bab ii kajian pustaka, konsep, landasan teori, dan … filepengaruh jawa dan bali erat kaitannya...
TRANSCRIPT
25
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP,
LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Tradisi lisan bakayat sudah ada sejak dahulu, namun penelitian yang
terkait dengan tradisi ini masih sangat terbatas jumlahnya. Penelitian yang
mengkaji tentang tradisi lisan bakayat ada tiga penelitian yakni, Ikram (1989),
Sapiin (2010), dan Acim dan Ahyar (2011). Namun yang spesifik meneliti bakayat
dalam bentuk teks lisan sampai saat ini belum ada. Di samping penelitian bakayat
yang sedikit itu, ada beberapa hasil penelitian dan tulisan terkait yang berbicara
tentang perkembangan sastra tulis dan lisan etnik Sasak yang dapat dijadikan
rujukan dalam penelitian ini di antaranya tulisan Suastika (1997), Adrian Vickers
(2009), dan Jamaluddin (2011). Meskipun dilihat dari hasil penelitian tradisi lisan
yang dilakukan tidak sama, namun ada relevansinya dengan penelitian ini yakni,
penelitian Darma Putra (2013). Berikut disajikan beberapa hasil penelitian dan
tulisan terkait dimaksud.
Perkembangan sastra tulis di Lombok memunculkan karya sastra yang
disebut Islam Jawa-Bali. Pengaruh Sasak nampak dalam pemakaian bahasa Sasak
oleh para pengarang Sasak di samping adanya unsur masukan idiom bahasa Jawa-
Bali (Pigeaud dalam Suastika, 1997: 5). Sastra Islam Lombok yang mendapat
pengaruh Jawa dan Bali erat kaitannya dengan kontak yang berasal dari pulau Jawa.
Ada cerita yang ditulis di Bali dan sebagian lagi di tulis di Lombok. Namun
pengaruh yang paling dominan adalah sastra pesisir yaitu Gresik dan Surabaya. Hal
ini dapat dilihat adanya karya sastra yang berjudul Menak Amir Hamzah, Gajah
26
Kumuda (Pigeaud dalam Suastika, 1997: 6). Tulisan Suastika terfokus pada sastra
tulis Islam Sasak pengaruh Jawa-Bali, sementara penelitian ini menekankan pada
sastra tulis yang dilisankan. Dalam hal ini, tulisan Suastika dapat dipakai acuan
dalam menelusuri perkembangan sastra Islam Sasak yang terkait dengan bacaan-
bacaan yang digunakan dalam bakayat. Dilihat dari waktu kehadirannya di
Lombok, pengaruh sastra Islam Jawa lebih dulu berkembang dibanding sastra Islam
Melayu.
Suastika (1997) menegaskan bahwa, sastra Islam muncul di Lombok
bersumber dari bangkitnya kebudayaan Islam di Pulau Jawa. Pusat aktivitas sastra
pesisir diperkirakan pada abad ke-15 dan 16, di wilayah pesisir antara pulau Jawa,
seperti Surabaya, Gresik, Tuban, Cirebon, dan Banten. Persebaran Islam dari
pusatnya di Jawa Timur ini menjadi unsur penting dalam persebaran sastra Islam di
Lombok.
Ikram (1998) dalam Simposium Internasional Ilmu-ilmu Humaniora V
yang menulis tentang “Sastra Rakyat Dunia yang Berubah : Seni Berhikayat di
Masyarakat Lombok”, Ikram menguraikan tentang kedudukan kelisanan pada saat
sudah didampingi oleh keberaksaraan, kedua modus komunikasi ini memiliki saling
toleransi yang besar, bahkan saling menunjang seperti yang kita lihat dalam
mababasan di Bali dan bakayat di Lombok.
Ikram juga mengemukakan beberapa pandangannya tentang seni
berhikayat di Lombok. Pertama, perpaduan antara lisan dan tulisan yang terjadi
dalam penyajian biasanya karena bahasa tulis yang digunakan dalam teks tidak lagi
dipahami oleh khalayak umum yang mendengarkan pelisanan teks tersebut. Kedua,
selain itu teks yang sakral itu tidak mungkin diubah-ubah sesuai perjalanan jaman
sehingga akhirnya jarak antara pendengar dan teks perlu dijembatani dengan
27
interpretasi dalam bahasa sehari-hari. Ketiga, seni berhikayat yang pada saat ini
masih mendapat tempat dalam kehidupan orang Sasak yang beragama Islam,
meskipun dalam fungsinya semakin harus mengalah terhadap media hiburan
modern. Keempat, seni yang sejenis dengan bakayat adalah pepaosan, namun
keduanya mempunyai tradisi sastra yang berbeda karena menggunakan jenis tulisan
yang berbeda dan masing-masing mempunyai sejarahnya sendiri. Bagi Ikram, ada
beberapa hal yang menjadi kendala dalam perkembangan bakayat yakni kurangnya
bahan bacaan dan hilangnya jalur pengadaan bahan bacaan kitab-kitab Melayu
Klasik atau Melayu Arab.
Dalam tulisan tersebut Ikram hanya menilik keberadaan bakayat Sasak di
masyarakat yang dikatakan masih ada fungsinya, yaitu menghimbau dan mengajari
khalayak dalam rangka keagamaan Islam. Kalau fungsi ini tidak diperlukan lagi dan
diambil alih seni lain, maka bakayat Sasak menjadi sejarah masyarakat Sasak.
Ikram dalam tulisannya sama sekali tidak menyentuh teks dan interpretasi yang
digunakan pelaku dalam tradisi tersebut, dan kajian lebih fokus pada eksistensi
bakayat. Dalam penelitian ini, aspek pelisanan teks sebagai sebuah wacana yang
dipertunjukkan terkait fungsinya sudah banyak mengalami pergeseran sejak
kemunculannya. Hal tersebut akan lebih dicermati dalam penelitian ini. Di samping
itu, artikulasi terhadap teks bakayat Sasak menjadi fokus penelitian ini dalam
rangka mengungkap pemaknaan yang terkandung di dalamnya serta keberadaannya
sebagai sebuah praktik budaya.
Sapiin (2001) dalam penelitiannya yang berjudul “Tradisi Bakayat dalam
Masyarakat Sasak Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna (Studi Kasus di Desa
Montong Betok Lombok Timur)”. Kajian utama adalah (1) deskripsi tentang apa itu
bakayat, (2) bentuk bakayat sebagai suatu tradisi dalam kehidupan budaya
28
masyarakat Sasak, (3) fungsi dan makna bakayat dalam konteks pemertahanan
dalam sistem sosial budaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk bakayat
mencakup teks dan konteksnya tidak dapat dipisahkan dengan sastra, bahasa,
agama, dan sosial budaya masyarakat Sasak. Fungsi dan makna bakayat dalam
masyarakat Sasak meliputi; fungsi dan makna religius, fungsi dan makna sosial
budaya, fungsi dan makna dedaktis, fungsi dan makna kebersihan, serta fungsi dan
makna apresiatif reflektif.
Penelitian tersebut mengkaji isi kitab Qisbul Gaibah dan Nabi Bercukur
yang digunakan dalam bakayat, bukan mengkaji dalam kerangka kelisanan.
Penelitian tersebut lebih menekankan pada kajian teks tulis dan bukan pada apa
yang disajikan ketika tradisi berlangsung, sehingga kajian bentuk dalam penelitian
tersebut lebih melihat pada teks tulis bukan pada aspek kelisanannya. Penelitian
tersebut berkontribusi positif dalam kaitan keberadaan tradisi bakayat Sasak yang
selama ini belum pernah disentuh dalam bentuk penelitian ilmiah.
Relevansi penelitian ini dengan penelitian Sapiin (2001) adalah pada
kesamaan objek yakni bakayat Sasak. Penelitian ini menekankan pada aspek
kelisanan dan masalah yang dianalisis lebih luas, mulai dari sejarah perkembangan,
struktur teks bakayat, artikulasi nilai religius dan wacana sosial dalam bakayat,
fungsi serta pergeserannya, dan makna bakayat pada masyarakat Sasak. Apa yang
dikaji dalam penelitian Sapiin (2010) tentu tidak sama dengan penelitian ini.
Perbedaan tersebut tampak pada pendekatan serta teori yang digunakan.
Adrian Vickers (2009) dalam buku Peradaban Pesisir, Menuju Sejarah
Budaya Asia Tenggara, dimana keislaman penduduk Sasak di Lombok dikatakan
banyak berhutang kepada Islam-Jawa dalam berbagai bentuk. Ada tradisi masyhur
bahwa agama Islam dibawa ke Lombok oleh Pangeran Prapen, putra Sunan Giri,
29
pada abad ke-16 (Graaf dalam Vickers, 2009:45). Tradisi ini, dengan sendirinya
menjelaskan pengaruh Jawa dalam budaya Sasak, teristimewa menonjolnya sastra
“Pesisir” Pantai Utara, atau setidaknya berbagai versi teks Pesisir. Dalam sumber
lain tentang keberadaan Islam wetu telu disyi’arkan ke etnik Sasak sebagai ajaran
Nirartha atau Dwijendra, dalam salah satu versi Nirartha menyaru sebagai Pangeran
Sangupati di Lombok untuk menyiarkan Islam di sana, dan menyamar sebagai Tuan
Semeru atau Sumeru di Sumbawa, dimana dia menyebarkan ajaran yang sama.
Dalam versi lain, Pangeran Sangupati adalah orang yang sama sekali lain dari
Nirartha, mungkin murid Sasaknya (Cederroth dalam Vickers, 2009:45).
Vickers juga banyak menyoroti teks-teks sastra Sasak, teks tersebut bukan
saja menggabungkan Hinduisme dan Islam, tetapi juga tradisi literer-artistik Bali
dan Jawa. Dimana sintesis Jawa dan Islam di Lombok dikatakan Vickers bukanlah
sebuah kecelakaan historis, namun sesungguhnya dibina oleh para penguasa Bali di
Pulau Lombok.
Tulisan Andrian Vickers terkait dengan penelitian ini dapat digunakan
sebagai acuan dalam menelusuri pengaruh tradisi Jawa dan Bali terhadap tradisi
yang ada dalam masyarakat Sasak saat ini. Keberadaan bakayat tidak terlepas dari
pengaruh kedua tradisi di atas. Melalui tulisan tersebut, bakayat akan ditelusuri
keberadaannya dalam kerangka kesejarahannya.
