bab ii
TRANSCRIPT
19
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Tentang Dajjal Dari Al Qur’an Dan Al Hadist
1. Tinjauan dari Al Qur’an
Di dalam Al Qur’an sangat banyak kisah tentang Yahudi seperti
dalam QS. Al Baqoroh:120
Artinya: Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu” (Al Qur’an Depag RI).
Dalam kasus ini menurut peneliti ada kaitannya pemakaian simbol
yang ada di media massa adalah simbol Yahudi Israel sebagai salah satu
cara untuk mempengaruhi umat muslim agar mau mengikuti agama
mereka. Di sini simbol-simbol yang akan diteliti adalah Simbol Yahudi
Israel yang sengaja diproduksi. Dalam QS. Al Baqoroh:120 tersebut
menurut peneliti upaya Yahudi Israel dalam menggelincirkan keyakinan
umat Islam agar mengikuti agama mereka, ditempuh melalui berbagai
cara agar kita masuk agama mereka, dalam hal ini mungkin saja yang
sedang diamati oleh peneliti adalah salah satu cara mereka.
Pada awalnya kaum Yahudi (Bani Israil) awalnya adalah kaum
yang dikasihi Allah Swt sebagaimana umat manusia lainnya. Namun
20
disebabkan kecenderungan mereka terhadap kesesatan dan kemusyrikan,
dengan memilih mengikuti Samiri ketimbang Musa a.s., maka Allah Swt
(dalam beberapa ayat dalam Al Qur’an) mengutuk mereka. Sejak itulah
kaum Yahudi ditakdirkan Allah Swt sebagai kaum yang tidak memiliki
tanah di bumi ini. Mereka akan terus menyebar, berdiaspora, di seluruh
penjuru dunia hingga hari akhir. Terkait dengan takdir Allah Swt ini dan
dengan hari akhir, kaum Yahudi terpecah menjadi dua golongan.
Pertama, kaum Zionis dan Kedua, kaum Anti Zionis. Keduanya sepakat
jika di hari akhir mereka akan kembali ke Yerusalem
(www.eramuslim.com).
Kaum Zionis menganggap kaum Yahudi harus sesegera mungkin
menguasai Yerusalem untuk menyambut turunnya kembali Messiah yang
mereka tunggu-tunggu. Oleh sebab itu, dengan segenap kekuatan dan
tipu daya mereka, kaum Zionis ini tanpa kenal lelah terus-menerus
memerangi bangsa Palestina agar seluruh tanah Palestina bisa
dikuasainya. Peperangan yang dilancarkan kaum Zionis ini adalah
peperangan agama. Sedang kaum Yahudi yang menentang Zionisme
menganggap jika mereka tidak boleh mendahului Mesiah. Mesiah,
menurut keyakinan mereka, ditugaskan oleh Tuhan untuk kembali turun
ke bumi guna memimpin kaum Yahudi yang tersebar ke seluruh dunia
untuk kembali lagi ke Yerusalem. Mesiahlah yang akan memimpin
mereka untuk kembali ke Yerusalem. Kaum Yahudi yang seperti ini
dikenal sebagai kaum Yahudi ortodoks (www.eramuslim.com).
21
Dalam kepercayaan Zionis-Yahudi yang sesungguhnya berasal dari
kepercayaan Paganisme kuno bernama Kabbalah, di mana Raja Iblis
bernama Lucifer menjadi Tuhannya, simbol-simbol digunakan sebagai
bagian dari ritual mereka. Mereka percaya, setiap simbol mengandung
kekuatan magis yang mampu membawa kebaikan bagi yang
menggunakannya. Misalnya simbol Bintang David dipercaya memiliki
kekuatan menyerap kekuatan semesta dari enam penjuru mata angin.
Selain itu filosofi dari simbol ini sangat banyak dan menjadi salah satu
simbol pagan paling digemari.
Gerakan Zionis besemboyan: “Satu bangsa adalah bangsa Yahudi
dan satu tanah ialah tanah Yahudi”. Tanah air Yahudi berpusatkan di
Gunung Zion. Lambang Zionis adalah Bintang David. Bintang David
terbentuk dari dua buah segitiga sebagai ilustrasi dari pyramid terbalik
dan gunung Zion, jika digabungkan maka akan menjadi Bintang David
seperti yang terlihat. (A.D. El Marzdedeq, 2005: 119-121). Sedangkan
simbol Mata adalah simbol Mata Horus yang bisa dikatakan adalah mata
yang mampu melihat segalanya, yaitu Simbol “Tuhan” yang selalu
mengawasi mereka .
Yahudi Israel bergerak secara rahasia, lalu semakin lama
semakin bergerak terus hingga secara terang-terangan. Pergerakan
mereka tidaklah kita sadari. Mereka dengan cerdik memasukkan “diri
mereka” ke dalam aktifitas umat manusia di berbagai Negara seluruh
22
dunia. Untuk memahami hal tersebut dapat diperhatikan simbol-simbol
organisasi mereka yang tersebar di seluruh dunia sebagai berikut:
2. Tinjauan dari Al Hadist
Beberapa hadits di bawah ini menunjukkan informasi aktual,
khususnya peringatan kepada umat Islam untuk bersatu padu dalam satu
gerakan terpadu (ittihadul-ummah) untuk menghadapi al-Masih ad-Dajjal
yang semakin tampak tanda-tandanya, sebagaimana dijelaskan dalam
beberapa hadist berikut:
Abd bin Humaid menceritakan kepada kami, Abdur Razzaq memberitahukan kepada kami dari Salim dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Golongan Yahudi memerangi kamu lalu kamu dapat menguasai mereka sehingga batu berkata: “Hai orang muslim,ini orang Yahudi dibelakangku,bunuhlah dia.”( (kitab Sunan At Tirmidzi juz III,1992: 727)
Dari Hudzaifah r. a. bahwa Rasulullah saw bersabda: "Suatu saat Dajal akan muncul dengan membawa air dan api. Adapun yang terlihat oleh manusia sebagai air, pada hakikatnya adalah api yang mambakar. Sedangkan yang terlihat oleh manusia sebagai api, pada hakikatnya adalah air yang sejuk dan tawar. Barangsiapa yang mendapatinya diantara kalian, maka hendaknya ia memilih apa yang terlihat sebagai api karena pada hakihatnya ia adalah air tawar lagi baik." (Muttafaqun 'alaihi).
Muhammad bin Abdul A’la Ash Shan’ani menceritakan kepada kami, Al Mut’tamir bin Sulaiman memberitahukan kepada kami dari Ubaidillah bin Umar dari Nafi” dari Rasulullah saw bahwa Beliau ditanya tentang Dajjal lalu Beliau bersabda: “Ingatlah sesungguhnya Tuhanmu tidak buta(buta sebelah) dan sesungguhnya dia(Dajjal) itu buta matanya sebelah kanan seolah-olah matanya itu buah anggur yang hilang cahanya”.( (kitab Sunan At Tirmidzi juz III,1992: 737)
B. Telaah Pustaka
23
Dalam penelitian terdahulu mengenai analisis semiologi yang sudah
banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya diantaranya:
Skripsi dari Titin Sri Rahayu, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UNS tahun 2004 dengan judul “Menguak Pesan Moral Cover Album SLANK
(Studi Pesan Cover Album 1-11 Group Musik Indonesia SLANK Dengan
Analisis Semiologi Komunikasi)”. Dalam penelitian ini membahas dan
menganalisis tentang pemaknaan pada tanda-tanda yang bersifat konotatif
dengan cara proses semiologi, yakni bagaimana makna dibangun dari
hubungan tanda, penanda, interpretant. Dalam hal ini peneliti sebagai penafsir
yang bekerja dengan menggunakan kaidah-kaidah semiologi komunikasi.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pesan moral dan cover album SLANK,
yang dilakukan lima kategorisasi yakni pada kategori pesan perdamaian, hasil
kajian menunjukkan sikap pemberani, komunikator dalam mencapai
kemenangan untuk menyuarakan perdamaian, berhentinya perang dan
menunjukkan sikap kepedulian terhadap masalah yang terjadi di dunia, serta
mengajak komunikan membaca pesan tersebut diharapkan menunjukkan
sikap kepedulian atau simpatinya dan ikut menyuarakan anti perang.
Skripsi Imam Wahyudi, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret tahun 2006 dengan judul
“Islam dan terorisme dalam sinema Amerika (Studi semiotika tentang
persepsi Amerika terhadap simbol-simbol terorisme umat Islam dalam film
Syriana)”. Dalam penelitian ini membahas dan menganalisis tentang simbol-
simbol terorisme yang dilakukan oleh umat Islam. Dengan menggunakan
24
analisis semiotika Roland Barthes maka dipilih scene-scene yang
mengandung simbol-simbol terorisme, selanjutnya simbol tersebut akan
diteliti analisis Barthes. Dalam penelitian ini, pada dasarnya sebuah film
terkandung simbol-simbol yang dapat dimaknai. Setelah sampai pada tahapan
analisis, penelitian ini membuahkan hasil bahwa film syriana mengandung
simbol-simbol terorisme yang dilakukan sebagian umat Islam yang
terangkum dalam kategori pelaku tindak terorisme, sebab dan tujuan
terorisme, ajaran Islam sebagai dasar terorisme, tokoh dan organisasi pro
terorisme. Dalam ketegori pelaku tindak terorisme muncul gambaran-
gambaran bahwa pelaku teror adalah sekelompok umat Islam. Sementara,
terorisme juga digambarkan secara gamblang dengan melakukan praktek jual
beli senjata gelap, peledakan kapal tanker, serta pesan pelaku tindak terorisme
yang melakukan aksi bunuh diri.
