bab iv konteks sosio-bifdaya masyarakat dalam

112
BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM KAITANNYA DENGAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL DI SMU NEGERI l UBUD Pendidikan IPS sebagai suatu studi sosial mempelajari dinamika masyarakat baik dari dimensi waktu, ruang, maupun nilai-nilainya (Depdiknas, 2002). Karena itu, sesungguhnya, praktik pendidikan IPS di sekolah tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial budaya masyarakat di mana program pendidikan IPS itu dilaksanakan. Begitu pula dengan progr am pendidikan IPS di SMU Negeri I Ubud, yang terletak di daerah kawasan dan kunjungan wisata Ubud, tidak terlepas dari konteks kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Pengaruh yang terjadi memang tidaklah melibatkan peran masyarakat secara langsung dan aktif dalam proses pendidikan IPS di sekolah, melainkan t «"bentuk melalui nilai-nilai dan sikap yang hidup pada seluruh civitas sekolah yang kemudian turut mewarnai kebijakan serta sikap dan perilaku pendidik dan siswa dalam hubungan edukatifnya di lingkungan sekolah pada umumnya, dan pada pola praktik pendidikan IPS pada khususnya. A. Konteks Penelitian SMU Negeri 1 Ubud berlokasi di Banjar/Dusun Sambahan, Kelurahan Ubud, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Propinsi Bali. SMU ini merupakan sekolah menengah tingkat atas negeri pertama yang ada di Kecamatan Ubud dan merupakan sekolah menengah negeri yang dirintis pertama kali di Bali berlokasi di tingkat kecamatan (Kepala SMU Negeri 1 Ubud, 2001). Adapun peta lokasi sekolah dapat digambarkan pada halaman 113 berikut. Dilihat dari latar belakangnya, SMU Negeri 1 Ubud ini dibuka pada tahun pelajaran 1980/1981. Pendirian sekolah ini dirintis oleh keluarga puri Ubud yang dimotori oleh Tjokorda Gde Agung Suyasa dengan memberikan sebidang tanah milik keluarga puri untuk lokasi sekolah ini. Demikian pula keluarga puri banyak memberikan bantuan fasilitas dan dana pendidikan untuk kepentingan sekolah ini setiap tahunnya. Oleh karena itulah, sekolah ini sangat dekat sekali hubungannya dengan keluarga puri Ubud. Sampai saat ini, sebagai penghormatan kepada keluarga puri Ubud, pengurus BP3 atau komite sekolah selalu dipimpin oleh keluarga puri Ubud sendiri. Hubungan yang dekat dengan puri Ubud ini memberikan corak budaya tersendiri kepada sekolah ini dalam pengembangan program-program pendidikannya maupun dalam membina hubungan 112

Upload: phungthien

Post on 30-Dec-2016

229 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM KAITANNYA DENGAN

PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL DI SMU NEGERI l UBUD

Pendidikan IPS sebagai suatu studi sosial mempelajari dinamika masyarakat baik

dari dimensi waktu, ruang, maupun nilai-nilainya (Depdiknas, 2002). Karena itu,

sesungguhnya, praktik pendidikan IPS di sekolah tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial

budaya masyarakat di mana program pendidikan IPS itu dilaksanakan. Begitu pula dengan

progr am pendidikan IPS di SMU Negeri I Ubud, yang terletak di daerah kawasan dan

kunjungan wisata Ubud, tidak terlepas dari konteks kehidupan sosial budaya

masyarakatnya. Pengaruh yang terjadi memang tidaklah melibatkan peran masyarakat

secara langsung dan aktif dalam proses pendidikan IPS di sekolah, melainkan t «"bentuk

melalui nilai-nilai dan sikap yang hidup pada seluruh civitas sekolah yang kemudian turut

mewarnai kebijakan serta sikap dan perilaku pendidik dan siswa dalam hubungan

edukatifnya di lingkungan sekolah pada umumnya, dan pada pola praktik pendidikan IPS

pada khususnya.

A. Konteks Penelitian

SMU Negeri 1 Ubud berlokasi di Banjar/Dusun Sambahan, Kelurahan Ubud,

Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Propinsi Bali. SMU ini merupakan sekolah

menengah tingkat atas negeri pertama yang ada di Kecamatan Ubud dan merupakan

sekolah menengah negeri yang dirintis pertama kali di Bali berlokasi di tingkat kecamatan

(Kepala SMU Negeri 1 Ubud, 2001). Adapun peta lokasi sekolah dapat digambarkan pada

halaman 113 berikut.

Dilihat dari latar belakangnya, SMU Negeri 1 Ubud ini dibuka pada tahun

pelajaran 1980/1981. Pendirian sekolah ini dirintis oleh keluarga puri Ubud yang dimotori

oleh Tjokorda Gde Agung Suyasa dengan memberikan sebidang tanah milik keluarga puri

untuk lokasi sekolah ini. Demikian pula keluarga puri banyak memberikan bantuan

fasilitas dan dana pendidikan untuk kepentingan sekolah ini setiap tahunnya. Oleh karena

itulah, sekolah ini sangat dekat sekali hubungannya dengan keluarga puri Ubud. Sampai

saat ini, sebagai penghormatan kepada keluarga puri Ubud, pengurus BP3 atau komite

sekolah selalu dipimpin oleh keluarga puri Ubud sendiri. Hubungan yang dekat dengan

puri Ubud ini memberikan corak budaya tersendiri kepada sekolah ini dalam

pengembangan program-program pendidikannya maupun dalam membina hubungan

112

Page 2: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

sosialnya dengan masyarakat di sekitarnya di wilayah Kecamatan Ubud pada umumnya

dan Kelurahan Ubud pada khususnya.

Adanya peranan keluarga puri Ubud dalam inisiasi pendirian sekolah ini serta

bantuan-bantuan fasilitas, dana, dan kontribusi pemikiran-pemikiran yang berlandaskan

sistem sosial dan budaya Bali, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Ubud masih

menghormati keberadaan keluarga pun Ubud dengan segala atribut (kaste/wangsa) dan

peranannya (warna) dalam masyarakat (Agung, 1974; Wiana, 1977). Ini karena tidak saja

memiliki kemampuan diri melalui kemampuan secara ekonomi, sosial, dan politik, yang

memberikan mereka status, otoritas, dan kekuasaan tinggi di masyarakat (Weber seperti

dikutip oleh Johnson, 1994), tetapi mereka juga masih memiliki pengaruh sosial budaya

secara tradisional karena mereka masih dianggap sebagai pemimpin yang memiliki

karisma, dermawan, berpengetahuan luas, dan memiliki kekuasaan sosial politik secara

sehulu dan niskala (bandingkan dengan Blumberg, 1978; Fried, 1967; Harner, 1970;

LenskL 1966; Parson, 1977,1966; Widja, 1991, 1989).

Sejak tahun ajaran 2001/2002 SMU Negeri 1 Ubud dipimpin oleh seorang kepala

sekolah bernama Drs.Anak Agung Ketut Raka yang masih ada hubungan kekeluargaan

pula dengan keluarga besar puri Ubud. Beliau ini merupakau alumni FKIP Universitas

Udayana Singaraja program SI Program studi Pendidikan Ekonomi tahun 1984. Dengan

kepemimpinannya, beliau ini dihormati, disegani, dan disukai baik oleh dewan guru, staf

pegawai, siswa, maupun oleh pengurus komite sekolah. Beliau ini dinilai banyak guru

senior, pegawai, dan siswa sebagai sosok orang Bali dari keluarga puri yang cerdas,

terbuka, bijaksana, santun, dan demokratis. Dalam komunikasi tugas sehari-hari beliau

selalu menggunakan bahasa Bali halus baik kepada guru, pegawai, orang tua

murid/masyarakat, maupun siswa tanpa membeda-bedakan kedudukan dan kasta. Dengan

bahasa Bali halus inilah beliau menyatakan bagaimana orang Bali menghormati atau

menghargai orang lain, sehingga orang lain akan hormat kepada kita. Ini adalah prinsip

utama seorang pemimpin di Bali, kata beliau, jika ingin dihormati dan disegani.

Penggunaan bahasa Bali halus tidak harus diartikan sebagai bahasa kampungan dan

tradisional. Ini harus dimaknai dalam rangka penegakan uAjeg Baii" (kelestarian Bali)

secara keseluruhan tanpa harus meninggalkan penggunaan Bahasa Indonesia sama sekali.

Dengan kepemimpinan kepala sekolah seperti di atas menunjukkan bahwa sekolah telah

memiliki seorang pemimpin yang tidak saja memiliki otoritas secara tradisional, tetapi

juga memiliki otoritas yang karismatik, dai! otoritas legal rasional (Weber, seperti dikutip

oleh Jo'inso" ' oo-i >

114

Page 3: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

Pada tahun ajaran 2002/2003 SMU Negeri Ubud memiliki tenaga • . 'j* c s

sebanyak 64 orang dengan rincian per mata pelajaran, masa kerja, pangk^anJgbI(nfgafl/{'

jenis kelamin, dan tingkat pendidikan sebagai tertera dalam tabel II dan ^ / v /

Tabel 11: Distribusi Guru SMU Negeri I Ubud Berdasarkan Mata P c f a j a i ^ Pangkat, dan Jenis Kelamin

Guru Mata Pelajaran

Golongan III i Golongan IV | Total Guru Mata Pelajaran L P j L P I

Agama/Bahasa Bali > 3 i I 4 PPKn/Tata Negara 1 1 1 1 3 Sejarah j 2 Bahasa Indonesia • 3

1 1 1 ! 4 Sejarah j 2 Bahasa Indonesia • 3 1 4 Bahasa Inggris i 3 ! i 4 Matematika 1 1 1 4 ! 6 Geografi 1 1 i 1 ! 3 Ekonomi/Akuntansi 2 ! 2

1 i 5

Sosiologi/Antropologi ! 1 I ! 2 Fisika 3 | 2 5 Biologi 2 i 2

i 4

Kimia 3 J i ! 4 Bahasa Jepang 1 1 1 ! 2 A. Islam/Bah. Arab Dari Departemen Agama j 1 * PKK Merangka 3 sebagai guru Sosiologi/Antropologi i l * Penjaskes I 2 : i i • 3 Bimb. & Konseling | 3 i i * i 5 Seni Rupa/Tari j 3 2 ; 5 Guru Perpustakaan j 1 I

Total j 31 U 19 3 | 64 j

Tabel 12: Distribusi Guru SMU Negeri 1 Ubud Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Masa Kerja

Tingkat Pendidikan

Masa Kerja Total j i Tingkat

Pendidikan 1 - 1 0 1 1 - 2 0 | 21 -30 Total j i

DUI/Sarmud - 9 I 10 Sarjana 5

5

33 | 16 !

54 i

Total

5

5 42 j 17 64

Berdasarkan distribusi data tersebut, dilihat dari segi kuantitas, SMU Negeri 1

Ubud telah memiliki tenaga gin u yang cukup baik dati segi rasio, berpengalaman, dan

seimbang. Namun dilihat dari pengalaman mengikuti penataran atau pelatihan selama

jabatan (inservice iraintng) tampaknya pendidikan guru masih sangat kurang. Diakui pula

115

Page 4: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

bahwa sampai saat ini belum ada guru-guru di SMU Negeri 1 Ubud yang melahirkan

hasil karya ilmiah yang diakui dalam bidang keahlian pendidikannya masing-masing

atau mengikuti lomba karya ilmiah guru. Karena itulah, 22 orang guru yang telah

berpangkat pembina golongan IVa meyakini bahwa mereka tidak akan naik pangkat lagi

karena tidak memiliki karya tulis ilmiah.

Dari data di alas dapat ditunjukkan bahwa kualifikasi guru-guru di SMU Negeri 1

Ubud dari segi tingkat pendidikannya memang sudah memadai karena mereka umumnya

sudah mencapai sarjana pendidikan yang relevan. Sayangnya, pengalaman masa kerja

guru-gum yang sudah rata-rata mencapai 1 0 - 2 0 tahun lebih belum diimbangi dengan

pengalaman pengembangan kemampuan kualifikasi guru secara kualitas dalam bidangnya

baik secara kedinasan, organisatoris, maupun secara personal. Lemalmya pendidikan

dalam jabatan dan usaha guru secara personal dalam meningkatkan kualifikasi guru,

menunjukkan bahwa guru-guru selama masa jabatannya lebih berorientasi pada

pelaksanaan tugas sehari-hari dengan melaksanakan tugas berdasarkan pengalaman

semata-mata. Ini menujukkan pula bahwa komitmen sekolah ini untuk meningkatkan

kuah tas guru-gurunya masih sangat terbatas. Jika kualitas pendidikan sekolah dominan

ditentukan oleh kualitas guru-gurunya (Depdiknas, 2004b; Tilaar, 1999) maka upaya

sekolah ini pun dalam meningkatkan kualitas pendidikan sekolatinya masih dapat

dikatakan terbatas.

Di samping tenaga edukatif, untuk melaksanakan tugas-tugas administrasi setiap

harinya, SMU Negeri 1 Ubud memiliki 18 orang tenaga administrasi dengan rincian

tingkat pendidikan: 1 orang sarjana manajemen, 1 orang sarjana muda sekretaris, 1 orang

berpendidikan DIII sekretaris, 12 orang berpendidikan SMU/SMEA/KPAA/STM, 2 orang

berpendidikan KKP, dan 1 orang berpendidikan SD.

Dilihat dari keadaan input siswanya, SMU Negeri 1 Ubud sejak tahun ajaran

2000/2001 setiap tahunnya memiliki 17 rombongan belajar yang pada tahun ajaran

2002/2003 mencapai jumlah 721 orang siswa. Dari 17 rombongan belajar ini, enam

rombongan adalah siswa kelas I dengan jumlah siswa 243 orang, enam rombongan lainnya

adalah siswa kelas II dengan jumlah siswa 244 orang, dan lima rombongan belajar sisanya

adalah siswa kelas III dengan jumlah siswa 234 orang.

Untuk siswa kelas III, penjurusan disediakan dengan 1 rombongan belajar jurusan

IPA, I rombongan jurusan IPS, dan 3 rombongan jurusan bahasa. Penjurusan ini di

samping disesuaikan dengan pilihan minat siswa juga ditentukan berdasarkan tingkat

prestasi siswa. Pada umumnya, sejak awal siswa SMU Negeri 1 Ubud cenderung memilih

116

Page 5: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

jurusan bahasa dari pada jurusan IPA atau IPS. Menurat siswa dan guru, kondisi ini lebih

ditentukan oleh kebutuhan pasar kerja sektor pariwisata dan kondisi sosial budaya

masyarakat Ubud yang membutuhkan siswa terampil berbahasa asing dan perlu

memahami banyak aspek budaya Bali.

Data ini jelas menegaskan bahwa perkembangan sosial budaya masyarakat dan

kebijakan-kebijakan tertentu di tingkat daerah dapat turut mempengaruhi kebijakan

pelaksanaan program-program pendidikan sekolah, khususnya dalam pengembangan

kecakapan liidup (Jife skills) siswa yang lebih dibutuhkan oleh masyarakat Hubungan

inilah yang menyebabkan sekolah dapat berperan terhadap dan atau sejalan dengan tingkat

pertumbuhan dan perkembangan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat sekitarnya

(Collins,1985: 60-87 ). Dalam kajian antropolgi pendidikan, proses ini dapat dikatakan

bahwa pendidikan sekolah telah melakukan produksi budaya (cutiural produclion) bagi

kepentingan sosial dan budaya masyarakatnya (Levinson & Holland, 1996: 1-54; Rival,

1996: 153-167; Skinner & Holland, 1996: 273-299)

Diakui oleh kepala sekolah, guru, dan siswa bahwa minat lulusan SMU Negeri 1

Ubud untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi khususnya ke universitas atau institut

memang tergolong cukup dan belum begitu tinggi. Kondisi ini diakui agak kontradiksi

dengan latar belakang status sosial ekonomi orang tua siswa yang rata-rata berada pada

kelompok menengah ke atas. Hal ini diduga ada kaitannya dengan orang tua siswa

umumnya berlatar belakang wiraswasta dan pekerja yang cukup sukses di sektor

perdagangan dan industri pariwisata (hanya 20% orang tua siswa berstatus PNS). Siswa

lulusan SMU Negeri 1 Ubud cenderung memilih bekerja di sektor pariwisata setelah tamat

mengikuti jejak orang tuanya, atau paling tidak melanjutkan sekolah program pendidikan

kilat pariwisata (DI atau DII Pariwisata). Tidak mengherankan jika sekolah pariwisata

sangat diminati siswa di daerah Ubud dan Gianyar pada khususnya dan di daerah Bali

pada umumnya.

Temuan ini jelas menunjukkan bahwa perkembangan pariwisata telah membawa

dampak pula pada program pendidikan sekolah dan minat siswa setelah tamat. Di sini,

kebutuhan masyarakat pariwisata di Ubud terhadap pemenuhan sumber daya manusia

yang terampil untuk bekeija di sektor pariwisata telah menyebabkan tumbuh dan

berkembang secara cukup signifikan minat dan aspirasi kerja di kalangan siswa di sektor

pariwisata. Dampak ini memang sebagian positif terutama bagi sekolah dalam

mengembangkan program-program pendidikan yang relevan dibutuhkan masyarakat dan

generasi muda untuk memasuki dunia kerja di industri pariwisata. Tetapi, dalam jangka

117

Page 6: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

panjang dikhawatirkan juga bisa menimbulkan dampak negatif, karena sekolah cenderung

dapat distimuii untuk secara pragmatis mengembangkan tujuan-tujuan pendidikan yang

hanya untuk menghasilkan tenaga-tenaga keija tingkat teknis dan terampil. Ini jelas akan

menghambat upaya peningkatan mutu pendidikan secara keseluruhan.

Menurut keyakinan siswa, Bali pada umumnya serta Gianyar dan Ubud pada

khususnya, yang terkenal dengan objek dan aktivitas pariwisatanya, perlu didukung oleh

sumber daya manusia yang dapat melestarikan dan mengembangkan potensi alam dan

budaya Bali yang diminati wisatawan. Untuk belajar tentang kehidupan sosial dan budaya

orang Bali, mereka tidak perlu belajar sampai perguruan tinggi, apalagi belajar di

perguruan tinggi belum tentu bisa mempelajari kebudayaan orang Bali dan belum tentu

akan memberikan jaminan hidup masa depan yang lebih baik. Belajar kehidupan sosial

dan budaya orang Bali haruslah dipelajari langsung dalam kehidupan bermasyarakat dalam

menjalankan swadarma masing-masing. Bekal pengetahuan formal sudah cukup sampai

sekolah menengah, selebihnya dapat dipelajari sendiri oleh siswa dalam kehidupan di

masyarakat.

Bagi siswa, karena itu, sekolah bukanlah satu-satunya wahana tempat

melangsungkan proses pendidikan, dan pendidikan formal bukanlah satu-satunya tempat

belajar siswa mengembangkan kecakapan hidup. Masyarakat dan lingkungan dunia kerja

juga dapat digunakan sebagai wahana proses pendidikan dan pembelajaran untuk

mengembangkan kecakapan-kecakapan liidup yang dibutulikan dalam kehidupan

bermasyarakat.

Sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan belajar siswa dan kebutuhan masyarakat

Ubud pada khususnya seperti itu, maka SMU Negeri 1 Ubud mengembangkan program

pendidikan yang relevan dengan kebutuhan tersebut. Memang dari segi kurikulum, SMU

Negeri 1 Ubud seutulmya melaksanakan fungsi kurikulum nasional. Namun,

menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan siswa dan masyarakat, sekolah juga

melaksanakan kurikulum muatan lokal berbasis pelestarian budaya Bali. Ada satu mata

pelajaran sebagai muatan lokal yang disisipkan pada kurikulum sekolah, yaitu mata

pelajaran bahasa Bali. Pemberian mata pelajaran ini bertujuan, di samping melestarikan

bahasa Bali sebagai salah satu aspek budaya Bali di kalangan generasi muda, juga untuk

mempelajari keseluruhan aspek budaya Bah itu sendiri, karena bahasa diyakini merupakan

pintu gerbang dan sarana penguasaan dan pengembangan budaya itu sendiri (Ahhnsa-

Putra, 2001). Di samping itu dikembangkan pula program-program ekstrakurikuler yang

relevan dengan pengembangan kebudayaan Bali seperti melukis, seni tari, menabuh, serta

118

Page 7: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

kajian budaya dan agama Hindu (khususnya keterampilan menyiapkan upacara Hindu,

keterampilan memberikan dharmawacana, dan keterampilan megegilan f dharmagita)

atau menembangkan lagu-lagu suci.

Pemberian mata pelajaran bahasa Bali kepada siswa, di samping memang telah

sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah Bali melalui Dinas Pendidikan Propinsi Bali,

kebijakan ini juga sesuai dengan visi dan misi SMU Negeri 1 Ubud. Dengan pemberian

mata pelajaran bahasa Bali kepada siswa diharapkan siswa sebagai unsur generasi muda

masyarakat Bali dapat melestarikan dan mengembangkan penggunaan baliasa dan sastra

daerah Bali yang di dalamnya dinilai dan diyakini banyak mengandung sari pati

kebudayaan Bali yang adi luhur (Sancaya, 2004 ).

Selanjutnya, pemberian kegiatan ekstrakurikuler yang bernuansa pelestarian dan

pengembangan kajian kebudayaan Bali kepada siswa adalah agar berguna bagi

pembekalan pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan hidup yang diperlukan siswa dalam

kehidupan bermasyarakat Bali yang berbudaya dan religius. Di samping itu, memiliki

pengetahuan, nilai-nilai, rasa estetika, dan keterampilan hidup berbasis kebudayaan dan

kesenian Bali yang dididikkan kepada siswa melalui kegiatan ekstrakurikuler seperti

menari, melukis, menabuh, seni pahat, megegitan, kemampuan memberikan

dharmawacana, dan sejenisnya diyakini telah dapat memberikan kesejahteraan hidup

kepada masyarakat Ubud dan Gianyar pada khususnya yang terkenal sebagai daerah

tujuan wisata budaya yang kaya dengan seniman dan hasil seninya (Geriya, 1996).

Untuk mendukung pencapaian tujuan di atas, sekolah menyediakan fasilitas dan

sarana belajar untuk menunjang aktivitas kurikulum tersebut. SMU Negeri 1 Ubud telah

memiliki fasilitas dan sarana pendidikan/belajar yang cukup memadai, kecuali untuk

unsur-unsur seperti lapangan olah raga atletik dan sepak bola, ruang belajar, mang dan

alat-alat keterampilan, alat-alat laboratorium, komputer, dan sarana buku-buku

perpustakaan masih dirasakan kurang.

B. Visi dan Misi SMU Negeri 1 Ubud

Visi SMU Negeri 1 Ubud adalah menjadikan sekolah sebagai wahana pendidikan

sumber daya manusia kepada generasi muda Bali dalam rangka pembinaan dan

pengembangan manusia Bali yang bermutu, beriman, dan berbudaya (Kepala SMU Negeri

1 Ubud, 2002). Dengan pendidikan sumber daya manusia yang bermutu berarti SMU

Negeri 1 Ubud berupaya mengembangkan kemampuan intelektual dan akademis serta

119

Page 8: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

komitmen yang tinggi untuk inelaliirkan lulusan yang memiliki pengetahuan, nilai-nilai,

dan keterampilan hidup yang tinggi sesuai dengan tujuan dan target sekolah.

Pendidikan manusia yang bermutu juga berarti pendidikan yang dapat melahirkan

lulusan yang memiliki nilai-nilai dan komitmen yang relevan dalam upaya penguasaan dan

pengembangan iptek, yang dicirikan oleh peningkatan kemampuan berpikir ilmiah,

kemauan belajar dan bekerja keras dengan ulet dan tekun, menjunjung tinggi pengambilan

keputusan yang rasional, bersifat terbuka dan demokratis, menghargai waktu, serta selalu

bertindak sesuai dengan norma, tujuan, dan target yang ingin dicapai.

Untuk dapat mewujudkau visi di atas, SMU Negeri 1 Ubud telah memfokuskan

programnya dengan terus berupaya meningkatkan kualitas tnpui dan proses belajar

mengajar, yang antara lain dilakukan dengan memperketat sistem seleksi penerimaan

siswa baru, meningkatkan disiplin guru dalam kegiatan belajar mengajar baik yang bersifat

perencanaan, pelaksanaan pembelajaran di kelas, melakukan evaluasi, dan pelaksanaan

supervisi kelas, serta meningkatkan peran guru dalam mengikuti kegiatan MGMP

terutama di tingkat kabupaten. Upaya lain yang dilakukan adalah memberikan tambahan

jam belajar kepada siswa kelas III yang akan menghadapi ujian, meningkatkan jumlah

jenis dan kualitas kegiatan ekstrakurikuler dengan mendatangkan pelatih profesional dari

masyarakat dan seniman di sekitar Ubud, memperbanyak kesempatan siswa untuk

berkompetisi baik dalam kegiatan akademis maupun kegiatan ekstrakurikuler, serta

menjalin kerja sama pertukaran siswa dengan beberapa SMU di Jepang. Dalam program

pertukaran siswa, SMU Negeri 1 Ubud telah empat kali mengirim ke Jepang siswa yang

berprestasi di kelas, siswa yang unggul dalam seni tari dan melukis, serta siswa yang orang

tuanya memiliki dana untuk program pertukaran siswa terutama siswa dari keluarga puri

Ubud. Sebaliknya, SMU Negeri I Ubud juga telah menerima dua kali rombongan studi

wisata siswa-siswa dari beberapa sekolah menengah di Jepang.

Ada beberapa kemajuan yang telah dicapai SMU Negeri 1 Ubud dalam upayanya

meningkatkan mutu pendidikannya, antara lain sebagai berikut. Pertama, dengan sistem

seleksi yang lebih ketat, sekolah lebih dapat menjaring input siswa dengan prestasi belajar

yang lebih baik setiap tahunnya.

Kedua, upaya sekolah untuk meningkatkan prestasi belajar siswa telah

menunjukkan adanya peningkatan dalam rerata hasil belajar/NEM yang dicapai siswa

setiap tahunnya, walau tidak terlalu signifikan dinilai, yang dengan begitu lulusan SMU

Negeri I Ubud lebih dapat bersaing dengan lulusan sekolah lainnya.

120

Page 9: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

Ketiga, sekolah lebih dapat menegakkan tata tertib sekolah dan meningkatkan

disiplin belajar siswa. Dengan inpui siswa yang dalam hal prestasi lebih baik dan minat

belajar yang lebih tinggi, lebih memudahkan sekolah untuk menegakkan tata tertib sekolah

dan disiplin belajar siswa.

Keempat, jumlah lulusan yang melanjutkan ke perguruan tinggi meningkat setiap

tahunnya. Begitu pula lulusan yang diterima dengan sistem seleksi PMJK terutama pada

Universitas Udayana dan IKIP Negeri Singaraja yang mengandalkan prestasi belajar sejak

semester pertama hingga semester akhir sebelum ujian mengalami peningkatan.

Akhirnya, diakui pula bahwa prestasi akademis dan bidang ekstrakurikuler siswa,

terutama dalam minat mengikuti lomba, setiap tahunnya juga mengalami peningkatan.

Dalam hal lomba bidang akademis, walau tidak ada siswa SMU Negeri I Ubud yang

berhasil menjadi juara dalam berbagai lomba seperti dalam olimpiade fisika, biologi,

matematika, kimia, akuntansi, komputer, dan lomba karya ilmiah remaja, bahkan untuk

tingkat kabupaten sekalipun, tetapi minat siswa untuk mengikuti lomba mengalami

peningkatan. Berbeda untuk bidang ekstrakurikuler, seperti bidang olah raga; kesenian:

melukis, seni tari dan haleganjur; memberikan dharmawacam baik dalam bahasa

Indonesia maupun bahasa Bali; dan lomba mewirama, prestasi siswa SMU Negeri 1 Ubud

ternyata cukup membanggakan, baik di tingkat kabupaten maupun propinsi Bali; begitu

pula baik dalam kegiatan PORSENI daerah maupun lomba yang diselenggarakan institusi

tertentu. Dalam kegiatan PORSENI daerah Gianyar, misalnya, SMU Negeri 1 Ubud

bahkan selalu menjadi juara umum.

Dari berbagai upaya dan hasil peningkatan mutu pendidikan di SMU Negeri I

Ubud di atas, secara keseluruhan sebagai satu sistem memang tampak bahwa kebijakan-

kebijakan dan tindakan-tindakan yang ditempuh telah mengarah kepada peningkatan mutu

secara komprehensif. Sayangnya, rumusan peningkatan mutu pendidikan sekolah terutama

dalam aspek kurikuler cenderung lebih berorientasi pada peningkatan rata-rata hasil raport

dan hasil ujian sekolah serta ujian nasional yang hanya menekankan pencapaian aspek

kognisi secara agregat (prestasi kelas dan sekolah).

Selanjutnya, dengan visi beriman, hal ini dimaksudkan bahwa pendidikan di SMU

Negeri I Ubud haruslah mampu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan para siswa.

Dalam bahasa lokal tnereka menyatakan, sekolah haruslah mampu meningkatkan

kesadaran civitasnya, dan terutama siswa, dalam hal crada (keyakinan/keimanaty, bhakii

(pemujaan;, lan cubha karma (taqwa) kepada Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha

Esa). Penetapan visi ini benar-benar disadari atas landasan keyakinan masyarakat pada

121

Page 10: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

umumnya dan civitas sekolah pada khususnya bahwa betapa setinggi apapun ilmu yang

dimiliki manusia, tanpa memiliki crada dan bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Waca,

para dewa, betara, dan penghormatan kepada leluhur maka hidup manusia akan sia-sia.

Visi ini relevan dengan adagium yang menyatakan bahwa ilmu tanpa agama itu adalah

buta, dan sebaliknya agama tanpa ilmu adalah lumpuh. Karena itulah, masyarakat Ubud

menghendaki satu lembaga pendidikan yang mampu menyeimbangkan penguasaan iptek

dengan pengembangan crada, bhaki, dan cubha karma kepada Ida Sang Hyang Widhi

Waca. Hal ini sejalan dengan peranan agama Hindu dalam seluruh aspek sikap dan

perilaku masyarakat Hindu di Bali.

Untuk mewujudkan visi di atas, SMU Negeri 1 Ubud telah mengembangkan

program pendidikan yang meliputi program pembinaan crada dan bhakti, pendidikan budi

pekerti berbasis agama dan budaya Bah, dan pendidikan keterampilan beragama. Untuk

ini beberapa kegiatan rutin dan berkala dalam meningkatkan iklim dan pengalaman

religius siswa telah dilakukan.

Aktivitas program-program pendidikan keimanan sangat khusuk dilakukan semua

civitas sekolah termasuk oleh guru dan siswa yang memberikan iklim religius yang tinggi

pada lingkungan sekolah. Sebagaimana diakui, SMU Negeri 1 Ubud adalah sekolah yang

memiliki unit pelinggih suci paling banyak di Bali. Ada enam jenis pelinggih di sekolah

ini, yaitu: satu unit pura sekolah dengan satu padmasananya, satu unit pelinggih majeng

kangin (menghadap ke timur) merupakan pelinggih Ratu Bhaiara Pemuteran Jagai yang

melindungi semua yang ada di sekolah, satu unit pelinggih majeng kauh (menghadap ke

barat) merupakan pelinggih penyawangan Betara leluhur fisi Markandya yang pura

pemujaan utamanya di Ubud terletak di sebelah barat di sungai campuhan Ubud, satu unit

pelinggih wong samar, satu pelinggih padma capah, satu pelinggih resa dugul {Bhaiara

Indra Belaku), dan satu unit pelinggih (pelangkiran) di setiap ruangan. Dengan cukup

banyaknya pel/nggth-pelinggih ini, memberikan semacam peringatan untuk meningkatkan

kesadaran kepada setiap warga sekolah untuk menghaturkan sesaji atau persembahan dan

persembahyangan setiap harinya dan agar bersikap dan berperilaku yang baik. Dari

banyaknya tempat-tempat suci di lingkungan sekolah seperti ini yang disertai kewajiban-

kewajiban religius yang mengikutinya, sekali lagi menunjukkan betapa besarnya peranan

agama Hindu dalam memberikan landasan motivasi, landasan tuntunan moral,

pengintegrasi jati diri, dan landasan orientatif bagi pengembangan dan pelaksanaan

program pendidikan di sekolah, khususnya di SMU Negeri I Ubud. Jelaslah pula di sini

bahwa agama telah merevitalisasi nilai-nilai luhur yang berbasis ajaran Hindu yang hidup

122

Page 11: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

di tengah-tengah masyarakat Bali untuk diapliaksikan atau diimplementasikan dalam

kehidupan pendidikan formal di lingkungan sekolah. Hal ini sesuai dengan pandangan

Alpert CCoser, 1971) tentang peran agama dalam merevitalisasi nilai-nilai sosial budaya

yang hidup dalam kelompok masyarakat.

Di samping itu, SMU Negeri 1 Ubud juga adalah salah satu dari sekolah-sekolah di

Bali yang menjalin hubungan erat dengan desa adat dan pura desanya. Hubungan ini

membelikan kesempatan kepada para guru dan siswa untuk meningkatkan crada, hhakti,

dan karma wacananya melalui hubungan sosialnya yang harmonis dengan warga atau

krama desa adat Ubud. Ini berarti praktik keliidupan ritual beragama juga memberikan

fungsi sosial dalam keliidupan bersama masyarakat (Coser, 1971: 139; Durkheiin,1965).

Kalau diperhatikan praktik-praktik dan iklim yang diciptakan untuk meningkatan

keimanan di atas tampak bahwa pelaksanaan praktik keyakinan beragama di sekolah

dilaksanakan tidak saja melalui persembahan dan penyembahan kepada Tuhan Yang Maha

Esa (Jdu Sang Hyang Widhi Wasa\ para dewa, para Rsi, dan leluhur, tetapi juga

memberikan penghormatan kepada guru dan orang yang lebih tua atau dewasa, kepada

sesama, bahkan melalui pemeliharaan lingkungan. Dengan begitu pelaksanaan crada dan

bhakii agama serta pembentukan karma wacana tidak saja diwujudkan dalam nilai-nilai

transenden kepada Tuhan, tetapi juga memiliki nilai-nilai immarteni mistics. Artinya, di

sini dikembangkan agar manusia memiliki sikap yang selalu mencari nilai tertinggi di

dunia yang memandang dirinya sebagai bagian dari suatu totalitas. Segala yang ada di

dunia dinilai dari segi artinya bagi kehidupan rohaniah yang ingin mencapai keselarasan

antara pengalaman bathin dengan arti hidup, mencari pencipta yang tertinggi atau

kekuasaan yang absolut, yaitu Tuhan Yang Maha Esa (Allport, Vemon, dan Lindzey,

1970). Praktik religius seperti ini sejalan pula dengan pandangan Spranger (seperti dikutip

oleh Sukadi, 1994: 55-56) yang menjelaskan bahwa sifat religius adalah suatu keadaan

baik instingtif ataupun rasional yang pengalaman tunggalnya, yang positif atau negatif,

dihubungkan dengan keseluruhan nilai kehidupan. Dikaitkan dengan pandangan Magnis-

Suseno (1985), praktik keimanan seperti di atas akan dapat menimbulkan sikap religius

yang termasuk di dalamnya memandang masyarakat, alam, dan dunia adikodrati sebagai

kesatuan yang tidak terpecah belah.

Jelaslah bahwa kehidupan keimanan agama yang ingin dibangun di sekolah seperti

di atas tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakatnya. Seperti Durkheim (1965;

Coser, 1971; Johnson, 1994) menyatakan bahwa corak dari agama apa saja berhubungan

dengan suatu dunia yang suci (sacred realm) yang berbeda dengan dunia profan dalam

123

Page 12: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

kehidupan yang biasa sehari-hari. Tetapi, ide tentang dunia yang suci itu juga

sesunggulmya tidak bisa dipisahkan dari kenyataan sosial, yaitu kehidupan kelompok

sosial dan sebenarnya mewakili kenyataan kelompok itu dalam bentuk simbol

(Durkkheim, 1965).

Visi berbudaya, visi ketiga SMU Negeri I Ubud, merupakan visi untuk

mewujudkan sekolah sebagai wahana pendidikan yang berbudaya berbasis pada budaya

Bali dan budaya Hindu tanpa meugabaikan upaya pengembangan kebudayaan nasional

dan kebudayaan modern. Ini terutama dilakukan dengan program-program pendidikan

yang memberikan siswa suatu iklim sentuhan budaya yang tinggi. Pertama, sekolah

memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada siswa kelas III untuk memilih

jurusan bidang bahasa dan budaya tanpa ada intervensi sekolah, seperti sekolah lain, untuk

membual keseimbangan jumlah siswa yang memilih jurusan IPA, IPS, dan Bahasa.

Dengan siswa lebih banyak memilih jurusan bahasa dan budaya inilah sekolah

mengembangkan program pendidikan sosial budaya dan seni yang cukup intensif baik

yang bersifat kurikuler, kokurikuler, maupun ekstrakurikuler. Dalam bidang kurikuler dan

kokurikuler siswa dapat mengikuti kurikulum bahasa, sastra, dan budaya yang cukup

intensif, seperti: bahasa dan sastra Indonesia, bahasa dan sastra Inggris, bahasa Jepang,

bahasa Arab, bahasa dan sastra Bali, dan sejarah masyarakat dan kebudayaan Bali. Dalam

kegiatan ekstrakurikuler, sekolah mengembangkan kegiatan ekstra, seperti: melukis,

menari Bali, menabuh, dan kajian agama Hindu dan kebudayaan Bali (dharmacanthi dan

dharmawacana).

Kedua, sekolah juga menciptakan iklim kehidupan budaya Bali yang cukup kental

dalam lingkungan sekolah. Penggunaan bahasa Bali halus oleh semua unsur civitas

sekolah dalam komunikasi di luar jam pelajaran adalah program utama menciptakan iklim

budaya Bali tersebut. Kebiasaan yang utama dilakukan juga adalah aktivitas religius

setiap hari yang mewarnai lingkungan sekolah.

Dalam hubungan antara sekolah dan masyarakat sebagai wujud sosialisasi sekolah

di lingkungan masyarakat, sekolah juga ikut terlibat dalam kegiatan upacara ritual Hindu

yang cukup sering dilaksanakan di pura-pura yang besar di wilayah Ubud, keterlibatan

sekolah dalam kegiatan ritual di lingkungan puri Ubud, dan keterlibatan guru dan siswa

dalam kegiatan-kegiatan festival seni dan budaya yang sering dilaksanakan di Ubud

sebagai objek wisata budaya dan seni.

Salah satu yang unik juga dilakukan sekolah adalah bahwa dalam upayanya

melestarikan lingkungan lembah yang cukup luas ada di sebelah timur sekolah, sekolah

124

Page 13: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

telah mengembangkan sikap dan perilaku siswa yang baik melalui jalur rd^S^ 9 ^^" "

keyakinan civitas sekolah bahwa lembah di sebelah timur sekolah merupakan teftipaf_

suci yang secara niskala (tidak kasar mata) dihuni oleh makhluk-makliluk suc^Jj"

disebut dengan wong samar. Karena itu, dikembangkanlah sikap dan perilaku untu&s&tsrii*

menjaga kelestarian dan kesucian lembah itu.

Praktik budaya seperti ini jelas sekali menunjukkan bagaimana struktur pikiran

orang Bali yang bersifat nva bhineda terhadap lingkungan alam secara fisik. Walau

lingkungan lembah sebagai buana alif merupakan lingkungan fisik biologis, namun orang

Bali percaya bahwa lembah ini juga menjadi bagian dari kekuasaan buana agung yang

hidup mengatur kelangsungan kehidupan makhluk-makhluk (tumbuh-tumbuhan dan

binatang) di lembalL Unsur kekuatan buana agung itulah yang disimbolkan atau

dipersonifikasikan dengan wong samar (makhluk yang tidak kelihatan, sesungguhnya

merupakan kekuasaan Ida Sang Hyang Widhi Waca). Dengan adanya penghormatan,

persembahan dan hidup selaras dengan kekuatan buana agprtg ini secara tidak langsung

juga merupakan upaya pelestarian lingkungan lembah. Dengan begitu struktur pikiran

seperti ini bisa didekati dengan kajian pendekatan strukturalis (Barker, 2004).

Ketiga, dengan tidak mengabaikan pengembangan unsur-unsur kebudayaan

nasional, sekolah juga secara konsisten melaksanakan kurikulum sekolah yang merupakan

kurikulum nasional yang pada dasarnya dinilai guru sebagai upaya mempertahankan dan

mengembangkan serta membawa pesan nilai-nilai yang hidup dalam perkembangan

kebudayan nasional Indonesia.

Secara kurikuler, dengan standar nasional, kurikulum mendidik dan mengajarkan

kepada siswa bahwa Pancasila sebagai kepribadian dan pandangan hidup bangsa Indonesia

merupakan nilai-nilai yang harus selalu menjadi pedoman dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia. Dengan model pendidikan nilai

seperti itu memang tampak lebih ditekankan kepada siswa perlunya kesadaran individu

untuk selalu berupaya selaras dengan sistem dan nilai-nilai serta norma-norma dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tidak ada tempat dalam model

pendidikan nilai seperti ini bagi anak untuk melakukan kritik dan refleksi sosial, untuk

membuat perubahan, dan untuk menjadi bebas menjadi dirinya sendiri. Pandangan seperti

ini jelas sejalan dengan pemikiran fungsionalisme yang lebih menekankan arti keselarasan

dan keseimbangan sistem sosial budaya dalam menciptakan keteraturan sosial dan budaya

dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Mulder, 2003).

125

Page 14: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

Pendidikan IPS juga memiliki peran yang besar dalam pembentukan image tentang

masyarakat dan kebudayaan nasional di kalangan siswa. Kurikulum dapat menciptakan

kesan bahwa Indonesia itu adalah daerah yang subur; kaya dengan sumber-sumber alam

termasuk flora dan faunanya; memiliki aneka ragam hasil budaya masyarakat; penduduk

dengan multi etnik, ras, bahasa, adat isitiadat, dan agama, sehingga perlu dikembangkan

sikap toleransi dan saling menghormati; bangsa yang memiliki latar belakang sejarah dan

perjuangan yang sama dalam mencapai kemerdekaaan seiiiiigga membentuk semangat

nasionalisme; dan masyarakat dengan corak budaya agraris yang bersifat komunal dan

paternalistik yang kini berada dalam masa transisi menuju modernisasi yang demokratis.

