bab ii
DESCRIPTION
Dasar TeoriTRANSCRIPT
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gerald, Niko, Kajian Alternatif Penanganan……
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengukuran Beda Tinggi
Pengukuran tanah biasa menggunakan alat pengukuran seperti Pita Ukur,
Theodolite, Waterpass, EDM,dan bahkan alat terbaru dan canggih yaitu GPS dan
alat perpaduan antara theodolite dan EDM yang bernama Total Station. Dengan
berkembangnya zaman makin mudah kita melakukan pengukuran dan perhitungan
ukur tanah, mungkin kalau dulu kita melakukan perhitungan beda tinggi
menggunakan selang (rata air) yang melakukannya misalnya dalam skala yang
besar membutuhkan waktu lama dan terlalu rumit sekarang sudah ada alat
waterpass. Memiliki prinsip sama seperti selang (rata air), waterpass memiliki
banyak keunggulan. Selain penggunaannya yang praktis,waterpass dapat
melakukan pengukuran dalam bidang yang lebih luas. Berikut ini akan dijelaskan
hal – hal yang berkaitan dengan waterpass, antara lain :
a. Waterpassing (penyipat datar) merupakan metoda penentuan beda tinggi
antara titik-titik diatas permukaan bumi.
b. Tinggi suatu obyek diatas permukaan bumi ditentukan dari suatu bidang
referensi, yaitu bidang yang dianggap ketinggiannya nol; misalnya digunakan
bidang referensi tersebut dalam geodesi disebut geoid, yaitu bidang
equipotensial yang dianggap berimpit dengan permukaan air laut rata-rata
(mean sea level). Bidang equipotensial juga disebut bidang nivo, yang selalu
tegak lurus dengan arah gaya berat disembarang permukaan bumi. Ada
banyak bidang nivo dipermukaan bumi; satu dengan yang lain saling
melingkupi. Pengukuran beda tinggi antara 2 titik dipermukaan bumi, pada
prinsipnya, pengukuran jarak vertikal antara bidang-bidang nivo yang melalui
titik satu dan lainnya. Untuk wilayah yang terbatas luasannya, maka bidang-
bidang nivo tersebut dianggap datar, pengukuran ini dapat dilakukan dengan
waterpassing.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gerald, Niko, Kajian Alternatif Penanganan……
6
c. Waterpass (sipat datar) dalam arti alat ukur-adalah alat ukur yang digunakan
untuk penentuan beda tinggi antara titik-titik diatas permukaan bumi.
d. Bagian utama konstruksi alat ukur waterpass terdiri dari : teropong yang
dilengkapi dengan benang silang, piringan horizontal (pada alat-alat baru),
nivo kotak dan nivo tabung.
e. Untuk mematikan gerakan pada sumbu I, waterpass dilengkapi dengan klem
sumbu I (klem horizontal), dan untuk putaran yang halus dilengkapi sekrup
penggerak halus.
f. Macam-macam waterpass : (1) tipe semua tetap, dengan dilengkapi sekrup
ungkit maupun ungkit, (2) tipe otomatis dan (3) tipe sinar laser.
Langkah – langkah menggunakan waterpass, yaitu:
a. Persiapkan peralatan yang dibutuhkan serta periksa kelengkapannya. Catat
merk, tipe dan nomor seri alat ukur yang dipergunakan.
b. Pilih tempat yang aman untuk mendirikan alat ukur waterpass (tanah tidak
rapuh; terhindar dari gangguan lalu lintas, dsb).
c. Dirikan Statif dengan aman dan sesuai dengan keadaan setempat maupun juru
ukur.
d. Pasang alat ukur waterpass diatas statif dan eratkan dengan sekrup pengunci
hingga aman.
e. Set up waterpass dengan melevelkan, cara ini sama dengan leveling teodolit.
f. Lindungi alat ukur waterpass dari panas langsung maupun air (hujan).
