bab ii

15
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG Gerald, Niko, Kajian Alternatif Penanganan…… 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengukuran Beda Tinggi Pengukuran tanah biasa menggunakan alat pengukuran seperti Pita Ukur, Theodolite, Waterpass, EDM,dan bahkan alat terbaru dan canggih yaitu GPS dan alat perpaduan antara theodolite dan EDM yang bernama Total Station. Dengan berkembangnya zaman makin mudah kita melakukan pengukuran dan perhitungan ukur tanah, mungkin kalau dulu kita melakukan perhitungan beda tinggi menggunakan selang (rata air) yang melakukannya misalnya dalam skala yang besar membutuhkan waktu lama dan terlalu rumit sekarang sudah ada alat waterpass. Memiliki prinsip sama seperti selang (rata air), waterpass memiliki banyak keunggulan. Selain penggunaannya yang praktis,waterpass dapat melakukan pengukuran dalam bidang yang lebih luas. Berikut ini akan dijelaskan hal – hal yang berkaitan dengan waterpass, antara lain : a. Waterpassing (penyipat datar) merupakan metoda penentuan beda tinggi antara titik-titik diatas permukaan bumi. b. Tinggi suatu obyek diatas permukaan bumi ditentukan dari suatu bidang referensi, yaitu bidang yang dianggap ketinggiannya nol; misalnya digunakan bidang referensi tersebut dalam geodesi disebut geoid, yaitu bidang equipotensial yang dianggap berimpit dengan permukaan air laut rata-rata (mean sea level). Bidang equipotensial juga disebut bidang nivo, yang selalu tegak lurus dengan arah gaya berat disembarang permukaan bumi. Ada banyak bidang nivo dipermukaan bumi; satu dengan yang lain saling melingkupi. Pengukuran beda tinggi antara 2 titik dipermukaan bumi, pada prinsipnya, pengukuran jarak vertikal antara bidang-bidang nivo yang melalui titik satu dan lainnya. Untuk wilayah yang terbatas luasannya, maka bidang- bidang nivo tersebut dianggap datar, pengukuran ini dapat dilakukan dengan waterpassing.

Upload: niko-fernando

Post on 28-Dec-2015

16 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Dasar Teori

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II

D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

Gerald, Niko, Kajian Alternatif Penanganan……

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengukuran Beda Tinggi

Pengukuran tanah biasa menggunakan alat pengukuran seperti Pita Ukur,

Theodolite, Waterpass, EDM,dan bahkan alat terbaru dan canggih yaitu GPS dan

alat perpaduan antara theodolite dan EDM yang bernama Total Station. Dengan

berkembangnya zaman makin mudah kita melakukan pengukuran dan perhitungan

ukur tanah, mungkin kalau dulu kita melakukan perhitungan beda tinggi

menggunakan selang (rata air) yang melakukannya misalnya dalam skala yang

besar membutuhkan waktu lama dan terlalu rumit sekarang sudah ada alat

waterpass. Memiliki prinsip sama seperti selang (rata air), waterpass memiliki

banyak keunggulan. Selain penggunaannya yang praktis,waterpass dapat

melakukan pengukuran dalam bidang yang lebih luas. Berikut ini akan dijelaskan

hal – hal yang berkaitan dengan waterpass, antara lain :

a. Waterpassing (penyipat datar) merupakan metoda penentuan beda tinggi

antara titik-titik diatas permukaan bumi.

b. Tinggi suatu obyek diatas permukaan bumi ditentukan dari suatu bidang

referensi, yaitu bidang yang dianggap ketinggiannya nol; misalnya digunakan

bidang referensi tersebut dalam geodesi disebut geoid, yaitu bidang

equipotensial yang dianggap berimpit dengan permukaan air laut rata-rata

(mean sea level). Bidang equipotensial juga disebut bidang nivo, yang selalu

tegak lurus dengan arah gaya berat disembarang permukaan bumi. Ada

banyak bidang nivo dipermukaan bumi; satu dengan yang lain saling

melingkupi. Pengukuran beda tinggi antara 2 titik dipermukaan bumi, pada

prinsipnya, pengukuran jarak vertikal antara bidang-bidang nivo yang melalui

titik satu dan lainnya. Untuk wilayah yang terbatas luasannya, maka bidang-

bidang nivo tersebut dianggap datar, pengukuran ini dapat dilakukan dengan

waterpassing.

