bab ii

88
19 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Tentang Dajjal Dari Al Qur’an Dan Al Hadist 1.Tinjauan dari Al Qur’an Di dalam Al Qur’an sangat banyak kisah tentang Yahudi seperti dalam QS. Al Baqoroh:120 Artinya: Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu” (Al Qur’an Depag RI). Dalam kasus ini menurut peneliti ada kaitannya pemakaian simbol yang ada di media massa adalah simbol Yahudi Israel sebagai salah satu cara untuk mempengaruhi umat muslim agar mau

Upload: elisanurullaili

Post on 05-Jul-2015

552 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II

19

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Tentang Dajjal Dari Al Qur’an Dan Al Hadist

1. Tinjauan dari Al Qur’an

Di dalam Al Qur’an sangat banyak kisah tentang Yahudi seperti

dalam QS. Al Baqoroh:120

Artinya: Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu” (Al Qur’an Depag RI).

Dalam kasus ini menurut peneliti ada kaitannya pemakaian simbol

yang ada di media massa adalah simbol Yahudi Israel sebagai salah satu

cara untuk mempengaruhi umat muslim agar mau mengikuti agama

mereka. Di sini simbol-simbol yang akan diteliti adalah Simbol Yahudi

Israel yang sengaja diproduksi. Dalam QS. Al Baqoroh:120 tersebut

menurut peneliti upaya Yahudi Israel dalam menggelincirkan keyakinan

umat Islam agar mengikuti agama mereka, ditempuh melalui berbagai

cara agar kita masuk agama mereka, dalam hal ini mungkin saja yang

sedang diamati oleh peneliti adalah salah satu cara mereka.

Pada awalnya kaum Yahudi (Bani Israil) awalnya adalah kaum

yang dikasihi Allah Swt sebagaimana umat manusia lainnya. Namun

Page 2: BAB II

20

disebabkan kecenderungan mereka terhadap kesesatan dan kemusyrikan,

dengan memilih mengikuti Samiri ketimbang Musa a.s., maka Allah Swt

(dalam beberapa ayat dalam Al Qur’an) mengutuk mereka. Sejak itulah

kaum Yahudi ditakdirkan Allah Swt sebagai kaum yang tidak memiliki

tanah di bumi ini. Mereka akan terus menyebar, berdiaspora, di seluruh

penjuru dunia hingga hari akhir. Terkait dengan takdir Allah Swt ini dan

dengan hari akhir, kaum Yahudi terpecah menjadi dua golongan.

Pertama, kaum Zionis dan Kedua, kaum Anti Zionis. Keduanya sepakat

jika di hari akhir mereka akan kembali ke Yerusalem

(www.eramuslim.com).

Kaum Zionis menganggap kaum Yahudi harus sesegera mungkin

menguasai Yerusalem untuk menyambut turunnya kembali Messiah yang

mereka tunggu-tunggu. Oleh sebab itu, dengan segenap kekuatan dan

tipu daya mereka, kaum Zionis ini tanpa kenal lelah terus-menerus

memerangi bangsa Palestina agar seluruh tanah Palestina bisa

dikuasainya. Peperangan yang dilancarkan kaum Zionis ini adalah

peperangan agama. Sedang kaum Yahudi yang menentang Zionisme

menganggap jika mereka tidak boleh mendahului Mesiah. Mesiah,

menurut keyakinan mereka, ditugaskan oleh Tuhan untuk kembali turun

ke bumi guna memimpin kaum Yahudi yang tersebar ke seluruh dunia

untuk kembali lagi ke Yerusalem. Mesiahlah yang akan memimpin

mereka untuk kembali ke Yerusalem. Kaum Yahudi yang seperti ini

dikenal sebagai kaum Yahudi ortodoks (www.eramuslim.com).

Page 3: BAB II

21

Dalam kepercayaan Zionis-Yahudi yang sesungguhnya berasal dari

kepercayaan Paganisme kuno bernama Kabbalah, di mana Raja Iblis

bernama Lucifer menjadi Tuhannya, simbol-simbol digunakan sebagai

bagian dari ritual mereka. Mereka percaya, setiap simbol mengandung

kekuatan magis yang mampu membawa kebaikan bagi yang

menggunakannya. Misalnya simbol Bintang David dipercaya memiliki

kekuatan menyerap kekuatan semesta dari enam penjuru mata angin.

Selain itu filosofi dari simbol ini sangat banyak dan menjadi salah satu

simbol pagan paling digemari.

Gerakan Zionis besemboyan: “Satu bangsa adalah bangsa Yahudi

dan satu tanah ialah tanah Yahudi”. Tanah air Yahudi berpusatkan di

Gunung Zion. Lambang Zionis adalah Bintang David. Bintang David

terbentuk dari dua buah segitiga sebagai ilustrasi dari pyramid terbalik

dan gunung Zion, jika digabungkan maka akan menjadi Bintang David

seperti yang terlihat. (A.D. El Marzdedeq, 2005: 119-121). Sedangkan

simbol Mata adalah simbol Mata Horus yang bisa dikatakan adalah mata

yang mampu melihat segalanya, yaitu Simbol “Tuhan” yang selalu

mengawasi mereka .

Yahudi Israel bergerak secara rahasia, lalu semakin lama

semakin bergerak terus hingga secara terang-terangan. Pergerakan

mereka tidaklah kita sadari. Mereka dengan cerdik memasukkan “diri

mereka” ke dalam aktifitas umat manusia di berbagai Negara seluruh

Page 4: BAB II

22

dunia. Untuk memahami hal tersebut dapat diperhatikan simbol-simbol

organisasi mereka yang tersebar di seluruh dunia sebagai berikut:

2. Tinjauan dari Al Hadist

Beberapa hadits di bawah ini menunjukkan informasi aktual,

khususnya peringatan kepada umat Islam untuk bersatu padu dalam satu

gerakan terpadu (ittihadul-ummah) untuk menghadapi al-Masih ad-Dajjal

yang semakin tampak tanda-tandanya, sebagaimana dijelaskan dalam

beberapa hadist berikut:

Abd bin Humaid menceritakan kepada kami, Abdur Razzaq memberitahukan kepada kami dari Salim dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Golongan Yahudi memerangi kamu lalu kamu dapat menguasai mereka sehingga batu berkata: “Hai orang muslim,ini orang Yahudi dibelakangku,bunuhlah dia.”( (kitab Sunan At Tirmidzi juz III,1992: 727)

Dari Hudzaifah r. a. bahwa Rasulullah saw bersabda: "Suatu saat Dajal akan muncul dengan membawa air dan api. Adapun yang terlihat oleh manusia sebagai air, pada hakikatnya adalah api yang mambakar. Sedangkan yang terlihat oleh manusia sebagai api, pada hakikatnya adalah air yang sejuk dan tawar. Barangsiapa yang mendapatinya diantara kalian, maka hendaknya ia memilih apa yang terlihat sebagai api karena pada hakihatnya ia adalah air tawar lagi baik." (Muttafaqun 'alaihi).

Muhammad bin Abdul A’la Ash Shan’ani menceritakan kepada kami, Al Mut’tamir bin Sulaiman memberitahukan kepada kami dari Ubaidillah bin Umar dari Nafi” dari Rasulullah saw bahwa Beliau ditanya tentang Dajjal lalu Beliau bersabda: “Ingatlah sesungguhnya Tuhanmu tidak buta(buta sebelah) dan sesungguhnya dia(Dajjal) itu buta matanya sebelah kanan seolah-olah matanya itu buah anggur yang hilang cahanya”.( (kitab Sunan At Tirmidzi juz III,1992: 737)

B. Telaah Pustaka

Page 5: BAB II

23

Dalam penelitian terdahulu mengenai analisis semiologi yang sudah

banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya diantaranya:

Skripsi dari Titin Sri Rahayu, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

UNS tahun 2004 dengan judul “Menguak Pesan Moral Cover Album SLANK

(Studi Pesan Cover Album 1-11 Group Musik Indonesia SLANK Dengan

Analisis Semiologi Komunikasi)”. Dalam penelitian ini membahas dan

menganalisis tentang pemaknaan pada tanda-tanda yang bersifat konotatif

dengan cara proses semiologi, yakni bagaimana makna dibangun dari

hubungan tanda, penanda, interpretant. Dalam hal ini peneliti sebagai penafsir

yang bekerja dengan menggunakan kaidah-kaidah semiologi komunikasi.

Hasil analisis menunjukkan bahwa pesan moral dan cover album SLANK,

yang dilakukan lima kategorisasi yakni pada kategori pesan perdamaian, hasil

kajian menunjukkan sikap pemberani, komunikator dalam mencapai

kemenangan untuk menyuarakan perdamaian, berhentinya perang dan

menunjukkan sikap kepedulian terhadap masalah yang terjadi di dunia, serta

mengajak komunikan membaca pesan tersebut diharapkan menunjukkan

sikap kepedulian atau simpatinya dan ikut menyuarakan anti perang.

Skripsi Imam Wahyudi, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret tahun 2006 dengan judul

“Islam dan terorisme dalam sinema Amerika (Studi semiotika tentang

persepsi Amerika terhadap simbol-simbol terorisme umat Islam dalam film

Syriana)”. Dalam penelitian ini membahas dan menganalisis tentang simbol-

simbol terorisme yang dilakukan oleh umat Islam. Dengan menggunakan

Page 6: BAB II

24

analisis semiotika Roland Barthes maka dipilih scene-scene yang

mengandung simbol-simbol terorisme, selanjutnya simbol tersebut akan

diteliti analisis Barthes. Dalam penelitian ini, pada dasarnya sebuah film

terkandung simbol-simbol yang dapat dimaknai. Setelah sampai pada tahapan

analisis, penelitian ini membuahkan hasil bahwa film syriana mengandung

simbol-simbol terorisme yang dilakukan sebagian umat Islam yang

terangkum dalam kategori pelaku tindak terorisme, sebab dan tujuan

terorisme, ajaran Islam sebagai dasar terorisme, tokoh dan organisasi pro

terorisme. Dalam ketegori pelaku tindak terorisme muncul gambaran-

gambaran bahwa pelaku teror adalah sekelompok umat Islam. Sementara,

terorisme juga digambarkan secara gamblang dengan melakukan praktek jual

beli senjata gelap, peledakan kapal tanker, serta pesan pelaku tindak terorisme

yang melakukan aksi bunuh diri.

