bab ii kajian pustaka a. ẓah 1. pengertian peranan para...
TRANSCRIPT
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Peranan Para Hafiẓah
1. Pengertian Peranan Para Hafiẓah
Peran adalah pemain, perangkat, tingkah yang diharapkan dimiliki
oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat. Sedangkan peranan
adalah bagian yang dimainkan seorang pemain, tindakan yang dilakukan
oleh seorang dalam suatu peristiwa. 1 Jika ditujukan pada hal yang bersifat
kolektif di dalam masyarakat, seperti himpunan, gerombolan, atau
organisasi, maka peranan berarti “perangkat tingkah yang diharapkan
dimiliki oleh organisasi yang berkedudukan di dalam sebuah mayarakat”.
Peranan (role) memiliki aspek dinamis dalam kedudukan (status) seseorang.
Peranan lebih banyak menunjuk satu fungsi, penyesuaian diri dan sebagai
suatu proses.2
Menurut Anton Moelyono (1949), peranan adalah sesuatu yang
dapat diartikan memiliki arti positif yang diharapkan akan
mempengaruhi sesuatu yang lain. Secara umum, pengertian peranan adalah
kehadiran di dalam menentukan suatu proses keberlangsungan. Sementara
itu, Alvin L. Bertrand, seperti dikutip oleh Soleman B. Taneko
menyebutkan bahwa: “Yang dimaksud dengan peran adalah pola tingkah
1 Em Zul Fajri, Ratu Aprilia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Difa Publisher,
2009), 641. 2Soleman B. Taneko, Mengenal Arti Peran, (Surabaya: Dinar press, 1986), 11.
15
laku yang diharapkan dari seseorang yang memangku status atau
kedudukan tertentu."3
Jadi, dapat disimpulkan bahwa peranan adalah merupakan suatu
tindakan yang membatasi seseorang maupun suatu organisasi untuk
melakukan suatu kegiatan berdasarkan tujuan dan ketentuan yang telah
disepakati bersama agar dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya
Sedangkan pengertian Hafiẓah dalam kamus besar Bahasa
Indonesia adalah penghafal al-Qur’an perempuan.4 Dalam bahasa Arab,
menghafal menggunakan terminologi al-Hifzh yang artinya menjaga,
memelihara atau menghafalkan. Sedang al-Hafizh adalah orang yang
menghafal dengan cermat, orang yang selalu berjaga-jaga, orang yang
selalu menekuni pekerjaannya. Istilah al-Hafizh ini dipergunakan untuk
orang yang hafal al-Qur’an tiga puluh juz tanpa mengetahui isi dan
kandungan al-Qur’an. Sebenarnya istilah al-Hafizh ini adalah predikat bagi
sahabat Nabi yang hafal hadits-hadits shahih (bukan predikat bagi
penghafal al-Qur’an).5
Dalam kitab Shahihnya, Imam Al-Bukhari meriwayatkan
sebuah hadits dari Hajjaj bin Minhal dari Syu’bah dari Alqamah bin
Martsad dari Sa’ad bin Ubaidah dari Abu Abdirrahman As-Sulami dari
Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda:
3 Soleman B. Taneko, Mengenal Arti Peran, (Surabaya: Dinar press, 1986), 23. 4 Em Zul Fajri, Ratu Aprilia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Difa Publisher,
2009), 213. 5 Ahmad Warson Munawir, Almunawir Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997), 279.
16
خيركم من تعلم القرآن وعلمه
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur`an dan
mengajarkannya.”6
Masih dalam hadits riwayat Al-Bukhari dari Utsman bin Affan,
tetapi dalam redaksi yang agak berbeda, disebutkan bahwa Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda:
. إن أفضلكم من تعلم القرآن وعلمه
“Sesungguhnya orang yang paling utama di antara kalian adalah
yang belajar Al-Qur`an dan mengajarkannya.”7
Dalam dua hadits di atas, terdapat dua amalan yang dapat membuat
seorang muslim menjadi yang terbaik di antara saudara-saudaranya sesama
muslim lainnya, yaitu belajar Al-Qur`an dan mengajarkan Al-Qur`an.
Tentu, baik belajar ataupun mengajar yang dapat membuat seseorang
menjadi yang terbaik di sini, tidak bisa lepas dari keutamaan Al-Qur`an itu
sendiri. Al-Qur`an adalah kalam Allah, firman-firman-Nya yang diturunkan
kepada Nabi-Nya melalui perantara Malaikat Jibril Alaihissalam. Al-Qur`an
adalah sumber pertama dan acuan utama dalam ajaran Islam.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam
penelitian ini peranan para hafiẓah didefinisikan sebagai aktifitas, tindakan,
peran serta atau langkah yang diambil para penghafal Al-Qur’an (hafiẓah)
untuk kemajuan masyarakat di desanya.
6Moh Fathoni Dimyati, Agar Tidak Merugi sebagai Huffadh Al-Qur’an, (Mojokerto: Unit
Roudlotul Qur’an PPBH, 2010) 62. 7Moh Fathoni Dimyati, Agar Tidak Merugi sebagai Huffadh Al-Qur’an, 64.
17
2. Keutamaan Penghafal Al-Qur’an
Menghafal al-Qur’an merupakan suatu keutamaan yang besar, dan
posisi itu selalu didambakan oleh semua orang yang benar, dan seorang
yang bercita-cita tulus, serta berharap pada kenikmatan duniawi dan
ukhrowi agar manusia nanti menjadi warga Allah dan dihormati dengan
penghormatan yang sempurna.
Tidaklah seseorang dapat meraih tuntunan dan keutamaan tersebut,
yang menjadikannya masuk ke dalam deretan malaikat baik kemuliaan
maupun derajatnya, kecuali dengan cara mempelajari dan mengamalkannya.
Al-Qur’aon dapat mengangkat derajat seseorang dan dapat memperbaiki
keadaanya jika ia mengamalkannya. Sebaliknya, jika al-Qur’an dijadikan
bahan tertawaan dan disepelekan, maka akan menyebabkan ia disiksa
dengan adzab yang pedih di akhirat kelak. Rasulullah saw. bersabda:
إن هللا يرفع بهذا الكتاب أقواما ويضع به آخرين
“Sesungguhnya Allah, dengan kitab ini akan mengangkat banyak
kaum dan dengannya akan merendahkan kaum yang lainnya.” (HR.
Muslim dan Ibnu Majjah).8
Penghargaan Allah kepada ahli Qur’an sungguh luar biasa, tidak
tanggung-tanggung piagam-piagam Allah dan Rasulullah yang diberikan
pada ahli Qur’an, antara lain:
8 Sa’dulloh, 9 Cara Praktis Menghafal Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2010), 23-24.
18
a. Sebagai orang pilihan.
Artinya: “kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang
Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada
yang Menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang
pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat
kebaikan dengan izin Allah. yang demikian itu adalah karunia yang
Amat besar.” (QS. Faathir:32)
b. Sebagai keluarga Allah.
؟ قال : أهل القرآن هم أهل إن أهلين من الناس قالوا : من هم يا رسول للا لل . للا
ته وخاص
“Sesungguhnya Allah mempunyai keluarga di antara manusia, para
sahabat bertanya, “Siapakah mereka ya Rasulullah?” Rasul menjawab,
“Para ahli Al Qur’an. Merekalah keluarga Allah dan hamba
pilihanNya” (HR. Ahmad).
c. Sebagai pembawa bendera Islam.
