bab ii tinjauan pustaka a. kecerdasan emosi 1. pengertian kecerdasan...
TRANSCRIPT
-
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kecerdasan Emosi
1. Pengertian Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri
dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan
tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan
menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir,
berempati dan berdoa (Goleman, 2018). Selain itu, Salovey dan Mayer
(dalam Goleman, 2000), berpendapat bahwa kecerdasan emosi
merupakan kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan
sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk
memandu pikiran dan tindakan. Individu yang mempunyai kecerdasan
emosi yang tinggi akan mampu mengatasi berbagai masalah atau
tantangan yang muncul dalam hidupnya.
Cooper dan Sawaf (dalam Rahmasari, 2012) mendefinisikan
kecerdasan emosi sebagai kemampuan merasakan, memahami, dan
secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber
energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi.
Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk memotivasi diri
sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan
-
14
hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan
menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir,
berempati dan berdoa pada individu yang mengalami perubahan secara
fisik maupun psikis dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.
2. Komponen-komponen Kecerdasan Emosi
Menurut Salovey (dalam Goleman, 2018), komponen-komponen
kecerdasan emosi ada lima:
a. Mengenali emosi diri
Mengenali emosi adalah kemampuan untuk memantau
perasaan dari waktu ke waktu dan kemampuan mengenali perasaan
sewaktu perasaan itu terjadi. Berarti memiliki keyakinan yang lebih
tentang perasaannya, mempunyai kepekaan lebih tinggi akan
perasaan yang sesungguhnya atas pengambilan keputusan-
keputusan masalah pribadi, mulai dari masalah siapa yang akan
dinikahi sampai ke pekerjaan apa yang akan diambil.
b. Mengelola emosi
Mengelola emosi adalah kemampuan untuk menguasai
perasaannya sendiri agar perasaan tersebut dapat diungkapkan
dengan tepat. Berarti mampu menangani emosi sedemikian rupa
sehingga berdampak positif terhadap pelaksanaan tugas, peka
terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum
tercapainya suatu sasaran, mampu pulih kembali dari tekanan emosi,
-
15
serta dapat kembali bangkit dengan jauh lebih cepat dari
kemerosotan dan kejatuhan dalam kehidupan.
c. Memotivasi diri sendiri
Memotivasi diri sendiri adalah kemampuan untuk menata
emosi sebagai alat dalam mencapai tujuan. Berarti menggunakan
hasrat pada diri yang paling dalam untuk menggerakkan dan
menuntun diri sendiri menuju sasaran, menahan diri terhadap
kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, sehingga orang-orang
yang memiliki keterampilan ini cenderung lebih produktif dan
efektif dalam hal apapun yang dikerjakan.
d. Mengenali emosi orang lain (empati)
Empati bukan hanya untuk mengetahui pikirannya saja
melainkan juga perasaan orang lain, dapat dikatakan juga
kemampuan bergaul. Berarti mampu merasakan sebagaimana yang
dirasakan oleh orang lain, menangkap sinyal-sinyal sosial yang
tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan dan
dikehendaki orang lain.
e. Membina hubungan
Membina hubungan adalah kemampuan seseorang untuk
menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antar
pribadi. Orang yang hebat dalam keterampilan ini akan sukses dalam
bidang apapun yang mengandalkan pergaulan yang mulus dengan
orang lain, dan bisa dikatakan sebagai bintang dalam pergaulan.
-
16
Selanjutnya, Patton, Cooper, dan Sawaf (dalam Ifham & Helmi,
2002) menyebutkan empat aspek kecerdasan emosi:
a. Kesadaran emosi (emotional literacy)
Membangun rasa percaya diri pribadi melalui pengenalan
emosi yang dialami dan kejujuran terhadap emosi yang dirasakan.