Skripsi Pandhu Winata Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial

Dan Ilmu Politik, UNS tahun 2007 dengan judul “Representasi Simbol

Keagamaan Dalam Film Da Vinci Code”. Dalam penelitian ini

mengemukakan dalam film Da Vinci Code memaparkan alur simbolik dari

peradaban Pagan, Yahudi dan Kristen. Penelitian ini memfokuskan

permasalahan pada bagaimana sebuah simbol diinterpretasikan dalam film

The Da Vinci Code karya Ron Howard, mengetahui alur-alur pemaknaannya

serta fungsi mitos-mitos pembentuk makna sebuah simbol. Dalam penelitian

ini sering sekali simbol dijadikan media kampanye tersembunyi untuk sebuah

maksud pesan tertentu, paling tidak itulah yang terdapat dalam film-film

Page 7: BAB II

25

Amerika yang mengusung tema kepahlawanan, nasionalisme, hingga

kebebasan. Bila demikian, makna sebuah simbol mengalami perubahan

makna, timbul tenggelam hingga didekontruksi oleh pemegang kekuasaan

atau wewenang melalui perubahan mitos-mitos penyusunnya. Maka akan

terjadi beda pendapat dalam memaknai sebuah simbol yang sama. Di satu

pihak mendapatkan keuntungan sedang yang lain sebaliknya, mengalami

kekerasan simbolik seperti yang diungkapkan Barthes. Menurutnya

pemaknaan simbol-simbol tersebut selalu dipengaruhi kebudayaan

masyarakat pembentuknya melalui mitos-mitos yang biasanya tidak bersifat

empiris, melainkan lebih pada kesepakatan bersama.

C. Tinjauan Tentang Komunikasi

1. Pengertian Komunikasi

Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication

berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis

yang berasal sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna. Jadi,

kalau dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam bentuk

percakapan, maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada

kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan. Kesamaan bahasa

yang dipergunakan dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan

kesamaan makna. Dengan kata lain, mengerti bahasanya saja belum tentu

mengerti makna yang dibawakan oleh bahasa itu. Jelas bahwa percakapan

kedua orang dapat dikatakan komunikatif apabila kedua-duanya, selain

Page 8: BAB II

26

mengerti bahasa yang dipergunakan, juga mengerti makna dari bahan yang

dipercakapkan (Effendy, 2006: 9).

Akan tetapi, pengertian komunikasi di atas sifatnya dasariah, dalam

arti kata bahwa komunikasi itu minimal harus mengandung kesamaan

makna antara dua pihak yang terlibat. Dikatakan minimal karena kegiatan

komunikasi tidak hanya informatif, yakni agar orang lain mengerti dan

tahu, tetapi juga persuasif, yaitu agar orang lain bersedia menerima suatu

paham keyakinan, melakukan sesuatu perbuatan atau kegiatan dan lain-

lain.

Peneliti mengamati bahwa apa yang dilakukan oleh para pembuat

simbol modifikasi ini sungguh dengan jeli menyisipkan simbol hasil

design-nya dengan baik. Contoh simbol Bintang David dalam scene

background lagu hikayat cinta yang di populerkan oleh Glenn Fredly

featuring Dewi persik.

Dalam scene background lagu hikayat cinta tersebut lebih mirip

Bintang David daripada hexagonal air. Boy salah satu staff dari Sony

BMG, si pembuat simbol tersebut mengatakan bahwa logo itu adalah

menggambarkan air. Sedangkan Glenn dan Dewi persik sendiri mengaku

tidak tahu tentang simbol tersebut (www.detik.com, 2008)

2. Fungsi dan Tujuan Komunikasi

Dalam (Widjaja, 1993: 9-11) fungsi komunikasi dipandang dari

arti yang lebih luas, tidak hanya diartikan sebagai pertukaran berita dan

pesan tetapi sebagai kegiatan individu dan kelompok mengenai tukar

Page 9: BAB II

27

menukar data, fakta dan ide maka fungsinya dalam setiap sistem sosial

adalah:

a. Informasi: pengumpulan, penyimpanan, pemrosesan,

penyebaran berita, data, gambar, fakta dan pesan opini serta komentar

yang dibutuhkan agar dapat dimengerti dan beraksi secara jelas

terhadap kondisi lingkungan dan orang lain agar dapat mengambil

keputusan yang tepat.

b. Sosialisasi (pemasyarakatan): penyediaan sumber ilmu

pengetahuan yang memungkinkan orang bersikap dan bertindak

sebagai anggota masyarakat yang efektif sehingga ia sadar akan fungsi

sosialnya sehingga ia dapat aktif di dalam masyarakat.

c. Motivasi: menjelaskan tujuan setiap masyarakat jangka

pendek maupun jangka panjang, mendorong orang menentukan

pilihannya dan keinginannya, mendorong kegiatan individu dan

kelompok berdasarkan tujuan bersama yang akan dikejar.

d. Perdebatan dan diskusi: menyediakan dan saling menukar

fakta yang diperlukan untuk memungkinkan persetujuan atau

menyelesaikan perbedaan pendapat mengenai masalah publik,

menyediakan bukti-bukti yang relevan yang diperlukan untuk

kepentingan umum agar masyarakat lebih melibatkan diri dalam

masalah yang menyangkut kepentingan bersama di tingkat nasional

dan lokal.

Page 10: BAB II

28

e. Pendidikan: pengalihan ilmu pengetahuan sehingga

mendorong perkembangan intelektual, pembentuk watak dan

pendidikan keterampilan dan kemahiran yang diperlukan pada semua

bidang kehidupan.

f. Memajukan kebudayaan; penyebaran hasil kebudayaan dan

seni dengan maksud melestarikan warisan masa lalu, perkembangan

kebudayaan yang memperluas horizon seseorang, membangun

imajinasi dan mendorong kreativitas dan kebutuhan estetikanya.

g. Hiburan: penyebarluasan sinyal, simbol, suara dan image

dari drama, tari, kesenian, kesusasteraan, musik, olah raga, permainan

dan lain-lain untuk rekreasi, kesenangan kelompok dan individu.

h. Integrasi: menyediakan bagi bangsa, kelompok dan

individu kesempatan untuk memperoleh berbagai pesan yang mereka

perlukan agar mereka dapat saling kenal dan mengerti serta

menghargai kondisi, pandangan dan keinginan orang lain (Widjaja,

1993: 9-11).

Sedangkan ada empat tujuan atau motif komunikasi yang perlu

dikemukakan di sini. Tujuan komunikasi pada dasarnya tetap sama,

bagaimanapun hebatnya revolusi elektronika dan revolusi-revolusi lain

yang akan datang (Arnold dan Bowers, 1984; Naisbit.1984 dalam Prof. Dr.

Astrid S.Susanto-Sunarto: 1995) mengemukakan bahwa tujuan

komunikasi adalah sebagai berikut:

Page 11: BAB II

29

a. Menemukan

Salah satu tujuan utama komunikasi menyangkut penemuan diri

(personal discovery). Bila anda berkomunikasi dengan orang lain, anda

belajar mengenai diri sendiri selain juga tentang orang lain.

Kenyataannya, persepsi-diri anda sebagian besar dihasilkan dari apa

yang telah anda pelajari tentang diri sendiri dari orang lain selama

komunikasi, khususnya dalam perjumpaan-perjumpaan antarpribadi.

Dengan berbicara tentang diri kita sendiri dengan orang lain kita

memperoleh umpan balik yang berharga mengenai perasaan, pemikiran,

dan perilaku kita. Dari perjumpaan seperti ini kita menyadari, misalnya

bahwa perasaan kita ternyata tidak jauh berbeda dengan perasaan orang

lain. Pengukuhan positif ini membantu kita merasa "normal."

Cara lain di mana kita melakukan penemuan diri adalah melalui

proses perbandingan sosial, melalui perbandingan kemampuan, prestasi,

sikap, pendapat, nilai, dan kegagalan kita dengan orang lain. Artinya,

kita mengevaluasi diri sendiri sebagian besar dengan cara

membandingkan diri kita dengan orang lain.

Dengan berkomunikasi kita dapat memahami secara lebih baik diri

kita sendiri dan diri orang lain yang kita ajak bicara. Tetapi, komunikasi

juga memungkinkan kita untuk menemukan dunia luar, dunia yang

dipenuhi objek, peristiwa, dan manusia lain. Kita mendapatkan banyak

informasi dari media, mendiskusikannya dengan orang lain, dan

Page 12: BAB II

30

akhirnya mempelajari atau menyerap bahan-bahan tadi sebagai hasil

interaksi.

b. Untuk berhubungan

Salah satu motivasi kita yang paling kuat adalah berhubungan

dengan orang lain (membina dan memelihara hubungan dengan orang

lain). Kita ingin merasa dicintai dan disukai, dan kemudian kita juga

ingin mencintai dan menyukai orang lain. Kita menghabiskan banyak

waktu dan energi komunikasi kita untuk membina dan memelihara

hubungan sosial.

c. Untuk meyakinkan

Media masa ada sebagian besar untuk meyakinkan kita agar

mengubah sikap dan perilaku kita. Tetapi kita juga menghabiskan

banyak waktu untuk melakukan persuasi antarpribadi, baik sebagai

sumber maupun sebagai penerima. Dalam perjumpaan antarpribadi

sehari-hari kita berusaha mengubah sikap dan perilaku orang lain. Kita

berusaha mengajak mereka melakukan sesuatu

d. Untuk bermain

Kita menggunakan banyak perilaku komunikasi kita untuk bermain

dan menghibur diri. Kita mendengarkan pelawak, pembicaraan, musik,

dan film sebagian besar untuk hiburan. Demikian pula banyak dari

perilaku komunikasi kita dirancang untuk menghibur orang lain

(menceritakan lelucon mengutarakan sesuatu yang baru, dan

mengaitkan cerita-cerita yang menarik). Adakalanya hiburan ini

Page 13: BAB II

31

merupakan tujuan akhir, tetapi adakalanya ini merupakan cara untuk

mengikat perhatian orang Iain sehingga kita dapat mencapai tujuan-

tujuan lain.

Tentu saja, tujuan komunikasi bukan hanya ini; masih banyak

tujuan komunikasi yang lain. Tetapi keempat tujuan yang disebutkan di

atas tampaknya merupakan tujuan-tujuan yang utama (Prof. Dr. Astrid

S.Susanto-Sunarto: 1995).

3. Proses Komunikasi

Proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap, yakni secara primer

dan secara sekunder (Effendy, 2006: 11-16).

a. Proses komunikasi secara primer

Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian

pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan

menggunakan lambang (simbol) sebagai media. Lambang sebagai

media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, kial, isyarat,

gambar, warna dan lain sebagainya yang secara langsung mampu

“menerjemahkan” pikiran dan perasaan komunikator kepada

komunikan.

