bab ii calvin - sinta.unud.ac.id

21
1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Kuman kusta dapat menyerang kulit serta saraf perifer dimana secara klinis dapat ditemukan lesi kulit yang mati rasa disertai dengan penebalan saraf perifer. Kegagalan dalam terapi dapat menyebabkan kecacatan yang sangat mempengaruhi penderita dalam segi ekonomi dan sosial disebabkan oleh stigma oleh masyarakat sekitar (Lastoria et al., 2014). 2.1.2 Epidemiologi Kusta ditemukan pada negara tropis terutama pada negara yang belum berkembang dan negara berkembang. Negara endemik kusta ditemukan di daerah Asia Tenggara, Amerika selatan, Afrika, Pasifik timur dan daerah mediterania barat. Meskipun prevalensi di dunia sudah didapatkan penurunan sejak penggunaan multi-drug treatment (MDT), masih didapatkan kasus baru setiap tahunnya dimana pada tahun 2013 ditemukan 215,656 kasus baru di seluruh dunia dengan pada kuartal pertama tahun 2014 diestimasi sekitar 0.32 kasus per 10.000 populasi. Asia tenggara sendiri memiliki prevalensi tertinggi dengan prevalensi 8.38 kasus baru per 10.000 populasi dimana 58.85% didapatkan dari India (Global leprosy update 2013-2014).

Upload: others

Post on 17-May-2022

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab II Calvin - sinta.unud.ac.id

1

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kusta

2.1.1 Definisi

Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri

Mycobacterium leprae. Kuman kusta dapat menyerang kulit serta saraf perifer

dimana secara klinis dapat ditemukan lesi kulit yang mati rasa disertai dengan

penebalan saraf perifer. Kegagalan dalam terapi dapat menyebabkan kecacatan

yang sangat mempengaruhi penderita dalam segi ekonomi dan sosial disebabkan

oleh stigma oleh masyarakat sekitar (Lastoria et al., 2014).

2.1.2 Epidemiologi

Kusta ditemukan pada negara tropis terutama pada negara yang belum

berkembang dan negara berkembang. Negara endemik kusta ditemukan di daerah

Asia Tenggara, Amerika selatan, Afrika, Pasifik timur dan daerah mediterania

barat. Meskipun prevalensi di dunia sudah didapatkan penurunan sejak

penggunaan multi-drug treatment (MDT), masih didapatkan kasus baru setiap

tahunnya dimana pada tahun 2013 ditemukan 215,656 kasus baru di seluruh dunia

dengan pada kuartal pertama tahun 2014 diestimasi sekitar 0.32 kasus per 10.000

populasi. Asia tenggara sendiri memiliki prevalensi tertinggi dengan prevalensi

8.38 kasus baru per 10.000 populasi dimana 58.85% didapatkan dari India

(Global leprosy update 2013-2014).

Page 2: Bab II Calvin - sinta.unud.ac.id

2

Berdasarkan data dari WHO mayoritas kasus kusta pada tahun 2013 terjadi

pada negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah, dimana 71% pada

daerah Asia Tenggara, 15,5% di daerah Amerika, 8,8% di daerah Afrika, 3,3% di

Pasifik barat dan 1,2% di Mediteranian timur. (Global leprosy update 2013). Di

Spanyol didapatkan insidensi 0.16 kasus per 100,000 populasi pada abad ke-21

dimana didapatkan juga peningkatan jumlah imigran dari negara dimana kusta masih

endemis, seperti dari Brasil (Instituto Nacional de Estadística, 2013).

Waktu inkubasi yang panjang antara terjadinya infeksi dan timbulnya

manifestasi klinis kusta dapat menjadi salah satu faktor penting dimana pasien yang

telah terinfeksi akan tetapi asimptomatik dapat bermigrasi ke negara lain tanpa

terdeteksi, sehingga frekuensi kasus yang dilaporkan sering kali lebih rendah

dibandingkan yang sebelumnya diprediksi ( Massone et al., 2012).

Data yang didapatkan dari Pusat Data dan Informasi mengenai Profil

Kesehatan Indonesia menunjukkan prevalensi kusta di Indonesia berada dalam

rentang 0,79 hingga 0,96 per 10.000 penduduk dimana didapatkan penurunan dari

tahun sebelumnya. Berdasarkan data tahun 2011-2013 ditemukan bahwa 14 dari 33

provinsi di Indonesia memiliki beban kusta yang tinggi (angka penemuan kasus baru

lebih dari 10 per 100.000 penduduk) dengan Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah,

Papua dan Sulawesi Selatan sebagai penyumbang terbesar (Infodatin Kementerian

Kesehatan RI, 2015).

Rendahnya pengetahuan tentang kusta serta stigma tentang kusta juga

berperan dalam rendahnya prevalensi kusta dibandingkan dengan yang awalnya

diprediksi. Keterlambatan dalam diagnosis serta terapi ini menimbulkan kecacatan

Page 3: Bab II Calvin - sinta.unud.ac.id

3

fisik masih menjadi salah satu masalah di dunia dengan ditemukannya 2,165 kasus

kusta dengan disabilitas tingkat-2 pada tahun 2011 (Lastoria et al., 2014).

