bab iv hasil dan pembahasan -...

135
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 4.1.1 Kondisi Geografis Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5º50' - 7º50' Lintang Selatan dan 104 º 48' - 108 º 48' Bujur Timur, dengan batas-batas wilayahnya: Sebelah Utara, berbatasan dengan Laut Jawa dan DKI Jakarta Sebelah Timur, berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah Sebelah Selatan, berbatasan dengan Samudra Indonesia Sebelah Barat, berbatasan dengan Provinsi Banten Jawa Barat memiliki lahan yang subur, sebagian besar dari luas tanahnya digunakan untuk pertanian. Ini lebih dimungkinkan karena Jawa Barat yang beriklim tropis. Luas wilayah Propinsi Jawa Barat adalah 34.816,96 km², terdiri dari 17 kabupaten, 9 kota, 558 kecamatan dan 5.778 desa atau kelurahan. Secara geografis, letak Propinsi Jawa Barat yang berdekatan dengan ibukota negara menyebabkan Jawa Barat sering disebut sebagai propinsi penyangga ibukota. Posisi strategis tersebut memberikan keuntungan bagi Jawa Barat dari segi komunikasi dan perhubungan.

Upload: truongtruc

Post on 09-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.1.1 Kondisi Geografis

Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5º50' - 7º50'

Lintang Selatan dan 104 º 48' - 108 º 48' Bujur Timur, dengan batas-batas

wilayahnya:

− Sebelah Utara, berbatasan dengan Laut Jawa dan DKI Jakarta

− Sebelah Timur, berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah

− Sebelah Selatan, berbatasan dengan Samudra Indonesia

− Sebelah Barat, berbatasan dengan Provinsi Banten

Jawa Barat memiliki lahan yang subur, sebagian besar dari luas tanahnya

digunakan untuk pertanian. Ini lebih dimungkinkan karena Jawa Barat yang

beriklim tropis. Luas wilayah Propinsi Jawa Barat adalah 34.816,96 km², terdiri

dari 17 kabupaten, 9 kota, 558 kecamatan dan 5.778 desa atau kelurahan.

Secara geografis, letak Propinsi Jawa Barat yang berdekatan dengan ibukota

negara menyebabkan Jawa Barat sering disebut sebagai propinsi penyangga ibukota.

Posisi strategis tersebut memberikan keuntungan bagi Jawa Barat dari segi

komunikasi dan perhubungan.

Page 2: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Topografi wilayah Jawa Barat bagian Utara adalah daerah berdataran rendah,

sedangkan wilayah Jawa Barat bagian selatan adalah daerah berbukit-bukit dengan

sedikit pantai. Selain itu wilayah Jawa Barat bagian tengah adalah dataran tinggi

bergunung-gunung. Kawasan pantai utara Propinsi Jawa Barat merupakan dataran

rendah. Di bagian tengah merupakan pegunungan, yakni bagian dari rangkaian

pegunungan yang membujur dari barat hingga timur Pulau Jawa. Titik

tertingginya adalah Gunung Ciremai, yang berada di sebelah barat daya Kota

Cirebon. Sungai-sungai yang cukup penting adalah Sungai Citarum dan Sungai

Cimanuk, yang bermuara di Laut Jawa.

Jawa Barat memiliki lahan yang subur yang berasal dari endapan vulkanis.

Banyaknya aliran sungai menyebabkan sebagian besar dari luas tanah di wilayah

propinsi Jawa Barat digunakan untuk pertanian. Pengembangan pertanian di Jawa

Barat dimungkinkan karena secara umum Jawa Barat beriklim tropis. Pada tahun

2008, Kota Bandung sebagai Ibukota Propinsi Jawa Barat memiliki curah hujan yang

tertinggi pada bulan Desember yang mencapai 332,8 mm, sedangkan curah hujan

terendah terjadi pada bulan Juli yaitu 3,6 mm. Kecepatan angin rata-rata selama tahun

2008 sebesar 2 knot dengan tekanan udara sebesar 922,6 mb dan kelembaban nisbi

mencapai 79 persen. Sementara pada tahun 2009 bulan Juni kecepatan rata-rata angin

berkisar 1,8 knot dengan kelembaban nisbi 82 persen.

Page 3: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Gambar 4.1. Peta wilayah Propinsi Jawa Barat

4.1.1 Kondisi Demografis

Pada tahun 2010 jumlah penduduk di Kabupaten /Kota Jawa Barat yang

paling banyak ada di Kabupaten Bogor, yaitu sebesar 4,4 juta jiwa dan diikuti oleh

Kabupaten Bandung 3,1 juta jiwa. Hal ini tidak berbeda dengan kondisi di tahun

sebelumnya. Sedangkan penduduk terkecil berada di kota Banjar yaitu sebanyak

0,18 juta jiwa.

Jumlah rumah tangga pada tahun 2009 di Jawa Barat mencapai 11.316.592

rumah tangga, dengan rata-rata per rumah tangga 4 anggota. Jumlah Rumah

tangga tertinggi berada di Kabupaten Bogor, yaitu 1.037.408 rumah tangga,

Kabupaten Bandung sebesar 763.824 rumah tangga dan ketiga terbesar adalah

Kota Bandung sebesar 721.920 rumah tangga. Menurut Hasil Angka Sementara

Page 4: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Sensus Penduduk (SP) jumlah penduduk Jawa Barat pada tahun 2010 mencapai

43.021.826 jiwa.

Bedasarkan periode Sensus per sepuluh tahun pada tahun 1980 sebesar

23,4 juta, tahun 1990 sebesar 29,4 juta dan pada tahun 2000 mencapai 35,7 juta.

Sex rasio hasil angka sementara sensus pada tahun 2010 sebesar 103,46 naik bila

dibandingkan tahun 2000 sebesar 102,11 ataupun tahun 1990 sebesar 100,97

persen. Pada tahun 2010 Laju Pertumbuhan Penduduk sebesar 1,89 persen,

Kepadatan Penduduk 1.159 orang/km, dengan luas wilayah sebesar 371.164,54

km2.

Jumlah Penduduk Miskin di Jawa Barat sebesar 4.852.520 ribu jiwa.

Adapun penduduk miskin tertinggi berada di Kabupaten Bogor yaitu 446,04 ribu

jiwa atau 9,19 persen, dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu jiwa atau

0,30 persen. Persentase penduduk miskin di Jawa Barat sebesar 11,58 persen,

tertinggi ada di Kota Tasikmalaya yaitu sebesar 23,55 persen, disusul oleh

Kabupaten Cirebon sebesar 18,22 persen, terendah ada di kabupaten Bekasi 5,97

persen. Garis Kemiskinan di Jawa Barat tahun 2009 sebesar Rp. 220.068,- per

kapita per bulan, tertinggi ada di kota Bekasi sebesar Rp. 299.432,- per kapita /

bulan dan terendah ada di Kota Banjar yaitu Rp. 179.144,- per kapita per bulan.

Jumlah penduduk, laju pertumbuhan penduduk dan kepadatan penduduk

tiap kota dan kabupaten di wilayah Jawa Barat dan Banten adalah sebagai

berikut :

Page 5: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Tabel 4.1. Jumlah Penduduk, Laju Pertumbuhan Penduduk Dan Kepadatan Penduduk Tiap Kota Dan Kabupaten Di Jabar Dan Banten Tahun 2010

NO. KABUPATEN/KOTA Jumlah Penduduk

Laju Pertumbuhan Penduduk

(%)

Luas Wilayah

(km2)

Kepadatan Penduduk

(orang/km2)

1 Kab. Bogor 4.453.927 3.13 2997.13 1.589 2 Kab. Sukabumi 2.293.742 1.22 4160.75 562 3 Kab. Cianjur 2.189.328 1.10 3594.65 603 4 Kab. Bandung 3.148.951 2.56 1756.65 1.807 5 Kab. Garut 2.504.237 1.60 3094.40 776 6 Kab. Tasikmalaya 1.860.157 0.88 2702.85 619 7 Kab. Ciamis 1.615.759 0.47 2740.76 558 8 Kab. Kuningan 1.173.528 0.53 1189.60 872 9 Kab. Cirebon 2.211.186 0.68 1071.65 1.928

10 Kab. Majalengka 1.219.145 0.40 1343.95 868 11 Kab. Sumedang 1.143.992 1.21 1560.49 699 12 Kab. Indramayu 1.827.878 0.46 2092.10 795 13 Kab. Subang 1.486.412 0.96 2164.48 675 14 Kab. Purwakarta 819.005 1.99 989.89 860 15 Kab. Karawang 2.134.389 1.76 1914.16 1.110 16 Kab. Bekasi 2.121.122 4.69 1269.51 2.071 17 Kab.Bandung Barat 1.548.434 1.99 1335.60 1.184 18 Kota Bogor 895.596 2.39 111.73 8.494 19 Kota Sukabumi 311.559 1.73 48.96 6.112 20 Kota Bandung 2.510.982 1.15 168.23 14.228 21 Kota Cirebon 304.152 0.84 40.16 7.364 22 Kota Bekasi 2.176.743 3.48 213.58 10.939 23 Kota Depok 1.465.826 4.30 199.44 8.707 24 Kota Cimahi 547.862 2.06 41.20 13.134 25 Kota Tasikmalaya 640.324 1.86 184.38 3.440 26 Kota Banjar 185.993 1.14 130.86 1.338 27 Kab.Pandeglang 1.099.746 0.96 2746.91 398 28 Kab.Lebak 1.258.893 2.29 3044.72 405 29 Kab. Serang 1.345.557 1.25 1704.12 1.072 30 Kota Serang 1.554.827 1.82 187.00 8.192 31 Kota Cilegon 349.162 1.93 176.00 1.958 Rata-rata 1.627.347 1.75 1441.76 3.326

Sumber : Biro Pusat Statisik, 2010

Page 6: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

4.1.2 Kondisi Ketenagalistrikan di Wilayah Jawa Barat dan Banten

Kebutuhan tenaga listrik di wilayah Jawa Barat dan Bali dipenuhi dari

sistem interkoneksi Jamali, pembangkit captive, serta pembangkit isolated.

Pembangkit captive adalah pembangkit yang produksi listriknya terutama

digunakan untuk keperluan sendiri. Pada beberapa pembangkit captive, kelebihan

listrik yang diproduksi juga dijual kepada masyarakat umum. Sedangkan

pembangkit isolated adalah pembangkit yang berdiri sendiri untuk melayani

beban pada daerah setempat. Di Propinsi Banten terdapat banyak industri yang

menggunakan captive power yang diperkirakan mencapai 2.330 MW antara lain

PT Krakatau Daya Listrik yang memiliki PLTU gas alam sebesar 400 MW yang

waktu malam hari telah menjual listriknya ke PT. PLN (Persero) sebesar 80 MW.

Pembangkit besar yang ada di Propinsi Banten adalah PLTU Suralaya dengan

total kapasitas terpasang 3.400 MW.

Penduduk Jawa Barat pada tahun 2002 mencapai 37 juta jiwa, dengan

jumlah desa 5.593. Desa berlistrik sudah mencapai hampir 100% sedangkan rasio

elektrifikasi baru mencapai 55%. Penjualan tenaga listrik di Propinsi Jawa Barat

mencapai 25.840 GWH sampai dengan Desember 2003 dengan komposisi 57%

pelanggan industri, rumah tangga 35%, sektor komersial 6% dan umum kurang

lebih 2%. Perkembangan penjualan tenaga listrik tahun 1999-2003 menunjukkan

bahwa konsumsi tenaga listrik telah tumbuh sebesar 7% per tahun.

Page 7: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

4.1.3.1 Jumlah Pelanggan Listrik

Realisasi jumlah pelanggan PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten selama

tahun 2003-2008 mengalami peningkatan dari 6.467.737 menjadi 8.146.194 atau

bertambah rata-rata 321.275 pelanggan tiap tahunnya. Penambahan pelanggan

terbesar masih terjadi pada sektor rumah tangga, yaitu rata-rata 296.383 per-tahun,

dan diikuti sektor komersil dengan rata-rata 13.334 pelanggan per-tahun dan

sektor publik rata-rata 11.448 pelanggan per-tahun.

Tabel 4.2. Jumlah Pelanggan Listrik Di Wilayah PLN Distribusi Jawa Barat Dan Banten Menurut Sektor Pelanggan Dalam Enam Tahun Terakhir

JENIS TARIF UNIT 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Rumah Tangga Plg 6.138.618 6.360.947 6.636.039 6.757.604 7.306.318 7.684.353

Komersil Plg 169.738 180.335 192.315 340.277 219.393 242.218

Publik Plg 148.939 159.703 169.468 181.622 196.228 208.626

Industri Plg 10.442 10.467 10.554 10.434 10.696 10.997

Total Plg 6.467.737 6.711.452 7.008.376 7.289.937 7.732.635 8.146.194

Growth % 4.0 3.8 4.4 4.0 6.1 5.3

Growth Rata-rata % 4.7

Delta Pelanggan Plg 249.193 243.715 296.924 281.561 442.698 413.559

Sumber : Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2010-2019

Tabel 4.2 di atas menunjukkan perkembangan jumlah pelanggan PLN

Distribusi Jawa Barat dan Banten menurut sektor pelanggan dalam enam tahun

terakhir.

Page 8: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

4.1.3.2 Rasio Elektrifikasi

Rasio elektrifikasi didefinisikan sebagai jumlah rumah tangga yang sudah

berlistrik dibagi dengan jumlah rumah tangga yang ada di wilayah PLN Distribusi

Jawa Barat dan Banten. Perkembangan rasio elektrifikasi PLN Distribusi Jawa

Barat dan Banten dari tahun ke tahun mengalami kenaikan, yaitu dari 56,84%

pada tahun 2003 menjadi 64,37% pada tahun 2008. Pada Tabel 4.5 diperlihatkan

perkembangan rasio elektrifikasi di wilayah PLN Distribusi Jawa Barat dan

Banten.

Tabel 4. 3. Rasio Elektrifikasi PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten

URAIAN UNIT 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Rasio Elektrifikasi % 56.84 56.58 56.21 56.36 60.17 64.37

Jumlah RT (x000) Rumah 10800 11242 11806 11990 12065 11938 Pelanggan RT (x000) Rumah 6138.6 6360.9 6636 6757.6 7306.3 7684.4

Sumber : Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2010-2019

Adapun rasio elektrifikasi Jawa Barat berdasarkan Data Direktorat

Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi (DJLPE) Departemen Energi dan

Sumber Daya Mineral RI tahun 2010 adalah 67,40 %, dan Banten sebesar 63.9%.

Perbandingan rasio elektrifikasi Jawa Barat dengan propinsi-propinsi lainnya di

Indonesia ditampilkan pada tabel berikut ini :

Tabel 4.4. Rasio Elektrifikasi Jawa Barat Dan Propinsi Lain Di Indonesia

NO. PROPINSI RASIO ELEKTRIFIKASI (%)

1 Nanggroe Aceh Darussalam 76.98 2 Sumatera Utara 69.68 3 Sumatera Barat 69.73 4 Riau 55.84 5 Jambi 51.41

NO. PROPINSI RASIO

Page 9: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

ELEKTRIFIKASI (%) 6 Sumatera Selatan 50.30 7 Bengkulu 51.46 8 Lampung 48.82 9 Kepulauan Bangka Belitung 72.88

10 Kepulauan Riau 55.84 11 DKI Jakarta 100.00 12 Jawa Barat 67.40 13 Jawa Tengah 71.24 14 DI. Yogyakarta 84.48 15 Jawa Timur 71.55 16 Banten 63.90 17 Bali 74.98 18 Kalimantan Barat 48.83 19 Kalimantan Tengah 45.22 20 Kalimantan Selatan 72.29 21 Kalimantan Timur 68.56 22 Sulawesi Utara 66.87 23 Sulawesi Tengah 48.30 24 Sulawesi Selatan 55.20 25 Sulawesi Tenggara 38.09 26 Gorontalo 49.79 27 Sulawesi Barat 55.20 28 Nusa Tenggara Barat 32.51 29 Nusa Tenggara Timur 24.55 30 Maluku 54.51 31 Maluku Utara 49.44 32 Papua Barat 32.35 33 Papua 32.35 Rata-rata 57.90

Sumber : DJLPE DEP ESDM RI, 2010

Rasio elektrifikasi Jawa Barat berdasarkan tabel 4.6 berada diatas rata-rata

rasio elektrifikasi nasional. Meskipun demikian, rasio elektrifikasi Jawa Barat adalah

terendah setelah Propinsi Banten jika dibandingkan dengan propinsi-propinsi lain

yang kebutuhan energi listriknya dipasok oleh sistem kelistrikan Jamali. Rasio

elektrifikasi Jawa Barat juga lebih rendah dari rasio elektrifikasi beberapa propinsi di

luar Pulau Jawa seperti Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (76,98 %), Sumatera

Utara (69,8 %), Sumatera Barat (69,37%), Kepulauan Bangka Belitung (72,88 %),

Page 10: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Kalimantan Selatan (72,29 %) dan Kalimantan Timur (68,56 %). Rasio elektrifikasi

Jawa Barat memang lebih tinggi dibandingkan rasio elektrifikasi propinsi-propinsi di

kawasan timur Indonesia yang meliputi Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, Pulau

Papua dan Kepulauan Nusa Tenggara. Tetapi perbandingan data rasio elektrifikasi

tersebut menunjukkan infrastruktur kelistrikan di Propinsi Jawa Barat belum

menyentuh seluruh rumah tangga yang terdapat di Propinsi Jawa Barat

Rasio elektrifikasi setiap kota/kabupaten di wilayah Jawa Barat dan

Banten adalah sebagai berikut :

Grafik 4.1.Rasio Elektrifikasi Kota dan Kabupaten di Wilayah Jawa Barat dan Banten

Sumber : Data Statistik PLN Jawa Barat dan Banten Tahun 2010

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90%

Kab.Bogor

Cianjur

Garut

Ciamis

Kab.Cirebon

Sumedang

Subang

Karawang

Bandung Barat

Pandeglang

Bogor

Bandung

Bekasi

Cimahi

Banjar

Banten

80% 58%

52% 58%

53% 60% 60%

63% 66%

54% 64% 64%

66% 81%

74% 67%

67% 66% 66%

70% 85%

73% 78%

62% 82%

81% 68%

77% 75%

78% 69%

Rasio Elektrifikasi (%)

Page 11: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Grafik diatas menunjukkan masih belum meratanya rasio elektrifikasi di

beberapa kota dan kabupaten di Jawa Barat dan Banten. Hal ini menunjukkan pula

belum meratanya infrastruktur kelistrikan di wilayah Jawa Barat dan Banten.

Beberapa wilayah seperti di Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Kabupaten Bandung,

Garut dan Majalengka rasio elektrifikasinya masih rendah, yaitu masih dibawah

60%. Sedangkan Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Bekasi dan Kota Depok

rasio elektrifikasinya sudah lebih dari 80%.

4.1.3.3 Kapasitas Pembangkit

Pada tahun 2008 kapasitas terpasang pembangkit yang ada di wilayah PT

PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten adalah 8.411,80 MW. Dengan

terus meningkatnya beban puncak, maka reserve margin pada tahun 2008

diperkirakan akan menurun. Ditambah lagi dengan beberapa permasalahan

operasional seperti pasokan BBM dan batubara yang sering tersendat, pasokan gas

yang menurun, derating, dan kerusakan pembangkit, maka kondisi tersebut

mengakibatkan pada periode waktu beban puncak (WBP) di wilayah PLN

Distribusi Jawa Barat dan Banten beberapa waktu yang lalu mengalami

kekurangan daya dan energi. Untuk mempertahankan keseimbangan pasokan dan

kebutuhan listrik terpaksa dilakukan pemadaman. Pembangkit yang ada di

wilayah PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten berdasarkan jenis pembangkit dan

pengelolaannya dapat dilihat pada tabel berikut:

Page 12: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Tabel 4. 5 Kapasitas Terpasang Pembangkit Tahun 2008

Pembangkit Kapasitas MVA Unit Pengelola Lokasi Keterangan

PLTA Ubrug 18.4 Indonesia Power Sukabumi Milik PLN PLTA Kracak 18.9 Indonesia Power Bogor Milik PLN PLTA Plengan 6.9 Indonesia Power Pangalengan Milik PLN PLTA Lamajan 19.5 Indonesia Power Pangalengan Milik PLN PLTA Cikalong 18 Indonesia Power Pangalengan Milik PLN PLTA Bengkok 3.9 Indonesia Power Dago Milik PLN PLTA Parakan 9.9 Indonesia Power Sumedang Milik PLN PLTA Saguling 698.4 Indonesia Power Cianjur Milik PLN

PLTA Cirata 948 Pembangkitan Jawa

Bali Purwakarta Milik PLN PLTA Jatiluhur 180 PO Jasa Tirta Purwakarta Milik Swasta PLTU Suralaya 3209 Indonesia Power Banten Milik Swasta PLTU Labuan 300 PLTU Labuan Pandeglang Milik PLN PLTU Sumurade 300 PLTU Sumuradem Indramayu Milik PLN PLTU Krakatau DL -

Krakatau Daya Listrik Banten Milik Swasta

PLTGU Cilegon 460 PLTGU Cilegon Banten Milik PLN PLTGU Muaratawar 840 PLTGU Muaratawar Bekasi Milik PLN PLTGU Muaratawar 585

Pembangkitan Jawa Bali Bekasi Milik PLN

PLTGU Muaratawar 270

Pembangkitan Jawa Bali Bekasi Milik PLN

PLTG Sunyaragi 72 Indonesia Power Cirebon Milik PLN PLTG Cikarang 150 Cikarang Listerindo Bekasi Milik Swasta PLTP Salak 170 Indonesia Power Bogor Milik PLN PLTP Kamojang 132 Indonesia Power Garut Milik PLN PLTP Darajat 52 Indonesia Power Garut Milik PLN PLTP Salak 4-5-6 183

Daya Bumi Salak Pratama Bogor Milik Swasta

PLTP Darajat 2 90.2 Chevron Geothermal Garut Milik Swasta PLTP Darajat 3 105.8 Chevron Geothermal Garut Milik Swasta PLTP Wayang Windu 110.8 Magma Nusantara Garut Milik Swasta PLTP Kamojang 4 60.2

Pertamina Geothermal Pangalengan Milik Swasta

Sumber : Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2010-2019

Page 13: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

4.1.3.4 Keandalan Pasokan

Realisasi keandalan pasokan listrik kepada konsumen yang diukur dengan

faktor SAIDI dan SAIFI jaringan di wilayah PLN Distribusi Jawa Barat dan

Banten pada enam tahun terakhir menunjukkan perbaikan. Indeks SAIDI

membaik dari 487 menit/pelanggan/tahun pada tahun 2003 menjadi

139,25menit/pelanggan/tahun pada tahun 2008. Sedangkan SAIFI juga membaik

dari 14,26 kali/pelanggan/tahun menjadi 4,73 kali/pelanggan/tahun. Selengkapnya

SAIDI dan SAIFI enam tahun terakhir dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4. 6. SAIDI dan SAIFI Tahun 2003 - 2008

Sumber : Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2010-2019

4.1.3.5 Masalah Mendesak : Daerah Krisis

Definisi krisis adalah suatu kondisi sistem dimana kemampuan pasokan

dari pembangkit PLN tidak mencukupi dari pada kebutuhan beban puncak. Ada

beberapa daerah atau sistem kelistrikan pada akhir tahun 2008 mengalami krisis.

Hal ini ditandai oleh adanya beberapa gardu induk yang bebannya sudah di atas

80% sementara permintaan sambungan baru calon pelanggan besar jumlahnya

cukup banyak.

Pada akhir tahun 2008 terdapat 58 buah trafo GI dari jumlah keseluruhan

trafo GI sebanyak 199 buah di wilayah PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten

yang bebannya sudah mencapai diatas 80%. Adapun jumlah gardu induk yang

URAIAN UNIT 2003 2004 2005 2006 2007 2008SAIDI mnt/plg/thn 487.00 375.00 348.00 214.23 170.00 139.25SAIFI kali/plg/thn 14.26 13.80 12.00 7.79 6.04 4.73

Page 14: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

bebannya sudah mencapai 70%-80% jumlahnya sudah mencapai 25 buah dan

yang sudah melebihi 80% jumlahnya sudah mencapai 21 buah dari jumlah

keseluruhan gardu induk sebanyak 97 buah. Gardu Induk yang sudah berbeban

diatas 80% dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 4.7. Gardu Induk Beban Diatas 80% Tahun 2008

Sumber : Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2010-2019

4.1.3.6 Penanggulangan Daerah Krisis

Kondisi krisis penyediaan tenaga listrik di beberapa daerah di wilayah

PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten pada dasarnya terjadi karena

keterlambatan penyelesaian proyek pembangkitan tenaga listrik, baik proyek PLN

Page 15: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

maupun IPP (Independent Power Plant) dan proyek-proyek pembangunan gardu

induk baru, penambahan kapasitas trafo GI dan beberapa proyek transmisi.

Penyebab keterlambatan ada berbagai hal, antara lain kesulitan pendanaan dan

kendala pembangunan di lapangan, sehingga proyek yang sudah dijadwalkan

tidak dapat beroperasi tepat waktu.

Langkah-langkah yang telah diambil oleh PLN Distribusi Jawa Barat dan

Banten untuk menanggulangi daerah krisis sampai saat ini meliputi pembelian

energi listrik dari pembangkit skala kecil, bermitra/kerjasama operasi pembangkit

dengan Pemda setempat, serta pembelian excess power.

4.1.3.7 Wacana Penerapan Tarif Listrik Regional di Wilayah Jawa Barat dan

Banten

Pada bulan September 2009, DPR akhirnya meloloskan RUU

Ketenagalistrikan menjadi UU baru menggantikan UU No 15/1985. Dalam UU

Ketenagalistrikan yang baru ini dinyatakan bahwa usaha penyediaan tenaga listrik

dikuasai oleh negara yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah dan

Pemerintah daerah. Pemerintah Provinsi, dan Kabupaten/Kota mempunyai peran

dan tanggung jawab besar untuk pengembangan sistem ketenagalistrikan,

termasuk penentuan tarif listrik regional. Tarif Dasar Listrik (TDL) yang seragam

di berbagai daerah hingga saat ini tidak mampu lagi mengimbangi biaya produksi

listrik atau Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik.

Page 16: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Penerapan tarif listrik regional diharapkan menjadi solusi penting untuk

memberi insentif masuknya investasi kelistrikan sehingga dapat menambah

kapasitas pembangkit listrik untuk mengatasi persoalan defisit listrik di berbagai

daerah di Indonesia.

Wilayah Jawa dan Bali sendiri dipandang oleh Dirjen Listrik dan

Pemanfaatan Energi (LPE) Departemen Energi dan Sumber daya Mineral

(ESDM) telah siap untuk melaksanakan kebijakan ini dibandingkan dengan

wilayah lain di Indonesia (Jurnalnet.com 5 Desember 2006 dan Republika 3

Januari 2007). Namun dikarenakan beberapa kendala terkait kesiapan PLN serta

belum adanya kajian yang lebih mendalam akan model strategi penerapannya di

setiap wilayah, maka sampai dengan saat ini belum ada wilayah di daerah Jawa

dan Bali yang telah melaksanakan tarif listrik regional.

