bab ii 1199140 -...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG
ANALISIS WACANA, AGAMA PRIVAT DAN PUBLIK, DAN DAKWAH
2.1. Tinjauan Pustaka
Nama Ulil Abshar-abdalla sebagai pemikir Islam mencuat setelah
artikelnya yang bertajuk “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” pada
akhir 2002 ditentang oleh banyak pihak, bahkan ada yang sampai
mengeluarkan fatwa mati untuknya. Meski di sisi lain, banyak juga pihak
yang mendukung gagasannya.
Tulisan-tulisan yang membahas pemikiran Ulil biasanya tidak
langsung atas namanya, tetapi juga dikaitkan dengan Jaringan Islam Liberal,
organisasi yang dikoordinatorinya. Dan pemikiran yang dibawakannya
disebut sebagai Islam Liberal. Beberapa buku yang berusaha mengkritisi
Ulil dan JIL diantaranya:
1. Hartono Ahmad Jaiz. 2002. Bahaya Islam Liberal. Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar. Buku ini berusaha mengkritisi pemikiran Islam Liberal yang
dibawakan Ulil Abshar-Abdalla. Hartono Ahmad Jaiz menuliskan
pendikotomian dalam agama Islam sebagai usaha mengotori kesucian
agama Islam. Islam hanya satu, yaitu Islam yang dibawa oleh Rasulullah
saw., yang bersumber kepada Alquran dan sunnah beliau. Selain itu
juga menyatakan bahwa paham pluralis, inklusif dan sekular yang
disebarkan Islam Liberal tersebut merusak Islam.
10
2. Adnin Armas, MA., 2003. Pengaruh Kristen Orientalis terhadap Islam
Liberal, Jakarta: Gema Insani Pers. Buku ini berisi pandangan-
pandangan Islam Liberal telah terpengaruh pemikiran misionaris Kristen
dan Orientalis Barat yang begitu kuat namun belum banyak terungkap
oleh masyarakat.
3. J. Firmansyah. 2003. Islam Liberal Versi Anak Muda, Jakarta: Pustaka
Zaman. Penulis buku ini berusaha menjelaskan tentang seluk-beluk
pemikiran Islam Liberal. Buku ini tidak hanya memberikan nilai positif
terhadap perkembangan Islam Liberal, namun juga berusaha
memberikan kritik yang membangun.
Ketiga buku tersebut lebih pada pembahasan kritik terhadap pemikiran
Ulil Abshar-Abdalla dan JIL. Buku pertama dan kedua, isinya menentang
dan buku yang ketiga cenderung mendukung.
Perbedaan dengan pembahasan pada skripsi ini terletak pada fokus
objek penelitian. Skripsi ini berusaha mendalaminya berdasar teori-teori
komunikasi, tepatnya analisis wacana.
2.2. Tinjauan Umum tentang Analisis Wacana
2.2.1. Konsep Analisis Wacana
Analisis wacana adalah salah satu alternatif dari analisis isi,
selain analisis isi kuantitatif yang dominan dan banyak dipakai. Kalau
analisis isi kuantitatif lebih menekankan pada pertanyaan “apa” (what),
analisis wacana lebih melihat pada “bagaimana” (how) dari pesan atau
11
teks komunikasi. Lewat analisis wacana kita bukan hanya mengetahui
apa isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan lewat
kata, frasa, kalimat, metafora macam apa suatu berita disampaikan.
Dengan melihat bangunan struktur kebahasaan tersebut, analisis
wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks.
Wacana sendiri adalah istilah yang dipakai oleh berbagai disiplin
ilmu mulai dari politik, sosisologi, linguistik, serta psikologi,
komunikasi dan sebagainya. Setiap dispilin ilmu tersebut terkadang
berbeda dalam konsepsi dan pendekatan yang dipakai. Ada beberapa
definisi yang berbeda dipaparkan Sara Mills dalam bukunya Discourse
(dalam Eriyanto, 2001: 2) mengenai wacana yaitu antara lain:
1. Collins Concise English Dictionary (1988) Wacana adalah (1) komunikasi verbal, ucapan, percakapan; (2) sebuah
perlakuan formal dari subjek dalam ucapan atau tulisan; (3) sebuah unit teks yang digunakan oleh linguis untuk menganalisis satuan lebih dari kalimat.
2. Longman Dictionary of the English Language (1984) Wacana adalah (1) sebuah percakapan khusus yang alamiah formal dan pengungkapannya diatur pada ide dalam ucapan dan tulisan; (2) pengungkapan dalam bentuk sebuah nasihat, risalah dan sebagainya; sebuah unit yang dihubungkan ucapan atau tulisan.
3. J.S. Badudu (2000) Wacana adalah (1) rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan yang lainnya, membentuk satu kesatuan, sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu; (2) kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis.
4. Crystal (1987) Analisis wacana memfokuskan pada struktur yang secara alamiah terdapat pada bahasa lisan, sebagaimana banyak terdapat dalam wacana seperti percakapan wawancara, komentar, dan ucapan-ucapan.
5. Hawthorn (1992) Wacana adalah komunikasi kebahasaan yang terlihat sebagai sebuah pertukaran di anatara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah aktivitas personal di amna bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya.
6. Roger Fowler (1977) Wacana adalah komunikasi lisan atau tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai dan kategori yang masuk di dalamnya;
12
kepercayaan di sini mewakili pandangan dunia; sebuah organisasi atau representasi dari pengalaman.
7. Foucault (1972) Wacana adalah kadang kala sebagai bidang dari semua pernyatan (statement), kadang kala sebagai sebuah individualisasi kelompok pernytaan, dan kadang kala sebagai praktik regulatif yang dilihat dari sejumlah pernyataan.
Adanya perbedaan mengenai wacana ini lebih dikarenakan
adanya cara pandang yang berbeda dari disiplin ilmu yang
melatarbelakanginya. (Eriyanto, 2001: 1-3) Dalam lapangan sosiologi,
wacana adalah unit bahasa yang lebih besar dari kalimat. Analisis
wacana dalam studi linguistik ini merupakan reaksi dari bentuk
linguistik formal yang lebih memperhatikan pada unit kata, frase, atau
kalimat tanpa melihat keterkaitan di antara unsur tersebut. Analisis
wacana dalam lapangan psikologi sosial, diartikan sebagai
pembicaraan. Wacana yang dimaksud di sini agak mirip dengan
struktur dan bentuk wawancara dan praktik dari pemakainya.
Sementara dalam lapangan politik, analisis wacana adalah praktik
pemakaian bahasa, terutama politik bahasa karena bahasa adalah
aspek sentral dari penggambaran suatu subjek, dan lewat bahasa
ideologi terserap di dalamnya, maka aspek inilah yang dipelajari dalam
analisis wacana.
Dengan berbagai pengertian istilah wacana yang berbeda-beda
tersebut ada titik singgungnya, yaitu analisis wacana berhubungan
dengan studi mengenai bahasa/pemakaian bahasa.
13
2.2.2. Analisis Wacana sebagai Metode Penelitian
2.2.2.1. Urgensi Mengkaji Teks
Dari segi normatif, Komarudin Hidayat (1998: 113-114)
memandang kemampuan berbahasa merupakan kelanjutan dari
perjalanan panjang sabda Tuhan yang ditansformasikan kepada
manusia. Dengan mengikuti alur pemikiran ini, maka kebudayaan
adalah manifestasi dari kapasitas bahasa akal budi serta aktualisasi dari
kebebasan manusia, untuk menjadikan sabda sebagai budaya.
Fenomena negara, birokrasi, perilaku politik dan segala macam aturan
serta norma kehidupan manusia tak lain adalah teks yang tertulis dan
terlembagakan dalam kertas maupun lembaran sosial sebagai ekspresi
bahasa batin (inner language) ke dalam bahasa praksis (praxis
language).
Karena dunia manusia diawali, dibangun serta dipelihara dengan
sabda Tuhan, yang kemudian ditransformasikan dalam bentuk bahasa,
maka jika dunia bahasa mengalami krisis akibatnya keseimbangan
kosmik dan sosial bisa gonjang-ganjing. Di sini perlu diingat, bahwa
artikulasi dan ekspresi bahasa bisa dalam bentuk ucapan, tulisan, gerak
tubuh, dan ekspresi lain. Ucapan hanyalah sebagian kecil dari
berbahasa, meskipun ucapan adalah saluran paling vokal dari aktivitas
berbahasa.
