bab ii kajian pustaka - sinta.unud.ac.id ii.pdfkekompakkan dan keeratan anggota tim. 4) faktor...
TRANSCRIPT
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Kajian pustaka pada penelitian ini akan menguraikan beberapa teori tentang
kinerja pegawai, kepuasan kerja, dan kepemimpinan. Teori – teori tersebut akan
diuraikan berikut ini.
2.1. Kinerja
2.1.1 Pengertian Kinerja
Menurut pendekatan perilaku, kinerja adalah kuantitas atau kualitas sesuatu
yang dihasilkan atau jasa yang diberikan oleh seseorang yang melakukan pekerjaan
(Luthans, 2005:165). Kinerja sebagai gabungan perilaku dengan prestasi yang
diharapkan atau bagian syarat-syarat tugas yang ada pada masing-masing individu
dalam organisasi (Waldman, 1994). Sedangkan Mangkunegara (2001:67),
menjelaskan kinerja sebagai hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dapat
dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung
jawab yang diberikan.
Hameed and Waheed (2011:228), menjelaskan employee Performance
means employee productivity and output as a result of employee development.
Selanjutnya, Bastian dalam Fahmi (2012:226) mendefinisikan kinerja adalah
gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam mewujudkan
sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam perumusan strategis
12
organisasi. Kinerja merupakan prestasi kerja, yaitu perbandingan antara hasil kerja
dengan standar yang ditetapkan (Dessler, 2000:41) yang secara kualitas maupun
kuantitas dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas sesuai tanggung jawab
yang diberikan (Mangkunagara, 2002:22). Kinerja pada dasarnya adalah apa yang
dilakukan atau tidak dilakukan pegawai (Mathis dan Jackson, 2009:65).
Berbagai jenis pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai tentunya membutuhkan
kriteria yang jelas, karena masing-masing pekerjaan mempunyai standar yang
berbeda-beda tentang pencapaian hasil. Makin rumit jenis pekerjaan, maka standard
operating procedure yang telah ditetapkan akan menjadi syarat mutlak yang harus
dipatuhi.
2.1.2 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja
Para pimpinan organisasi sangat menyadari adanya perbedaan kinerja
antarpegawai. Secara garis besar perbedaan kinerja ini disebabkan oleh dua faktor
(As’ad,1998) yaitu: faktor individu dan situasi kerja. Mahmudi (2005), menyebutkan
lima faktor yang mempengaruhi kinerja, sebagai berikut:
1) Faktor personal/individual, meliputi: pengetahuan, keterampilan,
kemampuan, kepercayaan diri, motivasi, dan komitmen yang dimiliki oleh
setiap individu.
2) Faktor kepemimpinan, meliputi: kualitas dalam memberikan dorongan
semangat, arahan dan dukungan yang diberikan manajer dan team leader.
13
3) Faktor lain meliputi : kualitas dukungan dan semangat yang diberikan oleh
rekan dalam satu tim, kepercayaan terhadap sesama anggota tim,
kekompakkan dan keeratan anggota tim.
4) Faktor sistem, meliputi : system kerja, fasilitas kerja (infranstruktur) yang
diberikan organisasi, proses organisasi dan kultur kinerja dalam organisasi.
5) Faktor kontekstual (situasional), meliputi: tekanan dan perubahan
lingkungan eksternal dan internal.
2.1.3. Indikator Kinerja Pegawai
Indikator untuk mengukur kinerja pegawai secara individu ada lima indikator,
yaitu (Robbins, 2006:260):
a) Kualitas. Kualitas kerja diukur dari persepsi pegawai terhadap kualitas
pekerjaan yang dihasilkan serta kesempurnaan tugas terhadap keterampilan
dan kemampuan pegawai.
b) Kuantitas. Merupakan jumlah yang dihasilkan dinyatakan dalam istilah seperti
jumlah unit dan jumlah siklus aktivitas yang diselesaikan.
c) Ketepatan waktu. Merupakan tingkat aktivitas diselesaikan pada awal waktu
yang dinyatakan, dilihat dari sudut koordinasi dengan hasil output serta
memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktivitas lain.
d) Efektivitas. Merupakan tingkat penggunaan sumber daya organisasi (tenaga,
uang, teknologi, bahan baku) dimaksimalkan dengan maksud menaikkan hasil
dari setiap unit dalam penggunaan sumber daya.
14
e) Kemandirian. Merupakan tingkat seorang pegawai untuk menjalankan fungsi
kerjanya. Merupakan suatu tingkat dimana pegawai mempunyai komitmen
kerja dengan instansi dan tanggung jawab pegawai terhadap kantor.
