bab iv edited rina
DESCRIPTION
rtrtrTRANSCRIPT
4.1. Identifikasi Masalah
Proses identifikasi masalah dilakukan melalui Laporan Tahunan Puskesmas
Ambacang Kuranji tahun 2013, laporan Bulanan Puskesmas Ambacang Kuranji
tahun 2013 dan 2014, dan wawancara dengan Kepala Puskesmas dan para
penanggung jawab program di Puskesmas. Beberapa masalah di Puskesmas
Ambacang Kuranji berdasarkan program wajib puskesmas adalah:
Tabel 4.1. Identifikasi Masalah di Puskesmas Ambacang Kuranji Tahun 2013
No. Program Target Pencapaian Kesenjangan
1. Promosi Kesehatan
- Cakupan D/S 80% 67,13% - 12,87%
2. Kesehatan Lingkungan
- TTU
- SAB
- Rumah
- Jamban Sehat
- DAMIU
82%
100%
82%
72%
100%
MMS:
13 dari 42 buah
1367 dari 1827 buah
1265 dari 1721 buah
1181 dari 1692 buah
8 dari 16 buah
TMS:
29 buah
460 buah
456 buah
511 buah
8 buah
3. Program KIA & KB
- Cakupan Kunjungan Ibu
Hamil (K4)
- Cakupan Kunjungan
Bumil, Bulin, Bufas
dengan Komplikasi Yang
ditangani
- Cakupan Kunjungan Ibu
Nifas Lengkap (KF 3)
- Cakupan Kunjungan
Bayi
- Cakupan Kunjungan
Neonatal RESTI Yang
Ditangani
93 %
72%
89%
93%
75%
91,62%
50%
80,97%
89,1%
46,3%
-1,38%
-22%
-8,03%
-3,9%
-28,7%
4. Program Gizi:
- D/S
- FE3 Bumil
80%
93%
67,13%
61,62%
- 12.87%
- 1.38%
- Vit A Bufas
- ASI Eklusif (0-5 bulan)
Bulan Februari
Bulan Agustus
100%
75%
75%
98,02%
54,13%
66,67%
-1.98%
-0.87%
-8.33%
5. Program P2P
- Diare
- Penyakit DBD
- Suspek Penyakit Campak
- Penderita TB
BTA (+)
BTA RO (+)
Extra Paru
- Kasus gigitan hewan
penular rabies
- Malaria
- Pneumonia
- Filaruiasis
459 kasus
38 kasus
20 Kasus
40 Kasus
27 Kasus
12 Kasus
1 Kasus
21 kasus
1 kasus
86 Kasus
1 Kasus
Sumber: Laporan Tahunan 2013 Puskesmas Ambacang Kuranji
Dari tabel 4.1. didapatkan penyakit dengan kesenjangan terbesar adalah
cakupan kunjungan neonatal resiko tinggi yang ditangan. Sedangkan kasus
terbanyak yang terjadi pada program P2P adalah diare.
Sementara itu, terdapat 10 penyakit terbanyak di Puskesmas Ambacang,
yaitu:
Tabel 4.2. 10 Penyakit Terbanyak Di Puskesmas Ambacang Tahun 2013
No Nama PenyakitPenderita
JumlahLaki-Laki Perempuan
1 ISPA 2.462 3.046 5.508 (37,18%)
2 Peny PULPA & Jaringan
Periapikal543 936
1.470 (9,92%)
3 Reumatik Atritis 423 1.011 1.443 (9,74%)
4 Hipertensi 466 857 1.323 (8,93%)
5 Gastritis 445 774 1.219 (8,23%)
6 Demam yang tidak diketahui 525 619 1.144 (7,72%)
7 Penyakit Kulit Infeksi 549 538 1.087 (7,33%)
8 Penyakit Kulit Allergi 309 479 788 (5,32%)
9 Diare 226 274 500 (3,37%)
10 Persistensi 120 209 329 (2,22%)
Jumlah 6.068 8.743 14.811 (100%)
Sumber : Laporan Tahunan Puskesmas Ambacang 2013
Dari tabel 4.2. didapatkan penyakit terbanyak yang terjadi di Puskesmas
Ambacang adalah ISPA, dan yang paling sedikit adalah persistensi.