Tradisi Nyaer Kitab Kifâyatul Al-Muhtâj sebagai Media Dakwah di
Lombok adalah judul penelitian Subhan Abdullah Acim dan Ahyar (2011). Hasil
penelitian tersebut dimuat dalam “Jurnal Penelitian Keislaman” Vol.7, No2, Juni
2011. Penelitian tersebut mengkaji tentang (1) bagaimana asal-usul serta alasan-
alasan mereka melakukan tradisi nyaer dalam kegiatan hari-hari besar Islam; (2)
30
bagaimana orisinalitas hadist Kitab Kifâyatul Al-Muhtâj sebagai bacaan rujukan; (3)
apakah tradisi nyaer memiliki nilai edukasi sebagai media dakwah.
Aktivitas nyaer sama dengan bakayat sudah berlangsung lama secara
turun-temurun, kehadirannya membawa pesan dakwah sekaligus pesan edukasi dan
pesan sosial. Relevansi penelitian ini dengan penelitian Acim dan Ahyar (2011)
adalah adanya kesamaan dari segi objek. Penelitian tersebut menekankan pada
Kitab Kifâyatul Al-Muhtâj sebagai salah satu kitab yang dibaca dalam bakayat
namun hanya dibacakan pada PHBI yakni Isra’ Mi’raj. Data dalam penelitian
tersebut merupakan hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi sebagai data
utama serta tidak ada data dalam bentuk teks lisan, sehingga simpulan hasil
penelitian belum menggambarkan kondisi tradisi Nyaer dalam masyarakat Sasak.
Namun demikian, penelitian tersebut harus diapresiasi karena telah
memberikan gambaran tentang keberadaan tradisi Nyaer dalam masyarakat Sasak di
Lombok. Dimana saat ini berdasar observasi yang dilakukan bahwa semakin
berkurang peminat (pelaku) dan penikmat tradisi tersebut. Ada kecendrungan
masyarakat untuk tidak lagi menghadirkan tradisi tersebut dalam acara adat
keagamaan dan menggantikannya dengan pertunjukan musik dangdut.
Hasil penelitian tersebut juga menegaskan bahwa masyarakat Sasak-
Lombok, tidak banyak yang melestarikan tradisi ini pada masa sekarang, namun
pada era 70-an para sesepuh masyarakat Sasak telah menjadikan tradisi ini sebagai
bagian penting dalam membangun dan memperkokoh nilai-nilai agama dan
ukhuwah islamiyah. Tradisi lisan bakayat sebagai refleksi dari sebuah kecintaan
kepada baginda rasul sekaligus refleksi dari sikap ketaatan kepada Sang Khalik dan
telah memperkokoh semangat kekeluargaan, saling menghargai, toleransi,
mempererat nilai kebersamaan dan silaturahmi. Dibandingan dengan penelitian ini,
31
menggunakan data teks bakayat hasil pertunjukan dalam pelaksanaan ritual adat
keagamaan masyarakat Sasak. Penelitian ini melihat dengan cermat dinamika
masyarakat dalam kaitannya dengan bakayat yakni, pada aspek struktur teks,
fungsi, makna, serta artikulasi tukang bakayat dan masyarakat Sasak terhadap
praktik budaya tersebut.
Jamaluddin (2011) dalam kajian berjudul “Islam Sasak: Sejarah Sosial
Keagamaan di Lombok (Abad XVI-XIX)”, dikatakan bahwa Islam masuk ke
Lombok pada abad XVI dibawa oleh Sunan Prapen dari Jawa yang kemudian abad
XVII diperkuat lagi oleh kedatangan Datuk Ribandang sebagai seorang mubaliq
dari negeri Melayu setelah melewati Makasar, Sumbawa kemudian masuk ke
Lombok. Jamaluddin menegaskan pula bahwa masa kejayaan Islam di pulau
Lombok dimulai pada awal abad XVI sampai pertengahan abad XVIII, dicirikan
dengan berkembangnya budaya tulis dalam masyarakat Sasak yang banyak
dipengaruhi oleh kehadiran Islam yang dalam menyampaikan ajarannya melalui
tradisi membaca.
Tradisi pembacaan naskah lontar yang berhuruf Jejawan sudah menjadi
tradisi masyarakat Sasak dan masih dapat diwarisi sampai saat ini. Di samping itu,
pembacaan hikayat Melayu di Sasak yang dikenal dengan bakayat mirip dengan
lagu hikayat yang berkembang di Melayu. Pembacaan hikayat ini membutuhkan
penerjemah dan pendukung. Pembacaan hikayat Melayu dalam bentuk syair disebut
nya’er. Kitab-kitab yang sering dibaca baik dalam bentuk hikayat maupun sya’ir
seperti, Qisas al-Ambiya, Qamar al-Zaman, Nabi Bercukur, Ali Hanafiyah, Siti
Zubaidah, dan Sa’ir Kubur. Jamaluddin juga menyinggung aspek kesejarahan dari
perkembangan tradisi pembacaan naskah. Tulisan Jamaluddin ini dapat dijadikan
32
sebagai bahan kajian terkait dengan sejarah perkembangan bakayat, dan melihat
keberadaannya di Lombok.
Penelitian dan tulisan tentang bakayat Sasak, sepengetahuan peneliti lebih
banyak menyoroti dari aspek perkembangan dan keberadaannya saat ini. Kajian
mendalam tentang bakayat dalam konteks pertunjukan pada masyarakat Sasak,
menunjukkan adanya perbedaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya.
Perbedaan ini dapat dilihat dari pendekatan, teori, dan data penelitian yang
digunakan.
Darma Putra (2013) dalam makalahnya tentang “Kidung Interaktif di
Panggung Elektronik: Revitalisasi Tradisi Sastra lewat Radio dan Televisi”,
memaparkan perkembangan dan gairah masyarakat Bali dalam seni mabebasan atau
pesantian yang memanfaatkan media eletronik seperti radio dan televisi untuk
membangun komunikasi estetik apresiasi sastra. Perkembangan mabebasan di Bali
mendapat apresiasi yang cukup baik dari masyarakat karena terkait dengan fungsi
ritual agama Hindu yang menjadikannya sebagai pelengkap upacara adat
keagamaan. Perhatian pemerintah sejak 1960-an juga telah berusaha untuk
melestarikan tradisi ini melalui kompetisi secara reguler dan menerbitkan beberapa
teks atau bacaan yang menunjang kegiatan mabebasan.
Gairah mabebasan masyarakat Bali belakangan ini seakan mendapat
suntikan baru ketika muncul di panggung elektronik. Dimana ruang dinamis yang
semarak sebagai tempat teks dan audiens terlibat dalam praktek-paraktek
penciptaan makna-makna baru yang belum pernah ada sebelumnya. Tulisan
tersebut, telah memberikan wawasan baru tentang konteks gegitaan interaktif yang
berkembang di Bali sebagai ruang budaya baru (a new cultural space). Dimana
33
ruang ini telah menyumbangkan suatu gagasan baru dimana teks-teks lama bisa
dibaca dan dinikmati dengan cara-cara dan kenikmatan baru (new pleasure).
Apa yang digambarkan dalam tulisan Darma Putra, merupakan bentuk
apresiasi masyarakat Bali terhadap teks-teks karya sastra lama sebagai sebuah
artikulasi dan ini akan terus diartikulasikan dengan elemen-elemen yang berbeda
menjadi satu-kesatuan pada kondisi tertentu. Tulisan tersebut telah menginspirasi
penelitian ini, dimana bakayat Sasak sebagai bentuk apresiasi terhadap teks-teks
karya sastra Melayu klasik dibaca dan dinikmati dengan cara-cara baru yang sesuai
dengan tradisi masyarakatnya saat ini. Perbedaan dalam mengartikulasikan teks-
teks lama nantinya dapat dijadikan sebagai bentuk bandingan dalam
memperlakukan karya sastra lama di era modern.
Mengingat minimnya hasil penelitian tentang bakayat, maka penelitian ini
menjadi penting untuk dilakukan agar didapatkan data dan informasi yang lebih
komprehensif dari berbagai aspek teori dan kajian mengenai bakayat pada
masyarakat Sasak di Lombok.
2.2 Konsep
Penjelasan tentang konsep yang terkait dengan penelitian ini penting
untuk dikemukakan agar lebih fokus dan terarah. Konsep yang berupa rancangan, di
dalamnya terkandung ide, gagasan yang dijadikan landasan dalam penelitian
bakayat Sasak. Adapun konsep-konsep yang dijelaskan dalam penelitian ini adalah
konsep tentang tradisi lisan, bakayat, artikulasi, nilai religius, wacana sosial, dan
masyarakat Sasak.
34
2.2.1 Tradisi Lisan
Istilah tradisi lisan dan sastra lisan perlu dibedakan, menurut Hutomo
tradisi lisan dapat dinyatakan sebagai sastra lisan apabila tradisi lisan tersebut
mengandung unsur estetik atau yang oleh masyarakat setempat dianggap sebagai
keindahan. Jika hal itu tidak ada maka tradisi lisan itu tinggallah sebagai tradisi
lisan (Sudikan, 2001:14). Bakayat Sasak dapat dikatakan sebagai sastra lisan karena
dalam penyajiannya mengandung unsur-unsur estetik. Menurut Sibarani (2012: 36),
sastra lisan tetap sastra lisan dan tidak menjadi tradisi lisan jika tidak lagi memiliki
peristiwa pertunjukan atau tradisi penyampaian; sastra lisan bersama konteks
pertunjukan atau konteks penyampaian disebut tradisi lisan. Sibarani menegaskan
bahwa tradisi lisan adalah kegiatan budaya tradisional suatu komunitas yang
diwariskan secara turun-temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi
lain baik tradisi itu berupa susunan kata-kata lisan (verbal) tradisi lain yang bukan
lisan (non-verbal) (2012: 47). Berdasarkan pendapat di atas bakayat Sasak dapat
dinyatakan sebagai tradisi lisan dan atau sastra lisan.
