bab-ii

57
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Suatu instansi didirikan karena mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Dalam mencapai tujuannya setiap instansi dipengaruhi oleh perilaku dan sikap orang- orang yang terdapat dalam instansi tersebut. Oleh karena itu keberhasilan untuk mencapai tujuan tersebut tergantung kepada keandalan dan kemampuan pegawai dalam mengoperasikan unit-unit kerja yang terdapat di instansi tersebut, karena tujuan instansi dapat tercapai hanya dimungkinkan karena upaya para pelaku yang terdapat dalam setiap instansi. Manusia sebagai salah satu unsur pengendali, merupakan faktor paling penting dan utama didalam segala bentuk organisasi. Faktor penting disini sifatnya sangat komplek sehingga perlu mendapatkan perhatian, penanganan dan perlakuan khusus disamping faktor manfaat yang lain.

Upload: pertama-tama

Post on 24-Jul-2015

86 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB-II

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Suatu instansi didirikan karena mempunyai tujuan yang ingin

dicapai. Dalam mencapai tujuannya setiap instansi dipengaruhi oleh

perilaku dan sikap orang-orang yang terdapat dalam instansi tersebut.

Oleh karena itu keberhasilan untuk mencapai tujuan tersebut tergantung

kepada keandalan dan kemampuan pegawai dalam mengoperasikan unit-

unit kerja yang terdapat di instansi tersebut, karena tujuan instansi dapat

tercapai hanya dimungkinkan karena upaya para pelaku yang terdapat

dalam setiap instansi.

Manusia sebagai salah satu unsur pengendali, merupakan faktor

paling penting dan utama didalam segala bentuk organisasi. Faktor

penting disini sifatnya sangat komplek sehingga perlu mendapatkan

perhatian, penanganan dan perlakuan khusus disamping faktor manfaat

yang lain.

Sumber daya manusia mempunyai peranan yang besar dalam

suatu organisasi, terutama untuk mencapai tujuan organisasi.

Keberhasilan mencapai tujuan organisasi didukung sepenuhnya dari

perilaku pegawai. Oleh karena itu, pegawai mempunyai peranan penting

dalam membentuk/mengelola organisasi dan memanfaatkan teknologi

yang ada. Lagi pula, pegawai mempunyai berbagai tanggapan yang

Page 2: BAB-II

bervariasi dari tekanan lingkungan organisasi. Dalam kenyataannya,

keberhasilan suatu organisasi ditentukan oleh kepemimpinan yang

dikembangkan pada organisasi itu dan kompensasi yang diberikan

kepada anggota/bawahannya untuk mencapai tujuan tersebut.

Keberhasilan suatu lembaga/organisasi sangat dipengaruhi oleh

kinerja individu pegawainya. Setiap organisasi maupun perusahaan akan

selalu berusaha untuk meningkatkan kinerja pegawainya, dengan harapan

apa yang menjadi tujuan organisasi akan tercapai. Berbagai cara akan

ditempuh dalam meningkatkan kinerja pegawainya, misalnya dengan

pendidikkan, pelatihan, pemberian kompensasi yang layak, pemberian

motivasi, penerapan disiplin kerja, dan menciptakan lingkungan kerja yang

kondusif. Di sisi lain kepuasan seorang pemimpin dalam menggerakkan

dan memberdayakan pegawainya juga akan mempengaruhi kinerja

pegawai.

Setiap organisasi sangat membutuhkan sumber daya manusia

yang handal untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditentukan.

Untuk mencapai tujuan tersebut maka suatu organisasi memerlukan

pemimpin atau manajer yang mampu mengelola sumber daya manusia

yang ada didalam organisasi yaitu pegawai untuk meningkatkan efisiensi,

efektivitas dan produktivitas kerja organisasi. Untuk mencapai tujuan

organisasi maka pemimpin atau manajer akan membagi tugas pada setiap

pegawai sesuai dengan fungsi dan jabatannya dalam organisasi. Tugas

yang diberikan pemimpin atau manajer bagi pegawai merupakan sebuah

Page 3: BAB-II

tanggungjawab yang harus dilaksanakan secara tulus dan dengan

sungguh-sungguh agar tercapai tujuan organisasi yang telah ditentukan.

Menurut Rivai (2004: 309) Kinerja merupakan suatu fungsi dari

motivasi dan kemampuan. Untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan,

seseorang sepatutnya memiliki derajat kesediaan dan tingkat kemampuan

tertentu. Kesediaan dan keterampilan seseorang tidaklah cukup efektif

untuk mengerjakan sesuatu tanpa pemahaman yang jelas tentang apa

yang akan dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Kinerja

merupakan perilaku nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi

kerja yang dihasilkan oleh pegawai sesuai dengan perannya dalam

perusahaan. Sehingga, dalam hal ini kinerja pegawai merupakan suatu

hal yang sangat penting dalam upaya perusahaan untuk mencapai

tujuannya.

Penilaian kinerja juga merupakan salah satu cara yang dapat

digunakan untuk melihat perkembangan organisasi. Sasaran yang

menjadi objek penilaia kinerja adalah kecakapan, kemampuan pegawai

dalam melaksanakan suatu pekerjaan atau tugas yang dievaluasi dengan

menggunakan tolak ukur tertentu secara objektif dan dilakukan secara

berkala. Dari hasil penilaian dapat dilihat kinerja perusahaan yang

dicerminkan oleh kinerja pegawai atau dengan kata lain, kinerja

merupakan hasil kerja konkret yang dapat diamati dan dapat diukur.

Di hampir semua instansi yang ada, pegawai merupakan asset

penting yang wajib mereka jaga. Oleh karena itu bagi instansi yang

Page 4: BAB-II

khususnya bergerak dibidang pelayanan public yang mengandalkan

tingkat kinerja pegawai di instansinya, maka instansi tersebut dituntut

untuk mampu mengoptimalkan kinerja pegawainya. Salah satu

pendekatan dalam upaya meningkatkan kinerja pegawai tersebut dapat

dilakukan melalui praktek kepemimpinan atau gaya kepemimpinan yang

handal dan disiplin kerja yang tinggi dan terarah.

Setiap pemimpin pada dasarnya memiliki perilaku yang berbeda

dalam memimpin para pengikutnya, perilaku para pemimpin itu disebut

dengan gaya kepemimpinan. Kepemimpinan mempunyai hubungan yang

sangat erat dengan motivasi, karena keberhasilan seorang pemimpin

dalam menggerakkan orang lain dalam mencapai tujuan yang telah

ditetapkan sangat tergantung kepada kewibawaan, dan juga pemimpin itu

di dalam menciptakan motivasi didalam diri setiap orang bawahan, kolega

maupun atasan pemimpin itu sendiri.

Kepemimpinan pada suatu organisasi yang melayani masyarakat

luas dikembangkan sistem kepegawaian yang mantap dengan

pengembangan karier yang berdasarkan prestasi kerja, kemampuan yang

profesional, keahlian dan ketrampilan, serta kemantapan sikap mental

aparat melalui upaya pendidikan pelatihan, penugasan, bimbingan dan

konsultasi, serta melalui pengembangan motivasi, kode etik, dan disiplin

kedinasan yang sehat, didukung oleh system informasi kepegawaian yang

mantap serta, didukung oleh sistem informasi kepegawaian yang mantap

serta, dilengkapi dengan sistem pemberian penghargaan yang wajar.

Page 5: BAB-II

Seorang pemimpin harus mampu memperhatikan serta berusaha

untuk mempengaruhi dan mendorong pegawainya agar dapat

menjalankan tugasnya dengan baik, dan dapat menerapkan pola

kepemimpinan yang tepat, sesuai dengan kondisi yang sedang dihadapi.