Kesadaran emosi yang baik terhadap diri sendiri dan orang lain,
sekaligus kemampuan untuk mengelola emosi yang sudah
dikenalnya, membuat seseorang dapat menyalurkan energi
emosinya ke reaksi yang tepat dan konstruktif.
b. Kebugaran emosi (emotional fitness)
Mempertegas antusiasme dan ketangguhan untuk
menghadapi tantangan dan perubahan. Hal ini mencakup
kemampuan untuk mempercayai orang lain serta mengelola konflik
dan mengatasi kekecewaan dengan cara yang paling konstruktif.
c. Kedalaman emosi (emotional depth)
Mencakup komitmen untuk menyelaraskan hidup dan kerja
dengan potensi serta bakat unik yang dimiliki. Komitmen yang
berupa rasa tanggung jawab ini, pada gilirannya memiliki potensi
untuk memperbesar pengaruh tanpa perlu menggunakan
kewenangan untuk memaksakan otoritas.
d. Alkimia emosi (emotional alchemy)
Kemampuan kreatif untuk mengalir bersama masalah-
masalah dan tekanan-tekanan tanpa larut di dalamnya. Hal ini
-
17
mencakup ketrampilan bersaing dengan lebih peka terhadap
kemungkinan solusi yang masih bersembunyi dan peluang yang
masih terbuka untuk mengevaluasi masa lalu, menghadapi masa
kini, dan mempertahankan masa depan.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa
komponen-komponen dalam kecerdasan emosi menurut Salovey
(dalam Goleman, 2018) meliputi mengenali emosi diri, mengelola
emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati),
dan membina hubungan, sedangkan menurut Patton, Cooper, dan
Sawaf (dalam Ifham & Helmi, 2002) meliputi kesadaran emosi
(emotional literacy), kebugaran emosi (emotional fitness),
kedalaman emosi (emotional depth), alkimia emosi (emotional
alchemy). Pada penelitian ini, peneliti memilih komponen-kompone
yang dikemukakan oleh Salovey (dalam Goleman, 2018), dibanding
aspek-aspek yang dikemukakan oleh Patton, Cooper, dan Sawaf
(dalam Ifham & Helmi, 2002), karena pada komponen tersebut
berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam menata emosi agar
mampu melakukan sesuatu dengan efektif, hal ini sesuai dengan
hasil wawancara preliminary yang dilakukan oleh peneliti.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kecerdasan Emosi
Menurut Prayitno (dalam Ghufron, 2016) faktor-faktor yang
mempengaruhi kecerdasan emosi antara lain:
-
18
a. Kondisi neurologis dan mekanisme kerja otak
Menurut Goleman (2018), wilayah prefontal otak mengatur
reaksi emosi individu sejak awal. Lobus frontal pada otak akan
bekerja sama dengan amigdala dan sirkuit-sirkuit lain dalam otak
emosional, tetapi apabila terjadi pembajakan emosi, urutan
mekanisme tersebut tidak berlaku lagi. Pembajakan emosi
merupakan suatu keadaan ledakan emosi menguasai rasio, pada
awalnya dipicu oleh amigdala dan kemudian diikuti oleh kegagalan
pengaktifan proses neo kartalis, yang lazimnya menjaga
keseimbangan respon emosional. Selajutnya, seseorang tidak
mampu berpikir jernih dan mengambil keputusan yang tepat
berdasarkan pertimbangan sehingga akan menunjukkan perilaku
maladaptif.
b. Jenis kelamin
Faktor lain yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosi
adalah jenis kelamin. Perempuan lebih terampil berbahasa dari pada
laki-laki, maka perempuan lebih mampu mengutarakan perasaannya
dan menggantikan reaksi emosional menjadi kata. Sebaliknya, laki-
laki kurang pada kemampuan verbalisasi dan sebagian besar tampak
kurang peka akan keadaan emosi dirinya sendiri dan orang lain
(Goleman, 2018).
-
19
c. Temperamen
Setiap manusia memiliki sifat bawaan yang disebut
temperamen. Temperamen seorang anak mencerminkan suatu
rangkaian emosi bawaan tertentu dalam otaknya, untuk ekpresi
emosi sekaligus perilakunya yang sekarang dan di masa mendatang.
Setiap manusia mempunyai perbedaan dalam jaringan sirkuit emosi
yang menyebabkan perbedaan hal seberapa mudahnya emosi dipicu,
berapa lama berlangsungnya dan seberapa intensinya. Perbedaan ini
menentukan apakah seseorang bersifat pemarah, penakut, periang,
pemberani atau pemurung.
d. Pola asuh orangtua
Perkembangan emosi individu juga dipengaruhi oleh
beberapa faktor, mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah
sampai lingkungan masyarakat. Keluarga terutama orangtua
memegang peranan yang penting dalam perkembangan kecerdasan
emosi (Saman, 2010).
