bab-ii
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Suatu instansi didirikan karena mempunyai tujuan yang ingin
dicapai. Dalam mencapai tujuannya setiap instansi dipengaruhi oleh
perilaku dan sikap orang-orang yang terdapat dalam instansi tersebut.
Oleh karena itu keberhasilan untuk mencapai tujuan tersebut tergantung
kepada keandalan dan kemampuan pegawai dalam mengoperasikan unit-
unit kerja yang terdapat di instansi tersebut, karena tujuan instansi dapat
tercapai hanya dimungkinkan karena upaya para pelaku yang terdapat
dalam setiap instansi.
Manusia sebagai salah satu unsur pengendali, merupakan faktor
paling penting dan utama didalam segala bentuk organisasi. Faktor
penting disini sifatnya sangat komplek sehingga perlu mendapatkan
perhatian, penanganan dan perlakuan khusus disamping faktor manfaat
yang lain.
Sumber daya manusia mempunyai peranan yang besar dalam
suatu organisasi, terutama untuk mencapai tujuan organisasi.
Keberhasilan mencapai tujuan organisasi didukung sepenuhnya dari
perilaku pegawai. Oleh karena itu, pegawai mempunyai peranan penting
dalam membentuk/mengelola organisasi dan memanfaatkan teknologi
yang ada. Lagi pula, pegawai mempunyai berbagai tanggapan yang
bervariasi dari tekanan lingkungan organisasi. Dalam kenyataannya,
keberhasilan suatu organisasi ditentukan oleh kepemimpinan yang
dikembangkan pada organisasi itu dan kompensasi yang diberikan
kepada anggota/bawahannya untuk mencapai tujuan tersebut.
Keberhasilan suatu lembaga/organisasi sangat dipengaruhi oleh
kinerja individu pegawainya. Setiap organisasi maupun perusahaan akan
selalu berusaha untuk meningkatkan kinerja pegawainya, dengan harapan
apa yang menjadi tujuan organisasi akan tercapai. Berbagai cara akan
ditempuh dalam meningkatkan kinerja pegawainya, misalnya dengan
pendidikkan, pelatihan, pemberian kompensasi yang layak, pemberian
motivasi, penerapan disiplin kerja, dan menciptakan lingkungan kerja yang
kondusif. Di sisi lain kepuasan seorang pemimpin dalam menggerakkan
dan memberdayakan pegawainya juga akan mempengaruhi kinerja
pegawai.
Setiap organisasi sangat membutuhkan sumber daya manusia
yang handal untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditentukan.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka suatu organisasi memerlukan
pemimpin atau manajer yang mampu mengelola sumber daya manusia
yang ada didalam organisasi yaitu pegawai untuk meningkatkan efisiensi,
efektivitas dan produktivitas kerja organisasi. Untuk mencapai tujuan
organisasi maka pemimpin atau manajer akan membagi tugas pada setiap
pegawai sesuai dengan fungsi dan jabatannya dalam organisasi. Tugas
yang diberikan pemimpin atau manajer bagi pegawai merupakan sebuah
tanggungjawab yang harus dilaksanakan secara tulus dan dengan
sungguh-sungguh agar tercapai tujuan organisasi yang telah ditentukan.
Menurut Rivai (2004: 309) Kinerja merupakan suatu fungsi dari
motivasi dan kemampuan. Untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan,
seseorang sepatutnya memiliki derajat kesediaan dan tingkat kemampuan
tertentu. Kesediaan dan keterampilan seseorang tidaklah cukup efektif
untuk mengerjakan sesuatu tanpa pemahaman yang jelas tentang apa
yang akan dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Kinerja
merupakan perilaku nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi
kerja yang dihasilkan oleh pegawai sesuai dengan perannya dalam
perusahaan. Sehingga, dalam hal ini kinerja pegawai merupakan suatu
hal yang sangat penting dalam upaya perusahaan untuk mencapai
tujuannya.
Penilaian kinerja juga merupakan salah satu cara yang dapat
digunakan untuk melihat perkembangan organisasi. Sasaran yang
menjadi objek penilaia kinerja adalah kecakapan, kemampuan pegawai
dalam melaksanakan suatu pekerjaan atau tugas yang dievaluasi dengan
menggunakan tolak ukur tertentu secara objektif dan dilakukan secara
berkala. Dari hasil penilaian dapat dilihat kinerja perusahaan yang
dicerminkan oleh kinerja pegawai atau dengan kata lain, kinerja
merupakan hasil kerja konkret yang dapat diamati dan dapat diukur.
Di hampir semua instansi yang ada, pegawai merupakan asset
penting yang wajib mereka jaga. Oleh karena itu bagi instansi yang
khususnya bergerak dibidang pelayanan public yang mengandalkan
tingkat kinerja pegawai di instansinya, maka instansi tersebut dituntut
untuk mampu mengoptimalkan kinerja pegawainya. Salah satu
pendekatan dalam upaya meningkatkan kinerja pegawai tersebut dapat
dilakukan melalui praktek kepemimpinan atau gaya kepemimpinan yang
handal dan disiplin kerja yang tinggi dan terarah.
Setiap pemimpin pada dasarnya memiliki perilaku yang berbeda
dalam memimpin para pengikutnya, perilaku para pemimpin itu disebut
dengan gaya kepemimpinan. Kepemimpinan mempunyai hubungan yang
sangat erat dengan motivasi, karena keberhasilan seorang pemimpin
dalam menggerakkan orang lain dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan sangat tergantung kepada kewibawaan, dan juga pemimpin itu
di dalam menciptakan motivasi didalam diri setiap orang bawahan, kolega
maupun atasan pemimpin itu sendiri.
Kepemimpinan pada suatu organisasi yang melayani masyarakat
luas dikembangkan sistem kepegawaian yang mantap dengan
pengembangan karier yang berdasarkan prestasi kerja, kemampuan yang
profesional, keahlian dan ketrampilan, serta kemantapan sikap mental
aparat melalui upaya pendidikan pelatihan, penugasan, bimbingan dan
konsultasi, serta melalui pengembangan motivasi, kode etik, dan disiplin
kedinasan yang sehat, didukung oleh system informasi kepegawaian yang
mantap serta, didukung oleh sistem informasi kepegawaian yang mantap
serta, dilengkapi dengan sistem pemberian penghargaan yang wajar.
Seorang pemimpin harus mampu memperhatikan serta berusaha
untuk mempengaruhi dan mendorong pegawainya agar dapat
menjalankan tugasnya dengan baik, dan dapat menerapkan pola
kepemimpinan yang tepat, sesuai dengan kondisi yang sedang dihadapi.
Seorang pemimpin mempunyai peran yang penting dalam
pencapaian tujuan suatu organisasi. Hal ini dikarenakan pemimpin
dipercaya mampu untuk dapat menentukan efektivitas organisasi di masa
yang akan datang. Selain itu, pemimpin juga memiliki kemampuan untuk
dapat mempengaruhi orang lain untuk berperilaku sesuai harapan
organisasi. Seorang pemimpin dikatakan gagal apabila tidak dapat
memunculkan motivasi, menggerakkan dan memuaskan pegawai pada
suatu pekerjaan dan lingkungan tertentu.
Kepemimpinan yang andal sangat dibutuhkan organisasi demi
tercapainya tujuan. Karena kepemimpinan merupakan suatu proses dalam
mempengaruhi kegiatan seseorang atau kelompok dalam usaha
pencapaian tujuan, jadi keberhasilan dalam pencapaian sasaran
kelompok (organisasi) sangat bergantung kepada para pemimpinnya.