Berdasarkan data-data di atas, maka didapatkan 5 masalah dalam program
Puskesmas Ambacang, yaitu:
1. Belum tercapainya target D/S tahun 2013 di Puskesmas Ambacang
Kuranji
Berdasarkan data tahun 2013 pencapaian D/S di Puskesmas Ambacang
Kuranji adalah 67,13%. Sedangkan target yang harus dicapai adalah 80%.
Berdasarkan grafik 4.1., untuk kelurahan Pasar Ambacang pencapaian D/S adalah
67,96%, kelurahan Anduring D/S adalah 63,76%, kelurahan Lubuk Lintah D/S
adalah 69,16% dan kelurahan Ampang 68,80%. Hal ini memang dibawah target
namun mengalami kenaikan dari pencapaian tahun 2012 yaitu 67,04% dan masih
mempunyai ketimpangan yang cukup jauh yaitu 12,87%. Hal ini masih perlu
menjadi perhatian dan kerja sama semua pihak baik lintas program maupun lintas
sektor dalam rangka meningkatkan kunjungan posyandu.
Grafik 4.1. Persentase D/S di wilayah kerja Puskesmas Ambacang tahun 2013
pasar aamba-
canganduring lubuk lintah ampang puskesmas
0
20
40
60
80
% D/S WILAYAH KERJA PUSKESMAS AMBACANG TAHUN 2013
target 80 %
Sumber : Laporan tahunan pada Tahun 2013
2. Belum tercapainya target ASI Ekslusif pada tahun 2013 di Puskesmas
Ambacang Kuranji
Pencapaian ASI Ekslusif pada tahun 2013 adalah 54,13% pada bulan
Februari dan 66,67% pada bulan Agustus. Sedangkan target yang harus dicapai
pada kedua bulan tersebut adalah 75% dengan 404 sasaran.
Tabel 4.3. Persentase Pencapaian ASI Ekslusif di Wilayah Kerja Puskesmas Ambacang
NO Wilayah Kerja Persentase
1 Pasar Ambacang 46,51%
2 Anduring 55,38%
3 Lubuk Lintah 55,46%
4 Ampang 16,67%
5 Puskesmas 54,13%
Sumber: laporan tahunan puskesmas ambacang tahun 2013
Berdasarkan tabel 4.3., persentase pencapaian program untuk kelurahan
Pasar Ambacang adalah 46,51%, untuk kelurahan Anduring sebesar 55,38%,
untuk kelurahan Lubuk Lintah sebesar 55,46%, kelurahan Ampang 16,67%. Baik
puskesmas maupun keempat kelurahan tersebut belum mencapai target untuk
pelaksanaan program ASI ekslusif.
3. Tingginya angka kejadian DBD pada tahun 2013 di Puskesmas
Ambacang Kuranji
Berdasarkan data surveilans penyakit menular di Puskesmas Ambacang,
jumlah kasus DBD dari tahun 2011 sampai 2013 tidak konstan, dan cenderung
mengalami peningkatan. Pada tahun 2011 terdapat 58 kasus demam berdarah.
Tahun 2012 terjadi peningkatan kasus menjadi 61 kasus, meningkat 3 kasus dari
tahun sebelumnya.
Grafik 4.2. Cakupan Kasus Penyakit DBD di Puskesmas Ambacang Padang Tahun 2013
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGUS SEPT OKT NOV DES
0
2
4
6
8
10
12 11
8
1 12
3 3 3
2
5
3
1
JUMLAH : 43 kasus
Sumber : Laporan Surveilans tahun 2013
Dari grafik 4.2. diatas dapat dilihat kasus penderita penyakit DBD yang
tertinggi pada bulan Januari sebanyak 11 kasus yang paling sedikit pada bulan
Maret, April dan Desember masing-masing 1 kasus. Pada tahun 2013 terjadi 38
kasus, menurun 23 kasus dari tahun sebelumnya. Sedangkan pada tahun 2014,
pada bulan januari sudah terdapat 2 orang meninggal akibat DBD.
