bab ii kajian pustaka 2.1. kecerdasan emosi 2.1.1 ......8 bab ii kajian pustaka 2.1. kecerdasan...

18
8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kecerdasan Emosi 2.1.1 Pengertian Kecerdasan Emosi Istilah kecerdasan emosional diperkenalkan oleh Salovey dan Mayer pada tahun 1990. Dalam kaitannya ini menerangkan jenis-jenis kualitas emosi yang penting untuk mencapai keberhasilan. Jenis-jenis tersebut diantaranya, yaitu : 1) Empati, 2) Mengungkapkan dan memahami perasaan, 3) Mengendalikan amarah, 4) Kemampuan kemandirian, 5) Kemampuan menyesuaikan diri, 6) Kemampuan berdiskusi, 7) Kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, 8) Ketekunan, 9) Kesetiakawanan dan 10) Sikap hormat. Stein & Book (2002), mengutip pandangan Reuven Bar-On. Reuven Bar- On menyatakan kecerdasan emosional adalah serangkaian kemampuan, kompe- tensi dan kecakapan nonkognitif, yang mempengaruhi kemampuan seseorang un- tuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. Hal ini tentunya sangat menekankan tentang bagaimana seseorang dalam hubungan dengan sosialnya. Salovey dan Mayer (Goleman, dalam Hermaya 1997) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya. Dalam Salovey dan Mayer juga dituntut dalam mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan

Upload: others

Post on 12-Feb-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    2.1. Kecerdasan Emosi

    2.1.1 Pengertian Kecerdasan Emosi

    Istilah kecerdasan emosional diperkenalkan oleh Salovey dan Mayer pada

    tahun 1990. Dalam kaitannya ini menerangkan jenis-jenis kualitas emosi yang

    penting untuk mencapai keberhasilan. Jenis-jenis tersebut diantaranya, yaitu :

    1) Empati, 2) Mengungkapkan dan memahami perasaan, 3) Mengendalikan

    amarah, 4) Kemampuan kemandirian, 5) Kemampuan menyesuaikan diri, 6)

    Kemampuan berdiskusi, 7) Kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, 8)

    Ketekunan, 9) Kesetiakawanan dan 10) Sikap hormat.

    Stein & Book (2002), mengutip pandangan Reuven Bar-On. Reuven Bar-

    On menyatakan kecerdasan emosional adalah serangkaian kemampuan, kompe-

    tensi dan kecakapan nonkognitif, yang mempengaruhi kemampuan seseorang un-

    tuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. Hal ini tentunya sangat

    menekankan tentang bagaimana seseorang dalam hubungan dengan sosialnya.

    Salovey dan Mayer (Goleman, dalam Hermaya 1997) mendefinisikan

    kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan

    membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan

    maknanya. Dalam Salovey dan Mayer juga dituntut dalam mengendalikan

    perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan

  • 9

    intelektual. Kecerdasan emosi dipandang sebagai tolak ukur dalam proses

    pencapaian emosi yang lebih stabil dan terkendali.

    Cooper And Sawaf (dalam Alex Tri Kantjono, 1998) menyatakan

    kecerdasan emosional dan kecerdasan-kecerdasan lain saling menyempurnakan

    dan melengkapi. Emosi menyulut kreativitas, kolaborasi, inisiatif dan

    transformasi. Penalaran logik berfungsi mengatasi dorongan keliru dan

    menyelaraskan tujuan dengan proses dan teknologi dengan sentuhan manusiawi.

    Kecerdasan emosional memberi informasi penting yang menguntungkan.

    Umpan balik dari kecerdasan emosi memunculkan kreativitas, bersifat jujur

    mengenai diri sendiri, menjalin hubungan yang saling mempercayai, memberi

    panduan nurani bagi hidup dan karier, membantu menghadapi kemungkinan yang

    tidak terduga dan dapat menyelamatkan diri dari kehancuran. Kecerdasan

    emosional juga menuntun individu belajar mengakui dan menghargai perasaan

    diri dan orang lain dan memberi tanggapan yang tepat, menerapkan dengan efektif

    informasi dan energi dalam kehidupan sehari-hari.