Meskipun bahasa ucapan paling mudah dan vokal untuk
dikemukakan, namun ia memiliki kelemahan yang serius. Bagi orang
14
yang memiliki integritas tinggi, ucapannya memang bisa dipegang dan
dijadikan indikator dari keluhuran budi serta kedalaman ilmunya.
Tetapi sebaliknya, seringkali kita jumpai bahasa ucapan digunakan
sebagai topeng untuk menutupi agar kebusukan seseorang tidak
terlihat oleh orang lain. Oleh karenanya dalam dunia akademis bahasa
tulisan dijadikan standar karya keilmuan, agar kapasitas keilmuannya
mudah diuji dan diapresiasi oleh orang lain (Hidayat, 1998:13).
Lebih dari itu, kalau saja apresiasi peradaban seseorang atau
suatu masyarakat tidak diawetkan ke dalam bahasa tulis, generasi
berikutnya akan rugi, dan berbagai bangunan peradaban berarti harus
dimulai lagi dari nol. Maka sangat benar jika dikatakan bahwa
peradaban manusia ini mengalami loncatan dan pengkayaan yang luar
biasa besarnya, setelah ditemukannya mesin tulis dan mesin cetak.
Bayangkan saja kalau manusia tidak menciptakan sistem tanda
(terutama bahasa tulis), maka khazanah peradaban masa lalu akan
hilang. Ini berarti bahasa bukan sekedar media komunikasi, melainkan
sebuah realitas ontologis yang bereksistensi dan tumbuh dalam
panggung sejarah.
Ketika seorang membaca dan memahami sebuah teks, secara
tidak langsung ia memproduksi ulang dan menafsirkan teks sesuai
dengan kemampuan dan kecenderungan subyektivitasnya. Oleh
karenanya sebuah teks yang sama ketika dibaca ulang bisa melahirkan
pemahaman baru.
15
Karena setiap pengarang, teks dan pembaca tidak bisa lepas dari
konteks sosial politis, psikologis, teologis, dan konteks lainnya dalam
ruang dan waktu tertentu, maka dalam memahami teks diperlukan
transfer makna.
Bahasa, di mata para fenomenolog, bukan hanya diterima secara
apa adanya, tetapi ditanggapi sebagai perantara bagi pengungkapan-
pengungkapan maksud-maksud dan makna-makna tertentu. Bagi
mereka, wacana adalah suatu upaya pengungkapan makna tersembunyi
dari subjek yang mengemukakan suatu pernyataan (Sobur, 2001: 22).
Bahkan semua ahli komunikasi sepakat, bahwa makna kata sangat
subjektif. (Sobur, 2001: 20)
Para ahli filsafat dan linguis umumnya mengakui bahwa,
masalah makna suatu ungkapan bahasa merupakan persoalan yang
paling mendasar di dalam filsafat bahasa. Pada awal
perkembangannya di Inggris, Moor (dalam Mustansyir, 2001: 153),
sebagai seorang tokoh utama yang memperkenalkan madzhab analitik
bahasa ini, mempersoalkan makna yang dikandung dalam ungkapan
filsafati. Russel dan Wittgenstein (dalam Mustansyir, 2001: 154)
kemudian melangkah lebih maju dalam rangka memberi bobot makna
ke dalam bahasa filsafat melalui bahasa yang bersifat logis sempurna.
Mereka membedakan antara struktur logis dan struktur bahasa,
sehingga memudahkan kita untuk membedakan antara ungkapan yang
tidak mengandung makna (meaningless) dan yang mengandung arti
16
(meaningful). Langkah-langkah ini dilanjutkan pula oleh positivisme
logis yang berupaya menentukan kriteria pernyataan yang
mengandung makna, melalui prinsip verifikasi.
Dalam teori bahasa, apa yang dinamakan teks tak lebih dari
himpunan huruf yang membentuk kata dan kalimat yang dirangkai
dengan sistem tanda yang disepakati oleh masyarakat, sehingga sebuah
teks ketika dibaca bisa mengungkapkan makna yang dikandungnya.
Dan tanda bahasa, seperti kata Althsuser, filosof abad XX
berkebangsaan Perancis, merupakan arena perjuangan ideologis
berbagai kepentingan. Senada dengan hal itu, Karl Manheim, pemikir
sosiologi pengetahuan dan Jurgen Habermas, filosof kritis, meyatakan
bahwa pengetahuan tidak bisa dilepaskan pertautannya dengan
kepentingan. Derrida juga menegaskan hal yang sama. Bahasa tidak
pernah netral dan tidak pernah bersalah (innocent). Walaupun sering
menampilkan diri sebagai kebenaran, ia penuh dengan asumsi dan
investasi ideologis yang tidak segera tampak. Demikian Moh Yasir
Alimi (2002: 104-106) menjelaskan mengenai kedudukan bahasa
dipandang dari berbagai segi filsafat ataupun sosiologi.
Lebih lanjut ia mengutip pendapat Roland Barthes (Alimi, 2002:
106) salah seorang tokoh strukturalisme, tentang mitos yang relevan
dalam konteks ini. Mitos di sini diartikan sebagai sistem pemikiran dan
praktek kebudayaan yang secara fundamental mempunyai karakter
ideologis, yaitu berfungsi mengaburkan kenyataan, dengan
17
menyampaikan status kodratiah suatu konstruk yang integral pada
konfigurasi kebudayaan tertentu, yaitu masyarakat dominan atau
borjuis. Teks menurut Barthes, bukan hanya memiliki makna denotatif,
makna langsung atau makna literal, tapi juga mitos, yakni makna
ideologis yang tersembunyi di balik teks. Mitos ini berfungsi untuk
menampakkan sesuatu yang bentukan sosial, seolah-olah alamiah,
abadi dan tidak bisa diubah.
Oleh karena itu sangat bermanfaat mengeksperimentasikan ide
Paul Ricouer, seorang pemikir kontemporer berkebangsaan Perancis,
yang memperlakukan tafsir bukan hanya sebagai metode untuk
memahami maksud dan latar belakang bahasa, tapi juga sebagai
praktek kecurigaan (exercise of suspection), yaitu kecurigaan terhadap
ideologi yang bersembunyi didalamnya (Alimi, 2002: 104).
Discourse, konsep ini dikembangkan Foucault yang sering
diterjemahkan dengan istilah “wacana”, adalah artikulasi ideologis dari
kenyataan yang dibentuk oleh kelompok-kelompok yang saling
berkompetisi untuk memperebutkan kebenaran tafsir sejarah, termasuk
di dalamnya wacana agama. Oleh karena itu, discourse adalah
konstruksi ideologis (ideological construction) yang dipakai untuk
melegitimasi mempertahankan dan memperebutkan kekuasaan, dalam
pengertian inilah, ditegaskan di sini bahwa pemikiran keagamaan
adalah discourse, yaitu konstruksi ideologis untuk melegitimasi dan
mempertahankan dominasi secara sosial, politik maupun ekonomi.
18
Dengan demikian, Moh Yasir Alimi (2002: 110) menegaskan
kebenaran keagamaan yang kita yakini adalah produk sejarah dari
perjuangan berbagai kepentingan yang saling berkompetisi untuk
memperebutkan otoritas kebenaran tafsir sejarah.