Seorang pemimpin mempunyai peran yang penting dalam

pencapaian tujuan suatu organisasi. Hal ini dikarenakan pemimpin

dipercaya mampu untuk dapat menentukan efektivitas organisasi di masa

yang akan datang. Selain itu, pemimpin juga memiliki kemampuan untuk

dapat mempengaruhi orang lain untuk berperilaku sesuai harapan

organisasi. Seorang pemimpin dikatakan gagal apabila tidak dapat

memunculkan motivasi, menggerakkan dan memuaskan pegawai pada

suatu pekerjaan dan lingkungan tertentu.

Kepemimpinan yang andal sangat dibutuhkan organisasi demi

tercapainya tujuan. Karena kepemimpinan merupakan suatu proses dalam

mempengaruhi kegiatan seseorang atau kelompok dalam usaha

pencapaian tujuan, jadi keberhasilan dalam pencapaian sasaran

kelompok (organisasi) sangat bergantung kepada para pemimpinnya.

Semakin pandai pemimpin melaksanakan peranannya, tentunya semakin

cepat tujuan organisasi tersebut tercapai. Sedangkan penerapan

kepemimpinan antara pemimpin yang satu dangan yang lainnya berbeda,

bergantung pada perilaku kepemimpinan yang diterapkan. Pegawai perlu

merasakan bahwa mereka memiliki sesuatu yang bermanfaat yang harus

dilakukan dan sesuatu yang dapat dilakukan dengan sumber daya yang

Page 6: BAB-II

ada dan kepemimpinan yang tersedia. Karena itu, perlu adanya perhatian

dan pembinaan dari seorang pemimpin yang pada akhirnya diharapkan

dapat meningkatkan kinerja dari pegawai tersebut.

Menurut Heidjrachman dan Husnan (2000: 219) dalam

hubungannya dengan kinerja dijelaskan bahwa pola kepemimpinan

seorang manajer berpengaruh dalam pencapaian tujuan suatu organisasi,

pemilihan gaya kepemimpinan yang benar disertai motivasi eksternal yang

diterapkan sesuai dengan keinginan pegawai maka akan menghasilkan

tingkat kinerja yang tinggi.

Agar para pegawai dapat bekerja secara tulus dan penuh rasa

tanggungjawab sesuai dengan yang diharapkan oleh organisasi, maka

seorang pemimpin haruslah mampu memotivasinya. Faktor motivasi

memiliki hubungan langsung dengan kinerja individual pegawai. Motivasi

daya perangsang atau daya pendorong yang merangsang pegawai untuk

mau bekerja dengan segiat-giatnya, berbeda antara pegawai satu dengan

pegawai lainnya. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan motivasi,

tujuan dan kebutuhan dari masing- masing pegawai untuk bekerja, juga

oleh karena perbedaan waktu dan tempat.

Apabila seorang pegawai memiliki produktivitas dan motivasi kerja

yang tinggi, maka laju roda pun akan berjalan kencang, yang akhirnya

akan menghasilkan kinerja dan pencapaian yang baik bagi perusahaan. Di

sisi lain, bagaimana mungkin roda perusahaan berjalan baik, kalau

pegawainya bekerja tidak produktif, artinya pegawai tidak memiliki

Page 7: BAB-II

semangat kerja yang tinggi, tidak ulet dalam bekerja dan memiliki moril

yang rendah. Dengan pemberian motivasi dimaksudkan pemberian daya

perangsang kepada pegawai supaya lebih bersemangat dan giat bekerja

dengan segala kemampuannya, sehingga kinerja pegawai dapat

meningkat.

Dalam hubungannya dengan kinerja, Moekijat (1993: 6)

menyatakan bahwa motivasi mempunyai peran penting dalam

peningkatan produktifitas kerja pegawai, apabila seorang pegawai

termotivasi, maka senantiasa akan mempunyai gairah kerja yang tinggi

yang nantinya akan berpengaruh pada prestasi kerja.

Seperti halnya telah dikemukaan dimuka pekerjaan yang lebih

cepat, lebih tepat diselesaikan tanpa mengurangi kedisiplinan yang ada,

disebabkan adanya peran serta seorang pemimpin, selalu memberikan

arahan, membina dan memotivasi, bawahan dalam menyelesaikan

pekerjaan untuk mencapai tujuan organisasi. Hal tersebut selalu

diupayakan oleh pimpinan dengan memberikan motivasi dan

keseimbangan upah atas hasil pekerjaan pegawai.

Heidjachman dan Husnan: (2002) mengungkapkan disiplin adalah

setiap perseorangan dan juga kelompok yang menjamin adanya

kepatuhan terhadap perintah dan derinisiatif untuk melakukan suatu

tindakan yang diperlukan seandainya tidak ada perintah.

Adanya disiplin kerja yang tinggi maka seorang individu akan

mempunyai produktivitas yang tinggi. Adapun upaya menciptakan suatu

Page 8: BAB-II

kedisiplinan dalam suatu organisasi dapat dilakukan melalui tata tertib

yang jelas, tata kerja yang sederhana yang dapat dengan mudah

diketahui oleh seluruh pegawai. Seorang individu yang berdisiplin tinggi

cenderung memiliki keinginan untuk mengembangkan karir sesuai dengan

minat dan bakat yang dimilikinya. Individu dengan tingkat kedisiplinan

yang tinggi lebih cenderung lebih teratur dalam segala hal seperti masuk

dan pulang kerja tepat waktu, selalu taat pada tata tertib yang berlaku dan

membina hubungan baik dengan sesama pegawai, merupakan modal

utama lahirnya etos kerja dalam diri seseorang yang berakibat tingginya

kinerja.

Bertolak dari pemikiran bahwa kinerja karyawan mutlak harus

diupayakan agar tetap tinggi, maka diperlukan upaya-upaya untuk

membangkitkan motivasi yang positif, membangun budaya organisasi

yang lebih baik serta faktor kepemimpinan yang dapat menciptakan

suasana kerja yang lebih kondusif sangat perlu untuk dilakukan.

Untuk membuktikan benar tidaknya terdapat pengaruh yang

signifikan antara semua variabel gaya kepemimpinan, motivasi, dan

disiplin kerja terhadap kinerja pegawai maka perlu dilakukan suatu

penelitian. Hal ini yang mendorong penulis untuk memilih judul:

PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN DAN DISIPLIN KERJA

TERHADAP KINERJA PEGAWAI PADA DINAS PETERNAKAN DAN

PERIKANAN DI KABUPATEN MUSI RAWAS.

Page 9: BAB-II

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan

masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Apakah ada pengaruh antara gaya kepemimpinan terhadap

kinerja Pegawai pada Dinas Peternakan dan Perikanan di

Kabupaten Musi Rawas?

b. Apakah ada pengaruh antara disiplin kerja terhadap kinerja

Pegawai pada Dinas Peternakan dan Perikanan di Kabupaten

Musi Rawas?

c. Apakah ada pengaruh antara gaya kepemimpinan dan disiplin

kerja secara simultan terhadap kinerja Pegawai pada Dinas

Peternakan dan Perikanan di Kabupaten Musi Rawas?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian sehubungan dengan permasalahan yang

ada adalah:

a. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh antara gaya

kepemimpinan terhadap kinerja Pegawai pada Dinas

Peternakan dan Perikanan di Kabupaten Musi Rawas?

b. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh disiplin kerja

terhadap kinerja Pegawai pada Dinas Peternakan dan

Perikanan di Kabupaten Musi Rawas?

Page 10: BAB-II

c. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh antara gaya

kepemimpinan dan disiplin kerja secara simultan terhadap

kinerja Pegawai pada Dinas Peternakan dan Perikanan di

Kabupaten Musi Rawas?