Semakin pandai pemimpin melaksanakan peranannya, tentunya semakin
cepat tujuan organisasi tersebut tercapai. Sedangkan penerapan
kepemimpinan antara pemimpin yang satu dangan yang lainnya berbeda,
bergantung pada perilaku kepemimpinan yang diterapkan. Pegawai perlu
merasakan bahwa mereka memiliki sesuatu yang bermanfaat yang harus
dilakukan dan sesuatu yang dapat dilakukan dengan sumber daya yang
ada dan kepemimpinan yang tersedia. Karena itu, perlu adanya perhatian
dan pembinaan dari seorang pemimpin yang pada akhirnya diharapkan
dapat meningkatkan kinerja dari pegawai tersebut.
Menurut Heidjrachman dan Husnan (2000: 219) dalam
hubungannya dengan kinerja dijelaskan bahwa pola kepemimpinan
seorang manajer berpengaruh dalam pencapaian tujuan suatu organisasi,
pemilihan gaya kepemimpinan yang benar disertai motivasi eksternal yang
diterapkan sesuai dengan keinginan pegawai maka akan menghasilkan
tingkat kinerja yang tinggi.
Agar para pegawai dapat bekerja secara tulus dan penuh rasa
tanggungjawab sesuai dengan yang diharapkan oleh organisasi, maka
seorang pemimpin haruslah mampu memotivasinya. Faktor motivasi
memiliki hubungan langsung dengan kinerja individual pegawai. Motivasi
daya perangsang atau daya pendorong yang merangsang pegawai untuk
mau bekerja dengan segiat-giatnya, berbeda antara pegawai satu dengan
pegawai lainnya. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan motivasi,
tujuan dan kebutuhan dari masing- masing pegawai untuk bekerja, juga
oleh karena perbedaan waktu dan tempat.
Apabila seorang pegawai memiliki produktivitas dan motivasi kerja
yang tinggi, maka laju roda pun akan berjalan kencang, yang akhirnya
akan menghasilkan kinerja dan pencapaian yang baik bagi perusahaan. Di
sisi lain, bagaimana mungkin roda perusahaan berjalan baik, kalau
pegawainya bekerja tidak produktif, artinya pegawai tidak memiliki
semangat kerja yang tinggi, tidak ulet dalam bekerja dan memiliki moril
yang rendah. Dengan pemberian motivasi dimaksudkan pemberian daya
perangsang kepada pegawai supaya lebih bersemangat dan giat bekerja
dengan segala kemampuannya, sehingga kinerja pegawai dapat
meningkat.
Dalam hubungannya dengan kinerja, Moekijat (1993: 6)
menyatakan bahwa motivasi mempunyai peran penting dalam
peningkatan produktifitas kerja pegawai, apabila seorang pegawai
termotivasi, maka senantiasa akan mempunyai gairah kerja yang tinggi
yang nantinya akan berpengaruh pada prestasi kerja.
Seperti halnya telah dikemukaan dimuka pekerjaan yang lebih
cepat, lebih tepat diselesaikan tanpa mengurangi kedisiplinan yang ada,
disebabkan adanya peran serta seorang pemimpin, selalu memberikan
arahan, membina dan memotivasi, bawahan dalam menyelesaikan
pekerjaan untuk mencapai tujuan organisasi. Hal tersebut selalu
diupayakan oleh pimpinan dengan memberikan motivasi dan
keseimbangan upah atas hasil pekerjaan pegawai.
Heidjachman dan Husnan: (2002) mengungkapkan disiplin adalah
setiap perseorangan dan juga kelompok yang menjamin adanya
kepatuhan terhadap perintah dan derinisiatif untuk melakukan suatu
tindakan yang diperlukan seandainya tidak ada perintah.
Adanya disiplin kerja yang tinggi maka seorang individu akan
mempunyai produktivitas yang tinggi. Adapun upaya menciptakan suatu
kedisiplinan dalam suatu organisasi dapat dilakukan melalui tata tertib
yang jelas, tata kerja yang sederhana yang dapat dengan mudah
diketahui oleh seluruh pegawai. Seorang individu yang berdisiplin tinggi
cenderung memiliki keinginan untuk mengembangkan karir sesuai dengan
minat dan bakat yang dimilikinya. Individu dengan tingkat kedisiplinan
yang tinggi lebih cenderung lebih teratur dalam segala hal seperti masuk
dan pulang kerja tepat waktu, selalu taat pada tata tertib yang berlaku dan
membina hubungan baik dengan sesama pegawai, merupakan modal
utama lahirnya etos kerja dalam diri seseorang yang berakibat tingginya
kinerja.
Bertolak dari pemikiran bahwa kinerja karyawan mutlak harus
diupayakan agar tetap tinggi, maka diperlukan upaya-upaya untuk
membangkitkan motivasi yang positif, membangun budaya organisasi
yang lebih baik serta faktor kepemimpinan yang dapat menciptakan
suasana kerja yang lebih kondusif sangat perlu untuk dilakukan.
Untuk membuktikan benar tidaknya terdapat pengaruh yang
signifikan antara semua variabel gaya kepemimpinan, motivasi, dan
disiplin kerja terhadap kinerja pegawai maka perlu dilakukan suatu
penelitian. Hal ini yang mendorong penulis untuk memilih judul:
PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN DAN DISIPLIN KERJA
TERHADAP KINERJA PEGAWAI PADA DINAS PETERNAKAN DAN
PERIKANAN DI KABUPATEN MUSI RAWAS.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Apakah ada pengaruh antara gaya kepemimpinan terhadap
kinerja Pegawai pada Dinas Peternakan dan Perikanan di
Kabupaten Musi Rawas?
b. Apakah ada pengaruh antara disiplin kerja terhadap kinerja
Pegawai pada Dinas Peternakan dan Perikanan di Kabupaten
Musi Rawas?
c. Apakah ada pengaruh antara gaya kepemimpinan dan disiplin
kerja secara simultan terhadap kinerja Pegawai pada Dinas
Peternakan dan Perikanan di Kabupaten Musi Rawas?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian sehubungan dengan permasalahan yang
ada adalah:
a. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh antara gaya
kepemimpinan terhadap kinerja Pegawai pada Dinas
Peternakan dan Perikanan di Kabupaten Musi Rawas?
b. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh disiplin kerja
terhadap kinerja Pegawai pada Dinas Peternakan dan
Perikanan di Kabupaten Musi Rawas?
c. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh antara gaya
kepemimpinan dan disiplin kerja secara simultan terhadap
kinerja Pegawai pada Dinas Peternakan dan Perikanan di
Kabupaten Musi Rawas?
1.4. Manfaat Penelitian
Ada beberapa manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini, yakni
sebagai berikut :
a. Sebagai bahan pertimbangan perusahaan atau organisasi
dalam mengambil kebijakan mengenai gaya kepemimpinan dan
disiplin kerja terhadap kinerja pegawai.
b. Dapat memberikan sumbangan pada pengembangan ilmu
pengetahuan, khususnya mengenai kinerja pegawai.
c. Sebagai informasi bagi mahasiswa atau peneliti lain dalam
memecahkan permasalahan ya ng berhubungan dengan
penelitian ini.
1.5. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini akan disajikan sistematika yang sedemikian
rupa sehingga apa yang penulis kemukakan diharapkan mudah untuk
dipahami.