Sebutan diskursus juga untuk menunjukkan salah satu aspek
konstinutif bahasa. Dalam aspek ini, bahasa bukan hanya, seperti yang
sering dipahami, mengkomunikasikan pikiran, atau merepresentasikan
gagasan, tapi juga membentuk/ mengkonstitusikan kenyataan. Di
sinilah perbedaan antara “diskursus” dan “kalimat” (sentences). Kalau
“kalimat” hanyalah mengungkapkan kabar/berita sedangkan
“diskursus” mempengaruhi jiwa, menyerang integritas, menimbulkan
konsekuensi ideologis dan membentuk kenyataan. Contoh ungkapan
“Saya laki-laki” atau “Saya perempuan” bukan sekedar menunjukkan
kabar bahwa jenis kelamin saya adalah laki-laki. Ungkapan itu juga
mempunyai konsekuensi ideologis bahwa “Saya adalah laki-laki, maka
bila ingin menjadi laki-laki sejati tidak selayaknya saya memakai
pakaian, identitas, atau identifikasi apapun yang selama ini dilekatkan
pada perempuan.” Demikianlah ungkapan itu akhirnya bukan sekedar
kalimat, tapi juga suatu kontrol ideologis untuk menjadi perempuan
dan laki-laki sejati. (Alimi, 2002: 112)
Dalam teori sastra (adab) dan cultural studies dikenal juga suatu
analisis yang disebut dengan materialisme kultural (cultural
materialism). Dalam prespektif materialisme kultural ini ditegaskan
19
bahwa bahasa merupakan aspek material ideologis yang paling jelas.
Bahasa merupakan arena perjuangan sosial dimana berbagai
kepentingan dipertarungkan. Bahasa oleh karena itu terinvestasi secara
ideologis. Oleh karena itu kritik ideologi diperlukan untuk memahami
bahasa. (Alimi, 2002: 80)
Lebih lanjut Alimi (2002: 102-103), mengatakan wacana agama
yang selama ini sering kita anggap sakral, abadi atau wahyu Tuhan
dari langit, sebenarnya tidak jarang merupakan suatu konstruk,
representasi dan berikutnya praktek atau aparat ideologis karena
wacana agama, seperti tanda bahasa lainnya tidak pernah netral, tidak
terbebas dari bias ideologis karena ia selalu memproduksi dan
mempropagandakan agenda ideologi tertentu.
Begitulah watak ideologi, menurut Terry Eagleton, seorang ahli
sastra berkebangsaan Inggris. Ia berfungsi untuk mempropagandakan
diri seolah-olah memang sudah seharusnya begini. Ideologi membuat
seolah-olah wacana agama yang kita biasa hidup didalamnya adalah
kebenaran objektif, pembawa pesan para Nabi yang tidak boleh
dibantah. Padahal seringnya ia tidak lebih dari sekedar sistem sosial,
budaya dan pemikiran yang opresif (Alimi, 2002: 103).
2.2.2.2. Analisis Wacana sebagai Salah Satu Metode Kajian Teks
Ada tiga metode dalam membahas isi media dengan pendekatan
kualitatif, yaitu analisis wacana (discourse analysis), analisis semiotik
20
(semiotic analysis), atau analisis framing/ bingkai (framing analysis),
yang semuanya berpijak pada asumsi bahwa sebenarnya isi media
dipengaruhi oleh berbagai komponen yang terdapat dalam institusi
media itu sendiri (Sobur, 2001: 3).
Untuk kegunaan penelitian ini, penulis menggunakan metode
analisis wacana.
2.2.3. Proses Analisis Wacana
Penelitian ini akan dilakukan berdasarkan analisis wacana
dengan pendekatan kognisi sosial Teun van Dijk. Menurut van Dijk
(dalam Eriyanto, 2001: 259-261), analisis wacana tidak hanya
membatasi perhatiannya pada struktur teks, tetapi juga bagaimana teks
diproduksi. Dalam kerangka analisis wacana van Dijk, diperlukan
penelitian terhadap kesadaran mental penulis yang membentuk teks.
Kognisi sosial ini penting dan menjadi kerangka yang tidak
terpisahkan untuk memahami teks media. Oleh karena itu, van Dijk
menawarkan apa yang disebut sebagai analisis kognisi sosial.
Analisis kognisi sosial memusatkan perhatian pada struktur
mental, proses pemaknaan, dan mental wartawan. Pendekatan kognitif
ini didasarkan pada asumsi bahwa teks tidak mempunyai makna,
karena makna, sesungguhnya diberikan oleh pemakai bahasa, atau
lebih tepatnya proses kesadaran mental dari pemakai bahasa. Pada titik
ini dibutuhkan suatu penelitian atas representasi kognisi dan strategi
21
penulis dalam memproduksi suatu berita karena setiap teks pada
dasarnya dihasilkan lewat kesadaran, pengetahuan, prasangka, atau
pengetahuan tertentu atas suatu peristiwa.
Teks dalam hal ini dipandang sebagai hasil dari representasi
mental penulis atau pembuatnya. Pandangan, kepercayaan, stereotipe,
dan kepercayaan penulis mempengaruhi teks yang dihasilkan. Penulis
tidak dianggap sebagai individu yang netral, tetapi individu yang
mempunyai bermacam nilai, pengalaman, dan pengaruh ideologi yang
didapatkan dari kehidupannya.
Analisis atas struktur dan proses mental ini diperlukan karena
analisis itu untuk memahami bagaimana makna dari teks itu sendiri
secara strategis dikonstruksi dan ditampilkan dalam memori sebagai
representasi teks. Analisis itu juga diperlukan untuk memahami
pemakaian bahasa, dalam hal ini penulis mempunyai posisi yang unik,
mempunyai pandangan tertentu yang direpresentasikan dalam teks.
Menurut van Dijk, kognisi sosial terutama dihubungkan dengan
proses produksi teks, dengan asumsi bahwa produksi teks sebagian
besar dan terutama terjadi pada proses mental dalam kognisi seorang
penulis. Semua proses memahami dan memaknai peristiwa terutama
terjadi pada kognisi sosial penulis.
Pertanyaan utama yang diajukan oleh van Dijk adalah bagaimana
suatu persoalan itu dimengerti, dimaknai dan ditampilkan dalam
pikiran. Lalu dari pengertian dan penafsiran itu, bagaimana realitas itu
22
difokuskan, diseleksi, dan disimpulkan dalam keseluruhan proses
produksi berita. Dan bagaimana informasi yang telah dipunyai dan
dimiliki oleh penulis itu dipakai dalam memproduksi berita.
Analisis kognisi sosial menekankan bagaimana peristiwa
dipahami, didefinisikan, dianalisis, dan ditafsirkan, ditampilkan dalam
suatu model dalam memori. Model ini menunjukkan bagaimana
tindakan atau peristiwa yang dominan, partisipan, waktu, dan lokasi
keadaan objek yang relevan, atau perangkat tindakan dibentuk dalam
struktur teks (Eriyanto, 2001: 262).
Karakteristik penting dari analisis wacana kritis antara lain:
1. Tindakan.
Wacana adalah bentuk interaksi, oleh karena itu wacana harus
dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan apakah untuk
membujuk, menyangga, bereaksi, dan sebagainya. Di samping itu
juga wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara
sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali atau
diekspresikan di luar kesadaran.
2. Konteks.
Wacana diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks
tertentu, maka analisis wacana kritis sudah semestinya
mempertimbangkan konteks dari wacana seperti latar, situasi,
peristiwa dan kondisi.
23
3. Historis
Sisi historis perlu dikembangkan untuk mendapatkan pemahaman
mengenai wacana teks. Sehingga, pada saat melakukan analisis
dapat ditemukan alasan mengapa wacana yang berkembang atau
dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang dipakai seperti itu
dan seterusnya.
4. Kekuasaan
Elemen kekuasaan perlu diketengahkan dalam analisis wacana
karena setiap wacana yang muncul dalam bentuk teks, percakapan
atau apapun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar,
dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan.
5. Ideologi
Ideologi tidak bisa lepas dalam pembentukan sebuah wacana, yang
pengaruhnya terlihat dalam waujud teks, percakapan dan lainnya.
Sedangkan pendekatan analisis wacana ini ada 5 macam
(Eriyanto, 2001: 15-17), yaitu:
1. Analisis Bahasa Kritis (Critical Lingusitic)
Inti dari gagasan critical lingusistic adalah melihat bagaimana
gramatika bahasa membawa posisi dan makna ideologi tertentu.
Dengan kata lain, aspek ideologi itu diamati dengan melihat bahasa
dan struktur tata bahasa yang dipakai. Bahasa, baik pilihan kata
maupun struktur gramatika, dipahami sebagai pilihan, mana yang
24
dipilih oleh seseorang untuk diungkapkan membawa makna
ideologi tertentu.