2.1.3 Etiologi dan Patogenesis

2.1.3.1 Bakteri M.leprae

Etiologi dari penyakit kusta adalah bakteri Mycobacterium leprae yang ditemukan

oleh dokter kebangsaan Norwegia Gerhard Armauer Hansen pada tahun 1873. Bakteri

ini berbentuk batang lurus dengan ujung yang bundar berukuran 1.5-8 mikron dengan

lebar 0.2-0.5 mikron. Pada pewarnaan Ziehl-Neelsen (ZN) akan tampak berwarna

merah yang tahan asam. Kuman M.leprae menginfeksi makrofag serta sel Schwann

dengan suhu optimal yang diperlukan untuk tumbuh dan berkembang antara 27°C dan

30°C, oleh karena itu kuman M.leprae cenderung banyak ditemukan pada daerah

permukaan seperti kulit, saraf perifer, testis dan sistem pernapasan atas (Nolte et al.,

1995).

Apabila dilihat menggunakan mikroskop elektron bakteri ini memiliki

sitoplasma, membran plasma, dinding sel dan kapsul. Sitoplasma dari kuman ini

memiliki struktur yang sama dengan bakteri gram positif pada umumnya, sedangkan

pada membran plasma bakteri ini memiliki permeable lipid bilayer yang mengandung

protein surface antigen. Dinding sel dari M.leprae terbentuk atas peptidoglikan yang

mengandung arabinogalaktan seperti bakteri genus Mycobacterium lainnya. Pada

kapsul ditemukan lapisan lipid yang berikatan dengan trisakarida yang spesifik untuk

M.leprae yaitu phenolic glycolipid 1 (PGL-1) (Hirata et al., 1985).

Bakteri M.leprae memiliki berat molekul 2.2 x 109 dalton dengan 3.268.203

pasangan basa yang lebih kecil jika dibandingkan dengan M.tuberculosis Gen yang

terdapat dalam bakteri M.leprae ini berjumlah 2.770 dengan 1.640 gen yang

Page 4: Bab II Calvin - sinta.unud.ac.id

4

mengkode protein dan 1.116 berupa pseudogen. Hal ini menyebabkan penurunan dari

alur metabolik bakteri ini yang dapat menjelaskan mengapa basil ini memerlukan

kondisi khusus untuk tumbuh dan berkembang biak (Cole et al., 2001).

2.1.3.2 Mekanisme Transmisi

Meskipun patogenesis yang jelas tentang bagaimana kuman kusta menginfeksi

pejamu nya masih belum ditemukan, para peneliti mempercayai bahwa kusta

disebarkan melalui kontak dekat dan lama antara individu yang rentan terinfeksi

dengan penderita kusta. Transmisi ini dapat melalui inhalasi dari basil di dalam

sekresi hidung atau droplet, yang nantinya akan masuk ke dalam tubuh melalui

mukosa hidung. Selain melalui mukosa hidung, kuman kusta dipercaya juga dapat

disebarkan melalui luka pada kulit, darah, ibu ke bayi nya, air susu ibu serta gigitan

serangga (Job et al., 1990).

Pada individu sehat yang tinggal di daerah endemis dapat ditemukan apusan

hidung dengan DNA M.leprae yang positif serta nilai seropositif terhadap antigen

M.leprae yang spesifik menunjukkan bahwa individu ini dapat menjadi carrier dan

memiliki risiko untuk menjadi sumber penularan juga (Job et al., 2008).

2.1.3.3 Imunopatologi

Penyakit kusta dibagi atas spektrum klinis yang bergantung pada respon imunitas

pejamu, dimana pada spektrum tuberkuloid didapatkan respon imunitas seluler yang

dimediasi oleh Th (T helper) 1, interferon gamma (IFN- γ) dan interleukin-2 (IL-2)

sehingga menimbulkan respon hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen

M.leprae. Secara histopatologi didapatkan pembentukan granuloma yang didominasi

sel T CD4+ dengan lesi kulit serta jumlah basil yang sedikit. Pada spektrum

Page 5: Bab II Calvin - sinta.unud.ac.id

5

lepromatosa didapatkan respon imunitas yang dimediasi oleh sel Th2 terutama IL-4

dan IL-10 yang didominasi sel T CD8+ dan tidak ditemukannya pembentukan

granuloma pada pemeriksaan histopatologi. Pada spektrum borderline didapatkan

pola reaksi imunitas diantara kedua kutub spektrum kusta ini (Nath dan Chaduvula,

2010; Misch et al., 2010).

Pada saat kuman M.leprae masuk ke dalam tubuh akan dikenali oleh reseptor

imunitas alamiah terutama Toll-like receptor (TLR) 1 dan 2 yang akan mengenali

komponen protein 19-kDa dan lipopeptida dari kuman mikobakterium. Beberapa

reseptor lain yang berperan dalam proses imunologi dari kusta adalah TLR 4,6,8 dan

9, sel dendritik, Dectin-1 dan mincle (Misch et al., 2010).

Hal yang terutama mempengaruhi diferensiasi sel limfosit T naïf adalah

antigen presenting cell (APC) dan komplek TLR melalui pelepasan IL-12, dimana

didapatkan kadar IL-12 yang lebih tinggi pada kusta tipe tuberkuloid. Selain itu

didapatkan juga peningkatan ekspresi pada TLR1 dan TLR2 pada spektrum

tuberkuloid dibandingkan dengan lepromatosa (Renault dan Ernst, 2015).

