bab ii tinjauan pustaka a. kecerdasan emosi 1. pengertian kecerdasan...

22
13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecerdasan Emosi 1. Pengertian Kecerdasan Emosi Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa (Goleman, 2018). Selain itu, Salovey dan Mayer (dalam Goleman, 2000), berpendapat bahwa kecerdasan emosi merupakan kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan. Individu yang mempunyai kecerdasan emosi yang tinggi akan mampu mengatasi berbagai masalah atau tantangan yang muncul dalam hidupnya. Cooper dan Sawaf (dalam Rahmasari, 2012) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi. Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan

Upload: others

Post on 04-Feb-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 13

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Kecerdasan Emosi

    1. Pengertian Kecerdasan Emosi

    Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri

    dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan

    tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan

    menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir,

    berempati dan berdoa (Goleman, 2018). Selain itu, Salovey dan Mayer

    (dalam Goleman, 2000), berpendapat bahwa kecerdasan emosi

    merupakan kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan

    sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk

    memandu pikiran dan tindakan. Individu yang mempunyai kecerdasan

    emosi yang tinggi akan mampu mengatasi berbagai masalah atau

    tantangan yang muncul dalam hidupnya.

    Cooper dan Sawaf (dalam Rahmasari, 2012) mendefinisikan

    kecerdasan emosi sebagai kemampuan merasakan, memahami, dan

    secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber

    energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi.

    Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa

    kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk memotivasi diri

    sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan

  • 14

    hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan

    menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir,

    berempati dan berdoa pada individu yang mengalami perubahan secara

    fisik maupun psikis dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.

    2. Komponen-komponen Kecerdasan Emosi

    Menurut Salovey (dalam Goleman, 2018), komponen-komponen

    kecerdasan emosi ada lima:

    a. Mengenali emosi diri

    Mengenali emosi adalah kemampuan untuk memantau

    perasaan dari waktu ke waktu dan kemampuan mengenali perasaan

    sewaktu perasaan itu terjadi. Berarti memiliki keyakinan yang lebih

    tentang perasaannya, mempunyai kepekaan lebih tinggi akan

    perasaan yang sesungguhnya atas pengambilan keputusan-

    keputusan masalah pribadi, mulai dari masalah siapa yang akan

    dinikahi sampai ke pekerjaan apa yang akan diambil.

    b. Mengelola emosi

    Mengelola emosi adalah kemampuan untuk menguasai

    perasaannya sendiri agar perasaan tersebut dapat diungkapkan

    dengan tepat. Berarti mampu menangani emosi sedemikian rupa

    sehingga berdampak positif terhadap pelaksanaan tugas, peka

    terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum

    tercapainya suatu sasaran, mampu pulih kembali dari tekanan emosi,

  • 15

    serta dapat kembali bangkit dengan jauh lebih cepat dari

    kemerosotan dan kejatuhan dalam kehidupan.

    c. Memotivasi diri sendiri

    Memotivasi diri sendiri adalah kemampuan untuk menata

    emosi sebagai alat dalam mencapai tujuan. Berarti menggunakan

    hasrat pada diri yang paling dalam untuk menggerakkan dan

    menuntun diri sendiri menuju sasaran, menahan diri terhadap

    kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, sehingga orang-orang

    yang memiliki keterampilan ini cenderung lebih produktif dan

    efektif dalam hal apapun yang dikerjakan.

    d. Mengenali emosi orang lain (empati)

    Empati bukan hanya untuk mengetahui pikirannya saja

    melainkan juga perasaan orang lain, dapat dikatakan juga

    kemampuan bergaul. Berarti mampu merasakan sebagaimana yang

    dirasakan oleh orang lain, menangkap sinyal-sinyal sosial yang

    tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan dan

    dikehendaki orang lain.

    e. Membina hubungan

    Membina hubungan adalah kemampuan seseorang untuk

    menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antar

    pribadi. Orang yang hebat dalam keterampilan ini akan sukses dalam

    bidang apapun yang mengandalkan pergaulan yang mulus dengan

    orang lain, dan bisa dikatakan sebagai bintang dalam pergaulan.