    Berdasarkan beberapa kutipan dari para ahli tersebut, maka sebagai

    penulis lebih merujuk pada teori Salovey dan Mayer karena didalam pendapatnya

    tentang kecerdasan emosi yang dipandang sebagai pengenalan terhadap perasaan

    serta pengendalian yang diharapkan dapat membantu dalam perkembangan emosi

    dan intelektualnya sangat sesuai dengan penelitian dari penulis dalam kaitannya

    dengan definisi kecerdasan emosi.

  • 10

    2.1.2. Unsur-Unsur Dalam Kecerdasan Emosional

    Salovey dan Mayer (1997), mempertajam kemampuan kecerdasan

    emosional menjadi 5 wilayah utama, yaitu:

    1) Mengenali emosi diri

    Intinya adalah kesadaran diri, yaitu mengenali perasaan sewaktu perasaan

    itu terjadi. Kemampuan mengenali diri sendiri merupakan kemampuan dasar dari

    kecerdasan emosional. Kesadaran diri adalah perhatian terus-menerus terhadap

    keadaan batin seseorang. Dalam kesadaran refleksi diri ini, pikiran mengamati dan

    menggali pengalaman, termasuk emosi. Kemampuan ini berfungsi memantau

    perasaan dari waktu ke waktu dan mencermati perasaan-perasaan yang muncul.

    Ketidak mampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya menandakan

    bahwa orang berada dalam kekuasaan emosi.

    2) Mengelola emosi

    Kemampuan mengelola emosi yaitu menangani perasaan agar perasaan

    terungkap dengan tepat. Kecakapan ini bergantung pada kesadaran diri pula.

    Mengelola emosi berhubungan dengan kemampuan untuk menghibur diri sendiri,

    melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat yang timbul

    karena kegagalan keterampilan emosi dasar. Orang yang buruk kemampuannya

    dalam keterampilan ini terus menerus bertarung melawan rasa murung, orang yang

    pintar akan dapat bangkit kembali jauh lebih cepat. Kemampuan mengelola emosi

    meliputi: kemampuan penguasaan diri dan kemampuan menenangkan diri

    kembali.

  • 11

    3) Memotivasi diri sendiri

    Termasuk dalam memotivasi diri merupakan kemampuan menata emosi,

    yaitu alat untuk mencapai tujuan dalam kaitan memberi perhatian yang sangat

    penting untuk memotivasi diri, berkreasi dan menguasai diri. Orang yang memiliki

    keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam berbagai bidang

    kegiatan yang dikerjakan. Kemampuan ini didasari kemampuan mengendalikan

    emosi, yaitu dengan menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan

    hati. Kemampuan ini memungkinkan orang menyesuaikan diri dalam tuntutan

    berkreasi yang berlangsung di tempat kerja sambil mengendalikan dorongan hati,

    kekuatan berpikir positif dan bersikap optimis.

    4) Mengenali emosi orang lain

    Kemampuan ini disebut dengan istilah empati, yaitu kemampuan yang juga

    bergantung pada kesadaran diri emosional, yang merupakan keterampilan dasar

    dalam bergaul. Kemampuan berempati, yaitu mengetahui perasaan orang lain ikut

    berperan dalam perjuangan hidup. Orang yang empatik mampu menangkap sinyal-

    sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan atau

    dikehendaki oleh orang lain.

    5) Membina hubungan dengan orang lain

    Seni membina hubungan sosial merupakan keterampilan mengelola orang

    lain, meliputi keterampilan sosial yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan

    keberhasilan hubungan antar pribadi. Keterampilan sosial adalah unsur untuk

    menajamkan kemampuan antar pribadi, unsur pembentuk daya tarik, sukses sosial

  • 12

    dan karisma pribadi. Individu yang terampil dalam kecerdasan sosial lancar

    menjalin hubungan dengan orang lain, peka membaca reaksi dan perasaan orang

    lain, mampu memimpin dan mengorganisasi serta pintar menangani perselisihan

    dalam pekerjaan.

    Reuven Bar-On (2002), merangkum kecerdasan emosional ke dalam lima

    area atau ranah yang menyeluruh, yaitu:

    1) Ranah Intra Pribadi

    Ranah intra pribadi terkait dengan kemampuan individu untuk mengenal

    dan mengendalikan diri sendiri. Ranah ini meliputi kesadaran diri, sikap asertif,

    kemandirian, penghargaan diri dan aktualisasi diri.