2. Analisis Wacana Pendekatan Perancis (French Discourse Analysis)
Pendekatan Pecheux ini banyak dipengaruhi oleh teori ideologi
Althusser dan teori wacana Foucault. Dalam pandangan Pecheux,
bahasa dan ideologi bertemu pada pemakaian bahasa dan
materialisasi bahasa dan ideologi. Keduanya, kata yang digunakan
dan makna dari kata-kata menunjukkan posisi seseorang dalam
kelas tertentu. Bahasa adalah medan pertarungan melalui mana
berbagai kelompok dan kelas sosial berusaha menanamkan
keyakinan dan pemahamannya.
3. Pendekatan Kognisi Sosial (Socio Cognitive Approach)
Dalam pendekatan ini, wacana yang dikembangkan van Dijk
dilihat bukan hanya dari struktur wacana, tetapi juga menyertakan
suatu proses yang disebut sebagai kognisi sosial.
4. Pendekatan Perubahan Sosial (Sociocultural Change Approach)
Wacana di sini dipandang sebagai praktik sosial. Dengan
memandang wacana sebagai praktik sosial, ada hubungan dialektis
antara praktik diskursif dengan identitas dan relasi sosial. Wacana
juga melekat dalam situasi, institusi, dan kelas sosial tertentu.
Memaknai wacana demikian, menolong menjelaskan bagaimana
wacana dapat memproduksi dan mereproduksi status quo dan
mentransformasikannya.
25
5. Pendekatan Sejarah (Discourse Historical Approaches)
Wacana di sini disebut historis karena menurut Wodak dkk.,
analisis wacana harus menyertakan konteks sejarah bagaimana
wacana tentang suatu kelompok atau komunitas digambarkan.
Untuk penelitian ini akan menggunakan pendekatan kognisi
sosial, karena dalam penelitian ini ingin lebih memahami ekspresi teks
dan makna yang tersembunyi dari teks.
Dalam pendekatan yang dikembangkan van Dijk tersebut ada
tiga elemen penting, yaitu analisis teks, analisis kognisi sosial dan
analisis sosial. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang utuh sehingga
hasil dari penelitian yang menggunakan metode ini diharapkan
menjadi sebuah kajian yang komprehensif.
Van Dijk (dalam Eriyanto: 2001: 221-229) membuat kerangka
analisis wacana yang terdiri atas berbagai tingkatan/struktur, yang
masing-masing bagian saling mendukung. Van Dijk membaginya ke
dalam tiga tingkatan:
1. Struktur makro. Ini merupakan makna global/umum dari suatu teks
yang dapat dipahami dengan melihat topik dari suatu teks. Tema
wacana ini bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu
peristiwa.
26
2. Superstruktur adalah kerangka suatu teks; bagaimana struktur dan
elemen wacana ini disusun dalam teks ecara utuh.
3. Struktur mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dengan
menganalisis kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase yang
dipakai dan sebagainya.
Struktur/elemen wacana yang dikemukakan van Dijk ini dapat
digambarkan sebagai berikut:
Tabel 2.1 ELEMEN WACANA VAN DIJK
Struktur Wacana Hal yang Diamati Elemen
Struktur Makro Superstruktur Struktur Mikro
Struktur Mikro
Struktur Mikro
Struktur Mikro
Tematik (apa yang dikatakan?)
Skematik
(bagaimana pendapat disusun dan dirangkai)
Semantik
(Makna yang ingin ditekankan dalam teks)
Sintaksis (Bagaimana pendapat yang disampaikan?)
Stilistik (Pilihan kata yang dipakai?)
Retoris
(Bagaimana dan dengan cara apa penekanan dilakukan?)
Topik
Skema
Latar, detail, maksud, praanggapan, nominalisasi
Bentuk kalimat, koherensi, kata ganti
Leksikon
Grafis, metafora ekspresi
Sumber: Diadopsi dari Eriyanto (2001: 228-229)
Selain struktur teks, analisis wacana ini juga memberikan perhatian
pada bagaimana suatu teks diproduksi yang disebuut analisis kognisi
27
sosial. Kajian ini diperlukan untuk membongkar bagaimana makna
tersembunyi dari teks, yang didasrkan pada asumsi bahwa suatu teks tidak
mempunyai makna, tetapi makna itu diberikan oleh pemakai bahasa.
Sedangkan dalam analisis sosial dilakukan dengan analisis
intertekstual, karena melalui cara ini bagaimana wacana tentang suatu hal
diproduksi dan dikonstruksi dalam masyarakat. Dalam kerangka van Dijk
(dalam Eriyanto, 2001: 272-274), dalam analisis mengenai masyarakat ini
ada dua poin yang ditonjolkan, yaitu kekuasaan (power) dan akses
(access). Yang dimaksud dengan kekuasaan di sini adalah upaya kontrol
baik yang bersifat langsung dan fisik. Selain itu juga, berbentuk persuasif:
tindakan sesorang untuk secara tidak langsung mengontrol dengan jalan
mempengaruhi kondisi mental, seperti kepercayaan, sikap, dan
pengetahuan.
Sedangkan akses memperhatikan bagaimana masing-masing
kelompok masyarakat memiliki kesempatan menguasai akses pada media.
Semakin suatu kelompok berkuasa semakin besar pula ia memiliki akses
untuk mempengaruhi kesadaran khalayak, menentukan topik dan isi
wacana yang dapat disebarkan dan didiskusikan kepada khalayak.
2.3. Tinjauan Umum tentang Konsep Agama Privat dan Publik
Kata ‘publik’ diadopsi dari bahasa Inggris, public yang dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (1997) berarti orang banyak; umum sedangkan
privat, berarti pribadi; tersendiri.
28
Sedangkan pengertian agama, menurut Lorens Bagus (1996: 12-15)
menyangkut dua unsur. Pertama, orang membalikkan diri terus-menerus dan
berkali-kali, mempertimbangkan sesuatu secara amat berhati-hati. Obyek
yang diperhatikan dalam agama merupakan obyek yang istimewa dan
agung. Karena itu obyek tersebut harus diberi perhatian khusus dan istimewa
pula.
Arti lain adalah bahwa agama memberi indikasi tentang sifat-sifat
“terikat kepada”. Dalam hal ini terikat kepada asal-usul pertama dan tujuan
terakhir. Karena yang pertama dan terakhir ini ini mendapat kepentingan
lebih besar daripada semua yang lain, pantas diberikan pertimbangan dan
perhatian khusus daripada semua yang lain.
Agama berkaitan dengan masalah hubungan manusia dan dunianya
dengan Allah. Segala sesuatu menerima eksistensinya dari Allah karenanya
berasal dari Allah. Segala sesuatu juga bertujuan untuk kembali kepada
Allah.
Secara khusus, istilah agama menunjuk pada sebuah institusi
(lembaga) dengan sekelompok orang-orang yang berkumpul secara teratur
untuk suatu ibadat dan menerima seperangkat ajaran yang menawarkan cara
menghubungkan individu dengan segala sesuatu yang dipandang sebagai
hakikat terdalam, tertinggi kenyataan.
Dilihat dari dasar hidup manusia — manusia menurut kodratnya
terarah kepada hidup bermasyarakat – maka agama tidak bisa hanya menjadi
persoalan pribadi dan individu. Pada kenyataannya agama juga selayaknya
29
didorong oleh komunitas. Karena agama berada dalam komunitas,
kehidupan religius mencapai perkembangan yang penuh dalam komunitas.
Kedua kata itu, agama dan privat atau publik, kemudian dilekatkan
membentuk frasa yang menerangkan sifat menjadi agama publik dan agama
privat. Beberapa cendekia berusaha menjelaskan agama publik dan privat ini
dengan menunjukkan ciri-ciri dari agama privat dan publik ini.
Ulil Abshar-Abdalla membedakan agama privat sebagai sikap
keberagamaan yang merupakan tindakan dan komitmen pribadi. Dan agama
publik sebagai sikap keberagamaan yang cenderung dimotivasi oleh
lembaga diluar pribadi, dikarenakan agama telah sedemikian rupa menguasi
publik.
