bab iii pemikiran pendidikan prof. dr....
TRANSCRIPT
48
BAB III
PEMIKIRAN PENDIDIKAN PROF. DR.
SUDARWAN DANIM
A. Biografi Prof. Dr. Sudarwan Danim
1. Riwayat Hidup
Adalah Guru Besar Universitas Bengkulu, Beliau dilahirkan di
Tebat Gunung, Bengkulu Selatan, pada tanggal 20 Februari 1959. Beliau
menyelesaikan Program Doktor Bidang Manajemen Pendidikan pada
tahun 1998 dengan predikat Cum Laude.
2. Perkembangan Pemikiran dan karya-karyanya
Sejak mahasiswa, Beliau memiliki minat kuat untuk
mengembangkan ilmu pendidikan sekaligus merambah bidang-bidang
ilmu yang lain. Ratusan artikel telah ditulisnya di media massa nasional,
jurnal nasional, dan jurnal internasional, nyaris untuk keperluan mengajar
mata kuliah apapun Sudarwan Danim menjanjikan dalam bentuk diktat
dikembangkannya menjadi buku.
Beberapa buku yang telah ditulis Beliau dan dipublikasikan secara
nasional antara lain :
a. Trasformasi Sumber Daya Manusia,
b. Media Komunikasi Pendidikan,
c. Penelitian untuk Ilmu-Ilmu Perilaku,
d. Pengantar Studi Penelitian Kebijakan,
e. Menjadi Peneliti Kualitatif,
f. Inovasi dan Profesionalisme Tenaga Kependidikan,
g. Ekonomi Investasi Sumber Daya Insani,
h. Pendidikan sebagai Proses Kemanusiaan dan Pemanusiaan (Agenda
Pembaruan Sistem Pendidikan),
49
i. Kepemimpinan dan Perilaku Manegerial,
j. Penelitian Keperawatan: Sejarah, dan Metodologi,
k. Penelitian Kebidanan : Prosedur, Kebijakan, dan Etik,
l. Menjadi Komunitas Pembelajar [Kepemimpinan Transformasional
dalam Komunitas Organisasi Pembelajaran]
m. Manajemen Berbasis Sekolah
n. Inovasi Pendidikan
o. Status Guru
p. Teacher in Indonesia
q. Visi Baru Menejemen Pendidikan
r. dan lain-lain
Beliau mempunyai target bahwa dalam satu tahun minimal
menerbitkan dua buah buku. Disamping terus menerus menyusun naskah
publikasi, Guru Besar Pertama Universitas Bengkulu ini mampunyai
pekerjaan tambahan seperti :
a. Direktur Program Pascasarjana Kependidikan Universitas Bengkulu,
b. Ketua Pengurus Besar PGRI 2003-2008,
c. Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga
Kependidikan (Depdiknas),
d. Konsultan Pendidikan pada LPMP,
e. Widyaiswara pada Badan Diklat Propinsi Bengkulu untuk mata tatar
Analisis Kebijakan Publik,
f. Menjadi fasilitator Program Kemitraan Kepala Sekolah Daerah Maju
dan Daerah Tertinggal dan Komite Aksi Pemberantasan Bentuk-
bentuk Pekerjaan Terburuk pada Anak (KAN-PBTA) Depnakertrans
g. Nara Sumber MPMBS, dan
50
h. Pembicara laris dalam seminar, penalaran, dan lokakarya
Pernah melakukan studi professional bidang manajemen dan
ketenagaan guru antara lain ke Cina, India, Filipina, Thailand, Malaysia,
Hongkong, dan Singapura.
B. Permasalahan dan Hakikat Pendidikan Prof. Dr. Sudarwan Danim
1. Permasalahan Pendidikan
Pendidikan yang selama ini digaung-gaungkan kian mengalami
reduksi baik subtansi makna maupun idealitasnya. Memang tidak
dipungkiri bahwa pendidikan kita lemah, sebagai alasan mendasar
kelemahan pendidikan kita antara lain: 1) bidang manajemen dan
ketatalaksanaan sekolah termasuk perguruan tinggi; 2) masalah
pendanaan; 3) masalah kultural; 4) masalah geografis.1 Selain itu ada
beberapa hal yang menjadi kendala, antara lain:
a. Terjadinya Kesenjangan Kontektualisasi Teori dan Praktek
Pendidikan di Indonesia telah terjadi pembusukan dimana-
mana, dari dalam seperti DPR, DEPAG, Menteri, Bupati tidak ada
yang lepas dari kasus korupsi, akibat pendidikan formal yang
teroganisir sedemikian rupa telah dianggap sekedar masalah yang
biasa, dan anehnya intitusi tersebut diidentikan dengan institusi yang
penuh dengan pembusukan. Selain dari itu fakta yang ada, dunia
kampus bergembor-gembor bicara mutu tetapi ia sendiri menginjak-
injak mutu, berbicara idealis tetapi ia juga meracuni idealisme tersebut,
sehingga perilakunyapun tidak jauh beda dengan “perilaku standar
ganda.” Menghendaki demokrasi tetapi tidak mau beda pendapat,
menghendaki sikap bersih tetapi cara orang tidak boleh beda, inilah
gambaran-gambaran perilaku manusia yang “hipokrit.”