Perhitungan beda tinggi menggunakan waterpass dilakukan dengan cara
sederhana yaitu dengan metoda perataan yang meratakan beda tinggi (∆H)
dari posisi 1 dan 2. Perhitungan beda tinggi ini dapat dilihat pada gambar 2.1
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gerald, Niko, Kajian Alternatif Penanganan……
7
Gambar 2.1 Pengukuran Beda Tinggi antara dua titik ∆H = H1 – H2 (2.1)
Tinggi titik 2 = Ketinggian pada titik 1 + ∆H
Dimana :
∆H = Beda Tinggi antara titik 1 dan titik 2
H1 = Pembacaan benang tengah titik A pada waterpass
H2 = Pembacaan benang tengah titik B pada waterpass
Penggambaran merupakan kegiatan lanjutan dari proses perhitungan data
ukur yang terdiri dari pembuatan peta dan penggambaran penampang.
Gambar potongan memanjang yang dikenal dengan istilah Profil, adalah
penampang pada saluran dari awal sampai akhir saluran yang menunjukkan
elevasi (ketinggian) titik-titik sepanjang ruas tersebut.
Gambar potongan atau penampang melintang dibuat pada setiap interval
(jarak) patok yang dipasang di lapangan. Gambar potongan ini dikenal dengan
Cross Section.
2.2 Hujan
Hujan merupakan satu bentuk presipitasi yang berwujud cairan. Presipitasi
sendiri dapat berwujud padat (misalnya salju dan hujan es) atau aerosol (seperti
embun dan kabut). Hujan terbentuk apabila titik air yang terpisah jatuh ke bumi
dari awan. Tidak semua air hujan sampai ke permukaan bumi karena sebagian
menguap ketika jatuh melalui udara kering. Hujan jenis ini disebut sebagai virga.
A B
Waterpass
Rambu Ukur H1 H2
Rambu Ukur
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gerald, Niko, Kajian Alternatif Penanganan……
8
Jenis-jenis hujan berdasarkan ukuran butirnya
Hujan gerimis (drizzle), diameter butirannya kurang dari 0,5 mm
Hujan salju, terdiri dari kristal-kristal es yang suhunya berada dibawah 0°
Celsius.
Hujan batu es, curahan batu es yang turun dalam cuaca panas dari awan yang
suhunya dibawah 0° Celsius.
Hujan deras (rain), curahan air yang turun dari awan dengan suhu diatas 0°
Celsius dengan diameter ±7 mm.
Jenis-jenis hujan berdasarkan besarnya curah hujan (definisi BMKG)
Hujan sedang, 20 - 50 mm per hari.
Hujan lebat, 50-100 mm per hari.
Hujan sangat lebat, di atas 100 mm per hari
2.3 Perhitungan curah hujan
Dalam hal meramal debit pada suatu aliran maka perlu dipasang penakar
hujan sebanyak-banyaknya yang disebar pada aliran tersebut agar dapat dibuat
penaksiran hujan perata-rataan yang terjadi. Besarnya curah hujan yang di
berbagai tempat di daerah itu tidak sama, jadi sukar untuk menentukan berapa
banyak air hujan yang jatuh di daerah tersebut, lagipula tidak mungkin
menentukan batas - batas daerah hujan untuk setiap tempat pengukuran hujan.