قل النبي صلي هللا عليه وسلم : حامل القرآن حامل راية السالم،من اكرمه فقد
ومن اهانه فعليه لعنة هللا اكرمه هللا،
“Penghafal al-Qur’an adalah pembawa bendera Islam. Barang siapa
yang menghormati mereka, maka Allah akan memuliakannya, dan
barang siapa menghinakan mereka maka Allah akan melaknatnya.”
(Imam Suyuthi, III/1984:745-746)
d. Dikumpulkan dengan para Malaikat Muqorrobin.
الذي يقرأ القرآن وهو ماهر به مع السفرة الكرام البررة، والذي يقرأ القرآن
ويتتعتع فيه وهو عليه شاق له أجران
19
“Orang yang mahir membaca Al-Qur’an, dia berada bersama para
malaikat yang terhormat dan orang yang terbata-bata di dalam
membaca Al-Qur’an serta mengalami kesulitan, maka baginya dua
pahala”(HR. Aisyah ra)
e. Dianggap sederajat dengan kenabian.
ة بين جنبيه غير أنه ليوحى إليه. من قرأ القرآن فقد استدر ج النبو
“Barang siapa yang hafal al-Qur’an maka seakan-akan ia mendapat
derajat kenabian (dengan stempel) diantara dua lambungnya, hanya saja
ia tidak menerima wahyu.”(HR. Thabrani).
f. Kedua orang tuanya mendapatkan mahkota surga.
من قرأ القرأن وعمل بما فيه البس هللا والديه تاجا يوم القيامة ضوءه احسن من
كم بالذى عمل بهذا.ضوء الشمس في بيوت الدنيا فما ظن
“Barangsiapa yang membaca Al Qur`an dan mengamalkan apa yang
terdapat di dalamnya, Allah akan mengenakan mahkota kepada kedua
orangtuanya pada Hari Kiamat kelak. (Dimana) cahayanya lebih terang
dari pada cahaya matahari di dunia. Maka kamu tidak akan menduga
bahwa ganjaran itu disebabkan dengan amalan yang seperti ini. ” (HR.
Abu Daud.) 9
Dan masih banyak lagi penghaargaan-penghargaan yang tinggi
dari Allah dan Rasul-Nya untuk para ahli Qur’an yang semuanya
menuju kesimpulan bahwa para ahli Qur’an adalah orang-orang pilihan
Allah. Sedangkan Allah adalah Hakim yang maha Adil, sehingga
pilihan-Nya adalah berdasarkan keadilan-Nya dan sama sekali tidak
bias digugat.
9Moh Fathoni Dimyati, Kiat Menjadi Qurro’ & Huffadh Yang Berkualitas. (Mojokerto: Unit
Roudlotul Qur’an PPBH, 2010) 4.
20
3. Tujuan Penghafal Al-Qur’an
Manusia dalam melaksanakan aktivitas hidupnya tidak akan
terlepas dari tujuan yang dicapainya. Adapun tujuan dari pada menghafal
Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
a. Untuk menggugurkan kewajiban menghafal Al-Qur’an yang harus ada
dalam suatu masyarakat, karena ulama’ sudah menjelaskan bahwa
hukum dari menghafal Al-Qur’an adalah fardhu kifayah.10
b. Untuk dijadikan sebagai “modal dasar” dalam pelaksanaan dakwah
islam yang baik11
c. Untuk menumbuhkan potensi jasmani dan rohani dalam melaksanakan
tugas hidupnya sebagai khalifah dimuka bumi ini yaitu dengan
mewujudkan ahlaqul karimah serta meningkatkan amal ibadah dalam
rangka manusia yang bertaqwa kepada Allah.
d. Untuk menciptakan masyarakat yang islami, sebuah masyarakat yang
berjalan dengan metode dan standar Al-Qur’an, sehingga masyarakat
yang hidup dan mempunyai keberuntungan dunia akhirat.
e. Agar kaum muslimin yang sedang menghafal al-Quran atau yang telah
menjadi hafidz dapat mengamalkan alQuran, berperilaku dan
berakhlak sesuai dengan isi al-Quran.12
10 Muhaimin Zen, bimbingan praktis menghafal Al-Qur’an, (Jakarta:Pustaka al-Husna
Baru,1996), 38. 11 Ahmad Von Deffer, Ilmu Al-Qur’an (Pengenalan Dasar), (Jakarta: Rajawali
Press,1981), 204 12 Aunur Rafiq Shalih Tahmid, Apa itu Al-Qur’an, terj. Imam as-Suyuthi, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1992), 135.
21
f. Salah satu tugas utama penghafal Al-Qur’an adalah menjadi perekat
dan penjaga kesatuan umat.
Semua tujuan tersebut akan terwujud jika kita benar-benar sudah
menghayati nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur’an. Allah
menurunkan kitab suciNya ke dunia bukan hanya untuk dihafal tetapi juga
untuk dijadikan pedoman hidup bagi umatNya.
4. Faktor yang Menghambat dan Mendukung Peran Para Hafizah
Menurut Kozier Barbara peran adalah seperangkat tingkah laku
yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya
dalam, suatu system. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari
dalam maupun dari luar dan bersifat stabil. Ada beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi peran seorang hafizah dalam menjalankan
peranannya. Faktor yang dapat mempengaruhi peran tersebut berupa faktor
pendukung dan faktor penghambat.13
Faktor pendukung merupakan hal-hal yang mempengaruhi
sesuatu menjadi berkembang, memajukan, menambah dan menjadi lebih
dari sebelumnya. Sedangkan faktor penghambat merupakan hal-hal yang
berpengaruh cenderung menurun atau menghentikan sesuatu lebih dari
sebelumnya. Substansinya faktor pendukung peran hafizah adalah hal-hal
yang dapat memudahkan para hafizah untuk menjalankan perananya,
sementara faktor penghambat peran hafizah, hal-hal yang dapat
mempersulit para hafizah dalam menjalankan peranannya di masyarakat.
13 Sondang P, Siagian. Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008) 98.
22
Berikut beberapa komponen yang ada dalam faktor pendukung dan
penghambat peran para hafizah.