Gambar sebagai lambang yang banyak dipergunakan dalam

komunikasi memang melebihi kial, isyarat dan warna dalam hal

kemampuan “menerjemahkan” pikiran seseorang, tetapi tetap tidak

melebihi bahasa. Buku-buku yang ditulis dengan bahasa sebagai

lambang untuk “menerjemahkan” pemikiran tidak mungkin diganti

Page 14: BAB II

32

oleh gambar, apalagi oleh lambang-lambang lainnya. Komunikasi

berlangsung apabila terjadi kesamaan makna dalam pesan yang

diterima oleh komunikan.

b. Proses komunikasi secara sekunder

Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian

pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat

atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai

media pertama.

Seorang komunikator menggunakan media kedua dalam

melancarkan komunikasinya karena komunikan sebagai sasarannya

berada di tempat yang relatih jauh atau jumlahnya banyak. Surat,

telepon, teleks, surat kabar, majalah, radio, televisi, film dan banyak

lagi adalah media kedua yang sering digunakan dalam komunikasi.

Karena proses komunikasi sekunder ini merupakan sambungan

dari komunikasi primer untuk menembus dimensi ruang dan waktu,

maka dalam menata lambang-lambang untuk memformulasikan isi

pesan komunikasi, komunikator harus memperhitungkan cirri-ciri atau

sifat-sifat media yang akan digunakan. Penentuan media yang

dipergunakan sebagai hasil pilihan dari sekian banyak alternatif perlu

didasari pertimbangan mengenai siapa komunikan yang akan dituju.

Dengan demikian proses komunikasi secara sekunder itu

menggunakan media yang diklasifikasikan sebagai media massa

Page 15: BAB II

33

(massmedia) dan media nirmassa atau media nonmassa (non-mass

media). Ada beberapa unsur dalam berkomunikasi diantaranya:

1) Sender: komunikator yang menyampaikan pesan kepada

seseorang atau sejumlah orang.

2) Encoding: penyadian, yakni proses pengalihan pikiran ke dalam

bentuk lambang.

3) Message: Pesan yang merupakan seperangkat lambang bermakna

yang disampaikan oleh komunikator.

4) Media: Saluran komunikasi tempat berlalunya pesan dari

komunikator kepada komunikan.

5) Decoding: Pengawasandian, yaitu proses di mana komunikan

menetapkan makna pada lambang yang disampaikan oleh

komunikator kepadanya.

6) Receiver: Komunikan yang menerima pesan dari komunikator.

7) Response: Tanggapan, seperangkat reaksi pada komunikan setelah

diterima pesan.

8) Feedback: Umpan balik, yakni tanggapan komunikan apabila

tersampaikan atau disampaikan kepada komunikator.

9) Noise: Gangguan tak terencana yang terjadi dalam proses

komunikasi sebagai akibat diterimanya pesan lain oleh

komunikan yang berbeda dengan pesan yang disampaikan oleh

komunikator kepadanya.

Page 16: BAB II

34

4. Prinsip Komunikasi

Untuk dapat memahami hakikat suatu komunikasi perlu diketahui

prinsip dasar dari komunikasi tersebut. Menurut Seiler (1988), ada empat

prinsip dasar dari komunikasi yaitu (Arni, 2001: 19-22):

a. Komunikasi adalah suatu proses

Komunikasi adalah suatu proses karena merupakan suatu seri

kegiatan yang terus-menerus, yang tidak mempunyai permulaan atau

akhir dan selalu berubah-ubah. Komunikasi juga bukanlah suatu

barang yang dapat ditangkap dengan tangan untuk diteliti.

Komunikasi menurut Seiler (1988) lebih merupakan cuaca yang

terjadi dari bermacam-macam variabel yang kompleks dan terus

berubah. Kadang-kadang cuaca hangat, matahari bersinar, pada waktu

yang lain cuaca dingin, berawan dan lembap. Keadaan cuaca

merefleksikan satu variasi saling berhubungan yang kompleks yang

tidak pernah ada duplikatnya.

Komunikasi juga melibatkan suatu variasi saling berhubungan

yang kompleks yang tidak pernah ada duplikat dalam cara yang persis

sama yaitu: saling hubungan diantara orang, lingkungan,

keterampilan, sikap, status, pengalaman dan perasaan, semuanya

menentukan komunikasi yang terjadi pada suatu waktu tertentu.

b. Komunikasi adalah sistem

Komunikasi terdiri dari beberapa komponen, dan masing-

masing komponen mempunyai tugas masing-masing. Tugas dari

Page 17: BAB II

35

masing komponen berhubungan satu sama lain untuk menghasilkan

suatu komunikasi. Misalnya pengirim mempunyai peranan untuk

menentukan apa informasi atau apa arti yang akan dikomunikasikan.

Setelah tahu apa arti atau informasi yang akan dikirimkan, informasi

tersebut perlu diubah ke dalam kode atau sandi-sandi tertentu sesuai

dengan aturannya sehingga berupa suatu pesan.

Jadi komponen pesan ada kaitannya dengan komponen

pengirim. Bila pengirim tidak benar menyandikan arti yang akan

dikirim maka terjadilah pesan itu kurang tepat. Kurang tepatnya pesan

yang dikirimkan akan mempengaruhi komponen penerima dalam

menginterpretasikan isi pesan sehingga si penerima mungkin juga

akan salah dalam menginterpretasikannya. Kaitan komponen pesan

dengan saluran misalnya bila pesan disampaikan dengan lisan maka

gelombang suara adalah sebagai saluran dan ini juga akan berkaitan

dengan si penerima dalam mengikuti pesan yang harus menggunakan

pendengarannya dalam menerima pesan tersebut. Begitulah, antara

satu komponen dengan komponen yang lain saling berkaitan dan bila

terdapat gangguan pada satu komponen akan berpengaruh pada proses

komunikasi secara keseluruhan.

c. Komunikasi bersifat interaksi dan transaksi

Yang dimakud dengan istilah interaksi adalah saling bertukar

komunikasi. Misalnya seseorang berbicara kepada temannya

mengenai sesuatu, kemudian temannya yang mendengar memberikan

Page 18: BAB II

36

reaksi atau komentar terhadap apa yang sedang dibicarakan itu. Begitu

selanjutnya berlangsung secara teratir ibarat orang yang bermain

melempar bola. Seorang melemparkan yang lainnya menangkap

kemudian yang menangkap melemparkan kembali kepada si pelempar

pertama.

Dalam kehidupan sehari-hari komunikasi yang kita lakukan

tidak seteratur itu prosesnya. Banyak dalam percakapan tatap muka

kita terlibat dalam proses pengiriman pesan secara simultan tidak

terpisah seperti pada contoh diatas. Dalam keadaan demikian

komunikasi tersebut bersifat transaksi. Sambil menyandikan pesan

kita juga menginterpresentasikan pesan yang kita terima.

d. Komunikasi dapat terjadi disengaja maupun tidak

disengaja

Komunikasi yang disengaja terjadi apabila pesan yang

mempunyai maksud tertentu dikirimkan kepada penerima yang

dimaksudkan. Komunikasi yang ideal terjadi apabila seseorang

bermaksud mengirim pesan tertentu terhadap orang lain yang ia

inginkan untuk menerimanya. Tetapi itu belumlah merupakan jaminan

bahwa pesan itu akan efektif, karena tergantung kepada faktor lain

yang juga ikut berpengaruh kepada proses komunikasi. Kadang-

kadang ada juga pesan yang sengaja dikirimkan kepada orang yang

dimaksudkan tetapi sengaja tidak diterima oleh orang itu. Misalnya

Page 19: BAB II

37

orang tua yang sengaja berbicara kepada anaknya tetapi anaknya tidak

mau mendengarnya.

Ada juga situasi komunikasi yang tidak sengaja tetapi diterima

oleh orang lain dengan sengaja. Misalnya dalam situasi kelas yang

hening tiba-tiba seorang murid berdiri maju ke depan mengambil

kapur untuk mengisap tinta penanya. Gerakan murid yang tidak

disengaja sebagai pesan itu diterima murid-murid lainnya sebagai

pesan karena tiba-tiba temannya yang lain memperhatikan geraknya

yang menimbulkan bermacam-macam interpretasi bagi mereka. Dari

berbagai macam-macam contoh di atas jelaslah, bahwa komunikasi itu

dapat terjadi disengaja maupun tidak dengan sengaja.

5. Etika Komunikasi

Norma dan nilai dalam masyarakat adalah fundamen dalam manusia

berkomunikasi. Mereka melakukan komunikasi dengan aturan dan norma

yang berlaku, yang mengatur apakah sesuatu boleh dilakukan atau tidak

boleh dilakukan. Kalau dilanggar hanya sangsi yang diperolehnya. Nilai

lebih bersifat apa yang baik dan apa yang buruk dilakukan oleh seseorang.

Keduanya dibatasi oleh kebiasaan dari masyarakatnya atau komunitasnya

sendiri-sendiri.

Dalam profesi dan dalam hubungan sehari-hari, terutama dalam

berkomunikasi antar-persona, pelanggaran etika kerap dilakukan. Tentu

bukan saja kuatnya etnosentrisme dan stereotype, juga adanya kedudukan

social-ekonomi, posisi penguasa dan yang dikuasai, sering menjadi

Page 20: BAB II

38

perbendaharaan setiap tindakan seseorang. Bagi mereka yang mempunyai

kedudukan yang tinggi biasanya mempunyai harapan (expectation) kepada

pihak lain yang dianggap berlebihan. Anggapan tersebut bukan karena

sulit dipahami, tetapi karena mereka mempunyai penyandian yang berbeda

terhadap simbol-simbol yang dibangun oleh lingkungan sosialnya.

Maka dari itu, untuk mengatasi alasan etika dan hambatan budaya

tersebut, beberapa cara dapat ditempuh, antara lain dengan cara kedua

belah pihak supaya lebih terbuka dalam mengemukakan harapan dan nilai

yang dianutnya. Sikap familiarity tersebut mampu memberi peluang lebih

terbuka untuk saling mengerti.

Selanjutnya, masing-masing pihak harus berusaha untuk bersedia

mendekatkan diri (proximite) dengan cara memperkenalkan dunia masing-

masing secara lebih intensif. Terakhir, membangun secara sinergis dalam

bentuk komunikasi dan kerjasama yang lebih egaliter dan saling

menguntungkan misalnya untuk suatu liputan yang sama (Purwasito, 2003:

336)

D. Tinjauan Tentang Semiologi

1. Pengertian Semiologi

Semiologi berasal dari kata semion berarti tanda dan kata logos

artinya ilmu. Jadi semiologi juga disebut dengan semiotika adalah ilmu

tentang tanda dan segala hal yang berhubungan dengan tanda-tanda.

