bab ii - sinta.unud.ac.id ii rev.pdf · pusat pelestarian kesenian wayang kulit tradisional bali di...

28
Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 8 BAB II PEMAHAMAN TERHADAP PUSAT PELESTARIAN KESENIAN WAYANG KULIT TRADISIONAL BALI DI KAB. BADUNG 2.1 Pemahaman Mengenai Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali 2.1.1 Pengertian Wayang Kulit Wayang di Bali merupakan suatu bentuk kebudayaan sekaligus kesenian. Kesenian ini selalu menjadi bagian dari sebuah rangkaian upacara keagamaan umat Hindu. Oleh sebab itu, keberadaan serta peran serta dari sebuah pertunjukan wayang tidak akan pernah bisa lepas dari kehidupan masyarakat di Bali. Menurut beberapa ahli, pengertian Wayang adalah sebagai berikut : Menurut W.J.S. Poerwadarminta, wayang adalah gambar atau tiruan orang dan sebagainya, dibuat dari kulit kayu atau sebagainya, untuk pertunjukan suatu lakon. Menurut I Gusti Bagus Sugriwa, pewayangan berasal dari kata wayang yang sama artinya dengan bayang-bayang. Mendapat awalan pa dan akhiran an, yang mengandung pengertian perihal tentang seluk beluk wayang, yang terutama ialah pelaku pertunjukan wayang yang dibuat dari kulit sapi yang dipahat/ ditatah yang

Upload: nguyendieu

Post on 10-Mar-2019

232 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 8

BAB II

PEMAHAMAN TERHADAP PUSAT PELESTARIAN KESENIAN WAYANG

KULIT TRADISIONAL BALI DI KAB. BADUNG

2.1 Pemahaman Mengenai Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali

2.1.1 Pengertian Wayang Kulit

Wayang di Bali merupakan suatu bentuk kebudayaan sekaligus kesenian. Kesenian

ini selalu menjadi bagian dari sebuah rangkaian upacara keagamaan umat Hindu. Oleh

sebab itu, keberadaan serta peran serta dari sebuah pertunjukan wayang tidak akan pernah

bisa lepas dari kehidupan masyarakat di Bali. Menurut beberapa ahli, pengertian Wayang

adalah sebagai berikut :

Menurut W.J.S. Poerwadarminta, wayang adalah gambar atau tiruan orang dan

sebagainya, dibuat dari kulit kayu atau sebagainya, untuk pertunjukan suatu lakon.

Menurut I Gusti Bagus Sugriwa, pewayangan berasal dari kata wayang yang sama

artinya dengan bayang-bayang. Mendapat awalan pa dan akhiran an, yang

mengandung pengertian perihal tentang seluk beluk wayang, yang terutama ialah

pelaku pertunjukan wayang yang dibuat dari kulit sapi yang dipahat/ ditatah yang

Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 9

merupakan bentuk-bentuk khayalan, dewa-dewa, raksasa, binatang, pohon-pohonan,

dan lain-lainnya serta dilihat oleh penonton bayangannya.

Dari beberapa pengertian ahli mengenai kesenian wayang tersebut, maka dapat

disimpulkan bahwa kesenian wayang kulit di Bali merupakan sebuah seni pertunjukan

bayangan yang pelaku-pelakunya berupa wayang kulit yang dimainkan dibalik layar oleh

seorang manusia yang disebut dengan “Dalang”. Sedangkan Wayang Kulit Tradisional

Bali merupakan seni pertunjukan bayangan yang berkembang di Bali mulai dari wayang

kulit itu sendiri, Dalang yang memainkan wayang kulit tersebut serta gamelan pengiring

dari pertunjukan wayang kulit tersebut.

2.1.2 Sejarah Wayang Kulit

Dari segi historis, berdasarkan prasasti Wukajana wayang dikenal pada abad ke-XII

M, apabila dilihat dari bentuk huruf-huruf yang masih dapat dibaca, wayang berasal dari

masa Belitung (Van Naerssen, 1937; 444-446 dalam Soetrisno, 2008). Pertunjukan

wayang telah ada sejak abad IX yang disebut dengan mamayang buat hyang tertulis dalam

prasasti Kuti (840 M) disebut pula dengan kalimat haringgit. G.A.Y Hazeau berpendapat

di dalam desertasinya tahun 1897 bahwa meskipun pada akhirnya pertunjukan wayang itu

diperkaya dengan cerita yang berasal dari naskah-naskah sastra India, namun pertunjukan

wayang adalah asli Indonesia (Mulyono, 1975 :23 dalam Soetrisno, 2008).

Wayang merupakan ciptaan budaya genius bangsa Indonesia yang telah dikenal

sekurang-kurangnya sejak abad X dan telah berkembang hingga masa kini. Wayang pada

awalnya merupakan budaya lisan yang bermutu seni sangat tinggi. Daya tahan dan

perkembangan wayang telah teruji dalam menghadapi tantangan zaman, oleh karena

wayang berakar dalam masyarakat dan hampir di semua daerah di Indonesia mengenal

wayang sesuai dengan latar belakang budaya daerahnya. Wayang bukan hanya sekedar

tontonan atau hiburan melainkan berisi tuntunan dan nasihat (pitutur) yang penuh dengan

keteladanan. Pergelaran wayang menggambarkan wewayangane ngaurip, karena

merupakan bayangan atau simbol kehidupan manusia karena wayang menggambarkan

kehidupan manusia dengan segala persoalan yang dihadapinya (Soetrisno, 2008).

Bahwa pertunjukan wayang menggunakan media kulit, baru diperjelas sekitar abad

XI-XII sebagaimana dinyatakan dalam kitab Arjunawiwaha (Wiryamartana, 1987:154

dalam Soetrisno, 2008) :

Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 10

o Annonton ringgit menangis askl mudha hidpan

o Huwus wruh towin ya(n) walulang inukir molah angucap

o Atur ning wwa(ng) trsnêng wisaya malah tan wi(hi) ka[nhi]na

o R<i> tattwam (y)a-n (m)ay sahana-hana ning bhwa siluman

Artinya :

Ada orang menonton wayang, menangis, sedih, kacau hatinya

Telah tahu pula bahwa kulit yang dipahatlah yang bergerak dan berucap itu

Begitulah rupanya orang yang lekat akan sasaran indera melongo saja,

sampai tak tahu

Bahwa pada hakekatnya mayalah segala yang ada sulapan belaka

2.1.3 Jenis-jenis dan Bentuk Wayang Kulit Tradisional Bali

Kesenian wayang kulit di Bali memiliki berbagai macam jenis. Jenis-jenis

pertunjukan wayang kulit di Bali dibedakan berdasarkan lakon atau cerita yang dimainkan

dalam pertunjukan wayang. Selain itu perbedaan jenis pertunjukan wayang juga

berdasarkan dari jenis upacara apa yang diselenggarakan. Jenis-jenis pertunjukan wayang

kulit tradisional Bali berdasarkan lakon atau cerita yang dimainkan adalah (Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan : 264):

a. Wayang Ramayana merupakan wayang yang di dalam ceritanya mengambil tema

atau lakon atau epos Ramayana.

b. Wayang Parwa (Marwa) merupakan wayang yang di dalam ceritanya mengambil

tema atau lakon atau epos dari Mahabharata.

c. Wayang Calonarang merupakan wayang yang menceritakan tentang kisah

pemerintahan Prabu Erlangga, dimana Sang Raja yang kawin dengan Dewi Ratna

Mangali yang dalam topiknya menceritakan kegiatan ilmu hitam oleh Calonarang di

Desa Girah yang dilawan dan dikalahkan oleh tingkah laku baik yang dipelopori oleh