Page 2: BAB II

D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

Gerald, Niko, Kajian Alternatif Penanganan……

6

c. Waterpass (sipat datar) dalam arti alat ukur-adalah alat ukur yang digunakan

untuk penentuan beda tinggi antara titik-titik diatas permukaan bumi.

d. Bagian utama konstruksi alat ukur waterpass terdiri dari : teropong yang

dilengkapi dengan benang silang, piringan horizontal (pada alat-alat baru),

nivo kotak dan nivo tabung.

e. Untuk mematikan gerakan pada sumbu I, waterpass dilengkapi dengan klem

sumbu I (klem horizontal), dan untuk putaran yang halus dilengkapi sekrup

penggerak halus.

f. Macam-macam waterpass : (1) tipe semua tetap, dengan dilengkapi sekrup

ungkit maupun ungkit, (2) tipe otomatis dan (3) tipe sinar laser.

Langkah – langkah menggunakan waterpass, yaitu:

a. Persiapkan peralatan yang dibutuhkan serta periksa kelengkapannya. Catat

merk, tipe dan nomor seri alat ukur yang dipergunakan.

b. Pilih tempat yang aman untuk mendirikan alat ukur waterpass (tanah tidak

rapuh; terhindar dari gangguan lalu lintas, dsb).

c. Dirikan Statif dengan aman dan sesuai dengan keadaan setempat maupun juru

ukur.

d. Pasang alat ukur waterpass diatas statif dan eratkan dengan sekrup pengunci

hingga aman.

e. Set up waterpass dengan melevelkan, cara ini sama dengan leveling teodolit.

f. Lindungi alat ukur waterpass dari panas langsung maupun air (hujan).

Perhitungan beda tinggi menggunakan waterpass dilakukan dengan cara

sederhana yaitu dengan metoda perataan yang meratakan beda tinggi (∆H)

dari posisi 1 dan 2. Perhitungan beda tinggi ini dapat dilihat pada gambar 2.1

Page 3: BAB II

D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

Gerald, Niko, Kajian Alternatif Penanganan……

7

Gambar 2.1 Pengukuran Beda Tinggi antara dua titik ∆H = H1 – H2 (2.1)

Tinggi titik 2 = Ketinggian pada titik 1 + ∆H

Dimana :

∆H = Beda Tinggi antara titik 1 dan titik 2

H1 = Pembacaan benang tengah titik A pada waterpass

H2 = Pembacaan benang tengah titik B pada waterpass

Penggambaran merupakan kegiatan lanjutan dari proses perhitungan data

ukur yang terdiri dari pembuatan peta dan penggambaran penampang.

Gambar potongan memanjang yang dikenal dengan istilah Profil, adalah

penampang pada saluran dari awal sampai akhir saluran yang menunjukkan

elevasi (ketinggian) titik-titik sepanjang ruas tersebut.

Gambar potongan atau penampang melintang dibuat pada setiap interval

(jarak) patok yang dipasang di lapangan. Gambar potongan ini dikenal dengan

Cross Section.

2.2 Hujan

Hujan merupakan satu bentuk presipitasi yang berwujud cairan. Presipitasi

sendiri dapat berwujud padat (misalnya salju dan hujan es) atau aerosol (seperti

embun dan kabut). Hujan terbentuk apabila titik air yang terpisah jatuh ke bumi

dari awan. Tidak semua air hujan sampai ke permukaan bumi karena sebagian

menguap ketika jatuh melalui udara kering. Hujan jenis ini disebut sebagai virga.