a. Faktor Pendukung Peran Para Hafizah
1) Motivasi dalam menjalankan peran
Seorang hafizah hendaknya memiliki motivasi yang kuat
dalam menjalankan peranannya, sehingga dapat menjalankan
tanggung jawabnya dengan baik dalam mendidik, mengarahkan
dan membimbing. Motivasi yang ada dalam dirinya sangat
berdampak pada cara seorang hafizah dalam menjalankan
peranannya. Karena dengan motivasi dapat menimbulkan
seseorang untuk bertingkah laku dalam mencapai tujuan yang
diinginkan dan membuat seseorang melakukan sesuatu untuk
mengurangi kesenjangan yang dirasakan. Motivasi dapat
membangkitkan seseorang untuk memenuhi keinginan, harapan,
dorongan, dan kebutuhan yang diinginkan. Motivasi merupakan
panggilan jiwa, keikhlasan, kesiapan mental yang tulus, ageksi
nuraniah, aktualisasi potensi, alami dan rangsangan internal yang
muncul dari dalam diri seseorang untuk mengemban tugasnya dan
fungsi secara kreatif, efisien, produktif, dan kontinyu14
2) Kemampuan dalam menjalankan peran
Kesanggupan dan kecakapan seorang hafizah sangat
diperlukan dalam menguasai suatu keahlihan atau pengetahuan
14 Sudarwan Danim, Kepemimpinan Pendidikan Kepemimpinan Jenius (IQ+EQ) Etika, Perilaku,
Motivasi, dan Mitos, (Bandung: Alfabeta, 2010), 117
23
yang digunakan untuk mengerjakan berbagai tugas dan suatu
peranan. Menurut Stephen P. Robbins dan Timothy A. Judge,
bahwa kemampuan keseluruhan seseorang pada dasarnya terdiri
dari dua faktor yaitu: a) kemampuan intelektual, dimana suatu
kemampuan yang diperlukan untuk melakukan berbagai aktivitas
mental (berpikir, menalar, dan memecahkan masalah), b)
kemampuan fisik, suatu kemampuan melakukan tugas-tugas yang
menuntut stamina, keterampilan, kekuatan.15
Jadi dalam menjalankan peranannya, seorang hafizah tidak
hanya membutuhkan kemampuan fisik, tetapi juga hafizah juga
mampu memiliki kemampuan dalam berpikir dan memecahkan
masalah yang ada di dalam masyarakat.
3) Dukungan dalam menjalankan peran
Dalam menjalankan pernannya hafizah memerlukan
dukungan atau support dari orang sekitar. Dukungan tersebut
berupa dukungan sosial, dimana tindakan yang bersifat membantu
yang melibatkan emosi, pemberian informasi baik secara verbal
maupun nonverbal, pemberian bantuan tingkah laku atau materi
yang didapat dari hubungan sosial yang akrab, yang membuat
seseorang merasa diperhatikan, bernilai, sehingga dapat
menguntungkan bagi seorang tersebut.16 Dengan adanya
15 Stephen P. Robbins, Organizational Behaviour, Pearson Education, Upper Saddle River, New
Jersey, 2009, 57-61 16 Albrecht, T dan Adelman, M. 1987. Communicating Social Support. Newbury Park: Sage, 182
24
dukungan sosial yang diterima para hafizah dalam menjalankan
peranannya, maka dapat membantu hafizah dalam menjalankan
peranannya berupa semangat baru dan memberikan kepercayaan
atau kesempatan bagi mereka untuk menjalankan peranan secara
maksimal dan optimal
b. Faktor Penghambat Peran Para Hafizah
1) Adanya Kesalahpahaman
Pentingnya komunikasi efektif yang terjalin antara hafizah
dengan tokoh agama yang lebih tua, dimana hal tersebut tidak
menimbulkan kesenjangan atau kesalahpahaman salah satu dari
kedua unsur tersebut ketika hafizah melaksanakan pernannya.
Sebab dengan komunikasi yang efektif, dimana hafizah memiliki
kemampuan berkomunikasi dengan masyarakat sekitar dalam
melaksanakan peranannya tanpa menimbulkan kesalahpahaman
dengan menekan sekecil mungkin kesalahpahaman tersebut.17
Seminimal mungkin para hafizah menghindari kesalahpahaman
dengan tokoh agama yang lebih tua yang merasa peran mereka
tergantikan oleh para hafizah. Sebab peran hafizah disini adalah
mengembangkan dan meningkatkan pemberdayaan kegiatan
keagamaan yang sudah ada sebelumnya.
17 Alo Liliweri. Makna Budaya dalam Komunikasi antar Budaya. (Yogjakarta: PT. LKiS Pelangi
Aksara, 2002) 12.
25
2) Kesibukan Hafizah
Hambatan yang dihadapi Hafizah dalam melaksakanan
peranannya adalah ketika mereka disibukkan dengan pekerjaan
rumah tangga, sebab sebagian besar hafizah yang berperan telah
menjadi seorang ibu rumah tangga. Tidak hanya itu, mereka
memiliki peran sebagai ibu dimana, Dalam peran ini wanita
sangatlah berat karena tugas wanita mendidik anak bukanlah
merupakan pekerjaan sambilan tetapi amanah dari tuhan. Karena
keberhasilan ibu dalam mendidik anak bukan karena tercapainya
titel yang tinggi. Tetapi keberhasilan yang hakiki adalah
keberhasilannya anak dalam mendapatkan keberhasilan dunia
akhirat.18 Oleh karena itu ketidak optimalnya peran hafizah dalam
memberdayakan kegiatan keagamaan dimaysarakat karena
keterbatasan waktu dan tenaga dalam menjalankan tugas tersebut.
3) Kurangnya respon Masyarakat terhadap Peran Hafizah
Tidak mudah seorang hafizah dalam menjalankan
peranannya di masyarakat. Ada berbagai hambatan dan
permasalahan yang mereka hadapi dalam menjalankan tugasnya.
Mereka membutuhkan suatu dorongan dan pengakuan dari
masyarakat dalam menjalankan peranannya. Sebab hafizah akan
semakin bersemangat dan termotivasi dalam menjalankan
perananya ketika keberadaan mereka didalam masayarakat
18 Dadang S. Anshori. Membincangkan Feminisme, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997) 203.
26
mendapatkan pengakuan dan dukungan.19 Namun apabila peran
hafizah di masyakat kurang mendapatkan respon dan dukungan,
maka secara tidak langsung akan menurunkan semangat dan
motivasi mereka dalam menjalankan peranannya, sehingga akan
terjadi ketidakoptimalan menjalankan peran dan menghambat
proses pemberdayaan kegiatan keagamaan dimasyarakat.
Kesuksesan peran para hafizah tidak bisa terlepas dari beberapa
faktor pendukung, serta ketidakberhasilan sebuah peran juga didasari oleh
beberapa faktor penghambat, seseorang mungkin tidak memandang suatu
peran dengan cara yang sama sebagaimana orang lain memandangnya.
Sifat kepribadian seseorang mempengaruhi bagaimana orang itu
merasakan peran tersebut. Tidak semua orang yang mengisi suatu peran
merasa sama terikatnya kepada peran tersebut, karena hal ini dapat
bertentangan dengan peran lainnya. Semua faktor ini terpadu sedemikian
rupa, sehingga tidak ada dua individu yang memerankan satu peran
tertentu dengan cara yang benar-benar sama.
5. Pengertian Pondok Pesantren
Secara bahasa pesantren berasal dari kata santri yang mendapat
awalan pe- dan akhiran –an, menjadi pe-santri-an yang berarti tempat
tinggal para santri. Pendapat lain mengatakan, kata santri berasal dari kata
cantrik (bahasa Sansekerta atau mungkin Jawa) yang berarti orang yang
selalu mengikuti guru. Ada istilah lain dari pondok pesantren, yaitu istilah
19 Sondang P, Siagian. Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008) 107.
27
dayah atau rangkang atau meunasah di Aceh. Ada juga istilah surau di
Minangkabau. Dari berbagai istilah ini, secara nasional lebih dikenal dengan
istilah pesantren.20
Sama beragamnya dengan asal-usul kata santri, definisi pesantren
yang dikemukakan para ahli juga bermacam-macam. Abdurrahman wahid
mendefinisikan pesantren sebagai tempat dimana santri hidup. Mastuhu
memberi batasan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional
Islam untuk mempelajari, memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran
Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman
perilaku sehari-hari. Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) mendefinisikan
pesantren sebagai tafaqquh fiddin yang mengemban misi meneruskan
risalah Muhammad saw sekaligusmelestarikan ajaran Islam yang berhaluan
Ahlussunah wal Jama’ah.21
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang tertua di
Indonesia, setelah rumah tangga. Sekalipun demikian perhatian para peneliti
terhadap pesantren belumlah begitu lama dimulai. Hasil-hasil penelitian itu
sudah diedarkan berupa makalah, majalah dan buku. Menurut para ahli,
pesantren baru dapat disebut pesantren bila memenuhi lima syarat, yaitu (1)
ada kiai, (2) ada pondok, (3) ada masjid, (4) ada santri, (5) ada pengajaran
membaca kitab kuning.22
20 Babun Suhart, Dari Pesantren untuk Umat,(Jakarta: DKU Print, 2014), 9. 21 Babun Suharto, Dari Pesantren untuk Umat,(Jakarta: DKU Print, 2014), 11. 22 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2014), 191.