Skripsi Pandhu Winata Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial
Dan Ilmu Politik, UNS tahun 2007 dengan judul “Representasi Simbol
Keagamaan Dalam Film Da Vinci Code”. Dalam penelitian ini
mengemukakan dalam film Da Vinci Code memaparkan alur simbolik dari
peradaban Pagan, Yahudi dan Kristen. Penelitian ini memfokuskan
permasalahan pada bagaimana sebuah simbol diinterpretasikan dalam film
The Da Vinci Code karya Ron Howard, mengetahui alur-alur pemaknaannya
serta fungsi mitos-mitos pembentuk makna sebuah simbol. Dalam penelitian
ini sering sekali simbol dijadikan media kampanye tersembunyi untuk sebuah
maksud pesan tertentu, paling tidak itulah yang terdapat dalam film-film
25
Amerika yang mengusung tema kepahlawanan, nasionalisme, hingga
kebebasan. Bila demikian, makna sebuah simbol mengalami perubahan
makna, timbul tenggelam hingga didekontruksi oleh pemegang kekuasaan
atau wewenang melalui perubahan mitos-mitos penyusunnya. Maka akan
terjadi beda pendapat dalam memaknai sebuah simbol yang sama. Di satu
pihak mendapatkan keuntungan sedang yang lain sebaliknya, mengalami
kekerasan simbolik seperti yang diungkapkan Barthes. Menurutnya
pemaknaan simbol-simbol tersebut selalu dipengaruhi kebudayaan
masyarakat pembentuknya melalui mitos-mitos yang biasanya tidak bersifat
empiris, melainkan lebih pada kesepakatan bersama.
C. Tinjauan Tentang Komunikasi
1. Pengertian Komunikasi
Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication
berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis
yang berasal sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna. Jadi,
kalau dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam bentuk
percakapan, maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada
kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan. Kesamaan bahasa
yang dipergunakan dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan
kesamaan makna. Dengan kata lain, mengerti bahasanya saja belum tentu
mengerti makna yang dibawakan oleh bahasa itu. Jelas bahwa percakapan
kedua orang dapat dikatakan komunikatif apabila kedua-duanya, selain
26
mengerti bahasa yang dipergunakan, juga mengerti makna dari bahan yang
dipercakapkan (Effendy, 2006: 9).
Akan tetapi, pengertian komunikasi di atas sifatnya dasariah, dalam
arti kata bahwa komunikasi itu minimal harus mengandung kesamaan
makna antara dua pihak yang terlibat. Dikatakan minimal karena kegiatan
komunikasi tidak hanya informatif, yakni agar orang lain mengerti dan
tahu, tetapi juga persuasif, yaitu agar orang lain bersedia menerima suatu
paham keyakinan, melakukan sesuatu perbuatan atau kegiatan dan lain-
lain.
Peneliti mengamati bahwa apa yang dilakukan oleh para pembuat
simbol modifikasi ini sungguh dengan jeli menyisipkan simbol hasil
design-nya dengan baik. Contoh simbol Bintang David dalam scene
background lagu hikayat cinta yang di populerkan oleh Glenn Fredly
featuring Dewi persik.
Dalam scene background lagu hikayat cinta tersebut lebih mirip
Bintang David daripada hexagonal air. Boy salah satu staff dari Sony
BMG, si pembuat simbol tersebut mengatakan bahwa logo itu adalah
menggambarkan air. Sedangkan Glenn dan Dewi persik sendiri mengaku
tidak tahu tentang simbol tersebut (www.detik.com, 2008)
2. Fungsi dan Tujuan Komunikasi
Dalam (Widjaja, 1993: 9-11) fungsi komunikasi dipandang dari
arti yang lebih luas, tidak hanya diartikan sebagai pertukaran berita dan
pesan tetapi sebagai kegiatan individu dan kelompok mengenai tukar
27
menukar data, fakta dan ide maka fungsinya dalam setiap sistem sosial
adalah:
a. Informasi: pengumpulan, penyimpanan, pemrosesan,
penyebaran berita, data, gambar, fakta dan pesan opini serta komentar
yang dibutuhkan agar dapat dimengerti dan beraksi secara jelas
terhadap kondisi lingkungan dan orang lain agar dapat mengambil
keputusan yang tepat.
b. Sosialisasi (pemasyarakatan): penyediaan sumber ilmu
pengetahuan yang memungkinkan orang bersikap dan bertindak
sebagai anggota masyarakat yang efektif sehingga ia sadar akan fungsi
sosialnya sehingga ia dapat aktif di dalam masyarakat.
c. Motivasi: menjelaskan tujuan setiap masyarakat jangka
pendek maupun jangka panjang, mendorong orang menentukan
pilihannya dan keinginannya, mendorong kegiatan individu dan
kelompok berdasarkan tujuan bersama yang akan dikejar.
d. Perdebatan dan diskusi: menyediakan dan saling menukar
fakta yang diperlukan untuk memungkinkan persetujuan atau
menyelesaikan perbedaan pendapat mengenai masalah publik,
menyediakan bukti-bukti yang relevan yang diperlukan untuk
kepentingan umum agar masyarakat lebih melibatkan diri dalam
masalah yang menyangkut kepentingan bersama di tingkat nasional
dan lokal.
28
e. Pendidikan: pengalihan ilmu pengetahuan sehingga
mendorong perkembangan intelektual, pembentuk watak dan
pendidikan keterampilan dan kemahiran yang diperlukan pada semua
bidang kehidupan.
f. Memajukan kebudayaan; penyebaran hasil kebudayaan dan
seni dengan maksud melestarikan warisan masa lalu, perkembangan
kebudayaan yang memperluas horizon seseorang, membangun
imajinasi dan mendorong kreativitas dan kebutuhan estetikanya.
g. Hiburan: penyebarluasan sinyal, simbol, suara dan image
dari drama, tari, kesenian, kesusasteraan, musik, olah raga, permainan
dan lain-lain untuk rekreasi, kesenangan kelompok dan individu.
h. Integrasi: menyediakan bagi bangsa, kelompok dan
individu kesempatan untuk memperoleh berbagai pesan yang mereka
perlukan agar mereka dapat saling kenal dan mengerti serta
menghargai kondisi, pandangan dan keinginan orang lain (Widjaja,
1993: 9-11).
Sedangkan ada empat tujuan atau motif komunikasi yang perlu
dikemukakan di sini. Tujuan komunikasi pada dasarnya tetap sama,
bagaimanapun hebatnya revolusi elektronika dan revolusi-revolusi lain
yang akan datang (Arnold dan Bowers, 1984; Naisbit.1984 dalam Prof. Dr.
Astrid S.Susanto-Sunarto: 1995) mengemukakan bahwa tujuan
komunikasi adalah sebagai berikut:
29
a. Menemukan
Salah satu tujuan utama komunikasi menyangkut penemuan diri
(personal discovery). Bila anda berkomunikasi dengan orang lain, anda
belajar mengenai diri sendiri selain juga tentang orang lain.
Kenyataannya, persepsi-diri anda sebagian besar dihasilkan dari apa
yang telah anda pelajari tentang diri sendiri dari orang lain selama
komunikasi, khususnya dalam perjumpaan-perjumpaan antarpribadi.
Dengan berbicara tentang diri kita sendiri dengan orang lain kita
memperoleh umpan balik yang berharga mengenai perasaan, pemikiran,
dan perilaku kita. Dari perjumpaan seperti ini kita menyadari, misalnya
bahwa perasaan kita ternyata tidak jauh berbeda dengan perasaan orang
lain. Pengukuhan positif ini membantu kita merasa "normal."
Cara lain di mana kita melakukan penemuan diri adalah melalui
proses perbandingan sosial, melalui perbandingan kemampuan, prestasi,
sikap, pendapat, nilai, dan kegagalan kita dengan orang lain. Artinya,
kita mengevaluasi diri sendiri sebagian besar dengan cara
membandingkan diri kita dengan orang lain.
Dengan berkomunikasi kita dapat memahami secara lebih baik diri
kita sendiri dan diri orang lain yang kita ajak bicara. Tetapi, komunikasi
juga memungkinkan kita untuk menemukan dunia luar, dunia yang
dipenuhi objek, peristiwa, dan manusia lain. Kita mendapatkan banyak
informasi dari media, mendiskusikannya dengan orang lain, dan
30
akhirnya mempelajari atau menyerap bahan-bahan tadi sebagai hasil
interaksi.
b. Untuk berhubungan
Salah satu motivasi kita yang paling kuat adalah berhubungan
dengan orang lain (membina dan memelihara hubungan dengan orang
lain). Kita ingin merasa dicintai dan disukai, dan kemudian kita juga
ingin mencintai dan menyukai orang lain. Kita menghabiskan banyak
waktu dan energi komunikasi kita untuk membina dan memelihara
hubungan sosial.
c. Untuk meyakinkan
Media masa ada sebagian besar untuk meyakinkan kita agar
mengubah sikap dan perilaku kita. Tetapi kita juga menghabiskan
banyak waktu untuk melakukan persuasi antarpribadi, baik sebagai
sumber maupun sebagai penerima. Dalam perjumpaan antarpribadi
sehari-hari kita berusaha mengubah sikap dan perilaku orang lain. Kita
berusaha mengajak mereka melakukan sesuatu
d. Untuk bermain
Kita menggunakan banyak perilaku komunikasi kita untuk bermain
dan menghibur diri. Kita mendengarkan pelawak, pembicaraan, musik,
dan film sebagian besar untuk hiburan. Demikian pula banyak dari
perilaku komunikasi kita dirancang untuk menghibur orang lain
(menceritakan lelucon mengutarakan sesuatu yang baru, dan
mengaitkan cerita-cerita yang menarik). Adakalanya hiburan ini
31
merupakan tujuan akhir, tetapi adakalanya ini merupakan cara untuk
mengikat perhatian orang Iain sehingga kita dapat mencapai tujuan-
tujuan lain.
Tentu saja, tujuan komunikasi bukan hanya ini; masih banyak
tujuan komunikasi yang lain. Tetapi keempat tujuan yang disebutkan di
atas tampaknya merupakan tujuan-tujuan yang utama (Prof. Dr. Astrid
S.Susanto-Sunarto: 1995).
3. Proses Komunikasi
Proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap, yakni secara primer
dan secara sekunder (Effendy, 2006: 11-16).
a. Proses komunikasi secara primer
Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian
pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan
menggunakan lambang (simbol) sebagai media. Lambang sebagai
media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, kial, isyarat,
gambar, warna dan lain sebagainya yang secara langsung mampu
“menerjemahkan” pikiran dan perasaan komunikator kepada
komunikan.
Gambar sebagai lambang yang banyak dipergunakan dalam
komunikasi memang melebihi kial, isyarat dan warna dalam hal
kemampuan “menerjemahkan” pikiran seseorang, tetapi tetap tidak
melebihi bahasa. Buku-buku yang ditulis dengan bahasa sebagai
lambang untuk “menerjemahkan” pemikiran tidak mungkin diganti
32
oleh gambar, apalagi oleh lambang-lambang lainnya. Komunikasi
berlangsung apabila terjadi kesamaan makna dalam pesan yang
diterima oleh komunikan.
b. Proses komunikasi secara sekunder
Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian
pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat
atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai
media pertama.
