bab iii metode istinbat hukum dan pandangan …eprints.walisongo.ac.id/7505/4/125112003_bab3.pdf ·...

30
45 BAB III METODE ISTINBAT HUKUM DAN PANDANGAN TOKOH PW MUHAMMADIYAH JAWA TENGAH TERHADAP KEPUTUSAN MAJELIS TARJIH & TAJDID PW MUHAMMADIYAH JAWA TENGAH A. Seputar Majelis Tarjih dan Tajdid PW Muhammadiyah 1. Sejarah dan latar belakang berdirinya Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah. Muhammadiyah adalah salah satu gerakan Islam terbesar di Indonesia. Ia merupakan pelopor gerakan pembaharuan Islam terdepan. Dalam aktivitasnya, Muhammadiyah bergerak dalam berbagai bidang, kecuali dalam bidang politik praktis (Rosyadi, 2012: 1). Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, selanjutnya ditulis Majelis Tarjih, adalah salah satu majelis yang dibentuk oleh Muhammadiyah untuk memayungi masalah-masalah keagamaan bagi warga Muhammadiyah, dan kaum Muslim Indonesia pada umumnya. Keberadaan Majelis tersebut merupakan hasil keputusan kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan pada tahun 1927, yang pelaksanaannya tidak bersamaan dengan kelahiran Muhammadiyah (Rosyadi, 2010: 165). Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi sosial keagamaan (Karim,1986: 5) yang berorientasi pada tajdid 1 (Zuhri, 1999: 53-54). 1 Organisasi Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 M. Istilah tajdid ini merupakan sebuah kata yang dipahami dalam berbagai persepsi dan interpretasi. Ada yang menganggap tajdid itu adalah pemurnian pemahaman dan pengamalan agama dengan kembali kepada teks al-Qur'an dan as-Sunnah. Ada pula yang

Upload: phamthu

Post on 27-Apr-2019

237 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III METODE ISTINBAT HUKUM DAN PANDANGAN …eprints.walisongo.ac.id/7505/4/125112003_Bab3.pdf · persoalan sosial seperti transplantasi organ tubuh, asuransi, operasi plastik,

45

BAB III

METODE ISTINBAT HUKUM DAN PANDANGAN TOKOH PW

MUHAMMADIYAH JAWA TENGAH TERHADAP KEPUTUSAN

MAJELIS TARJIH & TAJDID PW MUHAMMADIYAH JAWA TENGAH

A. Seputar Majelis Tarjih dan Tajdid PW Muhammadiyah

1. Sejarah dan latar belakang berdirinya Majelis Tarjih dan Tajdid

Muhammadiyah.

Muhammadiyah adalah salah satu gerakan Islam terbesar di Indonesia. Ia

merupakan pelopor gerakan pembaharuan Islam terdepan. Dalam aktivitasnya,

Muhammadiyah bergerak dalam berbagai bidang, kecuali dalam bidang politik

praktis (Rosyadi, 2012: 1). Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, selanjutnya

ditulis Majelis Tarjih, adalah salah satu majelis yang dibentuk oleh

Muhammadiyah untuk memayungi masalah-masalah keagamaan bagi warga

Muhammadiyah, dan kaum Muslim Indonesia pada umumnya. Keberadaan

Majelis tersebut merupakan hasil keputusan kongres Muhammadiyah ke-16 di

Pekalongan pada tahun 1927, yang pelaksanaannya tidak bersamaan dengan

kelahiran Muhammadiyah (Rosyadi, 2010: 165).

Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi sosial

keagamaan (Karim,1986: 5) yang berorientasi pada tajdid1 (Zuhri, 1999: 53-54).

1Organisasi Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912

M. Istilah tajdid ini merupakan sebuah kata yang dipahami dalam berbagai persepsi dan

interpretasi. Ada yang menganggap tajdid itu adalah pemurnian pemahaman dan

pengamalan agama dengan kembali kepada teks al-Qur'an dan as-Sunnah. Ada pula yang

Page 2: BAB III METODE ISTINBAT HUKUM DAN PANDANGAN …eprints.walisongo.ac.id/7505/4/125112003_Bab3.pdf · persoalan sosial seperti transplantasi organ tubuh, asuransi, operasi plastik,

46

Pengertian Tajdid dari segi bahasa yaitu pembaharuan, dan dari segi istilah

memiliki dua arti, yaitu:

1. Pemurnian.

2. Peningkatan, pengembangan, modernisasi atau yang semakna dengannya.

Praktek dalam melaksanakan tajdid pada kedua pengertian istilah tersebut

diperlukan akal budi yang bersih yang dijiwai oleh ajaran Islam serta aktualisasi

akal pikiran yang cerdas. Karena menurut mereka, tajdid merupakan watak dari

ajaran Islam (Djamil, 1995; 57-58). Oleh karena itu, ada sesuatu yang perlu di

perbaharui karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

Pada dasarnya tajdid itu ada 2 target yang hendak dicapai, yaitu pembaharuan

dalam arti mengembalikan pada keaslian atau kemurniannya. Target yang kedua,

yaitu pembaharuan dalam arti modernisasi. Dengan demikian, sasaran dari arti

yang kedua ini meliputi pembaharuan terhadap metode, sistem, tehnik, strategi,

taktik perjuangan dan lain-lain yang sifatnya selalu berubah serta disesuaikan

dengan situasi dan kondisi (Zuhri, 1999: 54).

Syafi‟i Ma‟arif (Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2000-2005)

mengartikan tajdid itu adalah usaha dan upaya intelektual Islam untuk

menyegarkan, memperbaharui pengertian dan penghayatan umat Islam terhadap

agamanya berhadapan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat (Djamil,

1995: 11-15).

berpendapat bahwa tajdid adalah mengaktualisasikan pesan agama dengan kembali kepada

spirit al-Qur'an dan as-Sunnah

Page 3: BAB III METODE ISTINBAT HUKUM DAN PANDANGAN …eprints.walisongo.ac.id/7505/4/125112003_Bab3.pdf · persoalan sosial seperti transplantasi organ tubuh, asuransi, operasi plastik,

47

Adapun kerja tajdid adalah kerja ijtihad yang sangat strategis dalam

membumikan ajaran-ajaran Islam dalam konteks ruang dan waktu. Tajdid berarti

pembaruan dalam hidup keagamaan, baik berbentuk pemikiran ataupun gerakan,

sebagai reaksi atau tanggapan terhadap tantangan-tantangan internal maupun

eksternal yang menyangkut keyakinan dan urusan sosial umat (Djamil, 1997; 42).

Dalam menetapkan masalah ijtihad, lebih khususnya adalah masalah

ijtihadiyah, dapat menggunakan sistem ijtihad jama‟iy. Dengan demikian,

pendapat perseorangan dari majelis tidak dipandang kuat. Hal ini, selain agar apa

yang dipedomani sebagai hasil ijtihad itu sebagai hasil yang konprehensif, juga

persyaratan memenuhi hasil kriteria pelaku ijtihad, atau mujtahid, sangatlah berat

(Asjmuni, 2012; 196-197). Hal senada juga dikuatkan oleh Tolchah Hasan, bahwa

dengan menggunakan ijtihad jama‟iy lebih menjamin kualitas dan

kevaliditasannya, karena melibatkan ahli-ahli ilmu yang menjadi objek kajian

(Zuhri, 1999; 58).