Selain kulit, saraf perifer merupakan target utama dari kuman M.leprae yang

sering kali menimbulkan keluhan mati rasa atau kecacatan apabila terjadi kerusakan

pada saraf. Kerusakan saraf perifer sendiri dapat disebabkan oleh kuman M.leprae

secara langsung atau akibat reaksi inflamasi akibat respon imun tubuh. Kuman

M.leprae berikatan dengan PGL-1 pada domain G pada rantai α2 laminin-2 pada sel

Schwann. Kuman M.leprae masuk ke intraseluler sel schwann melalui Laminin

binding protein 21 (LBP-21) yang selanjutnya akan terjadi demielinisasi saraf perifer.

Saat saraf perifer sudah terjadi demielinisasi maka M.leprae dapat lebih merusak saraf

karena kecenderungan untuk menyerang akson yang tidak bermielin, yang terjadi

Page 6: Bab II Calvin - sinta.unud.ac.id

6

pada kusta multibasiler dimana jumlah kuman banyak (Nath dan Chaduvula, 2010;

Renault dan Ernst, 2015).

Pada kerusakan saraf yang disebabkan oleh reaksi imunologis disebabkan oleh

pelepasan sitokin proinflamasi seperti TNF, IL-12, IL-15, IL-16, IL-18 dan IL-1βoleh

makrofag. Sitokin ini juga diinduksi oleh protein 19-kDa yang berikatan dengan

TLR1/2 dan menyebabkan apoptosis dari sel Schwann. Kerusakan saraf yang terjadi

timbul akibat adanya edema dan influks sel inflamasi pada sel saraf sehingga terjadi

kompresi dan iskemia (Misch et al., 2010; Renault dan Ernst, 2015).

2.1.4 Diagnosis

Penyakit kusta dapat didiagnosis menggunakan 3 tanda kardinal, dimana diagnosis

dapat ditegakkan apabila ditemukan satu atau lebih dari tanda kardinal seperti berikut

(Kumar dan Dogra, 2010) :

1. Lesi kulit hipopigmentasi atau eritema yang disertai dengan gangguan atau

hilangnya sensibilitas

2. Keterlibatan saraf tepi yang didapatkan penebalan saraf perifer secara klinis

terutama pada nervus supraorbital, nervus aurikularis magnus, nervus ulnaris,

nervus radialis, nervus medianus, nervus popliteal lateralis, nervus peroneus

dan nervus tibialis posterior.

3. Ditemukannya basil tahan asam pada pemeriksaan hapusan sayatan kulit dari

mukosa nasal, lobus telinga atau lesi kulit.

Pada kasus yang meragukan, pemeriksaan histopatologi dapat membantu

dimana pada kusta spektrum tuberkuloid didapatkan gambaran granuloma epiteloid

Page 7: Bab II Calvin - sinta.unud.ac.id

7

dengan infiltrat limfosit serta didapatkan sedikit bakteri tahan asam dengan

pewarnaan Ziehl Nielsen. Sedangkan pada spektrum lepromatosa didapatkan

gambaran granuloma makrofag yang lebih sedikit dan didapatkan daerah grenz zone

disertai dengan bakteri tahan asam yang banyak pada pewarnaan Ziehl Nielsen

(Porichha dan Natrajan, 2010).

Kusta juga dapat didiagnosis menggunakan pemeriksaan serologis yaitu titer

antibodi PGL-1 serta pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR). Pemeriksaan

PCR memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi akan tetapi memerlukan biaya

yang besar serta peralatan khusus, sedangkan PGL-1 memberikan sensitivitas hanya

30-60% pada pasien dengan spektrum pausibasiler sehingga dapat memberikan

negatif palsu pada kelompok pasien ini (Eichelmann, 2013).

2.1.4.1 Pemeriksaan Hapusan Sayatan Kulit

Pemeriksaan hapusan sayatan kulit atau slit skin smear merupakan pemeriksaan

sediaan dari irisan atau kerokan pada kulit pasien kusta yang dilakukan pewarnaan

Ziehl Nielsen (ZN) dimana kuman M.leprae akan tampak sebagai bakteri tahan asam

berwarna merah diatas latar belakang biru. Pemeriksaan ini dapat membantu

diagnosis kusta, menentukan klasifikasi spektrum kusta, progresifitas penyakit serta

pemantauan hasil pengobatan. Lokasi dimana pemeriksaan ini dilakukan adalah 4

tempat yaitu telinga kanan, dahi kanan, dagu, bokong kiri pada laki-laki dan paha atas

kiri pada wanita (Job dan Ponnaiya, 2010) atau pada 3 lokasi yaitu cuping telinga

kanan dan kiri serta lesi kulit aktif (Kemenkes RI, 2012).

Pemeriksaan ini memiliki spesifisitas sebesar 100% akan tetapi memiliki

sensitivitas yang rendah sebesar 10-50% dikarenakan pengaruh dari faktor seperti

Page 8: Bab II Calvin - sinta.unud.ac.id

8

keterampilan petugas, teknik pengambilan sediaan serta bahan-bahan pemeriksaan

(Bhushan, 2008).