Secara historis, semiologi merupakan buah dari kemajuan ilmu

Page 21: BAB II

39

pengetahuan Barat, dari rasionalisme, empirisme, matematika dan

linguistik yang menjadi ibu kandung semiotika (Purwasito, 2001: 1).

Dalam penelitian ini menggunakan analisis semiologi berarti

menafsirkan simbol-simbol tersebut tidak saja karena penafsiran

signifikasinya tetapi juga bagaimana tanda-tanda yang diciptakan tersebut

mempunyai maksud-maksud atau tujuan tertentu yang lebih pragmatis.

Baik ditujukan kepada dirinya sendiri maupun kepada komunikannya.

Penafsiran Tanda-tanda dalam pesan sebagai upaya kritis mengetahui

tujuan berkomunikasi inilah yang disebut Andrik Purwasito sebagai

semiologi.

Sedangkan semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk

mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam

upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan

bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi,

pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity)

memaknai hal-hal (thing). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat

dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate).

Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi,

dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga

mengkonstitusi system terstruktur dari tanda (Sobur, 2006: 15). Jadi dalam

penelitian ini mencoba mengkaji sebuah tanda, dengan menggunakan

sebuah metode yaitu semiotika atau semiologi.

Page 22: BAB II

40

Semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Studi tentang tanda dan

segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya

dengan tanda-tanda lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka

yang menggunakannya. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-

aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut

mempunyai arti (Kriyantono, 2006: 261).

Pada pengertian semiologi di atas, maka dapat diambil suatu

kesimpulan bahwa semiologi adalah ilmu tentang tafsir tanda, termasuk

sistem tanda. Definisi ini membuat aplikasi semiologi sangat luas, bisa

digunakan berbagai bidang keilmuan, karena semiologi adalah metode

tafsir untuk seluruh tanda yang diproduksi oleh manusia. Semiologi

berkembang menjadi ilmu untuk menafsirkan berbagai hal berhubungan

dengan tanda-tanda, termasuk berguna bagi analisis kritik ideologi, seperti

yang diungkapkan Roland Barthes "semiologi sebagai metode dasar kritik

ideologi," (semiologie comme la methode fundamentale de la critique

ideologique)

2. Semiotika dan Teori Informasi

Bagaimana hubungan antara semiotika dan teori informasi? Doede

Nauta menjelaskan kerangka kerja untuk pembicaraan ihwal perbedaan

konsep dan ukuran-ukuran informasi. Nauta menganggap semiotika

(bersama-sama dengan cybernetics dan teori sistem) sebagai disiplin yang

paling tepat untuk merealisasikan tujuan ini. Ia melihat semiotika sebagai

satu jenis fisiologi pemindahan informasi: “Peralatan teoritik semiotikan

Page 23: BAB II

41

akan ditunjukkan guna melengkapi kerangka kerja yang paling penting

bagi klasifikasi informasi dalam semua keanekaragamannya dan untuk

memahami gejala yang relevan”.

Nauta menganggap sistem konseptual signal-sign-symbol di satu

pihak, dan syntactics-semantics-pragmatics dilain pihak, sebagai hal yang

sangat penting bagi proses informasi, karena kedua system ini berasal dari

semiotika. Mulanya, nauta mencoba suatu pengkajian yang ekstensif pada

semiotika lalu berlanjut pada penyelidikan teori informasi (Sobur, 2006:

14).

3. Pendekatan Terhadap Tanda-Tanda

Dalam sebuah pengkajian tanda/ simbol, perlu memahami tanda/

simbol dengan cara pendekatan terhadap tanda/ simbol itu sendiri. Ada dua

pendekatan penting terhadap tanda-tanda. Pertama, adalah pendekatan

yang didasarkan pada pandangan Ferdinand de Saussure yang mengatakan

bahwa tanda-tanda disusun dari dua elemen, yaitu aspek citra tentang

bunyi (semacam kata atau representasi visual) dan sebuah konsep di mana

citra bunyi disandarkan. Tanda itu sendiri, dalam pandangan Saussure,

merupakan manifestasi konkret dari citra bunyi dan sering diidentifikasi

dengan citra bunyi itu sebagai penanda. Jadi, penanda dan petanda

merupakan unsur-unsur mentalistik. Dengan kata lain, di dalam tanda

terungkap citra bunyi ataupun konsep sebagai dua komponen yang tak

terpisahkan. Kedua, adalah pendekatan tanda yang didasarkan pada

pandangan seorang filsuf dan pemikir Amerika yang cerdas, Charles

Page 24: BAB II

42

Sanders Peirce. Bahwa tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang

menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan

tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut.

Peirce menggunakan istilah ikon untuk kesamaannya, indeks untuk

hubungan sebab-akibat, dan simbol untuk asosiasi konvensional (Sobur,

2006: 31).

Yang dimaksud “tanda” ini sangat luas. Peirce (Fiske, 1990: 50

dalam Kriyantono, 2006: 262) membedakan tanda atau lambang (symbol),

ikon (icon), dan indeks (index). Dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Lambang yaitu suatu tanda di mana hubungan antara

tanda dan acuannya merupakan hubungan yang sudah terbentuk secara

konvensional. Lambang ini adalah tanda yang dibentuk karena adanya

konsensus dari para pengguna tanda. Warna merah bagi masyarakat

Indonesia adalah berani, mungkin di Amerika bukan.

b. Ikon yaitu suatu tanda di mana hubungan antara tanda

dan acuannya berupa hubungan, berupa kemiripan. Jadi, ikon adalah

bentuk tanda yang dalam berbagai bentuk menyerupai objek dari tanda

tersebut. Patung kuda adalah ikon dari seekor kuda.

c. Indeks yaitu suatu tanda di mana hubungan antara tanda

dan acuannya timbul karena ada kedekatan eksistensi. Jadi, indeks

adalah suatu tanda yang mempunyai hubungan langsung (kausalitas)

dengan objeknya. Asap merupakan indeks dari adanya api.

4. Proses Semiotik

Page 25: BAB II

43

Tanda-tanda tidak lagi berdimensi privat tetapi bersifat sosial.

Masyarakat tercipta lewat makna-makna yang bermakna bangun sendiri

dalam interaksi sosial mereka. Ini mempengaruhi pemikiran Peirce yang

mengatakan bahwa criteria kebenaran adalah konsensus sosial. Kebenaran

adalah suatu yang bersifat konvensional (common sense), dan tugas para

ahli ilmu pengetahuna hanya mengklarifikasi diterimanya ide-ide dan

kebenaran tentang sesuatu. Charles Sanders Peirce, mengemukakan

bahwa:

a. Kita mempunyai kekuatan intuitif, semua pengetahuan mengalir

pada dari format pengetahuan.

b. Kita mempunyai kemampuan instropeksi, semua pengetahuan

tentang dunia diciptakan oleh alasan yang hipotetik sebagai dasar dari

observasi tentang sesuatu yang berada di luar diri dan

c. Kita tidak dapat berpikit tanda-tanda.

Membaca tanda-tanda secara umum dapat digambarkan dalam

proses semiotik sebagai berikut :

TANDA

Persepsi Konvensi

KONSEP Pengalaman OBJEK

Page 26: BAB II

44

Tanda/ Sign adalah sesuatu yang tampak. Konsep/ consept pikiran

atau gambaran yang terbawa dalam pikiran manusia sebagai persepsi atas

tanda. Obyek/object adalah segala hal yang ada dan ditemukan yang

merupakan rujukan dari tanda tersebut.

Orang (interpretant) berpikir dalam dirinya ada konsep-konsep

bentuk, ketika melihat Tanda, misalnya gambar atau tulisan Gajah maka

ia akan merujuk atau mengingat pada referentnya, yakni pada

sekumpulan gajah.

Tanda dan konsep berhubungan karena adanya persepsi manusia.

Konsep dan objek berhubungan oleh karena pengalaman manusia. Tanda

objek saling berhubungan karena kebiasaan (konvensi), kebudayaan,

kelompok atau komunitas social di mana seseorang hidup. Di sini jelas

bahwa, penafsiran terhadap tanda-tanda tidak dapat memisahkan diri

dengan konteks di mana tanda itu diciptakan dan dipakai dalam

kehidupan sehari-hari.

1) Persepsi proses dalam pikiran manusia yang menerima

data dari lingkungannya.

2) Pengalaman, memori yang melekat dalam pikiran

manusia, selalu berubah ketika memperoleh pengalaman baru.

3) Konvensi, secara konstan berubah sesuai dengan aturan

makna sosial yang berkembang dari proses dan lingkungan

komunikasi.

Page 27: BAB II

45

E. Tinjauan Tentang Simbol

1. Pengertian Simbol

Secara etimologis, simbol (symbol) berasal dari kata Yunani “sym-

ballein” yang berarti melemparkan bersama suatu (benda, perbuatan)

dikaitkan dengan suatu ide (Hartoko, 1998: 133). Ada pula yang

menyebutkan “symbolos”, yang berarti tanda atau ciri yang

memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang (Herusatoto, 2000: 10).

Biasanya symbol terjadi berdasarkan metonimi (metonymy), yakni nama

untuk benda lain yang berasosiasi atau yang menjadi atributnya. Simbol

juga metafora, pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek atau konsep

lain berdasarkan kias atau persamaan (Kridalaksana, 2001: 136-138).

Konsep yang diungkapkan Peirce, simbol diartikan sebagai tanda

yang mengacu pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri. Hubungan

antara simbol dengan penanda dengan petanda sifatnya konvensional.

Berdasarkan konvensi itu pula masyarakat pemakainya menafsirkan ciri

hubungan antara simbol dengan objek yang diacu dan menafsirkan

maknanya. Dengan demikian, sebuah simbol dapat berdiri untuk sesuatu

institusi, cara berpikir, ide, harapan, aspirasi, sikap dan banyak hal lain

(Sobur, 2006:156). Simbol dapat berupa kata-kata (verbal) perilaku

Page 28: BAB II

46

nonverbal dan objek yang maknanya disepakati bersama, misalnya

memasang bendera di depan rumah sebagai tanda cinta terhadap negara.