2.1.4. Tujuan Penilaian Kinerja
Kinerja merupakan prestasi kerja atau hasil kerja baik kualitas maupun
kuantitas yang dicapai SDM per satuan periode waktu dalam melaksanakan tugas.
Penilaian kinerja digunakan untuk berbagai tujuan dalam organisasi. Tujuan penilaian
kinerja adalah untuk memperbaiki atau meningkatkan kinerja organisasi melalui
peningkatan kinerja sumber daya manusia. Secara lebih spesifik, tujuan penilaian
kinerja (Prabu, 2009:10) adalah sebabagi berikut:
1) Meningkatkan saling pengertian antara karyawan tentang persyaratan kerja
2) Mencatat dan mengakui hasil kerja karyawan sehingga mereka termotivasi
untuk berbuat yang lebih baik, atau sekurang-kurangnya berprestasi yang
sama seperti sebelumnya.
3) Memberikan peluang kepada karyawan untuk mendiskusikan keinginan dan
aspirasinya sehingga meningkatkan kepeduliannya terhadap karier.
4) Merumuskan kembali sasaran masa depan sehingga karyawan termotivasi
berprestasi sesuai dengan potensinya.
5) Memeriksa rencana pelaksanaan dan pengembangan yang sesuai dengan
kebutuhan pelatihan.
15
2.2. Kepuasan Kerja
2.2.1. Pengertian Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja adalah respon emosional terhadap berbagai aspek pekerjaan
(Kreitner dan Kinicki, 2003). Definisi ini tidak dapat diartikan sebagai suatu konsep
tunggal di mana seseorang dapat relatif puas dengan suatu aspek pekerjaan dan tidak
puas dengan salah satu atau lebih aspek yang lain. Kepuasan merupakan cermin dari
perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Robbins (2013) mendefinisikan kepuasan
kerja sebagai sikap umum seorang terhadap pekerjaannya atau selisih antara
banyaknya ganjaran yang diterima dengan banyaknya yang mereka yakini
seharusnya diterima. Kepuasan kerja ditentukan oleh beberapa faktor yakni; kerja
yang secara mental menantang, kondisi kerja yang mendukung, duungan rekan kerja,
serta kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan.
2.2.2. Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja adalah suatu kondisi yang menyimbangi antara apa yang
dikehendai seorang pegawai dengan apa yang dirasakan. Oleh karena itu, kepuasan
kerja sangat tergantung pada setiap pegawai yang bekerja di organisasi tersebut.
Blum dalam Sutrisno (2009:77) mengatakan bahwa ada tiga faktor yang
mempengaruhi kepuasan antara lain: 1). Faktor individual, meliputi umur, kesehatan,
watak, dan harapan; 2). Faktor sosial, meliputi hubungan keluarga pendangan
pekerjaan, kebebasan berpolitik, dan hubungan kemasyarakatan; 3). Faktor utama
dalam pekerjaan, meliputi upah, pengawasan, ketentraman kerja, kondisi kerja, dan
16
kesempatan untuk maju.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja diantaranya
adalah; Pertama faktor individu, kepuasan kerja dipengaruhi usia, jenis kelamin,
pengalaman dan sebagainya. Kedua faktor pekerjaan, kepuasan kerja dipengaruhi
oleh otonomi pekerjaan, kreatifitas yang beragam, identitas tugas, keberartian tugas
(task significancy), pekerjaan tertentu yang bermakna dalam organisasi dan lain-lain.
Dan ketiga faktor organisasional, yakni kepuasan kerja dipengaruhi oleh skala usaha,
kompleksitas organisasi, formalitas, sentralisasi, jumlah anggota kelompok, lamanya
beroperasi, usia kelompok kerja dan kepemimpinan (Robbins, 2006; 110).
Luthans (2009; 107) mengemukakan terdapat tiga dimensi penting dalam
kepuasan kerja, yaitu; 1). kepuasan kerja merupakan respon emosional terhadap
situasi kerja; 2). kepuasan kerja sering kali ditentukan oleh bagaimana hasil yang
diperoleh sesuai atau melebihi harapan; dan 3). kepuasan kerja mencerminkan
beberapa perilaku yang berkaitan. Hulin et al., dalam Luthans (2009; 112)
mengungkapkan lima dimensi yang mencerminkan karakteristik penting tentang kerja
yang ditanggapi pegawai secara efektif, yaitu pekerjaan itu sendiri, gaji, kesempatan
promosi, supervisi (pengawasan) dan rekan kerja.