Tradisi lisan dapat digolongkan ke dalam folklor, berdasarkan pendapat
Danandjaja (1997:21-22) folklor dapat golongkan ke dalam tiga kategori yakni, (1)
folklor lisan, (2) folklor setengah lisan, (3) folklor bukan lisan. Istilah tradisi lisan
(oral tradition) termasuk dalam kategori folklor lisan. Menurut Taylor, tradisi lisan
adalah bahan-bahan yang dihasilkan oleh masyarakat zaman silam (tradisional) ada
berbentuk pertuturan, adat resam atau amalan, di antaranya termasuklah cerita
rakyat, nyanyian rakyat, tarian, permainan, peralatan atau benda seperti bangunan,
tembok, dan sebagainya (Daud, 2008:259). Sedangkan Pudentia (2008: i)
mengatakan tradisi lisan sebagai “segala wacana yang diucapkan meliputi yang
lisan dan yang beraksara” atau dikatakan juga sebagai “sistem wacana yang bukan
35
aksara.” Berdasarkan pendapat di atas, bakayat Sasak dapat dikatakan sebagai
tradisi lisan.
Sebagai tradisi lisan, bakayat Sasak mengandung unsur estetik (keindahan)
dan oleh masyarakat setempat keindahan tersebut terkait dengan fungsi hiburan
dalam bakayat Sasak. Bakayat Sasak dapat dikatakan sebagai sastra lisan, karena
teks lisan bakayat berbentuk wacana naratif. Teks yang dibangun oleh unsur-unsur
yang ada di dalam bakayat Sasak sangat renggang, karena disampaikan dalam
konteks pelaksanaan adat keagamaan. Menurut Zaimar bahwa sastra/tradisi lisan
tidak selalu bersifat naratif, yang tidak bersifat naratif pun dapat dianggap sebagai
sastra lisan; misalnya lagu-lagu, teka-teki, teks humor, jampi-jampi dukun, dan
yang lainnya(2008:321). Bahkan pertunjukan tarian pun yang ada unsur lisannya
dapat dikatakan sebagai sastra lisan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
bakayat Sasak merupakan salah satu tradisi/sastra lisan yang keberadaannya sangat
terkait dengan dakwah, si’ar Islam, adat istiadat, dan juga hiburan.
Tradisi lisan bakayat yang penurunannya dilakukan secara lisan dari
generasi ke generasi telah berlangsung lebih dari dua generasi. Menurut Jan
Vansina (2014:18), yang dapat dikatakan tradisi lisan adalah yang disebarkan dari
mulut ke mulut, selama satu masa yang melampui masa hidup dari para informan.
Jadi bakayat dapat dikatakan sebagai tradisi lisan. Setiap tradisi lisan adalah sebuah
versi pada satu masa, sebuah elemen dalam sebuah proses pengembangan lisan
yang dimulai oleh komunikasi awal (Vansina, 2014:1). Sifat dari setiap versi akan
berbeda tergantung pada posisinya di dalam proses secara keseluruhan. Munculnya
versi tergantung dari resepsi masyarakat saat itu terhadap tradisi bersangkutan.
Kemajuan pendidikan dan mobilitas masyarakat dapat menjadi penyebab perbedaan
resepsi terhadap tradisi lisan.
36
2.2.2 Bakayat
Kata bakayat berasal dari kata kayat ditambah awalan ba- yang berarti
melakukan, kata kayat–dalam bahasa Sasak–dapat berarti hikayat. Kayat juga
dimaknai sebagai lagu yang digunakan untuk melisankan hikayat. Bakayat berarti
melakukan pembacaan/pelisanan hikayat dengan melagukan, selain itu juga sering
digunakan kata ngayat yang mempunyai makna yang sama. Kata ngayat berasal
dari meN- + kayat → mengayat, me- mengalami peluluhan sehingga menjadi
ngayat dalam keadaan atau sedang melakukan pembacaan/pelisanan hikayat.
Selain kata bakayat dan ngayat juga ada kata nyaer untuk aktivitas yang sama.
Kata nyaer berasal dari meN- + saer (sya’ir) → menyaer kemudian menjadi nyaer,
yang berarti dalam keadaan atau sedang melakukan pembacaan sya’ir. Nyaer berarti
sedang membaca sya’ir. Membaca hikayat juga sering dikatakan nyaer, karena
pembacaannya mengikuti cara atau gaya seperti dalam sya’ir. Sedangkan kata kayat
itu sendiri sering dimaknai sebagai lagu, seperti baca kayat berarti membaca dengan
cara melagukan. Selain itu juga ada istilah ngaji kayat yang merujuk pada makna
yang sama atau dimaknai sebagai membaca kitab keagamaan (ngaji) dengan cara
melagukan.
Kata bakayat dalam bahasa Sasak dikatakan sebagai gabungan dari
morfem be- dan –kayat. Morfem be- (Melayu) cenderung berubah dalam bahasa
Sasak menjadi morfem ng-, sehingga istilah bakayat lazim juga dilafalkan dengan
istilah ngayat yang berarti kegiatan membaca hikayat (Saharudin, 2012:252).
Beragamnya istilah yang digunakan dalam bahasa Sasak untuk satu kegiatan yang
sama seperti membaca hikayat (bakayat, nyaer, ngayat, memaca, ngaji kayat) tentu
disebabkan faktor dialek yang berbeda. Kegiatan membaca hikayat di wilayah
37
Lombok bagian Barat dan Utara dikenal dengan bakayat, sementara istilah nyaer
lebih banyak dipakai di kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Timur (bagian
Selatan). Sedangkan kata ngayat dan ngaji kayat banyak digunakan di wilayah
Lombok Timur dan Lombok Tengah (bagian Tengah). Kata memaca sudah jarang
digunakan untuk membaca hikayat dan masih digunakan untuk membaca
takepan/lontar. Dari ketiga kata tersebut, istilah bakayat di kalangan masyarakat
Sasak lebih banyak yang mengenal dan lebih sering digunakan dalam
pemakaiannya. Ketika pemerintah daerah mengadakan lomba pembacaan hikayat
se-Pulau Lombok digunakan kata lomba bakayat jadi bukan lomba nyaer atau
ngayat. Dalam penelitian ini akan digunakan istilah bakayat untuk mewakili
kegiatan yang sama.
Bakayat sebagai sebuah tradisi lisan sudah lama berkembang dan
pewarisannya secara turun-temurun dari mulut ke mulut lebih dari tiga generasi.
Kehadirannya merupakan respon dari keberadaan tradisi sejenis yang ada
sebelumnya, yakni pepaosan yang lebih banyak dikenal di kalangan menak Sasak.
Sementara bakayat dalam perkembangannya lebih merakyat dan hadir di kalangan
masyarakat kebanyakan. Kitab-kitab yang dibacakan tidak sesakral naskah-naskah
(takepan) yang dibaca dalam pepaosan, kitab tersebut sangat mudah berpindah
tangan. Cerita yang ditampilkan kebanyakan berkisah tentang perjalanan para nabi
dan sahabatnya.
Menurut Wasiah seorang tukang bakayat, dalam pemahaman masyarakat
Sasak tentang bakayat adalah pembacaan hikayat atau sya’ir yang berbahasa
Melayu dengan cara melagukan atau menembangkan (Wawancara,21-10-2011).
Pembaca (pemace) yang melagukan hikayat dengan irama khas tertentu kemudian
diikuti oleh satu orang atau lebih yang disebut penyarup. Penyarup hanya bertugas
38
mengikuti lagu yang dilantunkan oleh pemace hanya pada etnik kata terakhir saja,
agar lagu yang disampaikan menjadi lebih semarak. Setelah itu, disambut oleh
tukang cerite (bujangga) yang menerjemahkan ke dalam bahasa Sasak yang disertai
penafsiran/interpretasi atau ulasan. Dalam memberikan penafsiran, bujangga
terkadang mengambil contoh wacana yang ada dalam domain kehidupan sosial
masyarakat terkait dengan teks yang dibacakan. Tradisi lisan ini sampai sekarang
masih ada di beberapa komunitas masyarakat Sasak di Lombok, walaupun jumlah
pelaku dan penikmatnya terus menurun.
Bakayat dalam penyajiannya setidaknya melibatkan dua orang yakni
pembaca hikayat (pemace) dan tukang cerite/ bujangge yang bisa sekaligus
merangkap sebagai penyarup. Bujangge biasanya menjadi pusat perhatian
penonton/pendengar, karena melalui merekalah pendengar dapat memahami isi
cerita dan pesan secara lebih utuh sebagaimana yang terdapat dalam teks hikayat
yang ditembangkan. Seorang bujangge di samping menguasai cerita juga paham
tentang agama Islam, adat Sasak, dan situasi serta kondisi sosial masyarakatnya.
Karena itu, dalam pemaparannya sering menyitir ayat-ayat Al-qur’an, Hadist, dan
menghadirkan wacana sosial dalam kehidupan masyarakat sebagai contoh untuk
menegaskan pesan dalam teks. Apa yang disampaikan tukang bakayat merupakan
hasil pemahaman (resepsi) terhadap teks, sebagai bagian penting dan istimewa
dalam penilaian karya sastra (Jauss, 1983: 20). Teks yang dilisankan dalam bakayat
menghadirkan teks baru yang berasal dari teks-teks lain yang hidup dalam
masyarakat yang menjadi isu perbincangan atau kebiasaan. Teks tidak dapat
dipisahkan dari tekstualitas sosiokultural yang lebih luas yang merupakan
sumbernya. Oleh karena itu, semua teks mengandung struktur dan perjuangan
ideologis yang diungkapkan oleh masyarakat melalui teks.
39
2.2.3 Artikulasi
Istilah artikulasi lebih sering digunakan dalam pembicaraan linguistik
khususnya dalam bidang fonologi, yakni praktiksi bunyi bahasa yang terjadi karena
alat ucap (KBBI, 1989:49). Artikulasi dimaknai sebagai proses terjadinya bunyi
bahasa yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Sedangkan dalam Kamus An
English-Indonesian Dictionary, articulation (artikulasi) berarti pengucapan dan
sambungan (Echols dan shadily, 2000:39). Pengucapan terkait dengan penghasilan
bunyi, sedangkan sambungan bermakna saling keterhubungan antar dua hal.
Menurut Stuart Hall, artikulasi di Inggris dikatakan sebagai,
The term has a nice double meaning because ‘articulate’ means to utter, to
speak forth, to be articulate. It carries that sense of language-ing, of
expressing, etc. But wealso speak of an ‘articulated’ lorry (truck): alorry
where the front (cab) and back (trailer) can, but need not necessarily, be
connected to one another. The two parts are connected to each other, but
througha specific linkage, that can be broken (Hall, 1986:141).