A B

Waterpass

Rambu Ukur H1 H2

Rambu Ukur

Page 4: BAB II

D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

Gerald, Niko, Kajian Alternatif Penanganan……

8

Jenis-jenis hujan berdasarkan ukuran butirnya

Hujan gerimis (drizzle), diameter butirannya kurang dari 0,5 mm

Hujan salju, terdiri dari kristal-kristal es yang suhunya berada dibawah 0°

Celsius.

Hujan batu es, curahan batu es yang turun dalam cuaca panas dari awan yang

suhunya dibawah 0° Celsius.

Hujan deras (rain), curahan air yang turun dari awan dengan suhu diatas 0°

Celsius dengan diameter ±7 mm.

Jenis-jenis hujan berdasarkan besarnya curah hujan (definisi BMKG)

Hujan sedang, 20 - 50 mm per hari.

Hujan lebat, 50-100 mm per hari.

Hujan sangat lebat, di atas 100 mm per hari

2.3 Perhitungan curah hujan

Dalam hal meramal debit pada suatu aliran maka perlu dipasang penakar

hujan sebanyak-banyaknya yang disebar pada aliran tersebut agar dapat dibuat

penaksiran hujan perata-rataan yang terjadi. Besarnya curah hujan yang di

berbagai tempat di daerah itu tidak sama, jadi sukar untuk menentukan berapa

banyak air hujan yang jatuh di daerah tersebut, lagipula tidak mungkin

menentukan batas - batas daerah hujan untuk setiap tempat pengukuran hujan.

Salah satu cara pendekatan untuk itu ialah dengan mengambil hujan rata–rata

di daerah pengamatan untuk suatu periode tertentu (I hari, I bulan, I tahun). Untuk

menentukan hujan rata-rata di suatu daerah secara analisis ada beberapa cara yang

dapat digunakan, diantaranya metode Gumbel,dan Log Pearson Type III. Metode

yang penulis gunakan adalah metode Gumbel, yaitu :

XTr = X + Sx(0.78-0.45 Y) (2.2)

Sx =∑( )

( ) (2.2a)

Y = -ln(-ln.(( ))) (2.2b)

Page 5: BAB II

D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

Gerald, Niko, Kajian Alternatif Penanganan……

9

dimana:

XTr = x yang terjadi dalam kala ulang t

X = x rata - rata tahunan

Sx = simpangan baku

Xi = seri data maksimum tiap tahun

Y = perubahan reduksi

T = kala hujan

N = jumlah data

Bentuk lain dari persamaan Gumbel :

Xt = X + K.Sx (2.3)

dimana:

Xt = x yang terjadi dalam kala ulang t

X = x rata - rata tahunan

Sx = simpangan baku

K = konstanta yang dapat dibaca dari Tabel 2.3

atau

Xtr = X +( ( )).Sx (2.4)

dimana:

Xt = x yang terjadi dalam kala ulang t

X = x rata - rata tahunan

Sx = simpangan baku

Yn dan Sn = besaran yang merupakan fungsi dari jumlah pengamatan (n)

Yt = reduksi sebagai fungsi dari probabilitas; besaran K, Sn, yn, yt

(lihat tabel 2.2 sampai dengan tabel 2.6)

Page 6: BAB II

D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

Gerald, Niko, Kajian Alternatif Penanganan……

10

T Y T Y1.01 -1.53 20 2.971.58 0.00 50 3.902.00 0.37 100 4.605.00 1.50 200 5.3010 2.25

10 20 25 50 75 100 100015 1.703 2.410 2.632 3.321 3.721 4.005 6.26520 1.625 2.302 2.517 3.179 3.563 3.836 6.00625 1.575 2.235 2.444 3.088 3.463 3.726 5.84230 1.541 2.188 2.393 3.026 3.393 3.653 5.72740 1.495 2.126 2.326 2.943 3.301 3.554 5.47650 1.466 2.086 2.283 2.889 3.241 3.491 5.47860 1.446 2.059 2.253 2.852 3.200 3.44670 1.430 2.038 2.230 2.824 3.169 3.413 5.35975 1.423 2.029 2.220 2.812 3.155 3.400