28
Terlepas dari perdebatan berbagai definisi pesantren diatas, yang
jelas pesantren merupakan lembaga pendidikan yang paling menentukan
watak keislaman sebuah bangsa. Sampai sekarang pesantren pada umumnya
bertujuan untuk belajar agama dan mencetak pribadi Muslim yang kaffah
yang melaksanakan ajaran Islam secara konsisten dalam kehidupan sehari-
hari.
Adapun tipologi pesantren secara garis besar terbagi menjadi dua
kelompok. Pertama, pesantren salafi yang tetap mempertahankan
pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren
tradisional. Kedua, pesantren modern yang telah memasukkan pelajaran-
pelajaran umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkannya, atau
membuka tipe-tipe sekolah umum dalam lingkungan pesantren.23
Ada juga pondok pesantren yang melahirkan para penghafal al-
Qur’an, jadi disamping mereka tetap mempelajari kitab-kitab klasik seperti
santri pada umumnya, mereka juga dituntut untuk menghafalkan kitab suci
al-Qur’an 30 juz dengan menggunakan metode yang telah ada di pesantren
tersebut. Sudah banyak sekali pondok pesantren di Indonesia yang telah
melahirkan para penghafal al-Qur’an, salah satunya adalah podok pesantren
Bidayatul Hidayah Mojogeneng Jatirejo Mojokerto, yang didirikan oleh
Almaghfurullah KH. Yahdi Mathlab.
Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan didirikan atas dasar
tafaqqohu fiddin yakni kepentingan umat Islam untuk memperdalam ilmu
23 Babun Suharto, Dari Pesantren untuk Umat,19.
29
pengetahuan agama Islam. Da sar yang digunakan adalah Firman Allah
SWT. dalam QS. At-Taubah ayat 122, yang berbunyi:
Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan
perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya
mereka itu dapat menjaga dirinya.”24
Jadi, ayat di atas mengandung maksud agar seseorang mendalami
agama dan tempat yang digunakan, yaitu pondok pesantren. Tujuan pondok
pesantren ada dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
a. Tujuan umum pondok pesantren yaitu membina warga negara agar
berkepribadian muslim sesuai dengan ajaran Islam dan menanamkan rasa
keagamaan tersebut pada semua segi kehidupan serta menjadikannya
sebagai orang yang berguna bagi agama, masyarakat, dan negara.
b. Tujuan khusus pesantren yaitu:
1) Mendidik santri untuk menjadi seorang muslim yang bertaqwa kepada
Allah, berakhlak mulia, memiliki kecerdasan, ketrampilan, dan sehat
lahir batin sebagai warga negara yang berpancasila.
2) Mendidik santri agar menjadi kader-kader ulama dan mubaligh yang
berjiwa ikhlas, tabah, tangguh, wiraswasta, dan mengamalkan syariat
Islam secara utuh dan dinamis.
24 Al-Qur'an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI,(Bandung: sigma Corp, 2010), 206.
30
3) Mendidik santri memperoleh kepribadian dan semangat kebangsaan
agar dapat menubuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat
membangun dirinya dan bertanggung jawab kepada pembangunan
bangsa dan negara.
4) Mendidik santri agar menjadi tenaga-tenaga yang cakap dalam
berbagai sektor pembangunan, khususnya pembangunan material
spiritual. Serta, mendidik para santri agar dapat membantu.
5) Meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat dalam rangka ikut
membantu pembangunan bangsa.25
B. Pemberdayaan Ritual Keagamaan di Masyarakat
1. Pengertian Pemberdayaan Ritual Keagamaan
Pemberdayaan berasal dari kata “daya” yang mendapat awalan
ber- yang menjadi kata “berdaya” artinya memiliki atau mempunyai daya.
Daya artinya kekuatan, berdaya artinya memiliki kekuatan. Pemberdayaan
artinya membuat sesuatu menjadi berdaya atau mempunyai daya atau
mempunyai kekuatan. Pemberdayaan dalam bahasa Indonesia merupakan
terjemahan dari empowerment yang biasa diartikan sebagai pemberkuasaan.
yaitu upaya-upaya penguatan kembali yang ditujukan untuk masyarakat,
secara konsepsional dalam ungkapan pemberdayaan ada pembayangan yang
berkenaan dengan tindakan atau kebijakan (policy) yang membuat
masyarakat menjadi tidak berdaya.26
25Rustam Ibrahim, Bertahan di Tengah Perubahan, pesantren salaf, kiai dan kitab kuning,
(Surakarta: unu Surakarta Press, 2015), 178. 26Zainal Arifin Thoha, Eksotisme Seni Budaya Islam khazanah peradaban dari serambi pesantren,
(Yogyakarta: bukulaela, 2002), 75.
31
Menurut Ginandjar Kartasasmita memberdayakan masyarakat
adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat
kita yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari
perangkat kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain
memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat.27
Pemberdayaan adalah suatu proses yang berjalan terus-menerus
untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam
meningkatkan taraf hidupnya, upaya itu hanya bisa dilakukan dengan
membangkitkan keberdayaan mereka, untuk memperbaiki kehidupan di atas
kekuatan sendiri. Asumsi dasar yang dipergunakan adalah bahwa setiap
manusia mempunyai potensi dan daya, untuk mengembangkan dirinya
menjadi lebih baik. Dengan demikian, pada dasarnya manusia itu bersifat
aktif dalam upaya peningkatan keberdayaan dirinya.28
Dalam konteks pembangunan istilah pemberdayaan pada dasarnya
bukanlah istilah baru melainkan sudah sering dilontarkan semenjak adanya
kesadaran bahwa faktor manusia memegang peran penting dalam
pembangunan. Sementara dalam sumber yang sama, Carver dan Clatter
Back mendevinisikan pemberdayaan sebagai berikut “upaya memberi
keberanian dan kesempatan pada individu untuk mengambil tanggung jawab
perorangan guna meningkatkan dan memberikan kontribusi pada tujuan
organisasi.” Sementara Shardlow mengatakan pada intinya: “pemberdayaan
27 Adi Fahrudin, Pemberdayaan, Partisipasi dan Penguatan Kapasitas Masyarakat, (Bandung:
Humaniora, 2012), 16. 28 Engking Soewarman Hasan, Strategi Menciptakan Manusia Yang Bersumber Daya Unggul,
(Bandung: Pustaka Rosda Karya, 2002), 56-57.