Istilah artikulasi memiliki makna ganda, ‘mengartikulasikan’ berarti mengucapkan,
berbicara ke depan, ucapan, pengekspresian dan sebagainya; sedangkan
‘diartikulasikan’ artinya menghubungkan bagian depan (cab) dengan bagian
belakang(trailer). Dua bagian itu dihubungkan satu sama lain, tetapi melalui
penghubungan yang khusus yang bisa diputus. Oleh karena itu, artikulasi adalah
bentuk koneksi yang bisa menyatukan dua elemen berbeda pada kondisi-kondisi
tertentu. Ia adalah suatu hubungan yang tidak perlu ditentukan, tidak bersifat
absolut dan esensial sepanjang waktu.
Namun dalam cultural studies penggunaan kata artikulasi terkait tentang
hubungan antara berbagai komponen formasi sosial. Dalam hal ini Chris Barker
(2011:10) menyatakan bahwa artikulasi menunjukkan pengekspresian/
perepresentasian ‘penempatan bersama’. Penempatan bersama dalam satu teks
40
sebagai ekspresi dan penggabungan. Stuart Hall (1982) berpendapat bahwa teks dan
praktek kultural tidak mengandung makna yang tetap karena itu dipengaruhi oleh
proses artikulasinya yang tentu saja bersifat kontekstual dan bervariasi. Jadi
ekspresi senantiasa dipengaruhi oleh konteks.
Artikulasi yang dimaknai sebagai suatu bentuk hubungan yang dapat
menciptakan satu-kesatuan dari dua unsur yang berbeda, pada kondisi tertentu dan
tidak bersifat permanen. Pembentukan dilakukan dengan cara yang khas dan serba
tidak menentu dan tidak dapat diprediksikan sebelum fakta ditemukan. Jadi teks
dalam “bakayat Sasak yang bernafaskan Islam” yang di dalamnya terkandung nilai-
nilai religius menyatu dengan wacana sosial yang berkembang dalam masyarakat,
hal ini keduanya disatukan karena ‘kekuasaan’, bisa pemilik budaya bisa juga
pelaku/tukang bakayat. Praktek-praktek seperti ini sejalan dengan apa yang terjadi
dalam tradisi sastra lisan sebagai bentuk-bentuk rekonstruksi temporal, dimana teks
lisan lahir ketika pertunjukan berlangsung.
Artikulasi sebagai bentuk baru dari hasil kreativitas, namun masih
mengacu pada bentuk sebelumnya. Dalam dunia kreativitas —sastra— artikulasi
adalah hal yang memungkinkan untuk terjadi, mengingat sastra merupakan hasil
imajinasi dan adanya ruang kosong dalam membangun kreativitas dengan lebih
mengedepankan perbedaan dan kebaruan. Artikulasi budaya setidaknya akan lahir
sebagai bentuk pembeda dan penciri dari apa yang ada sebelumnya, sebagaimana
yang dikatakan Jan Vansina di atas. Artikulasi merupakan hasil dari artikulasi
sebelumnya sebagai reartikulasi dan atau disartikulasi dengan pembentukan
kembali ideologi yang telah disepakati oleh masyarakat pendukungnya tanpa
menghilangkan atau menghilangkan sama sekali unsur dasarnya.
41
Keberadaan bakayat yang sudah mapan dan dilembagakan dalam
masyarakat Sasak merupakan praktik sosial dan kultural. Sejalan dengan
perkembangan jaman dan tata kehidupan masyarakat, bakayat dapat dikatakan
sebagai praktik karya kreatif. Wacana sosial yang hidup dan terus berkembang
mejadi kekuatan baru yang dapat disatukan dengan nilai-nilai religius yang sering
dikumandangkan dalam bakayat. Teks hikayat sebagai teks yang bernilai religius
hadir dalam kerangka memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat; sedangkan
wacana sosial hadir sesuai dengan situasi, kondisi, dan kebutuhan sosial
masyarakatnya sebagai subordinasi.
Artikulasi yang dimaksud dalam penelitian ini tidak hanya penyatuan nilai
religius dengan wacana sosial yang berkembang dalam masyarakat Sasak sebagai
bentuk interpretasi tukang bakayat terhadap karya sastra hikayat Melayu yang
disajikan dalam bentuk bakayat, namun termasuk sikap dan pandangan masyarakat
terhadap praktik bakayat Sasak.
2.2.4 Nilai Religius
Nilai religius mempunyai hubungan erat dengan keagamaan, karena dalam
agamalah kita menemukannya. Di dalam agama manusia meyakini akan adanya
kekuatan lain di luar dirinya yang disebut Tuhan. Dalam agamalah kita meyakini
keberadaan-Nya dengan segala kemahaannya. Agama kemudian diyakini,
dimengerti, dan dihayati oleh manusia karena agama erat kaitannya dengan proses
perjalanan hidup manusia. Agama menjadi sumber dalam mengenalkan konsep
ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kekuatan yang berada di luar
diri manusia. Itulah sebabnya ketika berbicara tentang nilai religius maka konsep-
konsep ketuhanan yang diajarkan melalui agama dalam bentuk keyakinan akan
42
keberadaan-Nya dan kemahakuasaan-Nya menjadi sangat penting dan perlu untuk
diketahui oleh pemeluknya.
Nilai religius lebih memfokuskan pada relasi manusia dalam
berkomunikasi dengan Tuhannya dalam wadah keagamaan. Dalam karya-karya
sastra yang bernilai religius digambarkan hubungan manusia dengan Tuhan
mendapat pengalaman mengagumkan yang tak terhapus, mengenai personalitas
luhur yang digambarkan secara metaforis dalam dogma-dogma agama. Menurut
Koentjaraningrat nilai religius merupakan nilai ketuhanan serta kerohanian yang
tertinggi dan mutlak, bersumber dari kepercayaan atau keyakinan manusia. Aspek
religius dimaksudkan segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah
keagamaan, baik berupa syariat─Islam─maupun aktivitas-aktivitas keagamaan
yang dianut dan diamalkan oleh seseorang─tokoh─(dalam Supratno, 1994:52).
Jadi nilai religius adalah nilai tertinggi yang terkait dengan kepercayaan terhadap
Tuhan berdasarkan keyakinan yang dianutnya. Bakayat Sasak sebagai teks yang
mengandung nilai religius tak dipungkiri kandungan nilai ketuhanan dan kerohanian
yang digambarkan di dalamnya, sehingga diyakini mampu menjadi tuntunan bagi
masyarakat Sasak─Islam─dalam menanamkan keyakinan akan keberadaan Allah
Swt. dengan kemahakuasaannya. Kandungan nilai religius yang ada akan
ditelusuri dan dikaji dalam hubungannya dengan wacana sosial yang dihadirkan
dalam teks bakayat.
2.2.5 Wacana Sosial
Istilah ‘wacana’ dan ‘teks’ sering menjadi bahan perbincangan dalam
penggunaannya. Ada yang menganggap kedua istilah tersebut sama karena itu,
digunakan secara bergantian. Wacana dan teks sering digunakan untuk mengacu
pada dua orientasi yang berbeda terhadap bahasa. Teks dianggap sebagai penerapan
43
bagian-bagian bahasa yang dari segi linguistik tanpa mengacu pada situasi
komunikatif. Sedangkan wacana menunjuk pada bahasa yang dianalisis dari sudut
pandang komunikatif (Nunan, 1992:19). Dari pandangan tersebut, teks dikatakan
berorientasi pada bahasa tulis sedangkan wacana pada bahasa lisan. Partini
Sardjono (2008:34) mengatakan bahwa secara teoritis, ungkapan bahasa lisan pun,
asal merupakan suatu kesatuan, termasuk teks.
Menurut Paul Ricoeur bahwa teks adalah wacana yang difiksasikan ke
dalam bentuk tulisan (Kleden-Probonegoro, 1998, Sobur, 2001:53). Dengan
demikian jelas bahwa teks adalah fiksasi atau pelembagaan sebuah peristiwa
wacana lisan dalam bentuk tulisan. Dalam definisi tersebut secara implisit
sebenarnya telah diperlihatkan adanya hubungan antara tulisan dengan teks.
Apabila tulisan adalah bahasa lisan yang difiksasikan (ke dalam bentuk tulisan),
maka teks adalah wacana (lisan) yang difiksasikan ke dalam bentuk tulisan.
Dalam istilah filologi, teks artinya kandungan atau muatan naskah, sesuatu
yang abstrak yang hanya dapat dibayangkan (Baried, 1994:57). Teks juga bisa kita
artikan sebagai “seperangkat tanda yang ditransmisikan dari seorang pengirim
kepada seorang penerima melalui medium tertentu dan dengan kode-kode tertentu”
(Budiman, 1999:115-116). Pihak penerima –yang menerima tanda-tanda tersebut
sebagai teks– segera mencoba menafsirkannya berdasarkan kode-kode yang tepat
dan telah tersedia. Dalam upaya mendekati tuturan kesastraan (literary ulterance)
sebagai teks, kita dapat memperlakukan tuturan tersebut sebagai sesuatu yang
terbuka bagi interpretasi, walaupun tetap dikaitkan dengan norma-norma generik
tertentu.
Kata wacana adalah gagasan umum bahwa bahasa ditata menurut pola-pola
yang berbeda yang diikuti oleh ujaran para pengguna bahasa ketika mereka ambil
44
bagian dalam domain-domain kehidupan sosial yang berbeda (Jorgensen dan
Phillips, 2007:1). Berbagai domain dalam kehidupan sosial direpresentasikan dalam
bentuk wacana, dimana setiap saat bisa berubah sesuai situasi dan kondisi, karena
itu wacana sosial dapat dikatakan sebagai wacana kontekstual.
Merujuk pada pandangan di atas, dalam penelitian ini istilah wacana dan
teks akan digunakan secara bergantian tergantung dari konteks yang
melingkupinya. Dalam pandangan pandangan Zaimar dan Harahap (2011:14)
bahwa wacana dikatakan sebagai satuan bahasa yang komunikatif menunjukkan
bahwa yang penting di dalam wacana adalah kesatuan makna. Sedangkan teks
menurut Halliday & Hassan, bahwa teks adalah bahasa yang berfungsi, yaitu bahasa
yang sedang melaksanakan tugas tertentu dalam konteks situasi (1994:15). Jadi
bakayat dapat dikatakan sebagai wacana karena di dalamnya terdapat satuan bahasa
dan satuan makna. Sedangkan bakayat dapat dikatakan sebagai teks karena satuan
bahasa yang berfungsi dalam konteks situasi tertentu yakni saat pertunjukan
berlangsung.