1.4. Manfaat Penelitian

Ada beberapa manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini, yakni

sebagai berikut :

a. Sebagai bahan pertimbangan perusahaan atau organisasi

dalam mengambil kebijakan mengenai gaya kepemimpinan dan

disiplin kerja terhadap kinerja pegawai.

b. Dapat memberikan sumbangan pada pengembangan ilmu

pengetahuan, khususnya mengenai kinerja pegawai.

c. Sebagai informasi bagi mahasiswa atau peneliti lain dalam

memecahkan permasalahan ya ng berhubungan dengan

penelitian ini.

1.5. Sistematika Penulisan

Dalam penelitian ini akan disajikan sistematika yang sedemikian

rupa sehingga apa yang penulis kemukakan diharapkan mudah untuk

dipahami.

Page 11: BAB-II

BAB I : PENDAHULUAN

Merupakan pendahuluan yang berisi mengenai latar belakang

masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian dan sistematika

penyusunan tesis.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tentang deskripsi teoritis variabel penelitian yang

meliputi gaya kepemimpinan, disiplin kerja dan kinerja,

kerangka berpikir, penelitian terdahulu dan pengembangan

hipotesis.

BAB III : METODE PENELITIAN

Merupakan metode penelitian yang berisi tentang populasi,

sampel, metode pengumpulan data, definisi dan pengukuran

variabel, metode analisis data.

BAB IV : ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi tentang pengujian data, pengujian hiptotesis dan

pembahasan hasil penelitian.

BAB V : PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan,

keterbatasan dan saran-saran yang diharapkan ada manfaatnya

bagi pihak yang bersangkutan dan bagi pembaca.

Page 12: BAB-II

BAB II

TELAAH PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN MODEL

2.1. Kinerja

2.1.1. Pengertian Kinerja Pegawai

Keberhasilan suatu organisasi dipengaruhi oleh kinerja (job

performance) pegawai, untuk itu setiap perusahaan akan berusaha untuk

meningkatkan kinerja pegawainnya dalam mencapai tujuan organisasi

yang telah ditetapkan. Budaya organisasi yang tumbuh dan terpelihara

dengan baik akan mampu memacu organisasi ke arah perkembangan

yang lebih baik. Di sisi lain, kemampuan pemimpin dalam menggerakkan

dan memberdayakan pegawai akan mempengaruhi kinerja.

Kinerja merupakan perilaku organisasi yang secara langsung

berhubungan dengan produksi barang atau penyampaian jasa. Informasi

tentang kinerja organisasi merupakan suatu hal yang sangat penting

digunakan untuk mengevaluasi apakah proses kinerja yang dilakukan

organisasi selama ini sudah sejalan dengan tujuan yang diharapkan atau

belum. Akan tetapi dalam kenyataannya banyak organisasi yang justru

kurang atau bahkan tidak jarang ada yang mempunyai informasi tentang

kinerja dalam organisasinya. Kinerja sebagai hasil-hasil fungsi

pekerjaan/kegiatan seseorang atau kelompok dalam suatu organisasi

yang dipengaruhi oleh berbagai faktor untuk mencapai tujuan organisasi

dalam periode waktu tertentu (Tika, 2006). Sedangkan menurut Rivai dan

Page 13: BAB-II

Basri (2005) kinerja adalah kesediaan seseorang atau kelompok orang

untuk melakukan sesuatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai

dengan tanggung jawab dengan hasil seperti yang diharapkan.

Menurut Bambang Guritno dan Waridin (2005) kinerja merupakan

perbandingan hasil kerja yang dicapai oleh pegawai dengan standar yang

telah ditentukan. Sedangkan menurut Hakim (2006) mendefinisikan

kinerja sebagai hasil kerja yang dicapai oleh individu yang disesuaikan

dengan peran atau tugas individu tersebut dalam suatu lembaga

pemerintahan pada suatu periode waktu tertentu, yang dihubungkan

dengan suatu ukuran nilai atau standar tertentu dari perusahaan dimana

individu tersebut bekerja. Kinerja merupakan perbandingan hasil kerja

yang dicapai oleh pegawai dengan standar yang telah ditentukan

(Masrukhin dan Waridin, 2004).

Kinerja pegawai mengacu pada prestasi seseorang yang diukur

berdasarkan standar dan kriteria yang ditetapkan oleh perusahaan.

Pengelolaan untuk mencapai kinerja sumber daya manusia tinggi

dimaksudkan guna meningkatkan perusahaan secara keseluruhan (Fuad

Mas’ud, 2004). Menurut Waldman (1994) kinerja merupakan gabungan

perilaku dengan prestasi dari apa yang diharapkan dan pilihannya atau

bagian syarat-syarat tugas yang ada pada masing-masing individu dalam

organisasi. Sedangkan menurut Mangkunegara (2001) kinerja dapat

didefinfisikan sebagai hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dapat

dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugas sesuai

Page 14: BAB-II

dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Soeprihantono (1988)

mengatakan bahwa kinerja merupakan hasil pekerjaan seorang pegawai

selama periode tertentu dibandingkan dengan berbagai kemungkinan,

misalnya standard, target/sasaran/kriteria yang telah ditentukan terlebih

dahulu dan telah disepakati bersama.

Kinerja merupakan hasil atau tingkatan keberhasilan seseorang

secara keseluruhan selama periode tertentu dalam melaksanakan tugas

dibandingkan dengan standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria

yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama (Rivai,

2004). Lebih lanjut Rivai menyatakan bahwa kinerja tidak berdiri sendiri

tapi berhubungan dengan kepuasan kerja dan kompensasi, dipengaruhi

oleh ketrampilan, kemampuan dan sifat – sifat individu. Dengan kata lain

kinerja ditentukan oleh kemampuan, keinginan dan lingkungan. Oleh

karena itu agar mempunyai kinerja yang baik, seseorang harus

mempunyai keinginan yang tinggi untuk mengerjakan dan mengetahui

pekerjaannya serta dapat ditingkatkan apabila ada kesesuaian antara

pekerjaan dan kemampuan. Menurut Simanjuntak (2005) kinerja

dipengaruhi oleh:

1 Kualitas dan kemapuan pegawai. Yaitu hal – hal yang berhubungan

dengan pendidikan/pelatihan, etos kerja, motivasi kerja, sikap

mental dan kondisi fisik pegawai.

2 Sarana pendukung, yaitu hal yang berhubungan dengan lingkungan

kerja (keselamatan kerja, kesehatan kerja, sarana produksi,

Page 15: BAB-II

teknologi) dan hal – hal yang berhubungan dengan kesejahteraan

pegawai (upah/gaji, jaminan sosial, keamanan kerja).

3 Supra sarana, yaitu hal – hal yang berhubungan dengan

kebijaksanaan pemerintah dan hubungan industrial manajemen.

Soedjono (2005) menyebutkan 6 (enam) kriteria yang dapat

digunakan untuk mengukur kinerja pegawai secara individu yakni : (1)

Kualitas. Hasil pekerjaan yang dilakukan mendekati sempurna atau

memenuhi tujuan yang diharapkan dari pekerjaan tersebut. (2) Kuantitas.

Jumlah yang dihasilkan atau jumlah aktivitas yang dapat diselesaikan. (3)

Ketepatan waktu, yaitu dapat menyelesaikan pada waktu yang telah

ditetapkan serta memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktivitas yang

lain. (4) Efektivitas. Pemanfaatan secara maksimal sumber daya yang ada

pada organisasi untuk meningkatkan keuntungan dan mengurangi

kerugian. (5) Kemandirian, yaitu dapat melaksanakan kerja tanpa bantuan

guna menghindari hasil yang merugikan. (6) Komitmen kerja, yaitu

komitmen kerja antara pegawai dengan organisasinya dan (7) tanggung

jawab pegawai terhadap organisasinya.