    2) Ranah Antar Pribadi

    Ranah antar pribadi berkaitan dengan “keterampilan bergaul” yaitu

    kemampuan individu berinteraksi dan bergaul baik dengan orang lain. Ranah ini

    meliputi empati, tanggung jawab sosial dan hubungan antar pribadi.

    3) Ranah Penyesuaian Diri

    Ranah penyesuaian diri berkaitan dengan sikap individu yang lentur dan

    realistik dan untuk memecahkan aneka masalah yang muncul. Ranah ini meliputi

    kemampuan untuk melihat sesuatu sesuai dengan kenyataannya, sikap fleksibel

    dan kemampuan mendefinisikan permasalahan, kemudian bertindak untuk mencari

    dan menerapkan pemecahan yang jitu dan tepat. Ranah ini meliputi uji realitas,

    sikap fleksibel dan pemecahan masalah.

  • 13

    4) Ranah Pengendalian Stres

    Ranah pengendalian stres terkait dengan kemampuan individu untuk tahan

    menghadapi stres dan mengendalikan impuls/dorongan nafsu serta kemampuan

    untuk menahan atau menunda keinginan untuk bertindak tanpa menimbang dengan

    matang/seksama. Ranah ini meliputi ketahanan menanggung stres dan

    pengendalian impuls/dorongan nafsu.

    5) Ranah Suasana Hati Umum

    Ranah suasana hati umum berkaitan dengan pandangan individu tentang

    kehidupan, bergembira dalam bersendiri maupun bersama orang lain serta

    keseluruhan rasa puas atau lega yang dirasakan individu. Ranah ini meliputi

    kemampuan untuk mempertahankan sikap positif yang realistik, terutama dalam

    menghadapi masa sulit (optimistik) dan mensyukuri kehidupan, menyukai diri

    sendiri dan orang lain, serta semangat dan gairah melakukan tiap kegiatan

    (kebahagiaan).

    Gambar 1. Model Kecerdasan Emosional Reuven Bar-On

    Intra Pribadi Antar Pribadi

    Pengendalian Stres PenyesuaianDiri

  • 14

    Berdasarkan kutipan para ahli diatas maka penulis lebih mengacu dengan

    Teori Salovey dan Mayer (1997), karena unsur-unsur dalam kecerdasan emosional

    yang dibagi menjadi lima wilayah utama yang terbagi dalam pengenalan emosi

    diri, pengelolaan emosi, pemotivasian diri, mengenali emosi orang lain, dan

    membina hubungan dengan orang lain sehingga penulis berpendapat bahwa semua

    indikator mendukung terhadap kemampuan diri seseorang dalam kaitannya

    mempertajam kemampuan kecerdasan emosionalnya seperti yang diharapkan

    dalam penelitian penulis.

    2.1.3. Dimensi-Dimensi Pembentuk Kecerdasan Emosional

    Pada tahun 1997 Salovey & Mayer mendefinisikan kecerdasan emosi

    sebagai keterampilan yang saling berkaitan yang diklasifikasikannya ke dalam

    empat dimensi kecakapan, yaitu dalam:

    1) Mengamati, mengapresiasi dan mengekspresikan emosi secara akurat.

    2) Mengakses dan menghasilkan perasaan-perasaan yang memfasilitasi pikiran.

    3) Memahami emosi dan pengetahuan tentang emosi.

    4) Mengatur emosi untuk mempromosikan perkembangan emosional dan

    intelektual.

    Penelitian ini menggunakan instrumen Wong & Law (Law, Wong & Song,

    2004) yang dinamai WLEIS (Wong and Law Emotional Intelligence Scale) yang

    mengacu pada definisi berdimensi empat dengan deskripsi sebagai berikut:

    Dimensi I :

    SEA (Self Emotional Appraisal) or Appraisal and expression of emotion in

    oneself (Menilai dan mengekspresikan perasaan dalam diri sendiri). Dimensi ini

  • 15

    berkenaan dengan kecakapan memahami perasaan diri yang terdalam serta cakap

    mengekspresikan perasaan secara wajar. Individu yang memiliki kecakapan tinggi

    dalam dimensi ini dapat menyadari, mengakui dan menerima perasaan-

    perasaannya lebih baik daripada orang-orang lain.