Empu Barata.

d. Wayang Cupak/ Gerantang merupakan pertunjukan wayang dengan lakon atau

cerita Cupak Gerantang. Mereka adalah tokoh wayang dalam cerita wayang itu sendiri

seperti halnya Wayang Jemblung di Jateng, dimana tokoh raja ( Umarmaya ) oleh

masyarakat diberi julukan “Jemblung”. Lama-kelamaan terkenal dengan nama

“Wayang Jemblung” bagi pertunjukan wayang itu. Dalam Wayang Cupak Gerantang,

Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 11

mereka adalah dua tokoh kakak beradik. Lakon ini menceritakan seseorang yang

buruk karena pendir (Cupak) dengan tingkah laku yang baik dan cakap yang

dipelopori oleh Gerantang.

e. Wayang Gambuh merupakan jenis pertunjukan wayang yang mengambil tokoh-

tokoh pegambuhan untuk disajikan dalam sistem pakeliran (di balik layar). Sumber

lakon pertunjukan wayang ini berasal dari drama tari Gambuh dengan mengambil

cerita Panji Inukertapati dan Rangkesari.

f. Wayang Arja merupakan seni pertunjukan wayang yang tokohnya diambil dari

drama tari Arja. Beberapa tokoh tersebut seperti mantri, galuh, condong, desak,

penasar dan lainnya. Cara pementasan sama dengan jenis wayang lainnya, namun

sistem pembabakannya sama persis dengan drama tari Pangarjan.

g. Wayang Tantri merupakan satu jenis seni pertunjukan wayang Bali juga yang

ceritanya menggambarkan tokoh-tokoh dalam cerita Tantri.

Selain itu, pengklasifikasian jenis wayang kulit juga berdasarkan fungsinya dalam

suatu upacara keagamaan di Bali. Jenis wayang ini memegang peranan penting yaitu

berkaitan langsung dengan suatu upacara keagamaan (Sumandi dalam Krisnahadi,

2003:II-26). Jenis-jenis wayang yang dimaksud tersebut terdiri dari tiga jenis yaitu sebagai

berikut :

a. Wayang Sapuh Leger

Kata "Sapuh Leger" (baca, Sapuh Légér) di Bali secara khusus dihubungkan dengan

pertunjukan wayang dalam kaitannya untuk pemurnian kepada anak atau orang yang lahir

tepat pada wuku wayang dalam siklus kalender Bali. Secara ritual upacara pemurnian

dinamakan lukat atau nglukat, yaitu suatu aktivitas untuk membuat air suci (tirta) yang

dilakukan baik oleh seorang pendeta (Pedanda atau Pemangku) maupun seorang dalang

(Mangku Dalang) dengan tujuan untuk membersihkan mala (ke-kotoran) rohani seseorang.

Sapuh leger adalah pembuatan air suci (tirta pang-lukatan) yang dilakukan seorang dalang

sehabis pertunjukan wayang, ditujukan untuk pembersihan seseorang yang khusus lahir

pada wuku wayang (Wicaksana, 2003:33).

Pertunjukan Wayang Sapuh Leger yang sering dipentaskan di Bali bersumber pada

lontar Kala Purana, Japa/Cepa Kala, Kidung Sang Empu Leger, Kala Tatwa, Kakawin

Sang Hyang Kala, Tutur Wiswa Karma dan Kidung Sapuh Leger.

Lakon Sapuh Leger adalah mengisahkan asal-usul kelahiran dan perjalanan Bhatara

Kala, dimana ayahnya Dewa Siwa memberi ijin kepadanya untuk memangsa anak atau

Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 12

orang yang lahir pada tumpek wayang, kemudian jenis-jenis korbannya, lolosnya korban,

tipuan Dewa Siwa terhadap Kala dengan memberikan teka-teki; peranan dalang sebagai

pemenang, meredam kerakusan Kala. Aspek angkara digambarkan amat kuasa dan kuat,

dalam mitos ini diwujudkan sebagai raksasa besar dan kuat berwujud Bhatara Kala yang

tak tertandingi oleh para dewa. Hal ini memberi petunjuk bahwa kuasa keteraturan,

kebaikan, kebijakan, atau aspek positif dari dewa sebenar-nya selalu terancam oleh kuasa

ketidak teraturan, kekacauan atau aspek negatif dalam diri manusia. Bhatara Guru dalam

mitos digambarkan hanya dapat melemahkan Kala, tetapi tidak dapat melenyapkannya

sama sekali karena Kala adalah aspek angkara atau atau negatif yang bersumber dari pada

dirinya juga. Secara simbolis cara melemahkan potensi angkara atau aspek negatif dalam

diri manusia diperagakan melalui pentas dengan membatasi waktu-waktu makannya (siang

dan malam hari serta kelahiran pada Tumpek Wayang), ritual, dan mantram dilakukan

oleh Batara Guru yang menjelma menjadi dalang. Dengan peragaan itu berarti bahwa

kuasa keangkara-murkaan dilemahkan atau hanya dibuat lemah oleh aspek kesucian.

Lakon Sapuh Leger meng-ungkapkan ajaran mistikisme yang masih dipraktek dalam

kehidupan masyarakat Bali (Wicaksana, 2003:33).

b. Wayang Sudamala

Merupakan wayang yang sejenis dengan wayang Sapuh Leger, dimana jika ditelusuri

arti kata Sudamala adalah : “Suda” berarti suci dan “Mala” berarti kotor. Dapat dikatakan

bahwa wayang ini adalah untuk membersihkan kekotoran, dalam artian lebih bersifat

kerohanian dibandingkan jasmaniah. Pertunjukan wayang ini dapat melengkapi upacara

Panca Yadnya. Pengambilan lakon pun sangat menentukan sifat pertunjukan tersebut,

umumnya dipergunakan lakon Bima Swarga, Dewa Ruci dan Lubdaka.

c. Wayang Lemah

Merupakan pertunjukan wayang yang berfungsi sebagai pelengkap dalam kaitannya

dengan Upacara Dewa Yadnya dan Pitra Yadnya. Apabila pementasan Wayang Lemah

menyertai upacara Dewa Yadnya, maka pementasan dilaksanakan di halaman pura

bertepatan dengan upacara piodalan yang sedang berlangsung. Sesuai dengan namanya,

Wayang Lemah semestinya dipertunjukan pada siang atau sore hari/ lemah.

Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 13

Sedangkan jika dilihat dari segi bentuk, bentuk wayang Bali adalah sangat sederhana

jika dibandingkan dengan bentuk wayang Jawa. Demikian pula tentang warna-warna cat

atau sunggingannya. Dalam hal menentukan warna wayang-wayang tokoh di Bali

disesuaikan dengan warna dewa-dewa yang menaungi Sembilan penjuru mata angin

ataupun setidaknya lima dewa yang pokok yaitu (Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan :269) :

a. Dewa Brahma berwarna merah, bertempat di arah kelod (selatan).

b. Dewa Iswara berwarna putih, bertempat di arah kangin (timur).

c. Mahadewa berwarna kuning, bertempat di arah kauh (barat).

d. Dewa Wisnu berwarna hitam bertempat di arah kaja (utara).

e. Dewa Siwa berwarna mancawarna bertempat di tengah.

