bab ii kajian pustaka dan kerangka...

29
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kajian Pustaka Tarif dasar listrik yang berlaku saat ini di Indonesia adalah sama untuk setiap daerah. Tarif dasar listrik di Kabupaten Kutai Timur yang kaya akan potensi energi seperti batubara misalnya, adalah sama dengan tarif dasar listrik yang berlaku di kota Bandung yang minim akan potensi energi. Begitu pula tarif yang berlaku untuk kota Bekasi yang memiliki infrastruktur kelistrikan yang memadai, adalah sama dibandingkan dengan kota Banjar yang ketersediaan infrastruktur kelistrikannya masih terbatas. Karena adanya kesenjangan (gap) antar daerah di Indonesia baik dari segi kekayaan alam, kemampuan masyarakat dan infrastruktur yang dimiliki, maka tarif listrik sewajarnya tidak diberlakukan sama di setiap daerah. Hal ini mendorong diberlakukannya UU No. 30 tahun 2009 dimana dalam pasal 34 bagian kedua UU tersebut mengatur pembagian kewenangan yang tegas antara pemerintah (pusat) dan daerah serta dimungkinkannya adanya perbedaan tarif di setiap daerah (regional). Wilayah Jawa Barat dan Banten sendiri telah direkomendasikan untuk melaksanakan kebijakan Tarif Listrik Regional. Namun dikarenakan beberapa kendala terkait kesiapan PLN serta belum adanya kajian yang lebih mendalam

Upload: donguyet

Post on 06-Mar-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Kajian Pustaka

Tarif dasar listrik yang berlaku saat ini di Indonesia adalah sama untuk

setiap daerah. Tarif dasar listrik di Kabupaten Kutai Timur yang kaya akan

potensi energi seperti batubara misalnya, adalah sama dengan tarif dasar listrik

yang berlaku di kota Bandung yang minim akan potensi energi. Begitu pula tarif

yang berlaku untuk kota Bekasi yang memiliki infrastruktur kelistrikan yang

memadai, adalah sama dibandingkan dengan kota Banjar yang ketersediaan

infrastruktur kelistrikannya masih terbatas. Karena adanya kesenjangan (gap)

antar daerah di Indonesia baik dari segi kekayaan alam, kemampuan masyarakat

dan infrastruktur yang dimiliki, maka tarif listrik sewajarnya tidak diberlakukan

sama di setiap daerah. Hal ini mendorong diberlakukannya UU No. 30 tahun

2009 dimana dalam pasal 34 bagian kedua UU tersebut mengatur pembagian

kewenangan yang tegas antara pemerintah (pusat) dan daerah serta

dimungkinkannya adanya perbedaan tarif di setiap daerah (regional).

Wilayah Jawa Barat dan Banten sendiri telah direkomendasikan untuk

melaksanakan kebijakan Tarif Listrik Regional. Namun dikarenakan beberapa

kendala terkait kesiapan PLN serta belum adanya kajian yang lebih mendalam

akan model strategi penerapannya di setiap wilayah, maka sampai dengan saat ini

kebijakan tarif listrik regional belum dilaksanakan.

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian dengan tema model strategi penerapan tarif listrik regional telah

dilaksanakan oleh Konsorsium 6 (enam) Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia

yaitu Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gajah Mada,

Universitas Dipenogoro, Institut Teknologi Sepuluh November, dan Universitas

Udayana pada bulan Maret 2010 lalu, dengan judul penelitian “Studi Tarif Dasar

Listrik Untuk Menuju Tata Kelola Ketenagalistrikan Nasional Yang Sehat”.

Salahsatu sub penelitian dari penelitian tersebut adalah mengenai regionalisasi

tarif dimana dengan menggunakan pendekatan teori Development Gap dan

Infrastructure Electricity Gap dihasilkan suatu model penerapan tarif listrik

regional secara umum di Indonesia. Jawa Barat dan Banten sendiri dipandang oleh

pendekatan teori tersebut termasuk wilayah yang direkomendasikan untuk

melaksanakan kebijakan tarif listrik regional.

Hasil studi tersebut kemudian dituangkan oleh Nanang Hariyanto dan

Sudarmono Sasmono dalam makalah berjudul “Model Ukuran Kesiapan Kandidat

Daerah Pelaksana Tarif Listrik Regional Di Indonesia”, dan disajikan dalam

Seminar IV Teknologi dan Bisnis Kelistrikan Institut Teknologi Bandung bulan

November tahun 2011.

Perbedaan mendasar dengan penelitian ini adalah pada locus penelitian serta

teknik pengumpulan informasi dari para narasumber. Locus penelitian dari studi

tarif listrik regional yang dilakukan 6 (enam) konsorsium perguruan tinggi

tersebut adalah di seluruh Indonesia secara umum, sedangkan penulis tertarik

untuk membuat analisis kesenjangan (gap) antar daerah di Jawa Barat dan Banten

sehingga dapat dibuat suatu model strategi penerapan tarif listrik regional khusus

di wilayah Jawa Barat dan Banten. Untuk pengambilan informasi dari para

narasumber, pada studi tarif listrik regional dilakukan secara focus group

discussion (FGD), sedangkan penulis mengambil informasi dari para narasumber

melalui wawancara langsung secara mendalam.

2.3 Teori Diskriminasi Harga

Ilmu Administrasi Niaga atau Bisnis menurut Poerwanto (2006:75)

didefinisikan sebagai : keseluruhan proses kerja sama dalam memproduksi barang

dan atau jasa yang dibutuhkan dan diinginkan pelanggan hingga pada

penyampaian barang atau jasa tersebut kepada pelanggan dengan memperoleh dan

memberikan keuntungan secara seimbang, bertanggungjawab dan berkelanjutan.