2.2.6 Masyarakat Sasak
Kata ‘Sasak’ adalah sebutan untuk nama etnik asli yang menghuni pulau
Lombok. Sebutan Sasak menurut beberapa peneliti sebelumnya mengatakan berasal
dari kata tembasaq (menggunakan kain putih), nama salah satu kerajaan di kaki
Gunung Sasak. Ada yang mengatakan kata Sasak berasal dari bahasa Sansekerta
sahsaka (pergi meninggalkan tanah asal memakai rakit bambu), dan etnik Sasak
tanah asal nenek moyangnya dari Jawa. Hal itu ada benarnya dilihat dari bahasa dan
huruf yang digunakan sampai saat ini mempunyai banyak kesamaan, termasuk adat
dan kebiasaan masyarakat Sasak.
45
Masyarakat Sasak berdasarkan kepercayaan yang dianut saat ini adalah
Budha (orang boda) dan Islam. Islam menjadi agama mayoritas masyarakat Sasak
yang dalam perkembangannya dikenal Islam waktu telu dan Islam waktu lima.
Islam waktu telu, menurut Kamarudin Zaelani (2007:244-245) dikatakan bahwa
penganut Islam wetu telu mengklaim diri sebagai penganut agama Islam yang
memegang dan menganggap tradisi dan adat-istiadat sebagai bagian integral dari
pengamalan keagamaan mereka. Islam wetu telu juga dikatakan sebagai sebuah
institusi keagamaan yang berkembang di lingkungan masyarakat Sasak-Lombok,
sebagai sinkritisme keagamaan yang mengakomodir kepercayaan lokal, nilai-nilai
Hindu, dan unsur-unsur Islam. Disamping itu, Islam wetu teku juga dikatakan
bercorak dinamisme, animisme, panteisme, dan antropomorfisme. Sedangkan
Islam waktu lima adalah mereka yang taat melaksanakan syari’at agama Islam
sebagaimana digariskan dalam al-Qur’an dan Hadist nabi Muhammad Saw (Fadly,
2008:65). Jadi perbedaan Islam wetu telu dengan Islam waktu lima adalah dalam
pelaksanaan syari’at.
Masyarakat Sasak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat
Sasak dari kelompok Islam waktu lima yang ada di Desa Mapak Dasan, Lombok
Barat dan Mapak Belatung, Kota Mataram. Masyarakat di kedua desa ini mayoritas
penganut Islam waktu lima yang masih melaksanakan beberapa ritual adat-istiadat
Sasak namun tidak setaat Islam wetu telu. Masih taatnya masyarakat di desa ini
melaksanakan beberapa ritual adat karena dari bahasa, dialek yang digunakan sama
dengan dialek di Desa Bayan tempat bermukimnya Islam wetu telu. Wasiah
mengatakan bahwa penduduk desa Mapak sebagian besar nenek moyangnya berasal
dari daerah Bayan, Lombok Utara (Wawancara, 02-04-2013). Dengan demikian
46
dapat diperkirakan bahwa sisa-sisa pengaruh tradisi dan adat-istiadat asal mereka
masih dilaksanakan sampai saat ini.
2.3 Landasan Teori
Kehadiran teori dalam sebuah penelitian menjadi sangat penting, hal ini
terkait dengan kajian yang dilakukan. Penggunaan teori diperlukan untuk
memecahkan berbagai permasalahan dalam penelitian. Penelitian bakayat Sasak
menggunakan beberapa teori antara lain, teori Artikulasi, teori Wacana, teori Fungsi
,dan teori semiotik. Teori-teori tersebut akan digunakan dalam mengungkap semua
permasalahan yang ada dalam penelitian ini.
Penerapan teori di dalam sebuah penelitian bisa saling bersinggungan dan
memengaruhi ketika proses pengkajian dilakukan. Karena itu, teori-teori yang
digunakan mempunyai keterkaitan dan saling mengisi dalam mengatasi kekurangan
dan memanfaatkan kelebihan teori lain dalam menganalisis suatu objek penelitian.
Uraian berikut menjelaskan teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini.
2.3.1 Teori Artikulasi
Teori artikulasi merupakan tanggapan Stuart Hall atas perdebatan antara
kaum neo-Marxian—yang dalam hal ini diwakili oleh Louis Althusser dan kaum
post-strukturalist—yang dalam hal ini diwakili oleh Michel Foucault dan Jacques
Derrida tentang “perbedaan” (difference) dan “persatuan” (unity). Althausser
berpendapat tentang kemungkinan adanya “persatuan yang kompleks atas
perbedaan” atau “perbedaan dalam persatuan yang kompleks” (difference in
complex unity). Sedangkan kaum post-strukturalis berpendapat tentang pisimisme
terhadap kemungkinan adanya persatuan (unity). Hubungan antar berbagai macam
“perbedaan-perbedaan” tersebut yang membentuk satu “persatuan” dalam kondisi-
47
kondisi tertentu dan tidak mempunyai rumus yang baku, itulah yang dinamakan
oleh Hall sebagai “artikulasi”.
Teori artikulasi menyatakan tentang koneksitas antara dua atau lebih
elemen lingkaran budaya yang berbeda dalam pembentukan makna (meaning)
sebuah praktik budaya selalu terjadi pada sebuah kondisi tertentu (under certain
conditions). Hubungan elemen-elemen yang tidak bersifat tetap, esensialis dan
absolut antar berbagai macam elemen berbeda merupakan hubungan dialogis yang
terjadi pada kondisi-kondisi kebetulan yang sangat spesifik. Oleh karena itu,
pembentukan makna merupakan hubungan yang dialogis antar berbagai bagian
dalam lingkaran tersebut dan bersifat selalu dalam proses.
Selain itu, teori artikulasi merupakan cara memahami bagaimana elemen
ideologi hadir menurut kondisi tertentu untuk menghubungkan satu sama lain
sebagai sebuah diskursus dan bagaimana cara mereka menanyakan untuk menjadi
atau tidak diartikulasikan untuk hal tertentu pada subjek politik tertentu. Stuart Hall
(1982) mengembangkan teori Artikulasi untuk menjelaskan konsep pertentangan
ideologis ( bagi Hall artikulasi berarti ekspresi dan penggabungan). Teks dan
praktek kultural baginya tidak mengandung makna yang tetap karena itu
dipengaruhi oleh proses artikulasinya yang tentu saja bersifat kontekstual dan
bervariasi. Jadi ekspresi senantiasa dipengaruhi oleh konteks. Sebagai teori kritik
tentang ideologi, teori ini memberikan metode yang sistematis dan luas untuk
analisis diskursus dalam interaksi dengan praktek-praktek sosial dan struktur
tertentu.
Wijaya (2006) dalam sebuah artikelnya menyitir pemikiran Stuart Hall
tentang artikulasi yang tidak sekadar bermakna mengucapkan, berbicara ke depan,
ucapan; suatu pembicaraan yang mengarah pada pembahasan, pengekspresian, dan
48
sebagainya. Artikulasi merupakan suatu pembentukan kesatuan temporer antar
sejumlah elemen yang tidak harus saling beriringan. Pembentukan dilakukan
dengan cara yang khas dan serba tidak menentu dan tidak dapat diprediksikan
sebelum fakta ditemukan. Bentuk hubungan dalam artikulasi hanya diperlukan
dalam kondisi-kondisi tertentu, tidak diperlukan, tidak ditentukan, tidak mutlak, dan
tidak mendasar sepanjang masa.
Sementara Mark Hobart yang idenya tentang artikulasi lebih dekat dengan
Laclau yang berpendapat bahwa semua artikulasi adalah respon terhadap yang lain,
artikulasi awal (seperti budaya berlawanan dengan ras dan agama), bertujuan untuk
melakukan disartikulasi (2000:241-242). Jadi semakin kuat dan mendalam
artikulasi sekitar budaya, maka semakin besar dorongan untuk melakukan
disartikulasi terhadap cara-cara pemikiran lain tentang dunia.
Pandangan Hobart dan Laclau di atas, memberikan pemahaman bahwa
artikulasi bukan hanya sebatas mengucapkan sesuatu, tetapi juga upaya
menghubungkan dua bagian yang terpisah melalui pertalian khusus yang tidak
permanen yang di dalamnya tersembunyi hegemoni untuk mengartikulasikan
struktur, masyarakat, politik, namun pada akhirnya diruntuhkan oleh perlawanan-
perlawanan terhadapnya melalui disartikulasi. Jadi, disartikulasi dapat diartikan
sebagai suatu artikulasi baru terhadap artikulasi yang sudah terbentuk sebelumnya.
Teks dalam praktek kultural memiliki banyak aspek dalam pengertian hal-
hal tersebut, dapat diartikulasikan secara berbeda oleh orang yang berbeda dalam
konteks yang berbeda atas dasar pertimbangan-pertimbangan politik, ideologi yang
berbeda pula. Itu berarti makna adalah suatu praktik sosial dan tidak ada suatu
makna yang berlaku universal. Suatu teks, praktek, atau peristiwa tidak membawa
49
makna sendiri, melainkan ada pihak tertentu yang memberikan makna sesuai
dengan kepentingannya.
Bakayat sebagai praktik budaya Sasak ‘menyiratkan’ adanya penikmat
(pendengar/penonton), baik sebagai pihak pasif (penerima makna) maupun sebagai
pihak aktif (pemberi makna). Oleh karena itu, praktiksi tidak hanya mempraktiksi
objek untuk dikonsumsi, akan tetapi juga mempraktiksi prilaku konsumsi dan
sebaliknya, konsumsi menciptakan ‘motif’ untuk praktiksi baru (repraktiksi). Relasi
dialogis bakayat – pendengar/penonton tersebut juga menjadi perhatian penelitian
ini, dimana bujangga yang menawarkan berbagai bentuk pemaknaan juga
menciptakan prilaku (manner) baru dalam penafsiran, sedang pendengar/penikmat
juga sebagai pemberi makna yang aktif yang juga menciptakan ‘motif’ untuk
mempraktiksi makna atau menolak makna yang ada. Bakayat sebagai struktur
makna yang disajikan oleh tukang bakayat mungkin tidak selalu sama dan bukan
merupakan ‘keidentikan langsung’. Tingkat-tingkat kesemitrian yakni, tingkat
‘pemahaman’ dan ‘kesalahpahaman’ dalam pertukaran komunikatif bergantung
pada tingkat simetri/asimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan antara posisi
‘personifikasi’, antara produser enkoder dan penerima dekoder.