100 1.401 1.998 2.187 2.770 3.109 3.349 5.261

n KALA ULANG

n 0 1 2 3 4 5 6 7 8 910 0.94 0.96 0.98 0.99 1 1.02 1.03 1.04 1.04 1.0520 1.06 1.06 1.07 1.08 1.08 1.09 1.09 1.10 1.10 1.1030 1.11 1.11 1.11 1.12 1.12 1.12 1.13 1.13 1.13 1.1340 1.14 1.14 1.14 1.14 1.14 1.15 1.15 1.15 1.15 1.1550 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.17 1.17 1.1760 1.17 1.17 1.17 1.17 1.18 1.18 1.18 1.18 1.18 1.1870 1.18 1.18 1.18 1.18 1.18 1.19 1.19 1.19 1.19 1.1980 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.2090 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20

100 1.20

Tabel 2.1 Harga Y sebagai fungsi T

Sumber SK SNI M – 18 – 1989 – F

Tabel 2.2 faktor frekuensi untuk nilai ekstrem (k)

Sumber SK SNI M – 18 – 1989 – F

Tabel 2.3 Simpangan baku tereduksi (Sn)

Sumber SK SNI M – 18 – 1989 – F

Page 7: BAB II

D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

Gerald, Niko, Kajian Alternatif Penanganan……

11

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 n.495 .499 .503 .507 .510 .512 .515 .518 .520 .522 10.523 .525 .526 .528 .529 .530 .532 .533 .534 .535 20.536 .537 .538 .538 .539 .540 .541 .541 .542 .534 30.543 .544 .544 .545 .545 .546 .546 .547 .547 .548 40.548 .549 .549 .549 .550 .550 .550 .551 .551 .551 50.552 .552 .552 .553 .553 .553 .553 .554 .554 .554 60.554 .555 .555 .555 .555 .555 .556 .556 .556 .556 70.556 .557 .557 .557 .557 .558 .558 .558 .558 .558 80.558 .558 .558 .559 .559 .559 .559 .559 .559 .559 90.560 100

KALA ULANG (TAHUN) FAKTOR REDUKSI (Yt)2 0.36655 1.4999

10 2.250225 3.198550 3.9019

100 4.6001

Tabel 2.4 Rata – rata tereduksi (Yn)

Sumber SK SNI M – 18 – 1989 – F

Tabel 2.5 Hubungan antara kala ulang dengan faktor reduksi (Yt)

Sumber SK SNI M – 18 – 1989 – F

2.4 Perhitungan intensitas hujan

Intensitas curah hujan adalah jumlah curah hujan yang dinyatakan dalam

tinggi hujan atau volume hujan tiap satuan waktu, yang terjadi pada satu kurun

waktu air hujan terkonsentrasi (Wesli, 2008). Besarnya intensitas curah hujan

berbeda-beda tergantung dari lamanya curah hujan dan frekuensi kejadiannya.

Intensitas curah hujan yang tinggi pada umumnya berlangsung dengan durasi

pendek dan meliputi daerah yang tidak luas. Hujan yang meliputi daerah luas,

jarang sekali dengan intensitas tinggi, tetapi dapat berlangsung dengan durasi

cukup panjang. Kombinasi dari intensitas hujan yang tinggi dengan durasi

panjang jarang terjadi, tetapi apabila terjadi berarti sejumlah besar volume air

bagaikan ditumpahkan dari langit. (Suroso, 2006).

Page 8: BAB II

D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

Gerald, Niko, Kajian Alternatif Penanganan……

12

Untuk mengolah X (curah hujan maksimum) menjadi I (intensitas hujan), ada

beberapa rumus yang dapat digunakan yaitu rumus Ishiguro, Talbot, Mononobe.

Yang penulis pakai adalah rumus Talbot yaitu sebagai berikut :

I = ( )

(2.5)

dimana :

a,b = konstanta yang disesuaikan dengan lokasi, tak berdimensi.

tc = waktu konsentrasi, (menit).