32
membahas bagaimana individu, kelompok ataupun komunitas berusaha
mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk
masa depan sesuai dengan keinginan mereka”.29
Menurut Moh. Ali Aziz dkk dalam buku Dakwah, Pemberdayaan
adalah sebuah konsep yang fokusnya adalah kekuasaan. Pemberdayaan
secara substansial merupakan proses memutus (break down) dari hubungan
antara subjek dan objek. Proses ini mementingkan pengakuan subjek akan
kemampuan atau daya yang dimiliki objek. Secara garis besar proses ini
melihat pentingnya mengalirkan daya dari subjek ke objek. Hasil akhir dari
pemberdayaan ini adalah beralihnya fungsi individu yang semula menjadi
objek menjadi subjek (yang baru), sehingga relasi sosial yang na ntinya
hanya akan dicirikan dengan relasi sosial antar subjek dengan subjek lain.30
Menurut Priyono dan Pranarka (1996) proses pemberdayaan
mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan dengan
kecenderungan primer menekankan pada proses pemberian kekuasaan,
kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu yang
bersangkutan menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi dengan
upaya membangun aset material guna mendukung pembangunan
kemandirian mereka melalui organisasi. Kedua, proses pemberdayaan
dengan kecenderungan sekunder menekankan pada proses menstimulasi,
mendorong atau memotivasi agar individu mempunyai kemampuan atau
29Dra. Risyanti Riza, Drs.H. Roesmidi, M.M. Pemberdayaan Masyarakat, (Sumedang: alqaprint
jatinangor, 2006), 12. 30 Moh. Ali Aziz, dkk. Dakwah Pemberdayaan Masyarakat: Paradigma Aksi Metodologi.
(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), 169.
33
keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui
proses dialog.31
Jadi, pemberdayaan disini diartikan sebagai upaya-upaya
penguatan kembali suatu kegiatan yang berjalan terus-menerus untuk
meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam
meningkatkan taraf hidupnya, upaya itu hanya bisa dilakukan dengan
membangkitkan keberdayaan mereka, untuk memperbaiki kehidupan di atas
kekuatan mereka sendiri.
Sedangkan Ritual adalah serangkaian kegiatan yang dilaksanakan
terutama untuk tujuan simbolis. Ritual dilaksanakan berdasarkan suatu
agama atau bisa juga berdasarkan tradisi dari suatu komunitas tertentu.
Kegiatan-kegiatan dalam ritual biasanya sudah diatur dan ditentukan, dan
tidak dapat dilaksanakan secara sembarangan. Sementara ritual keagamaan
islam berarti serangkaian kegiatan yang sudah menjadi tradisi masyarakat
yang beragama islam.32
Jadi, pemberdayaan ritual keagamaan disini memiliki arti upaya-
upaya penguatan kembali serangkaian kegiatan yang sudah menjadi tradisi
masyarakat yang beragama Islam karena pada dasarnya setiap manusia
mempunyai potensi dan daya, untuk mengembangkan dirinya menjadi lebih
baik.
31 Adi Fahrudin, Pemberdayaan Partisipasi, 48. 32 Syahrin, Harahap, Islam Konsep dan Implementasi Pemberdayaan, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1999), 124.
34
2. Prinsip-Prinsip Pemberdayaan
Terdapat empat prinsip yang sering digunakan untuk suksesnya
program pemberdayaan, yaitu prinsip kesetaraan, partisipasi, keswadayaan
atau kemandirian, dan berkelanjutan.33 Adapun lebih jelasnya adalah sebagai
berikut:
a. Prinsip Kesetaraan
Prinsip utama yang harus dipegang dalam proses pemberdayaan
masyarakat adalah adanya kesetaraan atau kesejajaran kedudukan antara
masyarakat dengan lembaga yang melakukan program-program
pemberdayaan masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan.
Dinamika yang dibangun adalah hubungan kesetaraan dengan
mengembangkan mekanisme berbagai pengetahuan, pengalaman, serta
keahlian satu sama lain. Masing-masing saling mengakui kelebihan
dankekurangan, sehingga terjadi proses saling belajar.
b. Prinsip Partisipasi
Program pemberdayaan yang dapat menstimulasi kemandirian
masyarakat adalah program yang sifatnya partisipastif, direncanakan,
dilaksanakan, diawasi, dan dievaluasi oleh masyarakat. Namun, untuk
sampai pada tingkat tersebut perlu waktu dan proses pendampingan
yang melibatkan pendamping yang berkomitmen tinggi terhadap
pemberdayaan masyarakat.
33 Sri Najiati, Agus Asmana, I Nyoman N. Suryadiputra, Pemberdayaan Masyarakat di Lahan
Gambut, (Bogor: Wetlands International – 1P, 2005) 54.
35
c. Prinsip Keswadayaan atau Kemandirian
Prinsip keswadayaan adalah menghargai dan mengedepankan
kemampuan masyarakat dari pada bantuan pihak lain. Konsep ini tidak
memandang orang miskin sebagai objek yang tidak berkemampuan (the
have not), melainkan sebagai subjek yang memiliki kemampuan sedikit
(the have little). Mereka memiliki kemampuan untuk menabung,
pengetahuan yang mendalam tentang kendala-kendala usahanya,
mengetahui kondisi lingkungannya, memiliki tenaga kerja dan
kemauan, serta memiliki norma-norma bermasyarakat yang sudah lama
dipatuhi. Semua itu harus digali dan dijadikan modal dasar bagi proses
pemberdayaan. Bantuan dari orang lain yang bersifat materiil harus
dipandang sebagai penunjang, sehingga pemberian bantuan tidak justru
melemahkan tingkat keswadayaannya.
Prinsip “mulailah dari apa yang mereka punya”, menjadi
panduan untuk mengembangkan keberdayaan masyarakat. Sementara
bantuan teknis harus secara terencana mengarah pada peningkatan
kapasitas, sehingga pada akhirnya pengelolaannya dapat dialihkan
kepada masyarakat sendiri yang telah mampu mengorganisir diri untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi.
d. Prinsip Berkelanjutan
Program pemberdayaan perlu dirancang untuk berkelanjutan,
sekalipun pada awalnya peran pendamping lebih dominan dibanding
masyarakat sendiri. Tapi secara perlahan dan pasti, peran pendamping
36
akan makin berkurang, bahkan akhirnya dihapus, karena masyarakat
sudah mampu mengelola kegiatannya sendiri.
3. Tujuan Ritual Keagamaan
Ritual keagamaan dalam masyarakat memiliki beberapa tujuan,
diantaranya:
a. Memberikan pedoman pada anggota masyarakat (Muslim) bagaimana
mereka harus bertingkah laku atau bersikap dalaam menghadapi
berbagai masalah yangg timbul dan berkembang dalaam masyarakat,
terutama yangg menyanggkut pemenuhan kebutuhan pokok mereka.
b. Memberikan pegangan kepada masyarakat bersangkutan dalaam
melakukan pengendalian sosial menurut sistem tertentu yakni sistem
pengawasan tingkah laku para anggotanya
c. Menjaga keutuhan dan kekompakan masyarakat.
d. Ritual yang bertujuan mendapatkan rida Allah semata dan balasan
yang ingin dicapai adalah kebahagiaan ukhrawi, dan ritual yang
bertujuan mendapatkan balasan di dunia ini, misalnya shalata istisqa
yang dilaksanakan untuk memohon kepada Allah agar berkenan
menakdirkan turun hujan.34
4. Macam-Macam Ritual Keagamaan
Secara umum, ritual dalam Islam dapat dibedakan menjadi dua:
ritual yang mempunyai dalil yang tegas dan eksplisit dalam al-Qur’an dan
Sunnah, dan ritual yang tidak memilki dalil, baik dalam al-Qur’an maupun
34 Richard C. Martin, pendekatan kajian Islam dalam studi Agama, (Universitas Muhammadiyyah
Surakarta; 2001), 12-14.