    Dimensi II :

    OEA (Others-Emotional Appraisal) or Appraisal and recognition of emotion

    in others (Menilai dan menerima perasaan dalam diri orang-orang lain). Dimensi

    ini berkenaan dengan kecakapan individu mengamati dan memahami perasaan-

    perasaan orang-orang di sekitar. Individu yang tinggi kecakapannya dalam

    dimensi ini sangat peka dengan perasaan orang-orang lain sekaligus cakap

    memprediksi respon perasaan orang-orang lain.

    Dimensi III:

    UOE (Use of Emotion) or Use of emotion to facilitate performance

    (menggunakan perasaan untuk memperlancar kinerja). Dimensi ini berkenaan

    dengan kecakapan individu untuk menggunakan perasaan melalui mengarahkan

    perasaannya ke kegiatan yang konstruktif dan untuk mendukung kinerja pribadi.

    Individu yang memiliki kadar tinggi pada dimensi ini cakap mendorong dan

    menyemangati diri untuk berbuat semakin baik secara berkesinambungan.

    Individu juga cakap mengarahkan perasaannya ke arah kegiatan yang positif dan

    produktif.

    Dimensi IV:

    ROE (Regulation of Emotion) or Regulation of emotion in oneself (Meng-

    atur perasaan diri sendiri). Dimensi ini berkenaan dengan kecakapan individu

    mengatur perasaan-perasaannya sehingga memampukannya cepat pulih dari

    ketegangan psikologis. Individu yang sangat tinggi kadar kecakapan dalam

    dimensi ini dengan cepat akan pulih kembali ke kondisi psikologis normal setelah

  • 16

    bergembira atau sakit hari atau jengkel. Individu juga lebih memiliki kecakapan

    mengendalikan emosinya serta sangat kecil kemungkinan kelepasan kendali

    perasaan atau mengumbar amarah.

    Berdasarkan pandangan diatas, penulis sesuai dengan Teori Salovey dan

    Mayer yang dilengkapi dengan instrumen Wong & Law (Law, Wong & Song,

    2004) yang dinamai WLEIS (Wong and Law Emotional Intelligence Scale) yang

    mengacu pada definisi berdimensi empat karena didalam keempat dimensi

    tersebut mendukung penelitian penulis.

    2.2 . Konformitas Negatif

    2.2.1. Pengertian Konformitas

    Manusia mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungannya agar dapat

    bertahan hidup. Cara termudah adalah melakukan tindakan sesuai dan diterima

    secara sosial. Melakukan tindakan yang sesuai dengan norma sosial dan psikologi

    sosial disebut konformitas (Sarwono, 2009).

    Menurut Cialdini & Goldstein (dalam Sarwono, 2009), konformitas adalah

    tendensi untuk mengubah keyakinan atau perilaku seseorang agar sesuai dengan

    perilaku orang lain. Contoh dari perilaku konformitas yaitu remaja lebih suka

    mengenakan baju seperti orang lain dalam kelompok sosial, karena mengikuti

    trens busana terbaru.

    Sears, dkk (1999), berpendapat bahwa bila seseorang menampilkan

    perilaku tertentu karena disebabkan oleh orang lain menampilkan perilaku

    tersebut, disebut konformitas. Konformitas terhadap kelompok teman sebaya

    ternyata merupakan suatu hal yang paling banyak terjadi pada masa remaja. Agar

    remaja dapat diterima dalam kelompok acuan maka penampilan fisik merupakan

  • 17

    potensi yang dimanfaatkan untuk memperoleh hasil yang menyenangkan yaitu

    merasa terlihat menarik atau merasa mudah berteman.

    Konformitas tidak hanya sekedar bertindak sesuai dengan tindakan yang

    dilakukan oleh orang lain tetapi juga berarti dipengaruhi oleh bagaimana

    seseorang bertindak. Mayer (dalam Salemba Humanika, 1999) juga

    mengemukakan bahwa konformitas merupakan perubahan perilaku sebagai akibat

    dari tekanan kelompok. Ini terlihat dari kecenderungan remaja untuk selalu

    menyamakan perilakunya dengan kelompok acuan sehingga dapat terhindar dari

    celaan maupun keterasingan.

    Zebua dan Nurdjayadi (2001), menjelaskan bahwa konformitas adalah

    kecenderungan seseorang menerima dan mengikuti norma yang dibuat

    kelompoknya. Konformitas berarti tunduk pada tekanan kelompok meskipun tidak

    ada permintaan langsung untuk mengikuti apa yang telah diperbuat oleh

    kelompok.

