang tinggal di daerah perkotaan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Tekanan pertumbuhan penduduk kawasan perkotaan yang demikian besar ini

disebabkan oleh arus urbanisasi dan tingkat pertumbuhan alamiah penduduk kota itu

sendiri (Prasojo, 2006: 125). Pertumbuhan penduduk di perkotaan jauh lebih tinggi

dibanding pertumbuhan nasional. Kondisi seperti ini ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel 1. 1 Tingkat Pertumbuhan Penduduk Nasional dan Perkotaan di Indonesia

Periode 1961

-

1970

1970-

1975

1975-

1980

1980-

1985

1985-

1990

1990-

1995

1995-

2000

2000-

2005

2005-

2025

Nasional 2,2% 2,41

%

2,14

%

2,06

%

2,16

%

2,17

%

2,07

%

1,98

%

1,76

%

Perkotaa

n

2,6% 4,92

%

4,88

%

5,39

%

5,57

%

5,68

%

5,79

%

5,89

%

6%

Sumber: Andrew W. Hammer, 1985 (dalam Nurmandi, 201

Page 6: Bismillah Ya Mujib.doc

Di Indonesia, penyebaran penduduk paling banyak berada di Pulau Jawa

(Mckinnon, 2011: 13). Namun, penyebaran penduduk yang meningkat pesat di Pulau

Jawa ini menyebabkan terjadinya over concentration penduduk kota di Pulau Jawa.

Tidak heran jika kepadatan penduduk di Pulau Jawa merupakan yang tertinggi di

Indonesia. Pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa didorong oleh pertumbuhan

penduduk secara alamiah yang tinggi dan jumlah penduduk yang terus menerus

bertambah akibat arus urbanisasi. DKI Jakarta merupakan salah satu kota di Pulau

Jawa yang memiliki jumlah penduduk dan kepadatan terbesar di Indonesia.

Konsentrasi populasi urban di Indonesia berada di metropolitan Jakarta sebanyak

20% (Firman, 2004 dalam Mckinnon, 2011:37).

Fenomena urbanisasi dan perkembangan perkotaan berimplikasi pada aspek

fisik maupun aspek sosial. Kurangnya pelayanan air bersih, sistem sanitasi yang baik,

penyediaan rumah dan transportasi yang baik untuk memenuhi kebutuhan

pertumbuhan penduduk kota, menjadi penyebab utama timbulnya berbagai masalah

di kota-kota negara-negara yang sedang berkembang (Nurmandi, 2014:26). Pendapat

serupa dikemukakan oleh Firman dan Soegijoko (2005:88) yang mengatakan bahwa

implikasi urbanisasi yang paling mendesak adalah masalah-masalah lingkungan,

khususnya pencemaran air, tanah dan udara, kemacetan lalu lintas dan lainnya, serta

masaah sosial seperti kemiskinan, permukiman kumuh, kriminalitas, konflik antar

warga dan lainnya. Sementara itu, pertambahan penduduk yang pesat di perkotaan

menuntut adanya pelayanan yang mencukupi. Namun, tidak semua kota mampu

menyediakan pelayanan yang memadai.

Pelayanan yang rendah terutama dialami oleh kota-kota di negara

berkembang. Pada suatu laporan (Rosan, dkk, 2005: ) disebutkan bahwa 30%

penduduk perkotaan di negara berkembang tidak mempunyai akses pada air bersih,

dan 50% tidak mempunyai sistem sanitasi yang baik, yang terlihat pada permukiman

dalam bentuk slum dan squarter. Slum merupakan permukiman yang kumuh; tidak

mempunyai akses yang baik pada air bersih dan sanitasi, padat dan tidak teratur,

walaupun sebagian besar penduduknya mampu menunjukkan legalitas kepemilikan

Page 7: Bismillah Ya Mujib.doc

lahan dan rumahnya. Sedangkan squarter mengacu pada ilegalitas kepemilikan

lahannya. Hal ini seperti yang dilaporkan UN Habitat pada tahun 2003 yang

menunjukkan bahwa 64 persen lingkungan slum akan berada di negara-negara Asia,

dengan keadaan yang sangat buruk. Kondisi lingkungan yang demikian

mengkhawatirkan tentu saja tidak baik bagi masyarakat dan tidak nyaman untuk

kehidupan. Pendapat serupa dikemukakan oleh Peter G Rowe (2005, dalam

Budihardjo, 2014:13) bahwa anomali pada kota-kota di Asia Tenggara yang tampak

kian modern namun semakin meningkatkan environmental stress sehingga tidak

nyaman untuk kehidupan. Fenomena lingkungan kumuh ini berkaitan dengan laju

pertumbuhan yang tinggi di perkotaan. Pertumbuhan penduduk yang tinggi

menyebabkan semakin tinggi pula kebutuhan akan ruang, baik untuk tempat tinggal

maupun fungsi lainnya. Kebutuhan akan ruang ini berkaitan dengan kebutuhan

terhadap lahan untuk pembangunan. Di sisi lain, ketersediaan lahan semakin terbatas.

Hal ini menyebabkan pembangunan perumahan semakin padat dan tidak teratur.

Kondisi demikian dapat kita temukan di Indonesia di daerah-daerah perkotaan

terutama di Jakarta.

Budihardjo (2014:14) mengemukakan bahwa kota-kota di Indonesia bersifat

dualistik, sudah mulai beranjak modern tetapi perilaku sebagian besar warganya

masih tradisional, sektor formal berkembang tetapi sektor informal juga masih

bertahan. Selanjutnya, Budihardjo memberikan contoh adanya apartamen, flat, dan

rumah susun tumbuh secara sporadis tetapi perumahan kampung, slum (perumahan

kumuh), bahkan squatter (perumahan liar) juga masih merebak. Pendapat serupa juga

dikatakan oleh Nurmandi (2014:340) bahwa kota-kota di Indonesia sering kali

memiliki masalah terhadap perumahan layak huni. Perumahan yang didirikan

kebanyakan berdiri di atas tanah yang bukan menjadi hak tanah mereka, sehingga

terjadi pembangunan perumahan yang seadanya. Pemukiman yang kurang layak huni

ini akan menjadi semakin padat dan tentu saja berakibat pada menurunnya kualitas

pemukiman di banyak kota besar di Indonesia (Nurmandi, 2014:341). Pemukiman

yang padat dan kumuh ini menurut Nurmandi disebabkan oleh adanya pendatang di

Page 8: Bismillah Ya Mujib.doc

perkotaan yang mayoritas berpenghasilan rendah sehingga akan mencari perumahan

yang murah sebagai tempat tinggal.

DKI Jakarta sebagai kota metropolitan terbesar di Indonesia sudah tidak

mengherankan lagi jika kondisi tatanan kotanya semakin buruk terutama dalam hal

penataan pemukiman. Sebagai ibu kota negara, pembangunan di Jakarta meningkat

pesat sehingga semakin banyak penduduk yang tertarik untuk tinggal di Jakarta.

Tidak dipungkiri, perkembangan kota Jakarta sangat pesat sehingga tidak heran jika

Jakarta menjadi kota terbesar dan terpadat di Indonesia. DKI Jakarta merupakan salah

satu kota di Pulau Jawa yang memiliki jumlah penduduk dan kepadatan terbesar di

Indonesia. Konsentrasi populasi urban di Indonesia berada di metropolitan Jakarta

sebanyak 20% (Firman, 2004 dalam Mckinnon, 2011:37). Meskipun demikian, kota

Jakarta dinilai sudah terlalu padat dan menjadi semakin kumuh. Jika diibaratkan

sebagai manusia, kota Jakarta dinilai sudah mengidap obesitas alias kegemukan,

tambun, gendut, tidak lincah bergerak (Budihardjo, 2014:100). Pertumbuhan populasi

dan arus urbanisasi yang semakin meningkat di Jakarta merupakan penyebab

banyaknya pemukiman kumuh.

