bab ii 1199140 -...

45
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANALISIS WACANA, AGAMA PRIVAT DAN PUBLIK, DAN DAKWAH 2.1. Tinjauan Pustaka Nama Ulil Abshar-abdalla sebagai pemikir Islam mencuat setelah artikelnya yang bertajuk “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” pada akhir 2002 ditentang oleh banyak pihak, bahkan ada yang sampai mengeluarkan fatwa mati untuknya. Meski di sisi lain, banyak juga pihak yang mendukung gagasannya. Tulisan-tulisan yang membahas pemikiran Ulil biasanya tidak langsung atas namanya, tetapi juga dikaitkan dengan Jaringan Islam Liberal, organisasi yang dikoordinatorinya. Dan pemikiran yang dibawakannya disebut sebagai Islam Liberal. Beberapa buku yang berusaha mengkritisi Ulil dan JIL diantaranya: 1. Hartono Ahmad Jaiz. 2002. Bahaya Islam Liberal. Jakarta: Pustaka Al- Kautsar. Buku ini berusaha mengkritisi pemikiran Islam Liberal yang dibawakan Ulil Abshar-Abdalla. Hartono Ahmad Jaiz menuliskan pendikotomian dalam agama Islam sebagai usaha mengotori kesucian agama Islam. Islam hanya satu, yaitu Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw., yang bersumber kepada Alquran dan sunnah beliau. Selain itu juga menyatakan bahwa paham pluralis, inklusif dan sekular yang disebarkan Islam Liberal tersebut merusak Islam.

Upload: vuongdang

Post on 23-Feb-2018

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG

ANALISIS WACANA, AGAMA PRIVAT DAN PUBLIK, DAN DAKWAH

2.1. Tinjauan Pustaka

Nama Ulil Abshar-abdalla sebagai pemikir Islam mencuat setelah

artikelnya yang bertajuk “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” pada

akhir 2002 ditentang oleh banyak pihak, bahkan ada yang sampai

mengeluarkan fatwa mati untuknya. Meski di sisi lain, banyak juga pihak

yang mendukung gagasannya.

Tulisan-tulisan yang membahas pemikiran Ulil biasanya tidak

langsung atas namanya, tetapi juga dikaitkan dengan Jaringan Islam Liberal,

organisasi yang dikoordinatorinya. Dan pemikiran yang dibawakannya

disebut sebagai Islam Liberal. Beberapa buku yang berusaha mengkritisi

Ulil dan JIL diantaranya:

1. Hartono Ahmad Jaiz. 2002. Bahaya Islam Liberal. Jakarta: Pustaka Al-

Kautsar. Buku ini berusaha mengkritisi pemikiran Islam Liberal yang

dibawakan Ulil Abshar-Abdalla. Hartono Ahmad Jaiz menuliskan

pendikotomian dalam agama Islam sebagai usaha mengotori kesucian

agama Islam. Islam hanya satu, yaitu Islam yang dibawa oleh Rasulullah

saw., yang bersumber kepada Alquran dan sunnah beliau. Selain itu

juga menyatakan bahwa paham pluralis, inklusif dan sekular yang

disebarkan Islam Liberal tersebut merusak Islam.

10

2. Adnin Armas, MA., 2003. Pengaruh Kristen Orientalis terhadap Islam

Liberal, Jakarta: Gema Insani Pers. Buku ini berisi pandangan-

pandangan Islam Liberal telah terpengaruh pemikiran misionaris Kristen

dan Orientalis Barat yang begitu kuat namun belum banyak terungkap

oleh masyarakat.

3. J. Firmansyah. 2003. Islam Liberal Versi Anak Muda, Jakarta: Pustaka

Zaman. Penulis buku ini berusaha menjelaskan tentang seluk-beluk

pemikiran Islam Liberal. Buku ini tidak hanya memberikan nilai positif

terhadap perkembangan Islam Liberal, namun juga berusaha

memberikan kritik yang membangun.

Ketiga buku tersebut lebih pada pembahasan kritik terhadap pemikiran

Ulil Abshar-Abdalla dan JIL. Buku pertama dan kedua, isinya menentang

dan buku yang ketiga cenderung mendukung.

Perbedaan dengan pembahasan pada skripsi ini terletak pada fokus

objek penelitian. Skripsi ini berusaha mendalaminya berdasar teori-teori

komunikasi, tepatnya analisis wacana.

2.2. Tinjauan Umum tentang Analisis Wacana

2.2.1. Konsep Analisis Wacana

Analisis wacana adalah salah satu alternatif dari analisis isi,

selain analisis isi kuantitatif yang dominan dan banyak dipakai. Kalau

analisis isi kuantitatif lebih menekankan pada pertanyaan “apa” (what),

analisis wacana lebih melihat pada “bagaimana” (how) dari pesan atau

11

teks komunikasi. Lewat analisis wacana kita bukan hanya mengetahui

apa isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan lewat

kata, frasa, kalimat, metafora macam apa suatu berita disampaikan.

Dengan melihat bangunan struktur kebahasaan tersebut, analisis

wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks.

Wacana sendiri adalah istilah yang dipakai oleh berbagai disiplin

ilmu mulai dari politik, sosisologi, linguistik, serta psikologi,

komunikasi dan sebagainya. Setiap dispilin ilmu tersebut terkadang

berbeda dalam konsepsi dan pendekatan yang dipakai. Ada beberapa

definisi yang berbeda dipaparkan Sara Mills dalam bukunya Discourse

(dalam Eriyanto, 2001: 2) mengenai wacana yaitu antara lain:

1. Collins Concise English Dictionary (1988) Wacana adalah (1) komunikasi verbal, ucapan, percakapan; (2) sebuah

perlakuan formal dari subjek dalam ucapan atau tulisan; (3) sebuah unit teks yang digunakan oleh linguis untuk menganalisis satuan lebih dari kalimat.

2. Longman Dictionary of the English Language (1984) Wacana adalah (1) sebuah percakapan khusus yang alamiah formal dan pengungkapannya diatur pada ide dalam ucapan dan tulisan; (2) pengungkapan dalam bentuk sebuah nasihat, risalah dan sebagainya; sebuah unit yang dihubungkan ucapan atau tulisan.

3. J.S. Badudu (2000) Wacana adalah (1) rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan yang lainnya, membentuk satu kesatuan, sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu; (2) kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis.

4. Crystal (1987) Analisis wacana memfokuskan pada struktur yang secara alamiah terdapat pada bahasa lisan, sebagaimana banyak terdapat dalam wacana seperti percakapan wawancara, komentar, dan ucapan-ucapan.

5. Hawthorn (1992) Wacana adalah komunikasi kebahasaan yang terlihat sebagai sebuah pertukaran di anatara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah aktivitas personal di amna bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya.

6. Roger Fowler (1977) Wacana adalah komunikasi lisan atau tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai dan kategori yang masuk di dalamnya;

12

kepercayaan di sini mewakili pandangan dunia; sebuah organisasi atau representasi dari pengalaman.

7. Foucault (1972) Wacana adalah kadang kala sebagai bidang dari semua pernyatan (statement), kadang kala sebagai sebuah individualisasi kelompok pernytaan, dan kadang kala sebagai praktik regulatif yang dilihat dari sejumlah pernyataan.

Adanya perbedaan mengenai wacana ini lebih dikarenakan

adanya cara pandang yang berbeda dari disiplin ilmu yang

melatarbelakanginya. (Eriyanto, 2001: 1-3) Dalam lapangan sosiologi,

wacana adalah unit bahasa yang lebih besar dari kalimat. Analisis

wacana dalam studi linguistik ini merupakan reaksi dari bentuk

linguistik formal yang lebih memperhatikan pada unit kata, frase, atau

kalimat tanpa melihat keterkaitan di antara unsur tersebut. Analisis

wacana dalam lapangan psikologi sosial, diartikan sebagai

pembicaraan. Wacana yang dimaksud di sini agak mirip dengan

struktur dan bentuk wawancara dan praktik dari pemakainya.

Sementara dalam lapangan politik, analisis wacana adalah praktik

pemakaian bahasa, terutama politik bahasa karena bahasa adalah

aspek sentral dari penggambaran suatu subjek, dan lewat bahasa

ideologi terserap di dalamnya, maka aspek inilah yang dipelajari dalam

analisis wacana.