Sejalan dengan isu tajdid yang berkembang, Muhammadiyah sebagai gerakan

pembaharu sudah tentu melepaskan diri dari fanatisme mazhab tertentu, karena

kefanatikan disamping membelenggu perkembangan pemikiran sekaligus

berlawanan dengan identitasnya sebagai gerakan tajdid yang berupaya

mengaktualisasikan pemahaman dan penetapan hukum yang relevan dengan

perkembangan zaman (Syakirman, 1994: 100). Dengan banyaknya fanatisme

mazhab yang muncul dan persoalan khilafiyah yang semakin meruncing

dikalangan ulama dalam memahami ayat-ayat al-Qur'an saat itu, maka langkah

Page 4: BAB III METODE ISTINBAT HUKUM DAN PANDANGAN …eprints.walisongo.ac.id/7505/4/125112003_Bab3.pdf · persoalan sosial seperti transplantasi organ tubuh, asuransi, operasi plastik,

48

yang harus dilakukan adalah membentuk suatu wadah khusus yang

menanganinya.

Pembentukan Majlis tarjih juga didasarkan atas kekhawatiran bahwa

pertikaian yang dijumpai dalam masyarakat Islam pada umumnya mungkin sekali

masuk ke dalam organisasi Muhammadiyah sendiri dengan kemungkinan

menghambat kemajuan organisasi (Noer, 1973: 93). Maka pada Muktamar XVI

pada tahun 1927 di Pekalongan Jawa Tengah, K.H. Mas Mansur, (Asjmuni,1985;

29),2 mengusulkan agar Muhammadiyah memiliki sebuah lembaga khusus yang

mengkaji persoalan-persoalan hukum Islam yang akan dibuat pedoman oleh

warga Muhammadiyah pada khususnya dan masyarakat Islam Indonesia pada

umumnya (Ensklopedi Hukum Islam, 1997: 1064).

Adapun alasan yang melatar belakangi Mas Mansur mengemukakan usul

tersebut adalah adanya anggapan bahwa keberadaan ulama sangat diperlukan

dalam tubuh Muhammadiyah untuk mengawasi gerak langkah perjuangannya agar

tidak menyimpang apalagi bertentangan dengan Al-Qur'an dan al-Sunnah3

(Basyir, 1997: 270). Lain halnya dengan penelitian Syakirman yang mengatakan

bahwa alasan mengenai ide lembaga khusus itu berkait erat dengan kondisi umat

waktu itu, yaitu kebekuan berfikir dan fanatisme mazhab (Syakirman, 1994; 101).

Terlepas dari alasan-alasan yang melatarbelakanginya, ide Mas Mansur

mengenai pendirian lembaga khusus tersebut diterima dan disetujui adanya

2 KH. Mas Mansur saat itu menjabat sebagai Hoofd Bes Buur Muhammadiyah di daerah

Surabaya dan pada saat itu pimpinan pusat Muhammadiyah dipegang KH Ibrahim

.

Page 5: BAB III METODE ISTINBAT HUKUM DAN PANDANGAN …eprints.walisongo.ac.id/7505/4/125112003_Bab3.pdf · persoalan sosial seperti transplantasi organ tubuh, asuransi, operasi plastik,

49

pendirian lembaga dengan nama Majelis Tarjih (1997; 1064). Keputusan ini

kemudian disahkan pada Muktamar Muhammadiyah XVII pada tahun 1928 di

Yogyakarta, sekaligus menunjuk KH Mas Mansur sebagai ketua oleh panitia

perumus.

Adapun susunan pengurus Majelis Tarjih periode awal ini adalah sebagai

berikut (Nasir, 1997; 56):

a. KH Mas Mansur (sebagai ketua)

b. KH. R.Hadjid (sebagai wakil ketua)

c. H. M. Aslam Zainudin (sebagai sekretaris)

d. H. Jazari Hasyim (sebagai wakil sekretaris)

e. KH. Baidawi, KH. Hanad, KH. Wasil, KH. Falil dll (sebagai anggota)

Meskipun Majelis Tarjih secara resmi disahkan pada muktamar XVII, namun

pada dasarnya dalam muktamar XVI di Pekalongan sudah terdapat keputusan

pembentukan majelis dan belum disahkan. Dan adapun faktor utama yang

melatarbelakangi lahirnya Majelis Tarjih ini menurut hasil penelitian Asmuni dkk

dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu (Asjmuni, 1985; 37):

a. Faktor Internal

Faktor internal adalah keadaan yang berkembang dalam tubuh

Muhammadiyah sendiri yaitu hal-hal yang timbul sebagai akibat dari perluasan

dan kemajuan yang dicapai oleh persyarikatan ini. Misalnya dalam waktu yang

relatif singkat, kurang lebih tujuh tahun sejak berdirinya, organisasi ini telah

menyebar keseluruh pulau Jawa. Hal ini menjadikan lemahnya kontrol pimpinan

terhadap sinkronisasi terhadap penyelenggaraan amal usaha dengan asas yang

Page 6: BAB III METODE ISTINBAT HUKUM DAN PANDANGAN …eprints.walisongo.ac.id/7505/4/125112003_Bab3.pdf · persoalan sosial seperti transplantasi organ tubuh, asuransi, operasi plastik,

50

melandasi perjuangan Muhammadiyah. Oleh karena itu keadaan tersebut

menuntut adanya pembidangan penanganan masalah yang ada, sehingga

dibentuklah Majelis Tarjih.

b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah perkembangan-perkembangan yang terjadi pada umat

Islam pada umumnya diluar Muhammadiyah, yang dalam hal ini adalah

perselisihan faham mengenai masalah-masalah khilafiyah. Pertentangan dan

perselisihan itu mengancam keutuhan Muhammadiyah, sehingga mendorong

pembentukan Majelis Tarjih. Pada awal berdirinya, lembaga ini lebih banyak

mencurahkan perhatian pada persoalan-persoalan khilafiyah dalam masalah

ibadah. Sampai tahun 1953 Majelis Tarjih baru membahas dan mengkaji

persoalan-persoalan khilafiyah dan beberapa masalah praktis yang berhubungan

dengan warga Muhammadiyah. Pada tahun 1954-1955 pokok bahasanya mulai

berkembang, yaitu mengkaji sumber ajaran Islam secara global, yang sebenarnya

telah dirintis sejak tahun 1935 (Ensklopedi Hukum Islam, 1997;1064).

Sejak tahun 1960 dalam muktamar Muhammadiyah di Pekalongan, sesuai

perkembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia, Majelis Tarjih mulai

membahas berbagai persoalan hukum kontemporer baik yang telah dibahas oleh

ulama fikih klasik maupun yang sama sekali belum terjadi dan belum dibahas di

zaman klasik. Misalnya masalah pembatasan kelahiran, perburuhan dan hak milik.

Sejak tahun 1968-1989 pembahasan Majelis Tarjih Muhammadiyah mulai

terpusat pada berbagai persoalan kontemporer, khususnya yang berkaitan dengan

Page 7: BAB III METODE ISTINBAT HUKUM DAN PANDANGAN …eprints.walisongo.ac.id/7505/4/125112003_Bab3.pdf · persoalan sosial seperti transplantasi organ tubuh, asuransi, operasi plastik,

51

persoalan sosial seperti transplantasi organ tubuh, asuransi, operasi plastik, aborsi,

KB, bayi tabung dan lain lain (Ensklopedi Hukum Islam, 1997; 1064).

Sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan ilmu dan teknologi, sejak

muktamar di Banda Aceh tahun 1995, Majelis Tarjih disempurnakan dengan nama

Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam. Dalam perkembangannya,

Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam tersebut, pada tahun 2000

banyak menghasilkan keputusan-keputusan musyawarah nasional tarjih XXIV

yang menyangkut tentang kaidah-kaidah pokok Majelis Tarjih dan Pengembangan

Pemikiran Islam, seperti tuntutan manasik haji, taharah, tuntunan Ramadhan,

zakat fitrah dan zakat mal, tuntutan keluarga sakinah dan masalah keagamaan

kontemporer, seperti penanggulangan HIV, penyalahgunaan narkoba, HAM dan

perdagangan saham atau valas), tafsir al- Qur'an tematik tentang hubungan sosial

antar umat beragama, serta strategi gerakan tajdid dan pengembangan pemikiran

Islam (Berita Resmi Muhammadiyah, 2002; 126-148).