Grafik 1. 4 Luas Pemukiman Kumuh Perkotaan di Indonesia

Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum, 2008

Page 9: Bismillah Ya Mujib.doc

Berdasarkan gambar grafik di atas dapat dilihat bahwa permukiman kumuh

sebagian besar berada di kota-kota Jakarta. Jumlah pemukiman kumuh yang semakin

banyak masih menjadi kendala yang masih sulit ditangani bagi Pemeritah Provinsi

DKI Jakarta dalam menata kawasan kota. Tidak hanya itu, pemukiman kumuh di

Jakarta merupakan pemukiman kumuh yang padat penduduk sehingga memerlukan

upaya khusus dalam menanganinya. Menurut Sekretaris Kementerian Perumahan

Rakyat (Sesmenpera) Iskandar Saleh, saat ini Jakarta menghadapi kecenderungan

peningkatan luasan pemukiman kumuh yang cukup signifikan dari tahun ke tahun.

Kantong-kantong pemukiman kumuh di Jakarta terus bertambah hingga kini

mencapai 6.000 hektare dengan kecepatan pertambahan sekitar satu persen per tahun

(Redaksi Ciputra, 14 Maret 2013). Banyaknya pemukiman kumuh di Jakarta tidak

hanya menimbulkan permasalahan bagi ketidakteraturan tatanan kota namun juga

dapat berdampak terhadap lingkungan. Jika permasalahan tersebut terus dibiarkan

maka dapat menimbulkan permasalahan besar kedepannya terutama berdampak pada

kualitas lingkungan.

Perkembangan kota dan laju urbanisasi yang begitu pesat tanpa diimbangi

perencanaan tata kota yang baik dapat menimbulkan masalah kompleks terhadap

lingkungan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah kota agar dapat

menekan masalah perkotaan tersebut adalah melalui manajemen perkotaan.

Manajemen perkotaan merupakan upaya mobilisasi sumber daya perkotaan melalui

tahapan perencanaan, pelaksaan, pemeliharaan, pengendalian, secara efisien dan

efektif guna mewujudkan visi, misi, dan tujuan dari suatu kawasan perkotaan dengan

tetap mempertahankan lingkungan strategis (ocw.usu.ac.id, 2009). Berdasarkan

pengertian tersebut dapat dipahami bahwa dalam melakukan pembangunan kawasan

perkotaan diperlukakan manajemen tata kelola yang baik dan tetap memperhatikan

aspek lingkungan. Menurut Edward Leman (1993, dalam Nurmandi, 2014:130)

pemerintah kota maupun metropolitan selalu menangani sektor-sektor perkotaan yang

berkelindan satu sama lain dan mempengaruhi pengelolaan kota. Selanjutnya Leman

(1993) menjelaskan bahwa manajemen perkotaan mencakup manajemen lingkungan,

Page 10: Bismillah Ya Mujib.doc

manajemen transportasi, manajemen lahan, peran sektor swasta dalam pembangunan

perkotaan, manajemen keuangan, dan manajemen pembangunan perumahan

(Nurmandi, 2014:131). Sesuai pendapat Leman, dapat diketahui bahwa perumahan

merupakan salah satu sektor utama yang harus ditangani oleh pemeritah kota. Oleh

karena itu, diperlukan intervensi dan pengaturan pemerintah khususnya pemerintah

kota dalam mengelola perumahan terutama di kota besar seperti Jakarta agar tidak

menimbulkan masalah seperti pemukiman kumuh.

Menyadari semakin tidak teraturnya pembangunan di Jakarta terutama yang

disebabkan masalah pemukiman kumuh, Pemerintah DKI Jakarta melakukan suatu

terobosan sebagai upaya untuk menata kawasan pemukiman agar tercipta tata kota

yang indah. Dalam menangani permasalahan pemukiman kumuh ini, Pemerintah DKI

Jakarta menciptakan Program Kampung Deret. Selain untuk penataan kota, program

Kampung Deret dimaksudkan untuk menciptakan lingkungan yang sehat serta tempat

tinggal yang layak huni. Program Kampung Deret merupakan bentuk upaya

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mewujudkan lingkungan tinggal yang bersih,

sehat, dan terhindar dari banjir. Dalam setiap kampung yang disusun tersebut, akan

dibuatkan sanitasi, komunal septic tank, ruang terbuka hijau (RTH), perpustakaan

makro, dan ruang publik. Selain hunian permanen, tata bangunan yang lebih rapi,

keberadaan jalan yang lebih baik, dilengkapi lampu penerangan jalan, tanaman hias,

dan pemadam kebakaran. Konsep Kampung Deret merupakan perwujudan konsep

peremajaan kota (urban renewal) dimana penataan perumahan merupakan salah satu

bagiannya. Program Kampung Deret juga merupakan bagian dari upaya Pemerintah

Provinsi DKI Jakarta menyediakan rumah layak bagi warga berpenghasilan rendah

(Redaksi Kompas, 2014). Beberapa pemukiman kumuh yang telah ditata melalui

Program Kampung Deret seperti di Cipinang Besar Selatan, Petogogan, Kelurahan

Karanganyar dan lain-lain kini kondisinya lebih baik dan lebih rapi.

Meskipun demikian, masih terdapat beberapa masalah yang muncul dalam

pelaksanaan Program Kampung Deret tersebut. Sejumlah kasus mulai dari penipuan

oleh pengembang yang membawa kabur dana bantuan sosial, isu intimidasi, isu

pungutan liar, penolakan program oleh warga, serta kurang maksimalnya sosialisasi

Page 11: Bismillah Ya Mujib.doc

oleh pihak terkait. Di Petogogan yang merupakan salah satu kawasan pemukiman

yang paling awal dibangun, warga merasa kecewa dengan Program Kampung Deret.

Warga mengeluh kehilangan luas tanah mereka tanpa adanya kompensansi dari

Pemprov DKI Jakarta. Warga juga harus menambah biaya yang cukup besar untuk

menyelesaikan pembangunan rumah yang belum tuntas. Selain itu, warga setempat

juga mengeluhkan kualitas bangunan dan kondisi lingkungan yang kurang baik.

Persediaan air bersih di kampung deret tersebut juga kurang baik. Kondisi air PAM

yang masuk ke kampung deret ternyata tidak layak konsumsi. Di samping ktersediaan

air bersih, ketersediaan listrik juga masih menjadi masalah di beberapa rumah di

Petogogan. Puluhan rumah di RT 10 dan RT 12 RW 5 belum dialiri listrik (Redaksi

Harian Terbit, 2014). Kesulitan air bersih juga dialami warga kampung deret

Cilincing.

Permasalahan lainnya adalah kepemilikan lahan. Beberapa rumah warga yang

masuk dalam rencana Program Kampung Deret ternyata berada di lahan ilegal atau

bukan dalam kepemilikan yang sah. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan

sebanyak 90 rumah berada di atas lahan dengan peruntukan marga drainase tata air

dan jalan (Redaksi Okezone, 2014). Selain itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga

belum merinci jumlah anggaran untuk kampung deret yang belum rampung (Redaksi

Harian Terbit, 2014). Di sisi lain, Program Kampung Deret memerlukan kesadaran

masyarakat dalam mewujudkan pemukiman yang nyaman, indah, dan memiliki

kualitas lingkungan yang baik. Hal ini berarti bahwa dalam melakukan penataan

pemukiman kumuh, kebiasaan dan pola hidup masyarakat di pemukiman tersebut

harus diubah agar peduli terhadap lingkungan. Namun hal ini masih memerlukan

proses dan kesadaran masyarakat. Kondisi seperti ini dapat dijumpai di Kampung

Deret Pejompongan yang kebiasaan masyarakatnya belum berubah dengan kondisi

lingkungan yang kotor dan kebiasaan membuang sampah sembarangan (Redaksi

Berita Satu, 2014).