Ia menjelaskan perbedaan kedua sikap keberagamaan tersebut sebagai
berikut:
Pada tingkatan individu, lazimnya, agama diperlakukan sebagai sarana turun-temurun untuk berhubungan dengan suatu instansi transenden yang biasanya disebut Tuhan. Sudah tentu banyak cara yang ditempuh oleh manusia untuk melakukan komunikasi dengan instansi transenden itu, tetapi biasanya agama diterima secara umum sebagi sarana yang paling praktis ke arah itu. Pada tingkat ini agama sebetulnya memperlihatkan coraknya “soliter”, yang menyendiri yang terpencil dan terisolir, sebab ia hanyalah bagian dari tindakan pribadi orang-perorang dalam upayanya mengapresiasi suatu Kenyataan (dengan “K” besar yang biasanya dalam bahasa Jawa disebut “Kasunyatan” atau kenyataan yang benar)... Pada umumnya beragama secara privat ini tidak tampak, invisible, di ruang dan tempat-tempat umum. Sebab di tempat-tempat umum, ada jenis kebergamaan lain yang berdaulat di sana, ialah beragama sebagai tindakan sosial atau keberagamaan sebagai tindakan publik..... Agama publik tidak bisa dilakukan dengan “sendirian” sebab di sana ada suatu struktur perantara yang disepakati bersama dan harus ditunduki oleh semua orang sehingga setiap tindakan privat bisa mengandung ancaman atas “struktur perantara” tersebut. Struktur perantara itu dibangun melalui lembaga tafsir, pendidikan dan atau prolitisasi (dakwah). (Abdalla, 2000: viii )
AS Hikam (2000: 85) menjelaskan ruang publik sebagai ruang tempat
berinteraksinya asosiasi-asosiasi untuk melakukan dialog dan kesepakatan
yang digunakan untuk meraih kepentingan masing-masing. Urusan-urusan
30
pribadi masuk dalam ruang privat yang dilindungi dan dihormati. Penarikan
garis antara publik dan privat merupakan prasyarat pengembangan civil
society untuk mendukung terwujudnya konsep demokrasi.
Ada perbedaan antara negara demokratis dan non-demokratis dalam
memandang ruang publik dan privat ini. Negara non-demokratis tidak
mengenal adanya ruang privat bagi individu, sedangkan negara demokratis
menghargai dan melindungi keberadaan ruang privat. Ignas Kleden (Tempo.
edisi 25 Mei 2003: 50-51) menegaskan apabila ruang publik tergilas oleh
ruang privat maka yang muncul adalah ketidakadilan. Dan sebaliknya
tergilasnya ruang privat oleh ruang publik akan menyebabkan dilanggarnya
kemerdekaan setiap orang dan setiap kelompok.
Untuk menetapkan kriteria antara yang publik dan privat ini, Ignas
Kleden, mengutip pendapat Bruce Ackermen yang mengusulkan agar garis
tersebut ditarik diantara dua jenis kehidupan: semua yang menyangkut good
life (hidup baik) dimasukkan ke dalam ruang privat, sedangkan semua yang
menyangkut justice (keadilan) masuk ke ruang hidup-baik adalah hal-hal
seperti gaya hidup, selera estetis, pandangan tentang kesempurnaan hidup,
penggunaan waktu senggang, kehidupan cinta dan keluarga, cara
berpakaian, dan kehidupan spiritual. Sebaliknya ruang keadilan meliputi
segala hal yang berhubungan dengan hak dan kewajiban serta hukum dan
undang-undang.
Sebagai wilayah kehidupan sosial, ruang publik memungkinkan siapa
saja untuk membentuk opini publik. Semua warga masyarakat boleh
31
memasuki ruang ini, tanpa melihat jenis kelamin, suku, agama, ras atau
golongan. Namun mereka dipahami sebagai individu, bukan sebagai anggota
suku, agama, ras atau golongan tertentu. Yang dipercakapkan dalam ruang
ini adalah persoalan-persoalan yang menyangkut kepentingan umum dan
dibicarakan tanpa paksaan. Maka kata kunci dari ruang publik ini adalah
kesamaan dan kesetaraan pola relasi masing-masing pihak yang terlibat
dalam komunitas itu. Diharapkan dari konsep tersebut akan tercipta iklim
demokratis, karena konsensus yang bebas dari paksaan dan dominasi bisa
dicapai. (Assyaukanie dalam Kompas, 15 Oktober 2002)
2.4. Tinjauan Umum tentang Dakwah
2.4.1. Pengertian Dakwah
Pengertian dakwah secara etimologi berasal dari bahasa Arab
yang berarti “panggilan, ajakan, atau seruan”. Kata dakwah berbentuk
isim masdar sedangkan bentuk kata kerjanya (fiil) adalah “da-a,
yad’u” berarti “memanggil, mengajak atau menyeru” (Syukir,
1983:17)
Pengertian kata tersebut seperti yang ditunjukkan pada ayat-ayat
tentang dakwah dalam Al Quran antara lain:
a. Al Quran Surat Ali Imran: 104
32
Artinya: “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf, dan
mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang
beruntung”
b. Al Quran Surat Yunus: 25
Artinya: “Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga) dan
menunjuki orang yang dikehendakinya kepada jalan yang lurus
(Islam)”.
Secara terminologi, ada beberapa tokoh yang memberikan batasan-
batasan tentang pengertian dakwah diantaranya sebagai berikut:
a. Hamzah Ya’kub (1992: 13), dakwah berarti mengajak umat
manusia dengan hikmah kebijaksanaan untuk mengikuti petunjuk
Allah dan Rasul-rasul-Nya.
b. Prof. A. Hasjmi (1974: 28), dakwah adalah mengajak orang lain
untuk menyakini dan mengamalkan aqidah dan syariah Islam yang
terlebih dahulu telah diyakini dan diamalkan oleh pendakwah
(da’i) sendiri.
c. M. Masyhur Amin (1997 :8-9), dakwah sebagai suatu aktivitas
yang mendorong manusia memeluk agama Islam agar mereka
33
mendapatkan kesejahteraan kini (dunia) dan kebahagiaan nanti
(akhirat)
Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada
hakikatnya dakwah merupakan proses transformasi nilai-nilai ajaran
Islam yang bertumpu pada amar makruf nahi munkar. Transformasi di
sini merupakan sebuah paradigma yang mengandung dua dimensi
strategis, yaitu dimensi konsepsional normatif dan aksiologi praktis,
sebab dakwah bukan saja berupa pemahaman nilai, keyakinan dan
doktrin. Namun juga berusaha yang sistematis, praktis, pragmatis dan
rasional untuk mengubah kondisi tertentu kehidupan manusia, baik yang
bersifat kehidupan individu maupun sosial, kepada kondisi yang lebih
baik dan sempurna, sehingga mereka mendapatkan kebahagiaan dan
kesejahteraan hidup di dunia maupun di akhirat.
2.4.2. Unsur-unsur Dakwah
Proses dakwah terdiri dari unsur-unsur atau komponen-komponen
yang satu sama lainnya mempunyai hubungan yang sangat erat, unsur-
unsur tersebut adalah:
2.4.2.1. Subyek Dakwah
Subyek dakwah merupakan orang-orang yang
menyampaikan pesan-pesan dakwah yang biasa disebut istilah
juru dakwah atau dai dan ada pula yang menyebutnya
34
komunikator dakwah. Penyampaian pesan–pesan dakwah bisa
dilakukan oleh perseorangan (individual) dan bisa juga oleh
kelompok ataupun organisasi.
Menurut Hafi Anshari (1993: 104-105) subyek dakwah
adalah orang yang melakukan dakwah yang bersuaha merubah
situasi kepada situasi yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan
Allah, baik secara individu maupun berbentuk kelompok
(organisasi), sekaligus sebagai pemberi informasi dan pembawa
misi.
Keberadaan dai sangat menentukan keberhasilan kerja
dakwah, sebab kondisi masyarakat muslim di Indonesia pada
umunya masih bersifat paternalistik yakni masih sangat
tergantung dengan sosok seorang figur atau tokoh. Demikian
juga dalam konteks dakwah, masyarakat muslim Indonesia
memiliki kecenderungan yang sangat kuat untuk mengikuti
ajakan seorang dai tertentu tanpa mempertimbangkan pesan-
pesan yang disampaikannya.
Oleh karena itu, visi seorang dai, karakter, keluasan, dan
kedalaman ilmu, keluhuran akhlak, kredibilitas, kapabilitas,
akseptabilitas dan sikap-sikap posistif lainnya sangat menentukan
keberhasilan seorang da’i dalam menjalankan tugas dakwah.
Inilah salah satu aspek yang ditunjukkan oleh Rasullulah SAW di
35
hadapan umatnya sehingga beliau mendapatkan keberhasilan
yang gemilang dalam menjalankan tugas dakwah.
2.4.2.2. Obyek Dakwah
Obyek dakwah adalah manusia yang secara individual atau
apa pun kelompok menerima pesan-pesan dakwah, yang sering
disebut dengan istilah mad’u, yang disampaikan oleh
komunikator. Dapat pula dipahami bahwa komunikan adalah
orangf atau sekelompok orang yang menjadi titik fokus kegiatan
dakwah.
Oleh karena masyarakat yang menjadi sasaran dakwah
sangat heterogen dan memiliki pluralitas yang sangat tinggi
dalam berbagi aspek, baik segi usia, jenis status sosial, tingkat
ekonomi, jenis profesi, tradisi masyarakat, aspirasi politik dan
keragaman aspek-aspek lainnya, maka seorang dai dituntut untuk
memiliki ketajaman yang kreatif untuk mendeteksi dan
mengidentifikasi kondisi sosial riil masyarakat yang akan
dihadapi, kekeliruan cara yang digunakan untuk membidik
komunikan sangat dimungkinkan terjadinya kegagalan dalam
melakukan tugas dakwah.
Dalam hal ini maka seorang da’i sebelum terjun ke
lapangan untuk berhadapan dengan komunikan, harus melakukan
kerja pra-kondisi berupa tepat tentang metode, strategi, materi,
36
dan media yang akan digunakan dalam melakukan tugas dakwah.
Tanpa melalui tahapan ini maka sangat dimungkinkan pesan-
pesan dakwah yang diberikan kepada komunikan akan
mengalami pembiasaan (deviasi) yang jauh dari yang diharapkan,
sehingga aktivitas dakwah yang dilakukan hanya akan sia-sia
belaka dan tidak memiliki signifikansi yang strategis bagi
masyarakat itu sendiri.
Terlebih lagi obyek dakwah yang bermacam-macam latar
belakang dalam segala aspeknya, maka subyek dakwah dapat
mengambil langkah-langkah yang sesuai dengan kondisi dan
situasi serta amcam-macam obyek yang dihadapi.
2.4.2.3. Materi Dakwah
Materi dakwah adalah suatu pesan yang disampaikan oleh
dai kepada madu yang mengandung kebenaran dan kebaikan bagi
amnusia yang bersumber dari al Quran dan Hadits. Dengan
demikian materi dakwah merupakan inti dari dakwah itu sendiri.
Oleh karenanya hakikat materi dakwah tidak dapt dilepaskan dari
tujuan dakwah.
Menurut Hafi Anshari (1993: 146) , materi dakwah yang
terkandung dalam al Quran dan Hadits dapat diklasifikasikan ke
dalam tiga masalah pokok yaitu masalah keimanan (aqidah),
37
keislaman atau hukum (syariat), dan masalah budi pekerti
(akhlak).
Ketiga pokok materi sebagaimana tersimpul dalam al
Quran dan Hadits ini merupakan inti dari pesan yang harus
disampiakan oleh seorang dai. Namuan bukan berarti seoarng dai
tidak diperkenankan menyampaikan materi di luar pokok
bahasan di atas. Justru sebaliknya, seorang dai dituntut mampu
merespon kebutuhan yang menjadi tutntutan hidup dan
kehidupan komunikan (sasaran dakwah), seperti materi sosial
kemasyarakatan, ekonomi, pendidikan, kebudayaan, bahakan
politik sekalipun. Akan tetapi materi yang disampaikan tidak
boleh dikesampingkan dari aspek akidah (iman), syariat dan
akhlak (ihsan) yang ketiganya merupakan suatu kesatuan organik
dalam agama Islam. Artinya, sebaik apapun pesan-pesan ajaran
Islam dalam proses penyampaiannya meninggalkan ketiga
pondasi fundamental tersebut maka hasilnya akan rapuh dan
tidak tahan lama.
Konsep ini penting, terlebih lagi di era sekarang yang
masyarakatnya telah dilanda euphoria politik, sebab dalam
kondisi seperti ini banyak dijumpai di beberapa kesempatan
forum dakwah, bahwa majelis ilmu berbalik arah menjadi majelis
fitnah. Sehingga yang disampaikan bukan lagi pesan-pesan
dakwah melainkan muatan politik yang sarat dengan permainan
38
kotor, cara penyampaiannya pun sudah tidak mengindahkan lagi
etika seorang dai yang seharusnya menjunjung tinggi akhlakul
karimah.
Dalam konteks tersebut di atas, agama tidak jarang
dijadikan komoditas untuk mengejar obsesi politik. Agama
dipolitisir sedemikian rupa untuk dijadikan topeng dan tameng
untuk menangani perjuangan semu yang penuh dengan tipu daya,
sehingga tidak jarang terjadi pertarungan fisik, antar kelompok,
termasuk antar sesama muslim maupun kekuatan politik tertentu
yang memakai jargon agama atau dipicu atas nama agama.
Dalam kondisi seperti ini agama nyaris kehilangan nilai-nilai
universalitasnya dan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin
pun semakin jauh dari harapan umatnya.
2.4.2.4. Media Dakwah
Media dakwah merupakan salah satu unsur yang sangat
penting diperhatikan dalam aktivitas dakwah. Sebab sebagus
apapun metode, materi dan kapasitas seorang dai tanpa didukung
denagn sebuah media yang tepat seringkali hasilnya kurang
efektif. Namun tidak satupun media yang dianggap paling tepat
dengan menganggap media lainnya. Sebab ia memiliki relativitas
yang sangat bergantung dengan situasi dan kondisi yang
dihadapi.
39
Urgensi media dakwah ini tercermin dalam definisi yang
dikemukakan oleh Hamzah Ya’kub (1992: 47-48), yakni alat
obyektif yang menghubungkan ide dengan umat, suatu elemen
yang menghubungkan urat nadi dalam totaliter. Sedangkan
Aminuddin Sanwar (1986: 77-78), secara rinci membagi media
dakwah ke dalam enam macam, yaitu:
1. Dakwah melalui saluran lisan, yaitu dakwah secara langsung
di mana dai menyampaikan ajakan dakwahnya kepada
mad’u.
2 Dakwah melalui saluran tertulis, yaitu kegiatan dakwah yang
dilakukan melalui tulisan-tulisan.
3 Dakwah melalui alat visual, yaitu kegiatan dakwah yang
dilakukan dengan melalui alat-alat yang dapat dilihat dan
dinikmati oleh mata manusia.
4 Dakwah melalui alat audio, yaitu alat yang dapat dinikmati
melalui perantaraan pendengaran.
5 Dakwah melalui alat audio visual, yaitu alat yang dipakai
untuk menyampaikan pesan dakwah yang dapat dinimati
dengan mendengar dan melihat.
6 Dakwah melalui keteladanan, yaitu bentuk penyampaian
pesan dakwah melalui bentuk percontohan atau keteladanan
dari da’i.
40
Melihat pengertian dan macam-macam media dakwah
tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa efisiensi dan
efektifitas pemanfaaatn media dakwah berkaitan erat dengan
unsur-unsur dakwah lainnya. Oleh karena itu dalam merancang
media dakwah ini harus memperhatikan keahlian komunikator
(da’i) dalam menggunakan, mempertimbangkan daya tangkap
komunikan (mad’u), melihat aspek metode yang diterapkan dan
materi yang diberikan yang diberikan serta memperhatikan
situasi dan kondisi yang dihadapi.
2.4.2.5. Metode Dakwah
Metode dakwah adalah cara yang ditempuh oleh subyek
dalam melaksanakan tugasnya berdakwah (Anshari, 1983: 158).
Sudah barang tentu di dalam berdakwah diperlukan cara-cara
tertentu agar supaya dapat mencapai tujuan dengan baik, untuk
itu bagi seorang subyek perlu melihat kemampuan yang ada pada
dirinya dan juga melihat secara benar terhadap obyek dalam
segala seginya. Sumber dakwah yang terdapat dalam al Quran
menunjukkan ragam yang banyak seperti hikmah, mujadalah,
berbantah dan berdiskusi dengan baik. Dari sumber metode–
metode yang merupakan operasionalisasinya yaitu dakwah
dengan lisan, tulisan, seni dan bil hal (Bachtiar, 1997: 34).
41
2.4.3. Dakwah Persuasif Sebagai Metode Dakwah
Manusia sebagai makhluk sosial (homo-socius), tidak mungkin
lepas dari pengaruh lingkungannya. Di dalamnya terdapat upaya-upaya
saling mempengaruhi satu individu atau kelompok sosial dengan yang
lain. Akibatnya terjadi proses penyesuaian diri agar muncul sikap
saling menerima dan hubungan yang dekat. Apabila dikaitkan dengan
dakwah dikenal istilah personal approach atau “dakwah face to face”,
sehingga terjadi proses pengaruh-mempengaruhi antara da’i dan mad’u
atau sebaliknya. Begitu pula istilah general approach atau dakwah
secara umum seperti pengajian misalnya, maka di sini terjadi proses
pengaruh-mempengaruhi antara da’i dan mad’u dalam kelompok
sosial.
Menurut Totok Jumantoro (2001: 84), mengutip pendapat H.
Bonner, interaksi sosial merupakan sebuah bentuk atau suatu
hubungan antara dua atau lebih individu manusia, di mana tingkah
laku individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki
kelakuan individu yang lain atau sebaliknya.
Berhasil tidaknya interaksi sosial, termasuk usaha dakwah,
ini tergantung pada empat faktor yang antara lain: faktor imitasi, faktor
sugesti, faktor identifikasi, dan faktor simpati. Selain itu, metode
pendekatan personal yang digunakan adalah dengan cara persuasif.
Persuasif diartikan membujuk secara halus; supaya menjadi yakin
ajakan kepada seseorang dengan cara memberikan alasan dan pospek
42
baik yang meyakinkannya. (Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, 1997: 760). Menurut persepsi William J.
McGuire (dalam Jumantoro, 2001: 149), persuasi diartikan sebagai
tujuan mengubah sikap dalam dan tingkah laku orang baik dengan
tulisan ataupun ucapan. Oleh karenanya dakwah persuasif dapat
diartikan menurut batasan tersebut sebagai upaya merealisasikan
ajaran Islam dalam segala lapangan kehidupan manusia, baik dengan
dakwah bil lisan (pidato, khutbah dan lain-lain), ataupun
memanfaatkan teknologi cetak (media massa) sebagai medianya.
Sedangkan persuasi menurut D. Lawrence Kincard dan Wilbur
Schramm (dalam Jumantoro, 2001: 149), dipersepsikan sebagai
penggunaan informasi tentang situasi psikologis dan sosiologis serta
kebudayaan komunikan, untuk mempengaruhinya dan mencapai
perwujudan dari apa yang diinginkan oleh message. Dalam konteks
ini, maka dakwah persuasif diberi batasan sebagai upaya menyebarkan
agama Islam dengan melihat latar belakang kehidupan mad’u, baik
dalam segi psikologi, sosiologi, sosial ataupun budaya serta kerangka
ideologi politiknya, sehingga sikap dan tingkah lakunya diarahkan
sesuai dengan ajaran Islam, sebagai message-nya.
Lawan persuasif adalah kursif (coersive). Kursif diartikan
sebagai suatu tindakan yang bersifat memaksa, yang dapat dilakukan
dengan teror, pemerasan, boikot, menunjukkan kekuasaan dan cara-
43
cara lain yang dapat menekan batin dan menegangkan jiwa serta
menimbulkan ketakutan di kalangan publik.
Baik komunikasi persuasi ataupun komunikasi kursif keduanya
bertujuan mengubah perilaku, kepercayaan dan sikap. Bedanya ialah
bahwa komunikasi kursif umumnya menggunakan ancaman dan
sanksi-sanksi tertentu. Totok Jumantoro (2001: 150) lebih lanjut
menjelaskan bahwa komunikasi kursif tidak dikenal dalam usaha
dakwah, mengingat:
a. Islam adalah agama yang benar. Tugas da’i hanya menguraikan,
menyampaikan kebenaran yang ada dalam Islam menjadi jelas dan
nyata.
b. Islam adalah agama fitrah, agama yang sesuai dengan fitrah
kejadian manusia (QS. Ar Ruum: 30), bahkan untuk berislam telah
dilakukannya ketika ia ada di alam arwah (QS. Al A’raaf: 1720.
hanya karena lingkungan yang kurang mendukung, manusia keluar
dari fitrah. Tugas seorang da’i adalah menciptakan lingkungan agar
fotrah kejadian manusia itu tidak lapuk karena pengaruh
lingkungan.
c. Dakwah yang dipaksakan akan membuat seseorang munafik. Iman
sesorang akan mudah tumbuh dalam suasana bebas yang sunyi dari
tekanan dan paksaan. Paksaan dan ancaman hanya akan
menghasilkan pengakuan palsu.
44
d. Persoalan mau beriman atau tidak adalah persoalan hidayah yang
mutlak di tangan Allah (QS. Al Qashash: 57). Seorang da’i tidak
dapat memberi petunjuk ke dalam hati manusia, tetapi hanya
mampu memperkenalkan Islam kepada mereka. Dan seorang da’i
hanya mampu berdakwah.
Allah memberikan tuntunan tentang cara berdakwah seagai
kewajiban umat Islam. Dalam QS An Nahl, 16: 25. ayat tersebut
menunjukkan bahwa di dalam berdakwah bisa menempuh tiga cara:
1. Dengan hikmah.
HM Masyhur Amin (1997: 21-25) menjelaskan bahwa kata
hikmah ini mengandung tiga unsur di dalamnya:
a. unsur ilmu, yaitu yang hak dan yang batil, memisahkan antara
yang hak dan yang batil, berikut ilmu tentang rahasia, faidah dan
seluk beluk.
b. unsur jiwa, yaitu menyatunya ilmu tersebut ke dalam jiwa
sebagai ahli hikmah, sehingga ilmu tersebut mendarah daging.
c. unsur amal perbuatan, yaitu ilmu pengetahuan yang menyatu ke
dalam jiwanya itu mampu memmotivasi dirinya untu berbuat.
Dengan kata lain, perbuatan itu dimotori oleh ilmunya uang
menyatu ke dalam jiwanya. Amal perbuatan ini bisa dalam
bentuk sikap dan kepribadian yang menarik dan dapat dijadikan
teladan dan bisa juga dalam bentik amal jariyah yang bermanfaat
45
bagi masyarakat, seperti: mengajar bercocok tanam,
berwiraswasta, ketrampilan, dsb. Amal teladan yang baik dan
bermanfaat ini justru lebih menyentuh hati orang yang diajak
memeluk agama Islam.
Dengan demikian maka dakwah bil hikmah mempunyai arti
kemampuan seorang dai di dalam melaksanakan dakwah dengan jitu
karena pengetahuannya yang tuntas lagi tepat tentang liku-liku dakwah.
Ia tahu benar tentang waktu, tempat, dan keadaan manusia yang dihadapi
sehingga ia dapat memilih cara yang tepat untuk menyampaikan materi
dan tujuan dakwah yang hendak diberikan kepada mereka.
2. Dengan maw’idzah hasanah
Maw’idzah hasanah dalam berdakwah berarti memberi nasehat dan
memebri ingat kepada orang lain dengan bahasa yang baik yang dapat
menggugah hatinya sehingga si pendengar itu dapat menerima apa yang
dinasehatkan itu.
Maw’idzah hasanah ini bisa dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:
a. Dalam bentuk menuturkan tentang kisah-kisah keadaan umat masa
lalu, baik yang taat menjalankan perintah Allah seperti para Rasul,
sahabat, orang-orang saleh, dan lain-lain. Maupun orang yang
durhaka seperti malapetaka yang menimpa Firaun., Qarun, Abu
Jahal.
46
b. Dalam bentuk pemberian peringatan atau mengabarkan berita
gembira (ancaman atau janji, targib aw tarhib).
c. Dalam bentuk melukiskan keadaan syurga dan penghuninyaserta
keadaan neraka dan penghuninya.
d. Dalam bentuk mengungkapkan perumpamaan-perumpamaan
mencari kesamaan—kesamaan. Misalnya, untuk meyakinkan bahwa
bumi, langit dan isinya itu merupakan ciptaan Allah SWT sebab
tidaklah mungkin ada suatu ciptaan tanpa ada yang menciptakannya.
(Amin, 1997: 27-30)
3. Dengan mujadalah yang sebaik-baiknya.
Artinya berdakwah dengan jalan mengadakan tukar pikiran yang
sebaik-baiknya. Imam Al Ghazali dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin”,
yang dikutip Amin (1997: 30) mensyaratkan antara lain agar orang-
orang yang melakukan mujadalah itu, tidaklah beranggapan bahwa yang
satu sebagai lawan bagi yang lannya. Tetapi mereka menganggap bahwa
para peserta mujadalah itu sebgai kawan yang saling tolong-menolong di
dalam mencari kebenaran.
Perlu dipahami juga bahwa berdakwah dengan cara hikmah itu
tidak terbatas pada berbicara dengan lemah lembut saja, menyebutkan
keutamaan amal dan pahalanya saja, memaafkan, toleransi, sabar, dan
ramah saja, tetapi bila segala sesuatu ditempatkan pada posisinya yang
tepat itu adalah hikmah.
47
Peringatan dengan keras, penggunaan kekerasan juga harus
dilakukan pada waktu dan tempat yang tepat. Semua ini harus dilakukan
dengan penuh kecermatan, ketekunan, dan kebijaksanaan dengan
memperhatikan kondisi, tempat, dan waktu orang yang didakwahi. Bila
semua ini telah dilaksanakan, berarti kita telah berdakwah dengan cara
yang hikmah.
Di samping itu, perlu juga memperhatikan beberapa bentuk
perkataan yang dianjurkan dalam Alquran, yang bisa dijadikan sebagai
pedoman dalam memberikan ceramah atau khutbah (Lubis, tt: 94-97),
antara lain:
1. Perkataan yang lemah lembut (qawlan layyinan)
Maksudnya bukan dengan kata-kata yang keras dan kasar. Bukan
denagn mencaci maki. Tapi dengan bahasa yang simpati dan bahasa
yang sentimentil, bahasa yang mengundang persahabatan. Kata-
katanya menggugah dan menyentuh perasaan.
2. Perkataan yang mengandung puitis (qawlan baliighan)
48
Maksudnya, kata-kata itu bersajak dan berirama. Enak didengar.
Sebab pada pidato yang memakai bunga bahasa itu merupakan daya
tarik sendiri.
4. Perkataan yang tegas (qawlan sadiidan)
Maksudnya kata-kata yang tidak bertele-tele, yang tidak tentu ujung
pangkalnya. Dan tidak pula ngambang yang membuat orang ragu
dan tidak ada yang bisa dijadikan semacam pegangan. Tapi
gunakanlah kata-kata yang jelas dan tegas. Terutama yang
menyangkut dengan masalah akidah atau dalam menanamkan suatu
keyakinan. Demikian juga halnya yang menyangkut dengan hukum,
yaitu masalah halal dan haram.
49
4. Perkataan yang baik (qawlan ma’rufan)
Maksudnya kata-kata yang dipergunakan dalam berpidato itu
janganlah kata-kata kotor atau jorok. Dan jangan pula kata-kata yang
tabu di tengah masyarakat. Sebab dengan memakai kata-kata yang
kotor dan tabu itu akan mengundangh jama’ah untuk tidak simpatik
yang sekaligus mengurangi wibawa.
5. Perkataan yang lurus (qawlan qawiyman)
Maksudnya, kata-kata tidak berbelit-belit. Tapi kata-kata yang
lempang, yang mudah dipahami dan mudah dicerna
6. Perkataan yang tepat dan mantap (qawlan shawaaban)
50
Maksudnya membuang kata-kata yang mubazir. Memilih istilah dan
kata-kata yang tepat dan mantap dalam berpidato akan menambah
wibawa.
Selain enam bentuk ucapan yang dipaparkan Lubis di atas, masih
terdapat bentuk ucapan lain yang juga tertera dalam Alquran, antara lain:
1. Perkataan yang ramah (qawlan maysuran)
Maksudnya perkataan yang tidak menyakiti orang lain, seperti
perkataan yang keras dan membentak-bentak. Keramahan ini mampu
mendatangkan simpati dari orang lain.
2. Perkataan yang hormat (qawlan kariman)
51
perkataan ini ditujukan untuk menghormati kepada lawan bicara
karena lebih tua usianya, lebih tinggi kedudukannya atau karena
mempunyai kharisma.
Berkaitan dengan sikap lemah lembut dan kekerasan atau tarhib
wa targhib (kabar gembira dan ancaman), Rasulullah SAW. para sahabat
dan generasi umat Islam terdahulu telah memberikan contoh nyata.
Rasulullah saw. menyatukan antara dakwah dengan lemah lembut di
Mekah dengan dakwah membentuk negara Islam yang berdaulat di
Madinah dan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh Jazirah Arab
dengan kawalan kekuatan.
Begitu juga dengan dakwah para sahabat, tidak seorang pun yang
memungkiri bahwa sahabat Abu Bakar adalah seorang sahabat yang
sangat lembut hatinya dan penyabar. Beliau amat santun terhadap fakir
52
miskin dan kaum muslimin yang lemah. Namun, tidak seorang pun yang
memungkiri bahwa beliaullah yang menggerakkan tentara kaum
muslimin untuk menumpas para nabi palsu dan orang-orang yang murtad
pada awal masa kekhalifahan beliau.
Semua ini terjadi karena beliau mampu berbuat hikmah dalam
dakwah, menggunakan metode dakwah yang tepat dalam setiap kasus.
Jika orang-orang yang murtad tidak ditindak keras, tentulah keutuhan
kaum muslimin akan retak dan hukum Islam diinjak-injak.
Kekuatan penghalang dakwah seperti ini tidak mungkin
ditundukkan kecuali dengan kekuatan. Setelah para penghalang ini
ditundukkan, barulah manusia bisa menentukan pilihan dengan merdeka:
apakah akan masuk Islam atau tidak. Itulah makna "tidak ada paksaan
dalam masalah agama".
Islam membolehkan penggunaan kekuatan bila dilakukan dengan
hikmah, saat kondisi memang menuntut. Islam tidak menyerang musuh,
kecuali setelah memberi dakwah kepada mereka. Islam juga tidak
melampaui batas dalam peperangannya. Kaum muslimin tidak pernah
memiliki niat membunuh anak-anak, orang tua, wanita, dan orang-orang
yang tidak terlibat perang.
Begitu juga yang diteladankan oleh Nabi Muhammad, mengajak
orang dengan cara yang sangat memikat dan efektif dan dengan
menggunakan argumentasi dan akal sehat untuk mengikuti perkataan
Tuhan. Dia menjelaskan pada mereka kebenaran sebenarnya tentang
53
manusia, alam semesta, dan Tuhan dengan cara yang sangat meyakinkan
dan memikat. Ajakannya penuh cinta, kasih dan rasa sayang pada umat
manusia dan disampaikan pada manusia dengan penuh kebijaksanaan
dan dengan cara yang paling baik. Oleh karenanya ajakan itu memikat
mereka dan langsung masuk di hati pendengarnya dalam waktu yang
sangat singkat.
Manusia masuk Islam berdasarkan kemauan mereka sendiri kalau
mereka yakin akan kebenaran yang disampaikannya. Tugas Nabi
hanyalah menyampaikan ayat-ayat Tuhan dengan jelas sehingga manusia
dapat memahaminya. Selanjutnya tergantung pada manusia itu sendiri
untuk menerima dan menolaknya. (Rahman, 1991: 24-26)