Sediaan yang diambil akan dilakukan pewarnaan Ziehl Nielsen dimana jumlah

kuman BTA dalam setiap lapang pandang dihitung serta morfologi dari basil juga

diperhatikan. Basil solid umumnya menunjukkan infeksi aktif dimana kuman masih

hidup, sedangkan basil dengan morfologi granular atau terfragmentasi menunjukkan

kuman yang tidak viabel. Dari data ini dapat dilakukan penghitungan untuk Indeks

bakteri (IB) dan Indeks morfologi (IM) (Bryceson, 1990; Job dan Ponnaiya, 2010;

Lee et al., 2012).

Indeks bakteri merupakan penghitungan semikuantitatif kepadatan kuman

BTA pada sediaan apus, dimana penghitungan dilakukan pada kuman solid maupun

fragmentasi dan granular. Penghitungan menurut skala Ridley dinilai sebagai berikut

(Bryceson, 1990; Job dan Ponnaiya, 2010; Lee et al., 2012) :

a. +6 dimana didapatkan lebih dari 1000 BTA tau lebih dari 5 gumpalan pada

satu lapang pandang

b. +5 dimana didapatkan 100 sampai 1000 BTA pada satu lapang pandang

c. +4 dimana didapatkan 10 sampai 100 BTA pada satu lapang pandang

d. +3 dimana didapatkan 1 sampai 10 BTA pada satu lapang pandang

e. +2 dimana didapatkan 1 sampai 10 BTA pada 10 lapang pandang

f. +1 dimana didapatkan 1 sampai 10 BTA pada 100 lapang pandang

Indeks bakteri umumnya didapatkan penurunan setelah selesai pemberian

terapi MDT dan berlanjut bahkan setelah tidak mendapatkan terapi lagi. Penurunan

pada kelompok pasien tipe MB umumnya lebih lambat dibandingkan tipe PB

(Mahajan, 2013).

Page 9: Bab II Calvin - sinta.unud.ac.id

9

2.1.5 Klasifikasi Kusta

Kusta diklasifikasikan untuk membantu para tenaga medis dalam bidang epidemiologi

serta untuk menentukan regimen pengobatan serta membantu mengidentifikasi

kelompok pasien yang memiliki risiko besar untuk timbulnya cacat kusta. Klasifikasi

yang ada sampai saat ini adalah klasifikasi dari Ridley dan Jopling, klasifikasi Madrid

oleh Kongres Internasional Kusta serta berdasarkan WHO (Lee et al., 2012; Mishra

dan Kumar, 2010).

Ridley Jopling membagi kusta menjadi 5 spektrum yaitu 2 kutub Tuberkuloid

(TT) dan Lepromatosa (LL), serta diantaranya borderline tuberculoid (BT), Mid-

borderline (BB) dan borderline lepromatous (BL). Pembagian ini berdasarkan pada

kriteria klinis, bakteriologis, imunologis dan histopatologis (Lee et al., 2012; Mishra

dan Kumar, 2010).

Tabel 2.1 Karakteristik klasifikasi kusta Ridley dan Jopling (Kumar dan Dogra, 2010)

Lesi TT BT BB BL LL Jumlah Biasanya

tunggal (s/d 3)

Sedikit (s/d 10)

Beberapa (10-30)

Banyak asimetris (>30)

Tidak terhitung, simetris

Ukuran Bervariasi, umumnya besar

Bervariasi, beberapa besar

Bervariasi Kecil, beberapa dapat besar

Kecil

Permukaan Kering, dengan skuama

Kering, dengan skuama, terlihat cerah, terdapat infiltrat

Kusam atau sedikti mengkilap

Mengkilap Mengkilap

Sensasi Hilang Menurun dengan jelas

Menurun sedang

Sedikit menurun

Normal atau menurun minimal

Pertumbuhan rambut

Tidak ada Menurun dengan jelas

Menurun sedang

Sedikit menurun

Normal pada tahap awal

BTA Negatif Negatif atau sedikit

Jumlah sedang

Banyak Banyak sekali termasuk globi

Reaktivitas lepromin

Positif kuat (+++)

Positif lemah (+ atau ++)

Negatif atau positif lemah

Negatif Negatif

Page 10: Bab II Calvin - sinta.unud.ac.id

10

Klasifikasi Madrid membagi kusta menjadi 4 kelompok antara lain tipe

Tuberkuloid (T), Borderline-Dimorphous (B), Lepromatosa (L) dan Indeterminate (I).

Untuk kepentingan pengobatan WHO membagi kusta menjadi 2 yaitu kelompok

pausibasiler (PB) dimana didapatkan pemeriksaan BTA yang negatif diantaranya

adalah tipe TT dan BT pada klasifikasi Ridley Jopling atau tipe I dan T menurut

klasifikasi Madrid, serta kelompok multibasiler (MB) pada semua kasus dengan BTA

yang positif meliputi tipe BB, BL dan LL pada klasifikasi Ridley Jopling atau tipe B

dan L pada klasifikasi Madrid. Adanya keterbatasan dalam pemeriksaan hapusan kulit

maka WHO memperbaharui klasifikasi tahun 1988 pada tahun 1998 dimana terbagi

atas 3 berdasarkan jumlah lesi yaitu tipe PB dengan lesi soliter, tipe PB dengan

jumlah lesi 2-5 serta tipe MB dengan jumlah lesi lebih dari 5 atau dengan hasil BTA

yang positif (Mishra dan Kumar 2010).