Hal tersebut yang dijelaskan Luthans (2009; 108) sebagai dimensi kepuasan
kerja, sebagai pengembangan dari ketiga dimensi sebelumnya, yaitu :
1) Pekerjaan itu sendiri. Merupakan sumber utama kepuasan dimana pekerjaan
tersebut memberikan tugas yang menarik, kesempatan belajar, kesempatan
menerima tanggung jawab dan kemajuan pegawai. Karakteristik pekerjaan dan
17
kompleksitas pekerjaan menghubungkan antara kepribadian dan kepuasan kerja.
Jika persyaratan pekerjaan terpenuhi, mereka cenderung menjadi puas.
2) Gaji. Merupakan sejumlah imbalan yang diterima dan tingkat dimana hal ini bisa
dipandang sebagai hal yang dianggap pantas dibandingkan dengan orang lain
dalam organisasi. Pegawai melihat imbalan sebagai refleksi dari bagaimana
manajemen memandang kontribusi mereka terhadap perusahaan. Jika pegawai
fleksibel dalam memilih jenis benefit yang mereka sukai dalam sebuah paket
total (rencana benefit fleksibel), maka ada peningkatan signifikan dalam
kepuasan benefit dan kepuasan kerja secara keseluruhan.
3) Kesempatan promosi. Merupakan kesempatan untuk maju dalam organisasi,
sepertinya memiliki pengaruh yang berbeda pada kepuasan kerja. Promosi
memiliki sejumlah bentuk yang berbeda dan memiliki penghargaan, seperti
promosi atas dasar senioritas atau kinerja dan promosi kenaikan gaji.
4) Pengawasan (Supervisi). Kemampuan penyelia untuk memberikan bantuan
teknis dan dukungan perilaku. Ada 2 (dua) dimensi gaya pengawasan yang dapat
mempengaruhi kepuasan kerja. Pertama adalah berpusat pada pegawai, diukur
menurut tingkat dimana penyelia menggunakan ketertarikan personal dan peduli
pada pegawai, seperti memberikan nasehat dan bantuan kepada pegawai,
komunikasi yang baik dan meneliti seberapa baik kerja pegawai. Kedua adalah
iklim partisipasi atau pengaruh dalam pengambilan keputusan yang dapat
mempengaruhi pekerjaan pegawai.
18
5) Rekan kerja. Rekan kerja yang kooperatif merupakan sumber kepuasan kerja
yang paling sederhana secara individu. Kelompok kerja, terutama tim yang kuat
bertindak sebagai sumber dukungan, kenyamanan, nasehat, dan bantuan pada
anggota individu.
Selanjutnya, Kreitner & Kinicki, (2003), menguraikan lima model kepuasan
kerja yang menonjol yang menggolongkan penyebab dan dapat digunakan sebagai
ukuran kepuasan kerja, antara lain:
1) Pemenuhan kebutuhan, menjelaskan behwa kepuasan ditentukan oleh
karakteristik dari sebuah pekerjaan memungkinkan seorang individu
memenuhi kebutuhannya.
2) Ketidakcocokan, menjelaskan bahwa kepuasan adalah hasil dari harapan
yang terpenuhi. Harapan yang terpenuhi mewakili perbedaan antara apa yang
diharapkan oleh seorang individu dari sebuah pekerjaan, saat harapan lebih
besar daripada yang diterima, seorang akan tidak puas.
3) Pencapaian nilai, menjelaskan bahwa kepuasan berasal dari persepsi bahwa
suatu pekerjaan memungkinkan untuk pemenuhan nilai-nilai kerja yang
penting dari seorang individu.
4) Persamaan, menjelaskan bahwa kepuasan adalah suatu fungsi dari bagaimana
seorang individu diperlakukan “secara adil” di tempat kerja.
5) Komponen watak/genetik, menjelaskan bahwa secara khusus model ini
didasarkan bahwa kepuasan kerja sebagai fungsi dari sifat pribadi maupun
faktor genetik.
19
Dari sudut pandang pegawai, kepuasan kerja merupakan hasil yang diinginkan
oleh pegawai (Luthans, 2009). Pegawai dengan tingkat kepuasan kerja tinggi
cenderung memiliki kesehatan fisik yang lebih baik, memelajari tugas yang
berhubungan dengan pekerjaan baru dengan lebih cepat, memiliki sedikit kecelakaan
kerja, sedikit keluhan dan menurunkan tingkat stres. Selain itu, pegawai akan merasa
senang dan bahagia dalam melakukan perkerjaannya dan tidak berusaha
mengevaluasi alternatif pekerjaan lain. Sebaliknya, pegawai yang tidak puas
cenderung mempunyai pikiran untuk keluar, mengevaluasi alternatif pekerjaan lain
dan karena berharap menemukan pekerjaan yang lebih memuaskan (Mobley, 1979).