Dengan kurikulum bahasa dan sastra Indonesia, siswa belajar tentang bahasa

persatuan, bahasa komunikasi antar individu dan masyarakat dalam kehidupan berbangsa

dan bernegara Indonesia. Siswa juga belajar keterampilan berbahasa Indonesia untuk

meningkatkan pengetahuan dan wawasan dan berkomunikasi secara ilmiah. Pelajaran

sastra Indonesia juga setidak-tidaknya telah mengajarkan kekayaan ragam sastra nasional

yang menumbuhkan sikap apresiasi siswa terhadap perkembangan sastra Indonesia.

Akhirnya, dengan visi budaya, sekolah juga diakui oleh kepala sekolah dan guru-

guru serta siswa telah berfungsi mentransmisikan kebudayaan dan nilai-nilai global yang

berbasis pada penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta nilai-

nilai sertaan yang sejalan dengan kepentingan penguasaan dan pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi tersebut., antara lain: pentingnya belajar dan bekerja keras;

berorientasi pada prestasi; berpandangan ke depan; penguasaan dan pelestarian terhadap

alam; partisipasi dalam pemecahan masalah-masalah lokal, nasional, dan global;

menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang universal; hubungan dan komunikasi antar

bangsa; kompetisi dan kerja sama secara global; menjunjung nilai-nilai demokratis;

penghargaan terhadap hak-hak azasi manusia, hak-hak kelompok minoritas, dan

kesetaraan gender; pengembangan budaya multi kultural; dan penciptaan perdamaian

dunia (bandingkan dengan Cogan, et al.,1997).

Dari kajian pengembangan visi dan tujuan-tujuan sekolah seperti yang

digambarkan di atas, jelaslah bahwa visi yang dikembangkan di SMU Negeri 1 Ubud telah

mencerminkan perwujudan fungsi dan tujuan-tujuan pendidikan nasional, yaitu pendidikan

nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban

bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk

berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa

kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,

126

Page 15: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Depdiknas, 2003).

Pengembangan visi seperti ini juga menunjukkan bahwa tujuan pendidikan dalam rangka

pembentukan manusia modern yang beradab tidaklah semata-mata diorientasikan untuk

mengejar penguasaan iptek seperti dalam adagium iniellecius quaerrens ftdem, atau

sebaliknya, hanya berorientasi pada peningkatan keimanan semata seperti dalam adagium

fides quaerren$ inleltecium. Pengembangan visi di atas jelas menunjukkan suatu konlinum

dari kedua adagium tersebut dengan tetap memberikan tekanan pada peningkatan e

keimanan sebagai dasar yang pertama dan utama dalam pengembangan penguasaan iptek

berbasis budaya lokal, nasional, dan global secara seimbang dan demokratis (Somantri,

2001).

Pemberian penekanan pada peningkatan keimanan sebagai yang pertama dan

utama, baru kemudian diikuti dengan pengembangan penguasaan iptek seperti ini, sejalan

dengan pandangan kosmologis orang Bali yang berstruktur rwa bhimda yang

menempatkan status buana agung (keimanan atau crada dan bhakti kepada Ida Sang

Hyang Widhi Waca) sebagai tempat utama (hulu) dalam kehidupan dan status buana alit

(penguasaan iptek) sebagai tempat leben, tetapi di antara keduanya berfungsi

komplementer dan tidak saling meniadakan.

C. Pariwisata di Kecamatan Ubud

Kegiatan pariwisata di wilayah Kecamatan Ubud dan sekitarnya telah berlangsung

sejak tahun 1920 sampai tahun 1930-an. Pada masa itu salah seorang punggawa Ubud

yang berasal dari keluarga bangsawan, Cokorda Gede Raka Sukawati, yang menunjukkan

kesetiaannya kepada raja Gianyar dan menjadi anggota Volksraad di Batavia banyak

mengundang seniman-seniman dunia untuk mengembangkan Ubud menjadi desa pusat

pengembangan kebudayaan dan kesenian Bali. Ini memungkinkan, di samping karena

daerah Ubud sejak jaman perunggu di Bali memang sudah terkenal dengan perkembangan

kebudayaan dan keseniannya, Cokorda sendiri adalah bangsawan yang memiliki interes

dan komitmen yang tinggi untuk melestarikan dan mengembangkan kesenian Bati. Tak

kurang seniman seni rupa dunia seperti Walter Spies datang dan tinggal menetap di Ubud

untuk mengembangkan seni rupa di Ubud.

Kondisi perkembangan seperti ini membuat Ubud menjadi semakin terkenal

sebagai pusat kesenian di Bali. Walau beberapa perubahan telah terjadi pada gaya dan

objek-objek lukisan dan hasil karya patung, kondisi ini sama sekali tidak meninggalkan

nilai-nilai seni tradisional seniman-seniman Ubud yang selalu mengintegrasikan dan

127

Page 16: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

mempersembahkan karya seni mereka untuk persembahan atau yadnya kepada Tuhan

sebagai sumber kesenian (Ciwanaiamja). Sejalan dengan perkembangan seni lukis dan

seni pahat di Ubud, jenis-jenis kesenian yang lain pun turut berkembang pesat di Ubud. Di

Desa Peliatan Ubud, misalnya, sangat berkembang seni gamelan, seni tari yang terkenal

dengan legong keratonnya, dan seni drama. Pada tahun 1931, group musik tradisional dan

legong dari desa ini, yang dipimpin oleh musisi legendaris Anak Agung Gede Mandera

telah diundang oleh pemerintah Perancis untuk melakukan eksibisi di kota Paris.

Perkembangan seni musik Bali di Desa Peliatan inilah yang menarik seniman musik Kunst

untuk menulis tentang musik Bali yang dipublikasikan tahun 1925. Karya Kunst inilah

yang menarik Spies juga untuk belajar seni musik Bali dan mengantarkannya menjadi

direktur orkestra kesultanan Yogyakarta yang melanglang buana ke Eropa. Tidak itu saja,

di Desa Mas, Ubud juga, misalnya, berkembang seni kerajinan membuat wayang dari

bahan kulit dan seni kerajinan kayu yang berkembang hingga sekarang. Kedua jenis seni

kerajinan ini berkembang pesat di tangan-tangan para keluarga brahmana di Desa Mas

yang merupakan keturunan dari Dang Hyang Nirarta (Pendeta Hindu-Budha dari

Majapahit) dan diturunkan kepada para siswa-siswanya Tidak mengherankan jika hasil-

hasil karya seni mereka bernafaskan jiwa religius yang bermutu tinggi (Susilawati, 2002;

Anonim, tt.b).

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa perkembangan pariwisata di Ubud diawali

oleh perkembangan keseniannya yang disertai pula dengan adanya interaksi antara

seniman-seniman lokal dan seniman-seniman barat yang difasilitasi oleh keluarga puri

Ubud. Interaksi antara seniman-seniman lokal dan barat ini ternyata mampu

mengembangkan kegairahan seniman-seniman lokal di Ubud untuk mengembangkan dan

memadukan hasil-hasil karya seninya, sampai bahkan melahirkan jenis kualitas seni

kontemporer (Bandem, 2005; Katja, 2005). Tidak saja yang berkembang kemudian adalah

seni rupa dan seni pahatnya saja, tetapi berkembang pula bidang-bidang seni yang lain,

antara lain seni inusik atau gamelan, seni tari, seni pertunjukan (drama, drama tari, iopeng,

arja, wayang kulit, wayang wong, gambuh, joged bumbung, dan lain-lain), seni sastra, dan

seni kerajinan atau seni kriya.

Di samping itu, interaksi ini pulalah yang menghasilkan seni wisata yang turut

mendukung kebutuhan pariwisata akan nilai-nilai keindahan. Tetapi, walaupun

perkembangan terjadi dalam kesenian di Bali (baik yang menyangkut bidang keseniannya,

objeknya, medianya, alirannya, maupun gayanya), orang Bah tetap dapat membedakan

hasil karya seninya menjadi dua klasifikasi, yaitu seni yang dipersembahkan untuk

128

Page 17: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

kepentingan yadnya (upacara ritual) dan seni yang dikembangkan untuk pemuasan rasa

estetis manusia. Seni yang dipersembahkan untuk kepentingan upacara ritual ini umumnya

memiliki nilai mistis dan religius dan tidak mengalami perubahan. Sebaliknya, seni yang

ditunjukkan untuk kepentingan manusia, termasuk seni wisata, di samping memiliki nilai-

nilai keindahan, juga memiliki nilai-nilai prestise dan komersial, dan, karena itu,

cenderung mengalami perubahan. Pembedaan hasil karya seni ini juga menunjukkan

struktur dalam, struktur pemikiran, masyarakat Bali yang menekankan adanya kekuatan

m-a-bhinneda antara kekuatan buana alil dan buana agung (Bandem, 2005).

Tidak mengherankan, karena itu, jika aktivitas pariwisata di Ubud khususnya dan

di Bali pada umumnya terus berkembang seiring dengan perkembangan yang perlahan tapi

pasti. Pada tahun 1960-an dan 1970-an mulailah masuk industri perhotelan dan caiering

ikut terlibat dalam aktivitas pariwisata dengan mulai beroperasinya beberapa hotel /

penginapan di wilayah Ubud, Sanur yang terkenal dengan Hotel Bali Beachnya, dan

Legian Kuta. Tahun 1970-an inilah yang dinilai sebagai awal booming pariwisata Ubud

pada khususnya dan di Bali pada umumnya yang didukung oleh mulai dibukanya Bandar

Udara Ngurah Rai sebagai bandara internasional (Anonim, tt.a).

Sejak tahun 1980-an hingga kini dinilai sebagai perkembangan pariwisata yang

bersifat massa di Bali. Dewasa ini jumlah kunjungan wisata ke Bali pada umumnya dan ke

Ubud pada khususnya dinilai masyarakat menunjukkan peningkatan walau ada pengaruh

global (isu terorisme, perang Irak, dan isu SARS) terhadap tingkat kunjungan wisatawan,

tei-utama dari mancanegara. Berikut ditunjukkan data kunjungan wisatawan ke Bali dalam

lima tahun terakhir (1999-2003) yang mengalami fluktuasi pasang surut setiap tahunnya.

Tabel 13: Data Kunjungan Wisatawan Mancanegara dan Domestik ke Bali dari Tahun 1999 sampai dengan Tahun 2003 (dalam Ribuan)

j NO 1

KLASIFIKASI T A H U N j NO 1

KLASIFIKASI 1999 2000 2001 2002 2003

1 1

i Mancanegara (i n Ciassified Hotel)

1 . 3 8 0 , 8 0 0 5 . 4 8 9 , 0 0 0 j ! . 4 0 6 , 7 0 0 i

1 . 2 1 8 , 1 0 0 1 . 0 3 3 , 8 0 0

I 2 Mancanegara (Nonclassified Hotel)

2 3 1 , 8 8 2 7 7 4 , 4 5 5 ! 9 1 5 , 4 5 5 3 8 3 , 9 4 0

3 5 3 T 7 0 0 "

8 8 8 , 2 5 5

4 1 3 7 8 0 0 "

I 2

Domenstik (in Ciassified Hotel)

2 1 2 , 9 0 0 3 1 2 , 7 0 0 ; 3 5 1 , 5 0 0

3 8 3 , 9 4 0

3 5 3 T 7 0 0 "

8 8 8 , 2 5 5

4 1 3 7 8 0 0 "

! 4 i J Domestik (Nonclassified Hotel)

4 4 0 , 9 0 9 7 8 , 8 0 6 i 2 7 7 , 8 4 8 2 9 6 , 1 6 0 2 6 1 , 0 8 6

i s . . JUMLAH 2 . 2 6 6 , 4 9 1 2 . 6 5 4 . 9 6 1 j 2 . 9 5 1 , 5 0 3 2 . 2 5 1 , 9 0 0 2 . 6 1 6 , 9 4 1

Sumber: Badan Pusat Statistik Bali, 2004

Implikasi kunjungan wisatawan yang bersifat massa ini memberikan dampaknya

yang semakin luas dirasakan masyarakat, tidak saja terhadap perkembangan kesenian di

129

Page 18: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

Ubud, tetapi terhadap aspek-aspek kehidupan yang lain baik dari dimensi sosial, budaya,

ekonomi, lingkungan, dan kehidupan religius masyarakat. Ubud diakui masyarakat,

budayawan, dan ilmuwan (peneliti) telah berkembang menjadi daerah tujuan wisata di Bah

yang bercorak wisata budaya. Sejarah perkembangan aktivitas pariwisata di Ubud seperti

dijelaskan di atas menunjukkan fenomena budaya dimaksud (Anonim, tt.a). Ini sesuai

dengan kebijakan Pemerintah Daerah Propinsi Bali dalam Peraturan Daerah Nomor 3

Tahun 1974 yang menetapkan jenis kepariwisataan yang dikembangkan di daerah Bah

adalah pariwisata budaya (Ahrnad Baso, 20G2). Pariwisata budaya adalah jenis

kepariwisataan yang dikembangkan bertumpu pada motivasi pengembangan berbagai

aspek luhur kebudayaan (Geriya, 1996), seperti: pemanfaatan, penataan, dan pelestarian

ekosistem lingkungan alam; pelestarian dan pengembangan berbagai karya seni;

pelestarian dan pengembangan nilai-nilai dan sistem sosial budaya; penguatan kehidupan

religi; peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui sektor pendidikan; serta

penataan, penyelarasan, dan pengembangan kegiatan politik dan ekonomi.

Sebagai objek wisata, desa-desa di Ubud sebagian menjadi desa penunjang

pariwisata, yaitu: Desa Kedewatan, Desa Sayan, dan Desa Singakerta. Sebagian lagi

merupakan desa kunjungan wisata, yaitu Desa Mas dan Lodtunduh; sedangkan Desa

Ubud, Petulu dan Peliatan adalah sebagai desa-desa domisili wisatawan. Klasifikasi ini

memang tidaklah begitu ketat, tampaknya, terutama untuk desa penunjang pariwisata. Hal

ini karena di Desa Kedewatan dan Sayan, misalnya, telah mulai berdiri beberapa hotel/

penginapan dan beberapa wilayalmya juga telah cukup rutin mendapat kunjungan

wisatawan. Begitu pula, Desa Singakerta sebagian wilayahnya telah mendapat kunjungan

wisatawan, yang semua ini tampaknya akan berkembang terus.

Adanya klasifikasi ini tentu dapat diketahui bahwa intensitas interaksi wisatawan,

baik wisatawan nasional (domestik) maupun wisatawan manca negara dengan penduduk

atau masyarakat Ubud cukup bervariasi. Di sini intensitas interaksi yang paling tinggi

terjadi tentunya pada masyarakat di desa-desa Ubud, Peliatan, dan Petulu, diikuti,

kemudian, oleh masyarakat di desa-desa Lontunduh dan Mas, dan akhirnya masyarakat di

desa-desa Kedewatan, Sayan, dan Singakerta. Kondisi ini membawa dampak yang

beragam pula pada aktivitas dan kualitas kehidupan masyarakat Ubud secara keseluruhan

dalam kaitannya dengan aktivitas pariwisata.

Secara umum, wisatawan yang datang dan atau pernah tinggal di Ubud mencakup

baik wisatawan yang terorganisir {organized mass tourist atau inslilulionalized tourisi)

maupun wisatawan individual (the explorer or the drtfier) (Geriya, 1996). Hubungan

130

Page 19: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

antara masyarakat dengan wisatawan tipe pertama ini umumnya lebih bersilat formal dan

mereka umumnya memanfaatkan jasa-jasa pariwisata yang bersifat formal pula, seperti

penggunaan biro peijalanan, gutde resmi, hotel-hotel berbintang internasional, dan

sejenisnya, seliingga hubungan mereka dengan masyarakat pada umumnya bersifat tatap

muka selintas.

Berbeda halnya dengan tipe wisatawan individual yang jumlahnya lebih besar di

Ubud, interaksi mereka dengan masyarakat pada umumnya sangat menyusup dan cukup

mendalam, karena mereka berinteraksi langsung dengan masyarakat. Mereka terutama

tinggal di rumah-rumah penginapw/homesiay, bungalow, bahkan di rumah-rumah

penduduk. Tidak mengherankan jika ada wisatawan asing yang tinggal di Ubud telah fasih

berbahasa Indonesia atau bahasa Bali, ikut bekerja di sektor industri pariwisata,

berkeluarga (kawin mawin) dengan penduduk setempat, menjadi anggota penduduk

setempat, belajar tentang kehidupan sosial budaya dan kesenian di Ubud, menjadi seniman

di Ubud, ikut berpartisipasi dalam kehidupan sosial budaya masyarakat, dan sejenisnva.

Dewasa ini bahkan telah berdiri sekolah TK internasional di Ubud yang menampung

putra-putri warga asing dan warga campuran yang menetap lama di Ubud.

Dapat dikatakan bahwa perkembangan pariwisata di Ubud dengan karakteristik

yang unik seperti di atas berkembang menjadi pariwisata kerakyatan yang berkelanjutan.

Dikatakan demikian karena dalam perkembangan pariwisata di Ubud, baik perencanaan,

pelaksanaan, pengembangan, pengelolaan, dan pengawasannya dapat dilakukan oleh

masyarakat desa adat dengan peranan puri Ubud sebagai cenier ofexcellencenya..

Peranan individu dan keluarga dalam menggerakkan perkembangan pariwisata di

Ubud juga cukup dominan sejak awal perkembangannya. Dimotori oleh individu-individu

dan keluarga-keluarga seniman di Ubud, mereka bekerja semata-mata demi meningkatkan

kualitas karya mereka dan untuk persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang

berimplikasi pada peningkatan status sosial mereka di masyarakat dan karya-karya mereka

juga makin banyak mengundang wisatawan datang ke Ubud.

Di saat perkembangan pariwisata di Ubud mengalami booming awal di tahun

1970-an dan 1980-an mulailah generasi muda Ubud mengembangkan kreativitas mereka

untuk memajukan industri pariwisata di Ubud. Banyak generasi muda yang beralih bekeija

dari sektor pertanian ke sektor pariwisata yang lebih menjanjikan masa depan. Mereka

mulai mengembangkan usaha-usaha pariwisata secara individual dan keluarga, seperti

mendirikan arishop dan toko-toko souvenir, menyediakan rumah penginapan dan hotel

bagi wisatawan, membentuk kelompok-kelompok atau seka seni, membangun restoran,

131

Page 20: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

cafe, dan bar; mengembangkan seni kerajinan; mengembangkan usaha cargo; memberikan

layanan guide freelance, menjadi tenaga-tenaga harian di rumah-rumah penginapan,

restoran, dan arishop, dan sejenisnya. Semua ini dapat berkembang tidak bisa dilepaskan

dari konsekuensi hubungan individual yang kuat dan mendalam antara masyarakat dengan

wisatawan-wisatawan kelas individual yang sebagian juga merupakan kelas-kelas pekerja

Para wisatawan mendapat pelayanan wisata, pengalaman keindahan, dan ketakjuban yang

memang mereka butuhkan datang ke Ubud, sementara masyarakat memperoleh materi dan

pengembangan wawasan sosial budaya dan pengetahuan bisnis pariwisata modern yang

rasional dari wisatawan (Geriya, 1996).

Untuk menghindari terjadinya konflik di antara sesama individu atau antar

keluarga dalam masyarakat serta konflik antara individu dan keluarga dengan para

wisatawan dalam pengembangan aktivitas pariwisata di Ubud, peranan desa dinas, desa

adat, dan kelompok-kelompok sosial budaya (seka) di Ubud juga cukup penting dalam

memajukan perkembangan pariwisata di Ubud. Peranan pemerintahan dan desa dinas

sangat penting dalam menyesuaikan kebijakan-kebijakannya agar tidak menyimpang

dengan kepentingan masyarakat adat, walau tidak seluruhnya dapat dilakukan terutama

yang menyangkut kebijakan penggunaan lahan tanah sebagai daya dukung lingkungan

terhadap pariwisata. Kebijakan yang penting adalah adanya kesepakatan umum

masyarakat Ubud untuk tidak menjual tanah miliknya kepada orang asing melainkan

cukup disewakan saja, sehingga pariwisata di Ubud dapat dikembangkan dari, oleh, dan

untuk kepentingan masyarakat Ubud pada khususnya dan masyarakat Bali pada umumnya.

Desa adat, kemudian, dengan dimotori oleh keluarga puri yang dominan menjadi

tokoh-tokoh masyarakat, agama, dan tokoh adat mengembangkan awig-awig adai

(peraturan adat) secara tertulis untuk dijadikan dasar bagi pengaturan desa adat di masing-

masing desa adat di Ubud, termasuk dalam penataan pengembangan pariwisata yang telah

masuk ke sektor-sektor kehidupan dan wilayah-wilayah kekuasaan desa adat di Ubud.

Pengembangan awig-awig adai ini sepenuhnya berlandaskan konsep pemikiran

keseimbangan, keselarasan, dan keserasian dalam penerapan atau perwujudan konsep-

konsep dan nilai-nilai iri hita karana, walau masih ada saja pelanggaran terjadi.

Menguatkan pelaksanaan awig-awig adai ini dinilai tidak saja mampu

mendinamisasi perkembangan pariwisata di Ubud pada umumnya melalui dinamisasi

sistem sosial berbasis seka dengan azas kekeluargaan dan dinamisasi nilai-nilai

kebudayaan dan seni dalam meningkatkan kemampuan kreativitas (manajemen, desain,

alat dan bahan, media, bentuk, gaya/siyle, dan aliran), tetapi juga mampu mengontrol dan

132

Page 21: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

mengeliminir atau meminimalisasi ketegangan-ketegangan atau konflik yang bisa muncul.

Prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dipegang masyarakat dalam mengembangkan

pariwisata di Ubud sesuai dengan jiwa awig-awig desa adai, antara lain adalah sebagai

berikut. Pertama, pengembangan pariwisata diabdikan untuk kepentingan masyarakat desa

adat Ubud, dan bukan sebaliknya, desa adat dijual untuk kepentingan pariwisata. Kedua,

pariwisata dikembangkan bertujuan makin meningkatkan kemampuan warga desa adat

untuk melakukan yadnya {panca yadnya: dewa yadnya, rsi yadnya, piira yadnya, manusa

yadnya, dan butha yadnya) dan tidak semata-mata untuk mengejar kepemilikan material.

Ketiga, pariwisata dikembangkan di Ubud dimaksudkan pula untuk meningkatkan kualitas

sumber daya manusia masyarakat Ubud (pawongan) dengan karakter kehidupan sosial

budayanya yang kental dengan mengoptimalkan seluruh potensi locai genius yang

dimiliki. Dalam hal ini lingkungan alam dan kehidupan sosial budaya serta kreativitas

berkeseniaa masyarakat di Ubud memang sangat potensial dan dapat dimanfaatkan untuk

kepentingan perkembangan pembangunan bidang pariwisata. Keempat, aktivitas program

pariwisata di Ubud relevan dengan upaya penataan dan pengembangan lingkungan

palemahan dalam upaya menjadikan lingkungan Bali pada umumnya, dan wilayah Ubud

pada khususnya, sebagai pulau taman yang dalam eksploitasi dan pengembangannya harus

tetap memperhatikan kontinuitas kelestarian daya dukung lingkungan dan mengupayakan

penataan lingkungan yang bersih, aman, lestari, dan indah (BALI). Walau dalam

realitasnya penataan ruang atau lingkungan di Ubud telah mulai sesak dan sering

menimbulkan kemacetan lalu lintas, namun diakui wisatawan bahwa lingkungan di Ubud

secara umum masih cukup baik dan terbebas dari berbagai bentuk polusi.

Aktivitas kelompok-kelompok atau seka kesenian juga sangat besar peranannya

dalam memajukan pariwisata di Ubud. Munculnya seka-seka gong kebyar, kidung

(pesanlian), arja, angklung, selonding, joged bumbung, lari legong kraion, tari kecak, dan

seka baleganjur tidak saja ikut meramaikan dan menyemarakkan kancah perkembangan

seni wisata yang lain dari yang sudah ada dan berkembang di Ubud yang sebagian untuk

kepentingan komoditi pariwisata di Ubud pada khususnya, tetapi juga menjadi basis bagi

perkembangan kesenian Bali pada umumnya yang memang menjadi karakter utama

masyarakat Hindu Bali yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan berkesenian.

Dengan kemampuan adaptasi budaya masyarakat Ubud terhadap tuntutan

perkembangan pariwisata seperti ini, tidak saja pariwisata kemudian berdampak positif

kepada masyarakat Ubud, tetapi masyarakat Ubud sendiri sesungguhnya tidak bisa

dilepaskan dari dunia pariwisata. Simpulan ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh

133

Page 22: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

McKean (1973) yang merumuskan bahwa hubungan atau interaksi orang Bali dengan

wisatawan didasarkan atas prinsip saling mengharapkan. Mantra, sebagai dikutip oleh

Erawan (1993:292-2931) juga senada menyimpulkan sebagai berikut.

A few points I ha t can be drawn out in the frame of interaclion between culture and tourism are: l) between culiure and tourism ihere has been developing a dynamic interacting patlem; 2) and yet, its dynamism does not terminate only horizontally, but also moves verticaliy in the sense that culture is able to increase tourism and tourism is also able to develop culture; and 3) in the vertical dynamism of culture, it is obviously visible the potency of the culture in the form offlexible, adaptibility, and creativity without losing its own identity.

Tetapi, pariwisata budaya di Ubud juga tidak luput dari berbagai masalah. Masih

ada terjadi hingga kini keluhan wisatawan yang melaporkan ke lembaga informasi

pariwisata tentang adanya kasus-kasus pelayanan yang tidak optimal, gangguan keamanan,

gangguan terhadap privacy, gangguan kenyamanan, masalah kebersihan dan kesehatan

pada fasilitas-fasilitas umum, masalah-masalah disiplin waktu dan kerja, serta belum

adanya aturan-aturan yang menjamin seluruh kepentingan wisatawan. Terhadap masalah-

masalah ini tampaknya alasan kurangnya pemahaman masyarakat lokal secara

komprehensif terhadap kepentingan wisatawan dan nilai-nilai budaya global serta alasan

perbedaan beberapa segi nilai-nilai dan sikap sosial dan budaya antara masyarakat lokal

dan wisatawan menjadi kendalanya.

Di samping itu, masyarakat sendiri juga menerima beberapa dampak negatif dari

maraknya aktivitas pariwisata di Ubud. Beberapa masalah yang timbul antara lain adalah

sebagai berikut. 1) Adanya kesenjangan ekonomi yang semakin lebar, karena perbedaan

tingkat pendapatan masyarakat antara masyarakat berpenghasilan tertinggi dan terendah

dan antar desa-desa di Ubud yang tidak sama tingkat perkembangan pariwisatanya. 2)

Berpengaruhnya penerapan sistem ekonomi berbasis kapital, menyebabkan para pemilik

kapital lebih memperoleh pendapatan yang setinggi-tingginya dalam usaha bisnis

wisatanya, sementara para seniman, pengrajin, petani, dan masyarakat pada umumnya

yang memproduksi barang-barang dan jasa untuk kepentingan wisatawan hanya

memperoleh pendapatan yang rendah. 3) Mulai munculnya sikap materialistis yang

menempatkan kepentingan ekonomi lebih besar dari kepentingan sosial dan agama,

termasuk munculnya sikap pamer terhadap pemilikan barang-barang mewah serta

menguatnya pola sikap dan perilaku konsumtif tingkat tinggi. 4) Munculnya sikap dan

perilaku pada sebagian masyarakat yang kurang menghargai arti penting pendidikan

formal sekolah karena dinilai tidak menjamin status sosial ekonomi. 5) Menyempitnya

lahan-lahan pertanian dan lahan-lahan yang berfungsi sebagai konservasi atau perlindunga

134

Page 23: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

lingkungan yang digantikan oleh kepentingan pengembangan aktivitas industri wisata. 6)

Mulai adanya perubahan sikap masyarakat yang lebih menonjolkan arti penting nilai-nilai

dan aktivitas kebudayaan dan kesenian pada kegiatau-kegitan ritual keagamaan yang

semestinya lebih mengutamakan aspek nilai-nilai religiusnya untuk bisa ditunjukkan pula

bagi kepentingan perkembangan pariwisata di Ubud. 7) Berkembangnya fasilitas dan

sarana-sarana industri wisata menyebabkan tampak daya dukung lahan dan jalan-jalan

terasa semakin padat atau sesak dan ramai. Pada saat-saat tertentu dimana kunjungan

wisatawan meningkat, keadaan lingkungan terasa amat menyesakkan. 8) Pada sebagian

kalangan generasi muda, mulai muncul pula kurangnya sikap apresiasi mereka terhadap

produk budaya dan kesenian lokal dan lebih mengikuti perkembangan mode-mode budaya

dan seni kontemporer yang bersifat global. Beberapa dampak negatif ini dapat terjadi

karena masyarakat juga turut menyerap pola-pola hubungan sosial, pengetahuan, dan nilai-

nilai serta sikap dan perilaku yang berbasis nilai-nilai budaya wisatawan melalui proses

penerimaan dari yang lebih bersifat imitasi sampai pada proses akomodasi dan akulturasi

budaya yang berbasis hvalgenius (Cainilleri, 1986; Gama, 1996; Wulf, 2002).

D. Keyakinan, Nilai-nilai, dan Sikap Guru terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat

dan Budaya Bali dalam Proses Perubahan Sosial

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa pendidik di lingkungan SMU Negeri I

Ubud memiliki persepsi yang sama bahwa dalam proses perkembangan sosial budaya

masyarakat Bali dewasa ini perlu ditegakkan konsep tentang ajeg Bali. Secara kebetulan

memang seluruh guru di SMU Negeri 1 Ubud merupakan orang Bali. Secara harfiah ajeg

Bali didefinisikan sebagai masyarakat dan budaya Bali yang selalu lestari atau ajeg.

Sedangkan makna yang dimaksudkan adalah sebagai suatu gerakan moral yang perlu

diperjuangkan dalam rangka mempertahankan karakteristik kehidupan religius, kehidupan

sosial, dan kehidupan berbudaya masyarakat Bali yang lestari. Tetapi, ini tidak berarti

lepas dari upaya dinamika masyarakat untuk selalu dapat maju setara dengan kemajuan

masyarakat lain dengan tetap berlandaskan nilai-nilai dan pola perilaku masyarakat Bali

yang religius, mengutamakan kebersamaan, kekeluargaan dan kegotongroyongan,

memajukan kesenian dau bahasa Bali. selaras dengan alam, penuh kedamaian (chanlt),

serta mengejar keseimbangan kesejahteraan sekala dan niskala (moksariham jagadhita ya

ca ili dharma).

Pemberian arti dan makna pada konsep ajeg Bali seperti ini tampaknya relevan

dengan konsep pelestarian budaya Bali yang diajukan oleh Widja (1993), Bateson (1973),

135

Page 24: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

McKean (1973) dan Dube (1980). Dalam batasan makna seperti ini, ajeg Bali menuntut

adanya nilai-nilai fundamental yang harus dipertahankan dalam rangka tetap ajegaya. jati

diri masyarakat, tetapi sekaligus dengan nilai-nilai fundamental itu memberikan

kesempatan untuk menjadikan nilai-nilai pragmatisnya menyesuaikan diri dengan

perkembangan jaman. Dalam bahasa Widja (1993), pelestarian budaya menuntut

pengembangan upaya untuk tidak lepas dari akar budaya yang secara dialektis juga

mampu mendinamisasikan budaya (unsur-unsur budaya) agar mampu tetap seirama

dengan derap kehidupan pendukungnya yang akan selalu mengalami perubahan sebagai

konsekuensi tantangan jaman Pandangan ini memperkuat Bateson (1973) yang

menyatakan bahwa "mol ion i\ e.s sen itu t to batunce". Lebih lanjut dikatakan: "this lasi

point give us a parlia/ answer to the qutstion of why the MK'ieiy not only contirtues to

function bu/ funcltons rapidly and busi/v'. Oleh McKean (1973) pengertian pelestarian

budaya seperti ini memiliki sekaligus pengertian yang simultan antara usaha konservasi

dan reformasi budaya: "...the re i s u (.stmullaneous) izndeticy towards vonservation as well

as towards changc. a Irend towurds rzsiorutum and rejbrmation as well as towards

pregress and modernizahon'\

Dari pandangan di atas ada beberapa nilai dasar yang tampaknya bisa

menjadi core vuluts yang disepakati guru yang mencerminkan nilai dan sikap sosial

budaya masyarakat Bali yang perlu terus dipertahankan. Pertama dan paling utama, pada

umumnya guru-guru menghendaki bahwa betapapun kemajuan masyarakat Bali dalam

proses modernisasi masyarakat yang menurut penilaian guru sebagian sudah cendemng

meninggalkan nilai-nilai budaya Bali yang luhur, namun pentingnya mempertahankan

nilai, sikap, dan praktik religius itu adalah mutlak hukumnya. Beberapa guru menilai

memang ada kecenderungan di Bali, terutama di beberapa pusat pengembangan pariwisata

dan di kota besar, orang Bali mulai kelihatan lebih materialistik.

Isu lain yang dinilai guru makin memperteguh perlunya penanaman dan

pembinaan nilai-nilai religius yang bersumber pada nilai-nilai ajaran Hindu Bali adalah

adanya kecenderungan pula bahwa sebagian masyarakat Bali dewasa ini telah berubah

keyakinan dan praktik agamanya dan keyakinan/kepercayaan serta pelaksanaan praktik

beribadah yang diyakini sesuai dengan ajaran Hindu Bah bergeser kepada keyakinan

Hindu yang cenderung universal atau dicap kena pengaruh India, dan bahkan ada yang

pindah agama seperti ke agama Kristen dan Budha. Terkait dengan isu ini memang tidak

ada keseragaman pandangan guru. Kelompok guru yang cenderung Balisentris menilai

perubahan keyakinan, sikap, dan praktik ritual agama seperti di atas, apalagi terjadi

136

Page 25: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

perpindahan agama, tetap saja merupakan penyimpangan dari akar nilai-nilai religius

Hindu Bali, karena kegagalan memahami, menghayati, dan memaknai ajaran Hindu Bali

itu sendiri secara utuh. Bagi guru-guru kelompok ini, meyakini, mempercayai, menyikapi

dan mempraktikkan ajaran-ajaran religi Hindu di Bali itu tidak bisa dipisahkan dari

kepercayaan dan karakteristik sosial budaya yang hidup dan berketnbang dalam konteks

sosio budaya masyarakat Bali. Jadi agama dan kebudayaan itu tidak bisa dipisah-pisahkan

dalam praktiknya, walau dapat dibedakan secara kognitif.

Menurut kelompok ini, hukum agama tidak bisa dipisalikan dari hukum adat yang

berlaku. Di sini hukum agama melandasi hukum adat, dan karena itu, nilai-nilainya

menjiwai hukum adat. Sedangkan hukum adai mewujudkan hukum-hukum agama dalam

praktik keliidupan sehari-hari di masyarakat yang berbudaya dengan prinsip desa, kala

patra. Persandingan hukum agama dan hukum adat ini dapat teijadi karena karakteristik

perkembangan agama Hindu Bali itu sendiri merupakan integrasi atau sinkritisme dari

pengaruh India, Cina, Hindu-Jawa (Hindu-Budha), dan kepercayaan masyarakat lokal

yang tumbuh berkembang dengan kekuatan lucui genius yang memberikan karakteristik

yang unik pada etnik Bali dengan agama Hindunya.

Pemikiran ini sejalan dengan penggunaan konsep-konsep dalam tradisi Bali yang

dikembangkan dari prinsip-prinsip desa, kala, patra, yaitu konsep catur dresta, Iri

premana kala, dan calur keluh. Semua konsep di atas dalam pelaksanaannya merupakan

satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Inilah yang mendasari secara utuh prinsip

kehidupan religi masyarakat etnik Bali yang beragama Hindu dalam kaitannya dengan

integrasi antara tradisi agama dengan tradisi adat. (Dharmayudha dan Cantika, 1991: 40-

41).

Kelompok guru ini menghendaki bahwa dalam pendidikan agama di Bali, para

siswa harus diberikan pemahaman, nilai-nilai, pembinaan dan pengembangan sikap, dan

praktik yang tidak melepaskan antara ajaran kaidah-kaidah talwa, etika/susila, dan ritual

agama dengan pendidikan sosial dan moral budaya Bali yang unik. Ini tidak berarti bahwa

siswa akan belajar agama, kehidupan sosial, dan budaya yang statis. Pembelajaran konsep

dan nilai-nilai iri hila ha rana baik dari dimensi ajaran agama maupun pandangan budaya

yang disesuaikan dengan prinsip desa. kala, pairu diyakini membelikan dimensi ruang

gerak yang tetap dinamis kepada siswa.

Sementara itu, kelompok guru yang lain, yang umumnya golongan muda yang

lebih rasional, modem, dan moderat tetapi tidak cukup berpengaruh, berpandangan bahwa

penanaman dan pembinaan nilai-nilai agama kepada siswa sangatlah penting. Tetapi,

137

Page 26: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

pembelajaran agama Hindu tidaklah harus bersifat Balisentris. Pembelajaran agama

hendaklah lebih rasional dengan menekankan unsur tatwa, susila, dan upacara yang lebih

bersifat universal dari pada menekankan unsur ritual Bali yang cenderung bersifat

Balisentris seperti yang sekarang terjadi. Mereka umumnya menghendaki upaya

pemurnian nilai-nilai agama Hindu yang bersumber pada Weda yang diyakini

mengandung nilai-nilai yang universal tersebut.

Pandangan seperti irti tidak menunjukkan bahwa kelompok guru ini tidak setuju

dengan konsep ajeg Bali, melainkan mereka menunjukkan lebih moderat dalam

pandangan-pandangannya untuk menuju Bali Hindu yang lebih modern dan universal.

Mereka tidak menolak praktik-praktik ritual agama yang bersifat Balisentris dengan

mempertahankan tradisi-tradisi adat setempat. Tetapi, mereka juga tidak menolak adanya

praktik-praktik agama Hindu sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan umat lainnya.

Dari pandangan guru-guru yang menempatkan nilai-nilai religius sebagai nilai

ulama yang harus dilestarikan dalam perkembangan sosial dan budaya masyarakat Bali

ini, jelaslah menunjukkan bahwa masyarakat Bali pada umumnya, melalui gerakan moral

ajeg Balinya., masih menempatkan agama dan tradisi ritual mempunyai peranan yang

sentral dalam perkembangan sosial budaya masyarakat Bali. Agama Hindu diyakini dapat

mempunyai fungsi tidak saja sebagai pengontrol atau pengendali sikap dan perilaku

manusia Bali dalam proses pembahan, tetapi juga diharapkan berfungsi menjadi landasan

motivasi, pengokoh jati diri, dan pengarah tindakan untuk mencapai tujuan hidup

bermasyarakat (Abraham, 1991; Geriya, 1991; Goldthorpe, 1992; Gorda, 1996; Lauer,

1989; Mantra, 1991; J.

Menempatkan fungsi dan peran agama dalam keliidupan dan proses perubahan

sosial budaya masyarakat seperti ini, menuntut interpretasi yang utuh terhadap fungsi dan

peran agama dalam masyarakat. Pertama agama haruslah menjadi kekuatan atau energi

yang memberikan etos kehidupan dan etos kerja dalam proses kehidupan masyarakat yang

terus berubah. Dalam hubungan sepeiti ini, seperti kata Weber (Johnson,. 1994), agama

dapat memberikan semangat asketisme dalam dunia (inner-world/y ascelicism). Inilah

yang dalam pandangan Hindu Bali memunculkan konsep swadharma, laksu. dan konsep

jengah sebagai konsep utama asketisme Hindu di samping konsep-konsep penunjang

lainnya seperti yadnya. dharma, karma phalu, iri guna, dan catur purusa artha (Geriya,

1991; Gorda, 1996).

Kedua, agama dapat juga menjadi pengokoh jati diri dan sebagai kontrol atau

pengendali diri dalam perubahan sosial budaya masyarakat. Dalam fungsi ini

138

Page 27: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

sesunggulmya agama berintegrasi dengan kehidupan sosial dan budaya masyarakat dan

mencerminkan kehidupan sosial masyarakat itu sendiri. Inilah yang menurut Durkheim,

agama menjalankan fungsi sebagai dunia yang suci yang mempengaruhi kehidupan tiap-

tiap individu dalam masyarakat yang merasakan adanya kekuatan supernatural sebagai

kekuasaan transenden yang timbul justru karena kehidupan kelompok itu sendiri. Fungsi

ini juga menjelaskan bahwa agama dapat membawa manusia pada kehidupan bersama dan

meyakinkan mereka ada dalam satu ikatan bersama (ikatan komunal) yang dapat

memperkuat solidaritas sosial di antara anggota-anggota kelompok masyarakat (Coser,

1971: 139). Menyatunya agama dengan kehidupan masyarakat melalui penerapan ideologi

Tri Hila Karuna di Bali menunjukkan fungsi agama Hindu pada tataran yang kedua ini.

Ketiga, agama dapat berfungsi sebagai pengarah tujuan hidup. Menurut ajaran

Hindu, tujuan hidup setiap manusia adalah tercapainya kebahagaian abadi baik di dunia

maupun di sorga (moksarihum jagadhila ya ca iti dharma). Ini relevan juga dengan

pandangan Weberdi atas tentang asketisme dalam dunia (Johnson, 1994).

Dengan begitu, dapat ditafsirkan pula bahwa, dalam perkembangan keliidupan

masyarakat Bali kini dalam pandangan para guru. fungsi agama juga dapat merevitalisasi

nilai-nilai sosial budaya Bali yang luhur yang berbasis pada nilai-nilai agama Hindu dan

tradisi masyarakat Bali. Fungsi ini penting dalam rangka tetap lestarinya masyarakat dan

kebudayaan Bali dari waktu ke waktu.

Nilai dasar kedua yang perlu dipertahankan dalam rangka ajeg Bali, menurut

penilaian guru-guru, adalah nilai-nilai kekerabatan dan hubungan sosial bercorak Bali

yang menekankan pentingnya nilai kekeluargaan, kebersamaan, dan kegotongroyongan.

Tujuan utama pelestarian nilai-nilai ini adalah agar tercipta sistem sosial dan hubungan

sosial kemasyarakatan yang berintikan nilai-nilai luhur pawongan yang dijiwai oleh nilai-

nilai parahyangan masyarakat Bali dengan menciptakan hubungan sosial yang harmonis

antar individu, antar anggota keluarga, dan antar anggota krama desa dengan prinsip-

prinsip suka-duka. paras paras sarpanaya, segilik seguluk selunglung sebayaniaka, dan

saltng asah, saling asih, saling asuh sebagai dasar penciptaan hubungan masyarakat luas

yang harmonis. Nilai ajaran agama yang melandasi prinsip-prinsip ini adalah ajaran

tentang lai twam asi yang menganggap bahwa seluruh makliluk itu sesungguhnya adalah

satu (Aku adalah kamu, kamu adalah Aku) bersumber dari Brahman i Tuhan Yang Maha

Esa. Nilai-nilai ini tampaknya merupakan elemen dasar struktur masyarakat Bali yang

sejalatt dengan teori Levi-Strauss (1967) tentang thmtniary siruciure bahwa sesuai

dengan kebutuhan-kebutuhan sosial yang muncul, tiap-tiap unit sosial yang produktif

139

Page 28: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

• mengembangkan saling ketergantungan satu sama lain dalam hubungan kerja sama dan

persaingan di antara mereka (social inlerchange) yang bersifat resiprositas (reciprocHy).