Artikulasi dalam wacana teks bakayat merupakan bentuk koneksitas dari
elemen-elemen yang berbeda yang ada dalam masyarakat pada kondisi tertentu
disatukan dalam satu-kesatuan wacana yang tidak bersifat permanen. Ini adalah
hubungan yang diperlukan, ditentukan dan esensial sepanjang waktu (Hall,1986,
Slack,1996:115). Hall menegaskan bahwa ‘kesatuan’ wacana adalah benar-benar
merupakan artikulasi yang berbeda, elemen yang berbeda yang dapat direartikulasi
dengan cara yang berbeda sebab tidak memerlukan’rasa memiliki’. Kesatuan
penting dalam hal ini adalah hubungan antara wacana yang diartikulasi dan
50
kekuatan sosial yang dapat saling mengisi satu sama lain, tetapi dalam kondisi
historis tertentu, keduanya tidak harus selalu dikaitkan. Penyatuan didasarkan atas
kepentingan penguasa teks.
Proses pemaknaan teks dalam pandangan Hall (2011:216-217),
menggunakan istilah encoding dan decoding di mana dalam mengungkapkan makna
teks yang terletak di suatu tempat antara si pembuat teks dengan pembacanya.
Pembuat teks dalam hal ini meng-encode teks dalam cara tertentu dan pembaca
kemudian akan men-decode-nya dengan caranya sendiri yang sedikit berbeda.
Situasi sosial yang mengelilingi pembaca/penonton/pendengar, akan mengarahkan
teks pada satu sudut pandang yang berbeda.
Pemaknaan sebagai hasil ‘korespondensi’ dimana bukanlah hal yang
terberi (given) melainkan hasil konstruksi. Menurut Hall (2011:226) pemaknaan
tersebut tidaklah ‘natural’ melainkan produk dari artikulasi antara dua momen
berbeda. Tiga sistem pemaknaan dasar yang digagas Parkin dielaborasi oleh Hall
dalam menafsirkan atau memberi respon terhadap kondisi yang dibangun. Ketiga
sistem tersebut terkait dengan cara pembaca men-decode teks yakni, sistem
dominan (dominant reading), sistem atau kode yang dihasilkan ketika situasi sosial
yang mengelilingi pembaca menyerupai preferred reading (bacaan terpilih); dan
sistem subordinat (negotiated reading), sistem atau kode yang dinegosiasikan.
Dimana nilai-nilai yang dominan diterima, namun digunakan sebagai penegasan
bahwa situasi sosial yang ada perlu diperbaiki; serta sistem oposisional
(oppositional reading), sistem atau kode yang menolak versi dominan dan nilai-
nilai sosial dari preferred reading. Pembaca menempatkan pesan dalam sistem
makna secara radikal berlawanan dengan makna dominan.
51
Penelitian tentang artikulasi nilai religius dan wacana sosial dalam bakayat
Sasak bertolak dari teori artikulasi yang dikemukakan di atas. Dimana artikulasi
adalah cara kerja atau bagaimana ekspresi dalam bentuk pemaknaan teks oleh
tukang bakayat─bujangga dalam penyatuan nilai religius dan wacana sosial
masyarakat Sasak dalam teks bakayat. Pemikiran di atas sejalan dengan pandangan
Macherey (1978:79-80) yang memandang teks bukanlah sebuah teka-teki yang
menyembunyikan makna; teks itu tersebar; tidak komplit; tak terpusat (tak terpusat
pada sebuah intensi autorial) teks itu tersusun atas konfrontasi di antara beberapa
wacana: eksplisit, implisit, sunyi, dan absen. Karena itu menurutnya tugas
tradisional kritik teks —mengeksplisitkan apa yang implisit di dalam teks, yakni
menjelaskan kepentingan ideologis dari kebisuannya, ketidakhadirannya,
kekurangkompletannya yang menstruktur —penyajian terhadap apa yang tak bisa
dikatakan. Hal inilah dilakukan oleh tukang bakayat dalam menjelaskan teks yang
dilisankan dengan cara menembangkan.
Teori artikulasi mengungkap bentuk pemaknaan teks secara maksimal
sebagaimana yang disajikan dalam bakayat. Hasil pertunjukan berupa terjemahan
dan penafsiran yang dilakukan oleh bujangga akan dicermati dan dikaji sebagai
bentuk artikulasi terhadap pelisanan teks hikayat dalam praktek bakayat. Proses
kerja didasarkan pada pandangan bahwa perpanjangan sebuah makna; ia lahir dari
ketidak-sesuaian dari beberapa makna, ikatan terkuat diletakkan pada realitas dan
konfrontasi yang terus-menerus diperbaharui (Macherey, 1978:79-80). Di samping
itu, penafsiran terhadap sebuah teks tidak bersifat tetap dan selalu berubah
berdasarkan aspek kesejarahan, situasi dan kondisi serta kepentingan dari pemilik
budaya. Proses pemaknaan teks merupakan bentuk artikulasi dan disartikulasi yang
dilakukan oleh penikmat dan pemiliknya.
52
2.3.2 Teori Wacana
Dalam analisis struktur teks bakayat ini, akan memanfaatkan naratologi
yang dikembangkan Gerard Genette. Pemanfaatan teori dalam telaah ini didasarkan
pada ciri-ciri dominan yang dimiliki bakayat, yaitu berupa pelisanan teks tulis.
Naratologi dimanfaatkan untuk memaparkan struktur penceritaan atau struktur luar
teks bakayat KNY. Naratologi dalam bentuknya yang lebih sederhana memang
telah ada sejak Formalisme Rusia. Kelompok ini mengenal dan membedakan fabula
dan sjuzet. Dimana fabula dikatakan sebagai urutan temporal kausal yang dengan
cara apa pun menceritakannya adalah cerita itu sendiri, dan sjuzet dikatakan sebagai
cerita yang dihadapi oleh pembaca.
Bakayat sebagai wacana teks yang lahir dari bentuk kelisanan skunder,
yakni berupa pembacaan yang dilakukan dengan cara menembangkan, kemudian
diikuti dengan penerjemahan yang disertai penafsiran/ulasan dalam bahasa Sasak.
Seni pelisanan ini mengandung aspek kebahasaan, di samping aspek estetis sebagai
bentuk kreativitas para pelakunya. Wacana teks bakayat sebagai sistem (struktur)
dalam arti dinamis nampak ketika diaktualisasikan. Aktualisasi sebuah wacana teks
menunjukkan dua hal, yakni aktualisasi bahasa selalu memunculkan bentuk
proporsi atau bentuk kalimat dan yang kedua, peristiwa yang bermuara pada suatu
dialektika (Probonegoro, 2008:112). Wacana teks bakayat di dalamnya terkandung
aspek kebahasaan dan peristiwa tuturan yang disampaikan kepada khalayak
pendengar.
Peristiwa tuturan dalam bakayat yang berupa bahasa lisan bersifat
monolog. Dalam bahasa lisan unsur-unsur prosodi (intonasi, nada suara, debit atau
kecepatan bicara) dan juga unsur lain yang berperan yakni mimik, gerakan tangan,
juga situasi komunikasi sangat menentukan kualitas peristiwa tuturan. Dalam
53
penelitian ini teks bakayat merupakan hasil pertunjukan dalam bentuk rekaman
yang ditranskripsikan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Meskipun
saluran komunikasinya telah berubah, teks lisan tetap ditandai oleh berbagai tanda
bahasa yang menunjukkan kelisanannya. Dalam sosiolinguistik dikenal dengan
laras bahasa. Kelisanan dapat ditandai oleh adanya kata atau bunyi yang hanya ada
dalam ucapan bahasa lisan.
Penyajian bakayat yang berhubungan dengan unsur-unsur yang terdapat
dalam setiap komunikasi bahasa seperti dikatakan oleh Kridalaksana (2001) adalah
konteks, dimana merupakan ciri-ciri alam di luar bahasa yang menumbuhkan
makna pada ujaran atau wacana (lingkungan non-linguistik dari wacana). Zaimar
dan Harahap (2011:20-21), menyebut hal penting dalam mempelajari wacana
adalah acuan wacana, yakni acuan tekstual yang terbentuk dari unsur-unsur
linguistik yang hadir dalam teks dan acuan situasional yang mengacu pada situasi
ruang, waktu, dan objek riil saat komunikasi terjadi. Mulyana(2005:7) mengatakan
bahwa wacana memiliki dua unsur pendukung utama, yaitu unsur dalam (internal)
dan unsur luar (eksternal). Unsur internal berkaitan dengan aspek formal
kebahasaan, sedangkan unsur eksternal berkenaan dengan hal-hal di luar wacana itu
sendiri. Unsur internal yang terkait dengan aspek kebahasaan terdiri dari kata yang
merupakan bagian dari kalimat serta teks dan koteks. Sedangkan unsur eksternal
sebagai sesuatu yang menjadi bagian wacana namun tidak nampak secara eksplisit,
dan berada di luar satuan lingual wacana yang dapat membantu pemahaman tentang
suatu wacana.
Untuk memahami lebih dekat tentang struktur teks, ada baiknya untuk
dikaji terlebih dahulu mengenai klasifikasi atau pembagian wacana teks.
Pengklasifikasian wacana teks tergantung pada aspek dan sudut pandang yang
54
digunakan. Menurut Mulyana (2005:47), wacana dapat dipilah atas beberapa segi,
yaitu: (1) bentuk, (2) media, (3) jumlah penutur, dan (4) sifat. Pandangan lain
dikemukakan oleh Zaimar dan Harahap (2011:23-87), bahwa berbagai cara
klasifikasi dilakukan, sehingga dikenal beberapa jenis wacana teks menurut
acuannya, saluran komunikasi, bentuk penyajian dan isinya, fungsi bahasanya, dan
jumlah pengirim. Pengklasifikasian wacana teks bakayat Sasak penting dilakukan
dalam kerangka pemahaman terhadap bentuk teks yang disajikan dalam bakayat,
sebelum menganalisis lebih lanjut tentang aspek wacana naratifnya.