e. Usia
Efek usia dan jenis kelamin terhadap intensitas emosi
menyimpulkan bahwa orang yang lebih muda menunjukkan tingkat
rata-rata yang lebih tinggi pada perasaan positif dan negatif. Pada
masa remaja akhir individu akan lebih cerdas dalam membuat
keputusan, lebih sadar akan bahaya yang timbul, memikirkan akan
akibat yang panjang, cenderung untuk memecahkan masalah hati-
-
20
hati dan dalam membuat keputusan terlebih dahulu mencari
informasi yang benar dan mengkaji seluruh alternatif.
f. Teman sebaya
Goleman (2018), menyatakan pada masa remaja individu
mulai melepaskan diri dari ikatan keluarga untuk mengembangkan
keterlibatannya lebih dekat dengan teman sebayanya. Hal ini
merupakan cara remaja menemukan identitas diri sebagai pribadi
dewasa yang berbeda dengan identitas anak-anak. Tugas-tugas
sosial anak dalam persahabatan, antara lain adalah belajar mengelola
keinginan diri sendiri dan menyesuaikan diri dengan keinginan-
keinginan teman, belajar mengekspresikan perhatian,
mengemukakan keinginan dan perasaan, belajar meminta maaf dan
belajar peduli dengan teman.
g. Sekolah
Kegiatan-kegiatan yang ada di sekolah merupakan sarana
pendidikan emosi dan sosial, murid belajar bekerja bersama,
mengemukakan pendapat, mengembangkan pendirian, menghargai
orang lain, menyelesaikan pertikaian dan bernegosiasi tanpa
menimbulkan perpecahan. Selain itu guru juga berpengaruh dalam
perkembangan keterampilan pengelolaan emosi anak. Guru menjadi
model anak melalui pengamatan anak terhadap cara guru mengajar,
cara memperlakukan murid, dan cara menyelesaikan konflik
diantara murid (Goleman, 2018). Pendidikan emosi yang didapatkan
-
21
di sekolah melalui interaksi remaja dengan teman-teman maupun
guru berpengaruh terhadap kecerdasan emosi seseorang (Akbar &
Setyawan, 2015). Menurut Etzioni (dalam Goleman, 2018), sekolah
mempunyai peran sentral dalam menanamkan disiplin diri dan
empati yang terjadi sewaktu seseorang membina keterampilan sosial
dan emosional. Artinya, keterampilan emosional seseorang
berkaitan erat dengan pendidikan karakter dan pertumbuhan moral
seseorang yang didapatkan dari sekolah.
h. Agama
Agama adalah yang telah menjadi unsur pribadi secara
khusus atau otomatis, akan berpengaruh terhadap segala perilaku
individu baik dalam berpikir, merasa, bersikap dan bertindak.
Harmonisasi yang maksimal antara unsur agama akan menjadi daya
kontrol, daya kendali dan daya dorong yang sangat kuat.
. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa faktor
. yang mempengaruhi kecerdasan emosi menurut menurut Prayitno
(dalam Ghufron, 2016) meliputi kondisi neorologis, jenis kelamin,
temperamen, pola asuh orangtua, usia, teman sebaya, lingkungan
sekolah, dan agama. Pada penelitian ini, peneliti memilih faktor
sekolah yang berpengaruh terhadap kecerdasan emosi, hal ini
sebagaimana yang diungkapkan Goleman (2018) bahwa sekolah
merupakan faktor yang berpengaruh besar dalam membentuk
kecerdasan emosi pada seseorang. Selain itu, menurut Akbar dan
-
22
Setyawan (2015) pendidikan emosi dapat diperoleh seseorang
melalui interaksi yang terjadi dalam lingkungan sekolah.
4. Kecerdasan Emosi pada Remaja Awal
Menurut Goleman (2018), kecerdasan emosi merupakan
kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi
frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan
kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak
melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa. Seseorang
yang mempunyai kecerdasan emosi yang tinggi akan mampu
menyadari diri secara emosi, mengelola emosi, memanfaatkan emosi
secara produktif, membaca emosi, dan membina hubungan yang baik
dengan orang lain.
Emosi pada setiap fase usia berbeda-beda, tidak terkeceuali pada
remaja. Remaja merupakan periode seseorang mengalami peralihan
dari anak-anak menuju dewasa (Piaget dalam Hurlock, 1980). Monks,
Knoers, & Haditono (2006) menyatakan bahwa pada masa remaja (12-
21 tahun) terdapat beberapa fase, yaitu fase remaja awal (12-15 tahun),
fase remaja pertengahan (15-18 tahun), dan fase remaja akhir (18-21
tahun), diantaranya juga terdapat fase pubertas yang merupakan fase
yang sangat singkat dan terkadang menjadi masalah tersendiri bagi
remaja dalam menghadapinya. Hurlock (1980) menyatakan bahwa fase
-
23
pubertas berkisar dari usia 11-16 tahun dan setiap individu memiliki
variasi tersendiri.