Salah satu cara pendekatan untuk itu ialah dengan mengambil hujan rata–rata
di daerah pengamatan untuk suatu periode tertentu (I hari, I bulan, I tahun). Untuk
menentukan hujan rata-rata di suatu daerah secara analisis ada beberapa cara yang
dapat digunakan, diantaranya metode Gumbel,dan Log Pearson Type III. Metode
yang penulis gunakan adalah metode Gumbel, yaitu :
XTr = X + Sx(0.78-0.45 Y) (2.2)
Sx =∑( )
( ) (2.2a)
Y = -ln(-ln.(( ))) (2.2b)
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gerald, Niko, Kajian Alternatif Penanganan……
9
dimana:
XTr = x yang terjadi dalam kala ulang t
X = x rata - rata tahunan
Sx = simpangan baku
Xi = seri data maksimum tiap tahun
Y = perubahan reduksi
T = kala hujan
N = jumlah data
Bentuk lain dari persamaan Gumbel :
Xt = X + K.Sx (2.3)
dimana:
Xt = x yang terjadi dalam kala ulang t
X = x rata - rata tahunan
Sx = simpangan baku
K = konstanta yang dapat dibaca dari Tabel 2.3
atau
Xtr = X +( ( )).Sx (2.4)
dimana:
Xt = x yang terjadi dalam kala ulang t
X = x rata - rata tahunan
Sx = simpangan baku
Yn dan Sn = besaran yang merupakan fungsi dari jumlah pengamatan (n)
Yt = reduksi sebagai fungsi dari probabilitas; besaran K, Sn, yn, yt
(lihat tabel 2.2 sampai dengan tabel 2.6)
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gerald, Niko, Kajian Alternatif Penanganan……
10
T Y T Y1.01 -1.53 20 2.971.58 0.00 50 3.902.00 0.37 100 4.605.00 1.50 200 5.3010 2.25
10 20 25 50 75 100 100015 1.703 2.410 2.632 3.321 3.721 4.005 6.26520 1.625 2.302 2.517 3.179 3.563 3.836 6.00625 1.575 2.235 2.444 3.088 3.463 3.726 5.84230 1.541 2.188 2.393 3.026 3.393 3.653 5.72740 1.495 2.126 2.326 2.943 3.301 3.554 5.47650 1.466 2.086 2.283 2.889 3.241 3.491 5.47860 1.446 2.059 2.253 2.852 3.200 3.44670 1.430 2.038 2.230 2.824 3.169 3.413 5.35975 1.423 2.029 2.220 2.812 3.155 3.400
100 1.401 1.998 2.187 2.770 3.109 3.349 5.261
n KALA ULANG
n 0 1 2 3 4 5 6 7 8 910 0.94 0.96 0.98 0.99 1 1.02 1.03 1.04 1.04 1.0520 1.06 1.06 1.07 1.08 1.08 1.09 1.09 1.10 1.10 1.1030 1.11 1.11 1.11 1.12 1.12 1.12 1.13 1.13 1.13 1.1340 1.14 1.14 1.14 1.14 1.14 1.15 1.15 1.15 1.15 1.1550 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.17 1.17 1.1760 1.17 1.17 1.17 1.17 1.18 1.18 1.18 1.18 1.18 1.1870 1.18 1.18 1.18 1.18 1.18 1.19 1.19 1.19 1.19 1.1980 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.2090 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20
100 1.20
Tabel 2.1 Harga Y sebagai fungsi T
Sumber SK SNI M – 18 – 1989 – F
Tabel 2.2 faktor frekuensi untuk nilai ekstrem (k)
Sumber SK SNI M – 18 – 1989 – F
Tabel 2.3 Simpangan baku tereduksi (Sn)
Sumber SK SNI M – 18 – 1989 – F
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gerald, Niko, Kajian Alternatif Penanganan……
11
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 n.495 .499 .503 .507 .510 .512 .515 .518 .520 .522 10.523 .525 .526 .528 .529 .530 .532 .533 .534 .535 20.536 .537 .538 .538 .539 .540 .541 .541 .542 .534 30.543 .544 .544 .545 .545 .546 .546 .547 .547 .548 40.548 .549 .549 .549 .550 .550 .550 .551 .551 .551 50.552 .552 .552 .553 .553 .553 .553 .554 .554 .554 60.554 .555 .555 .555 .555 .555 .556 .556 .556 .556 70.556 .557 .557 .557 .557 .558 .558 .558 .558 .558 80.558 .558 .558 .559 .559 .559 .559 .559 .559 .559 90.560 100
KALA ULANG (TAHUN) FAKTOR REDUKSI (Yt)2 0.36655 1.4999
10 2.250225 3.198550 3.9019
100 4.6001
Tabel 2.4 Rata – rata tereduksi (Yn)
Sumber SK SNI M – 18 – 1989 – F
Tabel 2.5 Hubungan antara kala ulang dengan faktor reduksi (Yt)
Sumber SK SNI M – 18 – 1989 – F
2.4 Perhitungan intensitas hujan
Intensitas curah hujan adalah jumlah curah hujan yang dinyatakan dalam
tinggi hujan atau volume hujan tiap satuan waktu, yang terjadi pada satu kurun
waktu air hujan terkonsentrasi (Wesli, 2008). Besarnya intensitas curah hujan
berbeda-beda tergantung dari lamanya curah hujan dan frekuensi kejadiannya.