  • 16

    Selanjutnya, Patton, Cooper, dan Sawaf (dalam Ifham & Helmi,

    2002) menyebutkan empat aspek kecerdasan emosi:

    a. Kesadaran emosi (emotional literacy)

    Membangun rasa percaya diri pribadi melalui pengenalan

    emosi yang dialami dan kejujuran terhadap emosi yang dirasakan.

    Kesadaran emosi yang baik terhadap diri sendiri dan orang lain,

    sekaligus kemampuan untuk mengelola emosi yang sudah

    dikenalnya, membuat seseorang dapat menyalurkan energi

    emosinya ke reaksi yang tepat dan konstruktif.

    b. Kebugaran emosi (emotional fitness)

    Mempertegas antusiasme dan ketangguhan untuk

    menghadapi tantangan dan perubahan. Hal ini mencakup

    kemampuan untuk mempercayai orang lain serta mengelola konflik

    dan mengatasi kekecewaan dengan cara yang paling konstruktif. 


    c. Kedalaman emosi (emotional depth)

    Mencakup komitmen untuk menyelaraskan hidup dan kerja

    dengan potensi serta bakat unik yang dimiliki. Komitmen yang

    berupa rasa tanggung jawab ini, pada gilirannya memiliki potensi

    untuk memperbesar pengaruh tanpa perlu menggunakan

    kewenangan untuk memaksakan otoritas.

    d. Alkimia emosi (emotional alchemy)

    Kemampuan kreatif untuk mengalir bersama masalah-

    masalah dan tekanan-tekanan tanpa larut di dalamnya. Hal ini

  • 17

    mencakup ketrampilan bersaing dengan lebih peka terhadap

    kemungkinan solusi yang masih bersembunyi dan peluang yang

    masih terbuka untuk mengevaluasi masa lalu, menghadapi masa

    kini, dan mempertahankan masa depan.

    Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa

    komponen-komponen dalam kecerdasan emosi menurut Salovey

    (dalam Goleman, 2018) meliputi mengenali emosi diri, mengelola

    emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati),

    dan membina hubungan, sedangkan menurut Patton, Cooper, dan

    Sawaf (dalam Ifham & Helmi, 2002) meliputi kesadaran emosi

    (emotional literacy), kebugaran emosi (emotional fitness),

    kedalaman emosi (emotional depth), alkimia emosi (emotional

    alchemy). Pada penelitian ini, peneliti memilih komponen-kompone

    yang dikemukakan oleh Salovey (dalam Goleman, 2018), dibanding

    aspek-aspek yang dikemukakan oleh Patton, Cooper, dan Sawaf

    (dalam Ifham & Helmi, 2002), karena pada komponen tersebut

    berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam menata emosi agar

    mampu melakukan sesuatu dengan efektif, hal ini sesuai dengan

    hasil wawancara preliminary yang dilakukan oleh peneliti.

    3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kecerdasan Emosi

    Menurut Prayitno (dalam Ghufron, 2016) faktor-faktor yang

    mempengaruhi kecerdasan emosi antara lain:

  • 18

    a. Kondisi neurologis dan mekanisme kerja otak

    Menurut Goleman (2018), wilayah prefontal otak mengatur

    reaksi emosi individu sejak awal. Lobus frontal pada otak akan

    bekerja sama dengan amigdala dan sirkuit-sirkuit lain dalam otak

    emosional, tetapi apabila terjadi pembajakan emosi, urutan

    mekanisme tersebut tidak berlaku lagi. Pembajakan emosi

    merupakan suatu keadaan ledakan emosi menguasai rasio, pada

    awalnya dipicu oleh amigdala dan kemudian diikuti oleh kegagalan

    pengaktifan proses neo kartalis, yang lazimnya menjaga

    keseimbangan respon emosional. Selajutnya, seseorang tidak

    mampu berpikir jernih dan mengambil keputusan yang tepat

    berdasarkan pertimbangan sehingga akan menunjukkan perilaku

    maladaptif.

    b. Jenis kelamin

    Faktor lain yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosi

    adalah jenis kelamin. Perempuan lebih terampil berbahasa dari pada

    laki-laki, maka perempuan lebih mampu mengutarakan perasaannya

    dan menggantikan reaksi emosional menjadi kata. Sebaliknya, laki-

    laki kurang pada kemampuan verbalisasi dan sebagian besar tampak

    kurang peka akan keadaan emosi dirinya sendiri dan orang lain

    (Goleman, 2018).