Dalam telaah struktur teks bakayat yang akan memanfaatkan naratologi,
dimana Gerard Genette (1988:21-83) mengembangkan lima pokok pemikiran, yaitu
urutan (order), durasi (duration), frekuensi (frequency), modus (mood), dan tutur
(voice). Pokok pemikiran tersebut akan dimanfaatkan dan disesuaikan dengan ciri-
ciri dominan dan kebutuhan analisis terhadap teks Bakayat. Analisis dalam
penelitian ini akan difokuskan pada tutur atau suara naratif, mengingat teks bakayat
yang dalam pelisanannya memanfaatkan aspek-aspek di luar bahasa seperti
tembang dan cara terjemahan yang mempengaruhi penceritaan.
Dalam telaah tentang tutur atau suara naratif sekaligus meliputi
pembicaraan tentang cerita, penceritaan, dan latar belakang sosialnya (Ratna,
2004:255). Tutur dalam hal ini merupakan aspek tindakan berbahasa yang
dipandang berdasarkan hubungan subjek. Subjek di sini tidak hanya berkaitan
dengan orang atau tokoh yang terlibat di dalam sebuah peristiwa, tetapi juga orang
yang menceritakannya dan berpartisipasi, meskipun secara pasif di dalam cerita.
Pembicaraan tentang tutur atau suara naratif dalam pandangan Genette dibagi
menjadi lima bagian, yaitu : waktu penceritaan (narrating time), tingkatan
55
penceritaan (narrative levels), person, narator, dan narratee. Meskipun demikian,
telaah ini hanya memusatkan perhatian pada person dan narator teks bakayat.
Person dalam hal ini berkaitan dengan kehadiran “sosok” narator di dalam
cerita. “Sosok” narator tidak selalu identik dengan “sosok” pengarang. Berkaitan
dengan kehadiran “sosok” narator ada dua jenis penceritaan, yaitu: pertama
heterodiegetik, yaitu penceritaan dengan narator yang tidak hadir atau tidak terlihat.
Menurut Genette ketidakhadiran narator bersifat mutlak. Sedangkan kedua
homodiegetik, yaitu penceritaan dengan narator yang muncul atau terlihat sebagai
tokoh. Narator dalam hal ini memiliki derajat kehadiran, dimana ia dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu narator sebagai tokoh sentral dan narator sebagai tokoh
sekunder yang hanya berfungsi sebagai pengamat atau saksi. Narator dalam teks
bakayat dapat dipahami sebagai tukang cerite. Menurut Genette (1988:120-121)
bahwa posisi narator dapat berada di luar atau di dalam cerita. Narator yang berada
di luar cerita mengacu pada author-narrator (pengarang sebagai narator) atau
implied author (pengarang implisit), sedang narator yang berada di dalam cerita
mengacu pada character-narrator (tokoh sebagai narator), baik menceritakan
ceritanya sendiri maupun cerita tokoh lain.
Dalam teks bakayat dimana tukang cerite dipahami sebagai narator yang
selalu berada dalam penceritaan, baik sebagai penutur yang menuturkan ceritanya
maupun menceritakan dan mewakili tokoh lain. Sehubungan dengan kajian teks
bakayat posisi tukang cerite akan dilihat dari aspek sebagai penutur dan sebagai
tokoh sentral dalam cerita KNY.
2.3.3 Teori Fungsi
Kehadiran sebuah tradisi tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat yang
melingkupi keberadaannya, karena keduanya saling membutuhkan. Ketika
56
hubungan keduanya berjalan maka terjadi fungsionalisme sistemik, dimana
perkaitan antar institusi atau struktur suatu masyarakat akan membentuk suatu
sistem yang bulat. Konsep fungsi memang bersifat lentur. Rumusan para ahli dalam
mengartikan fungsi sesuai dengan bidangnya masing-masing. Fungsi dalam
anggapan Malinowski, unsur-unsur kebudayaan dipergunakan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan naluri manusia dan kebudayaan itu sendiri. Hal ini berbeda
dengan anggapan kaum Marxis, bahwa sastra lisan dapat berfungsi sebagai ‘of the
ruling class’, yakni sebagai alat untuk mempropagandakan serta menyebarkan ide-
ide kelas yang berkuasa, dan bagi mereka sastra lisan juga merupakan senjata yang
potensial di dalam the class struggle, atau ‘perjuangan kelas’(Endaswara,
2009:125). Menurut Kaplan dan Manners (1999:76) fungsionalisme harus
mengeksplorasi ciri sistemik budaya.
Konsep fungsi dalam pengaturan kultural suatu masyarakat menurut
Merton dalam Kaplan dan Manners (1999:79), dimana ada fungsi manifest dan
fungsi laten –fungsi tampak dan fungsi terselubung– dalam suatu tindak atau unsur
budaya. Konsekuensi objektif dalam fungsi manifest, dimana sumbangan pada
adaptasi sistem yang dikehendaki dan disadari oleh partisipan sistem tersebut.
Sedangkan pada fungsi laten, konsekuensi objektif sebagai ihwal budaya yang tidak
dikehendaki atau disadari oleh warga masyarakatnya. Kendati demikian, fungsi
laten (konsekuensi yang tidak dikehendaki atau disadari) dalam beberapa fenomena
budaya tetap bertahan karena fungsi tersebut. Fungsi terakhir ini tampaknya akan
dapat membantu kita dalam menjelaskan asal-mula suatu pengaturan kultural
tersebut dilakukan.
Terkait dengan fungsi suatu praktik budaya masyarakat sebagaimana yang
dikemukakan oleh William R. Bascom bahwa ada empat, yaitu: 1) sebagai sistem
57
proyeksi (projective system), 2) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan
lembaga-lembaga kebudayaan, 3) sebagai alat pendidikan anak (pedagogical
device), dan 4) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat
akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya (Bascom,1965:3-20, Danandjaja,
2002:19). Pandangan Bascom menggambarkan tentang fungsi sebagaimana yang
dikehendaki dalam kehidupan masyarakat. Dalam kenyataannya tidak sedikit
praktik budaya masyarakat mengalami pergeseran fungsi yang tidak dikehendaki
oleh pemilik budaya, tapi hal itu dapat terjadi.
Sebagai karya sastra, hikayat/syair yang dilisankan dalam bakayat juga
memiliki fungsi yang disesuaikan dengan tujuan pengarang dalam menggubah
karya tersebut. Untuk mengetahui fungsi bakayat Sasak akan digunakan pendapat
Merton. Bertolak dari pendapat tersebut di atas, maka analisis fungsi bakayat
diarahkan pada kedua fungsi tersebut. Fungsi manifest memberikan sumbangan
yang positif terhadap keberadaan tradisi lisan bakayat. Nilai religius yang terdapat
dalam bakayat sebagai motif untuk menggerakkan pendengarnya untuk selalu
bertaqwa kepada Allah swt. dan mengikuti segala perintah-Nya. Sedang wacana
sosial sebagai interpretasi/ulasan bujangge-nya terhadap teks yang ditembangkan,
merupakan penggambaran dari masyarakat penikmatnya berupa pandangan hidup
dan alam pikir sebagai dokumen masyarakat.
Fungsi suatu praktik budaya tidak terlepas dari perkembangan dan
perdaban budaya masyarakatnya, sehingga hal ini turut berpengaruh terhadap
fungsi-fungsi dari suatu praktik budaya. Penelusuran terhadap fungsi ini menjadi
penting dilakukan terhadap bakayat mengingat makin menurunnya intensitas
pertunjukan, berkurangnya pelaku dan penikmat tradisi tersebut. Selain itu,
penelusuran fungsi sekaligus akan memberikan gambaran tentang sikap masyarakat
58
terhadap keberadaan bakayat Sasak saat ini. Berfungsinya secara efektif suatu
praktik budaya dapat menandakan bahwa budaya tersebut masih eksis pada
masyarakat pendukungnya.
2.3.4 Teori Semiotik
Postrukturalisme merupakan bentuk reaksi terhadap strukturalisme, yang
membongkar setiap klaim akan oposisi pasangan, hierarki, dan validitas kebenaran
universal, sebaliknya menjunjung tinggi permainan bahwa tanda serta
ketidakstabilan makna dan kategorisasi intlektual (Piliang, 2003: 21). Semiotika
merupakan bagian dari postrukturalisme, dalam pertumbuhan selanjutnya menjadi
sebuah disiplin ilmu tersendiri yang kemudian dikembangkan oleh Charles Morris,
Roman Jakobson, Jonathan Culler, Roland Barthes, Umberto Eco, Jurij J. Lotman,
Michael Riffaterre, dan masih ada sederetan nama lain.
Semiotika adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia
(Hoed, 2011: 3). Tanda yang hadir dalam kehidupan manusia berupa pengalaman,
pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain harus diberi makna. Tanda sebenarnya
bukan hanya bahasa saja, melainkan berbagai hal yang melingkupi kehidupan ini,
walaupun harus diakui bahwa bahasa adalah sistem tanda yang paling lengkap dan
sempurna. Hoed juga menekankan semiotika dalam perkembangannya menjadi
seperangkat teori yang digunakan untuk mengkaji berbagai tanda dalam
kebudayaan manusia. Terkait dengan semiotika sebagai teori tanda, maka dalam
penelitian ini akan digunakan teori semiotik menurut pandangan Umberto Eco
dalam kerangka memaknai tanda bahasa dalam bakayat.
Semiotik berkaitan erat dengan semua yang dianggap sebagai tanda. Tanda
menurut Saussure ialah apa yang ada dalam kehidupan manusia yang kita lihat
sebagai bentuk dalam pikiran kita (citra tentang bunyi bahasa) dan mempunyai
59
makna tertentu. Tanda juga dikatakan sebagai segala sesuatu yang secara maknawi
dapat dianggap menggantikan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain ini tidaklah
selalu hadir atau berada di suatu tempat agar tanda dapat menggantikannya.
Menurut Umberto Eco, semiotika secara prinsipiil adalah disiplin yang mengkaji
segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berbohong (2009:7). Sebab apabila
sebuah tanda tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran, maka ia
tidak dapat pula digunakan untuk mengungkapkan kebohongan. Dengan demikian,
meskipun Eco menjelaskan bahwa semiotika adalah teori kebohongan implisit di
dalamnya adalah teori kebenaran.