2.3. Kepemimpinan
2.3.1. Pengertian Kepemimpinan
Pemimpin dan kepemimpinan merupakan sumber daya terpenting sebuah
organisasi karena setiap pegawai yang bekerja memiliki talenta, pengetahuan dan
keahlian yang ditunjukan lewat tugas dan tanggung jawab yang diembangkannya.
Sudah menjadi lazim dalam sebuah organisasi tugas dan tanggung jawab para
pegawai terkoordinir dibawah satu kepemimpinan. Oleh karena itu, pemimpin dan
kepemimpinan yang efektif selalu memainkan peran penting bagi proses
pertumbuhan organisasi. Kepemimpinan merupakan kunci utama bagi sebuah
kesuksesan atau kegagalan organisasi, karena kepemimpinan merupakan pendekatan
dan tindakan dalam mengarahkan dan memotivasi para pegawai dalam melaksankan
tugas dan tanggung jawab. Pentingnya kepemimpinan dalam organisasi
20
mengakibatkan menjadi topik perdebatan dan diskusi yang hangat, baik antarpara
pakar maupun praktisi dari jaman ke jaman.
Berbagai teori kepemimpinan telah memperluas khasanah pengetahuan
tentang kepemimpinan yang ditandai dari banyaknya pendapat tentang
kepemimpinan. Pemimpin adalah seseorang yang karena kecakapan-kecakapan
pribadinya dengan atau tanpa pengangkatan resmi dapat mempengaruhi kelompok
yang dipimpinnya untuk mengarahkan usaha bersama ke arah pencapaian sasaran-
sasaran tertentu (Winardi, 1989 : 414). Luthans (2006), mendefinisikan
kepemimpinan sebagai proses kelompok, personalitas, pemenuhan perilaku tertentu,
persuasi, kekuatan, tujuan, pencapaian, diferensiasi peran, inisiasi struktur, serta
kombinasi dari dua atau lebih dari hal tersebut.
Menurut Timple (dalam Umar, 2000 : 31) pemimpin adalah orang yang
menerapkan prinsip dan teknik yang memastikan motivasi, disiplin, dan produktivitas
jika bekerjasama dengan orang, tugas, dan situasi agar dapat mencapai sasaran.
Pemimpin adalah sebagai sosok karismatik yang mampu membuat keputusan yang
tepat dan mampu mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan (Gadot, 2007).
Berbagai penelitian tentang kepemimpinan mendefinisikan bahwa leadership
is reciprocal relationship between those who choose to lead and those who decide to
follow (Kouzes dan Posner, 2007:3). Kepemimpinan adalah hubungan timbal balik
antara orang-orang yang memilih untuk memimpin dan orang-orang yang
memutuskan untuk mengikutinya. Finzel (2002:13) mengatakan kepemimpinan
21
mempengaruhi sesorang untuk melakukan sesuatu sehingga membawa orang lain ke
tempat yang takkan mereka datangi sendiri. Dengan demikian, kepemimpinan pada
akhirnya menciptakan cara untuk memberikan kontribusi agar membuat sesuatu
terjadi secara luar biasa.
Kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain karena
memiliki karakter, hubungan baik, berpengetahuan dan keahlian tentang dinamika
hidup yang selalu berorientasi kemasa depan, memiliki intuisi mempengaruhi moral
dan mementum yang ada, serta memiliki keahlian berdaptasi dan memberikan solusi
bagi suatu persoalan. Kemampuan tersebut menggambarkan setiap pemimpin harus
memiliki pendekatan berbeda dalam mengimplementasikan program dan aktivitas
kerja, membimbing dan mengarahkan pegawai pada tugas dan tanggung jawab
masing-masing. Pendekatan kepemimpinan yang digunakan oleh seorang pemimpin
akan selalu berdasarkan pada keyakinan, nilai, preferensi, budaya dan norma-norma
organisasi, akibatnya akan mendorong beberapa gaya kepemimpinan dalam
memimpin suatu organisasi.
