bab ii

67
BAB II LANDASAN TEORI II.1. Tinjauan Pustaka II.1.1. Definisi Tuberkulosis Paru Tuberkulosis ( TBC atau TB ) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosa. Bakteri ini termasuk ke dalam famili Mycobacteriaceae dan termasuk ke dalam ordo Actinomycetales, yang terdiri dari 5 jenis yaitu M. tuberculosis, M. bovis, M. africanum, M. microti, dan M. canettii. Dari beberapa jenis tersebut M. tuberculosis merupakan jenis yang paling sering ditemukan. Bakteri ini merupakan bakteri basil yang sangat kuat sehingga memerlukan waktu lama untuk mengobatinya. Bakteri ini lebih sering menginfeksi organ paru-paru ( 90 % ) dibandingkan dengan organ yang lain dari tubuh manusia ( Masrin, 2008 ). Selain infeksi menular tuberculosis juga bisa berakibat fatal, yang disebabkan oleh Mycrobacterium tuberculuosis, Mycrobacterium bovis atau Mikrobakterium africanum ( Ratna, 2010). Tuberkulosis paru merupakan penyakit serius terutama pada bayi dan anak kecil, anak dengan malnutrisi, dan anak dengan gangguan imunologis.

Upload: montere

Post on 08-Dec-2014

16 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

TUBERKULOSIS

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1. Tinjauan Pustaka

II.1.1. Definisi Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis ( TBC atau TB ) adalah suatu penyakit infeksi yang

disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosa. Bakteri ini

termasuk ke dalam famili Mycobacteriaceae dan termasuk ke dalam ordo

Actinomycetales, yang terdiri dari 5 jenis yaitu M. tuberculosis, M. bovis,

M. africanum, M. microti, dan M. canettii. Dari beberapa jenis tersebut

M. tuberculosis merupakan jenis yang paling sering ditemukan. Bakteri

ini merupakan bakteri basil yang sangat kuat sehingga memerlukan

waktu lama untuk mengobatinya. Bakteri ini lebih sering menginfeksi

organ paru-paru ( 90 % ) dibandingkan dengan organ yang lain dari

tubuh manusia ( Masrin, 2008 ).

Selain infeksi menular tuberculosis juga bisa berakibat fatal, yang

disebabkan oleh Mycrobacterium tuberculuosis, Mycrobacterium bovis

atau Mikrobakterium africanum ( Ratna, 2010). Tuberkulosis paru

merupakan penyakit serius terutama pada bayi dan anak kecil, anak

dengan malnutrisi, dan anak dengan gangguan imunologis.

Sebagian besar anak menderita tuberkulosis primer pada usia muda

dan sebagian besar asimtomatik dan sembuh spontan tanpa gejala sisa.

Pada beberapa pasien penyakit berkembang menjadi tuberkulosis pasca-

primer.

II.1.2. Penyebab Tuberkulosis Paru

Penyebab Tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosa,

merupakan bakteri berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/Um dan

tebal 0,3-0,6/Um. Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Kock

pada tanggal 24 Maret 1887, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri

Page 2: BAB II

tersebut dinamakan nama Basil Koch. Bahkan penyakit TBC pada paru –

paru yang kadang disebut juga sebagai Koch Pulmonum ( KP ).

Penyakit tuberkulosis adalah basil tuberkulosis yang termasuk dalam

genus Mycobacterium, suatu anggota dari famili Mycobacteriaceae dan

termasuk dalam ordo Actinomycetalis. Mycobacterium tuberculosa

menyebabkan sejumlah penyakit berat pada manusia dan penyebab

terjadinya infeksi tersering. Masih terdapat Mycobacterium patogen

lainnya, misalnya Mycobacterium leprae, Mycobacterium

paratuberkulosis dan Mycobacterium yang dianggap sebagai

Mycobacterium non tuberculosis atau tidak dapat terklasifikasikan

( Ikue, 2007 ).

Jenis bakteri yang termasuk dalam Mycobacterium tuberculosae

complex adalah M. tuberculosae, Varian Asian, Varian African I, Varian

African II, dan M. bovis. Selain itu ada juga kelompok bakteri M.

tuberculosae dan Mycobacteria Other Than Tb (MOTT, atypical) adalah

M. kansasi, M. avium, M. intracellulare, M. scrofulaceum,

M.malmacerse, dan M. xenopi (Slamet Suyono.2001:820-821).

II.1.3. Karakteristik Bakteri Tuberkulosis

Hampir sebagian besar bakteri ini terdiri atas asam lemak ( lipid ),

peptidoglikan dan arabinomana. Lipid adalah bagian dari bakteri yang

membuat bakteri tersebut tahan terhadap asam sehingga disebut Basil

Tahan Asam ( BTA ). Bakteri ini dapat bertahan hidup pada udara kering

maupun dalam keadaan dingin, tapi mati pada keadaan terpapar sinar

matahari langsung. Bakteri ini juga bisa hidup dalam jaringan tubuh, oleh

karena itu memiliki juga sifat dorman ( tidur ), sifat dari dorman ini dapat

menjadi tuberkulosis aktif ( Slamet Suyono, 2001:821).

Karakteristik Mycobacterium Tuberculosis adalah sebagai

berikut (Darmajono, 2001) :

1. Merupakan jenis kuman berbentuk batang berukuran

panjang 1-4 mm dengan tebal 0,3-0,6 mm.

2. Bakteri tidak berspora dan tidak berkapsul.

Page 3: BAB II

3. Pewarnaan Ziehl-Nellsen tampak berwarna merah dengan

latar belakang biru.

4. Bakteri sulit diwarnai dengan Gram tapi jika berhasil

hasilnya Gram positif.

5. Pemeriksaan menggunakan mikroskop elektron dinding sel

tebal, mesosom mengandung lemak (lipid) dengan

kandungan 25%, kandungan lipid memberi sifat yang khas

pada bakteri yaitu tahan terhadap kekeringan, alkohol, zat

asam, alkalis dan germisida tertentu.

6. Sifat tahan asam karena adanya perangkap fuksin intrasel,

suatu pertahanan yang dihasilkan dari komplek mikolat

fuksin yang terbentuk di dinding.

7. Pertumbuhan sangat lambat, dengan waktu pembelahan 12-

18 jam dengan suhu optimum 37oC.

8. Kuman kering dapat hidup di tempat gelap berbulan-bulan

dan tetap virulen.

9. Kuman mati dengan penyinaran langsung matahari.

Gambar 1. Mycobacterium Tuberculosis

( Sumber : Megan McTaggart & Chelsea Tabellion, 2010 )

Page 4: BAB II

II.1.4. Patogenesis dan Perjalanan Alamiah

Paru merupakan port d’entree lebih dari 98 % kasus infeksi TB.

Karena ukurannya yang sangat kecil ( < 5 µm ), kuman TB dalam percik

renik ( droplet nuclei ) yang terhirup dapat mencapai alveolus. Pada

sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme

imunologis non spesifik, sehingga tidak terjadi respon imunologis spesifik

dan sebagian besar kasus lainnya tidak seluruhnya bisa dihancurkan

(Respirologi anak, 2010).

Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman,

makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar

dihancurkan. Tetapi sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat

dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya

menyebabkan lisis makrofag, lalu kuman TB akan membentuk lesi di

tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon (Respirologi anak,

2010 ).

Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe

menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai

saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan

terjadinya inflamasi di saluran limfe ( limfangitis ) dan di kelenjar limfe

(limfadenitis) yang terkena. Bila fokus primer terletak di lobus bawah

atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe

parahilus ( perihiler ), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru,

yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus

primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer

(Respirologi anak, 2010 ).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga

terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa

inkubasi. Masa inkubasi TB bervariasi selam 2 – 12 minggu, biasanya

berlangsung selama 4 – 8 minggu. Selama masa tersebut kuman

berkembang biak hingga mencapai jumlah 10³- 10, yaitu jumlah yang

cukup untuk merangsang respon imunitas selular (Respirologi anak, 2010).

Page 5: BAB II

Pada saat terbentuknya kompleks primer, infeksi TB primer

dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular

tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat dikenali dengan adanya rekasi

hipersensitifitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif.

Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik,

pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB berhenti.

Tapi sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup di dalam granuloma. Bila

imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam

alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas seluler spesifik

(Respirologi anak, 2010).

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru

biasanya akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis

atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar

limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi

penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan

paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun

dalam kelenjar ini , tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB ( Respirologi

anak, 2010 ).

Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran

normal pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang

berlanjut, sehingga bronkus dapat terganggu. Kelenjar yang mengalami

inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi

dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endotrakeal atau membentuk

fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus

sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering

disebut sebagai lesi segmental kolaps – konsolidasi ( Respirologi anak,

2010 ).

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler,

dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran

limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk

kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen

(Respirologi anak, 2010 ).

Page 6: BAB II

Penyebaran secara hematogen langsung juga dapat terjadi, yaitu

dimana kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh

tubuh, sehingga penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB

disebut sebagai penyakit sistemik. Penyebaran hematogen yang paling

sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar

(occult hematogenic spread ).

Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit

demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB

kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di

organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru,

limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu bisa juga besarang di

organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal dan lain – lain. Pada umumnya,

kuman pada lokasi sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif ( tenang ).

Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang nantinya dapat

berkembanng serta tereaktifasi menjadi TB apeks paru saat dewasa

(Respirologi anak, 2010).

II.1.5. Cara Penularan Tuberkulosis Paru

Penularan penyakit Tuberkulosis disebabkan oleh bakteri

Mycobacterium tuberculosis yang ditularkan melalui udara ( droplet

nuklei ) saat seseorang dengan Tuberkulosis batuk, bersin, atau percikan

ludah yang mengandung bakteri terhirup oleh orang lain saat bernafas.

Sumber penularan adalah pasien Tuberkulosis paru BTA positif bila

didapati pasien batuk, bersin atau berbicara saat berhadapan dengan

orang lain, basil bakteri tersembur dan terhisap ke dalam paru orang

sehat dan bisa menyebar ke bagian tubuh lain melalui peredaran darah ,

pembuluh limfe atau langsung ke organ lain. Sekali batuk pada penderita

dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Dengan masa inkubasi

selama 3 – 6 bulan ( Widoyono, 2008 ).

Tuberkulosis lebih mudah menular pada orang dengan kondisi

tubuh yang lemah, seperti kelelahan, kurang gizi, terserang penyakit atau

terkena pengaruh obat-obatan tertentu. Risiko tertular TB semakin tinggi

Page 7: BAB II

pada masyarakat golongan sosial ekonomi rendah yang tinggal di

lingkungan perumahan yang padat penduduk dan kurang cahaya dan

ventilasi udara (koalisi). Infeksi TB rentan terjadi pada kelompok-

kelompok khusus seperti ; anak, manula, dan orang-orang dengan risiko

penularan tinggi seperti para tahanan dan kaum pendatang (Tuberkulosis,

2008).

Masa inkubasi dimulai saat masuknya bibit penyakit sampai timbul

gejala adanya lesi primer atau reaksi tes tuberkulosis positif kira-kira

memakan waktu 2-10 minggu. Risiko menjadi TB paru dan TB

ekstrapulmoner progresif setelah infeksi primer biasanya terjadi pada

tahun pertama dan kedua. Infeksi laten dapat berlangsung seumur hidup

(Chin, 2006).

II.1.6. Faktor Resiko

Mereka yang paling berisiko terpajan Mycobacterium Tuberculosis

ini adalah mereka yang tinggal berdekatan dengan orang yang terinfeksi

aktif, seperti gelandangan yang tinggal di tempat penampungan yang

terdapat penderita tuberkulosis, dan pengguna fasilitas kesehatan dan

pekerja kesehatan yang merawat pasien tuberkulosis (Corwin, 2000).

Terdapat beberapa faktor yang mepermudah terjadinya infeksi

Tuberkulosis maupun timbulnya penyakit Tuberkulosis pada anak.

Faktor – faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko infeksi dan faktor

risiko progresi infeksi menjadi penyakit ( risiko penyakit ) ( Respirologi

anak, 2010 ).

II.1.7. Risiko Infeksi Tuberkulosis

Faktor resiko terjadinya infeksi Tuberkulosis antara lain adalah anak

yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif ( kontak TB positif ) ,

daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat ( higiene dan

sanitasi tidak baik ) , tempat penampungan umum ( panti asuhan, penjara,

atau panti perawatan lain ) , yang banyak bterdapat pasien TB dewasa aktif

( Respirologi anak, 2010 ).

Page 8: BAB II

Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting adalah pajanan

terhadap orang dewasa yang infeksius , terutama bila orang dewasa

tersebut BTA positif. Maka bayi dari seorang ibu dengan BTA Sputum

positif memiliki risiko tinggi terinfeksi TB. Semakin erat hungungan

antara bayi dengan ibunya, maka semakin besar pula kemungkinan bayi

tersebut perpajan droplet nuklei yang infeksius ( Respirologi anak, 2010 ).

Risiko timbulnya transmisi bakteri dari orang dewasa ke anak akan

lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA Sputum positif,

infiltrat luas atau kavitas pada lobus atas, produksi sputum banyak dan

encer, batuk produktif dan kuat. Selain itu terdapat faktor lingkungan yang

kurang sehat terutama sirkulasi udara yang kurang baik ( Respirologi

anak, 2010 )

Pasien TB anak jarang yang menularkan bakteri kepada anak lain

atau orang dewasa di sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat

jarang ditemukan pada sekret endobronkrial pada pasien anak, selain itu

jumlah kuman pada TB anak biasanya sedikit, lokasi infeksi primer yang

kemudian berkembang menjadi sakit TB primer biasanya sudah terjadi di

daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi produksi

sputum, dan tidak ada / sedikitnya produksi sputum serta tidak terdapatnya

reseptor batuk di daerah parenkim menyebabkan jarangnya terdapat gejala

batuk pada TB anak ( Respirologi anak, 2010 )

II.1.8. Risiko Sakit Tuberkulosis

Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit

TB, faktor – faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB

menjadi sakit TB adalah ( Respirologi anak, 2010 ) :

a. Usia, anak dengan usia ≤ 5 tahun mempunyai risiko lebih tinggi

mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB karena imunitas

selularnya belum berkembang dengan sempurna ( imatur ). Akan

tetapi, risiko sakit TB ini akan berkurang secara bertahap seiring

dengan pertambahan usia.

Page 9: BAB II

Pada bayi yang terinfeksi TB, 43% nya akan menjadi sakit TB,

pada anak 1-5 tahun yang menjadi sakit sekitar 24 % , pada usia

remaja 15 % dan dewasa 5 – 10 % .

b. Infeksi paru, yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin

(dari negatif menjadi positif ) dalam 1 tahun terakhir.

c. Malnutrisi, keadaan imunokompromais ( infeksi HIV, keganasan,

transplantasi organ, dan pengobatan imunokompromais ), diabetes

melitus dan gagal ginjal kronik.

d. Keadaan epidemiologi seperti , status sosio ekonomi yang rendah,

penghasilan yang kurang, kepadatan hunian, pengangguran,

pendidikan yang rendah, dan kurangnya dana untuk pelayanan

kesehatan masyarakat.

II.1.9. Gejala klinik

Gejala umum yang terdapat pada Tuberkulosis Anak adalah sebagai

berikut ( Respirologi anak, 2010 ) :

1. Demam lama ( ≥ 2 minggu ) dan / atau berulang tanpa sebab yang

jelas ( bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria dan lain-

lain ), yang dapat disertai dengan keringat malam. Demam umumnya

tidak tinggi.

2. Batuk lama > 3 minggu.

3. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas, atau tidak naik dalam 1

bulan dengan penanganan gizi yang adekuat.

4. Nafsu makan tidak ada ( anoreksia ) dengan gagal tumbuh dan berat

badan tidak naik dengan adekuat ( failure to thrive ).

5. Lesu atau malaise.

6. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.

Page 10: BAB II

Tabel 2.1. Frekuensi gejala dan tanda TB Paru sesuai dengan

kelompok umur

Kelompok umur Bayi Anak Akil Balik

Gejala

Demam Sering Jarang Sering

Keringat malam Sangat jarang Sangat jarang Jarang

Batuk Sering Sering Sering

Batuk produktif Sangat jarang Sangat jarang Sering

Hemoptisis Tidak pernah Sangat jarang Sangat jarang

Dispnu Sering Sangat jarang Sangat jarang

Tanda

Ronki basah Sering Jarang Sangat jarang

Mengi Sering Jarang Jarang

Fremitus Sangat jarang Sangat jarang Jarang

Perkusi pekak Sangat jarang Sangat jarang Jarang

Suara napas berkurang Sering Sangat jarang Jarang

( Sumber : Am J Respir Crit Care Med, 2006 )

Gejala spesifik ( organ/lokal ) biasanya juga ditemukan bergantung

pada organ yang terkena, misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat,

tulang dan kulit ( Respirologi anak, 2010 ).