  • 19

    c. Temperamen

    Setiap manusia memiliki sifat bawaan yang disebut

    temperamen. Temperamen seorang anak mencerminkan suatu

    rangkaian emosi bawaan tertentu dalam otaknya, untuk ekpresi

    emosi sekaligus perilakunya yang sekarang dan di masa mendatang.

    Setiap manusia mempunyai perbedaan dalam jaringan sirkuit emosi

    yang menyebabkan perbedaan hal seberapa mudahnya emosi dipicu,

    berapa lama berlangsungnya dan seberapa intensinya. Perbedaan ini

    menentukan apakah seseorang bersifat pemarah, penakut, periang,

    pemberani atau pemurung.

    d. Pola asuh orangtua

    Perkembangan emosi individu juga dipengaruhi oleh

    beberapa faktor, mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah

    sampai lingkungan masyarakat. Keluarga terutama orangtua

    memegang peranan yang penting dalam perkembangan kecerdasan

    emosi (Saman, 2010).

    e. Usia

    Efek usia dan jenis kelamin terhadap intensitas emosi

    menyimpulkan bahwa orang yang lebih muda menunjukkan tingkat

    rata-rata yang lebih tinggi pada perasaan positif dan negatif. Pada

    masa remaja akhir individu akan lebih cerdas dalam membuat

    keputusan, lebih sadar akan bahaya yang timbul, memikirkan akan

    akibat yang panjang, cenderung untuk memecahkan masalah hati-

  • 20

    hati dan dalam membuat keputusan terlebih dahulu mencari

    informasi yang benar dan mengkaji seluruh alternatif.

    f. Teman sebaya

    Goleman (2018), menyatakan pada masa remaja individu

    mulai melepaskan diri dari ikatan keluarga untuk mengembangkan

    keterlibatannya lebih dekat dengan teman sebayanya. Hal ini

    merupakan cara remaja menemukan identitas diri sebagai pribadi

    dewasa yang berbeda dengan identitas anak-anak. Tugas-tugas

    sosial anak dalam persahabatan, antara lain adalah belajar mengelola

    keinginan diri sendiri dan menyesuaikan diri dengan keinginan-

    keinginan teman, belajar mengekspresikan perhatian,

    mengemukakan keinginan dan perasaan, belajar meminta maaf dan

    belajar peduli dengan teman.

    g. Sekolah

    Kegiatan-kegiatan yang ada di sekolah merupakan sarana

    pendidikan emosi dan sosial, murid belajar bekerja bersama,

    mengemukakan pendapat, mengembangkan pendirian, menghargai

    orang lain, menyelesaikan pertikaian dan bernegosiasi tanpa

    menimbulkan perpecahan. Selain itu guru juga berpengaruh dalam

    perkembangan keterampilan pengelolaan emosi anak. Guru menjadi

    model anak melalui pengamatan anak terhadap cara guru mengajar,

    cara memperlakukan murid, dan cara menyelesaikan konflik

    diantara murid (Goleman, 2018). Pendidikan emosi yang didapatkan

  • 21

    di sekolah melalui interaksi remaja dengan teman-teman maupun

    guru berpengaruh terhadap kecerdasan emosi seseorang (Akbar &

    Setyawan, 2015). Menurut Etzioni (dalam Goleman, 2018), sekolah

    mempunyai peran sentral dalam menanamkan disiplin diri dan

    empati yang terjadi sewaktu seseorang membina keterampilan sosial

    dan emosional. Artinya, keterampilan emosional seseorang

    berkaitan erat dengan pendidikan karakter dan pertumbuhan moral

    seseorang yang didapatkan dari sekolah.

    h. Agama

    Agama adalah yang telah menjadi unsur pribadi secara

    khusus atau otomatis, akan berpengaruh terhadap segala perilaku

    individu baik dalam berpikir, merasa, bersikap dan bertindak.