Menurut Gunarsa dan Gunarsa (dalam Putro, 2017), remaja awal
biasanya duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), dengan
ciri-ciri: (1) tidak stabil keadaannya dan cenderung lebih emosional; (2)
mempunyai banyak masalah; (3) merupakan masa-masa yang kritis; (4)
mulai adanya ketertarikan pada lawan jenis; (5) munculnya rasa kurang
percaya diri; (6) sering gelisah serta suka mengembangkan pikiran baru,
berkhayal dan menyendiri.
Menurut Hurlock (1980), selama fase remaja awal ada lima
perubahan yang berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku
pada remaja. Pertama, akibat perubahan fisik dan psikologis yang
terjadi pada fase remaja awal dan cenderung terjadi lebih cepat, maka
emosi cenderung meninggi dan lebih menonjol dibanding pada fase
remaja akhir; kedua, remaja mulai mengalami perbahan minat dan
peran yang diharapkan oleh kelompok sosial, sehingga terkadang
menimbulkan masalah. Bagi remaja awal, masalah akan tampak banyak
dan lebih sulit untuk diselesaikan dibanding dengan masalah yang
pernah dihadapi sebelumnya; ketiga, mulai mengalami perubahan nilai-
nilai yang diyakini seiring dengan berubahnya minat dan peran yang
telah dijabarkan sebelumnya; keempat, cenderung ambivalen karena
cenderung menuntut kebebasan namun sering khawatir akan
-
24
kemampuan diri sendiri dalam bertanggung jawab terhadap
perbuatannya.
Keadaan emosi pada remaja awal dianggap sebagai periode badai
dan tekanan yaitu suatu masa ketegangan emosi meninggi akibat dari
perubahan fisik dan hormonal (Hurlock, 1980). Selain itu, remaja awal
menunjukkan tingkat yang lebih tinggi pada perasaan positif dan
negatif dibandingkan dengan remaja akhir, sehingga remaja awal
cenderung mempunyai kematangan emosi yang lebih rendah
dibandingkan dengan remaja akhir. Individu yang berada pada fase
remaja awal mempunyai emosi yang kurang stabil sehingga kerapkali
tidak mencari dan mengkaji suatu informasi, akibatnya cenderung sulit
dalam mengambil keputusan dan sulit untuk memecahkan masalah
(Goleman, 2018).
B. Sekolah
1. Pengertian Sekolah
Sekolah merupakan suatu sistem pendidikan (Munirah, 2015).
Sistem pendidikan di Indonesia selama ini sangat bersifat dikotomik
yaitu pendidikan umum yang terdiri dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah
Lanjutan Tahap Pertama (SLTP), Sekolah Menengah Umum (SMU),
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Universitas umum yang
diselenggarakan Departemen pendidikan Nasional dan pendidikan
keagamaan yang terdiri dari Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah
-
25
Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), dan Pondok Pesantren
yang diselenggarakan Departemen Agama (Amrizal, 2011).
2. Jenis Sekolah
Pada penelitian ini sekolah dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a. Sekolah Umum
Bagian dari pendidikan umum salah satunya ialah Sekolah
Menengah Pertama (SMP). SMP adalah salah satu bentuk satuan
pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada
jenjang pendidikan dasar sebagai lanjutan dari SD, MI, atau bentuk
lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama
atau setara SD atau MI (Peraturan Pemerintah, 2010).
Remaja yang bersekolah di SMP pada umumnya disebut
siswa. Siswa sekolah menengah pertama berada pada tahap remaja
awal dengan rentang usia antara 12-15 tahun. Pada usia ini, siswa
berada dalam masa pubertas, yaitu masa terjadinya transisi dan
perkembangan pada diri remaja baik secara fisik, psikis, maupun
secara sosial (Sarwono dalam Wendari, Badrujaman & Aties, 2011).