2.1.6 Pengobatan Kusta

Sampai saat ini telah didapatkan beberapa obat yang memberikan efektifitas terhadap

kuman M.leprae seperti dapson (1940), klofazimin (1962) dan rifampisin (1970).

Akan tetapi pemberian regimen tunggal meningkatkan masalah resistensi obat pada

pasien sehingga WHO pada tahun 1981 merekomendasikan untuk memberikan

multidrug therapy (MDT) yang terdiri atas rifampisin, dapson dan klofazimin.

Pengobatan ini dapat menurunkan insiden relaps, menurunkan efek samping serta

durasi pengobatan kusta. Pada kelompok PB akan diberikan rifampisin 600 mg 1x per

bulan ditambah dengan dapson 100 mg setiap hari selama 6 bulan. Regimen MB akan

diberikan kombinasi 600 mg 1x per bulan, klofazimin 300 mg 1x per bulan dan

dapson 100 mg setiap hari selama 12 bulan. Obat-obatan baru yang didapatkan efektif

Page 11: Bab II Calvin - sinta.unud.ac.id

11

dalam terapi M.leprae dan sering digunakan apabila timbul reaksi alergi terhadap

regimen MDT awal, antara lain minoksiklin, ofloksasin, klaritromisin, rifabutin,

rifapentin, bromidoprim, asam fusidat dan antibiotika beta lactam (Pai et al., 2010;

Yawalkar, 2009).

2.1.7 Reaksi Kusta

Komplikasi kusta sering kali menimbulkan keluhan pada pasien salah satunya adalah

reaksi kusta yang dapat timbul sebelum, selama atau setelah selesai pengobatan.

Reaksi kusta adalah reaksi inflamasi akut atau subakut yang timbul akibat reaksi

imunologis yang dapat menyerang kulit, saraf, membran mukosa dan lokasi lain.

Reaksi kusta yang tidak mendapatkan terapi yang adekuat dapat menimbulkan

kecacatan dan deformitas pada pasien kusta (Yawalkar, 2009).

Reaksi kusta dapat dibagi menjadi 3 antara lain reaksi tipe 1, reaksi tipe 2 dan

fenomena lucio. Pada reaksi tipe 1 umumnya ditemukan pada kusta tipe borderline

dimana dapat bersifat upgrading (reaksi reversal) dimana didapatkan peningkatan

imunitas seluler sehingga didapatkan pergerakan ke spektrum tuberkuloid atau

downgrading pada kelompok dimana didapatkan pergerakan ke spektrum lepromatosa

akibat penurunan imunitas seluler. Secara klinis pada reaksi reversal akan ditemukan

lesi lama yang meradang atau ditemukan lesi baru yang disertai neuritis ringan hingga

berat. Reaksi tipe 2 atau eritema nodosum leprosum (ENL) lebih sering ditemukan

pada tipe kusta BL dan LL dimana didapatkan pembentukan kompleks imun antigen-

antibodi pada jaringan yang menimbulkan reaksi inflamasi akut. Secara klinis dapat

ditemukan lesi berupa papul atau nodul yang nyeri pada penekanan disertai gangguan

saraf, gangguan pada organ lain dan gejala sistemik pada kasus yang berat (Bryceson,

1990; Kar dan Sharma, 2010, Lee et al., 2012).

Page 12: Bab II Calvin - sinta.unud.ac.id

12

Fenomena lucio merupakan reaksi yang terjadi pada kusta tipe LL yang tidak

diobati dimana cenderung terjadi pada kusta tipe lucio dimana secara klinis

didapatkan infiltrat dan lesi non-nodular yang seragam dan berkilap. Reaksi ini akan

diawali dengan plak merah kebiruan dengan halo eritematosa yang nantinya akan

menjadi infark hemoragik pada bagian sentral tanpa atau dengan pembentukan bula

(Kar dan Sharma, 2010).

2.2 Insulin-like Growth Factors (IGF)

Insulin-like growth factors (IGF) adalah kelompok faktor pertumbuhan polipeptida

yang secara struktur berhubungan dengan proinsulin. Insulin-like Growth Factor

(IGF) ini dibagi menjadi IGF-1 dan IGF-2 dimana pertama kali ditemukan pada tahun

1957 oleh Salmon dan Daughaday serta pada tahun 1976 baru ditemukan bahwa

secara struktur memiliki kemiripan dengan proinsulin (Laron, 2001). Protein ini

sangat berhubungan dengan hormon pertumbuhan / growth hormone (GH) dimana

produksinya sangat dipengaruhi oleh signal dari kelenjar pituitari di hipotalamus otak.

Peran IGF terutama IGF-1 dihubungkan pada kaskade inflamasi dan tumerogenesis

serta apoptosis (Ferrucci et al., 2005; Tagoug et al., 2011).