Seorang komunikator menggunakan media kedua dalam
melancarkan komunikasinya karena komunikan sebagai sasarannya
berada di tempat yang relatih jauh atau jumlahnya banyak. Surat,
telepon, teleks, surat kabar, majalah, radio, televisi, film dan banyak
lagi adalah media kedua yang sering digunakan dalam komunikasi.
Karena proses komunikasi sekunder ini merupakan sambungan
dari komunikasi primer untuk menembus dimensi ruang dan waktu,
maka dalam menata lambang-lambang untuk memformulasikan isi
pesan komunikasi, komunikator harus memperhitungkan cirri-ciri atau
sifat-sifat media yang akan digunakan. Penentuan media yang
dipergunakan sebagai hasil pilihan dari sekian banyak alternatif perlu
didasari pertimbangan mengenai siapa komunikan yang akan dituju.
Dengan demikian proses komunikasi secara sekunder itu
menggunakan media yang diklasifikasikan sebagai media massa
33
(massmedia) dan media nirmassa atau media nonmassa (non-mass
media). Ada beberapa unsur dalam berkomunikasi diantaranya:
1) Sender: komunikator yang menyampaikan pesan kepada
seseorang atau sejumlah orang.
2) Encoding: penyadian, yakni proses pengalihan pikiran ke dalam
bentuk lambang.
3) Message: Pesan yang merupakan seperangkat lambang bermakna
yang disampaikan oleh komunikator.
4) Media: Saluran komunikasi tempat berlalunya pesan dari
komunikator kepada komunikan.
5) Decoding: Pengawasandian, yaitu proses di mana komunikan
menetapkan makna pada lambang yang disampaikan oleh
komunikator kepadanya.
6) Receiver: Komunikan yang menerima pesan dari komunikator.
7) Response: Tanggapan, seperangkat reaksi pada komunikan setelah
diterima pesan.
8) Feedback: Umpan balik, yakni tanggapan komunikan apabila
tersampaikan atau disampaikan kepada komunikator.
9) Noise: Gangguan tak terencana yang terjadi dalam proses
komunikasi sebagai akibat diterimanya pesan lain oleh
komunikan yang berbeda dengan pesan yang disampaikan oleh
komunikator kepadanya.
34
4. Prinsip Komunikasi
Untuk dapat memahami hakikat suatu komunikasi perlu diketahui
prinsip dasar dari komunikasi tersebut. Menurut Seiler (1988), ada empat
prinsip dasar dari komunikasi yaitu (Arni, 2001: 19-22):
a. Komunikasi adalah suatu proses
Komunikasi adalah suatu proses karena merupakan suatu seri
kegiatan yang terus-menerus, yang tidak mempunyai permulaan atau
akhir dan selalu berubah-ubah. Komunikasi juga bukanlah suatu
barang yang dapat ditangkap dengan tangan untuk diteliti.
Komunikasi menurut Seiler (1988) lebih merupakan cuaca yang
terjadi dari bermacam-macam variabel yang kompleks dan terus
berubah. Kadang-kadang cuaca hangat, matahari bersinar, pada waktu
yang lain cuaca dingin, berawan dan lembap. Keadaan cuaca
merefleksikan satu variasi saling berhubungan yang kompleks yang
tidak pernah ada duplikatnya.
Komunikasi juga melibatkan suatu variasi saling berhubungan
yang kompleks yang tidak pernah ada duplikat dalam cara yang persis
sama yaitu: saling hubungan diantara orang, lingkungan,
keterampilan, sikap, status, pengalaman dan perasaan, semuanya
menentukan komunikasi yang terjadi pada suatu waktu tertentu.
b. Komunikasi adalah sistem
Komunikasi terdiri dari beberapa komponen, dan masing-
masing komponen mempunyai tugas masing-masing. Tugas dari
35
masing komponen berhubungan satu sama lain untuk menghasilkan
suatu komunikasi. Misalnya pengirim mempunyai peranan untuk
menentukan apa informasi atau apa arti yang akan dikomunikasikan.
Setelah tahu apa arti atau informasi yang akan dikirimkan, informasi
tersebut perlu diubah ke dalam kode atau sandi-sandi tertentu sesuai
dengan aturannya sehingga berupa suatu pesan.
Jadi komponen pesan ada kaitannya dengan komponen
pengirim. Bila pengirim tidak benar menyandikan arti yang akan
dikirim maka terjadilah pesan itu kurang tepat. Kurang tepatnya pesan
yang dikirimkan akan mempengaruhi komponen penerima dalam
menginterpretasikan isi pesan sehingga si penerima mungkin juga
akan salah dalam menginterpretasikannya. Kaitan komponen pesan
dengan saluran misalnya bila pesan disampaikan dengan lisan maka
gelombang suara adalah sebagai saluran dan ini juga akan berkaitan
dengan si penerima dalam mengikuti pesan yang harus menggunakan
pendengarannya dalam menerima pesan tersebut. Begitulah, antara
satu komponen dengan komponen yang lain saling berkaitan dan bila
terdapat gangguan pada satu komponen akan berpengaruh pada proses
komunikasi secara keseluruhan.
c. Komunikasi bersifat interaksi dan transaksi
Yang dimakud dengan istilah interaksi adalah saling bertukar
komunikasi. Misalnya seseorang berbicara kepada temannya
mengenai sesuatu, kemudian temannya yang mendengar memberikan
36
reaksi atau komentar terhadap apa yang sedang dibicarakan itu. Begitu
selanjutnya berlangsung secara teratir ibarat orang yang bermain
melempar bola. Seorang melemparkan yang lainnya menangkap
kemudian yang menangkap melemparkan kembali kepada si pelempar
pertama.
Dalam kehidupan sehari-hari komunikasi yang kita lakukan
tidak seteratur itu prosesnya. Banyak dalam percakapan tatap muka
kita terlibat dalam proses pengiriman pesan secara simultan tidak
terpisah seperti pada contoh diatas. Dalam keadaan demikian
komunikasi tersebut bersifat transaksi. Sambil menyandikan pesan
kita juga menginterpresentasikan pesan yang kita terima.
d. Komunikasi dapat terjadi disengaja maupun tidak
disengaja
Komunikasi yang disengaja terjadi apabila pesan yang
mempunyai maksud tertentu dikirimkan kepada penerima yang
dimaksudkan. Komunikasi yang ideal terjadi apabila seseorang
bermaksud mengirim pesan tertentu terhadap orang lain yang ia
inginkan untuk menerimanya. Tetapi itu belumlah merupakan jaminan
bahwa pesan itu akan efektif, karena tergantung kepada faktor lain
yang juga ikut berpengaruh kepada proses komunikasi. Kadang-
kadang ada juga pesan yang sengaja dikirimkan kepada orang yang
dimaksudkan tetapi sengaja tidak diterima oleh orang itu. Misalnya
37
orang tua yang sengaja berbicara kepada anaknya tetapi anaknya tidak
mau mendengarnya.
Ada juga situasi komunikasi yang tidak sengaja tetapi diterima
oleh orang lain dengan sengaja. Misalnya dalam situasi kelas yang
hening tiba-tiba seorang murid berdiri maju ke depan mengambil
kapur untuk mengisap tinta penanya. Gerakan murid yang tidak
disengaja sebagai pesan itu diterima murid-murid lainnya sebagai
pesan karena tiba-tiba temannya yang lain memperhatikan geraknya
yang menimbulkan bermacam-macam interpretasi bagi mereka. Dari
berbagai macam-macam contoh di atas jelaslah, bahwa komunikasi itu
dapat terjadi disengaja maupun tidak dengan sengaja.
5. Etika Komunikasi
Norma dan nilai dalam masyarakat adalah fundamen dalam manusia
berkomunikasi. Mereka melakukan komunikasi dengan aturan dan norma
yang berlaku, yang mengatur apakah sesuatu boleh dilakukan atau tidak
boleh dilakukan. Kalau dilanggar hanya sangsi yang diperolehnya. Nilai
lebih bersifat apa yang baik dan apa yang buruk dilakukan oleh seseorang.
Keduanya dibatasi oleh kebiasaan dari masyarakatnya atau komunitasnya
sendiri-sendiri.
Dalam profesi dan dalam hubungan sehari-hari, terutama dalam
berkomunikasi antar-persona, pelanggaran etika kerap dilakukan. Tentu
bukan saja kuatnya etnosentrisme dan stereotype, juga adanya kedudukan
social-ekonomi, posisi penguasa dan yang dikuasai, sering menjadi
38
perbendaharaan setiap tindakan seseorang. Bagi mereka yang mempunyai
kedudukan yang tinggi biasanya mempunyai harapan (expectation) kepada
pihak lain yang dianggap berlebihan. Anggapan tersebut bukan karena
sulit dipahami, tetapi karena mereka mempunyai penyandian yang berbeda
terhadap simbol-simbol yang dibangun oleh lingkungan sosialnya.
Maka dari itu, untuk mengatasi alasan etika dan hambatan budaya
tersebut, beberapa cara dapat ditempuh, antara lain dengan cara kedua
belah pihak supaya lebih terbuka dalam mengemukakan harapan dan nilai
yang dianutnya. Sikap familiarity tersebut mampu memberi peluang lebih
terbuka untuk saling mengerti.
Selanjutnya, masing-masing pihak harus berusaha untuk bersedia
mendekatkan diri (proximite) dengan cara memperkenalkan dunia masing-
masing secara lebih intensif. Terakhir, membangun secara sinergis dalam
bentuk komunikasi dan kerjasama yang lebih egaliter dan saling
menguntungkan misalnya untuk suatu liputan yang sama (Purwasito, 2003:
336)
D. Tinjauan Tentang Semiologi
1. Pengertian Semiologi
Semiologi berasal dari kata semion berarti tanda dan kata logos
artinya ilmu. Jadi semiologi juga disebut dengan semiotika adalah ilmu
tentang tanda dan segala hal yang berhubungan dengan tanda-tanda.
Secara historis, semiologi merupakan buah dari kemajuan ilmu
39
pengetahuan Barat, dari rasionalisme, empirisme, matematika dan
linguistik yang menjadi ibu kandung semiotika (Purwasito, 2001: 1).