1 Sudarwan Danim, Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2003), hlm. 6-8.
51
Carut–marutnya dunia pendidikan tidak lepas dari kesenjangan
antara teori dan praktek dalam kontekstualisasinya, fenomena yang
kemudian terjadi adalah karena ia merasa lebih mampu dalam
bidangnya sehingga ia pun semena-mena. Sebagai contoh konkret
Depag menjadi lembaga terkorup, disusul oleh lembaga kesehatan dan
departemen pendidikan. Pertanyaan yang menggelitik, apakah karena
dekat dengan Gubernur maka lebih berover-acting karena ada yang
memblou-up? atau karena ia orang Depag yang merasa dekat dengan
Tuhan maka ia berbuat apa saja karena Tuhan dekat dengan dia? Ini
menjadi salah kaprah. Idealnya semakin dekat dengan Tuhan semakin
ia dekat dengan koridor, “ilmu padi semakin berisi semakin
merunduk,” tapi kenyataan berkata lain.
Konsep keseimbangan adalah bagaimana memandang hidup
yang hanya sekejap, ketika kita mengambil sesuatu yang tidak wajar
maka akan keluar dengan tidak wajar juga. Presiden Suharto tidak
cukup waktu menjadi orang yang terhormat dengan 32 tahun, Said
Agil dengan gelar Prof. Dr. dan MA tidak cukup menjadi orang yang
bermartabat, feeling tingkat tinggi untuk mendapatkan sesuatu adalah
keberanian untuk menyebutkan kebenaran walaupun pedih,
“sampaikan walau satu ayat dan amar ma’ruf nahy munkar.”2
b. Political Will
Negara kita adalah negara “super power”, apa yang dikatakan
negara adalah selalu benar, dan apa yang dikatakan oleh institusi-
institusi juga dibenarkan, sehingga pendekatan kita selalu terjadi pada
pendekatan formal bukan pada “pendekatan subtantif”. Mustinya
pendekatan “to the future” juga harus di dorong pada pendekatan-
pendekatan subtantif.
2 Hasil Wawancara, Tanggal: 26 Januari 2006 di Gedung Guru (PGRI) Jl. Tanah Abang
III/24, Jakarta. Pukul: 12.00-14.00 WIB.
52
Politik pendidikan di Indonesia memang sangat
memprihatinkan karena kita terlalu pasrah pada keadaan, apa yang
dirasa baik bagi Indonesia. Indonesia di mana-mana telah terjadi
pembusukan. Indonesia masih jauh untuk menjadi bangsa yang
bermartabat, non-sense kalau bangsa Indonesia masih identik dengan
bangsa Timur, non-sense bahwa bangsa Indonesia bangsa yang santun,
sebagai kritik pedas bahwa suasana Islami, santun, dan ketimuran ada
di negara-negara non-Muslim, metafor “kebersihan sebagian dari
Iman”, “ballighu ‘ani walau ayat”, “tuntutlah ilmu dari buaian sampai
liang lahat” justru ada di negara non-Muslim. Proses kesadaran dan
kompetitif bangsa Indonesia belum punya.
Sebuah analog yang patut kita renungkan tentang bias-bias
politik di Indonesia yang menandakan kurangnya perhatian pemerintah
terhadap pendidikan, bahwa 20% kenaikan untuk dana pendidikan,
APBN kita tidak cukup untuk membiayai, untuk kenaikan gaji guru
tidak cukup, padahal kalau kita tilik Korupsi ada di mana-mana ketika
kita pangkas korupsi maka beres semua urusan. Terlebih ironis sekali
ketika APBN tidak mampu membiayai dana pendidikan, seandainya
kita kiaskan dengan bukti riil kasus Bank Indonesia yang kolep dan
devisit dalam waktu singkat dapat mengumpulkan 600 Trilyun Rupiah.
Sedang perbandingan dengan dana pendidikan sangat jauh yakni hanya
berkisar 30-50 Trilyun, akan tetapi menjadi sangat paradoks ketika
untuk membantu bankir-bankir yang kaya saja negara mau membantu
tetapi pada sektor pendidikan yang tidak kalah pentingnya negara
masih berpangku tangan.3
c. Signifikansi Partai Politik
Partai politik sekarang ini diciptakan oleh masyarakat bodoh.
Politisi, pengusaha menguasai semua keuntungan dari masyarakat
sehingga ia berbuat apa saja dengan keadaan masyarakat yang bodoh.
3 Ibid. Hasil Wawancara…
53
Seandainya masyarakat sudah cerdas maka politikus-politikus
“kacangan” akan tersingkir dengan sendirinya sehingga muncullah
politikus-politikus sejati, yang memihak dan memunculkan masyarakat
untuk menjadikan mereka cerdas dengan peran-peran penting.
Politik sekarang adalah politik yang mengurusi masyarakat
dengan kebodohannya sendiri, mereka sebenarnya takut masyarakat
menjadi cerdas karena secara otomatis masyarakat yang cerdas posisi
penguasa menjadi terancam. Bupati, Kepala Desa, Camat, ataupun
Presiden sekalipun tidak akan seenaknya sendiri.
Permasalahan berikutnya adalah apakah masyarakat mau
mengubah atau mengambil keuntungan dari realita. Tetapi kebanyakan
orang dan Indonesia sendiri masih sakit yang dengan senang hati
mengambil keuntungan dari realitas yang sakit ini. Realitas adalah
permainan, yang kita harus mengubahnya. Tatanan yang ada, kita
manipulasi untuk kepentingan pribadi atau kita manipulasi untuk
perbaikan generasi. Ikan menjadi besar bukan berarti harus di beri
makan, kalau ikan itu di taruh dalam aquarium yang sempit itu adalah
hal yang tidak ada gunanya. Kalau mau jadi ikan yang besar kita taruh
di danau, tidak diberi makan pun ia akan hidup sendiri. Ikan besar di
danau bukan karena tempat yang luas tetapi karena ruang gerak yang
banyak. Tapi ikan yang di taruh di aquarium kecil, setiap pagi diberi
makan, siang diberi makan, malam diberi makan sama saja ia akan
menjadi ikan yang kerdil.