Pembahasan tentang pemikiran Islam yang dihasilkan oleh Majelis Tarjih di

atas menunjukkan keseriusan Majelis Tarjih di dalam melahirkan pengembangan

pemikiran Islam dari suatu lembaga di dalam naungan organisasi sosial

keagamaan Muhammadiyah yang selalu komitmen terhadap pembaharuan

pemikiran dan penghayatan agama atau yang sering kita kenal sebagai gerakan

tajdid.

Page 8: BAB III METODE ISTINBAT HUKUM DAN PANDANGAN …eprints.walisongo.ac.id/7505/4/125112003_Bab3.pdf · persoalan sosial seperti transplantasi organ tubuh, asuransi, operasi plastik,

52

2. Kedudukan dan peran Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah

Pembentukan Majelis Tarjih dan Tajdid pada tahun 1928 merupakan

manifestasi cita-cita untuk menunaikan Islam secara murni. Dengan berdirinya

Majelis Tarjih, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam bercorak tajdid telah

memiliki wadah khusus yang berkompeten untuk membicarakan, merumuskan,

serta memberi pertimbangan terhadap berbagai persoalan yang dihadapi,

khususnya dalam rangka memelihara umat dari kebingungan dan perselisihan

karena perbedaan pendapat dan fanatisme.

Kata majelis berarti dewan atau lembaga yang memiliki anggota. Sedangkan

pemaknaan tarjih menurut Muhammadiyah adalah musyawarah bersama para

tokoh ahli untuk meneliti, membandingkan, menimbang, dan memilih dari segala

masalah yang diperselisihkan guna mendapatkan alasan yang lebih kuat, lebih

mendasar, lebih besar, dan lebih dekat dengan sumber utama (Zuhri, 1999:101).

Mencermati pengertian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa Majelis Tarjih dalam

Muhammadiyah adalah suatu lembaga yang dibentuk Muhammadiyah yang terdiri

dari orang-orang yang dipandang ahli, guna membantu persyarikatan dalam

menetapkan hukum melalui prosedur pemilihan salah satu diantara beberapa

pendapat yang dipandang dalilnya lebih kuat.

Adapun fungsi utama majelis ini adalah merumuskan kembali Islam yang

sebenarnya untuk dijadikan pedoman dalam pengamalan dan penerapannya, baik

oleh pimpinan maupun anggota dan membimbing umat, memberikan arah,

menyampaikan fatwa keagamaan dan memberikan sesuatu sebagai dasar

Page 9: BAB III METODE ISTINBAT HUKUM DAN PANDANGAN …eprints.walisongo.ac.id/7505/4/125112003_Bab3.pdf · persoalan sosial seperti transplantasi organ tubuh, asuransi, operasi plastik,

53

pembenaran keagamaan yang dapat dipahami umat dalam suatu konsep yang

terpublikasi secara terencana dan meluas agar masalah dan tantangan yang

tumbuh bisa dimengerti dan dijawab dengan semangat rahmat lil „alamin (Fanani,

2010; 44). Selain dari itu, tugas dan fungsi dari majelis ini adalah bertanggung

jawab mengambil keputusan ketarjihan, mengembangkan pemikiran-pemikiran

pembaharuan dalam keislaman dan menampung aspirasi baru yang tumbuh

dikalangan umat (Fanani, 2010; 44-45). Karena fatwa dan kepastian hukum itu

sangat perlu bagi warga Muhammadiyah, agar terhindar dari masalah khilafiyah

yang dapat menjurus kepada perpecahan umat.

Dalam Muhammadiyah, tarjih merupakan salah satu metode penetapan hukum

dalam upaya untuk menghindarkan taklid buta terhadap salah satu mazhab

4(Asjmuni 2002: 3-4). Untuk itu langkah Majelis Tarjih dan Tajdid tersebut dapat

dikatakan membawa angin segar dan pembaharuan dalam masalah-masalah

hukum (Syakirman, 1994: 96).

Berpijak kepada ungkapan di atas, Majelis Tarjih dan Tajdid merupakan sarana

tajdid dalam bidang hukum, mengadakan pembaharuan atau tajdid atas

pemahaman agama di Indonesia merupakan misi utama yang diembannya. Dalam

bidang tajdid ini Muhammadiyah membagi ke dalam tiga bidang wilayah garapan.

Tiga bidang itu adalah bidang keagamaan, pendidikan, dan kemasyarakatan

(Zuhri: 55-56). Sebagai lembaga fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid tentunya tidak

4 Menurut bahasa kata tarjih berasal dari rajjaha yang berarti memberi

pertimbanganlebih dari pada yang lain. Sedangkan menurut istilah, Ali Hasballah

merumuskan dengan “menampakkan kelebihan salah satu dari dua dalil yang sama dengan

sesuatu yang menjadikan lebih utama dari yang lain dalam ungkapan atau penggunaannya

Page 10: BAB III METODE ISTINBAT HUKUM DAN PANDANGAN …eprints.walisongo.ac.id/7505/4/125112003_Bab3.pdf · persoalan sosial seperti transplantasi organ tubuh, asuransi, operasi plastik,

54

dapat lepas dari problema hukum masyarakat, karena hukum adalah sesuatu yang

erat kaitannya dengan masyarakat. Ia lahir dan tumbuh dalam masyarakat, dan

memang hukum sangat dibutuhkan agar tercipta keadilan, ketentraman dan

keselamatan masyarakat.

Dengan demikian Majelis Tarjih dan Tajdid di dalam organisasi

Muhammadiyah memiliki kedudukan yang sangat penting, sebab ia merupakan

institusi yang membantu perjalanan Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi

sosial kemasyarakatan yang bergerak pada proses tajdid dan sangat membantu

dalam perkembangan hukum Islam di Indonesia apabila majelis ini mampu

memberi corak dan warna sesuai dengan kultur bangsa Indonesia.

Majelis ini memiliki tugas berat yang harus diembannya apabila ingin

mempertahankan predikat “pembaharu”. Adapun tugas pokoknya adalah

membahas masalah-masalah keagamaan masyarakat maupun yang diperselisihkan

oleh para ulama. Namun seiring dengan perjalanan sejarahnya, tugas pokok yang

diemban Majelis Tarjih dan Tajdid semakin kompleks. Hal ini dapat dilihat pada

putusan-putusan tentang tugas Majelis Tarjih dan Tajdid dari tahun 1929-1989

yang selalu dalam penyempurnaan-penyempurnaan (Fanani, 2010; 42-43).

Dengan semakin besarnya tantangan pemikiran keislaman, nama Majelis

Tarjih pun mengalami beberapa modifikasi. Pada muktamar ke-43 di Banda Aceh

tanggal 6-10 Juli 1995, nama Majelis Tarjih berubah menjadi Majelis Tarjih dan

Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI). Nama tersebut kemudian berubah lagi

Page 11: BAB III METODE ISTINBAT HUKUM DAN PANDANGAN …eprints.walisongo.ac.id/7505/4/125112003_Bab3.pdf · persoalan sosial seperti transplantasi organ tubuh, asuransi, operasi plastik,

55

pada Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang tahun 2005 menjadi Majelis

Tarjih dan Tajdid (MTT) (Shobron dalam Fanani, 2010; 43).