22
2.3.2. Peranan Pemimpin dalam Organisasi
Seorang pemimpin mempunyai fungsi yang berbeda, tergantung pada jumlah
anggota kelompok yang dipimpinnya, situasi dan kondisi organisasi, dan jenis
organisasinya. Sutrisno (2009:219) mengelompokkan fungsi pemimpin menjadi
empat bagian, yakni: 1). Perencanaan; 2). Pengorganisasian; 3). Penggerakkan; dan
4). Pengendalian. Selain itu, pemimpin juga mempunyai tiga tugas utama antara lain:
1) Memberi struktur yang jelas terhadap situasi rumit yang dihadapi kelompok;
2) Mengawasi dan menyalurkan tingkah laku kelompok;
3) Merasakan dan menerangkan kebutuhan kelompok pada dunia luar, baik
mengenai sikap-sikap, harapan, tujuan, dan kekhawatiran kelompok.
. Seorang pemimpin juga mempunyai tiga peran utama (Sutrisno, 2009:219),
yakni: 1). Peran yang bersifat interpersonal yakni seorang pemimpin berinteraksi
dengan orang lain, termasuk dengan berbagai pihak yang berkepentingan
(stakeholders), baik di dalam maupun di luar organisasi; 2). Peran informasional,
yakni seorang pemimpin adalah pemantau arus informasi, pembagi informasi dan
menjadi juru bicara organisasi; 3). Peran pengambil keputusan, yakni terus-menerus
mengkaji situasi yang dihadapi organisasi, mencari dan menemukan peluang yang
dapat dimanfaatkan. Kesedian memikul tanggung jawab untuk mengambil tindakan
korektif, menjadi pembagi sumber dana dan sumber daya (Sutrisno, 2009:221).
23
2.3.3. Keterampilan Pimpinan
Katz pada tahun 1970-an (dalam Robbins, 2012; 51) mengemukakan bahwa
setiap pemimpin membutuhkan minimal tiga keterampilan dasar. Ketiga
keterampilan tersebut meliputi:
1) Keterampilan konseptual (conceptional skill). Pemimpin harus memiliki
keterampilan untuk membuat konsep, ide, dan gagasan demi kemajuan
organisasi. Gagasan serta konsep tersebut haruslah dijabarkan menjadi suatu
rencana kegiatan. Proses penjabaran ide menjadi suatu rencana kerja yang
kongkret disebut sebagai proses perencanaan . Oleh karena itu, keterampilan
konsepsional juga merupakan keterampilan untuk membuat rencana kerja.
2) Keterampilan berhubungan dengan orang lain (humanity skill). Pemimpin
juga perlu dilengkapi dengan keterampilan berkomunikasi atau keterampilan
berhubungan dengan orang lain, yang disebut juga keterampilan kemanusiaan.
Komunikasi persuasif harus selalu diciptakan oleh pemimpin terhadap
bawahan. Dengan komunikasi persuasif, bersahabat membuat pegawai merasa
dihargai sehingga mereka akan bersikap terbuka kepada atasan.
3) Keterampilan teknis (technical skill). Keterampilan ini pada umumnya
merupakan bekal bagi pemimpin pada tingkat yang lebih rendah.
Keterampilan teknis merupakan kemampuan menjalankan pekerjaan tertentu,
misalnya menggunakan program komputer, memperbaiki mesin, membuat
kursi, akuntansi dan lain-lain.
24
2.3.4. Gaya Kepemimpinan
Pada tahun 1930-an, Gaya kepemimpinan pertama kali dipelajari oleh seorang
psikolog bernama Kurt Lewin. Dalam studinya, Lewin menemukan tiga gaya
kepemimpinan yakni authoritarian, democratic dan laissez-faire (Dorio dan Shelly,
2011:252). Setelah temuan Lewin, para pakar kepemimpinan menemukan berbagai
gaya kepemimpinan, sehingga berbagai konsep tentang kepemimpinan dan gaya
kepemimpinan dicetuskan. Termasuk menyangkut karakter individu, tingkah laku
pemimpin, pola interaksi, kaedah hubungan, persepsi pengikut, daya pengaruh
terhadap pengikut, pengaruh terhadap tujuan tugas-tugasnya dan pengaruh terhadap
kinerja organisasi (Yukl , 2010).
Ruyatnasih et al. (2013:107) mengatakan bahwa gaya kepemimpinan
merupakan seni pemimpin untuk mempengaruhi perilaku bawahan agar mau
bekerjasama dan bekerja secara produktif untuk mencapai tujuan. Gaya
kepemimpinan menyangkut pola perilaku yang ditunjukkan oleh pemimpin dalam
mempengaruhi orang lain (Satyawati dan
Suartana, 2014). Garrick (2006:5)
mengemukakan bahwa Leadership Style refers to the pattern of behavior an
individual leader uses across the full range of leadership situations.