Pendidikan di masa yang akan datang harus memberi ruang
gerak yang lebih luas agar ruang untuk berkreasi-pun besar. Kalau
untuk berpikir satu tahun maka tanamlah bibit, kalau untuk sepuluh
tahun maka tanamlah pohon, kalau untuk satu abad maka berilah
pendidikan yang benar, dan selagi kita tidak comitment terhadap
54
pendidikan yang benar maka bangsa kita tetap “katak dalam
tempurung”, tidak bisa menjadi bangsa yang besar.4
2. Hakikat Pendidikan
a. Pengertian Pendidikan
Pendidikan adalah proses pemanusiaan dan kemanusiaan,
proses bagaimana kita menjadikan manusia menjadi manusia secara
manusiawi.5 Hanya manusialah yang bisa menjadikan manusia
menjadi manusia sesungguhnya. Selain itu pendidikan adalah setiap
proses interaksi antara manusia dan lingkungannya yang menghasilkan
perubahan perilaku menuju kedewasaan dengan ciri utama
kebertanggungjawaban.6
b. Proses Pendidikan
Proses pendidikan dewasa ini masih cenderung berorientasi
pada dunia yang sangat pragmatis yaitu bagaimana orang dapat
memasuki dunia kerja. Secara hakiki memang orintasi tersebut tidak
serta-merta dibenarkan ataupun disalahkan, tetapi pada idealnya
pendidikan haruslah diorientasikan kepada “bagaimana seseorang
mampu mengubah dunia ini.” Rielnya lulusan pendidikan itu akan
dijadikan seperti apa, bukan dia akan memasuki dunia kerja seperti
apa, sehingga pendidikan menyentuh dimensi kreatif.
“Man behind the gun” manusia adalah yang mengkreasi
dunianya bukan dia dikreasi oleh dunia ini. Ada proses kreatif, proses
inovatif, dan proses mengubah diri bukan masuk pada sebuah proses
dimana ia pasrah pada keadaan.
Sebuah ilustrasi tentang kesenjangan pendidikan saat ini antara
lain bahwa: seperti kita tahu tentang eksistensi ayat pertama al-Qur’an
4 Ibid. 5 Ibid. 6 Draft Wawancara, Tanggal: 26 Januari 2006 di Gedung Guru (PGRI) Jl. Tanah Abang
III/24, Jakarta. Pukul: 12.00-14.00 WIB. Sudarwan Danim, Agenda…Op.Cit, hlm. 14.
55
dalam proses turunnya ke bumi adalah “Iqra,” tetapi mengapa di
negara kita yang mayoritas adalah muslim ternyata teknologi
terbelakang, sumber daya manusia rendah?
“Tuhan menurunkan wahyu dengan perantara kalam,” namun
di Indonesia adalah minat baca, angka partisipasi pendidikan,
pengetahuan ilmu pendidikan rendah, yang ini semua
mengindikasikasikan kualitas kita jauh dari realita yang sesungguhnya
dan inilah yang harus kita ubah.
Indonesia tingkat kebergantungan dengan negara lain sangat
tinggi. Ironisnya bangsa Indonesia sebenarnya tahu bahwa “Tuhan
tidak akan merubah suatu kaum kecuali bangsa itu mau mengubahnya
(Ar-Ra’d: 11)”. Akan menjadi salah alamat seandainya Indonesia
minta diubah oleh Amerika, Jepang atau negara yang lainnya.
Demikian juga sebaliknya bangsa Amerika tidak bisa diubah oleh
negara Jepang atupun Indonesia, yang bisa mengubah bangsa
Indonesia adalah bangsa Indonesia itu sendiri.7
Proses pendidikan diorientasikan pada pengkombinasian antara
konsep dasar pendidikan dengan hakikat dasar manusia “humanisme”
yang mengalami mengalami proses pendidikan itu.8
c. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan adalah pembentukan “jati diri,” sehingga
ada keseimbangan manusia sebagai makhluk individu, makhluk sosial
yang nantinya memegang mandat kultural, dan makhluk Tuhan yang
bisa memegang mandat Ilahiat. Itulah yang disebut dengan
keseimbangan antara “hablumminallah dan hablumminannas” yang
selama ini lebih diucapkan ketimbang diperbuat dalam praktek.9
7 Ibid Hasil Wawancara…. 8 Ibid Draft Wawancara… Sudarwan Danim, Agenda…hlm. 15. 9 Ibid, baca juga Sudarwan Danim, Agenda…hlm. 4.
56
Dalam pengembangan pendidikan sedapat mungkin diarahkan
pada pembentukan jati diri, seperti halnya ranah-ranah yang
dikembangkan oleh UNESCO yang titik puncaknya membentuk
bagaimana manusia hidup bersama.10
Selain itu, seperti pengertian pendidikan di atas esensi
pendidikan stresingnya adalah pada “proses perubahan perilaku.”
Seseorang tumbuh secara dewasa, sehingga secara pribadi, secara
sosial, secara ekonomi, dan sebagai makhluk Tuhan ia menunjukan
eksistensi. 11
Apapun bentuk pendidikannya, sebagai tujuan utamanya adalah
kedewasaan. Dan kedewasaan seseorang tidak ditentukan oleh jenjang
pendidikan. Bisa saja tamatan Sekolah Dasar lebih dewasa dan matang
daripada tamatan Perguruan Tinggi. Tamatan SD mempunyai
semangat hidup tinggi, kemandirian tinggi, kepekaan sosial tinggi,
kesadaran ke depan tinggi, memiliki kesadaran sebagai makhluk
Tuhan, bahkan kadang-kadang makin tinggi dan makin lama seseorang
mengenyam kependidikan semakin tinggi tingkat ketergantungannya.