Dengan berbagai pengertian istilah wacana yang berbeda-beda

tersebut ada titik singgungnya, yaitu analisis wacana berhubungan

dengan studi mengenai bahasa/pemakaian bahasa.

13

2.2.2. Analisis Wacana sebagai Metode Penelitian

2.2.2.1. Urgensi Mengkaji Teks

Dari segi normatif, Komarudin Hidayat (1998: 113-114)

memandang kemampuan berbahasa merupakan kelanjutan dari

perjalanan panjang sabda Tuhan yang ditansformasikan kepada

manusia. Dengan mengikuti alur pemikiran ini, maka kebudayaan

adalah manifestasi dari kapasitas bahasa akal budi serta aktualisasi dari

kebebasan manusia, untuk menjadikan sabda sebagai budaya.

Fenomena negara, birokrasi, perilaku politik dan segala macam aturan

serta norma kehidupan manusia tak lain adalah teks yang tertulis dan

terlembagakan dalam kertas maupun lembaran sosial sebagai ekspresi

bahasa batin (inner language) ke dalam bahasa praksis (praxis

language).

Karena dunia manusia diawali, dibangun serta dipelihara dengan

sabda Tuhan, yang kemudian ditransformasikan dalam bentuk bahasa,

maka jika dunia bahasa mengalami krisis akibatnya keseimbangan

kosmik dan sosial bisa gonjang-ganjing. Di sini perlu diingat, bahwa

artikulasi dan ekspresi bahasa bisa dalam bentuk ucapan, tulisan, gerak

tubuh, dan ekspresi lain. Ucapan hanyalah sebagian kecil dari

berbahasa, meskipun ucapan adalah saluran paling vokal dari aktivitas

berbahasa.

Meskipun bahasa ucapan paling mudah dan vokal untuk

dikemukakan, namun ia memiliki kelemahan yang serius. Bagi orang

14

yang memiliki integritas tinggi, ucapannya memang bisa dipegang dan

dijadikan indikator dari keluhuran budi serta kedalaman ilmunya.

Tetapi sebaliknya, seringkali kita jumpai bahasa ucapan digunakan

sebagai topeng untuk menutupi agar kebusukan seseorang tidak

terlihat oleh orang lain. Oleh karenanya dalam dunia akademis bahasa

tulisan dijadikan standar karya keilmuan, agar kapasitas keilmuannya

mudah diuji dan diapresiasi oleh orang lain (Hidayat, 1998:13).

Lebih dari itu, kalau saja apresiasi peradaban seseorang atau

suatu masyarakat tidak diawetkan ke dalam bahasa tulis, generasi

berikutnya akan rugi, dan berbagai bangunan peradaban berarti harus

dimulai lagi dari nol. Maka sangat benar jika dikatakan bahwa

peradaban manusia ini mengalami loncatan dan pengkayaan yang luar

biasa besarnya, setelah ditemukannya mesin tulis dan mesin cetak.

Bayangkan saja kalau manusia tidak menciptakan sistem tanda

(terutama bahasa tulis), maka khazanah peradaban masa lalu akan

hilang. Ini berarti bahasa bukan sekedar media komunikasi, melainkan

sebuah realitas ontologis yang bereksistensi dan tumbuh dalam

panggung sejarah.

Ketika seorang membaca dan memahami sebuah teks, secara

tidak langsung ia memproduksi ulang dan menafsirkan teks sesuai

dengan kemampuan dan kecenderungan subyektivitasnya. Oleh

karenanya sebuah teks yang sama ketika dibaca ulang bisa melahirkan

pemahaman baru.

15

Karena setiap pengarang, teks dan pembaca tidak bisa lepas dari

konteks sosial politis, psikologis, teologis, dan konteks lainnya dalam

ruang dan waktu tertentu, maka dalam memahami teks diperlukan

transfer makna.

Bahasa, di mata para fenomenolog, bukan hanya diterima secara

apa adanya, tetapi ditanggapi sebagai perantara bagi pengungkapan-

pengungkapan maksud-maksud dan makna-makna tertentu. Bagi

mereka, wacana adalah suatu upaya pengungkapan makna tersembunyi

dari subjek yang mengemukakan suatu pernyataan (Sobur, 2001: 22).

Bahkan semua ahli komunikasi sepakat, bahwa makna kata sangat

subjektif. (Sobur, 2001: 20)

Para ahli filsafat dan linguis umumnya mengakui bahwa,

masalah makna suatu ungkapan bahasa merupakan persoalan yang

paling mendasar di dalam filsafat bahasa. Pada awal

perkembangannya di Inggris, Moor (dalam Mustansyir, 2001: 153),

sebagai seorang tokoh utama yang memperkenalkan madzhab analitik

bahasa ini, mempersoalkan makna yang dikandung dalam ungkapan

filsafati. Russel dan Wittgenstein (dalam Mustansyir, 2001: 154)

kemudian melangkah lebih maju dalam rangka memberi bobot makna

ke dalam bahasa filsafat melalui bahasa yang bersifat logis sempurna.

Mereka membedakan antara struktur logis dan struktur bahasa,

sehingga memudahkan kita untuk membedakan antara ungkapan yang

tidak mengandung makna (meaningless) dan yang mengandung arti

16

(meaningful). Langkah-langkah ini dilanjutkan pula oleh positivisme

logis yang berupaya menentukan kriteria pernyataan yang

mengandung makna, melalui prinsip verifikasi.

Dalam teori bahasa, apa yang dinamakan teks tak lebih dari

himpunan huruf yang membentuk kata dan kalimat yang dirangkai

dengan sistem tanda yang disepakati oleh masyarakat, sehingga sebuah

teks ketika dibaca bisa mengungkapkan makna yang dikandungnya.

Dan tanda bahasa, seperti kata Althsuser, filosof abad XX

berkebangsaan Perancis, merupakan arena perjuangan ideologis

berbagai kepentingan. Senada dengan hal itu, Karl Manheim, pemikir

sosiologi pengetahuan dan Jurgen Habermas, filosof kritis, meyatakan

bahwa pengetahuan tidak bisa dilepaskan pertautannya dengan

kepentingan. Derrida juga menegaskan hal yang sama. Bahasa tidak

pernah netral dan tidak pernah bersalah (innocent). Walaupun sering

menampilkan diri sebagai kebenaran, ia penuh dengan asumsi dan

investasi ideologis yang tidak segera tampak. Demikian Moh Yasir

Alimi (2002: 104-106) menjelaskan mengenai kedudukan bahasa

dipandang dari berbagai segi filsafat ataupun sosiologi.

Lebih lanjut ia mengutip pendapat Roland Barthes (Alimi, 2002:

106) salah seorang tokoh strukturalisme, tentang mitos yang relevan

dalam konteks ini. Mitos di sini diartikan sebagai sistem pemikiran dan

praktek kebudayaan yang secara fundamental mempunyai karakter

ideologis, yaitu berfungsi mengaburkan kenyataan, dengan

17

menyampaikan status kodratiah suatu konstruk yang integral pada

konfigurasi kebudayaan tertentu, yaitu masyarakat dominan atau

borjuis. Teks menurut Barthes, bukan hanya memiliki makna denotatif,

makna langsung atau makna literal, tapi juga mitos, yakni makna

ideologis yang tersembunyi di balik teks. Mitos ini berfungsi untuk

menampakkan sesuatu yang bentukan sosial, seolah-olah alamiah,

abadi dan tidak bisa diubah.

Oleh karena itu sangat bermanfaat mengeksperimentasikan ide

Paul Ricouer, seorang pemikir kontemporer berkebangsaan Perancis,

yang memperlakukan tafsir bukan hanya sebagai metode untuk

memahami maksud dan latar belakang bahasa, tapi juga sebagai

praktek kecurigaan (exercise of suspection), yaitu kecurigaan terhadap

ideologi yang bersembunyi didalamnya (Alimi, 2002: 104).

Discourse, konsep ini dikembangkan Foucault yang sering

diterjemahkan dengan istilah “wacana”, adalah artikulasi ideologis dari

kenyataan yang dibentuk oleh kelompok-kelompok yang saling

berkompetisi untuk memperebutkan kebenaran tafsir sejarah, termasuk

di dalamnya wacana agama. Oleh karena itu, discourse adalah

konstruksi ideologis (ideological construction) yang dipakai untuk

melegitimasi mempertahankan dan memperebutkan kekuasaan, dalam

pengertian inilah, ditegaskan di sini bahwa pemikiran keagamaan

adalah discourse, yaitu konstruksi ideologis untuk melegitimasi dan

mempertahankan dominasi secara sosial, politik maupun ekonomi.