Dalam hubungan kekerabatan orang Bali pada umumnya, keluarga dibenfuk

dengan hubungan perkawinan yang bersifat endogen dalam satu klen/trah keluarga. Ini

bertujuan untuk melangsungkan keturunan keluarga dengan satu garis hubungan leluhur,

sehingga dapat mengembangkan tradisi saling sumbah/sembaii. Hubungan perkawinan

seperti uii tidak saja dapat mempertahankan dan mengembangkan solidaritas dan ikatan

sosial secara horizontal, tetapi juga mengembangkan ikatan-ikatan sosial dan religius

secara vertikal melalui keyakinan dan budaya saling sembah.

Hubungan kekerabatan dalam unit yang paling kecil pada keluarga di Bali disebut

kuren. Satu kuren adalah sebuah keluarga inti yang terdiri atas ayali, ibu, dan anak-

anaknya. Keluarga di Bah umumnya dibangun atas hukum patriakat dengan penelusuran

garis keturunan bersifat patrilineal. Dengan sistem kekerabatan ini, ayah dan anak laki-laki

memiliki kekuasaan, hak, dan kewajiban yang besar baik dalam tugas-tugas keluarga

maupun dalam pelaksanaan tugas-tugas kewajiban kemasyarakatan (Atmadja, 1998).

Dengan sistem kekerabatan seperti ini sesungguhnya, di Bali, kekuasaan kaum laki-laki

sangat besar baik dalam fungsi sosial politik, kemasyarakatan, ekonomi, maupun dalam

fungsi religius keluarga. Di sini peran perempuan tampak cenderung hanya di sektor

domestik dalam keluarga dan perannya adalah sebagai pelengkap atau pendukung

(Branson and Branson, 1988; Pusat Studi Wanita UNUD, 1996; Rahayu, 2005;

Sudiatmaka, 2001).

Hubungan kekerabatan di Bali tidak hanya terjadi pada lingkup kuren. Sebuah

keluarga luas yang disebut pekurenan, yang terdiri dari sebuah keluarga inti senior dan

beberapa keluarga inti dari garis keturunan laki-laki dengan diikat oleh satu sanggah

(pura) keluarga dan tinggal dalam satu lingkungan pekurenan, juga masih menunjukkan

hubungan kekeluargaan yang kuat baik yang mencakup kepentingan sosial, ekonomi,

politik, pendidikan, penyelesaian hukum keluarga, maupun yang paling utama adalah

dalam pelaksanaan kewajiban ritual keluarga (Atmadja, 1998; Sudiasa, 1992).

Nilai-nilai seperti di atas ternyata tetap terpelihara juga dalam hubungan

kekerabatan yang lebih luas di Bali pada lingkungan keluarga yang disebut pada tingkat

keluarga dadya. Walau suatu dadya tidak lagi tinggal dan hidup bersama pada satu

lingkungan keluarga dan jarak tempat tinggal mereka bisa sangat berjauhan, tetapi ikatan

keluarga dari beberapa lingkup pekurenan yang sudah cukup luas ini masih bisa dijalin

140

Page 29: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

melalui berbagai jenis kegiatan upacara keluarga yang dilangsungkan di tin

atau sanggah dadya.

menurut penilaian guru-guru adalah, tumbuhnya kembali semangat kek<

Kecenderungan yang tampak menguat yang memiliki nilai positif

sudah cukup lama redup, yaitu kuatnya kembali keinginan keluarga-keluarga atj3ay(%qa;

umumnya dan di daerah Ubud pada khususnya untuk mengenal sejarah asai usul

keluarganya. Penelusuran keluarga menurut garis leluhur laki-laki ini membentuk satu

ikatan trah/klen keluarga yang lebih kuat berdasarkan garis keturunan laki-lakinya.

Muncullah upaya keluarga di Bali untuk mengetahui kawitan (asal mula) keluarganya.

Dengan upaya ini muncullah kemudian kelompok-kelompok klen keluarga yang berbasis

pada nama atau sebutan leluhur keluarganya, sepati kelompok keluarga atau warga Pasek

Maha Goira Sanak Sapta Rsi, warga Cri Arya Kepakisan, warga Arya Wang Bang

Pinatih, warga Brahmana Keniten, warga Brahmana Mus. warga Ksatria Dalem dan

Tamanbali. warga Pande, warga Pulasari, warga Sangging, warga Bujangga Wesnawa,

warga Kayuselem dan sebagainya (Soebandi, 1985).

Nilai-nilai positif yang muncul dari upaya ini adalah menguatnya kembali ikatan

kekerabatan keluarga yang paling luas di Bali, dan pada akhirnya juga mengingatkan

persaudaraan seluruh orang etnik Bali, balikan sampai ke etnik Jawa Hindu (Soebandi,

1985).

Nilai positif yang lain yang sangat kuat adalah meningkatnya kesadaran religi

masyarakat Hindu pada umumnya. Bersatunya ikatan kekeluargaan pada tingkat trali atau

klen keluarga luas dengan semangat religius berupa bhakti kepada leluhur atau kawitan

dan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Waca sebagai asal mula (kawitan) semua manusia,

menunjukkan bahwa semangat religius sesunggulmya juga dapat tumbuh dari keliidupan

ikatan-ikatan sosial dalam masyarakat yang menumbuhkan kesadaran sosial dengan

semangat yang suci dani kesatuan dan keutuhan ikatan sosial dalam keluarga dan dalam

masyarakat itu sendiri (Coser, 1971: 139; Durkheim,I965; Johnson, 1994).

Hubungan sosial orang Bali tidak hanya terjadi pada lingkungan keluarga. Dalam

hubungan kemasyarakatan, orang Bali etnik Bali merasa hidup dalam kesatuan masyarakat

hukum adat yang disebut desa adat. Karakteristik kehidupan sosial religius desa pekraman

di lingkungan desa adat yang konsep-konsep dan implementasi awalnya telah dibangun

dan dikembangkan oleh Mpu Kuturan dengan mengintegrasikan konsep tri kahyangan

desa sebagai kewajiban utama desa adat masih berkembang kuat hingga sekarang. Dalam

melaksanakan kewajiban-kewajiban desa adat baik dalam kaitannya dengan kahyangan

141

Page 30: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

liga desa (tiga pura desa: Bale Agung, Puseh, dan Dalem), kewajiban sosial

**' kemasyarakatan, maupun kewajiban terhadap palemahan (lingkungan) desa, krama desa

(warga desa) melakukamiya dengan berdasar pada awig-awig desa adat yang pada intinya

menerapkan ajaran lat (wam asi, nilai-nilai kekeluargaan, dan kegotongroyongan yang

kuat. (Sudiasa, 1992)

Begitulah kegiatan-kegiatan adat tersebut masih tumbuh dan berkembang hingga

sekarang; tidak ada anggota krama desa adat yang berani melanggarnya karena takut

mendapat sanksi sosial secara sekala dari warga desa adat, seperti: sanksi adat kasepekang

atau dikucilkan atau dikeluarkan dari lingkungan desa adat dan takut mendapat sanksi

secara niskala seperti kutukan leluhur dan mendapat hukum karma. Walau demikian,

sesunggulmya kegiatan-kegiatan adat di atas tidaklah semata-mata mengajarkan agar

setiap individu taat kepada kewajiban-kewajiban sosialnya, melainkan juga mengajarkan

nilai-nilai yang lebih mendasar dan mendalam seperti rela berkorban, kebersamaan, rasa

persatuan, saling menolong, mengutamakan kepentingan umum, dan semua itu dilandasi

oleh rasa bhakli kepada leluhur, bhalara pelindung, dan kepada Ida Sang Hyang Widhi

Waca (Sudiasa, 1992: Atmadja, 1998).

Kegiatan-kegiatan adat yang dilandasi nilai-nilai kekeluargaan seperti di atas tidak

saja mengajarkan adanya hubungan sosial yang bersifat horizontal dalam keluarga dan

masyarakat, tetapi juga hubungan sosial yang bersifat vertikal. Hubungan vertikal ini

memunculkan adat sesana nganulin linggih, linggih nganuiin sesana (Sudiasa, 1992;

Atmadja, 2005). Artinya, sikap dan perilaku seseorang dalam menjalankan fungsi dan

peran sosialnya dalam keluarga atau masyarakat haruslah sesuai dengan kedudukan dan

status sosialnya atau kedudukan dan status seseorang haruslah dapat membawakan peran

sosialnya yang sesuai. Menurut Soediman Kartohadiprodjo, sebagai dikutip oleh

Dharmayudha dan Cantika (1991: 25) di sinilah sesungguhnya konsep bhinneka tunggal

ika itu diimplementasikan Taf twam asi memberikan makna bahwa setiap makhluk dan

manusia pada dasarnya adalah satu sehingga mereka hatus saling menghormati,

menghargai, dan menolong satu sama lain, tetapi dalam melaksanakan fungsi dan peran

sosialnya setiap individu dihargai perbedaan-perbedaannya.

Jika diperhatikan nilai-nilai kekerabatan dan hubungan sosial yang hendak

dilestarikan dalam rangka ajeg Bali di atas yang berlandaskan nilai-nilai kekeluargaan,

kebersamaan dan kegotongroyongan, dan nilai-nilai religius, tampaknya hal mi tidak bisa

dipisahkan dari struktur sosial dan budaya masyarakat Bali itu sendiri. Pendekatan

142

Page 31: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

strukturalisme dapat digunakan untuk memahami hubungan-hubungan kekerabatan dan

hubungan sosial yang hendak dibangun seperti tergambar di atas.

Pada intinya, kehidupan sosial dalam kekerabatan orang Bah tidak saja dibangun

atas dasar ikatan-ikatan dan solidaritas sosial secara horizontal sebagai wujud hubungan

kekuatan buana alit, tetapi juga dibangun bersama-sama dengan ikatan-ikatan sosial yang

bersifat vertikal melalui hubungan dengan leluhur dan kawitan sebagai wujud hubungan

kekuatan buana alu dengan kekuatan buana agung, yaitu hubungan antara yang profan

dan yang suci (Barker, 2004).

Inilah juga yang tampaknya menyatukan makna kehidupan sosial budaya dengan

kehidupan religi orang Bali, yang menurut ide Durkheim, dunia yang suci itu juga

sesungguhnya tidak bisa dipisalikan dari kenyataan sosial, yaitu kehidupan kelompok

sosial, dan sebenarnya mewakili kenyataan kelompok itu dalam bentuk simbol (totem)

(Coser, 1971; Durkheim, 1965; Johnson, 1994).

Nilai ketiga yang perlu dilestarikan dalam perkembangan kehidupan masyarakat

Bali adalah kesatuan dan keselarasan manusia dengan alam karena sesunggultnya manusia

dan alam itu adalah satu. Hal ini dapat diketahui dari adanya konsep penyatuan bhuwana

alit dan bhuwana agung. Orang Bali Hindu meyakini bahwa manusia sebagai bhuwana

alif adalah bagian dari bhuwana agung (alam semesta beserta isinya) yang universal.

Keyakinan ini didasari oleh kesamaan unsur yang membentuk manusia dan alam semesta

ini. Dalam ajaran Hindu Bali diyakini bahwa baik manusia {bhuwana alit) maupun alam

semesta (bhuwana agung) berasal dari dua unsur besar yang bersifat dikotomis, yaitu

unsur purusa dan prakerli. Unsur purusa dalam bhuwana agung adalah Paramaima atau

Brahman sebagai kekuatan tunggal dan dinamis, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa;

sedangkan unsur prakertia.ya adalah alam jagat raya tennasuk bumi tempat hidup manusia

sebagai unsur kekuatan statis. Pada manusia, unsur purusa adalah Atman sebagai bagian

dari Brahman yang menggerakkan dan mengaralikan hidup, dan unsui wadah fisik sebagai

kekuatan statis. Keseluruhan unsur wadah atau fisik baik pada bhuwana agung maupun

bhuwana alit dibangun dari unsur-unsur (Kinca maha bhuta, yang terdiri dari unsur-unsur

zat padat (prthiwi), zat cair (upah), api atau panas (teja), udara atau (bayu), dan unsur zat

ether (akasa). Dengan kesamaan unsur-unsur ini maka manusia tidak dapat melepaskan

diri dari kekuatan alam yang lebih besar, karena manusia itu sendiri merupakan bagian

dari alam (Sukrata, 2002).

Sifat hubungan manusia dengan alam seperti di atas dijadikan dasar dalam menata

lingkungan dan sistem kehidupan sosial, berbudaya, dan kehidupan religius manusia dan

143

Page 32: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

masyarakat Bali. Dengan analogi manik ring cecupu manusia dapat mengembangkan

hubungan yang selaras, serasi, dan seimbang dengan alam. Di sini ada juga konotasi

keselarasan hubungan antara isi dan bentuk atau wadahnya (Ahimsa-Putra, 2001 ).

Dengan memperhatikan unsur dikotomis yang membentuk bhuwam alit dan

hhuwuna agung, yakni unsur purusa dan prakerti, maka baik bhtcwana alit maupun

bhuwana agung mengandung unsur sekala (yang tampak kasat mata/unsur prakerii) dan

niskala (yang tidak tampak atau transenden/unsur purusa). Kedua unsur ini sesunggulmya

meliki hukum kesepadanan. Karena itulah untuk dapat memahami dan menghayati dunia

niskala, manusia Bali mengembangkan sistem simbolik dari dunia nyata (sekala) yang

mengintegrasikan simbol fisik dengan sifat-sifatnya. Sebagai contoh, dunia Dewa yang

merupakan dunia kebajikan dilambangkan dengan manusia yang tampan berwibawa

dengan segala kelebihannya. Dunia raksasa sebagai dunia kejahatan, sebaliknya,

dilambangkan dengan hewan dengan segala sifat buruknya.

Implementasi konsep rwa bhineda ini dalam hubungan manusia dengan alam

diwujudkan dalam beberapa keyakinan dan tradisi/adat. Sebagai contoh, dengan adanya

konsep hulu-teben dikaitkan dengan konsep suci-leteh, maka orang Bali meyakini bahwa

tempat yang di atas (hulu) adalah lebih suci dari tempat yang di bawah. Maka, orang Bah

tidak akan menempatkan barang-barang yang kotor letaknya di atas manusia. Begitu pula

membangun rumah, misalnya, tidak boleh lebih tinggi kedudukannya dari pada tempat

suci. Orang Bali juga meyakini bahwa arah kaja (gunung) sebagai tempat yang tinggi

mempakan tempat yang suci, sedangkan arah kelod (pasih/laut) merupakan tempat rendah

yang berkonotasi leleh. Sehubungan dengan ini, dalam membangun tempat suci, misalnya,

baik untuk sanggah ataupun pura, pembangunannya harus diletakkan di arah kaja (utara

atau timur) dari bangunan untuk rumah tempat tinggal. Sebaliknya, kuburan desa adat

sebagai tempat leleh umumnya di letakkan di arah kelod (arah ke laut/selatan). Begitulah

konsep rwa bhineda ini digunakan untuk mengatur tala lingkungan baik dalam lingkungan

keluarga, banjar/desa adat, lingkungan perkantoran atau perusahaan, dan sejenisnya.

Tempat-tempat bangunan seperti ini tidak boleh ditukar tempatnya (Atmadja, 1996; 1997).

Jika di langgar, diyakini, keluarga akan mendapat mara bahaya atau mala atau dalam

bahasa lokalnya disebut pemalian.

Hubungan manusia dengan alam juga diwujudkan oleh orang Bali Hindu dengan

penghormatan dan syukur terhadap lingkungan yang telah memberi berkali kepada

manusia. Penghormatan dan syukur ini dilakukan dengan mengadakan upacara untuk

lingkungan. Karena itulah di Bali dikenal adanya upacara lumpek bubuh/iumpek uduh/

144

Page 33: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

tumpek wariga, tumpek kandang, tumpek landep, dan tumpek wayang. Di beberapa daerah

di Bali balikan dikenal adanya upacara ngerarung bikul (mengusir tikus) yang berlaku di

Desa Adat Julali (Atmadja, 1996) dan upacara ngaben bikul (pembakaran jazad tikus)

berlaku di daerah Tabanan (Sanjaya, 1992).

Hubungan manusia Bali yang harmonis dengan alam tidak hanya terjadi pada alam

yang sekala (kasat mata) tetapi juga pada alam niskala. Di sini orang Bali umumnya

meyakini bahwa alam semesta ini (bhuwana agung dan bhuwana aUl) terdiri dari tiga

tingkatan atau loka sehingga disebut dengan iri loka. Pada bhuwana agung tiga tingkatan

itu terdiri dari swah loka (dunia para dewa), bhwah loka (dunianya manusia), dan bhur

loka (dunia alam gaib untuk makhluk-makhluk seperti jin, setan, wong samar, gandaruwa,

para bhuta, binatang, dan makhluk-makhluk tingkatan rendah lainnya). Pada bhuwana alii,

selanjutnya, dikenal adanya alam saiwam yang mempengaruhi sifat manusia bersikap dan

berperilaku dewa (berbudi pekerti luhur), alam rajas yang dapat mempengaruhi manusia

bersikap dan berperilaku seperti raksasa/iblis (egois, ambisius, sombong, serakah, kasar,

pemarah, tamak, dan sejenisnya) dan alam lamas yang dapat mempengarulii perilaku

manusia seperti binatang (pemalas, ingin yang enak dan gampang saja, pelantun, dan

sejenisnya).

Untuk terjadi keseimbangan alam yang harmonis di antara ketiga alam di atas, dan

manusia dapat hidup secara harmonis pula dalam lingkungan alamnya, maka manusia

berkewajiban menata lingkungan dan mengatur keseimbangan alam tei"sebut. Secara

sekala, manusia Bali kemudian menata lingkungannya dalam berhubungan dengan ketiga

tingkatan alam tersebut melalui konsep tri mandala. Maka lingkungan itu baik dalam

lingkungan keluarga maupun lingkungan yang lebih luas diatur ke dalam tiga

lingkataii/mtfrtdWtf. Pertama liarus ada lingkungan yang merupakan area! parahyangan

sebagai lingkungan yang suci tempat bersemayam para dewa dan roh leluhur yang telah

suci, yaitu tempat bangunan suci seperti sanggah keluarga atau bangunan pura untuk desa

yang umumnya letaknya di tempat yang tinggi atau di arah utara atau timur dalam tatanan

lingkungan keluarga atau desa. Kedua merupakan areal untuk pawongan sebagai tempat

tinggal manusia yang umumnya berada di titik pusat lingkungan. Dan ketiga merupakan

areal palemahan sebagai lingkungan pendukung.

Secara niskala, selajutnya, hubungan manusia dengan ketiga alam ini untuk dapat

tejadi hubungan yang harmonis dengan alam dilakukan dengan berbagai bentuk dan

tingkatan upacara yang pada dasarnya merupakan bagian dari panca yadnya (lima macam

korban). Untuk hubungan manusia dengan alam para dewa dan roh leluhur/para Rsi yang

145

Page 34: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

suci agar para dewa memberikan sinar suci, perlindungan, dan anugerah sifat-sifat

kesucian, maka manusia perlu melakukan upacara yang disebut Dewa Yadnya dan Rsi

Yadnya (korban suci kepada Tuhan Yang Maha Esa, para Dewa, Bhatara pelindung, dan

roh suci leluhur atau para Rsi).

Untuk membangun hubungan yang harmonis dengan sesama manusia, di samping

secara sekala manusia perlu membina komunikasi sesuai dengan status, fungsi, dan

perannya dalam hubungan dan sistem sosial, manusia Bali juga melakukan upacara

yadnya secara niskala yang disebut upacara manusa yadnya dalam bentuk upacara daur

kehidupan (Atmadja, 19%).

Akhirnya untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan alam bawah (bhur loka)

manusia juga melakukan upacara bhuta yadnya sebagai persembahan kepada para bhuta

dalam berbagai bentuk dan tingkatan. Tujuan upacara bhula yadnya ini pada dasarnya

adalah memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa dan para Dewa agar para bhula tetap

berada pada wilayah kehidupannya masing-masing dan tidak mengganggu keliidupan

manusia serta memberikan persembahan kepada para bhuta agar mereka bersedia turut

menjaga dan memelihara keseimbangan alam semesta sesuai dengan fungsi dan

swadarmanya masing-masing.

Dari pandangan kesatuan manusia dengan alam seperti di atas, jelas sekali bahwa

manusia dan masyarakat Bali memandang hidup, masyarakat, dan kebudayaannya

merupakan satu kesatuan sistem organis yang sistemik yang juga tidak dapat dipisalikan

dari lingkungan alamnya, yang struktur-strukturnya hanya bermakna dalam relasi-relasi

sistem yang diciptakan dalam pandangan yang saling melengkapi (komplementer) dari

hubungan-hubungan hukum rwa bhineda: buana alit dan buana agung (Widja,1991).

Jelaslah pula bahwa pandangan hidup masyarakat Bali juga merupakan pandangan hidup

sistemik. Hal ini menekankan masalah hubungan dan bukannya pada entitias-entitas yang

terpisah, dan melihat hubungan-hubungan ini sebagai sesuatu yang secara inheren bersifat

dinamis. Kebudayaan Bali karena itu adalah kebudayaan yang berproses; bentuk dikailkan

dengan proses, interelasi dengan interaksi, dan pertentangan-pertentangan disatukan

melalui osilasi (Capra, 1998).

Strukturalisme seperti ini dapat juga dikembalikan kepada pandangan Levi-

Strausss yang memandang proses-proses transformasi budaya selalu terjalin dalam

hubungan relasi-relasi sistem yang terbetuk dari pasangan oposisi biner, tetapi yang justru

saling melengkapi. Relasi-relasi sistem itu antara lain menciptakan relasi tesis dan antitesis

(ada atas ada bawah; ada suci ada profan; ada kebajikan ada kejahatan, dan sebagainya), 146

Page 35: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

relasi analogi (atas beranalogi dengan kesucian, alam kedewaan, kebajikan, dan laki-laki;

sebaliknya, bawah beranalogi dengan kekotoran, alam raksasa dan binatang, dunia

kejahatan, dan dunia perempuan), relasi kesepadanan yang menciptakan sistem simbol

(para dewa sebagai simbol kebajikan disimbolkan dengan manusia laki-laki yang tampan

dan gagali dengan segala kelebihan; sedangkan para raksasa sebagai simbol dunia

kejahatan disimbolkan dengan wajah perempuan tua yang menyeramkan dan menakutkan

dengan lidah yang menjulur mengeluarkan api, mata mendelik marah, dan susu yang besar

bergantung), relasi perlindungan dalam hubungan "manik ring cecupu" (individu sebagai

manik berlindung pada keluarga sebagai ceaipunyu. keluarga sebagai manik berlindung

pada desa adai sebagai cecupunya, desa adat sebagai manik berlindung pada kesatuan

wilayah yang lebih besar sebagai cecupunya.), serta relasi-relasi lainnya (bandingkan

dengan Ahimsa-Putra, 2001, Barker, 2004).

Nilai-nilai dan tradisi keempat yang perlu ditegakkan dalam rangka ajeg Bali

menurut pandangan dan keyakinan guru-guru adalah nilai-nilai etika dan estetika dalam

kehidupan berkesenian orang Bali. Menurut guru-guru, keyakinan ini bersumber dari

ajaran Weda. Dalam Weda setiap penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa disertai oleh

nilai keindahan (estetis); suatu penghayatan keindahan dan kesemarakan. Sebagai

pandangan agama, Bhagawad Gila menyebutnya wibhuti yoga - jalan kemegahan.

Perwu judan kemegahan itu adalah cahaya ijyoii), dan dalam pengertian yang lebih abstrak

adalah kemuliaan (bhargas), keagungan (makas) dan kecantikan (sri), keindahan (wapus),

kehebatan (cUram). dan sebagainya (Sadya, 1990:17).

Dalam keliidupan locai genius orang Hindu Bali, nilai-nilai keindalian dalam Weda

dan Bhagawad Gila seperti di atas terkreasi melalui keterpaduan keserasian, keselarasan.

dan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan

sesamanya, dan hubungan manusia dengan alam yang melahirkan nilai-nilai etika dan

estetika yang dalam. Nilai etika dan seni dalam hal ini diwujudkan dalam bahasa simbolik

yang memiliki nilai-nilai etika yang tinggi. Dikatakan demikian karena dalam upayanya

memahami, memaknai, menghayati, dan merasakan dunia niskala yang maha agung itu

dan untuk menjembataninya dengan dunia sekala, maka orang Bali menciptakan sistem

simbol kebenaran yang di dalamnya juga mengandung nilai-nilai estetika yang tinggi.

Terwujudlah kemudian seni tabuh dan gamelan, seni tari, seni wayang, seni kidung, seni

sastra, seni pertunjukan, seni lukis, seni pahat, dan seni pembuatan banten yang

seluruhnya diabdikan untuk penghayatan pemuliaan kepada keagungan Tuhan dan

pemuliaan kedudukan manusia sebagai makhluk pencipta kedua serta pemuliaan terhadap 147

Page 36: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

keindahan alam. Tidak mengherankan jika kesenian di Bali tumbuh dan berkembang

diabdikan untuk kepentingan agama dan yadnya (korban suci). Berpadunya kesenian Bali

dengan kegiatan agama dan yadnya ini menyebabkan kesenian Bali memiliki nilai

magis/mistis, nilai etika, dan nilai-nilai estetis yang tinggi.

Begitu pula nilai-nilai etika sangat kuat mendasari karya-karya seni Bali. Berbagai

karya sastra kekawin tentang Mahabharata dan Ramayana dengan berbagai cabang-

cabangnya yang kemudian menjadi basis bagi pengembangan karya seni lukis, seni drama

dan tari, seni pertunjukan wayang kulit dan wayang orang, seni pahat, dan sebagainya

memberikan pengalaman nilai etika hidup yang sangat sempurna kepada kehidupan

masyarakat Bali karena karya-karya seni itu juga mengandung nilai-nilai etika moral

kehidupan, seperti kejujuran, pentingnya ihnu pengetahuan dan teknologi, budi pekerti

yang luhur, rela berkorban tanpa painerih, cinta dan kasih sayang, ketulusildasan,

berderma kepada sesama, ketaatan, kesetiaan, hormat kepada orang tua dan leluhur,

religius, pengabdian kepada negara, kepemimpinan asta bharaia, kebenaran dan keadilan,

dan sebagainya (Suastika, 2002).

Karakteristik orang Bali yang lain dalam kehidupan berkesenian adalah bahwa

kesenian tidaklah hanya dimiliki oleh elit-elit seni mau tertentu saja seperti di daerah lain,

tetapi juga sudah berkembang menjadi milik masyarakat etnik Bali Hindu pada umumnya.

Tidak mengherankan jika setiap banjar atau desa adat di Bali memiliki seka gong. Kita

juga mengenal seni lukis gaya Penestanan Ubud, gaya Kamasan Klungkung, gaya Batuan,

dan lainnya yang menunjukkan bahwa seni lukis itu adalah milik masyarakat. Kita juga

mengenal nama seka arja Bon Bali, seka joged Silangjana, Topeng Carangsari, tenunan

Tenganan Pegringsingan, Tari Barong Batu Bulan, seni jegog Jembrana, gamelan tektekan

Kerambitan Tabanan, dan banyak lagi lainnya yang menunjukkan bahwa kesenian juga

dapat dikembangkan oleh kelompok sosial tertentu / seka atau menjadi milik yang khas

dari satu daerali tertentu. Demikian juga semua orang Bali juga tahu bahwa ukiran atau

seni pahat gaya Buleleng memiliki ciri yang khas jika dibandingkan dengan ukiran gaya

Bali selatan.

Berkembangnya kesenian Bali yang berbasis pada masyarakat luas tersebut

dimungkinkan karena adanya peran kelompok-kelompok sosial seperti seka dan peran

banjar atau desa adat yang mengintegrasikan kehidupan berkesenian dengan kehidupan

beragama dan dalam tradisi atau adat setempat di samping karena peran lembaga-lembaga

148

Page 37: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

masyarakat lainnya dan peranan sekolah atau lembaga pendidikan formal kesenian,

seperti: SMKI, SMSR, PSSRD UNUD, ISI Bali, dan sebagainya.

Walaupun kesenian Bali beragam bentuknya dan masing-masing daerah atau

kelompok tertentu mengembangkan corak yang unik serta dalam perkembangannya

mendapat banyak pengaruh dari kesenian lain sebagai konsekuensi perkembangan

pariwista di Bali, sesungguhnya kesenian Bali pun berkembang tidak lepas dari hukum

dualisme rwa bhinneda. Pertama, dalam karya-karya klasiknya, kesenian Bali umumnya

menggambarkan perang kehidupan masyarakat Bali antara dkarma (kebajikan) dengan

adharma (kejahatan) sebagai tergambar dalam cerita-cerita epos Maha Brata dan

Ramayana serta cerita-cerita Panji atau cerita-cerita Tantri. Gambaran dualisme keltidupan

ini sangat kental kita ketemukan dalam bentuk-bentuk kesenian pertunjukan (petforming

ari), karya seni rupa, seni suara (kekawin/kiduug), seni pahat, dan seni sastra. Kedua,

dalam perkembangan seni modern, khususnya dalam karya-karya seni rupa dan seni

patung, corak dualisme itu juga ternyata tidak bisa ditinggalkan, antara lain ada gambaran

perang antara kehidupan tradisi yang sederhana dan kehidupan modern yang glamor, ada

gambaran perang antara konstruksi gender dan perlawanan perempuan, ada gambaran

perang antara hutan yang mulai punah dengan pertumbuhan beton gedung dan mesin

industri, dan pertentangan-pertentangan lain yang menunjukkan hukum rwa bhinneda itu

sendiri. Ketiga, dalam perkembangannya menerima pengaruh-pengaruh luar, masyarakat

Bali sendiri bereaksi terhadap pengaruh-pengaruh modern yang kapitalistik dengan

mengembangkan bentuk-bentuk seni akulturasi yang dibedakan dengan seni-seni tradisi

masyarakat. Reaksi seperti ini memungkinkan terjadinya penggolongan karya seni antara

seni H uli (seni untuk persembahan secara religius) dan seni bebalihan (seni untuk

tontonan masyarakat umum). Seni bebalihan inilah juga yang berkembang menjadi seni

akulturasi (Prasetyo, 2005; Soedarsono, 1993).

Orang Bali adalah juga kelompok etnis masyarakat yang suka dan cinta damai.

Demikian ditegaskan oleh guru-guru SMU Negeri 1 Ubud. Karena itu karakter seperti ini

dapat dikatakan sebagai karakter ulama orang Bali. Lihat saja salam yang diberikan orang

Bali dalam pertemuan atau perjumpaan, diawali dengan mengucapkan salam Om

Suusliusitt dan pada akhir pertemuan dengan Om Chanii, Chanii, Chanii Om menunjukkan

betapa sesungguhnya orang Bali itu cinta damai. Dengam salam Om Suasliastu memberi

makna bahwa setiap orang BaJi dengan iklas mendoakan orang !ain agar memiliki

kehidupan yang baik, karena salam ini secara harfiah berarti semoga dalam keadaan baik

149

Page 38: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

dalam lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa. Sementara salam Om Chanli, Chanti, Chanti

Om memberi makna bahwa setiap orang Bah menghendaki hidup yang damai: damai di

liati, dainai di dunia, dan damai selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena

itulah nilai-nilai tentang kedamaian hidup ini perlu terus dilestarikan oleh orang Bali tanpa

terkecuali.

Salam orang Bali seperti di atas sesungguluiya bukanlah penciri utama sifat

masyarakat Bali yang cinta damai. Itu adalah salah satu wujud saja bagi orang Bali untuk

menunjukkan jati dirinya yang suka damai. Rasional yang mendalam mengapa orang Bali

cinta damai sesungguhnya berakar pada orientasi nilai hidup utama orang Bali yang selalu

ingin menunjukan keselarasan, keseimbangan, dan kehannonian dalam hubungan dengan

Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan alam yang terwujud dalam konsep ajaran iri

hita karana seperti telah tergambar secara selayang pandang di atas. Hanya dengan konsep

seperti ini orang Bali akan dapat menunjukkan seni ftidup dalam kehidupan sosial budaya

yang damai seperti tergambar dalam karya-karya seni orang Bah, karena

keserasian/keselarasan, keseiinbanagn, dan kehannonian itu sendiri sudah menunjukkan

konsep kedamaian itu sendiri.

Kedamaian yang dituju oleh orang Bali adalah kedamaian hidup yang tertib,

teratur, indah, tenang menyejukkan, dan berdinamika sosial tetapi tanpa keegoisan, tanpa

kesombongan dan kecongkaan pribadi atau golongan, tanpa ambisi yang serakah, tanpa

kekerasan, tanpa gejolak, tanpa pembunuhan, dan tanpa pemusnahan. Landasannya adalah

nilai-nilai kebenaran dan kebijaksanaan yang disesuaikan dengan konsep desa (tempat),

kala (waktu), dan paira (keadaan). Ini maksudnya adalah bahwa setiap perilaku orang Bali

baik dalam bentuk pikiran atau ide, kata-kata, sikap, perbuatan, maupun dalam bentuk

hasil karya perbuatan haruslah dapat disesuaikan kegunaan dan pemanfaatannya dari

dimensi ruang/tempat, waktu/jaman, dan keadaan/kondisi. Kebijaksanaan seperti ini

digambarkan dalam Bhagavadgita sloka XVII, 20 yang arti bebasnya dapat dikatakan

sebagai berikut: "Sedekah yang diberikan tanpa mengharap kembali dengan keyakinan

sebagai lugas untuk memberikan pada tempat dan waktu yang tepat sekali dan kepada

orang yang patut disebut saliwika

Dalam dimensi ruang atau tempat, nilai kebenaran bagi orang Bali haruslah dalam

bungkus kebijakasanaan yang diatur oleh masing-masing dresla yang bersumber dari

catur dresla, yaitu kuna dresla (warisan leluhur), loka dresla (hukum negara), desa dresla

(tradisi desa/lokal), dan sastra dresla (aturan/hukum dalam kitab suci). Jika terdapat

150

Page 39: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

ketidaksesuaian di antara keempat dresta di atas, maka musyawarah keluarga atau desa

adat akan menyelesaikannya secara damai.

Dari dimensi waktu, orang Bali percaya dengan konsep tri premana kala, yaitu

keterkaitan dimensi waktu masa lalu (atita), masa kini (wartamuna), dan masa yang akan

dalang ina^ata). Dalam hukum karma diyakini pula bahwa perbuatan yang dilakukan di

masa lalu jika pahalanya tidak habis dinikmati di masa lalu maka akan berbual) pada

kehidupan masa kini atau di masa yang akan datang. Begitu pula perbuatan yang

dilakukan di masa ini dapat berpahala pada kehidupan di masa sekarang juga, tetapi dapat

juga berbuah pada masa kehidupan yang akan datang.

lili tidak berarti bahwa manusia Bali tidak boleh berkreativitas dalam kehidupan

masa kini. Tetapi, kreativitas itu haruslah relevan dengan tradisi masa lalu agar tidak

menimbulkan gejolak sosial di masa yang akan datang yang dapat menghancurkan sendi-

sendi kehidupan sosial masyarakat. Jika ini terjadi maka kedamaian itu tentu tidak akan

terwujud, karena alam dan kehidupan sosial menjadi tidak lagi selaras, seimbang, dan

harmoni.

Hal ini relevan dengan konsep pelestarian budaya sebagaimana dijelaskan oleh

Baleson (1973), McKean (1973), dan Widja (1993). Dalam pandangan pelestarian budaya,

pada prinsipnya, masyarakat berupaya dapat melestarikan nilai-nilai fundamental yang

telah dijunjung tinggi oleh masyarakat sebelumnya dalam rangka pengenalan dan

pemilikan jali diri masyarakat. Tetapi, masyarakat juga tetap menerima perubahan-

perubahan sosial sepanjang perubahan-perubahan tersebut tidak menggantikan struktur

sosial dan sistem nilai-nilai fundamental dalam masyarakat dengan struktur dan nilai-nilai

baru yang asing. Perubahan seperti inilah yang dimaksudkan oleh golongan strukturalisme

sebagai satu bentuk transformasi sosial budaya (Ahimsa-Putra, 2001, Barker, 2004), yang

dalam bahasa strukturalisme Levi Strauss, antara lain disebutkan, "otie need imagine n<>

SOLI u! Mubi/ity nor aven ekuilibrium. Rather one traces cu I turut codes that uchieve

rtlaiivt and iransienl order out of relutive randomness (hrough continous adjusmenls,

shift.s. and ongoing fluctuaiion (Boori, 1985: 169) "

Konsep catur keiah, selanjutnya, merupakan pandangan orang Bali untuk

menyesuakan tindakannya kepada kondisi dan nilai-nilai yang ada. Dalam hal ini setiap

sikap perbuatan orang Bali di samping dilakukan sesuai dengan pikiran-pikiran dan

perasaannya sendiri (.swa tah), haruslah juga disesuaikan atau disepadankan dengan

kebijaksanaan orang banyak yang ada di lingkungan sekitar (para (ah), sesuai dengan

151

Page 40: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

pendapat masyarakat pada umumnya (loka lah), dan sesuai pula dengan dasar pembenaran

pada ajaran-ajaran kebenaran, kesusilaan, hukum, dan agama (sastra (ah). Adanya konsep

catur kelali ini menunjukkan betapa kuatnya pengendalian sistem sosial dan kultural dalam

mengembangkan sistem kepribadian manusia dan masyarakat Bali untuk menyesuaikan

dirinya dengan kondisi-kondisi masyarakat dan budayanya (Ritzer dan Goodman, 2004).

Kepentingan hidup damai bagi orang Bali, menurut penilaian guru, juga adalah

karena pembangunan di Bali bertumpu pada sektor pariwisata sebagai sektor leading

berbasis pada pariwisata budaya dengan karakteristik budaya pertanian. Keberhasilan

pembangunan bidang pariwisata ini sangat diyakini bergantung sekali pada sektor

keamanan serta perdamaian dan kedamaian hidup baik bagi masyarakat Bali sendiri

maupun lebih-lebih untuk kepentingan para wisatawan, karena sedikit saja ada gejolak

yang membuat wisatawan tidak lagi tenang, aman, dan damai maka wisatawan dipastikan

tidak akan datang ke Bali.

Karakteristik utama lainnya dari masyarakat etnik Bali Hindu adalah dalam

kaitannya dengan kegiatan ekonomi masyarakat dalam rangka mengejar kesejahteraan dan

kemakmuran. Dalam hal ini guru-guru menilai bahwa masyarakat etnik Bali Hindu pada

umumnya cenderung lebih menghargai keseimbangan pencapaian kesejahteraan material

dan spiritual atau keseimbangan kesejahteraan sekala dan niskala dari pada hanya semata-

mata mengejar kesejahteraan material. Menurut guru-guru, ini sesuai dengau tujuan dari

dharma agama Hindu, yaitu mencapai moksariham jagadhita ya ca iti dharmah, yang

terjemahan bebasnya dapat diartikan bahwa tujuan agama itu adalah untuk mencapai

kebaliagian hidup di dunia dan di akhirat berlandaskan pada ajaran dharma atau kebenaran

(Geriya, 1988; 1996).

Dalam realitanya, nilai keseimbangan antara tujuan hidup mencapai kebaliagian di

dunia sekala dan kebagahagian hidup di dunia niskala itu diwujudkan dalam etos keija,

landasan etos kerja, dan penggunaan atau pemanfaatam hasil keija itu sendiri. Menurut

penilaian guru-guru, pada umumnya orang Bali itu meyakini bahwa kerja itu adalah

kewajiban hidup. Karena itu, setiap orang haruslah bekerja untuk Iiidup dirinya dan

keluarganya. Tidak seorangpun boleh berpangku tangan mengandalkan hidupnya kepada

orang lain. Diyakini bahwa alam semesta ini diciptakan, dipelihara, dan d\pralma melalui

karya/kerja Tuhan. Karena itu wajib hukumnya bagi setiap orang untuk bekerja. Dengan

begitu, keija bagi orang Bali sesungguhnya adalah yadnya (korban suci) bagi kehidupan.

152

Page 41: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

.Sejalan dengan Iandasan motivasi kerja berdasarkan yadnya di atas, manusia Bali

dalam melaksanakan keija dijiwai pula oleh nilai-nilai lokal antara lain keija haruslah

dilakukan dengan metaksu, nyalanang jengah, dan semangat puputan. Dengan konsep

keija metaksu berarti bahwa keija tidaklah hanya dilakukan secara lahiriah melainkan juga

harus dilandasi oleh penjiwaan dan kecintaan terhadap kerja. Dengan melakukan kerja

sebagai yadnya yang dilandasi oleh penjiwaan dan kecintaan terhadap kerja akan

menimbulkan karisma dan etos kerja yang mulia kepada pemiliknya, sehingga ialah yang

dalam konsep modern dapat dikatakan sebagai profesional. Orang-orang seperti ini tidak

saja dihormati masyarakat, tetapi diyakini juga dihormati dan disayangi oleh para dewa

dan leluhur karena dinilai ikut memutar roda duma ini dengan dharmanyi. Selanjutnya,

dengan konsep nyalanang jengah berarti bahwa kerja hamslah dilakukan dengan usaha

yang sungguh-sungguh dan berani untuk melakukan kompetisi kerja dengan orang lain

dengan prestasi yang prima. Prinsip kerja seperti ini sesungguhnya dapat dijadikan model

bekeija dengan prinsip menjadi sang juara/pemenang. Akhirnya, bekerja dengan semangat

puputan berarti bahwa bekeija haruslah dilandasi oleh sikap dan tanggung jawab kerja

yang tidak setengah hati dan keberanian berkorban untuk mencapai hasil keija yang

maksimal. Bekeija dengan Iandasan etos atau nilai kerja seperti di atas diyakini oleh

masyarakat Bali Hindu akan memberikan produktivitas dan kepuasan kerja yang tidak saja

bersifat material tetapi juga memberikan keseimbangan secara spiritual.

Kebahagian yang seimbang antara kesejahteraan material (sekala) dan kebahagiaan

spiritual (niskala) tidaklah hanya dapat dicapai melalui proses dan aktivitas kerja saja.