Page 12: Bismillah Ya Mujib.doc

1.2 Pokok Permasalahan

Fenomena urbanisasi yang terus meningkat di beberapa negara berkembang di

Asia menimbulkan berbagai permasalahan bagi pemerintah kota. Indonesia

merupakan salah satu negara di Asia yang mengalami laju urbanisasi yang tinggi.

Laju urbanisasi yang semakin pesat tersebut menyebabkan berbagai permasalahan

kompleks di Indonesia seperti masalah lingkungan hidup, kemacetan, hingga

menjamurnya pemukiman kumuh. Kondisi seperti ini dapat dilihat di Jakarta yang

merupakan salah satu tujuan utama migrasi bagi penduduk. Pertumbuhan penduduk

di perkotaan yang tinggi tanpa diimbangi dengan penyediaan layanan kota

berimplikasi terhadap kualitas hidup penduduk di perkotaan yang rendah. Di sisi lain,

pertumbuhan penduduk yang tinggi menyebabkan kebutuhan akan ruang dan

perumahan meningkat pula. Pertumbuhan penduduk yang tinggi tanpa diimbangi

dengan penyediaan perumahan, termasuk kebutuhan rumah murah untuk yang kurang

mampu dapat mengakibatkan muncul dan berkembangnya permukiman kumuh

(Romdiati, 2011).

Dalam mengatasi pemukiman kumuh di Jakarta, Pemerintah Provinsi Jakarta

menyelenggarakan Program Kampung Deret. Selain itu, Program Kampung Deret

merupakan upaya pemerintah kota dalam mengatasi back log. Namun, dalam

pelaksanaanya program ini masih peru dikaji, apakah dapat dilaksanakan dengan baik

dan apakah mampu mengatasi persoalan pemukiman kumuh di Jakarta. Berdasarkan

hal tersebut, peneliti tertarik untuk mengkaji:

\1. Bagaimana implementasi Program Kampung Deret di Jakarta?

2. Apa saja kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Program Kampung Deret?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan pelaksanaan Program

Kampung Deret yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan

pokok permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis implementasi Program Kampung Deret di Jakarta

Page 13: Bismillah Ya Mujib.doc

2. Menganalisis kendala yang dihadapi dalam pelaksatnaan Program

Kampung Deret.

1.4 Signifikansi Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara

akademis maupun secara praktis. Adapun signifikansinya yaitu sebagai berikut.

1. Signifikansi Akademis

Secara akademis, hasil penelitian ini diharapakan dapat bermanfaat untuk

mengembangkan informasi dan pengetahuan mengenai administrasi perkotaan dan

manajemen perkotaan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

gambaran pelaksanaan Program Kampung Deret di DKI Jakarta.

2. Signifikansi Praktis

Hasil penelitian ini dalam praktisnya diharapkan dapat memberikan

informasi kepada pemerintah daerah yang selanjutnya dapat memberikan saran

dan kritikan mengenai pelaksanaan Program Kampung Deret. Hasil penelitian ini

juga dapat direkomendasikan bagi pemerintah pusat dalam upaya memaksimalkan

penataan ruang dan penyediaan perumahan di Indonesia yang memperhatikan

kondisi lingkungan. Selain itu, hasil penelitian ini juga dapat memberikan

informasi kepada pihak pemerintah daerah, pemerintah pusat, swasta, maupun

masyarakat mengenai kondisi lingkungan perumahan di DKI Jakarta. Melalui

informasi tersebut, diharapkan dapat terjalin kerja sama antara pemerintah,

masyarakat, dan swasta untuk mengembangkan pelayanan perkotaan di DKI

Jakarta sehingga dapat mendukung pembangunan dan penataan ruang kota.

Page 14: Bismillah Ya Mujib.doc

1.5 Sistematika Penelitian

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari enam

bab yang terdiri dari

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menjabarkan latar belakang masalah, pokok

permasalahan, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, dan

sistematika penelitian.

BAB II : KERANGKA TEORI

Bab ini menjabarkan tinjauan pustaka yang digunakan sebagai

bahan perbandingan dan tinjauan terhadap penelitian

sebelumnya. Selain itu, bab ini juga menjabarkan kerangka

teori yang digunakan. Kerangka teori menjelaskan mengenai

teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini dan

operasionalisasi konsep.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini menjabarkan metode penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini, yang terdiri dari pendekatan, jenis

penelitian, teknik pengumpulan data, teknik penarikan

sampel, dan teknik analisa data.

BAB IV : GAMBARAN UMUM

Bab ini menjabarkan mengenai gambaran umum Program

Kampung Deret di Provinsi DKI Jakarta.

BAB V : PEMBAHASAN

Page 15: Bismillah Ya Mujib.doc

Bab ini menjabarkan hasil analisa penulis mengenai

Implementasi Program Kampung Deret di Provinsi DKI

Jakarta.

BAB VI : PENUTUP

Bab ini menjabarkan simpulan hasil penelitian yang dapat

menjawab pertanyaan penelitian. Selain itu, bab ini juga

disertai dengan rekomendasi yang diberikan penulis kepada

pihak-pihak yang terkait.

Page 16: Bismillah Ya Mujib.doc

BAB 2

KERANGKA PEMIKIRAN

Bab ini memaparkan literatur-lietratur ilmiah yang dijadikan tinjauan oleh

peneliti. Dalam bab ini penulis memaparkan konstruksi teoritis yang terkait dengan

Implementasi Program Kampung Deret di Provinsi DKI Jakarta.

2.1 Tinjauan Pustaka

Sub bab ini menjelaskan beberapa tinjauan terhadap hasil penelitian terdahulu

dan konsep yang terkait dengan penelitian ini. Penelitian mengenai penataan

perkotaan dan pembangunan pemukiman kumuh telah dibahas dalam beberapa

penelitian. Oleh karena itu, penelitian ini melakukan tinjauan komparatif terhadap

peneitian-penelitian terkait. Tinjauan pustaka dilakukan untuk memperoleh

perspesktif umum terhadap penelitian ini. Tinjauan kepustakaan pertama melihat

pada skripsi yang berjudul Implementasi Kebijakan Pembangunan Rumah Susun di

Kawasan Perkotaan: Studi tentang Program 1000 Menara oleh Kementerian Negara

Perumahan Rakyat yang ditulis oleh Vita Sophia Dini pada tahun 2009. Tujuan

penelitian ini adalah untuk menggambarkan bagaimana implementasi Program 1000

Menara oleh Kementerian Negara Perumahan Rakyat serta faktor-faktor apa saja

yang mempengaruhi implementasi 1000 Menara yang dihadapi oleh Kementerian

Negara Perumahan Rakyat. Pada peneliatannyaa ini, peneliti melihat bahwa

pertumbuhan penduduk di perkotaan, terutama di Jakarta semakin meningkat akibat

arus urbanisasi. Pertumbuhan penduduk yang besar tersebut tidak diimbangi dengan

penyediaan perumahan yang memadai. Hal ini disebabkan jumlah lahan di perkotaan

terbatas sedangkan kebutuhan lahan untuk pembangunan perumahan semakin

meningkat. Berdasarkan kondisi tersebut, pemerintah melalui Kementerian Negara

Perumahan Rakyat melakukan pembangunan perumahan kea rah vertical dalam

bentuk rusuna atau rumah sususn untuk menangani masalah perumahan di kawasan

perkotaan.

Page 17: Bismillah Ya Mujib.doc

Penelitian ini menggunakan konsep kebijakan publik dan faktor-faktor yang

mempengaruhi impelementasi kebijakan menurut Edward III. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa implementasi Program 1000 Menara oleh Kemenpera dilihat

dari langkah-langkah pelaksaanaannya umumnya telah sesuai dengan rencana kerja

yang ada. Namun, dalam pelaksanaan program ini masih memiliki beberapa faktor

yang mengahambat seperti faktor komunikasi, sumber daya, disposisi (sikap atau

watak) dan struktur birokrasi sedangkan faktor komunikasi dan faktor struktur

birokrasi merupakan faktor yang dominan. Persamaan penelitian ini dengan penulis

adalah sama-sama membahas implementasi kebijakan pembangunan perumahan.