18

Dengan demikian, Moh Yasir Alimi (2002: 110) menegaskan

kebenaran keagamaan yang kita yakini adalah produk sejarah dari

perjuangan berbagai kepentingan yang saling berkompetisi untuk

memperebutkan otoritas kebenaran tafsir sejarah.

Sebutan diskursus juga untuk menunjukkan salah satu aspek

konstinutif bahasa. Dalam aspek ini, bahasa bukan hanya, seperti yang

sering dipahami, mengkomunikasikan pikiran, atau merepresentasikan

gagasan, tapi juga membentuk/ mengkonstitusikan kenyataan. Di

sinilah perbedaan antara “diskursus” dan “kalimat” (sentences). Kalau

“kalimat” hanyalah mengungkapkan kabar/berita sedangkan

“diskursus” mempengaruhi jiwa, menyerang integritas, menimbulkan

konsekuensi ideologis dan membentuk kenyataan. Contoh ungkapan

“Saya laki-laki” atau “Saya perempuan” bukan sekedar menunjukkan

kabar bahwa jenis kelamin saya adalah laki-laki. Ungkapan itu juga

mempunyai konsekuensi ideologis bahwa “Saya adalah laki-laki, maka

bila ingin menjadi laki-laki sejati tidak selayaknya saya memakai

pakaian, identitas, atau identifikasi apapun yang selama ini dilekatkan

pada perempuan.” Demikianlah ungkapan itu akhirnya bukan sekedar

kalimat, tapi juga suatu kontrol ideologis untuk menjadi perempuan

dan laki-laki sejati. (Alimi, 2002: 112)

Dalam teori sastra (adab) dan cultural studies dikenal juga suatu

analisis yang disebut dengan materialisme kultural (cultural

materialism). Dalam prespektif materialisme kultural ini ditegaskan

19

bahwa bahasa merupakan aspek material ideologis yang paling jelas.

Bahasa merupakan arena perjuangan sosial dimana berbagai

kepentingan dipertarungkan. Bahasa oleh karena itu terinvestasi secara

ideologis. Oleh karena itu kritik ideologi diperlukan untuk memahami

bahasa. (Alimi, 2002: 80)

Lebih lanjut Alimi (2002: 102-103), mengatakan wacana agama

yang selama ini sering kita anggap sakral, abadi atau wahyu Tuhan

dari langit, sebenarnya tidak jarang merupakan suatu konstruk,

representasi dan berikutnya praktek atau aparat ideologis karena

wacana agama, seperti tanda bahasa lainnya tidak pernah netral, tidak

terbebas dari bias ideologis karena ia selalu memproduksi dan

mempropagandakan agenda ideologi tertentu.

Begitulah watak ideologi, menurut Terry Eagleton, seorang ahli

sastra berkebangsaan Inggris. Ia berfungsi untuk mempropagandakan

diri seolah-olah memang sudah seharusnya begini. Ideologi membuat

seolah-olah wacana agama yang kita biasa hidup didalamnya adalah

kebenaran objektif, pembawa pesan para Nabi yang tidak boleh

dibantah. Padahal seringnya ia tidak lebih dari sekedar sistem sosial,

budaya dan pemikiran yang opresif (Alimi, 2002: 103).

2.2.2.2. Analisis Wacana sebagai Salah Satu Metode Kajian Teks

Ada tiga metode dalam membahas isi media dengan pendekatan

kualitatif, yaitu analisis wacana (discourse analysis), analisis semiotik

20

(semiotic analysis), atau analisis framing/ bingkai (framing analysis),

yang semuanya berpijak pada asumsi bahwa sebenarnya isi media

dipengaruhi oleh berbagai komponen yang terdapat dalam institusi

media itu sendiri (Sobur, 2001: 3).

Untuk kegunaan penelitian ini, penulis menggunakan metode

analisis wacana.

2.2.3. Proses Analisis Wacana

Penelitian ini akan dilakukan berdasarkan analisis wacana

dengan pendekatan kognisi sosial Teun van Dijk. Menurut van Dijk

(dalam Eriyanto, 2001: 259-261), analisis wacana tidak hanya

membatasi perhatiannya pada struktur teks, tetapi juga bagaimana teks

diproduksi. Dalam kerangka analisis wacana van Dijk, diperlukan

penelitian terhadap kesadaran mental penulis yang membentuk teks.

Kognisi sosial ini penting dan menjadi kerangka yang tidak

terpisahkan untuk memahami teks media. Oleh karena itu, van Dijk

menawarkan apa yang disebut sebagai analisis kognisi sosial.

Analisis kognisi sosial memusatkan perhatian pada struktur

mental, proses pemaknaan, dan mental wartawan. Pendekatan kognitif

ini didasarkan pada asumsi bahwa teks tidak mempunyai makna,

karena makna, sesungguhnya diberikan oleh pemakai bahasa, atau

lebih tepatnya proses kesadaran mental dari pemakai bahasa. Pada titik

ini dibutuhkan suatu penelitian atas representasi kognisi dan strategi

21

penulis dalam memproduksi suatu berita karena setiap teks pada

dasarnya dihasilkan lewat kesadaran, pengetahuan, prasangka, atau

pengetahuan tertentu atas suatu peristiwa.

Teks dalam hal ini dipandang sebagai hasil dari representasi

mental penulis atau pembuatnya. Pandangan, kepercayaan, stereotipe,

dan kepercayaan penulis mempengaruhi teks yang dihasilkan. Penulis

tidak dianggap sebagai individu yang netral, tetapi individu yang

mempunyai bermacam nilai, pengalaman, dan pengaruh ideologi yang

didapatkan dari kehidupannya.

Analisis atas struktur dan proses mental ini diperlukan karena

analisis itu untuk memahami bagaimana makna dari teks itu sendiri

secara strategis dikonstruksi dan ditampilkan dalam memori sebagai

representasi teks. Analisis itu juga diperlukan untuk memahami

pemakaian bahasa, dalam hal ini penulis mempunyai posisi yang unik,

mempunyai pandangan tertentu yang direpresentasikan dalam teks.

Menurut van Dijk, kognisi sosial terutama dihubungkan dengan

proses produksi teks, dengan asumsi bahwa produksi teks sebagian

besar dan terutama terjadi pada proses mental dalam kognisi seorang

penulis. Semua proses memahami dan memaknai peristiwa terutama

terjadi pada kognisi sosial penulis.

Pertanyaan utama yang diajukan oleh van Dijk adalah bagaimana

suatu persoalan itu dimengerti, dimaknai dan ditampilkan dalam

pikiran. Lalu dari pengertian dan penafsiran itu, bagaimana realitas itu

22

difokuskan, diseleksi, dan disimpulkan dalam keseluruhan proses

produksi berita. Dan bagaimana informasi yang telah dipunyai dan

dimiliki oleh penulis itu dipakai dalam memproduksi berita.

Analisis kognisi sosial menekankan bagaimana peristiwa

dipahami, didefinisikan, dianalisis, dan ditafsirkan, ditampilkan dalam

suatu model dalam memori. Model ini menunjukkan bagaimana

tindakan atau peristiwa yang dominan, partisipan, waktu, dan lokasi

keadaan objek yang relevan, atau perangkat tindakan dibentuk dalam

struktur teks (Eriyanto, 2001: 262).

Karakteristik penting dari analisis wacana kritis antara lain:

1. Tindakan.

Wacana adalah bentuk interaksi, oleh karena itu wacana harus

dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan apakah untuk

membujuk, menyangga, bereaksi, dan sebagainya. Di samping itu

juga wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara

sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali atau

diekspresikan di luar kesadaran.

2. Konteks.

Wacana diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks

tertentu, maka analisis wacana kritis sudah semestinya

mempertimbangkan konteks dari wacana seperti latar, situasi,

peristiwa dan kondisi.

23

3. Historis

Sisi historis perlu dikembangkan untuk mendapatkan pemahaman

mengenai wacana teks. Sehingga, pada saat melakukan analisis

dapat ditemukan alasan mengapa wacana yang berkembang atau

dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang dipakai seperti itu

dan seterusnya.