Definisi tersebut menyiratkan bahwa Administrasi Bisnis sebagai proses

penyelenggaraan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan dari berbagai pihak –

produsen, pelanggan, serta masyarakat umum – perlu menciptakan keuntungan

bagi semua pihak secara imbang. Maksudnya keuntungan yang diciptakan tidak

hanya untuk kepentingan pengusaha saja, tetapi juga untuk pelanggan, masyarakat

umum, serta lingkungan yang dapat berupa uang, kepuasan, kontinyuitas usaha,

peningkatan kualitas, dan pemeliharaan sumber-sumber yang digunakan bersama.

Administrasi Bisnis merupakan bagian integral dari administrasi pembangunan

suatu bangsa yang mengatur kepentingan masyarakat dalam usaha untuk

memperoleh barang dan jasa yang dibutuhkan atau diinginkan secara teratur dan

berlanjut.

Adapun Sondang (1989:35) mendefinisikan Administrasi Bisnis adalah

proses penyelenggaraan kegiatan untuk memproduksi barang atau jasa, dengan

memperoleh dan memberikan berbagai aspek kehidupan masyarakat melalui

organisasi sebagai wadah.

PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau yang sering kita singkat

menjadi PLN merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

berbentuk perusahaan perseroan yang mana menurut Undang-Undang Republik

Indonesia No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara pasal 1

disebutkan bahwa BUMN yang bentuknya Perseroan Terbatas (PT) modalnya

terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu

persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia dan tujuan utamanya

adalah mengejar keuntungan.

Mengenai BUMN dijelaskan lebih lanjut oleh Akadun (2009:3) : “Dalam

perkembangannya setiap BUMN dicanangkan untuk menghasilkan laba sehingga

definisi menguasai hajat hidup orang banyak pun menjadi sesuatu yang

diperdebatkan. Menjadi persero secara implisit mensyaratkan perusahaan harus

mendapatkan laba. Prinsip ekonomi mulai berlaku. Konsekuensinya, para

manajemen BUMN berlomba-lomba menjadi penerima amanah yang dapat

diandalkan, profesional serta berjiwa entrepreneur. Sebagai indikator keberhasilan

manajemen tersebut adalah laba yang semakin meningkat secara signifikan.

Maraknya isu privatisasi semakin mempertegas pandangan ini”.

Rafick (2010:xii) menjelaskan bahwa “....BUMN dapat melaksanakan tata

kelola perusahaan atau good corporate governance (GCG) dan berhasil mencapai

tujuannya yakni mendapat keuntungan serta melayani publik secara efektif dan

efisien.”

Dari isi UU RI No. 19 Tahun 2003 pasal 66 serta uraian dari Akadun dan

Rafick diatas, semakin memperjelas posisi PT. PLN yang mempunyai “2 kaki”,

dimana selain kewajibannya sebagai organisasi publik yaitu menyelenggarakan

misi Public Service Obligation (PSO) di bidang pengadaan dan pengelolaan

infrastruktur kelistrikan yang merupakan barang publik (public goods), PLN juga

diharuskan untuk mengejar keuntungan, dimana biasanya hal ini merupakan

tujuan utama dari pendirian suatu organisasi bisnis (perusahaan swasta).

Namun demikian, menurut Akadun (2009:56) :”...kendati secara operasional

perusahaan negara harus dijalankan secara efisien menganut berbagai perhitungan

ekonomis yang sama dengan perusahaan swasta, tujuan jangka panjangnya

berbeda. Jadi sebagaimana pendapat tersebut, perbedaannya adalah pada tujuan

akhir atau visi-misi organisasi itu sendiri. Organisasi publik biasanya memiliki

tujuan akhir yang lebih daripada organisasi bisnis. Sebuah perusahaan negara

harus melakukan kalkulasi-kalkulasi ekonomis sebagaimana perusahaan swasta;

tetapi dibebankan pula oleh pemerintah untuk mencapai suatu sasaran lebih luas,

yang biasanya meliputi kombinasi antara aspek-aspek ekonomi dan sosial”.

Pada tahun 1972, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 17 PLN

ditetapkan sebagai Perusahaan Umum Listrik Negara dan sebagai Pemegang

Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) dengan tugas menyediakan tenaga listrik

bagi kepentingan umum. Seiring dengan kebijakan Pemerintah yang memberikan

kesempatan kepada sektor swasta untuk bergerak dalam bisnis penyediaan listrik,

maka sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun

1994 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara

Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero), status PLN beralih dari Perusahaan

Umum menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dan juga sebagai PKUK dalam

menyediakan listrik bagi kepentingan umum hingga sekarang.

PLN sebagai perusahaan penyedia listrik disebut pula sebagai public utility .

Hal ini dijelaskan oleh McNabb (2005:11) bahwa :

“The term ‘public utility’ describes the collection of specific services provided by public and private organizations and identifies the institutions that make up the industry. The products or services provided by the public utility industry include electrical energy, natural gas, water, sanitation, waste disposal, communications, public rail and bus transportation, and certain types of storage facilities, including public warehouse , and grain elevators, among others.”

Lebih lanjut McNabb (2005:12) menambahkan :

”Public utilities provide essential services needed by every individual and every other institution in a society. The organizations operating within the

industry have the responsibility for seeing that their services are available when and where the public desires them”.

Yang membedakan antara public utility dengan organisasi lainnya adalah

berlakunya monopoli alamiah. Hal ini ditegaskan oleh Case dan Fair (2003:342):

”contoh klasik monopoli alamiah selama bertahun-tahun adalah perusahaan

utilitas umum seperti: perusahaan telepon, perusahaan listrik, dan perusahaan gas.

Ide dasarnya ialah bahwa biaya tetap yang besar untuk mengembangkan jalur

transmisi dan pipa distribusi berarti skala ekonomi yang besar. Tidak masuk akal

pula memiliki lima perusahaan listrik yang semuanya memasang kabel sendiri-

sendiri di setiap jalanan.”