Dengan demikian, semiotika digunakan sebagai sebuah pendekatan dalam
menelaah sesuatu yang berhubungan dengan tanda, misalnya karya sastra baik tulis
maupun lisan. Teks bakayat Sasak sebagai tanda bahasa yang dibentuk oleh relasi
dengan tanda yang lain. Tanda ini menimbulkan reaksi pembaca/pendengarnya
untuk menafsirkannya. Proses penafsiran terjadi karena tanda yang bersangkutan
mengacu pada sesuatu kenyataan (Sobur, 2002:122).
Dalam pemaknaan tanda ini, Eco mengemukakan bahwa dalam memaknai
suatu tanda sebenarnya si penerima tanda telah mempraktiksi tanda baru. Pada
dasarnya, praktiksi tanda yang dikemukakan Eco merupakan suatu tindakan fisik
yang terdiri dari, recognition (pengenalan tanda), onstention (penunjukan dengan
cara memperlihatkan contoh), replica (secara vektoral, dengan stilisasi, dan
gabungan keduanya atau stimuli yang terprogram), dan invention (tanda yang
diciptakan dengan stimuli terprogram, kongruensi, proyeksi, dan grafis). Menurut
Eco proses semiosis atau pemaknaan akan berhenti ketika manusia dibatasi prinsip-
prinsip supra individual atau jika dalam konteks kebudayaan adalah kaidah-kaidah
kebudayaan yang membatasi seseorang untuk melakukan pemaknaan.
60
Mengenai pembagian batas-batas penelitian menurut Eco, berdasarkan
objek dan kesepakatan sementara. Batas penelitian yang dimaksud adalah batas-
batas politis, alami, dan epistimologi. Batas-batas alami adalah tapal batas yang tak
dapat dilampaui oleh pendekatan semiotika; karena wilayah di balik tapal batas itu
adalah wilayah nonsemiotis karena di situ tidak ada fenomena yang bisa dianggap
sebagai fungsi tanda (Eco, 2009:5-6). Batas-batas epistimologi adalah batas yang
tidak bergantung pada definisi objek semiotis melainkan pada definisi ‘kemurnian’
teoretis dari disiplin semiotika itu sendiri (Eco, 2009:40-41). Batas-batas politis
juga dikenal sebagai batas budaya. Istilah budaya digunakan untuk menghindari
salah tafsir terhadap kata politis itu sendiri.
Dalam penelitian ini digunakan batas-batas politis. Hal ini dikarenakan
objek yang digunakan lebih memungkinkan untuk dikaji dalam batas-batas politis.
Batas-batas politis ini akan ditentukan berdasarkan kesesuaian yang ada pada teks
bakayat Sasak. Dalam hal ini akan di batasi pada kajian makna tentang, teks, kode-
kode kultural, dan teks-teks estetik.
Kajian makna tentang teks yang dimaksud adalah perkembangan dalam
analisis alur begitu pula dalam analisis bahasa puitis yang mendorong ke
pemahaman arti teks sebagai unit makro yang diatur oleh aturan-aturan generatif
yang khusus, di mana kadang kala makna ‘tanda’ sebagai unit semiotis
elementer─praktis dihilangkan. Kode-kode kultural, dimana riset semiotika yang
menggeser perhatian kepada fenomena-fenomena yang diistilahkan dalam sistem-
tanda, sistem komunikasi karena fenomena-fenomena ini berupa sistem perilaku
dan nilai. Yang dimaksudkan Eco dalam hal ini adalah sistem sopan santun,
hierarki-hierarki, dan ‘sistem pemodelan skunder’ yang mencakup mitos, legenda,
teologi primitif yang ditampilkan dalam wujud sebuah tatanan dunia yang
61
dibayangkan masyarakat. Teks-teks estetik, bidang kajian semiotik yang meluas ke
wilayah yang secara tradisional jadi bagian estetika. Estetika yang berkaitan dengan
aspek-aspek non-semiotis dari seni seperti, psikologi daya cipta artistik, relasi
antara bentuk artistik dan natural, definisi, fisik-psikologis dari kenikmatan estetik,
analisis tentang hubungan seni dengan masyarakat. Eco menjelaskan bahwa setiap
kode pasti memiliki elemen-elemen yang tidak tertutup kemungkinan untuk
digunakan secara estetik.
Semiotik digunakan untuk memaknai berbagai tanda termasuk bakayat
Sasak sebagai praktik budaya. Berdasarkan paparan di atas, bakayat Sasak sebagai
sebuah praktik budaya dalam bentuk sastra lisan memiliki simbol dan tanda-tanda.
Tanda-tanda yang ada dan digunakan dalam bakayat tidak mudah untuk dipahami,
karena itu diperlukan apresiasi yang mendalam untuk memahami tanda sebagai
sebuah tanda. Pemaknaan terhadap tanda dalam karya sastra lisan seperti bakayat
sangat mungkin untuk mengalami perbedaan penafsiran, hal ini sejalan sifat sastra
lisan dan perubahan sosial budaya masyarakat pendukungnya. Pengkajian dengan
teori semiotik diharapkan mampu mengungkap makna bakayat Sasak.
62
2.4 Model Penelitian
Bagan 01 : Model Penelitian TLB pada Masyarakat Sasak
Keterangan : Hubungan saling mempengaruhi
Hubungan langsung
Ada hubungan
Teks Tulis Pengaruh
Jawa dan Melayu Agama Islam
Tradisi Lisan
Bakayat (TLB)
TEMUAN
Teori
1. Artikulasi
2. Wacana
3. Fungsi
4. Semiotik
Struktur Teks Bakayat
Makna Teks Bakayat
Fungsi Bakayat dan
Pergeserannya
Budaya Sasak
Artikulasi Wacana Teks
Bakayat
Masyarakat Etnik Sasak
Tradisi Lisan
Pepaosan
Sejarah Perkembangan
Bakayat
63
Penelitian ini digambarkan dengan menggunakan model seperti pada
bagan di atas. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut.
Masyarakat etnik Sasak mempunyai sejarah yang panjang dalam
pergulatan budaya akibat masuknya berbagai pengaruh. Akibat dari proses tersebut
berbagai praktik budaya dihasilkan, salah satunya adalah bakayat. Bakayat
kemudian menjadi salah satu tradisi lisan masyarakat Sasak yang dibangun oleh tiga
pilar pokok, yaitu pertama teks tulis yang berasal dari sastra Melayu klasik Islam
berupa hikayat/syair; kedua budaya Sasak yang di dalamnya telah ada berbagai
budaya/tradisi yang telah tumbuh dan berkembang sebagai tradisi lisan berupa
pelisanan teks yang dikenal dengan pepaosan dan juga tradisi tulis lebih dahulu
hadir sebelum karya sastra Melayu Islam memasuki pulau Lombok, ketiga, agama
Islam sebagai agama dakwah yang berkembang di Lombok secara terus-menerus
menyampaikan kebenaran Islam melalui berbagai media dakwah, salah satunya
dengan karya-karya sastra.
Masyarakat etnik Sasak mengenal pelisanan teks sastra Melayu klasik
sebagai salah satu media dakwah Islam, teks tersebut dibawa oleh para mubaliq dari
Semenanjung Melayu. Teks tersebut awalnya hanya dilisankan dengan lantunan
tembang-tembang Melayu, tradisi ini pun kemudian menyatu dengan budaya Sasak
yang tujuannya untuk memantapkan keislaman orang Sasak. Melalui tiga pilar di
atas, bakayat dibangun sebagai sebuah tradisi lisan yang kental dengan nuansa
Islam. Kehadiran bakayat sebagai salah satu TL Sasak mendampingi TL yang telah
ada sebelumnya seperti pepaosan. Kini kedua TL tersebut hidup berdampingan dan
difungsikan oleh masyarakat Sasak dalam berbagai aktivitas kehidupan adat dan
keagamaan.
64
Bakayat dalam perkembangannya berjalan seiring dengan peradaban
masyarakat Sasak, sebagai praktik budaya kemudian disampaikan dalam bentuk
pertunjukan untuk memenuhi kebutuhan pemiliknya. Namun dalam
perkembangannya saat ini bakayat secara perlahan tapi pasti mulai kehilangan para
pelaku dan pendengarnya. Hal ini sungguh sangat memprihatinkan, sehingga perlu
segera dilakukan berbagai bentuk pelestarian salah satunnya adalah penelitian.
Penelitian ini dilakukan mengingat terbatasnya hasil-hasil penelitian
tentang TL khususnya Sasak. Adapun pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan etnografis dalam rangka untuk mendapatkan gambaran yang lebih
komprehensif dalam menganalisis permasalahan dalam TLB. Perkembangan dan
bentuk pertunjukan bakayat menjadi fokus dalam penelitian ini, adapun masalah
yang akan dikaji antara lain, sejarah perkembangan bakayat, struktur teks bakayat,
artikulasi nilai religius dan wacana sosial dalam bakayat, fungsi bakayat dan
pergeserannya, serta makna bakayat dalam masyarakat Sasak.
Teori-teori yang relevan untuk diaplikasikan dalam menganalisis data
penelitian tentang bakayat adalah, teori wacana, teori ini digunakan untuk
menganalis struktur teks bakayat yang disajikan dalam bentuk pertunjukan. Struktur
teks akan dikaji dari penyajian, keterlibatan pelaku, serta struktur naratifnya
meliputi cerita dan penceritaan. Teori artikulasi digunakan mengkaji hubungan
kesatuan elemen-elemen yang ada dalam bakayat yakni nilai regius dan wacana
sosial dalam bakayat Sasak. Teori fungsi digunakan untuk menelusuri fungsi
bakayat dalam kehidupan masyarakat Sasak. Di samping itu, juga akan ditelusuri
tentang terjadinya pergeseran fungsi bakayat pada masyarakat Sasak. Selain teori di
atas, untuk membedah makna bakayat digunakan teori semiotik. Teori ini
digunakan untuk mengetahui lebih jauh kandungan makna dalam bakayat dari sudut
65
pandang etik. Terkait dengan sejarah perkembangan bakayat dalam masyarakat
Sasak akan diuraikan dalam bab tersendiri. Sejarah ini penting untuk ditelusuri dan
diuraikan mengingat belum adanya dokumen yang menguraikan masalah tersebut.
Berdasarkan analisis data yang dilakukan, nantinya akan dikemukakan simpulan
hasil penelitian dan temuan.