SMP mempunyai kurikulum yang lebih menekankan pada
kemampuan kognitif di antaranya memahami kalimat-kalimat dalam
soal, dapat membedakan informasi yang diketahui dan permintaan
soal, tlancar menggunakan pengetahuan-pengetahuan atau ide-ide
yang diketahui, mengubah kalimat cerita menjadi kalimat
-
26
matematika, menggunakan cara-cara atau strategi-strategi yang
berbeda-beda dalam menyelesaikan soal (Nisa', 2016).
Sistem kurikulum yang lebih fokus terhadap kemampuan
kognitif saja menyebabkan keterampilan hidup/ softskill siswa SMP
menjadi kurang terasah. Hal ini didukung pernyataan Amrizal
(2011) bahwa seluruh jenis pendidikan pada setiap jenjang
pendidikan, kecuali pendidikan keagamaan, lebih mementingkan
aspek kognitif, sedangkan aspek afektif seperti kecerdasan emosi
dan aspek psikomotorik, serta sistem nilai (value system) sangat
diterlantarkan.
Menurut Suhardi (2012) di sekolah terjadi proses sosialisasi
antara sesama peserta didik (teman sebaya) dan warga sekolah
lainnya, guru atau pendidik yang dapat terjalin melalui pengajaran
ilmu, pengetahuan, dan penanaman nilai-nilai serta moralitas.
Dilihat dari segi waktu proses pembelajaran pada SMP rata-rata
membutuhkan waktu selama 12 jam sehari (Kemdiknas, 2011).
Proses sosialisasi di SMP hanya berkisar 12 jam antara peserta didik
dengan warga sekolahnya, proses sosialisasi akan mempengaruhi
bagaimana kemampuan mengenali emosi orang lain/ empati dan
membina hubungan dengan orang lain. Hal ini didukung oleh
pernyataan Goleman (2018) bahwa sosialisasi merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi empati/ mengelola emosi orang lain dan
membina hubungan dengan orang lain.
-
27
Siswa SMP biasanya tinggal dengan orang tua karena waktu
disekolah hanya 12 jam. Anak cenderung lebih bergantung pada
aturan-aturan yang diterapkan orangtua karena orangtua cenderung
mengikuti aturan-aturan tentang peran orangtua yang ada dalam
budaya yang telah dipelajarinya melalui pengalaman menjalani
sosialisasi (Arnett dalam Lestari, 2009). Remaja yang tidak
bergantung dan inisiatif dalam bertindak akan lebih mampu
mengenali dan mengelola emosi, serta memotivasi diri sendiri
(Goleman, 2018).
b. Sekolah Keagamaan
Salah satu bentuk sekolah keagamaan ialah pondok
pesantren. Krisnatuti (2011) menyatakan bahwa pondok pesantren
merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional yang memiliki
fokus tidak hanya pada ilmu pengetahuan umum tetapi juga ilmu
agama. Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan Islam
yang menyediakan asrama sebagai tempat tinggal pada santri.
Pondok pesantren bertujuan untuk membimbing santri menjadi
manusia berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya
menjadi mubalig Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan
amalnya (Saifuddin, 2015).
Pesantren memiliki sistem yang lebih berfokus kepada moral
serta keterampilan hidup/softskill. Hal ini didukung penelitian yang
dilakukan Mushollin (2014) pada suatu pesantren yang visi dan
-
28
kurikulumnya yaitu membentuk pola pikir santri yang kritis, logis,
obyektif yang berlandaskan kejujuran dan akhlaqul karimah serta
memberikan bekal keterampilan hidup, membangun jiwa santri yang
mempunyai semangat hidup tinggi dan mandiri serta mampu
menghadapi tantangan perubahan zaman.
Siswa yang mengenyam pendidikan di pesantren disebut
santri. Putri dan Uyun (2017) menyatakan bahwa santri remaja
terkenal dengan sebutan fase "mencari jati diri" dan fase
perkembangan yang amat potensial, baik secara aspek kognitif,
emosi, maupun fisik. Kehidupan di pesantren menuntut santri untuk
mengikuti banyak kegiatan dan rutinitas sesuai dengan aturan yang
baik (Krisnatuti, 2011).
Dilihat dari segi waktu, pada pondok pesantren proses
pembelajarannya berlangsung selama 24 jam (Kemdiknas, 2011),
maka proses sosialisasi antara santri dengan warga sekolahnya yaitu
guru dan teman sebaya akan lebih intens. Menurut Goleman (2018)
sosialisasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi empati/
mengelola emosi orang lain dan membina hubungan dengan orang
lain, semakin intens proses sosialisasi maka akan semakin tinggi
pula tingkat empati dan membina hubungan dengan orang lain.