2.2.1 Struktur Kimia IGF

Insulin-like Growth Factors (IGF) adalah kelompok peptida yang berhubungan

dengan insulin termasuk relaxin dan beberapa peptida yang terisolasi dari invertebrate

bagian bawah. IGF-1 adalah peptida berukuran kecil yang terdiri atas 70 asam amino

dengan berat molekul 7649 Da. Serupa dengan insulin, IGF-1 memiliki rantai A dan

B yang dihubungkan oleh ikatan disulfida. Bagian peptida C dari molekul ini

memiliki 12 asam amino. Kemiripan dengan struktur insulin menjelaskan kemampuan

Page 13: Bab II Calvin - sinta.unud.ac.id

13

IGF-1 (gambar 2.1) untuk berikatan dengan reseptor insulin meskipun dengan afinitas

yang rendah (Walenkamp et al., 2005; Denley, 2005).

IGF-2 terdiri atas 67 asam amino dengan struktur yang kurang lebih serupa

dengan IGF-1. Meskipun memiliki struktur yang serupa kedua molekul protein ini,

tiap ligand yang berada pada molekul ini dapat menghasilkan sinyal yang berbeda.

Pada sebuah penelitian ditemukan bahwa IGF-2 tidak dapat mengkompensasi

kekurangan dari aktivitas IGF-1 pada pasien dengan defisiensi IGF-1 yang

menyebabkan gangguan pertumbuhan dan retardasi mental (Walenkamp et al., 2005;

Denley, 2005).

Gambar 2.1 Struktur kimia dari Insulin, IGF-1 dan IGF-2 (Denley dkk, 2005)

2.2.2 Aksis Growth hormone/Insulin-like Growth Factor (GH/IGF)

Aksis dari GH/IGF atau yang dikenal juga sebagai aksis somatotropik (gambar 2.2)

adalah sumbu yang memodulasis pertumbuhan dan metabolisme. Hormon

pertumbuhan (GH) disekresi oleh kelenjar pituitari bagian anterior secara pulsatil

yang distimulasi oleh peptida GH-releasing hormone (GHRH) yang dikeluarkan oleh

hipotalamus serta dapat juga akibat efek inhibisi dari somatostatin. Saat GH sudah

disekresi, nantinya akan bersikulasi di pembuluh darah dan memicu produksi dari

Page 14: Bab II Calvin - sinta.unud.ac.id

14

IGF-1 dari jaringan terutama pada organ hepar. Hal ini menyebabkan peningkatan

kadar IGF-1 di dalam darah yang nantinya akan memberikan umpan balik negatif ke

kelenjar pituitari untuk menghentikan sekresi GH yang akhirnya akan menurunkan

kadar IGF-1 dalam darah (Roelfsema dan Clark, 2000).

Gambar 2.2 Aksis somatotropik (Roelfsema dan Clark, 2000)

Sintesis dan pelepasan GH oleh kelenjar pituitari dipengaruhi oleh hormon

hipotalamus yaitu GHRH dan somatostatin (SRIF) yang diregulasi oleh umpan balik

negatif dari GH serta IGF-1 di dalam darah. Penelitian terakhir mendapatkan juga

bahwa sebuah peptida bernama Ghrelin juga dapat memicu pelepasan GH secara

Page 15: Bab II Calvin - sinta.unud.ac.id

15

endogen. Hormon GH yang berada di dalam darah memicu produksi IGF-1 pada

jaringan terutama hepar yang merupakan sumber produksi IGF-1 dalam darah.

Mayoritas dari IGF-1 ini akan berikatan dengan IGF-binding protein-3 (IGFBP-3),

sedangkan sebagian kecil akan berikatan dengan 5 IGFBP lainnya. Insulin-like

Growth Factor-1 (IGF-1) ini juga berpengaruh pada ginjal dimana dapat

meningkatkan aliran plasma ginjal serta Glomelural Filtration Rate (GFR) serta

mempengaruhi perpanjangan piringan epifisis pada tulang yang mempengaruhi

pertumbuhan tulang (Roelfsema dan Clark, 2000).

2.2.3 Insulin-like Growth Factor Binding Protein (IGFBP) dan Insulin-like

Growth Factor Receptor (IGFR)

Insulin-like Growth Factor Binding Protein (IGFBP) adalah protein yang berikatan

dengan IGF dengan afinitas tinggi dan membawa IGF dalam sirkulasi darah ke

jaringan target yang nantinya akan berikatan pada IGFR. Keluarga protein IGFBP

terdiri atas 6 protein yang memiliki struktur yang serupa. Di dalam sirkulasi darah

manusia hampir 80% IGF-1 yang bersirkulasi akan berikatan dengan IGFBP-3

(Laron, 2001). Saat IGF-1 berikatan dengan IGFBP-3 akan membentuk kompleks

dengan acid labile subunit (ALS). Aktivitas dari IGF juga dimodulasi oleh IGFBP

dengan cara berikatan pada IGF-1R melalui 2 mekanisme yaitu melalui ikatan dengan

extracellular matrix (ECM) atau melalui proses proteolisis dari IGFBP. Kedua proses

ini akan menurunkan afinitas IGFBP terhadap IGF sehingga meningkatkan

konsentrasi dari IGF yang aktif (Forbes et al., 2012).