Dalam penelitian ini menggunakan analisis semiologi berarti
menafsirkan simbol-simbol tersebut tidak saja karena penafsiran
signifikasinya tetapi juga bagaimana tanda-tanda yang diciptakan tersebut
mempunyai maksud-maksud atau tujuan tertentu yang lebih pragmatis.
Baik ditujukan kepada dirinya sendiri maupun kepada komunikannya.
Penafsiran Tanda-tanda dalam pesan sebagai upaya kritis mengetahui
tujuan berkomunikasi inilah yang disebut Andrik Purwasito sebagai
semiologi.
Sedangkan semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk
mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam
upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan
bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi,
pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity)
memaknai hal-hal (thing). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat
dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate).
Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi,
dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga
mengkonstitusi system terstruktur dari tanda (Sobur, 2006: 15). Jadi dalam
penelitian ini mencoba mengkaji sebuah tanda, dengan menggunakan
sebuah metode yaitu semiotika atau semiologi.
40
Semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Studi tentang tanda dan
segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya
dengan tanda-tanda lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka
yang menggunakannya. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-
aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut
mempunyai arti (Kriyantono, 2006: 261).
Pada pengertian semiologi di atas, maka dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa semiologi adalah ilmu tentang tafsir tanda, termasuk
sistem tanda. Definisi ini membuat aplikasi semiologi sangat luas, bisa
digunakan berbagai bidang keilmuan, karena semiologi adalah metode
tafsir untuk seluruh tanda yang diproduksi oleh manusia. Semiologi
berkembang menjadi ilmu untuk menafsirkan berbagai hal berhubungan
dengan tanda-tanda, termasuk berguna bagi analisis kritik ideologi, seperti
yang diungkapkan Roland Barthes "semiologi sebagai metode dasar kritik
ideologi," (semiologie comme la methode fundamentale de la critique
ideologique)
2. Semiotika dan Teori Informasi
Bagaimana hubungan antara semiotika dan teori informasi? Doede
Nauta menjelaskan kerangka kerja untuk pembicaraan ihwal perbedaan
konsep dan ukuran-ukuran informasi. Nauta menganggap semiotika
(bersama-sama dengan cybernetics dan teori sistem) sebagai disiplin yang
paling tepat untuk merealisasikan tujuan ini. Ia melihat semiotika sebagai
satu jenis fisiologi pemindahan informasi: “Peralatan teoritik semiotikan
41
akan ditunjukkan guna melengkapi kerangka kerja yang paling penting
bagi klasifikasi informasi dalam semua keanekaragamannya dan untuk
memahami gejala yang relevan”.
Nauta menganggap sistem konseptual signal-sign-symbol di satu
pihak, dan syntactics-semantics-pragmatics dilain pihak, sebagai hal yang
sangat penting bagi proses informasi, karena kedua system ini berasal dari
semiotika. Mulanya, nauta mencoba suatu pengkajian yang ekstensif pada
semiotika lalu berlanjut pada penyelidikan teori informasi (Sobur, 2006:
14).
3. Pendekatan Terhadap Tanda-Tanda
Dalam sebuah pengkajian tanda/ simbol, perlu memahami tanda/
simbol dengan cara pendekatan terhadap tanda/ simbol itu sendiri. Ada dua
pendekatan penting terhadap tanda-tanda. Pertama, adalah pendekatan
yang didasarkan pada pandangan Ferdinand de Saussure yang mengatakan
bahwa tanda-tanda disusun dari dua elemen, yaitu aspek citra tentang
bunyi (semacam kata atau representasi visual) dan sebuah konsep di mana
citra bunyi disandarkan. Tanda itu sendiri, dalam pandangan Saussure,
merupakan manifestasi konkret dari citra bunyi dan sering diidentifikasi
dengan citra bunyi itu sebagai penanda. Jadi, penanda dan petanda
merupakan unsur-unsur mentalistik. Dengan kata lain, di dalam tanda
terungkap citra bunyi ataupun konsep sebagai dua komponen yang tak
terpisahkan. Kedua, adalah pendekatan tanda yang didasarkan pada
pandangan seorang filsuf dan pemikir Amerika yang cerdas, Charles
42
Sanders Peirce. Bahwa tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang
menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan
tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut.
Peirce menggunakan istilah ikon untuk kesamaannya, indeks untuk
hubungan sebab-akibat, dan simbol untuk asosiasi konvensional (Sobur,
2006: 31).
Yang dimaksud “tanda” ini sangat luas. Peirce (Fiske, 1990: 50
dalam Kriyantono, 2006: 262) membedakan tanda atau lambang (symbol),
ikon (icon), dan indeks (index). Dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Lambang yaitu suatu tanda di mana hubungan antara
tanda dan acuannya merupakan hubungan yang sudah terbentuk secara
konvensional. Lambang ini adalah tanda yang dibentuk karena adanya
konsensus dari para pengguna tanda. Warna merah bagi masyarakat
Indonesia adalah berani, mungkin di Amerika bukan.
b. Ikon yaitu suatu tanda di mana hubungan antara tanda
dan acuannya berupa hubungan, berupa kemiripan. Jadi, ikon adalah
bentuk tanda yang dalam berbagai bentuk menyerupai objek dari tanda
tersebut. Patung kuda adalah ikon dari seekor kuda.
c. Indeks yaitu suatu tanda di mana hubungan antara tanda
dan acuannya timbul karena ada kedekatan eksistensi. Jadi, indeks
adalah suatu tanda yang mempunyai hubungan langsung (kausalitas)
dengan objeknya. Asap merupakan indeks dari adanya api.
4. Proses Semiotik
43
Tanda-tanda tidak lagi berdimensi privat tetapi bersifat sosial.
Masyarakat tercipta lewat makna-makna yang bermakna bangun sendiri
dalam interaksi sosial mereka. Ini mempengaruhi pemikiran Peirce yang
mengatakan bahwa criteria kebenaran adalah konsensus sosial. Kebenaran
adalah suatu yang bersifat konvensional (common sense), dan tugas para
ahli ilmu pengetahuna hanya mengklarifikasi diterimanya ide-ide dan
kebenaran tentang sesuatu. Charles Sanders Peirce, mengemukakan
bahwa:
a. Kita mempunyai kekuatan intuitif, semua pengetahuan mengalir
pada dari format pengetahuan.
b. Kita mempunyai kemampuan instropeksi, semua pengetahuan
tentang dunia diciptakan oleh alasan yang hipotetik sebagai dasar dari
observasi tentang sesuatu yang berada di luar diri dan
c. Kita tidak dapat berpikit tanda-tanda.
Membaca tanda-tanda secara umum dapat digambarkan dalam
proses semiotik sebagai berikut :
TANDA
Persepsi Konvensi
KONSEP Pengalaman OBJEK
44
Tanda/ Sign adalah sesuatu yang tampak. Konsep/ consept pikiran
atau gambaran yang terbawa dalam pikiran manusia sebagai persepsi atas
tanda. Obyek/object adalah segala hal yang ada dan ditemukan yang
merupakan rujukan dari tanda tersebut.
Orang (interpretant) berpikir dalam dirinya ada konsep-konsep
bentuk, ketika melihat Tanda, misalnya gambar atau tulisan Gajah maka
ia akan merujuk atau mengingat pada referentnya, yakni pada
sekumpulan gajah.
Tanda dan konsep berhubungan karena adanya persepsi manusia.
Konsep dan objek berhubungan oleh karena pengalaman manusia. Tanda
objek saling berhubungan karena kebiasaan (konvensi), kebudayaan,
kelompok atau komunitas social di mana seseorang hidup. Di sini jelas
bahwa, penafsiran terhadap tanda-tanda tidak dapat memisahkan diri
dengan konteks di mana tanda itu diciptakan dan dipakai dalam
kehidupan sehari-hari.
1) Persepsi proses dalam pikiran manusia yang menerima
data dari lingkungannya.
2) Pengalaman, memori yang melekat dalam pikiran
manusia, selalu berubah ketika memperoleh pengalaman baru.
3) Konvensi, secara konstan berubah sesuai dengan aturan
makna sosial yang berkembang dari proses dan lingkungan
komunikasi.
45
E. Tinjauan Tentang Simbol
1. Pengertian Simbol
Secara etimologis, simbol (symbol) berasal dari kata Yunani “sym-
ballein” yang berarti melemparkan bersama suatu (benda, perbuatan)
dikaitkan dengan suatu ide (Hartoko, 1998: 133). Ada pula yang
menyebutkan “symbolos”, yang berarti tanda atau ciri yang
memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang (Herusatoto, 2000: 10).
Biasanya symbol terjadi berdasarkan metonimi (metonymy), yakni nama
untuk benda lain yang berasosiasi atau yang menjadi atributnya. Simbol
juga metafora, pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek atau konsep
lain berdasarkan kias atau persamaan (Kridalaksana, 2001: 136-138).
Konsep yang diungkapkan Peirce, simbol diartikan sebagai tanda
yang mengacu pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri. Hubungan
antara simbol dengan penanda dengan petanda sifatnya konvensional.
Berdasarkan konvensi itu pula masyarakat pemakainya menafsirkan ciri
hubungan antara simbol dengan objek yang diacu dan menafsirkan
maknanya. Dengan demikian, sebuah simbol dapat berdiri untuk sesuatu
institusi, cara berpikir, ide, harapan, aspirasi, sikap dan banyak hal lain
(Sobur, 2006:156). Simbol dapat berupa kata-kata (verbal) perilaku
46
nonverbal dan objek yang maknanya disepakati bersama, misalnya
memasang bendera di depan rumah sebagai tanda cinta terhadap negara.
Simbol tidak dapat disikapi secara isolatif, terpisah dari hubungan
asosiatifnya dengan simbol lainnya. Walaupun demikian berbeda dengan
bunyi, simbol telah memiliki kesatuan bentuk dan makna. Berbeda pula
dengan tanda (sign), simbol merupakan kata atau sesuatu yang bisa
dianalogikan sebagai kata yang telah terkait dengan (1) penafsiran
pemakai, (2) kaidah pemakaian sesuai dengan jenis wacananya, dan (3)
kreasi pemberian makna sesuai dengan intensi pemakainya. Simbol yang
ada dalam dan berkaitan dengan ketiga butir tersebut disebut bentuk
simbolik.