4. Meningkatnya kejadian ISPA pada bulan Maret 2014
Penyakit terbanyak yang berkunjung ke puskesmas Ambacang Padang pada
tahun 2013 yaitu penyakit ISPA sebanyak 37,18% atau 5508 kasus.
Grafik 4.3. Jumlah kasus ISPA di Puskesmas Ambacang.
2011 2012 2013
ISPA 6880 9149 5508 NaN
% 31.04 38.4 37.18 NaN
Series 3 NaN NaN NaN NaN
500150025003500450055006500750085009500
Penyakit ISPA di Puskesmas AmbacangJu
mla
h
Sumber : Laporan Surveilans tahun 2011, 2012, dan 2013
Grafik 4.4. Jumlah kasus ISPA pada tahun 2014 di Puskesmas Ambacang.
Januari Februari Maret
Minggu 1 84 93 116
Minggu 2 99 107 122
Minggu3 107 106 NaN
Minggu 4 104 92 NaN
10
30
50
70
90
110
130
Penyakit ISPA 2014 di Puskesmas Ambacang
Jum
lah
Kasu
s
Sumber : Laporan Surveilans tahun 2011, 2012, dan 2013
Dari grafik 4.3. di atas, dapat dilihat terjadinya peningkatan kasus dari
tahun 2011 ke tahun 2012, dan penurunan kasus dari tahun 2012 ke tahun 2013.
Pada tahun 2014 (grafik 4.4.) terjadi peningkatan pada bulan Maret, sedangkan
pada bulan Januari dan Februari tidak jauh berbeda. Pada bulan Maret minggu
pertama terdapat 116 kasus, sedangkan minggu kedua terdapat 122 kasus.
Peningkatan kasus pada bulan Maret 2014 ini kemungkinan disebabkan
terjadinya bencana kabut asap di Riau hingga Sumatera Barat. Selain itu,
penggunaan masker dan pengetahuan masyarakat tentang ISPA juga mungkin
mempengaruhi tingginya angka ISPA pada bulan Maret ini.
5. Meningkatnya penyakit diare pada tahun 2013 di Puskesmas Ambacang
Kuranji Diare
Penederita diare di Puskesmas Ambacang sebanyak 459 kasus pada tahun
2013. Diare berada di urutan pertama dalam kasus di program P2P terbanyak.
Gambar 4.3. Grafik Cakupan Kasus Penyakit Diare di Puskesmas Ambacang
Tahun 2013
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGUS SEP OKT NOV Des
0
10
20
30
40
50
60 54
3933
46
3747
3
5260
43 45
31
Jumlah : 459 Kasus
Dari gambar 4.3., dapat dilihat bahwa kasus diare yang paling banyak
terdapat pada bulan September yaitu 60 kasus dan yang paling sedikit paada bulan
Juli terdapat sebanyak 3 kasus.
4.2. Prioritas Masalah
Masalah yang ditemukan dalam program puskesmas tidak memungkinkan
untuk diselesaikan sekaligus atau seluruhnya, sehingga perlu dilakukan prioritas
masalah yang merupakan masalah terbesar. Dalam hal ini teknik yang kami
gunakan adalah teknik skoring. Dari masalah tersebut akan dibuat plan of action
untuk meningkatkan dan memperbaiki mutu pelayanan.
Kriteria nilai yang digunakan adalah sebagai berikut:
- Urgensi: Merupakan tolak ukur penilaian masalah berdasarkan tingkat
kepentingan penyelesaian suatu masalah.