II.1.9.1. Kelenjar limfe

Pembesaran kelenjar limfe superfisialis sebagai manifestasi TB

sering dijumpai. Kelenjar yang sering terkena adalah kelenjar limfe

kolli anterior atau posterior, tetapi juga dapat terjadi di aksilla, inguinal,

submandibula, dan supraklavikula. Secara klinis, karakteristik kelenjar

yang dijumpai biasanya multipel, unilateral, tidak nyeri tekan, tidak

Page 11: BAB II

hangat pada perabaan, mudah digerakan, dan dapat saling melekat satu

sama lain ( Respirologi anak, 2010 ).

II.1.9.2. Susunan Saraf Pusat

Tuberkulosis pada SSP yang tersering adalah meningitis TB,

penyakit ini merupakan penyakit yang berat dengan nilai kecatatan

yang tinggi. Gejala klinis yang terjadi berupa nyeri kepala, penurunan

kesadaran, kaku kuduk, muntah proyektil, dan kejang ( Respirologi

anak, 2010 ).

II.1.9.3. Sistem Skeletal

Terdapat gejala nyeri, bengkak pada sendi yang terkena, dan

gangguan atau keterbatasan gerak. Pada bayi dan anak yang sedang

dalam masa pertumbuhan, epifisis tulang merupakan daerah dengan

vaskularisasi tinggi yang disukai oleh kuman TB. Oleh karena itu, TB

sistem skeletal lebih sering terjadi pada anak daripada orang dewasa.

Tuberkulosis sistem skeletal yang sering terjadi adalah spondilitis TB,

koksitis TB, dan gonitis TB ( Respirologi anak, 2010 ).

II.1.9.4. Kulit

Terjadinya manifestasi TB pada kulit dapat melalui 2 cara, yaitu

inokulasi langsung ( infeksi primer ) seperti tuberculous chancre, dan

akibat limfadenitis TB yang pecah menjadi skrofuloderma ( TB

pascaprimer ). Manifestasi TB pada kulit yang paling sering dijumpai

adalah bentuk kedua, yaitu bentuk skrofuloderma yang biasanya sering

ditemukan di leher dan wajah, di tempat yang mempunyai kelenjar

getah bening ( KGB ), misalnya di daerah parotis, submandibula,

supraklavikula, dan lateral leher ( Respirologi anak, 2010 ).

II.1.10. Diagnosis Tuberkulosis

Diagnosis pasti TB ditegakkan dengan ditemukannya

M.tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan

Page 12: BAB II

serebrospinal ( CSS ), cairan pleura, atau biopsi jaringan. Pada anak

biasanya ditemukan beberapa kesulitan untuk menegakkan diagnosis

pasti yang disebabkan karena dua hal, yaitu sedikitnya jumlah kuman

(paucibacillary) dan sulitnya pengambilan spesimen sputum

(Respirologi anak, 2010 ).

Penyebab pertama, yaitu jumlah kuman TB di sekret bronkus

pasien anak lebih sedikit daripada dewasa, karena lokasi kerusakan

jaringan TB paru primer terletak di kelenjar limfe hilus dan parenkim

paru bagian perifer. Selain itu tingkat kerusakan parenkim paru tidak

seberat pasien dewasa. Basil tahan asam baru dapat dilihat dengan

mikroskop bila jumlahnya paling sedikit 5000 kuman dalam 1 ml

spesimen ( Respirologi anak, 2010 ).

Penyebab kedua, yaitu sulitnya melakukan pengambilan

spesimen/sputum. Pada anak, karena lokasi kelainannya di parenkim

yang tidak berhubungan langsung dengan bronkus, maka produksi

sputum tidak ada/minimal dan gejala batuk juga jarang.

Sputum yang representatif untuk dilakukan pemeriksaan

mikroskopis adalah sputum yang kental dan purulen, berwarna hijau

kekuningan dengan volume 3-5 ml, dan ini sulit diperoleh pada anak.

Walaupun batuknya berdahak, pada anak biasanya dahak akan ditelan,

sehingga diperlukan bilas lambung yang diambil melalui nasogastric

tube (NGT ), dan sebaiknya dilakukan oleh petugas berpengalaman

(Respirologi anak, 2010).

Berdasarkan kedua penyebab diatas, diagnosis TB anak terutama

pada temuan klinis dan radiologis seringkali tidak spesifik. Diagnosis

TB anak ditentukan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan

penunjang seperti uji tuberkulin, foto toraks, dan pemeriksaan

laboratorium. Adanya riwayat kontak dengan pasien TB dewasa BTA

positif, uji tuberkulin positif, gejala dan tanda sugestif TB, foto toraks

yang mengarah pada TB ( sugestif TB ), merupakan dasar untuk

menyatakan anak sakit TB.

Page 13: BAB II

II.1.11. Pemeriksaan Fisik

Pada Tuberkulosis Paru, kelainan yang didapat tergantung luas

kelainan struktur paru. Pada permulaan ( awal ) perkembangan penyakit

umumnya sulit menemukan kelainan. Kelainan paru umumnya terletak

di daerah lobus superior terutama di daerah apeks dan segmen posterior,

serta daerah apeks lobus inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat juga kita

temukan adanya suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah,

ronki basah, tanda – tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum

(Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis, 2006).

II.1.12. Pemeriksaan Penunjang

II.1.12.1. Uji Tuberkulin

Uji tuberkulin merupakan alat diagnosis TB yang sudah lama

dikenal, dan mempunyai nilai diagnostik yang tinggi terutama pada

anak, dengan sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90 %. Tuberkulin

adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat antigenik

yang kuat. Jika disuntikan secara intrakutan kepada seseorang yang

telah terinfeksi TB ( telah ada kompleks primer di dalam tubuhnya dan

telah terbentuk imunitas seluler terhadap TB ) , maka akan terjadi reaksi

berupa indurasi di lokasi suntikan ( Respirologi anak, 2010 ).

Indurasi yang terjadi pada lokasi suntikan dikarenakan

vasodilatasi lokal, edema, endapan fibrin, dan terakumulasinya sel-sel

inflamasi di daerah suntikan. Ukuran indurasi dan bentuk reaksi

tuberkulin tidak dapat menentukan tingkat aktifitas dan beratnya proses

penyakit ( Respirologi anak, 2010 ).

Jenis tuberkulin yang tersedia di Indonesia adalah PPD RT-23

2TU ( tuberculin unit ) buatan Statens Serum Institute Denmark, dan

PPD ( purified protein derivative ) dari Biofarma. Uji tuberkulin cara

Mantoux dilakukan dengan menyuntikan 0,1 ml PPD RT -23 2TU atau

PPD S 5TU, secara intrakutan di bagian volar lengan bawah.

Pembacaan dilakukan 48 – 72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran

dilakukan terhadap indurasi yang timbul, bukan hiperemi/eritemanya.

Page 14: BAB II

Indurasi diperiksa dengan cara palpasi untuk menentukan tepi indurasi ,

ditandai dengan pulpen, kemudian diameter transversal indurasi diukur

dengan alat pengukur transparan, dan hasilnya dilaporkan sebagai 0 mm

dan sertakan juga apakah ditemukan vesikel hingga bula. ( Respirologi

anak, 2010 ) .

Secara umum, hasil tuberkulin dengan diameter indurasi ≥ 10 mm

dinyatakan positif. Hasil positif sebagian besar disebabkan oleh infeksi

TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh imunisasi Bacille

Calmette – Guerin ( BCG ) atau infeksi atipik. Bacille Calmette –

Guerin merupakan infeksi TB buatan dengan kuman M. bovis yang

dilemahkan, sehingga kemampuan dalam menyebabkan reaksi

tuberkulin menjadi positif , tidak sekuat infeksi alamiah ( Respirologi

anak, 2010 ).

Pengaruh BCG terhadap reaksi positif tuberkulin secara bertahap

akan semakin berkurang dengan berjalannya waktu, dan paling lama

serlangsung hingga 5 tahun setelah penyuntikan. Pada anak balita yang

telah mendapat BCG, diameter indurasi 10 – 15 mm dinyatakan uji

tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi TB alamiah, tetapi

masih mungkin disebabkan oleh BCGnya.

Akan tetapi, bila ukuran indurasi ≥15 mm, hasil positif sangat

mungkin karena infeksi TB alamiah. Jika membaca hasil tuberkulim

pada anak berusia lebih dari 5 tahun, faktor BCG diabaikan

(Respirologi anak, 2010).