Intensitas curah hujan yang tinggi pada umumnya berlangsung dengan durasi
pendek dan meliputi daerah yang tidak luas. Hujan yang meliputi daerah luas,
jarang sekali dengan intensitas tinggi, tetapi dapat berlangsung dengan durasi
cukup panjang. Kombinasi dari intensitas hujan yang tinggi dengan durasi
panjang jarang terjadi, tetapi apabila terjadi berarti sejumlah besar volume air
bagaikan ditumpahkan dari langit. (Suroso, 2006).
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gerald, Niko, Kajian Alternatif Penanganan……
12
Untuk mengolah X (curah hujan maksimum) menjadi I (intensitas hujan), ada
beberapa rumus yang dapat digunakan yaitu rumus Ishiguro, Talbot, Mononobe.
Yang penulis pakai adalah rumus Talbot yaitu sebagai berikut :
I = ( )
(2.5)
dimana :
a,b = konstanta yang disesuaikan dengan lokasi, tak berdimensi.
tc = waktu konsentrasi, (menit).
I = intensitas hujan, (mm/jam), menurut JICA, jika t< 10 menit
dianggap 10 menit, jika t> 120 menit maka rumus ini akurasinya berkurang.
Nilai a dan b diatas akan dihitung dengan pendekatan Lengkung Jakarta.
2.5 Perhitungan waktu konsentrasi
Waktu konsentrasi (Tc) dibagi dua yaitu (t1) waktu untuk mencapai awal
saluran (inlet time) dan (t2) waktu pengaliran.
Inlet time, dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kondisi dan kelandaian
permukaan, luas dan bentuk daerah tangkapan dan lainnya.
Rumus yang dipakai untuk menghitung inlet time yaitu:
t1 = (x 3,28 x Lt x ( )0,167 (2.6)
dimana :
t1 = inlet time (menit)
Lt = panjang titik terjauh sampai sarana drainase (m)
K = kelandaian permukaan
nd = koefisien hambatan (pengaruh kondisi permukaan yang dilalui aliran).
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gerald, Niko, Kajian Alternatif Penanganan……
13
nd
1 Lapisan semen dan aspal beton 0.0132 Permukaan halus dan kedap air 0.0203 Permukaan halus dan padat 0.100
Lapangan dengan rumput jarang, ladang, dan tanah lapang kosong dengan permukaan cukup kasar
5 Ladang dan lapangan rumput 0.4006 Hutan 0.6007 Hutan dan rimba 0.800
4
Kondisi permukaan yang dialiri aliran
0.200
Tabel 2.6 Koefisien hambatan
Sumber Table 2.9. JICA, Text Book Series No.54.1997
Waktu pengaliran dapat diperoleh sebagai pendekatan dengan membagi
panjang aliran maksimum dari saluran samping dengan kecepatan rata-rata aliran
tersebut. Kecepatan rata-rata aliran diperoleh dari rumus Manning :
V = x (R2/3 x S1/2) (2.7)
dimana :
V = kecepatan rata-rata aliran, (m/det).
R = A / ⊙, jari-jari hidrolis, (m).
A = luas penampang basah (m2).
⊙= keliling basah (m).
S = kemiringan saluran.
n = koefisien kekasaran Manning.(lihat Tabel 2.7)
Waktu pengaliran diperoleh dari rumus :
t2 = L/ 60 x V
dimana :
L = panjang saluran (m).
t2 = waktu pengaliran (menit).
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gerald, Niko, Kajian Alternatif Penanganan……
14
Tabel 2.7 Koefisien kekasaran Manning
Jenis Sarana Drainase Kefisien
tak diperkeras
- tanah 0,020 - 0,025 - pasir dan kerikil 0,025 - 0,040 - dasar saluran batuan 0,025 - 0,035
dibuang di tempat
- semen mortar 0,010 - 0,013 - beton 0,013 - 0,018
batu belah
- pasangan batu adukan basah
0,015 - 0,030
- pasangan batu adukan
kering 0,025 - 0,035
dipasang di tempat
- pipa beton sentrifugal 0,011 - 0,014 - pipa beton 0,012 - 0,016 - pipa bergelombang 0,016 - 0,025
Sumber Table 2.10, JICA, Text Book Series No.54,1977
2.6 Penentuan koefisien pengaliran
Koefisien pengaliran atau koefisien limpasan (C), adalah angka reduksi dari
intensitas hujan, yang besarnya disesuaikan dengan kondisi permukaan,
kemiringan atau kelandaian, jenis tanah dan durasi hujan. Koefisien ini tak
berdimensi.