4. Kekuasaan

Elemen kekuasaan perlu diketengahkan dalam analisis wacana

karena setiap wacana yang muncul dalam bentuk teks, percakapan

atau apapun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar,

dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan.

5. Ideologi

Ideologi tidak bisa lepas dalam pembentukan sebuah wacana, yang

pengaruhnya terlihat dalam waujud teks, percakapan dan lainnya.

Sedangkan pendekatan analisis wacana ini ada 5 macam

(Eriyanto, 2001: 15-17), yaitu:

1. Analisis Bahasa Kritis (Critical Lingusitic)

Inti dari gagasan critical lingusistic adalah melihat bagaimana

gramatika bahasa membawa posisi dan makna ideologi tertentu.

Dengan kata lain, aspek ideologi itu diamati dengan melihat bahasa

dan struktur tata bahasa yang dipakai. Bahasa, baik pilihan kata

maupun struktur gramatika, dipahami sebagai pilihan, mana yang

24

dipilih oleh seseorang untuk diungkapkan membawa makna

ideologi tertentu.

2. Analisis Wacana Pendekatan Perancis (French Discourse Analysis)

Pendekatan Pecheux ini banyak dipengaruhi oleh teori ideologi

Althusser dan teori wacana Foucault. Dalam pandangan Pecheux,

bahasa dan ideologi bertemu pada pemakaian bahasa dan

materialisasi bahasa dan ideologi. Keduanya, kata yang digunakan

dan makna dari kata-kata menunjukkan posisi seseorang dalam

kelas tertentu. Bahasa adalah medan pertarungan melalui mana

berbagai kelompok dan kelas sosial berusaha menanamkan

keyakinan dan pemahamannya.

3. Pendekatan Kognisi Sosial (Socio Cognitive Approach)

Dalam pendekatan ini, wacana yang dikembangkan van Dijk

dilihat bukan hanya dari struktur wacana, tetapi juga menyertakan

suatu proses yang disebut sebagai kognisi sosial.

4. Pendekatan Perubahan Sosial (Sociocultural Change Approach)

Wacana di sini dipandang sebagai praktik sosial. Dengan

memandang wacana sebagai praktik sosial, ada hubungan dialektis

antara praktik diskursif dengan identitas dan relasi sosial. Wacana

juga melekat dalam situasi, institusi, dan kelas sosial tertentu.

Memaknai wacana demikian, menolong menjelaskan bagaimana

wacana dapat memproduksi dan mereproduksi status quo dan

mentransformasikannya.

25

5. Pendekatan Sejarah (Discourse Historical Approaches)

Wacana di sini disebut historis karena menurut Wodak dkk.,

analisis wacana harus menyertakan konteks sejarah bagaimana

wacana tentang suatu kelompok atau komunitas digambarkan.

Untuk penelitian ini akan menggunakan pendekatan kognisi

sosial, karena dalam penelitian ini ingin lebih memahami ekspresi teks

dan makna yang tersembunyi dari teks.

Dalam pendekatan yang dikembangkan van Dijk tersebut ada

tiga elemen penting, yaitu analisis teks, analisis kognisi sosial dan

analisis sosial. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang utuh sehingga

hasil dari penelitian yang menggunakan metode ini diharapkan

menjadi sebuah kajian yang komprehensif.

Van Dijk (dalam Eriyanto: 2001: 221-229) membuat kerangka

analisis wacana yang terdiri atas berbagai tingkatan/struktur, yang

masing-masing bagian saling mendukung. Van Dijk membaginya ke

dalam tiga tingkatan:

1. Struktur makro. Ini merupakan makna global/umum dari suatu teks

yang dapat dipahami dengan melihat topik dari suatu teks. Tema

wacana ini bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu

peristiwa.

26

2. Superstruktur adalah kerangka suatu teks; bagaimana struktur dan

elemen wacana ini disusun dalam teks ecara utuh.

3. Struktur mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dengan

menganalisis kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase yang

dipakai dan sebagainya.

Struktur/elemen wacana yang dikemukakan van Dijk ini dapat

digambarkan sebagai berikut:

Tabel 2.1 ELEMEN WACANA VAN DIJK

Struktur Wacana Hal yang Diamati Elemen

Struktur Makro Superstruktur Struktur Mikro

Struktur Mikro

Struktur Mikro

Struktur Mikro

Tematik (apa yang dikatakan?)

Skematik

(bagaimana pendapat disusun dan dirangkai)

Semantik

(Makna yang ingin ditekankan dalam teks)

Sintaksis (Bagaimana pendapat yang disampaikan?)

Stilistik (Pilihan kata yang dipakai?)

Retoris

(Bagaimana dan dengan cara apa penekanan dilakukan?)

Topik

Skema

Latar, detail, maksud, praanggapan, nominalisasi

Bentuk kalimat, koherensi, kata ganti

Leksikon

Grafis, metafora ekspresi

Sumber: Diadopsi dari Eriyanto (2001: 228-229)

Selain struktur teks, analisis wacana ini juga memberikan perhatian

pada bagaimana suatu teks diproduksi yang disebuut analisis kognisi

27

sosial. Kajian ini diperlukan untuk membongkar bagaimana makna

tersembunyi dari teks, yang didasrkan pada asumsi bahwa suatu teks tidak

mempunyai makna, tetapi makna itu diberikan oleh pemakai bahasa.

Sedangkan dalam analisis sosial dilakukan dengan analisis

intertekstual, karena melalui cara ini bagaimana wacana tentang suatu hal

diproduksi dan dikonstruksi dalam masyarakat. Dalam kerangka van Dijk

(dalam Eriyanto, 2001: 272-274), dalam analisis mengenai masyarakat ini

ada dua poin yang ditonjolkan, yaitu kekuasaan (power) dan akses

(access). Yang dimaksud dengan kekuasaan di sini adalah upaya kontrol

baik yang bersifat langsung dan fisik. Selain itu juga, berbentuk persuasif:

tindakan sesorang untuk secara tidak langsung mengontrol dengan jalan

mempengaruhi kondisi mental, seperti kepercayaan, sikap, dan

pengetahuan.

Sedangkan akses memperhatikan bagaimana masing-masing

kelompok masyarakat memiliki kesempatan menguasai akses pada media.

Semakin suatu kelompok berkuasa semakin besar pula ia memiliki akses

untuk mempengaruhi kesadaran khalayak, menentukan topik dan isi

wacana yang dapat disebarkan dan didiskusikan kepada khalayak.

2.3. Tinjauan Umum tentang Konsep Agama Privat dan Publik

Kata ‘publik’ diadopsi dari bahasa Inggris, public yang dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia (1997) berarti orang banyak; umum sedangkan

privat, berarti pribadi; tersendiri.

28

Sedangkan pengertian agama, menurut Lorens Bagus (1996: 12-15)

menyangkut dua unsur. Pertama, orang membalikkan diri terus-menerus dan

berkali-kali, mempertimbangkan sesuatu secara amat berhati-hati. Obyek

yang diperhatikan dalam agama merupakan obyek yang istimewa dan

agung. Karena itu obyek tersebut harus diberi perhatian khusus dan istimewa

pula.

Arti lain adalah bahwa agama memberi indikasi tentang sifat-sifat

“terikat kepada”. Dalam hal ini terikat kepada asal-usul pertama dan tujuan

terakhir. Karena yang pertama dan terakhir ini ini mendapat kepentingan

lebih besar daripada semua yang lain, pantas diberikan pertimbangan dan

perhatian khusus daripada semua yang lain.

Agama berkaitan dengan masalah hubungan manusia dan dunianya

dengan Allah. Segala sesuatu menerima eksistensinya dari Allah karenanya

berasal dari Allah. Segala sesuatu juga bertujuan untuk kembali kepada

Allah.

Secara khusus, istilah agama menunjuk pada sebuah institusi

(lembaga) dengan sekelompok orang-orang yang berkumpul secara teratur

untuk suatu ibadat dan menerima seperangkat ajaran yang menawarkan cara

menghubungkan individu dengan segala sesuatu yang dipandang sebagai

hakikat terdalam, tertinggi kenyataan.

Dilihat dari dasar hidup manusia — manusia menurut kodratnya

terarah kepada hidup bermasyarakat – maka agama tidak bisa hanya menjadi

persoalan pribadi dan individu. Pada kenyataannya agama juga selayaknya

29

didorong oleh komunitas. Karena agama berada dalam komunitas,

kehidupan religius mencapai perkembangan yang penuh dalam komunitas.