Insulin-like growth factor-1 receptor (IGF-1R) hampir terekspresi di seluruh

jaringan dan sel sejak embryogenesis. Hepar merupakan organ dengan ekspresi ligand

IGF-1 terbesar. Reseptor ini terbentuk atas 2 ekstraseluler subunit α dan

Page 16: Bab II Calvin - sinta.unud.ac.id

16

transmembran subunit β. Lokasi dimana terjadi ikatan dengan IGF-1 adalah pada

subunit α sedangkan subunit β merupakan lokasi dimana aktivitas tirosin kinase

berada. Ikatan dari IGF-1 pada bagian subunit α pada IGF-1R akan memicu

perubahan konformasi yang mengaktifkan bagian katalisis dari subunit β sehingga

terjadi autofosforilasi tirosin dan transfosforilasi yang meningkatkan aktivitas tirosin

kinase. Proses ini menyebabkan penarikan protein adaptor seperti IRS, CRK dan

SHC. Selanjutnya sinyal ini akan melalui alur MAPK/Ras-Raf-Erk, alur

fosfatidilinositol-3-kinase/AKT/mTOR (PI3K/AKT) dan alur Janus Kinase/signal

transducer and activator of transcription (JAK/STAT). Aktivasi dari IGF-1R ini akan

meningkatkan proliferasi sel serta menurunkan apoptosis (Arnaldez dan Helman,

2012).

Gambar 2.3 Alur sinyal transduksi IGF-1R pada alur PI3K-Akt, ras-raf-MEK-ERK,

dan JAK/STAT (Himpe dan Koojiman, 2009)

2.2.4 IGF-1 dan Sistem Imun

Page 17: Bab II Calvin - sinta.unud.ac.id

17

Hubungan antara fungsi imun dan IGF-1 masih dalam penelitian sampai saat ini akan

tetapi beberapa penelitian yang sudah dilakukan menunjukkan peran dari GH, IGF-1

dan IGF-1R dalam proses fungsi imun. O’Connor dkk mendapatkan bahwa sitokin

proinflamasi dapat memicu keadaan resistensi terhadap hormon IGF-1, dimana

kebanyakan sitokin ini berbagi komponen dengan IGF-1 seperti pada alur Erk1/2

MAPK (O’Connor et al., 2008).

Peran dari IGF-1 pada fungsi dan perkembangan dari timus, hematopoiesis

dan rekonstitusi fungsi imun juga telah dilaporkan. Peran IGF-1 pada fungsi dan

perkembangan limfosit T memberikan informasi tentang peran protein ini pada

penyakit inflamasi. Pada sebuah penelitian didapatkan bahwa IGF-1 dapat

meningkatkan jumlah sel T imatur CD4+ dan CD8+ pada timus dan limpa mencit,

membantu kelangsungan hidup, proliferasi, kemotaksis dan maturasi dari sel T, serta

mencegah apoptosis. Meskipun mekanisme pasti bagaimana IGF-1 dapat

mempengaruhi sel T ini belum sepenuhnya dimengerti akan tetapi para peneliti

menduga peran dari IL-7 dalam proses ini (Walsh et al., 2002).

Sel B memiliki peran dalam fungsi imun melalui diferensiasi sel plasma yang

mensekresi imunoglobulin, pembentukan sitokin dan presentasi antigen. Insulin-like

Growth Factor-1 (IGF-1) dilaporkan dapat memicu diferensiasi sel B untuk

meningkatkan proliferasi IL-7. Saat diberikan secara in vivo, IGF-1 dapat

meningkatkan jumlah sel B di limpa melalui peningkatan proliferasi sel matur, serta

pengaruhnya pada ekspresi antibodi (Clark, 1997).

Selain sel T dan sel B, ternyata dilaporkan juga makrofag serta granulosit

memiliki sensitifitas tertentu juga terhadap IGF-1 pada reseptor IGF-1R di permukaan

selnya. Didapatkan laporan bahwa IGF-1 dapat memicu apoptosis pada makrofag dan

granulosit. Efek dari IGF-1 terhadap neutrofil juga telah dilaporkan yaitu kemampuan

Page 18: Bab II Calvin - sinta.unud.ac.id

18

IGF-1 untuk mencegah apoptosis yang dimediasi Fas melalui alur PI3K, sehingga

para peneliti melihat peran IGF-1 pada inflamasi aktif (Smith, 2010).

2.2.5 IGF-1 dan Kusta

Kusta yang dikenal juga sebagai morbus Hansen merupakan penyakit dengan

spektrum bentuk klinis yang dipengaruhi oleh respon imunitas dibawa dan didapat

terutama imunitas seluler. Interaksi antara imunitas dan sistem neuroendokrin

memiliki peran yang besar dalam proses homeostasis imunitas terhadap kondisi stress

dan infeksi (Borghem et al., 2009). Bukti penelitian telah didapatkan bahwa GH/IGF-

1/IGFBP-3 memiliki peran regulasi dalam respon inflamasi dari sistem imun terhadap

infeksi (Perez et al., 2009). Hormon ini dapat mempengaruhi metabolisme seluler

serta berhubungan dengan sitokin serta glukokortikoid. Insulin-like growth factor-1

(IGF-1) bersirkulasi dalam plasma dengan kadar sekitar 150-400 ng/mL dan 80-90%

akan berikatan dengan IGFBP-3 yang akan membawa IGF-1 ke reseptor target. Oleh

karena kusta sangat dipengaruhi oleh reaksi inflamasi dan respon imun, IGF-1

mungkin memiliki peran dalam spektrum kusta yang terkena serta risiko untuk

terjadinya reaksi kusta (Clemmons, 2007; Elmlinger et al., 2008).