Nilai 1 : tidak penting
Nilai 2 : kurang penting
Nilai 3 : cukup penting
Nilai 4 : penting
Nilai 5 : sangat penting
- Intervensi: Merupakan tolak ukur penilaian masalah berdasarkan tingkat
kesulitan yang akan dihadapi dalam melakukan penyelesaian masalah
Nilai 1 : tidak mudah
Nilai 2 : kurang mudah
Nilai 3 : cukup mudah
Nilai 4 : mudah
Nilai 5 : sangat mudah
- Biaya: Merupakan tolak ukur penilaian masalah berdasatkan besarnya biaya yang
dibutuhkan dalam penyelesaian masalah
Nilai 1 : sangat mahal
Nilai 2 : mahal
Nilai 3 : cukup murah
Nilai 4 : murah
Nilai 5 : sangat murah
- Mutu: Merupakan tolak ukur penilaian masalah berdasarkan kemungkinan
peningkatan mutu puskesmas setelah dilaksanakannya upaya-upaya pemecahan
masalah
Nilai 1 : sangat rendah
Nilai 2 : rendah
Nilai 3 : sedang
Nilai 4 : tinggi
Nilai 5 : sangat tinggi
Tabel 4.1. Prioritas Masalah
Kriteria Urgensi Intervensi Biaya Mutu Total Rank
Belum tercapainya target D/S
tahun 2013 di Puskesmas
Ambacang Kuranji
4 3 3 3 13 IV
Tingginya angka kejadian
DBD pada tahun 2013 di
Puskesmas Ambacang
Kuranji
4 3 4 4 15 II
Meningkatnya kejadian ISPA
pada bulan Maret 20144 4 4 4 16 I
Meningkatnya penyakit diare
pada tahun 2013 di
Puskesmas Ambacang
Kuranji
4 3 3 4 14 III
Belum tercapainya target ASI
Ekslusif pada tahun 2013 di
Puskesmas Ambacang
Kuranji
4 3 2 3 12 V
Dari tabel penilaian prioritas masalah di atas, kami mengambil prioritas
yang pertama untuk Plan Of Action yaitu terdapatnya meningkatnya kejadian
ISPA pada bulan Maret 2014 di wilayah kerja Puskesmas Ambacang. Penulis
menganggap perlu untuk menganalisis di wilayah kerja Puskesmas Ambacang
guna mencari solusi dan meningkatkan taraf kesehatan masyarakat khususnya di
wilayah kerja puskesmas Ambacang.
Keterangan :
1. Belum tercapainya target D/S tahun 2013 di Puskesmas Ambacang
Kuranji
Urgensi 4: Tingkat kepentingan penyelesaian masalah D/S dinilai penting.
Penimbangan bayi dan balita yang dilakukan rutin dan teratur bisa mendeteksi
gangguan gizi sehingga bisa dilakukan intervensi dini. Gangguan gizi sejak dini
bisa meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas pada bayi dan balita, sehingga
menjadi masalah utama bagi daerah tersebut. Selain itu masalah gizi buruk yang
disebabkan oleh kurangnya intervensi dan deteksi dini juga mencerminkan
kesejahteraan suatu wilayah. Namun, pada pelaksanaannya yang terpenting disini
adalah pemantauan terhadap status gizi itu sendiri. Dan untuk itu diperlukan
keaktifan petugas atau kader untuk turun langsung ke lapangan
Intervensi 2: Tingkat kesulitan penyelesaian masalah penanggulangan D/S dinilai
sulit. Pelaksanaan penimbangan balita ini dijalankan bersama program posyandu,
sehingga jika angka kunjungan posyandu meningkat diharapkan angka D/S dapat
ditingkatkan. Selain itu dengan penyuluhan dan pemberian makanan tambahan
(PMT) saat dilakukan posyandu juga akan meningkatkan angka kunjungan
posyandu sekaligus sebagai upaya intervensi terhadap balita dengan gizi kurang.
Namun, hal ini membuat paradigma yang berbeda di masyarakat, misal, kalau ada
PMT mereka datang, kalau tidak kunjungan berkurang. Dan untuk saat ini sumber
biaya untuk memperoleh PMT itu sendiri menjadi kendala.