37
Sunnah. Salah satu contoh ritual bentuk pertama adalah shalat, sedangkan
contoh ritual kedua adalah marhaban, peringatan hari kelahiran Nabi
Muhammad SAW, dan tahlil yang dilakukan keluarga ketika salah satu
anggota keluarga menunaikan ibadah haji.
Selain perbedaan tersebut, ritual dalam Islam dapat ditinjau dari
sudut tingkatan. Dari segi ini, ritual dalam Islam dapat dibedakan menjadi
tiga: primer, sekunder, dan tertier.
e. Ritual Islam yang primer adalah ritual yang wajib dilakukan oleh umat
Islam. Umpamanya, shalat wajib lima waktu dalam sehari semalam.
Kewajiban ini disepakati oleh ulama karena berdasarkan ayat Al-
Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW.
f. Ritual Islam yang sekunder adalah ibadah shalat sunnah, umpamanya
bacaan dalam rukuk dan sujud, shalat berjamaah, shalat tahajjud, dan
lainnya membaca dan menghafal al-Qur’an.
g. Ritual Islam yang tertier adalah ritual yang berupa anjuran dan tidak
sampai pada derajat sunnah. Umpamanya dalam hadist yang
diriwayatkan oleh Imam al-Nasa’I dan Ibnu Hibban yang menyatakan
bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “orang yang membaca ayat
kursi setelah shalat wajib, tidak akan ada yang menghalanginya untuk
masuk surga” meskipun ada haidst tersebut, ulama tidak berpendapat
38
bahwa membaca ayat kursi setelah shalat wajib adalah sunnah. Karena
itu, membaca ayat kursi setelah shalat wajib hanya bersifat tahsini.35
Ada bergitu banyak macam ritual keagamaan di dalam Islam,
diantaranya adalah:
a. Khotmil Qur’an
Khotmil Qur’an bukanlah hal yang baru dan asing di kalangan
ummat Islam hal ini pernah disinyalir oleh Rosulullah SAW. Dengan
seuah haditsnya
عن أنس رضي هللا عنه أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال : خير
حلة قيل وماهما ؟ قال : افتتاح القرآن وختمه. األذكار األعمال الحل والر
Dari Anas ra. Rosululloh Saw. Bersabda “Sebaik-baik beberapa
amalan adalah Al Hillu War Rihlah”. Bertanya sahabat : apa yang
dimaksud keduanya ya Rosulalloh? Beliau menjawab: Membaca
Al Qur’an dan menghatamkannya.
Dari Hakam bin Utbah seorang imam dimasa tabi’in berkata: Aku
pernah diundang oleh kedua sahabatku yang bernama Mujahid dan
Ubadah bin Abi Lubabah, lalu salah seorang diantaranya berkata:
إنا أرسلنا إليك ألنا أردنا أن نختم القرأن والدعاء يستجاب عند ختم القرآن إن
حمة تنزل عند خاتمة القرآن. األذكار الر
“Kami mengundang Tuan karena kami akan menghatamkan al-
Qur’an, dan do’a yang mustajabah adalah pada saat
menghatamkan Al Qur’an, dan sesungguhnya rahmat Allah itu
turun ketika menghatamkan Al Qur’an”.36
35 Abdul Hakim Atang, dkk, Metodologi Studi Islam. (Sumedang: alqaprint jatinangor, 2006) ,
125-135 36 Khafid Mu'arif, “Histori Khotmil Qur’an,” (jurnal metode Tilaawati, 25 Juni 2012), 23-24.
39
Alhasil intisari dari hikmah tersebut di atas adalah menghimbau
dan mengingatkan kepada kita bahwa khotaman Al Qur’an merupakan
amalan yang baik yang pernah dilakukan para sahabat Nabi dan para
tabi’in, karna membaca Al Qur’an dari awal (Al Fatihah) sampai khatam
itu:
1) Merupakan sarana dzikrullah
2) Akan memperkokoh iman dan mengharap turunnya rahmat Allah
3) Menjaga kesucian dan kemulyaan Al Qur’an
4) Terciptanya hamilul Qur’an ( حامل القرآن)
5) Menjadi sarana antara makhluq dan Kholiqnya
b. Tahlil
Tahlil berasal dari kata hallala-yuhallilu-tahlilan yang artinya
membaca kalimat la ilaha illallah: tiada Tuhan selain Allah. Jadi yang
dimaksud dengan tahlil di sini adalah membaca serangkaian surat-surat
Al-Qur’an, ayat-ayat pilihan, dan kalimat-kalimat zikir pilihan (termasuk
di dalamnya membaca la ilaha illallah) dengan meniatkan pahalanya
untuk para arwah dan ditutup dengan do’a. Sesuai sabda Nabi
Muhammad SAW:
تبارك وتعالى مالئكة سيارة إن لل مجالس الذكر فإذا وجدوا يتتبعون فضال
مجلسا فيه ذكر قعدوا معهم وحف بعضهم بعضا بأجنحتهم حتى يملئوا ما بينهم
قوا عرجوا وصعدوا إلى السماء قال فيسألهم هللا عز وبين ا لسماء الدنيا فإذا تفر
40
وجل وهو أعلم بهم من أين جئتم فيقولون جئنا من عند عباد لك في األرض
ك ويهللونك ويحمدونك يسبحونك ويكبرون
“Sesungguhnya Allah yang Maha Suci dan Maha Tinggi
memiliki sejumlah malaikat yang terus berkeliling mencari majelis
dzikir. Apabila mereka telah menemukan majelis dzikir tersebut, maka
mereka terus duduk di situ dengan menyelimutkan sayap sesama mereka
hingga memenuhi ruang antara mereka dan langit yang paling bawah.
Apabila mejelis dzikir itu telah usai, maka mereka juga berpisah dan naik
ke langit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meneruskan sabdanya,
“Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala bertanya kepada mereka, Dzat
Yang Maha Tahu tentang mereka, “Kalian datang dari mana?” Mereka
menjawab, “Kami datang dari sisi hamba-hamba-Mu di bumi yang selalu
bertasbih, bertakbir, bertahlil dan bertahmid…” (HR Imam Muslim dari
Abu Hurairah ra). 37
Kata tahlil identik dengan sebuah istilah untuk satu tradisi
tertentu. Yakni majelis untuk berkumpulnya beberapa orang untuk
membaca al-Quran dan dzikir-dzikir yang ma’tsur (diriwayatkan) yang
diamalkan oleh Rasulullah SAW seperti tasbih, takbir, tahlil dan
sebagainya untuk dihadiahkan pahalanya kepada saudara, kerabat,
tetangga atau sahabat yang telah meninggal. Upacara selamatan bagi
orang meninggal (tradisi tahlilan) hari ke-1, 2, 3, 7, 40, 100 atau seribu
hari hingga haul (ulang tahun kematian yang dilaksanakan setiap tahun)
dengan kegiatan tahlil adalah suatu tradisi untuk menanamkan tauhid
ditengah suasana keharuan duka yang sentimental dan sugestif. Tradisi
ini tidak hanya dilakukan ketika ada yang meninggal namun juga kerap
dilakukan dalam pengajian rutin, ziarah kubur dan majelis lainnya.38
37 Delima, “Menilai Objektifitas Status Hukum Tahlil,” (IQ Tahu, 26 Desember 2015), 14. 38 Abiza el Rinaldi, “Memahami Makna Tahlilan,” (suara Islam Aswaja, 11 November 2011), 12-
13.