BAB I : PENDAHULUAN
Merupakan pendahuluan yang berisi mengenai latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian dan sistematika
penyusunan tesis.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tentang deskripsi teoritis variabel penelitian yang
meliputi gaya kepemimpinan, disiplin kerja dan kinerja,
kerangka berpikir, penelitian terdahulu dan pengembangan
hipotesis.
BAB III : METODE PENELITIAN
Merupakan metode penelitian yang berisi tentang populasi,
sampel, metode pengumpulan data, definisi dan pengukuran
variabel, metode analisis data.
BAB IV : ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi tentang pengujian data, pengujian hiptotesis dan
pembahasan hasil penelitian.
BAB V : PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan,
keterbatasan dan saran-saran yang diharapkan ada manfaatnya
bagi pihak yang bersangkutan dan bagi pembaca.
BAB II
TELAAH PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN MODEL
2.1. Kinerja
2.1.1. Pengertian Kinerja Pegawai
Keberhasilan suatu organisasi dipengaruhi oleh kinerja (job
performance) pegawai, untuk itu setiap perusahaan akan berusaha untuk
meningkatkan kinerja pegawainnya dalam mencapai tujuan organisasi
yang telah ditetapkan. Budaya organisasi yang tumbuh dan terpelihara
dengan baik akan mampu memacu organisasi ke arah perkembangan
yang lebih baik. Di sisi lain, kemampuan pemimpin dalam menggerakkan
dan memberdayakan pegawai akan mempengaruhi kinerja.
Kinerja merupakan perilaku organisasi yang secara langsung
berhubungan dengan produksi barang atau penyampaian jasa. Informasi
tentang kinerja organisasi merupakan suatu hal yang sangat penting
digunakan untuk mengevaluasi apakah proses kinerja yang dilakukan
organisasi selama ini sudah sejalan dengan tujuan yang diharapkan atau
belum. Akan tetapi dalam kenyataannya banyak organisasi yang justru
kurang atau bahkan tidak jarang ada yang mempunyai informasi tentang
kinerja dalam organisasinya. Kinerja sebagai hasil-hasil fungsi
pekerjaan/kegiatan seseorang atau kelompok dalam suatu organisasi
yang dipengaruhi oleh berbagai faktor untuk mencapai tujuan organisasi
dalam periode waktu tertentu (Tika, 2006). Sedangkan menurut Rivai dan
Basri (2005) kinerja adalah kesediaan seseorang atau kelompok orang
untuk melakukan sesuatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai
dengan tanggung jawab dengan hasil seperti yang diharapkan.
Menurut Bambang Guritno dan Waridin (2005) kinerja merupakan
perbandingan hasil kerja yang dicapai oleh pegawai dengan standar yang
telah ditentukan. Sedangkan menurut Hakim (2006) mendefinisikan
kinerja sebagai hasil kerja yang dicapai oleh individu yang disesuaikan
dengan peran atau tugas individu tersebut dalam suatu lembaga
pemerintahan pada suatu periode waktu tertentu, yang dihubungkan
dengan suatu ukuran nilai atau standar tertentu dari perusahaan dimana
individu tersebut bekerja. Kinerja merupakan perbandingan hasil kerja
yang dicapai oleh pegawai dengan standar yang telah ditentukan
(Masrukhin dan Waridin, 2004).
Kinerja pegawai mengacu pada prestasi seseorang yang diukur
berdasarkan standar dan kriteria yang ditetapkan oleh perusahaan.
Pengelolaan untuk mencapai kinerja sumber daya manusia tinggi
dimaksudkan guna meningkatkan perusahaan secara keseluruhan (Fuad
Mas’ud, 2004). Menurut Waldman (1994) kinerja merupakan gabungan
perilaku dengan prestasi dari apa yang diharapkan dan pilihannya atau
bagian syarat-syarat tugas yang ada pada masing-masing individu dalam
organisasi. Sedangkan menurut Mangkunegara (2001) kinerja dapat
didefinfisikan sebagai hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dapat
dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugas sesuai
dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Soeprihantono (1988)
mengatakan bahwa kinerja merupakan hasil pekerjaan seorang pegawai
selama periode tertentu dibandingkan dengan berbagai kemungkinan,
misalnya standard, target/sasaran/kriteria yang telah ditentukan terlebih
dahulu dan telah disepakati bersama.
Kinerja merupakan hasil atau tingkatan keberhasilan seseorang
secara keseluruhan selama periode tertentu dalam melaksanakan tugas
dibandingkan dengan standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria
yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama (Rivai,
2004). Lebih lanjut Rivai menyatakan bahwa kinerja tidak berdiri sendiri
tapi berhubungan dengan kepuasan kerja dan kompensasi, dipengaruhi
oleh ketrampilan, kemampuan dan sifat – sifat individu. Dengan kata lain
kinerja ditentukan oleh kemampuan, keinginan dan lingkungan. Oleh
karena itu agar mempunyai kinerja yang baik, seseorang harus
mempunyai keinginan yang tinggi untuk mengerjakan dan mengetahui
pekerjaannya serta dapat ditingkatkan apabila ada kesesuaian antara
pekerjaan dan kemampuan. Menurut Simanjuntak (2005) kinerja
dipengaruhi oleh:
1 Kualitas dan kemapuan pegawai. Yaitu hal – hal yang berhubungan
dengan pendidikan/pelatihan, etos kerja, motivasi kerja, sikap
mental dan kondisi fisik pegawai.
2 Sarana pendukung, yaitu hal yang berhubungan dengan lingkungan
kerja (keselamatan kerja, kesehatan kerja, sarana produksi,
teknologi) dan hal – hal yang berhubungan dengan kesejahteraan
pegawai (upah/gaji, jaminan sosial, keamanan kerja).
3 Supra sarana, yaitu hal – hal yang berhubungan dengan
kebijaksanaan pemerintah dan hubungan industrial manajemen.
Soedjono (2005) menyebutkan 6 (enam) kriteria yang dapat
digunakan untuk mengukur kinerja pegawai secara individu yakni : (1)
Kualitas. Hasil pekerjaan yang dilakukan mendekati sempurna atau
memenuhi tujuan yang diharapkan dari pekerjaan tersebut. (2) Kuantitas.
Jumlah yang dihasilkan atau jumlah aktivitas yang dapat diselesaikan. (3)
Ketepatan waktu, yaitu dapat menyelesaikan pada waktu yang telah
ditetapkan serta memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktivitas yang
lain. (4) Efektivitas. Pemanfaatan secara maksimal sumber daya yang ada
pada organisasi untuk meningkatkan keuntungan dan mengurangi
kerugian. (5) Kemandirian, yaitu dapat melaksanakan kerja tanpa bantuan
guna menghindari hasil yang merugikan. (6) Komitmen kerja, yaitu
komitmen kerja antara pegawai dengan organisasinya dan (7) tanggung
jawab pegawai terhadap organisasinya.
Berdasarkan pengertian kinerja dari beberapa pendapat diatas,
kinerja merupakan perbandingan hasil kerja yang dicapai oleh karyawan
dengan standar yang telah ditentukan. Kinerja juga berarti hasil yang
dicapai oleh seseorang, baik kuantitas maupun kualitas dalam suatu
organisasi sesuai dengan tanggung jawab yang dberikan kepadanya.