2. Bahasa Sebagai Sistem Simbol
Kata atau bahasa, di dalam wacana linguistik, diberi pengertian
sebagai sistem symbol bunyi bermakna dan berartikulasi dihasilkan oleh
alat ucap, yang bersifat arbitrer (berubah-ubah) dan konvensional, yang
dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk
melahirkan perasaan dan pikiran.
Bahasa adalah kombinasi kata yang diatur secara sistematis,
sehingga bisa digunakan sebagai alat komunikasi. Kata itu sendiri,
merupakan bagian integral dari simbol yang dipakai oleh kelompok
masyarakatnya. Itu sebabnya, kata bersifat simbolis. Simbol itu menurut
Robert Sibarani, mengutip pendapat Van Zoest, adalah sesuatu yang dapat
menyimbolkan dan mmewakili ide, pikiran, perasaan, benda dan tindakan
47
secara arbitrer, konvensional, dan representatif-interpretatif. Dalam hal ini,
tidak ada hubungan alamiah antara yang menyimbolkan dan yang
disimbolkan. Implikasinya berarti, baik yang batiniah (perasaan, pikiran
atau ide), maupun lahiriyah (benda dan tindakan) dapat disimbolkan atau
diwakili simbol.
Istilah bahasa dapat digunakan dalam arti harfiah dan metaforis.
Dalam arti harfiah, istilah itu mengacu pada bahasa biasa, yang alami,
yang dipakai dikeseharian, yang di Indonesia jumlahnya tidak kurang dari
650 buah dan di dunia tidak kurang dari 5000 buah. Dalam arti metaforis,
istilah itu mengacu pada berbagai cara berkomunikasi atau berkontak
(kedipan mata, lambaian tangan, nyala lampu berwarna tertentu, gambar
pada rambu-rambu, bunyi kentongan dan sebagainya). Istilah bahasa
dalam metaforis tidak kena-mengena dengan linguistik. Yang langsung
kena-mengena dengan linguistik adalah istilah bahasa dalam arti harfiah,
yang mengacu pada bahasa sebagaimana dikatakan di atas. Dapat
dikatakan bahwa linguistik berurusan dengan bahasa biasa, yang alami,
yang dipakai di keseharian.
3. Simbolisasi: Kebutan Pokok Manusia
Salah satu kebutuhan pokok manusia, seperti dikatakan Susanne K.
Langer, adalah kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambing (Mulyana,
2000: 83). Dan, salah satu sifat dasar manusia adalah kemampuan
menggunakan simbol. Kemampuan manusia menciptakan simbol
membuktikan bahwa manusia sudah memiliki kebudayaan yang tinggi
48
dalam berkomunikasi, mulai dari simbol yang sederhana seperti bunyi dan
isyarat, sampai kepada simbol yang dimodifikasi dalam bentuk signal-
signal melalui gelombang udara dan cahaya, seperti radio, televisi,
telegram, telex dan satelit (Sobur, 2006: 43).
Kemampuan tersebut, sebagian orang mungkin menyebutnya
keharusan, untuk mengubah data mentah hasil pengalaman indra menjadi
simbol-simbol dipandang sebagai khas manusia. Kita bukan hanya dapat
segera mengubah data tangkapan indra menjadi simbol-simbol, kita juga
dapat menggunakan simbol-simbol untuk menunjuk kepada simbol lain
(seperti konsepsi tujuan, nilai, cita) dan untuk mewariskan pengetahuan
dan wawasan yang terpendam dari generasi ke generasi. Daya simbolisasi,
menurut Wieman dan Walter, bertanggung jawab atas kejadian dan
kelangsungan pertumbuhan kepribadian manusia dan atas pekerjaan-
pekerjaan kreatif umat manusia.
Sebagai pengguna dan penafsir simbol, manusia terkadang irasional
dengan menganggap seolah-olah ada kemestian atau hubungan alamiah
antara suatu simbol dengan apa yang disimbolkan (Sobur, 2006: 165).
Manusia itu unik karena memiliki kemampuan memanipulasi
simbol-simbol berdasarkan kesadaran. Mead menekankan pentingnya
komunikasi, khususnya melalui mekanisme isyarat vocal (bahasa),
meskipun teorinya bersifat umum. Isyarat vocallah yang potensial menjadi
seperangkat simbol yang membentuk bahasa, simbol adalah suatu
rangsangan yang mengandung makna dan nilai yang dipelajari bagi
49
manusia, dan respons manusia terhadap simbol adalah dalam pengertian
makna dan nilainya daripada dalam pengertian stimulasi fisik dan alat-alat
indranya (Mulyana, 2001: 77).
4. Simbol dan Simbolisme
Ibarat “citra”, simbol muncul dalam konteks yang sangat beragam dan
digunakan untuk berbagai tujuan. Simbol adalah suatu istilah dalam
logika, matematika, semantik, semiotik dan epistemologi, simbol juga
memiliki sejarah panjang di dunia teotologi (simbol adalah sebuah sinonim
dari “kepercayaan”), di bidang liturgi, di bidang seni rupa dan puisi. Unsur
yang sama dalam aneka penggunaan di atas adalah sifat simbol untuk
mewakili sesuatu yang lain. Tetapi, dalam kata simbol sebenarnya ada
unsur kata kerja bahasa Yunani yang berarti mencampurkan,
membandingkan dan membuat analogi antara tanda dan objek yang diacu.
Pengertian ini masih bertahan dalam pemakaian simbol di jaman modern.
“Simbol” aljabar dan logika adalah tanda konvensional yang disetujui
bersama. Tetapi, simbol-simbol keagamaan didasarkan pada suatu
hubungan intrinsik antara “tanda” dan objek yang diacu oleh tanda itu,
baik dalam bentuk metonimia maupun metafora (Sobur, 2001: 43-44).
Menurut teori sastra, simbol sebaiknya dipakai dalam pengertian
sebagai berikut: sebagai objek yang mengacu pada objek lain, tetapi juga
menuntut perhatian pada dirinya sendiri sebagai suatu perwujudan. Simbol
adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara
penanda dengan petandanya, hubungannya bersifat arbitrer (semau-
50
maunya). Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi. ‘Ibu’ adalah simbol,
artinya ditentukan oleh konvensi masyarakat bahasa (Indonesia) (Sobur,
2001: 44).
Terdapat pandangan yang menganggap simbolisme “hanya
simbolisme”. Menurut pandangan ini, puisi agama hanyalah citraan
indriawi yang disusun secara ritual. Atau sebaliknya, “tanda” dan “makna”
dianggap kosong, karena tidak dapat menjangkau kenyataan moral atau
filsafat yang transedens. Ada pandangan lain yang menganggap
simbolisme sebagai suatu usaha yang dilakukan dengan sengaja, terencana
dan sangat diperhitungkan, untuk menerjemahkan (secara mental) konsep-
konsep menjadi istilah-istilah yang ilustratif, indriawi dan didaktis. Tetapi
menurut Coleridge, alegori memang merupakan suatu penerjemahan
pemikiran abstrak menjadi bahasa bergambar, yang tak lain juga
merupakan abstraksi dan objek-objek indriawi, sedangkan simbol , seperti
dikatakan Wellek & Warren, dicirikan oleh tampaknya sifat-sifat yang
mencirikan spesies pada individu, atau sifat-sifat yang umum (genus) pada
khusus, oleh tampak hal-hal yang bersifat abadi pada hal-hal yang
sementara (Sobur, 2001: 44).
Upaya untuk memahami simbol sering kali rumit/ komplek, fakta
bahwa logika dibalik simbolisasi seringkali tidak sama dengan logika yang
digunakan orang didalam proses-proses pemikiran kesehariannya.
Dalam “bahasa” komunikasi, simbol seringkali diistilahkan sebagai
lambang. Simbol atau lambang sesuatu yang digunakan untuk menujuk
51
sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan kelompok orang. Lambang
meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku verbal, dan objek yang
maknanya disepakati bersama. Jika simbol merupakan salah satu unsur
komunikasi, simbol tidak muncul dalam ruang hampa-sosial, melainkan
dalam suatu konteks atau situasi tertentu.
5. Simbol Status dan Gaya Hidup
Status pada dasarnya mengarah pada posisi yang dimiliki sesorang di
dalam sejumlah kelompok atau organisasi dan prestise melekat pada posisi
tersebut. Status berarti berhubungan dengan peran seseorang. Status
merupakan kekuatan yang besar di dalam masyarakat yang digunakan
untuk mengendalikan orang dengan cara yang halus. Status adalah simbol
dari kesuksesan hidup-hidup.
Orang yang punya status tertentu kerapkali dihubung-hubungkan
dengan gaya hidup. Gaya hidup adalah istilah menyeluruh yang meliputi
cita rasa seseorang di dalam fashion, mobil, hiburan dan rekreasi, bacaan
dan hal-hal yang lain. Gaya menunjukkan pakaian dan gaya hidup
digunakan untuk menggambarkan bagaimana seseorang berpakaian.
Simbol-simbol merupakan tanda yang menunjuk kepada nilai-nilai,
dan seringkali, meskipun tidak selalu, simbol ini diungkapkan melalui
bahasa. Kadang-kadang juga diungkapkan melalui citra di samping bahasa.
Kesalingkaitan antara nilai, simbol dan bahasa, memiliki pengaruh yang
sangat kuat (Sobur, 2006: 167.
52
Sedangkan pendekatan simbol pada penelitian ini yang lebih
mengejutkan adalah masuknya pemakaian teori adverstising yang sudah
terkenal, yaitu (ATM) amati, tiru, modifikasi
(http://adverdreams.blogspot.com) peneliti memang merasa bahwa
pemakaian lambang-lambang yang sekarang adalah hasil modifikasi dari
lambang terdahulu yang tercipta pada masa lalu. Pada kasus penelitian ini
setidaknya sang pencipta simbol yang baru (hasil modifikasi) pernah
mempunyai pengalaman tentang simbol Yahudi.
F. Tinjauan Tentang Makna
1. Pengertian Makna
Makna adalah sebuah wahana tanda yaitu suatu kultural yang
diperagakan oleh wahana-wahana tanda yang lainnya serta, dengan begitu,
secara semantik mempertunjukkan pula ketidaktergantungannya pada
wahana tanda yang sebelumnya. Sedangkan menurut Brown, makna
sebagai kecenderungan (disposisi) total untuk menggunakan atau bereaksi
terhadap suatu bentuk bahasa (Sobur, 2006: 255-256).