Adapun menurut McNabb (2005:14) : “Natural monopolies occur when a

single firm is able to supply a market at a cost and price far lower than would be

possible if several firms served the market.” McNabb juga menambahkan bahwa

yang membedakan public utility dengan organisasi lainnya adalah sebagai

perusahaan yang diberikan kewenangan penuh untuk mengelola salah satu hajat

hidup orang banyak, yaitu listrik dan kewajibannya untuk menyediakan listrik

untuk seluruh masyarakat tanpa kecuali.

Dalam pelaksanaan pengelolaan listrik, PLN atas persetujuan badan

legislatif dan eksekutif menerapkan diskriminasi harga atau tarif diskriminasi

dimana harga listrik yang ditetapkan berbeda-beda untuk setiap konsumen yang

berbeda pula. Namun, harga/tarif yang berlaku ini seringkali bersifat politis dan

tidak sesuai dengan biaya produksi, transmisi dan distribusinya yang pada

akhirnya memberatkan anggaran negara kita sendiri karena harus terus menerus

memberikan subsidi untuk PLN.

Oleh karenanya seiring dengan berubahnya status PLN menjadi persero

serta dibukanya kesempatan kepada sektor swasta oleh pemerintah untuk ikut

serta dalam bisnis penyediaan listrik sehingga PLN hanya melakukan monopoli

dalam distribusi dan penjualannya, diharapkan kondisi PLN akan lebih sehat

dimana PLN sebagai suatu perusahaan persero dapat menerapkan tarif yang sesuai

dan rasional sehingga dapat menghasilkan laba sekaligus tetap memberikan

pelayanan terbaiknya untuk masyarakat dalam hal penyediaan listrik.

Mengenai diskriminasi harga, Case dan Fair (2003:332) menyatakan :

”Pembedaan pembebanan harga kepada pembeli yang berbeda disebut dengan diskriminasi harga. Motivasi dibalik diskriminasi harga sangatlah jelas, jika suatu perusahaan dapat mengidentifikasikan mereka yang rela membayar suatu barang dengan harga yang lebih tinggi, perusahaan akan bisa mendapatkan lebih banyak laba dari mereka dengan membebankan yang lebih tinggi. Gagasan ini sangat tepat diilustrasikan menggunakan kasus ekstrim di mana sebuah perusahaan mengetahui berapa yang rela dibayarkan oleh setiap pembeli. Sebuah perusahaan yang rela membayarnya untuk setiap unit disebut dengan praktik diskriminasi harga sempurna. Gagasan ini sangat tepat diilustrasikan menggunakan kasus ekstrim di mana sebuah perusahaan mengetahui berapa yang rela dibayarkan oleh setiap pembeli. Sebuah perusahaan yang rela membebankan jumlah maksimum kepada pembeli yang rela membayarnya untuk setiap unit disebut dengan praktik diskriminasi harga sempurna.”

Lebih lanjut Case dan Fair (2003:333) menjelaskan sebagai berikut :

“Adalah menarik untuk memperhatikan bahwa monopolis yang memberlakukan diskriminasi harga sempurna sebenarnya akan menghasilkan kuantitas output yang efisien yang sama dengan jumlah yang akan diproduksi oleh perusahaan kompetitif sempurna. Perusahaan akan terus berproduksi selama manfaat untuk konsumen melebihi biaya marjinalnya, produksi tidak akan berhenti. Namun bila monopolis

memberlakukan diskriminasi harga, perusahaan akan meraup manfaat bersih dari produksi yang lebih tinggi. Tidak ada kerugian deadweight, tapi tidak ada surplus konsumen juga.”

Menurut Conkling (2011:151) :

“More often the monopolist will attempt to increase his profits by setting a different price for different income groups. This can be done in several ways; mainly, however, by minor modification of the product, into higher priced “luxury” and lower priced “utility” models, or by selling the identical product at different prices in different grades of stores or in different localities. The principle underlying this practice, of course, is to exploit the market to the fullest extent by establishing class prices, whatever the basis of the classes may be. Whenever essentially the same product is sold at different prices, price discrimination is involved”

Dari uraian diatas, Conkling mencoba menjelaskan bahwa perusahaan yang

memberlakukan sistem monopoli akan berusaha mencoba meraup laba dengan

menetapkan harga yang berbeda untuk kelompok konsumen yang berbeda. Hal ini

dapat dilakukan melalui sedikit modifikasi terhadap produk yang dijualnya,

misalnya membuat produk tersebut menjadi terkesan mewah dan sempurna jika

ingin menjualnya dengan harga lebih tinggi. Atau dapat juga dengan cara menjual

produk yang sama dengan harga berbeda di beberapa tempat penjualan yang

berbeda atau di beberapa lokasi yang berbeda. Pada prinsipnya adalah untuk

memanfaatkan pasar seluas-luasnya dengan cara memberlakukan harga yang

berbeda untuk kelompok konsumen yang berbeda, dimana dalam hal ini praktik

diskriminasi harga pasti akan berlaku.

Stole (2006:5) menjelaskan mengenai syarat dapat diberlakukannya

diskriminasi harga sebagai berikut :

“It is well known that price discrimination is only feasible under certain conditions: (i) firms have short-run market power, (ii) consumers can be segmented either directly or indirectly, and (iii) arbitrage across differently priced goods is infeasible. Given that these conditions are satisfied, an individual firm will typically have an incentive to price discriminate, holding the behavior of other firms constant. The form of price discrimination will depend importantly on the nature of market power, the form of consumer heterogeneity, and the availability of various segmenting mechanisms. When a firm is a monopolist, it is simple to catalog the various forms of price discrimination according to the form of consumer segmentation ”

Dari uraian Stole diatas dapat diketahui bahwa ada beberapa syarat

diberlakukannya suatu diskriminasi harga, diantaranya adalah :

1. Perusahaan yang akan memberlakukan diskriminasi harga mempunyai

kekuatan pasar jangka pendek atau dengan kata lain konsumen tidak

memiliki banyak pilihan/substitusi produk lain.