I = intensitas hujan, (mm/jam), menurut JICA, jika t< 10 menit

dianggap 10 menit, jika t> 120 menit maka rumus ini akurasinya berkurang.

Nilai a dan b diatas akan dihitung dengan pendekatan Lengkung Jakarta.

2.5 Perhitungan waktu konsentrasi

Waktu konsentrasi (Tc) dibagi dua yaitu (t1) waktu untuk mencapai awal

saluran (inlet time) dan (t2) waktu pengaliran.

Inlet time, dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kondisi dan kelandaian

permukaan, luas dan bentuk daerah tangkapan dan lainnya.

Rumus yang dipakai untuk menghitung inlet time yaitu:

t1 = (x 3,28 x Lt x ( )0,167 (2.6)

dimana :

t1 = inlet time (menit)

Lt = panjang titik terjauh sampai sarana drainase (m)

K = kelandaian permukaan

nd = koefisien hambatan (pengaruh kondisi permukaan yang dilalui aliran).

Page 9: BAB II

D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

Gerald, Niko, Kajian Alternatif Penanganan……

13

nd

1 Lapisan semen dan aspal beton 0.0132 Permukaan halus dan kedap air 0.0203 Permukaan halus dan padat 0.100

Lapangan dengan rumput jarang, ladang, dan tanah lapang kosong dengan permukaan cukup kasar

5 Ladang dan lapangan rumput 0.4006 Hutan 0.6007 Hutan dan rimba 0.800

4

Kondisi permukaan yang dialiri aliran

0.200

Tabel 2.6 Koefisien hambatan

Sumber Table 2.9. JICA, Text Book Series No.54.1997

Waktu pengaliran dapat diperoleh sebagai pendekatan dengan membagi

panjang aliran maksimum dari saluran samping dengan kecepatan rata-rata aliran

tersebut. Kecepatan rata-rata aliran diperoleh dari rumus Manning :

V = x (R2/3 x S1/2) (2.7)

dimana :

V = kecepatan rata-rata aliran, (m/det).

R = A / ⊙, jari-jari hidrolis, (m).

A = luas penampang basah (m2).

⊙= keliling basah (m).

S = kemiringan saluran.

n = koefisien kekasaran Manning.(lihat Tabel 2.7)

Waktu pengaliran diperoleh dari rumus :

t2 = L/ 60 x V

dimana :

L = panjang saluran (m).

t2 = waktu pengaliran (menit).

Page 10: BAB II

D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

Gerald, Niko, Kajian Alternatif Penanganan……

14

Tabel 2.7 Koefisien kekasaran Manning

Jenis Sarana Drainase Kefisien

tak diperkeras

- tanah 0,020 - 0,025 - pasir dan kerikil 0,025 - 0,040 - dasar saluran batuan 0,025 - 0,035

dibuang di tempat

- semen mortar 0,010 - 0,013 - beton 0,013 - 0,018

batu belah

- pasangan batu adukan basah

0,015 - 0,030

- pasangan batu adukan

kering 0,025 - 0,035

dipasang di tempat

- pipa beton sentrifugal 0,011 - 0,014 - pipa beton 0,012 - 0,016 - pipa bergelombang 0,016 - 0,025

Sumber Table 2.10, JICA, Text Book Series No.54,1977

2.6 Penentuan koefisien pengaliran

Koefisien pengaliran atau koefisien limpasan (C), adalah angka reduksi dari

intensitas hujan, yang besarnya disesuaikan dengan kondisi permukaan,

kemiringan atau kelandaian, jenis tanah dan durasi hujan. Koefisien ini tak

berdimensi.

Menurut The Asphalt Institute, untuk menentukan Cw dengan berbagai

kondisi permukaan, dapat dihitung atau ditentukan dengan cara sebagai berikut :

Cw = (C1.A1 + C2.A2 + C3.A3 +…) / (A1 + A2 + A3 +…) (2.8)

dimana:

C1,C2,… = koefisien pengaliran sesuai dengan jenis permukaan (tak

berdimensi).( lihat tabel 2.3)

A1,A2,… = luas daerah pengaliran (km2).