Pada bulan Maret tahun 2010 dilakukan Studi Tarif Dasar Listrik Untuk

Menuju Tata Kelola Ketenagalistrikan Nasional Yang Sehat yang dilaksanakan

oleh Konsorsium 6 Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia dan dituangkan pula

oleh Nanang Hariyanto dan Sudarmono Sasmono dalam makalah berjudul “Model

Ukuran Kesiapan Kandidat Daerah Pelaksana Tarif Listrik Regional Di

Indonesia”, dan disajikan dalam Seminar IV Teknologi dan Bisnis Kelistrikan

Institut Teknologi Bandung bulan November tahun 2011. Salahsatu hasil dari

studi tersebut adalah direkomendasikannya propinsi Jawa Barat dan Banten untuk

menerapkan tarif regional. Jawa Barat dan Banten secara umum dipandang

salahsatu wilayah yang direkomendasikan untuk menerapkan tarif listrik regional

dipandang dari beberapa indikator seperti rata-rata pendapatan perkapita

Page 17: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

penduduk, kapasitas fiskal, potensi energi serta infrastruktur kelistrikan yang

tersedia.

4.2. Hasil dan Pembahasan

Analisis kesenjangan (gap) antar wilayah dilakukan dengan menyampaikan

daftar pertanyaan/kuesioner serta melakukan wawancara dengan para pakar

kelistrikan dan ekonomi energi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Ahli kelistrikan dan ahli ekonomi

energi tersebut adalah :

1. Dr. Ir. Nanang Hariyanto ( Institut Teknologi Bandung)

2. Syarif Hidayat, Ph.D (Institut Teknologi Bandung)

3. Dr. Ir. Muhammad Nurdin (Institut Teknologi Bandung)

4. Dr. Ing. Ir. Yusra Sabri (Institut Teknologi Bandung)

5. Dr. Ir. Agus Purwadi (Institut Teknologi Bandung)

6. Sudarmono Sasmono, ST., MT. (Institut Teknologi Bandung)

7. Fitriana, ST., MT. (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)

Penulis juga melakukan wawancara dengan Bapak Muncul Daryoto,

selaku Deputi Manajer Administrasi Niaga PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa

Barat dan Banten untuk memperoleh informasi mengenai sejauh mana kesiapan

dari PLN sendiri dalam rangka rencana penerapan tarif listrik regional khususnya

di daerah Jawa Barat dan Banten.

Wawancara dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan/kuesioner

sebagai panduan serta wawancara semiterstruktur (Semistructure Interview), yaitu

Page 18: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

wawancara yang termasuk ke dalam kategori in-depth interview, yang bertujuan

untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana

narasumber/informan yang diajak wawancara diminta pendapat dan ide-idenya.

Selama melakukan wawancara, peneliti mendengarkan secara teliti dan mencatat

serta merekam apa yang dikemukakan oleh narasumber/informan.

Adapun ikhtisar lengkap narasumber penelitian ini terdapat pada tabel 4.8.

sebagai berikut :

Page 19: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Tabel 4.8. Ikhtisar Narasumber Penelitian No. Nama Deskripsi Posisi/Jabatan Tanggal Tempat

1. Dr. Ir. Nanang Hariyanto a. Kepala Laboratorium Sistem Tenaga dan Distribusi Elektrik STEI ITB

b. Konsultan PT. PLN untuk Sistem Tenaga Listrik dan Kebijakan Pengembangan Kelistrikan di Sistem PLN

c. Konsultan Sistem Tenaga Listrik dan Kebijakan Pengembangan Kelistrikan Yang Optimal untuk Perusahaan Minyak dan Gas di Indonesia

d. Dikenal publik sebagai Ahli Sistem Kelistrikan dan Kebijakan Kelistrikan

14 September 2011

Gedung Kerjasama PLN-ITB, Bandung

2. Syarif Hidayat, Ph.D a. Mantan Ketua Laboratorium Teknik Tegangan dan Arus Tinggi STEI ITB

b. Konsultan Teknologi Kabel Laut untuk Penyaluran Listrik di Indonesia bagi PT. PLN

c. Konsultan Pemprof DKI untuk Pengembangan Kabel Laut bagi Penyaluran Listrik di Kep. Seribu

d. Dikenal publik sebagai Ahli Petir dan Ahli Penyaluran Listrik Melalui Kabel Laut

7 Oktober 2011

Gedung Kerjasama PLN-ITB, Bandung

3. Dr. Ir. M. Nurdin a. Ketua Program Studi Teknik Tenaga Listrik ITB

b. Konsultan Kestabilan Sistem Tenaga Listrik di PT. PLN

c. Dikenal publik sebagai Ahli Kestabilan Sistem Tenaga Listrik

3 Oktober 2011

Gedung Kerjasama PLN-ITB, Bandung

Page 20: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

No. Nama Deskripsi Posisi/Jabatan Tanggal Tempat

4. Dr.Ing. Ir. Yusra Sabri a. Peneliti Senior di bidang Ekonomi Ketenagalistrikan

b. Konsultan Pemprof DKI untuk Keekonomian Pengembangan Sistem Kelistrikan

c. Dikenal publik sebagai Ahli Ekonomi Kelistrikan

8 Maret 2012 Gedung Kerjasama PLN-ITB, Bandung

5. Dr. Ir. Agus Purwadi a. Kepala Laboratorium Penelitian Konversi Energi Elektrik STEI ITB dan Laboratorium Energi Terbarukan STEI ITB

b. Konsultan PT. PLN untuk Keekonomian di Sistem Distribusi Listrik dan Penggunaan Energi Terbarukan

c. Dikenal publik sebagai Ahli Teknologi Pembangkit Energi Terbarukan

19 Maret 2012

Gedung Kerjasama PLN-ITB, Bandung

6. Sudarmono Sasmono, ST., MT. a. Peneliti Muda di Bidang Energi dan Kebijakan Kelistrikan di Indonesia Energy Institute

b. Asisten Akademik di Program Studi Teknik Tenaga Listrik STEI ITB

c. Konsultan Pemerintah Provinsi DKI Jaya dan Jawa Barat untuk Kebijakan Pengembangan Kelistrikan

d. Dikenal Publik sebagai Ahli Kebijakan Kelistrikan

14 Maret 2012

Gedung Kerjasama PLN-ITB, Bandung

7. Fitriana, ST., MT Peneliti Bidang Energi Terbarukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

5 Maret 2012 Gedung 10 Kantor LIPI, Bandung

8. Muncul Daryoto Deputi Manajer Administrasi Niaga PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten

4 April 2012 Kantor PT. PLN (Persero) Distribusi Jabar&Banten, Bandung

Page 21: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

4.2.1 Hasil Wawancara serta Pengisian Daftar Pertanyaan/Kuesioner

Dari hasil wawancara yang dilakukan mulai dari bulan September tahun

2011 sampai dengan bulan Maret tahun 2012, diperoleh informasi dari setiap

narasumber sebagai berikut :

1. Narasumber 1 : Dr. Ir. Nanang Hariyanto (Pakar Kelistrikan dan Ekonomi

Energi, Institut Teknologi Bandung)

Wawancara resmi dengan narasumber ini dilakukan pada tanggal 14

September 2011 bertempat di Gedung Kerjasama PLN-ITB, Kampus

Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha No. 10 Bandung. Menurut

narasumber, masyarakat yang siap secara ekonomi pasti sudah siap

membayar tarif listrik pada nilai keekonomiannya. Karena itu untuk

perbandingan berpasangan tingkat pertama yang dilakukan antara kriteria

development gap dengan kriteria infrastructure electricity gap dapat

dikatakan bahwa tingkat kepentingan kriteria development gap lebih besar

atau minimal sama dengan tingkat kepentingan kriteria infrastructure

electricity gap.

Pada tingkat kedua, perbandingan berpasangan dilakukan di antara

masing-masing sub kriteria pembentuk dari development gap dan sub

kriteria pembentuk infrastructure electricity gap. Menurut narasumber,

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) serta kontribusi sektor industri

dan bisnis sama pentingnya karena merupakan merupakan cerminan dari

pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan dalam penerapan tarif listrik

regional PDRB serta kontribusi sektor industri dan bisnis sama-sama

Page 22: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

merupakan hal yang krusial yang harus dipertimbangkan dimana tarif listrik

dapat diterapkan pada nilai keekonomiannya di wilayah yang pertumbuhan

ekonominya tinggi.

Adapun Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut

narasumber lebih penting untuk dipertimbangkan dibandingkan dengan

konsumsi rumah tangga. Hal ini karena PDRB lebih mencerminkan

pertumbuhan ekonomi secara umum serta menggambarkan keberhasilan

pemerintah daerah setempat mengelola sumber daya yang ada, sedangkan

konsumsi rumah tangga di suatu daerah hanya sebagai salahsatu gambaran

dari kemampuan masyarakat saja.

Jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan, maka PDRB lebih

penting untuk dipertimbangkan jika suatu wilayah akan menerapkan tarif

listrik regional. PDRB mencerminkan kemampuan ekonomi penduduk di

suatu wilayah. Semakin tinggi PDRB semakin tinggi pula kemampuan

ekonomi penduduk di wilayah tersebut. Berdasarkan teori Trickle Down

Effect, kenaikan kapasitas atau kemampuan ekonomi orang – orang kaya

akan menggulirkan (Trickle Down) peningkatan kesejahteraan pula pada

kalangan menengah ke bawah. Akan berbeda halnya jika teori yang dipakai

adalah teori kaum sosialis, dimana tingkat kemiskinan menjadi hal utama

yang harus dipertimbangkan dalam hal pembangunan di suatu daerah

termasuk penerapan tarif listrik regional. Namun dalam pelaksanaannya,

kebijakan tarif listrik regional sudah pasti tidak akan diterapkan di wilayah

Page 23: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

dimana tingkat kemiskinannya masih tinggi ataupun wilayah yang memiliki

PDRB yang rendah.

Jika dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD), tingkat

kepentingan PDRB menjadi lebih rendah karena PAD lebih mencerminkan

kemampuan dari pemerintah daerah itu sendiri. Daerah yang memiliki PAD

tinggi dianggap dapat membangun infrastruktur kelistrikan yang lebih

memadai meskipun tidak memiliki sumber daya energi yang mencukupi.

Adapun kontribusi sektor industri dan bisnis dipandang narasumber

mempunyai tingkat kepentingan yang sama dengan konsumsi rumah tangga.

Sektor industri dan bisnis dianggap sektor yang paling memerlukan listrik

yang andal dan berkualitas. Penerapan tarif listrik regional dimana listrik

dijual pada harga keekonomiannya akan menjamin keandalan dan kualitas

listrik yang disalurkan kepada konsumen. Jadi kedua sektor tersebut

dianggap paling dapat menerima kebijakan tarif listrik regional selama

kualitas dan keandalan listrik tetap terjaga. Sedangkan konsumsi rumah

tangga dianggap sama tingkat kepentingannya dengan kontribusi sektor

industri dan bisnis karena konsumsi rumah tangga mencerminkan tingkat

kebutuhan sektor rumah tangga akan listrik. Daerah yang memiliki tingkat

konsumsi rumah tangga yang tinggi menggambarkan bahwa tingkat

kebutuhan dan pemakaian energi listrik di daerah tersebut juga tinggi.

Kontribusi sektor industri dan bisnis dipandang narasumber sedikit

lebih penting jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan. Tingkat

kemiskinan merupakan salahsatu kriteria yang merupakan gambaran dari

Page 24: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya, termasuk

didalamnya kebutuhan akan listrik. Namun angka tingkat kemiskinan

seringkali tidak mencerminkan kondisi yang sebenarnya, sehingga

kontribusi sektor industri dan bisnis masih sedikit lebih penting untuk

dipertimbangkan dengan alasan bahwa angkanya masih lebih reliable, dan

kedua sektor tersebut adalah sektor yang memerlukan listrik yang

berkualitas dan andal. Sedangkan jika kontribusi sektor industri dan bisnis

dibandingkan tingkat kepentingannya dengan PAD, maka kedua subkriteria

tersebut adalah sama penting dimana PAD menggambarkan kemampuan

pemerintah daerah itu sendiri untuk membangun infrastruktur kelistrikan di

daerahnya.

Alasan yang sama juga dikemukakan narasumber ketika

membandingkan kepentingan antara konsumsi rumah tangga dengan tingkat

kemiskinan dan PAD. Tingkat kepentingan konsumsi rumah tangga dari

masyarakat di suatu daerah masih lebih rendah jika dibandingkan dengan

tingkat kemiskinan serta PAD. Sedangkan tingkat kemiskinan dan PAD

dipandang narasumber memiliki tingkat kepentingan yang sama karena

sama-sama mencerminkan tingkat kemampuan, yaitu kemampuan

masyarakat dan kemampuan pemerintah daerah setempat.

Dalam hal perbandingan berpasangan diantara sub kriteria

infrastructure electricity gap, narasumber berpendapat bahwa ketersediaan

energi primer, density saluran distribusi listrik serta density kapasitas gardu

distribusi listrik lebih penting untuk dipertimbangkan jika dibandingkan

Page 25: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

dengan kualitas dan keandalan listrik. Menurut narasumber, jika suatu

wilayah berhasil mengolah energi primer yang dimilikinya menjadi energi

listrik dan menyalurkannya dengan baik, maka otomatis akan menjamin

kualitas dan keandalan listrik di wilayah tersebut. Daerah dengan

ketersediaan energi primer yang melimpah semestinya menanggung tarif

listrik yang lebih rendah dari daerah yang jauh dari sumber-sumber energi

primer untuk pembangkitan.

Namun jika dibandingkan tingkat kepentingannya antara ketersediaan

energi primer dengan infrastruktur listrik yang ada, dalam hal ini density

saluran distribusi listrik dengan density kapasitas gardu distribusi, maka

ketersediaan energi primer dianggap lebih penting. Jika suatu wilayah telah

memiliki potensi energi yang mencukupi, maka selanjutnya dapat dibuat

saluran distribusi dan gardu untuk penyalurannya. Adapun density saluran

distribusi listrik dianggap sama pentingnya dengan density kapasitas gardu

distribusi listrik mengingat kedua hal tersebut saling mengiringi satu sama

lain dimana pembangunan saluran distribusi listrik akan selalu diikuti oleh

pembangunan gardu listrik untuk penyalurannya.

Masih menurut narasumber, daerah atau wilayah dengan infrastruktur

kelistrikan yang lebih baik sebagai daerah yang didorong menerapkan

kebijakan tarif listrik regional. Daerah atau wilayah tersebut adalah daerah

atau wilayah yang secara agregat menunjukkan density (kerapatan)

infrastruktur distribusi listrik yang tinggi. Adapun daerah atau wilayah

dengan infrastruktur kelistrikan yang kurang baik tetap didorong untuk

Page 26: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

menerapkan kebijakan tarif listrik regional dengan syarat daerah atau

wilayah tersebut adalah daerah atau wilayah yang secara agregat

menunjukkan density infrastruktur distribusi listrik yang rendah, namun

memiliki kemampuan keuangan yang baik.

Lebih lanjut menurut narasumber, ada 3 hal utama/pokok yg harus

diperhatikan jika suatu wilayah akan menerapkan tarif listrik regional :

a. Kesiapan PLN (Infratruktur) : seperti kesiapan jaringan listrik dan

pelayanan kepada pelanggan

b. Kesiapan sumber daya primer yang dimiliki daerah tersebut

c. Kesiapan masyarakat (daya beli, kemampuan dan kemauan

masyarakat)

Jika 3 hal diatas sudah terpenuhi, maka dpt dikatakan suatu wilayah

telah siap untuk menerapakan tarif listrik regional.

2. Narasumber 2 : Syarif Hidayat, Ph.D ( Pakar Kelistrikan Institut Teknologi

Bandung)

Wawancara resmi dengan narasumber ini dilakukan pada tanggal 7 Oktober

2011 bertempat di Gedung Kerjasama PLN-ITB, Kampus Institut Teknologi

Bandung Jl. Ganesha No. 10 Bandung. Narasumber mengemukakan pendapatnya

mengenai tingkat kepentingan antara kriteria-kriteria yang dibandingkan serta

memberikan pendapat dan masukan-masukan terkait penerapan tarif listrik

regional. Menurut narasumber, untuk perbandingan berpasangan tingkat pertama

yang dilakukan antara kriteria development gap dengan kriteria infrastructure

electricity gap maka yang paling penting dipertimbangkan dalam kaitannya

Page 27: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

dengan rencana penerapan tarif listrik regional di suatu daerah adalah

infrastructure electricity gap. Meskipun kedua kriteria tersebut agak sulit untuk

dilihat mana yang lebih penting karena saling berkaitan erat satu sama lain, namun

narasumber melihat adanya elastisitas antara konsumsi energi listrik dengan

PDRB dimana untuk setiap 1% kenaikan energi listrik memerlukan 1,8 kali

pertumbuhan listrik. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa infrastructure

electricity gap idealnya lebih diperhatikan dalam hal penerapan tarif listrik

regional.

Pada perbandingan berpasangan tingkat kedua, narasumber berpendapat

bahwa dalam kaitannya dengan penerapan tarif listrik regional, PDRB lebih

penting untuk dipertimbangkan dibandingkan dengan kontribusi sektor industri

dan bisnis, konsumsi rumah tangga serta pendapatan asli daerah (PAD). Di dalam

PDRB sendiri terdapat komponen kontribusi sektor industri dan bisnis sehingga

PDRB lebih dapat mencerminkan kondisi perekonomian di suatu wilayah. Jika

dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga, maka PDRB jelas lebih penting

karena angka konsumsi rumah tangga di suatu daerah seringkali menyesatkan.

Sama halnya jika PDRB dibandingkan tingkat kepentingannya dengan PAD.

Angka PAD menurut narasumber sering meragukan atau dengan kata lain sering

diakali untuk kepentingan politis. Lebih lanjut narasumber mengemukakan bahwa

pemberian subsidi untuk listrik adalah sesuatu yg tidak sehat, tidak menimbulkan

iklim dimana orang mau berusaha. Seharusnya jika memang orang mampu

membeli, biarkan orang tersebut membelinya. Ironisnya, di negara kita pihak yang

disubsidi adalah pihak yang melakukan kegiatan konsumtif (seperti golongan

Page 28: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

rumah tangga yang menggunakan listrik untuk televisi, AC, mesin cuci, dan lain-

lain), bukan untuk pihak-pihak yang melakukan kegiatan produktif yang

menghidupi dan bermanfaat untuk orang banyak seperti pabrik, industri dan

sejenisnya. Oleh karena itu kebijakan makro dari pemerintah sangat diperlukan.

Adapun tingkat kemiskinan, lebih penting untuk dipertimbangkan jika

dibandingkan dengan PDRB, konsumsi rumah tangga, PAD dan kontribusi sektor

industri dan bisnis. Hal ini menurut narasumber karena tingkat kemiskinan

mencerminkan pemerataan secara ekonomi. Tingkat kemiskinan juga

mencerminkan penyerapan sektor informal yang tidak terhitung. Tingkat

kemiskinan rendah akan berakibat pertumbuhan ekonomi yang positif. Kebijakan

tarif listrik regional tidak akan diterapkan di daerah yang tingkat kemiskinannya

tinggi karena masyarakat di daerah tersebut tidak akan mampu membayar tarif

listrik pada tingkat keekonomiannya. Sedangkan kontribusi sektor industri dan

bisnis sangat jelas lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan tarif

listrik regional di suatu daerah jika dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga

dan PAD, dengan catatan bahwa sektor industri dan bisnis daerah tersebut

berkontribusi langsung terhadap PDRB.

Dalam hal perbandingan antar sub kriteria yang termasuk ke dalam

infrastructure electricity gap, narasumber berpendapat bahwa ketersediaan energi

primer adalah kriteria yang harus lebih diutamakan untuk diperhatikan

dibandingkan dengan masalah kualitas dan keandalan (reliability). Jika

ketersediaan energi sudah mencukupi, maka baru difikirkan bagaimana mengolah

sumber energi primer tersebut sehingga dapat menjamin kualitas dan keandalan

Page 29: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

yang tinggi di daerah tersebut. Jika daerah tersebut tidak mempunyai sumber

energi yang memadai namun masyarakat serta pemerintah daerah setempat

mampu secara financial, maka daerah tersebut dapat membeli energi dari daerah

lain. Sejauh daerah yang bersangkutan mampu untuk membeli energi, maka

masalah minimnya ketersediaan energi primer akan terselesaikan. Yang utama

adalah memperoleh energi yang andal dan berkualitas.

Lebih lanjut narasumber berpendapat bahwa Density Saluran Distribusi

Listrik serta Density Kapasitas Gardu Distribusi Listrik lebih penting untuk

dipertimbangkan dalam hal penerapan tarif listrik regional di suatu daerah

dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik serta ketersediaan energi

primer. Pertimbangannya adalah dalam hal pembangunan infrastruktur kelistrikan

harus dilihat dulu adanya density saluran distribusi dan density kapasitas gardu,

baru kemudian berbicara keandalan. Density saluran distribusi dan density

kapasitas gardu adalah enabler bagi keandalan listrik. Adapun jika dibandingkan

tingkat kepentingannya antara density saluran distribusi listrik dengan density

kapasitas gardu distribusi listrik, maka kedua subkriteria tersebut adalah sama

penting karena saling berkaitan erat satu sama lain. Ada gardu listrik, maka harus

ada saluran listrik. Begitupun sebaliknya.

Narasumber juga memberikan masukan-masukan tambahan terkait rencana

pelaksanaan tarif listrik regional di Indonesia khususnya di wilayah Jawa Barat

dan Banten antara lain bahwa yang paling diperlukan adalah adanya kepastian

hukum dan ketegasan dari pemerintah sendiri untuk menekan biaya ekonomi lain-

Page 30: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

lain seperti pungutan liar dan sejenisnya. Baru selanjutnya dipertimbangkan

masalah infrastruktur kelistrikannya.

Mengenai kesiapan dari wilayah Jawa Barat dan Banten sendiri, narasumber

berpendapat bahwa siap atau tidaknya wilayah Jawa Barat dan Banten

menerapkan tarif listrik regional sebenarnya tinggal ditawarkan saja dengan

beberapa alternatif . Masalah tarif listrik mahal dan murah adalah relatif, yang

penting ketersediaan/availibility dari energi yang dimiliki.

Dapat dikatakan bahwa sebenarnya jika dilihat dari karakteristik

daerah/wilayah maka daerah Jabar dan Banten sudah siap untuk menerapkan tarif

listrik regional. Yang paling penting adalah adanya kejelasan serta transparansi

dalam proses bisnis yang dijalankan. Selain itu menurut narasumber, pemerintah

sendiri masih melakukan kekeliruan dalam mengelola bisnis-bisnis stragtegis

yang menyangkut public utility.

3. Narasumber 3 : Dr. Ir. Muhammad Nurdin (Pakar Kelistrikan dan Ekonomi

Energi, Institut Teknologi Bandung)

Wawancara resmi dengan narasumber ini dilakukan pada tanggal 3 Oktober

2011 bertempat di Gedung Kerjasama PLN-ITB, Kampus Institut Teknologi

Bandung Jl. Ganesha No. 10 Bandung. Narasumber mengemukakan pendapatnya

mengenai tingkat kepentingan antara kriteria-kriteria yang dibandingkan serta

memberikan pendapat dan masukan-masukan terkait penerapan tarif listrik

regional. Menurut narasumber, untuk perbandingan berpasangan tingkat pertama

yang dilakukan antara kriteria development gap dengan kriteria infrastructure

electricity gap maka yang paling penting dipertimbangkan dalam kaitannya

Page 31: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

dengan rencana penerapan tarif listrik regional di suatu daerah adalah

infrastructure electricity gap.Terlebih untuk daerah di Pulau Jawa dimana

berpenduduk lebih padat dibandingkan pulau lain di Indonesia serta kegiatan

perekonomian lebih tinggi sehingga pembangunan infrastruktur kelistrikan mutlak

dilakukan untuk menjamin listrik yang lebih andal dan berkualitas.

Untuk perbandingan berpasangan tingkat kedua dari sub kriteria pembentuk

development gap, narasumber berpendapat bahwa dalam kaitannya dengan

penerapan tarif listrik regional, PDRB sama pentingnya untuk dipertimbangkan

jika dibandingkan dengan kontribusi sektor industri dan bisnis terhadap PDRB itu

sendiri. Karena kontribusi sektor industri dan bisnis itu sendiri juga akan

membentuk PDRB, maka kedua hal tersebut berada dalam tingkat kepentingan

yang sama.

Adapun PDRB, menurut narasumber, lebih penting untuk dipertimbangkan

atau diperhatikan saat akan menerapkan tarif listrik regional di suatu daerah

dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga, tingkat kemiskinan, serta

Pendapatan Asli Daerah (PAD). PDRB lebih penting dibandingkan dengan

konsumsi rumah tangga karena didalam PDRB sudah termasuk seluruh kegiatan

usaha dari penduduk di daerah tersebut seperti dari sektor industri, bisnis,

termasuk di dalamnya kegiatan dari sektor rumah tangga. PDRB juga dianggap

narasumber lebih penting untuk dipertimbangkan dibandingkan dengan tingkat

kemiskinan dengan alasan jika listrik dianggap sebagai infrastruktur, maka dengan

adanya listrik perekonomian akan meningkat sehingga diharapkan tingkat

kemiskinan akan berkurang.

Page 32: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Adapun PDRB dianggap lebih penting dibandingkan dengan PAD. Menurut

narasumber jika PDRB akan dibandingkan dengan PAD maka harus dilihat dulu

kebijakan dari subsidi di daerah tersebut. Jika pemerintah daerah memiliki PAD

yang tinggi sementara penduduknya masih banyak yang miskin, di Bengkalis

misalnya, biasanya pemda setempat bersedia memberikan subsidi serta

berinvestasi untuk membangun infrastruktur kelistrikan dalam rangka

mendongkrak perekonomian daerahnya. Jika di suatu daerah, listriknya hanya

sebagai komoditi, PAD yang tinggi tidak akan terlalu berpengaruh terhadap

daerah tersebut. Wilayah Jawa Barat sendiri secara umum ekonomi daerahnya

relatif cukup tinggi, sehingga kemungkinan minat pemda untuk pemberian subsidi

juga tidak terlalu besar. Jadi dalam hal ini PDRB lebih penting untuk

diperhatikan.

Adapun kontribusi sektor industri dan bisnis dinilai narasumber sedikit lebih

penting dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga dan tingkat kemiskinan.

Khususnya di wilayah Jabar dan Banten, energi listrik yang terjual kepada

pelanggan industri dan bisnis lebih besar dari sektor rumah tangga, meskipun dari

segi jumlah pelanggan rumah tangga lebih besar dari pelanggan industri dari

bisnis. Sektor rumah tangga lebih banyak digunakan untuk keperluan konsumtif

daripada untuk kegiatan produktif. Jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan,

kontribusi sektor industri dan bisnis dinilai narasumber sedikit lebih penting

dengan catatan sektor industri dan bisnis harus ikut memikul baban rumah tangga

yang masih miskin. Karena masyarakat miskin masih mengikuti tarif dasar listrik

yang ditetapkan pemerintah pusat (masih diberikan subsidi).

Page 33: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Adapun kontribusi sektor industri dan bisnis dinilai oleh narasumber sangat

jelas lebih penting untuk diperhatikan jika dibandingkan dengan pendapatan asli

daerah (PAD), dengan catatan bahwa kebijakan tarif listrik regional yang akan

diterapkan di suatu daerah adalah tidak untuk semua golongan tarif, misalnya

hanya untuk golongan industri, bisnis dan rumah tangga kaya (penduduk yang

mempunyai kemampuan financial tinggi) sehingga PAD, yang mencerminkan

kemampuan pemerintah daerah, tidak terlalu penting untuk dipertimbangkan

karena pemda tidak perlu memberikan subsidi.