Berdasarkan pengertian kinerja dari beberapa pendapat diatas,

kinerja merupakan perbandingan hasil kerja yang dicapai oleh karyawan

dengan standar yang telah ditentukan. Kinerja juga berarti hasil yang

dicapai oleh seseorang, baik kuantitas maupun kualitas dalam suatu

organisasi sesuai dengan tanggung jawab yang dberikan kepadanya.

2.2. Kepemimpinan

Page 16: BAB-II

2.2.1. Pengertian Gaya Kepemimpinan

Masalah kepemimpinan telah muncul bersamaan dengan

dimulainya sejarah manusia, yaitu sejak manusia menyadari

pentingnya hidup berkelompok untuk mencapai tujuan bersama. Mereka

membutuhkan seseorang atau beberapa orang yang mempunyai

kelebihan-kelebihan daripada yang lain, terlepas dalam bentuk apa

kelompok manusia itu dibentuk. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena

manusia selalu mempunyai keterbatasan dan kelebihan-kelebihan

tertentu.

Menurut Yuki (2005), kepemimpinan adalah proses untuk

mempengaruhi orang lain, untuk memahami dan setuju dengan apa yang

perlu dilakukan dan bagaimana tugas itu dilakukan secara efektif, serta

proses untuk memfasilitasi upaya individu dan kolektif untuk mencapai

tujuan bersama. Menurut Robbins (2006), kepemimpinan merupakan

kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah tercapainya

suatu tujuan. Definisi kepemimpinan secara luas meliputi proses

mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku

pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki

kelompok dan budayanya.

Selain itu, kepemimpinan juga mempengaruhi interpretasi

mengenai peristiwa-peristiwa para pengikutnya, pengorganisasian dan

aktivitas-aktivitas untuk mencapai sasaran, memelihara hubungan kerja

sama dan kerja kelompok, perolehan dukungan dan kerja sama dari

Page 17: BAB-II

orang-orang di luar kelompok atau organisasi (Rivai, 2004). Demikian

halnya Locander et al. (2002) menjelaskan bahwa kepemimpinan

mengandung makna pemimpin mempengaruhi yang dipimpin tapi

hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin bersifat saling

menguntungkan kedua belah pihak. Lok (2001) memandang

kepemimpinan sebagai sebuah proses mempengaruhi aktivitas suatu

organisasi dalam upaya menetapkan dan mencapai tujuan.

Menurut Rivai (2004), kepemimpinan juga dikatakan sebagai proses

mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas-aktivitas yang ada

hubungannya dengan pekerjaan para anggota kelompok. Tiga implikasi

penting yang terkandung dalam hal ini yaitu :

1. Kepemimpinan itu melibatkan orang lain baik itu bawahan maupun

pengikut

2. Kepeminpinan melibatkan pendistribusian kekuasaan antara

pemimpin dan anggota kelompok secara seimbang, karena anggota

kelompok bukanlah tanpa daya.

3. Adanya kemampuan untuk menggunakan bentuk kekuasaan yang

berbeda untuk mempengaruhi tingkah laku pengikutnya melalui

berbagai cara.

Siagian (1997) berpendapat bahwa peranan para pemimpin dalam

organisasi sangat sentral dalam pencapaian tujuan dari berbagai sasaran

yang ditetapkan sebelumnya. Menurut Siagian (1997) perilaku

kepemimpinan memiliki kecenderungan pada dua hal yaitu konsiderasi

Page 18: BAB-II

atau hubungan dengan bawahan dan struktur inisiasi atau hasil yang

dicapai. Kecenderungan kepemimpinan menggambarkan hubungan yang

akrab dengan bawahan misalnya bersikap ramah, membantu dan

membela kepentingan bawahan, bersedia menerima konsultasi bawahan

dan memberikan kesejahteraan. Kecenderungan seorang pemimpin

memberikan batasan antara peranan pemimpin dan bawahan dalam

mencapai tujuan, memberikan instruksi pelaksanaan tugas (kapan,

bagaimana dan hasil apa yang akan dicapai). Suatu gaya pemimpin atau

manajer dalam organisasi merupakan penggambaran langkah kerja bagi

pegawai yang berada di bawahnya.

Kepemimpinan adalah proses yang digunakan oleh pemimpin untuk

mengarahkan organisasi dan pemberian contoh perilaku terhadap para

pengikut (anak buah) (Fuad Mas’ud, 2004). Sedangkan gaya

kepemimpinan merupakan norma perilaku yang dipergunakan oleh

seseorang pada saat mencoba mempengaruhi perilaku orang lain atau

bawahan. Pemimpin tidak dapat menggunakan gaya kepemimpinan yang

sama dalam memimpin bawahannya, namun harus disesuaikan dengan

karakter-karakter tingkat kemampuan dalam tugas setiap bawahannya.

Pemimpin yang efektif dalam menerapkan gaya tertentu dalam

kepemimpinannya terlebih dahulu harus memahami siapa bawahan yang

dipimpinnya, mengerti kekuatan dan kelemahan bawahannya, dan

mengerti bagaimana cara memanfaatkan kekuatan bawahan untuk

mengimbangi kelemahan yang mereka miliki. Istilah gaya adalah cara

Page 19: BAB-II

yang dipergunakan pimpinan dalam mempengaruhi para pengikutnya

(Miftah Thoha, 2001).

Rumusan kepemimpinan dari sejumlah ahli tersebut menunjukkan

bahwa dalam suatu organisasi terdapat orang yang mempunyai

kemampuan untuk mempengaruhi, mengarahkan, membimbing dan juga

sebagian orang yang mempunyai kegiatan untuk mempengaruhi perilaku

orang lain agar mengikuti apa yang menjadi kehendak dari pada atasan

atau pimpinan mereka. Karena itu, kepemimpinan dapat dipahami sebagai

kemampuan mempengaruhi bawahan agar terbentuk kerjasama di dalam

kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. Apabila orang-orang yang

menjadi pengikut atau bawahan dapat dipengaruhi oleh kekuatan

kepemimpinan yang dimiliki oleh atasan maka mereka akan mau

mengikuti kehendak pimpinannya dengan sadar, rela, dan sepenuh hati.

Dalam dua dasawarsa terakhir, konsep transaksional (transactional

leadership) dan transformasional (transformational leadership)

berkembang dan mendapat perhatian banyak kalangan akademisi

maupun praktisi (Locander et.al., 2002; Yammarino et.al., 1993). Hal ini

menurut Humphreys (2002) maupun Liu et.al. (2003) disebabkan konsep

yang dipopulerkan oleh Bass pada tahun 1995 ini mampu mengakomodir

konsep kepemimpinan yang mempunyai spektrum luas, termasuk

mencakup pendekatan perilaku, pendekatan situasional, sekaligus

pendekatan kontingensi. Oleh karena itu, penelitian ini memusatkan pada

konsep kepemimpinan transformasional dan transaksional, yaitu :

Page 20: BAB-II

1. Kepemimpinan Transformasional

Jika kepemimpinan transaksional mendasarkan diri pada prinsip

pertukaran maka kepemimpinan transformasional

(transformational leadership) berdasarkan prinsip

pengembangan bawahan (follower development). Pemimpin

transformasional mengevaluasi kemampuan dan potensi

masing-masing bawahan untuk menjalankan suatu

tugas/pekerjaan, sekaligus melihat kemungkinan untuk

memperluas tanggung jawab dan kewenangan bawahan di

masa mendatang. Sebaliknya, pemimpin transaksional

memusatkan pada pencapaian tujuan atau sasaran, namun tidak

berupaya mengembangkan tanggung jawab dan wewenang

bawahan demi kemajuan bawahan. Perbedaan tersebut

menyebabkan konsep kepemimpinan transaksional dan

transformasional diposisikan pada satu kontinum dimana

keduanya berada pada ujung yang berbeda (Dvir et.al., 2002).