2. Konsumen dapat disegmentasi atau dibagi dalam kelompok-kelompok

secara langsung ataupun tidak langsung, berdasarkan elastisitas

permintaan yang berbeda-beda.

3. Tidak diperkenankan untuk menjual produk dibawah harga pada

pangsa pasar yang dibebankan harga lebih tinggi.

4. Memungkinkan untuk memberlakukan harga produk yang berbeda-

beda sesuai dengan karakteristik/heterogenitas dari konsumen

Lebih lanjut Stole menjelaskan bahwa : “The form of price discrimination

will depend importantly on the nature of market power, the form of consumer

heterogeneity, and the availability of various segmenting mechanism”.

Dari uraian tersebut Stole menjelaskan bahwa bentuk diskriminasi harga

sendiri tergantung dari kekuatan pasar sendiri, heterogenitas konsumen dan

ketersediaan mekanisme segmentasi. Jika suatu perusahaan adalah perusahaan

monopoli, maka akan sangat mudah untuk memilih beberapa bentuk diskriminasi

harga berdasarkan segmentasi konsumen. Diskriminasi harga baru bisa ditetapkan

setelah dilakukan segmentasi terhadap konsumen.

Saat ini PLN telah menerapkan diskriminasi harga dengan membedakan

tarif sesuai dengan kelompok pelanggan (Rumah Tangga, Sosial, Bisnis, Industri)

dan membaginya dengan beberapa golongan tarif yang disesuaikan dengan daya

yang diajukan oleh pelanggan listrik pada saat permohonan pemasangan. Daya

yang diajukan oleh pelanggan biasanya disesuaikan dengan kemampuan dan atau

kebutuhan dari pelanggan tersebut.

Kottler dan Keller (2006:301) menyatakan : “Lepas dari jenis skema

segmentasi mana yang digunakan, yang penting adalah program pemasaran bisa

disesuaikan secara menguntungkan untuk mengenali perbedaan pelanggan.

Variabel segmentasi utama – segmentasi geografis, demografis, psikografis, dan

perilaku.”

Adapun menurut Dawyer dan Tanner (2008:139) :

“Definition of segmentation : a strategy that enables the firm to maximize the results of a given marketing effort by exploiting clearly identified strengths in relation to a submarket which is either inadequately satisfied by other (suppliers) or where the firm is particularly well placed to do an effective job”.

Selanjutnya Dawyer dan Tanner (2008:139) menambahkan :

“..market segmentation involves partitioning the general need for a solution to a class of problems into smaller clusters involving distinct markets. These clusters are composed of buyers or potential buyers that share similar traits, buying patterns, information needs, benefits sought, psychographic profiles, product experiences, industry participation, and the like. But the purpose is not to simply slice and dice, nor to produce snappy bubble charts or tables. The segments are meaningful to the extent they are differentially responsive to different marketing programs. And a business opportunity rests in segments where our firm has an ability to serve customers better than the rest at a profit”.

Uraian dari Kottler dan Keller serta Dawyer dan Tanner diatas

menjelaskan bahwa segmentasi dilakukan untuk memaksimalkan proses

marketing yang dilakukan oleh suatu perusahaan dengan mengeksploitasi

kekuatan pasar (konsumen). Praktek segmentasi akan membagi atau memisah-

misahkan solusi untuk berbagai jenis permasalahan ke dalam berbagai kelompok

(cluster) dengan pasar yang berbeda. Kelompok (cluster) ini terdiri dari konsumen

(buyer) potensial yang memiliki kesamaan sifat/karakter, pola beli, kebutuhan

informasi, profil psychographic, pengalaman memakai suatu produk, partisipasi,

dan sejenisnya. Pada intinya segmentasi sangat penting untuk mengetahui respon

yang berbeda-beda dari konsumen terhadap suatu produk. Dari praktek

segmentasi inilah akan terbuka suatu peluang bisnis dimana perusahaan

mempunyai kemampuan untuk dapat lebih melayani konsumennya dibandingkan

hanya untuk mencari keuntungan semata.

2.4 Analisis Kesenjangan (gap) Pembangunan Antar Daerah

Seperti telah penulis utarakan diatas bahwa PLN telah melakukan praktik

diskriminasi harga pada kelompok pelanggan yang telah disegmentasi

berdasarkan keperluan dan jenis usahanya, seperti Rumah Tangga, Bisnis,

Industri, Publik dan Sosial, dimana tarif yang dikenakan untuk setiap kelompok

pelanggan tersebut berbeda-beda. Pada dasarnya perbedaan tarif tidak hanya bisa

diterapkan berdasarkan keperluan dan jenis usahanya saja, karena setiap daerah

mempunyai karakteristik yang berbeda-beda pula terkait dengan permintaan

(demand) dan pasokan (supply) akan ketersediaan listrik di daerah tersebut.

Hal ini dapat terlihat dari adanya kesenjangan pembangunan antar

daerah/wilayah di Indonesia dimana kesenjangan pembangunan ini dapat terlihat

dari perbedaan aktivitas ekonomi yang tercermin dari Produk Domestik Regional

Bruto (PDRB), konsumsi rumah tangga, tingkat kemiskinan dan Pendapatan Asli

Daerah (PAD) yang berbeda-beda di setiap wilayah. Kesenjangan pembangunan

ini akan berpengaruh terhadap tingkat permintaan (demand) listrik di daerah yang

bersangkutan.