Kedua kata itu, agama dan privat atau publik, kemudian dilekatkan

membentuk frasa yang menerangkan sifat menjadi agama publik dan agama

privat. Beberapa cendekia berusaha menjelaskan agama publik dan privat ini

dengan menunjukkan ciri-ciri dari agama privat dan publik ini.

Ulil Abshar-Abdalla membedakan agama privat sebagai sikap

keberagamaan yang merupakan tindakan dan komitmen pribadi. Dan agama

publik sebagai sikap keberagamaan yang cenderung dimotivasi oleh

lembaga diluar pribadi, dikarenakan agama telah sedemikian rupa menguasi

publik.

Ia menjelaskan perbedaan kedua sikap keberagamaan tersebut sebagai

berikut:

Pada tingkatan individu, lazimnya, agama diperlakukan sebagai sarana turun-temurun untuk berhubungan dengan suatu instansi transenden yang biasanya disebut Tuhan. Sudah tentu banyak cara yang ditempuh oleh manusia untuk melakukan komunikasi dengan instansi transenden itu, tetapi biasanya agama diterima secara umum sebagi sarana yang paling praktis ke arah itu. Pada tingkat ini agama sebetulnya memperlihatkan coraknya “soliter”, yang menyendiri yang terpencil dan terisolir, sebab ia hanyalah bagian dari tindakan pribadi orang-perorang dalam upayanya mengapresiasi suatu Kenyataan (dengan “K” besar yang biasanya dalam bahasa Jawa disebut “Kasunyatan” atau kenyataan yang benar)... Pada umumnya beragama secara privat ini tidak tampak, invisible, di ruang dan tempat-tempat umum. Sebab di tempat-tempat umum, ada jenis kebergamaan lain yang berdaulat di sana, ialah beragama sebagai tindakan sosial atau keberagamaan sebagai tindakan publik..... Agama publik tidak bisa dilakukan dengan “sendirian” sebab di sana ada suatu struktur perantara yang disepakati bersama dan harus ditunduki oleh semua orang sehingga setiap tindakan privat bisa mengandung ancaman atas “struktur perantara” tersebut. Struktur perantara itu dibangun melalui lembaga tafsir, pendidikan dan atau prolitisasi (dakwah). (Abdalla, 2000: viii )

AS Hikam (2000: 85) menjelaskan ruang publik sebagai ruang tempat

berinteraksinya asosiasi-asosiasi untuk melakukan dialog dan kesepakatan

yang digunakan untuk meraih kepentingan masing-masing. Urusan-urusan

30

pribadi masuk dalam ruang privat yang dilindungi dan dihormati. Penarikan

garis antara publik dan privat merupakan prasyarat pengembangan civil

society untuk mendukung terwujudnya konsep demokrasi.

Ada perbedaan antara negara demokratis dan non-demokratis dalam

memandang ruang publik dan privat ini. Negara non-demokratis tidak

mengenal adanya ruang privat bagi individu, sedangkan negara demokratis

menghargai dan melindungi keberadaan ruang privat. Ignas Kleden (Tempo.

edisi 25 Mei 2003: 50-51) menegaskan apabila ruang publik tergilas oleh

ruang privat maka yang muncul adalah ketidakadilan. Dan sebaliknya

tergilasnya ruang privat oleh ruang publik akan menyebabkan dilanggarnya

kemerdekaan setiap orang dan setiap kelompok.

Untuk menetapkan kriteria antara yang publik dan privat ini, Ignas

Kleden, mengutip pendapat Bruce Ackermen yang mengusulkan agar garis

tersebut ditarik diantara dua jenis kehidupan: semua yang menyangkut good

life (hidup baik) dimasukkan ke dalam ruang privat, sedangkan semua yang

menyangkut justice (keadilan) masuk ke ruang hidup-baik adalah hal-hal

seperti gaya hidup, selera estetis, pandangan tentang kesempurnaan hidup,

penggunaan waktu senggang, kehidupan cinta dan keluarga, cara

berpakaian, dan kehidupan spiritual. Sebaliknya ruang keadilan meliputi

segala hal yang berhubungan dengan hak dan kewajiban serta hukum dan

undang-undang.

Sebagai wilayah kehidupan sosial, ruang publik memungkinkan siapa

saja untuk membentuk opini publik. Semua warga masyarakat boleh

31

memasuki ruang ini, tanpa melihat jenis kelamin, suku, agama, ras atau

golongan. Namun mereka dipahami sebagai individu, bukan sebagai anggota

suku, agama, ras atau golongan tertentu. Yang dipercakapkan dalam ruang

ini adalah persoalan-persoalan yang menyangkut kepentingan umum dan

dibicarakan tanpa paksaan. Maka kata kunci dari ruang publik ini adalah

kesamaan dan kesetaraan pola relasi masing-masing pihak yang terlibat

dalam komunitas itu. Diharapkan dari konsep tersebut akan tercipta iklim

demokratis, karena konsensus yang bebas dari paksaan dan dominasi bisa

dicapai. (Assyaukanie dalam Kompas, 15 Oktober 2002)

2.4. Tinjauan Umum tentang Dakwah

2.4.1. Pengertian Dakwah

Pengertian dakwah secara etimologi berasal dari bahasa Arab

yang berarti “panggilan, ajakan, atau seruan”. Kata dakwah berbentuk

isim masdar sedangkan bentuk kata kerjanya (fiil) adalah “da-a,

yad’u” berarti “memanggil, mengajak atau menyeru” (Syukir,

1983:17)

Pengertian kata tersebut seperti yang ditunjukkan pada ayat-ayat

tentang dakwah dalam Al Quran antara lain:

a. Al Quran Surat Ali Imran: 104

32

Artinya: “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang

menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf, dan

mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang

beruntung”

b. Al Quran Surat Yunus: 25

Artinya: “Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga) dan

menunjuki orang yang dikehendakinya kepada jalan yang lurus

(Islam)”.

Secara terminologi, ada beberapa tokoh yang memberikan batasan-

batasan tentang pengertian dakwah diantaranya sebagai berikut:

a. Hamzah Ya’kub (1992: 13), dakwah berarti mengajak umat

manusia dengan hikmah kebijaksanaan untuk mengikuti petunjuk

Allah dan Rasul-rasul-Nya.

b. Prof. A. Hasjmi (1974: 28), dakwah adalah mengajak orang lain

untuk menyakini dan mengamalkan aqidah dan syariah Islam yang

terlebih dahulu telah diyakini dan diamalkan oleh pendakwah

(da’i) sendiri.

c. M. Masyhur Amin (1997 :8-9), dakwah sebagai suatu aktivitas

yang mendorong manusia memeluk agama Islam agar mereka

33

mendapatkan kesejahteraan kini (dunia) dan kebahagiaan nanti

(akhirat)

Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada

hakikatnya dakwah merupakan proses transformasi nilai-nilai ajaran

Islam yang bertumpu pada amar makruf nahi munkar. Transformasi di

sini merupakan sebuah paradigma yang mengandung dua dimensi

strategis, yaitu dimensi konsepsional normatif dan aksiologi praktis,

sebab dakwah bukan saja berupa pemahaman nilai, keyakinan dan

doktrin. Namun juga berusaha yang sistematis, praktis, pragmatis dan

rasional untuk mengubah kondisi tertentu kehidupan manusia, baik yang

bersifat kehidupan individu maupun sosial, kepada kondisi yang lebih

baik dan sempurna, sehingga mereka mendapatkan kebahagiaan dan

kesejahteraan hidup di dunia maupun di akhirat.

2.4.2. Unsur-unsur Dakwah

Proses dakwah terdiri dari unsur-unsur atau komponen-komponen

yang satu sama lainnya mempunyai hubungan yang sangat erat, unsur-

unsur tersebut adalah:

2.4.2.1. Subyek Dakwah

Subyek dakwah merupakan orang-orang yang

menyampaikan pesan-pesan dakwah yang biasa disebut istilah

juru dakwah atau dai dan ada pula yang menyebutnya

34

komunikator dakwah. Penyampaian pesan–pesan dakwah bisa

dilakukan oleh perseorangan (individual) dan bisa juga oleh

kelompok ataupun organisasi.