2.1.4 Fungsi Wayang Kulit

Di Bali pertunjukan wayang merupakan suatu pertunjukan seni yang memiliki

banyak fungsi. Sebagian besar pertunjukannya tidak akan pernah lepas dari rangkaian

kegiatan keagamaan umat Hindu. Pertunjukan kesenian wayang kulit di Bali memilki

fungsi sebagai bagian dari sebuah upacara, pendukung suatu sesi ritual keagamaan,

maupun hanya sebagai pelengkap dan hiburan semata. Dari perbedaan fungsi tersebut,

maka pertunjukan Wayang Tradisional Bali dapat digolongkan menjadi tiga fungsi utama

yaitu sebagai berikut (Wicaksana, 2003:5):

1. Wayang Wali, merupakan suatu jenis pertunjukan wayang tradisional Bali yang

pementasannya berfungsi sebagai bagian dari suatu upacara keagamaan yang

dilakukan oleh umat Hindu. Sehingga bisa dikatakan bahwa pementasan wayang ini

mutlak harus ada saat upacara tersebut. Jika tidak, maka upacara tersebut tidak akan

dikatakan sukses atau berhasil. Jenis pertunjukan wayang yang bisa dikategorikan

sebagai Wayang Wali adalah Wayang Sapuh Leger.

2. Wayang Bebali, merupakan suatu pertunjukan wayang yang fungsinya sebagai

pengiring suatu upacara yang dilaksanakan di pura atau dalam lingkup yang lebih

kecil di dalam lingkungan peumahan Bali. Pertunjukan wayang ini biasanya

mengiringi kegiatan upacara Panca Yadnya. Jenis pertunjukan wayang yang bisa

dikategorikan sebagai Wayang Bebali adalan Wayang Lemah dan Wayang Sudamala.

3. Wayang Balih-balihan, merupakan suatu pertunjukan wayang yang tidak sacral seperi

wayang wali maupun bebali. Pertunjukan wayang ini murni hanya bersifat sebagai

Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 14

hiburan semata. Di dalam pertunjukan wayang ini, para dalang telah melakukan

banyak modifikasi dalam hal pementasannya, namun tetap berpegang teguh kepada

Dharma Pewayangan dan pakem-pakem dalam pertunjukan wayang. Pengambilan

atau penentuan lakon pada fungsi wayang balih-balihan akan disesuaikan dengan jenis

upacara apa yang dilengkapi dengan pertunjukan wayang tersebut. Sehingga lakon

yang akan dipentaskan akan sangat dipengaruhi oleh jenis upacara apa yang

diselenggarakan.

Klasifikasi jenis pertunjukan wayang yang ditampilkan selalu berdasarkan fungsi

wayang tersebut kaitannya dalam sebuah upcara keagamaan. Berikut merupakan

klasifikasi jenis wayang berdasarkan fungsinya (Bandem, 1981):

Wayang Parwa berfungsi untuk hiburan, upacara agama dan tontonan, Wayang

Lemah, Wayang Sudamala dan Wayang Ramayana berfungsi untuk upacara agama,

Wayang Sapuh Leger berfungsi sebagai upacara Manusa Yadnya (salah wetu), Wayang

Cupak Gerantang berfungsi sebagai hiburan dan tontonan di pura, sedangkan Wayang

Calonarang serta Wayang Arja berfungsi sebagai hiburan dan sesangi.

2.1.5 Proses Pembuatan Wayang Kulit

Wayang kulit merupakan suatu jenis kesenian yang sangat kompleks. Di dalam

pementasannya terkandung beberapa jenis kesenian seperti seni peran, seni vokal, sastra,

bahkan terdapat nilai-nilai moral dan falsafah hidup yang sangat berguna bagi kehidupan.

Proses pembuatan wayang kulit juga bisa dikategorikan sebagai sebuah kesenian karena

dalam proses pembuatanya terdapat seni pahat dan juga seni lukis. Adapaun cara

pembuatan wayang kulit tradisional Bali adalah sebagai berikut (Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan :265):

a. Mula-mula kulit sapi mentah dikeringkan pada sinar matahari sampai benar-benar

kering. Di Bali, pada umumnya kulit yang digunakan untuk membuat wayang adalah

kulit sapi, lain halnya di Jawa yang digunakan adalah kulit kerbau, karena memang

hasil wayang yang dibuat dari kulit kerbau memiliki kualitas yang lebih baik.

b. Sesudah kulit benar-benar kering, kulit tersebut dibasahi lagi dengan air dengan

maksud supaya kulit sebelah luar menjadi agak lebih lunak dan lebih merata.

Kemudian dikerok menggunakan suatu alat yang disebut dengan “patil” sampai bersih

Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 15

semua bulu-bulunya. Setelah proses pengerokan selesai, kulit kembali dibasahi

dengan air kemudian dipanaskan dan dikeringkan kembali.

c. Kulit yang benar-benar telah kering kemudian mulai digambari wayang apa yang

dikehendaki untuk dibuat. Hal ini biasanya dengan menggunakan wayang-wayang

pilihan yang sudah ada sebagai pola.

d. Setalah selesai menggambar pola wayang di atas kulit, kulit tersebut mulai ditatah

menurut pola yang telah dibuat. Proses tatah merupakan proses memahat wayang.

e. Kulit yang sudah selesai ditatah (telah berbentuk wayang) terlebih dahulu diberi

warna dasar hitam dengan menggunakan mangsi (merupakan warna alami yang

diambil dari arang). Penyelesaian selanjutnya yaitu pengecatan/sunggingan. Warna

cat bagi wayang-wayang tokoh ditentukan menurut ketentuan warna-warna dalam

Dewata Nawa Sanga.

f. Setelah proses pengecatan selesai, dilanjutkan dengan langkah pemasangan gelik

(dibuat dari tali plastik ukuran besar yang digunakan untuk menyambungkan bagian

sendi bahu dan siku wayang dengan cara dibakar lalu ditekan). Sesudah itu

dipasangkan pula katik (pegangan badan wayang) badan yang terbuat dari kayu atau

bambu dan demikian juga dipasang katik tangan (pegangan untuk menggerakan

tangan wayang) yang terbuat dari kayu atau bambu juga.

g. Setelah semua proses tersebut selesai, wayang telah siap untuk digunakan.

2.1.6 Perlengkapan Pertunjukan Wayang Kulit

Dalam pertunjukan wayang kulit di Bali baik pertunjukan itu sifatnya biasa/ hiburan

maupun untuk upacara keagamaan dan sebagainya, pada umumnya alat-alat atau

perlengkapan pertunjukan itu sama. Berikut merupakan perlengkapan dari suatu

pertunjukan wayang kulit di Bali (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan :266) :

a. Wayang, dalam satu kotak wayang kulit Bali berisi ±200 wayang. Jumlah ini

termasuk atau meliputi wayang-wayang Ramayana, Purwa, Calonarang maupun

wayang Cupak. Dalam hal ini, maupun ada pengkhususan dalang, wayang yang

digunakan adalah tetap sama. Hanya saja nanti dalam pertunjukannya tokoh-tokoh

yang memegang peranan jauh berbeda.

b. Layar atau Kelir, dibuat dari kain putih yang tipis berukuran ±2.50 x 1.50 m dengan

lis disebelah atas berwarna hitam bernama langitan yang lebarnya ±15 cm. Demikian

pula disebelah bawah yang bernama lemahan. Pada bagian bawah (lemahan)

Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 16

digunakan paku yang terbuat dari bambu untuk menancapkan layar tersebut pada

gedebog.

c. Gedebog, merupakan sebatang pohon pisang yang digunakan sebagai media untuk

menancapkan wayang kulit saat pementasannya. Pada wayang kulit Bali, hanya

digunakan satu gedebog.

d. Belencong, merupakan tempat atau pusat cahaya dalam pertunjukan wayang.