Perubahan tersebut membawa pula kepada perubahan tugas dan fungsi Majelis

Tarjih. Secara umum, sebenarnya tugas Majelis Tarjih adalah sama dengan

majelis-majelis lain yang ada dalam organisasi Muhammadiyah, yaitu sebagai

unsur pembantu pimpinan yang menjalankan sebagian tugas pokok

Muhammadiyah5. Secara spesifik, MTT memiliki fungsi dan tugas sebagai

berikut:

a. Mendampingi dan membantu pimpinan persyarikatan dalam membimbing

anggota dalam melaksanakan ajaran Islam

b. Mempergiat pengkajian dan penelitian agama Islam dalam rangka

pelaksanaan tajdid dan mengantisipasi perkembangan masyarakat.

c. Menyampaikan fatwa dan pertimbangan kepada pimpinan persyarikatan

Muhammadiyah guna menentukan kebijakan dalam menjalankan

kepemimpinan serta membimbing umat, khususnya anggota dan keluarga

Muhammadiyah.

d. Membantu pimpinan persyarikatan dalam mempersiapkan dan meningkatkan

kualitas ulama.

e. Menyalurkan perbedaan pendapat/faham keagamaan kearah yang lebih

maslahat rahmat lil „alamin (Fanani, 2010: 43-44).

5 Lihat Anggaran Dasar Muhammadiyah yang ditetapkan di Muktamar Muhammadiyah

ke-45 di Malang 3-8 juli 2005, bab VII pasal 20 ayat (1) dan (2)

Page 12: BAB III METODE ISTINBAT HUKUM DAN PANDANGAN …eprints.walisongo.ac.id/7505/4/125112003_Bab3.pdf · persoalan sosial seperti transplantasi organ tubuh, asuransi, operasi plastik,

56

Dari tugas yang dibebankan di atas, agaknya tidak begitu salah bila Majelis

Tarjih dan Tajdid dinyatakan sebagai lembaga fatwa bagi organisasi

Muhammadiyah. Dengan begitu MajelisTarjih dan Tajdid memiliki peranan yang

sangat signifikan sekali dalam hal mempertahankan ciri khas persyarikatan

Muhammadiyah sebagai organisasi yang bergerak dalam hal tajdid dan

memurnikan ajaran Islam yang menjadi cita-cita organisasi Muhammadiyah.

3. Produk-Produk Hukum Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.

Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah membagi produk-produk

hukum MajelisTarjih ke dalam tiga kategori, yaitu; keputusan Tarjih, Fatwa Tarjih

dan Publikasi Tarjih.

1. Keputusan Tarjih

Keputusan tarjih adalah keputusan resmi Muhammadiyah dalam bidang

agama. Keputusan ini bukan keputusan Majelis Tarjih dan Tajdid serta tidak

mengikat organisasi secara formal, walaupun dalam praktik terkadang diabaikan

dan banyak warga Muhammadiyah tidak memahaminya atau bahkan tidak

mengetahui beberapa butir penting dari padanya (Tim Majelis Tarjih dan Tajdid

PP Muhammadiyah, 2006: 12).

2. Fatwa

Fatwa adalah jawaban Majelis Tarjih dan Tajdid terhadap pertanyaan-

pertanyaan masyarakat mengenai masalah-masalah yang memerlukan penjelasan

dari segi hukum syariah. Sesuai dengan sifat fatwa pada umumnya, fatwa Majelis

Page 13: BAB III METODE ISTINBAT HUKUM DAN PANDANGAN …eprints.walisongo.ac.id/7505/4/125112003_Bab3.pdf · persoalan sosial seperti transplantasi organ tubuh, asuransi, operasi plastik,

57

Tarjih dan Tajdid tidak mengikat baik terhadap organisasi maupun anggota

sebagai perorangan. Bahkan fatwa tersebut dapat dipertanyakan dan dapat

didiskusikan (Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2006: 12).

Mekanisme pembuatan fatwa dalam Majelis Tarjih dan Tajdid adalah bahwa

peminta fatwa mengirim surat permintaan fatwa (riq‟ahal-fatwa) kepada redaksi

majalah Suara Muhammadiyah dan oleh redaksi surat itu diteruskan ke Majelis

Tarjih dan Tajdid c/q Devisi Fatwa. Oleh devisi tersebut ditunjuk salah

seorang pengurus Majelis untuk membuat draf awal fatwa guna menjawab

pertanyaan yang diajukan. Kemudian draf itu didiskusikan dan setelah mencapai

kata sepakat draf tadi diperbaiki dan dikirim ke redaksi Suara Muhammadiyah

untuk ditebitkan melalui majalah tersebut. Terkadang bila sangat diperlukan

naskah fatwa itu dikirim langsung kepada penanya atau yang berkepentingan.

Akan tetapi ada juga fatwa yang diterbitkan tanpa permintaan melainkan atas

inisiatif Majelis Tarjih dan Tajdid sendiri.

Ada beberapa keuntungan menggunakan metode fatwa dalam penyebaran

tuntunan dan peningkatan pemahaman keagamaan. Antara lain adalah bahwa

metode fatwa lebih dinamis dan lebih ringan biayanya. Dikatakan lebih dinamis

adalah karena ia dapat lebih cepat memberi respon terhadap berbagai isu aktual,

dan apabila telah diputuskan sementara terjadi perkembangan baru yang

membawa variabel baru pula yang menuntut perubahan hukum, maka fatwa lebih

mudah untuk diperbaharui karena mekanisme pembuatnya yang lebih sederhana

dan tidak berbiaya tinggi. Berbeda dengan fatwa, putusan tarjih lebih lamban

karena musyawarah tarjihannya dapat diselenggarakan satu kali atau paling

Page 14: BAB III METODE ISTINBAT HUKUM DAN PANDANGAN …eprints.walisongo.ac.id/7505/4/125112003_Bab3.pdf · persoalan sosial seperti transplantasi organ tubuh, asuransi, operasi plastik,

58

banyak dua kali dalam lima tahun, sehinggga daya responnya terhadap persoalan

masyarakat lebih lamban6.

3. Wacana

Wacana adalah gagasan-gagasan atau pemikiran yang dilontarkan dalam

rangka memancing dan menumbuhkan semangat berijtihad yang kritis serta

menghimpun bahan-bahan atau stock ide mengenai berbagai masalah aktual

dalam masyarakat. Wacana-wacana tarjih tertuang dalam berbagai publikasi

Majelis Tarjih dan Tajdid seperti Jurnal Tarjih dan berbagai buku yang diterbitkan

(Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2006: 12).

B. Metode Istinbat Hukum Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Tajdid

PW Muhammadiyah Jawa Tengah

1. Pengertian istinbat hukum

Metode Istinbat adalah cara-cara bagaimana menemukan atau menggali

ketentuan-ketentuan hukum Islam dari sumber-sumbernya, yaitu Al-Qur‟an dan

hadis. Oleh karena itu perlu dibahas lebih lanjut tentang sumber-sumber hukum

dalam pandangan Muhammadiyah.

Dalam Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, dalam bab Qiyas

dijelaskan sebagai berikut:7

1. Setelah persoalan qiyas dibicarakan dalam waktu tiga kali sidang, dengan

mengadakan tiga kali pemandangan umum dan satu kali Tanya jawab

antara kedua belah pihak.

6Tim Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Fatwa-fatwa Tarjih:

Tanya Jawab Agama 5 (Suara Muhammadiyah: Jakarta, 2006), hlm. 12 7Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tajih

Muhammadiyah, cet. Ke-3 (Yogyakarta: Persatuan Baru, t.t.t), hal. 277-278.

Page 15: BAB III METODE ISTINBAT HUKUM DAN PANDANGAN …eprints.walisongo.ac.id/7505/4/125112003_Bab3.pdf · persoalan sosial seperti transplantasi organ tubuh, asuransi, operasi plastik,

59

2. Setelah mengikuti dengan teliti akan jalannya pembicaraan dan alasan-

alasan yang dikemukakan oleh kedua belah pihak, dan dengan

MENGINSYAFI bahwa tiap-tiap keputusan yang diambil olehnya itu

hanya sekedar mentarjihkan diantara pendapat-pendapat yang ada, tidak

berarti menyalahkan pendapat yang lain.