Simbol tidak dapat disikapi secara isolatif, terpisah dari hubungan

asosiatifnya dengan simbol lainnya. Walaupun demikian berbeda dengan

bunyi, simbol telah memiliki kesatuan bentuk dan makna. Berbeda pula

dengan tanda (sign), simbol merupakan kata atau sesuatu yang bisa

dianalogikan sebagai kata yang telah terkait dengan (1) penafsiran

pemakai, (2) kaidah pemakaian sesuai dengan jenis wacananya, dan (3)

kreasi pemberian makna sesuai dengan intensi pemakainya. Simbol yang

ada dalam dan berkaitan dengan ketiga butir tersebut disebut bentuk

simbolik.

2. Bahasa Sebagai Sistem Simbol

Kata atau bahasa, di dalam wacana linguistik, diberi pengertian

sebagai sistem symbol bunyi bermakna dan berartikulasi dihasilkan oleh

alat ucap, yang bersifat arbitrer (berubah-ubah) dan konvensional, yang

dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk

melahirkan perasaan dan pikiran.

Bahasa adalah kombinasi kata yang diatur secara sistematis,

sehingga bisa digunakan sebagai alat komunikasi. Kata itu sendiri,

merupakan bagian integral dari simbol yang dipakai oleh kelompok

masyarakatnya. Itu sebabnya, kata bersifat simbolis. Simbol itu menurut

Robert Sibarani, mengutip pendapat Van Zoest, adalah sesuatu yang dapat

menyimbolkan dan mmewakili ide, pikiran, perasaan, benda dan tindakan

Page 29: BAB II

47

secara arbitrer, konvensional, dan representatif-interpretatif. Dalam hal ini,

tidak ada hubungan alamiah antara yang menyimbolkan dan yang

disimbolkan. Implikasinya berarti, baik yang batiniah (perasaan, pikiran

atau ide), maupun lahiriyah (benda dan tindakan) dapat disimbolkan atau

diwakili simbol.

Istilah bahasa dapat digunakan dalam arti harfiah dan metaforis.

Dalam arti harfiah, istilah itu mengacu pada bahasa biasa, yang alami,

yang dipakai dikeseharian, yang di Indonesia jumlahnya tidak kurang dari

650 buah dan di dunia tidak kurang dari 5000 buah. Dalam arti metaforis,

istilah itu mengacu pada berbagai cara berkomunikasi atau berkontak

(kedipan mata, lambaian tangan, nyala lampu berwarna tertentu, gambar

pada rambu-rambu, bunyi kentongan dan sebagainya). Istilah bahasa

dalam metaforis tidak kena-mengena dengan linguistik. Yang langsung

kena-mengena dengan linguistik adalah istilah bahasa dalam arti harfiah,

yang mengacu pada bahasa sebagaimana dikatakan di atas. Dapat

dikatakan bahwa linguistik berurusan dengan bahasa biasa, yang alami,

yang dipakai di keseharian.

3. Simbolisasi: Kebutan Pokok Manusia

Salah satu kebutuhan pokok manusia, seperti dikatakan Susanne K.

Langer, adalah kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambing (Mulyana,

2000: 83). Dan, salah satu sifat dasar manusia adalah kemampuan

menggunakan simbol. Kemampuan manusia menciptakan simbol

membuktikan bahwa manusia sudah memiliki kebudayaan yang tinggi

Page 30: BAB II

48

dalam berkomunikasi, mulai dari simbol yang sederhana seperti bunyi dan

isyarat, sampai kepada simbol yang dimodifikasi dalam bentuk signal-

signal melalui gelombang udara dan cahaya, seperti radio, televisi,

telegram, telex dan satelit (Sobur, 2006: 43).

Kemampuan tersebut, sebagian orang mungkin menyebutnya

keharusan, untuk mengubah data mentah hasil pengalaman indra menjadi

simbol-simbol dipandang sebagai khas manusia. Kita bukan hanya dapat

segera mengubah data tangkapan indra menjadi simbol-simbol, kita juga

dapat menggunakan simbol-simbol untuk menunjuk kepada simbol lain

(seperti konsepsi tujuan, nilai, cita) dan untuk mewariskan pengetahuan

dan wawasan yang terpendam dari generasi ke generasi. Daya simbolisasi,

menurut Wieman dan Walter, bertanggung jawab atas kejadian dan

kelangsungan pertumbuhan kepribadian manusia dan atas pekerjaan-

pekerjaan kreatif umat manusia.

Sebagai pengguna dan penafsir simbol, manusia terkadang irasional

dengan menganggap seolah-olah ada kemestian atau hubungan alamiah

antara suatu simbol dengan apa yang disimbolkan (Sobur, 2006: 165).

Manusia itu unik karena memiliki kemampuan memanipulasi

simbol-simbol berdasarkan kesadaran. Mead menekankan pentingnya

komunikasi, khususnya melalui mekanisme isyarat vocal (bahasa),

meskipun teorinya bersifat umum. Isyarat vocallah yang potensial menjadi

seperangkat simbol yang membentuk bahasa, simbol adalah suatu

rangsangan yang mengandung makna dan nilai yang dipelajari bagi

Page 31: BAB II

49

manusia, dan respons manusia terhadap simbol adalah dalam pengertian

makna dan nilainya daripada dalam pengertian stimulasi fisik dan alat-alat

indranya (Mulyana, 2001: 77).

4. Simbol dan Simbolisme

Ibarat “citra”, simbol muncul dalam konteks yang sangat beragam dan

digunakan untuk berbagai tujuan. Simbol adalah suatu istilah dalam

logika, matematika, semantik, semiotik dan epistemologi, simbol juga

memiliki sejarah panjang di dunia teotologi (simbol adalah sebuah sinonim

dari “kepercayaan”), di bidang liturgi, di bidang seni rupa dan puisi. Unsur

yang sama dalam aneka penggunaan di atas adalah sifat simbol untuk

mewakili sesuatu yang lain. Tetapi, dalam kata simbol sebenarnya ada

unsur kata kerja bahasa Yunani yang berarti mencampurkan,

membandingkan dan membuat analogi antara tanda dan objek yang diacu.

Pengertian ini masih bertahan dalam pemakaian simbol di jaman modern.

“Simbol” aljabar dan logika adalah tanda konvensional yang disetujui

bersama. Tetapi, simbol-simbol keagamaan didasarkan pada suatu

hubungan intrinsik antara “tanda” dan objek yang diacu oleh tanda itu,

baik dalam bentuk metonimia maupun metafora (Sobur, 2001: 43-44).

Menurut teori sastra, simbol sebaiknya dipakai dalam pengertian

sebagai berikut: sebagai objek yang mengacu pada objek lain, tetapi juga

menuntut perhatian pada dirinya sendiri sebagai suatu perwujudan. Simbol

adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara

penanda dengan petandanya, hubungannya bersifat arbitrer (semau-

Page 32: BAB II

50

maunya). Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi. ‘Ibu’ adalah simbol,

artinya ditentukan oleh konvensi masyarakat bahasa (Indonesia) (Sobur,

2001: 44).

Terdapat pandangan yang menganggap simbolisme “hanya

simbolisme”. Menurut pandangan ini, puisi agama hanyalah citraan

indriawi yang disusun secara ritual. Atau sebaliknya, “tanda” dan “makna”

dianggap kosong, karena tidak dapat menjangkau kenyataan moral atau

filsafat yang transedens. Ada pandangan lain yang menganggap

simbolisme sebagai suatu usaha yang dilakukan dengan sengaja, terencana

dan sangat diperhitungkan, untuk menerjemahkan (secara mental) konsep-

konsep menjadi istilah-istilah yang ilustratif, indriawi dan didaktis. Tetapi

menurut Coleridge, alegori memang merupakan suatu penerjemahan

pemikiran abstrak menjadi bahasa bergambar, yang tak lain juga

merupakan abstraksi dan objek-objek indriawi, sedangkan simbol , seperti

dikatakan Wellek & Warren, dicirikan oleh tampaknya sifat-sifat yang

mencirikan spesies pada individu, atau sifat-sifat yang umum (genus) pada

khusus, oleh tampak hal-hal yang bersifat abadi pada hal-hal yang

sementara (Sobur, 2001: 44).

Upaya untuk memahami simbol sering kali rumit/ komplek, fakta

bahwa logika dibalik simbolisasi seringkali tidak sama dengan logika yang

digunakan orang didalam proses-proses pemikiran kesehariannya.

Dalam “bahasa” komunikasi, simbol seringkali diistilahkan sebagai

lambang. Simbol atau lambang sesuatu yang digunakan untuk menujuk

Page 33: BAB II

51

sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan kelompok orang. Lambang

meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku verbal, dan objek yang

maknanya disepakati bersama. Jika simbol merupakan salah satu unsur

komunikasi, simbol tidak muncul dalam ruang hampa-sosial, melainkan

dalam suatu konteks atau situasi tertentu.

5. Simbol Status dan Gaya Hidup

Status pada dasarnya mengarah pada posisi yang dimiliki sesorang di

dalam sejumlah kelompok atau organisasi dan prestise melekat pada posisi

tersebut. Status berarti berhubungan dengan peran seseorang. Status

merupakan kekuatan yang besar di dalam masyarakat yang digunakan

untuk mengendalikan orang dengan cara yang halus. Status adalah simbol

dari kesuksesan hidup-hidup.

Orang yang punya status tertentu kerapkali dihubung-hubungkan

dengan gaya hidup. Gaya hidup adalah istilah menyeluruh yang meliputi

cita rasa seseorang di dalam fashion, mobil, hiburan dan rekreasi, bacaan

dan hal-hal yang lain. Gaya menunjukkan pakaian dan gaya hidup

digunakan untuk menggambarkan bagaimana seseorang berpakaian.

Simbol-simbol merupakan tanda yang menunjuk kepada nilai-nilai,

dan seringkali, meskipun tidak selalu, simbol ini diungkapkan melalui

bahasa. Kadang-kadang juga diungkapkan melalui citra di samping bahasa.

Kesalingkaitan antara nilai, simbol dan bahasa, memiliki pengaruh yang

sangat kuat (Sobur, 2006: 167.

Page 34: BAB II

52

Sedangkan pendekatan simbol pada penelitian ini yang lebih

mengejutkan adalah masuknya pemakaian teori adverstising yang sudah

terkenal, yaitu (ATM) amati, tiru, modifikasi

(http://adverdreams.blogspot.com) peneliti memang merasa bahwa

pemakaian lambang-lambang yang sekarang adalah hasil modifikasi dari

lambang terdahulu yang tercipta pada masa lalu. Pada kasus penelitian ini

setidaknya sang pencipta simbol yang baru (hasil modifikasi) pernah

mempunyai pengalaman tentang simbol Yahudi.