    Harmonisasi yang maksimal antara unsur agama akan menjadi daya

    kontrol, daya kendali dan daya dorong yang sangat kuat.

    . Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa faktor

    . yang mempengaruhi kecerdasan emosi menurut menurut Prayitno

    (dalam Ghufron, 2016) meliputi kondisi neorologis, jenis kelamin,

    temperamen, pola asuh orangtua, usia, teman sebaya, lingkungan

    sekolah, dan agama. Pada penelitian ini, peneliti memilih faktor

    sekolah yang berpengaruh terhadap kecerdasan emosi, hal ini

    sebagaimana yang diungkapkan Goleman (2018) bahwa sekolah

    merupakan faktor yang berpengaruh besar dalam membentuk

    kecerdasan emosi pada seseorang. Selain itu, menurut Akbar dan

  • 22

    Setyawan (2015) pendidikan emosi dapat diperoleh seseorang

    melalui interaksi yang terjadi dalam lingkungan sekolah.

    4. Kecerdasan Emosi pada Remaja Awal

    Menurut Goleman (2018), kecerdasan emosi merupakan

    kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi

    frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan

    kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak

    melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa. Seseorang

    yang mempunyai kecerdasan emosi yang tinggi akan mampu

    menyadari diri secara emosi, mengelola emosi, memanfaatkan emosi

    secara produktif, membaca emosi, dan membina hubungan yang baik

    dengan orang lain.

    Emosi pada setiap fase usia berbeda-beda, tidak terkeceuali pada

    remaja. Remaja merupakan periode seseorang mengalami peralihan

    dari anak-anak menuju dewasa (Piaget dalam Hurlock, 1980). Monks,

    Knoers, & Haditono (2006) menyatakan bahwa pada masa remaja (12-

    21 tahun) terdapat beberapa fase, yaitu fase remaja awal (12-15 tahun),

    fase remaja pertengahan (15-18 tahun), dan fase remaja akhir (18-21

    tahun), diantaranya juga terdapat fase pubertas yang merupakan fase

    yang sangat singkat dan terkadang menjadi masalah tersendiri bagi

    remaja dalam menghadapinya. Hurlock (1980) menyatakan bahwa fase

  • 23

    pubertas berkisar dari usia 11-16 tahun dan setiap individu memiliki

    variasi tersendiri.

    Menurut Gunarsa dan Gunarsa (dalam Putro, 2017), remaja awal

    biasanya duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), dengan

    ciri-ciri: (1) tidak stabil keadaannya dan cenderung lebih emosional; (2)

    mempunyai banyak masalah; (3) merupakan masa-masa yang kritis; (4)

    mulai adanya ketertarikan pada lawan jenis; (5) munculnya rasa kurang

    percaya diri; (6) sering gelisah serta suka mengembangkan pikiran baru,

    berkhayal dan menyendiri.

    Menurut Hurlock (1980), selama fase remaja awal ada lima

    perubahan yang berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku

    pada remaja. Pertama, akibat perubahan fisik dan psikologis yang

    terjadi pada fase remaja awal dan cenderung terjadi lebih cepat, maka

    emosi cenderung meninggi dan lebih menonjol dibanding pada fase

    remaja akhir; kedua, remaja mulai mengalami perbahan minat dan

    peran yang diharapkan oleh kelompok sosial, sehingga terkadang

    menimbulkan masalah. Bagi remaja awal, masalah akan tampak banyak

    dan lebih sulit untuk diselesaikan dibanding dengan masalah yang

    pernah dihadapi sebelumnya; ketiga, mulai mengalami perubahan nilai-

    nilai yang diyakini seiring dengan berubahnya minat dan peran yang

    telah dijabarkan sebelumnya; keempat, cenderung ambivalen karena

    cenderung menuntut kebebasan namun sering khawatir akan

  • 24

    kemampuan diri sendiri dalam bertanggung jawab terhadap

    perbuatannya.