Humphreys (2002) menegaskan bahwa hubungan antara atasan

dengan bawahan dalam konteks kepemimpinan

transformasional lebih dari sekedar pertukaran “komoditas”

(pertukaran imbalan secara ekonomis), tapi sudah menyentuh

sistem nilai (value system). Pemimpin transformasional mampu

menyatukan seluruh bawahannya dan mampu mengubah

keyakinan (beliefs), sikap, dan tujuan pribadi masing-masing

Page 21: BAB-II

bawahan demi mencapai tujuan, bahkan melampaui tujuan yang

ditetapkan (Humphreys, 2002; Liu et.al., 2003; Rafferty & Griffin,

2004..

Bass et.al (2003) serta Humphreys (2002) menjelaskan

kemampuan pemimpin transformasional mengubah sistem nilai

bawahan demi mencapai tujuan diperoleh dengan

mengembangkan salah satu atau seluruh faktor yang

merupakan dimensi kepemimpinan transformasional, yaitu :

karisma (kemudian diubah menjadi pengaruh ideal atau

idealized influence), inspirasi (inspirational motivation),

pengembangan intelektual (intellectual stimulation), dan

perhatian pribadi (individualized consideration).

Idealized influence menurut Sarros dan Santora (2001)

merupakan perilaku (behavior) yang berupaya mendorong

bawahan untuk menjadikan pemimpin mereka sebagai panutan

(role model). Pada mulanya, dimensi ini dinamakan karisma,

namun karena mendapat banyak kritik maka istilah karisma

diubah menjadi pengaruh ideal atau visi. Aspek kritikal karisma

adalah kekuatan spiritual (transcendent power) yang diyakini

oleh bawahan dimiliki oleh pemimpinnya, sehingga bawahan

percaya sepenuhnya dan mau melakukan apa saja demi

pemimpinnya (true believer). Aspek tersebut tidak dimiliki oleh

setiap orang dan selama ini tidak tercakup dalam kajian

Page 22: BAB-II

kepemimpinan transformasional, sehingga dimensi ini tidak tepat

disebut karisma. Kajian mengenai dimensi ini lebih terpusat pada

pemimpin yang memiliki visi jauh kedepan dan mampu

menanamkan visi tersebut dalam diri bawahan (Rafferty &

Griffin, 2004).

Lebih jauh, pemimpin yang mempunyai idealized influence selain

mampu mengubah pandangan bawahan tentang apa yang

penting untuk dicapai pada saat ini maupun masa mendatang

(visi), juga mau dan mampu berbagi resiko dengan bawahan,

teguh dengan nilai, prinsip, dan pendiriannya, sehingga

bawahan percaya, loyal, dan menghormatinya (Bass et.al., 2003;

Humphreys, 2002; Sarros & Santora, 2001; Yammarino et.al.,

1993).

Idealized influence merupakan dimensi terpenting kepemimpinan

transformasional karena memberikan inspirasi dan

membangkitkan motivasi bawahan (secara emosional) untuk

menyingkirkan kepentingan pribadi demi pencapaian tujuan

bersama (Humphreys, 2002; Rafferty & Griffin, 2004).

Inspirational motivation menurut Humphreys (2002) serta

Rafferty dan Griffin (2004) memiliki korelasi yang erat dengan

idealized influence. Seperti dijelaskan sebelumnya, pemimpin

transformasional memberi inspirasi kepada bawahan untuk

memusatkan perhatian pada tujuan bersama dan melupakan

Page 23: BAB-II

kepentingan pribadi. Inspirasi dapat diartikan sebagai tindakan

atau kekuatan untuk menggerakkan emosi dan daya piker orang

lain (Rafferty & Griffin, 2004).

Keeratan dua dimensi yaitu inspirational motivation dan idealized

influence ini mendorong munculnya pandangan untuk

menyatukan kedua dimensi ini dalam satu konstruk. Namun

dalam penelitian ini, idealized influence dan inspirational

motivation diposisikan sebagai dua konstruk yang berbeda

dimana idealized influence mempunyai makna lebih dalam

daripada inspirational motivation, atau dengan kata lain,

inspirational motivation merupakan sisi luar atau perwujudan

idealized influence (Humphreys, 2002; Rafferty & Griffin, 2004).

Inspirational motivation menurut Humphreys (2002) berbentuk

komunikasi verbal atau penggunaan simbol-simbol yang

ditujukan untuk memacu semangat bawahan. Pemimpin

memotivasi bawahan akan arti penting visi dan misi organisasi

sehingga seluruh bawahannya terdorong untuk memiliki visi

yang sama. Kesamaan visi memacu bawahan untuk bekerja

sama mencapai tujuan jangka panjang dengan optimis.

Sehingga pemimpin tidak saja membangkitkan semangat

individu tapi juga semangat tim (Bass et.al., 2003).

Intellectual stimulation, merupakan faktor penting kepemimpinan

transformasional yang jarang memperoleh perhatian (Rafferty &

Page 24: BAB-II

Griffin, 2004). Intellectual stimulation merupakan perilaku yang

berupaya mendorong perhatian dan kesadaran bawahan akan

permasalahan yang dihadapi. Pemimpin kemudian berusaha

mengembangkan kemampuan bawahan untuk

menyelesaikan permasalahan dengan pendekatan-

pendekatan atau perspektif baru. Dampak intellectual stimulation

dapat dilihat dari peningkatan kemampuan bawahan dalam

memahami dan menganalisis permasalahan serta kualitas

pemecahan masalah (problem solving quality) yang ditawarkan

(Rafferty & Griffin, 2004; Yammarino et.al., 1993).

Bass et.al (2003) serta Sarros dan Santora (2001)

berpandangan bahwa intellectual stimulation pada prinsipnya

memacu bawahan untuk lebih kreatif dan inovatif dalam

memahami dan memecahkan masalah. Bawahan didorong

untuk meninggalkan cara-cara atau metode-metode lama dan

dipacu untuk memberikan ide dan solusi baru. Bawahan bebas

menawarkan metode baru dan setiap ide baru tidak akan

mendapat kritikan atau celaan. Sebaliknya, pemimpin berusaha

meningkatkan moral bawahan untuk berani berinovasi.

Pemimpin bersikap dan berfungsi membina dan mengarahkan

inovasi dan kreativitas bawahan.

Individualized consideration atau perhatian pribadi.

Individualized consideration mengarah pada pemahaman dan

Page 25: BAB-II

perhatian pemimpin pada potensi dan kemampuan yang dimiliki

oleh setiap bawahannya. Pemimpin menyadari perbedaan

kemampuan, potensi, dan juga kebutuhan bawahan. Pemimpin

memandang setiap bawahannya sebagai aset organisasi. Oleh

sebab itu, pemahaman pemimpin akan potensi dan kemampuan

setiap bawahan memudahkannya membina dan mengarahkan

potensi dan kemampuan terbaik setiap bawahan (Bass et.al.,

2003; Sarros & Santora, 2001; Yammarino et.al., 1993).

2. Kepemimpinan Transaksional

Kepemimpinan transaksional (transactional leadership)

mendasarkan diri pada prinsip transaksi atau pertukaran antara

pemimpin dengan bawahan. Pemimpin memberikan imbalan

atau penghargaan tertentu (misalnya, bonus) kepada bawahan

jika bawahan mampu memenuhi harapan pemimpin (misalnya,

kinerja pegawai tinggi). Di sisi lain, bawahan berupaya

memenuhi harapan pemimpin disamping untuk memperoleh

imbalan atau penghargaan, juga untuk menghindarkan diri dari

sanksi atau hukuman.