Adapun terkait dengan pasokan (supply) listrik, setiap daerah mempunyai

perbedaan akan ketersediaan sumber energi listrik, ketersediaan infrastruktur

kelistrikan serta keandalan (kualitas) listrik yang diterima untuk setiap daerah. Hal

ini mendasari terbitnya kebijakan tarif listrik regional di Indonesia yang tertuang

dalam Pasal 34 ayat (5) UU No 30 Tahun 2009 yang berbunyi : “Tarif tenaga

listrik untuk konsumen dapat ditetapkan secara berbeda di setiap daerah dalam

suatu wilayah usaha ”. Dengan demikian, dapat dikatakan pula bahwa penerapan

tarif berdasarkan UU ini adalah melakukan diskriminasi harga dengan melakukan

segmentasi tarif terlebih dahulu berdasarkan kemampuan daerah dalam suatu

wilayah usaha PLN.

Pada bulan Maret tahun 2010 atas permintaan dari PLN, dilakukan Studi

Tarif Dasar Listrik Untuk Menuju Tata Kelola Ketenagalistrikan Nasional Yang

Sehat yang dilaksanakan oleh Konsorsium 6 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di

Indonesia, yaitu Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas

Gadjah Mada, Universitas Dipenogoro, Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Surabaya dan Universitas Udayana. Salahsatu pokok kajian yang diteliti saat itu

adalah tentang rencana penerapan kebijakan pemberlakuan tarif listrik yang tidak

seragam atau berbeda untuk tiap wilayah dalam satu negara.

Menurut Hariyanto dalam hasil Studi Tarif Dasar Listrik Untuk Menuju

Tata Kelola Ketenagalistrikan Nasional Yang Sehat (6-2:2010) dan juga disajikan

dalam makalah untuk Seminar IV Teknologi dan Bisnis Ketenagalistrikan

Nasional Institut Teknologi Bandung yang diselenggarakan di Bandung pada

bulan November tahun 2011, berpendapat bahwa secara alamiah ada beberapa hal

yang menjadi dasar pemberlakuan tarif yang tidak seragam dalam sebuah negara.

Hal-hal tersebut adalah :

1. Kondisi beban yang terkonsentrasi dan pusat pembangkit yang

terkonsentrasi, menyebabkan adanya cluster-cluster sistem kelistrikan.

Dengan demikian pada aspek vertikal sistem ketenagalistrikan, secara

natural akan terjadi tarif diferensiasi antara beban terkonsentrasi di

pusat pembangkit dan beban yang lokasinya jauh dari pusat

pembangkit.

2. Adanya spektrum pendapatan per kapita atau PDRB per kapita

masyarakat yang cukup lebar. Hal ini menyebabkan pada aspek

horizontal di sisi beban perlu adanya tarif diferensiasi berbasis pada

mekanisme subsidi langsung pada areal/kondisi masyarakat tertentu.

3. Adanya spektrum kemampuan Pemerintah yang berbeda dalam

memberikan subsidi.

4. Komposisi horisontal sisi beban di setiap regional yang berbeda.

Terdapat area dengan “industri intensif” dan area dengan “pemukiman

intensif”, dengan keperluan terhadap ketersediaan mutu, dan keandalan

listrik yang berbeda.

5. Perlu ada dorongan untuk mengatasi adanya “shortage” energi listrik

dengan investasi pembangkit baru dan ekspansi jaringan transmisi &

distribusi baru. Kondisi ini memerlukan investasi baru dengan

konsiderasi pada kewajaran tarif listrik. “

Dengan demikian dari berbagai alasan diatas dapat disimpulkan bahwa

secara teknis perlu implementasi tarif regional non-uniform yang diharapkan

mampu mendorong peningkatan PDRB yang berimplikasikan pada kesejahteraan

masyarakat.

Lebih lanjut, Konsorsium 6 PTN (6-2:2010) menjelaskan :

“Mengacu pada faktor-faktor alamiah yang menjadi dasar penetapan kebijakan tarif listrik regional yang menitik beratkan pada kondisi konsumen, dapat disimpulkan bahwa terdapat faktor-faktor alamiah yang terkait dengan kondisi ekonomi dan terdapat faktor-faktor alamiah yang terkait dengan ketersediaan sumber energi primer dan infrastruktur kelistrikan. Dengan demikian regionalisasi dibangun berdasarkan faktor kondisi ekonomi dan faktor ketersediaan sumber energi primer dan infrastuktur kelistrikan. Secara umum perbedaan antar daerah dan wilayah yang menjadi faktor alamiah pembentuk kebijakan tarif listrik regional dikenal dengan istilah diskrepansi atau disparitas. Diskrepansi yang dimaksud adalah diskrepansi ekonomi antar wilayah dan diskrepansi ketersediaan sumber energi primer dan infrastruktur kelistrikan.”

Dalam teori pembangunan ekonomi daerah di Indonesia perbedaan kondisi

ekonomi antar wilayah dapat dijelaskan dengan pendekatan teoretik yang dikenal

sebagai teori development gap. Teori ini menyatakan meskipun pembangunan

ekonomi Indonesia telah memberikan hasil positif bila dilihat pada tingkat makro,

namun dilihat dari tingkat meso dan mikro, pembangunan telah menciptakan suatu

kesenjangan yang besar, baik dalam bentuk personal income distribution maupun

dalam bentuk kesenjangan ekonomi/pendapatan antar daerah/propinsi (Tambunan,

2001).

Dikaitkan dengan kajian yang terkait dengan regionalisasi, pernyataan dari

Tambunan diatas dapat memberikan suatu kesimpulan bahwa wilayah-wilayah

yang telah mencapai suatu kondisi ekonomi tertentu didorong untuk menjadi

region yang menerapkan tarif listrik pada tingkat keekonomiannya atau yang

dikenal sebagai tarif listrik regional.