    Keadaan emosi pada remaja awal dianggap sebagai periode badai

    dan tekanan yaitu suatu masa ketegangan emosi meninggi akibat dari

    perubahan fisik dan hormonal (Hurlock, 1980). Selain itu, remaja awal

    menunjukkan tingkat yang lebih tinggi pada perasaan positif dan

    negatif dibandingkan dengan remaja akhir, sehingga remaja awal

    cenderung mempunyai kematangan emosi yang lebih rendah

    dibandingkan dengan remaja akhir. Individu yang berada pada fase

    remaja awal mempunyai emosi yang kurang stabil sehingga kerapkali

    tidak mencari dan mengkaji suatu informasi, akibatnya cenderung sulit

    dalam mengambil keputusan dan sulit untuk memecahkan masalah

    (Goleman, 2018).

    B. Sekolah

    1. Pengertian Sekolah

    Sekolah merupakan suatu sistem pendidikan (Munirah, 2015).

    Sistem pendidikan di Indonesia selama ini sangat bersifat dikotomik

    yaitu pendidikan umum yang terdiri dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah

    Lanjutan Tahap Pertama (SLTP), Sekolah Menengah Umum (SMU),

    Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Universitas umum yang

    diselenggarakan Departemen pendidikan Nasional dan pendidikan

    keagamaan yang terdiri dari Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah

  • 25

    Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), dan Pondok Pesantren

    yang diselenggarakan Departemen Agama (Amrizal, 2011).

    2. Jenis Sekolah

    Pada penelitian ini sekolah dibagi menjadi dua jenis, yaitu:

    a. Sekolah Umum

    Bagian dari pendidikan umum salah satunya ialah Sekolah

    Menengah Pertama (SMP). SMP adalah salah satu bentuk satuan

    pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada

    jenjang pendidikan dasar sebagai lanjutan dari SD, MI, atau bentuk

    lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama

    atau setara SD atau MI (Peraturan Pemerintah, 2010).

    Remaja yang bersekolah di SMP pada umumnya disebut

    siswa. Siswa sekolah menengah pertama berada pada tahap remaja

    awal dengan rentang usia antara 12-15 tahun. Pada usia ini, siswa

    berada dalam masa pubertas, yaitu masa terjadinya transisi dan

    perkembangan pada diri remaja baik secara fisik, psikis, maupun

    secara sosial (Sarwono dalam Wendari, Badrujaman & Aties, 2011).

    SMP mempunyai kurikulum yang lebih menekankan pada

    kemampuan kognitif di antaranya memahami kalimat-kalimat dalam

    soal, dapat membedakan informasi yang diketahui dan permintaan

    soal, tlancar menggunakan pengetahuan-pengetahuan atau ide-ide

    yang diketahui, mengubah kalimat cerita menjadi kalimat

  • 26

    matematika, menggunakan cara-cara atau strategi-strategi yang

    berbeda-beda dalam menyelesaikan soal (Nisa', 2016).

    Sistem kurikulum yang lebih fokus terhadap kemampuan

    kognitif saja menyebabkan keterampilan hidup/ softskill siswa SMP

    menjadi kurang terasah. Hal ini didukung pernyataan Amrizal

    (2011) bahwa seluruh jenis pendidikan pada setiap jenjang

    pendidikan, kecuali pendidikan keagamaan, lebih mementingkan

    aspek kognitif, sedangkan aspek afektif seperti kecerdasan emosi

    dan aspek psikomotorik, serta sistem nilai (value system) sangat

    diterlantarkan.

    Menurut Suhardi (2012) di sekolah terjadi proses sosialisasi

    antara sesama peserta didik (teman sebaya) dan warga sekolah

    lainnya, guru atau pendidik yang dapat terjalin melalui pengajaran

    ilmu, pengetahuan, dan penanaman nilai-nilai serta moralitas.

    Dilihat dari segi waktu proses pembelajaran pada SMP rata-rata

    membutuhkan waktu selama 12 jam sehari (Kemdiknas, 2011).