Selanjutnya Goleman dalam Harvard business review (2000:82-87)
mengklasifikasikan gaya kepemimpinan kedalam 6 (enam) bagian antara lain:
25
1) Gaya Kepemimpinan Paksaan (Coersive)
Gaya kepemimpinan paksaan memiliki sifat top down dan tidak fleksibel.
Seorang pemimpin yang menggunakan gaya kepemimpinan ini sering mengambil
keputusan sepihak dengan tujuan utamanya adalah segera mendapatkan hasil. Gaya
kepemimpinan ini mengutamakan perintah dan mengabaikan dialog. Akibatnya
menimbulkan beberapa dampak negatif seperti para pegawai tidak dapat melakukan
aktivitas atas inisitaif sendiri, mereka hanya menunggu perintah atasan, rasa
kepemilikan terhadap tugas dan tanggung jawab menjadi pudar, dan pegawai merasa
bahwa mereka tidak dihormati dalam organisasi. Jika kejenuhan dan ketidakpuasan
semakin tinggi maka efektivitas gaya kepemimpinan semakin merosot sehingga
berdampak pada pembangkan. Gaya kepemimpinan coersive bisa digunakan pada
saat-saat tertentu terutama pada saat kondisi organisasi tidak menentu.
2) Gaya Kepemimpinan Authoritative
Gaya kepemimpinan authoritative memiliki sifat fleksibel, terbuka dan
mengutamakan dialog. Pemimpin authoritative memberikan kebebasan kepada
pegawai untuk berinovasi, mencari pengalaman dengan melakukan pekerjanya
sendiri dan bahkan memberikan kebebasan untuk mengambil resiko atas pekerjaan
tersebut. Pemimpin authoritative selalu memberikan motivasi kepada bawahan
dengan membuat standar pekerjaan, menyederhanakan dan memperjelas pekerjaan
sesuai dengan visi dan misi organisasi. Gaya kepemimpinan authotitative berfungsi
dengan baik apabila sudah ada kejelasan visi, misi dan strategi. Gaya kepemimpinan
ini juga berjalan dengan baik apabila para pegawai selalu membutuhkan bimbingan
26
dan arahan. Oleh karena itulah, gaya kepemimpinan ini kurang efektif apabila
pemimpin tidak mengembangan kapasitas pegawai, mempromosikan tim kerja yang
mengatur diri sendiri dan pengambilan keputusan bersama.
3) Gaya Kepemimpinan Affiliative
Gaya kepemimpinan affiliative mengutamakan hubungan harmoni antara
pegawai dengan pimpinan dengan tujuan menghindari konflik. Dengan menciptakan
iklim saling percaya antara sesama pegawai, gaya kepemimpinan ini memberikan
kebebasan bagi pegawai untuk berinovasi dan melakukan pekerjaan mereka sesuai
keyakinan dan kemampuan. Pemimpin yang menggunakan gaya ini memberikan
pengakuan dan penghargaan terhadap hasil pekerjaan para pegawai. Sikap semacam
ini akan memberikan motivasi bagi pegawai untuk lebih giat bekerja dan akhirnya
secara bertahap akan menimbulkan rasa kepemilikan terhadap organisasi.
Gaya kepemimpinan affiliative kurang begitu efektif digunakan dalam situasi
apabila kinerja para pegawai kurang baik, ada pegawai yang selalu mengutamakan
pekerjaan atau kurang begitu tertarik untuk membina hubungan baik dengan pimpian.
Menghadapi situasi semacam ini, pemimpin harus memberikan pandangan yang jelas,
instruksi, pendampingan dan kontrol yang jelas. Artinya mengahadapi situasi
semacam ini, pemimpin bisa menggunakan kombinasi antara gaya kepemimpinan
affiliative dengan gaya yang lain seperti; coercive, authoritative dan coaching.
4) Gaya Kepemimpinan Demokratik
Gaya kepemimpinan demokratik mengutamakan pengembangan komitment
para pegawainya dan merangsang inisitif dan kreativtas para pegawai dengan
27
mengutamakan konsensus antara anggota organisasi. Gaya kepemimpinan ini selalu
mengandalkan pengetahuan dan keahlian para pegawai dengan memberikan
kepercayaan untuk menentukan tujuan dan strategi dari inisiatif mereka. Dengan cara
semacam ini, pemimpin secara bertahap membangun kepercayaan, saling menghargai
dan komitment kerja terhadap organisasi dengan bertanggung jawab.