    Konformitas muncul pada masa remaja awal yaitu antara 13 tahun sampai

    16 atau 17 tahun, yang ditunjukkan dengan cara menyamakan diri dengan teman

    sebaya dalam hal berpakaian, bergaya, berperilaku, berkegiatan dan sebagainya.

    Sebagian remaja beranggapan bila mereka berpakaian atau menggunakan

    aksesoris yang sama dengan yang sedang diminati kelompok acuan, maka timbul

    rasa percaya diri dan kesempatan diterima kelompok lebih besar.

    Mayer (dalam Salemba, 1999), menyatakan bahwa konformitas mengarah

    pada suatu perubahan tingkah laku ataupun kepercayaan seseorang sebagai hasil

    dari tekanan kelompok baik secara nyata maupun tidak nyata.

  • 18

    Berdasarkan kutipan dari para ahli diatas, maka penulis lebih sesuai

    dengan Teori Sears, dkk (1999), yang berpendapat bahwa konformitas terhadap

    kelompok teman sebaya ternyata merupakan suatu hal yang paling banyak terjadi

    pada masa remaja dan teori ini mendukung penulis dalam kaitannya penelitian

    yang memiliki populasi remaja yang menyukai kegiatan aktif bersama-sama

    dengan kelompoknya sehingga terdapat celah serta kesempatan untuk munculnya

    konformitas.

    2.2.2.Jenis Konformitas

    Menurut Sears, dkk (1999) terdapat dua jenis konformitas, yaitu

    compliance dan acceptance.

    1.Compliance (Penolakan Sebagian)

    Individu bertingkah laku sesuai dengan tekanan kelompok, sementara

    secara pribadi ia tidak menyetujui tingkah laku tersebut.

    2.Acceptance (Penerimaan Penuh)

    Tingkah laku dan keyakinan individu sesuai dengan tekanan kelompok

    yang diterimanya.

    Berdasarkan kutipan diatas, maka penulis sesuai dengan Sears yang

    membagi jenis konformitas terbagi menjadi dua kategori yaitu compliance yang

    bersifat penolakan secara pribadi namun tetap bertingkah laku sesuai tekanan

    kelompok dan acceptance yang keseluruhan dirinya sesuai dengan tekanan

    kelompok yang diterimanya.

  • 19

    2.2.3. Aspek-Aspek Konformitas

    Konformitas sebuah kelompok acuan dapat mudah terlihat dengan adanya

    ciri-ciri yang khas. Sears (1999) mengemukakan secara eksplisit bahwa

    konformitas remaja ditandai dengan adanya tiga hal sebagai berikut:

    1. Kekompakan

    Kekuatan yang dimiliki kelompok acuan menyebabkan remaja tertarik dan

    ingin tetap menjadi anggota kelompok. Eratnya hubungan remaja dengan

    kelompok acuan disebabkan perasaan suka antara anggota kelompok serta harapan

    memperoleh manfaat dari keanggotaannya. Semakin besar rasa suka anggota yang

    satu terhadap anggota yang lain, dan semakin besar harapan untuk memperoleh

    manfaat dari keanggotaan kelompok serta semakin besar kesetiaan mereka, maka

    akan semakin kompak kelompok tersebut. Kekompakan tersebut dapat

    dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut:

    a. Penyesuaian Diri

    Kekompakan yang tinggi menimbulkan tingkat konformitas yang semakin

    tinggi. Alasan utamanya adalah bahwa bila orang merasa dekat dengan anggota

    kelompok lain, akan semakin menyenangkan bagi mereka untuk mengakui kita,

    dan semakin menyakitkan bila mereka mencela kita. Kemungkinan untuk

    menyesuaikan diri akan semakin besar bila kita mempunyai keinginan yang kuat

    untuk menjadi anggota sebuah kelompok tertentu.

    b. Perhatian Terhadap Kelompok

    Peningkatan konformitas terjadi karena anggotanya enggan disebut

    sebagai orang yang menyimpang. Seperti yang telah kita ketahui, penyimpangan

  • 20

    menimbulkan resiko ditolak. Orang yang terlalu sering menyimpang pada saat-

    saat yang penting diperlukan, tidak menyenangkan, dan bahkan bias dikeluarkan

    dari kelompok. Semakin tinggi perhatian seseorang dalam kelompok semakin

    serius tingkat rasa takutnya terhadap penolakan, dan semakin kecil kemungkinan

    untuk tidak meyetujui kelompok.