Untuk perbandingan tingkat kepentingan antara konsumsi rumah tangga

dengan tingkat kemiskinan, narasumber berpendapat bahwa konsumsi rumah

tangga jelas lebih penting dari tingkat kemiskinan karena konsumsi rumah tangga

lebih menggambarkan kebutuhan listrik dari pelanggan di suatu daerah. Demikian

pula jika konsumsi rumah tangga dibandingkan dengan PAD. Konsumsi rumah

tangga dinilai lebih penting karena menurut narasumber, PAD tergantung kepada

sejauh mana pemda setempat mau membangun infrastruktur dan mau

menanggung subsidi. Meskipun PAD di suatu wilayah tinggi namun tidak ada

keinginan dari pemda untuk melakukan pembangunan infrastruktur kelistrikan

atau menanggung subsidi bagi penduduk miskin, maka tarif listrik regional akan

sulit untuk diterapkan. Namun jika PAD dibandingkan tingkat kepentingannya

dengan tingkat kemiskinan, maka PAD dinilai lebih penting untuk

dipertimbangkan dalam penerapan tarif listrik regional dibandingkan dengan

tingkat kemiskinan. Hal ini dikarenakan PAD terkait kepada sejauh mana pemda

setempat mau membangun infrastruktur dan mau menanggung subsidi.

Page 34: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Untuk kualitas dan keandalan listrik, menurut narasumber, sangat jelas lebih

penting jika dibandingkan dengan ketersediaan energi primer. Khususnya di

wilayah Jawa Barat dan Banten yang memiliki energi primer terbatas, maka

kualitas dan keandalan listrik menjadi lebih penting. Adapun jika kualitas dan

keandalan listrik dibandingkan dengan density saluran distribusi listrik dan

density kapasitas gardu listrik, maka kedua hal tersebut tidak bisa dibandingkan

tingkat kepentingannya mengingat saling terkait satu sama lain. Jika suatu daerah

memiliki density saluran distribusi listrik yang tinggi, maka listrik yang dihasilkan

pun akan andal dan berkualitas. Begitupun jika kapasitas gardu listrik yang ada

cukup besar, maka listrik yang andal dan berkualitas akan dapat tersalurkan

dengan baik kepada seluruh pelanggan listrik.

Density saluran distribusi listrik dan density kapasitas gardu listrik dalam

kaitannya dengan penerapan tarif listrik regional menurut narasumber lebih

penting dari ketersediaan energi primer karena baik Density saluran distribusi

listrik maupun density kapasitas gardu listrik keduanya akan menjamin keandalan

dan kualitas listrik yang disalurkan kepada pelanggan. Adapun jika density saluran

distribusi listrik dan density kapasitas gardu listrik dibandingkan satu sama lain,

maka kedudukannya adalah sama penting karena jika density saluran distribusinya

banyak namun kapasitas gardunya kecil maka jaringan listrik tidak leluasa untuk

bermanuver, yang akan berakibat turunnya keandalan dan kualitas listrik yang

disalurkan.

Di akhir wawancara, narasumber memberikan penilaian mengenai rencana

penerapan tarif listrik regional di wilayah Jawa Barat dan Banten. Menurut

Page 35: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

narasumber, wilayah Jawa Barat dan Banten secara umum belum terlalu siap

untuk menerapkan tarif listrik regional karena belum siapnya PLN setempat,

kemampuan pemerintah daerah serta kemampuan penduduknya. Yang sudah siap

mungkin beberapa kawasan industri yang terletak di wilayah seperti di Tangerang

dan Bekasi. Untuk wilayah lainnya harus dilakukan penelitian lebih lanjut dengan

mempertimbangkan karakteristik wilayahnya.

4. Narasumber 4 : Dr. Ing. Ir. Yusra Sabri (Pakar Kelistrikan dan Ekonomi

Energi, Institut Teknologi Bandung)

Wawancara resmi dengan narasumber ini dilakukan pada tanggal 8 Maret

2012 bertempat di Gedung Kerjasama PLN-ITB, Kampus Institut Teknologi

Bandung Jl. Ganesha No. 10 Bandung. Narasumber mengemukakan beberapa

pemikirannya mengenai analisis kesenjangan antar wilayah terkait penerapan tarif

listrik regional dengan membandingkan tingkat kepentingan dari pasangan kriteria

dan sub-sub kriteria setiap wilayah. Menurut narasumber, kesenjangan

pembangunan atau development gap, masih lebih penting untuk dipertimbangkan

jika dibandingkan dengan infrastructure electricity gap dengan pertimbangan

bahwa development gap berkaitan erat dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat

sedangkan infrastructure electricity gap berkaitan dengan masalah teknis

(fasilitas). Development gap terkait dengan kemampuan pemerintah daerah

setempat dan masyarakatnya (kemampuan dan kemauan bayar), kondisi budaya

serta kondusifitas sosial. Jika keempat hal tersebut terpenuhi dengan baik, maka di

wilayah tersebut dapat dikatakan telah siap memberlakukan tarif dengan harga

wajar/keekonomian. Jika suatu daerah telah dinilai mampu dari segi pemerintah

Page 36: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

setempat dan masyarakatnya, maka daerah tersebut dapat dengan leluasa

membangun infrastruktur kelistrikan yang lebih handal. Biaya infrastruktur

kelistrikan merupakan fungsi dari investasi dan operasi dari listrik itu sendiri.

Perbandingan antar sub kriteria dari Development Gap yang pertama, yaitu

membandingkan tingkat kepentingan antara PDRB dengan kontribusi sektor

industri dan komersial/bisnis. Menurut narasumber, PDRB lebih penting untuk

dipertimbangkan jika dibandingkan dengan kontribusi sektor industri dan

komersial karena PDRB lebih menggambarkan keseluruhan pendapatan di suatu

daerah. Pendapatan berarti menggambarkan kemampuan. Meskipun misalnya di

suatu daerah kontribusi industri dan komersialnya tinggi, namun perlu dilihat

apakah industri di daerah tersebut mempunyai relevansi dengan kegiatan

masyarakat setempat (biasanya industri konvensional). Daerah yg mempunyai

banyak industri belum tentu industri tersebut bermanfaat bagi masyarakat

setempat.

Adapun PDRB dipandang sama pentingnya untuk dipertimbangkan jika

dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga namun sedikit lebih penting jika

dibandingkan dengan tingkat kemiskinan. PDRB merupakan representasi dari

income bruto, yang berarti kemampuan anggaran yang dapat dibelanjakan.

Dengan asumsi rasio tabungan terhadap PDRB tetap/tidak berubah maka dapat

diartikan pula bahwa PDRB sebagai jumlah konsumsi rumah tangga. PDRB

dipandang sedikit lebih penting jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan

dengan anggapan bahwa terkadang angka tingkat kemiskinan di suatu daerah

tidak terlalu akurat, sedangkan angka PDRB lebih reliabel. Namun sebenarnya

Page 37: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

kedua hal tersebut berkaitan erat satu sama lain. Jika tingkat kemiskinan tinggi,

maka otomatis PDRB akan rendah. Begitu pula sebaliknya.

Jika dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD), PDRB

dianggap lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan tarif listrik

regional. PDRB berkaitan erat dengan kemampuan masyarakat sedangkan PAD

belum tentu menggambarkan kemampuan real dari suatu daerah. Daerah yang

PAD-nya tinggi belum tentu PDRB-nya juga tinggi. Contohnya adalah di daerah

Kalimantan Timur.

Untuk kontribusi sektor industri dan komersial/bisnis dianggap sama

penting jika dibandingkan tingkat kepentingannya dengan konsumsi rumah tangga

dan tingkat kemiskinan. Sektor industri dan bisnis berkontribusi besar terhadap

PDRB, sedangkan PDRB merupakan representasi dari pendapatan bruto, dimana

didalamnya terdapat kemampuan anggaran yang dibelanjakan. Kemampuan

anggaran yang dibelanjakan dapat dianggap sebagai konsumsi rumah tangga. Hal

ini juga berkaitan dengan tingkat kemiskinan, dimana jika PDRB tinggi maka

tingkat kemiskinan rendah dan berlaku sebaliknya.

Adapun jika dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD), maka

kontribusi sektor industri dan bisnis dianggap lebih penting dalam kaitannya

dengan rencana penerapan tarif listrik regional. Menurut narasumber, hampir

sama dengan alasan yang dikemukakan pada uraian sebelumnya, sektor industri

dan bisnis berkontribusi besar terhadap PDRB. Namun daerah yang PDRB-nya

tinggi belum tentu mempunyai PAD yang tinggi atau dengan kata lain meskipun

PAD sering dianggap sebagai salahsatu indikator dari kemampuan pemerintah

Page 38: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

daerah setempat, namun tidak terlalu menggambarkan kemampuan dari

masyarakat suatu daerah.

Selanjutnya narasumber berpendapat bahwa konsumsi rumah tangga sama

pentingnya dengan tingkat kemiskinan. Makin kecil konsumsi rumah tangga,

semakin tinggi tingkat kemiskinan. Begitupun jika konsumsi rumah tangga

dibandingkan dengan PAD. Keduanya dianggap sama penting untuk diperhatikan

dalam hal penerapan tarif listrik regional karena PAD menggambarkan

kemampuan pemerintah daerah setempat. Jika PAD besar, maka dapat

membangun berbagai infrastruktur kelistrikan yg dibutuhkan untuk masyarakat.

Sedangkan konsumsi rumah tangga menggambarkan kemampuan dari masyarakat

di daerah tersebut, yang menggambarkan pula konsumsi listrik dari masyarakat

tersebut. Jadi dalam hal penerapan tarif listrik regional kemampuan pemerintah

dan masyarakat daerah merupakan dua hal yang sama-sama penting untuk

dipertimbangkan.

Lebih lanjut narasumber berpendapat bahwa tingkat kemiskinan lebih

penting jika dibandingkan dengan PAD. Dalam penerapan tarif listrik regional,

kemampuan bayar dari masyarakat merupakan hal yang utama, sedangkan PAD

menurut narasumber hanya menggambarkan kemampuan pemerintah saja dimana

didalamnya terdapat komponen pendapatan daerah dari hasil pajak, hasil retribusi

daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah

lainnya yang dipisahkan. Daerah yang mempunyai PAD tinggi tidak otomatis

mempunyai tingkat kemiskinan rendah. Sedangkan dlm penerapan tarif listrik

Page 39: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

regional, kemampuan masyarakat (ability to pay) merupakan hal yg utama untuk

dipertimbangkan.

Masuk kepada pembahasan mengenai kesenjangan infrakstruktur

kelistrikan di setiap daerah, narasumber berpendapat bahwa ketersediaan energi

primer sedikit lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan tarif

listrik regional dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik di suatu

daerah. Keandalan dan kualitas listrik adalah hasil dari tersedianya sumber energi

yang mencukupi untuk melistriki suatu daerah.

Adapun density saluran distribusi listrik serta density kapasitas gardu

listrik dianggap narasumber sangat jelas lebih penting untuk dipertimbangkan jika

dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik. Yang paling utama dilihat di

suatu daerah dalam hal infrastruktur kelistrikan adalah ada tidaknya gardu

penyalur dan saluran distribusi listriknya. Jika density (kerapatan) saluran

distribusi listrik serta kapasitas gardu listriknya tinggi, maka listrik yang

dihasilkan pun akan berkulitas dan andal. Kualitas dan keandalan listrik berkaitan

dengan kualitas pelayanan.

Jika density saluran distribusi listrik serta density kapasitas gardu listrik

dibandingkan tingkat kepentingannya dengan ketersediaan energi primer, maka

menurut narasumber yang lebih penting untuk dipertimbangkan adalah density

saluran distribusi listrik serta density kapasitas gardu listrik. Untuk daerah –

daerah yang dianggap mampu secara finansial baik itu pemerintah daerah maupun

masyarakatnya, walaupun daerah tersebut tidak mempunyai sumber energi primer

yang memadai, maka akan mampu membangun saluran distribusi serta gardu

Page 40: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

listrik sendiri. Listriknya dapat membeli dari daerah lain. Adapun jika density

saluran distribusi listrik dibandingkan tingkat kepentingannya dengan density

kapasitas gardu listrik maka kedua hal tersebut adalah sama penting karena mutlak

ada jika akan membangun jaringan listrik di suatu daerah.

Di akhir wawancara narasumber menyampaikan pandangan-pandangannya

mengenai rencana penerapan tarif listrik regional di wilayah Jawa Barat dan

Banten. Menurut narasumber, meskipun secara umum wilayah Jabar dan Banten

dipandang telah mampu menerapkan tarif listrik regional, namun jika dilihat

secara perkota/kabupaten masih sulit karena di Jabar dan Banten sendiri masih

banyak daerah pelosok yang belum terlistriki. Yang perlu diperhatikan lagi dalam

penerapan tarif listrik regional adalah kemampuan (ability to pay) serta kemauan

(willingness to pay) bayar listrik dari masyakarat sendiri yang harus terus

dimotivasi oleh PLN serta pemerintah daerah setempat.

5. Dr. Ir. Agus Purwadi (Pakar Kelistrikan dan Ekonomi Energi, Institut

Teknologi Bandung)

Wawancara resmi dengan narasumber ini dilakukan pada tanggal 19 Maret

2012 bertempat di Laboratorium Konversi, Kampus Institut Teknologi Bandung

Jl. Ganesha No. 10 Bandung. Narasumber mengemukakan beberapa pemikirannya

mengenai analisis kesenjangan antar wilayah terkait penerapan tarif listrik

regional dengan membandingkan tingkat kepentingan dari pasangan kriteria dan

sub-sub kriteria setiap wilayah. Menurut narasumber, kondisi infrasctructure

electricity gap di suatu daerah lebih penting untuk diperhatikan dibandingkan

dengan development gap. Sebelum menerapkan kebijakan tarif listrik regional,

Page 41: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

perlu dilihat terlebih dahulu kesiapan dari infrastruktur kelistrikan di daerah

tersebut. Salahsatu pertimbangan mengapa tarif listrik regional sudah diterapkan

terlebih dahulu di daerah Batam dan Tarakan, dan segera menyusul di daerah Bali,

adalah telah siapnya infrastruktur kelistrikan di ketiga daerah tersebut. Jika

infrastruktur kelistrikannya telah cukup/memadai, maka kualitas dan keandalan

listrik yang disalurkan kepada pelanggan juga akan baik. Sebaiknya sebelum

menerapkan tarif listrik regional suatu daerah, infrastruktur kelistrikan yang ada

telah memenuhi standar yang ditentukan. Seperti di daerah Jawa dan Bali

misalnya. Inftrastruktur kelistrikan di daerah ini dianggap standarnya telah sama.

Baru kemudian setelah itu dianalisis development gap nya. Kira-kira masih

mampu atau tidak. Jadi dalam penerapan tarif listrik regional, dilihat dulu secara

makro infrastructure electricity gap-nya, baru kemudian dianalisis secara mikro

masalah-masalah terkait development gap-nya.

Masalah utama kelistrikan saat ini adalah masalah subsidi serta rasa

keadilan masyarakat akan listrik. Tarif dasar listrik yang berlaku sekarang adalah

sama di setiap wilayah, baik itu kota besar maupun daerah, padahal keandalan

listrik yang diterima, daya beli, dan requirement pelanggan terhadap listrik di

kedua daerah tersebut berbeda. Dengan penerapan tarif listrik regional diharapkan

masalah-masalah tersebut dapat teratasi.

Selanjutnya narasumber berpendapat bahwa kontribusi sektor industri dan

bisnis lebih penting untuk dipertimbangkan dibandingkan dengan PDRB karena

konsumen sektor industri dan bisnis merupakan konsumen dengan konsumsi

listrik paling besar mskipun secara kuantitas jumlah konsumen ini lebih sedikit

Page 42: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

dari konsumen rumah tangga. Dalam hal penerapan tarif listrik regional harus

diperhatikan terlebih dahulu golongan tarif yang menggunakan listrik paling besar

dengan revenue yg besar pula.

Konsumsi rumah tangga dianggap narasumber lebih penting untuk

diperhatikan dalam penerapan tarif listrik regional dibandingkan dengan PDRB

karena menurut narasumber angka yang muncul dalam data PDRB itu rata-rata,

terlalu makro/generik. Angka PDRB akan akurat jika distribusi jumlah barang dan

jasa yg dihasilkan di suatu daerah itu merata, tidak ada kesenjangan. Sedangkan

konsumsi rumah tangga menggambarkan konsumsi/pemakaian listrik dari

pelanggan, dimana konsumsi rumah tangga setiap daerah berbeda-beda. Adapun

jika PDRB dibandingkan tingkat kepentingannya dengan tingkat kemiskinan,

maka narasumber berpendapat bahwa tingkat kemiskinan lebih penting untuk

diperhatikan dibandingkan dengan PDRB karena angka PDRB terlalu makro.

Untuk melihat kemampuan bayar dari masyarakat setempat salah satunya adalah

dengan melihat tingkat kemiskinan. Namun jika PDRB dibandingkan dengan

PAD, maka PDRB dianggap lebih penting karena angka PAD menurut

narasumber lebih makro dibandingkan dengan angka PDRB.

Kontribusi sektor industri dan bisnis dipandang narasumber lebih penting

jika dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga, tingkat kemiskinan dan PAD.

Seperti telah diuraikan di atas bahwa dalam kaitannya dengan pelaksanaan tarif

listrik regional dimana tarif listrik mencapai keekonomiannya, maka sektor

industri dan bisnis/komersial merupakan sektor yang harus lebih diperhatikan

mengingat kedua sektor ini meskipun dari segi jumlah pelanggan lebih sedikit jika

Page 43: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

dibandingkan namun dari segi konsumsi listrik jauh lebih banyak dibandingkan

dengan sektor rumah tangga. Kedua sektor ini juga dipandang lebih mau

membayar tarif listrik dengan harga lebih tinggi selama listrik yang mereka terima

andal dan berkualitas.

Adapun konsumsi rumah tangga tetap dipandang narasumber lebih penting

untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan dan PAD

dikarenakan angka tingkat kemiskinan dan PAD masih sangat makro. Tingkat

kemiskinan tidak dapat menggambarkan secara real kemampuan masyarakat

begitupun angka PAD tidak dapat secara real menggambarkan kemampuan

pemerintah daerah. Namun demikian tingkat kemiskinan lebih dianggap penting

untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan PAD karena angka PAD lebih

makro jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan.

Selanjutnya, untuk menilai tingkat kepentingan dari subkriteria-subkriteria

dalam infrastructure electricity gap, narasumber berpendapat bahwa ketersediaan

energi primer adalah sesuatu yang lebih penting dibandingkan dengan kualitas dan

keandalan listrik. Energi primernya dulu yang harus ada, baru kemudian setelah

itu berbicara tentang kualitas dan keandalan listrik. Suatu daerah yang mempunyai

ketersediaan energi primer yang mencukupi, ditunjang oleh kemampuan dan

keinginan pemerintah daerah setempat untuk membangun infrastruktur kelistrikan

yang memadai serta kemampuan dan kemauan masyarakat untuk membeli listrik

dengan harga keekonomiaanya, maka akan dihasilkan listrik yang andal dan

berkualitas.

Page 44: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Adapun density saluran distribusi listrik dan density kapasitas gardu listrik

dipandang narasumber lebih penting untuk diperhatikan terlebih dahulu dalam

penerapan tarif listrik regional dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik

di suatu daerah. Hampir sama dengan alasan yang dikemukakan untuk

perbandingan antara subkriteria ketersediaan energi primer dengan kualitas dan

keandalan listrik di atas, bahwa dalam penerapan tarif listrik regional yang harus

lebih dulu diperhatikan adalah density saluran distribusi listrik dan density

kapasitas gardu listriknya, baru kemudian berbicara kualitas dan keandalan listrik

yang akan dihasilkan.

Untuk ketersediaan energi primer, menurut narasumber, tingkat

kepentingannya sama untuk dipertimbangkan dalam penerapan tarif listrik

regional jika dibandingkan dengan density saluran distribusi listrik dan density

kapasitas gardu listrik. Jika di suatu daerah energi primernya cukup tersedia,

namun density saluran distribusi listrik dan density kapasitas gardu listriknya tidak

menunjang maka tidak akan terwujud keandalan listrik sehingga akan sulit pula

menerapkan tarif listrik regional.

Namun jika density kapasitas saluran distribusi listrik dibandingkan

kepentingannya dengan density kapasitas gardu distribusi, maka density kapasitas

gardu distribusi dipandang narasumber lebih penting karena sebelum membangun

saluran distribusi listrik harus dilihat dulu sumber energi yang akan

disalurkannya, dalam hal ini harus dibangun terlebih dahulu gardu listriknya.

Lebih lanjut narasumber memberikan pandangan-pandangan dan

masukan-masukannya mengenai penerapan tarif listrik regional. Menurut

Page 45: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

narasumber, daerah yang sudah seharusnya menerapkan tarif listrik regional

adalah daerah DKI Jaya & Tangerang, karena requirement-nya berbeda dengan

daerah lain. Di daerah tersebut sebagian besar penduduknya telah membutuhkan

listrik yang tidak saja tersedia, namun juga andal dan berkualitas. Andal berarti

tidak ‘bray pet’ (sering mati), dan berkualitas artinya tidak sering redup. Tarif

listrik regional dapat diterapkan pada wilayah yang sudah tidak memerlukan

banyak subsidi atau dengan kata lain wilayah yang sudah mampu baik pemerintah

daerahnya maupun masyarakatnya. Untuk wilayah Jawa Barat dan Banten sendiri,

daerah yang dianggap narasumber sudah siap menerapkan tarif listrik regional

adalah kawasan industri seperti cilegon dan bekasi. Daerah ini dapat dipastikan

telah siap menerapkan tarif listrik regional mengingat saat ini pun sudah

diberlakukan tarif listrik premium. Mereka yang membayar dengan tarif listrik

premium membayar listrik lebih tinggi namun memperoleh service level dari PLN

yang berbeda dengan pelanggan biasa. Biasanya pelanggan yang membayar tarif

listrik premium adalah pelanggan besar seperti industri perakitan otomotif,

industri tekstil skala besar, dan industri besar lainnya dimana jika mati listrik

beberapa detik saja akan berdampak kerugian yang sangat besar bagi industri yang

bersangkutan. Dalam penerapan tarif listrik regional harus dibandingkan antara

kemampuan bayar dari pelanggan listrik dengan performance dari PLN itu sendiri.

Narasumber berpendapat, sebelum memutuskan untuk menerapkan tarif

listrik regional, harus terlebih dahulu dilakukan analisis terhadap revenue dan

komposisi pelanggan PLN tiap wilayah (dari data PLN), sales-nya berapa, profil

beban untuk setiap daerahnya bagaimana. Nanti dapat dibandingkan mana

Page 46: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

wilayah yang kebutuhan listriknya lebih tinggi dan membutuhkan keandalan serta

kualitas listrik lebih tinggi, sehingga dipandang lebih siap dalam menerapkan tarif

listrik regional dan mana wilayah yang masih belum siap. Menurut narasumber,

wilayah dengan komposisi pelanggan industri, komersial/bisnis, serta rumah

tangga yang termasuk pelanggan golongan besar, adalah daerah yang paling siap

untuk menerapkan kebijakan tarif listrik regional. Jadi harus dilihat dulu kondisi

di wilayahnya terlebih dahulu, baik itu sistem kelistrikan dan kemampuan

daerahnya, baru kemudian regulasi untuk tarif listrik regionalnya dibuat. Untuk

PLN sendiri, jika wilayah dibawah wewenang operasionalnya akan menerapkan

tarif listrik regional, harus mampu menyediakan service level quality yang

memang sesuai dengan kebutuhan regional yang dilayani. Di Batam dan Tarakan,

tarif listrik regional dapat diterapkan karena sistemnya isolated (tersendiri).

Adapun kendala dalam penerapan tarif listrik regional menurut

narasumber adalah harus adanya keputusan DPRD serta kemauan dari masyarakat

setempat. Selain itu harus ada pula sosialisasi yang baik kepada masyarakat

sehingga masyarakat mengerti betul apa itu tarif listrik regional, mengapa

diberlakukan tarif listrik regional serta dan bagaimana penerapanya. Tarif listrik

regional dapat diterapkan untuk wilayah dimana pelanggannya tidak hanya

membutuhkan listrik dengan sekedar menyala, namun memerlukan kualitas dan

keandalan dari listrik tersebut.

Page 47: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

6. Narasumber 6 : Sudarmono Sasmono, ST., MT. (Pakar Kelistrikan dan

Ekonomi Energi, Institut Teknologi Bandung)

Wawancara resmi dengan narasumber ini dilakukan pada tanggal 14 Maret

2012 bertempat di Ruang Residensi Gedung Kerjasama PLN-ITB, Kampus

Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha No. 10 Bandung. Adapun wawancara

melalui telepon dilakukan penulis pada tanggal 25 Maret 2012. Narasumber

mengemukakan beberapa pemikirannya mengenai analisis kesenjangan antar

wilayah terkait penerapan tarif listrik regional dengan membandingkan tingkat

kepentingan dari pasangan kriteria dan sub-sub kriteria setiap wilayah serta

masukan-masukan serta pandangan-pandangannya mengenai penerapan kebijakan

tarif listrik regional.

Menurut narasumber, kesenjangan pembangunan atau development gap,

lebih penting untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan kesenjangan

dalam pembangunan infrastruktur kelistrikan atau infrastructure electricity gap.

Narasumber menjelaskan bahwa sesuai dengan teori ekonomi kelistrikan bahwa

ada hubungan elastisitas antara pertumbuhan ekonomi dengan kebutuhan energi.

Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi di suatu daerah, maka semakin tinggi pula

permintaan kebutuhan (demand) akan listrik yang harus dipasok ke daerah

tersebut. Oleh karena itu daerah-daerah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi

tinggi (daerah makmur), mempunyai kebutuhan (demand) akan listrik yang juga

tinggi. Agar pasokan listrik yang disalurkan andal dan berkualitas, maka harus

ada pembangunan infrastruktur kelistrikan yang massive dan terus menerus. Hal

ini otomatis akan membutuhkan biaya yang juga tinggi yang akan diperoleh dari

Page 48: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

tarif listrik yang diterapkan pada harga keekonomiannya (tarif listrik regional).

Jadi dalam hal penerapan tarif listrik regional dilihat dulu faktor pembangunan di

daerah tersebut atau dalam hal ini pertumbuhan ekonominya baru kemudian

infrastruktur kelistrikannya.

Selanjutnya narasumber berpendapat bahwa kontribusi sektor industri dan

bisnis lebih penting untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan PDRB

karena dalam kaitannya dengan penerapan tarif listrik regional, tujuan utamanya

adalah untuk memperoleh listrik yang andal dan berkualitas, dan sektor industri

dan bisnis/komersial adalah sektor beban yang paling membutuhkannya.

PDRB menunjukkan besaran makro kesejahteraan dari suatu daerah. Jika

dibandingkan tingkat kepentingannya dengan konsumsi rumah tangga maka kedua

hal tersebut sama pentingnya untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan tarif

listrik regional karena konsumsi rumah tangga juga menunjukkan besaran makro

kesejahteraan daerah. Namun jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan maka

PDRB lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan tarif listrik

regional. PDRB tidak selalu berbanding terbalik dengan tingkat kemiskinan, atau

dengan kata lain suatu daerah yang mempunyai PDRB tinggi belum tentu

mempunyai mempunyai tingkat kemiskinan yang rendah, begitupun sebaliknya.