Menurut Hafi Anshari (1993: 104-105) subyek dakwah

adalah orang yang melakukan dakwah yang bersuaha merubah

situasi kepada situasi yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan

Allah, baik secara individu maupun berbentuk kelompok

(organisasi), sekaligus sebagai pemberi informasi dan pembawa

misi.

Keberadaan dai sangat menentukan keberhasilan kerja

dakwah, sebab kondisi masyarakat muslim di Indonesia pada

umunya masih bersifat paternalistik yakni masih sangat

tergantung dengan sosok seorang figur atau tokoh. Demikian

juga dalam konteks dakwah, masyarakat muslim Indonesia

memiliki kecenderungan yang sangat kuat untuk mengikuti

ajakan seorang dai tertentu tanpa mempertimbangkan pesan-

pesan yang disampaikannya.

Oleh karena itu, visi seorang dai, karakter, keluasan, dan

kedalaman ilmu, keluhuran akhlak, kredibilitas, kapabilitas,

akseptabilitas dan sikap-sikap posistif lainnya sangat menentukan

keberhasilan seorang da’i dalam menjalankan tugas dakwah.

Inilah salah satu aspek yang ditunjukkan oleh Rasullulah SAW di

35

hadapan umatnya sehingga beliau mendapatkan keberhasilan

yang gemilang dalam menjalankan tugas dakwah.

2.4.2.2. Obyek Dakwah

Obyek dakwah adalah manusia yang secara individual atau

apa pun kelompok menerima pesan-pesan dakwah, yang sering

disebut dengan istilah mad’u, yang disampaikan oleh

komunikator. Dapat pula dipahami bahwa komunikan adalah

orangf atau sekelompok orang yang menjadi titik fokus kegiatan

dakwah.

Oleh karena masyarakat yang menjadi sasaran dakwah

sangat heterogen dan memiliki pluralitas yang sangat tinggi

dalam berbagi aspek, baik segi usia, jenis status sosial, tingkat

ekonomi, jenis profesi, tradisi masyarakat, aspirasi politik dan

keragaman aspek-aspek lainnya, maka seorang dai dituntut untuk

memiliki ketajaman yang kreatif untuk mendeteksi dan

mengidentifikasi kondisi sosial riil masyarakat yang akan

dihadapi, kekeliruan cara yang digunakan untuk membidik

komunikan sangat dimungkinkan terjadinya kegagalan dalam

melakukan tugas dakwah.

Dalam hal ini maka seorang da’i sebelum terjun ke

lapangan untuk berhadapan dengan komunikan, harus melakukan

kerja pra-kondisi berupa tepat tentang metode, strategi, materi,

36

dan media yang akan digunakan dalam melakukan tugas dakwah.

Tanpa melalui tahapan ini maka sangat dimungkinkan pesan-

pesan dakwah yang diberikan kepada komunikan akan

mengalami pembiasaan (deviasi) yang jauh dari yang diharapkan,

sehingga aktivitas dakwah yang dilakukan hanya akan sia-sia

belaka dan tidak memiliki signifikansi yang strategis bagi

masyarakat itu sendiri.

Terlebih lagi obyek dakwah yang bermacam-macam latar

belakang dalam segala aspeknya, maka subyek dakwah dapat

mengambil langkah-langkah yang sesuai dengan kondisi dan

situasi serta amcam-macam obyek yang dihadapi.

2.4.2.3. Materi Dakwah

Materi dakwah adalah suatu pesan yang disampaikan oleh

dai kepada madu yang mengandung kebenaran dan kebaikan bagi

amnusia yang bersumber dari al Quran dan Hadits. Dengan

demikian materi dakwah merupakan inti dari dakwah itu sendiri.

Oleh karenanya hakikat materi dakwah tidak dapt dilepaskan dari

tujuan dakwah.

Menurut Hafi Anshari (1993: 146) , materi dakwah yang

terkandung dalam al Quran dan Hadits dapat diklasifikasikan ke

dalam tiga masalah pokok yaitu masalah keimanan (aqidah),

37

keislaman atau hukum (syariat), dan masalah budi pekerti

(akhlak).

Ketiga pokok materi sebagaimana tersimpul dalam al

Quran dan Hadits ini merupakan inti dari pesan yang harus

disampiakan oleh seorang dai. Namuan bukan berarti seoarng dai

tidak diperkenankan menyampaikan materi di luar pokok

bahasan di atas. Justru sebaliknya, seorang dai dituntut mampu

merespon kebutuhan yang menjadi tutntutan hidup dan

kehidupan komunikan (sasaran dakwah), seperti materi sosial

kemasyarakatan, ekonomi, pendidikan, kebudayaan, bahakan

politik sekalipun. Akan tetapi materi yang disampaikan tidak

boleh dikesampingkan dari aspek akidah (iman), syariat dan

akhlak (ihsan) yang ketiganya merupakan suatu kesatuan organik

dalam agama Islam. Artinya, sebaik apapun pesan-pesan ajaran

Islam dalam proses penyampaiannya meninggalkan ketiga

pondasi fundamental tersebut maka hasilnya akan rapuh dan

tidak tahan lama.

Konsep ini penting, terlebih lagi di era sekarang yang

masyarakatnya telah dilanda euphoria politik, sebab dalam

kondisi seperti ini banyak dijumpai di beberapa kesempatan

forum dakwah, bahwa majelis ilmu berbalik arah menjadi majelis

fitnah. Sehingga yang disampaikan bukan lagi pesan-pesan

dakwah melainkan muatan politik yang sarat dengan permainan

38

kotor, cara penyampaiannya pun sudah tidak mengindahkan lagi

etika seorang dai yang seharusnya menjunjung tinggi akhlakul

karimah.

Dalam konteks tersebut di atas, agama tidak jarang

dijadikan komoditas untuk mengejar obsesi politik. Agama

dipolitisir sedemikian rupa untuk dijadikan topeng dan tameng

untuk menangani perjuangan semu yang penuh dengan tipu daya,

sehingga tidak jarang terjadi pertarungan fisik, antar kelompok,

termasuk antar sesama muslim maupun kekuatan politik tertentu

yang memakai jargon agama atau dipicu atas nama agama.

Dalam kondisi seperti ini agama nyaris kehilangan nilai-nilai

universalitasnya dan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin

pun semakin jauh dari harapan umatnya.

2.4.2.4. Media Dakwah

Media dakwah merupakan salah satu unsur yang sangat

penting diperhatikan dalam aktivitas dakwah. Sebab sebagus

apapun metode, materi dan kapasitas seorang dai tanpa didukung

denagn sebuah media yang tepat seringkali hasilnya kurang

efektif. Namun tidak satupun media yang dianggap paling tepat

dengan menganggap media lainnya. Sebab ia memiliki relativitas

yang sangat bergantung dengan situasi dan kondisi yang

dihadapi.

39

Urgensi media dakwah ini tercermin dalam definisi yang

dikemukakan oleh Hamzah Ya’kub (1992: 47-48), yakni alat

obyektif yang menghubungkan ide dengan umat, suatu elemen

yang menghubungkan urat nadi dalam totaliter. Sedangkan

Aminuddin Sanwar (1986: 77-78), secara rinci membagi media

dakwah ke dalam enam macam, yaitu:

1. Dakwah melalui saluran lisan, yaitu dakwah secara langsung

di mana dai menyampaikan ajakan dakwahnya kepada

mad’u.

2 Dakwah melalui saluran tertulis, yaitu kegiatan dakwah yang

dilakukan melalui tulisan-tulisan.

3 Dakwah melalui alat visual, yaitu kegiatan dakwah yang

dilakukan dengan melalui alat-alat yang dapat dilihat dan

dinikmati oleh mata manusia.

4 Dakwah melalui alat audio, yaitu alat yang dapat dinikmati

melalui perantaraan pendengaran.

5 Dakwah melalui alat audio visual, yaitu alat yang dipakai

untuk menyampaikan pesan dakwah yang dapat dinimati

dengan mendengar dan melihat.

6 Dakwah melalui keteladanan, yaitu bentuk penyampaian

pesan dakwah melalui bentuk percontohan atau keteladanan

dari da’i.

40

Melihat pengertian dan macam-macam media dakwah

tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa efisiensi dan

efektifitas pemanfaaatn media dakwah berkaitan erat dengan

unsur-unsur dakwah lainnya. Oleh karena itu dalam merancang

media dakwah ini harus memperhatikan keahlian komunikator

(da’i) dalam menggunakan, mempertimbangkan daya tangkap

komunikan (mad’u), melihat aspek metode yang diterapkan dan

materi yang diberikan yang diberikan serta memperhatikan

situasi dan kondisi yang dihadapi.