2. Teori-Teori Makna
Makna pada dasarnya terbentuk berdasarkan berdasarkan
hubungan antara lambang komunikasi (simbol), akal budi manusia
penggunanya. Ada beberapa pandangan yang menjelaskan ihwal teori atau
konsep makna. Model proses makna Wendell Johnsosn (Devito,1997:123-
53
125) menawarkan sejumlah implikasi bagi komunikasi antarmanusia
(Sobur, 2006: 258):
a. Makna ada dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada kata-kata
melainkan pada manusia. Seseorang menggunakan kata-kata untuk
mendekati makna yang seseorang ingin dikomunikasikan. Tetapi
kata-kata ini tidak secara sempurna dan lengkap menggambarkan
makna yang seseorang maksudkan. Demikian pula, makna yang
didapat komunikan dari pesan-pesan seseorang akan sangat berbeda
dengan makna yang ingin seseorang sampaikan. Komunikasi adalah
proses yang seseorang gunakan untuk mereproduksi, di benak
pendengar, apa yang ada dalam benak seseorang. Reproduksi ini
hanyalah sebuah proses parsial dan selalu bisa salah.
b. Makna berubah. Kata-kata relatif statis. Banyak dari kata-kata yang
seseorang gunakan 200 atau 300 tahun yang lalu. Tetapi makna dari
kata-kata ini terus berubah, dan ini khususnya terjadi pada dimensi
emosional dari makna. Bandingkanlah, misalnya,makna kata-kata
berikut bertahun-tahun yang lalu dan sekarang, hubungan di luar
nikah, obat, agama, hiburan, dan perkawinan (di Amerika Serikat,
kata-kata ini diterima secara berbeda pada saat ini dan di masa-masa
yang lalu).
c. Makna membutuhkan acuan. Walaupun tidak semua komuniksai
mengacu pada dunia nyata, komunikasi hanya masuk akal bilamana
ia mempunyai kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal. Obsesi
54
seseorang paranoid yang selalu merasa diawasi dan teraniaya
merupakan contoh makna yang tidak mempunyai acuan yang
memadai.
d. Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna. Berkaitan
erat dengan gagasan bahwa makna membutuhkan acuan adalah
masalah komunikasi yang timbul akibat penyingkatan berlebihan
tanpa mengaitkannya dengan acuan yang kongkret dan dapat
diamati. Bila seseorang berbicara tentang cinta, persahabatan,
kebahagian kebaikan, kejahatan, dan konsep-konsep lain yang serupa
tanpa mengaitkannya dengan sesuatu yang spesifik, seseorang tidak
akan bisa berbagi makna dengan lawan bicara.
e. Makna tidak terbatas jumlahnya. Pada saat tertentu, jumlah kata
dalam suatu bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas.karena
itu kebanyakan kata mempunyai banyak makna. Ini bisa
menimbulkan masalah bila sebuah makna bila sebuah kata diartikan
secara berbeda oleh dua orang yang sedang berkomunikasi.
f. Makna dikomunikasikan hanya sebagian. Makna yang seseorang
peroleh dari suatu kejadian bersifat multiaspek dan sangat kompleks,
tetapi hanya sebagian saja dari makna-makna ini benar-benar dapat
dijelaskan.
3. Konsep Makna
Makna, sebagaimana dikemukakan oleh Fisher, merupakan konsep
yang abstrak, yang telah menarik perhatian para ahli filsafat dan para
55
teoritisi ilmu sosial selama 2000 tahun silam. Semenjak Plato
mengkonseptualisasikan makna manusia sebagai salinan “ultrarealitas”,
para pemikir besar telah sering mempergunakan konsep itu dengan
penafsiran yang sangat luas yang merentang sejak pengungkapan mental
dari Locke sampai ke respons yang dikeluarkan dari Skinner.
Bagi orang awam, untuk memahami makna tertentu ia dapat
mencari kamus, sebab di dalam kamus terdapat makna yang disebut makna
leksikal. Dalam kehidupan sehari-hari, orang sulit menerapkan makna
yang terdapat dalam kamus, sebab makna sebuah kata sering bergeser jika
dalam satuan kalimat. Dengan kata lain, setiap kata kadang-kadang
mempunyai makna luas. Itu sebabnya kadang-kadang orang tidak puas
dengan makna kata yang tertera di dalam kamus (Sobur, 2001: 19-20).
Upaya memahami makna, sesungguhnya merupakan salah satu
masalah filsafat yang tertua dalam umur manusia. Konsep makna telah
menarik perhatian disiplin komunikasi, psikologi, sosiologi, antropologi
dan linguistik. Itu sebabnya, beberapa pakar komunikasi sering menyebut
kata makna ketika mereka merumuskan definisi komunikasi.
Para ahli mengakui, istilah makna (meaning) memang merupakan
kata dan istilah yang membingungkan. Dalam bukunya The Meaning of
Meaning, Ogden dan Richards telah mengumpulkan tidak kurang dari 22
batasan mengenai makna. Bentuk makna diperhitungkan sebagai istilah,
sebab bentuk ini mempunyai konsep dalam bidang ilmu tertentu, yakni
dalam bidang linguistik. Dalam penjelasan Umberto Eco, makna dari
56
sebuah wahana tanda (sign-vechicle) adalah satuan cultural yang
diperagakan oleh wahana-wahana tanda yang lainnya serta, dengan begitu,
secara semantik mempertunjukkan pula ketidaktergantungannya pada
wahana tanda yang sebelumnya (Sobur, 2001: 255).
Brown mendefinisikan makna sebagai kecenderungan (disposisi)
total untuk menggunakan atau bereaksi terhadap suatu bentuk bahasa.
Terdapat banyak komponen dalam makna yang dibangkitkan suatu kata
atau kalimat. Dengan kata Brown, “Seseorang mungkin menghabiskan
tahun-tahunnya yang produktif untuk menguraikan makna suatu kalimat
tunggal dan akhirnya tidak menyelesaikan tugas itu” (Mulyana, 2000:
256).
4. Jenis-Jenis Makna
Ada beberapa pendapat mengenai jenis atau tipe makna. Brobeck
mengemukakan bahwa sebenarnya ada tiga pengertian tentang konsep
makna yang berbeda-beda. Salah satu jenis makna, menurut tipologi
Brodbeck, adalah makna referensial, yakni makna suatu istilah adalah
objek pikiran, ide atau konsep yang ditunjukkan oleh istilah tersebut.
Pengertian makna ini, menurut Fisher, serupa dengan aspek “semantis”
bahasa dari Morris hubungan lambing dengan referen (yang ditunjuk).
Tipe makna yang kedua dari Brodbeck adalah arti itu. Dengan kata
lain, lambing atau istilah itu “berarti’ sejauh ia berhubungan secara “sah”
dengan istilah lain, konsep yang lain. Suatu istilah dapat saja memiliki arti
referensial dalam pengertian yang pertama, yakni mempunyai referen,
57
tetapi karena ia tidak dihubungkan dengan berbagai konsep yang lain, ia
tidak mempunyai arti. Tipe makna yang ketiga dari Brodbeck mencakup
makna yang dimaksudkan (intentional) dalam arti suatu istilah atau
lambang bergantung pada apa yang dimaksudkan pemakai dengan arti
lambang itu (Sobur, 2001: 25-26).
5. Makna Denotatif dan Konotatif
Salah satu cara yang digunakan para ahli untuk membahas lingkup
makna yang lebih besar ini adalah membedakan antara makna denotatif
dengan makna konotatif. Makna denotatif pada dasarnya meliputi hal-hal
yang ditunjuk oleh kata-kata (yang disebut sebagai makna referensial).
Makna denotatif suatu kata ialah makna yang biasa kita temukan
dalam kamus. Sebagai contoh, didalam kamus, kata mawar berarti ‘sejenis
bunga’. Makna konotatif ialah makna denotatif ditambah dengan segala
gambaran, ingatan dan perasaan yang ditimbulkan oleh kata mawar itu.
Kata konotasi itu sendiri berasal dari bahasa Latin connotare, “menjadi
tanda” dan mengarah kepada makna-makna kultural yang terpisah/
berbeda dengan kata (dan bentuk-bentuk lain dari komunikasi).
Jika denotasi sebuah kata adalah definisi objektif kata tersebut, maka
konotasi sebuah kata adalah makna subjektif atau emosionalnya.
Dikatakan objektif sebab makna denotatif ini berlaku umum. Sebaliknya,
makna konotatif bersifat subjektif dalam pengertian bahwa ada pergeseran
dari makna umum (denotatif) karena sudah ada penambahan rasa dan nilai
tertentu. Kalau makna denotatif hamper bisa dimengerti banyak orang,
58
maka makna konotatif ini hanya bisa dicerna oleh mereka yang jumlahnya
relatif lebih kecil. Jadi, sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif
apabila kata itu mempunyai “nilai rasa”, baik positif maupun negatif
(Sobur, 2006: 263-264).
Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional,
makna emotif atau makna evaluatif. Makna konotatif adalah suatu jenis
makna di mana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional.
Makna konotatif sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan
perasaan setuju-tidak setuju, senang-tidak senang, dan sebagainya pada
pihak pendengar, di pihak lain, kata yang dipilih itu memperlihatkan
bahwa pembicaranya juga memendam perasaan yang sama (Sobur, 2006:
266).
G. Dasar Pemaknaan Tokoh Semiotik Dan Teorinya
Dalam memahami teori yang akan dipakai maka penelitian ini maka
peneliti memberikan beberapa teori yang terkait sebagai berikut:
1. C.S Peirce
Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning
yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan
interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat
ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang
merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda
menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan),
59
Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang
muncul dari hubungan sebab-akibat) (Sobur, 2006: 41-42). Sedangkan
acuan tanda ini disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks
sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda.
Menurutnya tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berfungsi sebagai
wakil dari sesuatu yang lain dalam hal atau kapasitas tertentu (Eco, 2009:
21).
Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari
orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna
tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang
dirujuk sebuah tanda. Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah
bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan
orang saat berkomunikasi. Contoh: Saat seorang gadis mengenakan rok
mini, maka gadis itu sedang mengomunikasi mengenai dirinya kepada
orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol keseksian.