PDRB di suatu daerah akan berbanding terbalik dengan tingkat kemiskinan jika

distribusi pembangunan di daerah tersebut merata. Sering terjadi dimana suatu

daerah yang PDRB-nya tinggi adalah hanya merupakan “sumbangsih” dari

sebagian kecil kelompok masyarakatnya saja, misalnya saja seperti di Kabupaten

Mimika. Di kabupaten ini terdapat kecamatan Tembagapura dimana tambang

Page 49: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

emas milik PT. Freeport berada. Kabupaten Mimika adalah kabupaten dengan

PDRB tinggi, namun memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi pula. Ini berarti,

pembangunan di daerah tersebut belum merata dan angka PDRB yang diperoleh

hanya mewakili sebagian kecil masyarakatnya saja. Di daerah dengan karakter

seperti ini, tarif listrik regional dapat diterapkan untuk kelompok masyarakat yang

telah mampu saja, sedangkan sebagian besar masyarakat lainnya yang masih

dianggap belum mampu mengikuti tarif dasar listrik yang telah ditetapkan oleh

pemerintah.

Lebih lanjut narasumber berpendapat bahwa jika dibandingkan dengan

PAD, maka PDRB jelas lebih penting untuk diperhatikan dalam penerapan tarif

listrik regional karena angka PDRB dianggap lebih dapat mencerminkan

kemampuan dari masyarakat daerah tertentu.

Untuk kontribusi sektor industri dan bisnis, menurut narasumber sama

pentingnya untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan konsumsi rumah

tangga. Berbicara tentang tarif listrik regional berarti berbicara tentang

tersedianya listrik yang andal dan berkualitas baik untuk sektor industri dan bisnis

maupun untuk sektor rumah tangga.

Adapun kontribusi sektor industri dan bisnis, menurut narasumber lebih

penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan kebijakan tarif listrik

regional di suatu daerah jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan dan PAD.

Karena penerapan tarif listrik regional adalah tarif listrik pada harga

keekonomian, maka sektor industri dan bisnis yang dianggap lebih mampu dan

membutuhkan listrik yang andal dan berkualitas yang harus lebih diperhatikan.

Page 50: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Sedangkan konsumsi rumah tangga dipandang narasumber sama

pentingnya untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan.

Daerah yang memiliki konsumsi rumah tangga tinggi dan tingkat kemiskinan

rendah, maka daerah tersebut semakin sejahtera. Daerah yang sejahtera

merupakan daerah yang berpeluang besar untuk menerapkan kebijakan tarif listrik

regional.

Sedangkan jika dibandingkan dengan PAD maka konsumsi rumah tangga

lebih penting untuk dipertimbangkan. PAD dipandang narasumber hanya

mencerminkan kemampuan keuangan pemerintah daerah, sedangkan tarif listrik

regional ditetapkan untuk masyarakat. Sedangkan tingkat kemiskinan jika

dibandingkan tingkat kepentingannya dengan PAD, maka PAD dianggap lebih

penting oleh penulis dengan alasan yang sama bahwa tingkat kemiskinan hanya

merupakan angka demografi, sedangkan PAD mencerminkan kemampuan

keuangan pemerintah daerah.

Masuk kepada pembahasan mengenai infrastructure electricity gap,

narasumber berpendapat bahwa kualitas dan keandalan listrik adalah lebih penting

untuk dipertimbangkan dibandingkan dengan ketersediaan energi primer. Dalam

hal penerapan tarif listrik regional yang paling penting adalah tersedianya listrik

yang andal dan berkualitas. Kalaupun suatu daerah tidak memiliki cukup energi

primer, namun masyarakat dan pemerintah daerahnya dianggap mampu dan mau

bayar tarif listrik dengan harga lebih tinggi namun berkualitas dan andal, maka

daerah tersebut dianggap sudah dapat menerapkan tarif listrik regional.

Page 51: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Lebih lanjut narasumber berpendapat bahwa dalam penerapan tarif listrik

regional, density saluran distribusi listrik dan density kapasitas gardu lebih penting

untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik.

Kualitas dan keandalan listrik adalah hasil dari density saluran distribusi dan

kapasitas gardu yang memadai. Infrastruktur kelistrikannya harus terlebih dahulu

diperhatikan, baru berbicara keandalan. Density saluran distribusi adalah panjang

saluran distribusi listrik dibagi dengan luas area/ landuse yang didapatkan dari

proses pengurangan luas areal kota/kabupaten dengan luas areal hutan dan luas

areal sawah. Adapun density kapasitas gardu distribusi adalah jumlah kapasitas

gardu distribusi dibagi dengan luas areal landuse.

Jika panjang saluran distribusinya lebih besar dari landuse, maka

memungkinkan untuk dibuat jaringan secara loop atau spindle (memutar).

Jaringan seperti ini akan memudahkan untuk bermanuver jika terjadi mati listrik

di satu wilayah, atau dengan kata lain keandalan listriknya lebih baik. SAIDI dan

SAIFI-nya pun akan sangat rendah. Jika panjang salurannya lebih kecil atau sama

dengan landuse-nya, maka jaringan listrik akan dibuat radial (lurus), yang tidak

memungkinkan adanya manuver jika terjadi mati listrik di suatu wilayah. Dapat

dikatakan bahwa listrik menjadi tidak andal dan berkualitas. SAIDI dan SAIFI-

nya pun akan cenderung tinggi. Adapun jika di suatu daerah density kapasitas

gardu distribusinya besar, maka dapat diartikan bahwa gardu tersebut mampu

untuk melayani area yang lebih luas, dibandingkan dengan daerah yang density

kapasitas gardu distribusinya lebih kecil.

Page 52: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Jika dibandingkan dengan ketersediaan energi primer, maka density

saluran distribusi listrik dan density kapasitas gardu dipandang narasumber lebih

penting karena ada daerah-daerah yang tidak memiliki cukup energi primer

namun mampu membangun infrastruktur kelistrikan yang memadai ditunjang pula

oleh kemampuan masyarakatnya yang tinggi. Daerah seperti ini merupakan

daerah yang dipandang telah siap menerapkan tarif listrik regional. Adapun jika

density saluran distribusi listrik dibandingkan tingkat kepentingannya dengan

density kapasitas gardu maka akan sama penting karena kedua sub kriteria

tersebut tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Saluran distribusi dibangun untuk

menyalurkan listrik dari gardu.

Di akhir wawancara narasumber menyampaikan beberapa pemikiran dan

pandangannya mengenai penerapan tarif listrik regional khususnya di daerah Jawa

Barat dan Banten. Menurut narasumber, masih sulit untuk menerapkan tarif listrik

regional di daerah Jawa Barat dan Banten karena masih belum meratanya

karakteristik pelanggan listrik di setiap daerah. Misalnya di tingkat Unit

Pelayanan Jaringan (UPJ) dibawah Area Pelayanan Jaringan (APJ) Bandung. UPJ

Cipaganti yang notabene berpenduduk kalangan menengah ke atas pastinya

mampu untuk membayar listrik lebih. Namun di UPJ Cimahi sulit menerapkan

tarif listrik regional karena di daerah-daerah menengah ke atas tersebut juga

tercakup penduduk menengah ke bawah. Itulah sebabnya analisis development

gap itu penting karena bisa menutupi kekurangan itu.

Namun secara umum, narasumber melihat ada beberapa daerah yang siap

untuk menerapkan tarif listrik regional, yaitu daerah-daerah dengan karakteristik

Page 53: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

perkotaan, seperti Bandung, Cimahi, Kota Bogor, Kota Depok, Dan Bekasi.

Sedangkan Tasikmalaya, Ciamis, Sukabumi, Banjar, dan Kuningan belum siap

menerapkan tarif listrik regional karena bukan merupakan pusat pertumbuhan

ekonomi. Di Jawa Barat sendiri ada 6 (enam) daerah pertumbuhan, yaitu :

1. Cekungan Bandung : Kota Bandung

2. Kota Bogor, Depok, Bekasi, Puncak Cianjur

3. Purwakarta, Subang , Karawang

4. Priangan Timur Dan Pangandaran : Daerah Paling Miskin Di Jabar

5. Sukabumi

6. Cianjur, Indramayu, Majalengka, Kuningan :

Di daerah Banten, daerah yg mungkin dapat menerapkan tarif listrik regional

adalah kota Tangerang.

Selain kesiapan dari daerahnya, penerapan tarif listrik regional juga

memerlukan kesiapan dari PLN dimana ada ukuran-ukuran pelayanan yang harus

dipenuhi oleh PLN jika wilayah di bawahnya menerapkan tarif listrik regional.

PLN dituntut untuk konsisten memberikan pelayanan terbaiknya demi memenuhi

kebutuhan pelanggan akan listrik yang andal dan berkualitas.

7. Narasumber 7 : Fitriana, ST., MT. (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)

Wawancara resmi dengan narasumber ini dilakukan pada tanggal 5 Maret

2012 bertempat di Gedung 10 Kantor LIPI, Sangkuriang/Cisitu No. 21/154D

Bandung. Narasumber mengemukakan pendapatnya mengenai tingkat

kepentingan antara kriteria-kriteria yang dibandingkan serta memberikan pendapat

dan masukan-masukan terkait penerapan tarif listrik regional. Menurut

Page 54: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

narasumber, untuk perbandingan berpasangan tingkat pertama yang dilakukan

antara kriteria development gap dengan kriteria infrastructure electricity gap

maka yang paling penting untuk dipertimbangkan dalam kaitannya dengan

rencana penerapan tarif listrik regional di suatu daerah adalah development gap.

Alasan yang dikemukakan oleh narasumber adalah karena development gap lebih

mencerminkan perkembangan real dari masyarakat. Kalaupun infrastruktur

kelistrikan di suatu daerah sudah tersedia, namun kebutuhan dan kemampuan

masyarakatnya masih rendah, maka infrastruktur yang dibangun akan sia-sia.

Adapun kontribusi sektor industri dan bisnis dipandang narasumber lebih

penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan tarif listrik regional jika

dibandingkan dengan PDRB karena sektor industri dan bisnis/komersial sebagai

pengguna paling besar dari energi listrik. Jadi harus dilihat kontribusi industri dan

bisnis/komersialnya terlebih dahulu baru kemudian PDRB-nya. Namun jika

PDRB dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga maka PDRB lebih penting

untuk dipertimbangkan karena PDRB mencerminkan kondisi ekonomi makro

dalam arti aktivitas ekonomi yang lebih luas. Sedangkan konsumsi rumah tangga

hanya mencerminkan sebagian kecil dari kapasitas total pemakaian listrik dari

suatu pembangkit atau dapat dikatakan bahwa konsumsi rumah tangga itu adalah

beban dasar. Dalam penerapan tarif listrik regional harus dilihat dulu kekuatan

ekonomi makronya dalam hal ini adalah PDRB.

Namun jika PDRB dibandingkan tingkat kepentingannya dengan tingkat

kemiskinan, maka tingkat kemiskinan dipandang narasumber lebih penting karena

dalam hal penerapan tarif listrik regional yang harus dipertimbangkan terlebih

Page 55: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

dahulu adalah kemampuan masyarakatnya, dalam hal ini tingkat kemiskinan

mencerminkan kekuatan ekonomi mikro. Tingkat kemiskinan mencerminkan

kemampuan bayar dari masyarakat itu sendiri dan dilihat sebagai kemampuan

terendah dari masyarakat akan tarif listrik.

Lebih lanjut narasumber berpendapat bahwa PDRB lebih penting untuk

dipertimbangkan jika dibandingkan dengan PAD karena PAD hanya

mencerminkan kemampuan pemerintah saja dalam hal ini pajak dan retribusi,

sedangkan PDRB lebih menggambarkan kekuatan ekonomi secara makro. Dalam

hal penerapan tarif listrik regional dimana yang berlaku adalah tarif keekonomian,

maka yang utama diperhatikan adalah kemampuan ekonomi dari masyarakatnya.

Adapun kontribusi sektor industri dan bisnis/komersial terhadap PDRB

dipandang narasumber sama pentingnya untuk dipertimbangkan jika dibandingkan

dengan tingkat kemiskinan. Dalam arti, sektor industri dan bisnis penting

diperhatikan untuk penentuan batas tarif listrik tertinggi, sedangkan tingkat

kemiskinan untuk penentuan batas tarif listrik terendah.

Jika dibandingkan dengan PAD, maka kontribusi sektor industri dan bisnis

dipandang narasumber lebih penting untuk dipertimbangkan karena sektor industri

dan bisnis merupakan sektor yang dianggap paling mampu untuk membayar

listrik pada tarif keekonomiannya, sedangkan PAD dipandang narasumber tidak

terlalu mempengaruhi penentuan tarif listrik regional.

Lebih lanjut narasumber menyampaikan pandangannya bahwa jika

dibandingkan tingkat kepentingannya antara konsumsi rumah tangga dengan

tingkat kemiskinan maka kedua hal tersebut sama penting untuk dipertimbangkan

Page 56: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

dalam hal penerapan tarif listrik regional. Kedua sub kriteria tersebut dipandang

narasumber sebagai indikator penentu nilai tarif listrik terendah dari masyarakat

atau dengan kata lain sebagai gambaran kemampuan bayar listrik dari masyarakat.

Adapun jika dibandingkan dengan PAD, maka konsumsi rumah tangga dan

tingkat kemiskinan dianggap lebih penting karena konsumsi rumah tangga dan

tingkat kemiskinan lebih mencerminkan kemampuan dasar masyarakat akan tarif

listrik.

Masuk kepada pembahasan mengenai kesenjangan infrastruktur kelistrikan

di setiap daerah, narasumber berpendapat bahwa ketersediaan energi primer di

suatu daerah lebih penting untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan

kualitas dan keandalan listrik, karena kualitas dan keandalan listrik tidak akan

terwujud tanpa melihat ketersediaan energi primer yang dimiliki oleh daerah

tersebut yang dibangun untuk fasilitas kelistrikan. Wilayah Jabar dan Banten

menurut narasumber kaya akan potensi energi panas bumi, air, dan mikrohidro

(seperti angin, matahari, dan sebagainya). Untuk sektor industri dan komersial,

energi listrik biasanya diambil dari pembangkit dengan bahan panas bumi atau air

agar andal. Sedangkan untuk sektor rumah tangga bisa diambil dari pembangkit

dengan bahan bakal mikrohidro.

Selanjutnya menurut narasumber density saluran distribusi listrik dan

density kapasitas gardu lebih penting untuk dipertimbangkan dalam penerapan

tarif listrik regional jika dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik

karena sebelum membangun infrastruktur kelistrikan yang berkualitas, harus

diperhatikan terlebih dahulu density saluran distribusi listrik serta density

Page 57: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

kapasitas gardu yang memadai. Jika saluran distribusi serta kapasitas gardu telah

memenuhi kebutuhan (demand) dari suatu daerah maka akan dihasilkan listrik

yang andal dan berkualitas.

Adapun ketersediaan energi primer dipandang narasumber sama pentingnya

dengan density saluran distribusi listrik serta density kapasitas gardu. Ketersediaan

energi primer dipandang sama penting dengan density saluran distribusi listrik

dalam kaitannya dengan penerapan tarif listrik regional karena saluran distribusi

listrik akan dibangun di tempat dimana tersedia energi primer. Ketersediaan

energi primer juga dipandang sama pentingnya dengan density kapasitas gardu

karena density kapasitas gardu disesuaikan dengan keberadaan pusat-pusat beban

serta terkait pula dengan potensi energi yang ada di suatu daerah sehingga dapat

dibuat pembangkit yang sesuai dengan energi primer yang dimiliki oleh daerah

tersebut.

Jika density saluran distribusi listrik dibandingkan tingkat kepentingannya

dengan density kapasitas gardu maka narasumber berpendapat bahwa density

kapasitas gardu lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan tarif

listrik regional karena sebelum dibangun saluran distribusi listrik, dibuat dulu

gardu sebagai penyalur listriknya.

Lebih lanjut narasumber memberikan masukan-masukan dan pemikirannya

terkait penerapan tarif listrik regional. Menurut narasumber penerapan kebijakan

tarif listrik regional akan berbeda dengan rencana penerapan tarif listrik regional

di wilayah DKI Jaya. Di wilayah Jawa Barat dan Banten yang masih harus

menjadi perhatian dan pertimbangan penting adalah sektor rumah tangga sebagai

Page 58: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

beban dasar, tingkat kemiskinan yang tinggi serta jumlah penduduk yang tidak

merata. Sektor industri dan komersial/bisnis di wilayah DKI Jakarta dan

sekitarnya cenderung sudah merata serta tingkat kesejahteraan lebih tinggi dari

wilayah lain di Indonesia. Di daerah Jawa Barat dan Banten sendiri masih banyak

daerah-daerah tertinggal dengan penduduk sedikit. Rasio elektrifikasi pun masih

banyak yang rendah (dibawah 60%).

Menurut narasumber, wilayah Jawa Barat kaya akan potensi energi panas

bumi (geothermal), namun teknologi untuk mengolahnya masih mahal. Hal ini

membuat potensi energi yang dimiliki oleh Jawa Barat sendiri belum dapat

dimanfaatkan secara optimal untuk memperbaiki infrastruktur kelistrikan yang

ada. Dengan beberapa pertimbangan diatas, narasumber berpendapat bahwa

wilayah Jawa Barat dan Banten saat ini masih belum siap untuk menerapkan

kebijakan tarif listrik regional.

8. Narasumber 8 : Muncul Daryoto (Deputi Manajer Administrasi Niaga, PT.

PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten)

Wawancara dengan Bapak Muncul Daryoto dilakukan pada tanggal 4 April

2012 bertempat di Kantor PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten Jl.

Asia Afrika No. 63 Bandung. Narasumber menyampaikan informasi serta

mengemukakan pendapatnya mengenai rencana penerapan tarif listrik regional

khususnya di wilayah Jawa Barat dan Banten.

Menurut Narasumber, pada dasarnya PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa

Barat dan Banten sebagai operator kelistrikan di wilayah Jawa Barat dan Banten

secara infrastruktur kelistrikan telah siap untuk melaksanakan kebijakan tarif

Page 59: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

listrik regional. Namun kebijakan tersebut baru dapat

terlaksana/diimplementasikan jika aturan atau regulasinya telah ditetapkan oleh

pemerintah serta PLN Pusat. Pertimbangan lain yang menyebabkan kebijakan tarif

listrik regional belum diterapkan di wilayah Jawa Barat dan Banten adalah sudah

kuatnya sistem kelistrikan di wilayah Jawa, Madura dan Bali (Jamali) dimana

sistem kelistrikannya sudah interkoneksi. Sistem interkoneksi ini berguna untuk

meningkatkan kemampuan suplai tenaga listrik, agar pada saat terjadi gangguan

pada salah satu pusat pembangkit tidak terlalu berpengaruh pada konsumen atau

dengan kata lain tujuan dari sistem interkoneksi antara lain adalah untuk menjaga

kontinuitas penyediaan tenaga listrik karena apabila salah satu pusat pembangkit

mengalami gangguan masih dapat disuplai dari pembangkit lain yang terhubung

secara interkoneksi. Tujuan lainnya adalah saling memperingan beban yang harus

ditanggung oleh suatu pusat listrik.

Sistem interkoneksi yang ada di Pulau Jawa adalah sistem tegangan tinggi

(75 kV dan 150 kV) serta tegangan ekstra tinggi (500 kV) yang menghubungkan

beberapa PLTA dan PLTU yang terdapat di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa

Timur, yaitu antara pusat pembangkit di Suralaya, Saguling, Semarang, Gresik

dan Paiton. Pembangkit-pembangkit tersebut saling menopang satu sama lain,

dimana jika ada gangguan di wilayah salahsatu pembangkit, maka pembangkit

lain akan segera mengirimkan supplai listriknya sehingga ketersediaan energi

listrik untuk konsumen selalu dapat terjaga. Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa secara umum kualitas dan keandalan listrik di pulau Jawa secara umum

sudah cukup baik. Berbeda dengan kondisi kelistrikan di luar Pulau Jawa dimana

Page 60: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

sistem koneksi listriknya masih radial (lurus) sehingga gangguan di satu wilayah

akan langsung berpengaruh terhadap pelanggan listrik di wilayah tersebut. Contoh

misalnya di Pulau Batam dan Tarakan dimana disana telah diberlakukan kebijakan

tarif listrik regional. Di daerah tersebut, listrik masih dibangkitkan sendiri,

dikelola, didistribusikan dan dijual sendiri atau dengan kata lain sistemnya masih

isolated. Untuk di Pulau Jawa dan Bali sendiri sudah ada unit PLN yang

mengurus langsung masalah pembangkitan yaitu PT. PLN (Persero) Penyaluran

dan Pusat Pengatur Beban Jawa Bali (P3B).

Lebih lanjut menurut narasumber, untuk daerah perkotaan dimana terdapat

pelanggan sektor industri dan bisnis/komersial sangat diperlukan listrik yang

berkualitas dan andal. Saat ini listrik dengan tarif khusus telah diberlakukan di

kawasan tertentu di wilayah Jawa Barat salah satunya yaitu kawasan industri KIIC

Karawang dengan istilah tarif premium. Di kawasan tersebut dapat dikatakan

listrik hampir tidak pernah padam. Kalaupun terjadi padam listrik, maka PLN

akan terkena penalty berupa kewajiban untuk memberikan potongan/discount

pembayaran listrik kepada industri di kawasan tersebut yang diatur dalam kontrak

khusus antara PLN dengan industri di kawasan yang menerapkan tarif premium.

PLN juga mempunyai suatu standar pelayanan yang dinamakan Tingkat Mutu

Pelayanan (TMP) dimana TMP untuk sektor yang berada di kawasan tarif khusus

lebih tinggi dibandingkan dengan TMP untuk sektor-sektor yang lain. Adapun

ketentuan tentang pemberlakuan tarif khusus di suatu kawasan ditetapkan oleh

pemerintah dan PLN Pusat.

Page 61: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Wilayah Jawa Barat dan Banten sendiri menurut narasumber, kaya akan

potensi panas bumi dan mikrohidro. Untuk mengolah potensi panas bumi menjadi

listrik, sudah dibangun PLTP Kamojang di daerah Garut. Namun untuk uapnya

sendiri masih harus membeli dari Pertamina. Dibandingkan dengan bensin, solar,

dan gas, sumber energi panas bumi dinilai lebih ekonomis. Adapun potensi

mikrohidro di Jabar dan Banten belum dikelola dan dikembangkan dengan baik

sehingga daya listrik yang dihasilkan pun masih sangat kecil.

Di akhir wawancara narasumber kembali menyatakan bahwa pada intinya,

PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten sendiri telah siap melaksanakan kebijakan

tarif listrik regional jika memang dari pemerintah daerah dan DPRD juga telah

siap dengan regulasinya, PLN siap sebagai operator dan pelaksana sosialisasinya,

dan masyarakat setempat telah mau dan mampu untuk membayar listrik dengan

tarif keekonomiannya.

4.2.2 Indikasi Adanya Kesenjangan (Gap) Antar Kota dan Kabupaten di

Wilayah Jawa Barat dan Banten

Adanya perbedaan karakteristik di setiap kota dan kabupaten di wilayah

Jawa Barat dan Banten menyebabkan terjadinya kesenjangan (gap) antar wilayah

tersebut baik dari segi kekayaan alam, kemampuan masyarakat, kemampuan

pemerintah daerah, kualitas dan keandalan listrik serta infrastruktur yang dimiliki.

Dari segi kekayaan alam, gap terlihat dari adanya perbedaan dalam hal potensi

energi primer yang dimiliki oleh setiap wilayah. Dari segi kemampuan

masyarakat, gap terlihat dari PDRB perkapita, kontribusi sektor industri dan

Page 62: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

bisnis terhadap PDRB, konsumsi rumah tangga dan tingkat kemiskinan.

Kemampuan pemerintah daerah dapat terlihat dari gap antar wilayah dalam hal

Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kualitas/keandalan listrik terlihat dari SAIDI dan

SAIFI di setiap daerah sedangkan gap untuk infrastruktur kelistrikan yang

dimiliki dapat terlihat dari kepadatan kapasitas gardu serta kepadatan saluran

distribusi jaringan listrik di setiap daerah.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan penulis, gap antar wilayah jelas

terlihat dari perhitungan koefisien variansi dari tabel berikut ini :

Page 63: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Tabel 4.9. Koefisien Variansi Yang Menunjukkan Gap antar kriteria di setiap kota dan kabupaten di Jawa Barat dan Banten

NO. Kabupaten/Kota

PDRB Perkapita

Atas Dasar Harga

Konstan 2000 Tahun 2009

Kontribusi Sektoral

Terhadap PDRB

Konsumsi RT

Perkapita/bulan (Rp.)

Tingkat Kemiskinan

(%)

PAD (ribu rupiah)

Keandalan Total

Potensi Energi (Mwe)

σkgd (Kepadatan Kapasitas

Gardu)

σTDi (Kepadatan

Saluran Distribusi)

SAIFI SAIDI

JAWA BARAT 1 Kab. Bogor 6.390.000 81% 452.963 8% 166.260.110 0.5525 0.0095 476 1.95 21.29

2 Kab. Sukabumi 3.340.000 46% 345.972 8% 80.616.079 0.2232 0.0103 929 1.10 32.24

3 Kab. Cianjur 3.580.000 34% 355.850 7% 93.628.876 0.2639 0.0054 480 1.15 37.56

4 Kab.Bandung 6.446.689 79% 433.484 11% 152.549.656 0.8772 0.0234 479 4.34 51.27

5 Kab. Garut 4.470.000 38% 314.851 6% 102.702.673 0.5495 0.0208 992 1.38 29.99

6 Kab. Tasikmalaya 3.580.000 32% 311.482 7% 49.657.867 0.0931 0.0050 1117 1.32 44.37

7 Kab.Ciamis 4.500.000 38% 361.519 8% 51.276.556 0.0931 0.0050 348 1.48 44.37

8 Kab. Kuningan 3.630.000 32% 358.465 6% 63.573.539 0.4926 0.0175 287 2.17 29.20

9 Kab.Cirebon 3.530.000 41% 398.129 5% 116.095.438 0.4926 0.0175 175 5.29 29.20

10 Kab. Majalengka 3.610.000 41% 392.226 5% 68.121.599 0.2660 0.0133 1212 5.29 39.32

11 Kab.Sumedang 4.920.000 55% 468.609 7% 90.819.326 0.2660 0.0133 487 3.71 39.32

12 Kab.Indramayu 8.120.000 38% 387.956 5% 86.408.587 0.4926 0.0175 18846 3.08 29.20

13 Kab.Subang 4.970.000 40% 453.322 7% 67.665.305 0.1832 0.0067 79529 1.86 28.06

14 Kab.Purwakarta 8.190.000 72% 474.333 9% 64.044.768 0.1832 0.0067 174 1.88 28.06

15 Kab.Karawang 8.730.000 68% 456.046 7% 130.020.658 0.3906 0.0119 62917 3.81 73.68

16 Kab.Bekasi 21.330.000 89% 590.216 17% 287.299.507 0.5236 0.0093 28786 6.35 158.42

Page 64: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

NO. Kabupaten/Kota

PDRB Perkapita

Atas Dasar Harga

Konstan 2000 Tahun 2009

Kontribusi Sektoral

Terhadap PDRB

Konsumsi RT

Perkapita/bulan (Rp.)