Memutuskan:

a. Bahwa dasar mutlak untuk berhukum dalam agama Islam adalah Al-

Qur‟an dan Al-Hadits.

b. Bahwa dimana perlu dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan

sangat dihajatkan untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang tidak

bersangkutan dengan ibadah mahdlah, padahal untuk alasan diatasnya

tiada terdapat nash sharih di dalam al-Qur‟an dan sunnah shahihah, maka

dipergunakanlah alasan dengan jalan ijtihad dan istinbat daripada nash-

nash yang ada, melalui persamaan „illat sebagaimana telah dilakukan

ulama-ulama salaf dan khalaf.

Kemudian pada bagian lain dari Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah,

ketika mendefinisikan agama Islam dikatakan:

“Agama yakni agama Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad saw ialah apa

yang diturunkan Allah di dalam Qur‟an dan yang tersebut dalam sunnah yang

sahih berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk

untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat.8

Selanjutnya dalam penjelasan muqadimah anggaran dasar dan kepribadian

Muhammadiyah dikatakan: “Muhammadiyah dalam memahami atau istinbat

hukum agama ialah kembali kepada al-Qur‟an dan sunnah shahihah dengan

mempergunakan akal pikiran yang cerdas dan bebas dengan memakai cara yang

menurut istilahnya dinamakan tarjih, ialah dalam satu permusyawaratan dengan

merundingkan pendapat-pendapat dari ulama-ulama (baik dari dalam maupun luar

Muhammadiyah, termasuk pendapat ulama-ulama) untuk kemudian mengambil

mana yang dianggap mempunyai dasar dan alasan yang lebih kuat.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan tiga hal sebagai berikut:

a. Bahwa sumber-sumber hukum Islam menurut Muhammadiyah hanyalah

dua saja, yaitu Al-Qur‟an dan hadis yang sahih.

8Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tajih

Muhammadiyah, cet. Ke-3 (Yogyakarta: Persatuan Baru, t.t.t), hal. 276

Page 16: BAB III METODE ISTINBAT HUKUM DAN PANDANGAN …eprints.walisongo.ac.id/7505/4/125112003_Bab3.pdf · persoalan sosial seperti transplantasi organ tubuh, asuransi, operasi plastik,

60

b. Bahwa dalil-dalil ghairu nash, seperti qiyas, istislah, istihsan, dan lain-

lain, yang oleh ulama-ulama hukum Islam pada umumnya sebagai sumber

hukum, oleh Muhammadiyah tidak dinamakan sumber hukum dalam

Islam, melainkan merupakan alat bantu atau metode menggali hukum

(thariqah al-istinbat).

c. Bahwa, terutama dari huruf b kutipan pertama dalam Himpunan Putusan

Majelis Tarjih Muhammadiyah metode istinbat seolah-olah terbatas pada

qiyas saja, karena pada huruf dalam kutipan itu dikatakan bahwa dalam

keadaan yang sangat mendesak atau tidak ada nas yang sarih serta

masalahnya tidak merupakan kasus ibadah, maka dapat digunakan alasan

dengan jalan ijtihad dan istinbat pada nash atas dasar persamaan „illat.

Jadi sumber hukum dalam Muhammadiyah adalah Al-Qur‟an dan hadis sahih

dan bahwa yang selain itu hanyalah alat atau metode belaka untuk mengeluarkan

hukum dari sumber-sumbernya. Bagaimanapun rumitnya sebuah problematika,

pendapat ulama-ulama majelis tarjih dan tajdid Muhammadiyah tentang sumber-

sumber hukum Islam yang jelas secara resmi menurut Muhammadiyah hanya ada

dua, yaitu Al-Qur‟an dan hadis.

Setelah kita mengetahui sumber-sumber hukum Muhammadiyah, maka untuk

mengeluarkan hukum dari sumber-sumbernya itu diperlukan istinbat. Kata

istinbath masdar dari kata kerja (fi‟il) istanbatha-yastanbithu. Artinya,

mengeluarkan makna dari suatu ungkapan kata. Dalam Al-Qur‟an surat Al-

Nisa(4) ayat 83, kata “yastanbitu” digunakan dalam arti mengembalikan pada

pengertian pada sumber aslinya. Secara etimologis, istinbath berarti mengeluarkan

Page 17: BAB III METODE ISTINBAT HUKUM DAN PANDANGAN …eprints.walisongo.ac.id/7505/4/125112003_Bab3.pdf · persoalan sosial seperti transplantasi organ tubuh, asuransi, operasi plastik,

61

air dari tanah. Sedang terminologinya, menurut ahli ushul-fiqh adalah

“mengeluarkan makna-makna (maksudnya hukum-hukum) dari nash (teks)

dengan menumpahkan pikiran dan kemampuan” (Asjmuni, 2002; 194-195).

Jalan-jalan istinbath yang ditempuh ahli ushul fiqih dalam usahanya, ialah

dengan memahami makna ungkapan itu dari segi:

a. Penetapan kata itu ada yang dimaksudkan umum atau khusus.

b. Penggunaanya ada yang digunakan dalam arti majazi (metafora).

c. Jelas dan tidak jelasnya makna.

d. Petunjuknya, denotatif atau konotatif.

Ada yang menyamakan ijtihad itu dengan istinbath dan ada pula yang

membedakannya. Dalam keputusan Muktamar Tarjih, kedua kata itu dihubungkan

dengan kata ”dan” bukan “atau”, dan hal itu mengandung perbedaan.

Kalau kita pahami kedua istilah tersebut berbeda. Maka, istinbath adalah

mengeluarkan hukum dari nash Al-Qur‟an atau hadits Nabi, baik yang

mengandung makna yang sudah jelas (qath‟i) maupun yang tidak jelas (zhanni).

Sedang Ijtihad adalah usaha mencari hukum dari kandungan nash yang kurang

jelas (zhanni), bahkan yang tidak ditunjukkan sama sekali oleh nash al-Qur‟an

maupun al-Hadits (Asjmuni, 2002; 195).

Di dalam pokok-pokok manhaj tarjih disebutkan;

“Tidak mengikatkan diri kepada sesuatu madzab tetapi pendapat-pendapat Imam

Madzab dalam menetapkan hukum dapat diterima, sepanjang sesuai dengan jiwa

Al-Qur‟an dan Al-Sunnah atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat.”

Ungkapan itu terdapat pada poin ke-3 Pokok-pokok Manhaj Tarjih. Maksud

ungkapan tersebut adalah, bahwa Muhammadiyah, termasuk Majelis Tarjih dan

Page 18: BAB III METODE ISTINBAT HUKUM DAN PANDANGAN …eprints.walisongo.ac.id/7505/4/125112003_Bab3.pdf · persoalan sosial seperti transplantasi organ tubuh, asuransi, operasi plastik,

62

Tajdid, tidak mengikatkan dirinya kepada salah satu mazhab, karena memang

tidak ada perintah Al-Qur‟an atau hadis untuk itu. Namun demikian pendapat-

pendapat imam madzhab akan menjadi pertimbangan, sesuai dengan kedudukan

mereka sebagai ilmuwan. Hal ini sesuai dengan sikap Muhammadiyah, yaitu tetap

menjunjung tinggi ilmu yang sesuai dengan jiwa Al-Qur‟an dan Al-Sunnah.

Jelasnya Muhammadiyah tidak menjauhi ulama-ulama sebagai ilmuwan, tetapi

Muhammadiyah tidak mengkultuskan individu mereka. Sikap Muhammadiyah

dan Majelis Tarjih dan Tajdid ini dapat dililhat pada uraian terakhir masalah lima

(Asjmuni, 2002; 198).