Inilah bahaya pendidikan, makin lama bersekolah cenderung
makin menjadi pencari kerja. Oleh karena itu, semestinya lulusan
sarjana, ia menjadi pencari kerja dengan rasa egois yang tinggi karena
image lulusan yang tinggi juga berimbas pada pekerjaan yang tinggi
sesuai dengan image tersebut. Sementara orang-orang dengan jenjang
pendidikan yang lebih bawah dan lebih rendah, dia --tamat SD/SMP--
10 Ibid,Agenda…hlm. 15. UNESCO, Praktik pendidikan diorientasikan kepada paradigma kinerja sekolah dari the back to basics ke the forward to future basics, dengan titik tekan utama yaitu bagaimana berpikir (how to think), bagaimana belajar (how to learn), bagaimana menjadi manusia (how to be), bagaimana berkreasi (how to create), dan bagaimana menjalani kehidupan bersama (how to living together).
11 Manusia yang berani berbuat dan bertanggungjawab atas perbuatannya. Dewasa: pribadi, sosial, ekonomi maupun makhluk Tuhan. Ibid. Agenda… hlm. 4. Tujuan pendidikan juga membentuk manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki kepribadian dan semangat kebangsaan, cinta tanah air dan seterusnya yang pada akhirnya dapat membangun diri sendiri serta bersama-sama membangun bangsa. Sudarwan Danim, Media Komunikasi Pendidikan: Pelayanan Profesional Pembelajaran dan Mutu Hasil Belajar (Proses Belajar Mengajar di Perguruan Tinggi), (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 43 dan 130.
57
tidak mempunyai beban, nilai-nilai kewirausahaan, militansi, dan mutu
mungkin lebih kuat.12
Jadi tujuan pendidikan harus mampu menciptakan pendidikan
yang berkualitas dengan indikator:
a. Pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang mampu
menempuh manusia-manusia pembangunan yang dapat
membangun dirinya sendiri serta barsama-sama dapat membangun
bangsa dan negaranya,
b. dalam arti praktis, pendidikan dapat dikatakan berkualitas, jika
subjek keluaran pendidikan mampu memenuhi kebutuhan dasar,
yaitu (i) sandang, (ii) pangan, (iii) papan, (iv) kesehatan, dan (v)
pendidikan untuk anak-anak mereka.13
Yang ini semua akan menghasilkan tujuan akhir bahwa
manusia hidup layak di manapun mereka tinggal. Manusia yang dapat
hidup secara layak dapat berkiprah secara “total” dalam pembangunan
(minimal dalam skala kecil atau keluarga) dan kiprah itu dimaksudkan
untuk membantu percepatan upaya kesejahteraan sosial secara
keseluruhan.14
d. Materi/Kurikulum Pendidikan
Kurikulum bangsa Indonesia overload (beban mengajar banyak
dan beban belajar banyak) tetapi ini bukanlah permasalahan yang
urgen yang lebih mendesak adalah bagaimana kita, guru, siswa,
masyarakat “menjadikan belajar sebagai kebutuhan.”15
Sebagai analogi, seperti halnya “pekerjaan sebagai kebutuhan.”
Kalau saja kita ingin membabat hutan 1 ha, bagi orang yang malas
12 Op. Cit. Wawancara…. 13 Loc. Cit. Media…hlm. 140. 14 Ibid. hlm. 145. 15 Ibid…baca juga Sudarwan Danim, Menjadi Komunitas Pembelajar (Kepemimpinan
Tranformasional dalam Komunitas Organisasi Pembelajaran), (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 25.
58
pekerjaan 1 ha adalah pekerjaan yang berat, tetapi orang yang rajin
pekerjaan 1 ha adalah pekerjaan yang enteng. Dengan proses belajar
yang ada sekarang ini bagi siswa yang rajin maka moderat saja namun
sebaliknya bagi siswa yang malas maka beban itu menjadi sangat
berat.
Konsekuensi yang harus di reduksi memang harus ada
pembenahan tersendiri dengan kurikulum dan dari beban belajar yang
terlalu over. Kurikulum masa depan sudah menjadi keharusan terfokus
pada pemahaman subtansi materi secara mendalam, tidak perlu
banyak, saat ini siswa mengtahui hal banyak tetapi pemahamannya
sedikit.
Ke depan peserta didik didorong untuk mengetahui hal sedikit,
segment terbatas tetapi pemahamannya dan aplikasinya yang
mendalam, sehingga mampu membentuk tampilan yang riil dia dan
relevan dengan kebutuhan dia. Untuk mencapainya kita harus
membentuk “komunitas pembelajar/learning society”.16
Berbeda dengan Paolo Freire, politik penyadaran Paolo Freire
adalah penyadaran untuk melepas dari ketertindasan penguasa, sedang
kita justru bagaimana orang lepas dari ketertindasan, dimana dan siapa
yang menindas dia adalah “dirinya sendiri.” Kita tidak sadar bahwa
yang menindas adalah diri kita sendiri. Kemampuan belajar rendah,
rasa bersaing atau kompetitif17 rendah, selalu ingin mencapai hasil
16 Ibid Menjadi Komunitas... Manusia pembelajar komunitas pembelajar merupakan
orang yang menempatkan perbuatan belajar dalam totalitas skema kehidupannya, bukan sebatas skema sekolah atau ujian akhir.18. Sedangkan menurut Andreas Harefa yang di kutip dalam halaman 25-26 bahwa pertama, manusia yang berusaha mengenali hakikat dirinya, potensi, dan bakat-bakat terbaiknya, dengan selalu berusaha mencari jawaban yang lebih baik tentang beberapa pertanyaan ekstensial seperti Siapakah Aku? Dari Manakah Aku? Kemanakah Aku? Apakah yang menjadi tanggungjawabku dalam hidup ini? Dan kepada siapakah aku harus percaya? Kedua, berusaha sekuat tenaga untuk mengaktualisasikan segenap potensi itu, mengekspresikan dan menyatakan dirinya sepenuh-penuhnya, seutuh-utuhnya, dengan cara menjadi dirinya sendiri dan menolak untuk dibanding-bandingkan dengan sesuatu yang bukan dirinya.