2.5 Teori Development Gap

Tambunan (2001:179) mengatakan bahwa : “Ada sejumlah indikator yang

dapat digunakan dalam menganalisis development gap antar propinsi, diantaranya

adalah PDRB, konsumsi rumah tangga per kapita, kontribusi sektoral terhadap

PDRB, tingkat kemiskinan dan struktur fiskal”.

Berdasarkan pernyataan ini maka dapat dikatakan bahwa pengukuran

diskrepansi antar wilayah menurut teori development gap dapat dilakukan secara

kuantitatif. Indikator-indikator diskrepansi wilayah disusun berdasarkan analisis

distribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) antar wilayah. Diskrepansi

besaran PDRB antar wilayah secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh

pada berbagai ukuran kesejahteraan masyarakat antar wilayah. Ukuran-ukuran

kesejahteraan tersebut meliputi tingkat kemiskinan dan pencapaian pembangunan.

Ukuran-ukuran kesejahteraan tersebut jika digabung dengan indikator-indikator

yang digunakan dalam menganalisis distribusi PDRB menghasilkan gabungan

indikator diskrepansi ekonomi antar wilayah.

1) Produk Domestik Bruto (PDB)

Dalam situs Badan Pusat Statistik (www.bps.go.id) disebutkan : “salah

satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu negara dalam

suatu periode tertentu adalah data Produk Domestik Bruto (PDB), baik atas dasar

harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDB pada dasarnya merupakan

jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara

tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh

seluruh unit ekonomi. PDB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah

barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap

tahun, sedangkan PDB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang

dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun

tertentu sebagai dasar. PDB atas dasar harga berlaku dapat digunakan untuk

melihat pergeseran dan struktur ekonomi, sedang harga konstan digunakan untuk

mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun”.

Masih dalam situs yang sama, Badan Pusat Statistik menjelaskan bahwa

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah : “jumlah nilai tambah bruto

(gross value added) yang timbul dari seluruh sektor perekonomian di suatu

wilayah”. Wilayah disini adalah wilayah propinsi atau kabupaten/kota.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa PDB dan PDRB merupakan

indikator untuk mengatur sampai sejauh mana keberhasilan pemerintah pusat

(untuk PDB) atau pemerintah daerah (untuk PDRB) dalam memanfaatkan sumber

daya yang ada, dan dapat digunakan sebagai perencanaan dan pengambilan

keputusan.

Tambunan (2001:183) mengemukakan bahwa : “sejak tahun 1970-an

hingga saat ini sudah banyak studi empiris yang dilakukan untuk menganalisis

ketimpangan ekonomi antar propinsi. Diantaranya dari Sjafrizal tahun 1997 dan

tahun 2000 dengan memakai indeks Williamson. Indeks ini dapat dihitung dengan

formula sebagai berikut :

𝑉𝑤 =�∑ (𝑌𝑖 − 𝑌�)2𝑓𝑖𝑖

𝑌� , 0 < 𝑉𝑤 < 1

Dimana 𝑌𝑖 = pendapatan perkapita propinsi i, 𝑌� = pendapatan per kapita nasional,

𝑓𝑖 = jumlah penduduk di propinsi i, dan n = jumlah populasi nasional. Nilai indeks

ini antara 0 dan 1. Bila nilainya mendekati 0 berarti distribusi PDB menurut

propinsi sangat merata, dan sebaliknya bila nilainya mendekati 1 berarti tingkat

disparitas sangat tinggi.

2) Konsumsi Rumah Tangga Perkapita

Selain PDRB, pengeluaran konsumsi rumah tangga perkapita juga

merupakan salah satu alat ukur untuk melihat perbedaan tingkat pembangunan

ekonomi atau kesejahteraan masyarakat antar propinsi.

Konsumsi rumah tangga per kapita dijelaskan dalam situs Badan Pusat

Statistik (www.bps.go.id) sebagai berikut : “Rumah tangga merupakan konsumen

atau pemakai barang dan jasa sekaligus juga pemilik faktor-faktor produksi tenaga

kerja, lahan, modal dan kewirausahaan. Rumah tangga menjual atau mengelola

faktor-faktor produksi tersebut untuk memperoleh balas jasa. Balas jasa atau

imbalan tersebut adalah upah, sewa, bunga dividen, dan laba yang merupakan

komponen penerimaan atau pendapatan rumah tangga. Ada dua cara penggunaan

pendapatan. Pertama, membelanjakannya untuk barang-barang konsumsi. Kedua,

tidak membelanjakannya seperti ditabung. Pengeluaran konsumsi dilakukan untuk

mempertahankan taraf hidup.

Pada tingkat pendapatan yang rendah, pengeluaran konsumsi umumnya

dibelanjakan untuk kebutuhan-kebutuhan pokok guna memenuhi kebutuhan

jasmani. Konsumsi makanan merupakan faktor terpenting karena makanan

merupakan jenis barang utama untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Akan

tetapi terdapat berbagai macam barang konsumsi (termasuk sandang, perumahan,

bahan bakar, dan sebagainya) yang dapat dianggap sebagai kebutuhan untuk

menyelenggarakan rumah tangga. Keanekaragamannya tergantung pada tingkat

pendapatan rumah tangga. Tingkat pendapatan yang berbeda-beda mengakibatkan

perbedaan taraf konsumsi.”

Menurut Tambunan (2001:185) : “Secara hipotesis dapat dikatakan bahwa

semakin tinggi pendapatan per kapita di suatu daerah semakin tinggi pengeluaran

konsumsi per kapita di daerah tersebut. Tentu dengan dua asumsi, yaitu pertama,

saving behavior dan masyarakat tidak berubah (rasio tabungan terhadap PDRB

tetap tidak berubah), dan, kedua, pangsa kredit di dalam pengeluaran konsumsi

rumah tangga juga konstan. Tanpa kedua asumsi ini, tinggi-rendahnya

pengeluaran konsumsi rumah tangga tidak mencerminkan tinggi rendahnya

tingkat pendapatan per kapita di daerah tersebut.”