2.4.2.5. Metode Dakwah

Metode dakwah adalah cara yang ditempuh oleh subyek

dalam melaksanakan tugasnya berdakwah (Anshari, 1983: 158).

Sudah barang tentu di dalam berdakwah diperlukan cara-cara

tertentu agar supaya dapat mencapai tujuan dengan baik, untuk

itu bagi seorang subyek perlu melihat kemampuan yang ada pada

dirinya dan juga melihat secara benar terhadap obyek dalam

segala seginya. Sumber dakwah yang terdapat dalam al Quran

menunjukkan ragam yang banyak seperti hikmah, mujadalah,

berbantah dan berdiskusi dengan baik. Dari sumber metode–

metode yang merupakan operasionalisasinya yaitu dakwah

dengan lisan, tulisan, seni dan bil hal (Bachtiar, 1997: 34).

41

2.4.3. Dakwah Persuasif Sebagai Metode Dakwah

Manusia sebagai makhluk sosial (homo-socius), tidak mungkin

lepas dari pengaruh lingkungannya. Di dalamnya terdapat upaya-upaya

saling mempengaruhi satu individu atau kelompok sosial dengan yang

lain. Akibatnya terjadi proses penyesuaian diri agar muncul sikap

saling menerima dan hubungan yang dekat. Apabila dikaitkan dengan

dakwah dikenal istilah personal approach atau “dakwah face to face”,

sehingga terjadi proses pengaruh-mempengaruhi antara da’i dan mad’u

atau sebaliknya. Begitu pula istilah general approach atau dakwah

secara umum seperti pengajian misalnya, maka di sini terjadi proses

pengaruh-mempengaruhi antara da’i dan mad’u dalam kelompok

sosial.

Menurut Totok Jumantoro (2001: 84), mengutip pendapat H.

Bonner, interaksi sosial merupakan sebuah bentuk atau suatu

hubungan antara dua atau lebih individu manusia, di mana tingkah

laku individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki

kelakuan individu yang lain atau sebaliknya.

Berhasil tidaknya interaksi sosial, termasuk usaha dakwah,

ini tergantung pada empat faktor yang antara lain: faktor imitasi, faktor

sugesti, faktor identifikasi, dan faktor simpati. Selain itu, metode

pendekatan personal yang digunakan adalah dengan cara persuasif.

Persuasif diartikan membujuk secara halus; supaya menjadi yakin

ajakan kepada seseorang dengan cara memberikan alasan dan pospek

42

baik yang meyakinkannya. (Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa, 1997: 760). Menurut persepsi William J.

McGuire (dalam Jumantoro, 2001: 149), persuasi diartikan sebagai

tujuan mengubah sikap dalam dan tingkah laku orang baik dengan

tulisan ataupun ucapan. Oleh karenanya dakwah persuasif dapat

diartikan menurut batasan tersebut sebagai upaya merealisasikan

ajaran Islam dalam segala lapangan kehidupan manusia, baik dengan

dakwah bil lisan (pidato, khutbah dan lain-lain), ataupun

memanfaatkan teknologi cetak (media massa) sebagai medianya.

Sedangkan persuasi menurut D. Lawrence Kincard dan Wilbur

Schramm (dalam Jumantoro, 2001: 149), dipersepsikan sebagai

penggunaan informasi tentang situasi psikologis dan sosiologis serta

kebudayaan komunikan, untuk mempengaruhinya dan mencapai

perwujudan dari apa yang diinginkan oleh message. Dalam konteks

ini, maka dakwah persuasif diberi batasan sebagai upaya menyebarkan

agama Islam dengan melihat latar belakang kehidupan mad’u, baik

dalam segi psikologi, sosiologi, sosial ataupun budaya serta kerangka

ideologi politiknya, sehingga sikap dan tingkah lakunya diarahkan

sesuai dengan ajaran Islam, sebagai message-nya.

Lawan persuasif adalah kursif (coersive). Kursif diartikan

sebagai suatu tindakan yang bersifat memaksa, yang dapat dilakukan

dengan teror, pemerasan, boikot, menunjukkan kekuasaan dan cara-

43

cara lain yang dapat menekan batin dan menegangkan jiwa serta

menimbulkan ketakutan di kalangan publik.

Baik komunikasi persuasi ataupun komunikasi kursif keduanya

bertujuan mengubah perilaku, kepercayaan dan sikap. Bedanya ialah

bahwa komunikasi kursif umumnya menggunakan ancaman dan

sanksi-sanksi tertentu. Totok Jumantoro (2001: 150) lebih lanjut

menjelaskan bahwa komunikasi kursif tidak dikenal dalam usaha

dakwah, mengingat:

a. Islam adalah agama yang benar. Tugas da’i hanya menguraikan,

menyampaikan kebenaran yang ada dalam Islam menjadi jelas dan

nyata.

b. Islam adalah agama fitrah, agama yang sesuai dengan fitrah

kejadian manusia (QS. Ar Ruum: 30), bahkan untuk berislam telah

dilakukannya ketika ia ada di alam arwah (QS. Al A’raaf: 1720.

hanya karena lingkungan yang kurang mendukung, manusia keluar

dari fitrah. Tugas seorang da’i adalah menciptakan lingkungan agar

fotrah kejadian manusia itu tidak lapuk karena pengaruh

lingkungan.

c. Dakwah yang dipaksakan akan membuat seseorang munafik. Iman

sesorang akan mudah tumbuh dalam suasana bebas yang sunyi dari

tekanan dan paksaan. Paksaan dan ancaman hanya akan

menghasilkan pengakuan palsu.

44

d. Persoalan mau beriman atau tidak adalah persoalan hidayah yang

mutlak di tangan Allah (QS. Al Qashash: 57). Seorang da’i tidak

dapat memberi petunjuk ke dalam hati manusia, tetapi hanya

mampu memperkenalkan Islam kepada mereka. Dan seorang da’i

hanya mampu berdakwah.

Allah memberikan tuntunan tentang cara berdakwah seagai

kewajiban umat Islam. Dalam QS An Nahl, 16: 25. ayat tersebut

menunjukkan bahwa di dalam berdakwah bisa menempuh tiga cara:

1. Dengan hikmah.

HM Masyhur Amin (1997: 21-25) menjelaskan bahwa kata

hikmah ini mengandung tiga unsur di dalamnya:

a. unsur ilmu, yaitu yang hak dan yang batil, memisahkan antara

yang hak dan yang batil, berikut ilmu tentang rahasia, faidah dan

seluk beluk.

b. unsur jiwa, yaitu menyatunya ilmu tersebut ke dalam jiwa

sebagai ahli hikmah, sehingga ilmu tersebut mendarah daging.

c. unsur amal perbuatan, yaitu ilmu pengetahuan yang menyatu ke

dalam jiwanya itu mampu memmotivasi dirinya untu berbuat.

Dengan kata lain, perbuatan itu dimotori oleh ilmunya uang

menyatu ke dalam jiwanya. Amal perbuatan ini bisa dalam

bentuk sikap dan kepribadian yang menarik dan dapat dijadikan

teladan dan bisa juga dalam bentik amal jariyah yang bermanfaat

45

bagi masyarakat, seperti: mengajar bercocok tanam,

berwiraswasta, ketrampilan, dsb. Amal teladan yang baik dan

bermanfaat ini justru lebih menyentuh hati orang yang diajak

memeluk agama Islam.

Dengan demikian maka dakwah bil hikmah mempunyai arti

kemampuan seorang dai di dalam melaksanakan dakwah dengan jitu

karena pengetahuannya yang tuntas lagi tepat tentang liku-liku dakwah.

Ia tahu benar tentang waktu, tempat, dan keadaan manusia yang dihadapi

sehingga ia dapat memilih cara yang tepat untuk menyampaikan materi

dan tujuan dakwah yang hendak diberikan kepada mereka.

2. Dengan maw’idzah hasanah

Maw’idzah hasanah dalam berdakwah berarti memberi nasehat dan

memebri ingat kepada orang lain dengan bahasa yang baik yang dapat

menggugah hatinya sehingga si pendengar itu dapat menerima apa yang

dinasehatkan itu.