Apabila diameter indurasi 0 – 4 mm, dinyatakan uji tuberkulin

negatif. Diameter 5 – 9 mm dinyatakan positif meragukan. Hal ini dapat

disebabkan oleg kesalahan teknis ( trauma dan lain – lain ) atau reaksi

silang dengan M. atipik. Bila mendapatkan hasil yang meragukan, uji

tuberkulin dapat diulang. Untuk menghindari efek booster tuberkulin,

ulangan dilakukan 2 minggu kemudian dan penyuntikan dilakukan di

lokasi lain, minimal berjarak 2 cm ( Respirologi anak, 2010 ) .

Page 15: BAB II

Tuberkulosis pada anak tidak selalu bermanifestasi klinis secara

jelas, sehingga perlu dilakukan deteksi dini yaitu dengan uji tuberkulin.

Pada anak yang tinggal di daerah endemis TB, uji tuberkulin perlu

dilakukan secara rutin, bila hasilnya negatif dapat diulang setiap tahun

(Respirologi anak, 2010 ).

Uji tuberkulin positif dapat dapat dijumpai pada ketiga keadaan

sebagai berikut ( Respirologi anak, 2010 ) :

1. Infeksi TB alamiah

a. Infeksi TB tanpa sakit TB ( infeksi TB laten )

b. Infeksi TB dan sakit TB

c. TB yang telah sembuh

2. Imunisasi BCG ( infeksi TB buatan )

3. Infeksi mikobakterium atipik

Uji tuberkulin negatif dapat dijumpai pada tiga keadaan berikut :

1. Tidak ada infeksi TB

2. Dalam masa inkubasi infeksi TB

3. Anergi

Anergi adalah keadaan penekanan sistem imun oleh berbagai

keadaan sehingga, tubuh tidak memberikan reaksi terhadap tuberkulin

walaupun sebenarnya sudah terinfeksi TB. Beberapa keadaan yang bisa

menimbulkan anergi, misalnya gizi buruk, keganasan, penggunaan

steroid jangka panjang, sitostatika, penyakit morbli, pertusis, varisela,

influenza, TB yang berat, serta pemberian vaksinasi dengan vaksin

virus hidup ( Respirologi anak, 2010 ).

II.1.12.2. Pemeriksaan Radiologis

Gambaran foto thoraks pada TB tidak khas, kelainan – kelainan

radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain. Sebaliknya,

foto thoraks yang normal ( tidak terdeteksi secara radiologis ) tidak

Page 16: BAB II

dapat menyingkirkan diagnosis TB jika klinis dan pemeriksaan

penunjang lain tidak mendukung. Dengan demikian, pemeriksaan foto

thoraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali

gambaran milier ( Respirologi anak. 2010 ).

Posisi foto thoraks adalah antero – posterior ( AP ) , juga disertai

dengan foto lateral, untuk melihat adakah pembesaran KGB di daerah

hilus yang biasanya lebih jelas pada foto lateral. Bila keadaan foto

thoraks tidak jelas maka perlu dilakukan CT- Scan thoraks (Respirologi

anak, 2010).

Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah

sebagai berikut ( Respirologi anak, 2010 ) :

- Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/ tanpa

infiltrat.

- Konsolidasi segmental/lobar.

- Milier.

- Kalsifikasi dengan infiltrat.

- Atelektasis.

- Kavitas.

- Efusi Pleura.

- Tuberkuloma.

Gambaran Radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif menurut

( Pedoman diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia,

2006 ) :

- Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior

lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah.

- Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak

berawan atau nodular.

- Bayangan bercak milier.

- Efusi pleura unilateral ( umumnya ) atau bilateral ( jarang ).

Page 17: BAB II

Sedangkan gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif

menurut ( Pedoman Diagnostik dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di

Indonesia, 2006 ) :

- Fibrotik.

- Kalsifikasi.

- Schwarte atau penebalan pleura

II.1.12.3. Pemeriksaan Mikrobiologis

Diagnosis pasti ditegakkan bila ditemukan kuman TB pada

pemeriksaan mikrobiologis. Pemeriksaan mikrobiologis terdiri dari

dua macam, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung untuk

menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman M. tuberculosis

(Respirologi anak, 2010 ).

Tapi pada anak sulit sekali untuk mendapatkan sputumnya,

maka dilakukanlah pemeriksaan bilas lambung ( gastric lavage )

selama 3 hari berturut – turut, minimal 2 hari. Hasil pemeriksaan

mikroskopik langsung pada anak sebagian besar negatif, sedangkan

pada hasil biakan M. tuberculosis memerlukan waktu yang lama

yaitu sekitar 6 – 8 minggu ( Respirologi anak, 2010 ).

II.1.12.4. Pemeriksaan Patologi Anatomi

Pada pemeriksaan Patologi Anatomi dapat menunjukan

gambaran granuloma yang ukurannya kecil, terbentuk agregasi sel

epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma tersebut

mempunyai karateristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di

tengah granuloma. Gambaran khas lainnya adalah ditemukannya

sel datia Langhans. Diagnostik histopatologik dapat ditegakkan

dengan menemukan perkijuan, sel epiteloid, limfosit, dan sel datia

Langhans ( Respirologi anak, 2010).

Page 18: BAB II

II.1.12.5. Penegakan Diagnostik

Diagnosis kerja TB anak dibuat berdasarkan adanya kontak

terutama dengan pasien TB dewasa aktif/baru, kumpulan gejala dan

tanda klinis, uji tuberkulin, dan gambaran sugestif pada foto

thoraks.

Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan ditemukannya

kuman TB pada pemeriksaan apusan langsung ( direct smear ),

dan/atau biakan yang merupakan pemeriksaan baku emas ( gold

standart ), atau gambaran PA TB ( Respirologi anak, 2010 ).

Tetapi diagnosis TB pada anak sulit didapatkan karena

jumlah kuman yang sedikit pada TB anak ( paucibacillary ), dan

lokasi kuman di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga

hanya 10 – 15 % pasien TB anak yang hasil pemeriksaan

mikrobiologiknya positif/ditemukan kuman TB ( Respirologi anak,

2010 ).

Oleh karena itu dibuatlah pedoman diagnosis dengan sistem

skoring dan alur diagnostik yang dibuat oleh WHO ( World Health

Organization ) sebagai berikut :

Page 19: BAB II

Tabel 2.2. Petunjuk WHO untuk diagnostik TB anak

Dicurigai

Tuberkulosis

Mungkin

Tuberkulosis

Pasti Tuberkulosis

( Confirmed TB )

1. Anak sakit

dengan riwayat

kontak pasien

tuberkulosis

dengan diagnosis

pasti.

2. Anak dengan :

- Keadaan

klinis tidak

membaik

setelah

menderita

campak atau

batuk rejan.

- Berat badan

menurun,

batuk dan

mengi yang

tidak

membaik

dengan

pengobatan

antibiotika

untuk

penyakit

pernafasan.

- Pembesaran

kelenjar

superfisialis

yang tidak

sakit.

Anak yang dicurigai

tuberkulosis ditambah :

- Uji tuberkulin

positif ( 10 mm

atau lebih ).

- Foto rontgen

paru sugestif

tuberkulosis.

- Pemeriksaan

histologis biopsi

sugestif

tuberkulosis.

- Respon yang baik

pada pengobatan

dengan OAT.

- Ditemukan basil

tuberkulosis pada

pemeriksaan langsung

atau biakan.

- Identifikasi

Mycobacterium

tuberculosis pada

karakteristik biakan.

Page 20: BAB II

Sistem skoring untuk mendiagnosis Tuberkulosis selalu mengalami

perkembangan untuk itu IDAI bekerjasama dengan Depkes RI dan

didukung oleh WHO mengembangkan sistem skoring baru untuk

meningkatkan sensitifitas dan spesifisitas diagnosis TB pada anak.

Tabel 2.3. Sistem Skoring Diagnosis Tuberkulosis Anak

Parameter 0 1 2 3

Kontak TB tidak jelas - laporan

keluarga (BTA

negatif atau

tidak jelas)

BTA ( + )

Uji Tuberkulin negatif - - positif ( ≥10

mm, atau ≥5

mm pada

keadaan

imunosupresi

Berat

badan/keadaan

gizi

- BB/TB < 90%

atau BB/U <

80%

klinis gizi

buruk atau

BB/TB <70%

atau BB/U

<60%

-

Demam yang

tidak diketahui

penyebabnya

- ≥ 2 minggu - -

Batuk kronik - ≥ 3 minggu - -

Pembesaran

kelenjar limfe

kolli, aksila,

inguinal

- ≥ 1 cm, jumlah

>1, tidak nyeri

- -

Pembengkakan

tulang / sendi

- ada

pembengkakan

- -

Page 21: BAB II

panggul, lutut,

falang

Foto toraks Normal/

kelainan tidak

jelas

gambaran

sugestif TB*

- -

Catatan :

Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.