17 Ibid Menjadi Komunitas… Kompetitif adalah salah satu keunggulan yang mampu merekayasa diri menuju ke arah dan kesesuaian dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dinamika sosial, dan kemanusiaan. Hlm 2.
59
yang instan dengan segala cara, inilah beberapa contoh bahwa kita
menindas diri kita sendiri.
Gambarannya adalah sama halnya orang melempar jumrah.
Kebanyakan orang menganggap itu sebagai simbol melempar syetan,
padahal melempar jumrah adalah sama dengan melempar tembok,
syetan yang kita lempar adalah syetan yang ada dalam diri kita.
Bermakna atau tidak melempar itu sangat ditentukan apakah diri kita
mampu memerangi syetan dalam diri kita.
Banyak sedikitnya perbandingan kurikulum dengan negara lain
memang kurikulum kita overloaded. Seandainya dipilih antara kedua-
duanya --kurikulum yang overloaded dan kesadaran akan belajar
sebagai kebutuhan-- maka membangun “kesadaran belajar” yang
sangat esensial dan menjadi “skala prioritas.”
C. Humanisme Pendidikan Prof. Dr. Sudarwan Danim
1. Pengertian Humanisme Pendidikan
Humanisme adalah dimensi manusiawi, bagaimana memposisikan
orang, baik dalam perilaku pendidikan, perilaku sosial, perilaku ekonomi,
dan perilaku yang lainnya mencerminkan sebuah pengakuan tentang jati
diri sebagai manusia yang berbeda dengan makhluk lain. Ketika berbicara
tentang dimensi manusia maka endingnya akan berkaitan dengan dimensi
fisik, dimensi psikologis, dan dimensi interaksi antara manusia dengan
lingkungannya.18
Kemanusiaan secara leksikal bermakna sifat-sifat manusia (berakal
dan berbudi), berperilaku selayaknya perilaku normal sebagai manusia,
atau bertindak dalam logika berpikir sebagai manusia.19
Dimensi kemanusiaan adalah lebih penting ketimbang dimensi-
dimensi yang lain (material). Selama ini manusia cenderung lebih
18 Ibid. 19 Op. Cit. Draft Wawancara…baca juga Agenda…hlm. 2.
60
mengedepankan dimensi materi sehingga kadang-kadang demi materi
badan menjadi rusak. Orang lebih menghargai simbol-simbol materi
daripada simbol-simbol individual, status daripada orang yang duduk di
atas status itu. Akibatnya dimensi kemanusiaannya lebih rendah daripada
dimensi-dimensi yang lain. Orang mempunyai mobil, mempunyai rumah
dengan serta-merta harkatnya naik, sedangkan orang-orang yang “kere”
serta-merta martabatnya turun, ini adalah contoh pemikiran-pemikiran
yang materialistik.
2. Tujuan Humanisme Pendidikan
Humanisme bermakna menjadikan manusia agar memiliki
kemanusiaan, menjadi manusia dewasa. Dewasa secara pribadi, sosial.
ekonomi maupun dewasa sebagai makhluk Tuhan. Manusia dalam arti
seutuhnya, atau proses memanusiakan manusia agar secara riel menjadi
manusia, dalam makna mampu menjalankan tugas pokok dan fungsi
secara penuh sebagai pemegang mandat Ilahiat dan kultural. Mandat
Ilahiat merujuk pada hubungan manusia dengan Tuhannya, berikut
perilaku yang dikehendaki didalamnya. Mandat kultural mengandung
makna sebagai insan berbudaya, manusia berinteraksi secara arif dan
bijaksana dengan sesama manusia dan lingkungannya.20
Seperti dikemukakan di atas, mestinya kita harus menfungsikan
manusia lebih atau kurangnya juga tidak hanya dimaknai dengan simbol-
simbol tersebut (material), tetapi justru bagaimana mempunyai eksistensi,
bagaimana ia mempunyai nilai-nilai pribadi. Sikap humanisme akan
memunculkan pengakuan terhadap dimensi religi. Pengakuan sebagai
makhluk Tuhan yaitu memandang bahwa manusia di Mata Tuhan adalah
sama. Hal ini secara mayoritas sepakat, tetapi pada kenyataannya yang
terjadi adalah deviasi-deviasi yang luar biasa. Humanisme atau pun
menempatkan manusia sebagai paham lebih memprioritaskan manusia
20 Op. Cit. Draft Wawancara… lihat juga Agenda…hlm. 4.
61
adalah segala-galanya, jika dibandingkan dengan sosok material manapun
kian tereduksi dari makna ideal.
Sikap religi dan humanis secara ekstrim tidak dapat untuk dipisah-
pisahkan antara satu dengan yang lainnya, antara keduanya haruslah
balance. Bagaimana mau menempatkan sisi religius kalau terdapat
diskriminasi terhadap manusia. Islam sendiri memandang bahwa tidak ada
diskriminasi tentang keseimbangan ini. Tuhan menciptakan manusia
beragam, bersuku-suku dengan tujuan untuk membangun persaudaraan.