Namun, di sisi lain penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian yang akan

dilakukan peneliti. Dalam penelitian ini cenderung membahas mengenai berbagai

tindakan yang dilakukan Kemenpera untuk merealisasikan Program 1000 Menara.

Sedangkan penelitian yang akan dilakukan di Jakarta ini lebih melihat pada proses-

proses pelaksanaan Program Kampung Deret.

Tinjauan pustaka kedua diambil dari tesis yang ditulis oleh Muhammad Arifin

pada tahun 2004 yang berjudul Peran Serta Penghuni Permukiman Kumuh dalam

Perencanaan Tata Ruang Kota. Penelitian Muhammad Arifin ini bertujuan untuk

memberikan gambaran mengenai peran serta masyarakat dalam bentuk tindakan

sosial berkaitan dengan Rencana Tata Ruang di wilayahnya. Data penelitian diperoleh

peneliti melalui studi pustaka, observasi lapangan, serta wawancara mendalam

dengan sejumlah informan. Dalam menganalisis permasalahan penelitan, Peneliti

menggunakan teori peran serta masayarakat, permukiman kumuh, perencanaan tata

ruang kota, sertan disorganisasi sosial untuk mendapatkan gambaran yang jelas. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pembangunan Kota baru Bandar

Kemayoran, posisi masyarakat masih sebagai objek dalam pembangunan sehingga

kurang dilibatkan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan

adalah pada penelitian Muhammad Arifin lebih melihat keterlibatan masyarakat dari

sudut pandang Sosiologi.

Page 18: Bismillah Ya Mujib.doc

Tinjauan pustaka yang ketiga merujuk pada tesis yang berjudul Faktor-Faktor

yang Berpengaruh terhadap Penataan Permukiman Kumuh di Kampung Buaran

Kelurahan Cikokol Kecamatan Tangerang. Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui tingkat keberhasilan pembangunan di wilayah permukiman kumuh

Kampung Buaran Kota Tangerang. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan konsep

kebijakan perumahan, kebijakan publik, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat.

Penelitian yang dilakukan oleh Arsyad Sarimay ini menggunakan pendekatan

kualitatif. Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan instrumen wawancara

mendalam, wawancara tak berstruktur, observasi, dan studi pustaka. Hasil dari

penelitian ini menunjukkan bahwa penanganan penataan permukiman kumuh di

Kampung Buaran berjalan lancar. Keberhasilan pembangunan permukiman kumuh

tersebut disebabkan adanya dukungan aparat pelaksana serta adanya dukungan dana

dari APBD. Meskipun demikian, pelaksanaan pembangunan kampung tersebut masih

terdapat beberapa kekurangan. Hal ini karena koordinasi antar dinas/instansi terkait

masih lemah. Selain itu, masyarakat juga tidak diberikan pembinaan lanjutan pasca

pembangunan dari aparat pelaksana sehingga dikhawatirkan kondisi Kampung

Buaran akan berubah seperti awal yaitu menjadi kampung kumuh. Pada tinjauan

pustaka ketiga ini memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan peneliti di

Jakarta yaitu sama-sama membahas penataan pembangunan permukiman kumuh.

Namun, kedua penelitian ini juga memiliki perbedaan. Pada penelitian yang

dilakukan di Tangerang tersebut dimaksudkan untuk mengetahui tingkat keberhasilan

pembangunan permukiman kumuh sedangkan penelitian yang akan dilakukan di

Jakarta ini adalah untuk melihat bagaimana pelaksanaan pembangunan kampung

deret sebagai upaya penataan permukiman kumuh.

Page 19: Bismillah Ya Mujib.doc

Tabel 2.1 Perbandingan Antar Penelitian

No Deskripsi Vita Sophia Dini

Muhammad Arifin

Arsyad Sarimay

Dian Erna PL

1.1

Judul Impelementasi Kebijakan Pembangunan Rumah Susun di Kawasan Perkotaan (Studi tentang Program 1000 Menara oleh Kementerian Negara Perumahan Rakyat)

Peran Serta Penghuni Permukiman Kumuh dalam Perencanaan Tata Ruang Kota (Studi Kasus: Permukinan di Kelurahan Kebon Kosong Kecamatan Kemayoran Jakarta Pusat, dalam Proses Pembangunan Kota Baru Bandar Kemayoran)

Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Penataan Permukiman Kumuh di Kampung Buaran Kelurahan Cikokol Kecamatan Tangerang

Implementasi Program Kampung Deret di Provinsi DKI Jakarta

2. Tahun 2009 2004 2004 2014

3. Tujuan Menggambarkan bagaimana implementasi Program 1000 Menara oleh Kementerian Negara Perumahan Rakyat serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi implementasi

Memberikan gambaran mengenai peran serta masyarakat dalam bentuk tindakan sosial berkaitan dengan Rencana Tata Ruang di wilayahnya

Mengetahui tingkat keberhasilan pembangunan di wilayah permukiman kumuh Kampung Buaran Kota Tangerang

Mendeskripsikan implementasi Program Kampung Deret di DKI Jakarta dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaanya

Page 20: Bismillah Ya Mujib.doc

1000 Menara yang dihadapi oleh Kementerian Negara Perumahan Rakyat

4. Pendekatan Penelitian

Kualitatif Kualitatif Kualitatif Kualitatif

5. Teknik Pengumpulan Data

Studi lapangan (field research), wawancara mendalam, kajian literatur

Wawancara mendalam, observasi lapangan, studi pustaka

Wawancara mendalam, wawancara tak berstruktur, observasi, dan studi pustaka

Wawancara, observasi, studi pustaka

6. Hasil Penelitian

Implementasi Program 1000 Menara oleh Kemenpera telah sesuai dengan rencana kerja yang ada namun belum optimal karena masih memiliki beberapa faktor yang mengahambat.

Dalam pembangunan Kota baru Bandar Kemayoran, posisi masyarakat masih sebagai objek dalam pembangunan sehingga kurang dilibatkan.

Penanganan penataan permukiman kumuh di Kampung Buaran berjalan lancar. Faktor keberhasilan pembangunannya yatitu adanya dukungan aparat pelaksana serta adanya dukungan dana dari APBD. Ketidakberhasilannya disebabkan karena lemahnya koordinasi antar dinas/instansi serta tidak adanya pembinaan lanjutan pasca pembangunan bagi masyarakat.

Page 21: Bismillah Ya Mujib.doc

2.2 Permukiman Kumuh

Permukiman kumuh di perkotaan mrupakan hasil pertubuhan penduduk yang

pesat dan urbanisasi tanpa diimbangi dengan kemampuan pemerintah dalam

mengendalikan pertumbuhan penduduk dan penyediaan perumahan yang terjangkau

dan layak huni. Clinard dan Abott (1973:133) mendefinisikan lingkungan

permukiman kumuh (slums area) sebagai suatu rangkaian kesatuan yang tidak

beraturan dalam penempatan bentuk perumahannya, penduduknya yang padat, ddan

tingkat pengaturan bentuk serta tipe perumahan. Tanpa memperhatikan struktur fisik,

kebanyakan permukiman kumuh jauh dari standar minimum baik secara kesehatan

maupun perilaku penduduknya.

Selanjutnya, Clinard dan Abott membagi permukiman kumuh dalam dua

kategori yaitu slums of hope dan slums of despair. Slums of hope adalah ciri-ciri

masyarakat kumuh yang memiliki kemampuan untuk memperbaiki taraf hidup sosial

ekonominya dan pada umumnya adalah masyarakat pendatang yang baru bermukim.