2.2. Kepemimpinan
2.2.1. Pengertian Gaya Kepemimpinan
Masalah kepemimpinan telah muncul bersamaan dengan
dimulainya sejarah manusia, yaitu sejak manusia menyadari
pentingnya hidup berkelompok untuk mencapai tujuan bersama. Mereka
membutuhkan seseorang atau beberapa orang yang mempunyai
kelebihan-kelebihan daripada yang lain, terlepas dalam bentuk apa
kelompok manusia itu dibentuk. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena
manusia selalu mempunyai keterbatasan dan kelebihan-kelebihan
tertentu.
Menurut Yuki (2005), kepemimpinan adalah proses untuk
mempengaruhi orang lain, untuk memahami dan setuju dengan apa yang
perlu dilakukan dan bagaimana tugas itu dilakukan secara efektif, serta
proses untuk memfasilitasi upaya individu dan kolektif untuk mencapai
tujuan bersama. Menurut Robbins (2006), kepemimpinan merupakan
kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah tercapainya
suatu tujuan. Definisi kepemimpinan secara luas meliputi proses
mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku
pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki
kelompok dan budayanya.
Selain itu, kepemimpinan juga mempengaruhi interpretasi
mengenai peristiwa-peristiwa para pengikutnya, pengorganisasian dan
aktivitas-aktivitas untuk mencapai sasaran, memelihara hubungan kerja
sama dan kerja kelompok, perolehan dukungan dan kerja sama dari
orang-orang di luar kelompok atau organisasi (Rivai, 2004). Demikian
halnya Locander et al. (2002) menjelaskan bahwa kepemimpinan
mengandung makna pemimpin mempengaruhi yang dipimpin tapi
hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin bersifat saling
menguntungkan kedua belah pihak. Lok (2001) memandang
kepemimpinan sebagai sebuah proses mempengaruhi aktivitas suatu
organisasi dalam upaya menetapkan dan mencapai tujuan.
Menurut Rivai (2004), kepemimpinan juga dikatakan sebagai proses
mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas-aktivitas yang ada
hubungannya dengan pekerjaan para anggota kelompok. Tiga implikasi
penting yang terkandung dalam hal ini yaitu :
1. Kepemimpinan itu melibatkan orang lain baik itu bawahan maupun
pengikut
2. Kepeminpinan melibatkan pendistribusian kekuasaan antara
pemimpin dan anggota kelompok secara seimbang, karena anggota
kelompok bukanlah tanpa daya.
3. Adanya kemampuan untuk menggunakan bentuk kekuasaan yang
berbeda untuk mempengaruhi tingkah laku pengikutnya melalui
berbagai cara.
Siagian (1997) berpendapat bahwa peranan para pemimpin dalam
organisasi sangat sentral dalam pencapaian tujuan dari berbagai sasaran
yang ditetapkan sebelumnya. Menurut Siagian (1997) perilaku
kepemimpinan memiliki kecenderungan pada dua hal yaitu konsiderasi
atau hubungan dengan bawahan dan struktur inisiasi atau hasil yang
dicapai. Kecenderungan kepemimpinan menggambarkan hubungan yang
akrab dengan bawahan misalnya bersikap ramah, membantu dan
membela kepentingan bawahan, bersedia menerima konsultasi bawahan
dan memberikan kesejahteraan. Kecenderungan seorang pemimpin
memberikan batasan antara peranan pemimpin dan bawahan dalam
mencapai tujuan, memberikan instruksi pelaksanaan tugas (kapan,
bagaimana dan hasil apa yang akan dicapai). Suatu gaya pemimpin atau
manajer dalam organisasi merupakan penggambaran langkah kerja bagi
pegawai yang berada di bawahnya.
Kepemimpinan adalah proses yang digunakan oleh pemimpin untuk
mengarahkan organisasi dan pemberian contoh perilaku terhadap para
pengikut (anak buah) (Fuad Mas’ud, 2004). Sedangkan gaya
kepemimpinan merupakan norma perilaku yang dipergunakan oleh
seseorang pada saat mencoba mempengaruhi perilaku orang lain atau
bawahan. Pemimpin tidak dapat menggunakan gaya kepemimpinan yang
sama dalam memimpin bawahannya, namun harus disesuaikan dengan
karakter-karakter tingkat kemampuan dalam tugas setiap bawahannya.
Pemimpin yang efektif dalam menerapkan gaya tertentu dalam
kepemimpinannya terlebih dahulu harus memahami siapa bawahan yang
dipimpinnya, mengerti kekuatan dan kelemahan bawahannya, dan
mengerti bagaimana cara memanfaatkan kekuatan bawahan untuk
mengimbangi kelemahan yang mereka miliki. Istilah gaya adalah cara
yang dipergunakan pimpinan dalam mempengaruhi para pengikutnya
(Miftah Thoha, 2001).
Rumusan kepemimpinan dari sejumlah ahli tersebut menunjukkan
bahwa dalam suatu organisasi terdapat orang yang mempunyai
kemampuan untuk mempengaruhi, mengarahkan, membimbing dan juga
sebagian orang yang mempunyai kegiatan untuk mempengaruhi perilaku
orang lain agar mengikuti apa yang menjadi kehendak dari pada atasan
atau pimpinan mereka. Karena itu, kepemimpinan dapat dipahami sebagai
kemampuan mempengaruhi bawahan agar terbentuk kerjasama di dalam
kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. Apabila orang-orang yang
menjadi pengikut atau bawahan dapat dipengaruhi oleh kekuatan
kepemimpinan yang dimiliki oleh atasan maka mereka akan mau
mengikuti kehendak pimpinannya dengan sadar, rela, dan sepenuh hati.
Dalam dua dasawarsa terakhir, konsep transaksional (transactional
leadership) dan transformasional (transformational leadership)
berkembang dan mendapat perhatian banyak kalangan akademisi
maupun praktisi (Locander et.al., 2002; Yammarino et.al., 1993). Hal ini
menurut Humphreys (2002) maupun Liu et.al. (2003) disebabkan konsep
yang dipopulerkan oleh Bass pada tahun 1995 ini mampu mengakomodir
konsep kepemimpinan yang mempunyai spektrum luas, termasuk
mencakup pendekatan perilaku, pendekatan situasional, sekaligus
pendekatan kontingensi. Oleh karena itu, penelitian ini memusatkan pada
konsep kepemimpinan transformasional dan transaksional, yaitu :
1. Kepemimpinan Transformasional
Jika kepemimpinan transaksional mendasarkan diri pada prinsip
pertukaran maka kepemimpinan transformasional
(transformational leadership) berdasarkan prinsip
pengembangan bawahan (follower development). Pemimpin
transformasional mengevaluasi kemampuan dan potensi
masing-masing bawahan untuk menjalankan suatu
tugas/pekerjaan, sekaligus melihat kemungkinan untuk
memperluas tanggung jawab dan kewenangan bawahan di
masa mendatang. Sebaliknya, pemimpin transaksional
memusatkan pada pencapaian tujuan atau sasaran, namun tidak
berupaya mengembangkan tanggung jawab dan wewenang
bawahan demi kemajuan bawahan. Perbedaan tersebut
menyebabkan konsep kepemimpinan transaksional dan
transformasional diposisikan pada satu kontinum dimana
keduanya berada pada ujung yang berbeda (Dvir et.al., 2002).