2. Metodologi Istinbath Hukum dalam Muhammadiyah

Cara-cara istinbath hukum dalam Lembaga Tarjih Muhammadiyah, atau

manhaj tarjih Muhammadiyah, di antaranya sbb:

1. Nash yang qath‟i. Mengenai hal ini tidak ada masalah. Tidak boleh

diperdebatkan lagi, tidak ada lapangan ijtihad padanya.

ص صرثح بال يسبغ نإلجتهبد في قطعي

Tidak ada lapangan/peluang bagi ijtihad dalam masalah yang sudah ada nashnya

yang sharih lagi qath‟i (Abd al-Wahhab Khalaf, tt; 13-14).

2. Terdapat nash namun saling diperselisihkan, atau nash itu satu dengan

yang lain saling bertentangan, atau nash itu mempunyai nilai yang

berbeda, maka Lembaga Tarjih Muhammadiyah menempuh cara sbb:

a. Tawaqquf (kebuntuhan hukum), yaitu bersikap membiarkan tanpa

mengambil keputusan, karena kedua dalil atau lebih yang saling bertentangan

Page 19: BAB III METODE ISTINBAT HUKUM DAN PANDANGAN …eprints.walisongo.ac.id/7505/4/125112003_Bab3.pdf · persoalan sosial seperti transplantasi organ tubuh, asuransi, operasi plastik,

63

tersebut tidak lagi dapat dikompromikan dan tidak dapat dicarikan alternatif

mana yang dianggap terkuat.9

b. Tarjih, yaitu mengambil jalan yang lebih kuat di antara dalil-dalil yang

bertentangan dengan jalan memilih satu alternatif dalil yang dianggapnya lebih

kuat. Dalam hal bertarjih ini cara yang ditempuh, yaitu Jarh (cela) lebih

didahulukan daripada ta‟dil sesudah keterangan yang jelas dan sah menurut

anggapan syara‟.

Penting untuk diperhatikan bahwa riwayat orang yang telah terkenal suka

melakukan tadlis dapat diterima bila ia menerangkan bahwa apa yang ia

riwayatkan itu bersanad sambung, sedang tadlisnya tidak sampai tercela. Selain

itu, penting pula untuk digarisbawahi bahwa pendapat sahabat akan perkataan

musytarak pada salah satu artinya wajib diterima. Begitu pula dengan penafsiran

sahabat antara arti kata yang tersurat dengan yang tersirat, maka arti kata yang

tersurat itu yang diutamakan / diamalkan.

Jam‟u, yaitu menjama‟, atau menggabung, atau menghimpun antara kedua

dalil atau lebih yang saling bertentangan dengan melakukan penyesuaian-

penyesuaian. Misalnya jika ada hadis ahad yang shahih namun bertentangan

dengan prinsip dasar ajaran Islam, maka bisa jadi atau ada kemungkinan hadis itu

bersifat insidental atau anjuran yang tidak mengikat (Suara Muhammadiyah,

1965: 31).

3. Mengenai masalah-masalah yang tidak ada nashnya, sedangkan

terhadapnya diperlukan ketentuan hukumnya dalam masyarakat. Dalam

9Sebagai contoh adalah mengenai qunut dalam shalat witir, di mana terdapat dua dalil,

antara satu dengan yang lain sama kuatnya. Lihat PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih,

op.cit., h. 369

Page 20: BAB III METODE ISTINBAT HUKUM DAN PANDANGAN …eprints.walisongo.ac.id/7505/4/125112003_Bab3.pdf · persoalan sosial seperti transplantasi organ tubuh, asuransi, operasi plastik,

64

hal semacam ini Lembaga Tarjih Muhammadiyah berusaha mengeluarkan

hukum atau menetapkan dengan jalan ijtihad dengan berpedoman kepada

prinsip-prinsip ajaran Islam, seperti prinsip kemaslahatan, menolak

kemafsadatan, serta memberikan atau menetapkan sesuatu hukum dengan

beralasan adanya darurat yang dapat menimbulkan kemudharatan (Suara

Muhammadiyah, 1965: 17).

C. Menikahi wanita hamil akibat zina berdasarkan hasil

Keputusan Musyawarah Wilayah Tarjih Muhammadiyah, di Sragen

Jawa Tengah, 7-8 April 2007

Keputusan Majelis Tarjih tentang nikah hamil akibat zina ada dua pendapat.

Pendapat pertama, yaitu pendapat mayoritas, membolehkan menikahi wanita

hamil akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya tanpa syarat. Dasarnya

adalah:

a. Berdasarkan: QS. An-Nisa‟ ayat 22-24,

“dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini ayahmu.. (QS.an-

Nisa: 22)

..

diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan

saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan;

saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-

Page 21: BAB III METODE ISTINBAT HUKUM DAN PANDANGAN …eprints.walisongo.ac.id/7505/4/125112003_Bab3.pdf · persoalan sosial seperti transplantasi organ tubuh, asuransi, operasi plastik,

65

saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang

perempuan.. (QS.an-Nisa:23)

(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu) (QS.an-

Nisa:23)

(dan diharamkan bagimu) ibu-ibu isterimu (mertua) (QS.an-Nisa:23)

…dan anak-anak perempuan istri-istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri

yang telah engkau campuri.. (QS.an-Nisa:23)

(dan diharamkan bagimu) menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan

yang bersaudara, sebagai istri) (QS.an-Nisa:23)

….

Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (QS.an-Nisa‟ ayat 24)

b. QS. an-Nur ayat 3:

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina,

atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini

melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian

itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin” (Sakho, 1992: 543).

c. HR. Abu Dawud yang berbunyi :

ال يحم اليرئ يؤي ثباهلل وانيىو االخر ا يسقي يبءه زرع غيره )رواه اثى داود(

“tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir

menyiramkan airnya (maninya) ke ladang orang lain” (Sunan Abu Dawud Juz II:

425).

d. Wanita hamil di luar nikah tidak memiliki iddah sehingga boleh saja menikahi

wanita hamil tersebut dengan tidak harus menunggu ia melahirkan, dan setelah

menikah boleh melakukan hubungan seksual.

Page 22: BAB III METODE ISTINBAT HUKUM DAN PANDANGAN …eprints.walisongo.ac.id/7505/4/125112003_Bab3.pdf · persoalan sosial seperti transplantasi organ tubuh, asuransi, operasi plastik,

66

e. Nilai-nilai universal dalam syariat Islam tentang perkawinan yang mengacu

pada Maqashid Syari‟ah, yakni menjaga nasab.

f. Untuk mendapatkan kepastian hukum bagi anak yang dilahirkan.

g. Mengurangi beban psikologi pada anak atau bayi yang lahir tanpa ayah.

h. Menjaga hak anak untuk memperoleh perwalian, pengasuhan dan pewarisan

dari laki-laki yang menjadi ayah.

i. Landasan Qaidah Fiqhiyyah yang menyatakan bahwa:

الضرر يزال

“kemadharatan harus dihilangkan” (al-Zurqo: 302)

Dan أعظهب ضرارا ثب رتكب ة أخفهبإذا تعب رض يفسد تب روعي

“apabila ada dua kemadharatan berkumpul, maka harus dipilih yang paling

ringan” (Al-Zurqa: 201-202).