Orang Bali juga meyakini bahwa hasil kerja secara material haruslah juga dapat

dimanfaatkan baik untuk kepentingan duniawi maupun rokhani. Jadi prinsip

keseimbangan itu tidaklah hanya dapat dicapai dengan menciptakan sistem dan proses

keija yang dilandasi oleh nilai kerja yang luhur seperti di atas, tetapi juga dapat dicapai

melalui pemanfaatan hasil keija itu sendiri. Hal ini sejalan dengan kesimpulan penelitian

Geriya, dkk (1990) yang menyatakan bahwa masyarakat Bali mementingkan materi

bersama-sama dengan kepentingan spiritual, baik dalam kerja sebagai proses, sebagai

sistem, dan sebagai tujuan akhir dari kerja. Sehubungan dengan itu, orang Bali umumnya

menggunakan hasil kerja itu menjadi tiga bagian, yaitu: sebagian untuk kepentingan

kebutuhan hidup keluarga secara duniawi, sebagian untuk tabungan, dan sebagian untuk

bztyadnya (Gorda, 1996).

153

Page 42: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

Dari berbagai pandangan di atas jelaslah bahwa dalam rangka mempertahankan

karakteristik masyarakat Bali terutama dalam upayanya mencapai kesejahteraan lahir dan

batliiri melalui aktivitas sosial ekonomi, agama Hindu dan beberapa nilai lokal Bali

memberikan peranan yang besar dalam memberikan landasan nilai-nilai kerja dan dalam

pemanfataan hasil kerja manusia. Di sini nilai-nilai agama Hindu tidak semata-mata hanya

berurusan dengan dunia transenden yang menurut pandangan Hindu semata-mata bersifat

niskala, tetapi juga memiliki hubungan dengan dunia imnanen bahwa untuk mencapai

tujuan agama Hindu mencapai moksa (kebahagiaan yang kekal abadi di dunia akhirat)

dapat juga dicapai melalui jalan karma yang baik di dunia. Hal ini dapat dilakukan dengan

menjadikan kerja di dunia untuk mencapai kesejahteraan hidup di dunia sebagai salah satu

bentuk yadnya (korban suci) kepada Tuhan Yang Malia Esa dan pengorbanan kepada

sesama manusia dan sesama makhluk. Hal ini dapat disejajarkan sebagai bentuk

asketisme dalam-dunia masyarakat Hindu di Bali yang akan memberikan dorongan bagi

kemajuan kehidupan sosial ekonomi dan sekaligus memberikan karakteristik yang unik

bagaimana manusia dan masyarakat Bali mengembangkan kehidupan sosial ekonominya.

Ha! ini dalam rangka pencapaian kesejahteraan hidup lahir dan bathin dengan tetap

menjadikan nilai-nilai agama Hndu dan nilai-nilai lokal Bali yang relevan sebagai

landasan dalam mengembangkan nilai-nilai atau etos kerja atau karya serta dalam

pemanfaatan hasil karya Tesis ini jelas sejalan dengari pandangan-pandangan Weber

(Abraham, 1991; Goldthorpe, 1992; Horton dan Hunt, 1991; Johson, 1994; Lauer, 1989;)

dan beberapa pakar lainnya tentang peranan agama dan nilai-nilai lokal dalam proses

perubahan sosial menuju masyarakat modem (lihat Bellah, 1992; Davis, 1987; Dove,

1988; Wong, 1988).

Nilai-nilai luhur orang Bali seperti di atas perlu diwariskan dari satu generasi

terdahulu ke generasi yang lain berikutnya demi tetap ajegiiya masyarakat dan kebudayaan

Bali. Untuk ini, menurut guru-guru, diperlukan sarana komunikasi yang efektif dari

generasi terdahulu kepada generasi berikutnya dalam mentransmisikan dan

mentransformasikan kebudayaan Bali itu sesuai dengan perkembangan jaman atau

kebutuhan generasi berikutnya. Salah satu sarana komunikasi pembelajaran yang dinilai

efektif itu diyakini adalah penggunaan bahasa daerah Bali Karena itu penggunaan bahasa

daerah Bali sebagai bahasa Ibu masyarakat etnik Bali Hindu dalam proses enkulturasi

budaya Bali kepada generasi muda dinilai sangat vital (Putrayasa, 2002; Sancaya, 2004).

154

Page 43: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

Ada beberapa alasan yang mendorong perlu dan pentingnya pelestarian

penggunaan bahasa daerah Bali kepada generasi muda Bali dalam rangka proses

pewarisan nilai-nilai luhur budaya dan agama Hindu Bali. Pertama, diketahui bahwa

hampir seluruh dokumen tertulis suinber-suinber informasi pengetahuan dan nilai-nilai

agama dan kebudayaan Hindu Bali yang tertuang seperti dalam prasasti, awig-awig, karya

kesusasteraan, lontar, buku-buku lama/tua, dan sejenisnya tertulis dalam tulisan huruf

Bali. Kedua, nara sumber-nara sumber yang hidup untuk masalah-masalah adat, budaya,

agama, dan kesenian Bali .umumnya adalah orang lua-orang tua atau sesepuh yang

umumnya lebih mahir berbahasa Bali. Karena itu untuk memperoleh pengetahuan dari

mereka haruslah bisa berbaliasa Bali dengan baik. Ketiga, baik sumber-sumber tertulis

maupun nara sumber yang dimaksudkan di atas adanya, umumnya, di lingkungan keluarga

brahmana igeriya) atau di lingkungan puri yang keduanya cenderung masih kental

mempraktikkan tradisi berbahasa Bah sebagai sarana komunikasi sosial. Dengan tiga

alasan di atas jelaslah bahwa untuk dapat memperoleh sumber pengetahuan dan nilai-nilai

tentang ajaran agama Hindu Bali, kehidupan adat dan kebudayaan di Bali, serta kehidupan

kesenian di Bali bagi generasi muda Bali diperlukan sarana komunikasi berupa

kemampuan penggunaan bahasa daerah Bali dengan baik dan benar. Kepentingannya bisa

ganda, yaitu melestarikan penggunaan bahasa Bali itu sendiri sebagai salah satu unsur

kebudayaan Bali di satu sisi, dan di sisi lain merupakan sarana untuk memudahkan serta

kemampuan untuk memaknai warisan budaya itu secara utuh, yang diyakini akan

menimbulkan banyak bias budaya terjadi jika dipaksa melakukan transfer ke bahasa lain

(Bali Post, 2005; Sancaya, 2004).

Alasan yang lebih mendalam dilandasi oleh pemikiran bahwa bahasa menunjukkan

budaya. Dengan pemikiran seperti ini diyakini bahwa budaya dan bahasa itu adalah dua

sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Budaya dapat dipahami dalam

hal ini sebagai dunia ide, gagasan, atau pemikiran yang kemudian mengarahkan cipta,

rasa, dan karsa manusia dalam hidup bermasyarakat yang kemudian melahirkan produk

budaya atau produk peradaban (Ahimsa-Putra, 2001; Supriadi, 2001). Dengan pemikiran

seperti ini dapat dikatakan bahwa bahasa itu adalah salah satu wujud budaya. Jika

demikian maka tidaklah naif untuk mengatakan bahwa dalam upaya pelestarian budaya

tentu termasuk juga upaya pelestarian bahasa sebagai produk budaya (bandingkan dengan

pengertian budaya oleh Koentjaraningrat, 2001).

155

Page 44: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

Bahasa, di sisi lain, dapat dimaknai sebagai sistem simbolik yang diciptakan dan

digunakan manusia sebagai pencipta dan pendukung budaya dalam proses interaksi atau

koinukasi sosial masyarakat sebagai sarana untuk menjelaskan proses dan produk budaya

masyarakat tersebut. Jadi budaya dan bahasa adalah satu binatang dengan dua wujud

Budaya hanya dapat dipahami dan dimaknai secara utuh dalam bahasa penciptanya,

sementara bahasa adalah budaya itu sendiri dalam tataran dunia simbolik atau dunia ide,

yaitu pikiran manusia sendiri (Ahimsa-Putra, 2001; Levi-Strauss, 1963). Dari sudut

pandang ini, menurut Ahimsa-Putra (2001:25) lebih lanjut bahwa bahasa dapat dikatakan

sebagai peletak fondasi bagi terbentuknya berbagai macam struktur yang lebih kompleks,

lebih rumit, yang sesuai (correspond) atau sejajar dengan aspek-aspek atau unsur-unsur

kebudayaan yang lain.

Jika demikian adanya, maka, tidak mungkinlah mempelajari budaya suatu

masyarakat secara holistik dan utuh lepas dari sistem bahasa yang dikembangkan dan

digunakannya. Begitu pula tentunya dalam upaya pewarisan nilai-nilai budaya Bali kepada

generasi muda tentu tidak dapat dilakukan dengan baik tanpa menguasai sistem bahasa

Bali sebagai sistem simbolik yang diciptakan dan dipraktikkan dalain proses interaksi dan

komunikasi sosial masyarakat Bali yang menjunjung tinggi kebudayaan Bali.

E. Keyakinan, Nilai-nilai, dan Sikap Siswa terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat

dan Budaya Bati dalam Proses Perubahan Sosial

Sebagai bagian dari masyarakat dan manusia etnik Bali Hindu, siswa SMU Negeri

I Ubud yang hampir seluruhnya sebagai orang Bali Hindu, pada dasarnya bangga merasa

sebagai orang Bali Hindu. Tidak saja ini terkait karena Bali dengan budaya dan agama

Hindunya menjadi sangat populer di mata internasional terutama melalui aktivitas

pariwisata budaya Balinya, tetapi kebanggaan ini juga muncul sebagai upaya untuk

menunjukkan jati diri sebagai manusia etnis Bali yang beragama Hindu yang eksistensinya

mempakan golongan minoritas baik di Indonesia maupun di tingkat global. Kebanggaan

seperti ini juga memunculkan sikap dan keinginan siswa untuk makin memperkuat

eksistensi manusia Bali bahwa walaupun sebagai golongan minoritas mereka bukanlah

orang-orang kerdil atau yang pantas dipinggirkan. Orang Bali memang kecil dalam

jumlah, menurut mereka, tetapi, mereka setuju bahwa yang kecil itu juga sangat indah

(smail is beau(iful).

156

Page 45: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

Dengan sikap seperti itu, secara umum dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan

pandangan yang signifikan antara siswa dan guru dalam memandang keberadaan dirinya

sebagai kelompok etnis Bali yang perlu terus mempertahan dan menunjukkan identitas

etniknya dalam proses kehidupan bermasyarakat baik di tingkat lokal, nasional, maupun

mondial. Dikaitkan dengan konsep ajegnya masyarakat dan budaya Bali, siswa pada

umumnya juga setuju dengan konsep ajeg Bali dalam proses perkembangan masyarakat

dan budaya Bali dewasa ini. Bedanya, siswa cenderung kurang menyadari atau memahami

bagaimana sesungguhnya konsep ajeg Bali itu diwujudkan, aspek mana saja dalam

kebudayaan Bali itu yang perlu dilestarikan, dau dengan upaya apa saja aspek-aspek

budaya Bali itu dipertahankan. Akibatnya, banyak siswa yang menyatakan penilaiannya

cenderung lebih afektual (suka tidak suka atau senang tidak senang) dan banyak unsur

yang menyebabkan konflik pandangan antara satu aspek dengan aspek lainnya, sehingga

sulit sesungguhnya untuk mendefinisikan makna ajeg Bali dalam konsepsi siswa dan

hampir tidak mungkin bisa dilakukan. Masalah ini tampaknya terkait dengan kurangnya

sosialisasi dan internalisasi wawasan dau nilai-nilai kebalian kepada siswa secara

sistematis dan ilmiah, sehingga konsep yang mereka bangun cenderung berdasarkan

pengalaman semata. Dalam bahasa pembangun pengetahuan (konstruktivisme), konsepsi

seperti ini merupakan konsep awal (pnor knowiedge) atau pengetahuan sehari-hari, atau

pengetahuan alamiah atau miskonsepsi tentang identitas jati diri sebagai manusia Bali

yang diperoleh melalui pengalaman siswa di lingkungan masyarakatnya (Gredler, 1992).

Identitas etnik Bali menurut siswa tampak antara lain dari aktivitas ritual agama

yaitu dalam melaksanakan catur yadnya atau panca yadnya, dari makanan khas Bali

berupa lawar Bali, dari perkembangan kesenian Balinya, penggunaan bahasa dan dialek

Bali, kuatnya kehidupan adat dalam banjar atau desa adat yang diikat oleh kewajiban

terliadap kahyangan liga, dari pakaian adatnya yang selalu digunakan pada saat kegiatau

ritual adat dan agama, dan dari salam yang digunakan bila bertemu satu sama lain

menggunakan salam Om Suastiastu dan Om Chanti, Chanti, Chanti Om. Dari pandangan

para siswa seperti ini tampak bahwa pandangan mereka lebih ditentukan oleh struktur luar

atau permukaan aktivitas kebudayaan orang Bali dari pada melihat struktur dalam yang

melandasi semua sistem aktivitas budaya orang Bali. Artinya, para siswa cenderung

menjadikan landasannya dengan membandingkan apa yang terjadi pada budaya lain yang

mereka ketahui dan apa yang unik dari budaya Bali itu yang tidak dimiliki oleh budaya

masyarakat lain. Jadi jelaslah bahwa pengetahuan mereka tentang identitas etnik orang

157

Page 46: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

Bali masih merupakan pengetahuan eksternal, walau sudah ada upaya untuk

merefleksikannya.

Pertama dan yang paling pokok merupakan identitas etnik orang Bali Hindu,

menurut pandangan para siswa, adalah pelaksanaan ritual agama orang Bali yang tampak

dalam aktivitas panca yadnya. Menurut siswa, identitas melakukan upacara panca yadnya

bagi orang Bali Hindu dilandasi oleh keyakinan adanya hutang (ma) manusia yang harus

dibayar kepada para dewa (dewa rna), leluhur (piirct rna), dan kepada para rsi (rsi rna)

yang disebut sebagai tri rna. Dengan konsep ini maka wajib hukumnya bagi orang Bali

untuk melaksanakan yadnya (persembahan korban suci), di samping hanis melaksanakan

keyakinan akan kebenaran ajaran panca crada sebagai ajaran tentang tatwa dan

melaksanakan ajaran iri kaya parisudha sebagai ajaran tentang etika/susila. Menjalankan

secara sungguh-sungguh keyakinan, ajaran etika, dan kewajiban ritual ini secara

keseluruhan akan memberi bobot kereligiusan orang Bali tampak unik dan ini perlu terus

ditingkatkan.

Tetapi, pemahaman dan penghayatan crada, bhakti, dan pembentukan karma

wacana dalam menjalankan nilai-nilai agama Hindu menurut para siswa lebih bersifat

personal. Ini karena hubungan manusia dengan Tuhan, menurut para siswa lebih lanjut,

lebih melupakan tanggung jawab pribadi.

Ini tidak berarti bahwa praktik kehidupan beragama Hindu di Bah yang selama ini

lebih menonjolkan ungkapan solidaritas sosial yang sesungguhnya menunjukkan jiwa

koletiktivitas masyarakat itu sendiri salah di mata siswa. Yang tampaknya lebih

dikehendaki adalah kebutuhan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan segala

manifestasiNya; hubungan yang personal dan intim dengan Tuhan; doktrin tentang fungsi

sosial di dalam masyarakat; pengakuan yang pasti atas keyakinan dan kepercayaan; dan

keyakinan bahwa untuk mencapai tujuan hidup yang paling hakiki sekalipun dapat

ditempuh dengan berbagai jalan. Pandangan seperti ini tampaknya sejalan dengan

perkembangan masyarakat industri pariwisata di Ubud (bandingkan dengan Madjid,

1993:154-155).

Karakteristik etnik Bali utama yang kedua menurut pandangan siswa adalah

kuatnya ikatan kehidupan tradisi atau adat di banjar atau desa adat karena adanya ikatan

kewajiban terhadap kahyangan liga. Dalam banyak hal sesungguhnya siswa tidak banyak

mengetahui latar belakang mengapa orang Bali begitu kuat ikatannya dengan adat yang

berlaku di desa adat, khususnya dalam menjalankan kewajiban yang terkait dengan

158

Page 47: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

kahyangan liga. Yang mereka alami sehari-hari dan mereka ketahui

kewajiban terhadap kahyangan liga adalah salah satu wujud keyakinan

dalam melaksanakan ritual dewa yadnya sebagai konsekuensi adany^ habffig. nfanasfe W ii ia"'- '..•'' '"J""'

kepada para dewa yang telah menciptakan manusia, alam semesta, beseiij

Brahma di pura kahyangan Bale Agung), telah melindungi manusia kahyangan Puseh), dau yang telah mengembalikan manusia dan alam ini kepada

asalnya/sumbernya {Dewa Ciwa di pura kahyangan Dalem). Sebagai konsekuensi adanya

ikatan bersama dalam desa adat dalam menjalankan kewajiban terhadap kahyangan tiga

hit, menurut siswa lebih lanjut, wajarlah jika kemudian dikembangkan sikap kekeluargaan,

kebersamaan, dan gotong royong dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugas-tugas

ritual tersebut, karena pura-pura kahyangan tiga ini bukanlah sungsungan pribadi atau

keluarga, melainkan sungsungan bersama warga atau krama desa adat. Karena itu, wajib

hukumnya bagi setiap anggota atau krama desa adat untuk mematulii dan menjalankan

keputusan-keputusan bersama desa adat dalam menyelenggarakan yadnya desa.

Pelanggaran terhadap keputusan bersama ini dapat dikenakan sanksi adat baik berupa

denda maupun kena sanksi adat kasepekang (dikucilkan dari masyarakat adat).

Persepsi siswa terhadap tradisi ikatan desa adat yang memunculkan sikap

kekeluargaan, persaudaraan, dan kegotongroyongan di antara kerama desa adat ini

ternyata cukup positif. Para siswa menilai, inilah karakteristik utama masyarakat Bali yang

paling positif untuk kepentingan bersama masyarakat desa adat atas dasar nilai-nilai

kekeluargaan, persaudaraan, dan kegotongroyongan yang masih tetap hidup kuat hingga

sekarang. Yang lebih positif lagi adalah bahwa desa adat dewasa ini tidak hanya peduli

dengan masalah-masalah yadnya saja, tetapi telah pula ikut berperan dalam meningkatkan

kesejahteraan krama desa melalui kegiatan-kegiatan ekonomi desa adat seperti

keterlibatan desa adat di Ubud dalam turut memanfaatkan palemahan desa adat untuk

kepentingan kegiatan pariwisata yang mendatangkan kesejahteraan ekonomi bagi

kramanya, dan keterlibatan hampir seluruh desa adat sekarang dalam aktivitas lembaga

perkreditan desa adat (LPD) dalam rangka tuint memajukan perekonomian masyarakat di

wilayah desa adat masing-masing. Sebagaimana diketahui, LPD ini didirikan dan

dijalankan adalah dari, oleh, dan untuk kepentingan masyarakat desa adat.

Pandangan siswa di atas juga makin memantapkan bahwa nilai-nilai agama

memang dapat memberikan peranan yang positif dalam membentuk nilai-nilai solidaritas

sosial dalam masyarakat yang kemudian dapat juga menjadi kekuatan suci yang

159

Page 48: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

mendorong masyarakat untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan sosial ekonomi yang

berguna demi kepentingan kesejahteraan masyarakat itu sendiri baik secara laliir maupun

bathin. Nilai-nilai fundamental ini jelas dapat dipandang sebagai bentuk asketisme dalam-

dunia masyarakat Hindu di Bali yang mempunyai kekuatan positif dalam proses-proses

transformasi sosial budaya masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik (bandingkan

dengan Gertz, 1977, 1979; Gorda, 1996; Sukadi, 1994).

Karakteristik utama etnik Bali yang ketiga menurut pandangan siswa adalah

maraknya kehidupan berkesenian orang Bali dalam hampir setiap cabang kesenian.

Kesenian yang dikembangkan oleh orang Bali terutama diabdikan untuk kepentingan

yadnya.walau tidak dapat dipungkiri kesenian itu ternyata dapat juga dijual untuk

kepentingan pariwisata (Yoety, 1986). Menurut siswa, mengapa orang Bah" memiliki

komitmen yang tinggi dalam mengembangkan kesenian Bali adalah karena agama Hindu

yang dianut orang Bali mewujudkan yadnyanya memang dalam bentuk seni. Dengan seni,

yadnya orang Bali dinilai lebih hidup, karena lebih menarik, labih halus, lebih indah, lebih

khusuk, dan lebih berdinamika. Seni, karena itu, adalah nafasnya agama Hindu. Hidup itu

sendiri bagi orang Bali adalah seni. Karena itu, kehidupan orang Bali Hindu diabdikan

untuk seni.

Seni bagi orang Bali juga diabdikan untuk kepentingan pariwisata. Dengan seni,

melalui pariwisata, orang Bali juga ingin menunjukkan kepada masyarakat lain bahwa

orang Bali itu mencintai keindahan, keselarasan, keharmonisan, kedamaian, persaudaraan,

kebajikan, dan keagungan. Orang Bali juga ingin mengajak orang lain memiliki nilai-nilai

kemanusiaan yang universal itu. Jika seni yang religius dan beretika tinggi itu bisa

diterima banyak orang lain, bukan mustahil tentunya bahwa orang Bali juga bisa

beryudnya untuk kedamaian umat manusia.

Karakteristik utama masyarakat Hindu Bali lainnya, menurut penilaian siswa,

adalah yang tampak dari sisi luar sebagai pemberian salam Om Suasliastu bila ada suatu

pertemuan atau perjumpaan atau memulai suatu pembicaaran tertentu dalam suatu

pertemuan dan salam Om Chartii, Chantt, Chanti Om sebagai penutup pertemuan atau

pembicaraan. Salam awal ini memiliki makna sebagai memberikan doa kepada orang lain

semoga ada dalam keadaan baik dalam lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa. Sedangkan

salam akhir bermakna semoga dalam keadaan damai: damai di hati, damai di dunia, dan

damai selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa. Dari kedua makna salam tersebut

dapatlah diinterpretasikan bahwa masyarakat Hindu Bali pada dasarnya memiliki sifat atau

karakteristik mencintai liidup yang damai.

160

Page 49: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

Hidup damai bagi orang Bali, menurut pandangan siswa, adalah hidup yang tenang

tidak bergejolak, nikun, tertib, mementingkan menyama braya, hidup harmoni dalam

masyarakat, dan tidak ada kekerasan apalagi pembunuhan. Nilai-nilai yang melandasi

sikap seperti ini adalah ajaran tentang tat twam asi dan nilai-nilai lokal menyama braya.

Bagi orang Bali, persaudaraan dan kebersamaan itu jauh lebih penting dari pada

kepentingan pribadi.

Di samping karakteristik-karakteristik utama orang Bali seperti di atas yang

umumnya memiliki basis nilai-nilai yang kuat daJam ajaran agama Hindu Bali, orang Bali

juga memiliki karakteristik yang tidak begitu kuat berbasis pada nilai agama, tetapi kuat

melekatkan diri pada tradisi atau kebudayaan Bali, yaitu sifat orang Bali yang suka pada

jenis masakan/makanan khas Bali yang disebut lawar dan menggunakan pakaian adat Bali

jika melakukan ritual agama atau adat. Menurut siswa, karakteristik ini kuat tampak

terdapat pada orang Bali semata-mata karena sifat kemelekatan orang Bali pada tradisi

leluhurnya. Karena itu, di mana saja orang Bali tinggal, dua tradisi ini tidak pernah

dilupakan, sebagai bukti masih adanya ikatan orang Bali pada tradisi leluhurnya.

Akhirnya, menurut siswa juga, salah satu karakteristik orang Bali yang dikaitkan

dengan produk budaya orang Bali adalah penggunaan bahasa daerah Bali sebagai sarana

komunikasi baik dalam kehidupan keluarga, di sekolah, maupun di masyarakat.

Sayangnya, ada gejala di kalangan generasi muda siswa adalah makin melemahnya minat

siswa menggunakan produk budaya bahasa Bali terutama dalam pergaulan antar remaja,

apalagi dalam lingkungan formal. Menurut pengakuan siswa makin banyak saja siswa,

terutama di kota-kota, yang gengsi menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar

komunikasi sehari-hari dalam pergaulan mereka. Alasannya, bahasa Bali sering dianggap

kampungan dan kurang praktis atau kurang gaul. Namun dalam praktik sehari-hari siswa

di SMU Negeri I Ubud dapat dikatakan bahwa siswa umumnya masih menggunakan

bahasa Bali dalam pergaulan sehari-hari. Balikan mereka umumnya masih terkesan malu-

malu bila diminta berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, karena umumnya dialek mereka

masih kental dipengaruhi oleh dialek Bali.

Oleh karena itulah untuk menghindari kecenderungan siswa meninggalkan

penggunaan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar sehari-hari, para siswa pada dasarnya

setuju menerima pelajaran bahasa Bali sebagai salah satu kurikulum muatan lokal.

Balikan mereka pada umumnya juga dapat menyetujui dan senang dengan ada/iya

kebijakan sekolah untuk menggunakan bahasa Bali dengan baik dan benar sebagai bahasa

pengantar pada setiap hari Rabu dan sabtu.

161

Page 50: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

Menurut siswa, penggunaan bahasa Bali oleh siswa perlu terus dilestarikan di

sekolah dalain rangka kesempatan siswa untuk dapat mempelajari khasanah budaya Bali

dengan baik. Diakui oleh siswa, tanpa dapat menguasai dengan baik bahasa Bali, mustahil

generasi muda siswa di Bali dapat mempelajari, melestarikan, dan mengembangkan

kebudayaan Bali yang luhur dengan baik. Padahal telah diketahui bersama bahwa program

pembangunan pariwisata di Bali berbasis pada pengembangan kebudayaan Bali. Karena

itu, menurut para siswa lebih lanjut, jika pariwisata di Bali ingin terus dipertahankan dan

berbasis pada budaya Bali, maka mau tidak mau generasi muda siswa Bali juga perlu terus

belajar melestarikan dan mengembangkan bahasa Bali demi ajegnya kebudayaan Bali.

F. Rekonstruksi Pemahaman dan Nilai-nilai Sosiobudaya Bali untuk Kepentingan

Pendidikan Sosial atau Pendidikan IPS di Sekolah

Dari pandangan-pandangan guru dan siswa seperti di atas tentang konsep ajeg

Bah, maka tidak dapat dipungkiri bahwa baik guru-guru maupun siswa pada umumnya

menginginkan bahwa kesadaran tentang ajeg Bali haruslah melandasi pengembangan dan

pelaksanaan program pendidikan sosial pada umumnya dan Pendidikan IPS pada

khususnya di sekolah.

Menurut pandangan guru-guru, pendidikan sosial pada umumnya, dan Pendidikan

IPS pada khususnya, haruslah mampu mengembangkan pengetahuan, sikap, nilai-nilai,

dan keterampilan sosial dalam hidup bermasyarakat di kalangan pebelajar yang dapat

dijadikan kecakapan hidup bagi mereka dalam kehidupan sosial budaya masyarakat

sekitarnya. Untuk mencapai tujuan di atas di samping secara kurikuler siswa di sekolah

mendapat mata pelajaran-mata pelajaran rumpun Ilmu Pengetaluian Sosial, seperti:

Geografi, Sejarah, Sosiologi dan Antropologi. Ekonomi, PPKn, dan Tata Negara, mereka

juga perlu diberikan bekal pengetahuan, nilai-nilai, sikap, dan keterampilan sosial yang

bersumber dari nilai-nilai sosio budaya Bali.

Untuk mengintegrasikan kepentingan pencapaian tujuan seperti di atas. ada tiga

level kebutuhan siswa dan masyarakat yang harus dipenuhi oleh sekolah dalam

mengembangkan kurikulumnya, baik secara fonnal maupun informal, yaitu level orientasi

global, nasional, dan lokal. Menurut guru-guru, level kepentingan global dan nasional

dapat dicapai dengan pencapaian kurikulum rumpun mata pelajaran IPS secara fonnal di

sekolah. Dikatakan demikian karena kurikulum dan pembelajaran rumpun IPS di sekolah

di

samping diyakini telah mendidik dan mengajarkan pola-pola berpikir rasional

berdasarkan nilai-nilai yang bersifat universal dalam pembentukan dan pengembangan 162

Page 51: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

pengetahuan sosial siswa, mata pelajaran IPS juga banyak mengandung muatan

pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap yang berorientasi pada kelu'dupan berbangsa dan

bernegara, baik melalui mata pelajaran Sejarah Nasional, Geografi Indonesia, PPKn,

Kebudayaan Indonesia, maupun dalam mata pelajaran Tata Negara dan tentang

pemerintahan Indonesia.

Sementara itu, untuk level kepentingan lokal tampaknya sekolah dan guru-guru

haruslah dapat menyesuaikan konsep-konsep, nilai-nilai, dan keterampilan-keterampilan

hidup lokal yang dapat disisipkan baik secara formal dalam bentuk kegiatan kurikuler

maupun secara informal dalam kegiatan-kegiatan kokurikuler dan kegiatan-kegiatan

ekstrakurikuler.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana muatan materi pendidikan

yang demikian harus diintegrasikan dalam Pendidikan IPS di sekolah? Menurut guru-guru,

prinsip dasar yang harus digunakan adalah bagaimana dapat diintegrasikan konsep-konsep

dan nilai-nilai dasar Tri Hila Karana ke dalam pengembangan materi Pendidikan IPS di

sekolah dan ini pun harus disesuaikan dengan konsep-konsep desa kala palra. Untuk itu

Pendidikan IPS tidaklah harus dibatasi maknanya hanya sebagai pendidikan ilmu-ilmu

sosial seperti pada pendidikan Geografi, Ekonomi, Sejarah, Sosiologi dan Antropologi,

PPKn, dan Tata Negara saja. Pendidikan IPS haruslah juga mencakup seluruh kegiatan

pendidikan sosial di sekolah, termasuk di dalamnya Pendidikan Agama dan Budi Pekerti,

Bahasa, Pendidikan Kesenian, Pendidikan Budaya Lokal, serta seluruh penciptaan iklim

lingkungan belajar yang memungkinkan nilai-nilai Tri Hila Karana itu dapat diwujudkan

di sekolah.

Dalam realitanya diakui guru-guru, terutama guru-guru rumpun Pendidikan IPS,

sangatlah sulit untuk menyisipkan materi-materi muatan lokal yang berbasis nilai-nilai

budaya Tri H Ha Karana ke dalam kurikulum dan pembelajaran rumpun IPS sebagai

materi formal yang perlu dididikkan, diajarkan, dan dilatihkan kepada siswa. Ini terkait

dengan keyakinan guru bahwa sistem pendidikan dan kurikulum yang tersentralisasi

sangat sedikit memberikan peluang kepada guru untuk berkreativitas sesuai dengan

kondisi dan kebutuhan sekolah dan masyarakat setempat. Lagi pula diakui guru-guru

bahwa mereka belum memiliki pengetahuan dan wawasan yang cukup memadai tentang

konsep dan nilai-nilai Tri Hila Karana itu sendiri dan bagaimana menuangkannya ke

dalam kurikulum yang dapat disisipkan atau diintegrasikan ke dalam kurikulum nasional

yang berlaku yang dinilai padat materi. Apa yang cenderung dilakukan guru adalah

memberikan atau menyisipkan berbagai ilustrasi/contoh-contoh konsep, nilai-nilai, sikap,

163

Page 52: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

dan tindakan yang dapat dipahami guru relevan dengan konsep dan niJai-nilai Tri Hita

Karanu tersebut yang harus dimiliki siswa ketika mengajarkan suatu pokok bahasan

tertentu. Oleh karena itu, kelengkapannya, kemudian, dilakukan dengan memberikan

kegiatan ekstrakurikuler kepada siswa melalui berbagai aktivitas budaya lokal.

Pada umumnya guru-guru di SMU Negeri 1 Ubud menyadari bahwa konsep Tri

Hita Karana meiupakan konsep yang memiliki muatan nilai-nilai yang universal, tetapi ia

juga bersifat unik dalam implementasinya dalam kehidupan beragama dan kebudayaan

orang Bali, karena adanya konsep desa. kala, patra. Dalam konsep dan nilai-nilainya yang

bersifat universal, konsep dan nilai-nilai Tri Hita Karana diyakini telah mengajarkan

kepada orang Bali untuk menjalani hidup ini secara seimbang antara kepentingan buana

agung (alam semesta) dan buana alii (diri manusia) atau menjaga keseimbangan antara

dunia seka/a (dunia materi yang kasat mata) dan dunia niskala (dum'a lain yang bersifat

transenden /dunia batin/alam roh/alam dewaisunia hka).

Tri Hita Karana. dengan demikian, menurut pandangan guiu-guru, merupakan way

o f life atau pandangan hidup bagi manusia Bali Hindu yang dijadikan pedoman dalam

menjalankan kehidupan sehari-hari baik sebagai makhluk religius, makhluk pribadi dan

sosial, dan sebagai makhluk berbudaya. Dalam implementasinya, dikembangkanlah

kemudian sistem religi dan ritual, sistem pengetahuan, sistem sosial dan budaya termasuk

sistem nilai, norma, dan sistem tindakan yang mencerminkan pandangan hidup Tri Hita

Karana tersebut. Dalam disertasi ini tidak mungkin dijelaskan seluruh tatanan sistem

tersebut dan ini menjadi keterbatasan dalam disertasi ini, walau sepanjang yang dapat

di persepsi guru dan siswa telah dijelaskan pada bagian terdahulu. Apa yang menjadi fokus

penelitian ini adalah bagaimana pengetahuan dibangun oleh guru dan siswa dalam

mengembangkan dan kemudian mengimplementasikan pandangan Tri Hita Karana

tersebut.

Dalam agama Hindu di Bali dikenal adanya tiga pendekatan untuk memperoleh

dan mengembangkan pengetahuan, yaitu yang disebut dengan iri premana. Pertama

adalah pendekatan terhadap pengetahuan melalui jalan sabda premana. Jalan menuju

pengetahuan ini dilakukan melalui belajar dari sumber-sumber pengetahuan seperti

mendengarkan penjelasan guru, orang tua. membaca dari kitab suci, literatur,

mendengarkan dharma gila, dharma wacana, memperoleh dari surat kabar, mendapat

informasi dari ahli, tokoh masyarakat, rohaniawan, pejabat, mendapat informasi dari

media cetak dan elektronik, dan sejenisnya. Kedua adalah pendekatan terhadap

pengetahuan melalui jalan pratyaksa premana. Jalan pengetahuan ini dilakukan melalui

164

Page 53: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

keterlibatan langsung subjek terhadap pengetahuan itu sendiri melalui penggunaan panca

indrianya. Sebagai contoh, para siswa, misalnya, belajar dengan terlibat langsung

bagaimana upacara dewa yadnya dan bhula yadnya itu dilaksanakan di sekolah. Begitu

pula mereka belajar langsung bagaimana keliidupan menyama braya di lingkungan desa

pekraman itu dilaksanakan, bagaimana sekolah membangun hubungan yang baik dengan

lingkungan sosial budaya masyarakat sekitarnya melalui berbagai kegiatan pengabdian

sosial kemasyarakatan, dan sebagainya. Ketiga adalah jalan menuju pengetahuan melalui

anumana premana. Jalan ke pengetahuan ini dilakukan melalui penggunaan rasio atau

logika, empati, nilai, sikap, dan niat yang dikembangkan dari adanya berbagai fenomena

keliidupan. Penggunaan jalan ini dilakukan karena tidak seluruh objek belajar itu bersifat

konkrit, sehingga diperlukan suatu proses penalaran untuk membangun pengetahuan.

Ketiga jalan menuju pengetahuan tersebut tentu harus dilaksanakan secara

integratif dan tidak dapat dijalankan secara tunggal dan terpisah-pisah. Tidak ada orang

yang murni belajar hanya dengan jalan sabda premana, atau praiyaksa premana, atau

dengan anumana premana saja (Subagia, 2000). Begitu pula, diyakini guru-guru bahwa

belajar dengan pendekatan iri premana ini, dikaitkan dalam upaya membangun

pengetahuan, mengembangkan nilai-nilai, dan implementasi tindakan berbasis nilai-nilai

Tri Htta Karana secara alamiah, tentu subjek didik tidak dapat disekat-sekat ke dalam

kelas, jenjang, subjek materi pelajaran, dan guru-guru yang terpisah-pisah. Seluruh

pendekatan haruslah dilakukan secara terpadu untuk memperoleh hasil yang utuh, holistik,

komprehensif, dan bannakna pula bagi siswa (Subagia, 2000).

Dikaitkan dengan upaya membangun pengetahuan dan nilai-nilai yang berbasis

pada ajaran pandangan hidup Tri Htta Karana. diakui guru-guru bahwa mereka lebih

banyak membangun dan mengembangkan pengetahuan dan nilai-nilainya melalui proses

langsung dalam mempraklikkan ajaran Tri Hita Karana tersebut dalam kehidupan riil baik

di lingkungan keluarga, di masyarakat, maupun di lingkungan sekolah. Proses belajar

pertama dan ulama yang mereka lakukan adalah melalui proses peniruan atau imitasi dari

perilaku orang tua mereka, atau perilaku kerurna yang lain, atau melalui perilaku sesepuh

di lingkungan ke rama desa mereka masing-masing, ini diakui adalah sebagai ciri utama

belajar awal orang Bali dalam mewariskan nilai-nilai sosial budaya Bali kepada generasi

penerusnya. Proses belajar langsung melalui peniruan atau imitasi sosial ini

memungkinkan mereka dapat menerima, merasakan, memahami, menghayati, dan

mempraktikkan langsung pengalaman, pengetahuan, dan nilai-nilai Tri Hila Karana

165

Page 54: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

mereka dalam kehidupan sosial budaya yang nyata baik di lingkungan keluarga maupun di

lingkungan masyarakat.

Sebagai anggota krama desa yang memiliki pengalaman belajar formal di

lingkungan persekolahan, diakui bahwa guru-guru, di lingkungan desa adatnya masing-

masing, memiliki kemampuan belajar yang tidak hanya bersifat meniru, melainkan juga

mampu mengembangkan penalaran dan nilai-nilai mereka dalam memahami fenomena

praktik kehidupan religius dan sosial budaya di lingkungan desa adatnya masing-masing.

Tidak mengherankan jika guru-guru ini banyak digunakan di desa adatnya masing-masing

oleh krama desanya sebagai tokoh-tokoh atau sesepuh agama dan adat. Hal ini

menyebabkan tidak saja mereka belajar bagaimana tradisi warisan leluhur dapat

dipertahankan atau dilestarikan, tetapi mereka juga dapat menjadi nara sumber dan tokoh

yang dihormati dalam pemahaman, penghayatan, dan pelaksanaan nilai-nilai religius dan

sosial budaya yang mencerminkan ajaran Tri Hiia Karana di lingkungan mereka masing-

masing.

Model membangun pengetahuan religi dan sosial budaya kemasyarakatan yang

berlandaskan ajaran Tri Hiia Karana dari guru-guru di atas berimplikasi pula pada

bagaimana guru merekonstruksinya bagi kepentingan pendidikan sosial di lingkungan

sekolah kepada para siswa sebagai upaya pelestarian dan pengembangan praktik nilai-nilai

Tri Hiia Karana di lingkungan sekolah sebagai bagian dari upaya yang lebih luas, yaitu

upaya ajeg Bali. Diyakini guru-guru bahwa upaya pendidikan sosial kepada siswa

berlandaskan pada ajaran, nilai-nilai, dan praktik Tri Hiia Karana di lingkungan sekolah

di samping dapat disisipkan pembelajaran konsepnya dalam pembelajaran bahasa Bali dan

Agama Hindu secara kurikuler, akan berhasil jika dipenuhi beberapa persyaratan atau

prinsip utama. Pertama adalah perlunya menetapkan visi dan misi sekolah yang relevan

dengan usaha-usaha pelestarian dan pengembangan kebudayaan Bali berbasis pada nilai-

nilai Tri Hiia Karana, Kedua adalah perlunya seluruh komponen civitas sekolah mampu

menciplakan iklim sosial budaya di lingkungan sekolah yang mencerminkan implementasi

nilai-nilai Tri Hita Karana tersebut. Ketiga adalah perlunya dimunculkan unsur

keteladanan terutama dari staf pemimpin sekolah dan guru-guru kepada siswa tentang

bagaimana mewujudkan pengetahuan dan nilai-nilai Tri Hiia Karana tersebut dalam

bentuk tindakan nyata di lingkungan sekolah sebagai bagian dari masyarakat yang lebih

luas. Keempat adalah perlunya memberikan wahana dan fasilitas pendidikan nilai-nilai Tri

Hiia Karana kepada siswa yang dapat disisipkan atau diintegrasikan ke dalam seluruh

sistem dan perangkat kurikulum dan pembelajaran di sekolah. Kelima perlunya pemberian

166

Page 55: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

sistem reinforcement kepada siswa yang menunjukkan komitmennya dalam kesediaan

mempelajari secara serius, mengembangkan, dan mengimplementasikan nilai-nilai Tri

Hila Karana itu dalam perilaku sehari-hari di lingkungan sekolah.

Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, sekolah, dalam hal ini pimpinan sekolah dan

guru-guru kemudian berupaya menciptakan kondisi lingkungan sekolah yang relevan

sehingga memungkinkan siswa mendapatkan kesempatan untuk memperoleh proses

sosialisasi dan sosialisasi kritis (counlersocialization) secara demokratis (Engle and

Ochoa, 1988) dalam proses transaksional mengembangkan pemahaman dan pengetahuan,

penghayatan nilai-nilai, pengembangan sikap positif, dan pengimplementasian ajaran dan

nilai-nilai Tri Hita Karana dalam perilaku nyata sehari-hari di lingkungan sekolah.

Menciptakan kondisi lingkungan sekolah yang relevan seperti di atas dinilai oleh guru-

guru jauh akan lebih efektif bila dibandingkan hanya dengan menyisipkan atau

mengintegrasikan muatan materi atau conieni ajaran-ajaran Tri Hila Karana itu ke dalam

kurikulum dan pembelajaran mata pelajaran rumpun IPS di sekolah. Semua ini juga

diharapkan akan menumbuhkan pendekatan dan iklim belajar yang khas sesuai dengan

kebiasaan belajar orang Bali bagi siswa, terutama dalam mengembangkan wawasan, nilai-

nilai, sikap, komitmen, kompetensi, dan praktik kehidupan religius dan sosial budaya

berlandaskan ajaran dan nilai-nilai Tri Hila Karana tersebut.