Cw = C rata-rata pada daerah pengaliran yang dihitung (tak

berdimensi).

Page 11: BAB II

D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

Gerald, Niko, Kajian Alternatif Penanganan……

15

Tabel 2.8 Koefisien pengaliran

2.7 Perhitungan debit banjir rencana

Salah satu metode yang umum digunakan untuk memperkirakan laju aliran

puncak (debit banjir atau debit rencana) yaitu Metode Rasional USSCS (1973).

Metode ini digunakan untuk daerah yang luas pengalirannya kurang dari 300 ha

(Goldman et.al., 1986, dalam Suripin, 2004). Metode Rasional dikembangkan

berdasarkan asumsi bahwa curah hujan yang terjadi mempunyai intensitas

seragam dan merata di seluruh daerah pengaliran selama paling sedikit sama

dengan waktu konsentrasi (tc). Persamaan matematik Metode Rasional adalah

sebagai berikut :

Q= 0.278 x C x I x A (2.9)

Page 12: BAB II

D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

Gerald, Niko, Kajian Alternatif Penanganan……

16

dimana :

Q : Debit (m3/detik).

0,278 : Konstanta, digunakan jika satuan luas menggunakan km2.

C : Koefisien aliran.

I : Intensitas curah hujan selama waktu konsentrasi (mm/jam).

A : Luas daerah aliran (km2).

Di wilayah perkotaan, luas daerah pengaliran pada umumnya terdiri dari

beberapa daerah yang mempunyai karakteristik permukaan tanah yang berbeda

(subarea), sehingga koefisien pengaliran untuk masing-masing subarea nilainya

berbeda, dan untuk menentukan koefisien pengaliran pada wilayah tersebut

dilakukan penggabungan dari masing-masing subarea. Variabel luas subarea

dinyatakan dengan Aj dan koefisien pengaliran dari tiap subarea dinyatakan

dengan Cj, maka untuk menentukan debit digunakan rumus sebagai berikut :

푄 = 퐼 ∑ 퐶 jAj (2.10)

dimana :

Q : Debit (m3/detik).

C : Koefisien aliran subarea.

I : Intensitas curah hujan selama waktu konsentrasi (mm/jam).

Aj : Luas daerah subarea (km2).

2.8 Perhitungan kapasitas drainase existing

Sebenarnya di sebelah utara kampus Politeknik Negeri Bandung sudah

terdapat drainase, akan tetapi drainase tersebut tidak dapat berfungsi secara

optimal akibat kapasitasnya yang tidak dapat menampung air yang masuk. Hal ini

diakibatkan oleh sampah dan lumpur yang mengendap. Kapasitas saluran existing

dapat dihitung dengan rumus :

Q = V x F, (2.11)

V = x (R2/3 x S1/2) (2.12)

dimana :

V = kecepatan rata-rata aliran, (m/det).

R = A / ⊙, jari-jari hidrolis, (m).

Page 13: BAB II

D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

Gerald, Niko, Kajian Alternatif Penanganan……

17

A = luas penampang basah (m2).

⊙ = keliling basah (m).

S = kemiringan saluran.

n = koefisien kekasaran Manning. (lihat Tabel 2.8)

2.9 Gorong – Gorong (Culvert)

Gorong-gorong berfungsi untuk mengalirkan air dari sisi jalan ke sisi jalan

lainnya (crossing). Oleh karena itu dalam mendesain perlu mempertimbangkan

faktor hidrolis dan struktur agar gorong-gorong dapat berfungsi mengalirkan air

dan mempunyai daya dukung terhadap beban lalu lintas dan timbunan tanah.

Mengingat fungsinya maka gorong-gorong disarankan dibuat dengan tipe

konstruksi yang permanen (pipa/kotak beton, pasangan batu, armco) dan desain

umur rencana 10 tahun.