Disamping untuk penerangan, belencong juga berfungsi sebagai alat untuk

menghidupkan atau nafas dari pada wayang-wayang yang sedang dimainkan. Pada

umumnya belencong di Bali terbuat dari tanah liat dan minyak yang digunakan untuk

menjaga api tetap hidup adalah minyak kelapa. Sumbunya terbuat dari benang mentah

atau lawe.

e. Kropak, merupakan tempat untuk menyimpan wayang. Tempat wayang ini biasanya

terbuat dari kayu dan saat pertunjukan dipergunakan sebagai alas untuk membunyika

kepyak.

f. Kepyak, adalah sebuah alat yang dibunyikan dalam pertunjukan sebuah wayang.

Bunyi yang dihasilkan yaitu “pyak”, biasa dibunyikan setelah wayang selesai berucap

atau melakukan gerakan.

g. Gamelan, pada umumnya tabuh atau gamelan terdiri dari dua bagian yaitu :

Untuk mengiringi Wayang Ramayana memerlukan 12 macam gamelan yaitu :

- 2 buah gender wayang besar

- 2 buah gender wayang kecil

- 1 kempul

- 1 kecek

- 1 clulup

- 1 klenang

- 1 kelentong

- 1 tawa-tawa

- 2 kendang

Untuk mengiringi Wayang Parwa cukup hanya menggunakan 4 buah gender

wayang.

Untuk berjalannya suatu pertunjukan wayang tersebut, maka dibutuhkan tenaga

manusia sebagai pelaksana pertunjukannya. Peranan manusia dalam pertunjukan wayang

Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 17

dibedakan menjadi beberapa peranan yaitu (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

:270) :

a. Dalang, terdiri dari 1 orang (laki-laki atau perempuan) yang memenuhi peryaratan-

persyaratan tertentu antara lain :

Sekurang-kurangnya telah berusia 35 tahun.

Harus benar-benar menguasai ketentuan-ketentuan dalam Darma Pewayangan.

Harus menguasai dasa suara ( dang, dong, deng, ding, dan sebagainya)

b. Penyimping, merupakan dua orang yang berada di sebelah kanan dan kiri dalang yang

tugasnya untuk menyiapkan segala keperluan dalang selama proses pertunjukan.

Tugasnya juga termasuk untuk membantu dalang dalam pemilihan dan pengambilan

wayang yang dimainkan selama pertunjukan.

c. Penabuh, untuk pertunjukan wayang Ramayana terdiri dari 12 orang dan untuk

pertunjukan wayang Parwa terdiri dari 4 orang saja.

d. Pesinden/ Waranggana, dalam pertunjukan wayang Bali tanpa menggunakan

pasinden, tugas ini seluruhnya dijalankan oleh dalang, namun seiring dengan

perkembangan di Bali saat ini sudah mulai menggunakan sinden yang dilakukan oleh

kaum wanita.

Pergelaran atau pertunjukan wayang kulit biasanya dilaksanakan di pura, wantilan

atau balai banjar bahkan di rumah seseorang yang sedang menyelenggarakan upacara

yadnya tertentu yang membutuhkan pertunjukan wayang kulit sebagai bagian dari upacara

Gambar 2.1 Struktur Pementasan Wayang Kullit Parwa Sumber : Eisemen dan Fred, 1989

Keterangan :

1. Dalang

2. Ketengkong/tututan

(pembantu dalang)

3. Kelir

4. Damar Blencong

5. Gedebong

6. Kropak

7. Wayang kanan dan kiri

disimping

8. Instrumen Gender

Wayang

9. Tukang Gender/Penabuh

Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 18

tersebut maupun hanya sebagai pelengkap dan hiburan saja. Dalam pementasannya,

pertunjukan wayang kulit harus menghadap ke arah utama yang dalam agama Hindu

adalah ke arah Kaja (utara) dan Kangin (timur). Selain itu, jika wayang wali/ bebali yang

bersifat sakral dan menjadi pelengkap suatu kegiatan upacara agama di pura, maka

pertunjukan wayang tersebut harus dipertunjukan di area Utama Mandala atau Jeroan.

2.1.7 Cara Menyimpan Wayang Kulit

Wayang Kulit disimpan atau ditaruh di dalam sebuah kotak yang disebut dengan

Kropak dan diatur dengan rapi. Wayang di Jawa, tiap-tiap jenis wayang dibatasi dengan

sebuah eblek dan juga urutan letaknya pun diatur menurut ketentuan, misalnya eblek ke-1

(terbawah) adalah tempat untuk menaruh wayang jenis binatang-binatang. Eblek ke-2

untuk kera-kera ricikan dan para panakawan, Eblek ke-3 untuk para Dewa, pendeta dan

sebagainya. Cara penyusunan seperti itu juga akan memudahkan cara mencari wayang

atau mengambil wayang yang dikehendaki oleh Ki Dalang. Tetapi, penyimpanan wayang

di Bali, hanya diletakkan begitu saja tanpa ada pengelompokkan dan pembatas antar jenis

wayang. Sehingga dalam pertunjukannya nanti, terlebih dahulu Dalang membongkar dan

mengeluarkan wayang itu satu persatu dari dalam kotak sambil memilih-milih wayang-

wayang yang perlu dimainkan nanti. Pada saat Dalang mengeluarkan dan memilih wayang

yang akan digunakan ini disertai dengan iringan gamelan yang mana hal ini sudah

merupakan ketentuan pokok (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan :267).

2.2 Pemahaman Mengenai Pusat Pelestarian

2.2.1 Pengertian Pelestarian

Berikut ini merupakan beberapa pengertian dari pelestarian :

a. Pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankam keberadaan budaya dan

nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan dan memanfaatkannya (UU No 11

tahun 2010 tentang Benda Cagar Budaya, dalam Putra, 2002).

b. Menurut definisi yang diberikan International Federation of Library Assosiation

(IFLA), pelestarian mencakup semua aspek usaha melestarikan bahan pustaka,

keuangan, ketenagaan, metode dan teknik serta penyimpanan koleksi (Martoatmojo

dalam Putra, 2002:II-1).

c. Pelestarian adalah menjaga hasil budaya ciptaan manusia atau alam yang memiliki

nilai estetis ataupun sejarah sehingga dapat bertahan dalam perkembangan jaman.

Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 19

2.2.2 Tujuan Pelestarian

Tujuan dari kegiatan pelestarian yaitu sebagai berikut (Balai Pelestarian Nilai

Budaya):

a. Melindungi nilai-nilai filosofis dari suatu kebudayaan agar tidak menghilang dari

kehidupan.

b. Melindungi semua benda yang sudah dianggap sebagai benda-benda cagar budaya

dengan langsung melakukan perawatan (membersihkan, memelihara, memperbaiki

baik secara fisik maupun non fisik, serta memperbaiki langsung dari pengaruh

lingkungan yang bisa merusak benda tersebut).

c. Melindungi benda-benda peninggalan sejarah dan purbakala dari kerusakan yang

diakibatkan oleh alam, kimiawi dan mikro organisme.

2.2.3 Unsur-unsur Pelestarian

Berikut ini unsur-unsur yang perlu diperhatikan dalam suatu kegiatan pelestarian

yaitu sebagai berikut (Martoatmojo dalam Putra, 2002:II-3):

a. Manajemen

Manajemen berkaitan dengan siapa yang akan bertanggung jawab terhadap kegiatan

pelestarian tersebut dan prosedur yang harus dilewati sebelum pelaksanaan pelestarian

dilakukan.

b. Tenaga Pelaksana

Dalam usaha pelestarian tersebut hendaknya melibatkan tenaga ahli yang terampil dan

memiliki latar belakang ilmu yang berkaitan dengan apa yang dilestarikan tersebut.

c. Laboratorium

Sebagai wadah atau tempat untuk melaksanakan kegiatan konservasi terhadap benda-

benda budaya.

d. Pendanaan

Sumber dana yang jelas akan memperlancar dalam suatu usaha pelestarian, biasanya

sumber dana berasal dari suatu instansi yang berkepentingan dan memerlukan adanya

usaha pelestarian tesebut.

Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 20

2.3 Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali

2.3.1 Latar Belakang Perlunya Pelestarian Wayang Kulit Tradisional Bali

Pelestarian Wayang Kulit disini merupakan suatu usaha yang dilakukan agar

kesenian ini bisa tetap ada di tengah-tengah perkembangan jaman dan teknologi yang

semakin pesat ini. Pelestarian ini dianggap perlu karena wayang jika dilihat dari fungsinya

memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Bali terlebih dalam

aktifitas keagamaannya. Fungsi Wayang Kulit di Bali bisa dibedakan menjadi tiga fungsi

yaitu Fungsi Wali (sakral), wayang disini merupakan bagian penting dari sebuah upacara

yadnya, contohnya adalah Wayang Sapuh Leger, Fungsi Bebali, wayang merupakan

pelengkap atau pendukung sebuah kegiatan upacara yadnya di Bali, contohnya adalah

Wayang Lemah dan Wayang Sudamala, serta Fungsi Balih-balihan (profan), wayang

hanya berfungsi sebagai sarana atau media hiburan bagi masyarakat umum, contohnya

adalah Wayang Parwa, Wayang Ramayana dan lainnya. Dengan penjelasan tersebut, dapat

dikatakan bahwa Kesenian Wayang tidak akan pernah lepas dari aktifitas keagamaan umat

Hindu dalam tingkatan Panca Yadnya (Wicaksana, Wawancara, 2015).

Berdasarkan data yang diperoleh di Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung,

perkembangan jumlah seniman wayang atau Dalang bersama sekaanya cenderung

mengalami penurunan. Tercatat pada tahun 2006 terdapat 104 Sekaa Wayang kemudian

pendataan terakhir mencatat pada tahun 2012, jumlah Sekaa Wayang di Kabupaten

Badung hanya sebanyak 57 sekaa. Selain itu, di Badung juga tidak memiliki sentra

pengrajin wayang (Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung, 2015).

Selain itu perkembangan seniman wayang dan kualitas dalang yang semakin lama

semakin menurun dalam hal penguasaan lakon, bahasa, gerak wayang serta mantra-

mantra. Keadaan ini sangat berbeda dengan kualitas dalang pada zaman dahulu yang

mempelajari hal-hal tersebut terkait dengn Darma Pewayangan selama bertahun-tahun

sehingga pemahamannya bisa lebih baik. Jika dibandingkan dengan profesi dalang

sekarang yang bisa didapat dengan mengenyam pendidikan formal, calon dalang tidak

perlu mempelajari sastra dan mantra-mantra dengan waktu yang lama. Cukup melalui

proses pendidikan dengan kurikulum tertentu seseorang telah bisa menjadi dalang.

Berbicara mengenai mutu, memang kualitas dalang menurun, tetapi berbanding terbalik

dengan teknik pementasan atau pertunjukan wayang tersebut yang semakin berkembang

akibat kemajuan teknologi saat ini (Krisnahadi: 2003:II-19).

Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 21

Hal lain yang mempengaruhi perlunya pelestarian Kesenian Wayang ini adalah

animo atau tanggapan masyarakat khususnya masyarakat perkotaan yang semakin

menurun terhadap pertunjukan wayang kulit. Lain halnya dengan masyarakat desa yang

memiliki apresiasi lebih baik tentang kesenian wayang kulit, hal ini mungkin disebabkan

oleh pengaruh budaya luar yang sangat tinggi di daerah perkotaan. Jika hal ini tidak

ditanggapi dengan serius, maka akan menjadi sebuah ancaman bagi suatu keberadaan

kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali.

Oleh sebab itu, maka dikira perlu dibuatkan sebuah Pusat Pelestarian Kesenian

Wayang Kulit Tradisional Bali sebagai wadah dalam hal usaha mempertahankan nilai-

nilai filosofis wayang maupun bentuk nyata dari kesenian wayang tersebut.

2.3.2 Tujuan Pelestarian Wayang Kulit

Dilihat dari berbagai permasalahan yang diangkat dalam latar belakang perlunya

pelestarian Wayang Kulit di atas, maka dapat ditentukan bahwa tujuan pelestarian ini

adalah sebagai berikut :

a. Untuk mempertahankan fungsi Wayang Kulit Bali kaitannya dengan kegiatan upacara

agama Hindu di Bali.

b. Untuk mempertahankan bentuk atau wujud serta jenis-jenis Wayang Kulit Tradisional

Bali yang ada.

c. Meningkatkan kualitas seniman pewayangan atau Dalang yang semakin menurun dari

segi penguasaan lakon, bahasa, gerak wayang dan lainnya.

d. Mengadakan kerajinan wayang kulit sebagai salah satu wujud pelestariannya.

e. Mengembangkan kesenian wayang kulit tradisional Bali dengan lebih menarik guna

meningkatkan apresiasi atau tanggapan positif masyarakat umum tentang kesenian

wayang tersebut.

2.3.3 Peranan Pemerintah dalam Usaha Pelestarian Wayang Kulit

Berdasarkan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, peranan pemerintah dalam usaha

pelestarian wayang yaitu berupa kegiatan-kegiatan seni pewayangan dan pembentukan

organisasi-organisasi yang bergerak di bidang kesenian wayang.

a. Kegiatan yang dilakukan Pemerintah dalam usaha pelestarian Kesenian Wayang

adalah :

Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 22

PKB (Pekan Kesenian Bali) dimana didalamnya dilaksanakan pertunjukan

Wayang Kulit Tradisi Khas Bali dari masing-masing duta kabupaten di Bali.

Parade Wayang Parwa dan Lomba Wayang Ramayana.

Festival wayang kulit antar kabupaten se-Bali dan festival dalang anak mulai

tanggal 14 April 1978.

Pertemuan para dalang yang pertama kali diselenggarakan pada tanggal 23

Desember 1975 oleh Yayasan Pedalangan Daerah Bali untuk pengumpulan

Dharma Pewayangan.

Penataran Dalang dan juru tabuh gender pewayangan yang pertama kali

diselenggarakan pada tanggal 8-10 November 1976.

Dilakukan pencatatan jumlah dalang di Bali pertama kali pada tahun 1976 serta

pencetakan naskah, dharma pewayangan dan lontar aslinya.

Pembinaan dalang wanita yang pertama dari Tunjuk, Tabanan.

Pencanangan “Wayang Masuk Sekolah” oleh Kanwil Depdikbid. Provinsi Bali

pada tahun 1990.

b. Organisasi yang dibentuk sebagai usaha pelestarian kesenian wayang adalah:

PEPADI (Persatuan Pedalangan Indonesia) daerah Provinsi Bali pada tahun 1977.

Yayasan Pedalangan Daerah Bali yang dibentuk pada tanggal 6 Agustus 1975.

Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan ( Listibya ) Bali seksi

Pedalangan yang dibentuk pada tahun 1966.

SMKN 3 Sukawati sebagai wadah pendidikan formal yang bergerak di bidang

kesenian, salah satunya terdapat Jurusan Pedalangan

ISI (Institut Seni Indonesia) juga merupakan institusi pendidikan formal untuk

mendapatkan pendidikan setara perguruan tinggi.