Tingkat Kemiskinan

(%)

PAD (ribu rupiah) Keandalan

Total Potensi Energi (Mwe)

σkgd (Kepadatan Kapasitas

Gardu)

σTDi (Kepadatan

Saluran Distribusi)

17 Kab.Bandung Barat 4.850.000 69% 354.394 6% 39.964.364 0.8772 0.0234 194 2.11 42.45

18 Kota Bogor 5.080.000 63% 697.875 10% 125.313.316 0.4608 0.0074 9 15.28 28.00

19 Kota Sukabumi 6.390.000 55% 609.063 10% 66.190.681 0.2232 0.0103 10 13.01 32.24

20 Kota Bandung 12.600.000 69% 888.022 23% 360.152.627 0.3663 0.0251 13 16.92 359.86

21 Kota Cirebon 20.920.000 69% 653.360 7% 77.318.390 0.4926 0.0175 3 11.32 29.20

22 Kota Bekasi 6.210.000 75% 785.647 16% 231.694.925 0.5236 0.0093 10 25.96 158.42

23 Kota Depok 3.970.000 75% 763.019 37% 115.720.348 0.6579 0.0221 12 34.34 293.00

24 Kota Cimahi 11.050.000 82% 577.133 12% 75.037.372 0.9009 0.0135 3 27.24 42.45

25 Kota Tasikmalaya 4.110.000 54% 516.107 4% 76.503.523 0.0931 0.0050 31 8.04 44.37

26 Kota Banjar 4.190.000 50% 425.111 11% 28.011.890 0.0931 0.0050 19 3.89 44.37

BANTEN 1 Kab. Pandeglang 3.616.000 45% 625.060 8% 31.921.009 0.3401 0.0117 258 0.76 34.09

2 Kab. Lebak 3.062.000 35% 627.490 8% 58.026.745 0.3401 0.0117 26910 0.64 34.09

3 Kab. Serang 5.091.785 73% 630.080 15% 118.585.763 0.7692 0.0216 602 2.15 54.18

4 Kota Cilegon 33.169.357 76% 641.880 25% 135.537.940 0.7692 0.0216 11 4.22 58.34

5 Kota Serang 5.363.925 70% 635.340 16% 17.923.437 0.7692 0.0216 6 2.15 54.18

KOTA BATAM 26.027.497 88% 407.556 14% 154.375.852 2.1000 0.0460 11 10.77 90.10

Rerata 7.969.914 58% 512.268 0.11 105.719.335 0.49 0.01 7.042 7.03 66.09

Simpangan baku 7.138.769 0.18 148.800 0.07 72.426.089 0.38 0.01 18.210 8.36 74.73

Koefisien Variansi 90% 31% 29% 65% 69% 76% 58% 259% 119% 113%

Page 65: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Koefisien variansi adalah perbandingan antara simpangan standar dengan nilai

rata-rata data yang dinyatakan dengan persentase. Makin besar koefisien variansi

maka semakin besar pula variasi dan sebaran data, sehingga dapat dikatakan bahwa

semakin besar gap dari kriteria-kriteria antar kota dan kabupaten tersebut. Dari tabel

5.1 terlihat bahwa terdapat gap yang tinggi untuk setiap kriteria dari kota dan

kabupaten di Jawa Barat dan Banten (nilai koefisien variansi diatas 44%, perhitungan

terlampir) dimana konsumsi rumah tangga adalah kriteria dengan gap terendah

diantara kriteria lainnya (29%), diikuti oleh kriteria kontribusi sektor indusri dan

bisnis terhadap PDRB (31%), lama waktu gangguan/SAIDI (58%), tingkat

kemiskinan (65%), PAD (69%), frekuensi padam listrik/SAIFI (76%) dan PDRB

perkapita atas dasar harga konstan (90%). Kriteria dengan gap yang sangat tinggi

adalah total potensi energi (259%), kepadatan/density kapasitas gardu listrik (119%),

dan kepadatan/density jaringan distribusi listrik (113%). Koefisien variansi untuk

ketiga kriteria itu lebih dari 100% yang berarti bahwa variansi datanya sangat besar,

sebaran datanya sangat lebar dan perbedaan atau gap antar datanya sangat tinggi. Hal

ini menggambarkan bahwa terdapat gap yang sangat tinggi dari sisi potensi energi

yang dimiliki serta ketersediaan infrastruktur kelistrikan di setiap wilayah.

Dengan adanya gap yang sangat tinggi dilihat dari kekayaan alam,

kemampuan masyarakat, kemampuan pemerintah daerah, kualitas dan keandalan

listrik serta infrastruktur yang dimiliki antar kota dan kabupaten tersebut sewajarnya

tarif listrik yang berlaku berbeda disesuaikan dengan kriteria wilayahnya

Page 66: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

4.2.3 Indikasi Segmentasi Tarif Listrik Regional Di Kota Dan Kabupaten Di

Wilayah Jawa Barat dan Banten Dengan Menggunakan Metoda Analitycal

Hierarchy Process (AHP)

Seperti telah dikemukakan pada Bab 3 tentang metodologi penelitian bahwa

untuk memudahkan analisis kesenjangan (gap) antar wilayah di Jawa Barat dan

Banten, dari hasil pengumpulan data sekunder serta dari hasil wawancara dan

penyebaran daftar pertanyaan/kuesioner kepada para narasumber digunakan metoda

Analitycal Hierarchy Process (AHP). Dengan metoda ini akan diketahui urutan

prioritas daerah/regional di wilayah Jawa Barat dan Banten yang telah siap dan yang

belum siap untuk menerapkan tarif regional dengan menggunakan proses segmentasi

berdasarkan analisis kesenjangan dengan pendekatan teori Development Gap dan

Infrastructure Electricity Gap.

Dari hasil wawancara kepada 7 (tujuh) orang narasumber dari ITB dan LIPI,

penulis membuat rekap hasil pengisian kuesionernya sebagai berikut :

Page 67: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Tabel 4.10. Ikhtisar Jawaban Narasumber/Hasil Pengisian Daftar Pertanyaan (Kuesioner)

NO KRITERIA/ KONDISI

PENILAIAN

KRITERIA/ KONDISI

Mutlak Lebih

Penting

Sangat Jelas Lebih

Penting

Jelas Lebih

Penting

Sedikit Lebih

Penting Sama

Penting Sedikit Lebih

Penting

Jelas Lebih

Penting

Sangat Jelas Lebih

Penting

Mutlak Lebih

Penting

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 Development

Gap NH,FI, YS,SS SH,MN,

AP Infrastructure Electricity Gap

2 PDRB

SH,YS NH,MN FI, SS,AP

Kontribusi Sektor Industri & Bisnis terhadap PDRB

3 PDRB NH,SH,

MN,FI YS, SS AP Konsumsi Rumah Tangga

4 PDRB MN,SS,

NH, YS SH,FI, AP

Tingkat Kemiskinan

5 PDRB SH,MN FI,YS,SS,AP NH PAD

6 Kontribusi Sektor industri & Bisnis thd PDRB

SH FI, YS,SS, AP,NH MN,

Konsumsi RT

7 Kontribusi Sektor industri & Bisnis thd PDRB

MN,SS,AP,NH FI, YS SH

Tingkat Kemiskinan

8 Kontribusi Sektor industri & Bisnis thd PDRB

SH,FI,

MN,SS,AP

YS NH,

Pendapatan Asli Daerah (PAD)

9 Konsumsi RT MN,AP FI, YS,SS NH,SH Tingkat Kemiskinan

10 Konsumsi RT FI,SS SH,MN,

AP YS NH Pendapatan Asli Daerah (PAD)

11 Tingkat Kemiskinan SH YS,

AP, FI NH, MN,SS Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Page 68: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

NO KRITERIA/ KONDISI

PENILAIAN

KRITERIA/ KONDISI

Mutlak Lebih

Penting

Sangat Jelas Lebih

Penting

Jelas Lebih

Penting

Sedikit Lebih

Penting Sama

Penting Sedikit Lebih

Penting

Jelas Lebih

Penting

Sangat Jelas Lebih

Penting

Mutlak Lebih

Penting

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 12 Kualitas dan

Keandalan Listrik

MN SS FI,YS,AP SH NH Ketersediaan Energi Primer

13 Kualitas dan Keandalan Listrik

MN NH,SH, FI,YS, SS,AP

Density Saluran Distribusi Listrik

14 Kualitas dan Keandalan Listrik

MN NH,FI,YS,SS,AP SH

Density Kapasitas Gardu Distribusi Listrik

15 Ketersediaan Energi Primer NH FI,AP MN,

YS,SS SH Density Saluran Distribusi Listrik

16 Ketersediaan Energi Primer NH, FI,AP MN,

YS,SS SH Density Kapasitas Gardu Distribusi Listrik

17 Density Saluran Distribusi Listrik

NH,SH, MN,YS,

SS FI,AP

Density Kapasitas Gardu Distribusi

Keterangan : 1. NH : Nanang Hariyanto 5. AP : Agus Purwadi 2. SH : Syarif Hidayat 6. SS : Sudarmono Sasmono 3. YS : Yusra Sabri 7. FI : Fitriana 4. MN : Muhammad Nurdin

Page 69: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Dari tabel 4.9 di atas terlihat bahwa ada kecenderungan jawaban dari para

pakar/tenaga ahli untuk setiap pertanyaan kuesioner (kotak dengan highlight biru)

yang dapat dilihat dari mayoritas jawaban dari para pakar yang diwawancarai.

Jawaban-jawaban tersebut akan diolah oleh peneliti dengan menggunakan metoda

Analitycal Hierarchy Process (AHP). Untuk memperoleh hasil yang akurat, maka

peneliti dibantu oleh software Expert Choice 11 dan hasilnya adalah sebagai

berikut :

1. Pada tingkat pertama, perbandingan berpasangan dilakukan antara kriteria

development gap dan infrastructure electricity gap. Dari hasil wawancara

diperoleh informasi bahwa mayoritas narasumber yaitu sebanyak 4 orang

narasumber berpendapat bahwa kriteria development gap jelas lebih penting

untuk dipertimbangkan dibandingkan dengan kriteria infrastructure

electricity gap. Perbandingan berpasangan antara kedua kriteria tersebut

ditampilkan pada gambar di bawah ini :

Gambar 4.2. Perbandingan Berpasangan Antara Development Gap dengan Infrastructure Electricity Gap

Page 70: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Mayoritas narasumber berpendapat bahwa masyarakat yang siap secara

ekonomi pasti sudah siap membayar tarif listrik pada nilai keekonomiannya.

Di Pulau Jawa, termasuk di dalamnya daerah Jawa Barat dimana

pertumbuhan penduduk serta tingkat pertumbuhan ekonominya lebih tinggi

dibandingkan wilayah lain di Indonesia, mutlak memerlukan pembangunan

infrastruktur kelistrikan yang andal dan berkualitas yang dapat menunjang

seluruh aktifitas penduduk dan perekomiannya. Sesuai dengan teori

ekonomi kelistrikan bahwa ada hubungan elastisitas antara pertumbuhan

ekonomi dengan kebutuhan energi maka semakin tinggi pertumbuhan

ekonomi di suatu daerah, maka semakin tinggi pula permintaan kebutuhan

(demand) akan listrik yang harus dipasok ke daerah tersebut. Oleh karena itu

daerah-daerah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi (daerah

makmur), mempunyai kebutuhan (demand) akan listrik yang juga tinggi.

Agar pasokan listrik yang disalurkan andal dan berkualitas, maka harus ada

pembangunan infrastruktur kelistrikan yang massive dan terus menerus. Hal

ini otomatis akan membutuhkan biaya yang juga tinggi yang akan diperoleh

dari tarif listrik yang diterapkan pada harga keekonomiannya (tarif listrik

regional). Jadi dalam hal penerapan tarif listrik regional dilihat dulu faktor

pembangunan di daerah tersebut atau dalam hal ini pertumbuhan

ekonominya baru kemudian infrastruktur kelistrikannya. Jadi dapat

disimpulkan bahwa kriteria development gap lebih penting untuk

dipertimbangkan dalam hal penerapan tarif listrik regional dibandingkan

dengan infrastructure electricity gap.

Page 71: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Pada tingkat kedua, perbandingan berpasangan dilakukan diantara

subkriteria pembentuk development gap dan diantara subkriteria pembentuk

infrastructure electricity gap sebagai berikut :

2. Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 3 orang narasumber berpendapat

bahwa kontribusi sektor industri dan bisnis sedikit lebih penting untuk

dipertimbangkan dalam hal penerapan kebijakan tarif listrik regional jika

dibandingkan dengan PDRB. Perbandingan berpasangan antara kedua

subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar di bawah ini :

Gambar 4.3. Perbandingan Berpasangan Antara PDRB dengan Kontribusi Sektor Industri dan Bisnis

Kontribusi sektor industri dan bisnis dipandang mayoritas narasumber lebih

penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan tarif listrik regional

jika dibandingkan dengan PDRB karena pelanggan sektor industri dan

bisnis merupakan pelanggan dengan konsumsi listrik paling besar meskipun

secara kuantitas jumlah pelanggan ini lebih sedikit dari konsumen rumah

tangga. Dalam hal penerapan tarif listrik regional harus diperhatikan terlebih

dahulu sektor beban yang menggunakan listrik paling besar dan

Page 72: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

memerlukan listrik yang andal dan berkualitas, dan dalam hal ini sektor

industri dan bisnis/komersial adalah sektor beban yang paling

membutuhkannya.

3. Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 4 orang narasumber berpendapat

bahwa PDRB sedikit lebih penting dibandingkan dengan Konsumsi Rumah

Tangga. Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut

ditampilkan pada gambar di bawah ini :

Gambar 4.4. Perbandingan Berpasangan Antara PDRB dengan Konsumsi Rumah Tangga

PDRB dipandang mayoritas narasumber sedikit lebih penting dibandingkan

dengan Konsusi Rumah Tangga dengan alasan bahwa angka PDRB

mencerminkan kondisi ekonomi makro dalam arti aktivitas ekonomi yang

lebih luas. Didalam PDRB sudah termasuk seluruh kegiatan usaha dari

penduduk di daerah tersebut seperti dari sektor industri, bisnis, termasuk di

dalamnya kegiatan dari sektor rumah tangga. Angka konsumsi rumah

tangga hanya mencerminkan sebagian kecil dari kapasitas total pemakaian

listrik dari suatu pembangkit atau dapat dikatakan bahwa konsumsi rumah

Page 73: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

tangga itu adalah beban dasar. Dalam penerapan tarif listrik regional harus

dilihat dulu kekuatan ekonomi makronya dalam hal ini kekuatan ekonomi

makro suatu wilayah tersebut dapat tercermin dalam PDRB.

4. Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 4 orang narasumber berpendapat

bahwa dalam penerapan kebijakan tarif listrik regional, PDRB sedikit lebih

penting untuk dipertimbangkan dibandingkan dengan Tingkat Kemiskinan.

Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan

pada gambar di bawah ini :

Gambar 4.5. Perbandingan Berpasangan Antara PDRB dengan Tingkat Kemiskinan

PDRB dipandang mayoritas narasumber sedikit lebih penting dibandingkan

dengan tingkat kemiskinan dengan alasan bahwa terkadang angka tingkat

kemiskinan di suatu daerah tidak terlalu akurat, sedangkan angka PDRB

lebih reliabel. Namun sebenarnya kedua hal tersebut berkaitan erat satu

sama lain. PDRB mencerminkan kemampuan ekonomi penduduk di suatu

wilayah. Semakin tinggi PDRB semakin tinggi pula kemampuan ekonomi

Page 74: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

penduduk di wilayah tersebut. Kemampuan ekonomi tinggi berarti tingkat

kemiskinan yang rendah.

5. Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 4 orang narasumber berpendapat

bahwa dalam penerapan kebijakan tarif listrik regional, PDRB jelas lebih

penting untuk dipertimbangkan dibandingkan dengan Pendapatan Asli

Daerah (PAD). Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut

ditampilkan pada gambar di bawah ini :

Gambar 4.6. Perbandingan Berpasangan Antara PDRB dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

PDRB dipandang mayoritas narasumber jelas lebih penting dibandingkan

dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan alasan PDRB lebih

menggambarkan kekuatan ekonomi secara makro, sedangkan PAD hanya

mencerminkan kemampuan pemerintah saja dalam hal ini mencakup

perolehan pajak dan retribusi dari suatu daerah. Dalam hal penerapan tarif

listrik regional dimana yang berlaku adalah tarif keekonomian, maka yang

utama diperhatikan adalah kemampuan ekonomi dari masyarakatnya.

Page 75: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

6. Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 4 orang narasumber berpendapat

bahwa kontribusi sektor industri dan bisnis terhadap PDRB sama

pentingnya dengan konsumsi rumah tangga. Perbandingan berpasangan

antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar di bawah ini :

Gambar 4.7. Perbandingan Berpasangan Antara Kontribusi Sektor Industri dan Bisnis terhadap PDRB dengan Konsumsi Rumah Tangga

Kontribusi sektor industri dan bisnis terhadap PDRB di suatu daerah

dipandang narasumber sama pentingnya untuk dipertimbangkan dalam

penerapan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan konsumsi rumah

tangga. Pendapat ini muncul dengan alasan bahwa berbicara tentang tarif

listrik regional berarti berbicara tentang tersedianya listrik yang andal dan

berkualitas baik untuk sektor industri dan bisnis maupun untuk sektor rumah

tangga. Sektor industri dan bisnis berkontribusi besar terhadap PDRB,

sedangkan PDRB merupakan representasi dari pendapatan bruto, dimana

didalamnya terdapat kemampuan anggaran yang dibelanjakan. Kemampuan

anggaran yang dibelanjakan dapat dianggap sebagai konsumsi rumah

Page 76: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

tangga. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kontribusi sektor

industri dan bisnis terhadap PDRB sama pentingnya dengan tingkat

konsumsi rumah tangga.

7. Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 4 orang narasumber berpendapat

bahwa kontribusi sektor industri dan bisnis terhadap PDRB sedikit lebih

penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan kebijakan tarif listrik

regional jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan. Perbandingan

berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar di

bawah ini :

Gambar 4.8. Perbandingan Berpasangan Antara Kontribusi Sektor Industri dan Bisnis terhadap PDRB dengan Tingkat Kemiskinan

Kontribusi sektor industri dan bisnis terhadap PDRB dipandang mayoritas

narasumber sedikit lebih penting dibandingkan dengan Tingkat Kemiskinan

dengan alasan bahwa sektor industri dan bisnis meskipun dari segi

kuantitas/jumlah pelanggan lebih sedikit namun dari segi konsumsi listrik

jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan sektor rumah tangga. Sektor

industri dan bisnis ini juga dipandang lebih mau dan mampu membayar tarif

Page 77: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

listrik dengan harga lebih tinggi selama listrik yang mereka terima andal dan

berkualitas. Selain itu, meskipun tingkat kemiskinan dapat menggambarkan

kemampuan bayar dari masyarakat di suatu daerah, namun angka tingkat

kemiskinan seringkali tidak mencerminkan kondisi yang sebenarnya.

8. Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 5 orang narasumber berpendapat

bahwa kontribusi sektor industri dan bisnis terhadap PDRB sangat jelas

lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan kebijakan tarif

listrik regional jika dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan

pada gambar di bawah ini:

Gambar 4.9. Perbandingan Berpasangan Antara Kontribusi Sektor Industri dan Bisnis terhadap PDRB dengan PAD

Kontribusi sektor industri dan bisnis terhadap PDRB dipandang mayoritas

narasumber sangat jelas lebih penting dibandingkan dengan PAD dengan

alasan bahwa kebijakan penerapan tarif listrik regional yang akan diterapkan

di suatu daerah adalah tidak untuk semua golongan tarif, yaitu hanya untuk

golongan industri, bisnis dan rumah tangga kaya yang memerlukan listrik

Page 78: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

dengan kualitas dan keandalan tinggi. Golongan pelanggan tersebut juga

dianggap paling mampu untuk membayar listrik pada tarif keekonomiannya.

Adapun PAD yang mencerminkan kemampuan pemerintah daerah, tidak

terlalu penting untuk dipertimbangkan karena pemda setempat yang

memberlakukan kebijakan tarif listrik regional tidak perlu memberikan

subsidi.

9. Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 3 orang narasumber berpendapat

bahwa konsumsi rumah tangga sama penting untuk dipertimbangkan dalam

hal penerapan kebijakan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan

tingkat kemiskinan. Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria

tersebut ditampilkan pada gambar di bawah ini:

Gambar 4.10.Perbandingan Berpasangan Antara Konsumsi Rumah Tangga dengan Tingkat Kemiskinan

Konsumsi rumah tangga dipandang mayoritas narasumber sama pentingnya

dengan tingkat kemiskinan dengan alasan bahwa kedua sub kriteria tersebut

adalah saling berkaitan erat dimana makin kecil konsumsi rumah tangga,

semakin tinggi pula tingkat kemiskinan. Selain itu konsumsi rumah tangga

Page 79: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

dan tingkat kemiskinan juga sebagai indikator penentu nilai tarif listrik

terendah dari masyarakat atau dengan kata lain sebagai gambaran

kemampuan bayar listrik dari masyarakat.

10. Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 3 orang narasumber berpendapat

bahwa konsumsi rumah tangga jelas lebih penting untuk dipertimbangkan

dalam hal penerapan kebijakan tarif listrik regional jika dibandingkan

dengan PAD. Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut

ditampilkan pada gambar di bawah ini:

Gambar 4.11. Perbandingan Berpasangan Antara Konsumsi Rumah Tangga dengan Pendapatan Asli Daerah

Konsumsi rumah tangga dipandang mayoritas narasumber jelas lebih

penting dibandingkan dengan PAD dengan alasan bahwa konsumsi rumah

tangga berkaitan langsung dengan kebutuhan energi listrik di suatu daerah

sedangkan PAD berkaitan dengan sejauh mana pemda setempat mau

membangun infrastruktur dan mau menanggung subsidi. Meskipun PAD

di suatu wilayah tinggi namun tidak ada keinginan dari pemda untuk

melakukan pembangunan infrastruktur kelistrikan atau menanggung

Page 80: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

subsidi bagi penduduk miskin, maka tarif listrik regional akan sulit untuk

diterapkan. Angka PAD juga dinilai masih sangat makro jika

dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga.

11. Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 3 orang narasumber berpendapat

bahwa tingkat kemiskinan lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal

penerapan kebijakan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan PAD.

Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan

pada gambar di bawah ini:

Gambar 4.12. Perbandingan Berpasangan Antara Tingkat Kemiskinan dengan Pendapatan Asli Daerah

Tingkat kemiskinan dipandang mayoritas narasumber lebih penting untuk

dipertimbangkan jika dibandingkan dengan PAD dengan alasan bahwa

dalam hal penerapan tarif listrik regional, hal yang utama adalah

kemampuan bayar dari masyarakat. Tingkat kemiskinan dapat

menggambarkan kemampuan dasar masyarakat akan tarif listrik, adapun

PAD hanya menggambarkan kemampuan pemerintah saja. Jika masyarakat

Page 81: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

sudah merasa mampu dan mau membayar tarif listrik sesuai dengan

keekonomiaannya, maka tanpa harus disubsidi pemerintah maka tarif listrik

regional dapat diterapkan.

12. Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 3 orang narasumber berpendapat

bahwa ketersediaan energi primer sedikit lebih penting untuk

dipertimbangkan dalam hal penerapan kebijakan tarif listrik regional jika

dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik. Perbandingan

berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar di

bawah ini:

Gambar 4.13 Perbandingan Berpasangan Antara Kualitas dan

Keandalan Listrik dengan Ketersediaan Energi Primer

Ketersediaan energi primer dipandang mayoritas narasumber sedikit lebih

penting jika dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik dengan

alasan bahwa keandalan dan kualitas listrik adalah hasil dari tersedianya

sumber energi yang mencukupi untuk melistriki suatu daerah. Kualitas dan

keandalan listrik tidak akan terwujud tanpa melihat ketersediaan energi

primer yang dimiliki oleh daerah tersebut yang dibangun untuk fasilitas

Page 82: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

kelistrikan. Suatu daerah yang mempunyai ketersediaan energi primer yang

mencukupi, ditunjang oleh kemampuan dan keinginan pemerintah daerah

setempat untuk membangun infrastruktur kelistrikan yang memadai serta

kemampuan dan kemauan masyarakat untuk membeli listrik dengan harga

keekonomiannya, maka akan kebijakan tarif listrik regional akan dapat

diterapkan dengan baik.

13. Hampir seluruh narasumber yaitu sebanyak 6 orang narasumber berpendapat

bahwa density saluran distribusi listrik sangat jelas lebih penting untuk

dipertimbangkan dalam hal penerapan kebijakan tarif listrik regional jika

dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik. Perbandingan

berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar di

bawah ini:

Gambar 4.14. Perbandingan Berpasangan Antara Kualitas dan Keandalan Listrik dengan Density Saluran Distribusi Listrik

Density saluran distribusi listrik dipandang mayoritas narasumber sangat

jelas lebih penting jika dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik

dengan pertimbangan bahwa infrastruktur kelistrikannya harus terlebih

dahulu diperhatikan, baru berbicara tentang kualitas dan keandalan.

Page 83: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Infrastruktur kelistrikan disini salah satunya adalah density saluran distribusi

listrik. Jika saluran distribusi listrik telah memenuhi kebutuhan (demand)

dari suatu daerah, maka akan dihasilkan listrik yang andal dan berkualitas.

14. Hampir seluruh narasumber yaitu sebanyak 6 orang narasumber berpendapat

bahwa density saluran kapasitas gardu sangat jelas lebih penting untuk

dipertimbangkan dalam hal penerapan kebijakan tarif listrik regional jika

dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik. Perbandingan

berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar di

bawah ini:

Gambar 4. 15. Perbandingan Berpasangan Antara Kualitas dan Keandalan Listrik dengan Density Kapasitas Gardu Distribusi

Density kapasitas gardu distribusi listrik dipandang mayoritas narasumber

sangat jelas lebih penting jika dibandingkan dengan kualitas dan keandalan

listrik dengan pertimbangan bahwa yang paling utama dilihat di suatu

daerah dalam hal pembangunan infrastruktur kelistrikan adalah ada tidaknya

gardu penyalur dan saluran distribusi listriknya. Jika density (kerapatan)

saluran distribusi listrik serta kapasitas gardu listriknya cukup baik, maka

listrik yang dihasilkan pun akan berkulitas dan andal. Jika density saluran

Page 84: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

distribusi listrik dan density kapasitas gardu listriknya tidak menunjang

maka tidak akan terwujud keandalan listrik sehingga akan sulit pula untuk

menerapkan tarif listrik regional

15. Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 3 orang narasumber berpendapat

bahwa density saluran distribusi listrik serta density kapasitas gardu

distribusi listrik sedikit lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal

penerapan kebijakan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan

ketersediaan energi primer. Perbandingan berpasangan antara kedua

subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar-gambar di bawah ini:

Gambar 4.16 Perbandingan Berpasangan Antara Ketersediaan Energi Primer dengan Density Saluran Distribusi Listrik

Gambar 4.17. Perbandingan Berpasangan Antara Ketersediaan Energi Primer dengan Density Saluran Kapasitas Gardu Distribusi Listrik

Page 85: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Density saluran distribusi listrik dan density kapasitas gardu distribusi listrik

dipandang mayoritas narasumber sedikit lebih penting jika dibandingkan

dengan ketersediaan energi primer dengan pertimbangan bahwa di daerah-

daerah yang minim sumber energi primernya pun, namun pemerintah daerah

setempat mampu membangun infrastruktur kelistrikan yang memadai dan

ditunjang pula oleh kemampuan masyarakatnya yang tinggi, maka daerah

tersebut dipandang telah siap untuk menerapkan tarif listrik regional.

16. Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 5 orang narasumber berpendapat

bahwa density saluran distribusi listrik sama penting untuk dipertimbangkan

dalam hal penerapan kebijakan tarif listrik regional jika dibandingkan

dengan density kapasitas gardu distribusi listrik. Perbandingan berpasangan

antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar di bawah ini:

Gambar 4.18. Perbandingan Berpasangan Antara Density Saluran Distribusi Listrik dengan Density Saluran Kapasitas Gardu Distribusi Listrik

Density saluran distribus listrik dipandang mayoritas narasumber sama

pentingnya dengan density kapasitas gardu distribusi listrik dengan alasan

kedua subkriteria tersebut adalah sama penting karena saling berkaitan erat

Page 86: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

satu sama lain. Saluran distribusi dibangun untuk menyalurkan listrik dari

gardu listrik. Ada gardu listrik, maka harus ada saluran listrik, begitupun

sebaliknya. Jika density saluran distribusinya banyak namun kapasitas

gardunya kecil maka jaringan listrik tidak leluasa untuk bermanuver, yang

akan berakibat turunnya keandalan dan kualitas listrik yang disalurkan.

Begitu pula jika kapasitas gardu yang dibangun besar, namun saluran

distribusinya tidak memadai, maka listrik yang disalurkan tidak akan andal

dan berkualitas sehingga tarif listrik regional akan sulit untuk diterapkan.

Dari perbandingan berpasangan seluruh kriteria dalam 2 tingkat tersebut,

dengan menggunakan perangkat lunak Expert choice dapat ditentukan bobot

masing-masing kriteria. Bobot tersebut ditampilkan pada gambar 4.18 dibawah

ini :

Gambar 4.19 Bobot Kriteria Regionalisasi

Page 87: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Untuk lebih jelasnya, bobot dalam gambar 4.19 tersebut dapat dilihat dalam

Tabel 4.10 berikut :

Tabel 4.11 Bobot Sub Kriteria Tarif Listrik Regional

SUB KRITERIA BOBOT PDRB 0.24 Kontribusi Sektor Industri dan Bisnis 0.319 Konsumsi Rumah Tangga 0.15 Tingkat Kemiskinan 0.105 Pendapatan Asli Daerah (PAD) 0.032 Kualitas dan Keandalan Listrik 0.008 Ketersediaan Energi Primer 0.018 Density Saluran Distribusi Listrik 0.064 Density Kapasitas Gardu Distribusi 0.064

Dari Gambar 4.19 terlihat bahwa inkonsistensi total bobot ini adalah 0,08

sedangkan ketentuan nilai inkonsistensi dalam AHP adalah ≤ 0,1, dengan

demikian dapat dikatakan bahwa bobot-bobot untuk setiap kriteria ini cukup

konsisten, sehingga dapat digunakan dalam penentuan tarif listrik regional.

4.2.4 Data Sekunder Kriteria Kota/Kabupaten Pelaksana Kebijakan Tarif Listrik

Regional

Data sekunder yang digunakan dalam penentuan kota/kabupaten pelaksana

kebijakan tarif listrik regional adalah data sekunder yang dikumpulkan dari hasil

survey data sekunder di Badan Pusat Statistik (BPS) propinsi Jawa Barat dan dari

data Statistik PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten Tahun 2010

serta dari berbagai sumber lain. Data sekunder yang digunakan adalah data yang

berangka tahun 2009 dan 2010. Data-data tersebut adalah sebagai berikut :

Page 88: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

4.2.3.1 PDRB Perkapita Kota dan Kabupaten di Propinsi Jawa Barat dan

Banten

Data PDRB Perkapita Kota dan Kabupaten di Propinsi Jawa Barat dan Banten

atas harga konstan tahun 2009 ditampilkan pada tabel berikut ini :

Tabel 4.12. PDRB Per Kapita atas Harga Konstan 2000

NO. KABUPATEN/KOTA PDRB Tahun 2009

JAWA BARAT 1 Kab. Bogor 6.390.000 2 Kab. Sukabumi 3.340.000 3 Kab. Cianjur 3.580.000 4 Kab.Bandung 6.446.689 5 Kab. Garut 4.470.000 6 Kab. Tasikmalaya 3.580.000 7 Kab.Ciamis 4.500.000 8 Kab. Kuningan 3.630.000 9 Kab.Cirebon 3.530.000 10 Kab. Majalengka 3.610.000 11 Kab.Sumedang 4.920.000 12 Kab.Indramayu 8.120.000 13 Kab.Subang 4.970.000 14 Kab.Purwakarta 8.190.000 15 Kab.Karawang 8.730.000 16 Kab.Bekasi 21.330.000 17 Kab.Bandung Barat 4.850.000 18 Kota Bogor 5.080.000 19 Kota Sukabumi 6.390.000 20 Kota Bandung 12.600.000 21 Kota Cirebon 20.920.000 22 Kota Bekasi 6.210.000 23 Kota Depok 3.970.000 24 Kota Cimahi 11.050.000 25 Kota Tasikmalaya 4.110.000 26 Kota Banjar 4.190.000

Page 89: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

NO. KABUPATEN/KOTA PDRB Tahun 2009

BANTEN 1 Kab. Pandeglang 3.616.000 2 Kab. Lebak 3.062.000 3 Kab. Serang 5.091.785 4 Kota Cilegon 33.169.357 5 Kota Serang 5.363.925

Sumber : Jawa Barat dalam Angka 2009 dan Banten Dalam Angka 2009

4.2.3.2 Kontribusi Sektor Industri dan Bisnis terhadap PDRB di Kota dan

Kabupaten di Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 2009

Data Kontribusi Sektor Industri dan Bisnis Kota dan Kabupaten di

Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 2009 ditampilkan pada tabel

4.12. berikut ini :

Tabel 4. 13 Kontribusi Sektor Industri dan Bisnis terhadap PDRB

No. Kab./Kota

KONTRIBUSI SEKTORAL TERHADAP PDRB HARGA KONSTAN 2000

(Tahun 2009, dalam juta rupiah)

Industri Bisnis Total PDRB 2009

Kontribusi (%)

JAWA BARAT

1. Kab. Bogor 19.108.000 5.824.000 24.932.000 30.952.137 81%

2. Kab. Sukabumi 1.485.000 2.296.000 3.781.000 8.308.059 46%

3. Kab. Cianjur 220.000 2.441.100 2.661.100 7.939.506 34%

4. Kab. Bandung 12.517.000 3.699.400 16.216.400 20.527.539 79%

5. Kab. Garut 742.000 3.247.000 3.989.000 10.568.745 38%

6. Kab.Tasikmalaya 395.600 1.273.000 1.668.600 5.291.155 32%

7. Kab. Ciamis 496.900 2.185.500 2.682.400 7.071.040 38%

8. Kab.Kuningan 85.600 1.133.700 1.219.300 3.778.391 32%

Page 90: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

9. Kab. Cirebon 1.097.000 2.081.400 3.178.400 7.746.385 41%

10. Kab. Majalengka 724.300 997.800 1.722.100 4.225.926 41%

11. Kab. Sumedang 1.374.000 1.579.300 2.953.300 5.381.582 55%

12. Kab. Indramayu 2.596.800 2.723.800 5.320.600 13.870.605 38%

13. Kab. Subang 1.006.000 1.810.445 2.816.445 7.103.319 40%

14. Kab. Purwakarta 3.345.243 1.615.936 4.961.179 6.849.561 72%

15. Kab. Karawang 8.710.728 4.323.139 13.033.867 19.195.450 68%

16. Kab. Bekasi 40.653.221 5.648.284 46.301.505 51.789.756 89%

17. Kab. Bandung Barat

3.395.893 1.741.330 5.137.223 7.464.575 69%

18. Kota Bogor 1.273.762 1.567.305 2.841.067 4.508.601 63%

19. Kota Sukabumi 96.906 892.184 989.090 1.810.151 55%

20. Kota Bandung 7.792.641 12.266.286 20.058.927 29.228.272 69%

21. Kota Cirebon 2.111.556 2.117.128 4.228.684 6.116.933 69%

22. Kota Bekasi 6.344.557 4.578.864 10.923.421 14.622.593 75%

23. Kota Depok 2.499.039 2.109.665 4.608.704 6.129.570 75%

24. Kota Cimahi 3.729.342 1.335.359 5.064.701 6.180.403 82%

25. Kota Tasikmalaya 653.935 1.326.772 1.980.707 3.668.628 54%

26. Kota Banjar 82.526 276545 359.071 712.214 50%

BANTEN

1. Kab. Pandeglang 456.271 1.336.693 1.792.964 3.985.777 45%

2. Kab. Lebak 350.832 985.027 1.335.859 3.855.539 35%

3. Kab. Serang 4.265.612 718.015 4.983.627 6.850.940 73%

4. Kota Cilegon 6.499.526 2.295.449 8.794.975 11.530.598 76%

5. Kota Serang 1.520.758 253.460 1.774.217 2.534.596 70%

Sumber : Jawa Barat dalam Angka 2009 dan Banten Dalam Angka 2009

Page 91: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

4.2.3.3 Konsumsi Rumah Tangga Kota dan Kabupaten di Propinsi Jawa Barat

dan Banten tahun 2009

Data konsumsi rumah tangga perkapita/bulan kota dan Kabupaten di

Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 2009 ditampilkan pada tabel

4.14 berikut ini :

Tabel 4.14. Data Konsumsi Rumah Tangga Perkapita/Bulan

NO. KABUPATEN/KOTA Jumlah (Rp.)

1 Kab. Bogor 452.963 2 Kab. Sukabumi 345.972 3 Kab.Cianjur 355.850 4 Kab. Bandung 433.484 5 Kab. Garut 314.851 6 Kab.Tasikmalaya 311.482 7 Kab. Ciamis 361.519 8 Kab. Kuningan 358.465 9 Kab. Cirebon 398.129 10 Kab. Majalengka 392.226 11 Kab. Sumedang 468.609 12 Kab. Indramayu 387.956 13 Kab. Subang 453.322 14 Kab. Purwakarta 474.333 15 Kab. Karawang 456.046 16 Kab. Bekasi 590.216 17 Kab. Bandung Barat 354.394

18 Kota Bogor 697.875 19 Kota Sukabumi 609.063 20 Kota Bandung 888.022

21 Kota Cirebon 653.360 22 Kota Bekasi 785.647 23 Kota Depok 763.019 24 Kota Cimahi 577.133 25 Kota Tasikmalaya 516.107 26 Kota Banjar 425.111

Page 92: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

NO. KABUPATEN/KOTA Jumlah (Rp.)

27 Kab. Pandeglang 625.060 28 Kab. Lebak 627.490 29 Kab. Serang 630.080

31 Kota Cilegon 641.880 31 Kota Serang 635.340

Sumber : Penyusunan Data Sosial Ekonomi Provinsi Jawa Barat 2009, Jawa Barat dalam Angka 2009.

4.2.3.4 Tingkat kemiskinan Kota dan Kabupaten di Propinsi Jawa Barat dan

Banten tahun 2009

Data tingkat kemiskinan Kota dan Kabupaten di Propinsi Jawa Barat

dan Banten tahun 2009 ditampilkan pada tabel 4.15 berikut ini :

Tabel 4.15 Tingkat Kemiskinan Kota dan Kabupaten di Propinsi Jawa Barat dan Banten

NO. Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk

Miskin (dalam %)

1 Kab. Bogor 12.11 2 Kab. Sukabumi 13.26 3 Kab. Cianjur 15.38 4 Kab.Bandung 9.42 5 Kab. Garut 17.87 6 Kab. Tasikmalaya 14.7 7 Kab.Ciamis 12.32 8 Kab. Kuningan 16.75 9 Kab.Cirebon 20.25 10 Kab. Majalengka 18.79 11 Kab.Sumedang 15.18 12 Kab.Indramayu 19.75 13 Kab.Subang 15.15 14 Kab.Purwakarta 11.61 15 Kab.Karawang 14

Page 93: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

NO. Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk

Miskin (dalam %)

16 Kab.Bekasi 5.89 17 Kab.Bandung Barat 17.61 18 Kota Bogor 9.72 19 Kota Sukabumi 10.41 20 Kota Bandung 4.42 21 Kota Cirebon 14.11 22 Kota Bekasi 6.36 23 Kota Depok 2.69 24 Kota Cimahi 8.35 25 Kota Tasikmalaya 26.08 26 Kota Banjar 9.31 27 Kab. Pandeglang 12.55 28 Kab. Lebak 12.05 29 Kab. Serang 6.48 30 Kota Cilegon 3.95 31 Kota Serang 6.19

Sumber : Jawa Barat dalam Angka Tahun 2009 dan Banten Dalam Angka

Tahun 2009

4.2.3.5 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota dan Kabupaten di Propinsi Jawa

Barat dan Banten tahun 2009

Data PAD Kota dan Kabupaten di Wilayah Jawa Barat dan Banten

tahun 2009 ditampilkan pada tabel 4.16 berikut ini :

Page 94: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Tabel 4.16. PAD Kota dan Kabupaten di Wilayah Jabar dan Banten

NO. KABUPATEN/KOTA PAD (Ribu Rupiah)

WILAYAH JAWA BARAT 1 Kab. Bogor 166.260.110 2 Kab. Sukabumi 80.616.079 3 Kab. Cianjur 93.628.876 4 Kab. Bandung 152.549.656 5 Kab. Garut 102.702.673 6 Kab. Tasikmalaya 49.657.867 7 Kab. Ciamis 51.276.556 8 Kab. Kuningan 63.573.539 9 Kab. Cirebon 116.095.438 10 Kab. Majalengka 68.121.599 11 Kab. Sumedang 90.819.326 12 Kab. Indramayu 86.408.587 13 Kab. Subang 67.665.305 14 Kab. Purwakarta 64.044.768 15 Kab. Karawang 130.020.658 16 Kab. Bekasi 287.299.507 17 Kab. Bandung Barat 39.964.364 18 Kota Bogor 125.313.316 19 Kota Sukabumi 66.190.681 20 Kota Bandung 360.152.627 21 Kota Cirebon 77.318.390 22 Kota Bekasi 231.694.925 23 Kota Depok 115.720.348 24 Kota Cimahi 75.037.372 25 Kota Tasikmalaya 76.503.523 26 Kota Banjar 28.011.890 WILAYAH BANTEN 1 Kab. Pandeglang 31.921.009 2 Kab. Lebak 58.026.745 3 Kab. Serang 118.585.763 4 Kota Cilegon 135.537.940 5 Kota Serang 17.923.437

Sumber : Jawa Barat dalam Angka Tahun 2009 dan Banten Dalam Angka Tahun 2009

Page 95: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

4.2.3.6 SAIDI : System Average Interruption Duration Index

(menit/pelanggan/tahun) serta SAIFI : System Average Interruption

Frequency Index (kali/pelanggan/tahun) di wilayah Distribusi Jawa

Barat dan Banten

Data gangguan yang terdiri dari SAIDI serta SAIFI di wilayah

Distribusi Jawa Barat dan Banten ditampilkan pada tabel 4.17 berikut

ini :

Tabel 4.17 SAIDI dan SAIFI di Wilayah Jawa Barat dan Banten

NO. KABUPATEN/KOTA Total

SAIDI SAIFI

WILAYAH JAWA BARAT 1 Kab. Bogor 105.55 1.81 2 Kab. Sukabumi 97.41 4.48 3 Kab. Cianjur 184.91 3.79 4 Kab. Bandung 42.67 1.14 5 Kab. Garut 47.98 1.82 6 Kab. Tasikmalaya 201.22 10.74 7 Kab. Ciamis 201.22 10.74 8 Kab. Kuningan 57.10 2.03 9 Kab. Cirebon 57.10 2.03 10 Kab. Majalengka 75.30 3.76 11 Kab. Sumedang 75.30 3.76 12 Kab. Indramayu 57.10 2.03 13 Kab. Subang 149.02 5.46 14 Kab. Purwakarta 149.02 5.46 15 Kab. Karawang 83.69 2.56 16 Kab. Bekasi 108.03 1.91 17 Kab. Bandung Barat 42.67 1.14 18 Kota Bogor 134.55 2.17 19 Kota Sukabumi 97.41 4.48 20 Kota Bandung 39.83 2.73 21 Kota Cirebon 57.10 2.03 22 Kota Bekasi 108.03 1.91 23 Kota Depok 45.23 1.52

Page 96: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

NO. KABUPATEN/KOTA Total

SAIDI SAIFI

24 Kota Cimahi 74.09 1.11 25 Kota Tasikmalaya 201.22 10.74 26 Kota Banjar 201.22 10.74 BANTEN 1 Kab. Pandeglang 85.26 2.94 2 Kab.Lebak 85.26 2.94 3 Kab.Serang 46.32 1.30 4 Kota Cilegon 46.32 1.30 5 Kota Serang 46.32 1.30

Sumber : Statistik PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten 2010

4.2.3.7 Potensi Energi Primer di wilayah Distribusi Jawa Barat dan Banten

1. Data Potensi Batubara di wilayah Distribusi Jawa Barat dan Banten

tahun 2009 ditampilkan pada tabel 4.18 berikut ini :

Tabel 4.18. Data Potensi Batubara

NO. KABUPATEN/KOTA Potensi Batubara (ton)

WILAYAH JAWA BARAT 1 Kab. Bogor

2 Kab. Sukabumi

3 Kab. Cianjur

4 Kab. Bandung

5 Kab. Garut

6 Kab. Tasikmalaya

7 Kab. Ciamis 1.875

8 Kab. Kuningan

9 Kab. Cirebon

10 Kab. Majalengka

11 Kab. Sumedang

12 Kab. Indramayu

13 Kab. Subang

14 Kab. Purwakarta

15 Kab. Karawang

16 Kab. Bekasi

17 Kab. Bandung Barat 2.713

Page 97: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

NO. KABUPATEN/KOTA Potensi Batubara (ton)

18 Kota Bogor

19 Kota Sukabumi

20 Kota Bandung

21 Kota Cirebon

22 Kota Bekasi

23 Kota Depok

24 Kota Cimahi

25 Kota Tasikmalaya

26 Kota Banjar

BANTEN 1 Kab. Pandeglang

2 Kab. Lebak 13.300.000

3 Kab.Serang

4 Kota Cilegon

5 Kota Serang Sumber : Dinas Pertambangan & Energi Provinsi Jawa Barat 2007

2. Data Potensi Minyak Bumi di wilayah Distribusi Jawa Barat dan

Banten tahun 2009 ditampilkan pada tabel 4.19 berikut ini :

Tabel 4.19 Potensi Minyak Bumi di Wilayah Jabar dan Banten

NO. KABUPATEN/KOTA Potensi Minyak Bumi (dalam ton)

WILAYAH JAWA BARAT 1 Kab. Bogor

2 Kab. Sukabumi

3 Kab. Cianjur

4 Kab. Bandung

5 Kab. Garut

6 Kab. Tasikmalaya

7 Kab. Ciamis

8 Kab. Kuningan

9 Kab. Cirebon

10 Kab. Majalengka 72.5

11 Kab. Sumedang

12 Kab. Indramayu 1735.7

13 Kab. Subang 563.3

Page 98: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

NO. KABUPATEN/KOTA Potensi Minyak Bumi (dalam ton)

14 Kab. Purwakarta

15 Kab. Karawang 1329.9

16 Kab. Bekasi 6019.6

17 Kab. Bandung Barat

18 Kota Bogor

19 Kota Sukabumi

20 Kota Bandung

21 Kota Cirebon

22 Kota Bekasi

23 Kota Depok

24 Kota Cimahi

25 Kota Tasikmalaya

26 Kota Banjar

BANTEN 1 Kab. Pandeglang

2 Kab. Lebak

3 Kab.Serang

4 Kota Cilegon

5 Kota Serang Sumber : Dinas Pertambangan & Energi Provinsi Jawa Barat 2007

3. Data Potensi Gas Alam di wilayah Distribusi Jawa Barat dan

Banten tahun 2009 ditampilkan pada tabel 4.20 berikut ini :

Tabel 4.20. Potensi Gas Alam di Wilayah Jabar dan Banten

NO. KABUPATEN/KOTA Potensi Gas Alam (Dalam Juta Kaki Kubik)

WILAYAH JAWA BARAT 1 Kab. Bogor 2 Kab. Sukabumi 3 Kab. Cianjur 4 Kab. Bandung 5 Kab. Garut 6 Kab. Tasikmalaya 7 Kab. Ciamis 8 Kab. Kuningan

Page 99: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

NO. KABUPATEN/KOTA Potensi Gas Alam (Dalam Juta Kaki Kubik)

9 Kab. Cirebon 10 Kab. Majalengka 647 11 Kab. Sumedang 12 Kab. Indramayu 11.708 13 Kab. Subang 72.980 14 Kab. Purwakarta 15 Kab. Karawang 54.887 16 Kab. Bekasi 7.160 17 Kab. Bandung Barat 18 Kota Bogor 19 Kota Sukabumi 20 Kota Bandung 21 Kota Cirebon 22 Kota Bekasi 23 Kota Depok 24 Kota Cimahi 25 Kota Tasikmalaya 26 Kota Banjar BANTEN 1 Kab. Pandeglang 2 Kab. Lebak 3 Kab.Serang 4 Kota Cilegon 5 Kota Serang

Sumber : Dinas Pertambangan & Energi Provinsi Jawa Barat 2007

4. Data Potensi Angin di wilayah Distribusi Jawa Barat dan Banten

tahun 2009 ditampilkan pada tabel 4.21 berikut ini :

Tabel 4.21. Potensi Angin di Wilayah Jabar dan Banten

NO.

KABUPATEN/KOTA Potensi Angin

Kecepatan (m/detik)

WILAYAH JAWA BARAT 1 Kab. Bogor 4.17

2 Kab. Sukabumi 7.00

3 Kab. Cianjur 4.17

4 Kab. Bandung 4.17

Page 100: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

NO.

KABUPATEN/KOTA Potensi Angin

Kecepatan (m/detik)

5 Kab. Garut 4.17

6 Kab. Tasikmalaya 5.56

7 Kab. Ciamis 5.56

8 Kab. Kuningan 4.17

9 Kab. Cirebon 5.56

10 Kab. Majalengka 5.56

11 Kab. Sumedang 4.17

12 Kab. Indramayu 5.83

13 Kab. Subang 5.56

14 Kab. Purwakarta 5.56

15 Kab. Karawang 5.56

16 Kab. Bekasi 4.17

17 Kab. Bandung Barat 5.56

18 Kota Bogor 4.17

19 Kota Sukabumi 5.56

20 Kota Bandung 5.14

21 Kota Cirebon 5.56

22 Kota Bekasi 4.17

23 Kota Depok 4.17

24 Kota Cimahi 4.17

25 Kota Tasikmalaya 2.22

26 Kota Banjar 5.56

BANTEN

1 Kab. Pandeglang 4.50

2 Kab. Lebak 4.50

3 Kab.Serang 3.01

4 Kota Cilegon 5.00

5 Kota Serang 3.10

Sumber : Indonesia Energy Outlook & Statistic 2006 , Kajian Potensi dan Analisis Ekonomi Sistem Konversi Energi Angin untuk Pemompaan di Jawa Barat

5. Data Potensi Energi Biogas di wilayah Distribusi Jawa Barat dan

Banten tahun 2009 ditampilkan pada tabel 4.21 berikut ini :

Page 101: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Tabel 4.22 Potensi Energi Biogas Wilayah Jabar dan Banten

NO. KABUPATEN/KOTA

Potensi Energi Biogas

(Binatang) (Mwe)

Potensi Energi Biogas

(Sampah) (Mwe)

Total Potensi Biogas (Mwe)

JAWA BARAT 1 Kab. Bogor 21.90 0.52 22.41 2 Kab. Sukabumi 14.14 0.28 14.42 3 Kab. Cianjur 16.00 0.36 16.36 4 Kab. Bandung 13.27 3.81 17.09 5 Kab. Garut 11.85 0.39 12.23 6 Kab. Tasikmalaya 14.62 0.47 15.09 7 Kab. Ciamis 19.54 0.39 19.92 8 Kab. Kuningan 8.30 0.15 8.45 9 Kab. Cirebon 3.25 0.87 4.12

10 Kab. Majalengka 6.01 0.98 7.00 11 Kab. Sumedang 11.15 0.13 11.27 12 Kab. Indramayu 6.91 0.32 7.23 13 Kab. Subang 9.81 0.18 9.99 14 Kab. Purwakarta 14.76 0.20 14.95 15 Kab. Karawang 16.31 0.37 16.68 16 Kab. Bekasi 6.85 2.84 9.69 17 Kab. Bandung Barat 11.28 3.42 14.71 18 Kota Bogor 0.52 1.74 2.26 19 Kota Sukabumi 0.54 0.44 0.98 20 Kota Bandung 0.55 5.86 6.41 21 Kota Cirebon 0.11 0.61 0.72 22 Kota Bekasi 1.54 2.16 3.70 23 Kota Depok 1.25 3.33 4.58 24 Kota Cimahi 0.33 0.94 1.28 25 Kota Tasikmalaya 1.53 1.03 2.55 26 Kota Banjar 0.55 1.11 1.65 WILAYAH BANTEN 0.00 1 Kab. Pandeglang 8.86 0.08 8.94 2 Kab. Lebak 14.27 0.30 14.58 3 Kab.Serang 19.57 0.35 19.93 4 Kota Cilegon 0.40 0.26 0.66 5 Kota Serang 0.00

Sumber : Jawa Barat Dalam Angka 2010, http://sda-indonesia.blogspot.com/2009/01/diy-dan-potensi-biogas-dari-kotoran.html, http://bantenminning.wordpress.com/energi/energi-non-fosil/

6. Data Potensi Energi Air di wilayah Distribusi Jawa Barat dan

Banten tahun 2009 taditampilkan pada tabel 4.22 berikut ini :

Page 102: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Tabel 4.23. Potensi Energi Air di Wilayah Jabar dan Banten

NO. KABUPATEN/KOTA Potensi Air (kW)

Jawa Barat 1 Kab. Bogor 20 2 Kab. Sukabumi 145 3 Kab. Cianjur 662 4 Kab. Bandung 45 5 Kab. Garut 253 6 Kab. Tasikmalaya 555.823 7 Kab. Ciamis 8 Kab. Kuningan 30.048 9 Kab. Cirebon 10 Kab. Majalengka 11 11 Kab. Sumedang 400.080 12 Kab. Indramayu 2.800 13 Kab. Subang 90 14 Kab. Purwakarta 4 15 Kab. Karawang 16 Kab. Bekasi 17 Kab. Bandung Barat 1.600 18 Kota Bogor 19 Kota Sukabumi 48 20 Kota Bandung 735 21 Kota Cirebon 22 Kota Bekasi 23 Kota Depok 400 24 Kota Cimahi 25 Kota Tasikmalaya 26 Kota Banjar

Banten 27 Kab. Pandeglang 28 Kab. Lebak 352.020 29 Kab.Serang 20 30 Kota Cilegon 50 31 Kota Serang

Sumber : Survey dan Studi Kelayakan Pembangkit Listrik Tenaga Air Skala Kecil (Mini/Mikro Hidro) di Jawa Barat (Tahun 2006) dan http://datapotensi.microhydro.co.id/index.php/potensi/listpotensimmch/400, Integrated Microhydro Development and Application Program (IMIDAP) tahun 2009

Page 103: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

7. Data Potensi Energi Biomassa di wilayah Distribusi Jawa Barat dan

Banten tahun 2009 ditampilkan pada tabel 4.23 berikut ini :

Tabel 4.24. Potensi Energi Biomassa di Wilayah Jabar dan Banten

NO. KABUPATEN/KOTA Potensi Biomassa ( kcal/thn)