2.9.1 Komposisi Gorong – gorong

Bagian utama gorong-gorong terdiri atas:

a. Pipa : Kanal air utama.

b. Tembok kepala : Tembok yang menopang ujung dan lereng jalan.

Tembok penahan yang dipasang bersudut dengan tembok kepala,

untuk menahan bahu dan kemiringan jalan.

c. Apron (dasar) : Lantai dasar dibuat pada tempat masuk untuk

mencegah terjadinya erosi dan dapat berfungsi sebagai dinding

penyekat lumpur.

2.9.2 Penempatan Gorong – gorong

Dalam perencanaan jalan, penempatan dan penentuan jumlah gorong-

gorong harus diperhatikan terhadap fungsi dan medan setempat. Agar

dapat berfungsi dengan baik, maka gorong-gorong ditempatkan pada :

a. Lokasi jalan yang memotong aliran air.

b. Daerah cekung, tempat air dapat menggenang.

c. Tempat kemiringan jalan yang tajam tempat air dapat merusak lereng

dan badan jalan.

Page 14: BAB II

D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

Gerald, Niko, Kajian Alternatif Penanganan……

18

d. Kedalaman gorong-gorong yang aman terhadap permukaan jalan

minimum 60 cm.

Disamping itu juga harus memperhatikan faktor-faktor lain sebagai bahan

pertimbangan, yaitu:

- Aliran air alamiah.

- Tempat air masuk.

- Sudut yang tajam pada bagian pengeluaran (outlet).

Dengan memperhatikan faktor tersebut maka penempatan gorong-gorong

disarankan untuk daerah datar. Disarankan dengan jarak maksimum

300 m.

2.9.3 Penentuan Dimensi Gorong – gorong

a. Untuk menentukan dimensi gorong-gorong dapat dipakai rumus:

A =

dimana:

a = Luas penampang (m2)

Q = Debit (m3/det)

V = Kecepatan aliran (m/dt)

b. Pendekatan lain untuk menentukan ukuran gorong-gorong dan saluran

kecil atau ukuran jembatan yang mempunyai bentang 12 m (bukaan

saluran tidak melebihi 30m2). Dapat menggunakan rumus Talbot :

a = 0,183.r.A3 (2.13)

dimana:

a = luas saluran gorong – gorong (m2)

r = koefisien pengaliran

= 1 untuk daerah pegunungan

= 0,75 untuk daerah perbukitan

= 0,50 untuk daerah bergelombang

= 0,25 untuk daerah datar

A = luas daerah pengaliran (HA)

Page 15: BAB II

D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

Gerald, Niko, Kajian Alternatif Penanganan……

19

Catatan:

- Dimensi minimum untuk luas saluran/gorong-gorong adalah

1,13 m2 atau 0,60 cm (Sumber Petunjuk Desain Drainase Permukaan Jalan

No.008/T/BNKT/1990).

- Tabel 2.9 berikut ini akan memberikan luas saluran secara mudah

untuk bermacam-macam keadaan medan dan luas daerah

pengaliran yang didasarkan pada Rumus Talbot. Tabel 2.9 Koefisien pengaliran

A = Luas

Drainase

(Ha)

Pada Daerah

Pegunungan

(r=1)

Pada Daerah

Berbukit

(r=0,75)

Pada Daerah

Bergelombang

(r=0,50)

Pada Daerah

Rata

(r=0,25)

10 1,13 1,13 1,13 1,13

20 1,73 1,29 1,13 1,13

30 2,35 1,76 1,17 1,13

40 2,91 2,18 1,45 1,13

50 3,44 2,58 1,72 1,13

100 5,79 4,34 2,89 1,45

200 9,73 7,30 3,65 2,43

300 13,19 9,89 6,60 3,30

400 16,37 12,28 8,18 4,09

500 19,35 14,52 9,67 4,84

Sumber Petunjuk Desain Drainase Permukaan Jalan No.008/T/BNKT/1990