Apa yang dipersepsi, dipahami, diyakini, dan disikapi, serta menjadi komitmen

guru-gum seperti di atas dalam upayanya mewujudkan gagasan ajeg Bali di lingkungan

sekolah ternyata tidak jauh berbeda pula dengan apa yang dipersepsi, diyakini, disikapi,

dan yang menjadi komitmen para siswa. Diakui bahwa pengetahuan dan wawasan siswa

tentang konsep-konsep dan nilai-nilai serta sikap dan komitmen mereka terhadap prinsip-

prinsip dan norma-norma yang diturunkan dari ajaran dan pandangan hidup Tri Hita

Karana masih sangat terbatas jangkauan atau ruang lingkup dan pendalamannya. Ini tidak

saja karena keterbatasan mereka dalam proses sosialisasi ajaran dan nilai-nilai Tri Hita

Karana di lingkungan keluarga dan di masyarakat mereka, tetapi kesempatan belajar

mereka secara fonnal di sekolah pun memang masih cukup terbatas

Pendidikan sosialisasi ajaran dan nilai-nilai Tri Hila Karam di lingkungan

keluarga siswa berlangsung secara in fonnal. Hampir identik dengan apa yang menjadi

pengalaman belajar guru-guru, siswa belajar nilai-nilai Tri Hita Karana di lingkungan

keluarga juga melalui pendekatan pralyaksa premana, anumana premana, dan sabda

premana yang terbatas. Dengan jalan praiyaksa premana, siswa memperoleh kesempatan

terlibat langsung dalam proses-proses keluarga mengimplementasikan nilai-nilai Tri Hita

167

Page 56: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

Karana itu seudiri. Umumnya siswa terlibat dalam pelaksanaan proses-proses ritual dalam

keluarga serta kewajiban-kewajiban sosial kemasyarakatan yang menyertai proses-proses

ritual tersebut. Proses-proses ritual serta kewajiban-kewajiban sosial yang menyertainya

memang banyak mengandung muatan informasi dan nilai-nilai simbolik yang perlu

dipelajari anak dalam keluarga. Dengan jalan ini orang (ua atau orang dewasa lainnya

cukup memberikan contoh, petunjuk, dan perintah kepada anak-anak untuk turut

melaksanakan kegiatan-kegiatan keluarga. Anak-anak kemudian melakukan observasi,

langsung niendemontrasikan atau mengerjakan lugas-lugas, dan mengevaluasi serta

merefleksi tindakan mereka berdasarkan contoh atau keteladanan orang tua. Diakui siswa,

pendidikan sosialisasi nilai-nilai Tri Hita Kararta di lingkungan keluarga lebih bersifat

partisipatoris dan demokratis dengan penekanan pada segi sikap dan praktik

implementasinya. Ini adalah ciri utama pembelajaran nilai-nilai religius dan sosial budaya

kemasyarakatan pada masyarakat Bali pada umumnya sebagai nian a dinyatakan oleh

Suryani (1992).

Di lingkungan masyarakat, anak juga belajar sosialisasi nilai-nilai Tri Hila Korona

melalui proses pelibatan langsung dalam keliidupan bermasyarakat walau tidak sebanyak

waktu yang dibutuhkan dalam berinteraksi dalam lingkungan keluarga. Untuk ini siswa

yang sudah menginjak masa remaja umumnya ikut terlibat pada keliidupan seka

teruna terani atau deha/teruna (kelompok remaja putera'puteri) di wilayah desa adatnya

masing-masing dengan ikut mengambil peran yang besar dalam pelaksanaan kegiatan

religi/ritual serta kewajiban sosial budaya kemasyarakatan yang menyertai di desa

adatnya.

Di seka ini siswa umumnya ikut terlibat aktif menyiapkan bahan-bahan upacara

untuk desa yang diadakan pada setiap upacara berdasarkan perhitungan kalender (waktu)

Bali baik yang menyangkut pelaksanaan upacara dewa yadnya, resi yadnya, pitra yadnya,

manusia yadnya, maupun upacara bhuta yadnya untuk desa. Para remaja siswa ini juga

umumnya ikut pada seluruh tahapan proses upacara, ikut menyiapkan persembahan

sesajian, ikut menyiapkan dan menyuguhkan tari-tarian dan tabuh serta kegiatan seni

lainnya yang dibutulikan dalam setiap upacara, ikut mengembangkan seka santi dengan

melakukan kegiatan dharma gila, aktif dalam kegiatan gotong t oyong dan keija bhakti

dalam menyiapkan dan melaksanakan seluruh rangkaian proses upacara, dan kegiatan-

kegiatan desa adat lainya dalam mewujudkan nilai-nilai 't 'n Htla Karana di lingkungan

desa adai masing-masing.

168

Page 57: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

Dengan kondisi pengalaman belajar seperti di atas, diyakini bersama-sama oleh

guru dan siswa bahwa dalam rangka pendidikan sosial siswa di lingkungan sekolah dalam

upaya mewujudkan gagasan ajeg Bali bagi kepentingan seluruh masyarakat Bali, maka

pendidikan sosialisasi beriri hila karana di lingkungan sekolah juga dinilai sangat vital

bagi kebutuhan siswa, orang tua siswa, maupun seluruh masyarakat Bali. Dan ini akan

dapat menunjukkan kontribusi sekolah dalam ikut mendinamisasi gerakan moral

masyarakat Bali dalam rangka implementasi konsep-konsep dan nilai-nilai Tri Hila

Karana.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa upaya rekonstruksi pemahaman

dan nilai-nilai sosial budaya Bali dan pendidikan diperlukan oleh guru-guru dan siswa

dalam upayanya menyesuaikan program Pendidikan IPS dengan kebutuhan masyarakat

dalam rangka Ajeg Bali. Pertama, walau diakui guru-guru dan siswa bahwa konsep .dan

nilai-nilai sosial budaya Bali yang intinya ada dalam konsep Trt Hila Karana memiliki

juga nilai-nilai yang bersifat universal, tetapi, dalam realita praktik sehari-hari, nilai-nilai

tersebut juga bersifat unik sesuai dengan konsep desa kala paira. Karena itu, untuk dapat

diimplementasikan dalam praktik program Pendidikan IPS di sekolah, tentu memerlukan

upaya adaptasi dalam proses sosialisasi dan edukasinya di lingkungan sekolah. Setidak-

tidaknya program Pendidikan IPS perlu diredefinisikan agar lebih sesuai dengan tuntutan

perubahan sosial budaya masyarakat setempat sehingga dapat berfungsi dalam proses

produksi budaya bagi orang-orang terdidiknya (Levinson dan Holland, 1996).

Pendidikan IPS, karena itu, tidaklah semata-mata sebagai program pendidikan

konsep-konsep dasar Geografi, Sejarah, Ekonomi, Sosiologi dan Antropologi, dan.

pendidikan Tata Negara saja seperti yang terjadi di sekolah dan dipersepsi oleh guru-guru

rumpun IPS selama ini. Pendidikan IPS, menurut guru-guru dan siswa, haruslah dapat

menjadi program pemberdayaan peserta didik sesuai dengan tingkat perkembangannya

untuk menguasai kecakapan-kecakapa» hidup di bidang sosial baik yang mencakup

pengetahuan, nilai-nilai, sikap, setj-commUnteni. self-cunfidcnce, seria kompetensi-

kompetensi sosial yang berguna dalatn kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara, sehingga dapat membantu siswa berpartisipasi aktif dalam memecahkan

masai aii-m asal ah sosial dari lingkungan secara rasional baik yang terjadi di lingkungan

masyarakat lokal, daerah, nasional, maupun global. Program Pendidikan IPS seperti ini

tampaknya dapat memberikan guru-guru lebih fleksibel dalam menyesuaikan tujuan-

tujuan Pendidikan IPS dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Dengan begitu

program Pendidikan IPS sesungguhnya tidaklah terbatas pada pendidikan ilmu-ilmu sosial

169

Page 58: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

seperti di atas saja, melainkan mencakup pula pendidikan agama, budi pekerti, ideologi,

pendidikan budaya lokal, pendidikan bahasa, kesenian, bahkan termasuk pendidikan

lingkungan dalam arti luas (bandingkan dengan definisi Social Studies, NCSS, 2000;

definisi IPS, Somanlri, 2001)..

Kedua, secara implisit sesungguhnya harapan-harapan yang berkembang di atas

menunjukkan bahwa progi"am Pendidikan IPS perlu menyesuaikan dengan tiga level

tuntutan masyarakat, yaitu di samping sudah sebagaimana mestinya menyesuaikan dengan

kebutuhan masyarakat pada level nasional dan level global, Pendidikan IPS di Bali juga

seharusnya menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat lokal Bali, yaitu dalam rangka

memenuhi harapan pembentukan manusia modem berwatak atau berkarakter Bali yang

bersendikan nilai-nilai Tri Hila Karana (bandingkan dengan Stopsky & Lee, 1994;

Tmjillo, 1996). Dalam kesadaran guru-guru dan siswa, sesungguhnya mereka

menghendaki agar Pendidikan IPS seharusnyalah memberi peluang pula bagi tumbuhnya

kesadaran ideologi yang memiliki ikatan sejarah dan budaya dengan kebudayaan Bah

sebagai sarana identifikasi etnis (Trujillo, 1996). Hal inilah yang sesungguhnya

memerlukan upaya rekonstruksi program Pendidikan IPS agar secara rasional dan

berkeadilan berbasis pula pada upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan lokal

Bali yang berdasar pada nilai-nilai Hindu, Tri Hiia Karana. Masalahnya, bagaimana

kebudayaan lokal Bali dengan basis nilai-nilai Tri Hiia Karananya dikonstruksi pula oleh

guru-guru dan siswa untuk dapat diintegrasikan dalam program Pendidikan IPS yang ada

di sekolah.

Ketiga, harus jujur diakui bahwa guru-guru sesungguhnya belumlah memiliki

pemahaman yang memadai bagaimana konsep-konsep, nilai-nilai, norma-norma, dan

kompetensi-kompetensi yang berkaitan dengan kebudayaan Bali yang berbasis ideologi

Tri Hiia Karana dapat diintegrasikan dalam program Pendidikan IPS di sekolah sesuai

dengan standar yang berlaku dalam kurikulum 1994 disempurnakan. Hal ini tampaknya

berkaitan dengan pengalaman guru-guru sendiri dalam pemahaman tentang kebudayaan

Bali memang belum pernah diupayakan secara formal dan ilmiah. Ini berimplikasi pada

pembentukan struktur pengetahuan tentang kebudayaan Bali secara formal abstrak masih

sangat terbatas. Inilah pula kemudian yang menyebabkan guni-guru dan siswa lebih

mengandalkan pengalaman belajarnya secara alamiah dalam melakukan pola-pola

sosialisasi dan internalisasi kebudayaan Bali dalam lingkungan sosial budaya masyarakat

dengan menempatkan proses imitasi dan identifikasi terhadap model sebagai proses utama

belajar.

170

Page 59: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

Dengan demikian, penciptaan iklim lingkungan belajar yang memungkinkan

proses sosialisasi dan internalisasi budaya melalui proses imitasi dan identifikasi model

menjadi sangat penting dilakukan di sekolah. Di sinilah penggunaan konsep belajar

melalui iri premana itu dikembangkan. Di sini, konsep kebudayaan Bali dengan nilai-nilai

Tri H Ha Karunaiiya diasumsikan dapat diciptakan strukturnya dalam lingkungan sekolah

dan dalam bubungannya dengan masyarakat desa adat dengan menganalogikan bahwa

sekolah adalah model keluarga atau kelompok masyarakat desa adat yang telati

melaksanakan nilai-nilai fundamental kebudayaan Bali berbasis nilai-nilai Tri Hita

K a rana tersebut. Dengan begitu guru-guru, kepala sekolah, dan pegawai dapat dijadikan

model sebagai orang tua di keluarga atau model pemimpin masyarakat di desa adat.

Dengan model inilah kemudian siswa melakukan imitasi dan identifikasi berdasarkan

proses-proses belajar sesuai dengan siklus iri premana: pra/yaksa premana, belajar secara

langsung melalui pengamatan, merasakan, menghayati, dan melakukan; sabda premana,

belajar melalui mendengarkan penjelasan guru, orang suci, membaca kitab suci, dan

pemanfaatan sumber-sumber belajar lainnya; dan anumana premana, belajar melalui

refleksi diri dan pengembangan penalaran reflektif atau pengembangan logika secara

mandiri.

Akhirnya, jika disimak rekonstruksi pemahaman budaya dan proses belajar seperti

di atas, hal ini bukanlah tidak memiliki dasar-dasar rasional. Beberapa dasar teori belajar

formal sesungguhnya dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena ini. Pertama, semua

teori belajar, dari teori behavioristik hingga konstruktivisme (Gredler, 1992; Vygotsky,)

balikan teori belajar kuantum, menyatakan bahwa penciptaan kondisi lingkungan yang

kondusif adalah hal yang paling pokok keperluannya dalam proses sosialisasi atau proses

belajar. Dalam hal ini tidak ada proses belajar yang terjadi yang hampa dari faktor konteks

lingkungan belajar. Proses belajar pada dasarnya adalah proses adaptasi subjek terhadap

lingkungan agar subjek dapat menguasai lingkungan itu sendiri (lihat Gagne, Piaget,

Vigotsky, Bandura, dan lain-lain dalam Gredler, 1992).

Kedua, lingkungan belajar yang telah dibentuk dapat digunakan sebagai model

dalam belajar. Penggunaan model dalam belajar adalah sangat penting tidak saja untuk

belajar aspek-aspek prilaku konkrit, tetapi juga dapat digunakan dalatn mengembangkan

proses-proses kognisi dan afeksi (sikap) yang bersifat abstrak dan kompleks. Gagne,

Briggs. dan Wager (1992; Gredler, 1992), misalnya, menunjukkan pentingnya model

dalam belajar sikap. Dewasa ini, sudah tidak dapat disangkal lagi bahwa televisi telah

banyak berpengaruh terhadap perkembangan mental dan kepribadian anak-anak dan

171

Page 60: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

kelompok remaja karena kemampuannya menunjukkan model dalam citra audio visual

yang menarik. Sejalan dengan ini, Bandura (Gredler, 1992) yang terkenal dengan teori

belajar kognisi sosialnya juga menunjukkan betapa penting artinya sebuali model dalam

belajar. Seseorang dapat belajar dari model melalui proses imitasi secara langsung dan

dapat pula belajar secara tidak langsung melalui konsekuensi yang diterima dari perilaku

model (Gredler, 1992). Teori belajar terbaru dari konstruktivisme juga menunjukkan

pentingnya proses modeling dalam belajar sosial. Hasil penelitian Sukadi (2005)

menunjukkan \>ahwa dengan menggunakan pendekatan kontruktivisme, mahasiswa

jurusan PPKN yang mengambil mata kuliah "Belajar dan Pembelajaran" lebih mudah

memahami konsep-konsep belajar dan implementasinya dalam pembelajaran jika

mahasiswa diberikan model simulasi pembelajaran yang sesuai dengan aplikasi teori

belajarnya di awal pembelajaran.

Ketiga, melalui model, seseorang bisa belajar melalu! proses imitasi dan

identifikasi dengan model. Belajar melalui proses imitasi ini dimungkinkan baik untuk

belajar prilaku dalam unjuk kerja maupun belajar proses-proses kognisi dan proses afeksi

yang kompleks. Teori-teori belajar behavioristik dari Skinner dan teori belajar sosial dari

Bandura memberikan dukungan untuk ini (Gredler, 1992). Begitu pula, Wulf (2002),

seorang ahli antropologi pendidikan, menjelaskan betapa pentingnya konsep mimesis

dalam berbagai aktivitas, imajinasi, pembicaraan, dan dalam pemikiran manusia; dan hal

ini menggambarkan kebutuhan yang esensial dalam kehidupan sosial. Mimesis, dalam hal

ini, secara kasar dapat diidentikkan dengan proses imitasi, sekaligus juga sebagai

presentasi dan ekspresi (Wulf, 2002:51). Imitasi di sini tidaklah dilakukan secara pasif,

melainkan berlangsung dalam proses menjadi.

Keempat, pemahaman guru dan siswa tentang konsep dan nilai-nilai Tri H t ia

Karana serta gambaran implementasinya dalam wujud-wujud kebudayaan Bali yang harus

dikembangkan dan dilestarikan dalam rangka ajeg Bah bukanlah satu produk struktur

pengetahuan yang sudah jadi. Baik guru maupun siswa sesungguhnya memahaminya,

menghayatinya, menyikapinya, mengaktualisasikannya, sena menjaganya adalah sebagai

suatu proses budaya dalam proses menjadi. Dengan begitu bersama-sama komponen

masyarakat yang lain proses rekonstruksi pengetahuan terus berlangsung. Di sini guru-

guru dan siswa tidak hanya belajar memahami strukturnya, tetapi juga berupaya

menghayati dan melakukannya, sehingga membentuk satu iklim kehidupan yang secara

terus menerus juga dievaluasi dan direfleksikan. Di sinilah sesungguhnya konsep belajar

dengan melakukan (learnmg by doing) dan merefleksikan dalam siklus-siklus belajar

172

Page 61: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

menggunakan pendekatan iri premana dilakukan. Hal ini tidak lain adalah sebagai suatu

pendekatan konstruktivisme Hindu yang berlangsung dalam iklim pendidikan yang

alamiah, yang sesungguhnya pula telah menerapkan prinsip-prinsip belajar mengetahui,

belajar melakukan, belajar menjadi, dan belajar hidup bersama dalam masyarakat

pebelajar (S u bagi a, 2000).

G. Konteks Orientasi Nilai-nilai Kebangsaan (Nasionalisme) dalam Pengembangan

Praktik Pendidikan IPS di SMU Negeri 1 Ubud

1. Agama Hindu dan Ideologi Nasional Pancasila

Masyarakat Bali pada umumnya dan masyarakat Ubud pada khususnya merupakan

bagian integral dari masyarakat Indonesia. Maka. tidaklah berlebihan juga jika dikatakan

bahwa masyarakat Bali, di samping melaksanakan dan mendukung kehidupan sosial yang

berkarakter kebudayaan Bali, juga melaksanakan dan mendukung kebudayaan Indonesia;

dan, karena itu juga, mendukung nilai-nilai keindonesiaan.

Kesadaran akan keindonesiaan itu tidaklah dimiliki orang Bali baru sekarang ini

saja, melainkan telah terjadi pula balikan pada masa pergerakan nasional dan pada masa

kemerdekaan. Sejarah pergerakan nasional dan sejarah kemerdekaan RI telah

menunjukkan bagaimana kontribusi orang Bali pada pengembangan konsep dan nilai-nilai

keindonesiaan. Diterimanya konsep negara kesatuan dan menjadikan Bali sebagai bagian

integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia; diterimanya Pancasila dan UUD 1945;

diterimanya kepemimpinan nasional; diterimanya simbol-simbol kesatuan negara dan

bangsa Indonesia seperti bendera merah putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, lambang

negara Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ikan ya, dan penggunaan

bahasa Indonesia; diterimanya program-program dan kebijakan-kebijakan pembangunan

nasional di Bali; serta keikutsertaan masyarakat Bali dalam pentas sejarah partisipasi

sosial politik, militer, sosial budaya, dan sosial ekonomi cukup untuk menunjukkan bahwa

kesadaran kehidupan berbangsa Indonesia dengan nilai-nilai nasionalismenya telah

dimiliki oleh orang Bali.

Dalam perkembangannya, kesadaran nasionalisme Indonesia orang Bali

terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan bangsa Indonesia. Dalam

tataran ideologi dan filosofi, keberadaan ideologi dan pandangan hidup bangsa Indonesia,

yakni Pancasila, diyakini sepenuhnya oleh masyarakat Bali sangat sesuai dengan dasar

agama dan pandangan hidup orang Bali. Relevansi ini makin menguatkan kesadaran

173

Page 62: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

nasionalisme orang Bali bahwa pada dasarnya orang Bali itu sendiri mengidentifikasikan

dirinya sebagai orang Indonesia juga, karena memiliki kesesuian ideologis dan pandangan

hidup. Dengan keyakinan seperti ini, balikan dapat dikatakan bahwa kesadaran

nasionalisme orang Bali tidaklah saja merupakan kesadaran nasionalisme yang bersifat

politis tetapi telaii menyatu pula dalam kesadaran nasionalisme budaya (Widja, 2001).

Ini artinya, secara ideologis, kesadaran nasionlisme orang Bali tidak lagi semata-

mata ditentukan oleh kemauan politik atau balikan oleh tekanan politis kekuasaan dalam

hubungan kekuasaan pusat dan daerah, tetapi kesadaran itu memang telah tumbuh mejadi

bagian dari kesadaran kehidupan budaya orang Bali. Ini dapat dievaluasi dari bagaimana

pandangan hidup orang Bali dengan Hindunya terhadap dasar dan pandangan hidup

Pancasila baik pada nilai-nilainya secara sila demi sila maupun dalam satu kesatuan

maknanya Dalam hal ini, Pancasila tidak saja diterima sebagai cenier of ideas, tetapi juga

menjadi btlieve siructureny&, dan ideologi nasionalnya orang Bali (Somantri, 2001).

Pertama, orang Bali dengan ajaran Hindunya telah dapat menerima kebenaran

nilai-nilai dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam hal ini ajaran Hindu Bali sendiri

dalam konsep keTuhanannya memang menganut faham monoteisme, yaitu keyakinan

tentang kebenaran bahwa sesungguhnya Tuhan itu adalah Esa dan tidak ada duanya

(VViana, 1993). Mantram Tri Sundhya bait kedua salah satunya menyatakan kebenaran

tersebut, yaitu: Narayanah na dviiiyo 'sii kaset i (Wiana, 1993:19). (Tuhan/Narayaita

hanya satu tidak ada yang kedua). Karena itu, agama Hindu juga mengembangkan

keimanan dan ketaqwaan (crada, bhakii, dan karma) terhadap Tuhan Yang Maha Esa

melalui pelaksanaan kerangka agama Hindu yag meliputi taiwa (sistem filsafat), susila

(sistem etika), dan upacara (sistem ritual).

Begitu pula. ajaran Hindu mengakui adanya hak dan kebebasan setiap individu

manusia untuk menganut agama atau ajaran keyakinan/kepercayaannya masing-masing

dan beribadah sesuai dengan agama atau keyakinannya itu. Sivananda (1993:2)

mengatakan terkait dengan kebebasan ini sebagai berikut: "Hinduisme, tidak seperti

agama-agama lain, tidak secara dogmatis menyatakan bahwa pembebasan akhir

dimungkinkan hanya melalui caranya sendiri dan tidak dapat dengan cara lain. Ia hanya

merupakan satu cara untuk satu tujuan dan semua cara yang akhirnya akan membawa pada

tujuan, disepakati secara bersama-sama". Lebih lanjut dikatakan:

Hindu memperkenalkan kemerdekaan mutlak terhadap pikiran rasional dari manusia. Hinduisme tidak pernah menuntut sesuatu pengekangan yang tidak semestinya terhadap kemerdekaan dari kemampuan berpikir manusia, kemerdekaan dari pemikiran, perasaan dan keinginan manusia, la

174

Page 63: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

memperkenankan kebebasan yang paling luas dalam masalah keyakinan dan pemujaan. Hinduisme adalah suatu agama pembebasan. (1993:2).

Dengan dasar-dasar keyakinan dan nilai-nilai seperti di atas jelaslah bahwa nilai-

nilai Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran dan keyakinan agama Hindu. Keyakinan

dan nilai-nilai di atas melandasi sikap dan perilaku manusia Bali Hindu bahwa secara

vertikal manusia harus beriman dan bertaqwa (memiliki crada, bhakli, dan karma yang

baik) kepada Tuban Yang Maha Esa; dan dengan dasar keimaan seperti itu membangun

hubungan kehidupan yang harmonis pula dengan sesama manusia dengan memberiku

hak dan kebebasan kepada setiap individu untuk memiliki dan menjalankan crada dan

bhakii sesuai dengan keyakinan dan kepercayaaannya. Untuk itulah perlu dikembangkan

sikap toleransi dan saling menghormati keyakinan dan cara menjalankan ibadah {bhakii)

setiap individu kepada Tuhan Yang Maha Esa (Wiana, 1993). Agama Hindu Bali

mengakui bhinneka tinggal ika ian hana dharma mangrua. Artinya, walau berbeda-beda,

sesungguhnya kita adalah satu dalam dharma (kebajikan), tidak ada dharma (Tuhan) yang

kedua.

Kedua, orang Bali Hindu juga memiliki konsep dan nilai-nilai yang sejalan dengan

nilai-nilai sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Dengan konsep pawonganaya. yang

mengajarkan perlunya manusia membangun hubungan yang harmonis dengan sesama

manusia atas landasan nilai-nilai iai iwam asi (kesamaan semua makhluk bersumber dari

Tuhan Yang Malta Esa), manusia Bali mengakui bahwa semua manusia memiliki

kedudukan, derajat, dan martabat yang sama di hadapan Tuhan tanpa membeda-bedakan

suku/etnis, agama, ras, warna kulit, pangkat dan jabatan, kecuali semata-mata karena

perbuatan atau perilakunya (karma wacananya). Pengakuan bahwa sesungguhnya manusia

itu sama-sama bersumber dari Tuhan (Brahman atman atkyam) berimplikasi kepada ajaran

dan nilai-nilai bahwa manusia haruslah saling menghormati, saling mengasihi, menjunjung

tinggi nilai-nilai kemanusiaan, tenggang rasa, tidak semena-mena kepada orang lain,

gemar melakukan kegiatan kemanusiaan melalui bentuk manusia yadrtya, berani membela

kebenaran dan keadilan, serta menjalin hubungan dengan seluruh umat manusia tanpa

membeda-bedakan agama, suku/etnis, ras, jenis kelamin, dan sejenisnya.

Ketiga, masih sejalan dengan nilai-nilai di atas, manusia Bali juga menjunjung

tinggi nilai-nilai bhinneka tunggal ika, yaitu walau kita berbeda-beda suku/etnis, agama,

kepercayaan, ras, bahasa, adat istiadat, dan sejenisnya, sesungguhnya kita adalah satu.

Dengan pengakuan bahwa manusia Bali adalah orang Indonesia, maka sesungguhnya

kesatuan itu juga meliputi persatuan dan kesatuan Indonesia.

175

Page 64: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

Manusia Bali mengakui adanya bangsa dan negara Indonesia melalui dharmanyz

sebagai dharma negara di samping sebagai dharma agama. Dalam menjalankan dharma

negaranya, manusia Bali hanya mengakui Indonesia sebagai tanah airnya dan negaranya

sebagai wahana pengabdiannya kepada negara (dharma negara). Dalam menjalankan

prinsip dan nilai-nilai ini, manusia Bali tetap berpegang teguh pada nilai-nilai tai iwarn asi.

Ini tentu sejalan dengan konsep dan nilai-nilai persatuan dan kesatuan Indonesia hidup

dalam taman sarinya kemanusiaan.

Keempat, ajaran dan praktik adat kemasyarakatan Hindu di Bali memang tidak

secara khusus mengenal konsep demokrasi, apalagi konsep demokrasi dalam

pemerintahan. Tetapi, ini tidaklah berarti bahwa orang Bali Hindu tidak memiliki dan

tidak menjalankan praktik nilai-nilai demokrasi sesuai dengan jiwa sila keempat Pancasila.

Geertz (1984) menemukan bahwa praktik demokrasi telah berlangsung dalam

pemerintahan desa di Bali di mana kekuasaan tertinggi pada demokrasi desa berada di

tangan dewan desa (lihat juga Atmadja, 1998). Atmadja (1998:16) menambahkan bahwa

dewan desa sebagai pemegang kedaulatan rakyat memandatkan kekuasaannya kepada

seorang pemimpin yang disebut bendesa adat (Surpha, 1992; Warren, 1991). Karena itu,

nilai-nilai demokrasi dimiliki oleh orang Bali dan penerapannya berakar pada nilai-nilai

agama dan budaya Hindu yang sangat menjunjung nilai-nilai keberagaman atau

perbedaan, tetapi yang berbeda-beda itu harmonis, indah, dan sesungguhnya berasal dari

satu kebenaran (dharma), yaitu kebenaran Tuhan Yang Maha Esa (Bhinneka lunggal ika

tan hana dhurma mangrua).

Pengakuan dan penghormatan terhadap eksistensi perbedaan ini jelas telah

mengandung nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan masyarakat multikultur. Dengan

ajaran ia t /wam asmya, manusia Hindu Bali juga mengakui pula hak-hak dan kewajiban

setiap makhluk di bumi ini: mengakui hak dan kebebasan beragama atau keyakinan

terhadap Tuhan Yang Maha Esa, mengakui kesamaan kedudukan, derajat, dan

martabatnya: mengakui hak-hak hidupnya; dan sejenisnya. Dengan nilai-nilai ini jelas

orang Bali mengakui adanya nilai-nilai persamaan dan kebebasan sebagai nilai-nilai utama

dalam demokrasi.

Begitu pula, dengan nilai-nilai pawongan yang dilandasi oleh nilai-nilai

paruhvangan, manusia Bali telah mengembangkan nilai-nilai demokrasi yang berpilar

Ketuhanan Yang Maha Esa (bandingkan dengan Sanusi, 1998; 1999). Demokrasi seperti

ini mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan;

pengakuan terhadap hak-hak komunal (bersama) terutama pada hak-hak atas tanah desa;

176

Page 65: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

keputusan diambil dengan musyawarah mufakat; melaksanakan hasil musj_~_—T

bertanggung jawab; dan dalam hubungan pemimpin dengan bawahan,ii^ ,

menerapkan prinsip sang nala ngiras sang kaula, sang kaula ngiras sang ttaitfjjjf^jik

mengikuti kehendak suara rakyat, rakyat patuh kepada pemimpinnya). KehidSupSw tfeSgsfif^

nilai-nilai seperti di atas masih kental dapat kita ketahui dalam kehidupan pe^

desa adat di Bali (Atmadja, 1998), dan ini jelas pula merupakan nilai-nilai dasar demokrasi

dalam kehidupan masyarakat tradisional.

Akhirnya relevan dengan jiwa dan semangat nilai-nilai sila keadilan sosial bagi

seluruh rakyat Indonesia, orang Bali Hindu juga memiliki ajaran catur purusha artha,

yaitu: dharma, artha, kama, moksa, bii mengajarkan bahwa kebahagiaan yang berupa

kesejahteraan lahir (artha dan kama) dan bathin (moksa) haruslah dicapai dengan

Iandasan dharma atau kebenaran dan keadilan, dan kesejahteraan itu harus mencakup

kepentingan bersama orang banyak.

Ajaran catur purusha artha juga mendidik orang Bali bahwa setiap orang memiliki

hak dan kewajiban sekaligus untuk mendapatkan kesejahteraan berupa harta {artha) dan

pemenuhan kebutuhan {kama) lainnya. Ini mewajibkan setiap manusia harus mau bekerja

keras dengan Iandasan etos keija hukum karma yang didasari oleh pelaksanaan ajaran iri

kaya partsudha (manacika, wacika, kayika), yaitu bersatunya kata, hati, dan perbuatan

untuk membentuk perilaku yang baik (cuhha karma). Di samping artha dan kama,

manusia juga wajib mengupayakan kebahagian bathiniah {moksa) dengau mengikuti

ajaran kaidah-kaidah agama {dharma) (Genya, 1991; Gorda, 1996; Wiana, 1993).

Guru-guru dan siswa SMU Negeri 1 Ubud sebagai bagian kecil orang Bali

memiliki keyakinan dan nilai-nilai sebagai tergambar di atas. Bagi mereka. Pancasila

memang merupakan dasar negara dan ideologi nasional yang paling tepat digunakan bagi

kepentingan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan kandungan nilai-

nilai Pancasila diyakini guru dan siswa relevan dengan nilai-nilai ajaran Hindu Bali

sebagaimana dijelaskan di atas. Karena itu, mereka tidak perlu meragukan lagi bahwa

Pancasila dapat digunakan sebagai dasar negara dan ideologi nasional yang akan

menguatkan nilai-nilai nasionalisme mereka. Di sinilah maknanya Pancasila sebagai

ideologi terbuka (Kaelan, 2003).

Sejalan dengan pandangan seperti itu, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

masih perlu dipertahankan dalam rangka tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik

Indonesia dan demi pendidikan nilai-nilai nasionalisme. Hanya saja menurut pandangan

siswa, Pendidikan Pancasila mestinya lebih merupakan pendidikan demokrasi dari pada

177

Page 66: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

^menerapkan pola indoktrinasi; dan harus ada komitmen semua komponen masyarakat,

bangsa, dan negara untuk merealisasikan cita-cita pembentukan masyarakat Pancasila

yang demokratis sesungguhnya dan bukan merupakan ciri masyarakat yang munafik:

pandai dalam menjelaskan nilai-nilai Pancasila, tetapi tidak bijaksana dalam

menerapkannya.

Dari berbagai uraian di atas, secara strutural dapat dipahami bahwa masyarakat

Bali sebagai bagian dari masyarakat Indonesia seluruhnya mengakui bangsa dan negara

Indonesia sebagai tujuannya dalam menjalankan dharma negaranya.. Dalam pandangan

liukuin rwa bhinneda, masyarakat Bali sebagai bagian dari kekuatan buana alit haruslah

memiliki hubungan yang harmonis dengan kekuatan dunia yang lebih luas sebagai buana

agungnya, yaitu Bangsa dan Negara Kesatuan Indonesia. Hubungan struktural dalam

oposisi biner ini membentuk relasi peugabdian dengan menempatkan kepentingan

kehidupan berbangsa dan bernegara di atas kepentingan suku atau golongan yang dengan

demikian menjadi wahatia bagi masyarakat Bah dalam menjalankan dharma negaranya di

samping menjalankan dharma agamanya (Widja, 1991). Karena itu bagi orang Bali,

menjalankan kewajiban terhadap bangsa dan negara Indonesia dipandang sebagai bagian

dari tugas suci yang utama, yang dengan pengorbanan-pengorbanan kepadanya dapat

mengantarkan manusia mencapai sorga.

2. Peranan Agen-agen Sosial dan Pemerintahan dalam Konteks Pembentukan

Identitas Nasional Masyarakat Bali

Di samping Pancasila dan simbol-simbol kebangsaan lainnya yang diyakini guru-

guru dan siswa dapat menguatkan sikap nasionalisme mereka, peranan agen-agen sosial

seperti pemerintahan, organisasi politik, media massa, lembaga-lembaga sosial

kemasyarakatan, dan pendidikan sekolah juga memiliki andil yang besar dalam

niensosialisasikan dan membentuk citra (imagej dan nilai-nilai nasionalisme mereka.

Keterlibatan masyarakat Bali dalam keliidupan berbangsa dan bernegara yang ditunjukkan

dalam partisipasinya pada sektor pemerintahan dari level pemerintahan desa hingga level

pemerintahan pusat menunjukkan bahwa orang Bali cukup kuat nilai-nilai dan sikap

nasionalismenya.

Partisipasi masyarakat desa adat yang tinggi baik terhadap pemerintahan desa adat

maupun desa dinas sebagai perpanjangan tangan pemerintahan nasional (Waren, 1991;

Widja, 1994) sekali lagi menunjukkan bukti nilai-nilai nasionalisme masyarakat Bali juga

tinggi.

178

Page 67: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

Pandangan dan sikap-sikap guru dan siswa SMU Negeri 1 Ubud terhadap

pemerintahan Indonesia juga masih sangat positif. Mereka mengakui eksistensi

pemerintahan Indonesia yang menjalankan sistem pemerintahannya baik secara terpusat

maupun dengan sistem desentralisasinya. Pengakuan ini menunjukkan pengakuan integrasi

masyarakat Bali dalam kekuasaan negara dan pemerintahan Indonesia yang secara

bersama-sama mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia. Sejalan dengan ini, mereka juga mengakui seluruh alat-alat kelengkapan negara

dan sistem pemerintahan Indonesia yang diwujudkan untuk menjalankan tugas-tugas dan

fungsi negara dan pemerintahan dalam mencapai kesejahteraan, keadilan, keamanan dan

stabilitas nasional, dan dalam memajukan bangsa Indonesia.

Imuge yang juga muncul di kalangan guru-guru dan siswa pada umunya terhadap

pemerintahan era reformasi di Indonesia adalah pemerintahan yang lebih demokratis.

Dimulai dengan adanya pemilu dengan sistem multi partai, dan kemudian disusul dengan

perubaltan iklim politik seperti pemilihan presiden/wakil presiden yang lebih demokratis,

perubahan UUD 1945, adanya rencana pemilihan presiden dan wakil presiden secara

langsung, diberlakukannya undang-undang sistem desentralisasi pemerintahan,

penyederhanaan departemen pemerintahan, serta meningkatnya peran masyarakat dalam

pengambilan dan perumusan kebijakan publik, memberikan angin segar bagi tumbuhnya

faham kebebasan dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

Euporia pesta demokrasi seperti itu sebagian dimanfaatkan oleh kalangan siswa

untuk menunjukkan kebebasan dalam kreativitasnya pada kegiatan-kegiatan

ekstrakurikuler dan dalam kebebasan menentukan pilihan jurusan serta dalam hubungan

guru dan siswa yang tidak lagi didasari semata-mata oleh hubungan dominasi kekuasaan.

Namun, euporia demokrasi dan kebebasan ini juga sebagian ditanggapi oleh guru dan

siswa dengan sikap was-was yang memunculkan kuatnya dorongan untuk mengadakan

pendidikan budi pekerti berbasis pada budaya lokal, walau ini juga tidak selalu sejalan

antara kepentingan kebebasan berekspresi dengan pemertahauan status quo kepentingan

guru yang dinilai ingin mempertahankan dominasi kekuasaan.

Baik guru-guru dan siswa memang tetap mengkritisi lemahnya pemerintahan

Indonesia dalam menegakkan supremasi hukum, meningkatkan keadilan dan kesejahteraan

bagi kelompok masyarakat lemah, menjamin pemerataan pembangunan antar daerah,

menangani isu-isu gerakan etnisilas, memajukan ekonomi, meningkatkan kualitas sumber

daya manusia Indonesia, dan dalam memberantas perilaku menyimpang korupsi, kolusi,

dan nepotisme. Dan mi dinilai terjadi pada semua level pemerintahan baik di pusat

179

Page 68: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

maupun di daerah. Kondisi ini, menurut guru-guru dan siswa, memang merupakan

tantangan dalam membangun dan mengembangkan sikap nasionalisme Indonesia. Dan ini

menjadi isu-isu penting dalam menyikapi pemilihan elit-elit politik dan pemerintahan baik

di tingkat daerah maupun pusat, termasuk juga dalam pengembangan wawasan

kebangsaan di sekolah.

Peranan gerakan-gerakan organisasi sosial politik dan organisasi sosial

kemasyarakatan dewasa ini juga memberikan citra yang positif terhadap guru-guru dan

siswa SMU Negeri 1 Ubud, walau eksplanasinya tidak dapat semata-mata dijelaskan

secara mekanistik dan linear. Menurut penilaian guru-guru dan siswa pada umumnya,

tumbuhnya organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan dan organisasi sosial politik pada

umumnya di Indonesia yang bagaikan jamur tumbuh di musim hujan merupakan implikasi

dari dibukanya kran demokrasi dan kebebasan dalam berserikat dan berkumpul bagi setiap

warga negara yang memungkinkan peningkatan partisipasi sosial politik setiap anggota

masyarakat sebagai warga negara dalam pemerintahan dan pembangunan nasional. Gejala

ini menjadi isu-isu sosial yang turut mewarnai kebijakan sekolah, mewarnai iklim

demokrasi di sekolah dan di kelas, dan mewarnai praktik-praktik pembelajaran di sekolah.

Tumbuh menjamurnya organisasi-organisasi sosial politik dan kemasyarakatan di

Indonesia pada umumnya, dan di Bali, termasuk di Gianyar dan Ubud pada khususnya,

walau dinilai guru-guru dan siswa tidak selalu dilandasi oleh kepentingan nasional, hal ini

menandakan mulai munculnya kesadaran masyarakat akan pentingnya turut berpartisipasi

dan menjadi subjek dalam pembangunan dan menghindarkan mereka dari penjajahan oleh

bangsa sendiri karena dijadikan objek pembangunan. Dan ini, dari sudut kepentingan

pengembangan pendidikan sekolah, dapat dijadikan peluang dan tantangan dalam

meningkatkan kualitas sumber daya manusia peserta didik, terutama dalam

mengembangkan program-program pendidikan yang lebih relevan dengan kebutuhan

perkembangan masyar akat.

Pentingnya peningkatan kualitas sumber daya manusia ini, di samping karena

makin beragamnya muncul kepentingan-kepentingan yang dibawakan oleh organisasi-

organisasi sosial politik dan kemasyarakatan ini, upaya mengelola benturan antar

kepentingan atau konflik kepentingan ini membutulikan manusia-manusia yang memiliki

pengetahuan dan wawasan yang luas, sikap yang bijaksana, bertanggung jawab dan

demokratis, keimanan dan ketaqwaan yang tinggi, serta memiliki komitmen dan dedikasi

yang tinggi pula untuk diabdikan kepada kepentingan nasional.

180

Page 69: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

Bagi kepentingan sekolah, guru-guru, dan siswa, kebutuhan peningkatan kualitas

sumber daya siswa perlu dikembangkan melalui peningkatan kualitas kecerdasan siswa

dalam berbagai dimensinya, antara lain: kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional,

kecerdasan sosial, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan kewarganegaraan, yang dalam

bahasa kecakapan hidup yang dikembangkan oleh UNESCO mencakup pengembangan

kecakapan personal, sosial, intelektual, akademis, dan kecakan vokasional (Depdiknas,

2004). Keseluruhan pengembangan kecakapan hidup seperti ini haruslah mampu

diintegrasikan dalam program-program pendidikan sekolah, termasuk di dalamnya melalui

program-program pendidikan IPS.

Dimensi kebutuhan lain yang perlu dikembangkan di sekolah/kelas, dengan

munculnya berbagai organisasi sosial politik dan kemasyarakatan yang membawakan

berbagai macam dan level kepentingan seiring dengan peitumbuhan dan perkembangan

konsep dan nilai-nilai demokrasi di Indonesia, adalah perlunya pengembangan wawasan

nasional dan kesadaran hidup berbangsa yang mendalam, sehingga gerakan-gerakan

demokrasi masyarakat itu tidak menyeret kepada perpecahan atau retaknya persatuan dan

kesatuan bangsa Indonesia. Kesetaraan nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai persatuan dan

kesatuan bangsa, karena itu, perlu terus digali dan dikembangkan berbasis pada nilai-nilai

Ketuhanan dan kemanusiaan yang universal untuk secara bersama-sama kemudian

diabdikan bagi kemajuan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pengembangan nilai-nilai ini dapat dikembalikan kemudian pada kebutuhan akan

pendidikan nilai-nilai Pancasila yang akan membentuk dan mengembangkan center of

idtu dan be/iefsiructurenya. masyarakat Indonesia (Somantri, 2001).