Tetapi ironisnya para Kyai yang biasa “ngomong” tentang esensi ayat
tersebut justru terlibat dalam konflik. Ini membuktikan bahwa pengakuan
kita terhadap manusia belum jelas termasuk untuk yang se-agama
sekalipun. “Umat Islam adalah satu saudara, satu badan”, kalau satu
komponen sakit maka komponen yang lain sakit semua, dalam
kenyataannya kita begitu gampang membuat komponen-komponen
tersebut --seakan-akan kita tidak ingat lagi dengan apa yang kita katakan
tadi atau apa yang menjadi jargon tersebut-- sakit.
Dimensi religi tidak hanya tercerminkan dalam pengamalan-
pengamalan yang berhubungan langsung dengan Tuhan, tapi juga dalam
“action” pada dataran menyeluruh seperti bidang sosial, bidang ekonomi,
bidang politik, dan bidang kebudayaan, yang nantinya bisa secara multi-
dimensi eksis di dalam tataran kehidupan tersebut. Dimensi kultural yang
mengekang dan tidak manusiawi harus ditolak oleh semua orang, dalam
setting sejarah membuktikan seperti dominasi gereja di lawan oleh ajaran
Marx dan Nietche, Paolo Freire dengan politik pendidikan pada saat itu,
bahkan Muhammad SAW sendiri, ketika mengubah zaman jahiliyah
menjadi kejayaan Islam. Pengekangan kultural sama dengan pengekangan
terhadap humanisme sejati, yang pada dasarnya manusia mempunyai
potensi kreatif, inisiatif, obsesi, dan harapan ke depan (future).
Persoalannya sekarang adalah bagaimana ruang gerak tersebut sesuai
dengan koridor, dalam arti diikat oleh norma-norma. Norma-norma inilah
62
yang akan menilai sesuatu itu memiliki nilai produktif atau sebaliknya,
bukan bersandar pada kritera-kriteria personal apalagi kriteria struktural.
Selama ini kita membicarakan nilai kebersamaan tetapi nilai kebersamaan
selalu ditafsirkan bahwa “Anda harus sama dengan saya!” Padahal
kebersamaan muncul ketika kita sama-sama menerima perbedaan orang
lain, kalau kita mau bersedia menerima orang lain, itulah yang disebut
dengan “nilai-nilai kebersamaan” artinya hal yang sama di kembangkan,
yang berbeda dikembangkan bersama --pada hal yang berbeda tersebut--
pada ruang gerak masing-masing.21
D. Sekolah Anak Merdeka (SAM) sebagai Alternatif Pendidikan
Bebicara masalah sistem maka merupakan hal yang rumit, dimana
harus ada keterkaitan dan kesesuaian antara satu bagian dengan begian yang
lainnya. Demikian juga dalam pembaruan atau pembenahan sistem
pendidikan, tidak bisa dipisahkan pada skala ekstrim atas, ektrim menegah,
atau ekstrim bawah. Tetapi lebih pada skala subtansi. Karena kalau dari bawah
tetapi atas kurang mendukung adalah hal yang sia-sia, demikian pula
sebaliknya kalau dari atas sedangkan dari bawah tidak ada komitmen berarti
juga hal sia-sia. Subtansi yang dimaksud adalah apa saja yang harus kita
benahi dan dari mana kita memulai? Memang jikalau kita mengikuti
“logika arus air” sebagai proritas adalah dari atas dulu, karena kalau kita
cegah dari hulunya maka akan mudah mengatasi yang di hilir. Ingin
menertibkan Pak Camat maka tertibkan dulu Bupatinya, kalau Bupati tertib
maka Camat akan ikut tertib, Kadesnya ikut tertib. Lain halnya bila itu
merupakan “konsep teknologi” maka kita mulai dari yang detailnya, kalau
setiap komponen itu bermutu pasti totalitas juga bermutu. Tetapi jika
seseorang berdakwah akan mengatakan “ibda’ binafsih” mulai dengan diri
sendiri. Inilah yang kadang-kadang dijual oleh banyak pejabat “mulailah dari
diri sendiri” supaya mereka jangan dikritik.
21 Op. Cit. Hasil Wawancara…
63
Dalam skala prioritas, pembaruan pendidikan adalah “mulai dari
guru” yaitu menciptakan guru-guru yang terbaik. Caranya dengan memancing
orang untuk tertarik menjadi guru. Seperti kita ketahui, ketika Uni Soviet
mampu mengembangkan teknologi Sputnik maka Amerika-lah yang paling
rusak mukanya dalam hal ini, sehingga pakar-pakar berkumpul, orang-orang
tidak bertanya tentang politik, orang tidak bertanya tentang ekonomi, tetapi
apa yang salah dengan pendidikan Amerika? What is wrong with the modle
education?22
Agar guru dapat dibenahi, konsekuensinya gaji guru harus naik.
Diharapkan dengan inilah generasi potensial terinspirasi menjadi guru. Bangsa
yang rendah penghargaan terhadap guru adalah bangsa yang rendah
martabatnya. Bahkan ketika terjadi tragedi pemboman di Jepang Kaisar
Jepang pertama kali menanyakan berapa guru yang meninggal? Bukan berapa
tentara yang meninggal? Guru adalah simbol kecerdasan. Guru menghasilkan
Jenderal, tetapi Jenderal tidak bisa melahirkan Guru. Guru melahirkan dokter
tetapi dokter tidak bisa melahirkan guru kecuali dokter yang jadi guru. Tetapi
memang ini memerlukan waktu panjang belum tentu selesai dalam waktu se-
abad. Tidak bisa kita reformasi Undang-undang guru sekarang langsung
berhasil, KBK sekarang mutu pendidikan langsung hebat.