Biaya 3: Besarnya biaya penanggulan D/S dinilai cukup murah karena diperlukan
biaya yang cukup besar untuk pengadaan berbagai sarana seperti dacin, dan
meteran. Selain itu pengadaan makanan tambahan untuk balita juga memerlukan
biaya yang cukup besar.
Mutu 4: Kemungkinan peningkatan mutu setelah dilaksanakan upaya pemecahan
masalah dinilai tinggi karena dengan tercapainya cakupan penimbangan balita di
wilayah kerja Puskesmas Ambacang, maka penyakit-penyakit yang disebabkan
oleh gangguan gizi seperti marasmus dan kwarshiorkor dapat dicegah. Selain itu
hal ini juga dapat mendeteksi secara dini gangguan pertumbuhan dan
perkembangan pada anak.
2. Tingginya angka kejadian DBD pada tahun 2013 di Puskesmas
Ambacang Kuranji
Urgensi 4: Tingkat kepentingan penyelesaian masalah DBD dinilai penting karena
penyakit ini menyebabkan dampak yang buruk bagi pasien jika tidak ditangani
segera. Kejadian meninggalnya 2 orang penderita DBD pada Januari 2014 harus
menjadi perhatian bagi tenaga kesehatan.
Intervensi 3: Tingkat kesulitan penyelesaian masalah penanggulangan DBD
dinilai cukup mudah. Penyakit ini dipengaruhi oleh kondisi sanitasi lingkungan
masyarakat, yaitu jika terdapat air-air tergenang di pekarangan atau dalam rumah
yang merupakan tempat bertelurnya jentik nyamuk vektor DBD. Dengan
pemberantasan jentik yang berkala dan kesadaran masyarakat akan sanitasi
lingkungan yang bersih maka DBD bisa diatasi.
Biaya 4: Besarnya biaya penanggulan DBD dinilai murah karena penyakit ini
menjadi perhatian bagi sector kesehatan, sehingga program-program seperti
fogging, pemberantasan sarang nyamuk dan pembagian abate sudah diprogramkan
dalam pembiayaan puskesmas.
Mutu 3: Kemungkinan peningkatan mutu setelah dilaksanakan upaya pemecahan
masalah dinilai sedang karena penyakit ini dinilai sebagai penyakit mematikan
apabila tidak ditanggulangi dengan segera.
3. Meningkatnya kejadian ISPA pada bulan Maret 2014
Urgensi 4: Tingkat kepentingan penyelesaian masalah ISPA ini dinilai penting
karena ISPA merupakan penyakit yang selalu menjadi peringkat pertama di
Puskesmas Ambacang. Akibat bencana kabut asap pada awal Maret 2014
menyebabkan peningkatan penderita ISPA di Puskesmas Ambacang. Hal ini
berakibat buruk terhadap faktor risiko terjadinya infeksi saluran nafas yang lebih
berbahaya seperti pneumonia.
Intervensi 4: Tingkat kesulitan penyelesaian masalah penanggulangan ISPA
dinilai mudah karena ISPA merupakan penyakit yang tidak langsung
menyebabkan kematian. Namun bukan berarti penyakit ini selalu
dikesampingkan. Intervensi kejadian ISPA akibat kabut asap harus segera diatasi.
Masyarakat, tenaga kesehatan dan lintas sektoral harus bekerjasama
menyelesaikan permasalahan ISPA. Intervensi yang bisa dilakukan misalnya
dengan melakukan penyuluhan, sosialisasi kepada masyarakat untuk menutup
hidung saat keluar rumah.
Biaya 4: Besarnya biaya penanggulan ISPA dinilai murah karena untuk
menurunkan kejadian ISPA hanya diperlukan pencegahan dengan menjaga
kesehatan, menghindari lingkungan yang berpolusi dengan menggunakan masker
saat berkendara dan menghindari penderita ISPA lain agar tidak tertular.