41
c. Diba’iyah
Diba’an adalah tradisi membaca atau melantunkan shalawat
kepada Nabi Muhammad yang dilakukan oleh masyarakat NU.
Pembacaaan shalawat dilakukan bersama secara bergantian.
Ada bagian dibaca biasa, namun pada bagian-bagian lain lebih
banyak menggunakan lagu. Istilah diba’an mengacu pada kitab berisi
syair pujian karya al-Imam al-Jaliil as-Sayyid as-Syaikh Abu Muhammad
Abdurrahman ad-Diba’iy asy-Syaibani az-Zubaidi al-Hasaniy. Kitab
tersebut secara populer dikenal dengan nama kitab Maulid Diba’.
Pembacaan syair-syair pujian ini biasanya dilakukan pada bulan maulud
(Rabiul Awal) sebagai rangkaian peringatan maulid Nabi. Di sejumlah
desa di Jawa, pembacaan syair maulid dilakukan setiap minggu secara
bergilir dari rumah ke rumah. Seperti halnya pembacaan kitab al-
Barzanji, al-Burdah, dan Manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jailani,
pembacaan Diba’ atau biasa disebut diba’an juga dilakukan saat hajatan
kelahiran anak, pernikahan, khitanan, tingkeban, ketika menghadapi
kesulitan dan musibah, atau untuk memenuhi nazar.39
Kitab Diba’ adalah salah satu dari sekian banyak kitab klasik
yang tidak masuk di dalam pengajaran pesantren, namun akrab dan
populer digunakan oleh masyarakat pesantren. Membaca shalawat
Diba’iyyah atau shalawat yang lain menurut pendapat yang tersohor di
kalangan Jumhurul Ulama adalah sunnah Muakkadah. Kesunatan
39 Arif AS, “Diba’an dan Sholawatan,” (amaliyah NU, 12 Desember 2012), 31.
42
membaca shalawat ini didasarkan pada beberapa dalil, antara lain,
Firman Allah SWT. yang berbunyi:
Artinya: Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk
Nabi [1229]. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk
Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (QS. AI-Ahzab:
56)40
Dan Nabi Muhammad SAW. bersabda yang berbunyi:
الة علي كفارة لكم وزكاة. ]رواه ابن ماجه[ ، فإن الص صلوا علي
Artinya:”Bershalawatlah kamu untukku, karena membaca
shalawat untukku bisa mengahapus dosamu dan bisa
membersihkan pribadimu”. (HR. lbnu Majah)41
Berangkat dari dalil tersebut yang menjelaskan bahwa dengan
bershalawat kepada nabi Muhammad SAW. akan mendapatkan
syafaatnya di akhirat kelak, maka sesuai dengan zaman dan
perkembangannya banyak grup-grup sholawat al-banjari bermunculan,
sebagai wujud rasa cinta pada baginda nabi Muhammad.
d. Maulid Nabi Muhammad
kadang-kadang Maulid Nabi atau Maulud saja (bahasa Arab: مولد
mawlid an-nabī), adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad ,النبي
SAW, yang di Indonesia perayaannya jatuh pada setiap tanggal 12 Rabiul
Awal dalam penanggalan Hijriyah. Kata maulid atau milad dalam bahasa
Arab berarti hari lahir. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang
berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad SAW
40 Al-Qur'an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI,(Bandung: sigma Corp, 2010), 426. 41 Arif AS, “Diba’an dan Sholawatan,” (amaliyah NU, 12 Desember 2012), 28.
43
wafat. Secara subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan
penghormatan kepada Nabi Muhammad.42
Maulid nabi Muhammad juga termasuk salah satu kegiatan ritual
keagamaan Islam, pada tiap tahuunya umat Islam diseluruh dunia
memperingatinya.
e. Isra’ Mi’raj
Arab: اإلسراء والمعراج, al-’Isrā’ wal-Mi‘rāj) adalah bagian kedua
dari perjalanan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dalam waktu
satu malam saja. Kejadian ini merupakan salah satu peristiwa penting
bagi umat Islam, karena pada peristiwa inilah dia mendapat perintah
untuk menunaikan salat lima waktu sehari semalam. Beberapa
penggambaran tentang kejadian ini dapat dilihat di surah ke-17 di Al-
Quran, yaitu Surah Al-Isra.43 Menurut tradisi, perjalanan ini dikaitkan
dengan Lailat al Mi'raj, sebagai salah satu tanggal paling penting dalam
kalender Islam.
Tujuan yang sebenarnya dari Isra' dan Mi'raj adalah memuliakan
Rasulullah dan memperlihatkan kepadanya beberapa keajaiban ciptaan Allah
sesuai dengan firman Allah dalam surat al Isra' ayat 1 (لنريه من آياتنا)
Maknanya: "Agar kami memperlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
kebesaran kami". serta mengagungkan beliau sebagai Nabi akhir zaman dan
sebaik-baik nabi di antara para nabi, sekaligus sebagai penguat hati beliau
dalam menghadapi tantangan dan cobaan yang dilontarkan oleh orang kafir
42 https://id.wikipedia.org/wiki/Maulid_Nabi 43 https://id.wikipedia.org/wiki/Isra’-Mi’raj
44
Quraisy terlebih setelah ditinggal mati oleh paman beliau Abu Thalib dan
isteri beliau Khadijah. Dari sini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa
tujuan dari Isra' dan Mi'raj bukanlah bahwa Allah ada di arah atas, lalu Nabi
naik ke atas untuk bertemu dengan-Nya. Karena Allah ada tanpa tempat dan
arah.44
Dalam perjalanan ini Nabi Muhammad mendapatkan perintah
untuk menjalankan sholat. Ritual ini selalu diperingati oleh umat Islam,
setelah memperingati Maulid nabi.
f. Sholat Berjamaah
merujuk pada aktivitas salat yang (Sholatul jama'ah) صالة الجماعة
dilakukan secara bersama-sama. Salat ini dilakukan oleh minimal dua
orang dengan salah seorang menjadi imam (pemimpin) dan yang lainnya
menjadi makmum.45 Shalat berjamaah minimal atau paling sedikit
dilakukan oleh dua orang, namun semakin banyak orang yang ikut solat
berjama'ah tersebut jadi jauh lebih baik. Shalat berjama'ah memiliki
nilai 27 derajat lebih baik daripada sholat sendiri.
Oleh sebab itu kita diharapkan lebih mengutamakan shalat
berjamaah daripada solat sendirian saja. Sholat berjamaah termasuk
salah satu ritual sekunder, yang harus dilakukan oleh seluruh umat
Islam, pada umumnya sholat berjamaah dilakukan di masjid-masjid
maupun mushollah.