    Proses sosialisasi di SMP hanya berkisar 12 jam antara peserta didik

    dengan warga sekolahnya, proses sosialisasi akan mempengaruhi

    bagaimana kemampuan mengenali emosi orang lain/ empati dan

    membina hubungan dengan orang lain. Hal ini didukung oleh

    pernyataan Goleman (2018) bahwa sosialisasi merupakan salah satu

    faktor yang mempengaruhi empati/ mengelola emosi orang lain dan

    membina hubungan dengan orang lain.

  • 27

    Siswa SMP biasanya tinggal dengan orang tua karena waktu

    disekolah hanya 12 jam. Anak cenderung lebih bergantung pada

    aturan-aturan yang diterapkan orangtua karena orangtua cenderung

    mengikuti aturan-aturan tentang peran orangtua yang ada dalam

    budaya yang telah dipelajarinya melalui pengalaman menjalani

    sosialisasi (Arnett dalam Lestari, 2009). Remaja yang tidak

    bergantung dan inisiatif dalam bertindak akan lebih mampu

    mengenali dan mengelola emosi, serta memotivasi diri sendiri

    (Goleman, 2018).

    b. Sekolah Keagamaan

    Salah satu bentuk sekolah keagamaan ialah pondok

    pesantren. Krisnatuti (2011) menyatakan bahwa pondok pesantren

    merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional yang memiliki

    fokus tidak hanya pada ilmu pengetahuan umum tetapi juga ilmu

    agama. Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan Islam

    yang menyediakan asrama sebagai tempat tinggal pada santri.

    Pondok pesantren bertujuan untuk membimbing santri menjadi

    manusia berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya

    menjadi mubalig Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan

    amalnya (Saifuddin, 2015).

    Pesantren memiliki sistem yang lebih berfokus kepada moral

    serta keterampilan hidup/softskill. Hal ini didukung penelitian yang

    dilakukan Mushollin (2014) pada suatu pesantren yang visi dan

  • 28

    kurikulumnya yaitu membentuk pola pikir santri yang kritis, logis,

    obyektif yang berlandaskan kejujuran dan akhlaqul karimah serta

    memberikan bekal keterampilan hidup, membangun jiwa santri yang

    mempunyai semangat hidup tinggi dan mandiri serta mampu

    menghadapi tantangan perubahan zaman.

    Siswa yang mengenyam pendidikan di pesantren disebut

    santri. Putri dan Uyun (2017) menyatakan bahwa santri remaja

    terkenal dengan sebutan fase "mencari jati diri" dan fase

    perkembangan yang amat potensial, baik secara aspek kognitif,

    emosi, maupun fisik. Kehidupan di pesantren menuntut santri untuk

    mengikuti banyak kegiatan dan rutinitas sesuai dengan aturan yang

    baik (Krisnatuti, 2011).

    Dilihat dari segi waktu, pada pondok pesantren proses

    pembelajarannya berlangsung selama 24 jam (Kemdiknas, 2011),

    maka proses sosialisasi antara santri dengan warga sekolahnya yaitu

    guru dan teman sebaya akan lebih intens. Menurut Goleman (2018)

    sosialisasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi empati/

    mengelola emosi orang lain dan membina hubungan dengan orang

    lain, semakin intens proses sosialisasi maka akan semakin tinggi

    pula tingkat empati dan membina hubungan dengan orang lain.

    Pendidikan pesantren dikembangkan berdasarkan beberapa

    prinsip, salah satunya merupakan pendidikan sekolah berasrama

    (boarding school), dengan sistem asrama akan mempermudah

  • 29

    mencapai tidak hanya tujuan-tujuan akademik tetapi juga komitmen

    keagamaan dan kepribadian yang matang (Amrizal, 2011). Hasil

    penelitian yang dilakukan Rosdiana (2018) menyatakan bahwa

    sistem pembelajaran boarding school berpengaruh pada

    pembentukan karakter kemandirian peserta didik di SMA IT Baitul

    Muslim Lampung Timur. Ditambahkan Amrizal (2011) bahwa

    pendidikan pesantren memandang santri sebagai makhluk individu

    yang mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk dirinya sendiri,

    sehingga menjadi mandiri dan dapat memberdayakan diri, hal ini

    yang menjadikan santri lebih dapat memotivasi diri sendiri,

    mengenali emosi, serta mengelola emosi diri sendiri.