Mutu 4: Kemungkinan peningkatan mutu setelah dilaksanakan upaya pemecahan
masalah dinilai tinggi karena dengan menurunnya kejadian ISPA, maka penularan
ISPA terhadap balita bisa dikurangi. Dan kejadian pneumonia yang berdampak
buruk terhadap tumbuh kembang anak bisa dikurangi.
4. Meningkatnya penyakit diare pada tahun 2013 di Puskesmas Ambacang
Kuranji
Urgensi 4: Tingkat kepentingan penyelesaian masalah diare dinilai penting karena
diare merupakan penyakit berbasis lingkungan yang bisa berdampak buruk
terhadap kesehatan. Permasalahan ini sering diakibatkan kesehatan lingkungan
yang kurang baik. Selain itu, diare yang tidak ditanggulangi bisa menyebabkan
dehidrasi hingga syok hipovolemik.
Intervensi 3: Tingkat kesulitan penyelesaian masalah penanggulangan diare dinilai
cukup mudah karena berhubungan dengan sanitasi lingkungan masyarakat. Jika
perbaikan sanitasi lingkungan dapat diatasi, maka penanggulangan diare akan
bagus. Berdasarkan laporan tahun Puskesmas Ambacang tahun 2013,
permasalahan dari program kesehatan lingkungan adalah tempat-tempat umum,
sanitasi air bersih, jamban sehat dan depot air minum isi ulang. Kegiatan
intervensi yang bisa dilakukan adalah dengan mengecek setiap tempat, pemberian
penyuluhan, pengecekan kadar bakteri pada DAMIU hingga pemberian izin.
Biaya 3: Besarnya biaya penanggulan diare dinilai cukup murah karena termasuk
dalam program kesehatan lingkungan dengan melakukan pengecekan, pemberian
penyuluhan dan pemberian izin.
Mutu 4: Kemungkinan peningkatan mutu setelah dilaksanakan upaya pemecahan
masalah dinilai tinggi karena kebersihan lingkungan masyarakat dapat
menurunkan kejadian diare.
5. Belum tercapainya target ASI Ekslusif pada tahun 2013 di Puskesmas
Ambacang Kuranji
Urgensi 4: Tingkat kepentingan penyelesaian masalah ASI Ekslusif dinilai
penting karena ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi. Dalam ASI terkandung
semua zat gizi yang diperlukan oleh tubuh bayi dan zat imun yang meningkatkan
kekebalan tubuh bayi terutama terhadap penyakit infeksi. Dan penyakit ini masih
menjadi masalah utama yang menyebabkan angka kesakitan dan kematian bayi
masih tinggi di Indonesia.
Intervensi 3: Tingkat kesulitan penyelesaian masalah penanggulangan ASI
Ekslusif dinilai cukup mudah. Hal ini disebabkan karena rendahnya pemberian
ASI eksklusif dipengaruhi oleh rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap
manfaat ASI tersebut. Untuk meningkatkan angka pemberian ASI eksklusif
tersebut perlu dukungan dari berbagai pihak, tidak hanya ibu dan keluarga saja
tapi juga pemerintah.
Biaya 3: Besarnya biaya penanggulan ASI Ekslusif dinilai cukup murah.
Pemberian ASI eksklusif bisa menurunkan angka kesakitan dan kematian pada
bayi, dengan kata lain bisa menurunkan biaya yang ditimbulkan untuk perawatan
bayi yang sakit baik itu dari pemerintah dan dari keluarga. Selain itu pemberian
ASI saja sampai usia 6 bulan bisa menghemat biaya yang dikeluarkan untuk
pembelian susu formula.
Mutu 3: Kemungkinan peningkatan mutu setelah dilaksanakan upaya pemecahan
masalah dinilai sedang karena menurunnya angka kesakitan bayi akan membuat
pertumbuhan dan perkembangan bayi optimal. Sehingga nanti akan tercipta anak-
anak yang cerdas dan memperbaiki generasi bangsa.