44 Moenawar Chalil, Perlengkapan Tarikh Nabi Muhammad, (Jakarta: Gema Insani, 2006), 42. 45 https://id.wikipedia.org/wiki/Salat_berjamaah
45
g. Istighosah
Kata “istighotsah” استغاثة berasal dari “al-ghouts” الغوث yang
berarti pertolongan. Dalam tata bahasa Arab kalimat yang mengikuti
pola (wazan) “istaf’ala” استفعل atau “istif’al” menunjukkan arti
pemintaan atau pemohonan. Maka istighotsah berarti meminta
pertolongan. Seperti kata ghufron غفران yang berarti ampunan ketika
diikutkan pola istif’al menjadi istighfar استغفار yang berarti memohon
ampunan.46
Jadi istighotsah berarti “thalabul ghouts” الغوث طلب atau meminta
pertolongan. Istighosah sangat dianjurkan oleh Agama, lebih-lebih
ketika sedang menghadapi atau mengalami permasalahan yang besar
dan jalan yang ditempuh sangat sulit. Pada saat itu meminta
pertolongan kepada Allah sangat diperlukan dalam bentuk Istighasah.
Di semua tingkatan kepengurusan Islam, selalu akrab dengan budaya
Istighosah. Kadang menggunakan istilah Istighosah kubro, Istighosah
Nasional, dan lain sebagainnya.
Istighosah merupaka salah satu kegiatan ritual keagamaan yang
telah ada sejak zaman nabi namun lebih dikenal dengan sebutan berdo’a
dengan tujuan meminta pertolongan kepada Allah.
“Sesungguhnya matahari akan mendekat ke kepala manusia di
hari kiamat, sehingga keringat sebagian orang keluar hingga
mencapai separuh telinganya, ketika mereka berada pada
kondisi seperti itu, mereka beristighotsah (meminta
46 Soeleiman Fadeli, Mohammad Subhan, ANTOLOGI NU (Surabaya: Khalista,2008),122.
46
pertolongan) kepada Nabi Adam, kemudian kepada Nabi Musa
kemudian kepada Nabi Muhammad.” (H.R.al-Bukhari).47
Hadits ini juga merupakan dalil dibolehkannya meminta
pertolongan kepada selain Allah dengan keyakinan bahwa seorang nabi
atau wali adalah sebab. Terbukti ketika manusia di padang mahsyar
terkena terik panasnya sinar Matahari mereka meminta tolong kepada para
Nabi tanpa niat menyekutukan Allah SWT.
5. Pengertian Masyarakat
Masyarakat adalah kosa kata yang seakan-akan berasal dari bahasa
Arab. Dalam bahasa Arab, kata yang ada ialah musyarakah yang searti
dengan al-isytirak yang berarti persekutuan, perserikatan atau dalam bahasa
inggris partnership, copartnership dan cooperation. J.B.A.F. Mayor Polak
mendefinisikan masyarakat (society) sebagai wadah segenap antar hubungan
social terdiri atas banyak sekali kolektivita serta kelompok-kelompok, dan
tiap kelompok terdiri atas kelompok lebih kecil atau sub kelompok.48
Masyarakat adalah sejumlah orang dalam kelompok tertentu yang
membentuk perikehidupan berbudaya.49 Sedangkan, masyarakat Muslim
adalah masyarakat yang mempunyai ciri-ciri secara organis dan dinamis;
kuat dasar-dasar organisatornya, kuat ikatan hubungannya dan kepaduan
jalinannya. Oleh karena itu, masyarakat Islam adalah masyarakat yang
dinamis. Mereka mempunyai landasan kepemimpinan yang diatur oleh
47 Said Aqil Siradj,Masdar F.Mas’udi, Tradisi Amaliah Nu & Dalil-Dalinya (Jakarta:LTM-
PBNU,2011), 6. 48 Sjamsudhuha, Pengantar Sosiologi Islam Pencerahan Baru Tatanan Masyarakat Muslim,
(Surabaya: JP BOOKS, 2008), 4. 49 Em Zul Fajri, Ratu Aprilia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Difa Publisher,
2009), 553.
47
sistem syariat Allah.50 Apabila seluruh pesantren kita anggap satu, maka kita
akan memperoleh gambaran tentang masyarakat Islam itu sendiri. Suatu
gejala yang sejak lama melanda masyarakat Islam ialah perdebatan antara
orang-orang yang mengunggulkan filsafat, fikih dan tasawuf.51
Allah swt. berfirman dalam al-Qur’an, yang berbunyi:
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat
yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan
mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. .(QS.
Ali imron:3)52
Masyarakat Islam seperti ini juga menyadari bahwa bekerja
adalah bagian dari ibadah kepada Allah, sehingga dalam bekerja perlu
ketulusan, kemauan, dan kecintaan terhadap pekerjaan, disiplin dan
bertanggung jawab. Masyarakat Islam hanya mau melakukan tolong
menolong dalam hal kebajikan dan ketakwaan, bukan menolong dalam
menimbulkan dosa dan permusuhan.53
Manusia benar-benar telah dipersiapkan oleh Allah untuk
menjadi manusia yang harus hidup bermasyarakat. Dalam pergaulan
sosial, terjadi kontak-kontak sosial satu terhadap yang lain yang
memungkinkan timbulnya ikatan-ikatan batin dalam pertemanan. Ikatan
50 Didin Hafidhuddin, Agar Layar Tetap Terkembang upaya menyelamatkan umat, (Jakarta: Gema
Insani, 2006), 35. 51 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2014), 204. 52 Al-Qur'an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, (Bandung: sigma Corp, 2010), 124. 53 Thohir Luth, Masyarakat Madani solusi damai dalam perbedaan, (Makasar: PT. Media Cita,
2002) 45.
48
batin itu akan menumbuhkan perasaan simpati satu terhadap yang lain.
Dari rasa, sikap dan hasrat tersebut kebutuhan akan banyak teman dalam
pergaulan sosial akan terasa. Hasrat berjuang timbul untuk mengatasi
kesulitan maupun untuk mempertahankan diri, serta menimbulkan
semangat berlomba bahkan bersaing baik secara individual maupun
kelompok. Hasrat tersebut secara berangsur-angsur akan menimbulkan
kekuatan yang berwujud kekuatan masyarakat.54
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang
dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti
suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (Qs. As-Shaf [61]:4).55
Ayat tersebut dapat dipahami bahwa sesama mu’min dan muslim
tidak lain adalah bersaudara. Dengan iman seorang Muslim sadar
bahwaorang Islam lainnya adalah saudaranya seiman, karena kesadaran itu
maka seorang Muslim terpanggil untuk mencintainya sebagaimana
mencintai dirinya sendiri, mendamaikan bila mereka bertengkar dan
berselisih. Dengan gambaran persaudaraan Islam seperti itu, maka persatuan
dan kesatuan di antara sesama Mukmin dan Muslim akan terwujud, agar
hukum amar ma’ruf nahi munkar atau pranata kemasyarakatan dapat
ditegakkan.
54 Sjamsudhuha, Pengantar Sosiologi Islam Pencerahan Baru Tatanan Masyarakat Muslim,
(Surabaya: JP BOOKS, 2008), 21. 55 Al-Qur'an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI,(Bandung: sigma Corp, 2010).