3. Isu Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Berbangsa

Isu-isu sosial aktual yang juga turut mempengarulii program pendidikan di sekolah

sebagai implikasi berkembangnya organisasi-organisasi sosial politik dan kemasyarakatan

adalah tentang perjuangan kaum perempuan Indonesia untuk kesetaraan gender. Diakui

guru-guru dan siswa bahwa isu kesetaraan gender ini memang cukup kuat pengaruhnya

kepada iklim pendidikan kesetaraan gender di sekolah, walau diakui pula bahwa tidak

seluruh permasalahan yang muncul dalam isu perjuangan kesetaraan gender itu dapat

diikuti oleh sekolah. Dalam pandangan guru-guru dan siswa, memang sudah waktunya

bagi perempuan di Indonesia pada umumnya dan perempuan di Bali pada khususnya

untuk lebih menperjuangkan kesetaraan hak-haknya baik di bidang politik, ekonomi,

sosial, hukum, pendidikan, bahkan dalam bidang pertahanan dan keamanan. Hal ini karena

181

Page 70: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

dinilai bahwa sebegitu jauh sudah kemajuan pembangunan yang sudah dapat dicapai

bangsa Indonesia, namun perlakuan terliadap dan peranan kaum perempuan Indonesia

dalam berbagai aspek pembangunan masih dimarginalkan. Pada hal, jumlah penduduk

perempuan di Indonesia sudah melebihi jumlah penduduk laki-lakinya. Jika perlakuan

tidak adil kepada kaum perempuan ini dibiarkan tertindas oleh kuatnya pengaruh budaya

patriarkhi, maka dipastikan bangsa Indonesia tidak akan pernah mencapai kemajuan setara

dengan bangsa-bangsa maju lainnya. Ini karena sebagian besar sumber daya manusianya

dibiarkan terpasung dalam iklim ketidakberdayaan; bukan karena faktor kualitasnya yang

lemah, melainkan karena faktor agama dan budaya (Fakih, 1999).

Sehubungan dengan itu, gerakan kaum perempuan untuk menuntut kesetaraan

gender ini perlu didukung semua komponen masyarakat tennasuk komponen lembaga

pendidikan sekolah. Pendidikan sekolah haruslah pula mengambil peran terdepan dalam

memberdayakan kaum perempuan Indonesia pada umumnya dan perempuan Bali pada

khususnya, sehingga mereka dapat mengembangkan seluruh potensinya secara optimal

setara dengan kaum laki-laki, serta mendapat peluang dan peran serta diperlakukan sama

dengan kaum laki-laki dalam semua aspek kehidupan dai] seluruh aspek pembangunan

(bandingkan dengan Astuti, 2000; Astuti, Indati, dan Sastriyani, 1999; Fakih, 1999;

Sanjaya, 2000; Sudiatmaka, 2001; Tokoh, 2004). Menurut penilaian guru-guru dan siswa,

ini tidak berarti bahwa keterbatasan fisik serta faktor-faktor budaya diabaikan sama sekali.

Bagaimanapun pemberdayaan kaum perempuan haruslah tetap mempertimbangkan nilai-

nilai, norma-norma, dan praktik-praktik budaya tertentu yang masih dinilai luhur dan

dapat dipertahankan, seliingga kaum perempuan Indonesia tidak terjerumus ke dalam

kebebasan gender (Sudiatmaka, 2001).

Di sekolah, menurut guru-guru dan siswa, program pendidikan yang berorientasi

kesetaraan gender dapat dilakukan melalui pengkajian materi-materi yang berkaitan

dengan isu dan permasalahan kesetaraan gender yang diintegrasikan dalam mata pelajaran

PPKn, atau pada mata pelajaran Sosiologi dan Antropologi, sedikit pada mata pelajaran

Sejarah dan Biologi, dan dapat pula menciptakan iklim kesetaraan gender pada berbagai

kegiatan program pendidikan baik pada kegiatan kurikuler seperti di atas, kegiatan

kokurikuler, maupun pada kegiatan ekstrakurikuler.

Dalam kegiatan kurikuler dan kokurikuler, di samping beberapa guru ~ seperti

guru PPKn, Sejarah, Sosiologi dan Antropologi, dan guru Biologi - memberikan

pemahaman dan pembinaan sikap kesetaraan gender melalui beberapa pokok bahasan

yang relevan, materi-materi pembelajaran juga dinilai guru dan siswa tidak bersifat bias

182

Page 71: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

gender; walau harus diakui bahwa dari segi sikap dan perilaku siswa dan guru dalam

interaksi di kelas tidak bisa dipungkiri bahwa dalam beberapa hal masih tetap

mempertahankan praktik bias gender. Untuk beberapa hal yang masih bias gender,

menur ut guru dan siswa tidak dianggap sebagai sikap dan tindakan yang bias gender,

melainkan karena sudah menjadi tradisi masyarakat Bali pada umumnya dan dinilai

sebagai sikap dan nilai-nilai yang luhur. Hal ini berkaitan dengan pemahaman konsep dan

nilai-nilai r*a bhinneda tentang karakteristik laki-laki dan perempuan yang dimiliki oleh

guru dan siswa (Sudiatmaka, 200]).

Pada kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler, sekolah (dalam hal ini gum-gura) memang

selalu berorientasi untuk tidak menunjukkan sikap dan perilaku yang bias gender dalam

memberikan kesempatan dan perlakuan kepada siswa dalam memilih dan melaksanakan

kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler. Guru-guru, dalam hal ini, memberikan kebebasan yang

seluas-luasnya kepada siswa untuk memilih dan melakukan kegiatan-kegiatan

ekstrakurikuler sesuai dengan bakat dan minatnya tanpa membeda-bedakan jenis kelamin

siswa. Semua ini bertujuan untuk memberikan peluang yang sama kepada siswa laki-laki

dan perempuan untuk berkembang secara optimal dalam kemampuan, kepribadian, dan

keterampilan vokasionalnya. Namun, ini juga harus diakui bahwa, dalam realitanya,

pengaruh budaya patriarkhi dalam lingkungan keluarga dan masyarakat Ubud pada

khususnya dan masyarakat Bali pada umumnya tetap mempengaruhi pilihan-pilihan siswa

perempuan dan laki-laki dalam memilih kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang

diminatinya, yang menunjukkan adanya bias gender.

Tidak jauh berbeda dengan kegiatan-kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler di atas,

dalam hal pemililian jurusan, sekolah juga memberikan kesempatan vang seluas-luasnya

kepada siswa untuk memilih jurusan sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya

tanpa mempertimbangkan perbedaan jenis kelamin siswa. Dan siswa menyadari bahwa

mereka memang telah memperoleh peluang/kesepatan dan perlakuan yang sama dari

guru-guru dalam menentukan pilihan jurusannya. Namun, harus diakui guru-guru dan

siswa bahwa pilihan-pilihan jurusan itupun akhirnya cenderung menunjukkan bias gender,

walau sebenarnya kurang dikehendaki bersama.

Begitulah, konsep kesetaraan gender diperjuangkan dalam kondisi yang sangat

alamiah. Baik guru dan siswa sesungguhnya menyadari bahwa sekolah memiliki peranan

yang sangat penting dalam (urut memperjuangkan hak-hak kesetaraan gender bagi kaum

perempuan Indonesia pada umumnya dan Bali pada khususnya agar kaum perempuan

tidak terus tersubordinasi oleh kaum laki-laki. Tetapi, karena kurang adanya kesadaran

183

Page 72: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

bagaimana menciptakan dan mengembangkan iklim kesetaraan gender dan bagaimana

kriteria kesetaraan gender yang diinginkan, baik guru maupun siswa tanpa disadari tidak

bisa pula melepaskan diri dari sikap dan perilaku yang bias gender dalam interaksi edukasi

di lingkungan sekolah atau kelas.

Walau guru-guru teiali beiprinsip memberi peluang dan kesempatan yang sama,

tetapi pilihan-pilihan yang alamiah tetap mempolakan mereka pada sikap dan perilaku

yang bias gender. Dalam hal ini dapat dikatakan, sekolah tidak bermaksud mendidik

{nurture) siswanya dalam sikap dan prilaku yang bias gender, tetapi secara biologis dan

alamiah (nature) guru dan siswa masih mempraktikkan pola budaya patriarklii yang bias

gender (Megawangi, 1999). Temuan seperti ini tampaknya relevan dengan temuan

Sudiatmaka (2001) yang menyimpulkan bahwa sekolah tidak secara nurture

mempraktikkan sikap dan perilaku bias gender, tetapi baik guru dan siswa secara biologis

dan alamiah tanpa menyadarinya masih mempraktikkan pola budaya patriarklii dalam

interaksi edukasinya yang menunjukkan adanya sikap dan perilaku bias gender. Kondisi

ini sebenarnya dapat dijelaskan dari praktik budaya patriarklii dalam pandangan agama

dan budaya Hindu di Bali (Miller and Branson, 1990).

Dalam pandangan agama dan praktik budaya Hindu di Bah yang berbasis ideologi

Tri Hiia Karana, dalam konsep parahyartgan, pawongan, dan paiemahan, sesunggulinya

tercermin juga, dari dimensi hukum rwa hhinnedai\y&, adanya konsep kesucian dan

kekotoran (Atmadja, 1999). Parahyangan adalah dunianya kesucian sebagai dunianya

para dewa. Sedangkan paiemahan adalah dunia yang profan, sekuler, atau leleh.

Setara dengan pemikiran di atas, konsep laki-laki dan perempuan juga membawa

implikasi, dilihat d aji dimensi rwa hhineda. suci dan profan. Laki-laki merupakan simbol

dunianya para dewa/parahyangan, sedangkan perempuan merupakan simbol dunianya

paiemahan. Kaum perempuan disimbolkan mewakili dunia profan karena dianggap pada

diri dan kodratnya membawa hal-hal yang tidak suci atau leleh (Miller and Branson,

1990).

Pandangan seperti ini membentuk sistem nilai dalam sistem sosial budaya

patriarkhi orang Bali yang menempatkan kaum perempuan dalam subordinasi kaum laki-

laki yang melahirkan praktik-praktik ketimpangan gender atau perilaku bias gender di

Bali. Kondisi seperti ini disadari oleh kaum perempuan Bali dewasa ini, termasuk oleh

guru-guru dan para siswa SMU. Namun, mereka belum dapat berbuat banyak untuk

melakukan perubahan-perubahan yang mengarah kepada kesetaraan gender karena mereka

telah terikat oleh sistem nilai dalam kehidupan sosial budaya orang Bali yang terlanjur

184

Page 73: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

dinilai luhur dan mulia; dan, karena itu, tidak mungkin mengubahnya secara revolusioner

(Sanjaya, 2000; Sudiatmaka, 2001).

Kondisi seperti ini pula, memang, tidak jarang memunculkan konflik nilai, tidak

saja bagi kaum perempuan Bali itu sendiri, tetapi bagi masyarakat pada umumnya. Di satu

sisi, mereka sudah menginginkan adanya perlakuan yang sama kepada kaum perempuan

dan kaum laki-laki pada semua bidang kehidupan sosial budaya di masyarakat, namun, di

sisi lain, mereka terlanjur telah memuliakan nilai-nilai perempuan yang dianggap luhur,

yang secara tidak langsung juga niemarginalkannva. Lantas, konsep kesetaraan gender

yang bagaimana yang mereka inginkan? Guru-guru dan siswa sepakat menyatakan bahwa

semua itu masih dalam proses belajar menjadi (leaming how (o be). Yang penting bagi

gum-gunj, mereka telah berupaya memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama

kepada siswa laki-laki dan perempuan untuk mengaktualisasikan seluruh potensi-

potensinya.

4. Peranan Media Massa dalam Mensosialisasikan Nilai-nilai Nasionalisme

Peranan media massa di Bali juga tidak kalah pentingnya dalam mensosialisasikan

pandangan-pandangan dan nilai-nilai nasionalisme kepada masyarakat pada umumnya dan

kepada generasi muda dan siswa SMU pada khususnya. Menurut guru-guru dan siswa,

tiga jenis media massa, yaitu televisi, radio, dan surat kabar/tabloid memiliki peranan yang

paling penting dalam memberikan infonuasi tentang berbagai peristiwa dan isu-isu aktual

kontroversial dalam kaitannya dengan konsep dan nilai-nilai nasionalisme. Ketiga media

ini melupakan media yang paling sering dan intensif dapat digunakan guru-guru dan siswa

dalam memperoleh berbagai informasi termasuk informasi yang berkaitan dengan

peristiwa dan isu-isu nasionalisme

Berbagai informasi yang diperoleh dari berbagai peristiwa dan isu yang muncul di

berbagai media massa terkait dengan peristiwa-peristiwa dan isu-isu nasionalisme telah

membentuk tmage atau citra tentang nasionalisme Indonesia vang berubah. Menurut guru-

guru dan siswa, nilai-nilai nasionalisme memang masih tetap urgen untuk dimiliki dan

dilaksanakan oleh seluruh komponen bangsa dan masyarakat Indonesia untuk tetap

tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tanpa nilai-nilai dan komitmen

nasionalisme Indonesia yang kuat, diyakini akan dapat menghancurkan keutuhan sendi-

sendi kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat Indonesia. Masalalinya, nilai-

nilai nasionalisme Indonesia yang bagaimanakah yang harus dimiliki dan dilaksanakan

oleh seluruh komponen bangsa dan masyarakat Indonesia. Inilah yang menimbulkan

185

Page 74: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

- 'banyak- interpretasi tergantung pada bagaimana interaksi yang terjadi antara guru-guru dan

siswa dengan media itu sendiri di samping ditentukan pula oleh faktor-faktor internal

mereka.

Beberapa guru dan siswa berpandangan bahwa sesungguhnya nilai-nilai

nasionalisme itu tidaklah pernah berubah. Sikap nasionalisme harus ditunjukkan oleh

setiap komponen bangsa dengan menunjukkan kesetiaannya kepada prinsip negara

kesatuan RI sebagai konsekuensi adanya sikap kesatuan atas tanah air, bangsa, dan bahasa

Indonesia serta kesatuan dalam seluruh simbol-simbol kenegaraan dan kebangsaan

Indonesia.

Dikaitkan dengan konsep dharma dalam agama Hindu di Bali, guru-guru dan

siswa yang berpandangan seperti ini menjelaskan bahwa untuk tetap tegaknya Negara

Kesatuan RI, setiap warga negara Indonesia haruslah sadar dalam menjalankan dharma

negaranya.. Setiap individu haruslah menempatkan kepentingan negara dan bangsa di atas

kepentingan pribadi atau golongan untuk menjalankan dharma negara seperti itu.

Beberapa guru dan siswa yang lain menyatakan bahwa persatuan dan kesatuan

bangsa dalam konsep integrasi nasional dan menempatkan kepentingan negara dan bangsa

di atas kepentingan pribadi atau golongan memang sangat penting untuk tetap

terimplementasikannya nilai-nilai nasionalisme dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara Indonesia. Tetapi, nilai-nilai itu saja tidaklah cukup untuk

mempertahankan tetap tegaknya dan untuk memajukan bangsa Indonesia dalam wadah

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tantangan jaman serta perkembangan atau

dinamika masyarakat juga telah berubah. Karena itu, nilai-nilai nasionalisme Indonesia

juga tentunya mengalami perubahan makna (Irwan, dkk. 2001; Sukadi, 2004; Widja,

2001).

Berbagai peristiwa yang muncul yang menantang perlunya perubahan paradigma

dalam cara pandang terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara

Indonesia yang diketahui dari berbagai informasi media massa haruslah memberi pelajaran

kepada kita semua bahwa kepentingan hidup manusia dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara tidaklah tunggal dalam jenis maupun levelnya. Karena itu,

makna nilai-nilai nasionalisme yang mengatur bagaimana kepentingan-kepentingan itu

diatur dan diposisikan dalam kehidupan haruslah berdimensi ganda juga. Prinsip

kehidupan berdemokrasi dalam kehidupan bennasyarakat, berbangsa, dan bernegara,

karena itu, tampaknya sangatlah penting juga dalam merealisasikan nilai-nilai

nasionalisme di era perubahan masyarakat Indonesia seperti sekarang dati di era

186

Page 75: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

globalisasi ini. Ini artinya, nasionalisme haruslah demokratis, dan demokrasi-

dapat membangun semangat dan nilai-nilai nasionalisme (Irwan, dkk, 2001).,f t

Hampir sejalan dengan pandangan di atas, ada juga yang berpand&ngaifipE^

nasionalisme dewasa ini tidaklah cukup hanya bersifat politis, apalagi karertfc termmu^.^ V ^ w s ^

kekuasaan politik oleh kelompok, suku, golongan, agama, atau ideologi liin nni Tuju

(Irwan, dkk., 2001; Suwarsono dan Alvin Y. So, 1991). Nasionalisme seperti itu adalah

nasionalisme yang semu.

Nilai-nilai nasionalisme Indonesia yang dibutulikan dewasa ini semestinya adalah

di samping secara politis karena adanya kesadaran sejarah sebagai bangsa yang satu atas

dasar persamaan nasib dan peijuangan, secara sosial budaya juga harus disadari bahwa

nasionalisme Indonesia yang kuat adalah jika nasionalisme dibangun atas dasar nilai-nilai

kesamaan atau kesetaraan kedudukan, keadilan dan kepastian hukum, kesejahteraan,

kemajuan ekonomi, kecerdasan, profesionalisme, tanggung jawab, kemampuan bekeija

sama secara kooperatif dan berkompetisi secara sehat, serta keimanan dan ketaqwaan

terhadap Tuhan Yang Maha Esa dari seluruh komponen masyarakat dan bangsa Indonesia.

Nasionalisme sosial budaya seperti ini terjadi jika ada dialog yang demokratis dan

berbudaya dalam hubungan masyarakat Indonesia yang multikultur dengan tingkat

keragaman perkembangan masyarakatnya pula (Sukadi, 2004).

Dalam pandangan Hindu di Bali, nasionalisme seperti ini adalah sebuah dharma

negara yang perlu dilandasi oleh: dharma agama berupa crada (keimanan) dan bhakli

(ketaqwaan) serta karma wacana yang baik (cubha karma), nilai-nilai lal twam asi,

bhinneka tunggal ika ian hana dharma mangruwa, catur paramilha, iri kaya parisudha,

karma phala, dan catur purusa artha (dharma, artha, kama, moksa). Rangkaian ajaran

keyakinan tentang bagaimana nilai-nilai nasionalisme diwujudkan sebagai bentuk atau

wujud dharma kepada negara sepati di atas dapat digambarkan dalam bagan sebagai

tertera di halaman berikut.

Begitulah dalam pembentukan nilai-nilai nasionalisme sebagai konteks kehidupan

berbangsa pada masyarakat Bali tidak pula bisa dipisahkan dari peranan nilai-nilai agama

Hiudu yang mendasarinya. Di sini agama Hindu dengan nilai-nilai dasarnya dapat

memberikan landasan motivasi diri, landasan pengintegrasi jati diri, dan landasan dalam

mengembangkan tujuan melaksanakan dharma negara.

187

Page 76: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

Gambar 08: Pemahaman orang Bali tentang Pelaksanaan Dharma Negara dalam kaitannya dengan Pelaksanaan Dharma Agama dalam rangka

' Pembentukan Nilai-nilai Nasionalisme » t

Landasan Motivasi Diri

Landasan Peng-integrasi Jati Diri

Tujuan Dharma Negara

C rada dan Bhakti Tat twam asi Karma phala Etos keija Hindu {Dharma agama)

Dharma Negara Catur Purusa Artha {Dharma, Artha, Kama, Moksa)

C rada dan Bhakti Tat twam asi Karma phala Etos keija Hindu {Dharma agama)

Dharma Negara Catur Purusa Artha {Dharma, Artha, Kama, Moksa)

C rada dan Bhakti Tat twam asi Karma phala Etos keija Hindu {Dharma agama)

Bhinneka Tunggal Ika Tri Kaya Partsudha Catur Paramita

Catur Purusa Artha {Dharma, Artha, Kama, Moksa)

H. Pariwisata dan Isu-isu Global dalam Persepsi Guru dan Siswa

Ubud, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, merupakan daerah kawasan

wisata budaya yang ulama, baik untuk daerah Bali maupun untuk kabupaten Gianyar.

SMU Negeri 1 Ubud yang berlokasi di pusat kecamatan Ubud ini, karena itu, tidak bisa

dilepaskan dari pengaruh-pengaruh aktivitas pariwisata di lingkungan sekitarnya. Bahkan

dapat dikatakan bahwa SMU Negeri 1 Ubud memainkan peranan penting pula dalam

fenomena kepariwisataan di Ubud. Tidak berlebihan pulalah, karena itu, jika guru-guru

dan siswa turut terpengaruh oleh dan mempengaruhi aktivitas pariwisata di Ubud, setidak-

tidaknya dalam tataran persepsi, sikap, dan nilai-nilai, serta kebijakan sekolaluiya.

Sebagaimana telah dijelaskan pula bahwa, baik dalam tataran kebijakan maupun

dalam perkembangan alamiahnya, aktivitas pariwisata di Ubud cenderung berorientasi

pada perkembangan pariwisata budaya. Sebagai aktivitas budaya, pariwisata di Ubud tentu

dapat menjadi tempat atau wahana pertemuan antar budaya. Dalam hal ini tentu terjadi

pertemuan antara budaya masyarakat Bali lokal dengan masyarakat internasional (global).

Ada dua masalah penting kemudian yang menjadi isu dalam pertemuan atau kontak

budaya tersebut dipandang dari sudut kepentingan masyarakat Bali lokal di Ubud, yaitu

peranan apakah yang dapat dimainkan masyarakat lokal dalam proses interaksi budaya

tersebut serta pengaruh-pengaruh apakah yang diterimanya. Bagi kepentingan sekolah,

khususnya SMU Negeri 1 Ubud, isu yang ditangkap oleh sekolah kemudian adalah

peranan apa yang bisa dimainkan sekolah? Apa pengaruh-pengaruh yang diterimanya?

Dan, kebijakan apa yang dihasilkan dan dilaksanakan untuk meningkatkan peranan

188

Page 77: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

sekolah sehingga diperoleh dampak yang positif dan optimal, sementara berusaha pula

meminimalisasi dampak-dampak negatif yang mungkin ditimbulkan?

Untuk menjawab pertanyaan pertama, masyarakat dan sekolah merasa

berkepentingan terhadap kedatangan wisatawan ke Ubud pada khususnya, karena

kedatangan wisatawan turut serta membawa uang atau dolar yang akan menjadi sumber

pendapatan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Karena itu, masyarakat perlu

menunjukkan nilai-nilai, sikap dan perbuatan yang dapat menarik kedatangan wisatawan.

Di sini, masyarakat belajar memenuhi harapan-harapan atau kebutuhan wisatawan datang

ke Ubud. Sebagaimana banyak dikatakan wisatawan, kebutuhan mereka datang ke Ubud

adalah karena menyukai keindahan dan exotisme alam Ubud yang masih alami dan asri,

kaya deugan keseniannya yang mengandung nilai-nilai magis, penduduknya yang ramah

tamah dan penuh gotong royong, kehidupan religi dan ritual masyarakatnya yang masih

kental, peninggalan-peninggalan sejarah yang kaya dan luhur, serta kuat melaksanakan

adat istiadat atau tradisi-tradisi leluhur tetapi juga amat dinamis, adaptif, dan kreatif

(Anonim, tl.c; Anonim, tt.d; Anonim, tt.e)

Masyarakat Ubud dapat mempertahankan citra seperti di atas. Di samping karena

memiliki kepentingan untuk kesinambungan pariwisata budaya di Ubud yang telah banyak

memberikan sumbangan kesejahteraan kepada masyarakat Ubud melalui kebijakan

pariwisata berbasis masyarakat, dengan pariwisata ini pula masyarakat Ubud dapat

mempertaliankan sistem sosial budayanya yang telah mentradisi. Jadi. pelestarian atau

pemertahanan budaya ini memiliki dua keuntungan sekaligus. Pertama, masyarakat Ubud

dapat mempertaliankan jati diri masyarakatnya sebagai masyarakat Bali lokal yang teguh

dalam mempertahankan nilai-nilai Tri Hita Karana dalam kehidupan masyarakat adatnya.

Kedua, dengan sistem sosial budaya yang dimiliki, masyarakat Ubud sekaligus dapat

mengundang wisatawan yang tertarik datang ke Ubud memang karena karakteristik

kehidupan sosial budaya masyarakatnya.

Ini tidak berarti bahwa masyarakat Ubud tidak mengalami perubahan. Seiring

dengan perkembangan pariwisata di Ubud, masyarakatnya juga mengikuti kebutuhan-

kebutuhan perubahan yang dikehendaki dalam perkembangan pembangunan pariwisata di

Ubud. Terjadilah proses belajar melalui interaksi langsung masyarakat dengan

kepentingan wisatawan dalam berbagai aktivitas industri pariwisata yang makin hari

menuju kepada industri dan produksi massa, antara lain dalam penyediaan dan

pengembangan sarana akomodasi, prasarana dan sarana transportasi, catenng,

pengembangan barang-barang souvenir yang bersifat massa, pelayanan jasa cargo,

189

Page 78: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

prinsip-prinsip pelayanan modem, pengembangan sarana informasi dan komunikasi,

pengembangan kreativitas seni, pengembangan perdagangan barang dan jasa pariwisata

secara internasional, sampai dengan pengembangan manajemen jasa pariwisata secara

modem dan internasional.

Bagaikan cendawan tumbuh di musim hujan dengan boomingnya pariwisata di

Ubud sekitar tahun 1970-1980an, muncullah berbagai sarana pariwisata massa di Ubud

sepeiti arlshop-artshop, sentra-sentra industri kerajinan untuk souvenir, seka-seka

kesenian, restoran, cafe, liotel dan ramali penginapan {homeslav. villa, bungalow), pasar

seni, usaha-usaha rental (komputer dengan internetnya, sepeda, sepeda motor, mobil),

wartel, usaha loundry, usaha penitipan anak, penyedia jasa informasi, usaha jasa cargo,

giude lepas, sampai dengan munculnya warung-warung dan toko-toko yang menyediakan

kebutuhan wisatawan baik domestik maupun manca negara.

Kondisi di atas membawa serta dampak kepada masyarakat Ubud baik yang

bersifat positif maupun negatif. Pertama, masyarakat Ubud tentu merasakan dampak

langsung yang positif dari perkembangan pariwisata di Ubud berupa peningkatan

pendapatan dan kesejahteraan karena terus berkembangnya lapangan kerja di sektor

pariwisata yang berhubungan langsung dengan dolar yang memiliki nilai tukar yang tinggi

bila dibandingkan dengan nilai rupiah. Tumbuhnya lapangan ketja di sektor pariwisata ini

telah mengalihkan sebagian besar mata pencaharian masyarakat yang semula di sektor

primer pertanian tradisional menuju ke sektor produksi industri barang dan jasa pariwisata

yang lebih modern bahkan global.

Dengan perkembangan seperti inilah masyarakat kemudian membutuhkan

pengetahuan, sikap, nilai-nilai, dan keterampilan keija yang rasional dan modern di bidang

pariwisata. Pengembangannya, tidak saja bisa dipenuhi melalui hubungan langsung antara

masyarakat dengan wisatawan dengan prinsip dan proses belajar partisipatifnya,

melainkan juga dikontribusi oleh peran lembaga-lembaga pendidikan yang memberikan

bekal pengetahuan, nilai-nilai dan sikap, dan keterampilan yang berhubungan dengan

aktivitas pariwisata. Pengetahuan dan keterampilan pokok yang dibutuhkan antara lain:

pengetahuan dan keterampilan tentang jenis-jenis produk barang dan jasa dalam bidang

pariwisata; pengetahuan dan keterampilan tentang standar mutu produk barang dan

layanan jasa pariwisata; prinsip-prinsip hubungan dan komunikasi antar bangsa dalam

hubungan multikultur; pengetahuan dan keterampilan berbahasa asing; penggunaan

teknologi yang lebih canggih dalam proses produksi termasuk fmishing, distribusi, dan

peningkatan daya tahan produk dalam proses penyimpanan dan transportasi jarak jauh;

190

Page 79: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

pengetahuan tentang pemasaran produk barang dan layanan jasa pariwisata; pengetahuan

tentang prinsip-prinsip dan manajemen layanan jasa pariwisata; perencanaan dalam

penataan lingkungan pariwisata; penanganan dan pengelolaan limbah hasil produksi; dan

pengetahuan tentang penanganan hukum dalam kontrak keija dan perdagangan

internasional di bidang produk-produk wisata. Sementara itu nilai-nilai dan sikap modem

yang perlu dimiliki antara lain: orientasi produktivitas dan kreativitas yang tinggi;

menghargai tinggi mutu produksi barang dan jasa; orientasi pelayanan yang sopan dan

ramah; disiplin dan tanggung jawab kerja yang tinggi; kecepatan, ketepatan, kelenturan,

dan keselamatan keija; kebersihan, keindangan, ketertiban, keamanan, kesehatan, dan

penciptaan kenangan; menghargai waktu; kompetisi yang sehat dan keija sama secara

kooperatif; komitmen pelestarian lingkungan dalam upaya kesinambungan daya dukung

lingkungan alam dan sosial; dan menghargai pengambilan keputusan yang rasional dan

empirik.

Kedua, sejalan dengan perkembangan wisata di Bali pada umumnya dan di Ubud

pada khususnya, salah satu pengaruh positifnya juga adalah menjadikan daerah wisata

Ubud makin terkenal dan terhubung dengan kota-kota besar dunia. Karena itu,

perkembangan daerah wisata Ubud tidak saja kini menjadi kepedulian dan komitmen

masyarakat Ubud dan Bali pada khususnya, tetapi juga telah menjadi perhatian dan

komitmen dunia internasional. Ini dapat ditunjukkan dengan banyaknya peneliti,

pengamat, budayawan, penulis dan wartawan, dan seniman-seniman baik domestik

maupun mancanegara - seperti telati dijelaskan terdahulu - yang menunjukkan kepedulian

dan komitmen serta memberikan kontribusinya bagi tetap lestari dan bagi perkembangan

pariwisata di Bali pada umumnya dan di Ubud pada khususnya (Prasetyo, 2005).

Ketiga, konsekuensi dari kondisi kedua di atas, masyarakat Ubud sekarang telah

menjadi masyarakat yang terbuka bagi pengaruh-pengaruh masyarakat dan budaya asing

terutama budaya barat. Keterbukaan ini disadari masyarakat telah dapat membawa sisi

kehidupan yang lebih baik, tetapi juga bisa membawa sisi pada kematian sistem sosial dan

budaya lokal Sisi kehidupan yang positif itu telah ditunjukkan masyarakat Ubud dalam

perkembangan sejarah pariwisatanya, yang dengan semangat hcal geniusnya (keunggulan

integrasi sistem sosial budaya dan keseniannya), mampu mengembangkan pariwisata di

Ubud berbasis masyarakat dan pengembangan budaya berkesenian dalam berbagai

dimensinya di Ubud yang pada ujungnya membawa kesejahteraan bagi masyarakat Ubud

pada khususnya dan Bali pada umumnya. Sisi negatifnya, walau belum menimbulkan

konflik yang besar dan intensif, tidak dapat dipungkiri, kini masyarakat Ubud juga sudah

191

Page 80: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

mengalami beberapa masalah rumit terkait dengan penataan lingkungan, makin

terekploitasinya lahan pertanian untuk kepentingan pariwisata, sikap kousumtif teriiadap

barang-barang mewah, mulai tumbuhnya orientasi kuat terhadap materi, dan masalah

kesenjangan kesejahteraan masyarakat antara kelompok miskin dan kaya dan antar desa.

Permasalahan-permasalahan ini memang diakui belum cukup signifikan untuk

mengganggu keseimbangan sistem sosial dan budaya masyarakat Ubud. Tetapi, jika tidak

ditangani secara berencana dan serius dikliawatirkan akan dapat mengganggu kehidupan

masyarakat itu sendiri.

Apa yang sudah dilakukan masyarakat dan lembaga-lembaga kemasyarakatan dan

pemerintahan terkait untuk pemecahan masalah-masalah di atas, antara lain adalah:

perluasan penyebaran pembangunan sarana wisata ke seluruh wilayah Ubud dan

sekitarnya; penataan lingkungan desa, termasuk desa adat; mengembangkan objek wisata

alam dan agrowisata untuk melestarikan lingkungan alam dan mempertahankan daya

dukung lahan pertanian, serta pemberdayaan desa adat dalam mengembangkan,

memantapkan, dan menangani masalah-masalah yang ditimbulkan oleh aktivitas

pariwisata.

Keempat, kemajuan pariwisata di Ubud juga telah memungkinkan masyarakat

Ubud melakukan hubungan dan komunikasi multi etnis/ras dan multikultur. Ini memberi

dampak positif pula kepada pengembangan pengetahuan dan wawasan global, multikultur,

hubungan dalam kompetisi dan keija sama antar bangsa, serta tumbuhnya pola pikir serta

nilai-nilai budaya dan sikap kemanusiaan yang universal, sementara dapat bertindak

dengan cara-cara lokal (ihink globaily, act tocalfy). Pengaruh yang positif ini dapat dilihat

dari upaya masyarakat untuk menguasai bahasa asing (terutama bahasa Inggris) sementara

banyak orang asing pula yang mau belajar bahasa dan kesenian Bali, adanya perkawinan

antara orang Bali (Ubud) dengan orang asing, adanya keija sama bisnis perdagangan antar

bangsa antara orang asing dengan orang Bali (Ubud), banyak dan seringnya seka-seka

kesenian dan seniman-seniman di Ubud yang mendapat undangan untuk presentasi atau

pameran di luar negeri, adanya usaha-usaha hotel berbintang dan usaha jasa pariwisata

lainnya milik orang asing di Ubud yang inempekeijakan orang-orang Bali lokal,

pembauran orang-orang asing yang tinggal menentap beberapa waktu di Ubud dan tinggal

di lingkungan masyarakat adat, pertukaran pelajar antara pelajar-pelajar di Ubud dengan

pelajar Jepang, Amerika, Australia, dan pelajar beberapa negara Eropa, serta adanya

kesempatan beberapa siswa dari Ubud yang orang tuanya cukup mampu secara ekonomi

192

Page 81: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

karena keberhasilan usaha pariwisatanya untuk studi di luar negeri seperti di Singapura,

Australia, Inggris, Kanada, Jepang, dan Amerika.

Perkembangan pariwisata di Ubud dengan berbagai pengarulinya terhadap

masyarakat seperti tergambar di atas ternyata memberi inspirasi kepada lembaga-lembaga

pendidikan dan sekolah-sekolah di Ubud, termasuk SMU Negeri I Ubud, untuk

mengembangkan visi, misi, tujuan, dan kebijakan sekolah yang relevan dengan kebutuhan

masyarakat Ubud sebagai masyarakat pariwisata seperti di atas.

SMU Negeri I Ubud, walau bukan merupakan sekolah kejuruan pariwisata, dapat

disetujui merupakan sekolah tingkat menengah umum di Ubud yang memiliki kepedulian

dan komitmen bersama-sama masyarakat memajukan pembangunan pariwisata budaya di

Ubud pada khususnya, dan di Bali pada umumnya. Bukti kepedulian dan komitmennya ini

dapat dilihat dari yang paling abstrak pada visi dan misi sekolah sampai yang paling

konkrit pada berbagai aktivitas budaya yang dilakukan sekolah.

Visi SMU Negeri 1 Ubud sebagai telah dijelaskan terdahulu adalah menjadikan

sekolah sebagai wahana pendidikan tingkat menengah dalam rangka membentuk generasi

muda yang bermutu, beriman, dan berbudaya dengan landasan nilai-nilai Tri Hiia Karana.

Dengan visi bermutu SMU Negeri 1 Ubud mengupayakan peningkatan kualitas proses dan

hasil belajar siswanya sehingga dapat lebih bersaing baik dalam penguasaan ilmu

pengetahuan dan teknologi, melanjutkan studi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi,

maupun dalam persaingan dunia keija dan dalam partisipasi atau pengabdian kepada

masyarakat. Dengan peningkatan mutu ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas

sumber daya manusia yang dibutulikan dalam perkembangan pariwisata di Ubud pada

khususnya, dan pembangunan di Bali pada umumnya.

Dengan visi beriman, SMU Negeri 1 Ubud juga berupaya meningkatkan crada dan

bhakti para siswa sebagai generasi muda dan sebagai anggota masyarakat berbasis pada

ajaran nilai-nilai Hindu Bali. Dengan begitu harapan masyarakat kepada generasi muda

untuk dapat melaksanakan gagasan ajeg Bali dalam rangka pelestarian nilai-nilai budaya

Hindu Bali dapat diwujudkan. Hal ini tentu selaras dan mendukung kebijakan pemerintah

daerah Bali dalam mengembangkan pembangunan pariwisata budaya berdasarkan ajaran

nilai-nilai Hindu Bali.

Begitu pula dengan visi berbudaya yang tidak bisa dilepaskan dari visi bermutu

dan benmannya, SMU Negeri 1 Ubud berupaya terus bersama-sama komponen

masyarakat lainnya turut memajukan, mengembangkan, dan melestarikan budaya dan

kesenian Bah yang berbasis pada ajaran agama Hindu Bali, di samping turut juga

193

Page 82: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

memajukan kebudayaan nasional dan kebudayaan umat manusia secara universal.

Berlandaskan visi sekolah seperti di atas, SMU Negeri 1 Ubud kemudian

menyelaraskan program-program pendidikannya yang langsung atau tidak langsung

bersentuhan dengan harapan-harapan masyarakat untuk memajukan pariwisata budaya di

Ubud dengan segala tuntutan perkembangan dan pengaruh-pengaruh yang

ditimbulkannya. Pertama, dengan kuatnya tuntutan masyarakat, termasuk masyarakat

pariwisata di Ubud untuk upaya pelestarian budaya dan agama Hindu Bali dalam rangka

ajeg Bali, sekolah telah mengembangkan kebijakan untuk menjadikan pendidikan sekolah

sebagai wahana dan proses pemantapan dan pengembangan kebudayaan Bali yang modem

berbasis agama Hindu Bali.

Kedua, sebagai konsekuensi tuntutan perkembangan pariwisata di Ubud yang

memberikan kesempatan peluang kerja di bidang produksi barang dan jasa yang terkait

dengan pariwisata, sekolah juga telah mengembangkan program-program pendidikan yang

mengkontribusi kepada pembekalan pengetahuan, pembinaan dan pengembangan nilai-

nilai dan sikap, serta pelatihan keterampilan yang langsung atau tidak langsung

bersentuhan dengan pariwisata.

Ketiga, pariwisata di Ubud juga telah mengembangkan hubungan multi etnis/ras

dan multi budaya antara masyarakat Ubud dengan wisatawan baik domestik maupun

manca negara. Hubungan sepati ini tentu membutulikan pengetahuan, wawasan, serta

nilai-nilai dan sikap global dalam karakteristik hubungan antar atau multi etnis/ras dan

multi budaya baik dalam hubungan sosial, hubungan kerja sama ekonomi, maupun

hubungan kebudayaan. Kebutuhan seperti ini disadari betul oleh sekolah terutama guru-

guru bahwa ini amat penting bagi siswa sebagai anggota masyarakat Ubud pada

khususnya, dan masyarakat Bali pada umumnya, untuk mengembangkan wawasan dan

nilai-nilai global tersebut. Karena itu, sekolah merasa berkewajiban untuk memfasilitasi

siswa dapat meningkatkan wawasan dan nilai-nilai global tersebut baik melalui kegiatan

kurikuler, kokurikuler, maupun ekstrakurikuler di sekolah. Untuk kepentingan ini, diakui

bahwa guru-guru mata pelajaran PPKn, Sejai-ah, Tata Negara, Geografi, Sosiologi dan

Antropologi, Ekonomi, Bahasa Inggris, dan bahasa asing lainnya mempunyai peranan

penting dalam pembentukan dan pengembangan wawasan dan nilai-nilai global tersebut

yang diintegrasikan ke dalam pembahasan pokok-pokok bahasan yang relevan serta dalam

pemberian kesempatan kepada siswa untuk mengikuti kegiatan pertukaran siswa.

Dari penjelasan di atas, tampak juga bahwa perkembangan pariwisata budaya di

Ubud telah memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap pengembangan program

194

Page 83: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

pendidikan di SMA Negeri 1 Ubud termasuk dalam pengembangan program Pendidikan

IPSnya. Di satu sisi, secara kultural pariwisata budaya menghendaki masyarakat lokal

untuk mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai dan praktik kehidupan religi, sosial,

budaya, kesenian, dan pemeliharaan lingkungan yang telah menjadi tradisi masyarakat

Bali yang berbasis nilai-nilai Hindu dan lokal Bali. Secara politik dan ideologis, sekolah

merasa perlu menyesuaikan visi ideologisnya dalam rangka pemertahanan budaya

tersebut. Maka, kebijakan dan tindakan-tindakan sosio-paedagogis dan sosio-kulturalpun

dikembangkan yang memungkinkan sekolah berfungsi dalam kontribusi pemeliharaan

nilai-nilai budaya lokal yang berbasis agama Hindu tersebut.

Di sisi lain, interaksi dengan tuntutan perkembangan pariwisata budaya yang

makin banyak mengundang orang asing (mancanegara) membutuhkan juga pola adaptasi

sosial dan budaya yang memungkinkan masyarakat lokal Bah dapat berinteraksi dengan

wisatawan dengan karakteristik kehidupan sosial yang lebih modem dan berwawasan

global dalam hubungan yang saling menguntungkan. Ini tidak saja berimplikasi secara

ideologis, tetapi juga ekonomis. Secara ideologis, masyarakat lokal, di satu sisi dapat

menyesuaikan visi ideologisnya dengan tuntutan-tuntutan kemampuan dan nilai-nilai yang

lebih universal. Di sisi lain, dapat juga terjadi bahwa masyarakat lokal mengadopsi nilai-

nilai modern yang berwawasan global untuk digunakan terutama dalam mengelola

pengembangan lapangan kerja atau bidang profesi modem (pengembangan sektor industri

barang dan jasa) yang baru sesuai dengan tuntutan perkembangan pariwisata.

Secara ekonomis, masyarakat lokal juga dapat memetik keuntungan material dalam

interaksi sosial budaya dengan wisatawan terutama sesuai dengan pengembangan

lapangan kerja atau bidang profesi yang dibutuhkan dalam pengembangan aktivitas

pariwisata budaya. Manfaat ekonomis ini tentu membawa dampak pula secara ideologis

dalam penyesuaian visi ideologis masyarakat lokal agar manfaat eokonomi dapat

ditingkatkan tanpa harus menghancurkan sama sekali nilai-nilai budaya lokal yang

dimiliki yang memang dikehendaki oleh pariwisata sendiri untuk dilestarikan.