2. Ferdinand De Saussure
Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar,
disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan
gambar, disebut signified. Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan
tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan
menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut
“referent”. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant
untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai
60
“objek” sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan
dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang menyebut kata “anjing”
(signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda
kesialan (signified). Begitulah, menurut Saussure, “Signifier dan signified
merupakan kesatuan, tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai
kertas.” (Sobur, 2006).
3. Roland Barthes
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik
pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat
menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat
yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang
berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan
interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural
penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang
dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal
dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya
sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman
kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes
meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang
diusung Saussure.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “Mitos” yang
menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat
61
kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified,
tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki
petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang
memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi,
maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Misalnya: Pohon
beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi “keramat” karena
dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi “keramat” ini
kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol
pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi
sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat
kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap
sebagai sebuah Mitos.
Perbedaan Barthes dengan Saussure selanjutnya adalah Barthes
mengkaji lima kode dalam setiap tanda; kode heurmenetik (teka-teki),
kode semik (makna konotatif), kode simbolik, kode proaretik (logika
tindakan), kode gnomic atau kode cultural. Tujuan analisis Barthes ini
adalah untuk menunjukkan bahwa tindakan yang paling masuk akal,
rincian yang paling meyakinkan, atau teka-teki yang paling menarik,
merupakan produk buatan dan bukan tiruan dari yang nyata (Lechte, 2001:
196 dalam Sobur, 2006).
Sejumlah subyek yang pernah dibahas Barthes adalah iklan, buku
panduan wisata, fashion, fotografi, tari telanjang, dan gulat. Tujuan
utamanya adalah untuk mengupas secara kritis wilayah produk-produk dan
62
praktik-praktik budaya yang dengan demikian melancarkan suatu “kritik
ideology terhadap apa yang disebut bahasa budaya massa” dan
“menganalisis” secara semiologis (Peter Pericles Trifonas diterjemahkan
Sigit Djatmiko, 2003: 4).
Dalam buku Mythologies, Barthes mencoba menggunakannya
sebagai “kritik idologi”, berupaya mengungkap dilemma etis yang muncul
karena mengabaikan mitos yang tidak terkaji sebagai substratum budaya
dari apa yang dianggap alami dan nyata dalam kehidupan (Peter Pericles
Trifonas diterjemahkan Sigit Djatmiko, 2003: 8).
4. Umberto Eco
Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli
semiotikan yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang
paling komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco
penting karena ia mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan
membawa semiotika secara lebih mendalam (Sobur, 2006).
Eco ingin memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco
kemudian mengubah konsep tanda menjadi konsep fungsi tanda. Eco
menyimbulkan bahwa “satu tanda bukanlah entitas semiotik yang dapat
ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur independen
(yang berasal dari dua sistem berbeda dari dua tingkat yang berbeda yakni
ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar hubungan pengkodean”. Eco
menggunakan “kode-s” untuk menunjukkan kode yang dipakai sesuai
struktur bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki
63
arti apapun, dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara
linguistik. Kode-s bisa bersifat “denotatif” (bila suatu pernyataan bisa
dipahami secara harfiah), atau “konotatif” (bila tampak kode lain dalam
pernyataan yang sama). Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan
karya Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang
suatu kode-s yang lebih bersifat dinamis daripada yang ditemukan dalam
teori Saussure, di samping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa
kini.
Dari beberapa tokoh di atas, peneliti mengambil dari teori Roland
Barthes, karena dirasa tepat untuk penelitian ini. Roland Barthes melihat
bahwa tanda atau simbol yang diproduksi secara massal akan bisa berubah
menjadi asumsi umum dan asumsi umum ini bisa menjadi sebuah
kebenaran. Menurut peneliti jika sebuah simbol Yahudi Israel yang di
dalam penelitian ini mengambil contoh simbol Bintang David dan Evil Eye
diproduksi secara massal maka akan bisa memunculkan asumsi umum dan
makna awal dari simbol tersebut akan tertutup. Pada awalnya simbol-
simbol tersebut hanya terdapat pada kuil-kuil tempat mereka memuja
“Tuhan”. Tetapi dengan dalih seni maka simbol-simbol tersebut tersebar
dengan tidak kita sadari, kitapun menggunakannya dan ikut bangga.
H. Tinjauan Tentang Seni Design
Karya Seni identik dengan suatu yang unik. Oleh karenanya seorang
seniman dalam melahirkan karyanya selalu mencari bentuk, bentuk baru.
64
Untuk itu diperlukan sesuatu yang unik. Ini berarti sesuatu yang belum
pernah atau mungkin jarang dipakai oleh seniman lain pada karya-karya
sebelumnya. Pengertian seni Design di bawah ini diambil dari situs
(http://id.answers.yahoo.com)
Menurut Suyanto desain grafis (seni gambar) didefinisikan sebagai ” aplikasi dari keterampilan seni dan komunikasi untuk kebutuhan bisnis dan industri“. Aplikasi-aplikasi ini dapat meliputi periklanan dan penjualan produk, menciptakan identitas visual untuk institusi, produk dan perusahaan, dan lingkungan grafis, desain informasi, dan secara visual menyempurnakan pesan dalam publikasi.Menurut Danton Sihombing desain grafis mempekerjakan berbagai elemen seperti marka, simbol, uraian verbal yang divisualisasikan lewat tipografi dan gambar baik dengan teknik fotografi ataupun ilustrasi. Elemen-elemen tersebut diterapkan dalam dua fungsi, sebagai perangkat visual dan perangkat komunikasi.Menurut Michael Kroeger visual communication (komunikasi visual) adalah latihan teori dan konsep-konsep melalui terma-terma visual dengan menggunakan warna, bentuk, garis dan penjajaran (juxtaposition).Warren dalam Suyanto memaknai desain grafis sebagai suatu terjemahan dari ide dan tempat ke dalam beberapa jenis urutan yang struktural dan visual. Sedangkan Blanchard mendefinisikan desain grafis sebagai suatu seni komunikatif yang berhubungan dengan industri, seni dan proses dalam menghasilkan gambaran visual pada segala permukaan.
Sedangkan Jessica Helfand mendefinisikan desain grafis sebagai
kombinasi kompleks kata-kata dan gambar, angka-angka dan grafik, foto-foto
dan ilustrasi yang membutuhkan pemikiran khusus dari seorang individu yang
bisa menggabungkan elemen-eleman ini, sehingga mereka dapat
menghasilkan sesuatu yang khusus, sangat berguna, mengejutkan atau
subversif atau sesuatu yang mudah diingat (http://www.aiga.com).
Desain Grafis juga merupakan ilmu yang mempelajari tentang media
untuk menyampaikan informasi, ide, konsep, ajakan dan sebagainya kepada
65
khalayak dengan menggunakan bahasa visual. Baik itu berupa tulisan, foto,
ilustrasi dan lain sebagainya. Desain grafis adalah solusi komunikasi yang
menjembatani antara pemberi informasi dengan publik, baik secara
perseorangan, kelompok, lembaga maupun masyarakat secara luas yang
diwujudkan dalam bentuk komunikasi visual.
Sebagaimana layaknya informasi yang disampaikan menggunakan
bahasa lisan (suara) yang dapat disampaikan secara tegas, ceria, keras,
lembut, penuh gurauan, formal, dan sebagainya dengan menggunakan gaya
bahasa dan volume suara yang sesuai, desain grafis juga dapat melakukan hal
serupa. Kita dapat merasakan sendiri setelah membaca sebuah berita (tulisan),
melihat foto atau ilustrasi, melihat permainan warna dan bentuk dari sebuah
karya design yang berbentuk publikasi cetak, nuansa yang ditimbulkannya.
Sedangkan untuk dapat memahami seni design fotografi menurut
Barthes dalam (Sunardi, ST: 2002) maka dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Ciri-ciri dan Hakikat Sistem
Linguistik dalam Gambar Berita dan Iklan
a. Pesan langsung dan pesan interpretatif. Kalau kita melihat gambar
atau foto, kita dapat membedakan dua gejala tanda yang tidak dapat
dipisahkan, yaitu: foto secara keseluruhan dan “isi” foto yang terdiri
dari berbagai unsur di dalamnya.
b. Paradoks. Dengan menyebut pesan literer sebagai pesan tanpa kode,
Barthes sebenarnya menciptakan istilah yang berkontradiksi dengan
formula dasar sistem semiotik yang selalu mengandaikan tiga unsur:
66
sign, signifier, dan signified atau message, expression, dan content.
Mengatakan bahwa ada pesan tanpa kode berarti sama saja
mengatakan ada pesan tanda content, atau tanda tanpa signified.
c. Foto seni dan lukisan. Pada prinsipnya, Barthes berpendapat bahwa
pengalaman paradoks dan real unreality juga dapat ditemukan disana.
Memang harus diakui bahwa aspek simbolik lebih kuat daripada aspek
literer. Akan tetapi, foto seni dan lukisan tidak pernah dapat
menghilangkan karakteristik pesan literer sebagai pesan tanpa kode.
2. Kode dalam Foto: Ciri-ciri dan
Hakikatnya
a. Gambar sebagai bahasa. Kalau gambar dapat memberikan makna
konotasi, gambar itu harus mempunyai denotasi. Akan tetapi, seperti
sudah kita lihat, denotasi gambar adalah analogon, semacam replika
langsung dari signified atau apa yang digambarkan. Jadi, kita tidak
mempunyai ruang untuk menafsirkannya.
b. Foto dalam sistem konotasi media cetak. Barthes percaya bahwa surat
kabar (juga periklanan) menciptakan autonomous signifying system
baru yang sebelumnya tidak ada. Untuk itu kita harus meneliti tanpa
harus melakukan hipotesis-hipotesis.
c. Kode dalam foto. Tanda-tanda dalam foto dipisahkan dari foto secara
keseluruhan pengalaman melihat foto secara keseluruhan berupa: itu
memang pernah terjadi (“it happened”). Dalam melihat foto,
67
pengalaman itu “belun ada isinya”. Apa isi dari “itu”? Apa yang
membuat saya tertarik pada suatu gambar? Pertanyaan ini mengantar
kita untuk memeriksa secara rinci berbagai unsur yang mewujudkan
foto tersebut seperti bentuk, gerak-gerik, warna, lighting, dan
sebagainya.