Dalam transactional leadership tercipta hubungan mutualisme dan

kontribusi kedua belah pihak akan memperoleh imbalan (Bass et.al.,

2003; Humphreys, 2002; Liu et.al., 2003; Yammarino et.al., 1993). Sarros

dan Santora (2001) menyebutkan bahwa imbalan yang dikejar dua belah

pihak lebih bersifat ekonomi. Kebutuhan fisik dan materi bawahan

Page 26: BAB-II

berusaha dipenuhi oleh pemimpin dan sebagai balasannya, pemimpin

memperoleh imbalan berupa performa bawahan yang tinggi.

Waldman et.al. (2002) mengemukakan bahwa kepemimpinan

transaksional “beroperasi” pada sistem atau budaya yang sudah ada

(existing) dan tujuannya adalah memperkuat strategi, sistem, atau budaya

yang sudah ada, bukan bermaksud untuk mengubahnya. Oleh sebab itu,

pemimpin transaksional selain berusaha memuaskan kebutuhan bawahan

untuk “membeli” performa, juga memusatkan perhatian pada

penyimpangan, kesalahan, atau kekeliruan bawahan dan berupaya

melakukan tindakan korektif. Humphreys (2002) serta Yammarino et.al.

(1993) menyebutkan bahwa kepemimpinan transaksional paling banyak

ditemui dalam kehidupan sehari-hari, sehingga berkembang menjadi

paradigm praktek kepemimpinan dalam organisasi.

Kepemimpinan transaksional menurut beberapa pakar memiliki dua

karakter yang dinamakan contingent reward dan management by

exception. Pemimpin transaksional yang mempunyai karakter contingent

reward akan menjelaskan tujuan dan sasaran yang hendak dicapainya

dan mengarahkan bawahan untuk mencapainya. Besar kecilnya imbalan

(reward) akan tergantung pada (contingent) sejauhmana bawahan

mencapai tujuan dan sasaran tersebut (Bass et.al., 2003; Humphreys,

2002; Yammarino et.al., 1993). Sedangkan pemimpin transaksional

berkarakter management by exception dapat dibagi lagi ke dalam dua

sifat, yaitu aktif dan pasif.

Page 27: BAB-II

Pada active management by exception, pemimpin menetapkan

tujuan dan sasaran yang hendak dicapai berikut standar kerja yang harus

dipatuhi. Jika terjadi penyimpangan, pemimpin tidak segan menjatuhkan

sanksi kepada bawahan. Pemimpin dengan sifat seperti ini akan

cenderung mengawasi bawahan dengan ketat dan segera melakukan

tindakan korektif apabila muncul penyimpangan, kekeliruan, atau

kesalahan. Sementara passive management by exception pemimpin

menghindari tindakan korektif atau “keributan” dengan bawahan selama

tujuan dan sasaran yang disepakati bersama tercapai (Bass et.al., 2003;

Humphreys, 2002; Yammarino et.al., 1993).

Bass et.al. (2003) maupun Sarros dan Santora (2001) menjelaskan

bahwa karakter contingent reward menggambarkan hubungan timbal balik

yang positif antara pemimpin dengan bawahan, karena pemimpin

memberikan penjelasan dan pengarahan dalam proses mencapai tujuan

sebagai upaya memacu performa bawahan. Di sisi lain, bawahan

terdorong untuk mengerahkan kemampuan terbaik karena besar kecilnya

imbalan akan tergantung pada sejauhmana mereka mencapai tujuan.

Sebaliknya, management by exception (aktif maupun pasif) menurut

Yammarino et.al (1993) dapat berdampak negatif terhadap kinerja

bawahan karena bawahan takut membuat kesalahan untuk menghindari

sanksi sehingga merasa bekerja di bawah tekanan. Kondisi ini

menyebabkan proses organisasi tidak akan berjalan efektif.

Sedangkan passive management by exception tidak mendorong

Page 28: BAB-II

bawahan untuk bekerja dengan giat. Selama target tercapai dan sistem

organisasi berjalan sebagaimana mestinya maka semua orang merasa

bahagia. Tidak ada petualangan atau tantangan baru dalam bekerja.

Kondisi tersebut akan membawa kejenuhan pada bawahan sehingga

kinerja organisasi tidak akan maksimal (Sarros & Santora, 2001).

Penelitian Shea, Christine M. (1999) yang berjudul : The Effect of

Leadership Style on Performance Improvement on a Manufacturing Task,

mengatakan bahwa gaya kepemimpinan berpengaruh positif terhadap

peningkatan kinerja. Memberikan kontribusi yang memperkuat pengaruh

gaya kepemimpinan terhadap kinerja pegawai. Hasil penelitian

Yammarino et.al. (1993) membuktikan kepemimpinan transformasional

memiliki bobot pengaruh terhadap kinerja pegawai yang lebih kuat

dibandingkan kepemimpinan transaksional.

Demikian pula dengan Humphreys (2002) yang menegaskan bahwa

hubungan antara atasan dengan bawahan dalam konteks kepemimpinan

transformasional lebih dari sekedar perukaran “komoditas” (pertukaran

imbalan secara ekonomis), tapi sudah menyentuh sistem nilai (value

system). Pemimpin transformasional mampu menyatukan seluruh

bawahannya dan mampu mengubah keyakinan (beliefs), sikap, dan tujuan

pribadi masing-masing bawahan demi mencapai tujuan, bahkan

melampaui tujuan yang ditetapkan.

Penelitian yang dilakukan oleh Soon Hee Kim (2002), hasil dari

analisis multiple regression memperlihatkan bahwa penggunaan gaya

Page 29: BAB-II

manajemen partisipatif oleh manajer secara positif dihubungkan dengan

tingkat yang tinggi dari kepuasan kerja. Banyak manajer, pemimpin

perserikatan dan akademis membagi kepercayaan bahwa praktek

manajemen partisipatif mempunyai pengaruh positif yang substansial

terhadap kinerja dan kepuasan dalam pekerjaan.

Berdasarkan hasil-hasil penelitian, Yammarino et.al. (1993)

menyimpulkan terdapat hubungan positif antara kepemimpinan

transformasional dengan kinerja pegawai dan hubungan tersebut lebih

kuat jika dibandingkan hubungan kepemimpinan transaksional dengan

kinerja pegawai. Hasil penelitian Yammarino et.al. (1993) membuktikan

kepemimpinan transformasional memiliki bobot pengaruh terhadap kinerja

pegawai yang lebih kuat dibandingkan kepemimpinan transaksional

(management by exception).

Studi Bass et.al. (2003) juga menunjukkan pengaruh yang lebih

kuat kepemimpinan transformasional terhadap kinerja pegawai

dibandingkan kepemimpinan transaksional. Bass et.al. (2003)

menjelaskan kepemimpinan transformasional fokus pada pengembangan

diri bawahan, mendorong bawahan berpikir dan bertindak inovatif untuk

menyelesaikan masalah dan mencapai tujuan dan sasaran organisasi,

memacu optimism dan antusiasme terhadap pekerjaan sehingga

seringkali kinerja pegawai yang ditunjukkan bawahan melebihi harapan.

Kondisi tersebut berlawanan dengan gaya kepemimpinan transaksional

yang lebih mementingkan target berdasarkan prinsip pertukaran yang

Page 30: BAB-II

justru dapat berdampak negatif dalam jangka panjang.