    C. Perbedaan Kecerdasan Emosi antara Remaja Awal yang Bersekolah

    di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Pondok Pesantren

    Subekti dan Rahma (2014) menyatakan bahwa faktor lingkungan,

    dalam hal ini sekolah, memberikan pengaruh besar terhadap kecerdasan

    emosi remaja. Kecerdasan emosi dipengaruhi faktor lingkungan, salah

    satunya lingkungan sekolah (Goleman, 2018). Lingkungan dari masing-

    masing jenis sekolah mempunyai perbedaan, sekolah dengan kurikulum

    yang berlandaskan Agama Islam membuat kegiatan-kegiatan di sekolah

    menggunakan ajaran Islam baik dalam mata pelajaran maupun kegiatan

    di luar jam pelajaran (Krisnatuti, 2011). Sistem pendidikan yang

    diselenggarakan di Indonesia bersifat dikotomik, pendidikan umum salah

  • 30

    satunya ialah SMP (Sekolah Menengah Pertama) dengan penyelenggara

    Departemen Pendidikan Nasional versus pendidikan keagamaan, salah

    satunya ialah pondok pesantren, dengan penyelenggara Departemen

    Agama (Amrizal, 2011).

    Sekolah umum dalam hal ini ialah SMP (Sekolah Menengah

    Pertama) mempunyai beberapa perbedaan dengan sekolah keagamaan,

    dalam hal ini ialah pondok pesantren, baik dalam hal kurikulum, sistem

    pembelajaran, maupun sosialisasi antara remaja dengan warga sekolah.

    Pada sekolah umum/ SMP, hal ini berlaku untuk seluruh jenjang

    pendidikan kecuali pendidikan keagamaan bahwa sistem kurikulum

    lebih fokus terhadap aspek kognitif sedangkan aspek afektif seperti

    kecerdasan emosi dan aspek psikomotorik, serta sistem nilai (value

    system) sangat diterlantarkan (Amrizal, 2011). Berbeda dengan sekolah

    keagamaan/ pondok pesantren, Mushollin (2014) menyampaikan bahwa

    visi dan kurikulum pesantren ialah membentuk pola pikir santri yang

    kritis, logis, obyektif yang berlandaskan kejujuran dan akhlaqul karimah

    serta memberikan bekal keterampilan hidup, membangun jiwa santri

    yang mempunyai semangat hidup tinggi dan mandiri serta mampu

    menghadapi tantangan perubahan zaman.

    Menurut Suhardi (2012) di sekolah terjadi proses sosialisasi antara

    sesama peserta didik (teman sebaya) dan warga sekolah lainnya, guru

    atau pendidik yang terjalin melalui pengajaran ilmu, pengetahuan, dan

    penanaman nilai-nilai serta moralitas.

  • 31

    Pada sekolah umum/ SMP, dari segi waktu proses pembelajaran

    rata-rata membutuhkan waktu selama 12 jam sehari (Kemdiknas, 2011).

    Proses sosialisasi di SMP hanya berkisar 12 jam antara peserta didik

    dengan warga sekolahnya, proses sosialisasi akan mempengaruhi

    bagaimana kemampuan mengenali emosi orang lain/ empati dan

    membina hubungan dengan orang lain, sedangkan menurut Kemdiknas

    (2011) pada pondok pesantren proses pembelajarannya berlangsung

    hingga 24 jam sehingga proses sosialisasi antara santri dengan warga

    sekolahnya yaitu guru dan teman sebaya akan lebih intens. Menurut

    Goleman (2018) sosialisasi merupakan salah satu faktor yang

    mempengaruhi empati/ mengelola emosi orang lain dan membina

    hubungan dengan orang lain, semakin intens proses sosialisasi maka

    akan semakin tinggi pula tingkat empati dan membina hubungan dengan

    orang lain.