Bila dijumpai gambaran milier atau skrofuloderma, langsung didiagnosis

TB.

Berat badan dinilai saat pasien datang ( moment opname ).

Demam dan batuk tidak memiliki respons terhadap terapi baku.

Foto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak.

*Gambaran sugestif TB, berupa: pembesaran kelenjar hilus dan

paratrakeal dengan/tanpa infiltrat; konsolidasi segmental/lobar; kalsifikasi

dengan infiltrat; atelektasis; tuberkuloma. Gambaran milier tidak dihitung

dalam skor karena diperlakukan secara khusus.

Mengingat pentingnya peran uji tuberkulin dalam mendiagnosis TB anak,

maka sebaiknya disediakan tuberkulin di tempat pelayanan kesehatan.

Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG (≤7

hari) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak, BCG bukan

merupakan alat diagnostik.

Diagnosis kerja TB anak ditegakkan bila jumlah skor ≥ 6 (skor maksimal

13).

Bila ditemukan adanya gambaran milier, kavitas, atau efusi pleura pada

foto toraks, dan/atau terdapat tanda – tanda bahaya, seperti kejang, kaku

kuduk, dan penurunan kesadaran, serta tanda kegawatan lain seperti sesak

nafas, pasien harus dirawat inap di RS. Bila dijumpai gibbus dan koksitis,

pasien harus dikonsultasikan ke bedah ortopedi dan neurologi anak. IDAI

mengembangkan sistem skoring digunakan untuk penegakan diagnosis TB

Page 22: BAB II

anak pada sarana kesehatan dengan fasilitas yang terbatas ( Respirologi anak,

2010).

II.1.12.6 Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru pada anak

II.1.12.6.1. Medikamentosa

Obat TB utama ( first line ) saat ini adalah rifampisin (R),

isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E) dan steptomisin (S).

Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah

dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Obat TB lain

(second line) seperti levofloxacin, ciprofloxacin, kanamycin, amikacin

dapat digunakan jika terjadi MDR (multi drugs resistance)

(Respirologi anak, 2010).

a. Isoniazid

Isoniazid atau isonikotinil hidrazid yang sering disingkat dengan

INH, memiliki derivat yang mana cara kerja obat ini adalah dengan

menghambat pembelahan sel kuman tuberkulosis, yaitu iproniazid.

Selain itu isoniazid secara in vitro bersifat tuberkulostatik dan

tuberkulosid. Efek bakterisidnya hanya terlihat pada kuman yang

sedang aktif tumbuh ( Farmakologi dan Terapi Universitas Indonesia,

2007 ).

Isoniazid diberikan secara per oral. Dosis harian yang biasa

diberikan adalah 5 – 15 mg/kgBB/hari, maksimal 300 mg/hari, dan

diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid tersedia dalam bentuk

tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 ml/5 ml, tetapi

sediaan dalam bentuk sirup biasanya tidak stabil, sehingga tidak

dianjurkan penggunaannya (Respirologi anak, 2010).

Konsentrasi puncak di dalam darah, sputum, dan CSS dapat

dicapai dalam 1 – 2 jam, dan menetap selama paling sedikit 6 – 8 jam.

Isoniazid di metabolisme di hati. Pada anak- anak isoniazid

dieliminasi lebih cepat daripada orang dewasa, sehingga memerlukan

Page 23: BAB II

dosis yang lebih tinggi dibandingkan orang dewasa (Respirologi anak,

2010).

Antara 75 – 95 % isoniazid diekskresikan melalui urin dalam

waktu 24 jam dan hampir seluruhnya dalam bentuk metabolit.

Ekskresi terutama dalam bentuk asetil isoniazid yang merupakan

metabolit proses asetilasi, dan asam isonikotinat yang merupakan

metabolit proses hidrolisis. Sejumlah kecil diekskresikan dalam

bentuk isonikotinil glisin dan isonikotinil hidrazon, dan dalam jumlah

yang kecil sekali N-metil isoniazid ( Farmakologi dan Terapi

Universitas Indonesia, 2007 ).

Efek yang biasanya muncul pada penggunaan obat ini

diantaranya ada dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan neuritis

perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada

pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan

bertambahnya usia. Sebagian besar anak yang menggunakan obat

isoniazid ini mengalami peningkatan kadar transaminase darah yang

tidak terlalu tinggi dalam 2 bulan pertama, akan tetapi akan menurun

dengan sendirinya tanpa penghentian obat.

Karena hal tersebut penggunaan isoniazid tidak dilanjutkan bila

kadar tranaminase serum naik lebih dari lima kali harga normal, atau

tiga kali disertai dengan ikterik dan/atau manifestasi klinis hepatitis

berupa mual,muntah, dan nyeri perut ( Respirologi anak, 2010 ).

Sedangkan neuritis perifer biasanya bermanifestasi klinis berupa

mati rasa atau kesemutan pada tangan dan kaki. Reaksi

hipersensitivitas yang disebabkan karena obat isoniazid jarang terjadi,

bila terjadi dapat berupa demam, pruritus, atau urtikaria (Farmakologi

dan Terapi UI, 2007).

Page 24: BAB II

b. Rifampisin

Rifampisisn adalah salah satu obat derivat semisintetik

rifampisin B yaitu salah satu anggota kelompok antibiotik

makrosiklik yang disebut rifamisin. Kelompok zat ini dihasilkan oleh

Streptomyces mediterranei (Farmakologi dan Terapi UI, 2007).

Rifampisin merupakan obat yang bersifat bakterisid pada

intrasel dan ekstrasel , dan dapat memasuki semua jaringan, dan

dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh

isoniazid ( Respirologi anak, 2010 ). Rifampisin menghambat

pertumbuhan berbagai kuman Gram-positif dan Gram-negatif

(Farmakologi dan Terapi UI, 2007).

Obat ini diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal

pada saat perut kosong ( 1 jam sebelum makan ), dan kadar serum

puncak tercapai dalam 2 jam. Rifampisin tersedia dalam bentuk

kapsul 150 mg, 300mg, dan 450 mg secara oral namun sediaan ini

kurang sesuai digunakan untuk anak – anak untuk itu dibuat dalam

bentuk suspensi supaya lebih mudah dikonsumsi, dosis rifampisin

adalah 10 – 20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan

dosis satu kali pemberian per hari.

Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis rifampisin

tidak lebih dari 15 mg/kgBB/hari dan isoniazid sebesar 10/kgBB/hari

(Respirologi anak, 2010).

Obat ini akan diekskresikan melalui empedu dan kemudian

mengalami sirkulasi enterohepatik, dan didistribusikan ke seluruh

tubuh dengan kadar efektif dicapai diberbagai organ dan cairan

tubuh, termasuk cairan otak.

Masa paruh eliminasi obat ini bervariasi antara 1,5 – 5 jam dan

bisa memanjang bila terjadi gangguan pada hepar. Ekskresinya

melalui urin mencapai 30 %, setengahnya merupakan rifampisin

utuh ( Farmakologi dan Terapi UI, 2007 ).

Page 25: BAB II

Efek samping obat rifampisin ini lebih sering terjadi

dibandingkan dengan isoniazid diantaranya perubahan warna urin,

ludah, keringat, sputum, dan air mata menjadi warna oranye

kemerahan. Selain itu efek samping lainnya adalah gangguan

gastrointestinal (mual dan muntah), dan hepatotoksisitas

(ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai dengan peningkatan kadar

transaminase serum yang asimtomatik selain itu rifampisin juga

dapat menyebabkan trombositopenia (Respirologi anak, 2010).

c. Pirazinamid

Pirazinamid adalah analog nikotinamid yang tidak larut

dalam air. Obat ini diabsorbsi dengan baik dari saluran cerna dan

didistribusikan secara meluas ke seluruh jaringan tubuh ( Katzung,

2000 ).

Selain di jaringan tubuh, pirazinamid juga berpenetrasi baik

di cairan tubuh seperti CSS. Pirazinamid biasanya diberikan secara

per oral sesuai dosis 15 – 30 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal

2 gram/hari. Obat ini mencapai kadar serum puncak 45µg/ml dalam

waktu 2 jam.

Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid

sangat baik diberikan pada saat keadaan asam, yang timbul akibat

jumlah kuman yang masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid

pada anak – anak dinyatakan aman (Respirologi anak, 2010).