Humphreys (2002) menegaskan bahwa hubungan antara atasan
dengan bawahan dalam konteks kepemimpinan
transformasional lebih dari sekedar pertukaran “komoditas”
(pertukaran imbalan secara ekonomis), tapi sudah menyentuh
sistem nilai (value system). Pemimpin transformasional mampu
menyatukan seluruh bawahannya dan mampu mengubah
keyakinan (beliefs), sikap, dan tujuan pribadi masing-masing
bawahan demi mencapai tujuan, bahkan melampaui tujuan yang
ditetapkan (Humphreys, 2002; Liu et.al., 2003; Rafferty & Griffin,
2004..
Bass et.al (2003) serta Humphreys (2002) menjelaskan
kemampuan pemimpin transformasional mengubah sistem nilai
bawahan demi mencapai tujuan diperoleh dengan
mengembangkan salah satu atau seluruh faktor yang
merupakan dimensi kepemimpinan transformasional, yaitu :
karisma (kemudian diubah menjadi pengaruh ideal atau
idealized influence), inspirasi (inspirational motivation),
pengembangan intelektual (intellectual stimulation), dan
perhatian pribadi (individualized consideration).
Idealized influence menurut Sarros dan Santora (2001)
merupakan perilaku (behavior) yang berupaya mendorong
bawahan untuk menjadikan pemimpin mereka sebagai panutan
(role model). Pada mulanya, dimensi ini dinamakan karisma,
namun karena mendapat banyak kritik maka istilah karisma
diubah menjadi pengaruh ideal atau visi. Aspek kritikal karisma
adalah kekuatan spiritual (transcendent power) yang diyakini
oleh bawahan dimiliki oleh pemimpinnya, sehingga bawahan
percaya sepenuhnya dan mau melakukan apa saja demi
pemimpinnya (true believer). Aspek tersebut tidak dimiliki oleh
setiap orang dan selama ini tidak tercakup dalam kajian
kepemimpinan transformasional, sehingga dimensi ini tidak tepat
disebut karisma. Kajian mengenai dimensi ini lebih terpusat pada
pemimpin yang memiliki visi jauh kedepan dan mampu
menanamkan visi tersebut dalam diri bawahan (Rafferty &
Griffin, 2004).
Lebih jauh, pemimpin yang mempunyai idealized influence selain
mampu mengubah pandangan bawahan tentang apa yang
penting untuk dicapai pada saat ini maupun masa mendatang
(visi), juga mau dan mampu berbagi resiko dengan bawahan,
teguh dengan nilai, prinsip, dan pendiriannya, sehingga
bawahan percaya, loyal, dan menghormatinya (Bass et.al., 2003;
Humphreys, 2002; Sarros & Santora, 2001; Yammarino et.al.,
1993).
Idealized influence merupakan dimensi terpenting kepemimpinan
transformasional karena memberikan inspirasi dan
membangkitkan motivasi bawahan (secara emosional) untuk
menyingkirkan kepentingan pribadi demi pencapaian tujuan
bersama (Humphreys, 2002; Rafferty & Griffin, 2004).
Inspirational motivation menurut Humphreys (2002) serta
Rafferty dan Griffin (2004) memiliki korelasi yang erat dengan
idealized influence. Seperti dijelaskan sebelumnya, pemimpin
transformasional memberi inspirasi kepada bawahan untuk
memusatkan perhatian pada tujuan bersama dan melupakan
kepentingan pribadi. Inspirasi dapat diartikan sebagai tindakan
atau kekuatan untuk menggerakkan emosi dan daya piker orang
lain (Rafferty & Griffin, 2004).
Keeratan dua dimensi yaitu inspirational motivation dan idealized
influence ini mendorong munculnya pandangan untuk
menyatukan kedua dimensi ini dalam satu konstruk. Namun
dalam penelitian ini, idealized influence dan inspirational
motivation diposisikan sebagai dua konstruk yang berbeda
dimana idealized influence mempunyai makna lebih dalam
daripada inspirational motivation, atau dengan kata lain,
inspirational motivation merupakan sisi luar atau perwujudan
idealized influence (Humphreys, 2002; Rafferty & Griffin, 2004).
Inspirational motivation menurut Humphreys (2002) berbentuk
komunikasi verbal atau penggunaan simbol-simbol yang
ditujukan untuk memacu semangat bawahan. Pemimpin
memotivasi bawahan akan arti penting visi dan misi organisasi
sehingga seluruh bawahannya terdorong untuk memiliki visi
yang sama. Kesamaan visi memacu bawahan untuk bekerja
sama mencapai tujuan jangka panjang dengan optimis.
Sehingga pemimpin tidak saja membangkitkan semangat
individu tapi juga semangat tim (Bass et.al., 2003).
Intellectual stimulation, merupakan faktor penting kepemimpinan
transformasional yang jarang memperoleh perhatian (Rafferty &
Griffin, 2004). Intellectual stimulation merupakan perilaku yang
berupaya mendorong perhatian dan kesadaran bawahan akan
permasalahan yang dihadapi. Pemimpin kemudian berusaha
mengembangkan kemampuan bawahan untuk
menyelesaikan permasalahan dengan pendekatan-
pendekatan atau perspektif baru. Dampak intellectual stimulation
dapat dilihat dari peningkatan kemampuan bawahan dalam
memahami dan menganalisis permasalahan serta kualitas
pemecahan masalah (problem solving quality) yang ditawarkan
(Rafferty & Griffin, 2004; Yammarino et.al., 1993).
Bass et.al (2003) serta Sarros dan Santora (2001)
berpandangan bahwa intellectual stimulation pada prinsipnya
memacu bawahan untuk lebih kreatif dan inovatif dalam
memahami dan memecahkan masalah. Bawahan didorong
untuk meninggalkan cara-cara atau metode-metode lama dan
dipacu untuk memberikan ide dan solusi baru. Bawahan bebas
menawarkan metode baru dan setiap ide baru tidak akan
mendapat kritikan atau celaan. Sebaliknya, pemimpin berusaha
meningkatkan moral bawahan untuk berani berinovasi.
Pemimpin bersikap dan berfungsi membina dan mengarahkan
inovasi dan kreativitas bawahan.
Individualized consideration atau perhatian pribadi.
Individualized consideration mengarah pada pemahaman dan
perhatian pemimpin pada potensi dan kemampuan yang dimiliki
oleh setiap bawahannya. Pemimpin menyadari perbedaan
kemampuan, potensi, dan juga kebutuhan bawahan. Pemimpin
memandang setiap bawahannya sebagai aset organisasi. Oleh
sebab itu, pemahaman pemimpin akan potensi dan kemampuan
setiap bawahan memudahkannya membina dan mengarahkan
potensi dan kemampuan terbaik setiap bawahan (Bass et.al.,
2003; Sarros & Santora, 2001; Yammarino et.al., 1993).
2. Kepemimpinan Transaksional
Kepemimpinan transaksional (transactional leadership)
mendasarkan diri pada prinsip transaksi atau pertukaran antara
pemimpin dengan bawahan. Pemimpin memberikan imbalan
atau penghargaan tertentu (misalnya, bonus) kepada bawahan
jika bawahan mampu memenuhi harapan pemimpin (misalnya,
kinerja pegawai tinggi). Di sisi lain, bawahan berupaya
memenuhi harapan pemimpin disamping untuk memperoleh
imbalan atau penghargaan, juga untuk menghindarkan diri dari
sanksi atau hukuman.