    2. Kesepakatan

    Pendapat kelompok acuan yang sudah dibuat memiliki tekanan kuat

    sehingga remaja harus loyal dan menyesuaikan pendapatnya dengan pendapat

    kelompok. Kesepakatan tersebut dapat di pengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut:

    a. Kepercayaan

    Penurunan melakukan konformitas yang drastis karena hancurnya

    kesepakatan disebabkan oleh faktor kepercayaan. Tingkat kepercayaan terhadap

    mayoritas akan menurun bila terjadi perbedaan pendapat, meskipun orang yang

    berbeda pendapat itu sebenarnya kurang ahli bila dibandingkan anggota lain yang

    membentuk mayoritas. Bila seseorang sudah tidak mempunyai kepercayaan

    terhadap pendapat kelompok, maka hal ini dapat mengurangi ketergantungan

    individu terhadap kelompok sebagai sebuah kesepakatan.

    b. Persamaan Pendapat

    Bila dalam suatu kelompok terdapat satu orang saja tidak sependapat

    dengan anggota kelompok yang lain maka konformitas akan turun. Kehadiran

    orang yang tidak sependapat tersebut menunjukkan terjadinya perbedaan yang

    dapat berakibat pada berkurangnya kesepakatan kelompok. Jadi dengan

  • 21

    persamaan pendapat antar anggota kelompok maka konformitas akan semakin

    tinggi.

    c. Penyimpangan Terhadap Pendapat Kelompok

    Bila orang mempunyai pendapat yang berbeda dengan orang lain maka

    orang tersebut akan dikucilkan dan dipandang sebagai orang yang menyimpang,

    baik dalam pandangannya sendiri maupun dalam pandangan orang lain. Jadi

    kesimpulan bahwa orang yang menyimpang akan menyebabkan penurunan

    kesepakatan, ini merupakan aspek penting dalam melakukan konformitas.

    3. Ketaatan

    Tekanan atau tuntutan kelompok acuan pada remaja membuatnya rela

    melakukan tindakan walaupun remaja tidak menginginkannya. Bila ketaatannya

    tinggi maka konformitasnya akan tinggi juga. Ketaatan tersebut dapat di

    pengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut:

    a. Tekanan karena Ganjaran, Ancaman, atau Hukuman

    Salah satu cara untuk menimbulkan ketaatan adalah dengan meningkatkan

    tekanan terhadap individu untuk menampilkan perilaku yang diinginkan melalui

    ganjaran, ancaman, atau hukuman karena akan menimbulkan ketaatan yang

    semakin besar. Semua itu merupakan insentif pokok untuk mengubah perilaku

    seseorang.

    b. Harapan Orang Lain

    Seseorang akan rela memenuhi permintaan orang lain hanya karena orang

    lain tersebut mengharapkannya. Dan ini akan mudah dilihat bila permintaan

    diajukan secara langsung. Harapan-harapan orang lain dapat menimbulkan

  • 22

    ketaatan, bahkan meskipun harapan itu bersifat implisit. Salah satu cara untuk

    memaksimalkan ketaatan adalah dengan menempatkan individu dalam situasi

    yang terkendali, dimana segala sesuatunya diatur sedemikian rupa sehingga

    ketidaktaatan merupakan hal yang hampir tidak mungkin timbul.

    Berdasarkan kutipan dari ahli diatas maka penulis sesuai dengan Sears

    yang menyimpulkan bahwa aspek-aspek konformitas ditandai dengan tiga hal

    yang meliputi kekompakan, kesepakatan dan ketaatan yang masing-masing tanda

    tersebut masih memiliki poin-poin pendukung seperti yang ada didalam

    kekompakan terdapat penyesuaian diri dan perhatian terhadap kelompok , lalu

    pada tanda kesepakatan memiliki tiga poin pendukung yaitu kepercayaan,

    persamaan pendapat dan penyimpangan terhadap pendapat kelompok, serta dalam

    tanda ketaatan memiliki poin pendukung seperti tekanan karena ( ganjaran,

    ancaman atau hukuman ) dan harapan orang lain. Keseluruhan dari berbagai tanda

    dan poin-poin pendukung didalamnya ini merupakan aspek-aspek pendukung

    dalam konformitas.