Pendidikan pesantren dikembangkan berdasarkan beberapa
prinsip, salah satunya merupakan pendidikan sekolah berasrama
(boarding school), dengan sistem asrama akan mempermudah
-
29
mencapai tidak hanya tujuan-tujuan akademik tetapi juga komitmen
keagamaan dan kepribadian yang matang (Amrizal, 2011). Hasil
penelitian yang dilakukan Rosdiana (2018) menyatakan bahwa
sistem pembelajaran boarding school berpengaruh pada
pembentukan karakter kemandirian peserta didik di SMA IT Baitul
Muslim Lampung Timur. Ditambahkan Amrizal (2011) bahwa
pendidikan pesantren memandang santri sebagai makhluk individu
yang mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk dirinya sendiri,
sehingga menjadi mandiri dan dapat memberdayakan diri, hal ini
yang menjadikan santri lebih dapat memotivasi diri sendiri,
mengenali emosi, serta mengelola emosi diri sendiri.
C. Perbedaan Kecerdasan Emosi antara Remaja Awal yang Bersekolah
di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Pondok Pesantren
Subekti dan Rahma (2014) menyatakan bahwa faktor lingkungan,
dalam hal ini sekolah, memberikan pengaruh besar terhadap kecerdasan
emosi remaja. Kecerdasan emosi dipengaruhi faktor lingkungan, salah
satunya lingkungan sekolah (Goleman, 2018). Lingkungan dari masing-
masing jenis sekolah mempunyai perbedaan, sekolah dengan kurikulum
yang berlandaskan Agama Islam membuat kegiatan-kegiatan di sekolah
menggunakan ajaran Islam baik dalam mata pelajaran maupun kegiatan
di luar jam pelajaran (Krisnatuti, 2011). Sistem pendidikan yang
diselenggarakan di Indonesia bersifat dikotomik, pendidikan umum salah
-
30
satunya ialah SMP (Sekolah Menengah Pertama) dengan penyelenggara
Departemen Pendidikan Nasional versus pendidikan keagamaan, salah
satunya ialah pondok pesantren, dengan penyelenggara Departemen
Agama (Amrizal, 2011).
Sekolah umum dalam hal ini ialah SMP (Sekolah Menengah
Pertama) mempunyai beberapa perbedaan dengan sekolah keagamaan,
dalam hal ini ialah pondok pesantren, baik dalam hal kurikulum, sistem
pembelajaran, maupun sosialisasi antara remaja dengan warga sekolah.
Pada sekolah umum/ SMP, hal ini berlaku untuk seluruh jenjang
pendidikan kecuali pendidikan keagamaan bahwa sistem kurikulum
lebih fokus terhadap aspek kognitif sedangkan aspek afektif seperti
kecerdasan emosi dan aspek psikomotorik, serta sistem nilai (value
system) sangat diterlantarkan (Amrizal, 2011). Berbeda dengan sekolah
keagamaan/ pondok pesantren, Mushollin (2014) menyampaikan bahwa
visi dan kurikulum pesantren ialah membentuk pola pikir santri yang
kritis, logis, obyektif yang berlandaskan kejujuran dan akhlaqul karimah
serta memberikan bekal keterampilan hidup, membangun jiwa santri
yang mempunyai semangat hidup tinggi dan mandiri serta mampu
menghadapi tantangan perubahan zaman.
Menurut Suhardi (2012) di sekolah terjadi proses sosialisasi antara
sesama peserta didik (teman sebaya) dan warga sekolah lainnya, guru
atau pendidik yang terjalin melalui pengajaran ilmu, pengetahuan, dan
penanaman nilai-nilai serta moralitas.
-
31
Pada sekolah umum/ SMP, dari segi waktu proses pembelajaran
rata-rata membutuhkan waktu selama 12 jam sehari (Kemdiknas, 2011).
Proses sosialisasi di SMP hanya berkisar 12 jam antara peserta didik
dengan warga sekolahnya, proses sosialisasi akan mempengaruhi
bagaimana kemampuan mengenali emosi orang lain/ empati dan
membina hubungan dengan orang lain, sedangkan menurut Kemdiknas
(2011) pada pondok pesantren proses pembelajarannya berlangsung
hingga 24 jam sehingga proses sosialisasi antara santri dengan warga
sekolahnya yaitu guru dan teman sebaya akan lebih intens. Menurut
Goleman (2018) sosialisasi merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi empati/ mengelola emosi orang lain dan membina
hubungan dengan orang lain, semakin intens proses sosialisasi maka
akan semakin tinggi pula tingkat empati dan membina hubungan dengan
orang lain.