Pada beberapa penelitian mendapatkan bahwa sel Schwann memiliki

kemampuan untuk menseksresi beberapa faktor pertumbuhan seperti IGF, Platelet-

derived growth factors-BB (PDGF-BB) serta neurotrophin-3 (NT-3) yang dapat

menginhibisi kematian sel (Meier et al., 1999; Syroid et al., 1999). Pada penelitian

yang dilakukan oleh Rodrigues dkk mendukung data ini dengan mendapatkan bahwa

M.leprae memicu IGF-1 dan IGF-2 pada sel Schwann yang tidak didapatkan pada

pasien kontrol atau pada kelompok dengan M. smegmatis atau BCG. Ekspresi dari

Page 19: Bab II Calvin - sinta.unud.ac.id

19

IGF-1 ini dipercaya dapat membantu dalam kelangsungan hidup M.leprae di dalam

sel Schwann (Rodrigues et al., 2009).

Silva dkk melakukan penelitian efek IGF-1 terhadap infeksi kusta dan

mendapatkan bahwa kadar ekspresi IGF-1 pada lesi dermis pasien kusta berkorelasi

dengan keparahan infeksi. Berdasarkan fungsinya makrofag dibagi atas 2 yaitu M1

yang terlibat dalam pertahanan pejamu serta M2 yang berperan dalam penyembuhan

luka dan regulasi imun. Pada kusta makrofag merupakan salah satu dari sel target

M.leprae, dimana makrofag yang terinfeksi kuman M.leprae menjadi resisten

terhadap aktivasi IFN-γ (Silva et al., 2016).

Insulin-like growth factor 1 (IGF-1) memiliki efek terhadap ekspresi inducible

nitric oxide synthase (iNOS) dan produksi nitric oxide (NO). Pada penelitian yang

dilakukan pada pelepasan NO dan iNOS pada makrofag yang terinfeksi M.leprae dan

didapatkan bahwa IGF-1 mampu untuk menurunkan pembentukan NO dan iNOS

pada makrofag yang merupakan salah satu dari proses antimikroba, sehingga

berpengaruh pada kelangsungan hidup kuman M.leprae intraseluler (Silva et al.,

2016).

Gambar 2.4 Peran IGF-1 pada makrofag yang terinfeksi M.leprae (Silva et al., 2016)

Page 20: Bab II Calvin - sinta.unud.ac.id

20

Pada penelitian yang dilakukan oleh Rodrigues dkk pada kadar IGF-1 yang

bersirkulasi dengan status penyakit kusta didapatkan bahwa kadar IGF-1 lebih rendah

pada pasien BL/LL yang belum mendapatkan terapi MDT dibandingkan dengan

kelompok pasien BT dan kontrol sehat. Pada kelompok BL dan LL ini didapatkan

sekitar 75-83.3% memiliki kadar serum IGF-1 dibawah normal. Rodrigues dkk juga

melakukan pemeriksaan kadar IGF-1 pada kelompok pasien LL yang telah selesai

mendapatkan terapi dan didapatkan bahwa kadar IGF-1 pada pasien ini lebih tinggi

dibandingkan sebelum terapi bahkan setelah 3-5 tahun pasca selesai terapi MDT.

Pengukuran dari kadar IGF-1 serum juga dinilai pada pasien LL yang mengalami

reaksi ENL selama pengobatan dan didapatkan bahwa pada kelompok ini saat tidak

didapatkan reaksi memiliki kadar IGF-1 yang lebih tinggi dibandingkan dengan

kelompok LL yang tidak pernah mengalami reaksi. Akan tetapi kadar IGF-1 yang

diperiksa pada kelompok ini saat sedang terjadi reaksi ENL didapatkan penurunan

yang signifikan hampir mendekati kadar pada pasien LL tanpa reaksi. Pada pasien

dengan reaksi reversal didapatkan kadar IGF-1 yang meningkat saat dalam kondisi

reaksi, yang berbeda apabila dibandingkan dengan pasien ENL yang didapatkan

penurunan saat reaksi (Rodrigues et al., 2011).

Peneliti menemukan bahwa kadar IGF-1 serum yang rendah pada pasien LL

yang tidak mengalami reaksi serupa dengan kondisi lain seperti sepsis. Hal yang

diketahui adalah pada sepsis respon inflamasi akan diikuti oleh perkembangan kondisi

hipo-inflamasi dan gangguan respon imun yang membuat tubuh tidak dapat

mengeradikasi infeksi. Kondisi ini disebabkan oleh aktivasi yang berlebihan dari aksis

hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) oleh sitokin pro-inflamasi yang berlebihan dan

jangka panjang. Hal ini akan memicu sekresi glukokortikoid perifer dan menginhibisi

sintesis IGF dari hepar. Kondisi ini mungkin dapat menjelaskan mengapa kadar IGF-1

Page 21: Bab II Calvin - sinta.unud.ac.id

21

pada pasien LL lebih rendah dibandingkan kelompok tuberkuloid dimana pada

penelitian lainnya IGF-1 ditemukan sebagai faktor yang dapat melindungi kuman

M.leprae dari respon imun (Rodrigues et al., 2011).