1 Kab. Bogor 2.759.594.395 2 Kab. Sukabumi 3.707.444.854 3 Kab. Cianjur 3.678.309.691 4 Kab. Bandung 2.535.114.090 5 Kab. Garut 7.139.707.564 6 Kab. Tasikmalaya 4.751.702.818 7 Kab. Ciamis 3.425.964.047 8 Kab. Kuningan 2.024.737.762 9 Kab. Cirebon 1.865.480.737

10 Kab. Majalengka 2.730.121.849 11 Kab. Sumedang 2.672.115.299 12 Kab. Indramayu 4.787.125.635 13 Kab. Subang 4.105.290.483 14 Kab. Purwakarta 1.761.145.193 15 Kab. Karawang 3.901.098.317 16 Kab. Bekasi 2.236.953.081 17 Kab. Bandung Barat 1.535.119.996 18 Kota Bogor 50.808.358 19 Kota Sukabumi 93.155.694 20 Kota Bandung 40.104.488 21 Kota Cirebon 16.813.052 22 Kota Bekasi 26.617.809 23 Kota Depok 40.623.529 24 Kota Cimahi 15.647.614 25 Kota Tasikmalaya 316.861.601 26 Kota Banjar 184.946.807 27 Kab. Pandeglang 2.289.996.075 28 Kab. Lebak 1.757.770.337 29 Kab.Serang 1.957.372.465 30 Kota Cilegon 76.505.262 31 Kota Serang

Sumber : Jawa Barat Dalam Angka 2009 & Banten Dalam Angka 2009

Page 104: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

8. Data Potensi Energi Panas Bumi (Geothermal) di wilayah

Distribusi Jawa Barat dan Banten tahun 2009 ditampilkan pada

tabel 4.24 berikut ini :

Tabel 4.25. Potensi Energi Panas Bumi di Jabar dan Banten

Sumber : Indonesia Energy Outlook & Statistics 2006

NO. KABUPATEN/KOTA Potensi Panas

Bumi (MWe)

1 Kab. Bogor 175.0 2 Kab. Sukabumi 525.0 3 Kab. Cianjur 100.0 4 Kab. Bandung 225.0 5 Kab. Garut 350.0 6 Kab. Tasikmalaya 350.0 7 Kab. Ciamis 8 Kab. Kuningan 75.0 9 Kab. Cirebon 10 Kab. Majalengka 25.0 11 Kab. Sumedang

12 Kab. Indramayu 13 Kab. Subang 185.0 14 Kab. Purwakarta 15 Kab. Karawang 16 Kab. Bekasi 17 Kab. Bandung Barat 25.0 18 Kota Bogor 19 Kota Sukabumi 20 Kota Bandung 21 Kota Cirebon 22 Kota Bekasi 23 Kota Depok 24 Kota Cimahi 25 Kota Tasikmalaya 26 Kota Banjar 1 Kab. Pandeglang 2 Kab. Lebak 450.0 3 Kab.Serang 385.0 4 Kota Cilegon 5 Kota Serang

Page 105: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

9. Data Potensi Energi Panas Matahari (Solar) di wilayah Distribusi

Jawa Barat dan Banten tahun 2009 ditampilkan pada tabel 4.25

berikut ini:

Tabel 4.26. Potensi Energi Solar di Wilayah Jabar dan Banten

Sumber : Evaluasi dan Optimalisasi PLTS untuk Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Di Jawa Barat, Dinas ESDM Jabar, 2011

NO. KABUPATEN/KOTA Potensi Solar kWh/m2.hari

1 Kab. Bogor 4.33 2 Kab. Sukabumi 5.00 3 Kab. Cianjur 4.38 4 Kab. Bandung 4.46

5 Kab. Garut 4.46 6 Kab. Tasikmalaya 4.18 7 Kab. Ciamis 4.18 8 Kab. Kuningan 4.62 9 Kab. Cirebon 4.62

10 Kab. Majalengka 4.62 11 Kab. Sumedang 4.38 12 Kab. Indramayu 4.62 13 Kab. Subang 4.38 14 Kab. Purwakarta 4.38 15 Kab. Karawang 4.38 16 Kab. Bekasi 4.38 17 Kab. Bandung Barat 4.38 18 Kota Bogor 4.33 19 Kota Sukabumi 5.00 20 Kota Bandung 4.38 21 Kota Cirebon 4.62 22 Kota Bekasi 4.38 23 Kota Depok 4.33 24 Kota Cimahi 4.38 25 Kota Tasikmalaya 4.18 26 Kota Banjar 4.18 27 Kab. Pandeglang 5.34 28 Kab. Lebak 5.33 29 Kab.Serang 5.32 30 Kota Cilegon 5.32 31 Kota Serang 5.33

Page 106: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Potensi energi primer yang digunakan adalah agregat seluruh potensi

energi primer yang diidentifikasi dari data input dalam satuan MWe (Mega Watt

Elektrik). Terdapat beberapa asumsi pembangkitan listrik yang digunakan dalam

perhitungan potensi energi primer. Asumsi-asumsi tersebut ditampilkan pada tabel

berikut :

Tabel 4.27. Asumsi yang digunakan dalam perhitungan potensi energi primer

Energi Primer Pembangkit Asumsi

Batubara Efisiensi termal pembangkit =

0,3

Air

ecivil works : 0,95

epenstock : 0,9

eturbin :0,8

egenerator : 0,85

total efisiensi pembangkitan :

0,581

Matahari esolar home system : 0,2

Angin P (watt) = 0,1 v3

Biomassa ebiomass_fired_steam_electric :

0,227

Biogas enatural gas combined cycle : 0,455

Sumber : Energi, Sumber Daya, Inovasi, Tenaga Listrik dan Potensi Ekonomi 1995

Page 107: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Berdasarkan tabel 4.26 diatas, dapat ditentukan potensi energi primer di tiap

alternatif propinsi untuk pembangkitan listrik. Potensi tersebut ditampilkan pada

tabel 4.27 berikut:

Tabel 4.28. Potensi Energi Tiap Wilayah di Jawa Barat dan Banten

4.2.3.8 Density Kapasitas Gardu Distribusi di wilayah Distribusi Jawa Barat

dan Banten

NO. KABUPATEN/KOTA TOTAL

POTENSI ENERGI (Mwe)

1 Kab. Bogor 476 2 Kab. Sukabumi 929 3 Kab. Cianjur 480 4 Kab. Bandung 479 5 Kab. Garut 992 6 Kab. Tasikmalaya 1.117 7 Kab. Ciamis 348 8 Kab. Kuningan 287 9 Kab. Cirebon 175

10 Kab. Majalengka 1.212 11 Kab. Sumedang 487 12 Kab. Indramayu 18.846 13 Kab. Subang 79.529 14 Kab. Purwakarta 174 15 Kab. Karawang 62.917 16 Kab. Bekasi 28.786 17 Kab. Bandung Barat 194 18 Kota Bogor 9 19 Kota Sukabumi 10 20 Kota Bandung 13 21 Kota Cirebon 3 22 Kota Bekasi 10 23 Kota Depok 12 24 Kota Cimahi 3 25 Kota Tasikmalaya 31 26 Kota Banjar 19 27 Kab. Pandeglang 258 28 Kab. Lebak 26.910 29 Kab.Serang 602 30 Kota Cilegon 11 31 Kota Serang 6

Page 108: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Density kapasitas gardu distribusi ditentukan berdasarkan persamaan

3.2. Luas areal yang digunakan adalah luas areal landuse yang

didapatkan dari proses pengurangan luas areal kota/kabupaten dengan

luas areal sawah, tegal/kebun, ladang/huma dan lahan sementara yang

tidak diusahakan. Hasil perhitungan landuse tiap kota dan kabupaten

di wilayah Jawa Barat dan Banten ditampilkan pada tabel 4.28 berikut

ini :

Page 109: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Tabel 4.29. Hasil perhitungan landuse tiap kota dan kabupaten di wilayah Jawa Barat dan Banten

NO. KABUPATEN/KOTA Landuse

Luas Wilayah (ha)

Sawah (ha)

Tegal/Kebun (ha)

Ladang/Huma (ha)

Sementara Tidak

Diusahakan

Total landuse

1 Kab. Bogor 299.713 45.740 57.223 8.361 507 187.882 2 Kab. Sukabumi 416.075 63.261 69.426 42.345 499 240.544 3 Kab. Cianjur 359.465 65.460 42.936 43.928 1.832 205.309 4 Kab. Bandung 175.665 35.140 21.695 14.159 8 104.663 5 Kab. Garut 309.440 50.270 74.794 31.174 20 153.182 6 Kab. Tasikmalaya 270.285 49.515 48.989 25.364 1.507 144.910 7 Kab. Ciamis 274.076 51.853 65.402 10.304 72 146.445 8 Kab. Kuningan 118.960 28.952 15.942 11.833 - 62.233 9 Kab. Cirebon 107.165 51.677 6.618 519 - 48.351

10 Kab. Majalengka 134.395 51.438 26.990 28 55.939 11 Kab. Sumedang 156.049 32.626 35.250 6.956 5 81.212 12 Kab. Indramayu 209.210 116.001 7.252 5.540 - 80.417 13 Kab. Subang 216.448 84.869 19.747 3.604 940 107.288 14 Kab. Purwakarta 98.989 16.588 11.169 6.243 76 64.913 15 Kab. Karawang 191.416 97.472 8.149 2.378 428 82.989 16 Kab. Bekasi 126.951 53.889 12.044 393 1.236 59.389 17 Kab. Bandung Barat 133.560 20.333 11.975 181 101.071 18 Kota Bogor 11.173 960 464 - - 9.749 19 Kota Sukabumi 4.896 1.741 157 - - 2.998 20 Kota Bandung 16.823 1.425 709 - - 14.689

Page 110: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

21 KABUPATEN/KOTA

Landuse Luas Wilayah

(ha) Sawah

(ha) Tegal/Kebun

(ha) Ladang/Huma

(ha) Sementara

Tidak Diusahakan

Total landuse

21 Kota Cirebon 4.016 307 319 - 32 3.358 22 Kota Bekasi 21.358 469 4.285 - - 16.604 23 Kota Depok 19.944 589 3.110 685 1.554 14.006 24 Kota Cimahi 4.120 293 325 15 - 3.487 25 Kota Tasikmalaya 18.438 6.082 2.325 941 7 9.083 26 Kota Banjar 13.086 3.318 3.249 84 - 6.435 27 Kab. Pandeglang 274.691 54.447 50.978 30.653 2.142 136.471 28 Kab. Lebak 304472 45.519 53.143 33.652 17.853 154.305 29 Kab.Serang 170412 8.321 34.155 9.023 2.413 116.500 30 Kota Cilegon 17600 2.096 4.908 1.946 1.311 7.339

31 Kota Serang 26671 8.321 5.194 4.018 188 8.950 Sumber : Banten dalam Angka 2011, Luas Lahan Menurut Penggunaan 2010

Page 111: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Adapun hasil perhitungan density kapasitas gardu distribusi

ditampilkan pada tabel 4.29 berikut ini :

Tabel 4.30 Density Kapasitas Gardu Distribusi di Wilayah Jabar dan Banten 2009

NO. KABUPATEN/KOTA

Luas Penggunaan Tanah Pemukiman, Jasa, Industri (Ha)

Data Input Kapasitas

Gardu (kVA)

Kepadatan Kapasitas

Gardu (kVA/Ha)

JAWA BARAT

1 Kab. Bogor 187.882 367.000 1.95 2 Kab. Sukabumi 240.544 265.000 1.10 3 Kab. Cianjur 205.309 236.000 1.15 4 Kab. Bandung 104.663 454.270 4.34 5 Kab. Garut 153.182 212.000 1.38 6 Kab. Tasikmalaya 144.910 191.000 1.32 7 Kab. Ciamis 146.445 217.000 1.48 8 Kab. Kuningan 62.233 135.000 2.17 9 Kab. Cirebon 48.351 256.000 5.29 10 Kab. Majalengka 55.939 296.000 5.29 11 Kab. Sumedang 81.212 301.000 3.71 12 Kab. Indramayu 80.417 248.000 3.08 13 Kab. Subang 107.288 200.000 1.86 14 Kab. Purwakarta 64.913 122.000 1.88 15 Kab. Karawang 82.989 316.000 3.81 16 Kab. Bekasi 59.389 377.000 6.35 17 Kab. Bandung Barat 101.071 213.000 2.11 1 Kota Bogor 9.749 149.000 15.28 2 Kota Sukabumi 2.998 39.000 13.01 3 Kota Bandung 14.689 248.532 16.92 4 Kota Cirebon 3.358 38.000 11.32 5 Kota Bekasi 16.604 431.000 25.96 6 Kota Depok 14.006 481.000 34.34 7 Kota Cimahi 3.487 95.000 27.24 8 Kota Tasikmalaya 9.083 73.000 8.04 9 Kota Banjar 6.435 25.000 3.89 BANTEN 1 Kab. Pandeglang 136.471 104.000 0.76 2 Kab. Lebak 154.305 98.000 0.64

Page 112: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

NO. KABUPATEN/KOTA

Luas Penggunaan Tanah Pemukiman, Jasa, Industri (Ha)

Data Input Kapasitas

Gardu (kVA)

Kepadatan Kapasitas

Gardu (kVA/Ha)

3 Kab.dan Kota Serang 125.450 270.000 2.15 4 Kota Cilegon 7.339 31.000 4.22 5 Kota Serang - -

Sumber : Banten dalam Angka 2011, Luas Lahan Menurut Penggunaan 2010, dan Statistik PLN Tahun 2010

4.2.3.9 Density Jaringan Distribusi Listrik di wilayah Distribusi Jawa Barat

dan Banten

Density jaringan distribusi listrik ditentukan berdasarkan persamaan

3.1. Sama halnya dengan density kapasitas gardu distribusi, luas areal

yang digunakan adalah luas areal landuse yang didapatkan dari proses

pengurangan luas areal kota/kabupaten dengan luas areal sawah,

tegal/kebun, ladang/huma dan lahan sementara yang tidak diusahakan.

Hasil perhitungan density jaringan distribusi listrik tiap kota dan

kabupaten di wilayah Jawa Barat dan Banten ditampilkan pada tabel

4.30 berikut ini :

Tabel 4.31. Density Jaringan Distribusi Listrik Wilayah Jabar dan Banten 2009 No. KOTA/

KABUPATEN Luas Penggunaan

Tanah Pemukiman, Jasa, Industri (Ha)

Panjang Saluran

Distribusi (kms)

Kepadatan Saluran

Distribusi (kms/Ha)

1 Kab. Bogor 187.882 3.999.467 21.29

2 Kab. Sukabumi 240.544 7.755.181 32.24

3 Kab. Cianjur 205.309 7.711.833 37.56

4 Kab. Bandung 104.663 5.366.434 51.27

5 Kab. Garut 153.182 4.594.518 29.99

6 Kab. Tasikmalaya 144.910 6.430.272 44.37

7 Kab. Ciamis 146.445 6.498.387 44.37

8 Kab. Kuningan 62.233 1.817.199 29.20

Page 113: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

No. KOTA/ KABUPATEN

Luas Penggunaan Tanah Pemukiman, Jasa, Industri (Ha)

Panjang Saluran

Distribusi (kms)

Kepadatan Saluran

Distribusi (kms/Ha)

9 Kab. Cirebon 48.351 1.411.846 29.20

10 Kab. Majalengka 55.939 2.199.458 39.32

11 Kab.Sumedang 81.212 3.193.164 39.32

12 Kab. Indramayu 80.417 2.348.170 29.20

13 Kab. Subang 107.288 3.010.789 28.06

14 Kab. Purwakarta 64.913 1.821.633 28.06

15 Kab. Karawang 82.989 6.114.633 73.68

16 Kab. Bekasi 59.389 9.408.339 158.42

17 Kab. Bandung Barat 101.071 4.290.048 42.45

18 Kota Bogor 9.749 12.564.945 1288.84 19 Kota Sukabumi 2.998 96.656 32.24 20 Kota Bandung 14.689 5.285.935 359.86 21 Kota Cirebon 3.358 98.053 29.20 22 Kota Bekasi 16.604 2.630.387 158.42 23 Kota Depok 14.006 4.103.712 293.00 24 Kota Cimahi 3.487 148.009 42.45 25 Kota Tasikmalaya 9.083 403.051 44.37 26 Kota Banjar 6.435 285.548 44.37 27 Kab. Pandeglang 136.471 4.652.332 34.09 28 Kab. Lebak 154.305 5.260.298 34.09 29 Kab. & Kota Serang 125.450 6.796.998 54.18 30 Kota Cilegon 7.339 428.182 58.34 31 Kota Serang - -

Sumber : Banten dalam Angka 2011, Luas Lahan Menurut Penggunaan 2010, dan Statistik PLN Tahun 2010

4.2.5 Penetapan Benchmark, Wilayah Yang dijadikan Standar Pelaksana

Kebijakan Tarif Listrik Regional

Seperti telah dikemukakan dalam bab sebelumnya, bahwa untuk

memudahkan pengelompokan region pelaksana tarif listrik regional di

wilayah Jawa Barat dan Banten, penulis menetapkan wilayah yang akan

Page 114: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

dijadikan benchmark/pembanding dimana wilayah ini akan dijadikan

standar penentuan wilayah pelaksana kebijakan tarif listrik regional di

Jawa Barat dan Banten. Wilayah tersebut haruslah wilayah yang telah

lebih dulu dan berhasil melaksanakan kebijakan tarif listrik regional. Di

Indonesia hanya ada 2 (dua) kota yang telah menerapkan kebijakan tarif

listrik regional yaitu Kota Batam dan Tarakan. Tarif listrik di daerah itu

Rp 1.030 per kWh, jadi lebih mahal daripada tarif listrik nasional yang

sebesar Rp 729 per kWh.

Pada pertengahan Tahun 2001 tuntutan pasokan listrik di

Kota Tarakan sangat meningkat tajam ini disebabkan karena para

pelaku bisinis perikanan laut berusaha untuk meningkatkan usahanya

di pulau Tarakan ini, demikian juga dengan jasa perhotelan serta sarana

umum mulai tumbuh dan berkembang akibat terjadinya peningkatan

sambungan daya listrik. Dengan kondisi-kondisi tersebut maka sejak tahun

2001 melalui Perda No. 03 tahun 2001 dan dilanjutkan dengan Perda No.

13 Tahun 2003 tentang Tarif Dasar Listrik (TDL) Lokal Kota Tarakan,

PLN Kota Tarakan telah menetapkan tarif dasar listrik lokal yang berbeda

dan lebih tinggi dari tarif dasar listrik (TDL) nasional. Hal ini menjadikan

Kota Tarakan menjadi daerah pertama yang memberlakukan TDL lokal di

Indonesia sejak 1 Mei 2001, dan sejak saat itu telah dijanjikan bahwa

listrik di Kota Tarakan tidak akan byar pet lagi. Namun memasuki tahun

2007 mulailah terjadi masalah dimana penyedia listrik, dalam hal ini PT.

Medco, tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk mensuplai listrik.

Page 115: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Masalah ini sampai saat ini belum diselesaikan dengan baik sehingga krisis

listrik terjadi lagi di Kota Tarakan. Pemda Tarakan sendiri telah berusaha

untuk menanggulangi krisis ini dengan mencari alternatif supply gas dari

kota Nunukan dan Pulau Bunyu pada bulan Mei lalu dengan harapan Kota

Tarakan dapat memperoleh tambahan pasokan gas dari kedua daerah

tersebut. (www.tribunnews.com/2012/05/24/dprd-tarakan-ke-nunukan-

cari-alternatif-gas).

Adapun di kota Batam, kebijakan tarif listrik regional telah

diterapkan sejak tahun 2001 sampai dengan sekarang. Dikutip dari

www.plnbatam.com, sampai dengan tahun 2000 hampir setiap hari ada

saja masyarakat yang berdemo di depan kantor PLN Batam sebagai

gambaran betapa kebutuhan listrik di Batam sangatlah tinggi namun tidak

tersedia. Di Batam, penerapan tarif listrik regional ditetapkan melalui surat

keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, setelah mendengar

pendapat stakeholder yang ada di pulau ini seperti pemerintah kota,

DPRD, Badan Otorita Batam, lembaga swadaya masyarakat, dan

perwakilan masyarakat melalui asosiasi-asosiasi. Kepmen ESDM No.

450K/46/ME/ 2001 menetapkan tarif listrik Batam 2001 (TLB 2001)

berlaku dalam dua tahap. Tahap pertama bulan April dan tahap II bulan

Oktober 2012.

Dalam proses penetapan tarif ini Pemkot dan Badan Otorita Batam

telah mengeluarkan surat keputusan bersama yang mendukung

ditetapkannya TLB 2001. Demikian juga DPRD Kota Batam selaku

Page 116: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

perangkat di daerah yang mewakili rakyat telah mengeluarkan surat

rekomendasi yang pada intinya tidak berkeberatan atas diberlakukannya

TLB 2001. Rekomendasi dan SK bersama tersebut dikeluarkan sebelum

diterbitkannya Kepmen ESDM, sehingga berfungsi sebagai bahan

masukan bagi menteri dalam penetapan tarif sesuai yang disebutkan dalam

undang-undang dan peraturan pemerintah.

Mengingat terjadi kenaikan harga BBM untuk PLN menjadi

sebesar 50% dari harga pasar internasional dari Rp. 600 per liter menjadi

Rp.1.250 per liter pada Juni 2001, PLN Batam mengajukan lagi

rasionalisasi tarif listrik Batam. Berdasarkan Kepmen ESDM No. 2248

K/46/MEM/2001 berlaku tarif baru listrik Batam untuk November 2001

dan Januari 2002. Namun, pemberlakuan tarif listrik regional Batam (TLB

2001) untuk golongan tarif tertentu tetap memperhatikakan kebijakan tarif

dasar listrik (TDL) nasional. Misalnya, tarif untuk pelanggan rumah

tangga kecil (R1=450 VA dan R2=900) dan pelanggan sosial hingga 2.200

VA tetap mengikuti TDL nasional. Hal ini dimaksudkan agar secara

nasional, tarif listrik di Batam masih terkait dengan TDL nasional.

Kini tidak ada lagi daftar tunggu pelanggan PLN di Kota Batam

karena pasokan energi di wilayah tersebut telah berlebih. Siapapun

masyakarat yang ingin pasang baru pasti akan dilayani, bahkan dalam

program “Kilau Merdeka” PT. PLN Batam mengajak masyarakat untuk

tambah daya. Dalam tempo tujuh tahun PT. PLN Batam mampu

memenuhi kebutuhan warga Batam di bidang kelistrikan. Tidak hanya

Page 117: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

perumahan yang terang benderang, mesin produksi industri pun bisa

berjalan pada jadwalnya. Kini daya terpasang yang dimiliki oleh PT PLN

Batam mencapai 318,4 MW dengan daya mampu sebesar 228,7 MW.

Dengan daya sebesar itu tak perlu khawatir bagi masyarakat untuk tidak

teraliri listrik.

Warga Batam harus bersyukur dan senang karena tidak terkena

sindrom byar pet yang kini masih banyak melanda daerah lain di

Indonesia. Konsep PLN mandiri yang ditetapkan bagi Batam oleh PT PLN

(persero) ternyata manjur. Dengan sebuah kemandirian PT PLN Batam

mampu bermanuver mengikuti perkembangan kota yang senantiasa

dinamis nan atraktif. Batam juga disebut-sebut sebagai daerah yang paling

siap untuk menerapkan sistim perdagangan bebas atau Free Trade Zone

(FTZ). Dibandingkan Bintan dan Karimun dari sisi kelistrikan, Batam

boleh dibilang lebih siap dan aman. Andai ada investor yang mau masuk

Batam, diibaratkan mereka tinggal angkat koper saja menuju Batam.

Dengan gambaran seperti yang telah dipaparkan diatas, maka

penulis menyimpulkan bahwa Kota Batam dapat dijadikan standar wilayah

yang siap untuk melaksanakan kebijakan tarif listrik regional mengingat

dalam perjalanannya Kota Batam telah berhasil menerapkan kebijakan

tersebut dari tahun 2001 sampai dengan sekarang. Dengan demikian,

seperti juga kota dan kabupaten lainnya di wilayah Jawa Barat dan Banten,

dalam penelitian ini penulis akan memperhitungkan nilai riil dari

subkriteria penentu tarif listrik regional dari Kota Batam.

Page 118: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Adapun nilai riil dari setiap kriteria penentu tarif listrik regional

dari Kota Batam adalah sebagai berikut :

Tabel 4.32. Nilai Riil Kota Batam untuk Setiap Kriteria

Selanjutnya nilai riil dari setiap kriteria Kota Batam akan diolah bersama-

sama dengan nilai riil dari kota/kabupaten di Wilayah Jawa Barat dan

Banten.

4.2.6 Skor Setiap Alternatif Kota dan Kabupaten Pelaksana Kebijakan Tarif

Listrik Regional

Sebelum menentukan skor setiap alternatif kota/kabupaten, terlebih dahulu

dilakukan 5 tahapan proses. Kelima tahapan tersebut adalah :

1. Pembentukan matriks nilai riil atribut untuk setiap alternatif

kota/kabupaten.

2. Pembentukan matriks normalisasi atribut untuk setiap alternatif

kota/kabupaten.

SUB KRITERIA Nilai Riil PDRB (dlm juta Rp) 26.027.497 Kontribusi Sektor Industri dan Bisnis terhadap PDRB 88% Konsumsi Rumah Tangga 407.556 Jumlah Penduduk Miskin 7.3% Pendapatan Asli Daerah (PAD) (Ribu Rp) 154.375.852 Kualitas dan Keandalan Listrik :

- SAIDI 21.42 - SAIFI 0.475

Ketersediaan Energi Primer 11 Density Kapasitas Gardu Distribusi 10.77 Density Saluran Distribusi Listrik 90.1

Page 119: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

3. Pembentukan matriks skor tiap atribut untuk setiap alternatif

kota/kabupaten.

4. Perhitungan skor agregat setiap alternatif kota/kabupaten

5. Membandingkan skor agregat setiap alternatif kota/kabupaten dengan

skor Kota Batam sebagai wilayah yang dijadikan standar untuk

menerapkan tarif listrik regional.

4.2.4.1 Pembentukan matriks nilai riil atribut untuk setiap alternatif

kota/kabupaten

Data input yang didapatkan akan melalui proses untuk mendapatkan

matriks nilai riil atribut untuk setiap alternatif kota/kabupaten. Jumlah

kota/kabupaten yang menjadi alternatif adalah sesuai dengan wilayah kerja

PT.PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten yaitu sebanyak 31 kota dan kabupaten

di wilayah Jawa Barat dan Banten. Sedangkan kriteria atau atribut yang digunakan

adalah sebanyak 9 atribut. Dengan demikian matriks nilai riil yang dibentuk

tergolong matriks besar dengan ukuran 31 x 9. Matriks nilai riil yang dibentuk

adalah sebagai berikut :

Page 120: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Tabel 4.33. Matriks Nilai Riil Atribut Untuk Setiap Alternatif Kota/Kabupaten

NO. Kabupaten/Kota

PDRB/kapita Atas Dasar

Harga Konstan 2000

Tahun 2009

Kontribusi Sektoral

Terhadap PDRB

Konsumsi Rumah Tangga

Perkapita/bulan (Rp.)