Gaya kepemimpinan demokratik menjadi kurang efektif jika organisasi hidup
dalam situasi krisis dimana para pegawai dan pemimpin tidak bisa melakukan
pertemuan. Gaya kepemimpinan ini kurang efektif apabila para pegawainya memiliki
keterbatasan pengetahuan dan keahlian. Kondisi semacam ini dapat pula difaatkan
oleh pemimpin untuk mengambil kebijakan yang krusial yang tidak diketahui secara
seksama oleh pegawainya.
5) Gaya Kepemimpinan Pacesetting
Pemimpin yang menganut gaya kepemimpinan pocesetting ini mengutamakan
penyelesain tugas-tugas dengan hasil yang baik dan memenuhi standar yang
ditentukan. Gaya kepemimpinan ini berjalan efektif dalam kondisi dimana para
pegawainya memiliki kemampuan dan keahlian yang baik, mempunyai motivasi
tinggi dan dapat melakukan pekerjaan mereka. Karena itulah pemimpin dengan gaya
pacesetting selalu menuntut kepada para pegawainya untuk melakukan pekerjaan
mereka dengan cepat dan memberikan hasil yang baik dan memenuhi standar seperti
yang diharapkan oleh dirinya.
28
Kepemimpinan ini menegaskan bahwa, apabila pegawai gagal dalam
menyelesaikan tugas, maka pegawai yang bersangkutan akan digantikan dengan
pegawai lain yang dianggap mampu dan terampil. Tindakan semacam ini tentu
menimbulkan beberapa dampak negatif seperti semangat kerja para pegawai semakin
menurun, menimbulkan rasa kurang percaya diri yang mengakibatkan pudarnya
inisiatif dan kreativitas. Hal tersebut mengakibatkan para pegawai mulai merasa
bosan dengan pekerjaan sehingga pekerjaan dilakukan asal-asalan. Gaya
kepemimpinan pocesetting kurang efektif dalam kondisi dimana pemimpin tidak bisa
melakukan pekerjaannya sendiri, para pegawai selalu membutuhkan instruksi,
bimbingan dan koordinasi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab mereka.
6) Gaya Kepemimpinan Pengasuh (Coaching).
Gaya pengasuh lebih cenderung pada pengembangan kapasitas pegawai agar
berkinerja dan memiliki karir baik. Karena itulah, mereka selalu membantu para
pegawai dalam mengidentifikasi kelemahan dan kelebihan mereka, disesuaikan
dengan keinginan dan pengembangan karir. Pemimpin dengan gaya ini selalu
mendorong pegawai membuat tujuan jangka panjang, membuat kesepatan dengan
pegawai, mengembangkan tugas dan tanggung jawab demi pencapaian tujuan
organisasi, memberikan kepercayaan dengan mendelegasikan tugas yang penuh
tantangan, serta memberikan instruksi dan feedback dalam proses implementasi tugas
dan tanggung jawab yang diberikan.
Gaya kepemimpinan Coaching lebih efektif diterapkan apabila pengetahuan
dan keahlian pegawai tidak sejalan dengan kinerja yang ditunjukkan, namun mereka
29
memiliki kemauan untuk berkinerja lebih baik. Lagi pula para pegawai ini
mempunyai motivasi tinggi untuk mengambil inisiatif dan mengharapkan
pengembangan profesionalisme mereka. Gaya kepemimpinan coaching tidak akan
efektif jika pemimpin sendiri kurang berpengalaman, berpengetahuan dan
berkeahlian. Demikian pula, gaya ini tidak akan efektif jika sebuah organisasi berada
dalam situasi krisis dimana semua orang bekerja dalam kondisi tertekan.
Finzel (2002:33) mengklasifikasikan lima gaya kepemimpinan antara lain: 1).
Gaya partisipatif yakni memberikan kesempatan kepada anggota atau kelompok
kerja untuk memberikan masukan atau pendapat kepada pemimpin sebelum
pemimpin mengambil keputusan; 2). Gaya fasilitator yakni seorang pemimpin
memberikan ruang kepada anggota atau bawahannya untuk bekerja demi mencapai
kesusksesan. Selain itu, seorang pemimpin memperdaya anggota organisasi untuk
bekerja lebih efektif; 3). Gaya demokratis yakni seorang pemimpin harus membangun
tim kerja yang demokratis agar setiap anggota memiliki peran yang penting dan sifat
serta arah organisasinya; 4). Gaya organisasi yang datar yakni seorang pemimpim
memposisikan diri bersebelahan dengan anggotanya namun bukan memposisikan diri
paling tinggi bagaikan piramida raksasa; 5). Gaya melayani yakni melayani semua
orang, memberikan ruang serta kebebasan kepada semua orang untuk menjadi diri
sendiri, memfokuskan pada kebutuhan orang lain, menjadi mitra dalam melaksanakan
tugas dan tanggung jawab.