Waktu yang panjang ini memang patut untuk kita cermati, karena
penduduk Indonesia pada dasarnya belum siap karena kesadaran yang rendah,
sebagai bukti bahwa pembenahan pendidikan di negara kita memerlukan
waktu yang lama adalah ketika mutu pendidikan dinaikan menjadi 4,2 rakyat
langsung pada jatuh, padahal mutu pendidikan tersebut adalah mutu yang
sangat rendah. Mengapa kita tidak berani menaikkan dengan batas minimal
menjadi 7 atau 7,5 ? korbankan saja satu-dua angkatan, tetapi masa depan
pendidikan akan lebih baik. Pada saat ini, siswa-siswa yang pintar dengan
22 Makin mampu bangsa kita menata kualitas sumber daya manusia, makin mudah pula
usaha mewujudkan masyarakat bahagia atau masyarakat yang mempunyai mobilitas tinggi yang terhindar dari kemiskinan dan frustasi. Sudarwan Danim, Media Komunikasi Pendidikan… Op.Cit. hlm. 24.
64
belajar yang sedikit ia sudah lulus dan tidak belajar giat karena memang ia
cerdas karena kebanyakan masih berorientasi pada ijazah belum pada
kemampuan.23
1. Pengertian SAM sebagai Pendidikan Alternatif
Sesungguhnya UU Sisdiknas telah mewadahi tentang PA yaitu
tentang pendidikan informal, sekolah tidak harus dikembangkan dengan
rijid, sekolah bisa berlangsung di mana-mana seperti keluarga bisa
membangun sebuah tatanan pendidikan, keluarga berhak mendidik
anaknya, kelompok masyarakat berhak mendidik anaknya dengan caranya
sendiri. Dan apabila setelah itu ia --keluarga atau masyarakat-- ingin
memasukan anaknya pada institusi pendidikan maka ia mempunyai
kewenangan untuk mendaftarkan anaknya untuk diterima pada jenjang
yang sesuai, asalkan ia siap untuk diuji untuk penyetaraan. Sekolah harus
di kemas dalam multi-jalur, tidak harus ada ikatan-ikatan struktur, bayar
SPP, mendaftar dengan persyaratan umur.
Indonesia memang masih dalam tataran wacana, seharusnya ini
sudah menjadi action, karena UU Sisdiknas pada hakikatnya masih
terkesan setengah hati. Padahal di negara-negara tetangga --Malaysia--
sudah digalakkan sejak lama.
Sebagai contoh di Malaysia setiap orang ataupun keluarga
mempunyai kewenangan mendidik anaknya dengan tidak harus
mendaftarkan ke dalam sekolah formal. Di dalam lingkungannya dididik
oleh keluarga tersebut layaknya didikan di sekolah, setiap tahun diberi
ujian, dan setelah kira-kira menurut keluarga sudah setara dengan kelas
empat dan ingin mendaftarkan anak tersebut pada sekolah formal maka
tinggal di daftar pada kelas empat tetapi itupun diuji dahulu, seandainya
menurut ujian sekolah formal memang setara dengan kelas empat maka si
anak tersebut tinggal masuk pada kelas empat dan tidak harus mulai dari
kelas yang lebih rendah atau malah sebaliknya misal menurut penilaian ia
23 Op. Cit. Hasil Wawancara….
65
layaknya pada kelas lima maka iapun masuk pada kelas lima demikian
seterusnya. Beberapa hal ini yang kebanyakan orang menyebut dengan
accelerated learning.24
Secara global sekolah anak merdeka adalah sekolah yang proses
pendidikannya adalah penggabungan demokrasi pendidikan, humanisme
pendidikan dan otonomi pendidikan serta MBS, yang itu semua tidak
harus terlembaga. Dan terjadi dimana saja dan mengakui kemampuan atau
keterampilan atau accelerated learning.25
2. Tujuan SAM
Orientasi ke depan pendidikan lebih cenderung pada keterampilan,
kemampuan ketimbang pada legitimasi formal ijazah.26 Sebagai ilustrasi;
kewenangan gelar “Doctor Honoris Causa” adalah kewenangan Perguruan
Tinggi formal yaitu penghargaan kepada seseorang yang mempunyai
kemampuan atau kehebatan tertentu dan oleh PT sudah setara dengan
Doktor. Jadi masa depan yang dituntut adalah kesetaraan bukan legitimasi
formal sebuah ijazah. Doctor, Insinyur, Magister ataupun Profesor
sekalipun adalah simbol-simbol yang esensinya sama dengan simbol-
simbol yang lain, bermakna atau tidak simbol tersebut tergantung pada
individu yang memegang simbol tersebut mempunyai kemampuan yang
sesuai atau tidak.
PA pada dasarnya sudah ada kelas akselerasi dengan parameter
yang jelas, setiap orang bebas menentukan berapa tahun ia bersekolah
menurut kemampuannya. Jelas tidak mungkin orang yang “genius” sama
dengan orang yang biasa-biasa saja, sehingga dimungkinkan sekali orang
yang genius lulus lebih cepat bahkan mungkin dengan cukup dua tahun di
Sekolah Dasar, sedangkan orang yang biasa saja bisa lebih dari enam
tahun. Jadi PA memberikan keluasan dan demokrasi, daripada kesan
24 Ibid. 25 Draft Wawancara… 26 Ibid. Hasil Wawancara…baca Agenda…hlm 139.
66
sekolah sekarang yang anak-anak di organisir di kelas. Divisi individual di
beri kesempatan untuk berimajinasi dengan kemampuannya.