Pada pondok pesantren, santri semenjak masih remaja dituntut
mampu mengenali emosi diri dengan dilatih untuk senantiasa memantau
keadaan diri (muraqabah) agar perbuatan dirinya tetap dalam ketakwaan
(Hamdan, 2017). Siswa SMP biasanya tinggal dengan orang tua karena
waktu di sekolah hanya 12 jam, sehingga cenderung lebih bergantung
pada aturan-aturan yang diterapkan orangtua karena orangtua cenderung
mengikuti aturan-aturan tentang peran orangtua yang ada dalam budaya
yang telah dipelajarinya melalui pengalaman menjalani sosialisasi
(Arnett dalam Lestari, 2009).
-
32
Pondok pesantren dikembangkan berdasarkan beberapa prinsip,
salah satunya merupakan pendidikan sekolah berasrama (boarding
school). Berdasarkan pernyataan Sanusi (2012) pola pendidikan
boarding school atau asrama menjadikan santri jauh dari orang tua
sehingga dituntut untuk dapat menyelesaikan masalahnya secara mandiri
dan mendorong santri untuk mandiri, baik dalam kebutuhan hidup,
merapikan diri, merapikan lingkungan sekitar, serta kemandirian belajar,
sehingga santri terlatih untuk mengelola emosi dan memotivasi diri
sendiri. Hal ini didukung oleh pernyataan Amrizal (2011) bahwa
pendidikan pesantren memandang santri sebagai makhluk individu yang
mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk dirinya sendiri, sehingga
menjadi mandiri dan dapat memberdayakan diri.
Penelitian yang dilakukan Hamdan (2017) pada santri penghafal Al-
Quran menyatakan bahwa 81,82 % dari subjek yang diteliti memiliki
kecerdasan emosi yang tinggi. Hal ini berarti kebanyakan santri mampu
mengenali perasaan dirinya, mengelola emosinya agar dapat bertindak
konstruktif, sehingga para santri mampu memotivasi diri untuk mencapai
tujuan yang ingin dicapai, selain itu juga memiliki kapasitas untuk
memahami orang lain guna menjalin hubungan sosial yang efektif.
Kesamaan menonjol dari penelitian di atas yaitu subjek memiliki latar
belakang pendidikan pesantren.
Pada dasarnya proses belajar meningkatkan kecerdasan emosi dapat
berlangsung dimana saja dan kapan saja, namun kondusifitas lingkungan
-
33
pendidikan pesantren dapat memberikan peranan dalam membentuk
kecerdasan emosi subjek menjadi lebih tinggi (Hamdan, 2017).
Pendapat ini juga didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan
Subekti dan Rahma (2014) menunjukkan bahwa kecerdasan emosi
remaja di Pondok Pesantren Darut Taqwa Semarang masuk dalam
kategori tinggi. Kondisi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah
satunya adalah faktor lingkungan sekolah (Alfiah, dalam Subekti &
Rahma, 2014).
Remaja yang bersekolah di pondok pesantren mempunyai tingkat
kecerdasan emosi yang lebih tinggi dibanding remaja yang tidak
bersekolah di sekolah tanpa berlandaskan ajaran Islam, hal ini di dukung
dengan penelitian Chrisnawati (2008) yang menyebutkan bahwa
keyakinan, pengetahuan, praktek dan pengalaman beragama
berpengaruh pada kecerdasan emosi.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diduga bahwa adanya
perbedaan kecerdasan emosi antara remaja awal yang bersekolah di
Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan remaja awal yang bersekolah di
pondok pesantren. Remaja awal yang bersekolah di pondok pesantren
memiliki kecerdasan emosi lebih baik dibandingkan remaja awal yang
bersekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP).
-
34
D. Hipotesis
Pada penelitian ini, peneliti mengajukan sebuah hipotesis
yaitu terdapat perbedaan tingkat kecerdasan emosi antara remaja awal
yang bersekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan remaja awal
yang bersekolah di pondok pesantren. Remaja awal yang bersekolah di
pondok pesantren memiliki tingkat kecerdasan emosi lebih tinggi
daripada remaja awal yang bersekolah di Sekolah Menengah Pertama
(SMP).