    2.2.4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Konformitas

    Pada dasarnya, orang menyesuaikan diri mempunyai alasan yang kuat.

    Demikian juga dengan orang melakukan konformitas disebabkan oleh beberapa

    alasan dan faktor-faktor. Seseorang yang melakukan konfomitas juga akan

    berdampak negatif dan positif. Hal - hal yang mempengaruhi adanya konformitas

    yang berdampak baik (positif) ataupun buruk (negatif) menurut Sears (1999)

    adalah:

  • 23

    1. Kurangnya Informasi. Orang lain merupakan sumber informasi yang penting.

    Seringkali orang lain mengetahui sesuatu yang tidak diketahui seseorang,

    dengan melakukan apa yang orang lain lakukan, seseorang akan memperoleh

    manfaat dari pengetahuan orang lain.

    2. Kepercayaan terhadap kelompok. Dalam situasi konformitas, individu

    mempunyai suatu pandangan dan kemudian menyadari bahwa kelompoknya

    menganut pandangan yang bertentangan. Semakin besar kepercayaan individu

    terhadap kelompok sebagai sumber informasi yang benar, semakin besar pula

    kemungkinan untuk menyesuaikan diri terhadap kelompok. Semakin tinggi

    keahlian anggota dalam kelompok tersebut dalam hubungannya dengan

    individu, semakin tinggi tingkat kepercayaan dan penghargaan individu

    terhadap kelompok tersebut.

    3. Kepercayaan diri yang lemah. Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi

    rasa percaya diri dan tingkat konformitas adalah tingkat keyakinan orang

    tersebut pada kemampuannya sendiri untuk menampilkan suatu reaksi.

    Semakin lemah kepercayaan seseorang akan penilaiannya sendiri, semakin

    tinggi tingkat konformitasnya. Sebaliknya, jika seseorang merasa yakin akan

    kemampuannya sendiri akan penilaian terhadap sesuatu hal, semakin turun

    tingkat konformitasnya.

    4. Rasa takut terhadap celaan sosial. Celaan sosial memberikan efek yang

    signifikan terhadap sikap individu karena pada dasarnya setiap manusia

    cenderung mengusahakan persetujuan dan menghindari celaan kelompok

    dalam setiap tindakannya.

  • 24

    Berdasarkan dari berbagai pandangan yang diambil diatas maka penulis

    lebih sesuai dengan pernyataan yang mengacu kepada Sears (1999) yang

    menyatakan bahwa remaja penuh dengan gejolak emosi yang masih terhitung labil

    dalam proses penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitar dan kehidupan

    sosialnya sehingga kurang memperdulikan tentang resiko dan dampak dari

    perilakunya sendiri.

    2.3. Hasil Penelitian yang Relevan

    Penelitian Nia Kurniawati (2008), yang berjudul hubungan kecerdasan

    emosi dengan konformitas negatif remaja di SMAN 2 Surakarta, menghasilkan

    nilai signifikansi (P) = 0,003 dan koefisien korelasi (R) = -0,654 yang berarti P <

    0,05 maka dapat diketahui bahwa ada hubungan antara kecerdasan emosi dengan

    konformitas negatif ke arah negatif yang artinya semakin tinggi kecerdasan emosi

    maka semakin rendah konformitas negatif remaja, sehingga hipotesis diterima.

    Penelitian dari Fema Rachmawati (2013), yang berjudul hubungan

    kecerdasan emosi dengan konformitas pada remaja di SMA Muhammadiyah 3

    Yogyakarta, menghasilkan koefisien korelasi R = 0,278 dengan taraf signifikansi

    {(P) 0,002 (P < 0,05)} dan dapat diketahui bahwa adanya hubungan positif yang

    sangat signifikansi antara kecerdasan emosi dengan konformitas pada remaja yang

    artinya semakin tinggi kecerdasan emosi semakin tinggi konformitas negatif pada

    remaja sehingga hipotesa, diterima.

  • 25

    2.4. Hipotesis

    Hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

    ”Ada hubungan yang signifikan antara tingkat kecerdasan emosi dengan

    konformitas negatif pada siswa kelas XI IPS SMAN 1 Salatiga”.