Dilema seperti ini juga disadari oleh komponen civitas sekolah dan masyarakat.

Sebagaimana konflik-konflik kehidupan dalam konsep rwa bhinneda selalu dapat

diakomodasi dan ditempatkan keberadaannya dalam relasi fungsi-fungsinya yang bersifat

komplementer dalam kehidupan masyarakat Bali, dilema antara pelestarian budaya lokal

dan pengembangan budaya modem inipun dapat diakomodasi dalam pengembangan

program sekolah melalui penyesuaian visi ideologis sekolah dalam menghasilkan generasi

muda yang beriman, bermutu, dan berbudaya. Dalam pada itu, beberapa kebijakan dan

195

Page 84: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

tindakan sosio-paedagogis, sosio-akademis, dan sosio-kultural yang relevan telah

dikembangkan sekolah untuk mencapai tujuan-tujuan sekolah sesuai dengan visi dan misi

sekolah. Dalam hal ini, sekolah tidak memandang dua kepentingan ini sebagai hambatan

dalam mencapai tujuan-tujuan program pendidikan sekolah, melainkan menjadikannya

sebagai kekuatan-kekuatan dinamis yang mengarahkan pengembangan program-program

pendidikan sekolah dalam rangka mencapai pembentukan generasi muda modem berwatak

Bali. Inilah yang mungkin dapat disebut sebagai proses produksi budaya orang-orang

terdidik yang diharapkan dapat menghasilkan generasi muda modem tanpa harus

kehilangan identitas atau jati diri budaya lokalnya (bandingkan dengan Trujillo, 1996:119-

349).

I. Kebijakan-Kebijakan Terkait yang Mempengaruhi Praktik Program Pendidikan

Sosial (IPS) di SMU Negeri 1 Ubud

Dilihat dari kebijakan penerapan kurikulum 1994 dengan suplemen kurikulum

1999, Pendidikan IPS di tingkat SMU dalam persepsi dan implementasi praktik guru-guru

SMU Negeri 1 Ubud lebih merupakan pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu sosial seperti

Sejarah, Geografi, Ekonomi, Sosiologi dan Antropologi, dan mata pelajaran Tata Negara.

Pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu sosial seperti itu, baik secara sendiri-sendiri maupun

dalam kebersamaannya, diharapkan mampu memberikan pengetahuan dan wawasan,

membentuk nilai-nilai dan sikap, dan melatih keterampilan sosial yang diperlukan bagi

siswa untuk keperluan melanjutkan studi yang lebih tinggi dalam bidang ilmu-ilmu sosial

terkait serta bagi kepentingan menyelesaikan masalah-masalah sosial yang terjadi di

masyarakat baik dengan pendekatan monodisiplin maupun pendekatan antardisiplin.

Pengertian IPS seperti di atas tampaknya lebih cocok dengan pelaksanaan tradisi

Pendidikan IPS sebagai pendidikan ilmu-ilmu sosial yang mengajarkan siswa konsep-

konsep dasar dari beberapa disiplin ilmu sosial terkait untuk tujuan-tujuan pendidikan

sekolah (lihat Somantri, 2001).

Pengetahuan yang diberikan dalam pembelajaran ilmu-ilmu sosial seperti di atas

lebih merupakan fakta-fakta dan konsep-konsep dasarnya saja yang sesuai dengan

karakteristik keilmuan masing-masing mata pelajaran yang dideskripsikan menjadi

kumpulan dari bahan-bahan kajian ilmu-ilmu sosial tersebut. Hampir dapat dipastikan

bahwa, dalam implementasinya, pendidikan nilai dan keterampilan berIPS dengan

memperhatikan padatnya materi keilmuan kurikulum 1994, walau sudah disederhanakan

melalui suplemen kurikulum 1999, cenderung hanya menjadi kurikulum tersembunyi.

196

Page 85: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

Artinya, tujuan-tujuan pendidikan nilai dan pembinaan keterampilan berIPS seperti yang

diharapkan dalam kurikulum, dalam implementasinya hanya diharapkan oleh guru dapat

terjadi melalui efek samping (nurluranl effect) pengajaran konsep-konsepnya saja. Hal ini

terjadi karena, baik dalam perencanaan pembelajaran maupun dalam praktik pembelajaran

dan penilaian di kelas, tidak ada upaya guru secara sengaja merancang dan melaksanakan

pendidikan nilai-nilai dan pendidikan keterampilan yang semestinya dapat diintegrasikan

dalam pembelajaran.

Dengan pendekatan pendidikan nilai-nilai seperti di atas, diakui guru dan siswa

bahwa nilai-nilai yang ditanamkan melalui penanaman konsep-konsep dasar pada masing-

masing mata pelajaran rumpun IPS cenderung lebih mengedepankan orientasi nilai-nilai

nasionalisme dan orientasi global dan cenderung pula mengabaikan penanaman konsep-

konsep dan nilai-nilai lokal yang sesuai dengan lingkungan belajar siswa. Hal ini diakui

guru-guru lebih terkait dengan upaya menempatkan kepentingan nasional serta

penggunaan standar nasional dalam pengembangan kurikulum dan pelaksanaan

pembelajaran serta penilaian hasil belajar siswa. Begitu pula karena buku-buku teks yang

digunakan sebagai sumber belajar cenderung menggunakan buku import dari Jawa, maka

kandungan kontekstual lokal Bali jelas terabaikan.

Implementasi kebijakan kurikulum rumpun mata pelajaran IPS tahun 1994 seperti

di atas tidak bisa dilepaskan pula dari adanya kebijakan tentang pelaksanaan evaluasi

sumatif dan ujian tahap akhir sekolah serta ujian nasional. Karena kebijakan evaluasi hasil

belajar yang masih tersentralisir ini, seluruh kebijakan sekolah sebagai kebijakan

implementasi dalam melaksanakan assessment hasil belajar siswa hanya memfokuskan

pada penilaian aspek kognisi saja, dan inipun hanya terbatas pada aspek kognisi level

rendah, yakni; pengetahuan (knowledgeiCl), pemahaman (comprhension!C2), dan aplikasi

konsep (applicaiionICh). Ini dapat diketahui dari pelaksanaan evaluasi formatif, sumatif,

dan ujian sekolah, serta ujian akhir nasional, seluruh tes prestasi belajar mata pelajaran

rumpun IPS yang digunakan sekolah sepenuhnya menggunakan instrumen tes objektif

pilihan ganda yang distribusi item-item tesnya hanya tersebar pada penilaian aspek kognisi

level Cl , C2, dan C3 saja. Kebijakan tes objektif ini dilakukan karena mempertimbangkan

segi kepraktisan guru-guru dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar, mengingat adanya

kebijakan sekolah yang menerima daya tampung siswa tiap kelas cukup besar, yaitu antara

40 sampai 45 orang.

Memperhatikan kondisi kebijakan pelaksanaan program pendidikan, termasuk

Pendidikan IPS, seperti di atas, secara politis dan ideologis, kenyataan ini jelas

197

Page 86: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

menunjukkan adanya hegemoni dan dominasi politik pendidikan yang menempatkan

kepentingan pusat sebagai instrumen kepentingan nasional lebih menjadi superordinasi

dan kepentingan lokal atau daerah, termasuk otonomi sekolah, sebagai subordinasinya

(lihat Giroux, 1981; Ritzer, 1992). Hal ini benar, karena menurut keyakinan guru-guru,

dalam semua kebijakan pendidikan dari kebijakan kurikulum, bantuan fasilitas dan sarana

pendidikan, bantuan sumber belajar (buku dan LKS) sampai pelaksanaan evaluasi hasil

belajar, semuanya berasal dari pusat; dan bahkan untuk kepentingan melanjutkan studi

mencari perguruan tinggi terbaikpun bagi siswa adanya dekat dengan kepentingan pusat.

Dalam hubungan politik pendidikan seperti ini, bagi guru-guru di Bali yang dalam

keyakinan ideologisnya menempatkan kepentingan nasional sebagai unsur buana agung

lebih utama dari pada kepentingan daerali/sekolah sebagai unsur buana alitnya, maka

kebijakan ini menjadikan guru-guru IPS lebih sebagai objek pendidikan yang harus

melaksanakan semua kebijakan pusat dengan sebaik-baiknya. Tanpa disadari, ideologi

kepentingan nasional telah membentuk pola pikir, nilai-nilai, dan sistem keyakinan guru-

guru bahwa pendidikan adalah dalam rangka nation and characler building.

Konsekuensinya, guru-guru merasakan sedikit sekali ruang untuk berkreativitas dan

berinovasi dalam mengangkat ideologi local genius menjadi sumber potensi kekuatan

dalam rangka membangun karakter bangsa yang lebih pluralistis dan demokratis. Secara

politis, dengan demikian, telah terjadi hegemoni ideologi nasionalisme pendidikan yang

secara kultural menciptakan praktik budaya pendidikan nasional yang tersentralisasi dan

mengabaikan proses produksi budaya generasi muda modem berwatak Bali (bandingkan

dengan Abdullah, 1999; Trujillo, 1996; Widja, 2001).

Bersamaan dengan implementasi kebijakan kurikulum 1994 dengan suplemen

kurikulum 1999nya, pariwisata di Bah pada umumnya mulai mendapat kritik yang tajam

dari berbagai kalangan sebagai akibat kebijakan pemerintah orde baru yang terus

mengeksploitasi pariwisata di Bali untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi dengan

mengabaikan kontinuitas daya dukung sumber-sumber alam dan sumber-sumber

kehidupan sosial budaya masyarakat Bali. Masyarakat Balipun mulai gerah dengan

munculnya kekhawatiran akan punahnya daya dukung di atas. Maka, muncullah kemudian

gagasan-gagasan dalam polemik untuk mengembalikan alam, masyarakat, dan kebudayaan

Bah seperti sedia kala. Muncullah, kemudian, konsep ajeg Bali yang makin kuat

berkumandang dalam kebijakan-kebijakan pemerintah, pada ulasan-ulasan berita media

massa, obrolan di balai masyarakat, pada penulisan buku-buku tentang kebudayaan Bali,

pembahasan pada seminar-seminar budaya Bali, pada berbagai kegiatan dharma wacana,

198

Page 87: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

pada penelitian-penelitian kebudayaan Bali, dan nyanyian para peocipta lagu Bali

(Aslirama, 2004), walau harus diakui tidak ada konsep yang sama bagaimana konsep ajeg

Bali itu bisa diwujudkan.

Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah daerah Bali dengan kebijakannya melalui

Perda No 16 tahun 2002 sebagai kelanjutan dari perda No 4 tahun 1996 kemudian

mensosialisasikan ajaran-ajaran Tri Hita Karana kepada lapisan-lapisan sosial masyarakat

sampai dengan membuat ajang lomba pembudayaan Tri Hila Karana di lembaga-lembaga

kemasyarakatan dan lembaga-lembaga pendidikan seperti pada lomba desa adat, lomba

lembaga perkreditan desa, lomba pembudayaan Tri Hita Karana antar lembaga jasa

pariwisata (terutama hotel dan restoran), lomba seka teruna-teruni, lomba subak, lomba

lingkungan wiyata mandala di sekolah, lomba perindangan di sekolah, dan sejenisnya.

Walau tidak ada kebijakan tertulis dari dinas pendidikan, sebagai bagian dari

kelompok masyarakat, sekolah-sekolah yang memiliki kepedulian dan komitmen untuk

ajeg masyarakat Bali mencoba mensosialisasikan dan membudayakan konsep-konsep dan

nilai-nilai Tri Hila Karana di lingkungan sekolah melalui penataan hubungan

parahyangan, pawongan, dan penataan hubungan palemahan sekolah. SMU Negeri 1

Ubud dengan kebijakan sekolahnya mengambil peran dalam rangka sosialisasi dan

pembudayaan nilai-nilai Tri Hita Karana tersebut yang kemudian dituangkan dan

diintegrasikan dalam visi, misi, dan program keija sekolah melalui visi bermutu, beriman,

dan berbudayanya. Kebijakan ini ditempuh mempertimbangkan berbagai faktor perubahan

sosial dalam masyarakat yang turut berpengaruh kepada sikap dan perilaku siswa,

sementara disadari benar bahwa kurikulum formal sekolah saja dinilai tidak mampu

memenuhi kebutuhan masyarakat dan peserta didik yang salah satunya adalah kebutuhan

masyarakat Bali untuk mengaktualisasikan konsep ajeg Bali dalam penataan kehidupan

sosial budaya dan penataan lingkungan alam di Bali yang dinilai telah mulai mengalami

abrasi, erosi, degradasi, atau dekadensi.

Atas dasar pertimbangan-pertimbangan di atas, sekolah kemudian mencoba

merencanakan, mensosialisasikan, dan membudayakan nilai-nilai Tri Hita Karana tersebut

baik melalui kegiatan kurikuler, kokurikuler, ekstrakurikuler, maupun melalui penciptaan

iklim sekolah dan iklim belajar di kelas. Keseluruhan kebijakan yang diambil dapat

memberikan karakteristik kepada sekolah dan memberikan arti penting bagi pendidikan

sosial pada umumnya, dan Pendidikan IPS pada khususnya, walau harus diakui

implementasi kebijakan ini bukanlah semata-mata menjadi tanggung jawab guru-guru

rumpun mata pelajaran IPS saja. Dengan demikian, ada pembahan paradigma berpikir

199

Page 88: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

bahwa pendidikan sosial dan Pendidikan IPS bukanlah semata-mata merupakan kegiatan

pengajaran rumpun mata pelajaran ilmu-ilmu sosial, melainkan juga mencakup seluruh

aktivitas pendidikan yang bertujuan memberikan pemahaman kritis, nilai-nilai dan sikap,

seria keterampilan sosial yang dibutuhkan sebagai warga negara dan warga masyarakat

yang cerdas, berkomitmen tinggi, serta memiliki kompetensi partisipatif dalam

mengembangkan kebudayaan masyarakatnya baik di tingkat lokal, nasional, maupun

global. Perubahan paradigma ini, sejalan dengan perjuangan ideologi masyarakat Bali

untuk mengembangkan proses produksi budaya (cultural production) generasi muda

modern berwatak Bali melalui perjuangan politik pendidikan yang dapat membangun

individu-individu modem yang memiliki kebanggan berbudaya Bali dengan landasan

nilai-nilai Agama Hindu. Wacana produksi budaya seperti ini menegaskan fungsi sekolah

sebagai wahana heterogen di mana pendidik dan siswa mengembangkan beragam wacana

dan praktik pendidikan yang mempengaruhi cara mereka membangun pengetahuan dan

identitasnya (Trujillo, 1996:144).

Implementasi kebijakan sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai Tri Hita Karana

sebagai bagian dari pendidikan sosial di SMU Negeri 1 Ubud ini tidak dilakukan dengan

menyisipkan kurikulum atau mata pelajaran baru. Pembelajaran konsep-konsep dasarnya

sebagai bekal pengetahuan awal siswa cenderung dilakukan dengan menyisipkan pokok

bahasan Tri Hita Karana pada mata pelajaran Agama Hindu di kelas III dengan pemberian

konsep-konsep dan deskripsi tentang latar belakang historis, pengertian, unsur-unsur,

beberapa sumber-sumbernya dalam kitab suci, penerapan nilai-nilainya, serta nilai budaya

BaJi yang relevan.

Secara ideologis, selanjutnya, ajaran dan nilai-nilai Tri Hila Karana ini dijadikan

basis bagi pengembangan iklim pendidikan yang dituangkan dalam visi sekolah yang

dengannya kemudian dijadikan dasar pula bagi pengembangan program kerja sekolah,

baik yang menyangkut kegiatan pembinaan mental spiritual, pengembangan aktivitas

kurikulum (termasuk aktivitas kokurikuler dan ekstrakurikuler), pembinaan kesiswaan,

pengembangan hubungan dengan masyarakat, serta dalam pengembangan dan penataan

fasilitas pendidikan. Pilihan implementasi kebijakan seperti ini dinilai lebih mendasar,

komprehensif, visioner, dan lebih powerjul bila dibandingkan hanya dengan memasukkan

mata pelajaran baru untuk siswa. Dan, dengan demikian pula, implementasi program ini

akan menjadi tanggung jawab bersama seluruh komponen civitas sekolah termasuk

komponen masyarakat.

200

Page 89: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

Kehidupan mental spiritual berkarakter neligiusitas Hindu Bali di lingkungan SMU

Negeri 1 Ubud dapat dikatakan masih cukup kental. Ini dapat dilihat, walau sekolah

meiupakan tempat belajar bagi siswa dan tempat menjalankan profesi sebagai pendidik

dan pengajar bagi guru, lingkungan sekolah bukanlah tempat sekuler. Seperti bagaimana

sebuah keluarga atau desa adat di Bali ditata menurut konsep Tri Hita Karana, SMU

Negeri 1 Ubud juga ditata mengikuti konsep tersebut. Dengan menata lingkungan sekolah

menjadi tiga mandala (iri mandala), seluruh civitas sekolah dapat memanfaatkan masing-

masing mandala sesuai dengan fungsinya secara optimal.

Pada daerah ulama mandala seluruh civitas sekolah dapat melaksanakan kegiatan

spiritual untuk menghubungkan diri dengan Tuhan. Di daerah utama mandala inilah

terdapat pura sekolah dan beberapa pelinggih suci yang memungkinkan guru, pegawai,

dan para siswa menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa dan para dewa baik

secara indivudual maupun bersama-sama sesuai dengan keyakinan, kepercayaan, dan

tradisinya.

Dengan kegiatan-kegiatan spiritual seperti ini, seluruh civitas sekolah juga dapat

melaksanakan kewajiban melaksanakan yadnya dalam melaksanakan tugas masing-

masing, dan sekaligus menjadi sarana belajar bagi seluruh civitas (terutama siswa) dalam

meningkatkan c rada dan bhakii serta karma baiknya di lingkungan sekolah, sehingga

diharapkan dapat meningkatkan pula kehidupan spiritualnya sebagaimana diwajibkan

dalam ajaran tentangparahyangan dalam konsep Tri Hita Karana.

Pengembangan aktivitas pembinaan mental spiritual seperti di alas dimungkinkan

di sekolah. Pertama, sebagai Weber menyatakan bahwa agama memang dapat mempunyai

peranan dalam kehidupan sosial budaya masyarakat modem terutama dalam

pengembangan kehidupan yang rasional (Coser, 1971; Johnson, 1994). Begitu pula halnya

dengan agama Hindu di Bali (Gorda, 1996). Lebih jauh, iklim seperti ini dapat juga

digunakan sebagai basis pengembangan keliidupan beragama yang lebih rasional, karena

penerapan nilai-nilai agama di lingkungan sekolah dapat membantu siswa lebih

merasionalisasikan c rada, bhakii, dan karmanya, yang akan lebih memantapkan

keyakinannya pula. Ini tentu sejalan dengan pandangan Comte untuk mengembangkan

agama humanitas yang lebih berdasar pada pandangan-pandangan ilmiah dan tidak

terbatas pada keyakinan dogmatis belaka (Coser, 1971; Johnson, 1994). Sesuai dengan

pandangan Durkheim (1965), fungsi agama seperti ini juga diharapkan dapat lebih

menguatkan ikatan kehidupan sosial dan budaya di lingkungan sekolah, karena praktik-

praktik religius di lingkungan sekolah seperti di atas pada aki lirnya dapat pula

201

Page 90: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

menumbulikan energi jiwa kolektif di lingkungan sekolah yang dapat dikembangkan lebih

lanjut untuk pencapaian tujuan-tujuan sekolah. Akliirnya, sesuai dengan pandangan

Enstein (seperti dikutp oleh Suriasurnantri, 1985) praktik kehidupan beragama di

lingkungan sekolah seperti di atas juga dapat membantu generasi muda menguatkan

landasan kepribadian diri dengan penguasaan ilmu dan agama secara utuh. Sebab, seperti

dikatakan oleh Enstein, manusia berilmu tanpa agama adalah manusia buta; begitu pula

sebaliknya, manusia beragama tanpa ilmu adalah lumpuh.

Konsep dan nilai-nilai Tri Hita Karana juga dikembangkan dalam aktivitas

kurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler di SMU Negeri lUbud. Ini memang tidak

dilakukan dengan menambahkan mata pelajaran baru tentang Tri Hita Karana, melainkan

diintegrasikan pada beberapa mata pelajaran yang relevan. Konsep-konsep Tri Hita

karana ini dapat diintegrasikan dalam mata pelajaran, terutama mata pelajaran agama

Hindu. Di samping itu, beberapa konsep dan nilai-nilainya yang relevan juga dibahas

dalam mata-mata pelajaran Baliasa Bali, Antropologi, dan muatan lokal Budaya Bali.

Sedangkan nilai-nilai Tri Hita Karana secara umum dapat pula diintegrasikan dalam

semua mata pelajaran, seperti mengintegrasikan pendidikan budi pekerti pada semua mata

pelajaran termasuk pada mata pelajaran rumpun IPS.

Namun harus diakui, tidak mudah bagi guru untuk dapat mengintegrasikan konsep-

konsep dan nilai-nilai Tri Hita Karana ke dalam mata-mata pelajaran yang ada, karena

rigidnya implementasi kurikulum 1994, baik yang mencakup pencapaian target kurikulum,

ketuntasan belajar, daya serap, dan standar evaluasi nasional/daerah. Karena itu, kegiatan

ekstrakurikuler menjadi lebih memadai untuk memberikan kesempatan kepada siswa

mempraktikkan langsung konsep-konsep dan nilai-nilai Tri Hila Karana tersebut melalui

model belajar dan pembelajaran secara partisipatif.

Pemberian kegiatan ekstrakurikuler bernuansa budaya Bah dalam rangka

pembudayaan konsep-konsep dan nilai-nilai Tri Hila Karana relevan dengan kebijakan

bidang pembinaan kesiswaan yang mengarahkan aktivitas-aktivitas kesiswaan tidak saja

untuk kegiatan olah raga berprestasi, tetapi juga pada kegaiatan-kegiatan lain yang relevan

dengan visi sekolah, seperti: pembinaan mental spiritual siswa, pembinaan kehidupan

berkesenian, pembinaan disiplin dan tata tertib sekolah, pengenalan kebudayaan Bali,

hubungan sosial dan pengabdian kepada masyarakat, kegiatan karya ilmiah remaja,

pembinaan prestasi mata pelajaran tertentu, kegiatan-kegiatan sosial kemanusiaan, dan

kelompok pencinta alam.

202

Page 91: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

Dalam hubungan kemasyarakatan, ada kebijakan yang unik dii

Negeri 1 Ubud yang telah disepakati bersama civitas sekolah. Keunika 1 £ "*

bahwa seluruh civitas sekolah menyatakan siap untuk menjadi anggota (tfarga)

desa adat Ubud, tetapi hal ini tidak diatur di dalam awig-awig tertulis d e ^ a$ab feibild^

Dan, ini hanya menjadi kebiasaan yang telah mentradisi di desa adat Ubud^N^esedf^rtjm

semata-mata sebagai tindakan sukarela civitas sekolah untuk membantu kegiatan-kegiatan

agama dan adat yang berlangsung di desa adat Ubud dan kegiatan-kegiatan agama dan

adat yang berlangsung di puri Ubud, karena seluruh civitas sekolah merasa menjadi bagian

dari desa adat Ubud dan memiliki pertalian sejarah dengan keluarga puri Ubud.

Hubungan yang harmonis antara civitas SMU Negeri 1 Ubud dengan krama desa

adat Ubud dan keluarga puri Ubud seperti di atas diyakini tidak saja baik dalam

mewujudkan hubungan sosial antara sekolah dengan masyarakat, tetapi juga menjadi

sarana belajar yang efektif bagi semua anggota civitas sekokah (terutama siswa) dalam

memahami dan mempraktikkan ajaran dan nilai-nilai Tri Hita Karana berbasis agama dan

kebudayaan Hindu Bali dalam kehidupan bermasyarakat di Bali pada umumnya, dan di

Ubud pada khususnya. Dengan demikian, tidak teijadi kesenjangan yang tajam antara

pendidikan sosial di sekolah dengan pendidikan sosial bermasyarakat.

SMU Negeri J Ubud juga memiliki kebijakan untuk menata lingkungan dan iklim

pendidikan (belajar) di sekolah menggunakan prinsip-prinsip pembudayaan nilai-nilai Tri

Hita Karana. Dengan menggunakan konsep unsur-unsur Tri Hita Karana berupa konsep-

konsep parahyangan, pawongan, dan palemahan, lingkungan fisik sekolah ditata ke

dalam tiga wilayah konsep tersebut yang disebut dengan iri mandala. Penataan lingkungan

sekolah menggunakan prinsip-prinsip Tri Hita Karana ini dapat digambar dalam

peta/denah lingkungan sekolah sebagai tertera di halaman berikut.

Penataan lingkungan ini kemudian diikuti oleh penciptaan kehidupan spiritual dan

iklim sekolah yang memungkinkan seluruh civitas sekolah (terutama siswa) belajar

memahami dan menerapkan konsep-konsep ajaran dan nilai-nilai Tri Hita Karana di

lingkungan sekolah.

Di daerah parahyangan sekolah seluruh civitas sekolah dapat melakukan

hubungan, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, kehadapan Tuhan, kepada

para Dewa, dan Betara pelindung dengan menghaturkan persembahan (sesaji bebanien\

memuja, dan berdoa secara khusuk dan iklas dengan cara-cara Hindu Bali. Kegiatan

spiritual ini ada yang dilakukan setiap saat, setiap hari, dan setiap hari raya suci Hindu

sesuai dengan tingkatan yadnya yang dapat dilakukan civitas sekolah. Suasana keliidupan 203

Page 92: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

Gambar 09: Denah Tata Ruang Tri Hiia Karana SMU Negeri I Ubud

204

Page 93: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

Keterangan Denah: A Ruang Guru Al Monumen Sekolah (Dewi Saraswati) B Ruang Kepala Sekolah BI Tempat Parkir untuk Siswa B2 Tempat Parkir untuk Guru B3 Lapangan Basket/V o! lyATen ipal Upacara Bendera C Ruang Pegawai Cl Toilet Guru/Pegawai C2 Toilet Siswa D Laboratorium IPA DI Jalan Utama Desa E Ruang Keterampilan F Ruang Belajar G Perpustakaan dan Ruang BP H - V Ruang Belajar K1 Kantin L1 Wilayah Lembah di Timur Sekolali W Ruang Pusat Komputer XI Pura / Padmasana Sekolali X2 Pelinggih Pengayatan Rsi Markandya X3 Pelinggih Ratu Pusering Jagat X4 Pelinggih Wong Samar X5-X6 Padma Capah (Pelinggih Ratu Indera Belaka) Y Tiang Bendera Z Aula Sekolah

spiritual yang kental ini, di samping memberikan suasana religio-magis kepada iklim

sekolah, juga dapat meningkatkan crada dan bhakti seluruh civitas sekolah kehadapan

Tuhan yang Maha Esa dengan segala manifestasinya.

Demikian pula, aktivitas ini dapat juga mempengaruhi kehidupan aktivitas

pawongan di lingkungan sekolali. Sebagai contoh, jika kepala sekolali dan dewan guru

melakukan rapat, maka mereka selalu menghaturkan canang pengrawos sebelum rapat

dimulai. Begitu pula siswa, jika mereka akan melaksanakan proses belajar di kelas, piket

kelas juga tidak akan mengabaikan untuk menghaturkan canang sari dan melakukan

persembahyangan sebelum kelas dimulai. Sebelum pelajaran dimulai siswa juga tidak

melupakan untuk memberikan salam Om Suastiaslu kepada guru, yang bermakna semoga

ada dalam keadaan baik dalam lindungan Tuhan yang Maha Esa. Tradisi-tradisi mulia

seperti ini masih jarang dilakukan siswa di lingkungan sekolah di Bali pada umumnya,

jika tidak dapat dikatakan masih langka.

Hubungan sosial antar guru, antar siswa, antar pegawai, dan antara guiu, siswa,

dan pegawai dalam aktivitas pawongan di sekolali juga berlandaskan prinsip hidup

menyama braya (persaudaraan) yang cukup kental sebagai ciri hubungan sosial

205

Page 94: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

masyarakat BaJi. Begitu pula hubungan antar siswa yang berbeda agama dan suku tampak

cukup baik karena disemangati rasa toleransi dan persaudaraan yang tinggi. Hubungan

yang harmonis ini dapal dilihat dari tidak adanya sikap pamer materi yang dilakukan antar

guru dan antar siswa walau diketahui kesenjangan latar belakang status sosial ekonomi

antar siswa cukup tinggi, tidak adanya hubungan dominasi kekuasaan antara siswa Bali

sebagai mayoritas dengan siswa nonHindu Bah sebagai minoritas, sangat jarang sekali

terjadi pelanggaran peraturan tata tertib sekolah baik oleh guru maupun siswa,

pelaksanaan disiplin sekolah cukup baik, penggunaan bahasa Bali kepara dalam hubungan

antar siswa setiap hari tanpa membeda-bedakan status sosial (kasta) siswa, penggunaan

bahasa Bali halus oleh seluruh guru dan siswa pada saat-saat pertemuan rapat atau

menerima tamu, penggunaan bahasa Bali halus oleh kepala sekolah kepada seluruh guru,

tidak adanya permusuhan tersembunyi terjadi antar guru, sikap dan rasa hormat yang

tinggi dari semua siswa kepada guru-guru dan kepala sekolah serta dari guru-guru kepada

kepala sekolah, serta adanya aktivitas kelompok suka duka, baik yang dilakukan siswa

maupun guru-guru dalam hubungan sosial sehari-hari.

Keharmonisan seperti di atas tidak saja terjadi dalam hubungan yang bersifat sosial

sehari-hari, tetapi juga terjadi dalam hubungan struktural antara kepala sekolah kepada

guru-guru dan kepada pegawai, atau hubungan guru kepada siswa. Bahasa Bali halus yang

selalu digunakan kepala sekolah kepada guru-guru dan pegawai, baik dalam hubungan

sehari-hari maupun hubungan kedinasan, termasuk dalam rapat-rapat, dan begitu pula

sebaliknya, menciptakan hubungan yang harmonis dan saling menghormati antara kepala

sekolah, guru-guru, dan pegawai.

Tampaknya, tiap-tiap individu guru dan pegawai serta kepala sekolah lebih

mengutamakan bagaimana keseimbangan, keselarasan, dan keharmonisan hubungan dapat

diwujudkan dan berlangsung di sekolah, ketimbang berpikir apa hak-hak yang semestinya

diperoleh. Tampaknya pula, tiap individu menyadari pula bahwa dalam kehidupan

bersama di sebuah keluarga besar, seperti di SMU Negeri 1 Ubud ini, tidak mungkin tiap-

tiap individu mendapatkan kepuasan yang optimal dalam hubungan hak-hak dan

kewajiban satu sama lain sesuai dengan keinginan masing-masing individu. Dan, karena

itu, sebagai orang Bali, mereka lebih menempatkan kepentingan bersama sekolah lebih

tinggi dari pada kepentingan pribadi atau kelompok.

Karakter hubungan yang bernuansa Bali dalam hubungan kepala sekolah dengan

guru-guru dan pegawai tampak juga dalam hubungan kepemimpinan kepala sekolah.

Dalam hal ini kepala sekolah berasal dari kasta ksatria yang masih memiliki hubungan

206

Page 95: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

darah biru dengan keluarga puri Ubud. Dalam pandangan Hindu di Bali, individu-individu

dari kasta ksatria memang cocok berperan sebagai pemimpin. Sementara itu di mata

masyarakat Ubud, pemimpin-pemimpin masyarakat yang berasal dari keluarga puri Ubud

memang masih sangat disegani dan dihormati sampai sekarang baik secara sosial, budaya,

politik, dan ekonomi. Tidak saja hal ini karena karisma sejarahnya dan karena berasa! dari

kasta ksatria, tetapi karena mereka juga memang dinilai pantas dan mampu menjadi

pemimpin yang bisa mengayomi, melindungi, dan mensejahterakan masyarakat. Latar

belakang kepemimpinan seperti ini ternyata memberikan karisma yang tinggi kepada

kepala SMU Negeri Ubud untuk menjadi pemimpin yang dihormati dan disegani guru-

guru. Dengan pola kepemimpinannya pula, yang dinilai guru-guru dan pegawai masih

cukup demokratis, maka hubungan sosial dan kedinasan yang terjadi antara kepala sekolah

dengan guru-guru dan pegawai berlangsung cukup harmonis.

Nilai-nilai yang mendasari hubungan sosial antar kepala sekolah, dewan guru,

siswa, dan pegawai tidaklah hanya nilai-nilai menyama braya yang bersifat statis. Sebagai

sekolah yang memiliki visi menjadikan SMU Negeri I Ubud sebagai sekolah bermutu,

secara tradisional, hubungan sosial antar civitas akademika juga dilandasi oleh nilai-nilai

dinamis yang dapat menggerakkan seluruh sistem sekolah menuju sekolah bermutu

tersebut. Nilai-nilai yang dijadikan dasar itu adalah nilai yadnya, berkorban terhadap

sesama dan lembaga; nilai cubha karma untuk berbuat baik kepada siapa saja, kapan saja,

dan dimana saja; dan nilai dharma, artha, kama, dan moksa.

Dengan nilai-nilai yadnya, guru-guru, termasuk kepala sekolah, berkeyakinan

bahwa tugas sebagai pendidik adalah tugas mulia. Karena itu, guru sebagai guru pengajian

memiliki kewajiban betyadnya {korban suci) untuk mengantarkan peserta didik (anak

didiknya) mencapai tujuannya menjadi suputra (anak yang baik) dan sujana (anak yang

cerdas dan bijaksana).

Sebagai pendidik, guru juga wajib untuk selalu berbuat baik (cubha karma) kepada

siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Dalam hal ini guru dalam pandangan Hindu di

Bali adalah orang yang dapat digugu (dipercaya) dan ditiru (diteladani) karena guru adalah

orang yang memiliki pengetahuan yang tinggi, memiliki kebijaksanaan dalam

melaksanakan ajaran Weda, dan selalu dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat.

Guru juga wajib melaksanakan ajaran keseimbangan dharma, artha, kama, dan

moksa. Guru yang dinilai memiliki pengetahuan yang tinggi tentang ajaran Weda (ajaran

tentang kebenaran dan kesucian) patut dapat melaksanakan tugas atau dharmanyz sebagai

guru sesuai dengan ajaran-ajaran dharma (kebajikan) dalam kitab suci. Dengan

207

Page 96: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

melaksanakan kerja, guru juga wajar memperoleh artha (kesejahteraan) dan kama

(kepuasan), kareua hukum karma telah menggariskan bahwa setiap keija tentu

mendatangkan pahala: keija yang baik akan mendatangkan pahala yang baik pula.

Dengan begitulah guru dan masyarakat kemudian mencapai moksa (kebahagian abadi

tanpa menimbulkan penderitaan).

Dalam hal penataan lingkungan sekolah, lingkungan fisik dan sosial budaya, di

SMU Negeri 1 Ubud juga mencerminkan penerapan ajaran dan nilai-nilai Tri Hiia

Karana. Secara fisik {sekala), sebagai telah disebutKan di atas, lingkungan sekolah telah

dibagi mejadi tiga mandala (iri mandala) yang tiap-tiap mandala mempunyai fungsi yang

berbeda-beda, yaitu fungsi parahyangan di utama mandala, fungsi pawongan di madya

mandala, dan fungsi palemahan di nista mandala. Secara niskala pembagian ketiga area

dengan fungsinya masing-masing ini telah disucikan menggunakan tata cara ritual Hindu

Bah. Ini diyakini dapat menambatkan pikiran, keyakinan, sikap, dan perilaku seluruh

civitas sekolah kepada fungsi masing-masing area atau mandala, karena tiap-tiap mandala

diyakini telah dikuasai dan diatur berfungsinya oleh kekuatan dan sinar suci Ida Sang

Hyang Widhi Waca dengan segala manifestasinya., yaitu para dewa, dan atau, energi para

butha kala.

Ada kebijakan juga di SMU Negeri 1 Ubud dalam hal penataan lingkungan

sekolah bahwa lembah atau jurang yang berada di sebelah timur dan menjadi bagian dari

lingkungan sekolah haruslah dijaga tetap lestari. Ini terkait dengan adanya kepercayaan

masyarakat setempat dan kepercayaan warga sekolah bahwa di jurang atau lembah ini

terdapat ghya (tempat tinggal) wong samar (salah satu bentuk makhluk halus) sebagai

pengikut atau pengiring para dewa yang berstana di pura dan di pelinggih-pelinggih suci

sekolah. Karena itulah di sisi barat lembah ini, di bagian timur laut bangunan sekolah,

dibangun satu pelinggih tugu tempat memberikan sesap kepada wong samar ini agar

teijalin hubungan baik antara seluruh warga sekolah dengan makhluk ini, sehingga mereka

tidak akan mengganggu seluruh aktivitas di sekolah.

Kepercayaan ini ternyata cukup kuat diyakini warga sekolah sehingga keadaan di

lembah ini cukup lestari. Kepercayaan seperti ini bukanlah tidak rasional. Keyakinan

seperti ini pada dasarnya merupakan kearifan lokal dari masyarakat Hindu Bali dalam

upayanya melestarikan lingkungan alam sekitar. Sesuai dengan pandangan strukturalisme

masyarakat Bali, masyarakat mengakui bahwa di lingkungan lembah berkuasa dua

kekuatan besar, yaitu kekuatan buana alit dan buana agung. Buana alit dari lingkungan

lembah itu adalah semua kehidupan yang tampak di sana, yaitu flora dan fauna yang hidup

208

Page 97: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

di lingkungan lembah. Sementara itu, kehidupan lembah itu juga diatur oleh kekuatan

buana agung. Energi atau kekuatan yang mengliidupkan dan mengatur kehidupan flora

dan fauna di lembah inilah sebagai kekuatan buana agung yang disimbolkan oleh

masyarakat sebagai wong samar. Wajarlah, karena itu, jika masyarakat tidak berkenan

merusak kehidupan wong samar tersebut, karena jika itu dirusak, maka rusak pulalah

kehidupan flora dan fauna di lembah tersebut. Dan, ini dapat membahayakan keberadaan

sekolah, di sekitarnya, karena bahaya tanah longsor. Kearifan lokal seperti ini ternyata

cukup ampuh dalain menyelesaikan masalah-masalah lingkungan, khususnya dalam

mempertahankan kelestarian kawasan konservasi lingkungan (Atmadja, 1992).

Berbagai penjelasan tentang kebijakan di atas jelas mewarnai bagaimana proses

dan iklim Pendidikan IPS di SMU Negeri I Ubud, yang tidak saja menekankan pendidikan

sosial pada aspek pengajaran ilmu-ilmu sosial, tetapi, yang penting juga adalah aspek

pendidikan yang dengan integrasi semua kebijakan di atas diharapkan lebih dapat

memberdayakan tifa skill siswa dalam wujud kearifan lokal, baik yang berupa kearifan

religius, sosial budaya, maupun ekologis berbasis pada ajaran dan nilai-nilai Tri Hila

Karana (Anshori, 2004). Hal ini sejalan dengan harapan-harapan masyarakat kepada apa

yang dapat dicapai oleh Pendidikan IPS untuk meningkatkan kecerdasan-kecerdasan

spritual, sosial budaya, emosional, dan kecerdasan ekologis, di samping kecerdasan yang

bersifat intelektual.

Dari penjelasan di atas jelaslah pula bahwa program-program pendidikan di

sekolah dapat menjadi wahana sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai kebudayaan Bali

yang tidak saja memiliki nilai-nilai lokal, tetapi juga memiliki unsur nilai-nilai universal.

Proses sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai ini dianggap penting dan menjadi tugas

sekolah dalam rangka menyiapkan generasi muda Bali untuk siap menghadapi tugas-tugas

kemasyarakatan. Pemikiran seperti ini jelas merupakan perwujudan dari paradigma

berpikir struktural fungsional yang menekankan pada tugas dan fungsi sekolah sebagai

wahana proses sosialisasi, yaitu sebagai pentransmisi nilai-nilai tradisional dan sebagai

sarana stabilitas sosial serta pemeliharaan tatanan sosial yang ada (Hallinan, dalam

BaJIantine, 1985: 33-34; Collins, dalam Ballantine, 1985:60-87). Sekolah juga

mensosialisasikan kepada generasi muda pengetahuan intelektual, nilai-nilai etis, norma-

norma budaya, dan keterampilan hidup yang dibutuhkan masyarakat untuk

keberlangsungannya (Durkheim, 1985a:21).Hal ini lebih dipertegas lagi oleh Dreeben

(1968) yang mengukuhkan pentingnya empat norma esensial yang harus menjadi concern

sekolah untuk mendidikkannya kepada generasi muda agar masyarakat tetap dapat

209

Page 98: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

berlangsung, yaitu independensi (independence), prestasi (achievemeni), universalitas

(universal ism), dan kekhususan (specificUy). Keempat norma ini tampaknya sudah

tersosialisasikan dalam pelaksanaan program pendidikan di SMU Negeri 1 Ubud dalam

upayanya mengimplemenatsikan nilai-nilai Tri Hita Karana di lingkungan sekolah.

Tetapi harus diakui, upaya-upaya sekolah seperti di atas tidaklah semata-mata

berperspektif fungsionalisme dalam kepentingan sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai

sosial budaya Hindu Bali saja. Kesadaran sekolah dalam memaknai gerakan masyarakat

untuk ajeg Bali yang dapat diaplikasikan di lingkungan program pendidikan sekolah dari

pengaruh dominasi kebijakan pendidikan nasional yang tersentralisasi, membantu sekolah

menciptakan kesadaran dan upaya yang kritis. Di sini program pendidikan tidak lagi

menjadi wacana yang tunggal dalam menginterpretasi makna manusia modem yang

nasionalis, seperti yang terjadi sebelumnya. Ada satu dialog kritis bagaimana civitas

sekolah kemudian menciptakan image atau citra tentang generasi muda modem berwatak

Bali yang menghargai nilai-nilai nasionalisme dan mengembangkan kemampuan berpikir

global (bandingkan dengan Skinner dan Holland, 1996: 273-299). Di sinilah komponen-

komponen civitas sekolah (kepala sekolah, guru, dan siswa) melakukan rekonstruksi

secara kritis dalam rangka mereproduksi citra kehidupan modem yang lebih demokratis,

yang lebih memberikan keseimbangan pada pemberian liak-hak hidup secara sosial,

politik, budaya dan ekonomi antara kepentingan lokal masyarakat Hindu Bali, kepentingan

nasional, dan kepentingan global. Hal ini sejalan dengan kondisi perubahan sosial budaya

masyarakat Ubud pada khususnya, dan perkembangan masyarakat Bah pada umumnya

dewasa ini, yang memang sedang menghadapi fenomena berbagai konflik kepentingan

antara kepentingan masyarakat lokal Bali dalam rangka ajeg Bali, kepentingan

pembangunan nasional demi tetap tegaknya kehidupan berbangsa dan bernegara

Indonesia, dan pemenuhan kepentingan interaksi global.