Dalam transactional leadership tercipta hubungan mutualisme dan
kontribusi kedua belah pihak akan memperoleh imbalan (Bass et.al.,
2003; Humphreys, 2002; Liu et.al., 2003; Yammarino et.al., 1993). Sarros
dan Santora (2001) menyebutkan bahwa imbalan yang dikejar dua belah
pihak lebih bersifat ekonomi. Kebutuhan fisik dan materi bawahan
berusaha dipenuhi oleh pemimpin dan sebagai balasannya, pemimpin
memperoleh imbalan berupa performa bawahan yang tinggi.
Waldman et.al. (2002) mengemukakan bahwa kepemimpinan
transaksional “beroperasi” pada sistem atau budaya yang sudah ada
(existing) dan tujuannya adalah memperkuat strategi, sistem, atau budaya
yang sudah ada, bukan bermaksud untuk mengubahnya. Oleh sebab itu,
pemimpin transaksional selain berusaha memuaskan kebutuhan bawahan
untuk “membeli” performa, juga memusatkan perhatian pada
penyimpangan, kesalahan, atau kekeliruan bawahan dan berupaya
melakukan tindakan korektif. Humphreys (2002) serta Yammarino et.al.
(1993) menyebutkan bahwa kepemimpinan transaksional paling banyak
ditemui dalam kehidupan sehari-hari, sehingga berkembang menjadi
paradigm praktek kepemimpinan dalam organisasi.
Kepemimpinan transaksional menurut beberapa pakar memiliki dua
karakter yang dinamakan contingent reward dan management by
exception. Pemimpin transaksional yang mempunyai karakter contingent
reward akan menjelaskan tujuan dan sasaran yang hendak dicapainya
dan mengarahkan bawahan untuk mencapainya. Besar kecilnya imbalan
(reward) akan tergantung pada (contingent) sejauhmana bawahan
mencapai tujuan dan sasaran tersebut (Bass et.al., 2003; Humphreys,
2002; Yammarino et.al., 1993). Sedangkan pemimpin transaksional
berkarakter management by exception dapat dibagi lagi ke dalam dua
sifat, yaitu aktif dan pasif.
Pada active management by exception, pemimpin menetapkan
tujuan dan sasaran yang hendak dicapai berikut standar kerja yang harus
dipatuhi. Jika terjadi penyimpangan, pemimpin tidak segan menjatuhkan
sanksi kepada bawahan. Pemimpin dengan sifat seperti ini akan
cenderung mengawasi bawahan dengan ketat dan segera melakukan
tindakan korektif apabila muncul penyimpangan, kekeliruan, atau
kesalahan. Sementara passive management by exception pemimpin
menghindari tindakan korektif atau “keributan” dengan bawahan selama
tujuan dan sasaran yang disepakati bersama tercapai (Bass et.al., 2003;
Humphreys, 2002; Yammarino et.al., 1993).
Bass et.al. (2003) maupun Sarros dan Santora (2001) menjelaskan
bahwa karakter contingent reward menggambarkan hubungan timbal balik
yang positif antara pemimpin dengan bawahan, karena pemimpin
memberikan penjelasan dan pengarahan dalam proses mencapai tujuan
sebagai upaya memacu performa bawahan. Di sisi lain, bawahan
terdorong untuk mengerahkan kemampuan terbaik karena besar kecilnya
imbalan akan tergantung pada sejauhmana mereka mencapai tujuan.
Sebaliknya, management by exception (aktif maupun pasif) menurut
Yammarino et.al (1993) dapat berdampak negatif terhadap kinerja
bawahan karena bawahan takut membuat kesalahan untuk menghindari
sanksi sehingga merasa bekerja di bawah tekanan. Kondisi ini
menyebabkan proses organisasi tidak akan berjalan efektif.
Sedangkan passive management by exception tidak mendorong
bawahan untuk bekerja dengan giat. Selama target tercapai dan sistem
organisasi berjalan sebagaimana mestinya maka semua orang merasa
bahagia. Tidak ada petualangan atau tantangan baru dalam bekerja.
Kondisi tersebut akan membawa kejenuhan pada bawahan sehingga
kinerja organisasi tidak akan maksimal (Sarros & Santora, 2001).
Penelitian Shea, Christine M. (1999) yang berjudul : The Effect of
Leadership Style on Performance Improvement on a Manufacturing Task,
mengatakan bahwa gaya kepemimpinan berpengaruh positif terhadap
peningkatan kinerja. Memberikan kontribusi yang memperkuat pengaruh
gaya kepemimpinan terhadap kinerja pegawai. Hasil penelitian
Yammarino et.al. (1993) membuktikan kepemimpinan transformasional
memiliki bobot pengaruh terhadap kinerja pegawai yang lebih kuat
dibandingkan kepemimpinan transaksional.
Demikian pula dengan Humphreys (2002) yang menegaskan bahwa
hubungan antara atasan dengan bawahan dalam konteks kepemimpinan
transformasional lebih dari sekedar perukaran “komoditas” (pertukaran
imbalan secara ekonomis), tapi sudah menyentuh sistem nilai (value
system). Pemimpin transformasional mampu menyatukan seluruh
bawahannya dan mampu mengubah keyakinan (beliefs), sikap, dan tujuan
pribadi masing-masing bawahan demi mencapai tujuan, bahkan
melampaui tujuan yang ditetapkan.
Penelitian yang dilakukan oleh Soon Hee Kim (2002), hasil dari
analisis multiple regression memperlihatkan bahwa penggunaan gaya
manajemen partisipatif oleh manajer secara positif dihubungkan dengan
tingkat yang tinggi dari kepuasan kerja. Banyak manajer, pemimpin
perserikatan dan akademis membagi kepercayaan bahwa praktek
manajemen partisipatif mempunyai pengaruh positif yang substansial
terhadap kinerja dan kepuasan dalam pekerjaan.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian, Yammarino et.al. (1993)
menyimpulkan terdapat hubungan positif antara kepemimpinan
transformasional dengan kinerja pegawai dan hubungan tersebut lebih
kuat jika dibandingkan hubungan kepemimpinan transaksional dengan
kinerja pegawai. Hasil penelitian Yammarino et.al. (1993) membuktikan
kepemimpinan transformasional memiliki bobot pengaruh terhadap kinerja
pegawai yang lebih kuat dibandingkan kepemimpinan transaksional
(management by exception).
Studi Bass et.al. (2003) juga menunjukkan pengaruh yang lebih
kuat kepemimpinan transformasional terhadap kinerja pegawai
dibandingkan kepemimpinan transaksional. Bass et.al. (2003)
menjelaskan kepemimpinan transformasional fokus pada pengembangan
diri bawahan, mendorong bawahan berpikir dan bertindak inovatif untuk
menyelesaikan masalah dan mencapai tujuan dan sasaran organisasi,
memacu optimism dan antusiasme terhadap pekerjaan sehingga
seringkali kinerja pegawai yang ditunjukkan bawahan melebihi harapan.
Kondisi tersebut berlawanan dengan gaya kepemimpinan transaksional
yang lebih mementingkan target berdasarkan prinsip pertukaran yang
justru dapat berdampak negatif dalam jangka panjang.
Penelitian Humphreys (2002) dalam lingkup industri jasa lebih jauh
membuktikan peranan kritikal kepemimpinan transformasional dalam
meningkatkan kinerja pegawai. Bono dan Judge (2003) secara empiris
juga menemukan kepemimpinan transformasional mempengaruhi kinerja
pegawai. Kinerja dalam penelitian Bono dan Judge (2003) diukur dari
banyak aspek, baik yang bersifat obyektif maupun subyektif, sehingga
mereka menyimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional akan
mempengaruhi kinerja pegawai dalam situasi apapun.