Pendapat yang kedua, yaitu pendapat minoritas (dalam hal ini penulis mengambil

informasi dari H. Moch Zaid10

), membolehkan menikahi wanita hamil akibat zina

dengan laki-laki yang menghamilinya dengan syarat:

a. Bahwa wanita hamil akibat zina mempunyai/ menjalani masa iddah, yaitu

sampai melahirkan kandungannya.

b. Wanita hamil tidak boleh dipergauli kecuali setelah melahirkan.

c. QS. at-Thalaq ayat 4

“Dan perempuan-perempuan yang mengandung itu iddah mereka ialah hingga

mereka melahirkan kandungan mereka”( Depag RI, 1992; 946).

d. Kaidah fikih: ي استعجم شيئب قجم اواه عى قت ثحر يبه

10

Beliau adalah delegasi dari Wonosobo, wawancara pada tanggal 9 November 2014 via

Hp.

Page 23: BAB III METODE ISTINBAT HUKUM DAN PANDANGAN …eprints.walisongo.ac.id/7505/4/125112003_Bab3.pdf · persoalan sosial seperti transplantasi organ tubuh, asuransi, operasi plastik,

67

“barangsiapa menyegerakan sesuatu sebelum waktunya, maka ia akan

mendapatkan sangsi dengan tidak mendapatkannya” (al-Suyuti, 1970: 103)

Dan انغبيه ال تجررانىسيهه اال ثب ندنيم

“tidak boleh menghalalkan segala macam cara untuk mencapai tujuan” (Talqihul

afham, juz 3:23).

Putusan majelis Tarjih di Sragen Jawa Tengah, 7-8 April 2007 ini tawaqquf

(deadlock), yaitu bersikap membiarkan tanpa mengambil keputusan, karena kedua

dalil atau lebih yang saling bertentangan tersebut tidak lagi dapat dikompromikan

dan tidak dapat dicarikan alternatif mana yang dianggap terkuat. Putusan tersebut

tidak berpihak pada kubu yang mayoritas maupun minoritas, sehingga adanya

pendapat yang minoritas ini menganulir pendapat yang lain 11

(wawancara dengan

Bpk. Ahmad Arif Budiman, M.Ag)12

.

D. Pandangan Tokoh Pimpinan Wilayah Jawa Tengah Terhadap

Putusan Majelis Tarjih & Tajdid Tentang Menikahi Wanita Hamil

Akibat Zina

Menurut pandangan tokoh Pimpinan Wilayah dalam membahas persoalan

Menikahi Wanita Hamil Akibat Zina bertitik tolak dari dua hal, yang peneliti

rangkum hasil wawancaranya dengan membagi dua kelompok, pertama kelompok

yang membolehkan menikahi wanita hamil akibat zina tanpa syarat

(membolehkan), kedua: membolehkan menikahi wanita hamil akibat zina dengan

syarat (menolak).

11

Sebagai contoh adalah mengenai qunut dalam shalat witir, di mana terdapat dua dalil,

antara satu dengan yang lain sama kuatnya. Lihat PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih,

op.cit., h. 369 12

Beliau adalah salah satu kubu yang mayoritas, presentator makalah menikahi wanita

hamil di Sragen.7-8 April 2007. Wawancara pada tanggal 1 November 2014 di Fak Syari‟ah

Page 24: BAB III METODE ISTINBAT HUKUM DAN PANDANGAN …eprints.walisongo.ac.id/7505/4/125112003_Bab3.pdf · persoalan sosial seperti transplantasi organ tubuh, asuransi, operasi plastik,

68

2. Kelompok pertama:

a. Bapak Arif Budiman, MAg , wakil bendahara PW Muhammadiyah Jateng,

dosen Syariah UIN Walisongo Semarang dan aktif di beberapa lembaga

bantuan hukum di dalam kampus maupun di luar kampus. Beliau

berpendapat bahwa boleh menikahi wanita hamil akibat zina asal dengan

laki-laki yang menghamilinya. Alasan kemaslahatan lebih dominan,

sehingga komitmen menegakkan moralitas bagi nasab anak dan dampak

psikologis bagi wanita hamil. Menurut pak Arif, di dalam pasal KHI itu

sendiri tidak menentukan syarat apapun, disamping ayat al-Qur‟an, hadis

dan ushul fiqh, jadi hukum sudah memadai kecuali ada hal-hal lain yang

merubah nantinya.

Peneliti menganalisis bahwa pandangan bapak Arif Budiman, MAg ini realitas

yang terjadi di masyarakat karena hancurnya masa depan seseorang yang

ketahuan hamil akibat zina tidak segera dinikahkan. Namun dampak dari

kebolehan ini akan menjadikan hukum terkesan sangat longgar, meski hanya bagi

laki-laki yang menghamilinya.

b. Bapak H. Ahmad Furqon, Lc, MA, dosen FEBI UIN Walisongo (Sekjur),

anggota Majelis Tarjih & Tajdid PW Muhammadiyah. Ia berpendapat

diperbolehkan menikahi wanita hamil, bagi laki-laki yang tidak

menghamilinya, karena wanita hamil karena zina tidak ada masa iddahnya.

Dasarnya hadis Nabi saw: al-Walad lil Firasy wa lil ahir Hajar. Menurut

pak Ahmad, secara hukum tidak ada masalah wanita hamil akibat zina

menikah karena tidak ada larangannya, yang perlu dilakukan adalah

Page 25: BAB III METODE ISTINBAT HUKUM DAN PANDANGAN …eprints.walisongo.ac.id/7505/4/125112003_Bab3.pdf · persoalan sosial seperti transplantasi organ tubuh, asuransi, operasi plastik,

69

bagaimana mencegah praktek perzinahan terjadi, yaitu dengan

menegakkan hukum yang menjerakan bagi pelaku zina. Bapak Ahmad

menambahi, bagi laki-laki yang menghamili bukan karena perkosaan,

harus menikah dengan perempuan yang dihamilinya sebagai bentuk

pertanggung jawaban.

Analisis peneliti, menurut pendapat pak Ahmad Furqon pertanggung jawaban dari

laki-laki yang menghamilinya ataupun yang tidak menghamilinya lebih di

kedepankan untuk menolong nasab anak dan psikologis wanita yang hamil akibat

zina tersebut.

c. Bapak H. Imron Rosyadi, sekretaris MTT PWM Jateng, Staf pengajar

prodi Hukum Ekonomi Syariah UMS Surakarta. Beliau berpendapat

bahwa wanita hamil tetap dilarang dinikahi oleh laki-laki kecuali yang

menzinainya. Ia boleh dinikahi saat ia hamil maupun pasca melahirkan

oleh laki-laki pasangannya zinanya. Setelah melahirkan, ia boleh dinikahi

oleh siapa pun laki-laki.

Menurut pak Imron, ia berbeda pendapat dengan Ibn Qudamah, wanita hamil

tersebut sudah memiliki kebebasan untuk memilih laki-laki yang dipilihnya

sebagaimana sebelum menjalani hukuman, sedangkan anak hasil hubungan zina

memiliki hubungan biologis dengan laki-laki yang menzinainya. Hubungan ini

bisa diqiyaskan dengan hubungan biologis dengan saudara sesusuan. Meski punya

hubungan biologis tetapi tidak bisa saling mewarisi. dan tidak berlaku juga pada

saudara sesusu.

Page 26: BAB III METODE ISTINBAT HUKUM DAN PANDANGAN …eprints.walisongo.ac.id/7505/4/125112003_Bab3.pdf · persoalan sosial seperti transplantasi organ tubuh, asuransi, operasi plastik,

70

Terkait dengan keputusan Majelis Tarjih PWM Jateng beliau sepakat, menurut

pak Imron syariat pernikahan dalam Islam itu terkait dengan upaya hukum Islam

menata keturunan yang jelas (hifdzun Nasl). Dengan menjaga keturunan ini

kehidupan masyarakat khususnya hubungan manusia menjadi tertib. Sebagai

upaya menjaga syariat pernikahan Islam melarang perbuatan berkhalwat dan

perzinaan. Untuk menjaga larangan ini diberlakukan sanksi yang dapat dijadikan

sebagai hukuman yang dapat menjerakan, tidak hanya untuk pelakunya tapi juga

untuk orang lain agar tidak melakukan yang sama. Jadi, aturan pernikahan dan

larangan perzinaan merupakan upaya hukum Islam sebagai kontrol sosial dan

menata masyarakat di masa depan.