    Pada pondok pesantren, santri semenjak masih remaja dituntut

    mampu mengenali emosi diri dengan dilatih untuk senantiasa memantau

    keadaan diri (muraqabah) agar perbuatan dirinya tetap dalam ketakwaan

    (Hamdan, 2017). Siswa SMP biasanya tinggal dengan orang tua karena

    waktu di sekolah hanya 12 jam, sehingga cenderung lebih bergantung

    pada aturan-aturan yang diterapkan orangtua karena orangtua cenderung

    mengikuti aturan-aturan tentang peran orangtua yang ada dalam budaya

    yang telah dipelajarinya melalui pengalaman menjalani sosialisasi

    (Arnett dalam Lestari, 2009).

  • 32

    Pondok pesantren dikembangkan berdasarkan beberapa prinsip,

    salah satunya merupakan pendidikan sekolah berasrama (boarding

    school). Berdasarkan pernyataan Sanusi (2012) pola pendidikan

    boarding school atau asrama menjadikan santri jauh dari orang tua

    sehingga dituntut untuk dapat menyelesaikan masalahnya secara mandiri

    dan mendorong santri untuk mandiri, baik dalam kebutuhan hidup,

    merapikan diri, merapikan lingkungan sekitar, serta kemandirian belajar,

    sehingga santri terlatih untuk mengelola emosi dan memotivasi diri

    sendiri. Hal ini didukung oleh pernyataan Amrizal (2011) bahwa

    pendidikan pesantren memandang santri sebagai makhluk individu yang

    mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk dirinya sendiri, sehingga

    menjadi mandiri dan dapat memberdayakan diri.

    Penelitian yang dilakukan Hamdan (2017) pada santri penghafal Al-

    Quran menyatakan bahwa 81,82 % dari subjek yang diteliti memiliki

    kecerdasan emosi yang tinggi. Hal ini berarti kebanyakan santri mampu

    mengenali perasaan dirinya, mengelola emosinya agar dapat bertindak

    konstruktif, sehingga para santri mampu memotivasi diri untuk mencapai

    tujuan yang ingin dicapai, selain itu juga memiliki kapasitas untuk

    memahami orang lain guna menjalin hubungan sosial yang efektif.

    Kesamaan menonjol dari penelitian di atas yaitu subjek memiliki latar

    belakang pendidikan pesantren.

    Pada dasarnya proses belajar meningkatkan kecerdasan emosi dapat

    berlangsung dimana saja dan kapan saja, namun kondusifitas lingkungan

  • 33

    pendidikan pesantren dapat memberikan peranan dalam membentuk

    kecerdasan emosi subjek menjadi lebih tinggi (Hamdan, 2017).

    Pendapat ini juga didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan

    Subekti dan Rahma (2014) menunjukkan bahwa kecerdasan emosi

    remaja di Pondok Pesantren Darut Taqwa Semarang masuk dalam

    kategori tinggi. Kondisi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah

    satunya adalah faktor lingkungan sekolah (Alfiah, dalam Subekti &

    Rahma, 2014).

    Remaja yang bersekolah di pondok pesantren mempunyai tingkat

    kecerdasan emosi yang lebih tinggi dibanding remaja yang tidak

    bersekolah di sekolah tanpa berlandaskan ajaran Islam, hal ini di dukung

    dengan penelitian Chrisnawati (2008) yang menyebutkan bahwa

    keyakinan, pengetahuan, praktek dan pengalaman beragama

    berpengaruh pada kecerdasan emosi.

    Berdasarkan penjelasan di atas dapat diduga bahwa adanya

    perbedaan kecerdasan emosi antara remaja awal yang bersekolah di

    Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan remaja awal yang bersekolah di

    pondok pesantren. Remaja awal yang bersekolah di pondok pesantren

    memiliki kecerdasan emosi lebih baik dibandingkan remaja awal yang

    bersekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP).

  • 34

    D. Hipotesis

    Pada penelitian ini, peneliti mengajukan sebuah hipotesis

    yaitu terdapat perbedaan tingkat kecerdasan emosi antara remaja awal

    yang bersekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan remaja awal

    yang bersekolah di pondok pesantren. Remaja awal yang bersekolah di

    pondok pesantren memiliki tingkat kecerdasan emosi lebih tinggi

    daripada remaja awal yang bersekolah di Sekolah Menengah Pertama

    (SMP).