Dari uraian tentang landasan teori gaya kepemimpinan dapat
disimpulkan bahwa pada dasarnya gaya kepemimpinan adalah
merupakan interaksi dari seorang pemimpin dengan bawahannya. Dalam
interaksi tersebut terdapat dua orientasi perilaku pemimpin dalam
berinteraksi dengan bawahan, pertama orientasi hubungan, kedua pada
tugas, selain hal tersebut juga perilaku yang mempertimbangkan kondisi
situasional. Secara lebih spesifik gaya kepemimpinan yang dikembangkan
di lingkungan Dinas Peternakan dan Perikanan di Kabupaten Musi Rawas
pada dasarnya mengacu pada pola perilaku yang berorientasi pada
hubungan dicerminkan pada kepemimpinan di Dinas Peternakan dan
Perikanan Kabupaten Musi Rawas yang egaliter, non-diskriminatif,
kebersamaan, sedangkan orientasi pada tugas dicerminkan pada sifat
pelayanan publik dan apresiatif.
H1: Gaya kepemimpinan berpengaruh positif terhadap kinerja pegawai.
Berdasarkan pada uraian tentang gaya kepemimpinan dan
kepuasan kerja, dapat ditarik suatu hubungan, bahwa gaya kepemimpinan
sebagai bentuk dari perilaku interaksi hubungan antara pemimpin dengan
bawahan dapat berpengaruh terhadap kepuasan kerja, dimana salah satu
faktor yang menyebabkan tinggi rendahnya kepuasan kerja akibat dari
pola hubungan antara atasan dan bawahan. Logika diatas didukung dari
beberapa hasil penelitian sebagai berikut : Ada hubungan yang positif dan
sangat signifikan antara gaya kepemimpinan transformasional dengan
kepuasan kerja pegawai Dinas Peternakan dan Perikanan di Kabupaten
Musi Rawas. Surapati (Nurbaiti, 2003). Hasil penelitian Fuller & Morrison
(1999) tentang dampak kepemimpinan transformasional terhadap tingkat
kepuasan kerja para pekerja, menghasilkan hubungan perilaku
kepemimpinan transformasional dihubungkan dengan sejumlah dampak
penting bagi organisasi upaya kerja ekstra, perilaku organisasi, dan
kepuasan kerja. H5: Gaya kepemimpinan berpengaruh positif terhadap
kepuasan kerja.
2.3. Disiplin Kerja
2.3.1. Pengertian Disiplin Kerja
Kata disiplin itu sendiri berasal dari bahasa Latin “discipline” yang
berarti “latihan atau pendidikan kesopanan dan kerohanian serta
pengembangan tabiat”. Hal ini menekankan pada bantuan kepada
pegawai untuk mengembangkan sikap yang layak terhadap pekerjaannya.
Disiplin merupakan suatu kekuatan yang berkembang di dalam tubuh
pekerja sendiri yang menyebabkan dia dapat menyesuaikan diri dengan
sukarela kepada keputusan-keputusan, peraturan-peraturan, dan nilai-nilai
tinggi dari pekerjaan dan tingkah laku (Asmiarsih 2006:23).
Menurut Fathoni (2006) kedisiplinan adalah kesadaran dan
kesediaan seseorang menaati semua peraturan perusahaan dan norma-
norma sosial yang berlaku. Kedisiplinan dapat diartikan bilamana
karyawan selalu datang dan pulang tepat pada waktunya, mengerjakan
semua pekerjaannya dengan baik, mematuhi semua peraturan
perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku. Kedisiplinan harus
ditegakkan dalam suatu organisasi perusahaan, karena tanpa dukungan
disiplin karyawan yang baik maka sulit perusahaan untuk mewujudkan
tujuannya.
Malayu (2007: 193) mendefinisikan bahwa kedisiplinan adalah
kesadaran dan kesediaan seseorang menaati semua peraturan
perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku. Kesadaran adalah
sikap seseorang yang secara sukarela menaati semua peraturan dan
sadar akan tugas dan tanggung jawabnya. Kesediaan adalah suatu sikap,
tingkah laku, dan perbuatan seseorang yang sesuai dengan peraturan
perusahaan, baik yang tertulis maupun tidak.
Menurut William B. Wether, JR dan Keith Davis (2003: 548) disiplin
adalah tindakan manajemen yang menganjurkan agar tunduk pada
standar-standar organisasi. Dari beberapa definisi tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa disiplin adalah sikap dan perbuatan seseorang dalam
mentaati dan menjalankan semua peraturan perusahaan yang berlaku
baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis dan siap menerima sanksi
apabila melanggarnya.
Pada dasarnya banyak faktor yang mempengaruhi tingkat
kedisiplinan karyawan suatu perusahaan menurut Malayu (2007: 194):
Tujuan dan kemampuan, Teladan pemimpin, Partisipasi, Keadilan,
Pengawasan melekat, Sanksi hukum, Ketegasan danHubungan
kemanusiaan.
Untuk mengetahui disiplin kerja seseorang, maka terlebih dahulu
harus mengetahui indikator-indikatornya. Adapun beberapa indikator yang
termasuk dalam disiplin menurut Malayu (2007: 194) adalah Ketaatan,
Tepat waktu, Keseragaman dalam berpakaian, Keteladanan, Kejujuran,
Menciptakan suasana kerja yang baik.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dapat disimpulkan
bahwa disiplin kerja pegawai merupakan sikap atau tingkah laku yang
menunjukkan kesetiaan dan ketaatan seseorang atau sekelompok orang
terhadap peraturan yang telah ditetapkan oleh instansi atau organisasinya
baik yang tertulis maupun tidak tertulis sehingga diharapkan pekerjaan
yang dilakukan efektif dan efesien.
Newstrom dalam Asmiarsih (2006) menyatakan bahwa disiplin
mempunyai 3 (tiga) macam bentuk, yaitu :
1. Disiplin Preventif
Disiplin preventif adalah tindakan SDM agar terdorong untuk
menaati standar atau peraturan. Tujuan pokoknya adalah
mendorong SDM agar memiliki disiplin pribadi yang tinggi, agar
peran kepemimpinan tidak terlalu berat dengan pengawasan atau
pemaksaan, yang dapat mematikan prakarsa dan kreativitas serta
partisipasi SDM.
2. Disiplin Korektif
Disiplin korektif adalah tindakan dilakukan setelah terjadi
pelanggaran standar atau peraturan, tindakan tersebut dimaksud
untuk mencegah timbulnya pelanggaran lebih lanjut. Tindakan itu
biasanya berupa hukuman tertentu yang biasa disebut sebagai
tindakan disipliner, antara lain berupa peringatan, skors,
pemecatan.
3. Disiplin Progresif
Disiplin progresif adalah tindakan disipliner berulang kali berupa
hukuman yang makin berat, dengan maksud agar pihak pelanggar
bisa memperbaiki diri sebelum hukuman berat dijatuhkan.
Menurut Hasibuan (2005:194-198) Pada dasarnya banyak indikator
yang mempengaruhi tingkat kedisiplinan karyawan suatu organisasi, di
antaranya :
1. Tujuan dan kemampuan
Tujuan dan kemampuan ini mempengaruhi tingkat kedisiplinan
karyawan. Tujuan yang akan dicapai harus jelas dan ditetapkan
secara ideal serta cukup menantang bagi kemampuan karyawan.