Perlu adanya tarjih lagi, dan revisi ulang atau pasal khusus dalam hukum

positif di Indonesia, kalau tidak direvisi dengan hukum akan berdampak menjadi

longgar karena kontrol sosial lebih efektif lewat hukum, sekarang kontrol

sosialnya lemah dan hukumnya lemah bahkan tambah lemah sehingga orang akan

lebih mudah untuk melawan hukum.

2. Kelompok kedua:

a. H. Moh. Zaid, anggota Majelis Tarjih & Tajdid PW Muhammadiyah

Wonosobo. Beliau berpendapat menolak menikahi wanita hamil akibat zina /

membolehkan tetapi dengan syarat yaitu wanita yang hamil tersebut harus

melahirkan terlebih dahulu, dan bertaubat terlebih dahulu. Alasannya hukum

agama harus tegas dan ditegakkan فؤالئك هى انفبسقى وي نى يحكى ثب اسل اهلل .

Menurutnya, harus ada efek jera bagi pelakunya karena dampak kedepan

masyarakat akan menganggap enteng hukum agama. Ditambah prosentase

Page 27: BAB III METODE ISTINBAT HUKUM DAN PANDANGAN …eprints.walisongo.ac.id/7505/4/125112003_Bab3.pdf · persoalan sosial seperti transplantasi organ tubuh, asuransi, operasi plastik,

71

terbesar pernikahan dini dan dapat dispensasi nikah dari hakim karena faktor

nikah hamil akibat zina. Wala takkhud ra‟fakum “jangan merasa kasihan”, pada

orang yang berbuat zina. Padahal dalam al-qur‟an dan hadis tegas dalam

menegakkan hukum, karena kasus wanita hamil di masa nabi tidak ada dinikahkan

adanya menunggu sampai anak tersebut lahir, disusui. KHI harus di revisi dan

harus diadakan lagi tarjih ulang terkait dengan hukum nikah hamil akibat zina.

b. Dr. H. Zuhad. MA, ketua Majelis Waqaf PW Muhammadiyah Jateng, dosen

UIN Walisongo. Ia berpendapat kalau memakai / Frame Imam Syafi‟I tidak

membolehkan nikah sebelum wanita tersebut melahirkan terlebih dahulu. Jadi

kalau hamil tidak boleh menikah, kalau tidak memakai hukum syar‟I/ sisi yang

lain akan membuat kelonggaran hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum

agama. Sehingga akan memperlemah kontrol sosial, hukum itu hubungannya

dengan kemaslahatan kehidupan sosial. Kalau tidak diperbolehkan dampaknya

orang tidak akan berani melakukan tindakan-tindakan melanggar hukum. Kalau

dinikahkan itu akan mendorong orang akan menganggap enteng pelanggaran-

pelanggaran hukum seperti itu. Beliau cenderung setuju dengan pendapat Imam

Syafi‟I, tentang kasus menikahi wanita hamil akibat zina yang terdapat dalam

pasal 53 KHI tersebut harus menunggu kelahiran anak, meski tidak ada dalil yang

secara tegas, namun kemaslahatan lebih dominan, ada efek jera kepada

masyarakat.

Terkait dengan Putusan Majelis Tarjih PW Muhammadiyah di Sragen tersebut

menurut Dr. Zuhad bahwa suatu keputusan itu dipengaruhi banyak faktor,

berbagai kepentingan, ada tarik menarik disitu. Kalau yang membuat putusan

Page 28: BAB III METODE ISTINBAT HUKUM DAN PANDANGAN …eprints.walisongo.ac.id/7505/4/125112003_Bab3.pdf · persoalan sosial seperti transplantasi organ tubuh, asuransi, operasi plastik,

72

tersebut (mayoritas) karena banyak mempertimbangkan kemaslahatan, kontrol

sosial atau tenggang rasa. Kalau yang putusan (minoritas) melihat dari sisi

hukumnya akan meminimalkan pertimbangan-pertimbangan subjektif tersebut

karena ada pertimbangan hukum yang terjadi lingkungan masyarakatnya atau

dipengaruhi oleh pandangan-pandangan yang lain. Seperti contoh fakta MUI

dalam memutuskan suatu masalah hukum di landasi banyak faktor (ekonomi,

keagamaan, social, budaya dll).

Menurut pak Zuhad perlu adanya tarjih lagi, karena hukum akan berdampak

menjadi longgar sebab kontrol sosial lebih efektif lewat hukum. Sekarang kontrol

sosial semakin lemah dan hukumnya tambah lemah sehingga orang akan lebih

mudah untuk melawan hukum. Dampak hukum itu untuk kemaslahatan kedepan

bukan untuk sesaat. Dicontohkan oleh pak Zuhad, misal kalau ada mahasiswa

yang terlambat datang kemudian dilarang masuk kelas, nantinya mahasiswa yang

lain akan seperti itu, ada efek jera. Jadi, menurut beliau tujuan untuk memperbaiki

situasi dan merancang keadaan masyarakat kedepan itu bisa lebih baik, dengan

diterapkan hukum yang tepat, kalau hukum banyak ditoleransi akan berdampak

menjadi longgar.

Analisis peneliti terkait dengan 2 (dua) tokoh diatas, (kelompok kedua), sama

pemikirannya dalam masalah menikahi wanita hamil akibat zina tidak setuju kalau

dinikahkan dengan alasan hukum harus ditegakkan tanpa memberikan

kelonggaran kepada pelaku.

Menurut peneliti, tokoh-tokoh PW Muhammadiyah (kelompok satu dan

kelompok kedua), mengharapkan KHI segera direvisi dan ada pasal khusus

Page 29: BAB III METODE ISTINBAT HUKUM DAN PANDANGAN …eprints.walisongo.ac.id/7505/4/125112003_Bab3.pdf · persoalan sosial seperti transplantasi organ tubuh, asuransi, operasi plastik,

73

tentang hukum menikahi wanita hamil akibat zina tersebut. Terkait dengan

keputusan di Sragen kelompok pertama sepakat, namun kelompok kedua

berpendapat perlu diadakan tarjih ulang sehingga ada kepastian hukum terkait

dengan kasus tersebut.

Kelompok pertama menggunakan metode maslahah mursalah dengan

mempertimbangkan fenomena di masyarakat yang masih banyak terjadi kasus

nikah hamil sehingga kemaslahatan lebih dominan untuk menyelamatkan nasib

nasab anak dan psikologis / aib wanita hamil akibat zina tersebut. Namun, berbeda

dengan kelompok kedua lebih menggunakan metode sadd az-Dzari‟ah bertujuan

untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah di masyarakat di

berlakukannya hukum yang tegas dengan cara membolehkan menikahi wanita

hamil setelah anak akibat zina tersebut lahir dan harus bertaubat terlebih dahulu.

Hasil Musyawarah Wilayah Jawa Tengah di Sragen ini tawaqquf, meskipun

mayoritas delegasi / peserta dari berbagai daerah bersepakat membolehkan

menikahi wanita hamil akibat zina tanpa syarat namun dari peserta / kubu daerah

Wonosobo memberikan pendapat lain yaitu menolak / membolehkan menikahi

wanita hamil akibat zina tetapi dengan adanya syarat.

Page 30: BAB III METODE ISTINBAT HUKUM DAN PANDANGAN …eprints.walisongo.ac.id/7505/4/125112003_Bab3.pdf · persoalan sosial seperti transplantasi organ tubuh, asuransi, operasi plastik,

74