F. Tinjauan Tentang Makna

1. Pengertian Makna

Makna adalah sebuah wahana tanda yaitu suatu kultural yang

diperagakan oleh wahana-wahana tanda yang lainnya serta, dengan begitu,

secara semantik mempertunjukkan pula ketidaktergantungannya pada

wahana tanda yang sebelumnya. Sedangkan menurut Brown, makna

sebagai kecenderungan (disposisi) total untuk menggunakan atau bereaksi

terhadap suatu bentuk bahasa (Sobur, 2006: 255-256).

2. Teori-Teori Makna

Makna pada dasarnya terbentuk berdasarkan berdasarkan

hubungan antara lambang komunikasi (simbol), akal budi manusia

penggunanya. Ada beberapa pandangan yang menjelaskan ihwal teori atau

konsep makna. Model proses makna Wendell Johnsosn (Devito,1997:123-

Page 35: BAB II

53

125) menawarkan sejumlah implikasi bagi komunikasi antarmanusia

(Sobur, 2006: 258):

a. Makna ada dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada kata-kata

melainkan pada manusia. Seseorang menggunakan kata-kata untuk

mendekati makna yang seseorang ingin dikomunikasikan. Tetapi

kata-kata ini tidak secara sempurna dan lengkap menggambarkan

makna yang seseorang maksudkan. Demikian pula, makna yang

didapat komunikan dari pesan-pesan seseorang akan sangat berbeda

dengan makna yang ingin seseorang sampaikan. Komunikasi adalah

proses yang seseorang gunakan untuk mereproduksi, di benak

pendengar, apa yang ada dalam benak seseorang. Reproduksi ini

hanyalah sebuah proses parsial dan selalu bisa salah.

b. Makna berubah. Kata-kata relatif statis. Banyak dari kata-kata yang

seseorang gunakan 200 atau 300 tahun yang lalu. Tetapi makna dari

kata-kata ini terus berubah, dan ini khususnya terjadi pada dimensi

emosional dari makna. Bandingkanlah, misalnya,makna kata-kata

berikut bertahun-tahun yang lalu dan sekarang, hubungan di luar

nikah, obat, agama, hiburan, dan perkawinan (di Amerika Serikat,

kata-kata ini diterima secara berbeda pada saat ini dan di masa-masa

yang lalu).

c. Makna membutuhkan acuan. Walaupun tidak semua komuniksai

mengacu pada dunia nyata, komunikasi hanya masuk akal bilamana

ia mempunyai kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal. Obsesi

Page 36: BAB II

54

seseorang paranoid yang selalu merasa diawasi dan teraniaya

merupakan contoh makna yang tidak mempunyai acuan yang

memadai.

d. Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna. Berkaitan

erat dengan gagasan bahwa makna membutuhkan acuan adalah

masalah komunikasi yang timbul akibat penyingkatan berlebihan

tanpa mengaitkannya dengan acuan yang kongkret dan dapat

diamati. Bila seseorang berbicara tentang cinta, persahabatan,

kebahagian kebaikan, kejahatan, dan konsep-konsep lain yang serupa

tanpa mengaitkannya dengan sesuatu yang spesifik, seseorang tidak

akan bisa berbagi makna dengan lawan bicara.

e. Makna tidak terbatas jumlahnya. Pada saat tertentu, jumlah kata

dalam suatu bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas.karena

itu kebanyakan kata mempunyai banyak makna. Ini bisa

menimbulkan masalah bila sebuah makna bila sebuah kata diartikan

secara berbeda oleh dua orang yang sedang berkomunikasi.

f. Makna dikomunikasikan hanya sebagian. Makna yang seseorang

peroleh dari suatu kejadian bersifat multiaspek dan sangat kompleks,

tetapi hanya sebagian saja dari makna-makna ini benar-benar dapat

dijelaskan.

3. Konsep Makna

Makna, sebagaimana dikemukakan oleh Fisher, merupakan konsep

yang abstrak, yang telah menarik perhatian para ahli filsafat dan para

Page 37: BAB II

55

teoritisi ilmu sosial selama 2000 tahun silam. Semenjak Plato

mengkonseptualisasikan makna manusia sebagai salinan “ultrarealitas”,

para pemikir besar telah sering mempergunakan konsep itu dengan

penafsiran yang sangat luas yang merentang sejak pengungkapan mental

dari Locke sampai ke respons yang dikeluarkan dari Skinner.

Bagi orang awam, untuk memahami makna tertentu ia dapat

mencari kamus, sebab di dalam kamus terdapat makna yang disebut makna

leksikal. Dalam kehidupan sehari-hari, orang sulit menerapkan makna

yang terdapat dalam kamus, sebab makna sebuah kata sering bergeser jika

dalam satuan kalimat. Dengan kata lain, setiap kata kadang-kadang

mempunyai makna luas. Itu sebabnya kadang-kadang orang tidak puas

dengan makna kata yang tertera di dalam kamus (Sobur, 2001: 19-20).

Upaya memahami makna, sesungguhnya merupakan salah satu

masalah filsafat yang tertua dalam umur manusia. Konsep makna telah

menarik perhatian disiplin komunikasi, psikologi, sosiologi, antropologi

dan linguistik. Itu sebabnya, beberapa pakar komunikasi sering menyebut

kata makna ketika mereka merumuskan definisi komunikasi.

Para ahli mengakui, istilah makna (meaning) memang merupakan

kata dan istilah yang membingungkan. Dalam bukunya The Meaning of

Meaning, Ogden dan Richards telah mengumpulkan tidak kurang dari 22

batasan mengenai makna. Bentuk makna diperhitungkan sebagai istilah,

sebab bentuk ini mempunyai konsep dalam bidang ilmu tertentu, yakni

dalam bidang linguistik. Dalam penjelasan Umberto Eco, makna dari

Page 38: BAB II

56

sebuah wahana tanda (sign-vechicle) adalah satuan cultural yang

diperagakan oleh wahana-wahana tanda yang lainnya serta, dengan begitu,

secara semantik mempertunjukkan pula ketidaktergantungannya pada

wahana tanda yang sebelumnya (Sobur, 2001: 255).

Brown mendefinisikan makna sebagai kecenderungan (disposisi)

total untuk menggunakan atau bereaksi terhadap suatu bentuk bahasa.

Terdapat banyak komponen dalam makna yang dibangkitkan suatu kata

atau kalimat. Dengan kata Brown, “Seseorang mungkin menghabiskan

tahun-tahunnya yang produktif untuk menguraikan makna suatu kalimat

tunggal dan akhirnya tidak menyelesaikan tugas itu” (Mulyana, 2000:

256).

4. Jenis-Jenis Makna

Ada beberapa pendapat mengenai jenis atau tipe makna. Brobeck

mengemukakan bahwa sebenarnya ada tiga pengertian tentang konsep

makna yang berbeda-beda. Salah satu jenis makna, menurut tipologi

Brodbeck, adalah makna referensial, yakni makna suatu istilah adalah

objek pikiran, ide atau konsep yang ditunjukkan oleh istilah tersebut.

Pengertian makna ini, menurut Fisher, serupa dengan aspek “semantis”

bahasa dari Morris hubungan lambing dengan referen (yang ditunjuk).

Tipe makna yang kedua dari Brodbeck adalah arti itu. Dengan kata

lain, lambing atau istilah itu “berarti’ sejauh ia berhubungan secara “sah”

dengan istilah lain, konsep yang lain. Suatu istilah dapat saja memiliki arti

referensial dalam pengertian yang pertama, yakni mempunyai referen,

Page 39: BAB II

57

tetapi karena ia tidak dihubungkan dengan berbagai konsep yang lain, ia

tidak mempunyai arti. Tipe makna yang ketiga dari Brodbeck mencakup

makna yang dimaksudkan (intentional) dalam arti suatu istilah atau

lambang bergantung pada apa yang dimaksudkan pemakai dengan arti

lambang itu (Sobur, 2001: 25-26).

5. Makna Denotatif dan Konotatif

Salah satu cara yang digunakan para ahli untuk membahas lingkup

makna yang lebih besar ini adalah membedakan antara makna denotatif

dengan makna konotatif. Makna denotatif pada dasarnya meliputi hal-hal

yang ditunjuk oleh kata-kata (yang disebut sebagai makna referensial).

Makna denotatif suatu kata ialah makna yang biasa kita temukan

dalam kamus. Sebagai contoh, didalam kamus, kata mawar berarti ‘sejenis

bunga’. Makna konotatif ialah makna denotatif ditambah dengan segala

gambaran, ingatan dan perasaan yang ditimbulkan oleh kata mawar itu.

Kata konotasi itu sendiri berasal dari bahasa Latin connotare, “menjadi

tanda” dan mengarah kepada makna-makna kultural yang terpisah/

berbeda dengan kata (dan bentuk-bentuk lain dari komunikasi).

Jika denotasi sebuah kata adalah definisi objektif kata tersebut, maka

konotasi sebuah kata adalah makna subjektif atau emosionalnya.

Dikatakan objektif sebab makna denotatif ini berlaku umum. Sebaliknya,

makna konotatif bersifat subjektif dalam pengertian bahwa ada pergeseran

dari makna umum (denotatif) karena sudah ada penambahan rasa dan nilai

tertentu. Kalau makna denotatif hamper bisa dimengerti banyak orang,

Page 40: BAB II

58

maka makna konotatif ini hanya bisa dicerna oleh mereka yang jumlahnya

relatif lebih kecil. Jadi, sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif

apabila kata itu mempunyai “nilai rasa”, baik positif maupun negatif

(Sobur, 2006: 263-264).

Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional,

makna emotif atau makna evaluatif. Makna konotatif adalah suatu jenis

makna di mana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional.

Makna konotatif sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan

perasaan setuju-tidak setuju, senang-tidak senang, dan sebagainya pada

pihak pendengar, di pihak lain, kata yang dipilih itu memperlihatkan

bahwa pembicaranya juga memendam perasaan yang sama (Sobur, 2006:

266).

G. Dasar Pemaknaan Tokoh Semiotik Dan Teorinya

Dalam memahami teori yang akan dipakai maka penelitian ini maka

peneliti memberikan beberapa teori yang terkait sebagai berikut:

1. C.S Peirce

Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning

yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan

interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat

ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang

merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda

menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan),

Page 41: BAB II

59

Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang

muncul dari hubungan sebab-akibat) (Sobur, 2006: 41-42). Sedangkan

acuan tanda ini disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks

sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda.

Menurutnya tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berfungsi sebagai

wakil dari sesuatu yang lain dalam hal atau kapasitas tertentu (Eco, 2009:

21).

Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari

orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna

tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang

dirujuk sebuah tanda. Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah

bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan

orang saat berkomunikasi. Contoh:  Saat seorang gadis mengenakan rok

mini, maka gadis itu sedang mengomunikasi mengenai dirinya kepada

orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol keseksian.