Sekolah pada dasarnya mempunyai dimensi kolektif dan dimensi
individual. Institusi memberi legitimasi ijazah sebagai ukuran seseorang
maka orang seharusnya diberi kebebasan untuk mendapatkannya. Karena
ijazah merupakan sebuah cerminan dari kemampuan. Masing-masing
orang berbeda sehingga memungkinkan orang yang mempunyai
kemampuan lebih (genius) dan kemampuan biasa saja akan berbeda pula
dalam persoalan ijazah tersebut, entah dari nilai atau waktu tempuhnya.
Sehingga dimensi kolektif dan individual harus seimbang dalam
memberikan stratifikasinya.
3. Kurikukulum SAM
Seperti pada pengertian dan tujuannya, maka setiap pendidik (di
luar institusi) harus mampu menguasai referensi kurikulum pendidikan
formal, karena untuk proses legitimasi maka harus setara dengan
kemampuan anak-anak di pendidikan formal, sehingga diharapkan si anak
mempunyai kemampuan yang ekuivalen dengan kemampuan yang
disesuaikan dengan kebutuhan riil kurikulum sekolah.
Persoalan yang muncul adalah anak yang dididik pada sekolah
formal saja masih di luar harapan, apalagi kalau PA di galakkan yang
penuh dengan nuansa membebaskan atau kemerdekaan yang seluas-
luasnya si anak. Inilah yang menjadi kendala selama ini dalam penggalak-
kannya. Pendidikan Alternatif dapat berjalan seandainya telah terjadi
proses pematangan, kedewasaan massal, termasuk orang tuanya sendiri,
dan pengakuan institusi-institusi publik terhadap divisi-divisi personal.27
4. Metode SAM
Metode adalah pilihan, lebih fleksibel. Metode dipilih mana yang
lebih efektif, berdasar pada subtansi materi, pada cara dan seting waktu.
27 Ibid. Hasil Wawancara…
67
Sebagai example: permasalahan kurikulum PAI jam pelajarannya harus
diperbanyak merupakan tindakan yang kurang subtantif. Yang paling
urgen adalah “bagaimana pendekatan agama menjadi bagian dari
pendekatan masyarakat?” sekolah tidak perlu memberi pelajaran al-
Fatihah kepada anak didik, bacaan shalat, dan sebagainya. Mestinya ia
seharusnya memberikan target saja, contoh dalam satu minggu siswa di
beri tugas untuk menghafal surat al-Fatihah, dalam waktu dua hari diberi
tugas menghafal dan mampu menulis bacaan do’a kepada orang tua,
demikian seterusnya. Jadi secara tidak langsung masyarakat dilibatkan.28
5. Evaluasi SAM
Manajemen sekolah sebisa mungkin didorong pada sebuah
otonomi. Mempunyai kewenangan yang lebih luas, sekolah menjadi
institusi akademik bukan institusi administrative. Sehingga intervensi
dinas dikurangi, intervensi Bupati dikurangi, karena setiap kekuasaan yang
terlalu besar dan mengintervensi dunia akademik maka dunia akademik
akan kalah, dan akhirnya akan membunuh kreatifitas akademik. Oleh
karena itu, pendekatan kekuasaan yang terjadi selama ini harus di ubah ke
arah pendekatan pemberdayaan. Asumsinya adalah asumsi dewasa bukan
asumsi childish atau kekanak-kanakan.
Evaluasi pendidikan alternatif dilakukan oleh masyarakat, jadi
berhasil atau tidaknya adalah penilaian masyarakat, karena masyarakat di
beri ruang yang lebih dominan daripada pemerintah. Sehingga dalam
penilaiannya mirip dengan konsep Manajemen Berbasis Sekolah.29
Jadi SAM adalah Sekolah yang diorganisasikan dengan pola
pendidikan yang kurikulumnya bersifat desentralistik, dimana anak didik
dapat memilih materi pembelajaran sesuai dengan minatnya atau
keterbakatannya, mengikuti kebutuhan anak dan lingkungan, biayanya murah,
sederhana, luwes birokrasinya, dan menempatkan anak sebagai subjek. Dan
28 Ibid. Hasil Wawancara…atau Draft Wawancara… 29 Agenda…hlm. 13.
68
metodologi pendidikannya pun berorientasi pada proses pendidikan yang
dilakukan secara dialogis serta memberi kesempatan yang sama antara kaum
laki-laki dan perempuan. Visi dan prospek pendidikan SAM ini akan
diorganisasikan sedemokratis mungkin, dengan titiktekan manajemen berbasis
sekolah.30
Demikian beberapa hal yang menjadi koreksi kita bersama tentang
kondisi pendidikan dewasa ini. Dan pada dasarnya apa yang telah
dikemukakan di atas mengindikasikan bahwa pendidikan di masa yang akan
datang paling tidak haruslah menyangkut:
1. pendidikan menuju arah pembentukan manusia sejati
2. negara mempunyai peran penting dalam rangka membangun
pendidikan.
Kalau kita gagal membangun manusia, gagal menjadi bangsa yang
benar-banar bermartabat. Pendidikan menjadi kunci masa depan. Nabi juga
memberikan arah bahwa bahagia di dunia harus berilmu, bahagia di akhirat
juga harus berilmu. Masalah politis adalah masalah yang sekunder, partai
politik tidak pernah jadi sejarah di Indonesia, kecuali sejarah yang merusak,
seperti PKI dan PRRI, tetapi Budi Utomo dan Sumpah Pemuda dan Indonesia
merdeka bukan karena partai politik, konsekuensinya pendidikan harus di
benahi agar membentuk insan yang bermakna.31
30 Agenda…Ibid. Hlm.140 31 Op.Cit. Hasil Wawancara…