Selanjutnya Ojokuku et al. (2012:203) menjelaskan bahwa, dalam teori
kepemimpinan modern terdapat enam gaya kepemimpinan, antara lain:
30
1) Kepemimpinan karismatik. Pemimpin Karismatik mempunyai visi dan
kepribadian yang mendorong pengikutnya untuk melaksanakan visinya.
Pemimpin karismatik selalu memberikan dasar yang kuat bagi para pengikut
untuk berkreasi dan berinovasi. Namun, ada juga beberapa kelemahan dari
pemimpin karismatik yakni ketika pemimpinnya sudah tiada, organisasinya
secara berlahan kehilangan arah bahkan eksistensinya. Hal ini terjadi karena
kepemimpinan berdasarkan kekuatan personal;
2) Kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional selalu memberikan
sesuatu sebagai balasan dari kemauan untuk mengikutinya. Contohnya seperti
promosi dan pengangkatan untuk mengembang tugas baru. Namun yang
menjadi masalah adalah kepemimpinan transaksional diartikan sebagai
pertukaran atau transaksi kompensasi dan target antara pegawai dengan
pimpinan atau pihak manajemen;
3) Kepemimpinan transformasional. Kepemimpinan transformasional focus pada
pengembangan pegawainya dan kebutuhan mereka. Kepemimpinan ini
memfokuskan diri pada pengembangan sistem nilai dari pegawainya, tingkat
motivasi dan moralitas dengan pengembangan keahlian mereka. Kepemimpinan
transformasional menempatkan diri sebagai jembatan antara pemimpin dengan
pengikutnya untuk membangun pemahaman yang jelas mengenai kepentingan
pengikutnya, nilai dan tingkat motivasi mereka;
4) Kepemimpinan autokratik. Pemimpin autokratik adalah kurang berpengalam
dalam kepemimpinan, memaksakan diri dalam posisi baru atau tugas baru yang
31
melibatkan menajemen orang lain. Pemimpin autokratik menguasai atau
mengotrol hak pengambilan keputusan bagi dirinya. Tidak ada kesamaan dalam
visi dan menghilangkan komitmen, kreativitas dan inovasi;
5) Kepemimpinan Birokatik. Pemimpin birokratik membuat kebijakan dan
menggunakan kebijakan itu untuk mencapai tujuan organisasi. Pemimpin
birokrasi lebih nyaman dengan kebijakan yang telah dibuat dari pada
meyakinkan pengikut untuk bekerja dengannya. Karena itu, pemimpin
birokratik sering memberikan pesan langsung bahwa kebijakan yang menuntun
arah organisasi. Pemimpin birokratik biasanya mempunyai komitmen tinggi
menyangkut prosedur dan proses orang atau pengikutnya;
6) Kepemimpinan Demokratik. Pemimpin demokrat mengutamakan pengambilan
keputusan bersama dengan bawahannya, semua pekerjaan terkoordinir dengan
semua bagian organisasinya.
Berdasarkan uraian di atas, memberikan gambaran bahwa berbagai gaya
kepemimpinan yang ada masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan.
Efektivitas gaya kepemimpinan sangat tergantung pada orang yang memimpin,
pekerjaan, dan situasi yang dihadapinya. Artinya, efektif atau tidaknya gaya
kepemimpinan tergantung pada masing-masing karakter dan situasi seperti;
pengalaman tim kerja, kelemahan dan kelebihan para pemimpin dan pegawai,
kompleksitas pekerjaan, ketersedian waktu yang diberikan, situasi politik, sosial dan
ekonomi.
32
Dorio dan Shelly (2011:253) mengatakan leadership style is not better or
worse than other, although one will work better or worst than other in a particular
situation and with a particular worker or group. Gaya kepemimpinan bukan
menyangkut gaya satu lebih baik atau lebih buruk dari yang lain, walaupun salah
satunya bisa lebih baik atau lebih buruk dalam situasi tertentu dan dengan pekerja
atau kelompok kerja tertentu. Menurut Goleman dalam Harvard business review
(2000:87) mengatakan bahwa Leader who have mastered four or more-especially the
authoritative, democratic, affiliative, and coaching styles- have the very best climate
and business performance.