2. Ferdinand De Saussure

Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar,

disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan

gambar, disebut signified. Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan

tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan

menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut

“referent”. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant

untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai

Page 42: BAB II

60

“objek” sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan

dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang menyebut kata “anjing”

(signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda

kesialan (signified). Begitulah, menurut Saussure, “Signifier dan signified

merupakan kesatuan, tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai

kertas.” (Sobur, 2006).

3. Roland Barthes

Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik

pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat

menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat

yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang

berbeda situasinya.

Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan

interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural

penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang

dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal

dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya

sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman

kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes

meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang

diusung Saussure.

Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “Mitos” yang

menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat

Page 43: BAB II

61

kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified,

tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki

petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang

memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi,

maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Misalnya: Pohon

beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi “keramat” karena

dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi “keramat” ini

kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol

pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi

sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat

kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap

sebagai sebuah Mitos.

Perbedaan Barthes dengan Saussure selanjutnya adalah Barthes

mengkaji lima kode dalam setiap tanda; kode heurmenetik (teka-teki),

kode semik (makna konotatif), kode simbolik, kode proaretik (logika

tindakan), kode gnomic atau kode cultural. Tujuan analisis Barthes ini

adalah untuk menunjukkan bahwa tindakan yang paling masuk akal,

rincian yang paling meyakinkan, atau teka-teki yang paling menarik,

merupakan produk buatan dan bukan tiruan dari yang nyata (Lechte, 2001:

196 dalam Sobur, 2006).

Sejumlah subyek yang pernah dibahas Barthes adalah iklan, buku

panduan wisata, fashion, fotografi, tari telanjang, dan gulat. Tujuan

utamanya adalah untuk mengupas secara kritis wilayah produk-produk dan

Page 44: BAB II

62

praktik-praktik budaya yang dengan demikian melancarkan suatu “kritik

ideology terhadap apa yang disebut bahasa budaya massa” dan

“menganalisis” secara semiologis (Peter Pericles Trifonas diterjemahkan

Sigit Djatmiko, 2003: 4).

Dalam buku Mythologies, Barthes mencoba menggunakannya

sebagai “kritik idologi”, berupaya mengungkap dilemma etis yang muncul

karena mengabaikan mitos yang tidak terkaji sebagai substratum budaya

dari apa yang dianggap alami dan nyata dalam kehidupan (Peter Pericles

Trifonas diterjemahkan Sigit Djatmiko, 2003: 8).

4. Umberto Eco

Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli

semiotikan yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang

paling komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco

penting karena ia mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan

membawa semiotika secara lebih mendalam (Sobur, 2006).

Eco ingin memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco

kemudian mengubah konsep tanda menjadi konsep fungsi tanda. Eco

menyimbulkan bahwa “satu tanda bukanlah entitas semiotik yang dapat

ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur independen

(yang berasal dari dua sistem berbeda dari dua tingkat yang berbeda yakni

ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar hubungan pengkodean”. Eco

menggunakan “kode-s” untuk menunjukkan kode yang dipakai sesuai

struktur bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki

Page 45: BAB II

63

arti apapun, dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara

linguistik. Kode-s bisa bersifat “denotatif” (bila suatu pernyataan bisa

dipahami secara harfiah), atau “konotatif” (bila tampak kode lain dalam

pernyataan yang sama). Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan

karya Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang

suatu kode-s yang lebih bersifat dinamis daripada yang ditemukan dalam

teori Saussure, di samping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa

kini.

Dari beberapa tokoh di atas, peneliti mengambil dari teori Roland

Barthes, karena dirasa tepat untuk penelitian ini. Roland Barthes melihat

bahwa tanda atau simbol yang diproduksi secara massal akan bisa berubah

menjadi asumsi umum dan asumsi umum ini bisa menjadi sebuah

kebenaran. Menurut peneliti jika sebuah simbol Yahudi Israel yang di

dalam penelitian ini mengambil contoh simbol Bintang David dan Evil Eye

diproduksi secara massal maka akan bisa memunculkan asumsi umum dan

makna awal dari simbol tersebut akan tertutup. Pada awalnya simbol-

simbol tersebut hanya terdapat pada kuil-kuil tempat mereka memuja

“Tuhan”. Tetapi dengan dalih seni maka simbol-simbol tersebut tersebar

dengan tidak kita sadari, kitapun menggunakannya dan ikut bangga.

H. Tinjauan Tentang Seni Design

Karya Seni identik dengan suatu yang unik. Oleh karenanya seorang

seniman dalam melahirkan karyanya selalu mencari bentuk, bentuk baru.

Page 46: BAB II

64

Untuk itu diperlukan sesuatu yang unik. Ini berarti sesuatu yang belum

pernah atau mungkin jarang dipakai oleh seniman lain pada karya-karya

sebelumnya. Pengertian seni Design di bawah ini diambil dari situs

(http://id.answers.yahoo.com)

Menurut Suyanto desain grafis (seni gambar) didefinisikan sebagai ” aplikasi dari keterampilan seni dan komunikasi untuk kebutuhan bisnis dan industri“. Aplikasi-aplikasi ini dapat meliputi periklanan dan penjualan produk, menciptakan identitas visual untuk institusi, produk dan perusahaan, dan lingkungan grafis, desain informasi, dan secara visual menyempurnakan pesan dalam publikasi.Menurut Danton Sihombing desain grafis mempekerjakan berbagai elemen seperti marka, simbol, uraian verbal yang divisualisasikan lewat tipografi dan gambar baik dengan teknik fotografi ataupun ilustrasi. Elemen-elemen tersebut diterapkan dalam dua fungsi, sebagai perangkat visual dan perangkat komunikasi.Menurut Michael Kroeger visual communication (komunikasi visual) adalah latihan teori dan konsep-konsep melalui terma-terma visual dengan menggunakan warna, bentuk, garis dan penjajaran (juxtaposition).Warren dalam Suyanto memaknai desain grafis sebagai suatu terjemahan dari ide dan tempat ke dalam beberapa jenis urutan yang struktural dan visual. Sedangkan Blanchard mendefinisikan desain grafis sebagai suatu seni komunikatif yang berhubungan dengan industri, seni dan proses dalam menghasilkan gambaran visual pada segala permukaan.

Sedangkan Jessica Helfand mendefinisikan desain grafis sebagai

kombinasi kompleks kata-kata dan gambar, angka-angka dan grafik, foto-foto

dan ilustrasi yang membutuhkan pemikiran khusus dari seorang individu yang

bisa menggabungkan elemen-eleman ini, sehingga mereka dapat

menghasilkan sesuatu yang khusus, sangat berguna, mengejutkan atau

subversif atau sesuatu yang mudah diingat (http://www.aiga.com).

Desain Grafis juga merupakan ilmu yang mempelajari tentang media

untuk menyampaikan informasi, ide, konsep, ajakan dan sebagainya kepada

Page 47: BAB II

65

khalayak dengan menggunakan bahasa visual. Baik itu berupa tulisan, foto,

ilustrasi dan lain sebagainya. Desain grafis adalah solusi komunikasi yang

menjembatani antara pemberi informasi dengan publik, baik secara

perseorangan, kelompok, lembaga maupun masyarakat secara luas yang

diwujudkan dalam bentuk komunikasi visual.

Sebagaimana layaknya informasi yang disampaikan menggunakan

bahasa lisan (suara) yang dapat disampaikan secara tegas, ceria, keras,

lembut, penuh gurauan, formal, dan sebagainya dengan menggunakan gaya

bahasa dan volume suara yang sesuai, desain grafis juga dapat melakukan hal

serupa. Kita dapat merasakan sendiri setelah membaca sebuah berita (tulisan),

melihat foto atau ilustrasi, melihat permainan warna dan bentuk dari sebuah

karya design yang berbentuk publikasi cetak, nuansa yang ditimbulkannya.

Sedangkan untuk dapat memahami seni design fotografi menurut

Barthes dalam (Sunardi, ST: 2002) maka dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Ciri-ciri dan Hakikat Sistem

Linguistik dalam Gambar Berita dan Iklan

a. Pesan langsung dan pesan interpretatif. Kalau kita melihat gambar

atau foto, kita dapat membedakan dua gejala tanda yang tidak dapat

dipisahkan, yaitu: foto secara keseluruhan dan “isi” foto yang terdiri

dari berbagai unsur di dalamnya.

b. Paradoks. Dengan menyebut pesan literer sebagai pesan tanpa kode,

Barthes sebenarnya menciptakan istilah yang berkontradiksi dengan

formula dasar sistem semiotik yang selalu mengandaikan tiga unsur:

Page 48: BAB II

66

sign, signifier, dan signified atau message, expression, dan content.

Mengatakan bahwa ada pesan tanpa kode berarti sama saja

mengatakan ada pesan tanda content, atau tanda tanpa signified.

c. Foto seni dan lukisan. Pada prinsipnya, Barthes berpendapat bahwa

pengalaman paradoks dan real unreality juga dapat ditemukan disana.

Memang harus diakui bahwa aspek simbolik lebih kuat daripada aspek

literer. Akan tetapi, foto seni dan lukisan tidak pernah dapat

menghilangkan karakteristik pesan literer sebagai pesan tanpa kode.

2. Kode dalam Foto: Ciri-ciri dan

Hakikatnya

a. Gambar sebagai bahasa. Kalau gambar dapat memberikan makna

konotasi, gambar itu harus mempunyai denotasi. Akan tetapi, seperti

sudah kita lihat, denotasi gambar adalah analogon, semacam replika

langsung dari signified atau apa yang digambarkan. Jadi, kita tidak

mempunyai ruang untuk menafsirkannya.

b. Foto dalam sistem konotasi media cetak. Barthes percaya bahwa surat

kabar (juga periklanan) menciptakan autonomous signifying system

baru yang sebelumnya tidak ada. Untuk itu kita harus meneliti tanpa

harus melakukan hipotesis-hipotesis.

c. Kode dalam foto. Tanda-tanda dalam foto dipisahkan dari foto secara

keseluruhan pengalaman melihat foto secara keseluruhan berupa: itu

memang pernah terjadi (“it happened”). Dalam melihat foto,

Page 49: BAB II

67

pengalaman itu “belun ada isinya”. Apa isi dari “itu”? Apa yang

membuat saya tertarik pada suatu gambar? Pertanyaan ini mengantar

kita untuk memeriksa secara rinci berbagai unsur yang mewujudkan

foto tersebut seperti bentuk, gerak-gerik, warna, lighting, dan

sebagainya.