Tk. Kemiskin

an (%)

PAD (ribu rupiah)

Keandalan Total

Potensi Energi (Mwe)

σkgd (Kepadatan Kapasitas

Gardu)

σTDi (Kepadatan

Saluran Distribusi)

SAIFI SAIDI 1 Kab. Bogor 6.390.000 81% 452.963 8% 166.260.110 0.5525 0.0095 476 1.95 21.29

2 Kab. Sukabumi 3.340.000 46% 345.972 8% 80.616.079 0.2232 0.0103 929 1.10 32.24

3 Kab. Cianjur 3.580.000 34% 355.850 7% 93.628.876 0.2639 0.0054 480 1.15 37.56

4 Kab.Bandung 6.446.689 79% 433.484 11% 152.549.656 0.8772 0.0234 479 4.34 51.27

5 Kab. Garut 4.470.000 38% 314.851 6% 102.702.673 0.5495 0.0208 992 1.38 29.99

6 Kab. Tasikmalaya 3.580.000 32% 311.482 7% 49.657.867 0.0931 0.0050 1117 1.32 44.37

7 Kab.Ciamis 4.500.000 38% 361.519 8% 51.276.556 0.0931 0.0050 348 1.48 44.37

8 Kab. Kuningan 3.630.000 32% 358.465 6% 63.573.539 0.4926 0.0175 287 2.17 29.20

9 Kab.Cirebon 3.530.000 41% 398.129 5% 116.095.438 0.4926 0.0175 175 5.29 29.20

10 Kab. Majalengka 3.610.000 41% 392.226 5% 68.121.599 0.2660 0.0133 1212 5.29 39.32

11 Kab.Sumedang 4.920.000 55% 468.609 7% 90.819.326 0.2660 0.0133 487 3.71 39.32

12 Kab.Indramayu 8.120.000 38% 387.956 5% 86.408.587 0.4926 0.0175 18846 3.08 29.20

13 Kab.Subang 4.970.000 40% 453.322 7% 67.665.305 0.1832 0.0067 79529 1.86 28.06

14 Kab.Purwakarta 8.190.000 72% 474.333 9% 64.044.768 0.1832 0.0067 174 1.88 28.06

15 Kab.Karawang 8.730.000 68% 456.046 7% 130.020.658 0.3906 0.0119 62917 3.81 73.68

16 Kab.Bekasi 21.330.000 89% 590.216 17% 287.299.507 0.5236 0.0093 28786 6.35 158.42

17 Kab.Bandung Barat

4.850.000 69% 354.394 6% 39.964.364 0.8772 0.0234 194 2.11 42.45

Page 121: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

NO. Kabupaten/Kota

PDRB/kapita Atas Dasar

Harga Konstan 2000

Tahun 2009

Kontribusi Sektoral

Terhadap PDRB

Konsumsi Rumah Tangga

Perkapita/bulan (Rp.)

Tk. Kemiskin

an (%)

PAD (ribu rupiah)

Keandalan Total

Potensi Energi (Mwe)

σkgd (Kepadatan Kapasitas

Gardu)

σTDi (Kepadatan

Saluran Distribusi)

SAIFI SAIDI 18 Kota Bogor 5.080.000 63% 697.875 10% 125.313.316 0.4608 0.0074 9 15.28 28.00

19 Kota Sukabumi 6.390.000 55% 609.063 10% 66.190.681 0.2232 0.0103 10 13.01 32.24

20 Kota Bandung 12.600.000 69% 888.022 23% 360.152.627 0.3663 0.0251 13 16.92 359.86

21 Kota Cirebon 20.920.000 69% 653.360 7% 77.318.390 0.4926 0.0175 3 11.32 29.20

22 Kota Bekasi 6.210.000 75% 785.647 16% 231.694.925 0.5236 0.0093 10 25.96 158.42

23 Kota Depok 3.970.000 75% 763.019 37% 115.720.348 0.6579 0.0221 12 34.34 293.00

24 Kota Cimahi 11.050.000 82% 577.133 12% 75.037.372 0.9009 0.0135 3 27.24 42.45

25 Kota Tasikmalaya 4.110.000 54% 516.107 4% 76.503.523 0.0931 0.0050 31 8.04 44.37

26 Kota Banjar 4.190.000 50% 425.111 11% 28.011.890 0.0931 0.0050 19 3.89 44.37

27 Kab. Pandeglang 3.616.000 45% 625.060 8% 31.921.009 0.3401 0.0117 258 0.76 34.09

28 Kab. Lebak 3.062.000 35% 627.490 8% 58.026.745 0.3401 0.0117 26910 0.64 34.09

29 Kab. Serang 5.091.785 73% 630.080 15% 118.585.763 0.7692 0.0216 602 2.15 54.18

30 Kota Cilegon 33.169.357 76% 641.880 25% 135.537.940 0.7692 0.0216 11 4.22 58.34

31 Kota Serang 5.363.925 70% 635.340 16% 17.923.437 0.7692 0.0216 6 2.15 54.18

KOTA BATAM 26.027.497 88% 407.556 14% 154.375.852 2.1000 0.0460 11 10.77 90.10

Page 122: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

4.2.4.2 Pembentukan matriks normalisasi nilai atribut untuk setiap alternatif

kota/kabupaten

Matriks normalisasi atribut untuk setiap alternatif kota/kabupaten dibentuk

berdasarkan teknik pembentukan matriks normalisasi atribut yang dibahas di bagian

metodologi. Matriks normalisasi atribut berbentuk sebagai berikut :

Page 123: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Tabel 4.34. Matriks Normalisasi Nilai Riil Atribut Untuk Setiap Alternatif Kota/Kabupaten

NO. Kabupaten/Kota PDRB Tahun 2009

Kontribusi Sektoral

Terhadap PDRB

Konsumsi Rumah Tangga

Perkapita/bulan

Tingkat Kemiskinan PAD

Keandalan

Total Potensi Energi

σTDi (Kepadatan Kapasitas Gardu) di kota/kab

σTDi (Kepadatan

Saluran Distribusi) di

Wilayah Kota/Kab

SAIFI SAIDI

JAWA BARAT

1 Kab. Bogor 0.0251 0.0431 0.0276 0.0241 0.0491 0.04 0.02 0.0021106 0.01 0.01

2 Kab. Sukabumi 0.0131 0.0243 0.0211 0.0220 0.0238 0.01 0.02 0.0041211 0.00 0.02

3 Kab. Cianjur 0.0140 0.0179 0.0217 0.0190 0.0277 0.02 0.01 0.0021321 0.01 0.02

4 Kab.Bandung 0.0253 0.0423 0.0264 0.0310 0.0451 0.06 0.05 0.0021257 0.02 0.02

5 Kab. Garut 0.0175 0.0202 0.0192 0.0163 0.0304 0.03 0.04 0.0044013 0.01 0.01

6 Kab. Tasikmalaya 0.0140 0.0169 0.0190 0.0199 0.0147 0.01 0.01 0.0049561 0.01 0.02

7 Kab.Ciamis 0.0176 0.0203 0.0221 0.0237 0.0152 0.01 0.01 0.0015430 0.01 0.02

8 Kab. Kuningan 0.0142 0.0173 0.0219 0.0174 0.0188 0.03 0.04 0.0012720 0.01 0.01

9 Kab.Cirebon 0.0138 0.0219 0.0243 0.0144 0.0343 0.03 0.04 0.0007753 0.02 0.01

10 Kab. Majalengka 0.0142 0.0218 0.0239 0.0155 0.0201 0.02 0.03 0.0053798 0.02 0.02

11 Kab.Sumedang 0.0193 0.0294 0.0286 0.0192 0.0268 0.02 0.03 0.0021615 0.02 0.02

12 Kab.Indramayu 0.0318 0.0205 0.0237 0.0148 0.0255 0.03 0.04 0.0836342 0.01 0.01

13 Kab.Subang 0.0195 0.0212 0.0277 0.0193 0.0200 0.01 0.01 0.3529383 0.01 0.01

14 Kab.Purwakarta 0.0321 0.0387 0.0289 0.0251 0.0189 0.01 0.01 0.0007743 0.01 0.01

15 Kab.Karawang 0.0342 0.0363 0.0278 0.0209 0.0384 0.02 0.03 0.2792164 0.02 0.03

16 Kab.Bekasi 0.0836 0.0478 0.0360 0.0496 0.0849 0.03 0.02 0.1277488 0.03 0.07

17 Kab.Bandung Barat

0.0190 0.0368 0.0216 0.0166 0.0118 0.06 0.05 0.0008629 0.01 0.02

18 Kota Bogor 0.0199 0.0337 0.0426 0.0300 0.0370 0.03 0.02 0.0000378 0.07 0.01

Page 124: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

NO. Kabupaten/Kota PDRB Tahun 2009

Kontribusi Sektoral

Terhadap PDRB

Konsumsi Rumah Tangga

Perkapita/bulan

Tingkat Kemiskinan PAD Keandalan

Total Potensi Energi

σTDi (Kepadatan Kapasitas Gardu) di kota/kab

σTDi (Kepadatan

Saluran Distribusi) di

Wilayah Kota/Kab

19 Kota Sukabumi 0.0251 0.0292 0.0372 0.0280 0.0196 0.01 0.02 0.0000423 0.06 0.02

20 Kota Bandung 0.0494 0.0367 0.0542 0.0660 0.1065 0.02 0.05 0.0000595 0.08 0.17

21 Kota Cirebon 0.0820 0.0370 0.0399 0.0207 0.0229 0.03 0.04 0.0000129 0.05 0.01

22 Kota Bekasi 0.0243 0.0400 0.0479 0.0459 0.0685 0.03 0.02 0.0000448 0.12 0.07

23 Kota Depok 0.0156 0.0402 0.0465 0.1085 0.0342 0.04 0.05 0.0000532 0.15 0.14

24 Kota Cimahi 0.0433 0.0438 0.0352 0.0350 0.0222 0.06 0.03 0.0000149 0.12 0.02

25 Kota Tasikmalaya 0.0161 0.0289 0.0315 0.0112 0.0226 0.01 0.01 0.0001385 0.04 0.02

26 Kota Banjar 0.0164 0.0270 0.0259 0.0314 0.0083 0.01 0.01 0.0000836 0.02 0.02

27 Kab. Pandeglang 0.0142 0.0241 0.0381 0.0233 0.0094 0.02 0.03 0.0011431 0.00 0.02

28 Kab. Lebak 0.0120 0.0185 0.0383 0.0242 0.0172 0.02 0.03 0.1194200 0.00 0.02

29 Kab. Serang 0.0200 0.0389 0.0384 0.0451 0.0351 0.05 0.05 0.0026698 0.01 0.03

30 Kota Cilegon 0.1301 0.0408 0.0392 0.0739 0.0401 0.05 0.05 0.0000490 0.02 0.03

31 Kota Serang 0.0210 0.0374 0.0388 0.0472 0.0053 0.05 0.05 0.0000288 0.01 0.03

KOTA BATAM 0.1021 0.0471 0.0249 0.0409 0.0456 0.13 0.10 0.0000488 0.05 0.04

Page 125: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Matriks normalisasi atribut ini disebut juga matriks nilai objektif. Baris ke-1

sampai ke-32 menunjukkan baris nilai objektif untuk setiap kota/kabupaten. Urutan

kota/kabupaten sesuai dengan urutan yang digunakan pada setiap tabel pada kajian

ini. Kolom ke-3 sampai ke-12 menunjukkan nilai objektif setiap kota/kabupaten

untuk setiap atribut.

4.2.4.3 Pembentukan matriks skor tiap atribut untuk setiap alternatif kota/kabupaten

Matriks skor tiap atribut untuk setiap alternatif kota/kabupaten dibentuk dari

persamaan 3.8. Setiap nilai pada matriks normalisasi atribut dikalikan dengan bobot

atribut untuk mendapatkan matriks berikut :

Page 126: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Tabel 4.35. Matriks Skor Tiap Atribut Untuk Setiap Alternatif Kota/Kabupaten

NO. Kabupaten/Kota PDRB Tahun 2009

Kontribusi Sektoral

Terhadap PDRB

Konsumsi Rumah Tangga

Perkapita/bulan

Tingkat Kemiskinan PAD

KEANDALAN Total Potensi Energi

Kepadatan Kapasitas Gardu di Kota/kab

Kepadatan Saluran

Distribusi di

Kota/Kab

SKOR TOTAL SAIFI SAIDI

1 Kab. Bogor 0.0060 0.0137 0.0041 0.0025 0.0016 0.00028 0.0002 0.0000380 0.0006 0.0006 0.0297

2 Kab. Sukabumi 0.0031 0.0078 0.0032 0.0023 0.0008 0.00011 0.0002 0.0000742 0.0003 0.0010 0.0188

3 Kab. Cianjur 0.0034 0.0057 0.0033 0.0020 0.0009 0.00013 0.0001 0.0000384 0.0003 0.0011 0.0170

4 Kab.Bandung 0.0061 0.0135 0.0040 0.0033 0.0014 0.00045 0.0004 0.0000383 0.0012 0.0016 0.0319

5 Kab. Garut 0.0042 0.0064 0.0029 0.0017 0.0010 0.00028 0.0004 0.0000792 0.0004 0.0009 0.0182

6 Kab. Tasikmalaya 0.0034 0.0054 0.0029 0.0021 0.0005 0.00005 0.0001 0.0000892 0.0004 0.0013 0.0161

7 Kab.Ciamis 0.0042 0.0065 0.0033 0.0025 0.0005 0.00005 0.0001 0.0000278 0.0004 0.0013 0.0189

8 Kab. Kuningan 0.0034 0.0055 0.0033 0.0018 0.0006 0.00025 0.0003 0.0000229 0.0006 0.0009 0.0167

9 Kab.Cirebon 0.0033 0.0070 0.0036 0.0015 0.0011 0.00025 0.0003 0.0000140 0.0015 0.0009 0.0195

10 Kab. Majalengka 0.0034 0.0070 0.0036 0.0016 0.0006 0.00014 0.0002 0.0000968 0.0015 0.0012 0.0194

11 Kab.Sumedang 0.0046 0.0094 0.0043 0.0020 0.0009 0.00014 0.0002 0.0000389 0.0011 0.0012 0.0238

12 Kab.Indramayu 0.0076 0.0065 0.0035 0.0016 0.0008 0.00025 0.0003 0.0015054 0.0009 0.0009 0.0239

13 Kab.Subang 0.0047 0.0068 0.0041 0.0020 0.0006 0.00009 0.0001 0.0063529 0.0005 0.0008 0.0262

14 Kab.Purwakarta 0.0077 0.0124 0.0043 0.0026 0.0006 0.00009 0.0001 0.0000139 0.0005 0.0008 0.0293

15 Kab.Karawang 0.0082 0.0116 0.0042 0.0022 0.0012 0.00020 0.0002 0.0050259 0.0011 0.0022 0.0361

16 Kab.Bekasi 0.0201 0.0153 0.0054 0.0052 0.0027 0.00027 0.0002 0.0022995 0.0018 0.0048 0.0580

17 Kab.Bandung Barat 0.0046 0.0117 0.0032 0.0017 0.0004 0.00045 0.0004 0.0000155 0.0006 0.0013 0.0244

18 Kota Bogor 0.0048 0.0108 0.0064 0.0032 0.0012 0.00023 0.0001 0.0000007 0.0043 0.0008 0.0318

19 Kota Sukabumi 0.0060 0.0093 0.0056 0.0029 0.0006 0.00011 0.0002 0.0000008 0.0037 0.0010 0.0294

20 Kota Bandung 0.0119 0.0117 0.0081 0.0069 0.0034 0.00019 0.0004 0.0000011 0.0048 0.0109 0.0584

Page 127: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

NO. Kabupaten/Kota PDRB Tahun 2009

Kontribusi Sektoral

Terhadap PDRB

Konsumsi Rumah Tangga

Perkapita/bulan

Tingkat Kemiskinan PAD KEANDALAN

Total Potensi Energi

σkgd (Kepadatan Kapasitas Gardu) di Kota/kab

σTDi (Kepadatan

Saluran Distribusi) di Wilayah Kota/Kab

SKOR TOTAL

21 Kota Cirebon 0.0197 0.0118 0.0060 0.0022 0.0007 0.00025 0.0003 0.0000002 0.0032 0.0009 0.0450

22 Kota Bekasi 0.0058 0.0127 0.0072 0.0048 0.0022 0.00027 0.0002 0.0000008 0.0074 0.0048 0.0454

23 Kota Depok 0.0037 0.0128 0.0070 0.0114 0.0011 0.00033 0.0004 0.0000010 0.0098 0.0089 0.0554

24 Kota Cimahi 0.0104 0.0140 0.0053 0.0037 0.0007 0.00046 0.0002 0.0000003 0.0078 0.0013 0.0438

25 Kota Tasikmalaya 0.0039 0.0092 0.0047 0.0012 0.0007 0.00005 0.0001 0.0000025 0.0023 0.0013 0.0235

26 Kota Banjar 0.0039 0.0086 0.0039 0.0033 0.0003 0.00005 0.0001 0.0000015 0.0011 0.0013 0.0226

27 Kab. Pandeglang 0.0034 0.0077 0.0057 0.0024 0.0003 0.00017 0.0002 0.0000206 0.0002 0.0010 0.0212

28 Kab. Lebak 0.0029 0.0059 0.0057 0.0025 0.0005 0.00017 0.0002 0.0021496 0.0002 0.0010 0.0214

29 Kab. Serang 0.0048 0.0124 0.0058 0.0047 0.0011 0.00039 0.0004 0.0000481 0.0006 0.0016 0.0319

30 Kota Cilegon 0.0312 0.0130 0.0059 0.0078 0.0013 0.00039 0.0004 0.0000009 0.0012 0.0018 0.0629

31 Kota Serang 0.0050 0.0119 0.0058 0.0050 0.0002 0.00039 0.0004 0.0000005 0.0006 0.0016 0.0309

32 Kota Batam 0.0245 0.0150 0.0037 0.0043 0.0015 0.00107 0.0008 0.0000009 0.0031 0.0027 0.0566

Page 128: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

4.2.4.4 Perhitungan Skor Agregat Setiap Alternatif Kota/Kabupaten

Perhitungan skor agregat setiap alternatif dilakukan menggunakan

persamaan 3.9. Hasil perhitungan ditampilkan pada tabel 4.3.6 berikut ini

Tabel 4.36 Skor Agregat untuk Kabupaten dan Kota di Jabar dan Banten serta Kota Batam sebagai Standar

No. Kabupaten/Kota Skor Total

1 Kab. Bogor 0.0297 2 Kab. Sukabumi 0.0188 3 Kab. Cianjur 0.0170 4 Kab.Bandung 0.0319 5 Kab. Garut 0.0182 6 Kab. Tasikmalaya 0.0161 7 Kab.Ciamis 0.0189 8 Kab. Kuningan 0.0167 9 Kab.Cirebon 0.0195 10 Kab. Majalengka 0.0194 11 Kab.Sumedang 0.0238 12 Kab.Indramayu 0.0239 13 Kab.Subang 0.0262 14 Kab.Purwakarta 0.0293 15 Kab.Karawang 0.0361 16 Kab.Bekasi 0.0580 17 Kab.Bandung

Barat 0.0244

18 Kota Bogor 0.0318 19 Kota Sukabumi 0.0294 20 Kota Bandung 0.0584 21 Kota Cirebon 0.0450 22 Kota Bekasi 0.0454 23 Kota Depok 0.0554 24 Kota Cimahi 0.0438 25 Kota Tasikmalaya 0.0235 26 Kota Banjar 0.0226 27 Kab. Pandeglang 0.0212 28 Kab. Lebak 0.0214 29 Kab. Serang 0.0319 30 Kota Cilegon 0.0629 31 Kota Serang 0.0309 32 Kota Batam 0.0566

Page 129: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Skor agregat ini menjadi dasar untuk penentuan segmentasi tarif listrik regional di

kota dan kabupaten di wilayah Jawa Barat dan Banten.

4.2.4.5 Segmentasi Tarif Listrik Regional Di Kota Dan Kabupaten Di Wilayah

Jawa Barat Dan Banten

Dari hasil perhitungan skor agregat dari setiap alternatif yang telah

dilakukan di setiap kota dan kabupaten di wilayah Jawa Barat dan Banten,

selanjutnya hasil perhitungan tersebut diurutkan dari skor paling besar sampai

dengan skor paling kecil sebagai berikut :

Page 130: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Grafik 4.2. Urutan Skor Agregat untuk Kabupaten dan Kota di Jawa Barat dan Banten serta Kota Batam Sebagai Standar

Dari grafik 4.2. di atas terlihat bahwa Kota Cilegon mempunyai skor

paling tinggi, diikuti dengan Kota Bandung dan Kabupaten Bekasi. Ketiga

wilayah tersebut ditandai dengan bar berwarna hijau. Batam sebagai wilayah yang

dijadikan standar ditandai dengan bar biru, sedangkan wilayah dengan bar kuning

adalah wilayah dengan skor dibawah Kota Batam, namun berada di atas rata-rata

skor seluruh wilayah. Yang termasuk ke dalam wilayah ini adalah Kota Depok,

0.0161 0.0167 0.0170

0.0182 0.0188 0.0189 0.0194 0.0195

0.0212 0.0214

0.0226 0.0235 0.0238 0.0239 0.0244

0.0262 0.0293 0.0294 0.0297

0.0309 0.0318 0.0319 0.0319

0.0361 0.0438

0.0450 0.0454

0.0554 0.0566

0.0580 0.0584

0.0629

0.0000 0.0100 0.0200 0.0300 0.0400 0.0500 0.0600 0.0700

Kab. TasikmalayaKab. Kuningan

Kab. CianjurKab. Garut

Kab. SukabumiKab.Ciamis

Kab. MajalengkaKab.Cirebon

Kab. PandeglangKab. Lebak

Kota BanjarKota Tasikmalaya

Kab.SumedangKab.Indramayu

Kab.Bandung BaratKab.Subang

Kab.PurwakartaKota Sukabumi

Kab. BogorKota SerangKota Bogor

Kab.BandungKab. Serang

Kab.KarawangKota Cimahi

Kota CirebonKota BekasiKota DepokKota BatamKab.Bekasi

Kota BandungKota Cilegon

Page 131: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Kota Bekasi, Kota Cirebon, Kota Cimahi, Kabupaten Karawang, Kabupaten

Serang, Kabupaten Bandung dan Kota Bogor. Adapun wilayah dengan bar warna

merah muda adalah wilayah dengan skor dibawah Kota Batam dan rata-rata skor

seluruh wilayah. Yang termasuk ke dalam wilayah ini adalah : Kota Serang,

Kabupaten Bogor, Kota Sukabumi, Kota Purwakarta, Kabupaten Subang,

Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Sumedang, Kota

Tasikmalaya, Kota Banjar, Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten

Cirebon, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Sukabumi,

Kabupaten Garut, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Kuningan dan terakhir

Kabupaten Tasikmalaya.

Seperti telah dijelaskan pada bab 3 bahwa penentuan kelompok regional

tarif dilakukan dengan menggunakan metode cluster analysis dimana regional-

regional tarif dikelompokkan kedalam 3 kelompok yaitu kelompok yang termasuk

kategori sangat direkomendasikan (highly recommended), masih

direkomendasikan (recommended), dan tidak direkomendasikan (not

recommended), dengan menggunakan menggunakan standar Kota Batam sebagai

kota yang telah dianggap berhasil menerapkan kebijakan Tarif Listrik Regional

sejak tahun 2002 untuk pengelompokan region tarif tersebut. Setelah skor agregat

untuk setiap kota dan kabupaten di Jawa Barat dan Banten terurut seperti pada

Grafik 4.1, maka dapat dilakukan pembagian cluster sebagai berikut :

Page 132: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Tabel 4.37. Pembagian Cluster Sesuai Kategori Wilayah Tarif Yang Ditetapkan

Adapun rincian (spesifikasi) dari setiap kategori adalah sebagai berikut :

1. Kategori region/wilayah yang sangat direkomendasikan (highly

recommended) adalah wilayah yang dapat menerapkan tarif listrik

pada nilai keekonomiannya saat ini. Wilayah yang termasuk ke dalam

kategori ini adalah kota atau kabupaten dengan tingkat kemampuan

ekonomi masyakarat yang tinggi, kemampuan pemerintah yang tinggi

No. Kabupaten/Kota Skor Total Kategori1 Kota Cilegon 0.06292 Kota Bandung 0.05843 Kab.Bekasi 0.0580

0.0566 STANDARD DAERAH PELAKSANA TLR1 Kota Depok 0.05542 Kota Bekasi 0.04543 Kota Cirebon 0.04504 Kota Cimahi 0.04385 Kab.Karawang 0.03616 Kab. Serang 0.03197 Kab.Bandung 0.03198 Kota Bogor 0.0318

0.03151 Kota Serang 0.03092 Kab. Bogor 0.02973 Kota Sukabumi 0.02944 Kab.Purwakarta 0.02935 Kab.Subang 0.02626 Kab.Bandung Barat 0.02447 Kab.Indramayu 0.02398 Kab.Sumedang 0.02389 Kota Tasikmalaya 0.0235

10 Kota Banjar 0.022611 Kab. Lebak 0.021412 Kab. Pandeglang 0.021213 Kab.Cirebon 0.019514 Kab. Majalengka 0.019415 Kab.Ciamis 0.018916 Kab. Sukabumi 0.018817 Kab. Garut 0.018218 Kab. Cianjur 0.017019 Kab. Kuningan 0.016720 Kab. Tasikmalaya 0.0161

RECOMMENDED

NOT RECOMMENDED

HIGHLY RECOMMENDED

Kota Batam

RATA-RATA TOTAL

Page 133: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

serta keandalan dan ketersediaan infrastruktur kelistrikan yang tinggi

pula. Dari hasil olah data diperoleh bahwa Kota Cilegon, Kota

Bandung dan Kabupaten Bekasi adalah kota dan kabupaten yang

termasuk dalam kategori ini dimana skor hasil pengolahan AHP yang

diperoleh untuk ketiga wilayah tersebut lebih besar dibandingkan skor

Kota Batam sebagai standar wilayah pelaksana kebijakan tarif listrik

regional.

2. Region yang masih direkomendasikan (recommended) adalah region

yang tidak mempunyai keandalan listrik dan ketersediaan infrastruktur

kelistrikan yang cukup memadai namun dianggap dapat menerapkan

tarif listrik pada nilai keekonomiannya karena didukung oleh

kemampuan ekonomi masyarakat dan pemerintahnya yang tinggi. Dari

hasil olah data diperoleh bahwa Kota Depok, Kota Bekasi, Kota

Cirebon, Kota Cimahi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Serang,

Kabupaten Bandung dan Kota Bogor termasuk dalam kategori ini

dimana skor hasil pengolahan AHP yang diperoleh lebih kecil

dibandingkan skor Kota Batam, namun masih lebih tinggi dari rata-rata

skor keseluruhan region.

3. Region yang tidak direkomendasikan (not recommended) adalah

region yang tidak dapat/tidak siap untuk menerapkan tarif listrik pada

nilai keekonomiannya. Dari hasil olah data diperoleh bahwa Kota

Serang, Kabupaten Bogor, Kota Sukabumi, Kota Purwakarta,

Kabupaten Subang, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Indramayu,

Page 134: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu

Kabupaten Sumedang, Kota Tasikmalaya, Kota Banjar, Kabupaten

Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Cirebon, Kabupaten

Majalengka, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten

Garut, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Kuningan dan terakhir

Kabupaten Tasikmalaya termasuk dalam kategori ini dimana skor hasil

pengolahan AHP yang diperoleh lebih kecil dibandingkan skor dari

Kota Batam dan juga dibawah rata-rata skor keseluruhan region. Pada

region ini, listrik tetap pada fungsi dasarnya yaitu infrastruktur yang

menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakannya.

Page 135: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/170620/2008/170720080004_4_4933.pdf · jiwa atau 9,19 persen,dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu