bab ii
DESCRIPTION
TUBERKULOSISTRANSCRIPT
![Page 1: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/1.jpg)
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1. Tinjauan Pustaka
II.1.1. Definisi Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis ( TBC atau TB ) adalah suatu penyakit infeksi yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosa. Bakteri ini
termasuk ke dalam famili Mycobacteriaceae dan termasuk ke dalam ordo
Actinomycetales, yang terdiri dari 5 jenis yaitu M. tuberculosis, M. bovis,
M. africanum, M. microti, dan M. canettii. Dari beberapa jenis tersebut
M. tuberculosis merupakan jenis yang paling sering ditemukan. Bakteri
ini merupakan bakteri basil yang sangat kuat sehingga memerlukan
waktu lama untuk mengobatinya. Bakteri ini lebih sering menginfeksi
organ paru-paru ( 90 % ) dibandingkan dengan organ yang lain dari
tubuh manusia ( Masrin, 2008 ).
Selain infeksi menular tuberculosis juga bisa berakibat fatal, yang
disebabkan oleh Mycrobacterium tuberculuosis, Mycrobacterium bovis
atau Mikrobakterium africanum ( Ratna, 2010). Tuberkulosis paru
merupakan penyakit serius terutama pada bayi dan anak kecil, anak
dengan malnutrisi, dan anak dengan gangguan imunologis.
Sebagian besar anak menderita tuberkulosis primer pada usia muda
dan sebagian besar asimtomatik dan sembuh spontan tanpa gejala sisa.
Pada beberapa pasien penyakit berkembang menjadi tuberkulosis pasca-
primer.
II.1.2. Penyebab Tuberkulosis Paru
Penyebab Tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosa,
merupakan bakteri berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/Um dan
tebal 0,3-0,6/Um. Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Kock
pada tanggal 24 Maret 1887, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri
![Page 2: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/2.jpg)
tersebut dinamakan nama Basil Koch. Bahkan penyakit TBC pada paru –
paru yang kadang disebut juga sebagai Koch Pulmonum ( KP ).
Penyakit tuberkulosis adalah basil tuberkulosis yang termasuk dalam
genus Mycobacterium, suatu anggota dari famili Mycobacteriaceae dan
termasuk dalam ordo Actinomycetalis. Mycobacterium tuberculosa
menyebabkan sejumlah penyakit berat pada manusia dan penyebab
terjadinya infeksi tersering. Masih terdapat Mycobacterium patogen
lainnya, misalnya Mycobacterium leprae, Mycobacterium
paratuberkulosis dan Mycobacterium yang dianggap sebagai
Mycobacterium non tuberculosis atau tidak dapat terklasifikasikan
( Ikue, 2007 ).
Jenis bakteri yang termasuk dalam Mycobacterium tuberculosae
complex adalah M. tuberculosae, Varian Asian, Varian African I, Varian
African II, dan M. bovis. Selain itu ada juga kelompok bakteri M.
tuberculosae dan Mycobacteria Other Than Tb (MOTT, atypical) adalah
M. kansasi, M. avium, M. intracellulare, M. scrofulaceum,
M.malmacerse, dan M. xenopi (Slamet Suyono.2001:820-821).
II.1.3. Karakteristik Bakteri Tuberkulosis
Hampir sebagian besar bakteri ini terdiri atas asam lemak ( lipid ),
peptidoglikan dan arabinomana. Lipid adalah bagian dari bakteri yang
membuat bakteri tersebut tahan terhadap asam sehingga disebut Basil
Tahan Asam ( BTA ). Bakteri ini dapat bertahan hidup pada udara kering
maupun dalam keadaan dingin, tapi mati pada keadaan terpapar sinar
matahari langsung. Bakteri ini juga bisa hidup dalam jaringan tubuh, oleh
karena itu memiliki juga sifat dorman ( tidur ), sifat dari dorman ini dapat
menjadi tuberkulosis aktif ( Slamet Suyono, 2001:821).
Karakteristik Mycobacterium Tuberculosis adalah sebagai
berikut (Darmajono, 2001) :
1. Merupakan jenis kuman berbentuk batang berukuran
panjang 1-4 mm dengan tebal 0,3-0,6 mm.
2. Bakteri tidak berspora dan tidak berkapsul.
![Page 3: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/3.jpg)
3. Pewarnaan Ziehl-Nellsen tampak berwarna merah dengan
latar belakang biru.
4. Bakteri sulit diwarnai dengan Gram tapi jika berhasil
hasilnya Gram positif.
5. Pemeriksaan menggunakan mikroskop elektron dinding sel
tebal, mesosom mengandung lemak (lipid) dengan
kandungan 25%, kandungan lipid memberi sifat yang khas
pada bakteri yaitu tahan terhadap kekeringan, alkohol, zat
asam, alkalis dan germisida tertentu.
6. Sifat tahan asam karena adanya perangkap fuksin intrasel,
suatu pertahanan yang dihasilkan dari komplek mikolat
fuksin yang terbentuk di dinding.
7. Pertumbuhan sangat lambat, dengan waktu pembelahan 12-
18 jam dengan suhu optimum 37oC.
8. Kuman kering dapat hidup di tempat gelap berbulan-bulan
dan tetap virulen.
9. Kuman mati dengan penyinaran langsung matahari.
Gambar 1. Mycobacterium Tuberculosis
( Sumber : Megan McTaggart & Chelsea Tabellion, 2010 )
![Page 4: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/4.jpg)
II.1.4. Patogenesis dan Perjalanan Alamiah
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98 % kasus infeksi TB.
Karena ukurannya yang sangat kecil ( < 5 µm ), kuman TB dalam percik
renik ( droplet nuclei ) yang terhirup dapat mencapai alveolus. Pada
sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme
imunologis non spesifik, sehingga tidak terjadi respon imunologis spesifik
dan sebagian besar kasus lainnya tidak seluruhnya bisa dihancurkan
(Respirologi anak, 2010).
Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman,
makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar
dihancurkan. Tetapi sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat
dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya
menyebabkan lisis makrofag, lalu kuman TB akan membentuk lesi di
tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon (Respirologi anak,
2010 ).
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe
menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai
saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan
terjadinya inflamasi di saluran limfe ( limfangitis ) dan di kelenjar limfe
(limfadenitis) yang terkena. Bila fokus primer terletak di lobus bawah
atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe
parahilus ( perihiler ), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru,
yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus
primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer
(Respirologi anak, 2010 ).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga
terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa
inkubasi. Masa inkubasi TB bervariasi selam 2 – 12 minggu, biasanya
berlangsung selama 4 – 8 minggu. Selama masa tersebut kuman
berkembang biak hingga mencapai jumlah 10³- 10, yaitu jumlah yang
cukup untuk merangsang respon imunitas selular (Respirologi anak, 2010).
![Page 5: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/5.jpg)
Pada saat terbentuknya kompleks primer, infeksi TB primer
dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular
tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat dikenali dengan adanya rekasi
hipersensitifitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif.
Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik,
pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB berhenti.
Tapi sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup di dalam granuloma. Bila
imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam
alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas seluler spesifik
(Respirologi anak, 2010).
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru
biasanya akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis
atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar
limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan
paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun
dalam kelenjar ini , tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB ( Respirologi
anak, 2010 ).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran
normal pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang
berlanjut, sehingga bronkus dapat terganggu. Kelenjar yang mengalami
inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi
dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endotrakeal atau membentuk
fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus
sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering
disebut sebagai lesi segmental kolaps – konsolidasi ( Respirologi anak,
2010 ).
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler,
dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran
limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk
kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen
(Respirologi anak, 2010 ).
![Page 6: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/6.jpg)
Penyebaran secara hematogen langsung juga dapat terjadi, yaitu
dimana kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh, sehingga penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB
disebut sebagai penyakit sistemik. Penyebaran hematogen yang paling
sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar
(occult hematogenic spread ).
Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit
demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB
kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di
organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru,
limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu bisa juga besarang di
organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal dan lain – lain. Pada umumnya,
kuman pada lokasi sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif ( tenang ).
Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang nantinya dapat
berkembanng serta tereaktifasi menjadi TB apeks paru saat dewasa
(Respirologi anak, 2010).
II.1.5. Cara Penularan Tuberkulosis Paru
Penularan penyakit Tuberkulosis disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis yang ditularkan melalui udara ( droplet
nuklei ) saat seseorang dengan Tuberkulosis batuk, bersin, atau percikan
ludah yang mengandung bakteri terhirup oleh orang lain saat bernafas.
Sumber penularan adalah pasien Tuberkulosis paru BTA positif bila
didapati pasien batuk, bersin atau berbicara saat berhadapan dengan
orang lain, basil bakteri tersembur dan terhisap ke dalam paru orang
sehat dan bisa menyebar ke bagian tubuh lain melalui peredaran darah ,
pembuluh limfe atau langsung ke organ lain. Sekali batuk pada penderita
dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Dengan masa inkubasi
selama 3 – 6 bulan ( Widoyono, 2008 ).
Tuberkulosis lebih mudah menular pada orang dengan kondisi
tubuh yang lemah, seperti kelelahan, kurang gizi, terserang penyakit atau
terkena pengaruh obat-obatan tertentu. Risiko tertular TB semakin tinggi
![Page 7: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/7.jpg)
pada masyarakat golongan sosial ekonomi rendah yang tinggal di
lingkungan perumahan yang padat penduduk dan kurang cahaya dan
ventilasi udara (koalisi). Infeksi TB rentan terjadi pada kelompok-
kelompok khusus seperti ; anak, manula, dan orang-orang dengan risiko
penularan tinggi seperti para tahanan dan kaum pendatang (Tuberkulosis,
2008).
Masa inkubasi dimulai saat masuknya bibit penyakit sampai timbul
gejala adanya lesi primer atau reaksi tes tuberkulosis positif kira-kira
memakan waktu 2-10 minggu. Risiko menjadi TB paru dan TB
ekstrapulmoner progresif setelah infeksi primer biasanya terjadi pada
tahun pertama dan kedua. Infeksi laten dapat berlangsung seumur hidup
(Chin, 2006).
II.1.6. Faktor Resiko
Mereka yang paling berisiko terpajan Mycobacterium Tuberculosis
ini adalah mereka yang tinggal berdekatan dengan orang yang terinfeksi
aktif, seperti gelandangan yang tinggal di tempat penampungan yang
terdapat penderita tuberkulosis, dan pengguna fasilitas kesehatan dan
pekerja kesehatan yang merawat pasien tuberkulosis (Corwin, 2000).
Terdapat beberapa faktor yang mepermudah terjadinya infeksi
Tuberkulosis maupun timbulnya penyakit Tuberkulosis pada anak.
Faktor – faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko infeksi dan faktor
risiko progresi infeksi menjadi penyakit ( risiko penyakit ) ( Respirologi
anak, 2010 ).
II.1.7. Risiko Infeksi Tuberkulosis
Faktor resiko terjadinya infeksi Tuberkulosis antara lain adalah anak
yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif ( kontak TB positif ) ,
daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat ( higiene dan
sanitasi tidak baik ) , tempat penampungan umum ( panti asuhan, penjara,
atau panti perawatan lain ) , yang banyak bterdapat pasien TB dewasa aktif
( Respirologi anak, 2010 ).
![Page 8: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/8.jpg)
Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting adalah pajanan
terhadap orang dewasa yang infeksius , terutama bila orang dewasa
tersebut BTA positif. Maka bayi dari seorang ibu dengan BTA Sputum
positif memiliki risiko tinggi terinfeksi TB. Semakin erat hungungan
antara bayi dengan ibunya, maka semakin besar pula kemungkinan bayi
tersebut perpajan droplet nuklei yang infeksius ( Respirologi anak, 2010 ).
Risiko timbulnya transmisi bakteri dari orang dewasa ke anak akan
lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA Sputum positif,
infiltrat luas atau kavitas pada lobus atas, produksi sputum banyak dan
encer, batuk produktif dan kuat. Selain itu terdapat faktor lingkungan yang
kurang sehat terutama sirkulasi udara yang kurang baik ( Respirologi
anak, 2010 )
Pasien TB anak jarang yang menularkan bakteri kepada anak lain
atau orang dewasa di sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat
jarang ditemukan pada sekret endobronkrial pada pasien anak, selain itu
jumlah kuman pada TB anak biasanya sedikit, lokasi infeksi primer yang
kemudian berkembang menjadi sakit TB primer biasanya sudah terjadi di
daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi produksi
sputum, dan tidak ada / sedikitnya produksi sputum serta tidak terdapatnya
reseptor batuk di daerah parenkim menyebabkan jarangnya terdapat gejala
batuk pada TB anak ( Respirologi anak, 2010 )
II.1.8. Risiko Sakit Tuberkulosis
Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit
TB, faktor – faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB
menjadi sakit TB adalah ( Respirologi anak, 2010 ) :
a. Usia, anak dengan usia ≤ 5 tahun mempunyai risiko lebih tinggi
mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB karena imunitas
selularnya belum berkembang dengan sempurna ( imatur ). Akan
tetapi, risiko sakit TB ini akan berkurang secara bertahap seiring
dengan pertambahan usia.
![Page 9: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/9.jpg)
Pada bayi yang terinfeksi TB, 43% nya akan menjadi sakit TB,
pada anak 1-5 tahun yang menjadi sakit sekitar 24 % , pada usia
remaja 15 % dan dewasa 5 – 10 % .
b. Infeksi paru, yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin
(dari negatif menjadi positif ) dalam 1 tahun terakhir.
c. Malnutrisi, keadaan imunokompromais ( infeksi HIV, keganasan,
transplantasi organ, dan pengobatan imunokompromais ), diabetes
melitus dan gagal ginjal kronik.
d. Keadaan epidemiologi seperti , status sosio ekonomi yang rendah,
penghasilan yang kurang, kepadatan hunian, pengangguran,
pendidikan yang rendah, dan kurangnya dana untuk pelayanan
kesehatan masyarakat.
II.1.9. Gejala klinik
Gejala umum yang terdapat pada Tuberkulosis Anak adalah sebagai
berikut ( Respirologi anak, 2010 ) :
1. Demam lama ( ≥ 2 minggu ) dan / atau berulang tanpa sebab yang
jelas ( bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria dan lain-
lain ), yang dapat disertai dengan keringat malam. Demam umumnya
tidak tinggi.
2. Batuk lama > 3 minggu.
3. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas, atau tidak naik dalam 1
bulan dengan penanganan gizi yang adekuat.
4. Nafsu makan tidak ada ( anoreksia ) dengan gagal tumbuh dan berat
badan tidak naik dengan adekuat ( failure to thrive ).
5. Lesu atau malaise.
6. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.
![Page 10: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/10.jpg)
Tabel 2.1. Frekuensi gejala dan tanda TB Paru sesuai dengan
kelompok umur
Kelompok umur Bayi Anak Akil Balik
Gejala
Demam Sering Jarang Sering
Keringat malam Sangat jarang Sangat jarang Jarang
Batuk Sering Sering Sering
Batuk produktif Sangat jarang Sangat jarang Sering
Hemoptisis Tidak pernah Sangat jarang Sangat jarang
Dispnu Sering Sangat jarang Sangat jarang
Tanda
Ronki basah Sering Jarang Sangat jarang
Mengi Sering Jarang Jarang
Fremitus Sangat jarang Sangat jarang Jarang
Perkusi pekak Sangat jarang Sangat jarang Jarang
Suara napas berkurang Sering Sangat jarang Jarang
( Sumber : Am J Respir Crit Care Med, 2006 )
Gejala spesifik ( organ/lokal ) biasanya juga ditemukan bergantung
pada organ yang terkena, misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat,
tulang dan kulit ( Respirologi anak, 2010 ).
II.1.9.1. Kelenjar limfe
Pembesaran kelenjar limfe superfisialis sebagai manifestasi TB
sering dijumpai. Kelenjar yang sering terkena adalah kelenjar limfe
kolli anterior atau posterior, tetapi juga dapat terjadi di aksilla, inguinal,
submandibula, dan supraklavikula. Secara klinis, karakteristik kelenjar
yang dijumpai biasanya multipel, unilateral, tidak nyeri tekan, tidak
![Page 11: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/11.jpg)
hangat pada perabaan, mudah digerakan, dan dapat saling melekat satu
sama lain ( Respirologi anak, 2010 ).
II.1.9.2. Susunan Saraf Pusat
Tuberkulosis pada SSP yang tersering adalah meningitis TB,
penyakit ini merupakan penyakit yang berat dengan nilai kecatatan
yang tinggi. Gejala klinis yang terjadi berupa nyeri kepala, penurunan
kesadaran, kaku kuduk, muntah proyektil, dan kejang ( Respirologi
anak, 2010 ).
II.1.9.3. Sistem Skeletal
Terdapat gejala nyeri, bengkak pada sendi yang terkena, dan
gangguan atau keterbatasan gerak. Pada bayi dan anak yang sedang
dalam masa pertumbuhan, epifisis tulang merupakan daerah dengan
vaskularisasi tinggi yang disukai oleh kuman TB. Oleh karena itu, TB
sistem skeletal lebih sering terjadi pada anak daripada orang dewasa.
Tuberkulosis sistem skeletal yang sering terjadi adalah spondilitis TB,
koksitis TB, dan gonitis TB ( Respirologi anak, 2010 ).
II.1.9.4. Kulit
Terjadinya manifestasi TB pada kulit dapat melalui 2 cara, yaitu
inokulasi langsung ( infeksi primer ) seperti tuberculous chancre, dan
akibat limfadenitis TB yang pecah menjadi skrofuloderma ( TB
pascaprimer ). Manifestasi TB pada kulit yang paling sering dijumpai
adalah bentuk kedua, yaitu bentuk skrofuloderma yang biasanya sering
ditemukan di leher dan wajah, di tempat yang mempunyai kelenjar
getah bening ( KGB ), misalnya di daerah parotis, submandibula,
supraklavikula, dan lateral leher ( Respirologi anak, 2010 ).
II.1.10. Diagnosis Tuberkulosis
Diagnosis pasti TB ditegakkan dengan ditemukannya
M.tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan
![Page 12: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/12.jpg)
serebrospinal ( CSS ), cairan pleura, atau biopsi jaringan. Pada anak
biasanya ditemukan beberapa kesulitan untuk menegakkan diagnosis
pasti yang disebabkan karena dua hal, yaitu sedikitnya jumlah kuman
(paucibacillary) dan sulitnya pengambilan spesimen sputum
(Respirologi anak, 2010 ).
Penyebab pertama, yaitu jumlah kuman TB di sekret bronkus
pasien anak lebih sedikit daripada dewasa, karena lokasi kerusakan
jaringan TB paru primer terletak di kelenjar limfe hilus dan parenkim
paru bagian perifer. Selain itu tingkat kerusakan parenkim paru tidak
seberat pasien dewasa. Basil tahan asam baru dapat dilihat dengan
mikroskop bila jumlahnya paling sedikit 5000 kuman dalam 1 ml
spesimen ( Respirologi anak, 2010 ).
Penyebab kedua, yaitu sulitnya melakukan pengambilan
spesimen/sputum. Pada anak, karena lokasi kelainannya di parenkim
yang tidak berhubungan langsung dengan bronkus, maka produksi
sputum tidak ada/minimal dan gejala batuk juga jarang.
Sputum yang representatif untuk dilakukan pemeriksaan
mikroskopis adalah sputum yang kental dan purulen, berwarna hijau
kekuningan dengan volume 3-5 ml, dan ini sulit diperoleh pada anak.
Walaupun batuknya berdahak, pada anak biasanya dahak akan ditelan,
sehingga diperlukan bilas lambung yang diambil melalui nasogastric
tube (NGT ), dan sebaiknya dilakukan oleh petugas berpengalaman
(Respirologi anak, 2010).
Berdasarkan kedua penyebab diatas, diagnosis TB anak terutama
pada temuan klinis dan radiologis seringkali tidak spesifik. Diagnosis
TB anak ditentukan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang seperti uji tuberkulin, foto toraks, dan pemeriksaan
laboratorium. Adanya riwayat kontak dengan pasien TB dewasa BTA
positif, uji tuberkulin positif, gejala dan tanda sugestif TB, foto toraks
yang mengarah pada TB ( sugestif TB ), merupakan dasar untuk
menyatakan anak sakit TB.
![Page 13: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/13.jpg)
II.1.11. Pemeriksaan Fisik
Pada Tuberkulosis Paru, kelainan yang didapat tergantung luas
kelainan struktur paru. Pada permulaan ( awal ) perkembangan penyakit
umumnya sulit menemukan kelainan. Kelainan paru umumnya terletak
di daerah lobus superior terutama di daerah apeks dan segmen posterior,
serta daerah apeks lobus inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat juga kita
temukan adanya suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah,
ronki basah, tanda – tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum
(Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis, 2006).
II.1.12. Pemeriksaan Penunjang
II.1.12.1. Uji Tuberkulin
Uji tuberkulin merupakan alat diagnosis TB yang sudah lama
dikenal, dan mempunyai nilai diagnostik yang tinggi terutama pada
anak, dengan sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90 %. Tuberkulin
adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat antigenik
yang kuat. Jika disuntikan secara intrakutan kepada seseorang yang
telah terinfeksi TB ( telah ada kompleks primer di dalam tubuhnya dan
telah terbentuk imunitas seluler terhadap TB ) , maka akan terjadi reaksi
berupa indurasi di lokasi suntikan ( Respirologi anak, 2010 ).
Indurasi yang terjadi pada lokasi suntikan dikarenakan
vasodilatasi lokal, edema, endapan fibrin, dan terakumulasinya sel-sel
inflamasi di daerah suntikan. Ukuran indurasi dan bentuk reaksi
tuberkulin tidak dapat menentukan tingkat aktifitas dan beratnya proses
penyakit ( Respirologi anak, 2010 ).
Jenis tuberkulin yang tersedia di Indonesia adalah PPD RT-23
2TU ( tuberculin unit ) buatan Statens Serum Institute Denmark, dan
PPD ( purified protein derivative ) dari Biofarma. Uji tuberkulin cara
Mantoux dilakukan dengan menyuntikan 0,1 ml PPD RT -23 2TU atau
PPD S 5TU, secara intrakutan di bagian volar lengan bawah.
Pembacaan dilakukan 48 – 72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran
dilakukan terhadap indurasi yang timbul, bukan hiperemi/eritemanya.
![Page 14: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/14.jpg)
Indurasi diperiksa dengan cara palpasi untuk menentukan tepi indurasi ,
ditandai dengan pulpen, kemudian diameter transversal indurasi diukur
dengan alat pengukur transparan, dan hasilnya dilaporkan sebagai 0 mm
dan sertakan juga apakah ditemukan vesikel hingga bula. ( Respirologi
anak, 2010 ) .
Secara umum, hasil tuberkulin dengan diameter indurasi ≥ 10 mm
dinyatakan positif. Hasil positif sebagian besar disebabkan oleh infeksi
TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh imunisasi Bacille
Calmette – Guerin ( BCG ) atau infeksi atipik. Bacille Calmette –
Guerin merupakan infeksi TB buatan dengan kuman M. bovis yang
dilemahkan, sehingga kemampuan dalam menyebabkan reaksi
tuberkulin menjadi positif , tidak sekuat infeksi alamiah ( Respirologi
anak, 2010 ).
Pengaruh BCG terhadap reaksi positif tuberkulin secara bertahap
akan semakin berkurang dengan berjalannya waktu, dan paling lama
serlangsung hingga 5 tahun setelah penyuntikan. Pada anak balita yang
telah mendapat BCG, diameter indurasi 10 – 15 mm dinyatakan uji
tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi TB alamiah, tetapi
masih mungkin disebabkan oleh BCGnya.
Akan tetapi, bila ukuran indurasi ≥15 mm, hasil positif sangat
mungkin karena infeksi TB alamiah. Jika membaca hasil tuberkulim
pada anak berusia lebih dari 5 tahun, faktor BCG diabaikan
(Respirologi anak, 2010).
Apabila diameter indurasi 0 – 4 mm, dinyatakan uji tuberkulin
negatif. Diameter 5 – 9 mm dinyatakan positif meragukan. Hal ini dapat
disebabkan oleg kesalahan teknis ( trauma dan lain – lain ) atau reaksi
silang dengan M. atipik. Bila mendapatkan hasil yang meragukan, uji
tuberkulin dapat diulang. Untuk menghindari efek booster tuberkulin,
ulangan dilakukan 2 minggu kemudian dan penyuntikan dilakukan di
lokasi lain, minimal berjarak 2 cm ( Respirologi anak, 2010 ) .
![Page 15: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/15.jpg)
Tuberkulosis pada anak tidak selalu bermanifestasi klinis secara
jelas, sehingga perlu dilakukan deteksi dini yaitu dengan uji tuberkulin.
Pada anak yang tinggal di daerah endemis TB, uji tuberkulin perlu
dilakukan secara rutin, bila hasilnya negatif dapat diulang setiap tahun
(Respirologi anak, 2010 ).
Uji tuberkulin positif dapat dapat dijumpai pada ketiga keadaan
sebagai berikut ( Respirologi anak, 2010 ) :
1. Infeksi TB alamiah
a. Infeksi TB tanpa sakit TB ( infeksi TB laten )
b. Infeksi TB dan sakit TB
c. TB yang telah sembuh
2. Imunisasi BCG ( infeksi TB buatan )
3. Infeksi mikobakterium atipik
Uji tuberkulin negatif dapat dijumpai pada tiga keadaan berikut :
1. Tidak ada infeksi TB
2. Dalam masa inkubasi infeksi TB
3. Anergi
Anergi adalah keadaan penekanan sistem imun oleh berbagai
keadaan sehingga, tubuh tidak memberikan reaksi terhadap tuberkulin
walaupun sebenarnya sudah terinfeksi TB. Beberapa keadaan yang bisa
menimbulkan anergi, misalnya gizi buruk, keganasan, penggunaan
steroid jangka panjang, sitostatika, penyakit morbli, pertusis, varisela,
influenza, TB yang berat, serta pemberian vaksinasi dengan vaksin
virus hidup ( Respirologi anak, 2010 ).
II.1.12.2. Pemeriksaan Radiologis
Gambaran foto thoraks pada TB tidak khas, kelainan – kelainan
radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain. Sebaliknya,
foto thoraks yang normal ( tidak terdeteksi secara radiologis ) tidak
![Page 16: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/16.jpg)
dapat menyingkirkan diagnosis TB jika klinis dan pemeriksaan
penunjang lain tidak mendukung. Dengan demikian, pemeriksaan foto
thoraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali
gambaran milier ( Respirologi anak. 2010 ).
Posisi foto thoraks adalah antero – posterior ( AP ) , juga disertai
dengan foto lateral, untuk melihat adakah pembesaran KGB di daerah
hilus yang biasanya lebih jelas pada foto lateral. Bila keadaan foto
thoraks tidak jelas maka perlu dilakukan CT- Scan thoraks (Respirologi
anak, 2010).
Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah
sebagai berikut ( Respirologi anak, 2010 ) :
- Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/ tanpa
infiltrat.
- Konsolidasi segmental/lobar.
- Milier.
- Kalsifikasi dengan infiltrat.
- Atelektasis.
- Kavitas.
- Efusi Pleura.
- Tuberkuloma.
Gambaran Radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif menurut
( Pedoman diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia,
2006 ) :
- Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior
lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah.
- Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular.
- Bayangan bercak milier.
- Efusi pleura unilateral ( umumnya ) atau bilateral ( jarang ).
![Page 17: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/17.jpg)
Sedangkan gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif
menurut ( Pedoman Diagnostik dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di
Indonesia, 2006 ) :
- Fibrotik.
- Kalsifikasi.
- Schwarte atau penebalan pleura
II.1.12.3. Pemeriksaan Mikrobiologis
Diagnosis pasti ditegakkan bila ditemukan kuman TB pada
pemeriksaan mikrobiologis. Pemeriksaan mikrobiologis terdiri dari
dua macam, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung untuk
menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman M. tuberculosis
(Respirologi anak, 2010 ).
Tapi pada anak sulit sekali untuk mendapatkan sputumnya,
maka dilakukanlah pemeriksaan bilas lambung ( gastric lavage )
selama 3 hari berturut – turut, minimal 2 hari. Hasil pemeriksaan
mikroskopik langsung pada anak sebagian besar negatif, sedangkan
pada hasil biakan M. tuberculosis memerlukan waktu yang lama
yaitu sekitar 6 – 8 minggu ( Respirologi anak, 2010 ).
II.1.12.4. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Pada pemeriksaan Patologi Anatomi dapat menunjukan
gambaran granuloma yang ukurannya kecil, terbentuk agregasi sel
epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma tersebut
mempunyai karateristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di
tengah granuloma. Gambaran khas lainnya adalah ditemukannya
sel datia Langhans. Diagnostik histopatologik dapat ditegakkan
dengan menemukan perkijuan, sel epiteloid, limfosit, dan sel datia
Langhans ( Respirologi anak, 2010).
![Page 18: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/18.jpg)
II.1.12.5. Penegakan Diagnostik
Diagnosis kerja TB anak dibuat berdasarkan adanya kontak
terutama dengan pasien TB dewasa aktif/baru, kumpulan gejala dan
tanda klinis, uji tuberkulin, dan gambaran sugestif pada foto
thoraks.
Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan ditemukannya
kuman TB pada pemeriksaan apusan langsung ( direct smear ),
dan/atau biakan yang merupakan pemeriksaan baku emas ( gold
standart ), atau gambaran PA TB ( Respirologi anak, 2010 ).
Tetapi diagnosis TB pada anak sulit didapatkan karena
jumlah kuman yang sedikit pada TB anak ( paucibacillary ), dan
lokasi kuman di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga
hanya 10 – 15 % pasien TB anak yang hasil pemeriksaan
mikrobiologiknya positif/ditemukan kuman TB ( Respirologi anak,
2010 ).
Oleh karena itu dibuatlah pedoman diagnosis dengan sistem
skoring dan alur diagnostik yang dibuat oleh WHO ( World Health
Organization ) sebagai berikut :
![Page 19: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/19.jpg)
Tabel 2.2. Petunjuk WHO untuk diagnostik TB anak
Dicurigai
Tuberkulosis
Mungkin
Tuberkulosis
Pasti Tuberkulosis
( Confirmed TB )
1. Anak sakit
dengan riwayat
kontak pasien
tuberkulosis
dengan diagnosis
pasti.
2. Anak dengan :
- Keadaan
klinis tidak
membaik
setelah
menderita
campak atau
batuk rejan.
- Berat badan
menurun,
batuk dan
mengi yang
tidak
membaik
dengan
pengobatan
antibiotika
untuk
penyakit
pernafasan.
- Pembesaran
kelenjar
superfisialis
yang tidak
sakit.
Anak yang dicurigai
tuberkulosis ditambah :
- Uji tuberkulin
positif ( 10 mm
atau lebih ).
- Foto rontgen
paru sugestif
tuberkulosis.
- Pemeriksaan
histologis biopsi
sugestif
tuberkulosis.
- Respon yang baik
pada pengobatan
dengan OAT.
- Ditemukan basil
tuberkulosis pada
pemeriksaan langsung
atau biakan.
- Identifikasi
Mycobacterium
tuberculosis pada
karakteristik biakan.
![Page 20: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/20.jpg)
Sistem skoring untuk mendiagnosis Tuberkulosis selalu mengalami
perkembangan untuk itu IDAI bekerjasama dengan Depkes RI dan
didukung oleh WHO mengembangkan sistem skoring baru untuk
meningkatkan sensitifitas dan spesifisitas diagnosis TB pada anak.
Tabel 2.3. Sistem Skoring Diagnosis Tuberkulosis Anak
Parameter 0 1 2 3
Kontak TB tidak jelas - laporan
keluarga (BTA
negatif atau
tidak jelas)
BTA ( + )
Uji Tuberkulin negatif - - positif ( ≥10
mm, atau ≥5
mm pada
keadaan
imunosupresi
Berat
badan/keadaan
gizi
- BB/TB < 90%
atau BB/U <
80%
klinis gizi
buruk atau
BB/TB <70%
atau BB/U
<60%
-
Demam yang
tidak diketahui
penyebabnya
- ≥ 2 minggu - -
Batuk kronik - ≥ 3 minggu - -
Pembesaran
kelenjar limfe
kolli, aksila,
inguinal
- ≥ 1 cm, jumlah
>1, tidak nyeri
- -
Pembengkakan
tulang / sendi
- ada
pembengkakan
- -
![Page 21: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/21.jpg)
panggul, lutut,
falang
Foto toraks Normal/
kelainan tidak
jelas
gambaran
sugestif TB*
- -
Catatan :
Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
Bila dijumpai gambaran milier atau skrofuloderma, langsung didiagnosis
TB.
Berat badan dinilai saat pasien datang ( moment opname ).
Demam dan batuk tidak memiliki respons terhadap terapi baku.
Foto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak.
*Gambaran sugestif TB, berupa: pembesaran kelenjar hilus dan
paratrakeal dengan/tanpa infiltrat; konsolidasi segmental/lobar; kalsifikasi
dengan infiltrat; atelektasis; tuberkuloma. Gambaran milier tidak dihitung
dalam skor karena diperlakukan secara khusus.
Mengingat pentingnya peran uji tuberkulin dalam mendiagnosis TB anak,
maka sebaiknya disediakan tuberkulin di tempat pelayanan kesehatan.
Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG (≤7
hari) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak, BCG bukan
merupakan alat diagnostik.
Diagnosis kerja TB anak ditegakkan bila jumlah skor ≥ 6 (skor maksimal
13).
Bila ditemukan adanya gambaran milier, kavitas, atau efusi pleura pada
foto toraks, dan/atau terdapat tanda – tanda bahaya, seperti kejang, kaku
kuduk, dan penurunan kesadaran, serta tanda kegawatan lain seperti sesak
nafas, pasien harus dirawat inap di RS. Bila dijumpai gibbus dan koksitis,
pasien harus dikonsultasikan ke bedah ortopedi dan neurologi anak. IDAI
mengembangkan sistem skoring digunakan untuk penegakan diagnosis TB
![Page 22: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/22.jpg)
anak pada sarana kesehatan dengan fasilitas yang terbatas ( Respirologi anak,
2010).
II.1.12.6 Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru pada anak
II.1.12.6.1. Medikamentosa
Obat TB utama ( first line ) saat ini adalah rifampisin (R),
isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E) dan steptomisin (S).
Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah
dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Obat TB lain
(second line) seperti levofloxacin, ciprofloxacin, kanamycin, amikacin
dapat digunakan jika terjadi MDR (multi drugs resistance)
(Respirologi anak, 2010).
a. Isoniazid
Isoniazid atau isonikotinil hidrazid yang sering disingkat dengan
INH, memiliki derivat yang mana cara kerja obat ini adalah dengan
menghambat pembelahan sel kuman tuberkulosis, yaitu iproniazid.
Selain itu isoniazid secara in vitro bersifat tuberkulostatik dan
tuberkulosid. Efek bakterisidnya hanya terlihat pada kuman yang
sedang aktif tumbuh ( Farmakologi dan Terapi Universitas Indonesia,
2007 ).
Isoniazid diberikan secara per oral. Dosis harian yang biasa
diberikan adalah 5 – 15 mg/kgBB/hari, maksimal 300 mg/hari, dan
diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid tersedia dalam bentuk
tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 ml/5 ml, tetapi
sediaan dalam bentuk sirup biasanya tidak stabil, sehingga tidak
dianjurkan penggunaannya (Respirologi anak, 2010).
Konsentrasi puncak di dalam darah, sputum, dan CSS dapat
dicapai dalam 1 – 2 jam, dan menetap selama paling sedikit 6 – 8 jam.
Isoniazid di metabolisme di hati. Pada anak- anak isoniazid
dieliminasi lebih cepat daripada orang dewasa, sehingga memerlukan
![Page 23: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/23.jpg)
dosis yang lebih tinggi dibandingkan orang dewasa (Respirologi anak,
2010).
Antara 75 – 95 % isoniazid diekskresikan melalui urin dalam
waktu 24 jam dan hampir seluruhnya dalam bentuk metabolit.
Ekskresi terutama dalam bentuk asetil isoniazid yang merupakan
metabolit proses asetilasi, dan asam isonikotinat yang merupakan
metabolit proses hidrolisis. Sejumlah kecil diekskresikan dalam
bentuk isonikotinil glisin dan isonikotinil hidrazon, dan dalam jumlah
yang kecil sekali N-metil isoniazid ( Farmakologi dan Terapi
Universitas Indonesia, 2007 ).
Efek yang biasanya muncul pada penggunaan obat ini
diantaranya ada dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan neuritis
perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada
pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan
bertambahnya usia. Sebagian besar anak yang menggunakan obat
isoniazid ini mengalami peningkatan kadar transaminase darah yang
tidak terlalu tinggi dalam 2 bulan pertama, akan tetapi akan menurun
dengan sendirinya tanpa penghentian obat.
Karena hal tersebut penggunaan isoniazid tidak dilanjutkan bila
kadar tranaminase serum naik lebih dari lima kali harga normal, atau
tiga kali disertai dengan ikterik dan/atau manifestasi klinis hepatitis
berupa mual,muntah, dan nyeri perut ( Respirologi anak, 2010 ).
Sedangkan neuritis perifer biasanya bermanifestasi klinis berupa
mati rasa atau kesemutan pada tangan dan kaki. Reaksi
hipersensitivitas yang disebabkan karena obat isoniazid jarang terjadi,
bila terjadi dapat berupa demam, pruritus, atau urtikaria (Farmakologi
dan Terapi UI, 2007).
![Page 24: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/24.jpg)
b. Rifampisin
Rifampisisn adalah salah satu obat derivat semisintetik
rifampisin B yaitu salah satu anggota kelompok antibiotik
makrosiklik yang disebut rifamisin. Kelompok zat ini dihasilkan oleh
Streptomyces mediterranei (Farmakologi dan Terapi UI, 2007).
Rifampisin merupakan obat yang bersifat bakterisid pada
intrasel dan ekstrasel , dan dapat memasuki semua jaringan, dan
dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh
isoniazid ( Respirologi anak, 2010 ). Rifampisin menghambat
pertumbuhan berbagai kuman Gram-positif dan Gram-negatif
(Farmakologi dan Terapi UI, 2007).
Obat ini diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal
pada saat perut kosong ( 1 jam sebelum makan ), dan kadar serum
puncak tercapai dalam 2 jam. Rifampisin tersedia dalam bentuk
kapsul 150 mg, 300mg, dan 450 mg secara oral namun sediaan ini
kurang sesuai digunakan untuk anak – anak untuk itu dibuat dalam
bentuk suspensi supaya lebih mudah dikonsumsi, dosis rifampisin
adalah 10 – 20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan
dosis satu kali pemberian per hari.
Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis rifampisin
tidak lebih dari 15 mg/kgBB/hari dan isoniazid sebesar 10/kgBB/hari
(Respirologi anak, 2010).
Obat ini akan diekskresikan melalui empedu dan kemudian
mengalami sirkulasi enterohepatik, dan didistribusikan ke seluruh
tubuh dengan kadar efektif dicapai diberbagai organ dan cairan
tubuh, termasuk cairan otak.
Masa paruh eliminasi obat ini bervariasi antara 1,5 – 5 jam dan
bisa memanjang bila terjadi gangguan pada hepar. Ekskresinya
melalui urin mencapai 30 %, setengahnya merupakan rifampisin
utuh ( Farmakologi dan Terapi UI, 2007 ).
![Page 25: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/25.jpg)
Efek samping obat rifampisin ini lebih sering terjadi
dibandingkan dengan isoniazid diantaranya perubahan warna urin,
ludah, keringat, sputum, dan air mata menjadi warna oranye
kemerahan. Selain itu efek samping lainnya adalah gangguan
gastrointestinal (mual dan muntah), dan hepatotoksisitas
(ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai dengan peningkatan kadar
transaminase serum yang asimtomatik selain itu rifampisin juga
dapat menyebabkan trombositopenia (Respirologi anak, 2010).
c. Pirazinamid
Pirazinamid adalah analog nikotinamid yang tidak larut
dalam air. Obat ini diabsorbsi dengan baik dari saluran cerna dan
didistribusikan secara meluas ke seluruh jaringan tubuh ( Katzung,
2000 ).
Selain di jaringan tubuh, pirazinamid juga berpenetrasi baik
di cairan tubuh seperti CSS. Pirazinamid biasanya diberikan secara
per oral sesuai dosis 15 – 30 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal
2 gram/hari. Obat ini mencapai kadar serum puncak 45µg/ml dalam
waktu 2 jam.
Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid
sangat baik diberikan pada saat keadaan asam, yang timbul akibat
jumlah kuman yang masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid
pada anak – anak dinyatakan aman (Respirologi anak, 2010).
Reaksi hipersensitifitas sebagai efek samping obat
pirazinamid ini jarang ditemukan pada anak ( Ilmu Kesehatan Anak
Nelson, 2000 ). Sedangkan atralgia, artritis, hepatitis merupakan
efek-efek samping yang biasanya lebih sering ditemukan pada
kasus dewasa ( Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana TB, 2006 ).
![Page 26: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/26.jpg)
d. Etambutol
Etambutol merupakan suatu senyawa sintetik yang larut
dalam air serta senyawa yang stabil dalam keadaan panas. Secara in
vitro, banyak strain M.tuberculosis dan mikobakteria lain yang
dihambat oleh etambutol dengan konsentrasi 1 – 5 µg/mL
(Katzung, 2000).
Pada pemberian oral sekitar 75 – 80 % etambutol diserap dari
saluran cerna. Kadar puncak dalam plasma dicapai dala waktu 2 – 4
jam setelah pemberian. Masa paruh eliminasinya 3 – 4 jam. Dalam
waktu 24 jam, 50 % etambutol yang diekskresikan dalam bentuk
asal melalui urin, dan 10 % sisanya sebagai metabolit, yakni berupa
derivat aldehid dan asam karboksilat. Klirens ginjal untuk
etambutol kira – kira 8,6 mL/menit/Kg menandakan bahwa obat ini
selain mengalami filtrasi di glomerulus juga di sekresi melalui
tubuli ( Farmakologi dan Terapi UI, 2007 ).
Pada dosis 15 mg/kg/24 jam obat ini bersifat bakteriostatik,
obat ini ditoleransi dengan baik oleh rang dewasa maupun anak bila
diberikan secara oral secara oral sebagai dosis sekali atau dua kali
sehari.
Pada nilai dosis tersebut sekitar 2 % pasien biasanya
mengalami efek samping yaitu penurunan ketajaman penglihatan,
ruam kulit dan pruritus. Etambutol tidak dianjurkan untuk
penggunaan umum pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit
untuk dideteksi ( Farmakologi dan Terapi UI, 2007 ).
e. Streptomisin
Streptomisin ialah obat antituberkulosis pertama yang dinilai
efektif. Bersifat bakteriostatik dan bakterisid terhadap kuman
tuberkulosis. Diberikan secara intramuskuler, dan hampir semua
streptomisin berada dalam plasma dan hanya sedikit sekali yang
masuk ke dalam eritrosit. Streptomisin kemudian menyebar ke
seluruh cairan ekstrasel. Kira – kira sepertiga streptomisin yang
![Page 27: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/27.jpg)
berada di dalam plasma, terikat protein plasma. Streptomisin
diekskresikan melalui filtrasi glomerulus ( Farmakologi dan Terapi
UI, 2000 ).
Kira – kira 50 – 60 % dosis sterptomisin yang diberikan
secara parenteral dieksresikan dalam bentuk utuh dalam waktu 24
jam pertama. Sebagian besar jumlah ini dieksresikan dalam waktu
12 jam. Masa paruh obat pada orang dewasa normal antara 2 – 3
jam ( Farmakologi dan Terapi UI, 2000 ).
Penggunaan utamanya sekarang adalah bila dicurigai
resistensi INH awal atau bila anak menderita tuberkulosis yang
membahayakan jiwa. Toksisitasnya utama pada bagian vestibuler
dan auditorius syaraf kranial 8. Streptomisin dikontraindikasikan
untuk wanita hamil karena sampai 30% bayinya akan menderita
kehilangan pendengaran yang berat ( Ilmu Kesehatan Anak Nelson,
2000 ).
Tabel 2.4. Obat Antituberkulosis yang biasa dipakai dan dosisnya
Nama Obat Dosis harian
(mg/kgBB/hari)
Dosis maksimal
(mg per hari)
Efek samping
Isoniazid 5 – 15 * 300 Hepatitis, neuritis
perifer,
hipersensitivitas.
Rifampisin** 10 – 20 600 Gastrointestinal, reaksi
kulit,hepatitis,
trombositopenia,
peningkatan enzim
hati, cairan tubuh
berwarna
oranyekemerahan.
Pirazinamid 15 – 30 2000 Toksisitas hati,
![Page 28: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/28.jpg)
atralgia,
gastrointestinal.
Etambutol 15 – 20 1250 Neuritis optik,
ketajaman mata
berkurang, buta warna
merah – hijau,
penyempitan lapang
pandang,
hipersensitivitas,
gastrointestinal.
Streptomisin 15 – 40 1000 Ototoksik, nefrotoksik
( Sumber : dimodifikasi dari Mundoz FM, Starke JR. Tuberculosis (Mycobacterium
Tuberculosis). Dalam Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting.Nelson
textbook of pediatrics.Philadelphia, Saunders, 2004 )
Catatan :
* Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak
boleh melebihi 10 mg/kgBB/hari.
** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain
karena dapat mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin
diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut
kosong (satu jam sebelum makan).
Paduan obat TB
Dalam pengobatan TB dibagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif (2 bulan
pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB adalah
minimal tiga macam obat pada fase intensif (2 bulan pertama) dan dilanjutkan
dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih). Paduan obat ini
dibuat agar mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman
intraselular dan ekstraselular. Pemberian obat jangka panjang juga bertujuan
untuk mencegah relaps juga untuk membunuh kumannya.
![Page 29: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/29.jpg)
Dosis pemberian OAT pada anak diberikan setiap hari, bukan dua atau tiga
kali dalam seminggu, tujuannya adalah untuk mengurangi ketidakteraturan
menelan obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak ditelan setiap hari.
Pengobatan OAT yang sudah baku untuk kasus TB anak adalah pada fase intensif
diberikan rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid, sedangkan pada fase lanjutan
hanya diberikan rifampisin dan isoniazid.
Pada keadaan TB berat, TB pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti TB
milier, meningitis TB, TB sistem skeletal, dan lain – lain, pada fase intensif
diberikan minimal empat macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan
etambutol atau streptomisin), dilanjutkan fase lanjutan dengan pemberian
rifampisin dan isoniazid selama 10 bulan. Untuk kasus TB tertentu seperti
meningitis TB, TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, dan
peritonitis TB, diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis
1-2mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis, maksimal 60 mg dalam 1 hari. Lama
pemberian kortikosteroid adalah 2 – 4 minggu dengan dosis penuh, dilanjutkan
tappering off selama 1 – 2 minggu.
II.1.12.6.2. Non Medikamentosa
Anak yang mendapatkan pengobatan harus diberikan suatu
pemantauan oleh keluarga terhadap ketaatan minum obatnya.
Nutrisi yang diberikan juga harus adekuat sehingga bisa menunjang
proses kesembuhan penyakit tersebut. Anak yang terinfeksi
tuberkulosis pun harus diperiksa setiap bulannya dan harus diberi
pengobatan yang cukup yang berakhir sampai kunjungan
berikutnya ( Ilmu Kesehatan Anak Nelson, 2000 ).
Sumber lain mengatakan bahwa pengobatan pada pasien
tuberkulosis harus mendapatkan pengobatan non medikamentosa
untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi
gejala/keluhan (Pedoman Diagnostik dan Penatalaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia, 2006 ) berupa :
![Page 30: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/30.jpg)
1. Makan makanan bergizi, bila perlu bisa memberikan
supplement tambahan berupa vitamin.
2. Bila ada demam berikan obat penurun panas.
3. Bila perlu bisa juga diberikan obat – obat untuk mengatasi
keluhan lain seperti batuk, sesak napas atau keluhan lainnya.
a. Pendekatan DOTS
DOTS atau Directly Observed Treatment Short Course
adalah suatu strategi yang merupakan kunci keberhasilan program
penanggulangan tuberkulosis yang dikemukakan oleh Organisasi
Kesehatan (WHO) yang kini dianut juga oleh negara kita
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006 )
Dalam penatalaksanaan tuberkulosis paru perlu
diperhatikan masalah keteraturan ( adherens ) menelan obat,
keteraturan minum obat dikatakan baik apabila pasien menelan
obat sesuai dengan dosis yang ditentukan dalam panduan
pengobatan. Keteraturan menelan obat ini menjamin keberhasilan
pengobatan serta mencegah relaps dan terjadinya resistensi. Di
Indonesia program ini telah dilaksanakan sejak tahun 1995
(Respirologi anak, 2010).
Sesuai dengan rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri
atas 5 komponen, yaitu sebagai berikut (Respirologi anak, 2010) :
1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan,
termasuk dukungan dana.
2. Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara
mikroskopis.
3. Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek
dengan pengawasan langsung oleh pengawas menelan
obat (PMO).
4. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek
dengan mutu terjamin.
![Page 31: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/31.jpg)
5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk
memudahkan pemantauan dan evaluasi program
penanggulangan TB.
Kelima komponen DOTS di atas terutama untuk pasien
TB dewasa, khususnya pada butir dua dan lima. Butir dua
menyatakan diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara
mikroskopis, yang mana pada pasien anak sulit dilaksanakan.
Sebagai gantinya maka pada anak dilakukan uji tuberkulin. Butir
lima pun sesuai dengan butir dua, sehingga format pencatatan dan
pelaporan dibuat untuk usia 15 tahun ke atas, sedangkan format
untuk kelompok usia 15 tahun ke bawah belum ada ( Respirologi
anak, 2010 ).
Pengobatan OAT jangka pendek dengan pengawasan
langsung merupakan salah satu point dari lima komponen strategi
DOTS yang direkomendasikan oleh WHO, yang mana
mengharuskan adanya orang yang bertanggung jawab mengawasi
pasien menelan obat, disebut sebagai PMO. Setiap pasien yang
baru ditemukan harus selalu didampingi oleh seorang PMO. Syarat
untuk menjadi PMO adalah sebagai berikut : (1) dikenal, (2)
dipercaya, dan (3) disetujui baik oleh petugas kesehatan maupun
pasien, (4) disegani dan dihormati oleh pasien, (5) tempat
tinggalnya dekat dengan pasien, (6) bersedia membantu pasien
dengan sukarela, (7) bersedia dilatih atau mendapatkan penyuluhan
(Respirologi anak, 2010).
Orang yang menjadi petugas PMO adalah petugas
kesehatan, keluarga pasien, kader, pasien yang sudah sembuh,
tokoh masyarakat, serta guru sekolah atau petugas unit kesehatan
sekolah yang sudah dilatih strategi DOTS (Respirologi anak, 2010).
Tugas PMO adalah mengawasi pasien agar menelan obat secara
teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan kepada
pasien agar mau berobat teratur, mengingatkan pasien untuk
periksa sputumulang (pasien dewasa), serta memberikan
![Page 32: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/32.jpg)
penyuluhan kepada anggota keluarga pasien TB untuk segera
memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan (Respirologi anak,
2010 ).
Untuk meningkatkan keteraturan menelan obat, OAT
dibuat dalam bentuk kombipak ( kombinasi OAT dalam satu paket)
dan FDC (kombinasi OAT dalam satu tablet). Pada anak M.
tuberculosis sulit ditemukan, oleh karena itu diagnosis pada anak
tidak dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan mikroskopis yang
dianjurkan dalam strategi DOTS. Maka, diperlukan strategi
diagnotik lain, yaitu dengan menggunakan sistem skoring.
Pemerintah telah menyediakan paket OAT ( kombipak ) untuk anak
yang diperoleh secara gratis. Obat antituberkulosis dalam bentuk
KDT (FDC) untuk anak sedang dalam tahap persiapan pengadaan
(Respirologi anak, 2010).
b. Fixed Dose Combination ( FDC )
Tujuan dibuatnya kombinasi obat ini adalah untuk
mengatasi masalah keteraturan (adherence) pasien dalam menjalani
pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat yang banyak,
maka dibuatlah suatu sediaan obat kombinasi dengan dosis yang
telah ditentukan yaitu FDC atau Kombinasi Dosis Tetap (KDT).
Keuntungan penggunaan FDC dalam pengobatan TB
adalah ( Respirologi anak, 2010 ) :
Menyederhanakan pengobatan dan mengurangi kesalahan
penulisan resep.
Meningkatkan penerimaan dan keteraturan pasien.
Memungkinkan petugas kesehatan untuk memberikan
pengobatan standar dengan tepat.
Mempermudah pengelolaan obat (mempermudah proses
pengadaan, penyimpanan, dan distribusi obat pada setiap
tingkat pengelola program pemberantasan TB).
![Page 33: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/33.jpg)
Mengurangi kesalahan penggunaan obat TB (monoterapi)
sehingga mengurangi resistensi terhadap obat TB.
Mengurangi kemungkinan kegagalan pengobatan dan
terjadinya kekambuhan.
Mempercepat dan mempermudah pengawasan menelan obat
sehingga dapat mengurangi beban kerja.
Mempermudah penentuan dosis berdasarkan BB.
Berikut ini merupakan rumusan mengenai FDC pada anak yang telah
dibuat oleh Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI :
Tabel 2.5. Dosis Kombinasi pada Tuberkulosis Anak
Berat Badan (kg) 2 bulan
RHZ (75/50/150 mg)
4 bulan
RH (75/50 mg)
5 – 9 1 tablet 1 tablet
10 – 14 2 tablet 2 tablet
15 – 19 3 tablet 3 tablet
20 - 32 4 tablet 4 tablet
( Sumber : Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI, 2010 )
Catatan :
Bila BB > 33 kg, dosis disesuaikan dengan Tabel 2.4. ( perhatikan dosis
maksimal ).
Bila BB < 5 kg, sebaiknya dirujuk ke RS.
Obat tidak boleh diberikan setengah dosis tablet.
Perhitungan pemberian tablet di atas sudah memperhatikan kesesuaian
dosis per kgBB.
![Page 34: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/34.jpg)
Tabel 2.6. Dosis Kombinasi tetap berdasarkan WHO
Berat Badan (kg) Fase
Inisial
(2
bulan)
Fase
Lanjutan
(4 bulan)
Kisaran Dosis
< 7 1 1 R:9-20mg,H:4-10mg,Z:21-50mg
8 – 9 1,5 1,5 R:8-9mg,H:5-5,6mg,Z:19-22mg
10 – 14 2 2 R:11-12mg,H:4,3-6mg,Z:21-30mg
15 – 19 3 3 R:9,4-12mg,H:4,3-6mg,Z:16-30mg
20 – 24 4 4 R:10-12mg,H:5-6mg,Z:25-30mg
25 – 29 5 5 R:10,3-12mg,H:5-6mg,Z:15-30mg
( Sumber : Respirologi anak IDAI, 2010 )
Catatan :
R : Rifampisin
H : Isoniazid
Z : Pirazinamid
Evaluasi hasil Pengobatan
Evaluasi terhadap hasil pengobatan dilakukan kontrol setiap bulan ditujukan
untuk menilai perkembangan hasil terapi, memantau timbulnya efek samping
obat. Evaluasi pengobatan pada pasien anak sangat penting biasanya dilakukan
dengan cara yaitu evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED.
Evaluasi klinis dilakukan untuk menilai menghilang atau membaiknya kelainan
klinis yang sebelumnya ada pada awal pengobatan, misalnya penambahan berat
badan yang bermakna, hilangnya demam, hilangnya batuk, perbaikan nafsu
makan, dan lain – lain (Respirologi anak, 2010).
Adapun evaluasi radilogis dalam 2 – 3 bulan pengobatan tidak perlu
dilakukan secara rutin kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang
nyata/luas seperti pada TB milier, efusi pleura TB, atau bronkopneumonia TB.
Pada pasien TB milier, foto toraks perlu diulang setelah 1 bulan untuk evaluasi
![Page 35: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/35.jpg)
pengobatan, sedangkan pada efusi pleura TB pengulangan foto toraks dilakukan
setelah 2 minggu. Pemeriksaan Laju endap darah (LED) dapat digunakan sebagai
sarana evaluasi bila pada awal pengobatan nilainya tinggi (Respirologi anak,
2010).
Setelah dilihat dalam 2 bulan respon kurang baik, dengan gejala yang masih
menetap seprti tidak terjadi penambahan berat badan, maka OAT tetap diberikan
sambil dilakukan evaluasi lanjut dari hasil yang tidak menunjukan perbaikan.
Kemungkinan terjadi misdiagnosis, mistreatment, atau resistensi terhadap OAT.
Pasien yang mendapatkan perawatan di pelayanan kesehatan terbatas dapat
merujuk ke sarana pelayanan yang lebih tinggi atau kepada konsultan respirologi
anak. Evaluasi yang dilakukan meliputi evaluasi kembali diagnosis, ketepatan
dosis OAT, keteraturan dalam menelan obat, melihat kemungkinan adanya
penyakit penyerta serta evaluasi asupan gizi. Setelah pengobatan selama kurun
waktu 6 – 12 bulan dan terlihat terdapat perbaikan klinis, pengobatan dapat
dihentikan, dan evaluasi radiologis tidak perlu dilakukan secara rutin di akhir
pengobatan. Pengobatan TB selama 6 bulan betujuan untuk meminimalisasi residu
subpopulasi persister M. tuberculosis ( tidak mati dengan obat – obatan ) yang
bertahan dalam tubuh, dan mengurangi secara bermakna kemungkinan terjadinya
relaps (Respirologi anak, 2010).
Putus obat
Pasien TB dikatakan putus obat bila berhenti menjalani pengobatan selama
≥2 minggu. Setelah itu baru akan di evaluasi kembali mengenai sudah berapa
lama menjalani pengobatan, evaluasi keadaan klinis pasien dan berapa lama obat
telah terputus, baru pasien akan dirujuk untuk mendapatkan penanganan
selanjutnya (Respirologi anak, 2010).
Multi-drug Resistance ( MDR )
Multi-drug Resistance adalah suatu keadaan resistensi ganda yang
menunjukan M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan isoniazid dengan
atau tanpa OAT lainnya ( Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006 )
![Page 36: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/36.jpg)
Beberapa penyebab terjadinya resistensi terhadap obat tuberkulosis, yaitu
(Perhimpunan Donter Paru Indonesia, 2006) :
Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis.
Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya
yang kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi
yang tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan
rifampisin dan isoniazid saja pada daerrah dengan resistensi terhadap
kedua obat tersebut sudah cukup tinggi.
Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau
tiga minggu lalu stop, setelah dua bulan berhenti kemudian
berpindah dokter dan mendapat obat kembali selama dua atau tiga
bulan lalu stop lagi.
Fenomena “ addition syndrome: (Crofton, 1987), yaitu suatu obat
ditambahkan dalam satu paduan pengobatan yang tidak berhasil.
Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada
paduan yang pertama, maka penambahan atau addition satu macam
obat hanya akan menambah panjang daftar obat yang resisten.
Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan
secara baik, sehingga mengganggu bioavailabilitas obat.
Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu
daerah terhenti pengirimannya sampai berbulan – bulan.
Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga menimbulkan
kejemuan.
Pengetahuan pasien kurang tentang penyakit TB.
Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi
(Perhimpuna Dokter Paru Indonesia, 2006) :
Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah
mendapatkan pengobatan TB.
Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasiennya
sudah pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak.
![Page 37: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/37.jpg)
Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah punya riwayat
pengobatan sebelumnya.
Menurut WHO, MDR yang terjadi bila pengendalian TB tidak benar
prevalensinya mencapai 5,5 % sedangkan dengan pengendalian yang benar yaitu
dengan menerapkan strategi directly observed treatment shortcourse (DOTS),
maka prevalensi MDR-TB hanya 1,6 % ( Respirologi anak, 2010).
Penatalaksanaan MDR-TB
Tabel. 2.7. Daftar Obat Antituberkulosis Lini Kedua untuk MDR-TB
Nama obat Dosis harian
(mg/kgBB/hari)
Dosis maksimal
(mg per hari)
Efek samping
Ethionamide atau
Prothionamide
15 - 20 1000 Muntah,
gangguan
gantrointestinal*
,sakit sendi
Fluoroquinolones**
Ofloxacin
Levofloxacin
Moxifloxacin
Gatifloxacin
Ciprofloxacin
15 – 20
7,5 – 10
7,5 – 10
7,5 – 10
20 – 30
800
-
-
-
1500
Aminoglycosides
Kanamycin
Amikacin
capreomycin
15 – 30
15 – 22,5
15 - 30
1000
1000
1000
Ototoksisitas,
toksisitas hati
Cycloserin
terizidone
10 -20 1000 Gangguan psikis,
gangguan
neurologis
Para-aminosalicylic
acid
150 12000 Muntah,
gangguan
![Page 38: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/38.jpg)
gastrointestinal
( Sumber : Respirologi anak IDAI, 2010 )
Catatan :
* dapat ditanggulangi dengan dosis terbagi.
** meskipun belum disetujui untuk anak tetapi kalau sangat diperlukan
dapat diberikan dengan mengabaikan efek samping.
II.4. Status Gizi
II.4.1. Definisi
Status Gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan
dan penggunaan zat – zat gizi (Almatsier, 2006). Status gizi adalah
ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau
perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa,
2001). Status gizi adalah keadaan kesehatan yang berhubungan dengan
penggunaan makanan oleh tubuh (Adriani, 2012)
II.4.2. Penilaian status gizi
Penilaian status gizi merupakan proses pemeriksaan keadaan gizi
seseorang dengan cara mengumpulkan data penting, baik yang bersifat
objektif maupun subjektif, untuk kemudian dibandingkan dengan baku
yang telah tersedia (Arisman, 2009).
Penilaian status gizi terbagi menjadi dua cara pengukuran yaitu
penilaian status gizi secara langsung yang dibagi kedalam empat penilaian
yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Sedangkan penilaian
status gizi secara tidak langsung dibagi menjadi tiga kelompok penilaian
yaitu survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi
(Supariasa, 2001).
II.4.2.1. Penilaian Status Gizi secara Langsung
1. Antropometri
![Page 39: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/39.jpg)
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia (Supariasa,
2001). Antropometri adalah ukuran dari berbagai macam dimensi tubuh
manusia yang relatif berbeda – beda menurut umur, jenis kelamin, dan
keadaan gizi (Adriani, 2012). Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka
antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran
dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat
gizi (Supariasa, 2001).
Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan
mengukur beberapa parameter. Parameter antropometri merupakan dasar
dari penilaian status gizi. Kombinasi antara beberapa parameter disebut
indeks antropometri. Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan
yaitu Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur
(TB/U), dan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB).
a. Indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U)
Indeks ini merupakan pengukuran antropometri yang sering
digunakan sebagai indikator dalam keadaan normal, dimana
keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan
kebutuhan zat gizi terjamin. Berat badan merupakan salah satu
parameter yang memberikan gambaran massa tubuh. Berat badan
memberikan gambaran tentang massa tubuh (otot dan lemak)
(Supariasa, 2001). Berat badan merupakan hasil peningkatan
(penjumlahan) seluruh jaringan tulang, otot, lemak, cairan tubuh
dan lain – lain (Adriani, 2012). Massa tubuh sangat sensitif
terhadap perubahan – perubahan yang mendadak, misalnya
terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan, dan
menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Karakteristik
berat badan yang labil, maka indeks ini lebih menggambarkan
status gizi seseorang saat ini (current nutritional status).
b. Indeks Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)
![Page 40: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/40.jpg)
Indeks ini merupakan pengukuran antropometri yang
menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal, indeks ini
memberikan gambaran status gizi masa lampau yang juga erat
kaitannya dengan status sosio ekonomi (Supariasa, 2001) . Tinggi
badan memberikan gambaran pertumbuhan tulang yang sejalan
dengan pertambahan umur, tidak banyak terpengaruh oleh
perubahan yang mendadak, karena tinggi badan merupakan hasil
pertumbuhan secara akumulatif semenjak lahir (Adriani, 2010).
c. Indeks Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB)
Indeks ini menjelaskan bahwa berat badan memiliki hubungan
yang linier dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal,
perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan
tinggi badan dengan kecepatan tertentu serta merupakan indikator
yang baik untuk menilai status gizi saat ini (sekarang) (Supariasa,
2001).
![Page 41: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/41.jpg)
II.2. Kerangka Teori
Kondisi Gizi Buruk Pada Balita
Asupan Nutrisi
Makanan tidak Seimbang
Penyakit Infeksi
Tuberkulosis Paru
Tidak Cukup Persediaan Pangan
Pola Asuh Anak tidak Memenuhi
Sanitasi dan Air Bersih/ Yankes Dasar
tidak memenuhi
Tingkat Pendidikan, Pengetahuan, dan Keterampilan
Kurang Pemberdayaan Wanita dan Keluarga, Kurang Pemanfaatan Sumber Daya Masyarakat
![Page 42: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/42.jpg)
( Sumber : Soekirman, 2000, dengan modifikasi )
II.3. Kerangka Konsep
Variabel Bebas
Variabel Terikat
II.3. Hipothesis Penelitian
II.3.1. Terdapat hubungan antara Pendidikan Ibu dengan Kejadian Gizi
Buruk pada Balita.
II.3.2. Terdapat hubungan antara Infeksi Penyakit Tuberkulosis Paru
dengan Kejadian Gizi Buruk pada Balita.
Faktor Langsung
Penyakit Kronis ( TBC )
Faktor tidak Langsung
Pendidikan Ibu
Gizi Buruk pada Balita
Pengangguran, Inflasi, Kurang Pangan, dan Kemiskinan
Krisis Ekonomi , Sosial, dan Politik
![Page 43: BAB II](https://reader034.vdokumen.com/reader034/viewer/2022042606/54849012b4af9f355f8b45eb/html5/thumbnails/43.jpg)