2.3.4 Lingkup Pelestarian

Lingkup pelestarian tentang kesenian wayang ini meliputi dua hal yaitu Wayang

sebagai objek dan Dalang sebagai subjek (Wicaksana, Wawancara, 2015):

a. Wayang disini berperan sebagai objek. Wayang adalah sebuah kesenian berupa

pertunjukan bayangan boneka yang dimainkan dibalik layar oleh seseorang yang

disebut Dalang. Fungsi dari pertunjukan wayang ini mencakup tiga fungsi yaitu

fungsi wali, fungsi bebali dan fungsi balih-balihan. Dari tiga fungsi tersebut, terdapat

lagi beberapa jenis pertunjukan wayang yang dipertunjukan sesuai dengan fungsinya.

Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 23

b. Seniman Wayang (Dalang dan Pengrajin Dalang), Dalang dan Pengrajin Wayang

disini bertindak sebagai subjek dalam berkesenian wayang, Dalang memainkan atau

mempertunjukan pertunjukan wayang, sedangkan pengrajin wayang membuat wayang

yang dimainkan oleh Dalang.

2.4 Studi Banding

Studi banding dilakukan dengan maksud agar penulis bisa lebih memahami mengenai

proyek sejenis yang akan dibuat dalam tugas akhir. Dalam studi banding atau studi kasus

ini, dilakukan observasi di beberapa objek yaitu berikut :

2.4.1 Balai Pelestarian Nilai Budaya, Badung (Bali, NTB, NTT)

Balai pelestarian ini terletak di Jalan Raya Dalung Abianbase No. 107, Kuta Utara,

Badung, Bali. Balai pelestarian ini berada di bawah Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) merupakan sebuah balai pelestarian yang

didirikan untuk mengkaji kebudayaan sebagai suatu sistem terpadu berintikan seperangkat

nilai budaya yang menentukan arah perkembangan masyarakat dan kebudayaan. Sesuai

dengan namanya, fokus pada perangkat nilai kebudayaan dan kesejarahan (aspek

intangible sebagai pembeda dengan lembaga yang menangani aspek tangible). Kajian yang

dilakukan oleh BPNB itu meliputi subsistem teknologi dengan segala bentuk menifestasi

dan ekspresinya di wilayah kebudayaan. BPNB juga didirikan untuk kepentingan

akademik, aplikasi dan terapan, mengingat akan kebutuhan data dan informasi maupun

kebijaksanaan yang diperlukan oleh kebudayaan di daerah-daerah yang pada umumnya

Gambar 2.2 Balai Pelestarian Nilai Budaya

Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 24

tidak disiapkan, kalaupun ada tetapi belum optimal untuk melaksanakan tugas dan fungsi

melestarikan kebudayaan yang memerlukan kepekaan sejarah dan budaya.

A. Tugas Pokok

Sebagai salah satu UPT di bawah Kementerian Pendidikan di Kebudayaan,

BPNB memeiliki tugas operasional di bidang kesejarahan dan nilai tradisional di

wilayah Bali, NTB dan NTT. Fokus pelaksanaan tugas berupa pengamatan dan

analisis, pensosialisasian sejarah maupun nilai tradisional daerah yang ditunjang

dengan kegiatan administratif.

B. Fungsi

Sebagai sebuah lembaga yang berkompeten menangani bidang kebudayaan di

wilayah kerja (Bali, NTB, NTT), BPNB memiliki fungsi sebagai berikut :

1. Melakukan pengamatan dan analisis kesejarahan dan nilai tradisional daerah yang

tercermin dalam sistem kepercayaan, sistem sosial, lingkungan budaya dan tradisi

lisan.

2. Pelaksanaan penyusunan Rencana dan Program.

3. Pengembangan hasil kajian.

4. Pelaksanaan pengemasan hasil kajian dan pemanfaatannya.

5. Pelaksanaan bimbingan dan penyuluhan.

6. Pelaksanaan pelayanan publik.

7. Melakukan dokumentasi dan informasi kesejarahan dan nilai tradisional daerah.

8. Melakukan urusan tata usaha dan urusan rumah tangga balai.

C. Sasaran dan Pelaku Aktivitas

Sasaran dan pelaku aktivitas dari Balai Pelestarian Nilai Budaya ini adalah bagi

instansi pendidikan, instansi-instansi terkait bahkan untuk masyarakat umum.

D. Bentuk Kegiatan

Balai Pelestarian Nilai Budaya melaksanakan kegiatan berupa :

1. Kegiatan Pembudayaan dan Pemasyarakatan

Dialog Budaya di Bali, NTB dan NTT

Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 25

Sarasehan Pini Sepuh Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Bali,

NTB dan NTT

Peragaan Tradisi Lisan Daerah di Bali, NTB dan NTT, salah satunya

pengadaan pertunjukan wayang kulit Bali yang peruntukan bagi pelajar

setara SMA di Bali.

2. Penyuluhan dan Penyebaran informasi

Pameran Foto Kesejarahan dan Nilai Tradisional

Lomba Penulisan Objek Sejarah

Lawatan Sejarah

Jelajah Budaya atau Jejak Tradisi Daerah

Apresiasi Kesejarahan dan Nilai Tradisional

E. Pengelolaan

Pengelolaan atau struktur organisasi dari BPNB adalah sebagai berikut :

1. Kepala Balai.

2. Kepala Sub. Bagian Tata Usaha. Atas kebijakan Kepala Balai, Kepala Sub.

Bagian Tata Usaha membawahi beberapa sub kelompok diantaranya :

Kelompok Urusan Dalam

Urusan Kepegawaian

Urusan Keuangan

Urusan Informasi, Publikasi dan Perpustakaan

3. Kelompok Jabatan Fungsional :

Kelompok Sejarah

Kelompok Tradisi

Internalisasi dan Diplomasi Budaya

Kelompok Kepercayaan

Kelompok Seni dan Film

Berikut merupakan gambar bagan dari struktur organisasi Balai Pelestarian Nilai

Budaya :

Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 26

F. Fasilitas

Fasilitas yang ada dalam Balai Pelestarian Nilai Budaya ini adalah berupa gedung

pengelola dan sebuah auditorium untuk kegiatan dialog budaya dan lainnya. Berikut

merupakan lay out dari Balai Pelestarian Nilai Budaya :

Kepala Balai

Klp.

Urda

Klp.

Kepegawaian

Klp.

Keuangan

Klp.

Dokumentasi/Perpustaka

an

Kasubag Tata Usaha

Klp. Jabatan Fungsional

Klp.

Tradisi

Klp.

Kepercayaan

Klp. Internalisasi dan Diplomasi

Budaya

Klp.

Sejarah

Klp. Seni

dan Film

Gambar 2.3 Struktur OrganisasiBalai Pelestarian Nilai Budaya Sumber : Balai Pelestarian Nilai Budaya

A B B

C

D Keterangan : A = Gedung Pengelola

Bagian Tata Usaha B = Gedung Pengelola

Kelompok Jabatan Fungsional

C = Auditorium D = Tempat Suci

Gambar 2.4 Lay Out Pelestarian Nilai Budaya

Gambar 2.5 Dari kiri (Auditorium, Gedung Pengelola Bagian Fungsional, Gedung Pengelola Bagian Tata Usaha)

Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 27

A. Gedung Pengelola Bagian Tata Usaha difungsikan sebagai tempat bagi pengelola

tata usaha Balai Pelestarian Nilai Budaya ini untuk bekerja mengurusi segala

kegiatan dan keperluan dari Balai Pelestarian ini. Ruang-ruang yang ada

didalamnya sesuai dengan bagian-bagian dalam sub bagian tata usaha dalam

struktur organisasi ditambah dengan ruang Kepala Balai Pelestarian dan ruang

rapat.