Penelitian Humphreys (2002) dalam lingkup industri jasa lebih jauh

membuktikan peranan kritikal kepemimpinan transformasional dalam

meningkatkan kinerja pegawai. Bono dan Judge (2003) secara empiris

juga menemukan kepemimpinan transformasional mempengaruhi kinerja

pegawai. Kinerja dalam penelitian Bono dan Judge (2003) diukur dari

banyak aspek, baik yang bersifat obyektif maupun subyektif, sehingga

mereka menyimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional akan

mempengaruhi kinerja pegawai dalam situasi apapun.

Dari uraian tentang landasan teori gaya kepemimpinan dapat

disimpulkan bahwa pada dasarnya gaya kepemimpinan adalah

merupakan interaksi dari seorang pemimpin dengan bawahannya. Dalam

interaksi tersebut terdapat dua orientasi perilaku pemimpin dalam

berinteraksi dengan bawahan, pertama orientasi hubungan, kedua pada

tugas, selain hal tersebut juga perilaku yang mempertimbangkan kondisi

situasional. Secara lebih spesifik gaya kepemimpinan yang dikembangkan

di lingkungan Dinas Peternakan dan Perikanan di Kabupaten Musi Rawas

pada dasarnya mengacu pada pola perilaku yang berorientasi pada

hubungan dicerminkan pada kepemimpinan di Dinas Peternakan dan

Perikanan Kabupaten Musi Rawas yang egaliter, non-diskriminatif,

kebersamaan, sedangkan orientasi pada tugas dicerminkan pada sifat

pelayanan publik dan apresiatif.

H1: Gaya kepemimpinan berpengaruh positif terhadap kinerja pegawai.

Page 31: BAB-II

Berdasarkan pada uraian tentang gaya kepemimpinan dan

kepuasan kerja, dapat ditarik suatu hubungan, bahwa gaya kepemimpinan

sebagai bentuk dari perilaku interaksi hubungan antara pemimpin dengan

bawahan dapat berpengaruh terhadap kepuasan kerja, dimana salah satu

faktor yang menyebabkan tinggi rendahnya kepuasan kerja akibat dari

pola hubungan antara atasan dan bawahan. Logika diatas didukung dari

beberapa hasil penelitian sebagai berikut : Ada hubungan yang positif dan

sangat signifikan antara gaya kepemimpinan transformasional dengan

kepuasan kerja pegawai Dinas Peternakan dan Perikanan di Kabupaten

Musi Rawas. Surapati (Nurbaiti, 2003). Hasil penelitian Fuller & Morrison

(1999) tentang dampak kepemimpinan transformasional terhadap tingkat

kepuasan kerja para pekerja, menghasilkan hubungan perilaku

kepemimpinan transformasional dihubungkan dengan sejumlah dampak

penting bagi organisasi upaya kerja ekstra, perilaku organisasi, dan

kepuasan kerja. H5: Gaya kepemimpinan berpengaruh positif terhadap

kepuasan kerja.

2.3. Disiplin Kerja

2.3.1. Pengertian Disiplin Kerja

Kata disiplin itu sendiri berasal dari bahasa Latin “discipline” yang

berarti “latihan atau pendidikan kesopanan dan kerohanian serta

pengembangan tabiat”. Hal ini menekankan pada bantuan kepada

pegawai untuk mengembangkan sikap yang layak terhadap pekerjaannya.

Page 32: BAB-II

Disiplin merupakan suatu kekuatan yang berkembang di dalam tubuh

pekerja sendiri yang menyebabkan dia dapat menyesuaikan diri dengan

sukarela kepada keputusan-keputusan, peraturan-peraturan, dan nilai-nilai

tinggi dari pekerjaan dan tingkah laku (Asmiarsih 2006:23).

Menurut Fathoni (2006) kedisiplinan adalah kesadaran dan

kesediaan seseorang menaati semua peraturan perusahaan dan norma-

norma sosial yang berlaku. Kedisiplinan dapat diartikan bilamana

karyawan selalu datang dan pulang tepat pada waktunya, mengerjakan

semua pekerjaannya dengan baik, mematuhi semua peraturan

perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku. Kedisiplinan harus

ditegakkan dalam suatu organisasi perusahaan, karena tanpa dukungan

disiplin karyawan yang baik maka sulit perusahaan untuk mewujudkan

tujuannya.

Malayu (2007: 193) mendefinisikan bahwa kedisiplinan adalah

kesadaran dan kesediaan seseorang menaati semua peraturan

perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku. Kesadaran adalah

sikap seseorang yang secara sukarela menaati semua peraturan dan

sadar akan tugas dan tanggung jawabnya. Kesediaan adalah suatu sikap,

tingkah laku, dan perbuatan seseorang yang sesuai dengan peraturan

perusahaan, baik yang tertulis maupun tidak.

Menurut William B. Wether, JR dan Keith Davis (2003: 548) disiplin

adalah tindakan manajemen yang menganjurkan agar tunduk pada

standar-standar organisasi. Dari beberapa definisi tersebut dapat diambil

Page 33: BAB-II

kesimpulan bahwa disiplin adalah sikap dan perbuatan seseorang dalam

mentaati dan menjalankan semua peraturan perusahaan yang berlaku

baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis dan siap menerima sanksi

apabila melanggarnya.

Pada dasarnya banyak faktor yang mempengaruhi tingkat

kedisiplinan karyawan suatu perusahaan menurut Malayu (2007: 194):

Tujuan dan kemampuan, Teladan pemimpin, Partisipasi, Keadilan,

Pengawasan melekat, Sanksi hukum, Ketegasan danHubungan

kemanusiaan.

Untuk mengetahui disiplin kerja seseorang, maka terlebih dahulu

harus mengetahui indikator-indikatornya. Adapun beberapa indikator yang

termasuk dalam disiplin menurut Malayu (2007: 194) adalah Ketaatan,

Tepat waktu, Keseragaman dalam berpakaian, Keteladanan, Kejujuran,

Menciptakan suasana kerja yang baik.

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dapat disimpulkan

bahwa disiplin kerja pegawai merupakan sikap atau tingkah laku yang

menunjukkan kesetiaan dan ketaatan seseorang atau sekelompok orang

terhadap peraturan yang telah ditetapkan oleh instansi atau organisasinya

baik yang tertulis maupun tidak tertulis sehingga diharapkan pekerjaan

yang dilakukan efektif dan efesien.

Newstrom dalam Asmiarsih (2006) menyatakan bahwa disiplin

mempunyai 3 (tiga) macam bentuk, yaitu :

1. Disiplin Preventif

Page 34: BAB-II

Disiplin preventif adalah tindakan SDM agar terdorong untuk

menaati standar atau peraturan. Tujuan pokoknya adalah

mendorong SDM agar memiliki disiplin pribadi yang tinggi, agar

peran kepemimpinan tidak terlalu berat dengan pengawasan atau

pemaksaan, yang dapat mematikan prakarsa dan kreativitas serta

partisipasi SDM.

2. Disiplin Korektif

Disiplin korektif adalah tindakan dilakukan setelah terjadi

pelanggaran standar atau peraturan, tindakan tersebut dimaksud

untuk mencegah timbulnya pelanggaran lebih lanjut. Tindakan itu

biasanya berupa hukuman tertentu yang biasa disebut sebagai

tindakan disipliner, antara lain berupa peringatan, skors,

pemecatan.

3. Disiplin Progresif

Disiplin progresif adalah tindakan disipliner berulang kali berupa

hukuman yang makin berat, dengan maksud agar pihak pelanggar

bisa memperbaiki diri sebelum hukuman berat dijatuhkan.

Menurut Hasibuan (2005:194-198) Pada dasarnya banyak indikator

yang mempengaruhi tingkat kedisiplinan karyawan suatu organisasi, di

antaranya :

1. Tujuan dan kemampuan

Tujuan dan kemampuan ini mempengaruhi tingkat kedisiplinan

karyawan. Tujuan yang akan dicapai harus jelas dan ditetapkan

Page 35: BAB-II

secara ideal serta cukup menantang bagi kemampuan karyawan.