3) Kontribusi Sektoral Terhadap PDRB

Perbedaan tingkat pembangunan dapat juga dilihat dari perbedaan peranan

sektoral dalam pembentukan PDRB. Menurut Tambunan (2001:188): “Secara

hipotesis dapat dirumuskan bahwa semakin besar peranan sektor ekonomi yang

memiliki nilai tambah tinggi seperti industri manufaktur terhadap pembentukan

atau pertumbuhan PDRB di suatu wilayah, semakin tinggi pertumbuhan PDRB di

wilayah tersebut.” Selain sektor industri manufaktur, sektor bisnis seperti

perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor yang menentukan tingginya

pertumbuhan PDRB di suatu wilayah.

4) Struktur Fiskal

Ketimpangan ekonomi regional dapat juga dilihat dari ketimpangan dalam

struktur fiskal pusat dan daerah antar propinsi. Latar belakang teorinya adalah

sebagai berikut (Tambunan, 2001:190) : “Daerah yang tingkat pembangunannya

tinggi, dilihat dari tingkat pendapatan riil per kapita yang tinggi, penerimaan

pemerintah daerah tersebut (pendapatan asli daerah, PAD) juga tinggi.”

5) Tingkat Kemiskinan

Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan (poverty line)

dapat digunakan sebagai indikator mengenai ketimpangan ekonomi regional.

Kalau dilihat dari jumlah penduduk miskin di Indonesia, lebih dari 55% terdapat

di Pulau Jawa. Tambunan (2001:190) mengatakan bahwa : “Jawa sebagai pusat

kemiskinan di Indonesia erat kaitannya dengan angka kepadatan penduduk di

Jawa, yang memang paling tinggi dibandingkan di propinsi-propinsi lain di tanah

air. Fakta ini cenderung mengatakan bahwa ada suatu korelasi positif antar

population density dan tingkat kemiskinan. Semakin tinggi jumlah penduduk per

km2, atau per hektar, semakin sempit ladang untuk bertani atau untuk membangun

pabrik, yang berarti semakin kecil kesempatan kerja dan sumber pendapatan,

maka berarti semakin besar persentase penduduk yang berada di bawah garis

kemiskinan.”

Dari penjelasan Tambunan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa jika

tingkat kemiskinan rendah, maka tingkat kesejahteraan semakin tinggi. Dengan

tingkat kesejahteraan yang baik maka tingkat konsumsi rumah tangga masyarakat

akan tinggi sehingga konsumsi terhadap listrik pun cenderung tinggi. Dengan

tingkat kesejahteraan yang tinggi, diasumsikan konsumen listrik dapat membayar

listrik pada harga keekonomiannya.

Harga keekonomian atau economic price menurut

http://www.businessdictionary.com/definition mempunyai pengertian : “Selling

price that includes direct, indirect, and hidden costs like downtime and

opportunity cost.” Dari pengertian ini, harga keekonomian dapat diartikan

sebagai harga atas dasar perhitungan seluruh biaya langsung dan tidak langsung,

dan biaya tersembunyi seperti biaya kesempatan (opportunity cost) dan juga

downtime cost. Harga ini berarti pula harga pasar yang didalamnya telah

memperhitungkan biaya produksi dan juga biaya overhead.

2.6 Teori Infrastructure Electricity Gap

Diskrepansi ketersediaan sumber energi primer dan infrastruktur kelistrikan

dapat dijelaskan dan dianalisis menggunakan teori infrastructure electricity gap.

Menurut Hariyanto dalam hasil Studi Tarif Dasar Listrik Untuk Menuju Tata

Kelola Ketenagalistrikan Nasional Yang Sehat (6-8:2010) yang kemudian

disajikan pula dalam makalah untuk Seminar IV Teknologi dan Bisnis

Ketenagalistrikan Nasional Institut Teknologi Bandung yang diselenggarakan di

Bandung pada bulan November tahun 2011, berpendapat bahwa : “Dalam kajian

yang terkait dengan regionalisasi, terdapat dua pendekatan yang digunakan dalam

analisis diskrepansi infrastruktur kelistrikan. Kedua pendekatan tersebut adalah :

1. Pendekatan mempertahankan keberlanjutan pasokan listrik.

Pendekatan ini dibangun dengan asumsi daerah atau wilayah dimana

infrastruktur kelistrikannya telah mencapai tingkat kehandalan yang

baik didorong untuk memberlakukan kebijakan tarif listrik regional.

Kebijakan tersebut akan minimal mempertahankan keberlanjutan

pasokan listrik dengan tingkat kehandalan yang baik.

2. Pendekatan mendorong pembangunan infrastruktur kelistrikan

Pendekatan ini dibangun dengan asumsi daerah atau wilayah dimana

pemerintah daerahnya memiliki kemampuan keuangan yang baik

dengan keinginan meningkatkan kehandalan pasokan listrik tapi

memiliki keterbatasan infrastruktur kelistrikan dapat didorong

memberlakukan kebijakan tarif listrik regional.

Pendekatan pertama pada teori infrastructure electricity gap akan

menempatkan daerah atau wilayah dengan infrastruktur kelistrikan yang lebih

baik sebagai daerah yang didorong menerapkan kebijakan tarif listrik regional.

Daerah atau wilayah tersebut adalah daerah atau wilayah yang secara agregat

menunjukkan density (kerapatan) infrastruktur distribusi listrik yang tinggi.