Hal ini berarti bahwa pekerjaan yang dibebankan kepada karyawan
harus sesuai dengan kemampuan karyawan bersangkutan agar
karyawan tersebut bekerja dengan sungguh-sungguh dan disiplin
dalam mengerjakannya.
Akan tetapi, jika pekerjaan itu diluar kemampuannya atau jauh di
bawah kemampuannya maka kesungguhan dan kedisiplinan
karyawan rendah. Disinilah letak pentingnya axas the right man in
the right place and the right man in the right job.
2. Teladan pimpinan
Teladan pimpinan sangat berperan dalam menentukan kedisiplinan
karyawan karena pimpinanan dijadikan teladan dan panutan oleh
para bawahannya. Pimpinan harus memberi contoh yang baik,
berdisiplin baik, jujur, adil, serta sesuai dengan perbuatan. Dengan
teladan pimpinan yang baik, kedisiplinan bawahan akan ikut baik.
Jika teladan pimpinan kurang baik (kurang berdisiplin), para
bawahan pun akan kurang disiplin.
Pimpinan jangan mengharapkan kedisiplinan bawahannya baik jika
dia sendiri kurang disiplin. Pimpinan harus menyadari bahwa
perilakunya akan dicontoh dan diteladani bawahannya. Hal inilah
yang mengharuskan pimpinan mempunyai kedisiplinan yang baik
agar para bawahan pun mempunyai disiplin yang baik pula
3. Balas Jasa
Balas jasa atau gaji, kesejahteraan ikut mempengaruhi kedisiplinan
karyawan, karena balas jasa akan memberikan kepuasan dan
kecintaan karyawan terhadap perusahaan. Jika kecintaan
karyawan semakin tinggi terhadap pekerjaan kedisiplinan akan
semakin baik.
Untuk mewujudkan kedisiplinan karyawan yang baik perusahaan
harus memberikan balas jasa yang relatif besar. Kedisiplinan
karyawan tidak mungkin baik apabila balas jaasa yang mereka
terima kurang memuaskan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
beserta keluarga.
Jadi, balas jasa barperan penting untuk menciptakan kedisiplinan
karyawan. Artinya semakin besar balas jasa semakin baik
kedisiplinan karyawan. Sebaliknya, apabila balas jasa kecil
kedisplinan karyawan menjadi rendah. Karyawan sulit untuk
berdisiplin baik selama kebutuhan-kebutuhan primernya tidak
terpenuhi dengan baik.
4. Keadilan
Keadilan ikut mendorong terwujudnya kedisplinan karyawan,
karena ego dan sifat manusia yang selalu merasa dirinya penting
dan minta diperlakukan sama ddengan manusia lainnya.
Keadilan yang dijadikan dasar kebijakan dalam pemberian balas
jasa atau hukuman akan tercipta kedisiplinan yang baik. Manajer
yang baik dalam memimpin selalu berusaha bersikap adil terhadap
semua karyawan. Dengan keadilan yang baik akan menciptakan
kedisiplinan yang baik pula.
5. Waskat (pengawasan melekat)
Waskat adalah tindakan nyata paling efektif dalam mewujudkan
kedisiplinan karyawan perusahaan. Dengan waskat berarti atasan
harus aktif dan langsung mengatasi perilaku, moral, sikap, gairah
kerja dan prestasi kerja bawahannya.
6. Sanksi hukuman
Sanksi hukuman berperan penting dalam memelihara kedisiplinan
karyawan. Dengan sanksi hukuman yang semakin berat, karyawan
akan semakin takut melanggar peraturan-peraturan perusahaan.
Berat atau ringan sanksi hukuman yang akan diterapkan ikut
mempengaruhi baik buruknya kedisiplinan karyawan.
7. Ketegasan
Ketegasan pimpinan dalam melakukan tindakan akan
mempengaruhi kedisiplinan karyawan perusahaan, pimpinan harus
berani dan tegas bertindak untuk memberikan sanksi sesuai
dengan yang telah ditetapkan perusahaan sebelumnya. Dengan
demikian pimpinan akan dapat memelihara kedisiplinan karyawan
perusahaan.
8. Hubungan kemanusiaan
Hubungan kemanusiaan yang harmonis diantara sesama karyawan
ikut menciptakan kedisiplinan yang baik pada suatu perusahaan.
Manajer harus berusaha menciptakan suasana hubungan
kemanusiaan yang serasi baik diantara semua karyawan.
Kedisiplinan karyawan akan tercipta apabila hubungan
kemanusiaan dalam organisasi tersebut baik.
Prinsip-prinsip pendisiplinan yang dikemukakan Ranupandojo
dalam Asmiarsih (2006) adalah :
1. Pendisiplinan dilakukan secara pribadi
Pendisiplinan seharusnya dilakukan dengan memberikan teguran
kepada karyawan. Teguran jangan dilakukan di hadapan orang
banyak. Karena dapat menyebabkan karyawan yang ditegur akan
merasa malu dan tidak menutup kemungkinan menimbulkan rasa
dendam yang dapat merugikan organisasi.
2. Pendisiplinan harus bersifat membangun.
Selain memberikan teguran dan menunjukkan kesalahan yang
dilakukan karyawan, harus disertai dengan saran tentang
bagaimana seharusnya berbuat untuk tidak mengulangi lagi
kesalahan yang sama.
3. Pendisiplinan harus dilakukan sacara langsung dengan segera.
Suatu tindakan dilakukan dengan segera setelah terbukti bahwa
karyawan telah melakukan kesalahan. Jangan membiarkan
masalah menjadi kadaluarsa sehingga terlupakan oleh karyawan
yang bersangkutan
4. Keadilan dalam pendisiplinan sangat diperlukan.
Dalam tindakan pendisiplinan dilakukan secara adil tanpa pilih
kasih. Siapapun yang telah melakukan kesalahan harus mendapat
tindakan pendisiplinan secara adil tanpa membeda-bedakan.
5. Pimpinan hendaknya tidak melakukan pendisiplinan sewaktu
karyawan absent
Pendisiplinan hendaknya dilakukan dihadapan karyawan yang
bersangkutan secara pribadi agar ia tahu telah melakukan
kesalahan. Karena akan percuma pendisiplinan yang dilakukan
tanpa adanya pihak yang bersangkutan.
6. Setelah pendisiplinan sikap dari pimpinan haruslah wajar kembali.
Sikap wajar hendaknya dilakukan pimpinan terhadap karyawan
yang telah melakukan kesalahan tersebut. Dengan demikian,
proses kerja dapat lancar kembali dan tidak kaku dalam bersikap.
2.4. Kerangka Pemikiran
Disiplin yang baik mencerminkan besarnya rasa tanggung jawab
seseorang terhadap tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Hal ini
mendorong gairah kerja, semangat kerja dan terwujudnya tujuan
perusahaan, karyawan dan masyarakat. Oleh karena itu, setiap manajer
selalu berusaha agar bawahannya mempunyai disiplin yang baik. Seorang
manajer dikatakan efektif dalam kepemimpinannya, jika para bawahannya
berdisiplin baik. displin kerja merupakan suatu bentuk kesediaan dan
kesadaran dari seseorang untuk tunduk dan patuh terhadap semua
peraturan dan norma-norma sosial perusahaan, serta sanggup menerima
sanksi apabila melanggarnya. Dengan disiplin yang baik maka
kinerja/prestasi kerja karyawan akan meningkat karena segala sesuatu
dikerjakan dan dilakukan sesuai peraturan.