Reaksi hipersensitifitas sebagai efek samping obat

pirazinamid ini jarang ditemukan pada anak ( Ilmu Kesehatan Anak

Nelson, 2000 ). Sedangkan atralgia, artritis, hepatitis merupakan

efek-efek samping yang biasanya lebih sering ditemukan pada

kasus dewasa ( Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana TB, 2006 ).

Page 26: BAB II

d. Etambutol

Etambutol merupakan suatu senyawa sintetik yang larut

dalam air serta senyawa yang stabil dalam keadaan panas. Secara in

vitro, banyak strain M.tuberculosis dan mikobakteria lain yang

dihambat oleh etambutol dengan konsentrasi 1 – 5 µg/mL

(Katzung, 2000).

Pada pemberian oral sekitar 75 – 80 % etambutol diserap dari

saluran cerna. Kadar puncak dalam plasma dicapai dala waktu 2 – 4

jam setelah pemberian. Masa paruh eliminasinya 3 – 4 jam. Dalam

waktu 24 jam, 50 % etambutol yang diekskresikan dalam bentuk

asal melalui urin, dan 10 % sisanya sebagai metabolit, yakni berupa

derivat aldehid dan asam karboksilat. Klirens ginjal untuk

etambutol kira – kira 8,6 mL/menit/Kg menandakan bahwa obat ini

selain mengalami filtrasi di glomerulus juga di sekresi melalui

tubuli ( Farmakologi dan Terapi UI, 2007 ).

Pada dosis 15 mg/kg/24 jam obat ini bersifat bakteriostatik,

obat ini ditoleransi dengan baik oleh rang dewasa maupun anak bila

diberikan secara oral secara oral sebagai dosis sekali atau dua kali

sehari.

Pada nilai dosis tersebut sekitar 2 % pasien biasanya

mengalami efek samping yaitu penurunan ketajaman penglihatan,

ruam kulit dan pruritus. Etambutol tidak dianjurkan untuk

penggunaan umum pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit

untuk dideteksi ( Farmakologi dan Terapi UI, 2007 ).

e. Streptomisin

Streptomisin ialah obat antituberkulosis pertama yang dinilai

efektif. Bersifat bakteriostatik dan bakterisid terhadap kuman

tuberkulosis. Diberikan secara intramuskuler, dan hampir semua

streptomisin berada dalam plasma dan hanya sedikit sekali yang

masuk ke dalam eritrosit. Streptomisin kemudian menyebar ke

seluruh cairan ekstrasel. Kira – kira sepertiga streptomisin yang

Page 27: BAB II

berada di dalam plasma, terikat protein plasma. Streptomisin

diekskresikan melalui filtrasi glomerulus ( Farmakologi dan Terapi

UI, 2000 ).

Kira – kira 50 – 60 % dosis sterptomisin yang diberikan

secara parenteral dieksresikan dalam bentuk utuh dalam waktu 24

jam pertama. Sebagian besar jumlah ini dieksresikan dalam waktu

12 jam. Masa paruh obat pada orang dewasa normal antara 2 – 3

jam ( Farmakologi dan Terapi UI, 2000 ).

Penggunaan utamanya sekarang adalah bila dicurigai

resistensi INH awal atau bila anak menderita tuberkulosis yang

membahayakan jiwa. Toksisitasnya utama pada bagian vestibuler

dan auditorius syaraf kranial 8. Streptomisin dikontraindikasikan

untuk wanita hamil karena sampai 30% bayinya akan menderita

kehilangan pendengaran yang berat ( Ilmu Kesehatan Anak Nelson,

2000 ).

Tabel 2.4. Obat Antituberkulosis yang biasa dipakai dan dosisnya

Nama Obat Dosis harian

(mg/kgBB/hari)

Dosis maksimal

(mg per hari)

Efek samping

Isoniazid 5 – 15 * 300 Hepatitis, neuritis

perifer,

hipersensitivitas.

Rifampisin** 10 – 20 600 Gastrointestinal, reaksi

kulit,hepatitis,

trombositopenia,

peningkatan enzim

hati, cairan tubuh

berwarna

oranyekemerahan.

Pirazinamid 15 – 30 2000 Toksisitas hati,

Page 28: BAB II

atralgia,

gastrointestinal.

Etambutol 15 – 20 1250 Neuritis optik,

ketajaman mata

berkurang, buta warna

merah – hijau,

penyempitan lapang

pandang,

hipersensitivitas,

gastrointestinal.

Streptomisin 15 – 40 1000 Ototoksik, nefrotoksik

( Sumber : dimodifikasi dari Mundoz FM, Starke JR. Tuberculosis (Mycobacterium

Tuberculosis). Dalam Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting.Nelson

textbook of pediatrics.Philadelphia, Saunders, 2004 )

Catatan :

* Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak

boleh melebihi 10 mg/kgBB/hari.

** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain

karena dapat mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin

diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut

kosong (satu jam sebelum makan).

Paduan obat TB

Dalam pengobatan TB dibagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif (2 bulan

pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB adalah

minimal tiga macam obat pada fase intensif (2 bulan pertama) dan dilanjutkan

dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih). Paduan obat ini

dibuat agar mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman

intraselular dan ekstraselular. Pemberian obat jangka panjang juga bertujuan

untuk mencegah relaps juga untuk membunuh kumannya.

Page 29: BAB II

Dosis pemberian OAT pada anak diberikan setiap hari, bukan dua atau tiga

kali dalam seminggu, tujuannya adalah untuk mengurangi ketidakteraturan

menelan obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak ditelan setiap hari.

Pengobatan OAT yang sudah baku untuk kasus TB anak adalah pada fase intensif

diberikan rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid, sedangkan pada fase lanjutan

hanya diberikan rifampisin dan isoniazid.

Pada keadaan TB berat, TB pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti TB

milier, meningitis TB, TB sistem skeletal, dan lain – lain, pada fase intensif

diberikan minimal empat macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan

etambutol atau streptomisin), dilanjutkan fase lanjutan dengan pemberian

rifampisin dan isoniazid selama 10 bulan. Untuk kasus TB tertentu seperti

meningitis TB, TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, dan

peritonitis TB, diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis

1-2mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis, maksimal 60 mg dalam 1 hari. Lama

pemberian kortikosteroid adalah 2 – 4 minggu dengan dosis penuh, dilanjutkan

tappering off selama 1 – 2 minggu.

II.1.12.6.2. Non Medikamentosa

Anak yang mendapatkan pengobatan harus diberikan suatu

pemantauan oleh keluarga terhadap ketaatan minum obatnya.

Nutrisi yang diberikan juga harus adekuat sehingga bisa menunjang

proses kesembuhan penyakit tersebut. Anak yang terinfeksi

tuberkulosis pun harus diperiksa setiap bulannya dan harus diberi

pengobatan yang cukup yang berakhir sampai kunjungan

berikutnya ( Ilmu Kesehatan Anak Nelson, 2000 ).

Sumber lain mengatakan bahwa pengobatan pada pasien

tuberkulosis harus mendapatkan pengobatan non medikamentosa

untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi

gejala/keluhan (Pedoman Diagnostik dan Penatalaksanaan

Tuberkulosis di Indonesia, 2006 ) berupa :

Page 30: BAB II

1. Makan makanan bergizi, bila perlu bisa memberikan

supplement tambahan berupa vitamin.

2. Bila ada demam berikan obat penurun panas.

3. Bila perlu bisa juga diberikan obat – obat untuk mengatasi

keluhan lain seperti batuk, sesak napas atau keluhan lainnya.

a. Pendekatan DOTS

DOTS atau Directly Observed Treatment Short Course

adalah suatu strategi yang merupakan kunci keberhasilan program

penanggulangan tuberkulosis yang dikemukakan oleh Organisasi

Kesehatan (WHO) yang kini dianut juga oleh negara kita

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006 )

Dalam penatalaksanaan tuberkulosis paru perlu

diperhatikan masalah keteraturan ( adherens ) menelan obat,

keteraturan minum obat dikatakan baik apabila pasien menelan

obat sesuai dengan dosis yang ditentukan dalam panduan

pengobatan. Keteraturan menelan obat ini menjamin keberhasilan

pengobatan serta mencegah relaps dan terjadinya resistensi. Di

Indonesia program ini telah dilaksanakan sejak tahun 1995

(Respirologi anak, 2010).

Sesuai dengan rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri

atas 5 komponen, yaitu sebagai berikut (Respirologi anak, 2010) :

1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan,

termasuk dukungan dana.

2. Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara

mikroskopis.

3. Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek

dengan pengawasan langsung oleh pengawas menelan

obat (PMO).

4. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek

dengan mutu terjamin.

Page 31: BAB II

5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk

memudahkan pemantauan dan evaluasi program

penanggulangan TB.

Kelima komponen DOTS di atas terutama untuk pasien

TB dewasa, khususnya pada butir dua dan lima. Butir dua

menyatakan diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara

mikroskopis, yang mana pada pasien anak sulit dilaksanakan.

Sebagai gantinya maka pada anak dilakukan uji tuberkulin. Butir

lima pun sesuai dengan butir dua, sehingga format pencatatan dan

pelaporan dibuat untuk usia 15 tahun ke atas, sedangkan format

untuk kelompok usia 15 tahun ke bawah belum ada ( Respirologi

anak, 2010 ).

Pengobatan OAT jangka pendek dengan pengawasan

langsung merupakan salah satu point dari lima komponen strategi

DOTS yang direkomendasikan oleh WHO, yang mana

mengharuskan adanya orang yang bertanggung jawab mengawasi

pasien menelan obat, disebut sebagai PMO. Setiap pasien yang

baru ditemukan harus selalu didampingi oleh seorang PMO. Syarat

untuk menjadi PMO adalah sebagai berikut : (1) dikenal, (2)

dipercaya, dan (3) disetujui baik oleh petugas kesehatan maupun

pasien, (4) disegani dan dihormati oleh pasien, (5) tempat

tinggalnya dekat dengan pasien, (6) bersedia membantu pasien

dengan sukarela, (7) bersedia dilatih atau mendapatkan penyuluhan

(Respirologi anak, 2010).

Orang yang menjadi petugas PMO adalah petugas

kesehatan, keluarga pasien, kader, pasien yang sudah sembuh,

tokoh masyarakat, serta guru sekolah atau petugas unit kesehatan

sekolah yang sudah dilatih strategi DOTS (Respirologi anak, 2010).

Tugas PMO adalah mengawasi pasien agar menelan obat secara

teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan kepada

pasien agar mau berobat teratur, mengingatkan pasien untuk

periksa sputumulang (pasien dewasa), serta memberikan

Page 32: BAB II

penyuluhan kepada anggota keluarga pasien TB untuk segera

memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan (Respirologi anak,

2010 ).

Untuk meningkatkan keteraturan menelan obat, OAT

dibuat dalam bentuk kombipak ( kombinasi OAT dalam satu paket)

dan FDC (kombinasi OAT dalam satu tablet). Pada anak M.

tuberculosis sulit ditemukan, oleh karena itu diagnosis pada anak

tidak dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan mikroskopis yang

dianjurkan dalam strategi DOTS. Maka, diperlukan strategi

diagnotik lain, yaitu dengan menggunakan sistem skoring.

Pemerintah telah menyediakan paket OAT ( kombipak ) untuk anak

yang diperoleh secara gratis. Obat antituberkulosis dalam bentuk

KDT (FDC) untuk anak sedang dalam tahap persiapan pengadaan

(Respirologi anak, 2010).

b. Fixed Dose Combination ( FDC )

Tujuan dibuatnya kombinasi obat ini adalah untuk

mengatasi masalah keteraturan (adherence) pasien dalam menjalani

pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat yang banyak,

maka dibuatlah suatu sediaan obat kombinasi dengan dosis yang

telah ditentukan yaitu FDC atau Kombinasi Dosis Tetap (KDT).

Keuntungan penggunaan FDC dalam pengobatan TB

adalah ( Respirologi anak, 2010 ) :

Menyederhanakan pengobatan dan mengurangi kesalahan

penulisan resep.

Meningkatkan penerimaan dan keteraturan pasien.

Memungkinkan petugas kesehatan untuk memberikan

pengobatan standar dengan tepat.

Mempermudah pengelolaan obat (mempermudah proses

pengadaan, penyimpanan, dan distribusi obat pada setiap

tingkat pengelola program pemberantasan TB).

Page 33: BAB II

Mengurangi kesalahan penggunaan obat TB (monoterapi)

sehingga mengurangi resistensi terhadap obat TB.

Mengurangi kemungkinan kegagalan pengobatan dan

terjadinya kekambuhan.

Mempercepat dan mempermudah pengawasan menelan obat

sehingga dapat mengurangi beban kerja.

Mempermudah penentuan dosis berdasarkan BB.

Berikut ini merupakan rumusan mengenai FDC pada anak yang telah

dibuat oleh Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI :

Tabel 2.5. Dosis Kombinasi pada Tuberkulosis Anak

Berat Badan (kg) 2 bulan

RHZ (75/50/150 mg)

4 bulan

RH (75/50 mg)

5 – 9 1 tablet 1 tablet

10 – 14 2 tablet 2 tablet

15 – 19 3 tablet 3 tablet

20 - 32 4 tablet 4 tablet

( Sumber : Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI, 2010 )

Catatan :

Bila BB > 33 kg, dosis disesuaikan dengan Tabel 2.4. ( perhatikan dosis

maksimal ).

Bila BB < 5 kg, sebaiknya dirujuk ke RS.

Obat tidak boleh diberikan setengah dosis tablet.

Perhitungan pemberian tablet di atas sudah memperhatikan kesesuaian

dosis per kgBB.

Page 34: BAB II

Tabel 2.6. Dosis Kombinasi tetap berdasarkan WHO

Berat Badan (kg) Fase

Inisial

(2

bulan)

Fase

Lanjutan

(4 bulan)

Kisaran Dosis

< 7 1 1 R:9-20mg,H:4-10mg,Z:21-50mg

8 – 9 1,5 1,5 R:8-9mg,H:5-5,6mg,Z:19-22mg

10 – 14 2 2 R:11-12mg,H:4,3-6mg,Z:21-30mg

15 – 19 3 3 R:9,4-12mg,H:4,3-6mg,Z:16-30mg

20 – 24 4 4 R:10-12mg,H:5-6mg,Z:25-30mg

25 – 29 5 5 R:10,3-12mg,H:5-6mg,Z:15-30mg

( Sumber : Respirologi anak IDAI, 2010 )

Catatan :

R : Rifampisin

H : Isoniazid

Z : Pirazinamid

Evaluasi hasil Pengobatan

Evaluasi terhadap hasil pengobatan dilakukan kontrol setiap bulan ditujukan

untuk menilai perkembangan hasil terapi, memantau timbulnya efek samping

obat. Evaluasi pengobatan pada pasien anak sangat penting biasanya dilakukan

dengan cara yaitu evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED.

Evaluasi klinis dilakukan untuk menilai menghilang atau membaiknya kelainan

klinis yang sebelumnya ada pada awal pengobatan, misalnya penambahan berat

badan yang bermakna, hilangnya demam, hilangnya batuk, perbaikan nafsu

makan, dan lain – lain (Respirologi anak, 2010).

Adapun evaluasi radilogis dalam 2 – 3 bulan pengobatan tidak perlu

dilakukan secara rutin kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang

nyata/luas seperti pada TB milier, efusi pleura TB, atau bronkopneumonia TB.

Pada pasien TB milier, foto toraks perlu diulang setelah 1 bulan untuk evaluasi

Page 35: BAB II

pengobatan, sedangkan pada efusi pleura TB pengulangan foto toraks dilakukan

setelah 2 minggu. Pemeriksaan Laju endap darah (LED) dapat digunakan sebagai

sarana evaluasi bila pada awal pengobatan nilainya tinggi (Respirologi anak,

2010).

Setelah dilihat dalam 2 bulan respon kurang baik, dengan gejala yang masih

menetap seprti tidak terjadi penambahan berat badan, maka OAT tetap diberikan

sambil dilakukan evaluasi lanjut dari hasil yang tidak menunjukan perbaikan.

Kemungkinan terjadi misdiagnosis, mistreatment, atau resistensi terhadap OAT.

Pasien yang mendapatkan perawatan di pelayanan kesehatan terbatas dapat

merujuk ke sarana pelayanan yang lebih tinggi atau kepada konsultan respirologi

anak. Evaluasi yang dilakukan meliputi evaluasi kembali diagnosis, ketepatan

dosis OAT, keteraturan dalam menelan obat, melihat kemungkinan adanya

penyakit penyerta serta evaluasi asupan gizi. Setelah pengobatan selama kurun

waktu 6 – 12 bulan dan terlihat terdapat perbaikan klinis, pengobatan dapat

dihentikan, dan evaluasi radiologis tidak perlu dilakukan secara rutin di akhir

pengobatan. Pengobatan TB selama 6 bulan betujuan untuk meminimalisasi residu

subpopulasi persister M. tuberculosis ( tidak mati dengan obat – obatan ) yang

bertahan dalam tubuh, dan mengurangi secara bermakna kemungkinan terjadinya

relaps (Respirologi anak, 2010).