Menurut The Asphalt Institute, untuk menentukan Cw dengan berbagai
kondisi permukaan, dapat dihitung atau ditentukan dengan cara sebagai berikut :
Cw = (C1.A1 + C2.A2 + C3.A3 +…) / (A1 + A2 + A3 +…) (2.8)
dimana:
C1,C2,… = koefisien pengaliran sesuai dengan jenis permukaan (tak
berdimensi).( lihat tabel 2.3)
A1,A2,… = luas daerah pengaliran (km2).
Cw = C rata-rata pada daerah pengaliran yang dihitung (tak
berdimensi).
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gerald, Niko, Kajian Alternatif Penanganan……
15
Tabel 2.8 Koefisien pengaliran
2.7 Perhitungan debit banjir rencana
Salah satu metode yang umum digunakan untuk memperkirakan laju aliran
puncak (debit banjir atau debit rencana) yaitu Metode Rasional USSCS (1973).
Metode ini digunakan untuk daerah yang luas pengalirannya kurang dari 300 ha
(Goldman et.al., 1986, dalam Suripin, 2004). Metode Rasional dikembangkan
berdasarkan asumsi bahwa curah hujan yang terjadi mempunyai intensitas
seragam dan merata di seluruh daerah pengaliran selama paling sedikit sama
dengan waktu konsentrasi (tc). Persamaan matematik Metode Rasional adalah
sebagai berikut :
Q= 0.278 x C x I x A (2.9)
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gerald, Niko, Kajian Alternatif Penanganan……
16
dimana :
Q : Debit (m3/detik).
0,278 : Konstanta, digunakan jika satuan luas menggunakan km2.
C : Koefisien aliran.
I : Intensitas curah hujan selama waktu konsentrasi (mm/jam).
A : Luas daerah aliran (km2).
Di wilayah perkotaan, luas daerah pengaliran pada umumnya terdiri dari
beberapa daerah yang mempunyai karakteristik permukaan tanah yang berbeda
(subarea), sehingga koefisien pengaliran untuk masing-masing subarea nilainya
berbeda, dan untuk menentukan koefisien pengaliran pada wilayah tersebut
dilakukan penggabungan dari masing-masing subarea. Variabel luas subarea
dinyatakan dengan Aj dan koefisien pengaliran dari tiap subarea dinyatakan
dengan Cj, maka untuk menentukan debit digunakan rumus sebagai berikut :
푄 = 퐼 ∑ 퐶 jAj (2.10)
dimana :
Q : Debit (m3/detik).
C : Koefisien aliran subarea.
I : Intensitas curah hujan selama waktu konsentrasi (mm/jam).
Aj : Luas daerah subarea (km2).
2.8 Perhitungan kapasitas drainase existing
Sebenarnya di sebelah utara kampus Politeknik Negeri Bandung sudah
terdapat drainase, akan tetapi drainase tersebut tidak dapat berfungsi secara
optimal akibat kapasitasnya yang tidak dapat menampung air yang masuk. Hal ini
diakibatkan oleh sampah dan lumpur yang mengendap. Kapasitas saluran existing
dapat dihitung dengan rumus :
Q = V x F, (2.11)
V = x (R2/3 x S1/2) (2.12)
dimana :
V = kecepatan rata-rata aliran, (m/det).
R = A / ⊙, jari-jari hidrolis, (m).
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gerald, Niko, Kajian Alternatif Penanganan……
17
A = luas penampang basah (m2).
⊙ = keliling basah (m).
S = kemiringan saluran.
n = koefisien kekasaran Manning. (lihat Tabel 2.8)
2.9 Gorong – Gorong (Culvert)
Gorong-gorong berfungsi untuk mengalirkan air dari sisi jalan ke sisi jalan
lainnya (crossing). Oleh karena itu dalam mendesain perlu mempertimbangkan
faktor hidrolis dan struktur agar gorong-gorong dapat berfungsi mengalirkan air
dan mempunyai daya dukung terhadap beban lalu lintas dan timbunan tanah.