B. Gedung Pengelola Kelompok Jabatan Fungsional sebagai tempat bagi kelompok

jabatan fungsional dalam hal ini yaitu para peneliti dengan bagiannya masing-

masing yang sudah diungkapkan dalam struktur organisasi untuk melakukan

penelitian. Penelitian ini tidak dilakukan di ruangan yang khusus seperti

laboratorium atau yang lainnya, tapi dilakukan di ruangannya masing-masing.

C. Auditorium digunakan untuk melakukan kegiatan dialog budaya dan kegiatan

lainnya seperti budaya lisan. Budaya lisan merupakan kegiatan yang diperuntukan

bagi para siswa SMA di seluruh Bali. Sistematika kegiatannya adalah para siswa

diundang untuk menonton pertunjukan wayang, setelah itu diberikan waktu satu

minggu untuk menulis laporan, kemudia diundang kembali ke Balai Pelestarian

Nilai Budaya ini untuk mempresentasikan laporannya mengenai pertunjukan

wayang kulit tersebut. Selama ini, pertunjukan wayang kulit tidak dilakukan di

Balai Pelestarian ini, karena kurang tersedianya area untuk pertunjukannya.

D. Tempat Suci sebagai media untuk mendekatkan diri kehadapan Tuhan Yang Maha

Esa.

2.4.2 Balai Pelestarian Cagar Budaya Gianyar (Bali, NTB, NTT)

Balai Pelestarian Cagar Buadaya (BPCB) Bali terletak di Jalan Raya Tampaksiring,

Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar. Kantor ini berada di bawah

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sama halnya dengan Balai Pelestarian Nilai

Budaya (BPNB), BPCB juga bergerak di bidang pelestarian, namun yang menjadi

pembeda dengan BPNB yaitu dari jenis pelestariannya. BPCB bergerak di bidang

pelestarian yang bersifat Tangible (terlihat) artinya suatu pelestarian berupa bentuk fisik

dari sebuah peninggalan purbakala.

Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 28

A. Tugas Pokok

Tugas dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) adalah melaksanakan

perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan serta fasilitasi pelestarian cagar

budaya di wilayah kerjanya.

B. Fungsi

Dalam rangka melaksanakan tugas pokok tersebut, BPCB menyelenggarakan

fungsi :

a. Pelaksanaan penyelamatan dan pengamanan cagar budaya

b. Pelaksanaan zonasi cagar budaya

c. Pelaksanaan pemeliharaan dan pemugaran cagar budaya

d. Pelaksanaan pengembangan cagar budaya

e. Pelaksanaan pemanfaatan cagar budaya

f. Pelaksanaan dokumentasi dan publikasi cagar budaya

g. Pelaksanaan kemitraan di bidang pelestarian cagar budaya

h. Fasilitasi pelaksanaan pelestarian dan pengembangan tenaga teknis di bidang

pelestarian cagar budaya, dan

i. Pelaksanaan urusan ketatausahaan BPCB.

Gambar 2.6 Balai Pelestarian Cagar Budaya

Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 29

C. Sasaran dan Pelaku Aktifitas

Sasaran dan pelaku aktivitas dari Balai Pelestarian Cagar Budaya ini adalah bagi

instansi pendidikan, instansi-instansi terkait, masyarakat umum serta para wisatawan.

D. Bentuk Kegiatan

Bentuk kegiatan utama dari Balai Pelestarian Cagar Budaya ini adalah sebagai

berikut :

1. Registrasi dan Dokumentasi merupakan wujud kegiatan yang ditekankan pada

upaya pencatatan benda, bangunan, struktur, lokasi dan satuan ruang geografis

untuk diusulkan sebagai cagar budaya kepada pemerintah.

2. Perlindungan merupakan wujud kegiatan dalam upaya mencegah dan

menanggulangi dari kerusakan, kehancuran atau kemusnahan dengan cara

penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharaan dan pemugaran cagar budaya.

3. Pemeliharaan merupakan kegiatan dalam upaya memelihara situs, objek serta

lingkungannya sehingga tetap lestari. Implementasi kegiatannya seperti

konservasi tradisional dan modern (kimiawi) pada benda-benda yang rentan

terhadap pengaruh alam dan manusia.

4. Pemugaran merupakan kegiatan dalam upaya pengembalian kondisi fisik cagar

budaya yang rusak sesuai dengan kondisi aslinya seperti bentuk, bahan, warna

dan teknik pengerjaannya.

Selain hal tersebut, juga dilakukan kegiatan seperti sosialisasi dan pameran

mengenai benda-benda cagar budaya di lingkungan kerja BPCB.

E. Pengelolaan

Pengelolaan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya ini terdiri dari Kepala BPCB

dan dua bagian dalam struktur organisasi yaitu Subbag Tata Usaha dan Kasi

Perlindungan, Pengembangan dan Pemanfaatan. Masing-masing bagian tersebut

terdapat beberapa sub-sub lagi yang akan dijelaskan dalam bagan berikut ini :

Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 30

Sub. Urusan Rumah Tangga

Kepala BPCB

Kepala Sub Bagian Tata Usaha Kasi Perlindungan, Pengembangan dan

Pemanfaatan

Koor. Urusan Umum

Sub. Urusan Persuratan

Sub. Urusan Sekretarian, Humas

dan Kemitraan

Sub.Urusan Monitoring &Evaluasi

Urusan Kepegawaian dan

Pengembangan SDM

Urusan Keuangan

Koor. Pokja Pengamanan &

Penyelamatan

Subpokja Pengamanan

Subpokja Penyelamatan

Subpokja Zonasi

Koor. Pokja Pemeliharaan

Subpokja Pemeliharaan

Subpokja Konservasi

Koor. Pokja Pemugaran

Subpokja Pemugaran

Subpokja Gambar & Pengukuran

Subpokja Pertukangan

Koor. Pokja Dokumentasi & Publikasi

Subpokja Dokumentasi

Subpokja Registrasi & penetapan

Koor. Pokja Pengelolaan Cagar Budaya

Bawah Air

Koor. Pokja Pengembangan dan

Pemanfaatan

Subpokja Pengembangan

Subpokja Perijinan&Pemanfaatan

Subpokja Permuseuman

Subpokja Perpustakaan

Gambar 2.7 Struktur Organisasi Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumber : Profil Pelestarian Cagar Budaya

Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 31

F. Fasilitas

Fasilitas yang tersedia di Balai Pelestarian Cagar Budaya adalah kantor BPCB itu

sendiri dan Museum Arkeologi Gedung Arca yang merupakan bagian dari BPCB

yang digunakan sebagai wadah untuk pelestarian sekaligus pameran benda-benda

cagar budaya tersebut. Berikut merupakan layout dari BPCB dengan Museum

Arkeologi Gedung Arca:

A B C D E

F G H

I J K

L M

N

1

2

2

3

2

4

2

5

2

6

2

7

2

8

2

9

2

9

2

10

2

11

2

12

2 13

2

14

2

15

2 16

2

17

2

18

2

19

2

Keterangan : 1. Kanopi 10. Staff PBA (Perlindungan Bawah Air) 2. Kantor BPCB 11. Ruang Gong 3. Pos Satpam 12. Kolam 4. Ruang Sevis (Toilet) 13. Laboratorium 5. Wantilan 14. Ruang Konservasi dan Perpustakaan 6. Bale Kulkul 15. Ruang Staff Rumah Tangga 7. Kantin 16. Bale Bengong 8. Ruang Staff 17. Padmasana 9. Penginapan Tamu Dinas 18. Penunggun Karang 19. Parkir = Museum Arkeologi Gedung Arca