Maw’idzah hasanah ini bisa dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:

a. Dalam bentuk menuturkan tentang kisah-kisah keadaan umat masa

lalu, baik yang taat menjalankan perintah Allah seperti para Rasul,

sahabat, orang-orang saleh, dan lain-lain. Maupun orang yang

durhaka seperti malapetaka yang menimpa Firaun., Qarun, Abu

Jahal.

46

b. Dalam bentuk pemberian peringatan atau mengabarkan berita

gembira (ancaman atau janji, targib aw tarhib).

c. Dalam bentuk melukiskan keadaan syurga dan penghuninyaserta

keadaan neraka dan penghuninya.

d. Dalam bentuk mengungkapkan perumpamaan-perumpamaan

mencari kesamaan—kesamaan. Misalnya, untuk meyakinkan bahwa

bumi, langit dan isinya itu merupakan ciptaan Allah SWT sebab

tidaklah mungkin ada suatu ciptaan tanpa ada yang menciptakannya.

(Amin, 1997: 27-30)

3. Dengan mujadalah yang sebaik-baiknya.

Artinya berdakwah dengan jalan mengadakan tukar pikiran yang

sebaik-baiknya. Imam Al Ghazali dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin”,

yang dikutip Amin (1997: 30) mensyaratkan antara lain agar orang-

orang yang melakukan mujadalah itu, tidaklah beranggapan bahwa yang

satu sebagai lawan bagi yang lannya. Tetapi mereka menganggap bahwa

para peserta mujadalah itu sebgai kawan yang saling tolong-menolong di

dalam mencari kebenaran.

Perlu dipahami juga bahwa berdakwah dengan cara hikmah itu

tidak terbatas pada berbicara dengan lemah lembut saja, menyebutkan

keutamaan amal dan pahalanya saja, memaafkan, toleransi, sabar, dan

ramah saja, tetapi bila segala sesuatu ditempatkan pada posisinya yang

tepat itu adalah hikmah.

47

Peringatan dengan keras, penggunaan kekerasan juga harus

dilakukan pada waktu dan tempat yang tepat. Semua ini harus dilakukan

dengan penuh kecermatan, ketekunan, dan kebijaksanaan dengan

memperhatikan kondisi, tempat, dan waktu orang yang didakwahi. Bila

semua ini telah dilaksanakan, berarti kita telah berdakwah dengan cara

yang hikmah.

Di samping itu, perlu juga memperhatikan beberapa bentuk

perkataan yang dianjurkan dalam Alquran, yang bisa dijadikan sebagai

pedoman dalam memberikan ceramah atau khutbah (Lubis, tt: 94-97),

antara lain:

1. Perkataan yang lemah lembut (qawlan layyinan)

Maksudnya bukan dengan kata-kata yang keras dan kasar. Bukan

denagn mencaci maki. Tapi dengan bahasa yang simpati dan bahasa

yang sentimentil, bahasa yang mengundang persahabatan. Kata-

katanya menggugah dan menyentuh perasaan.

2. Perkataan yang mengandung puitis (qawlan baliighan)

48

Maksudnya, kata-kata itu bersajak dan berirama. Enak didengar.

Sebab pada pidato yang memakai bunga bahasa itu merupakan daya

tarik sendiri.

4. Perkataan yang tegas (qawlan sadiidan)

Maksudnya kata-kata yang tidak bertele-tele, yang tidak tentu ujung

pangkalnya. Dan tidak pula ngambang yang membuat orang ragu

dan tidak ada yang bisa dijadikan semacam pegangan. Tapi

gunakanlah kata-kata yang jelas dan tegas. Terutama yang

menyangkut dengan masalah akidah atau dalam menanamkan suatu

keyakinan. Demikian juga halnya yang menyangkut dengan hukum,

yaitu masalah halal dan haram.

49

4. Perkataan yang baik (qawlan ma’rufan)

Maksudnya kata-kata yang dipergunakan dalam berpidato itu

janganlah kata-kata kotor atau jorok. Dan jangan pula kata-kata yang

tabu di tengah masyarakat. Sebab dengan memakai kata-kata yang

kotor dan tabu itu akan mengundangh jama’ah untuk tidak simpatik

yang sekaligus mengurangi wibawa.

5. Perkataan yang lurus (qawlan qawiyman)

Maksudnya, kata-kata tidak berbelit-belit. Tapi kata-kata yang

lempang, yang mudah dipahami dan mudah dicerna

6. Perkataan yang tepat dan mantap (qawlan shawaaban)

50

Maksudnya membuang kata-kata yang mubazir. Memilih istilah dan

kata-kata yang tepat dan mantap dalam berpidato akan menambah

wibawa.

Selain enam bentuk ucapan yang dipaparkan Lubis di atas, masih

terdapat bentuk ucapan lain yang juga tertera dalam Alquran, antara lain:

1. Perkataan yang ramah (qawlan maysuran)

Maksudnya perkataan yang tidak menyakiti orang lain, seperti

perkataan yang keras dan membentak-bentak. Keramahan ini mampu

mendatangkan simpati dari orang lain.

2. Perkataan yang hormat (qawlan kariman)

51

perkataan ini ditujukan untuk menghormati kepada lawan bicara

karena lebih tua usianya, lebih tinggi kedudukannya atau karena

mempunyai kharisma.

Berkaitan dengan sikap lemah lembut dan kekerasan atau tarhib

wa targhib (kabar gembira dan ancaman), Rasulullah SAW. para sahabat

dan generasi umat Islam terdahulu telah memberikan contoh nyata.

Rasulullah saw. menyatukan antara dakwah dengan lemah lembut di

Mekah dengan dakwah membentuk negara Islam yang berdaulat di

Madinah dan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh Jazirah Arab

dengan kawalan kekuatan.

Begitu juga dengan dakwah para sahabat, tidak seorang pun yang

memungkiri bahwa sahabat Abu Bakar adalah seorang sahabat yang

sangat lembut hatinya dan penyabar. Beliau amat santun terhadap fakir

52

miskin dan kaum muslimin yang lemah. Namun, tidak seorang pun yang

memungkiri bahwa beliaullah yang menggerakkan tentara kaum

muslimin untuk menumpas para nabi palsu dan orang-orang yang murtad

pada awal masa kekhalifahan beliau.

Semua ini terjadi karena beliau mampu berbuat hikmah dalam

dakwah, menggunakan metode dakwah yang tepat dalam setiap kasus.

Jika orang-orang yang murtad tidak ditindak keras, tentulah keutuhan

kaum muslimin akan retak dan hukum Islam diinjak-injak.

Kekuatan penghalang dakwah seperti ini tidak mungkin

ditundukkan kecuali dengan kekuatan. Setelah para penghalang ini

ditundukkan, barulah manusia bisa menentukan pilihan dengan merdeka:

apakah akan masuk Islam atau tidak. Itulah makna "tidak ada paksaan

dalam masalah agama".

Islam membolehkan penggunaan kekuatan bila dilakukan dengan

hikmah, saat kondisi memang menuntut. Islam tidak menyerang musuh,

kecuali setelah memberi dakwah kepada mereka. Islam juga tidak

melampaui batas dalam peperangannya. Kaum muslimin tidak pernah

memiliki niat membunuh anak-anak, orang tua, wanita, dan orang-orang

yang tidak terlibat perang.

Begitu juga yang diteladankan oleh Nabi Muhammad, mengajak

orang dengan cara yang sangat memikat dan efektif dan dengan

menggunakan argumentasi dan akal sehat untuk mengikuti perkataan

Tuhan. Dia menjelaskan pada mereka kebenaran sebenarnya tentang

53

manusia, alam semesta, dan Tuhan dengan cara yang sangat meyakinkan

dan memikat. Ajakannya penuh cinta, kasih dan rasa sayang pada umat

manusia dan disampaikan pada manusia dengan penuh kebijaksanaan

dan dengan cara yang paling baik. Oleh karenanya ajakan itu memikat

mereka dan langsung masuk di hati pendengarnya dalam waktu yang

sangat singkat.

Manusia masuk Islam berdasarkan kemauan mereka sendiri kalau

mereka yakin akan kebenaran yang disampaikannya. Tugas Nabi

hanyalah menyampaikan ayat-ayat Tuhan dengan jelas sehingga manusia

dapat memahaminya. Selanjutnya tergantung pada manusia itu sendiri

untuk menerima dan menolaknya. (Rahman, 1991: 24-26)