3. Menulis dengan Bahasa Foto:

Logo-teknis

a. Menulis dengan bahasa gambar. Dengan memperhatikan ciri-ciri dan

hakikat bahasa foto sebagaimana dilukiskan di atas, apa artinya

“menulis” dengan bahasa foto? Sejauh ini menulis diartikan sebagai

kegiatan untuk menghasilkan signifier dan signifeid pada sistem tanda

tingkat pertama. Kalau tulisan seseorang yang jelek entah tulisan

tangan atau dengan komputer, maka tak akan terpahami. Karena apa

yang akan dihasilkan dalam menulis dengan bahasa gambar adalah

analogon, menulis dengan bahasa foto berarti sebuah kegiatan

intervensi pada tingkat kode, artinya: tidak pada level denotatif. Oleh

karena itu Barthes menggunakan istilah “prosedur denotatif”. Menulis

tidak terjadi dalam sebuah camera obscura melainkan dalam camera

lucida.

b. Teknik menulis dengan bahasa gambar. Dalam “The Photographic

Masage” Barthes menyebut enam prosedur atau kemungkinan untuk

mempengaruhi gambar sebagai analogon. Keenam langkah tersebut

Page 50: BAB II

68

dapat dipandang sebagai kegiatan “menulis” karena pada  hakikatnya

lewat prosedur tersebut seorang fotografer dapat menentukan berbagai

unsur tanda, hubungan, dan lain-lain yang menjadi pertimbangan

utama ketika orang membaca bahasa gambar tersebut.

c. Pose. Cara kedua ialah melalui gaya atau posisi (pose). Dalam

mengambil foto berita seseorang, seorang wartawan foto akan

memilih posisi objek yang sedang diambil. Dalam perkembangan

pemikiran Barthes tentang fotografi, konsep pose menduduki posisi

amat penting.

d. Memilih objek. pesan konotatif juga dapat dilakukan lewat pemilihan

objek-objek di sekitarnya. Objek-objek ini ibarat “perbendaharaan

kata” yang siap dimasukkan ke dalam sebuah kalimat. Dari sisi ini,

pemilihan objek dapat membantu menciptakan imajinasi sintagmatik.

Dari sisi lain, objek juga dapat dipakai untuk membangun imajinasi

paradigmatik sejauh aspek yang ditonjolkan dari objek tersebut adalah

kekuatan untuk menunjuk objek lain. Kegiatan ini biasa dilakukan

oleh periklanan. Bahasa iklan merupakan sebuah komunikasi yang

agresif. Komunikasi promosional harus bisa memaksa (baik secara

halus atau langsung) pembaca untuk mengubah perilaku, gaya hidup,

dan akhirnya menjadi konsumen setia.

4. Membaca Foto

Page 51: BAB II

69

a. Kebiasaan melihat foto. Di hadapan sebuah foto, kata Barthes dalam

Camera Lucida, dia sering merasa sebagai orang yang terpenjara oleh

kekuatannya yang dahsyat. Paling tidak itu pengalaman Barthes dalam

merefleksikan koleksi fotonya yang ia anggap bisa mengguncang

batinnya. Dalam praktiknya, khususnya berhadapan dengan foto berita

atau foto iklan, pengalaman semacam itu kiranya jarang kita temukan.

Sebaliknya, yang terjadi adalah bahwa kita melihat foto dua atau tiga

detik, kemudian kita membaca artikel berita yang bersangkutan, atau,

dalam hal iklan, kita ingin tahu foto itu dipakai untuk iklan produk

apa.

b. Membaca. Sekarang kita sampai pada persoalan yang paling rumit dan

tidak menarik, yaitu membaca foto. Foto terlalu kuat untuk dibaca,

karena dengan membaca kita harus melakukan tawar-menawar dengan

foto. Semakin kita mengamati foto, semakin kita terperangkap oleh

pesonanya. Barthes bahkan mengakui bahwa sudah terlalu banyak

karya dan teori yang menjadi korban dari kedahsyatan foto. Foto tidak

memberikan ruang bagi kita untuk berbeda pendapat.

c. Semiotika positiva: tahap-tahap membaca foto. Dalam “The

Photographic Message” Barthes mengajukan tiga tahap dalam

membaca foto: perspektif, kognitif, dan etis-ideologis. Tahap perseptif

terjadi ketika seseorang mencoba melakukan transformasi gambar ke

kategori verbal; jadi semacam verbalisasi gambar.

Page 52: BAB II

70

d. Foto iklan. Dalam foto iklan, gejala studium kita alami saat kita

bersedia barang sejenak memperhatikan foto suatu iklan. Kita uji

untuk berkomunikasi dengan lembaga iklan tentang kebutuhan-

kebutuhan yang sudah diteliti dengan seksama dan diungkapkan

sebagus mungkin lewat logo-teknik. Kita mengaplikasikan kode-kode

yang kita miliki untuk mengurai pesan foto iklan.

e. Animasi. Dari punctum yang menimbulkan rasa mourning itu kita

mengawali perjalanan kita. Kali ini foto mendatangi kita – adveniens.

Foto menyorot ke arah kita dan itu membuat kita mendatangi foto.

Bukan hanya saya memandang foto melainkan foto memandang saya.

Tiba-tiba foto menjadi hidup. Terjadi animasi: foto mempunyai jiwa,

anima.

f. Desire. Foto tidak hanya memberikan amusement melainkan juga

menimbulkan dorongan kuat (desire) untuk menemukan keapaan foto

itu. di hadapan foto, kita masih percaya bahwa foto bukan hanya

menyangkut hal-hal yang sudah terjadi. Lewat punctum, kita

menemukan tempat yagn pas untuk desire kita; foto lalu menyediakan

kairos of my desire. Ini penyucian desire.

5. Realisme Fotografis dalam Budaya

Media

a. Foto dalam budaya media. Dengan istilah budaya media dimaksudkan

budaya yang lahir dan berkembang lewat media massa atau teknologi

Page 53: BAB II

71

informasi baru (new technology of information) atau media baru (new

media). Kini juga dipakai istilah budaya media baru (new media

culture). Dalam uraian di atas kita melihat fungsi unik dari foto

sebagai salah satu bentuk representasi – fungsi yang tidak dimiliki

oleh bentuk-bentuk lain seperti tulisan dan film (sekalipun film

mengambil bahan dasarnya dari foto).

b. Domestikasi kekuatan foto. Kehadiran foto dalam media dipandang

Barthes sebagai bentuk domestikasi atau penjinakan kekuatan “gila”

dari foto. “Photography is dangerous” kata Barthes. Oleh karena itu

foto harus dijinakkan. Bukankah kita dapat mengatakan sebaliknya?

Foto mempunyai kekuatan luar biasa (gila) maka foto dipakai oleh

media? Jinaknya foto bukanlah merupakan tujuan dari pemakaian foto

dalam media, melainkan akibat (yang sebenarnya tidak dikehendaki

oleh media).

c. Iklan dan stereotipe. Gejala stereotipisasi yang menjinakkan foto

paling jelas kita temukan dalam foto iklan, karena tujuan iklan adalah

menciptakan stereotipe. Pilihan foto dan cara mengombinasikannya

dengan teks merupakan sebuah seni tersendiri sehingga bisa

menghasilkan stereotipe secepatnya dan seluas-luasnya serta bertahan

selama mungkin.

d. Budaya iklan. Hakikat dan corak komunikasi promosional ini

menempatkan iklan sebagai budaya. Iklan mempunyai syarat memadai

untuk menjadi budaya. Karena kepentingan iklan adalah konsumsi,

Page 54: BAB II

72

budaya yang dihasilkan dapat kita sebut budaya konsumsi atau budaya

promosional.

I. Kerangka berfikir

Saat komunikator berkomunikasi dengan komunikan, komunikator

mengharapkan komunikan dapat memahami isi pesannya. Pesan ini

menstimuli komunikan untuk membentuk makna bagi dirinya sendiri,

sehubungan dengan makna yang diturunkan komunikator dalam pesannya.

Simbol-simbol yang dirasa mirip dengan simbol Yahudi Israel Bintang David

dan Evil Eye dalam media entertainment pada dasarnya merupakan karya

manusia yang bersifat non naratif dengan pretense ada maksud atau tujuan-

tujuan tertentu dari pembuatnya.

Simbol-simbol dapat dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang

nyata dari individu, yang dibangun oleh para creator-nya. Simbol

didefinisikan dalam penelitian ini, mempunyai makna yang dalam. Ferdinand

de Saussure mengajarkan tentang bagaimana simbol berasosiasi dengan

semua jenis kejadian, pengalaman-pengalaman yang sebagian besar

mempunyai pengaruh emosional bagi orang lain.

Jika komunikan sudah mampu memahami simbol yang dibuat tersebut

berarti tujuan creator atau komunikator sudah berhasil, paling tidak sudah

berhasil mempengaruhi pikiran bahwa simbol Yahudi Israel seperti Bintang

David dan Evil Eye (mata satu/mata iblis) dan lain sebagainya itu dimaklumi

dengan dalih seni. Jadi Sang creator membuat masyarakat untuk mendukung

Page 55: BAB II

73

penggunaan simbol tersebut yang sudah jelas-jelas menjadi musuh orang

Islam.

Karena ada perbedaan antara denotasi dan konotasi secara umum

dengan pengertian Barthes maka kerangka berfikir Barthes dapat dijelaskan

sebagai berikut: proses signifikasi tradisional disebut sebagai denotasi, ini

biasanya mengacu pada arti sesuatu yang sesuai dengan apa yang terucap.

Sedangkan menurut Roland Barthes denotasi merupakan signifikasi tingkat

pertama, lalu dilanjutkan dengan signifikasi kedua yaitu konotasi.

Menurutnya sesuatu tanda tidak bisa dimaknai secara denotatif saja

melainkan ada makna konotasi yang sebenarnya adalah makna sesungguhnya

yang tertutup oleh keharfiahan makna denotasi. Selanjutnya menurutnya

konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagi mitos.

Mitos berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi

nilai-nilai dominan yang berlaku dalam periode tertentu (Budiman, 2001: 28

dalam Sobur, 2006). Dia menjelaskan bahwa mitos adalah ideologi yang

ditanam secara ideal, walaupun berbeda dengan realitasnya. Ideologi ada

selama kebudayaan ada, maka dari itu Barthes berbicara tentang konotasi

sebagai ekspresi budaya, seperti simbol, tanda, gambar, dan bentuk-bentuk

budaya lainnya yang dapat dilihat seperti sekarang.