3. Menulis dengan Bahasa Foto:
Logo-teknis
a. Menulis dengan bahasa gambar. Dengan memperhatikan ciri-ciri dan
hakikat bahasa foto sebagaimana dilukiskan di atas, apa artinya
“menulis” dengan bahasa foto? Sejauh ini menulis diartikan sebagai
kegiatan untuk menghasilkan signifier dan signifeid pada sistem tanda
tingkat pertama. Kalau tulisan seseorang yang jelek entah tulisan
tangan atau dengan komputer, maka tak akan terpahami. Karena apa
yang akan dihasilkan dalam menulis dengan bahasa gambar adalah
analogon, menulis dengan bahasa foto berarti sebuah kegiatan
intervensi pada tingkat kode, artinya: tidak pada level denotatif. Oleh
karena itu Barthes menggunakan istilah “prosedur denotatif”. Menulis
tidak terjadi dalam sebuah camera obscura melainkan dalam camera
lucida.
b. Teknik menulis dengan bahasa gambar. Dalam “The Photographic
Masage” Barthes menyebut enam prosedur atau kemungkinan untuk
mempengaruhi gambar sebagai analogon. Keenam langkah tersebut
68
dapat dipandang sebagai kegiatan “menulis” karena pada hakikatnya
lewat prosedur tersebut seorang fotografer dapat menentukan berbagai
unsur tanda, hubungan, dan lain-lain yang menjadi pertimbangan
utama ketika orang membaca bahasa gambar tersebut.
c. Pose. Cara kedua ialah melalui gaya atau posisi (pose). Dalam
mengambil foto berita seseorang, seorang wartawan foto akan
memilih posisi objek yang sedang diambil. Dalam perkembangan
pemikiran Barthes tentang fotografi, konsep pose menduduki posisi
amat penting.
d. Memilih objek. pesan konotatif juga dapat dilakukan lewat pemilihan
objek-objek di sekitarnya. Objek-objek ini ibarat “perbendaharaan
kata” yang siap dimasukkan ke dalam sebuah kalimat. Dari sisi ini,
pemilihan objek dapat membantu menciptakan imajinasi sintagmatik.
Dari sisi lain, objek juga dapat dipakai untuk membangun imajinasi
paradigmatik sejauh aspek yang ditonjolkan dari objek tersebut adalah
kekuatan untuk menunjuk objek lain. Kegiatan ini biasa dilakukan
oleh periklanan. Bahasa iklan merupakan sebuah komunikasi yang
agresif. Komunikasi promosional harus bisa memaksa (baik secara
halus atau langsung) pembaca untuk mengubah perilaku, gaya hidup,
dan akhirnya menjadi konsumen setia.
4. Membaca Foto
69
a. Kebiasaan melihat foto. Di hadapan sebuah foto, kata Barthes dalam
Camera Lucida, dia sering merasa sebagai orang yang terpenjara oleh
kekuatannya yang dahsyat. Paling tidak itu pengalaman Barthes dalam
merefleksikan koleksi fotonya yang ia anggap bisa mengguncang
batinnya. Dalam praktiknya, khususnya berhadapan dengan foto berita
atau foto iklan, pengalaman semacam itu kiranya jarang kita temukan.
Sebaliknya, yang terjadi adalah bahwa kita melihat foto dua atau tiga
detik, kemudian kita membaca artikel berita yang bersangkutan, atau,
dalam hal iklan, kita ingin tahu foto itu dipakai untuk iklan produk
apa.
b. Membaca. Sekarang kita sampai pada persoalan yang paling rumit dan
tidak menarik, yaitu membaca foto. Foto terlalu kuat untuk dibaca,
karena dengan membaca kita harus melakukan tawar-menawar dengan
foto. Semakin kita mengamati foto, semakin kita terperangkap oleh
pesonanya. Barthes bahkan mengakui bahwa sudah terlalu banyak
karya dan teori yang menjadi korban dari kedahsyatan foto. Foto tidak
memberikan ruang bagi kita untuk berbeda pendapat.
c. Semiotika positiva: tahap-tahap membaca foto. Dalam “The
Photographic Message” Barthes mengajukan tiga tahap dalam
membaca foto: perspektif, kognitif, dan etis-ideologis. Tahap perseptif
terjadi ketika seseorang mencoba melakukan transformasi gambar ke
kategori verbal; jadi semacam verbalisasi gambar.
70
d. Foto iklan. Dalam foto iklan, gejala studium kita alami saat kita
bersedia barang sejenak memperhatikan foto suatu iklan. Kita uji
untuk berkomunikasi dengan lembaga iklan tentang kebutuhan-
kebutuhan yang sudah diteliti dengan seksama dan diungkapkan
sebagus mungkin lewat logo-teknik. Kita mengaplikasikan kode-kode
yang kita miliki untuk mengurai pesan foto iklan.
e. Animasi. Dari punctum yang menimbulkan rasa mourning itu kita
mengawali perjalanan kita. Kali ini foto mendatangi kita – adveniens.
Foto menyorot ke arah kita dan itu membuat kita mendatangi foto.
Bukan hanya saya memandang foto melainkan foto memandang saya.
Tiba-tiba foto menjadi hidup. Terjadi animasi: foto mempunyai jiwa,
anima.
f. Desire. Foto tidak hanya memberikan amusement melainkan juga
menimbulkan dorongan kuat (desire) untuk menemukan keapaan foto
itu. di hadapan foto, kita masih percaya bahwa foto bukan hanya
menyangkut hal-hal yang sudah terjadi. Lewat punctum, kita
menemukan tempat yagn pas untuk desire kita; foto lalu menyediakan
kairos of my desire. Ini penyucian desire.
5. Realisme Fotografis dalam Budaya
Media
a. Foto dalam budaya media. Dengan istilah budaya media dimaksudkan
budaya yang lahir dan berkembang lewat media massa atau teknologi
71
informasi baru (new technology of information) atau media baru (new
media). Kini juga dipakai istilah budaya media baru (new media
culture). Dalam uraian di atas kita melihat fungsi unik dari foto
sebagai salah satu bentuk representasi – fungsi yang tidak dimiliki
oleh bentuk-bentuk lain seperti tulisan dan film (sekalipun film
mengambil bahan dasarnya dari foto).
b. Domestikasi kekuatan foto. Kehadiran foto dalam media dipandang
Barthes sebagai bentuk domestikasi atau penjinakan kekuatan “gila”
dari foto. “Photography is dangerous” kata Barthes. Oleh karena itu
foto harus dijinakkan. Bukankah kita dapat mengatakan sebaliknya?
Foto mempunyai kekuatan luar biasa (gila) maka foto dipakai oleh
media? Jinaknya foto bukanlah merupakan tujuan dari pemakaian foto
dalam media, melainkan akibat (yang sebenarnya tidak dikehendaki
oleh media).
c. Iklan dan stereotipe. Gejala stereotipisasi yang menjinakkan foto
paling jelas kita temukan dalam foto iklan, karena tujuan iklan adalah
menciptakan stereotipe. Pilihan foto dan cara mengombinasikannya
dengan teks merupakan sebuah seni tersendiri sehingga bisa
menghasilkan stereotipe secepatnya dan seluas-luasnya serta bertahan
selama mungkin.
d. Budaya iklan. Hakikat dan corak komunikasi promosional ini
menempatkan iklan sebagai budaya. Iklan mempunyai syarat memadai
untuk menjadi budaya. Karena kepentingan iklan adalah konsumsi,
72
budaya yang dihasilkan dapat kita sebut budaya konsumsi atau budaya
promosional.
I. Kerangka berfikir
Saat komunikator berkomunikasi dengan komunikan, komunikator
mengharapkan komunikan dapat memahami isi pesannya. Pesan ini
menstimuli komunikan untuk membentuk makna bagi dirinya sendiri,
sehubungan dengan makna yang diturunkan komunikator dalam pesannya.
Simbol-simbol yang dirasa mirip dengan simbol Yahudi Israel Bintang David
dan Evil Eye dalam media entertainment pada dasarnya merupakan karya
manusia yang bersifat non naratif dengan pretense ada maksud atau tujuan-
tujuan tertentu dari pembuatnya.
Simbol-simbol dapat dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang
nyata dari individu, yang dibangun oleh para creator-nya. Simbol
didefinisikan dalam penelitian ini, mempunyai makna yang dalam. Ferdinand
de Saussure mengajarkan tentang bagaimana simbol berasosiasi dengan
semua jenis kejadian, pengalaman-pengalaman yang sebagian besar
mempunyai pengaruh emosional bagi orang lain.
Jika komunikan sudah mampu memahami simbol yang dibuat tersebut
berarti tujuan creator atau komunikator sudah berhasil, paling tidak sudah
berhasil mempengaruhi pikiran bahwa simbol Yahudi Israel seperti Bintang
David dan Evil Eye (mata satu/mata iblis) dan lain sebagainya itu dimaklumi
dengan dalih seni. Jadi Sang creator membuat masyarakat untuk mendukung
73
penggunaan simbol tersebut yang sudah jelas-jelas menjadi musuh orang
Islam.
Karena ada perbedaan antara denotasi dan konotasi secara umum
dengan pengertian Barthes maka kerangka berfikir Barthes dapat dijelaskan
sebagai berikut: proses signifikasi tradisional disebut sebagai denotasi, ini
biasanya mengacu pada arti sesuatu yang sesuai dengan apa yang terucap.
Sedangkan menurut Roland Barthes denotasi merupakan signifikasi tingkat
pertama, lalu dilanjutkan dengan signifikasi kedua yaitu konotasi.
Menurutnya sesuatu tanda tidak bisa dimaknai secara denotatif saja
melainkan ada makna konotasi yang sebenarnya adalah makna sesungguhnya
yang tertutup oleh keharfiahan makna denotasi. Selanjutnya menurutnya
konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagi mitos.
Mitos berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi
nilai-nilai dominan yang berlaku dalam periode tertentu (Budiman, 2001: 28
dalam Sobur, 2006). Dia menjelaskan bahwa mitos adalah ideologi yang
ditanam secara ideal, walaupun berbeda dengan realitasnya. Ideologi ada
selama kebudayaan ada, maka dari itu Barthes berbicara tentang konotasi
sebagai ekspresi budaya, seperti simbol, tanda, gambar, dan bentuk-bentuk
budaya lainnya yang dapat dilihat seperti sekarang.