Sedangkan slums of despair adalah biasanya penghuni lama lingkungan tersebut.

Definisi serupa juga dikemukakan oleh Haning Romdiati (2011:160) yang

menyatakan bahwa kawasan permukiman kumuh merupakan permukiman yang

kondisi hunian penduduknya sangat buruk karena tempat tinggal maupun sarana

prasarananya tidak sesuai dengan standar yang berlaku, baik dilihat dari aspek

kebutuhan (air bersih, sanitasi, prasarana jalan, ruang terbuka, dan kelengkapan

fasilitas sosial) maupun kepadatan bangunan.

Dilihat dari legalitasnya (Romdiati, 2011:161), permukiman kumuh meliputi

dua jenis, yaitu (1) hunian kumuh yang menempati lahan yang sah sebagai

permukiman (slums) dan (2) hunian kumuh yang menempati lahan yang seharusnya

tidak untuk permukiman atau sering disebut permukiman/hunian liar (squatters).

Lebih lanjut, Romdiati (2011:170) menyatakan bahwa lingkungan permukiman

kumuh pada umumnya ditinggali oleh penduduk miskin. Kondisi kemiskinan di

Page 22: Bismillah Ya Mujib.doc

lingkungan kumuh dengan jelas ditunjukkan oleh keterbatasan penduduknya terhadap

berbagai fasilitas publik yang sangat mendasar (air bersih, sanitasi lingkungan,

tempat pembuangan sampah, penerangan, jaringan jalan, dan moda transportasi),

tingginya kepadatan rumah/bangunan dan penghuni, strukttur pembangunan rumah

yang asal-asalan, dan terkadang menempati lahan publik atau milik pihak lain yang

menjadi target penggusuran.

2.3 Manajemen Perkotaan (Urban Management)

Manajemen perkotaan (urban management) merupakan pendekatan

kontemporer untuk menganalisis permasalahan perkotaan sekarang ini. Menurut Lea

dan Courtney dalam Nurmandi (2014:129), terdapat dua pendekatan dalam

manajemen perkotaan yaitu pendekatan problem-oriented teknokratis dan pendekatan

ekonomi politik struktural. Pendekatan problem-oriented teknokratis fokus terhadap

peningkatan kinerja lembaga-lembaga yang ada dalam memecahkan masalah

perkotaan. Pendekatan kedua lebih memfokuskan pada akar permasalahan perkotaan

dalam konteks struktur ekonomi politik nasional dan internasional. Kedua pendekatan

tersebut yang saling bertentangan berusaha ditengahi oleh M. Safier dengan konsep

improving hand (antara invisible hand dalam pasar bebas dan kontrol negara). Pada

pendekatan improving hand, pemerintah kota memainkan peran yang proaktif.

Kenneth Jackson Davey dalam Nurmandi (2006:18) mendefinisikan

manajemen perkotaan, yaitu “the policies, plans, programs, and practices that seek to

ensure that population growth are matched by access to basic infrastructure, shelter,

and employment. While such access will depends as much, if not more, on private

initiatives anderterprise. These are critically affected by public sector policies and

function that only government can perform.” Definisi yang dikemukakan Davey

tersebut menjelaskan bahwa dalam manajemen perkotaan terdapat banyak aktor yang

berperan namun peran utamanya adalah pemerintah kota sebagai fasilitator.

Manajemen perkotaan menjamin ketersediaan akses terhadap infrastruktur

dasar, perumahan, dan lapangan kerja untuk mengimbangi pertumbuhan penduduk

Page 23: Bismillah Ya Mujib.doc

dalam suatu kerangka kebijakan, program, dan pelaksanaannya. Aspek tersebut

banyak bergantung pada inisiatif swastadan perusahaan swasta yang dipengaruhi oleh

kebijakan dan fungsi publik. Kebijakan dan fungsi publik ini hanya dapat dilakukan

oleh pemerintah. Berdasarkan definisi tersebut dapat dipahami bahwa tugas

pemerintah dalam manajemen perkotaan adalah penyediaan infrastruktur dasar salah

satunya perumahan.

2.4 Peremajaan Kota (Urban Renewal)

2.5 Kebijakan Publik

Salah satu definisi kebijakan publik yang paling dikenal adalah definisi

Thomas R. Dye yang mendefinisikan kebijakan publik sebagai “what governments

do, why they do it, and what difference it makes” (Dye, 1972: 2 dalam Maddinson

dan Dennis, 2009:3) yang berarti apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk

dilakukan dan tidak dilakukan. Berbeda dengan Thomas R. Dye, Muller (1990)

memandang bahwa public policies emerge as a response to a public problem that

reflects a social state (in transformation), which has been articulated by mediators

(for example the media, new social movements, political parties and/or interest

group) and then debated within the democratic decision making process (dalam

Knoepfel et al, 2007:22). Menurut Muller, kebijakan publik dianggap sebagai bentuk

respon yang muncul terhadap masalah publik yang menggambarkan keadaan sosial

yang diartikulasilakan oleh mediator dan diperdebatkan dalam proses pengambilan

keputusan yang demokratis.

Budi Winarno (2008: 36) mendefinisikan kebijakan sebagai arah tindakan

yang mempunyai tujuan yang diambil oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam

mengatasi suatu masalah atau persoalan. Menurut Carl Friedrich (dalam Winarno,

2008:20) kebijakan merupakan suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang,

kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan

Page 24: Bismillah Ya Mujib.doc

hambatan-hambatan dan peluang-peluang terhadap kebijakan yang diusulkan untuk

menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau

merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu. Definisi kebijakan publik

menurut Budi Winarno dan Carl Friedrich serupa dengan definisi Anderson.

Anderson (2006:6) mengemukakan bahwa kebijakan publik yaitu “a purposive

course of action followed by an actors or set of actors in leading with a problem or

matter of concern”. Menurut Anderson, kebijakan publik merupakan arah tindakan

yang memiliki tujuan yang ditetapkan oleh seorang atau sekumpulan aktor dalam

mengatasi suatu masalah atau persoalan tertentu. Berdasarkan pendapat Anderson

tersebut dapat dilihat bahwa kebijakan publik dibuat karena adanya suatu masalah

atau persoalan tertentu.

Konsep kebijakan publik ini mempunyai beberapa implikasi (Anderson,

2006:3-4). Pertama, titik perhatian dalam membicarakan kebijakan publik

berorientasi pada maksud atau tujuan dan bukan perilkau secara serampangan, yang

berarti bahwa kebijakan publik merupakan sesuatu yang terjadi secara terencana oleh

aktor-aktor yang terlibat di dalam sistem politik. Kedua, kebijakan merupakan arah

atau pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan

merupakan keputusan-keputusan yang tersendiri. Ketiga, kebiijakan adalah apa yang

sebenarnya dilakukan oleh pemerintah dan bukan apa yang diinginkan oleh

pemerinta. Keempat, kebijakan publik mungkin dalam bentuknya bersifat positif atau

negatif. Bersifat positif berarti bahwa kebijakan mungkin mencakup bentuk tindakan

pemerintah yang jelas untuk mempengaruhi suatu masalah tertentu. Secara negative

berarti bahwa kebijakan mungkin mencakup suatu keputusan oleh pejabat-pejabat

pemerintah, tetapi tidak untuk mengambil tindakan dan tidak untuk melakukan

sesuatu mengenai suatu persoalan yang memerlukan keterlibatan pemerintah.

Cochran, et al., (2010:2) mengatakan bahwa kebijakan bukan merupakan

suatu tindakan tunggal, melainkan sekumpulan tindakan yang terkoordinasi untuk

mencapai tujuan kebijakan itu sendiri. Pendapat serupa dikemukakan oleh Lester dan

Stewart (2000: 5-8) bahwa dalam suatu kebijakan terdapat tahapan yang harus

Page 25: Bismillah Ya Mujib.doc

dilakukan yatu agenda setting, policy formalition or policy adoption, policy

implementation, policy evaluation, policy change, dan policy termination. Tahapan

kebijakan tersebut merupakan langkah-langkah kebijakan yang kemudian membentuk

suatu siklus seperti gambar berikut.