Hal ini berarti bahwa pekerjaan yang dibebankan kepada karyawan

harus sesuai dengan kemampuan karyawan bersangkutan agar

karyawan tersebut bekerja dengan sungguh-sungguh dan disiplin

dalam mengerjakannya.

Akan tetapi, jika pekerjaan itu diluar kemampuannya atau jauh di

bawah kemampuannya maka kesungguhan dan kedisiplinan

karyawan rendah. Disinilah letak pentingnya axas the right man in

the right place and the right man in the right job.

2. Teladan pimpinan

Teladan pimpinan sangat berperan dalam menentukan kedisiplinan

karyawan karena pimpinanan dijadikan teladan dan panutan oleh

para bawahannya. Pimpinan harus memberi contoh yang baik,

berdisiplin baik, jujur, adil, serta sesuai dengan perbuatan. Dengan

teladan pimpinan yang baik, kedisiplinan bawahan akan ikut baik.

Jika teladan pimpinan kurang baik (kurang berdisiplin), para

bawahan pun akan kurang disiplin.

Pimpinan jangan mengharapkan kedisiplinan bawahannya baik jika

dia sendiri kurang disiplin. Pimpinan harus menyadari bahwa

perilakunya akan dicontoh dan diteladani bawahannya. Hal inilah

yang mengharuskan pimpinan mempunyai kedisiplinan yang baik

agar para bawahan pun mempunyai disiplin yang baik pula

3. Balas Jasa

Page 36: BAB-II

Balas jasa atau gaji, kesejahteraan ikut mempengaruhi kedisiplinan

karyawan, karena balas jasa akan memberikan kepuasan dan

kecintaan karyawan terhadap perusahaan. Jika kecintaan

karyawan semakin tinggi terhadap pekerjaan kedisiplinan akan

semakin baik.

Untuk mewujudkan kedisiplinan karyawan yang baik perusahaan

harus memberikan balas jasa yang relatif besar. Kedisiplinan

karyawan tidak mungkin baik apabila balas jaasa yang mereka

terima kurang memuaskan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya

beserta keluarga.

Jadi, balas jasa barperan penting untuk menciptakan kedisiplinan

karyawan. Artinya semakin besar balas jasa semakin baik

kedisiplinan karyawan. Sebaliknya, apabila balas jasa kecil

kedisplinan karyawan menjadi rendah. Karyawan sulit untuk

berdisiplin baik selama kebutuhan-kebutuhan primernya tidak

terpenuhi dengan baik.

4. Keadilan

Keadilan ikut mendorong terwujudnya kedisplinan karyawan,

karena ego dan sifat manusia yang selalu merasa dirinya penting

dan minta diperlakukan sama ddengan manusia lainnya.

Keadilan yang dijadikan dasar kebijakan dalam pemberian balas

jasa atau hukuman akan tercipta kedisiplinan yang baik. Manajer

yang baik dalam memimpin selalu berusaha bersikap adil terhadap

Page 37: BAB-II

semua karyawan. Dengan keadilan yang baik akan menciptakan

kedisiplinan yang baik pula.

5. Waskat (pengawasan melekat)

Waskat adalah tindakan nyata paling efektif dalam mewujudkan

kedisiplinan karyawan perusahaan. Dengan waskat berarti atasan

harus aktif dan langsung mengatasi perilaku, moral, sikap, gairah

kerja dan prestasi kerja bawahannya.

6. Sanksi hukuman

Sanksi hukuman berperan penting dalam memelihara kedisiplinan

karyawan. Dengan sanksi hukuman yang semakin berat, karyawan

akan semakin takut melanggar peraturan-peraturan perusahaan.

Berat atau ringan sanksi hukuman yang akan diterapkan ikut

mempengaruhi baik buruknya kedisiplinan karyawan.

7. Ketegasan

Ketegasan pimpinan dalam melakukan tindakan akan

mempengaruhi kedisiplinan karyawan perusahaan, pimpinan harus

berani dan tegas bertindak untuk memberikan sanksi sesuai

dengan yang telah ditetapkan perusahaan sebelumnya. Dengan

demikian pimpinan akan dapat memelihara kedisiplinan karyawan

perusahaan.

8. Hubungan kemanusiaan

Hubungan kemanusiaan yang harmonis diantara sesama karyawan

ikut menciptakan kedisiplinan yang baik pada suatu perusahaan.

Page 38: BAB-II

Manajer harus berusaha menciptakan suasana hubungan

kemanusiaan yang serasi baik diantara semua karyawan.

Kedisiplinan karyawan akan tercipta apabila hubungan

kemanusiaan dalam organisasi tersebut baik.

Prinsip-prinsip pendisiplinan yang dikemukakan Ranupandojo

dalam Asmiarsih (2006) adalah :

1. Pendisiplinan dilakukan secara pribadi

Pendisiplinan seharusnya dilakukan dengan memberikan teguran

kepada karyawan. Teguran jangan dilakukan di hadapan orang

banyak. Karena dapat menyebabkan karyawan yang ditegur akan

merasa malu dan tidak menutup kemungkinan menimbulkan rasa

dendam yang dapat merugikan organisasi.

2. Pendisiplinan harus bersifat membangun.

Selain memberikan teguran dan menunjukkan kesalahan yang

dilakukan karyawan, harus disertai dengan saran tentang

bagaimana seharusnya berbuat untuk tidak mengulangi lagi

kesalahan yang sama.

3. Pendisiplinan harus dilakukan sacara langsung dengan segera.

Suatu tindakan dilakukan dengan segera setelah terbukti bahwa

karyawan telah melakukan kesalahan. Jangan membiarkan

masalah menjadi kadaluarsa sehingga terlupakan oleh karyawan

yang bersangkutan

4. Keadilan dalam pendisiplinan sangat diperlukan.

Page 39: BAB-II

Dalam tindakan pendisiplinan dilakukan secara adil tanpa pilih

kasih. Siapapun yang telah melakukan kesalahan harus mendapat

tindakan pendisiplinan secara adil tanpa membeda-bedakan.

5. Pimpinan hendaknya tidak melakukan pendisiplinan sewaktu

karyawan absent

Pendisiplinan hendaknya dilakukan dihadapan karyawan yang

bersangkutan secara pribadi agar ia tahu telah melakukan

kesalahan. Karena akan percuma pendisiplinan yang dilakukan

tanpa adanya pihak yang bersangkutan.

6. Setelah pendisiplinan sikap dari pimpinan haruslah wajar kembali.

Sikap wajar hendaknya dilakukan pimpinan terhadap karyawan

yang telah melakukan kesalahan tersebut. Dengan demikian,

proses kerja dapat lancar kembali dan tidak kaku dalam bersikap.

2.4. Kerangka Pemikiran

Disiplin yang baik mencerminkan besarnya rasa tanggung jawab

seseorang terhadap tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Hal ini

mendorong gairah kerja, semangat kerja dan terwujudnya tujuan

perusahaan, karyawan dan masyarakat. Oleh karena itu, setiap manajer

selalu berusaha agar bawahannya mempunyai disiplin yang baik. Seorang

manajer dikatakan efektif dalam kepemimpinannya, jika para bawahannya

berdisiplin baik. displin kerja merupakan suatu bentuk kesediaan dan

kesadaran dari seseorang untuk tunduk dan patuh terhadap semua

Page 40: BAB-II

peraturan dan norma-norma sosial perusahaan, serta sanggup menerima

sanksi apabila melanggarnya. Dengan disiplin yang baik maka

kinerja/prestasi kerja karyawan akan meningkat karena segala sesuatu

dikerjakan dan dilakukan sesuai peraturan.