Penekanan pada proses sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai Tri Hita Karana di

atas, dengan demikian, menjadi sarana perjuangan seluruh komponen sekolah untuk

memperoleh hak-hak emansipasi dalam proses pendidikan atas proses medemisasi yang

berbasis nilai-nilai nasionalisme dalam program pendidikan di sekolah umum selama ini.

Di sinilah rekonstruksi pengalaman sosial budaya secara kritis berbasis nilai-nilai Tri Hita

Karana telah dikembangkan untuk memformulasikan satu model Pendidikan IPS yang

memberdayakan kecakapan-kekapan hidup yang esensial perlu dikembangkan pada siswa

sebagai generasi muda, baik yang mencakup kesadaran politis dan ideologis, sosial

210

Page 99: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

budaya, spiritual, maupun kesadaran ekologis yang lebih relevan dengan tuntutan-tuntutan

kebutuhan masyarakat lingkungannya.

J. Agen-agen Sosial yang Mempengaruhi Praktik Pendidikan IPS di Sekolah

Banyak pihak diakui oleh civitas sekolah yang berkepentingan terhadap

pengembangan program pendidikan di SMU Negeri 1 Ubud pada umumnya dan pada

praktik Pendidikan IPS pada khususnya. Akomodasi terhadap berbagai kepentingan itu

dianggap wajar oleh sekolah sebagai konsekuensi adanya hubungan dan saling pengaruh

antara sekolah dengan masyarakat pada umumnya. Hanya dengan menjalin hubungan

yang harmonis dengan masyarakat sekolah akan tetap eksis dau dapat berkembang di

tengah-tengah pertumbuhan dan perkembangan masyarakatnya.

Seluruh civitas SMU Negeri I Ubud juga menyadari bahwa sekolah perlu

mengakomodasi, mengadaptasi, dan mengembangkan tiga level kepentingan yang harus

menjadi orientasi nilai dan tindakan seluruh warga sekolah dan masyarakat, yaitu level

kepentingan eksistensi masyarakat lokal, level kepentingan nasional, dan level

kepentingan global. Ketiga level kepentingan itu bisa saja sejalan satu sama lain, tetapi

bisa juga menimbulkan konflik kepentingan. Di sini menjadi tugas sekolah, bagaimana

dapat merekonstruksi masing-masing level orientasi kepentingan dan nilai-nilai tanpa

menghapuskan orientasi nilai yang lain.

Ada sejumlah agen sosial yang diyakini civitas sekolah turut membawa

kepentingan dan orientasi nilainya dalam turut mempengaruhi pengambilan dan

pelaksanaan berbagai kebijakan implementasi program pendidikan di SMU Negeri 1

Ubud; dan dengan demikian mempengaruhi pula praktik program Pendidikan IPSnya.

Pertama, adanya kepentingan nasional yang dibawa ke sekolah melalui saluran kurikulum

sekolah oleh agen-agen pemerintah terkait, khususnya oleh dan dari Departemen

Pendidikan Nasional dengan seluruh hubungannya di daerah. Dalam hal ini, Departemen

Pendidikan Nasional setelah mengakomodasi kepentingan-kepentingan politik, pertahanan

dan keamanan nasional (hankamnas), ekonomi, sosial, dan budaya yang berkembang

secara nasional, mengintegrasikannya ke dalam kurikulum sekolah yang secara

tersentralisasi memandatkannya kepada sekolah untuk melaksanakan atau

mengimplementasikannya melalui pendidikan dan pengajaran berbagai disiplin mata

pelajaran bidang studi termasuk mata pelajaran rumpun IPS.

Dengan kebijakan secara nasional oleh Departemen Pendidikan Nasional seperti di

atas, mata pelajaran rumpun IPS jelas pula membawa kepentingan dan orientasi nilai-nilai

211

Page 100: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

nasional. Ini dapat dilihat dari relevansi tujuan pendidikan nasional dengan karakteristik

dan tujuan Pendidikan IPS dalam rangka pembentukan manusia Indonesia seutuhnya dan

pembentukan warga negara yang baik. Somantri (2001:40) menyalakan bahwa sebagian

besar aspek tujuan pendidikan nasional banyak yang menjadi daerah tujuan Pendidikan

IPS karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya berkenaan dengan ideologi, politik

dan pemerintahan, kewarganegaraan, sejarah perkembangan bangsa Indonesia, distribusi

sumber-sumber daya Indonesia, kekuatan ekonomi nasional, dan puncak-puncak

kebudayaan bangsa. Karena orientasi nilai dan dominasi kepentingan berskala nasional

inilah tampaknya menjadikan mata pelajaran IPS banyak membawa visi dan misi bangsa;

dan karenanya, karakteristik ini menyebabkan perbedaan substansi materi dan kandungan

nilai-nilai yang terjadi antar IPS (Social Studies) di berbagai negara (Winataputra, 2001).

Menyadari kelemahan-kelemahan standar kurikulum yang bersifat nasional,

masyarakat yang menyadari tidak terjadi link and match antara pendidikan dan pengajaran

di sekolah dengan kebutuhan masyarakat lokal, melalui berbagai agen-agen pembahan

sosialnya yang terkait, menghimbau dan meminta pemerintah daerah beserta jajarannya di

dinas pendidikan propinsi dan kabupaten serta kepada sekolah-sekolah untuk

mengembangkan program pendidikan di sekolah lebih menyesuaikan dengan tuntutan

kecakapan hidup masyarakat lokal tanpa mengabaikan kepentingan-kepentingan nasional

dan global. Pada kasus di SMU Negeri I Ubud, lembaga-lembaga dan tokoh-tokoh berikut

ini mengambil peranan yang besar dalam turut mempengaruhi kebijakan sekolah dalam

melaksanakan program pendidikannya untuk menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat

lokal, antara lain: lembaga keluarga, Badan Pembina Lembaga Adat (BPLA) Kabupaten

Gianyar atau yang dewasa ini akan diubah menjadi Majelis Madya Desa Pekraman, serta

Musyawarah Pembinaan lembaga Adat (MPLA) Kecamatan Ubud atau Majelis Alit Desa

Pekraman, Parisada Hindu Dharma Kabupaten Gianyar dan Kecamatan Ubud, tokoh-

tokoh puri Ubud, tokoh-tokoh desa adat dan desa dinas Ubud, media massa lokal seperti

Harian Bali Post, Harian NusaTenggara, majalah SARAD Bali, media elektronik TV Bali

dan Bali TV, seku-seka kesenian di Ubud, pemilik-pemilik galeri di Ubud, dan beberapa

pengusaha industri dan jasa pariwisata di Ubud.

Keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama dan utama bagi anak.

Karena itu dapat diyakini bahwa keluarga merupakan agen sosial yang turut juga

berpengaruh terhadap pendidikan di sekolah (Sukeini, 1994; Suyasa, 2003). Peranan

keluarga dalam fungsi-fungsi religius, sosial, budaya, politik, dan ekonominya tetap tidak

dapat diabaikan (Lauer, 1989; Sudiasa, 1992; Sukadi, 1994; Suyasa, 2003). Melalui

212

Page 101: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

fungsi-fungsi seperti di atas, pendidikan dalam keluarga turut juga mewarnai wawasan,

nilai-nilai dan sikap, serta kecakapan siswa ketika hadir di sekolah. Dan, semua ini dapat

menjadi pengalaman awal siswa yang akan dikembangkan lebih lanjut dalam pendidikan

di sekolah. Inilah yang disebut dengan pendidikan sekolah berbasis pada pengalaman

dunia nyata anak yang sebagian dibentuk dalam lingkungan pendidikan keluarga (Sadia,

1996; Santiyasa, 1999; Widja, dkk. 2002).

Pengaruh pendidikan keluarga terhadap proses pendidikan di SMU Negeri I Ubud

termasuk dalam proses pendidikan sosialnya dapat tetjadi melalui pengalaman yang

dibawa siswa, dan dapat pula pada pengalaman yang dibawa guru-guru ke sekolah. Di sini

baik guru-guru dan siswa dapat sama-sama membawa pengalaman-pengalaman religius,

sosial, budaya, politik, ekonomi, bahkan pengalaman hidup berkesenian sebagai orang

Bali dan sebagai orang Ubud yang banyak terlibat dalam bidang pariwisata budaya.

Kesamaan-kesamaan pengalaman ini diakui guru-guru dan siswa lebih memudahkan

proses tranmisi nilai-nilai budaya lokal Tri Hiia Karana, karena adanya kesamaan nilai-

nilai dan tujuan-tujuan pendidikan yang diharapkan guru-guru dan siswa. Dalam hal ini

pengalaman-pengalaman belajar nilai-nilai budaya di sekolah lebih banyak sebagai upaya

makin menguatkan atau memantapkan tradisi-tradisi, norma-norma, dan nilai-nilai yang

telah dibentuk dalam lingkungan keluarga dan masyarakat, baik yang bersangkutan

dengan nilai-mlai parahyangan, pawongan, maupun palemahan, sehingga nilai-nilai

tersebut lebih terinternalisasi dalam kepribadian siswa.

Ini tidak berarti bahwa seluruh aspek dan strategi pendidikan nilai-nilai dan

keterampilan berbudaya Bali dalam lingkungan keluarga dikukuhkan begitu saja dalam

proses pendidikan sosial dan nilai-nilai di sekolah Apa yang dilakukan di sekolah

kemudian adalah membantu memilih materi-materi pendidikan agama dan nilai-nilai

budaya yang diperlukan siswa dalam keliidupan bermasyarakat yang berubah serta

membantu siswa memberikan landasan ideologis/filosofis dan landasan rasional yang

lebih kuat secara kritis dan kreatif kepada siswa tentang berbagai praktik tradisi nilai-nilai

budaya yang telah dilakukan di lingkungan keluarga yang tidak dapat dijelaskan oleh

pihak orang tua atau orang dewasa lainnya di lingkungan keluarga (Sudiasa, 1992).

Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa pendidikan sekolah tidak dapat melepaskan

diri dari pendidikan dalam keluarga. Keberadaan ini tampaknya tidak dapat dilepaskan

dari pandangan strukturalisme fungsional, bahwa sesungguhnya pendidikan sekolah

berfungsi dalam menyiapkan generasi muda untuk memiliki sistem bahasa, pengetahuan,

nilai-nilai dan sikap, dan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan dalam

213

Page 102: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

melaksanakan fungsi di dalam masyarakat, termasuk dalam keluarga. Sekolah, dengan

demikian, dapat dianggap sebagai pentransmisi nilai-nilai tradisional dan sebagai sarana

stabilitas sosial serta pemeliharaan tatanan sosial yang ada (Hallinan, dalam Ballantine,

1985:33-34; Collins, dalam Ballantine, 1985:60-87).

BPLA dan Parisadha, selanjutnya, umumnya berperan melalui saluran dharma

wacananya di sekolah turut memberikan pencerahan baik kepada pemimpinan sekolah,

dewan guru, staf pegawai maupun siswa untuk menata lingkungan sekolah dan

menciptakan iklim pendidikan dan pengajaran berbasis nilai-nilai Tri Hita Karana.

Wawasan dan nilai-nilai yang diterima dalam dharma wacana inilah yang dijadikan

pedoman oleh sekolah untuk membuat kebijakan penataan lingkungan dan penciptaan

iklim pendidikan di SMU Negeri 1 Ubud berbasis pada nilai-nilai Tri Hila Karana yang

dilaksanakan menurut prinsip-prinsip desa, kala, paira.

Tokoh-tokoh dan keluarga puri Ubud juga mempunyai andil yang besar terhadap

pendirian, pembangunan, dan pengembangan program pendidikan di SMU Negeri 1 Ubud.

Peran mereka di samping sebagai pendiri, penyedia lahan untuk pembangunan sekolah,

donatur, dan dewan pembina/penasehat adalah juga sebagai pengurus atau fungsionaris

BP3/koraite sekolah. Tidak mengherankan jika keluarga puri Ubud memiliki kepentingan

yang besar terhadap perkembangan SMU Negeri I Ubud sebagai sekolah menengah

umum yang pertama dan utama bagi proses pendidikan masyarakat.

Keluarga puri Ubud, termasuk puri Peliatan, juga merupakan yang ditokohkan

masyarakat baik dalam bidang sosial, adat, agama, politik, ekonomi, maupun dalam

pengembangan pariwisata di Ubud pada khususnya, dan di kabupaten Gianyar pada

umumnya. Karena itu, keluarga puri Ubud juga memiliki kepentingan terhadap proses

pendidikan di SMU Negeri 1 Ubud dalam rangka memenuhi harapan masyarakat Ubud

terhadap upaya mempertahankan karakteristik masyarakat Ubud berkarakter Bali dan

dalam upaya pengembangan pariwisata budaya di Ubud yang diyakini benar sebagian

merupakan jasa para leluhur keluarga puri Ubud yang telah membesarkan pariwisata

budaya di Ubud. Dua kepentingan inilah yang melandasi bagaimana penataan lingkungan

dan penciptaan iklim belajar di SMU Negeri 1 Ubud dikembangkan oleh sekolah dengan

mendapatkan bahan-bahan pertimbangan dan nasehat dari keluarga puri Ubud. Bahan-

bahan pertimbangan ini pulalah yang membantu dan sekaligus mengikat sekolah untuk

merumuskan visi dan misi sekolahnya (beriman, bermutu, dan berbudaya), yang pada

gilirannya juga mempengaruhi iklim pembelajaran pendidikan sosial (IPS) di SMU

214

Page 103: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

Negeril Ubud berbasis pada nilai-nilai tradisional Tri Hila Karana yang

dengan prinsip-prinsip desa, kala, patra di Ubud.

jelas sekali bahwa, sesuai dengan pandangan teoritisi interpretivis, struktur

masyarakat Ubud terdiri dari sistem ketidaksamaan kelas (karena berlakunya sistem kasta)

yang dilanggengkan dalam keluarga melalui proses transmisi kode-kode linguistik dan

pola komunikasi kepada anak (Karabel dan Halsey, 1977:63).

Sekolah sebagai agen sosialisasi kedua setelah keluarga tidak dapat melepaskan

diri dari pengaruh budaya keluarga yang pada umumnya mencerminkan dominasi budaya

kelas-kelas atas. Tidak mengejutkan, karena itu, sekolah, baik langsung maupun tidak

langsung, sesungguhnya berharap semua siswa belajar kode-kode linguistik dan

kompetensi budaya kelas dominan, yaitu yang dihasilkan oleh keluarga-keluarga puri

Ubud (Pai, 1990). Bourdieu (1977:494) menuliskan situasi ini: "The educational syslem

demands of everyone alike that ihey have what it does nol give. This consisls mainly o/

linguistic and cullural compelencies and ihal relationship of familiarUy v/Uh culiure which

can only be producedby family upbringing when H iransmils the dominani culiure ".

Hubungan antara SMU Negeri 1 Ubud dan desa dinas serta desa adat Ubud juga

sangat harmonis. Tidak saja karena lokasi SMU Negeri 1 Ubud berada di wilayah teritorial

desa dinas dan desa adat Ubud, tetapi, sebagai lembaga pendidikan, sekolah yang berada

di wilayah desa adat dan dinas tersebut memiliki kewajiban moral untuk berinteraksi

dengan masyarakat sekitar, memenuhi tuntutan pelestarian nilai-nilai budaya masyarakat

setempat dalam rangka proses enkulturasi dan transmisi budaya, dan memenuhi harapan

masyarakat untuk pengembangan kualitas sumber daya manusia setempat.

Begitu pula, ada kewajiban moral bagi desa-desa dinas dan desa adat Ubud untuk

turut serta membantu, membina, dan mengembangkan lembaga pendidikan masyarakat

yang dimilikinya, sehingga SMU Negeri 1 Ubud dapat menjadi center of excellence bagi

pengembangan sumber daya manusia masyarakat Ubud. Dengan adanya saling

kepentingan antara SMU Negeri I Ubud dengan masyarakat sekitarnya, memungkinkan

bagi desa adat dan desa dinas Ubud sebagai agen-agen sosial turut mempengaruhi

kebijakan sekolah dan mewarnai iklim pendidikan di SMU Negeri 1 Ubud, terutama

dalam iklim pendidikan sosialnya.

Proses hubungan masyarakat seperti ini dapat menjadi sarana belajar secara

langsung dan paitisipatif (pratyaksa premana) bagi siswa SMU Negeri 1 Ubud, khususnya

215

Page 104: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

dalam mempraktikkan kehidupan beragama (parahyangan), keliidupan sosial

bermasyarakat (pawongan), dan dalam pemeliharaan lingkungan palemahan yang riil

dalam kehidupau masyarakat Ubud berlandaskan prinsip-prinsip ajaran Tri Hila Karana

Hubungan antara sekolah dengan desa adat di atas juga makin menguatkan

keyakinan bahwa sekolah juga mempunyai fungsi yang sentral dalam melestarikan sistem

sosial dan budaya dalam masyarakat. Dalam hal ini, sekolah yang berada di wilayah

teritorial desa dinas dan desa adat Ubud jelas tidak dapat melepaskan diri dari

kepentingan-kepentingan lokal masyarakat desa adat Ubud untuk turut melestarikan

tradisi-tradisi keliidupan sosial, budaya, dan berkesenian masyarakat; tidak saja untuk

kepentingan internal masyarakat Ubud, tetapi juga penting bagi masyarakat desa Ubud

secara keseluruhan yang berkeinginan dapat menjaga tetap lestarinya kebudayaan Bali di

Ubud yang sangat dipentingkan dalam rangka mengembangkan pariwisata budaya di

Ubud.

Sekolah, dengan demikian, dapat menjamin bahwa program-program

pendidikannya dapat mensosialisasikan kepada siswa aspek-aspek sosial budaya yang

esensial yang diperlukan masyarakat untuk dilestarikan, seperti pelestarian penggunaan

bahasa Bali, pelestarian sistem struktur sosial yang berbasis kasta, pelestarian tradisi-

tradisi keliidupan gotong royong di dalam masyarakat, pelestarian sistem ritual dan

kehidupan beragama Hindu dalam masyarakat, tradisi kehidupan berkesenian, dan

sejenisnya. Pandangan seperti ini sekali lagi menguatkan pandangan strukturalisme

fungsional masyarakat Bali dalam rangka ajeg Bali.

Media massa lokal di Bali juga merupakan agen-agen sosial yang mempunyai

peranan penting bagi pendidikan yang memberikan wawasan dan nilai-nilai budaya lokal

bagi masyarakat Bali dan Ubud pada umumnya dan civitas SMU Negeri l Ubud pada

khususnya, baik melalui media cetak harian Bali Post, harian Nusa Tenggara, dan majalah

SARAD Bali, maupun melalui media elektronik stasiun TVRI Bali (dulunya disebut

TVRI Stasiun Denpasar) dan Bali TV. Ini dapat diketahui dari digunakannya ketiga media

cetak ini sebagai sumber bacaan, baik bagi guru-guru maupun siswa SMU Negeri 1 Ubud

dan penggunaan siaran TVRI Bali dan Bali TV yang dominan menayangkan kajian

budaya lokal sebagai salah satu sumber belajar di sekolah.

Sebagaimana diketahui, harian Bali Post dan Nusa Tenggara serta majalah SARAD

Bali adalah media cetak lokal di Bali yang juga turut menyajikan informasi-informasi,

artikel-artikel atau bahasan-bahasan tentang kehidupan sosial, kehidupan agama,

kehidupan pariwisata, dan kehidupan budaya Hindu Bali. Sebagai media lokal, kedua

216

Page 105: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

harian ini memang cukup rutin (hampir setiap hari) menyajikan berita-berita, informasi-

informasi, dan artikel-artikel seperti di atas walau jumlah informasi, berita, atau artikel-

artikelnya tidaklah selalu dominan. Sedangkan majalah SARAD Bali memang merupakan

salah satu majalah yang berfokus pada keliidupan agama dan kebudayaan Hindu Bali pada

khususnya dan kebudayaan Hindu di Indonesia pada umumnya. Tidaklah mengherankan,

karena itu, pendidikan yang memberikan wawasan, nilai-nilai, dan sikap positif terhadap

kehidupan budaya lokal dan agama Hindu Bali dapat diperoleh melalui akses yang intensif

terhadap media massa lokal Bali ini, seperti Temuan Suyasa (2003) yang menyimpulkan

bahwa akses yang intensif dari siswa SMU di kota Singaraja terhadap media massa dapat

meningkatkan sikap politik berdemokrasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,

dan bernegara.

Media elektronik melalui siaran TVRI Bah dan Bali TV juga tidak kalah

intensifnya dalam menyajikan berita-berita, gambar-gambar, ulasan-ulasan, topik-topik

pembahasan, sajian kesenian, tayangan sinetron, tayangan film, dan kegiatan dharma

wacana yang menggambarkan kehidupan sosial, religius, budaya, dan keliidupan

berkesenian masyarakat Bali. Bahkan untuk siaran Bali TV yang memiliki visi dan misi

ajeg Bali hampir seluruh tayangannya memang difokuskan untuk pengembangan dan

pelestarian kebudayaan, agama Hindu, dan kesenian Bali. Diyakini, masyarakat yang

memiliki minat yang besar menjadi pemirsa TV Bali dan Bah TV dipastikan memiliki

minat yang besar dan sikap yang positif pula dalam upaya pengembangan dan pelestarian

kebudayaan lokal Bali yang berbasis pada ajaran agama Hindu Bali. Memang melalui visi

dan misi ajeg Balinya., Bali TV memiliki komitmen yang kuat untuk mengajak seluruh

masyarakat Bali secara bersama-sama mengcyegkan atau melestarikan kebudayaan dan

agama Hindu Bali yang telah dinilai sebagai kebudayaan yang luhur warisan para dewata

leluhur.

Prinsip yang digunakan dalam pemilihan tayangan-tayangannya memang adalah

continuity and change dalam kebudayaan Bali. Artinya, redaktur telah sangat objektif

dalam menentukan mana unsur-unsur kebudayaan dan ajaran agama Hindu Bati yang

harus dipertahankan dan perlu disosialisasikan kepada masyarakat dan mana unsur-unsur

kebudayaan Bali yang masih perlu dieksplorasi dan dikembangkan bersama oleh

masyarakat. Terlepas masih adanya pro dan kontra dari masyarakat terhadap berbagai

tayangan tentang berbagai bentuk kebudayaan Bali di Bali TV dan media cetak seperti

SARAD Bah, harus diakui bahwa masyarakat Bali secara keseluruhan memang bangga

terhadap keberadaan Bali TV dan SARAD Bah yang sangat berani dengan visi dan

217

Page 106: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

misinya tentang ajeg Bah. Misi pelestarian budaya yang di dalamnya juga mengakui

adanya penerimaan unsur-unsur luar atau unsur-unsur asing ini sesungguhnya tidak dapat

dilepaskan dari konsepsi strukturalisme masyarakat Bah yang percaya bahwa di dunia ini

bekerja dua kekuatan atau kekuasaan kosmis, yaitu buana alu dan buana agung (Widja,

1991).

Dikaitkan dengan prinsip coniinuily andchange, masyarakat Bali mengakui bahwa

kehidupan masyarakat dan kebudayaan Bali juga tidaklah dapat lepas dari hubungannya

dengan kekuasaan buana agung, yaitu kehidupan sosial budaya yang lebih luas di bumi

ini. Jadi masyarakat Bali tidak hanya mengakui adanya kebudayaan Bali, tetapi ada juga

kebudayaan lain yang berpengaruh terhadap kehidupan sosial dan budaya masyarakat Bah.

Namun, apapun bentuk kebudayaan asing atau kebudayaan modern yang diterima

pengaruhnya terliadap kebudayaan Bali haruslah dapat didekati dari berlakunya hukum

r»'a bhinneda yang telah terstruktur dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Bali.

Artinya, apapun bentuk kebudayaan baru itu, tidaklah harus menyerang untuk merobohkan

dinding mental spiritual masyarakat Bali yang direkatkan oleh jiwa kolektif yang

menumbuhkan semangat suci (Widja,1991).

Civitas SMU Negeri 1 Ubud mengakui bahwa mereka secara keseluruhan memiliki

akses yang intensif terhadap ketiga media cetak (harian Bah Post, Nusa Tenggara, dan

SARAD Bali) dan kedua media elektronik di atas, terutama kepada Bah TV, baik secara

individual di lingkungan keluarga maupun dalam memanfaatkan sarana yang dimiliki

sekolah. Hampir setiap hari guru dan siswa dapat mengakses informasi media Bali Post,

NusaTenggara, dan SARAD Bali yang tersedia baik di kantor kepala sekolah, kantor

guru, maupun di perpustakaan. Begitu pula tayangan acara-acara terutama Bah TV dapat

diikuti guru-guru dan siswa setiap hari pada televisi sekolah yang ada di kantor guru atau

perpustakaan sekolah. Secara umum dapat dikatakan pula bahwa baik kepala sekolah,

guru-guru, pegawai, maupun siswa memiliki minat dan sikap yang positif terhadap

tayangan-tayangan kebudayaan Bali yang ada di berbagai media massa lokal di atas. Ini

dapat ditunjukkan pada komitmen sekolah ketika menayangkan presentasi budaya dan

keseniannya sebagai hasil kreativitas para siswanya pada perayaan-perayan seperti hari

ulang tahun sekolah dan hari-hari raya suci Hindu tertentu, sekolah juga ikut

mempublikasikannya ke media-media cetak dan elektronik lokal di atas. Di samping itu,

diakui bahwa SMU Negeri 1 Ubud telah beberapa kali mengikuti kegiatan lomba

presentasi budaya, kesenian Bali, dharma tufa, dan dharma wacana yang diselenggarakan

oleh organisasi-organisasi media massa di atas (terutama oleh Bali Post dan Bali TV); dan,

218

Page 107: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

karena itu, turut berkontribusi pula pada tayangan-tayangan budaya yang disajikan oleh

kedua media tersebut kepada masyarakat. Dari penjelasan ini jelaslah bahwa media massa

lokal Bali yang telah mempresentasikan karakteristik keliidupan masyarakat Bali secara

religius, sosial, budaya, berkesenian, dan hubungannya dengan lingkungan alamnya telah

memberikan pengaruh pula kepada civitas SMU Negeri 1 Ubud dalam upayanya

melestarikan kehidupan religi, sosial, budaya, dan kesenian masyarakat Bali.

Daerah Ubud, sebagai telah dijelaskan di atas, juga sangat terkenal dan marak

dengan kehidupan berkeseniannya dengan berbagai jenis cabang kesenian. Untuk seni

rupanya bahkan telah juga berkembang berbagai alirannya. Walau ada indikasi pada

beberapa seginya telah berkembang ke arah aliran yang lebih modem melalui

pengembangan seni rupa kontemporer (Bandem, 2005; Kaija, 2005), secara umum

masyarakat Ubud masih bergulat dengan kesenian tradisional Balinya. Karena itu, tidak

mengherankan kalau di Ubud itu dikenal banyak muncul seniman-seniman tradisional

muda dengan berbagai seka atau kelompok, sanggar, dan galeri keseniaimya. Kelompok-

kelompok atau seka dan sanggar-sanggar serta galeri-galeri kesenian inilah yang banyak

berpengaruh kepada masyarakat dalam menghasilkan seniman-seniman baru termasuk

kepada siswa-siswa di sekolah, antara lain kepada para siswa SMU Negeri 1 Ubud.

Pengaruh seniman dan seka-seka kesenian di Ubud terhadap kebijakan program

pendidikan di SMU Negeri Ubud cenderung tidak bersifat langsung. Sekolah dengan

komitmen visi kebudayaannya yang mengupayakan turut mengembangkan dan

melestarikan kebudayaan Bali, tentu termasuk juga turut mengembangkan kecakapan para

siswa dalam kehidupan berkesenian. Ini tidak saja dimaksudkan untuk menyiapkan calon-

calon seniman muda atau pengrajin seni yang dibutuhkan oleh masyarakat Ubud dalam

proses regenerasi seniman, tetapi, sebagai pendukung kebudayaan Bali, kehidupan

berkesenian oleh siswa sebagai orang Bali sudah menjadi bagian dari kehidupan. Di

samping itu, dalam rangka pengembangan program pendidikan seutuhnya dan terpadu,

pendidikan kesenian memang menjadi bagian integral dari pendidikan siswa untuk tujuan

pengembangan kepribadian siswa secara utuh pula, karena diyakini dapat

mengembangkan sifat-sifat kepribadian yang halus, lembut, indah, dan luhur (Mulyanto.

1994). Di sini kehidupan para seniman dan keberadaan seka-seka atau sanggar kesenian

cenderung dapat dijadikan teladan, orientasi, dan tempat belajar secara informal dan

nonformal bagi siswa, sekaligus dalam mengembangkan kecakapan-kecakapan

berkeseniannya.

219

Page 108: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

Kehidupan berkesenian para seniman di Ubud memang dapat diteladani oleh dan

menjadi teladan serta orientasi para siswa SMU Negeri 1 Ubud. Ini tidak saja mengacu

kepada seniman-seniman muda dewasa ini, tetapi termasuk juga meneladani para maestro

seniman Ubud yang sudah tiada, seperti almarhum Gusti Nyoman Lempad, I Ketut Cokot,

Ida Bagus Sobrat, Ida Bagus Made, I Made Cakra, Antonio Blanco, Walter Spies, Ary

S midi, Han Snell, dan sebagainya yang telah mengabdikan seluruh jiwa dan raganya untuk

perkembangan dan kemajuan seni dan ketenaran Ubud. Para maestro seni ini tidak saja

diteladani para siswa karena pengabdiannya kepada seiii yang sangat tulus, tanpa pamerih,

jujur, dan kualitas seninya yang tinggi karena mengandung nilai-nilai religius magis,

tetapi juga karena kepribadiannya secara keseluruhan yang sederhana dan bersahaja

memang pantas diteladani, terutama juga karena pengabdiannya kepada Ubud pada

umumnya, serta kepedulian dan pengabdiannya kepada masyarakat adat tempat

tinggalnya. Dalam pandangan dan nilai-nilai serta sikap para guru dan siswa SMU Negeri

1 Ubud, para seniman maestro Ubud di atas diyakini telah menjadi seniman Ubud yang

memiliki taksu seniman Bali (profesional, berkarisma atau berwibara karena profesinya,

dan karena itu menjadi terkenal atau kasub).

Para seniman, pengrajin seni, dan seka-seka atau sanggar-sanggar, termasuk

galeri-galeri kesenian di Ubud juga menjadi tempat belajar siswa dalam mengembangkan

kecakapan, keterampilan, dan nilai-nilai seninya, baik karena permohonan bantuan yang

diminta sekolah kepada para seniman dan sanggar-sanggar kesenian untuk menjadi

pembimbing atau pembina siswa maupun sebagai tempat belajar secara informal maupun

nonformal. Di sini siswa tidak saja belajar menari, menabuh, menggambar atau melukis,

memahat atau mengukir, dan menembang gita, tetapi, mereka juga belajar tentang nilai-

nilai seni dan kehidupan yang religius, nilai-nilai sosial dalam kehidupan masyarakat Bali,

kreativitas, menghargai keindahan, keluhuran, kebesaran dan kemegahan serta

kegemerlapan Tuhan dan para Dewa, melestarikan lingkungan, keuletan dalam belajar

dan berkarya, mengembangkan imaginasi dan intuisi, kesederhanaan dan kebersahajaan,

kejujuran, kepekaan sosial dan lingkungan, serta mengagumi keindahan alam. Semua

pembelajaran seni seperti ini umumnya dilakukan secara praktik partisipastif secara

langsung dan para guru atau seniman pembimbing memberikan pemodelan, fasilitasi,

arahan, pelatihan, pengulangan, memberikan pujian dan kritikan, serta memberikan

tantangan kepada siswa. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa seka-seka atau

sanggar-sanggar kesenian dengan para senimannya sebagai agen-agen sosial mempunyai

pengaruh juga pada praktik program pendidikan di SMU Negeri 1 Ubud terutama dalam

220

Page 109: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

memberikan pengalaman berkesenian serta pembentukan nilai-nilai kehidupan beragama,

sosial, dan budaya lokal masyarakat Bali berbasis nilai-nilai Tri Hiia Karana kepada

siswa.

Usaha-usaha industri barang dan jasa pariwisata dengan para pengusalia

wirausahanya juga merupakan agen-agen sosial yang mempunyai pengaruh penting

terhadap kebijakan, implementasi program, dan penciptaan iklim pendidikan dan belajar di

SMU Negeri 1 Ubud yang pada gilirannya berpengaruh pula pada praktik program

pendidikan sosial dan Pendidikan IPS di sekolah. Diakui bahwa pengaruh kelompok dunia

industri pariwisata di Ubud terhadap sekolah memang belum bersifat langsung, karena

sampai saat ini belum pernah dilakukan kerja sama kemitraan secara formal antara sekolali

dengan kelompok-kelompok pengusaha industri barang dan jasa pariwisata di Ubud.

Namun demikian, iklim berusaha masyarakat Ubud pada bidang pariwisata jelas

mempengaruhi sekolah. Ada image di masyarakat Ubud pada umumnya bahwa jika

seseorang memiliki jiwa dan kecakapan dalam seni serta memiliki kemampuan berbahasa

asing yang memadai, maka orang itu bisa sukses dalam berkarya dan memperoleh dolar di

bidang pariwisata di Ubud. Image seperti inilah yang paling mempengaruhi sekolah

sehingga turut mempengaruhi kebijakan sekolah dan iklim belajar siswa. Kebijakan

sekolah memberikan kebebasan yang lebih leluasa kepada siswa dalam memilih jurusan

bahasa sehingga pesertanya lebih banyak dari pada jurusan IPS dan IPA, serta kebijakan

sekolah untuk terus meningkatkan terutama kualitas pembelajaran bahasa asing

menunjukkan indikasi ini. Begitu pula pemantapan dan peningkatan kualitas pembelajaran

dan kegiatan ekstrakurikuler bidang seni dapat dikatakan sebagian merupakan implikasi

dari berkembangnya bidang-bidang usaha industri kerajinan dan kesenian dalam bisnis

pariwisata di Ubud.

image di atas juga memberi peluang terbentuknya image di kalangan siswa tentang

pentingnya jiwa dan semangat serta keterampilan berwirausaha yang ternyata cukup kuat

pengarulmya dalam menggantikan sikap untuk menjadi pegawai negeri yang umum terjadi

di kalangan siswa pada umumnya. Karena itu, siswa SMU Negeri 1 Ubud umumnya lebih

suka menggunakan waktu di luar jam sekolahnya untuk belajar mengembangkan bakat dan

kecakapan seninya dengan belajar pada kelompok-kelompok usaha wirausaha kerajinan

dan seni, seperti belajar mengukir kayu, kerajinan seni dari logam, kerajinan seni dari

bambu, pelepah pisang, kerajinan seni dari kulit, kerajinan seni dari kain perca, melukis,

menari, menabuh, dan sejenisnya. Tidak sedikit siswa SMU Negeri 1 Ubud yang lebih

suka bekerja membantu orang tua atau bekerja secara mandiri untuk memperoleh nafkah

221

Page 110: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

uang dari bekerja di sektor industri seni kerajinan, atau mengikuti seni pertunjukan dari

pada belajar secara fonnal untuk menguasai ilmu.

Pengaruh iklim berwirausaha oleh agen-agen sosial para pengusaha di atas

terhadap sekolah tidaklah semata-mata pada image bisa menguasai seni dan bahasa asing

saja. Lebih dari itu, membelajarkan masyarakat dan para siswa juga tentang pentingnya

memiliki etos atau nilai-nilai kerja modem dan berkomitmen mewujudkannya agar dapat

berkompetisi di era persaingan pasar bebas dengan tetap memegang nilai-nilai kerja

metaksu dan kasub. Ini telah dicontolikan oleh beberapa orang yang sukses secara

profesional dan ekonomi di Ubud, baik di kalangan pengusaha, seniman, maupun

pengrajin.

Selanjutnya mereka juga perlu belajar nilai-nilai kerja modem yang rasional dalam

persaingan bisnis, antara lain: keberanian berinvestasi, keberanian dalam menanggung

resiko, mau dan mampu bekerja keras, perlunya memanfaatkan sumber-sumber alam

secara kreatif dengan tetap mempertimbangkan kelestarian dan kesinambungannya,

pentingnya membaca peluang bisnis, membangun jaringan kerja sama kemitraan dengan

dunia usaha, membaca kebutuhan dan prospek pasar, sikap yang positif terhadap teknologi

modem, bersaing secara sportif, jujur, dan objektif, disiplin dengan janji binis, manajemen

usaha yang baik dan profesional, perlunya memiliki data bisnis dalam setiap mengambil

keputusan usaha bisnis, serta perlunya memiliki sikap yang positif dan kreatif dalam

menghadapi dan memecalikan masalah-masalah bisnis yang ditemui. Etos dan nilai kerja

seperti ini tidak diperoleh oleh guru dan siswa secara langsung dan formal dari

pengalaman bekerja sama dengan pengusalia, melautkan karena adanya hubungan-

hubungan kerja secara personal yang bersifat informal serta upaya interpretasi baik oleh

guru dan siswa atas iklim kerja dan berusaha yang terjadi di masyarakat Ubud yang

menunjukkan makin tumbuh dan berkembangnya wirausaha-wirausaha baru di bidang

pariwisata.

Demikianlah beberapa agen sosial di masyarakat telah memberikan pengarulinya

terhadap pengambilan kebijakan dan implementasi program pendidikan, tennasuk praktik

program pendidikan IPS di SMU Negeri 1 Ubud, baik secara langsung maupun tidak

langsung mewarnai iklim Pendidikan IPS dalam membawakan misinya mewujudkan

kepentingan dan nilai-nilai lokal, nasional, dan global. Secara fonnal, implementasi

kebijakan kurikulum dan pembelajaran IPS di sekolah dengan dasar kebijakan oleh

Departemen Pendidikan Nasional beserta jajarannya di daerah memang lebih

menampakkan visi, misi, dan tujuannya yang sejalan dengan tujuan pendidikan nasiona.

222

Page 111: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

Karena itu, lebih mengutamakan kepentingan nasional dalam rangka membentuk warga

negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai nasionalisme serta memiliki kemampuan

berpikir dan bertindak dalam persaingan global.

Namun demikian, pengaruh-pengaruh agen-agen sosial lokal den^n visi, misi, dan

tujuan-tujuan pengembangan dan pelestarian budaya lokal Balinya juga turut

mempengaruhi baik secara formal maupun secara tidak langsung terhadap praktik program

Pendidikan IPS di SMU Negeri 1 Ubud, terutama dalam menciptakan kebijakan dalam

penataan lingkungan sekolah, pengembangan program pendidikan berbasis budaya lokal,

dan dalam penciptaan iklim pendidikan dan belajar siswa dengan basis nilai-nilai budaya

lokal Bali berideologi Tri HUa Karana.

Pengaruh berbagai agen-agen sosial terhadap pelaksanaan program pendidikan di

sekolah seperti telah digambarkan di atas juga menunjukkan bahwa Pendidikan IPS pada

khususnya tidaklah selalu diperoleh melalui belajar secara formal di lingkungan kelas atau

sekolah saja, melainkan dapat juga berlangsung secara informal di lingkungan keluarga

dan secara nonformal di lingkungan masyarakat. Dengan prinsip belajar sepanjang hayat

dan belajar dapat dilaksanakan sambil bekerja (learning by dotng), warga belajar

sesunggulmya dapat mengembangkan model belajar yang betul-betul bermakna dalam

mengembangkan kecakapan-kecakapan hidup yang dibutuhkan untuk dapat berinteraksi

dan berintegrasi dengan kehidupan sosial budaya masyarakat.

Apa yang terjadi di SMU Negeri lUbud, walau tidak sepenuhnya peugaruh-

pengaruh sosial budaya di masyarakat tersebut dapat diakomodasi dalam mengembangkan

program Pendidikan IPS khususnya secara formal di kelas, seluruh komponen civitas

sekolah sesunggulmya pula telah mengakomodasi dan mengadaptasikannya ke dalam

pengembangan program pendidikan di sekolah. Hal ini khususnya yang berkaitan dengan

menciptakan iklim pendidikan di sekolah, menyediakan sarana pendidikannya, mengambil

inti sari materi pendidikannya untuk kepentingan bimbingan-bimbingan belajar kepada

siswa, mengembangkan program keija samanya dengan masyarakat, serta menjadi basis

bagi sekolah dalam mengembangkan visi dan tujuan-tujuan pendidikan SMU Negeri 1

Ubud dalam rangka melahirkan generasi muda modern berwatak Bah yang bermutu,

beriman, dan berbudaya. Dan, inilah sesungguhnya pula yang menjadi salah satu sumber

bagi komponen-komponen sivitas sekolah dalam upayanya merekonstruksi pengalaman

sosial budayanya berbasis ideologi Tri hita Karana untuk kepentingan pengembangan

program pendidikan di SMU Negeri 1 Ubud pada umumnya, dan pengembangan program

Pendidikan IPS pada khususnya dalam rangka melahirkan generasi muda Bali modem

223

Page 112: BAB IV KONTEKS SOSIO-BIFDAYA MASYARAKAT DALAM

yang benmUu, beriman, dan berbudaya yang memiliki kemampuan dalam

mengembangkan kebudayaan lokal, menghargai nilai-nilai nasionalisme, dan

mengembangkan kemampuan berpikir global.

Gambaran di alas juga jelas menunjukkan bahwa dalam rangka menghadapi

masyarakat dan kebudayaan Bali pada umumnya dan Ubud pada khususnya yang

bertransformasi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modem, pihak sekolah lelah

berupaya mendekatinya dalam pandangan slruluralisme masyarakat Bali. Dalam hal ini,

oposisi biner yang nienstruktur masyarakat Bali ke dalam masyarakat tradisional dan

masyarakat modern tidaklah dipandang sebagai sualu diskontinuitas, melainkan

masyarakat yang bertransformasi (shifiing) dalam konsep binarian tetapi tetap dapat

menjamin teijadinva keseimbangan {ba/anting) dan dapat melakukan penyesuaian

(adjuamtnl), yang dengan kemampuan adaptasinya {adapiing) dapat memperoleh

(acqutrmg) kemajuan-kemajuan yang diinginkan (Ahimsa-Putra, 2001; Boon, 1985;

Badcock, 2006)

224