Mengingat fungsinya maka gorong-gorong disarankan dibuat dengan tipe
konstruksi yang permanen (pipa/kotak beton, pasangan batu, armco) dan desain
umur rencana 10 tahun.
2.9.1 Komposisi Gorong – gorong
Bagian utama gorong-gorong terdiri atas:
a. Pipa : Kanal air utama.
b. Tembok kepala : Tembok yang menopang ujung dan lereng jalan.
Tembok penahan yang dipasang bersudut dengan tembok kepala,
untuk menahan bahu dan kemiringan jalan.
c. Apron (dasar) : Lantai dasar dibuat pada tempat masuk untuk
mencegah terjadinya erosi dan dapat berfungsi sebagai dinding
penyekat lumpur.
2.9.2 Penempatan Gorong – gorong
Dalam perencanaan jalan, penempatan dan penentuan jumlah gorong-
gorong harus diperhatikan terhadap fungsi dan medan setempat. Agar
dapat berfungsi dengan baik, maka gorong-gorong ditempatkan pada :
a. Lokasi jalan yang memotong aliran air.
b. Daerah cekung, tempat air dapat menggenang.
c. Tempat kemiringan jalan yang tajam tempat air dapat merusak lereng
dan badan jalan.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gerald, Niko, Kajian Alternatif Penanganan……
18
d. Kedalaman gorong-gorong yang aman terhadap permukaan jalan
minimum 60 cm.
Disamping itu juga harus memperhatikan faktor-faktor lain sebagai bahan
pertimbangan, yaitu:
- Aliran air alamiah.
- Tempat air masuk.
- Sudut yang tajam pada bagian pengeluaran (outlet).
Dengan memperhatikan faktor tersebut maka penempatan gorong-gorong
disarankan untuk daerah datar. Disarankan dengan jarak maksimum
300 m.
2.9.3 Penentuan Dimensi Gorong – gorong
a. Untuk menentukan dimensi gorong-gorong dapat dipakai rumus:
A =
dimana:
a = Luas penampang (m2)
Q = Debit (m3/det)
V = Kecepatan aliran (m/dt)
b. Pendekatan lain untuk menentukan ukuran gorong-gorong dan saluran
kecil atau ukuran jembatan yang mempunyai bentang 12 m (bukaan
saluran tidak melebihi 30m2). Dapat menggunakan rumus Talbot :
a = 0,183.r.A3 (2.13)
dimana:
a = luas saluran gorong – gorong (m2)
r = koefisien pengaliran
= 1 untuk daerah pegunungan
= 0,75 untuk daerah perbukitan
= 0,50 untuk daerah bergelombang
= 0,25 untuk daerah datar
A = luas daerah pengaliran (HA)
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Gerald, Niko, Kajian Alternatif Penanganan……
19
Catatan:
- Dimensi minimum untuk luas saluran/gorong-gorong adalah
1,13 m2 atau 0,60 cm (Sumber Petunjuk Desain Drainase Permukaan Jalan
No.008/T/BNKT/1990).
- Tabel 2.9 berikut ini akan memberikan luas saluran secara mudah
untuk bermacam-macam keadaan medan dan luas daerah
pengaliran yang didasarkan pada Rumus Talbot. Tabel 2.9 Koefisien pengaliran
A = Luas
Drainase
(Ha)
Pada Daerah
Pegunungan
(r=1)
Pada Daerah
Berbukit
(r=0,75)
Pada Daerah
Bergelombang
(r=0,50)
Pada Daerah
Rata
(r=0,25)
10 1,13 1,13 1,13 1,13
20 1,73 1,29 1,13 1,13
30 2,35 1,76 1,17 1,13
40 2,91 2,18 1,45 1,13
50 3,44 2,58 1,72 1,13
100 5,79 4,34 2,89 1,45
200 9,73 7,30 3,65 2,43
300 13,19 9,89 6,60 3,30
400 16,37 12,28 8,18 4,09
500 19,35 14,52 9,67 4,84
Sumber Petunjuk Desain Drainase Permukaan Jalan No.008/T/BNKT/1990