Putus obat

Pasien TB dikatakan putus obat bila berhenti menjalani pengobatan selama

≥2 minggu. Setelah itu baru akan di evaluasi kembali mengenai sudah berapa

lama menjalani pengobatan, evaluasi keadaan klinis pasien dan berapa lama obat

telah terputus, baru pasien akan dirujuk untuk mendapatkan penanganan

selanjutnya (Respirologi anak, 2010).

Multi-drug Resistance ( MDR )

Multi-drug Resistance adalah suatu keadaan resistensi ganda yang

menunjukan M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan isoniazid dengan

atau tanpa OAT lainnya ( Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006 )

Page 36: BAB II

Beberapa penyebab terjadinya resistensi terhadap obat tuberkulosis, yaitu

(Perhimpunan Donter Paru Indonesia, 2006) :

Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis.

Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya

yang kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi

yang tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan

rifampisin dan isoniazid saja pada daerrah dengan resistensi terhadap

kedua obat tersebut sudah cukup tinggi.

Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau

tiga minggu lalu stop, setelah dua bulan berhenti kemudian

berpindah dokter dan mendapat obat kembali selama dua atau tiga

bulan lalu stop lagi.

Fenomena “ addition syndrome: (Crofton, 1987), yaitu suatu obat

ditambahkan dalam satu paduan pengobatan yang tidak berhasil.

Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada

paduan yang pertama, maka penambahan atau addition satu macam

obat hanya akan menambah panjang daftar obat yang resisten.

Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan

secara baik, sehingga mengganggu bioavailabilitas obat.

Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu

daerah terhenti pengirimannya sampai berbulan – bulan.

Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga menimbulkan

kejemuan.

Pengetahuan pasien kurang tentang penyakit TB.

Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi

(Perhimpuna Dokter Paru Indonesia, 2006) :

Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah

mendapatkan pengobatan TB.

Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasiennya

sudah pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak.

Page 37: BAB II

Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah punya riwayat

pengobatan sebelumnya.

Menurut WHO, MDR yang terjadi bila pengendalian TB tidak benar

prevalensinya mencapai 5,5 % sedangkan dengan pengendalian yang benar yaitu

dengan menerapkan strategi directly observed treatment shortcourse (DOTS),

maka prevalensi MDR-TB hanya 1,6 % ( Respirologi anak, 2010).

Penatalaksanaan MDR-TB

Tabel. 2.7. Daftar Obat Antituberkulosis Lini Kedua untuk MDR-TB

Nama obat Dosis harian

(mg/kgBB/hari)

Dosis maksimal

(mg per hari)

Efek samping

Ethionamide atau

Prothionamide

15 - 20 1000 Muntah,

gangguan

gantrointestinal*

,sakit sendi

Fluoroquinolones**

Ofloxacin

Levofloxacin

Moxifloxacin

Gatifloxacin

Ciprofloxacin

15 – 20

7,5 – 10

7,5 – 10

7,5 – 10

20 – 30

800

-

-

-

1500

Aminoglycosides

Kanamycin

Amikacin

capreomycin

15 – 30

15 – 22,5

15 - 30

1000

1000

1000

Ototoksisitas,

toksisitas hati

Cycloserin

terizidone

10 -20 1000 Gangguan psikis,

gangguan

neurologis

Para-aminosalicylic

acid

150 12000 Muntah,

gangguan

Page 38: BAB II

gastrointestinal

( Sumber : Respirologi anak IDAI, 2010 )

Catatan :

* dapat ditanggulangi dengan dosis terbagi.

** meskipun belum disetujui untuk anak tetapi kalau sangat diperlukan

dapat diberikan dengan mengabaikan efek samping.

II.4. Status Gizi

II.4.1. Definisi

Status Gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan

dan penggunaan zat – zat gizi (Almatsier, 2006). Status gizi adalah

ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau

perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa,

2001). Status gizi adalah keadaan kesehatan yang berhubungan dengan

penggunaan makanan oleh tubuh (Adriani, 2012)

II.4.2. Penilaian status gizi

Penilaian status gizi merupakan proses pemeriksaan keadaan gizi

seseorang dengan cara mengumpulkan data penting, baik yang bersifat

objektif maupun subjektif, untuk kemudian dibandingkan dengan baku

yang telah tersedia (Arisman, 2009).

Penilaian status gizi terbagi menjadi dua cara pengukuran yaitu

penilaian status gizi secara langsung yang dibagi kedalam empat penilaian

yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Sedangkan penilaian

status gizi secara tidak langsung dibagi menjadi tiga kelompok penilaian

yaitu survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi

(Supariasa, 2001).

II.4.2.1. Penilaian Status Gizi secara Langsung

1. Antropometri

Page 39: BAB II

Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia (Supariasa,

2001). Antropometri adalah ukuran dari berbagai macam dimensi tubuh

manusia yang relatif berbeda – beda menurut umur, jenis kelamin, dan

keadaan gizi (Adriani, 2012). Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka

antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran

dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat

gizi (Supariasa, 2001).

Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan

mengukur beberapa parameter. Parameter antropometri merupakan dasar

dari penilaian status gizi. Kombinasi antara beberapa parameter disebut

indeks antropometri. Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan

yaitu Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur

(TB/U), dan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB).

a. Indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U)

Indeks ini merupakan pengukuran antropometri yang sering

digunakan sebagai indikator dalam keadaan normal, dimana

keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan

kebutuhan zat gizi terjamin. Berat badan merupakan salah satu

parameter yang memberikan gambaran massa tubuh. Berat badan

memberikan gambaran tentang massa tubuh (otot dan lemak)

(Supariasa, 2001). Berat badan merupakan hasil peningkatan

(penjumlahan) seluruh jaringan tulang, otot, lemak, cairan tubuh

dan lain – lain (Adriani, 2012). Massa tubuh sangat sensitif

terhadap perubahan – perubahan yang mendadak, misalnya

terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan, dan

menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Karakteristik

berat badan yang labil, maka indeks ini lebih menggambarkan

status gizi seseorang saat ini (current nutritional status).

b. Indeks Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)

Page 40: BAB II

Indeks ini merupakan pengukuran antropometri yang

menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal, indeks ini

memberikan gambaran status gizi masa lampau yang juga erat

kaitannya dengan status sosio ekonomi (Supariasa, 2001) . Tinggi

badan memberikan gambaran pertumbuhan tulang yang sejalan

dengan pertambahan umur, tidak banyak terpengaruh oleh

perubahan yang mendadak, karena tinggi badan merupakan hasil

pertumbuhan secara akumulatif semenjak lahir (Adriani, 2010).

c. Indeks Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB)

Indeks ini menjelaskan bahwa berat badan memiliki hubungan

yang linier dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal,

perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan

tinggi badan dengan kecepatan tertentu serta merupakan indikator

yang baik untuk menilai status gizi saat ini (sekarang) (Supariasa,

2001).

Page 41: BAB II

II.2. Kerangka Teori

Kondisi Gizi Buruk Pada Balita

Asupan Nutrisi

Makanan tidak Seimbang

Penyakit Infeksi

Tuberkulosis Paru

Tidak Cukup Persediaan Pangan

Pola Asuh Anak tidak Memenuhi

Sanitasi dan Air Bersih/ Yankes Dasar

tidak memenuhi

Tingkat Pendidikan, Pengetahuan, dan Keterampilan

Kurang Pemberdayaan Wanita dan Keluarga, Kurang Pemanfaatan Sumber Daya Masyarakat

Page 42: BAB II

( Sumber : Soekirman, 2000, dengan modifikasi )

II.3. Kerangka Konsep

Variabel Bebas

Variabel Terikat

II.3. Hipothesis Penelitian

II.3.1. Terdapat hubungan antara Pendidikan Ibu dengan Kejadian Gizi

Buruk pada Balita.

II.3.2. Terdapat hubungan antara Infeksi Penyakit Tuberkulosis Paru

dengan Kejadian Gizi Buruk pada Balita.

Faktor Langsung

Penyakit Kronis ( TBC )

Faktor tidak Langsung

Pendidikan Ibu

Gizi Buruk pada Balita

Pengangguran, Inflasi, Kurang Pangan, dan Kemiskinan

Krisis Ekonomi , Sosial, dan Politik

Page 43: BAB II