Pendekatan kedua pada teori infrastructure electricity gap akan

menempatkan daerah atau wilayah dengan infrastruktur kelistrikan yang kurang

baik sebagai daerah yang didorong menerapkan kebijakan tarif listrik regional.

Daerah atau wilayah tersebut adalah daerah atau wilayah yang secara agregat

menunjukkan density infrastruktur distribusi listrik yang rendah, namun memiliki

kemampuan keuangan yang baik.

Selain itu, ketersediaan energi primer adalah indikator lain selain density

infrastruktur kelistrikan. Daerah dengan ketersediaan energi primer yang

melimpah semestinya menanggung tarif listrik yang lebih rendah dari daerah yang

jauh dari sumber-sumber energi primer untuk pembangkitan.

Lebih lanjut Hariyanto mengemukakan, bahwa dari kedua pendekatan

diskrepansi infrastruktur kelistrikan ditambah ketersediaan energi primer dapat

ditetapkan 2 indikator yang digunakan dalam menetapkan region bagi daerah

pelaksana kebijakan tarif listrik regional. Kedua indikator tersebut adalah :

1. Ketersediaan energi primer

2. Density (kerapatan) infrastruktur distribusi listrik

Ketersediaan energi primer diukur dengan jumlah agregat energi primer

yang terdapat dalam suatu daerah atau wilayah. Density infrastruktur sistem

distribusi listrik dibagi kedalam 2 indikator yaitu density saluran distribusi dan

density kapasitas gardu distribusi. Density saluran distribusi didefenisikan sebagai

panjang saluran distribusi per luas area di wilayah atau daerah i. Dalam bentuk

persamaan matematika dapat dituliskan seperti pada persamaan 3.1 berikut :

(3.1)

σTDi = kepadatan saluran distribusi di wilayah i

l TDi = panjang saluran distribusi di wilayah i

Ai = luas area wilayah i

Sedangkan density kapasitas gardu distribusi didefenisikan sebagai

kapasitas gardu distribusi per luas area di wilayah atau daerah i. Dalam bentuk

persamaan matematika dapat dituliskan seperti pada persamaan 3.2 :

σkgd = kepadatan kapasitas gardu distribusi di wilayah i

mkgd = kapasitas gardu distribusi di wilayah i

Ai = luas area wilayah i

∑∑=

i

TDiTDi A

σ

∑∑

=i

kgdkgd A

2.7 Gabungan Pendekatan Development Gap dan Infrastructure Electricity Gap

Dengan menggabungkan kedua pendekatan ini dapat dikatakan daerah atau

wilayah yang didorong melaksanakan kebijakan tarif listrik regional adalah daerah

yang memiliki kombinasi karakteristik berikut :

1. tingkat kesejahteraan yang baik, yang dapat dilihat dari Produk Domestik

Bruto perkapita, peranan/kontribusi sektoral dalam pembentukan PDRB

yaitu sektor industri dan bisnis, konsumsi rumah tangga perkapita, dan

tingkat kemiskinan dari daerah tersebut.

2. kemampuan keuangan pemerintah daerah yang kuat, yang dapat dilihat dari

Pendapatan Asli Daerah (PAD) tersebut

3. keandalan listrik yang tinggi

4. ketersediaan energi primer

5. memiliki infrastruktur kelistrikan yang terbatas atau memiliki infrastruktur

kelistrikan yang handal yang dapat dilihat dari density saluran distribusi dan

density kapasitas gardu distribusi.

Karakteristik poin 1 sampai dengan 2 merupakan karakteristik berdasarkan

pendekatan teori Development Gap, sedangkan poin 3 sampai dengan 5 adalah

karakteristik yang dibentuk berdasarkan pendekatan Infratructure Electricity Gap.

Daerah atau wilayah yang secara agregat berada dalam kelompok dengan

karakteristik yang sama dapat dikelompokkan membentuk region-region. Region

yang telah mencapai karakteristik daerah pelaksana kebijakan tarif listrik regional

disebut sebagai region tarif listrik regional. Region berikutnya secara berurutan

adalah region-region yang memiliki jarak terdekat dari region yang diinginkan

sampai pada region yang terjauh dari yang diinginkan.

2.8 Kerangka Pemikiran

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran

2.9 Proposisi

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dipaparkan pada bagian 2.8 diatas,

Penulis menetapkan proposisi sebagai berikut :

Strategi Penerapan Tarif Listrik berdasarkan Kesenjangan (gap) Antar Kota/kabupaten, Dilihat Dari :

Tingkat Permintaan (Demand) yang berbeda, dilihat dari :• Aktivitas Ekonomi è PDRB• Konsumsi Rumah Tangga• Kontribusi Sektor

Industri&Bisnis terhadap PDRB• Tingkat Kemiskinan • Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Tingkat Pasokan (Supply) yang berbeda, dilihat dari :• Infrastuktur Kelistrikan• Keandalan listrik yang

diterima• Ketersediaan sumber energi

primer

Development Gap Infrastructure Electricity Gap

TARIF LISTRIK REGIONAL(Tarif listrik yang berbeda sesuai dengan

karakteristik dari setiap daerah

Peraturan Pemerintah Republik IndonesiaNomor 23 Tahun 1994, tentang

Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero)

Kewajiban PLN sebagai Persero, menerapkan tarif listrik yang :• Sesuai dengan misi Public Service Obligation (PSO)• Menghasilkan Keuntungan

Teori Diskriminasi Harga(Tarif listrik yang berbeda sesuai dengan

Supply & Demand dari setiap daerah)

Analisis kesenjangan pembangunan (development gap) serta kesenjangan

ketersediaan infrastruktur kelistrikan (infrastructure electricity gap) antar wilayah

akan menghasilkan suatu strategi penerapan tarif listrik regional yang sesuai

dengan karakteristrik setiap wilayah/region.