Sumber: Lester dan Stewart, 2000: 5

Gambar Siklus Kebijakan Publik

Tahapan kebijakan publik diawali dengan adanya permasalahan yang muncul

yang kemudian diputuskan menjadi perhatian pemerintah untuk dibuat kebijakan.

Stage I: Agenda Setting

Stage III: Policy Implementation

Stage VI: Policy Termination

Stage II: Policy Formulation

Stage V: Policy Change

Stage VI: Policy Termination

Page 26: Bismillah Ya Mujib.doc

Tahapan ini disebut agenda setting. Tahapan kedua yaitu policy formulation or policy

adoption, merupakan hasil dari berbagai informasi dengan tujuan menilai alternatif

kebijakan dan memproyeksikan hasilnya seperti kondisi sejarah dan geografis,

perilaku politik, kondisi ekonomi, institusi pemerintah, dan lain-lain. Pada tahap

ketiga yaitu policy implementation dilakukan penafsiran hukum ke dalam aturan

spesifik agar implementor dapat melakanakan kebijakan dan merupakan bagian

terpenting dari suatu kebijakan.

Tahapan selanjutnya adalah policy evaluation yaitu mengevaluasi kinerja atau

dampak kebijakan. Evaluasi adalah penilaian hasil dari kebijakan atau hasil dari

implementasi kebijakan. Hal yang dievaluasi yaitu; (1) akibat dari pelaksanaan

kebijakan yang baru berjalan (belum lama, masih berjalan, short run impact), (2)

akibat dari pelaksanaan kebijakan yang sudah lama/sudah selesai (long run impact).

Tahapan kelima adalah policy change, yaitu hasil dari evaluasi akan menjadi bahan

pertimbangan dalam perubahan bagi penyempurnaan kebijakan. Selanjutnya, tahapan

terakhir dari siklus kebijakan yaitu policy termination. Pada tahapan ini kebijakan

diakhiri karena tujuan sudah tercapai atau karena kebijakan sudah tidak sesuai lagi

(outdated).

2.6 Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan merupakan proses dimana sebuah kebijakan

dilaksanakan secara nyata setelah pembuatan kebijakan selesai. Lester dan Stewart

(2000) mengungkapkan bahwa implementasi adalah sebuah tahapan yang dilakukan

setelah aturan hukum ditetapkan melalui proses politik. Implementasi kebijakan

dipahami juga sebagai suatu proses, output, dan outcome. Implementasi dapat

dikonseptualisasikan sebagai proses karena didalamnya terjadi beberapa rangkaian

aktivitas yang berkelanjutan (Kusumanegara, 2010:98).

Menurut Mazamanian dan Sabatier (1983: 61 dalam Nawawi, 2009:131),

implementasi kebijakan adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya

dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau

Page 27: Bismillah Ya Mujib.doc

keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan Badan Penelitian.

Berbeda dengan pendapat-pendapat tersebut, Van Meter dan Van Horn (1974:447)

mendefinisikan proses impelementasi sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan baik

oleh individu-individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau

swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam

keputusan kebijaksanaan. Tindakan ini mencakup usaha untuk mengubah keputusan

menjadi tindakan operasional dalam waktu tertentu. Implementasi pada dasarnya

merupakan upaya menerjemahkan kebijakan publik yang merupakan pernyataan luas

tentang maksud, tujuan dan cara mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan

dalam suatu kebijakan (Grindle, 1980:6). Selanjutnya Grindle mengungkapkan bahwa

dalam mnegimplementasikan kebijakan dipengaruhi oleh dua unsur yaitu content of

policy (isi) dan context of policy (lingkungan kebijakan). Unsur content mencakup:

1. Interest affected atau kepentingan yang dipengaruhi (oleh kebijakan publik). Hal

ini merujuk pada sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target termuat

dalam isi kebijakan.

2. Type of benefits atau tipe manfaat yang dihasilkan, yaitu jenis manfaat yang

diterima oleh kelompok sasaran.

3. Extent of change envisioned atau keluasan perubahan yang diharapkan. Dalam hal

ini perlu dipertimbangkan sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah

kebijakan. Semakin luas perubahan yang diinginkan maka akan membutuhkan

waktu yang semakin lama dan tingkat kesuulitan yang lebih kompleks dalam

melaksanakannya.

4. Site of decision making atau posisi pembuatan keputusan, yaitu apakah letak

program tersebut sudah tepat.

5. Program implementers atau pelaksana program, yaitu besarnya instansi pelaksana

yang terlibat dan apakah pelaksana program tersebut sudah dirinci

Page 28: Bismillah Ya Mujib.doc

6. Resources committed atau sumber daya. Sumber daya mencakup sumber daya

manusia dan sumber daya non-manusia. Dalam hal ini perlu diperhatikan apakah

program yang akan dilaksanakan didukung oleh sumber daya yang memadai.

Selain unsur content, terdapat pula unsur context yaitu:

1. Kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat

2. Karakteristik lembaga dan rezim yang sedang berkuasa

3. Kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.

Serupa dengan yang dikemukakan Grinde, menurut Tachjan (2006:26) unsur-

unsur implementasi kebijakan yang harus ada yaitu; (1) unsur pelaksana, (2) adanya

program yang dilaksanakan, dan (3) target grup atau kelompok sasaran. Unsur

pelaksana atau implementor adalah aktor yang akan menjalankan kebijakan yang

telah dirumuskan. Dimock & Dimock (dalam Tachjan, 2006:28) menyatakan bahwa

implementor merupakan pelaksana kebijakan yaitu pihak-pihak yang menjalankan

kebijakan yang terdiri dari penentuan tujuan dan sasaran organisasional, analisis serta

perumusan kebijakan dan strategi organisasi, pengambilan keputusan, perencanaan,

penyusunan program, pengorganisasian, pergerakan manusia, pelaksanaan

operasional, pengawasan serta penilaian.

Dalam mengimplementasikan kebijakan, terdapat dua pilihan yaitu langsung

untuk mengimplementasikannya dalam bentuk program-program dan melalui

formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan tersebut (Nugroho,

2003:158). Sesuai pernyataan Nugroho tersebut, dapat dilihat bahwa implementasi

kebijakan dapat dilakukan dalam dua pilihan, yaitu langsung mengaplikasikannya

dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan. Kebijakan publik tidak akan

berarti tanpa adanya tindakan nyata untuk menjalankannya. Tindakan yang dapat

diambil dalam merealisasikan kebijakan dapat berupa program, proyek, atau kegiatan.

Grindle dalam Tachjan (2006:31) mengungkapkan bahwa “implementation is that set

of activities directed toward putting out a program into effect”. Mendukung

Page 29: Bismillah Ya Mujib.doc

pernyataan Grindle, Terry dalam Tachjan (2006:31) juga berpendapat bahwa program

merupakan rencana yang bersifat komprehensif yang sudah menggambarkan sumber

daya yang akan digunakan dan terpadu dalam satu kesatuan. Dalam sebuah program

berisi sasaran, kebijakan, prosedur, metode, standar, dan anggaran.

Menurut Tachjan (2006:35), program terdiri dari beberapa tahap yaitu:

1. Merancang bangun (design) program beserta perincian tugas dan perumusan

tujuan yang jelas, penentuan ukuran prsetasi yang jelas, serta biaya dan waktu.

2. Melaksanakan (application) program dengan mendayagunakan struktur-struktur

dan personalia, dana serta sumber-sumber lainnya, prosedur, dan metode yang

tepat.

3. Membangun sistem penjadwalan, monitoring, dan sarana-sarana yang tepat guna

serta evaluasi (hasil) pelaksanaan kebijakan.