= Zona 1 (Jeroan)

= Zona 2 (Jaba Tengah)

= Zona 3 (Jaba)

= Kantor BPCB

Gambar 2.8 Lay Out BPCB dan Museum Arkeologi Gedung Arca

Keterangan : A-K = Ruang Koleksi Museum L = Bale Bengong untuk

memajang koleksi M = Bale Patok untuk

memajang koleksi N = Ruang Koleksi Khusus

ZONA 1 ZONA 2 ZONA 3

Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 32

Gambar 2.9 Zona 1 Museum Arkeologi Gedung Arca

Gambar 2.10 Zona 2 Museum Arkeologi Gedung Arca

Gambar 2.11 Zona 3 Museum Arkeologi Gedung Arca

Gambar 2.12 Kantor BPCB

Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 33

2.5 Spesifikasi Umum Proyek

2.5.1 Pengertian

Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali merupakan suatu usaha

dalam bentuk wadah arsitektural yang dirancang guna untuk mewadahi segala aktifitas

yang berkaitan dengan pelestarian dan pengembangan kesenian Wayang Kulit Tradisional

Bali.

2.5.2 Fungsi

Secara garis besar, fungsi dari Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional

ini adalah sebagai media untuk usaha pelestarian dan pengembangan kesenian wayang

kulit tradisional Bali agar bisa tetap bertahan di jaman yang semakin modern ini.

2.5.3 Tujuan dan Sasaran

Tujuan dari Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali ini adalah

sebagai berikut :

a. Untuk dapat melestarikan kesenian wayang kulit tradisional Bali.

b. Mempertahankan fungsi dan jenis-jenis wayang kulit tradisional Bali yang ada.

c. Untuk dapat digunakan sebagai media dalam meningkatkan kualitas para seniman

wayang (Dalang) dan pengrajin wayang yang belum ada di daerah Badung.

d. Untuk dapat mengembangkan kesenian wayang kulit tradisional Bali agar lebih

inovatif sehingga mampu meningkatkan minat masyarakat terhadap kesenian wayang

kulit tradisional Bali.

Sasaran atau lingkup pelayanan proyek ini adalah utamanya bagi seniman

pewayangan. Selain itu juga untuk masyarakat umum, instansi-instansi tertentu dan juga

untuk para wisatawan lokal maupun mancanegara.

2.5.4 Pengelolaan

Status pengelolaan akan berada di bawah Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung

karena proyek ini bergerak di bidang pelestarian suatu budaya khususnya dalam pelestarian

kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali.

Sedangkan untuk struktur organisasi internnya akan dipimpin oleh seorang Kepala

Pusat Pelestarian dan membawahi Kepala Bagian Tata Usaha dan Kepala Bagian

Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 34

Fungsional. Masing-masing Kepala bagian ini akan dibantu oleh beberapa staff yang telah

ditentukan masing-masing tugasnya.

2.5.5 Aktifitas dan Pelaku

Aktifitas yang dilakukan di dalam Pusat Pelestarian ini yaitu segala aktifitas yang

dapat mendukung kegiatan pelestarian dan pengembangan sesuai dengan permasalahan-

permasalahan yang timbul di atas. Aktifitas-aktifitas tersebut adalah :

a. Penelitian terhadap fungsi dan jenis-jenis wayang kulit yang ada tetapi sudah sangat

jarang ditemukan.

b. Pelatihan terhadap seniman pewayangan baik itu Dalang maupun pengrajin wayang

sebagai usaha peningkatan kualitas sumber daya manusia yang bergerak di bidang

kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali.

c. Aktifitas pameran dan pertunjukan wayang kulit sebagai usaha untuk meningkatkan

minat masyarkat umum terhadap kesenian wayang di tengah kemajuan jaman saat ini

d. Aktifitas pengembangan kesenian wayang kulit tradisional Bali agar terlihat lebih

menarik, sehingga dapat menarik minat generasi muda untuk mengenali dan

mempelajari kesenian wayang kulit tersebut.

e. Aktifitas pengelolaan atau manajemen yang bertanggung jawab atas kegiatan

pelestarian tersebut.

f. Aktifitas rekreasi sekaligus edukasi bagi masyarakat umum dan instansi-instansi

tertentu.

Berdasarkan aktifitas-aktifitas tersebut di atas, maka pelaku-pelaku dari kegiatan

yang ada dalam Pusat Pelestarian ini dikategorikan menjadi empat kategori pelaku yaitu

Peneliti, Seniman, Pengunjung dan Pengelola.

2.5.6 Fasilitas

Fasilitas yang akan disediakan yaitu berupa wujud bangunan sebagai wadah untuk

mewadahi aktifitas-aktifitas yang ada di dalamnya. Pendekatan penentuan fasilitas ini

berdasarkan studi objek yang dilakukan di BPNB (Balai Pelestarian Nilai Budaya) dan

BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya). Selain itu penentuan fasilitas juga berdasarkan

kegiatan-kegiatan serta pelaku atau civitas yang akan melakukan kegiatan dalam Pusat

Pelestarian Wayang Kulit Tradisional Bali ini.

Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 35

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat ditentukan bahwa fasilitas-fasilitas

berupa wadah arsitektural yang akan dibangun pada Pusat Pelestarian Wayang Kulit

Tradisional Bali ini adalah dibagi menjadi tiga fasilitas, yaitu :

a. Fasilitas Utama berupa Ruang Penelitian untuk para peneliti dalam melakukan

penelitian, Balai Pelatihan untuk pelatihan dalam rangka meningkatkan kualitas para

seniman pewayangan, Ruang Pameran dan Ruang Pertunjukan untuk kegiatan

pengembangan kesenian wayang kulit tradisional Bali agar kesenian ini bisa terlihat

lebih menarik sehingga mampu menarik minat generasi muda untuk berkunjung,

mengenal, serta mempelajari kesenian wayang tersebut.

b. Fasilitas Penunjang berupa kantor pengelola untuk kegiatan manajemen yang

bertanggung jawab atas segala kegiatan pelestarian ini, selain itu juga disediakan

cafeteria dan beberapa toko souvenir untuk sarana rekreasi tambahan bagi pengunjung.

c. Fasilitas Servis berupa ruang servis bagi pelaku aktivitas di dalamnya dan untuk

mendukung kinerja dari Pusat Pelestarian ini dalam hal utilitas.

2.5.7 Persyaratan Lokasi

Berdasarkan pengamatan pada studi banding, maka persyaratan lokasi untuk

pembangunan Pusat Pelestarian ini adalah sebagai berikut :

a. Lokasi harus memenuhi kaidah tata ruang atau RTRW yang ada di Kabupaten

Badung.

b. Lokasi Pusat Pelestarian harus berada di jalur utama untuk kemudahan akses.

c. Lokasi Pusat Pelestarian harus berada dekat dengan pemukiman karena sasaran utama

adalah masyarakat lokal agar mereka mau mengenal atau bahkan mempelajari

kesenian ini agar tidak punah di masa yang akan datang.

d. Lokasi Pusat Pelestarian berada pada lokasi yang strategis, lengkap dengan jaringan

utilitas, infrastruktur dan aksesbilitas yang baik.

e. Ukuran lahan pada lokasi pembangunan harus memiliki luasan yang cukup untuk

menampung semua kegiatan serta fasilitas Pusat Pelestarian ini.