Unsur ketiga dalam implementasi kebijakan publik yaitu kelompok sasaran.

Target group atau kelompok sasaran merupakan sekelompok orang atau organisasi

dalam masyarakat yang akan menerima barang atau jasa yng akan dipengaruhi

perilakunya oleh kebijakan (Tachjan, 2006:35). Sementara itu, Mazamanian dan

Sabatier dalam Subarsono (2010) mengatakan bahwa terdapat tiga variabel yang

mempengaruhi keberhasilan implementasi, yaitu : (1) karakteristik dari masalah, (2)

karakteristik kebijakan/undang-undang, dan (3) variabel lingkungan.

1.8 Kerangka Pikir Penelitian

Peneliti menggunakan kerangka pikir sebagai pedoman peneliti dalam

menemukan fakta dan data lapangan yang berguna untuk menjawab permaslahan

dalam penelitian. Salah satu agenda prioritas pembangunan Kabupaten Bogor

adalah Kebijakan Revitalisasi Pertanian dan Pembangunan Pedesaan yang

selanjutnya disebut Kebijakan RP3. Kebijakan RP3 memiliki strategi dalam

mengembangkan kawasan. Kebijakan RP3 sendiri merupakan strategi

Page 30: Bismillah Ya Mujib.doc

pembangunan ekonomi daerah melalui pembangunan pertanian. Meskipun

demikian, kebijakan ini belum mampu mengatasi persoalan pertanian dan belum

memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian Kabupaten Bogor

terutama. Sampai saat ini belum terlihat jelas perubahan signifikan pada

Kabupaten Bogor meskipun telah dilaksanakan kebijakan tersebut. Dalam hal ini,

peneliti akan mengamati kondisi di lapangan dengan melihat teori. Namun,

penulis menggunakan teori atau konsep hanya untuk memahami masalah di

lapangan, bukan sebagai pedoman dalam mengumpulkan data karena peneliti

juga dipandu oleh fakta-fakta yang ada di lapangan.

Page 31: Bismillah Ya Mujib.doc

BAB 3

METODE PENELITIAN

Bab ini membahas metode penelitian yang digunakan oleh peneliti. Metode

penelitian adalah cara mengumpulkan data dengan menggunakan teknik dan alat

pengumpulan data (Bailey, 1982:34). Metode penelitian juga merupakan serangkaian

hukum, aturan, dan tata cara tertentu yang diatur dan ditentukan berdasarkan kaidah

ilmiah dalam menyelenggarakan suatu penelitian dalam koridor keilmuan tertentu

yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Herdiansyah, 2011:17).

Bahasan metode penelitian ini terdiri dari pendekatan penelitian, jenis penelitian,

teknik pengumpulan data, teknik pengolahan dan analisis data, serta batasan

penelitian.

3.1 Pendekatan Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif.

Menurut Creswell (1994:1), pendekatan kualitatif didefinisikan sebagai berikut:

“this study is defined as inquiry process of understanding a social or human

problem, based on building a complex, holistic picture, formed with words reporting

detailed views of informants, and conducted in a natural setting”.

Creswell mendefinisikan pendekatan kualitatif sebagai suatu proses

pemahaman akan suatu proses pemahaman terhadap suatu permasalahan manusia

atau sosial berdasarkan gambaran holistik, dibentuk dengan kata-kata, melaporkan

pandangan informan secara rinci dan disusun dalam sebuah daftar ilmiah. Sedangkan

Mason (2002:1) menjelaska bahwa penelitian kualitatif dapat mengeksplor aturan

dimensi dalam dunia sosial, termasuk susunan dan jalinan kehidupan sehari-hari,

Page 32: Bismillah Ya Mujib.doc

melakukan pemahaman, mengalami dan membayangkan partisipan penelitian, cara

proses sosial, institusi, percakapan atau hubungan kerja, dan makna signifikan yang

dihasilkan. Pada pendekatan kualitatif, teori bukan merupakan pedoman utama dalam

mengumpulkan data, tetapi dipandu oleh fakta-fakta yang ditemukan di lapangan.

Oleh karena itu, analisis data pada penedekatan kuallitatif bersifat induuktif

berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dan kemudian dikonstruksikan menjadi

hipotesis atau teori (Sugiyono, 2012:3).

Pada penelitian ini, penulis berupaya memperoleh pemahaman atau

pemaknaan secara mendalam mengenai Program Kampung Deret di Jakarta dengan

melihat fakta-fakta alamiah yang terjadi di lapangan yang dapat dijadikan sebagai

pemahaman baru. Penelian ini juga berupaya mencari informasi mengenai bagaimana

Program Kampung Deret ini dilaksanakan dan kendala apa saja yang dihadapi dalam

pelaksanaannya. Pendekatan kualitatif sesuai dengan penelitian ini karena dalam

menganalisis implementasi Program Kampung Deret di Jakarta didasarkan pada

kenyataan yang ditemukan di lapangan serta melaui pengolahan data dan informasi

yang lebih mendalam.

3.2 Jenis Penelitian

Jenis penelitian dapat dilihat berdasarkan manfaat penelitian, tujuan penelitian,

dimensi waktu, dan teknik pengumpulan data (Prasetyo dan Jannah, 2005:37).

1. Berdasarkan Manfaat

Dilihat berdasarkan manfaatnya, penelitian ini termasuk penelitian murni.

Penelitian murni digunakan oleh peneliti untuk memenuhi kebutuhan peneliti

dan dilakukan dalam rangka mengembagkan ilmu pengetahuan (Praseyo dan

Jannah, 2005:38). Penelitian ini tidak memiliki implikasi langsung untuk

menyeselesaikan sebuah masalah secara cepat. Penelitian ini dilakukan dalam

rangka kebutuhan akademis intelektual peneliti yaitu untuk menjawab

Page 33: Bismillah Ya Mujib.doc

permasalahan dalam penelitian ini mengenai implementasi Program kampung

Deret di DKI Jakarta. Hasil penelitian ini digunakan untuk kepentingan ilmu

pengetahuan dan tidak terkait dengan pihak maupun pemberi sponsor.

2. Berdasarkan Tujuan

Berdasarkan tujuannya, penelitian ini digolongkan ke dalam penelitian

deskriptif. Penelitian deskripstif dilakukan untuk memberikan gambaran lebih

mendalam mengenai suatu gejala atau fenomena (Prasetyo dan Jannah,

2005:42). Dalam penelitian ini, peneliti bermaksud memberikan gambaran

secara mendetail mengenai pelaksanaan Program Kampung Deret di DKI

Jakarta.

3. Berdasarkan Dimensi Waktu

Jenis penelitian ini berdasarkan dimensi waktunya termasuk dalam kategori

penelitian cross sectional. Penelitian cross sectional yaitu penelitian yang

dilakukan pada satu titik waktu dan hanya mengambil pendekatan satu kali

dari fenomena sosial pada satu waktu tertentu tersebut (Neuman, 2007:17).

Penelitian cross sectional dilakukan pada satu waktu tertentu. Penelitian ini

digolongkan dalam penelitian cross sectional karena dilakukan pada periode

waktu tertentu yaitu bulan Oktober-November 2014. Penelitian ini juga tidak

melakukan perbandingan penelitian antar waktu.

4. Berdasarkan Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan teknik yang digunakan untuk mencari

dan mengumpulkan data yang terkait dengan penelitian yang dilakukan.

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data secara kualitatif melalui

data primer dan data sekunder. Dalam mencari data primer, peneliti

menggunakan instrumen wawancara mendalam dengan sejumlah narasumber

atau informan dan observasi. Sedangkan data sekunder diperoleh peneliti

melalui studi kepustakaan yang berasal dari sumber data, laporan terdahulu,

Page 34: Bismillah Ya Mujib.doc

literatur atau buku yang terkait dengan topik dalam penelitian ini. Sumber

data sekunder ini dapat berasal dari internet maupun studi pustaka.

4.1 Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam menjadi alat utama pada penelitian kualitatif yang

dikombinasikan dengan observasi partisipasi (Bungin, 2007:157-158).

Melalui wawancara mendalam dapat diperoleh gambaran lengkap

mengenai topik yang diteliti dengan cara bertatap muka langsung dengan

informan yang dilakukan secara intensif dan berulang-ulang. Dalam

wawancara mendalam, dibutuhkan pertanyaan-pertanyaan yang secara

umum tidak terstruktur dan bersifat terbuka yang dirancang untuk

memunculkan pandangan dan opini dari partisipan (Creswell, 2010:267).

Partisipan dalam hal ini merupakan narasumber atau informan yang dipilih

peneliti melalui teknik purposive sampling yang dianggap memiliki

informasi mendalam mengenai topik penelitian. Suumber informasi dari

narasumber atau informan tersebut digunakan untuk mengkaji

permasalahan penelitian, Wawancara mendalam dilakukan terhadap

sejumah pihak antara lain aparatur Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,

kepala dinas terkait, tokoh masyarakat dan Lembaga Swadaya

Masyarakat. Peneliti juga memilih akademisi yang potensial sebagai

sumber informasi untuk dijadikan narasumber atau informan. Peneliti juga

melakukan wawancara kepada akademisi yang memahami topik penelitian

ini.

Wawancara dilakukan dengan narasumber atau informan berikut ini.

a) Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) DKI

Jakarta untuk mengetahui perencanaan pembangunan daerah, termasuk

pembangunan perumahan di Provinsi DKI Jakarta.

Page 35: Bismillah Ya Mujib.doc

b) Kepala Dinas Perumahan yang dapat membantu penulis mendapatkan

informasi mengenai pelaksanaan Program Kampung Deret di DKI

Jakarta.

c) Petugas kelurahan dan Ketua RW tempat dilaksanakannya Program

Kampung Deret. Petugas kelurahan dan Ketua RW merupakan pihak

yang memahami, terlibat dan merasakan dampak langsung

pelaksanaan Program Kampung Deret.

d) LSM yang fokus terhadap permasalahan penataan perkotaan dan

permukiman kumuh. LSM merupakan pihak luar pemerintah sehingga

diharapkan dapat melihat secara obyektif pelaksaaan Program

Kampung Deret dan pengaruhnya terhadap penataan ruang perkotaan.

e) Akademisi yang concern terhadap kajian manajemen perkotaan.

4.2 Observasi Langsung

Dalam melakukan penelitian, peneliti harus menggunakan semua

pancainderanya sehingga dapat memahami suatu kejadian di lapangan.

Observasi langsung merupakan kegiatan yang diilakukan peneliti untuk

turun langsung ke lapangan untuk menggamati perilaku dan aktivitas-

aktivitas inividu di lokasi penelitian (Creswell, 2010:267). Dalam kegiatan

observasi, peneliti melakukan pengamatan langsung di lokasi penelitisian

sehingga dapat mengetahui kondisi riil pelaksanaan Program Kampung

Deret.

4.3 Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan peneliti untuk memperoleh data sekunder

melaui beberapa sumber dari literatur. Studi kepustakaan dapat digunakan

sebagai pedoman atau gambaran umum dalam membahas permasalahan

penelitian. Dalam melakukan studi pustaka, peneliti membaca artikel,

Page 36: Bismillah Ya Mujib.doc

studi literatur, jurnal, data penelitian, buku-buku, dan sebagainya. Sumber

data studi kepustakaan diperoleh peneliti dari internet, media massa, buku,

skripsi, dokumen publik, dokumen dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,

maupun data penunjang lainnya. Studi kepustakaan mempunyai kegunaan

untuk membangun konsep teoritik yang pada waktunya tentunya

memerlukan uji kebermaknaan empirik di lapangan (Muhadjir, 2000:296).

3.3 Teknik Analisis Data

Dalam melakukan analisis data kualitatif, terdapat beberapa langkah kegiatan yang

perlu dilakukan (Creswell, 2012:276). Langkah-langkah tersebut, antara lain sebagai

berikut.

1. Mengolah dan Mempersiapkan Data

Langkah awal yang harus dilakukan peneliti dalam proses analisis data adalah

mengolah dan mempersiapkan data untuk dianalisis. Pada tahap ini, peneliti

menngunakan transkrispsi wawancara, melakukan scanning materi,

menuliskan data lapangan dengan terlebih dahulu memilih dan menyusun data

sesuai sumber informasimya ke dalam pengelompokan yang berbeda. Peneliti

memperoleh data pada tahap ini melalui wawancara dengan beberapa

narasumber yang terkait dengan topik penelitian. Setelah memperoleh data

dan informasi yang diperlukan, kemudian dilakukan reduksi data yang relevan

dengan topik penelitian. Dalam tahapan ini, peneliti membangun general

sense terhadap informasi yang diperoleh yang kemudian menemukan makna

dan merefleksikannya secara keseluruhan.

2. Membaca Keseluruhan Data

Pada tahap ini, peneliti membaca seluruh data dan informasi yang diperoleh

kemudian memberikan catatan-catatan khusus serta gagasan-gagasan umum.

Page 37: Bismillah Ya Mujib.doc

3. Coding Data

Coding data dilakukan peneliti untuk menganalisis informasi secara lebih

detail. Menurut Rossman dan Rallis (1998:171), coding adalah proses

mengolah materi atau informasi menjadi segmen-segmen tulisan sebelum

memaknainya. Pada tahap ini terdiri dari beberapa kegiatan yaitu: data berupa

gambar atau tulisan yang telah dikumpulkan kemudian diambil dan dilakukan

segmentasi ke dalam kategori-kategori. Kategori-kategori tersebut selanjutnya

dilabeli dengan istilah-istilah khusus berdasarkan istilah atau bahasa yang

berasal dari partisipan (in vivo).

4. Coding dan Deskripsi

Pada tahapan ini peneliti melakukan coding untuk mendeskripsikan setting,

orang-orang, kategori, dan tema-tema yang akan dianalisis. Dalam kegiatan

deskripsi, peneliti berusaha menyampaikan informasi secara detail terkait

lokasi, peristiwa-peristiwa, atau orang-orang dalam setting tertentu.

5. Interpretasi Data

Setelah memperoleh hasil deskripsi, peneliti kemudian menyajikan hasil

deskripsi tersebut dalam bentuk narasi atau laporan kualitatif. Kegiatan

terakhir selanjutnya yang dilakukan dalam menganalisis data yaitu melakukan

interpretasi atau memberi makna terhadap data yang diperoleh. Pada tahap ini,

peneliti menarik kesimpulan berdasarkan data yang telah diperoleh, apakah

hasil penelitian membenarkan atau justru berlawanan dengan informasi awal.

3.4 Proses Penelitian

Tahap pertama yang dilakukan peneliti adalah melakukan studi literatur

terhadap beberapa sumber kepustakaan terkait permukiman kumuh dan pembangunan

perumahan di DKI Jakarta. Setelah mendapat beberapa informasi tentang kondisi

permukiman dan pembangunan di DKI Jakarta, peneliti kemudian meminta informasi

Page 38: Bismillah Ya Mujib.doc

mengenai Program Kampung Deret kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Tahap

selanjutnya yaitu peneliti mengumpulkan informasi mengenai pelaksanaan Program

Kampung Deret di DKI Jakarta. Peneliti memilih beberapa lokasi di DKI Jakarta

untuk memperoleh hasil yang optimal. Lokasi yang menjadi fokus penelitian

merupakan lokasi dilaksanakannya Program Kampung Deret.

3.5 Batasan Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti hanya bermaksud menggambarkan pelaksanaan

Program Kampung Deret dan kendala yang dialami dalam mengimplementasikan

program tersebut.